Anda di halaman 1dari 26

KONFLIK PERKEBUNAN DAN MEKANISME PENGUASAAN TANAH

ULAYAT OLEH INVESTOR PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERSKALA


BESAR: KASUS PROVINSI SUMATERA BARAT DAN RIAU
OLEH: Dr. Afrizal, MA dan Drs. Edi Indrizal, Msi
Latar Belakang
Disatu sisi, pemerintah (berbagai tingkatan) terutama di Pulau Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi akan terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Hal ini
disebabkan oleh tingginya nilai ekonomis perkebunan tersebut (Colchestester, dkk., 2006,
hal. 11-29).1 Karena tingginya nilai ekonomi tersebut pengembangan perkebunan kelapa
sawit telah mendatangkan kesejahteraan kepada sekelompok penduduk tempatan, mereka
memperoleh kebun plasma dan yang lain terdorog untuk mengmbangkan perkebunan
berskala kecil yang mereka lakukan sendiri. Perkebunan kelapa sawit tersebut juga
mendatangkan manfaat bagi pemerintah karena perkebunan tersebut memberikan
revenue kepada pemerintah (Afrizal 2007a dan b). Pilihan pengembangan perkebunan
kelapa sawit kelihatannya akan tetap pada perkebunan berskala besar2
Disisi yang lain, perkembangan perkebunan kelapa sawit berskala besar juga
telah berdampak negatif terhadap penduduk tempatan (Colchestester, dkk., 2006, hal. 11
dan Afrizal 2007a dan b). Yang telah terjadi adalah timbulnya konflik antara perusahaanperusahaan perkebunan dengan penduduk tempatan. Konflik tersebut menimbulkan
kerugian baik pada penduduk tempatan (mereka diintimidasi dan ditangkapi oleh pihak
kemanaan) maupun perusahaan, kebun yang mereka tanami dibakar atau dipanen dan
akses mereka ke kebun dihalangi oleh penduduk (Afrizal 2007a dan b). Dari hasil
berbagai penelitian terungkap bahwa penyebab konflik tersebut berkaitan dengan
penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan (Bachriadi 2001; Nuh dan Collins 2001;
Colchestester, dkk., 2006; Afrizal 2005 dan 2006 dan 2007).

Saat ini memang harga CPO rendah, tetapi ini akibat dari krisis global. Apabila krisis ini reda, permintaan
akan CPO tinggi dan harga CPO tentunya akan tinggi pula.
2
Perkebunan kelapa sawit berskala besar adalah model pengembangan perrkebunan kelapa sawit dimana
sebuah perusahaan perkebunan mempunyai perkebunan dengan luasnya mencapai ribuan hektar,
perkebunan berskala menengah dengan luas ratusan hektar dan perkebunan berskala kecil dengan luas
puluhan hektar (Colchestester, dkk., 2006, hal. 42-43).

Makalah ini akan menyajikan hasil penelitian di Provinsi Sumatera Barat dan
Riau. Hasil penelitian mengkonfirmasikan bahwa penyebab penting konflik

antara

penduduk tempatan dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit di kedua


provinsi ini berkaitan erat dengan penguasaan lahan, yang dinyatakan sebagai hak ulayat
oleh

penduduk

tempatan,

oleh

perusahaan

perkebunan.

Makalah

ini

akan

mendeskripsikan proses penyerahan tanah oleh pemilik kepada pemerintah dan kepada
para investor yang tidak sesuai dengan hukum adat dan aspirasi penduduk tempatan atau
proses penguasaan lahan oleh para perusahaan yang tidak sesuai dengan hukum adat dan
aspirasi penduduk setempat.

Sebelum penyajian hasil penelitian mengenai proses

penyerahan atau penguasaan lahan akan dipaparkan terlebih dahulu hasil penelitian ini
dan beragai penelitian yang lain tentang gembaran umum konflik perkebunan kelapa
sawit di kedua provinsi.
Gambaran Umum Konflik Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Barat dan Riau
Di Sumatera Barat, komunitas nagari aktif melawan bisnis dan juga negara dan
perlawanan tersebut memuncak ketika reformasi bergulir pada pertengahan tahun 1998.
Konflik terjadi di berbagai kabupaten. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perlawanan tersebut berlanjut sampai akhir tahun 2008 karena banyak yang belum
terselesaikan.
Jumlah konflik agraria yang terjadi di Sumatera Barat jauh lebih tinggi dari yang
tercatat dalam berbagai sumber. Umpamanya, data-base KPA (Konsorsium Pembaharuan
Agraria) hanya memuat 12 kasus konflik agraria di areal perkebunan besar di Sumatera
Barat sampai tahun 2001, padahal di Kabupaten Pasaman Barat saja terdapat sebanyak 16
buah perkebunan besar yang berkonflik dengan berbagai kelompok komunitas lokal. 3
Ada sebanyak 55 buah perusahaan perkebunan besar di seluruh Sumatera Barat yang
mengontrol kira-kira 119.229 ha tanah yang secara tradisional dimiliki oleh komunitas
nagari.4 Semua perusahaan tersebut juga berkonflik dengan berbagai kelompok
komunitas nagari.5 Afrizal (2005, 2006 dan 2007) menemukan bahwa sebuah perkebunan
kelapa sawit berskala besar berkonflik sampai dengan tujuh kelompok dalam komunitas
3

Wawancara dengan berbagai sumber tahun 2002 dan tahun 2008 di Pasaman Barat dan berita media.
Laporan Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2001. Hampir tidak perubahan jumlah perusahaan
perkebunan dari 2001 sampai 2008. Perubahan yang terjadi hanyalah beberapa perusahaan dibeli oleh
perusahaan yang lain dan perusahaan yang dibeli tidak beroperasi lagi.
4

nagari. Berdasarkan temuan tersebut dapat diperkirakan jumlah kasus konflik antara
komunitas nagari dengan perusahaan perkebunan besar di Sumatera Barat mencapai lebih
dari 300 kasus semenjak tahun 1998 sampai tahun 2008.
Disamping itu, ditemukan pula beberapa konflik antara penduduk tempatan
dengan perusahaan non perkebunan kelapa sawit. Pertama adalah konflik perkebunan
karet. Konflik terjadi antara PT. PN III/VI sebagai perusahaan inti dengan penduduk
Nagari Gunung Malintang, Kabupaten 50 Kota dan antara PT. Purnakarya dan Korem
032 Wirabraja dengan komunitas Kapala Hilalang, Kabupaten Padang Pariaman.
Disamping persoalan kebun plasma,

konflik antara penduduk tempatan dengan

perusahaan perkebunan tersebut berkenaan dengan penguasaan tanah oleh kedua


perusahaan (untuk mengetahui lebih deteil konflik ini baca Afrizal 2007). Disamping
itu, penduduk lokal juga beraksi melawan perusahaan yang usahanya berkaitan dengan
penambangan seperti batu kapur untuk produksi semen dan batu bara. Semuanya juga
semarak mulai pertangahan tahun 1998 dan berkenaan dengan penguasaan tanah oleh
para perusahaan (Afrizal 2005 dan 2007, Hafil 2008).
Perlawanan komunitas nagari tersebut terjadi tersebar di berbagai kabupaten,
tetapi lebih banyak terjadi di kabupaten-kabupaten dengan jumlah perusahaan
perkebunan yang banyak, seperti Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Dharmasraya,
Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Agam. Hal itu menunjukan bahwa konflik
agraria semacam ini terjadi berkaitan dengan pembangunan ekonomi.
Di Provinsi Riau, provinsi yang mempunyai perkebunan kelapa sawit terluas di
Indoensia dengan luas 1,5 juta hektar (lih. Colchester et al. 2006, p. 24 ), jumlah konflik
perkebunan kelapa sawit yang terjadi antara komunitas lokal dengan perusahaan kelapa
sawit berskala besar banyak. WALHI Riau mencatat, sedikitnya 400 konflik di Provinsi
Riau merupakan konflik antara masyarakat adat atau suku asli dengan berbagai
perusahaan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan tanaman indusri (Kompas, 5
April 2007). Kira-kira 50% dari konflik tersebut adalah konflik perkebunan kelapa sawit

Wawancara dengan berbagai sumber tahun 2002 dan tahun 2008 di Pasaman Barat, komunikasi personal
dengan Kepala Bagian Pemerintahan Nagari Kantor Bupati Solok Selatan, Sekretaris Camat Sungai
Rumbei (Kabupaten Dharmasraya) dan Kepala Tata Pemerintahan Kabupaten Pesisir Selatan, antara
Februari sampai Agustus 2008 serta berita media. Peneliti aktif memonitor perkembangan konflik
perkebunan kelapa sawit semenjak tahun 2002.

berskala besar. Hal ini dapat diketahui dari semenjak tahun 1998 sebanyak 60 6 dari 160
buah perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar (atau 37,5%) berkonflik dengan
penduduk tempatan. Oleh sebab itu, jumlah konflik semacam itu kemungkinan besar
lebih besar dari yang dilaporkan oleh Tim LITBANG Data FKPMR (2007). Tim
mengatakan bahwa konflik perkebunan hanya terjadi

66 kasus antara 2003-2007.

