Anda di halaman 1dari 40

TARGETING TERAPI PADA SARCOMA

DARWITO
SUB BAG BEDAH ONKOLOGI
FK UNDIP-RSUP DR KARIADI SEMARANG


I.PENDAHULUAN
Soft tissue sarcom adalah kelompok tumor yang berasal dari jaringan mesodermal (masenchymal)
yang bersifat heterogen, insidensinya sekitar 1% pada orang dewasa dan mencapai 6-7 % pada
anak-anak. Di Amerika Serikat pada tahun 2005, didapatkan bahwa 9400 kasus baru sarcoma
dan 3400 kasus diperkirakan meninggal pada tahun yang sama. Pada umumnya,sarcoma di bagi
atas soft tissue sarcoma, bone sarcoma, ewing sarcoma dan peripheral primitive neuroectodermal
tumor. Walaupun jaringan yang berasal dari mesoderm lebih dari dua pertiga berat badan namun
tumor ini namun hanya berjumlah kurang dari 1 % dari adult solid malignancy. 1
Sarkoma ini merupakan tumor yang lokal agresif, tumbuh invasif dan destruktif, cenderung
mengalami rekurensi dan metastasis jauh. Pembedahan radikal diperlukan untuk pengangkatan
tumor secara total namun tidak semua sarkoma dapat disembuh secara total sebagaimana
layaknya kanker,karean tidak semua sel kanker respon terhadap therapy, dan mempunyai
perangai cenderung cepat bermetastasis jauh. Akan tetapi ada beberapa yang jarang metastase
diantaranya adalah dermatofibrosarkoma protuberensia, yang gambaran patologi anatominya
mempunyai grading yang rendah. Untuk alasan inilah sarkoma dikualifikasikan dalam well
diffrentiated dan poorly differntiated, secara umum well diffrentiated sarcoma adalah grading
rendah sedangkan poorly differntiated sarcoma adalah grading tinggi.
Etiologi sarcoma hingga saat ini belum jelas di ketahui. Beberapa factor di hubungkan dengan
kejadian sarcoma, seperti trauma, kronik lymhedema (post diseksi aksila dan radio terapi)
mempunyai hubungan dengan kejadian lymphangiosarkoma, radiasi memepunyai hubungan
dengan kejadian: MFH, lymphangiosarkoma,angiosarkoma. Faktor etiologi yang lain seperti
terpapar dengan bahan kimia tertentu (herbisida ), kelianan genetic genetic , meningkatnya
aktifitas onkogen ( MDM gene,N-myc,c-erB2 dan keluarga ras ), inaktifasi tumor supresor gene
( rb gen dan p53 gen ). Subkategori sarkoma jaringan lunak menurut asal organnya adalah
liposarkoma(fat), leiomiosarkoma (otot polos), rhabdomiosarkoma (otot lurik), dan fibrosarkoma
(jar ikat). 2
Diketahui bahwa soft tissue tumor ini merupakan penyakit yang dikibatkan oleh adanya ketidak
stabilan genetic dan mollekul yang heterogen. Demikian halnya sarcoma ini diketahui
mempunyai ketidak stabilan molekuler yang spesifik pada type yang spesifik pula. Dengan ilmu
pengetahuan yang berbasis molekuler, investigasi dengan menggunakan tehnik baru yang
berbasis squensing dapat mengetahui adanya jalur biologi yang berperan pada karsinogenesis.
