Anda di halaman 1dari 13

ANTIOKSIDAN

ANTIOKSIDAN DAN SUMBERNYA


Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,
memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus,
antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi
antioksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid ( Kochhar dan Rossell, 1990)
Menurut Cuppert (1997) Disitir Widjaya (2003) antioksidan dinyatakan sebagai
senyawa secara nyata dapat memperlambat oksidasi, walaupun dengan
konsentrasi yang lebih rendah sekalipun dibandingkan dengan substrat yang dapat
dioksidasi.
Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk
mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan,
perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada
produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan ini.
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan
dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang
diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan hasil
ekstraksi bahan alami)
1. Antioksidan Sintetik
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk
makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar
diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen
(BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol.
Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara
sintetis untuk tujuan komersial (Buck, 1991)
BHA memiliki kemampuan antioksidan (carry through, kemampuan
antioksidan baik dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-tahap pengelolaan
maupun stabilitasnya pada produk akhir) yang baik pada lemak hewan dalam
sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada minyak tanaman.
BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual
dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk
penambahan ke materi pengemas (Buck, 1991 ; Coppen, 1983).
Menurut Sherwin (1990), antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa
BHA, akan memberi efek sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk
kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. Propil galat
mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik
cairnya 148
0
C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga
kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat
berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta
memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck, 1991).
TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak,
khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan antioksidan yang baik
pada penggorengan tetapi rendah pada pembakaran. Bila TBHQ
direkomendasikan dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik
pada pemanggangan akan memberikan kegunaan yang lebih luas . TBHQ dikenal
berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup pada
lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi
dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck,1991).
Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir
disetiap minyak tanaman, tetapi saat ini telah dapat diproduksi secara kimia.
Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam
lipida karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari tokoferol
belum diketahui, tetapi -tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Didalam
jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung ->->->-tokoferol,
tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik ->->->-tokoferol (Belitz
dan Grosch, 1987). Menurut Sherwin (1990), urutan tersebut kadang bervariasi
tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu.
Penggolongan penghambat seluler oksidasi lemak.
Tabel Inhibitor seluler oksidasi lemak

Inhibitor yang larut air

Inhibitor yang larut lemak

Superoksida disimutase

Tocopherols

Katalase

Ubiquinal

Peroksidase, contoh glutatione peroxidase

Carotenoids

Chelators of iron



Reducing agents and free radical scavengers
contoh askorbat



Hydroxy scavengers



Ferroxidases



Pospolipases, proteases



Sumber Hultin (1994)