Kalkulasi Tim hanya berdasarkan laporan kasus kepada LSM tempatan dan surat kabar.
Dari analisis suurat-suurat pengaduan dan wawancara mendalam dengan berbagai
informan diketahui bahwa banyak kasus konflik perkebunan sawit tidak dilaporkan
kepada LSM an tidak pula dciliput oleh media. Karena berbagai perusahaan berkonflik
dengan tiga sampai empat kelompok, diperkirakan konflik yang terjadi antara penduduk
tempatan dengan 60 perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar sebanyak lebih
dari 200 kasus di Provinsi Riau.
Sementara itu berdasarkan sebaran lokasi wilayah geografisnya, konflik menyebar
hampir di semua kabupaten/kota di Provinsi Riau. Tim Data Litbang FKPMR dalam
studinya melapoirkan bahwa kabupaten yang paling banyak dijumpai konflik pertanahan
adalah Indragiri Hulu, yakni sebesar 22,7 persen. Lalu, secara berurutan disusul oleh
Rokan Hilir sebanyak 18,2 persen, Siak sebanyak 12,1 persen, kampar sebanyak 10,6
persen, Bengkalis dan Pekanbaru masing-masing 4,5 persen, Pelalawan sebanyak 3
persen, dan dua kasus konflik lainnya tidak didapatkan data lokasinya.
Konflik perkebunan antara penduduk tempatan dengan bisnis yang terjadi baik di
Provinsi Sumatera Barat maupun Riau telah berkembang menjadi konflik yang terbuka
dan penuh kekerasan.7 Transformasi konflik tersebut akibat dari cara yang dilakukan oleh
masing-masing pihak untuk merespon aksi dari pihak lain guna menyelesaikan persoalan.
Pada awalnya, tokoh-tokoh masyarakat lokal melakukan upaya lobi dengan suratmenyurat dan tatap muka untuk memperjuangkan kepentingannya, kepentingan
kelompok-kelompok dalam komunitasnya dan kepentingan komunitas nagarinya secara
keseluruhan. Akan tetapi, karena upaya lobi ini tidak berhasil, lalu mereka melakukan
6

Data diperoleh dengan menganalisi informasi yang dikompilasi oleh Tim Litbang Data FKPMR 2007,
surat-surat protes oleh penduduk tempatan yang dikumpulkan selama penelitian dan wawancara mendalam
dengan berbagai informan di Kabupaten Kampar.
7
Berbagai surat kabar lokal di kedua provinsi dan surat kabar nasional melaporkan terjadinya konflik
kekerasan baik yang dilakukan oleh penduduk lokal maupun respon perusahaan.

upaya mobilisasi massa dengan cara melakukan demonstrasi. Pada rentang waktu 19982004 terjadi banyak demonstrasi seperti ini di berbagai kabupaten. Kemudian, sebagian
yang lain melakukan aksi-aksi memblokade aktivitas perusahaan, merusak harta milik
perusahaan dan malah ada yang memanen buah sawit dan menyadap karet yang dikelola
oleh perusahaan.8 Aksi-aksi kolektif penduduk lokal ini ada yang ditanggapi dengan cara
kekerasan oleh polisi seperti, intimidasi dan pemukulan. 9 Dari penjelasan di atas,
kekerasan dilakukan baik oleh penduduk nagari maupun oleh aparatur negara tentunya
juga oleh pihak perusahaan karena kehadiran polisi dalam konflik tersebut tentunya
berkaitan erat dengan cara yang dipilih oleh perusahaan untuk menyelesaikan persoalan.
Di kedua provinsi, konflik semacam itu sebagian besar terus berlanjut sampai
akhir 2008. Ada beberapa kasus yang telah diselesaikan dengan mekanisme resolusi
konflik di luar peradilan dengan prinsip menang-menang, akan tetapi banyak kasus belum
diselesaikan (status quo).10 Di Provinsi Sumatera Barat, konflik yang telah diselesaikan
pada umumnya konflik berkenaan dengan pembayaran atas digunakan tanah ulayat oleh
perusahaan dan pencaplokan lahan oleh perusahaan. Sementara, di Provinsi Riau konflik
berkenaan dengan isu pencaplokan lahan oleh perusahaan pada umumnya belum
diselelsaikan.11

Mekanisme Penyerahan atau Penguasaan Lahan


Di Sumatera Barat
Seperti yang akan dijelaskan berikut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penyebab konflik yang telah dibahas sebelumnya berkaitan erat dengan tanah yang
digunakan oleh berbagai perusahaan perkuban kelapa sawit, khususnya berhubungan
dengan proses pengambialihan/penyerahan lahan yang dinyatakan sebagai tanah hak
ulayat penduduk tempatan.
8

Wawancara dengan berbagai informan di Pasaman Barat, Pekan Baru dan Kabupaten Kampar tahun 2002
dan 2008 serta analissi berita media dan laporan berbagai LSM.
9
Biasanya kehadiran polisi akibat pemberitahun dari pihak perusahaan. Wawancara dengan berbagai
informan di Pasaman Barat, Pekan Baru dan Kabupaten Kampar tahun 2002 dan 2008 serta analissi berita
media dan laporan berbagai LSM.
10
LSM Scale Up melakukan kegiatan mediasi dengan pendekatan renegosiasi untuk menyelesaikan konflik
perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau.
11
Interpretasi ini berdasarkan analisis berita berbagai media sampai tahun 2008 dan wawanacara dengan
personil Walhi Riau dan Scale Up, Pekan Baru, Agustus 2008.

Di Provinsi Sumatera Barat, terungkap bahwa baik pemerintah kabupaten maupun


perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit mengakui bahwa tanah yang akan
dialihfungsikan sebagai perkebunan kelapa sawit adalah hak ulayat komunitas nagari dan
kelompok kekerabatan tertentu (kaum). Karena pengakuan atas hak ulayat tersebutlah
mereka telah melakukan kegiatan untuk mendapatkan izin dari pemilik hak ulayat untuk
menggunakan lahan. Pengakuan ini terlihat pada terteranya kata-kata tanah ulayat dalam
surat perjanjian, seperti kutipan salah satu surat penyerahan tanah dari pimilik hak ulayat
kepada seorang bupati.
SURAT PERNYATAAN BERSAMA KESEPAKATAN NINIK MAMAK
PEMANGKU ADAT/PEMILIK DAN PENGUASA TANAH ULAYAT ...12
TENTANG
PENYERAHAN TANAH ULAYAT ADAT UNTUK PERKEBUNAN...
Pada hari ini senin tanggal 11 Desember tahun seribu sembilan ratus delapan
puluh sembilan, kami yang bertanda tangan di bawah ini: Ninik Mamak Pemangku
Adat/Pemilik dan penguasa tanah ulayat kaum dalam wilayah Nagari Sungai Aur,
Kecamatan Lembah Melintang,...
PERTAMA
...
KEDUA
Menyediakan dan menyerahkan tanah ulayat kaum...
-

Sebelah utara berbatasan dengan tanah ulayat nagari sungai aur

...