Pemeriksaan ini dapat mengetahui adaya molekuler spesifik yang mempunyai peranan penting,
dan ini member kemungkinan untuk memberikan terapi targeting. Seperti histone deacetylases
yang mengalami translokasi gen diketemukan pada sarcoma pada remaja. Akt/mammalian yang
merupakan target untuk rapamycin pada pleomorphic sarcomas, dan macrophage colony-
stimulating factor pada tenosynovial giant cell tumor. Pengetahuan ini memberikan lebih terang
bahwa Soft tissue sarcoma ini sangat komplek dan banyak typenya ada beberapa subgroup, yang
memepunyai peranggai molekuler yang berbeda. 3
Soft tissue sarcoma ini bisa terjadi pada hampir semua bagian tubuh seperti : tulang , jaringan
otot, lemak , pembuluh darah , jaringan syaraf perifer, tendon, ligamnetum ,sendi , dan jaringan
ikat . secara tradisional pembagian soft tissue tumor ini didefinisikan menurut gambaran
hystopatologi menurut differnsiasinya , dengan pembagian ini dikelompokkan menurut sub tipe
yang lebih kurang 50 sub type . Dengan angka insidensi 1 % dari semua keganasan pada
manusia , dengan pembagian yang begitu banyak ,maka diperlukan untuk memberikan suatu
perubahan untuk menyederhanakannya. Usaha tersebut dengan memeriksa gambaran dari
gambaran pertumbuhan sel dengan molekul yang mendasarinya. Selain pemeiksaan
immunohystokimia sekaramg dikembangkan tehnik yang berbasdis squensing seprti pemiriksaan
profile expresi gen dan array comparative genomic hybridization (aCGH) akan mampu
melakukan diagnose yang lebih detail sehingga dapat membedakan cell pleomorphism dan
genomic complexity . Dengan tehnik ini maka soft tissue sarcoma dengan dasar gambaran
hystopatologi, gambaran klinis, dan molekul spesifik dapat dikelompokan hanya 4 kelompok .


Kelompok 1.
Ini meliputi sarcoma yang mempeunyai gambaran hystologi non pleomorphic dengan gambaran
molecule yang khusus sperti : GIST dengan aktifasi mutasui dari KIT, dermatofibrosarcoma
protuberans dan pigmented villonodular synovitis dengan gambaran translokasi kalogen sebagai
promoter faktor pertumbuhan , dan sarcoma dengan fusi dari translokasi faktor
transkripsi termasuk kelompok Ewing tumor)
Kelompok 2.
Kelompok sarcoma yang terjadi pada pasien muda yang mmepunyai gambaran hystologi
nonpleomorphic dan karyotype yang kurang begitu komplek , tetapi dengan gambaran molekuler
yang phatognomonik .
Kelompok 3.
Sarcoma yang trjadi pada orang tua dan memeupnyai gambaran hystologi pleomorphik, tetapi
mempunyai latar belakang perubahan molekuler yang komplek (dedifferentiated liposarcoma
dengan CDK4/MDM2amplifications, malignant peripheral nerve sheath tumor dengan NF1
deletions, myxoinflammatory fibroblastic sarcoma dengan with recently recognized t(1;10)
dan 3p amplifications).
Kelompok 4
Sarcoma yang sering terjadi pada usia dewasa, dengan kryotytpe yang komplek, gambaran
histology pleomorphic , dan secara molekuler sulit diidentifikasi (undifferentiated pleomorphic
sarcoma/ malignant fibrous histiocytoma, leiomyosarcoma, pleomorphic lipo- and
rhabdomyosarcomas, angiosarcoma, osteosarcoma, myxofibrosarcoma, myofibroblastic sarcoma)
Dengan perubahan klasifikasi sarcoma yang demikian maka akan merubah baik kriteria
diagnostic dan juga terapi. Seperti gambaran pada kelompok 1 maka targeting terapi mestidi
perlukan , karena pada gambaran kelompok 1 ini gen KIT yangmengatur signaling KIT pada
GIST mempunyai peranan penting. Selain itu pada synovial sarcoma dan Ewing-related sarcoma
gen yang mempunyai peranan untuk kanker ini adalah SS18-SSX dan EWS-FLI1 yang
semuanya ini dapat dijadikan targeting terapi . 3

II. KEMOTERAPI KONVENSIONAL
a.Seting neoadjuvan
Selain pembedahan terapi pada sarcoma juga menggunakan radioterapi dan juga kemoterapi.