2. Antioksidan Alami
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, (c)
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt,1992).
Menurut Pratt dan Hudson (1990), kebanyakan senyawa antioksidan yang
diisolasi dari sumber alami adalah berasal dari tumbuhan. Kingdom tumbuhan,
Angiosperm memiliki kira-kira 250.000 sampai 300.000 spesies dan dari jumlah
ini kurang lebih 400 spesies yang telah dikenal dapat menjadi bahan pangan
manusia. Isolasi antioksidan alami telah dilakukan dari tumbuhan yang dapat
dimakan, tetapi tidak selalu dari bagian yang dapat dimakan. Antioksidan alami
tersebar di beberapa bagian tanaman, seperti pada kayu, kulit kayu, akar, daun,
buah, bunga, biji, dan serbuk sari (Pratt,1992).
Menurut Pratt dan Hudson (1990) serta Shahidi dan Naczk (1950, senyawa
antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik
yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol,
dan asam-asam organic polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan
flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon,flavonol, isoflavon,
kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam
kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami
polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat beraksi sebagai (a) pereduksi, (b)
penangkap radikal bebas, (c) pengkelat logam, (d) peredam terbentuknya singlet
oksigen.
Menurut Markham (1988), kira-kira 2 % dari seluruh karbon yang
difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang
berkaitan erat dengannya, sehingga flavonoid merupakan salah satu golongan
fenol alam terbesar. Lebih lanjut disebutkan bahwa sebenarnya flavonoid terdapat
dalam semua tumbuhan hijau, sehingga pastilah ditemukan pula pada setiap telaah
ekstrak tumbuhan. Ditulis oleh Pratt dan Hudson (1990) kebanyakan dari
golongan flavonoid dan senyawa yang berkaitan erat dengannya memiliki sifat-
sifat antioksidan baik didalam lipida cair maupun dalam makanan berlipida.
Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami,
seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-buahan,
sayur-sayuran dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini mengandung jenis
senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam
askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin,
produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain (Pratt,1992).
Tumbuhan rempah-rempah sudah sejak lama dikenal kegunaannya untuk
manusia, misalnya untuk memberi aroma, rasa pada makanan, untuk obat-obatan,
atau memiliki sifat antiseptik. Nakatani (1992) telah merangkum hasil penelitian
dari beberapa peneliti dunia dan menyebutkan bahwa tumbuhan rosemary dan
sage memiliki antioksidan efektif untuk memperlambat kerusakan oksidatif pada
lemak babi, begitu pula antioksidan dari tumbuhan thyme, oregano, pala, bunga
pala dan kunyit. Sementara cengkeh memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi
didalam emulsi minyak dalam air dibanding kunyit, bunga pala, rosemary, pala,
jahe, oregano, dan sage. Tumbuhan laut yang diketahui mempunyai senyawa
antioksidan adalah Gelidiopsis sp.
Keefektifan antioksidan dari rempah-rempah kemudian menarik untuk
dicobakan pada berbagai jenis makanan, dan hasil-hasil penelitian tersebut
merangsang para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengisolasi komponen-komponen aktif dari berbagai jenis rempah. Senyawa-
senyawa fenolik volatile seperti eugenol, isoeugenol, thymol dan lain-lain
memiliki aktivitas antioksidan menonjol, namun mereka memiliki odor yang
terlalu kuat sehingga membatasi kegunaannya sebagai bahan tambahan pangan.
Curcumin adalah antioksidan berwarna kuning pekat yang diisolasi dari kunyit,
sementara Capsaicin
yang diisolasi dari cabe berasa sangat pedas, warna dan rasa tersebut
menyebabkan kurang praktisnya dalam penggunaan. Oleh karena itu, para peneliti
kemudian mengalihkan perhatian pada isolasi komponen aktif antioksidan dari
fraksi-fraksi non volatile yang memiliki sifat-sifat antioksidan lebih
menyenangkan, tidak berbau, berasa dan tidak berwarna. Kemudian lebih lanjut
penelitian ditekankan pada senyawa-senyawa fenolik non volatil yang memiliki
aktivitas antioksidan (Nakatani,1992).
Daun Rosemary (Rosmarinus officinalis L) merupakan salah satu rempah-
rempah efektif yang telah luas digunakan dalam pengolahan makanan. Oleh
beberapa peneliti ditemukan bahwa dari daun rosemary ini telah berhasil diisolasi
beberapa senyawa antioksidan yaitu karnosol, rosmanol, isorosmanol,
epirosmanol, rosmaridifenol dan rosmariquinon.
Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) biasa digunakan sebagai bumbu atau
obat tradisional. Komponen-komponen pedas dari jahe seperti 6 gingerol dan 6-
shogaol dikenal memiliki aktivitas antioksidan cukup. Dari ekstrak jahe yang telah
dibuang komponen volatilnya dengan destilasi uap, maka dari fraksi non
volatilnya setelah pemurnian ditemukan empat senyawa turunan gingerol dan
empat macam diarilheptanoid yang memiliki aktivitas antioksidan kuat. Cabe
(Capsicum frutescens L) memiliki senyawa antioksidan yang disebut Capsaicin