Sebelah barat berbatasan dengan tanah ulayat Nagari Ujung Gading.


KETIGA
...

, maka status tanah dengan sendirinya kembali menjadi tanah ulayat kaum...
, maka tanah bekas perkebunan kembali tsb kembali menjadi tanah Ninik Mamak
milik ulayat adat Nagari Sungai Aur
12

Lih. Surat penyerahan tanah ulayat oleh beberapa orang ninik mamak Nagari Sungai Aur untuk PT.
Pasaman Marama Sejahtera tanggal 11 Desember 1999.

KEEMPAT
Penyerahan dan penyediaan Tanah Ulayat kaum dimaksud..., untuk penyerahan
Tanah Ulayat kepada...
Dengan ini pula pihak kedua (Bupati Kabupaten Pasaman13) menyatakan telah
menerima penyerahan Tanah Ulayat dari pihak pertama...
Demikianalah..., pemilik dan penguasa Tanah Ulayat...

Pihak kedua:

Pihak pertama...

BUPATI KEPALA DAERAH TIGKAT II

penguasa Tanah Ulayat...

KABPATEN PASAMAN
DAFTAR I
Nama Ninik Mamak...
Penguasa Tanah Ulayat...
Dalam surat penyerahan tanah di atas terlihat sebanyak 13 kali frasa tanah ulayat
muncul. Frasa tersebut mengaju kepada objek yang dimilik, diserahkan dan diterima.
Kemudian, frasa tanah ulayat muncul setelah kalimat (d)engan ini pula pihak kedua
menyatakan telah menerima penyerahan Tanah Ulayat dari pihak pertama. Kalimat ini
menyatakan bahwa Bupati Kabupaten Pasaman sebagai piha kedua dalam prjanjian
tersebut mengakui bahwa tanah yang dia terima adalah tanah ulayat.
Akan tetapi, ditemukan beberapa masalah dalam proses pengambialihan lahan
yang mengakibatkan terjadinya protes dari pemilik hak ulayat kepada perusahaan
perkebunan dan adanya perasaan tidak menyerahkan tanah ulayat dari pihak-pihak
berkepentingan dalam kaum maupun dalam nagari serta multi tafsir atas isi perjanjian.
Masalah-masalah tersebut berkaitan dengan mekanisme yang diterapkan oleh pemerintah
kabupaten dan perusahaan dalam menguasai lahan dan cara surat penyerahan lahan, yang
secara hukum bermakna kontrak antara pemilik hak ulayat dengan pemerintah kabupaten,
dibuat oleh pemerintah maupun perusahaan.

13

Tambahan dari penulis

Pertama, baik pemerintah kabupaten maupun perusahaan perkebunan mengurus


izin penggunaan lahan dari pemilik hak ulayat. Urusan proses izin penguasaan lahan dari
pemilik hak ulayat dilakukan oleh pemerintah kabupaten dengan membentuk Panitia
Pembebasan Tanah dan oleh perusahaan perkebunan sendiri. Tetapi, umumnya hal ini
dilakukan oleh pemerintah kabupaten, seperti yang terlihat dalam surat penhyerahan
tanah

ulayat

yang

disajikan

sebelumnya.

Disamping

itu,

pola

proses

penyerahan/pegambilalihan lahan yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang


langsung dilakukan oleh perusahaan hampir sama.
Baik pemerintah kabupaten maupun perusahaan perkebunan pertama sekali
menghubungi pemilik hak ulayat untuk memberitahukan keinginan pemerintah untuk
mengaklihfungsikan lahan rawa-rawa dan hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang
akan dilakukan oleh perusahaan swasta atau keinginan perusahaan untuk menggrap lahan
tanah ulayat untuk perluasan kebun kelapa sawitnya. Cara yang dilakukan adalah
pemerintah kabupaten atau perusahaan mengundang pimpinan adat untuk menghadiri
rapat. Rapat ada yang diadakan di ibukota kabupaten, ibu kota kecamatan, dan ada pula
yang dilakulan di nagari. Rapat ini dijadikan oleh pemerintah kabupaten atau oleh
perusahaan untuk meminta pimpian adat untuk mengambil keputusan untuk menyerahkan
lahan hak ulayat yang dibicarakan. Dalam rapat seperti ini, pada umumnya, pimpinan
adat yang hadir membuat keputusan bersedia untuk menyerahkan lahan yang dimaksud.
Dalam rapat ini, pada umumnya jenis dan jumlah pembayaran diusulkan oleh pemerintah
kabupaten atau oleh perusahaan. Pada umumnya, pimpinan adat menyetujui jenis dan
jumlah pembayaran yang ditawarkan oleh pemerintah dan perusahaan, kebanyakan
dengan jumlah Rp. 50.000 per hektar.

Ada kejadian tidak ditemukan kesepakatan dalam

rapat seperti itu, tetapi hanya terjadi untuk luas area inti dan plasma (seperti kasus Nagari
Kapar).
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa pimpinan adat membuat keputusan setuju
menyerahkan lahan hak ulayat bukan berdasarkan rapat nagari. Walaupun, dalam surat
penyerahan tanah ulayat kepada pemerintah kabupaten dinyatakan bahwa (p)ihak
pertama secara bersama telah mempertimbangkan dalam musyawarah dan mufakat
Atas asas musyawarah dan mufakat dengan ini., mufakat tersebut hanya dilakukan
dalam rapat pertemuan dengan aparat pemerintah kabupaten, bukan musyawarah nagari

atau kaum. Hal ini dikonfirmasikan oleh seluruh informan dari kalangan pimpinan adat
yang terlibat aktif dalam proses penyerahan lahan hak ulayat untuk perkebunan kelapa
sawit.14 Hal ini berarti, penyerahan tanah hak ulayat dilakukan oleh pimpinan adat, tetapi
pembuatan keputusan tidak melibatkan multipihak dalam komunitas lokal dan
kekerabatan.
Tidak adanya musyawarah nagari atau kaum dalam pembuatan keputusan
penyerahan tanah ulayat dapat pula dibuktikan oleh adanya protes-protes dari kelompok
non pimpinan adat dalam nagari. Di Nagari Kapar muncul kelompok Tunas Mekar.
Kelompok ini mengkritisi ninik mamak sebagai otoriter karena mereka membuat
keputusan penyerahan tanah ulayat nagari tanpa musyawarah dengan berbagai elemen
nagari.15 Di Nagari Kinali juga muncul berbagai protes dari elit non ninik mamak atas
keputusan yang dibuat oleh ninik mamak. Mereka ini tidak mengakui perjanjian yang
telah dibuat oleh ninik mamak dalam rapat yang diadakan oleh pemerintah daerah dan
oleh perusahaan.16
Pembuatan keputusan penyerahan tanah ulayat yang didominasi oleh ninik
mamak menuai protes dari elemen kaum atau nagari yang lain dan mereka tidak
mengakui penyerahan tanah. Hal ini terlihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 5. Beberapa Contoh Protes Penduduk Nagari Atas Dominasi Ninik Mamak dalam
Pembuatan Keputusan Penyerahan Tanah Ulayat.
NO

Nagari

Kejadian

14

Wawancara dengan BHR dan AL, masing dua orang yang terlibat aktif dalam proses penyerahan lahan di
di Nagari Kapar dan Sungai Aur, Juli-Agustus 2008.
15
Wawancara dengan tiga orang pengurusnya, Agustus 2008.
16
Lih. Afrizal 2007.

Kinali

Seorang unsur pimpinan dalam kaum memanen kebun


sawit sebuah perusahaan karena tidak setuju dengan
keputusan ninik mamaknya menyerahkan tanah ulayat

Kapar

kaum ke perusahahan bersangkutan.