Kemoterapi yang diberikan bisa diseting untuk neoadjuvan maupun adjuvant, pemberian
kemoterapi neoadjuvan yang diberikan pada sarcoma yang terletak pada extremitas dengan grade
tinggi tumor besarnya >5cm yang diberikan terapi dengan kemoterapi multidrug Antracyclin,
Ifosfamide dan Mesna memberikan hasil yang baik. Dengan menggunakan agent doxorubicin
sebagai basis kemoterapi mampu meningkatkan recurrence-free survival 10 tahun, tetapi tidak
memberikan kenaikan (over all survival)/ harapan hidup. Pemberian kemoterapi multi drug ini
menggunakan agent doxorubicin, ifosfamide dan mesna (AIM) dalam seting neoadjuvan
mempunyai respon sekitar 29-62%. Penelitian yang dilakukan Frustaci dkk juga mendapatkan
bahwa pemberian kemoterapi dengan menggunakan epirubicin, ifosfamide dan mesna mampu
meningkatkan angka harapan hidup 4 tahun 4
Penelitian pada pemakain kemoterapi neoadjuvan dengan menggunakna doxorubicin sebagai
basisnya yang dilakukan di Dana-Farber Cancer Center (Boston, MA) and Memorial Sloan-
Kettering Cancer Center (New York, NY) dapat meningkatkan harapan hidup pada pasien
dengan tumor yang ukurannya lebih besar dari 10 cm. Ada beberapa yang menjadi perhatian
tentang penggunaan kemoterapi ini yaitu: kemoterapi pada sarcoma yang menggunakan
doxorubicin sebagai basisnya baik yang diberikan pada seting neoadjuvan dan adjuvan
mempunyai toxicitas jangka pendek maupun jangka panjang, makin banyak digukanan makin
toxic. Dalam pemberian kemoterapi ada fenomena bahwa kemoterapi dengan efeknya kecil
maka kemampuan terapinya juga kecil.5
Penelitian pada liposarcoma peritoneal sangat jarang,terapi yang diberikan pada kasus ini adalah
memberikan kemoterapi dengan regimen yang multile yaitu : doxorubicin, cysplatin dan
ifosfamid yang diberikan dengan seting neoadjuvan kemoterapi memberikan respon yang baik.
Kemoterapi neoadjuvan ini diberikan oleh karena ukuran tumor besar atau menginvasi organ
disekitarnya maka seting ini mempunyai tujuan untuk mengecilkan tumor. Hasil atau respon
yang didapatkan dengan kombinasi obat tersebut tumor mengalami pengecilan sehinga dan
dapat diangkat dengan bebas sayatan.6


b.Seting adjuvant
Soft tissue sarcomas (STS) dapat trejadi pada semua bagian tubuh, terbanyak pada bagian
extremitas lebih kurang 50%. Penelitain yang dilakukan AJCC mendapatkan bahwa pasien
dengan ukuran >5cm, gradaing tinggi dan letaknya didalam mempunyai resiko terjadi
kekambuhan lokal maupun metastase jauh, dan berhubungan dengan kematian. Resiko terjadinya
metastase jauh pada pasien stadium III sekitar 45%, sedangkan DFS sekitar 48%. Maka setelah
dilakukan pembedahan sering dilakukan kemoterapi sebagai adjuvant. Pemberian kemoterapi
dengan seting adjuvant banyak dilakukan dan mempunyai hasil yang baik, akan tetapi masih
menyisakan problem , karena tidak semua sarcoma mempunyai respon yang baik.