dan Capsaicinol, sementara dari lada dapat diisolasi lima macam senyawa
antioksidan fenolik amida yang tidak berasa pedas serta memiliki struktur kimia
yang serupa dengan senyawa piperin yang berasa pedas (Nakatani,1992).
Ada beberapa senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan telah
berhasil diisolasi dari kedelai (Glycine max L.), salah satunya adalah flavonoid.
Flavonoid kedelai adalah unik dimana dari semua flavonoid yang terisolasi dan
teridentifikasi adalah isoflavon. Isoflavon kedelai terutama berupa 7-O-
monoglukosida-isoflavon, dimana bagian glikosidanya 100 kali bagian
aglikonnya. Senyawa antioksidan alami isoflavon dari kedelai tersebut adalah
5,7,5-trihidroksiisoflavon-7-0-monoglukosida (genistein) 7,4-
dihidroksiisoflavon-7-0monoglukosida (daidzein), dan 7,4;-dihidroksi6-metoksi-
isoflavon-7-0-monoglukosida (glycitein). Isoflavon lain dari kedelai adalah 6,7,4-
trihidroksiisoflavon yang hanya terdapat pada produk-produk kedelai
terfermentasi (Pratt,1992).
Menurut Shahidi dan Naczk (1995), selain isoflavon, kedelai dan produk-
produk kedelai merupakan sumber berbagai macam senyawa antioksidan yang
merupakan golongan dari turunan asam sinamat, fosfolipida, tokoferol, asam
amino dan peptida.
Dirangkum oleh Pratt (1992), dari biji kapas dapat diisolasi beberapa
antioksidan alami dari golongan flavonoid, yaitu dari jenis aglikon flavonol, dan
dari jenis flavonol glikosida. Jenis aglikon flavonol dari biji kapas meliputi
quersetin, kaemferol, gosipetin, dan herasetin. Antioksidan flavanonol adalah
dihidroquersetin, sedangkan jenis flavonol glikosida meliputi rutin (quersetin-3-
ramnoglukosida), quersetrin (quersetin-3-ramnoglukosida), dan isoquersitrin
(quersetin-3-glukosida).
Pada kacang (Arachis hypogea) ditemukan senyawa antioksidan alami
taxifolin, dan pada wijen (Sesamum indicum) memiliki antioksidan sesamin,
sesamolin, dan sesamol (Sherwin,1990). Sementara dari biji bunga matahari dapat
diperoleh antioksidan alami turunan asam sinamat, yaitu asam klorogenat dan
asam kafeat (Shahidi dan Naczk,1995).
Selain digolongkan menjadi antioksidan sintetik dan anti oksidan alami, anti
oksidan juga digolongkan ke dalam antioksidan enzim dan vitamin.
1. Antioksidan enzim meliputi superoksida dismutase (SOD), katalase dan
glutation peroksidase (GSH.Prx).
2. Antioksidan vitamin lebih populer sebagai antioksidan dibandingkan
enzim. Antioksidan vitamin mencakup alfa tokoferol (vitamin E), beta
karoten dan asam askorbat (vitamin C).
Superoksida dismutase berperan dalam melawan radikal bebas pada
mitokondria, sitoplasma dan bakteri aerob dengan mengurangi bentuk radikal
bebas superoksida. SOD murni berupa peptida orgoteina yang disebut agen anti
peradangan. Kerja SOD akan semakin aktif dengan adanya poliferon yang
diperoleh dari konsumsi teh. Enzim yang mengubah hidrogen peroksida menjadi
air dan oksigen adalah katalase. Fungsinya menetralkan hidrogen peroksida
beracun dan mencegah formasi gelembung CO
2
dalam darah.
Antioksidan glutation peroksidase bekerja dengan cara menggerakkan
H2O2 dan lipid peroksida dibantu dengan ion logam-logam transisi. GSH.Prx
mengandung Se. Sumber Se ada pada ikan, telur, ayam, bawang putih, biji
gandum, jagung, padi, dan sayuran yang tumbuh di tanah yang kaya akan Se.
Dosis Se yang terlalu tinggi bersifat racun.
Vitamin E dipercaya sebagai sumber antioksidan yang kerjanya mencegah
lipid peroksidasi dari asam lemak tak jenuh dalam membran sel dan membantu
oksidasi vitamin A serta mempertahankan kesuburan. Vitamin E disimpan dalam
jaringan adiposa dan dapat diperoleh dari minyak nabati terutama minyak
kecambah, gandum, kacang-kacangan, biji-bijian, dan sayuran hijau.
Sebagai antioksidan, beta karoten adalah sumber utama vitamin A yang
sebagian besar ada dalam tumbuhan. Selain melindungi buah-buahan dan sayuran
berwarna kuning atau hijau gelap dari bahaya radiasi matahari, beta karoten juga
berperan serupa dalam tubuh manusia. Beta karoten terkandung dalam wortel,
brokoli, kentang, dan tomat.
Antioksidan yang berasal dari sumber hewani walaupun menjadi
penyumbang minoritas tetapi peranannya tidak dapat disepelekan begitu saja. Hal
yang mengejutkan ada pada astaxanthin yang tergolong karoten. Menurut para
ahli, astaxanthin 1000 kali lebih kuat sebagai antioksidan daripada vitamin E.
Udang, ikan salmon, kerang merupakan sumber potansial astaxanthin. Tetapi
kandungan astaxanthin terbanyak ada pada sejenis mikroalga, yaitu Haematococos
pluvalis. Astaxanthinnya melindungi alga dari perubahan lingkungan seperti
tingginya foto oksidasi ultraviolet dan evaporasi. Aktivitas antioksidan ini bekerja
melawan lipid peroksida dan bahaya oksidasi LDL kolesterol maupun UV, serta
membantu penglihatan, respon kekebalan, reproduksi dan pigmentasi bagi alga.
Sedangkan asam askorbat mudah dioksidasi menjadi asam dehidroaskorbat.
Dengan demikian maka vitamin C juga berperan dalam menghambat reaksi
oksidasi yang berlebihan dalam tubuh dengan cara bertindak sebagai antioksidan.
Vitamin C terkandung dalam sayuran berwarna hijau dan buah-buahan.