Pemimpin non adat memprotes ninik mamak mereka
yang secara sepihak membuat keputusan penyerahan
tanah ulayat nagari dan melarang pengukuran atas tanah

yang diserahkan.
Sumber: 1. Wawancara mendalam peneliti dengan informan di Nagari Kinali dan
Laporan Camat Kecamatan Kinali.
2. Colchester, dkk. 2006, hal. 142-3.
Disamping itu, pembayaran yang diberikan oleh perusahaan atas diserahkannya
tanah ulayat oleh pemilik juga menimbulkan sengketa antara ninik mamak dengan
anggota kaumnya. Hal ini terjadi karena pembayaran atas hak ulayat yang diserahkan
bagi investor perkebunan kelapa sawit yang disebut sebagai uang adat (dalam terminologi
lokal disebut adat diisi limbago dituang) tidak transparan, sehingga tidak diketahui
keberadaan dan jumlah pembayaran oleh multipihak dalam komunitas nagari dan
kekerabatan. Berbagai informan yang diwawancarai dengan nada sinis mengatakan uang
yang diberikan oleh perusahaan diambil oleh ninik mamak. Di Nagari Sungai Aur,
seorang informan, yang seorang ninik mamak dan ketika proses penyerahan tanah
dilakukan menduduki posisi sekretaris nagari, mengatakan 50% pembayaran diberikan
dalam bentuk dana pembangunan dan digunakan untuk membiayayi renovasi sebuah
masjid dan 50% yang lain hanya untuk ninik mamak. Informasi dari informan ini
sebenarnya juga mengatakan uang tidak dinikmati oleh anggota kaum. Akibat dari tidak
mendapatkan informasi tentang adanya uang adat dan tidak menerima pembagian uang
adat, ada anggota kaum dan penduduk nagari yang merasa tidak menyerahkan tanah
ulayat kepada pemerintah dan perusahaan dan dengan demikian tidak setuju dengan
penggunaan tanah ulayat oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Persoalan Kedudukan Ninik Mamak dalam Proses penyerahan Tanah UlayatApa
Hubungan Ninik Mamak dengan Tanah Ulayat?

10

Dari hasil analisis surat-surat penyerahan tanah ulayat terungkap bahwa baik
pemerintah kabupaten, perusahaan maupun ninik mamak yang menyerahkan tanah ulayat
maupun pejabat-pejabat di nagari dan kecamatan yang ikut menandatangani penyerahan
tanah ulayat menempatkan pimpinan adat atau ninik mamak sebagai pemilik dan
penguasa hak ulayat. Hal ini terlihat dari kata-kata pemilik dan penguasa muncul
bersamaan (contoh: SURAT PERNYATAAN BERSAMA KESEPAKATAN NINIK
MAMAK PEMANGKU ADAT/PEMILIK DAN PENGUASA TANAH ULAYAT ...).17.
Kemudian kata-kata tersebut muncul setelah kata-kata ninik mamak dan mengiringi katakata yang menyerahkan. Hal ini berarti dalam dokumen-dokumen penyerahan tanah
ulayat ninik mamak yang menyerahkan tanah ulayat adalah penguasa sekaligus sebagai
pemilik tanah ulayat yang diserahkan.
Persoalan Ninik Mamak Sebagai Wakil
Terdapat kontradiksi mengenai peranan ninik mamak dalam surat-surat
penyerahan tanah ulayat. Disatu sisi, pimpinan adat mendefinsikan diri dan menempatkan
diri mereka bukan sebagai perwakilan komunitas nagari dan kaum dalam bernegosiasi
mengenai penggunaan tanah ulayat, tetapi sebagai pemilik dan pembuat keputusan itu
sendiri. Pemerintah dan perusahahan juga berpandangan seperti itu. Hal ini tertuang
dalam surat penyerahan tanah ulayat kepada pemerintah kabupaten, seperti yang
tercantum dalam dua buah surat penyerahan tanah ulayat yang kutipannya berikut ini.
Akibat dari pendefinisian peranan tersebutlah ninik mamak menempatkan diri mereka
dan juga ditempatkan oleh pemerintah kabupaten dan perusahaan perkebunan kelapa
Pendefinisian ninik mamak sebagai representasi nagari dan kaum dan pemilik serta
pembuat

keputusan

atas

tanah

ulayat

telah

menyebabakan

urusan

proses

penyerahan/pengambilalihan tanah ulayat didominasi oleh ninik mamak.


Disisi yang lain, ninik mamak dinyatakan sebagai wakil kaum. Kutipan isi surat
penyerahan tanah ulayat nagari di Nagari Kapar menunjukkan hal ini. Dalam surat
tersebut tertulis (n)inik mamak/panghulu adat Kenagarian Kapar..., dalam hal ini

17

Lih. Surat penyerahan tanah ulayat oleh beberapa orang ninik mamak Nagari Sungai Aur untuk PT.
Pasaman Marama Sejahtera tanggal 11 Desember 1999.

11

bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kaum pemegang Tanah Ulayat menurut
Adat Salingka Nagari Kapar, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA.18
Informan dari kalangan ninik mamak mengatakan bahwa ninik mamak adalah
wakil-wakil dari angota kaum dan penduduk nagari. Konsekuensi dari hal ini kata mereka
adalah berbagai elemen nagari dan kaum tidak perlu ikut dalam perundingan dengan
pemirintah dan perusahaan. Kata mereka, ninik mamak saja cukup untuk hadir dalam
berbagai forum negosiasi.
Apakah dengan demikian, ninik mamak sebagai representasi kaum dan komuniats
nagari boleh membuat keputusan tanpa melibakan berbagai pihak berkepentingan dalam
kaum dan nagari?. Jawabanaya tidak. Hal ini terlihat dari definisi ninik mamak di atas
ditentang oleh kompomen nagari dan kaum yang bukan ninik mamak. Umpamanya, salah
seorang anggota perempuan Tunas Mekar mengkritik ninik mamak dalam nagarinya dan
menuduh mereka tidak memainkan peranannya menurut aturan adat. Malah dia
mengatakan ninik mamak ndak ado nan bana (ninik mamak tidak ada yang benar).
Hasil penelitian di ketiga nagari yang diteliti memperlihatkan bahwa perwakilan
komunitas nagari dalam perundingan adalah pimpinan adat yang terdiri dari Pucuak Adat
dan pemimpin kelompok kekerabatan. Hak-hak adat diakui oleh pemerintah kabupaten
dan investor dengan pemerintah kabupaten telah menggunakan perwakilan lokal yang
sesuai dengan adat.

Akan tetapi, pembuatan keputusan penyerahan tanah ulayat

didominasi oleh pimpinan adat dengan hampir tidak ada keterlibatan elemen komunitas
nagari dan kekerabatan lain.
Isi Surat Penyerahan Tanah Ulayat
a. Kesepakatan penyerahan tanah hak ulayat telah dibuat dalam sebuah surat
penyerahan tanah yang ditanda tangani oleh pimpinan adat dan bupati dan
atau pimpinan perusahaan perkebunan. Dalam surat tersebut dinyatakan status
tanah sebagai ulayat nagari, ulayat kaum atau tanah milik pribadi. Di dalam
surat tersebut juga dinyatakan penggunaan tanah dan luas tanah serta batasbatas tanah yang diserahkan. Akan tetapi ditemukan beberapa masalah:

18

Lih. Surat penyerahan tanah ulayat oleh ninik mamak Nagari Kapar kepada Bupati Pasaman tanggal 5
Februari 1997.