Sebagaimana penelitian dilakukan oleh American Joint Committee on Cancer pada pasien soft
tissue sarcoma (STS) satdium III yang mempunyai resiko tinggi terhadap recurensi dan
kematian. Peranan kemoterapi untuk pasien tersebut masih menjadi kontroversi. Pada pasien
tersebut dilakukan kemoterapi dengan berbasis doxorubicin, kemudian dilakukan evaluasi pada
tahun ke 6,1. Hasilnya 5 tahun rekurensi lokal maupun metasta sejauh sekitar 83% dan 56%.7
III.TARGETING TERAPI
Dengan melihat keuntungan dan kerugian pemeberian kemoterapi baik yang diseting sebagai
neoadjuvan dan adjuvant , belum sepenuhnya memuaskan karena masih dijumpainya kegagalan,
baik dilihat dari angka rekurensi lokal maupu metastase jauh. Upaya untuk itu mendorong pada
peneliti dan klinisi untuk meningkatkan respon tersebut , dengan dasar pemahaman molekuler
yang mendasarinya. Telah diketahui bahwa terapi kanker secara systemic, terus mengalami
kemajuan pada abad ke 20 ini mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan kemajuan yang
lebih canggih dengan seleksi dari target untuk terapi kanker . Secara definisi targeting
terapi ,adalah terapi target molekuler ditujukan untuk setiap strategi terapi spesifik secara
langsung menghancurkan target molekuler yang telah diketahui dengan jelas yang terlibat
dalam proses transformasi kanker. Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap molekul obat
dengan kandungan yang spesifik dan khas untuk melawan molekul target yang telah diketahui
dengan jelas telibat dalam proses karsinogenesis yang selanjutnya disebut dengan molecular
targeted agent (MTA). Definisi tersebut diatas tidak termasuk dengan MTA seperti agent
citotoxic ( alkylating agent, antimetabolite, antibiotic anti kanker, vinca alkaloids) atau sekarang
yang masih dalam penelitian seperti (topo-isomerase inhibitors dan taxanes). Sesungguh target
spesik ini tidak secara spesifik untuk proses progresi tumor dan transformasi akan tetapi
mempunyai andil secara fisiologis dalam syntesa DNA dan mitosis. Selanjutnya yang lebih
akurat adalah yang secara biomolekuler dapat dipercaya dan dapat diidentifikasi molekuler yang
spsefik mengalami abnormalitas yang secara karakteristik pada kanker tertentu yang secara cepat
dapat teridentifikasi. Dengan perkembangan molekuler yang secara spesifik dapat dijadikan
target spesifik pada populasi sel kanker dan side efek yang minimal terhadap sel yang normal.
Pada tahun 2000,penelitian Wienberg dan Hanahan mengetengahkan bahwa sel kanker
memberikan tanda yang spesifik, sementara ini 6 tanda karcinogenesis yang dikenal dengan
hallmark of cancer yang dipakai terget molekuler. Tanda ini yang merupakan sifat sel kanker
dan ini merupakan molecular targeted agent (MTA) yaitu : 1.sel kanker akan mencukupi
kebutuhannya sendiri (ini dapat dihambat inhibitor siklus sel dan memodulasi signal transduksi),
2.sel kanker tidak sensitive terhadap signal anti pertumbuhan (dapat dihambat dengan inhibitor
siklus sel dan memodulasi signal transduksi), 3.sel kanker didukung angiogenesis ( diberikan
antiangiogenik dan agent antivaskuler ),4.Sel kanker dapat melakukan invasi kejaringan sekitar
dan metastase (diberikan agent anti invasive ),5.Sel kanker dapat menghindar dari apoptosis
(diberikan modulator apoptosis ),6.Sel kanker tidak mempunyai keterbatasan dalam replikasi
(diberikan antitelomerase dan agent telomeraseinteracting).16








Dilihat dari proses pertumbuhan sel kanker ini dipengaruhi adanya signaling
pertumbuhan .Signaling pertumbuhan ini ada tiga jalur yaitru : 1).adanya kenaikan faktor
pertumbuhan dan semua reseptor-reseptor tersebut berada di membran sel ,2) Adanya perikatan
antara reseptor dan ligand yang kebanyakan adalah faktor pertumbuhan , akan menyebabkan
aktivasi reseptor yang berada diintraseluler yang memiliki protein kinase. Protein kinase ini
merupakan enzyme covalent dengan phosphate yang merupakan bagian rantai seperti
serine,threonine,atau tyrosine yang merupakan bagian protein spesifik dari sel. Kemudian
molekul mediator dari signaling transduksi dan messengers cytoplasma melanjutkan signal yang
dikirim. Proses ini dinamakan cross talk bisa meliputi aktifasi atau inaktifasi dari penurunan
efektor secara cepat ,informosi tersebut dilanjutkan ke inti sel untuk memicu pertumbuhan. 3)
Aktifasi atau inaktifasi dari mesengers ini biasanya dengan diikuti pposphorilasi atau de-
posphorilasi oleh molekul enzyme spesifik yang disebut kinase dan phospatase.Yang pada akir
prose tersebut akan membuka jalur untuk membelah dan proliferasi.