Sifat-sifat Antioksidan
Secara umum, menurut Coppen (1983), antioksidan diharapkan memiliki
ciri-ciri sebagai berikut (a) aman dalam penggunaan, (b) tidak memberi flavor,
odor, warna pada produk, (c) efektif pada konsentrasi rendah, (d) tahan terhadap
proses pengolahan produk (berkemampuan antioksidan yang baik), (e) tersedia
dengan harga yang murah. Ciri keempat merupakan hal yang sangat penting
karena sebagian proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi akan
merusak lipida dan stabilitas antioksidan yang ditambahkan sebagai bahan
tambahan pangan. Kemampuan bertahan antioksidan terhadap proses pengolahan
sangat diperlukan untuk dapat melindungi produk akhir.
Sebagaimana suatu benda pada umumnya, antioksidan juga memiliki
keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan tersebut meliputi (a) antioksidan tidak
dapat memperbaiki flavor lipida yang berkualitas rendah, (b) antioksidan tidak
dapat memperbaiki lipida yang sudah tengik, (c) antioksidan tidak dapat
mencegah kerusakan hidrolisis, maupun kerusakan mikroba (Coppen, 1983).


MEKANISME OKSIDASI LIPIDA
Menurut Meyer (1973) dan Hamilton (1983), autooksidasi lipida berjalan
dengan dua tahap. Selama tahap pertama, oksidasi berjalan lambat dengan laju
kecepatan seragam. Tahap pertama ini sering disebut periode induksi. Oksidasi
pada periode induksi ini berlangsung beberapa waktu sampai pada waktu titik
tetentu dimana reaksi memasuki tahap kedua yang mempunyai laju oksidasi
dipercepat. Laju pada oksidasi tahap kedua beberapa kali lebih cepat dari laju
oksidasi tahap pertama. Umumnya lemak dan miyak mulai terasa tengik pada
awal tahap kedua. Asam lemak yang memiliki ikatan rangkap lebih banyak (misal
asam linoleat) bereaksi lebih cepat dibanding yang berikatan rangkap lebih sedikit
(metil oleat) sehingga periode induksinya lebih pendek.
Mekanisme oksidasi lipida tidak jenuh diawali dengan tahap inisiasi, yaitu
berbentuknya radikal bebas (R*) bila lipida kontak dengan panas, cahaya, ion
metal dan oksigen. Reaksi ini terjadi pada group metilen yang berdekatan dengan
ikatan rangkap C=C- (buck, 1991). Ditambahkan oleh Gordon (1990), tahap
inisiasi terjadi karena bantuan sumber energi ekstenal seperti panas, cahaya atau
energi tinggi dari radiasi, inisiasi kimia dengan terlarutnya ion logam atau
metaoprotein seperti haem.
Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana autooksidasi berawal
ketika radikal lipida (R*) hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk
radikal peroksida (ROO*). Reaksi oksigenasi ini terjadi sangat cepat dengan
energi aktivitas hampir nol sehingga konsentrasi ROO* yang terbentuk jauh lebih
besar dari konsentrasi R* dalam sistem makanan dimana oksigen berada (Gordon,
1990). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengekstrak ion hidrogen dari
lipida lain (R
1
H) membentuk hidroperoksida (ROOH) dan molekul radikal lipida
baru (R
1
*). Selanjutnya reaksi autooksidasi ini akan berulang sehingga merupakan
reaksi berantai.
Tahap terakhir oksidasi lipida adalah tahap terminasi, dimana
hidroperoksida yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik
berantai pendek seperti aldehit, keton, alkohol dan asam.
Faktor-faktor dan kondisi yang dapat ikut berperan pada oksidasi lipida
adalah (a) panas, setiap peningkatan suhu sebesar 10
o
C laju kecepatan meningkat
dua kali, (b) cahaya, terutama ultraviolet yang merupakan inisiator dan katalisator
kuat, (c) logam berat, logam terlarut seperti Fe,Cu merupakan katalisator kuat
meski dalam jumlah kecil, (d) kondisi alkali, kondisi basa, ion alkali merangsang
radikal bebas, (e) tingkat ketidak jenuhan, jumlah dan posisi ikatan rangkap pada
molekul lipida berhubungan langsung dengan kerentanan terhadap oksidasi,
sebagai contoh asam linoleat lebih rentan dibanding asam oleat (+) ketersediaan
oksigen (Buch, 1991).