12

1. Format surat penyerahan hak ulayat tidak standar, sehingga isinya berbedabeda untuk plot lahan yang berbeda. Ada kalanya janji kebun plasma
dituangkan dalam surat penyerahan tanah, tetapi adakalanya tidak.
2. Status penyerahan tanah tidak jelas. Tidak tertulis secara eksplisit dalam
surat penyerahan tanah apakah lahan dipinjam oleh pemerintah atau oleh
perusahaan ataukah telah dibeli oleh perusahaan melalui perantaraan
pemerintah.
3. Apabila dipinjam, tidak tertulis secara eksplist lama hak pakai oleh
perusahaan.
4. Apabila dipinjam, tidak tertulis secara eksplist batas-batas kekuasaan
perusaaan dan pemerintah atas tanah.
Hukum Adat
Menurut hukum adat yang berlaku di ketiga nagari yang diteliti, semua tanah
dalam wilayah nagari adalah milik komunitas nagari. Selain dari tanah yang telah dijual,
tanah tersebut terbagai ke dalam ulayat nagari dan ulayat kelompok kekerabatan. Seluruh
pimpinan adat (ninik mamak) adalah pemegang otoritas atas tanah ulayat nagari.
Terdapat variasi mengenai otoritas pucuk adat (pimpinan ninik mamak). Di beberapa
nagari, pucuk adat termasuk pemegang otoritas atas tanah ulayat, sedangkan di nagari
yang lain pucuk adat bukan pemegang otoritas atas tanah hak ulayat nagari.
Keputusan atas tanah ulayat di buat dalam rapat, bukan oleh individual. Keputusan
atas tanah ulayat nagari dibuat dalam rapat nagari, sedangkan keputusan atas tanah ulayat
kaum di buat dalam rapat kaum. Rapat nagari harus dihadiri oleh berbagai elemen dalam
nagari, seperti ninik mamak, pucuak adat, pimpinan informal selain ninik mamak dan
perempuan. Rapat kaum harus dihadiri oleh berbagai elemen dalam kaum. Artinya, ada
representatif berbegai elemen yang harus hadir baik dalam rapat nagari maupun rapat
kaum.

Secara terperinci hukum adat di tiga nagari yang diteliti akan disajikan berikut

ini.
Hukum Adat Nagari Kapar

13

Sruktur sosial dan tenurial Nagari Kapar sebagai berikut. Terdapat 5 suku d nagari
ini, yaitu: Malayu, Jambak, Tanjung, Caniagi dan Sikumbang. Suku tidak mempunyai
pemimpin. Suku tidak mempunyai pemimpin, tetapi komunitas nagari secara keseluruhan
dipimpin oleh Pucuak Adat. Di bawah Pucuak Adat terdapat Basa. Terdaat 4 Basa asal
dan basa yang 4 ini disebut 4 di dalam. Basa yang 4 tersebut adalah: Rajo Mahmud,
Janda Lela, Rangkayo Mudo dan Tanameh. Mereka ini secara resmi tidak bergelar
datuak. Kemudian ada ada empat kelompok kaum disebut 4 di luar. Empat di luar ini
merupakan pecahan dari basa. 4 di luar ini tidak termasuk pemegang otoritas atas hak
ulayat nagari, tetapi mereka diberikan hak ulayat oleh basa dan hak ulayat itulah yang
menjadi otoritas mereka.
Pucuak adat dan Basa adalah pemegang otoritas atas hak ulayat dengan otoritas
tertinggi berada di tangan pucuak adat. Dengan demikian, ulayat adat atau ulayat nagari
berada di bawah otoritas pucuak adat dan basa nan barampek. Namun dalam
perkembanganya, ninik mamak empat di luar dilibatkan dalam pembuatan keputusan
mengenai hak ulayat nagari. Sebagai contoh, dalam penyerahan hak ulayat nagari pada
tahun 1954 untuk transmigran, ninik mamak 4 di luar telah ikut menandatangani surat
penyerahan lahan.
Menurut otoritas, tanah terbagi dua yaitu, ulayat nagari/ulayat adat dan ulayat
kaum. Ulayat nagari adalah tanah milik nagari secara keseluruhan, sedangkan hak ulayat
kaum adalah tanah milik kaum (basa dan pecahannya 4 di luar). Ulayat nagari adalah
tanah yang belum digarap oleh penduduk dan terdiri dari dari rawa, sedangkan hak ulayat
kaum adalah tanah yang diolah oleh anggota kaum. Hak ulayat nagari dapat berubah
menjadi hak ulayat kaum apabila telah diolah oleh seseorang dan mendapat zin dari basa
dan pucuak adat. Otoritas terhadap hak ulayat nagari berada ditangan pucuak adat dan
basa nan barampek, sedangkan otoritas hak ulayat kaum berada di tangan individiual basa
dan 4 di luar. 4 di luar diberikan wilayat oleh basa dan mempunyai hak kemepimilikan
atas tanah yang diwilayati dan menjadi hak ulayatnya.
Gambar 1. Stuktur Otoritas Terhadap Hak Ulayat di Nagari Kapar
Pucuak Adat
Ulayat nagari/adat
Basa

14

Basa

Ulayat Kaum

Ninik Mamak 4 di
lua

Hukum Adat Nagari Sungai Aur


Terdapat tiga suku bangsa di Nagari Sugai Airu, yaitu: Minangkabau, Mandailing
dan Jawa. Suku Minangkabau terdiri dari 2 suku: Malayu dan Caniago, sedangkan
Mandailing terdiri dari: Nasution, Harahap, Seregar dan Hasibuan. Orang Mandailing
datang ke Sungai Aur kira 200 tahun yang lewat melewati bukit yang membatasi Sungai
Aur dengan Tapanuli Selatan. Orang Mandailing baangku mamak ke dua suku yang ada.
Akan tetapi keseharian suku Minangkabau tidak populer. Suku Minangkabau hanya
ketika upacara adat. Suku. Orang mandailing menguasai lahan di Sungai Aur dengan
membeli lahan dengan harga murah (disebut baliminto).
Di nagari ini, Pucuak adat adalah pemegang otoritas tertinggi dalam bidang adat
istiadat, tetapi bukan dalam hak ulayat. Di bawah pucuak adat terdapat 5 Bosa, yaitu:
a. Bosa Sontag bergelar Rajo Serdang
b. Bosa Air Haji bergelar Mangarik Bilang
c. Bosa Sungai Aur Bergelar Manjinjing Bulang
d. Bosa Simpang Godang Berglar Dt Bandaro Basa
e. Bosa Sigiang Bergelar Sutan Lawik Api
.
Di bawah Bosa terdapat beberapa kampuang atau Boasa terdiri dari beberapa Kampuang.
Contoh, Bosa Sontag terdiri dari: Kampuang Sitomang, Tamu Narang, Pinggiran Mudiak
dan Muarao Tapaisan. Kampung ini dipimpin oleh seorang panghulu adat disebut
panghulu Andiko. Panghulu kampuang diberikan wilayat oleh Bosa disebut Salok
Pabanjaran dna merupakan hak pakai. Hak milik berada ditangan Bosa.
Pemegang otoritas tertinggi atas hak ulayat adalah Bosa yang. Panghulu Andiko
punya Otoritas atas tanah yang diwilayati, tetapi untuk melepaskan seperti menjual perlu

15

izin dari Bosa. Pucuak adat tidak punya otoritas atas tanah. Dalam surat-menyurat
pelapasan tanah dia hanya pihak yang mengetahui.
Menurut otoritas, tanah terbagi dua yaitu, ulayat Bosa dan ulayat kampuang.
Ulayat Bosa adalah tanah yang tidak diserahkan kepada kampuang. Tanah yang belum
tergarap seperti hutan dan rawa-rawa termasuk ulayat Bosa.
Gambar 2. Stuktur Otoritas Terhadap Hak Ulayat di Nagari Sungai Aur

Bosa

Ulayat Bosa

Panghulu
Kampuang

Ulayat Kaum

Di Provinsi Riau
Berbeda dengan kejadian di Provinsi Sumatera Barat, dalam banyak kasus cara
perusahaan meguasai lahan di Provinsi Riau tidak melibatkan komunitas lokal. Hal ini
berarti perusahaan tidak berusaha untuk mendapatkan izin dari penduduk desa untuk
mengolah lahan yang termasuk ke dalam wilayah desa mereka. Hal ini terlihat dari
kenyataan banyak konflik pertanahan antara komunitas lokal dengan perusahaan, pihak
komunitas lokal sering memandang bahwa perusahaan telah melakukan penyerobotan
tanah masyarakat. Keadaan yang paling umum dijumpai adalah komunitas lokal tidak
mengetahui secara pasti bagaimana perusahaan akhirnya telah memegang hak guna
pengusahaan lahan secara resmi dari pemerintah. Oleh sebab itu, sangat jarang ditemukan
adanya surat-surat penyerahan tanah dari penduduk tempatan kepada perusahaan.
Karenanya, upaya untuk menelusuri riwayat penyerahan lahan oleh masyarakat kepada
perusahaan justru sering mengalami jalan buntu di dalam masyarakat itu sendiri.
Misalnya, semua unsur dalam masyarakat baik dari kalangan warga umum, pemimpin
informal komunitas lokal dan pemimpin formal desa tidak mengetahui pasti siapa di
antara warga yang telah menjadi pihak yang menandatangani keputusan persetujuan itu,