System signal transduksi faktor pertumbuhan ,protein reseptor transmembrane ,dan messengers
sekunder sitoplasmik, semua ini akan memicu untuk optimalkan pertumbuhan sel dan metastase
dari proses keganasan .Perlu diketahui bahwa pada sel kanker mempunyai komponen kunci yang
akan di picu oleh oncogen melalui jalur : over expresi atau mutasi, ketidak teraturan signaling
sel , penghambatan apoptosis, metastase dan proliferasi sel . Dengan demikian ada 3 target
potensi untuk memepengarungi pertumbuhan sel kaner ini yang sebagian besar adalah protein
kinase yaitu : 1.Ligand ( typikal faktor pertumbuhan ),2.Reseptor ,3. Messengers
kedua intraseluler 4.Faktor transkripsi nukleus.8
Cara kerja agent tergeting terapi ini mempengaruhi ketiga jaras yang mengatur terjadinya
pertumbuhan sel kanker atau proses apoptosis. Pengaruh dari agent ini akan menghentikan
pertumbuhan atau meningkatkan kematian sel lewat apoptosis, atau lewat jaras yang lain.Semua
signaling inilah yang menjadi titik sasaran dari targeting terapi. Cara kerja dari signaling inilah
diantaranya adalah :
1.Inhibisi dari fungsi reseptor.
Konsep dasar dari penghambatan ini adalah dengan pendekatan menyerang langsung pada
membrane sel ,ada 3 potensi yang mendasarinya yaitu : 1 Neutralisasi ligand, 2 Kompetetif
inhibisi dari pengaturan ligand-reseptor.3 Inhibisi dari transduksi signal dari reseptor ke
messengers cytoplsmik sekunder. Ada beberapa opsi yang ditempuh inhibisi fungsi reseptor ini
yaitu menetralkan dengan cara menghalangi atau menetralisir ligand sebelum berhubungan
dengan reseptor.Pendekatan ini telah ditujukkan seperti bevacizumab, merupakan monoclonal
antibody yang mempunyai terget VEGF. Atau opsi kedua yaitu menghambat langsung ikatan
natara reseptor-ligand dengan mencegah terjadinya ikatan ligand yang mempunyai struktur yang
menyerupai struktur yang sama dengan ligand. Hal ini telah dibuktikan keberhasilan cetuximab,
ini merupakan cimerik antibody pada EGFR.Trastuzunab ini mempunyai kerja dengan
menghambat reseptor HER-2 telah berhasil dengan baik. Menghambat aktifitas reseptor kinase
dengan molekul kecil seperti : erlotinib (tarceva) geftinib ( irresa). Selain itu juga ada yang
menghambat aktifitas HER-2 yang berinteraksi dengan TK , ini akan menghambat pan-HER ini
seperti pada lapatinib (Tykerb). Untuk EGFR yang lain seperti reseptor c-KIT,IGFR,PDGFR dan
PDGFR,s ebagai contoh yang baik bekerja pada penghamabatan secara selektif pada beberapa
protein kinase ,termasuk pada c-KIT dan PDGFR.