MEKANISME KERJA ANTIOKSIDAN
Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering
disebut sebagai antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen
secara cepat ke radikal lipida (R
*
, ROO
*
) atau mengubahnya ke bentuk lebih
stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A
*
) tersebut memiliki keadaan lebih
stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder
antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme
diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal
lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon,1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.
Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi
maupun propagasi (Gambar 1). Radikal-radikal antioksidan (A
*
) yang terbentuk
pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat
bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru (Gordon,
1990). Menurut Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling
bereaksi membentuk produk non radikal.

Inisiasi ; R
*
+ AH --------------------------RH + A
*

Radikal lipida

Propagasi : ROO
*
+ AH ------------------------- ROOH + A
*


Gambar 1. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida
(Gordon
1990).

Besar konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada
laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering
lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Gambar 2). Pengaruh
jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan,
kondisi dan sample yang akan diuji.

AH + O
2
----------------------------- A
*
+ HOO
*


AH + ROOH ----------------------------- RO
*
+ H
2
O + A
*


Gambar 2. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi
tinggi (Gordon 1990).
Stuckey (1972) berpendapat bahwa penghambatan oksidasi lipida oleh
antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan
sistem makanan. Ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan tersebut
yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron, (c) penambahan lipida pada
cincin aromatik antioksidan, (d) pembentukan kompleks antara lipida dan cincin
aromatik antioksidan. Studi lebih lanjut mengamati bahwa ketika atom hidrogen
labil pada suatu antioksidan tertentu diganti dengan deuterium, antioksidan
tersebut menjadi tidak efektif. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme
penghambatan dengan pemberian hidrogen lebih baik dibanding pemberian
elektron. Beberapa peneliti percaya bahwa pemberian hidrogen atau elektron
merupakan mekanisme utama, sementara pembentukan kompleks antara
antioksidan dengan rantai lipida adalah reaksi sekunder.
Antioksidan sekunder, seperti asam sitrat, asam askorbat, dan esternya,
sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan
antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat memberi efek sinergis sehingga
menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekerja
dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada
medium (sistem makanan), (b) meregenerasi antioksidan utama, (c) mengkelat
atau mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan, (d) menangkap oksigen. (e)
mengikat singlet oksigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Gordon,
1990).
Antioksidan sebaiknya ditambahkan ke lipida seawal mungkin untuk
menghasilkan efek maksimum. Menurut Coppen (1983), antioksidan hanya akan
benar-benar efektif bila ditambahkan seawal mungkin selama periode induksi,
yaitu suasana periode awal oksidasi lipida terjadi dimana oksidasi masih berjalan
secara lambat dengan kecepatan seragam.