16

jika memang pernah ada. Dokumen yang mereka miliki pun sering kali amat terbatas atau
bahkan tidak tersedia.19
Absennya komunitas lokal dalam banyak kasus pembuatan kesepakatan untuk
penyerahan lahan kepada perusahaan di Provinsi Riau antara lain juga terlihat dari tidak
adanya bukti-bukti objektif menyangkut kesepakatan persetujuan komunitas lokal pada
komunitas lokal itu sendiri. Sulit menemukan bukti adanya dokumen-dokumen tertulis
pada komunitas lokal sendiri --- baik pada warga umum, pemimpin informal maupun
pemimpin formal desa. Hal ini bukanlah disebabkan karena komunitas lokal
merahasiakan atau menyembunyikannya. Ketiadaan dokumen kesepakatan penyerahan
lahan kepada perusahaan juga tidak berarti bahwa dokumen yang semestinya juga ada
pada masyarakat telah hilang atau tidak diketahui siapa yang memegangnya. Faktanya
ialah komunitas adat --- baik warga biasa, pemimpin formal maupun pemimpin desa --memang tidak pernah ditinggali dokumen-dokumen itu.
Komunitas lokal umumnya juga tidak merasa pernah menyetujui atau
menyepakati penyerahan tanah masyarakat kepada perusahaan. Kalaupun ada komunitas
adat yang merasa pernah dihubungi pihak perusahaan dan petugas pemerintah, bahkan
mungkin ada pemimpin formal dan informal di desa yang menanda tangani berkas-berkas
tertulis tertentu, mereka tidak diberi pertinggalnya. Tidak jarang kalaupun mereka ikut
menandatangani tetapi sesungguhnya mereka tidak terlalu tahu ujung pangkalnya dan
tidak berdaya menolak apa yang dimaui pihak-pihak yang mendatanginya. Komunitas
lokal kemudian juga tidak tahu jika dokumen yang pernah mereka tandatangani lalu
mungkin saja diubah isinya oleh pihak lain, sampai kemudian mereka mengetahui bahwa
ada eskavator dan alat-alat berat milik perusahaan yang masuk untuk membuka hutan dan
perkebunan di wilayah mereka.
Pada umumnya perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar mendapatkan
hak untuk menguasai lahan dari pemerintah. 20 Lahan yang digunakan sebagian besar

19

Wawancara dengan tokoh masyarakat di Desa Kunto, Kecamatan Kampar Kiri dan personil LSM Walhi
Riau dan Scale Up serta FKPMR, Agustus 2008, serta juga dengan berbagai informan di 22 desa sekitar
Taman Nasional Tesso Nillo tahun 2006 (ketika melakukan penelitian terdahulu).
20
Wawancara dengan staf Walhi Raiu xdan Scale Up, Pekan Baru, Agustus 2008.

17

bekas HPH sebuah perusahaan, kemudian dialihfungsikan oleh pemerintah untuk


pengembangan perkebunan kelapa sawit.21
Sementara itu pihak perusahaan memandang bahwa cara perusahaan menguasai
lahan dinilai sudah benar karena diakui secara legal formal dan oleh karenanya telah
berkekuatan hukum. Alasannya adalah bahwa perusahaan telah memiliki izin yang
lengkap dari pemerintahan, mulai dari pemerintah nasional (pemerintah pusat),
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kutipan berita sebuah media ini
dapat menunjukkan hal tersebut.
Perundingan antara warga Talang Sungai Limau Kecamatan Rakit Kulim dengan PT. Inecda,
Selasa (3/4), yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu untuk mencari solusi sengketa
lahan yang terjadi, berakhir tanpa ada solusi yang disepakati. Informasi yang berhasil dihimpun
Riau Pos dari Kabag Hukum Setdakab Indragiri Hulu Mawardi SH MH, Rabu (4/4), di ruang
kerjanya mengatakan..., sesuai dengan informasi yang disampaikan masyarakat dalam pertemuan
itu, lahan warga telah diambil oleh perusahaan, sementara kompensasinya untuk masyarakat tidak
ada. Sementara dari perusahaan sendiri, juga mengatakan bahwa lahan tersebut sah milik mereka
seluas 900 hektare lebih, sesuai dengan HGU yang mereka miliki (Riau Pos, 5 April 2007).

Apabila terjadi penyerahan lahan oleh komunitas tempatan kepada perusahaan,


penyerahan tersebut menuai masalah karena tidak dilakukan menurut prosedur hukum
adat. Di Desa Kuntu (di Kabupaten Kampar) , sebagai contoh, pimpinan adat berkonflik
dengan kepala desa karena kepala desa menyerahkan lahan kepada PT. KPR tanpa
musyawarah dengan pimpinan

adat. Pada pihak lain, perusahaan menerima saja

penyerahan tanah ulayat yang dilakukan oleh kepala desa.22

Hukum Adat23
Dalam sistem kepemilikan lahan, umumnya komunitas lokal di Provinsi Riau
mengenal adanya lahan milik individu/keluarga dan lahan ulayat desa. Setiap
individu/keluarga dari orang komunitas lokal di perdesaan dapat dikatakan umumnya
memiliki lahan, baik sebagai lahan perumahan maupun kebun atau ladang yang
digunakan sebagai lahan pertanian. Individu/keluarga dapat mewariskan atau menerima
21

Peneliti mendapatkan surat-surat izin dari pemerintah bagi perusahaan perkebunan untuk membuka
kebun kelapa sawit.
22
Surat pengaduan pimpinan adapt Desa Kunto Kepada Bupati Kabuparen Kampar tgl 17 Juli 1998.
23
Seluruh data pada bagian ini diproleh dari wawancara mendalam degan berbagai informan di 22 desa
Sekitar Taman Nasional Tesson Nillo yang dlakukan pada penelitian terdahulu tahun 2006, dengan
beberapa pimpinan adapt di Desa Kuntu, Kecamatan Kampar Kiri, Agustus 2008 dan dengan personil
Walhi Riau dan Scale Up, Pekan Baru, Agustus 2008.

18

warisan tanah dan lahan dengan sistem pewarisan yang mengacu pada sistem kekerabatan
dan pola penarikan garis keturunan. Pada masyarakat Melayu Petalangan maupun
Melayu Pesisir berlaku sistem patrilineal. Sedangkan di beberapa daerah seperti di
Kabupaten Kampar, Kab. Roakan Hulu dan Kab. Kuantan Singingi pengaruh sebagian
mengacu pada sistem matrilineal.
Individu/keluarga juga bisa mendapatkan lahan dengan cara mengikuti
mekanisme tradisional di luar sistem pewarisan menurut kekerabatan. Di beberapa
perdesaan yang masih jarang penduduknya hingga kini masih dijumpai warga masyarakat
yang menggunakan mekanisme adat diisi limbago dituang dan berdasarkan hal itu
meminta izin kepada Kepala Desa atau Lurah untuk mendapatkan lahan. Setelah
mendapat izin dari Kepala Desa atau Lurah untuk mengolah lahan tersebut, warga
dimaksud bisa juga melanjutkan pengurusan surat kepemilikan lahan ke pemerintah
kecamatan.
Lahan yang belum diolah atau belum ditanami oleh masyarakat biasanya
dipandang sebagai ulayat desa. Lahan yang semula telah diolah oleh individu maupun
perusahaan sekalipun, ketika tidak dimanfaatkan lagi dalam kurun waktu yang lama,
maka hak atas lahan tersebut akan kembali menjadi ulayat desa dan otoritasnya ada pada
pemerintahan desa/kelurahan.
Tanah dan lahan yang sudah dikelola oleh individu/keluarga dapat diwariskan
kepada anak-anak berdasarkan kesepakatan di dalam keluarga bersangkutan. Dengan
adanya sistem kepemilikan individual seperti ini maka pengalihan hak atas tanah kepada
pihak lain relatif lebih longgar. Pola ini tentunya berbeda jika dibandingkan pada
masyarakat yang menganut sistem kepemilikan ulayat komunal (misalnya di
Minangkabau) dimana hak penguasaan dan keputusan yang menyangkut tanah ulayat
lebih didominasi oleh pemimpin ulayat dan keluarga luasnya.

Pengakuan Pemerintah Lokal Atas Tanah Ulayat

19

Baik di Provinsi Sumatera Barat maupun Riau ditemukan ada pengakuan


pemerintah terhadap hak ulayat komunitas lokal terhadap tanah dan hutan. Di Sumatera
Barat pengakuan tersebut telah semenjak 1983 dengan dekeluarkannya Perda No.
13/1983, Perda No.9/2000 (kemudian direvisi dengan Perda No. 7/2007 dan Perda No.
16/2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat.

Berbeda dengan pemerintah Sumatera

Barat, pada tingkat Provinsi Riau belum ada pengakuan resmi atas tanah ulayat, akan
tetapi keberadaan tanah ulayat di Riau disadari oleh pejabat-pejabat setempat. Mereka ini
menyerukan kepada pemerintah provinsi untuk membuat Peraaturan Daerah pada tingkat
provinsi untuk mengatur tanah ulayat. Hal ini dapat terlihat dari kutipan berita media
berikut (Kompas, April 2007). Disamping itu, berbeda dengan pemerintah kabupaten
yang lain dan pemerintah provinsi, pemerintah Kabupaten Kampar mengakui keberadaan
tanah ulayat dalam wilayah administratifnya. Pada pertengahan Juli tahun 1999
pemerintah Kabupaten kampar mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No.
12 tentang Hak Tanah Ulayat. 24 Menurut Perda tersebut tanah ulayat adalah milik
bersama komunitas adat, yang didefinisikan sebagai komunitas yang memiliki tanah
secara turun temurun dan tinggal di nagari. Tanah ulayat juga meliputi hutan. Menurut
Perda, tanah ulayat boleh dipergunakan untuk kepentingan pihak ketiga. Pembuatan
keputusannya harus melalui musyawarah. Tidak hanya musyawarah dikalangan pimpinan
adat, tetapi juga degan anggota kekeraabatan dan warga komunitas adat. Kesepakatan
tersebut dibuat didepan pejabat yang berwenang.
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Dari penyajian hasil penelitian di Provinsi Sumatera Barat dan Riu dalam bab IV
terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal pokok.
1. Komunitas alsi (yang telah tinggal di suatu wilayah secara turun temurun dalam
jangaka yang lama) perdesaan di kedua provinsi tersebut mempunyai sistem
tenural yang disebut sebagai hak ulayat. Mereka berpendirian bahwa wilayah
dalam desa mereka adalah hak ulayat mereka yang kememilikannya berada
ditangan komunitas desa secara bersama.
24

Kopi Perda ini ditangan peneliti.

20

2. Walaupun terdapat perbedaan pengakuan pemerintah setempat (resmi) atas hak


ulayat komunitas perdesaan, pengakuan pemerintah dan pejabat pemerintah
terhadap keberadaan tanah ulayat di kedua provinsi ditemukan.
3. Di kedua provinsi terjadi banyak konflik antara penduduk desa dengan berbagai
perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala besar semenjak pertengahan 1998.
Konflik tersebut berkaitan erat dengan proses penguasaan atau pengambilan lahan
oleh perusahaan. Walaupun ditemukan ada perbedaan di kedua provinsi perihal
pengurusan izin dari penduduk setempat yang menyatakan lahan sebagai hak
ulayat mereka, ditemukan kejadian yang sama di kedua provinsi mengenai
pelibatan penduduk desa dalam proses pengambilahn lahan, yaitu lahan diambil
dengan tidak mengikuti prosedur hukum adat yang sesungguhnya dan tidak
berbasis persetujuan multipihak pemagang hak ulayat.

Akibatnya, tuduhan

perusahaan melakukan penyerobotan tanah hak ulayat banyak terjadi di kedua


provinsi dengan jumlah kejadian yang jauh lebih banyak di Provinsi Riau.
4. Di kedua provinsi, baik perusahaan maupun pemerintah setempat merasa tidak
melakukan kesalahan dalam prosedur

pengambilalihan lahan. Padahal, apabila

dikaitkan dengan Peraturan Daerah tentang tanah ulayat yang dikeluarkan oleh
pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan pemerintah Kabupaten Kampar serta
aspirasi berbagai pihak dalam komunitas perdesaan prosedur yang dijalankah oleh
pemerintah kabupaten maupun oleh perusahaan mengenyampingkan prinsipprinsip sistem perwakilan komunitas adat dan pembuatan keputusan atas tanah
hak ulayat. Hal ini sesungguhnya disebabkan oleh ketiadaan panduan mekanisme
pengambialihan tanah hak ulkayat yang sesuai dengan hukum adat, sistem
perwamilan komuniats adat dan proses pembuatan keputusan atas tanah ulayat
berbasis hukum adat yang dapat dipedomani baik oleh pemerintah kabupaten
maupun oleh perusahaan perkebunan.
5. Ditemukan pula di kedua provinsi surat-surat penyerahan tanah hak ulayat
bermasalah. Selain dari isinya tidak standar, kepentingan-kepentingan pemilik hak
ulayat tidak tertera dalam surat perjanjian tersebut, sehingga pemilik hak ulayat
merasa dirugikan.

21

Saran
a. Terungkap dari penelitian ini bahwa salah satu penyebab utama konflik perkebunan
adalah proses pengambilalihan tanah ulayat tidak sesuai dengan hukum adat dan
aspirasi komunitas adat dan Perda Tanah Ulayat. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan
panduan yang dapat dipakai oleh pemerintah dan perusahaan. Pemerintah Provinsi
Sumatera Barat pada tahun 2008 telah mengeluarkan Perda Pemanfataan Tanah
Ulayat dan pemerintah Kabupaten Kampar telah lebih dahulu mengeluarkan Perda
Tanah Ulayat pada tahun 1999. Pemerintah Provinsi Riau didesak oleh berbagai pihak
untuk juga mengeluarkan Perda Tanah Ulayat. Walaupun Perda tanah ulayat memuat
peraturan tentang bagaimana tanah ulayat seharusnya diserahkan kepada investor
apabila akan dilakukan penyerahan, peraturan tersebut belum dapat diacu sebagai
panduan pelaksaaan proses pengambilalihan tanah hak ulayat karena terdiri dari
prinsip-prinsip berupa pernyataan-pernyatan umum.
Oleh sebab itu, dibutuhkan buku panduan pengambilalihan tanah hak
ulayat, berisikan mekanisme pengambilalihan tanah ulayat. Panduan tersebut haruslah
sesuai dengan hukum adat, aspirasi komunitas adat dan hukum negara. Oleh sebab
itu, isi buku panduan mestilah dirumuskan secara partisipatif dengan melibatkan
komunitas adat, perusahaan dan unsur pemerintahan terkait serta LSM yang bergerak
dalam bidang konflik agaria. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
menyusun draft buku panduan tersebut.
b. Terungkap pula dari penelitian ini bahwa salah satu komponen penting dari
penyerahan tanah hak ulayat komunitas lokal adalah surat penyerahan tanah ulayat
dari pemilik kepada pemerintah setempat atau kepada perusahaan perkebunan. Isi
surat tersebut tidak standar dan memuat lebih banyak perlindungan terhadap
kepentingan pemerintah dan perusahaan dan kurang memuat perlindungan terhadap
kepentingan pemilik hak ulayat. Akibatnya, muncul persoalan yang tidak disepakati
dalam surat penyerahan tanah ulayat.
Oleh sebab itu, disarankan untuk menyusun model surat penyerahan
tanah hak ulayat komunitas tempatan yang membuat perlindungan yang seimbang
atas kepentingan pemilik hak ulayat, pemerintah dan perusahaan. Perumusan model
surat penyerahan tanah hak ulayat tersebut haruslah sesuai dengan hukum adat,