PERANAN ONTIOKSIDAN TERHADAP KESEHATAN
Proses penuaan dan penyakit degeneratif seperti kanker kardiovaskuler,
penyumbatan pembuluh darah yang meliputi hiperlipidemik, aterosklerosis, dan
trombosis (penyebab stroke dan darah tinggi) serta terganggunya sistem imun
tubuh dapat disebabkan oleh stress oksidatif.
Stress oksidatif sendiri berarti keadaan tidak seimbangnya jumlah oksidan
dan prooksidan dalam tubuh, Pada kondisi ini, aktivitas molekul radikal bebas
atau spesies oksigen reaktif (SOR) dapat menimbulkan kerusakan seluler dan
genetika. Kekurangan zat gizi dan adanya senyawa xenobiotik dari makanan atau
lingkungan yang terpolusi akan memperparah keadaan tersebut.
Bila umumnya masyarakat Jepang atau beberapa masyarakat Asia jarang
mempunyai masalah dengan berbagai penyakit degeneratif, hal ini disebabkan
oleh menu sehat tradisionalnya yang kaya zat gizi dan komponen bioaktif, Zat-zat
ini mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, yang berperan penting dalam
menghambat reaksi kimia oksidasi, yang dapat merusak makromolekul dan dapat
menimbulkan berbagai masalah kesehatan.
Peran antioksidan bagi kesehatan tubuh telah banyak mendapat perhatian
dari banyak kalangan ilmuwan sejak beberapa dasawarsa lalu. Ratusan penelitian
antioksidan telah dilaporkan pada forum - forum publik. Di lain pihak, keinginan
masyarakat awam untuk memperoleh khasiat antioksidan pun tak kalah
serunya.Demam Antioksidan ini selain terlihat jelas oleh munculnya produk
antioksidan komersial mulai dari pangan fungsional hingga suplemen dalam
waktu singkat, juga terlihat jelas pada keinginan orang untuk berkunjung ke
negeri sakura dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Saat ini tersedia
beragam jenis minuman dan makanan kaya antioksidan. Ada yang sekedar
memfortifikasi (memperkaya) produk dengan komponen-komponen aktif
antioksidan dan bahkan ada pula yang langsung memanfaatkan bahan baku yang
kaya akan antioksidan.

1. Pencernaan dan Antioksidan
Secara terus-menerus, tubuh kita mengalami proses oksidasi setiap hari
yang akan menghasilkan radikal bebas. Namun demikian, pembawa radikal bebas
dan SOR yang dominan berasal dari makanan dan minuman yang kita konsumsi.
Contoh sederhana sumber makanan pembawa radikal bebas adalah makanan
yang digoreng dengan minyak goreng yang telah digunakan berulang, seperti
makanan jajanan tahu, pisang, tempe, bakwan goreng, dan lain-lain.
Tubuh kita memiliki kemampuan menetralkan dengan dihasilkannya zat-zat
yang bersifat antioksidan dalam berbagai system metabolisme tubuh. Selain itu,
seperti yang dilaporkan Nabet (1996), Disitir Widjaya (2003) bahwa zat
antioksidan alami yang bersifat gizi dan non gizi telah banyak ditemukan pada
bahan pangan. Antioksidan ini akan sangat membantu dalam menekan
pembentukan radikal bebas dan SOR yang mungkin terbentuk selama proses
pencernaan, serta mengurangi keaktifan zat-zat yang merugikan tubuh.
Peran antioksidan juga terlihat jelas pada penyakit-penyakit gastro-
enterologi. Pasien kholestatik yang meningkat level MDA eritrosit dan rendah
konsentrasi vitamin E dalam serumnya, memerlukan vitamin E dalam dosis tinggi.
Penyakit maag (ulcero-necrotic enterocolitis) dilaporkan juga terkait dengan
radikal bebas dan defisiensi pertahanan antioksidan. Timbulnya atau tumbuh
kembalinya polip pada usus pun diduga terkait dengan radikal pengoksidasi.

2. Antioksidan Vs Kardiovaskular dan Kanker
Peran positif antioksidan terhadap penyakit kanker dan kardiovaskuler
(terutama yang diakibatkan oleh aterosklerosis / penyumbatan dan penyempitan
pembuluh darah) juga banyak disoroti. Antioksidan berperan dalam melindungi
lipoprotein densitas rendah (LDL) dan sangat rendah (VLDL) dari reaksi oksidasi.
Lemak jenuh merupakan bagian terbesar dari lipoprotein densitas rendah (LDL,
lipoprotein pembawa kolesterol utama dalam plasma) dan oksidasi pada lemak
inilah yang akan menyebabkan terjadinya aterosklerosis.
Pencegahan aterosklerosis ini dapat dilakukan dengan menghambat oksidasi
LDL menggunakan antioksidan yang banyak ditemukan pada bahan pangan.
Adapun untuk kanker dan tumor banyak ilmuwan spesialis setuju bahwa
penyakit ini berawal dari mutasi gen atau DNA sel. Perubahan pada mutasi gen
dapat terjadi melalui mekanisme kesalahan replikasi dan kesalahan genetika yang
berkisar antara 10-15 %, atau faktor dari luar yang merubah struktur DNA seperti
virus, polusi, radiasi, dan senyawa xenobiotik dari konsumsi pangan sebesar 80-
85 %. Radikal bebas dan reaksi oksidasi berantai yang dihasilkan jelas berperan
pada proses mutasi ini. Dan resiko ini sebenarnya dapat dikurangi dengan
mengkonsumsi antioksidan dalam jumlah yang cukup.
Hasil penelitian pada pertengahan tahun 80-an yang menunjukkan bahwa
beta karoten mampu mengurangi resiko kanker paru-paru, merupakan ide awal
perhatian terhadap keterkaitan antioksidan dalam menghambat penyakit ini.
Mekanisme aktivitas antitumor atau kanker dengan senyawa kimia dapat melalui
3 cara yaitu : menghambat bioktifikasi karsinogenesis, menutup jalur
pembentukan sel ganas (blocking agent) oleh antioksidan, serta menekan dan
memanipulasi hormon (Okey dkk,1998 dan Disitir Widjaya, 2003). Jadi aktivitas
antioksidan, selain dapat mencegah autooksidasi yang menghasilkan radikal bebas
dan SOR, juga dapat menekan proliferasi (perbanyakan) sel kanker.