22

aspirasi komunitas adat, hukum negara dan kepentingan invesstor. Oleh sebab itu,
perumusannya mestilah secara partisipatif dengan melibatkan komunitas adat,
perusahaan dan unsur pemerintahan terkait serta LSM yang bergerak dalam bidang
konflik agaria. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun
draft surat penyerahan tanah hak ulayat tersebut.
Daftar Pustaka
Afrizal, 2007a, The Nagari Community, Business and the State: The Origin and the
Process of Contemporary Agrarian Protests In West Sumatera, Forest People
Programmed an Sawit Watch, Bogor.
______, 2007b, Large-scale Palm Oil Plantation and Its Implication to Local
Communities: An Experience of West Sumatera, Makalah dipresentasikan dalam
Seminar Internasional, Kuala Lumpur, November 2007.
_______,2006, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat
Indonesia Kontemporer, Universitas Andalas Press, Padang.
_______, 2005a, the Nagari Community, Business and the State: The Origin and the
Process of Contemporary Agrarian Protests In West Sumatera, Indonesia, Ph.D
Thesis at the Asia Centre of Faculty of Social Sciences Flinders University.
________,2005b, Resolusi Konflik Tanah Ulayat, Sigai Jurnal Sosiologi, Vol. VI. No. 9.
________,2005c, Anggota Kaum Caniago Melawan BPN, Sigai Jurnal Sosiologi, Vol.
VI. No. 10.
________,2002, Hukum Agraria, Konflik dan Resolusi Konflik Tanah Ulayat di
Indonesia: Acuan Khusus terhadap Sumatera Barat, Working paper Sosiologi
Andalas, Vol. VI, No. 6.
Afrizal and Indrizal, E., 2002, Tanah Kami Saham Kami: Relasi Aktivitas Akumulasi
Kapital dan Protes Komunitas Lokal di Sekitar PT Semen Padang, in Politik
Penguasaan BUMN Di Daerah: Kasus Privatisasi PT. Semen Padang, eds, Yoyok
Widoyoko and Edi Indrizal, CIRUS dan LASP, Depok.
Adhuri, S., D., 2005, Perang-Perang atas Laut, Menghitung Tantangan pada Manajemen
Sumberdaya Laut di Era Otonomi: Pelajaran dari Kepulauan Kei, Maluku Tenggara,
Antropologi Indonesia, vol, 29, No. 3.
Bachriadi, D., and Lucas, A., 2001, Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan
Cimacan, KPG, Jakarta.
______________________, 2002, Hutan Milik Siapa? Upaya-upaya Mewujudkan
Forestry Land Reform Di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dalam Anu Lounela
dan R. Yanto Zakaria, Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berspektif Kampus dan
Kampung, Yogyakarta, INSIST PRESS.
Bachriadi, D., 2001, Situasi Perkebunan di Indonesia Kontemporer, in Prinsip-Prinsip
Reforma Agraria: Jalan Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat, eds, Tim Lapera,
Lepera Pustaka Utama, Yogyakarta.
__________, 2002, Warisan Kolonial Yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan
Pendudukan Tanah Di Tapos dan Badega, Jawa Barat, in Berebut Tanah: Beberapa
23

Kajian Berspektif Kampus dan Kampung, eds, Anu Lounela and R. Yanto Zakaria,
Insist Press, Yogyakarta.
Brockett, D., 1990, Land, Power, and Poverty: Agrarian Transformation and Political
Conflict in Central America, Unwin Hyman, London.
Colchester, M., dkk., 2006, Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in
Indonesia- Implications for Local Communities and Indegenous Peoples, Forest
People Programme, Perkumpulan Sawit Watch, HuMA and the World Agroforestry
Centre, Bogor.
Colchester, M., dan Jiwan, N., 2006, Ghosts On Our Own Land: Indonesian Oil Palm
Smollholders and the Rountbale on Sustainable Palm Oil, Forest People
Programme&Sawit Watch, Bogor.
Collier, G., A., dan Quaratiello, E., L., 1994, Basta!: Land and the Zapastita Rebellion in
Chiapas, A Food First Bok, Oakland.
Cristodoulou, D., (1990), The Unpromised Land: Agrarian Reform and Conflict
Worldwide, Zed Books, London.
Dt. Perpatih Nan Tuo, N., 1999, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau,
Yayasan Sako Batuah LKAAM Sumatera Barat, Padang.
Elson, E., R., 1994, Village Java Under the Cultivation System 1830-1870, Allen and
Unwin, Sydney.
Hafid, J., 2001, Perlawanan Petani: Kasus Tanah Jenggawah, Pustaka Latin, Bogor.
Harsono, B., 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Vol. 1, Hukum Tanah Nasional, Djambatan,
Jakarta.
Indrizal, E., Afrizal, Erwin, Aisman, 2006, Study Pembuatan Rekomendasi Teknis
Penyelesaian Konflik Taman Nasional Tesso Nilo, Kerjasama dengan WWF,
Laporan penelitian yang tidka diterbitkan.
Lucas, A.,1997a, Land Disputes, the Bureaucracy, and Local Resistance in Indonesia, in
Imaging Indonesia: Cultural Politics and Political Culture, eds, J. Schiller and M.
Schiller, the Centre For International Studies, Ohio.
__________1997b, Perlawanan dan Resistensi: Ciri Khas Sengketa Tanah di Indonesia,
in Tanah dan Pembangunan, ed. Noer Fauzi, Sinar Harapan, Jakarta.
Lucas, A., and Warren, C., 2003, The State, the People and Their Mediators: the
Struggles Over Agrarian Reform in Post-New Order Indonesia, Indonesia, No. 76, pp.
87-126.
Nuh, J., M. and Collins, E., 2001, Land Conflict and Grassroots Democracy in South
Sumatera: The Dynamics of Violence in South Sumatra, Antropologi Indonesi,
Tahun XXXV, no. 64, pp. 41-55.
Ngadisa, 2003, Konflik, Pembangunan Dan Gerakkan Sosial Politik di Papua, Pustaka
Raja, Yogyakarta.
Purwanto, A., S., 2005, Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat dan
Pembangunan Regional, Antropologi Indonesia, vol. 29, No. 3.

24

River Watch East and Southeast Asia , 2003.


Sakai, M., 2002, Solusi Sengketa Tanah di Era Reformasi Politik dan Disentralisasi
Indonesia, Antropologi Indonesia, vol. XXVI, No. 68.
Tauchid, M., 1952, Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran
Rakjat Indonesia, bagian petama, Penerbit Tjakrawala, Jakarta.
Visser, L., 2001, Remaining Poor on Natural Riches: The Politics of Environment in
West Papua, Antropologi Indonesia, vol.XXV, No. 64
Warren, C., Membangkitkan Hak Ulayat: Pemetaan Partisipatif, Kedaulatan Masyarakat
Adat, dan Peranan Mediatornya Pada Era Reformasi, dalam Berebut Tanah:
Beberapa Kajian Berspektif Kampus dan Kampung, eds, Anu Lounela and R. Yando
Zakaria, Insist Press, Yogyakarta.
Surat Kabar
1. Singgalang 29 November 1989.
2. Riau Pos, 19 April 1999.
3. Utusan, 1 Mei 1999.
4. Riau Pos, 27 Agustus 1999.
5. Riau Pos, 3 Juni 2000.
6. Pekanbaru Pos, 15 Oktober, 2000.
7. Riau Pos, 27 Juli 2001.
8. Riau Pos, 26 Februari 2001.
9. Riauterkini, 24 November 2004.
10. Riauterkini, 2 Desember 2004.
11. Kompas, 25 Januari 2007.
12. Riau Mandiri, Jumat 9 Februari
2007.
13. Kompas, 5 April 2007

14. Riauterkini, 25 Oktober 2004.


15. Riauterkini, 27 November 2004.
16. Kompas, 25 Januari 2007.
17. Riau Mandiri, Jum'at 9 Februari
2007.
18. Kompas, 5 April 2007.
19. Kompas, 5 April 2007.
20. Riau Pos, 5 April 2007.
21. Kompas, 13 April 2007.
22. Kompas, 2 Mei 2007.

25

26

Anda mungkin juga menyukai