PENUTUP
Hasil oksidasi lemak pada makanan ternyata mempunyai dampak yang
signifikan terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Sehingga
mengetahui dan mengerti tentang pencegahan proses oksidasi ini sangat
diperlukan yang pada gilirannya sangat bermanfaat pada pemeliharaan kesehatan
setiap individu. Begitu pula dengan mengetahui berbagai macam jenis antioksidan
yang ada di alam serta manfaatnya bagi kesehatan tubuh sangat membantu kita
dalam mengatur pola makan untuk mendapatkan tubuh sehat dan bugar serta
cantik alami.
Berbagai telaah tentang antioksidan masih perlu dilakukan mengingat
manfaatnya yang besar bagi kesehatan dan kecantikan. Bahan-bahan alam dari
laut seperti tumbuhan mikro alga dan hewan laut perlu di eksplorasi karena
kandungan bio aktifnya terutama antioksidan belum secara tuntas dieksplorasi.

























DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan, N dan D. Fardiaz. 1994. Isolasi dan karakterisasi Antioksidan
Alami dari Jinten ( Curcumin Cyrumin Linn )

Belitz , H.D. dan W. Grosch.1978. Food Chemistry. Springer Verlag, Berlin

Buck , D.F. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive
Users

Handbook. Blackie Academic & Profesional, Glasgow-UK.

Hultin. H.O. 1994. Oxidation of Lipids in Seafoods. Di dalam Busta ; J. R
and Shalidi. F. (editor) Seafood : Chemistry. Processing Technology and Quality.
Blackie Academic and Professional.

Christie, W.W. 1982. Extraction And Hydrolysis of lipids and some reaction
of their fatty acid components. Di dalam: H.K. Mangold, G. Zweig, dan J.
Sherma, editor. Hand Book of Chromatography Lipids. Vol. I. CRC Press. Inc.,
Boca Raton-Florida.

Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J
Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied Science Publishers, London.

Gordon, M.H 1990. The mechanism of antioxidants action in vitro. Di
dalam: B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsivier Applied Science,
London.

Hamilton, R.J. 1983. The chemistry of rancidity in foods. Di dalam: J.C.
Allen dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied science Publishers,
London.

Kochar, S.P. dan B. Rossell. 1990. Detection estimation and evaluation of
antioxidants in food system. Di dalam : B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants.
Elvisier Applied Science. London.

Loliger, J. 1983. natural antioxidants. Di dalam: J.C. Allen dan R.J.
Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied Science Publishers. London.

Meyer, L.H. 1973. Food Chemistry. Affiliated East-West Press PVT Ltd.,
New Delhi

Naczk dan Shahidi (1991). Critical Evaluation of Quantification Methods of
Rapeseed Tannins. Di dalam : Rapeseed in a Changing world. Proceedings of The
8
th
International Rapeseed Congress. Volume 5. McGregor, D.I.Ed., Saskatoon,
Canada.

Nakatani, N. 1992. Natural Antioxidants From Spices. Di dalam : M.T.
Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their
Effects on Health H. American Society, Washington DC.

Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam :
M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and
Their Effects on Health H. American Society, Washington DC.

Pratt, D.E. dan B.J.F. Hudson. 1990. Natural Antioxidants not Exploited
Comercially. Di dalam : B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elsevier
Applied Science, London.

Shahidi, F. dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic pub. Co. Inc.
Lancester-Basel.

Widjaya, C.H. 2003. Peran Antioksidan Terhadap Kesehatan Tubuh.
Healthy Choice. Edisi IV.

Anda mungkin juga menyukai