2.Menghambat Transduksi signal cytoplasmik
a.Ras-Raf /Mitogen activated protein kinase patway
Diketahui bahwa Ras ini mempunyai fungsi sebagai golongan besar dari gen yang bertanggung
jawab terhadap berbagai regulasi yang meliputi : defferensiasi, organisasi cytoskeletal, dan
perjalanan protein. Ras protein ini berlokasi pada lapisan dalam membrane sel yang dapat dibuka
dan ditutup ( Ras-GTP/Ras GDP) yang dapat berpindah sesuai dengan kebutuhan untuk
mengatur reseptor luar, signal transduksi yang diteruskan ke nuleus. Aktivasi Ras ini akan
mengkatifkan Raf, melalui serine-threonin kinase, dengan teraktifasinya Raf ini akan
mengaktifkan MAPKK (mitogen activated protein kinase) yang juga disebut MEK, berikutnya
akan mengaktifkan MAPK ( mitogen activated protein kinase atau regulasi extraseluler kinase
(ERK). Dan pada akhirnya MAPK ini akan menghasilkan phosporilasi dan aktivasi faktor
transkripsi seperti c-jun,c-myc, dan c-fos yang akan memacu Proliferasi sel. Mutasi Ras
onkogen ini teridentifikasi pada kanker paru jenis non-small cell, colorectal,pancreatic ,
bladder,ginjal, tyroid cancer, sedangkan Raf ini teridentifikasi pada melanoma .Penghambatan
golongan Raf dari serine/threonine kinase baik itu A-Raf, B-Raf, dan C-Raf ini sangat efektif
untuk menghambat signaling proliferasi sel. Sorafenib (Nexavar) ini merupakan agent oral yang
dapat diterima yang akan menghambat B-raf mutan, yang akan menghambat juga protein kinase
yang menjadi bagian penting berbagai reseptor seperti : VEGFR,PDGFR,KIT,fetal liver (Fms-
like) tyrosine kinase 3 (FLT3) dan P38 . Pengunaan sorafenib telah menghasilkan terjadinya
pengecilan tumor dan telah digunakan pada kanker payudara, hepatoseluler, colorektal dan
ovarium.
b.Farnestyl tranferase inhibitors (FTIs)
Ini adalah enzyme yang terlibat dalam modifikasi posttranslasi dari protein Ras sehingga
dimasukkan dalam kelompok Ras. FTIs ini akan menghambat Ras dalam proses pembentukan
karsinogenesis. Sementara ini ada 3 gologan FTIs yaitu: tipifarnib,Lonafarnib dan BMS-214662,
saat ini lonafarnib ini secara klinis menunjukkan aktifitas yang signifikan khususnya di bidang
onkolohi hematologi.
c.Mammalian target of rapamycin (m-TOR)
Ini merupakan serine/threonin kinase yang selama ini dikenal sebagai golongan phosphatidylo-3-
inositol kinase-like kinase (P13K) yang akan terlibat dalam proses pengaturan pertumbuhan sel
melalui proses: transkripsi,translasi, fungsi membrane sebagai jalur keluar masuk,degradasi
protein , reorganisasi dari cytoskeleton actin. Pengetahuan tentang m-TOR ini mempunyai fungsi
sebagai pengaturan proliferasi sel, regulasi dari inisiasi translasi, aktivasi dari 40S protein
ribosome S6 kinase,regulasi dari P13K/protein kinase B( PKBatau Akt). Komplek P13K-Akt ini
apabila teraktifasi akan mengaktifasi juga ligand dari reseptor tyrosine kinase, G-proteincaupled
receptor atau integrine. Dilain pihak phosphatase dan tensin homologe (PTEN) yang merupakan
agent yang mempunyai pengaruh negatif pada signaling P13K.P hosphorilasi ini mempunyai
efek pada aktifitas catalitik dari Akt , yang akan menghasilkan phosphoroilasi dari beberapa
protein yang menyebabkan pertumbuhan sel, masuk dalam silkus sel, dan kehidupan sel.










d.Protein-kinase(PKC) inhibitor
PKC Ini terdiri dari bebrapa serine dan treonine protein spesifik kinase yang mempunyai peranan
penting dalam pertumbuhan sel kanker seperti : pertumbuhan sel, progresifitas siklus sel,
diferrensiasi, pemasukan obat ke dalam sel (drug effluc, apoptosis dan angiogenesis tumor).
Salah satu agent ini adalah analog staurosporine PKC4129 ( N-benzoyl-staurosporine dan UCN-
10( 7-hydroxy-staurosporine) obat ini dipromasikan pada kanker paru dan glioblastoma.
e.Signaling transduction and activation of transcription patway (STAT).
Ini merupakan salah satu protein yang berhubungan dengan trasduksi dan aktifasi dari traskripsi.
Dari kelompok ini didapatkan sebanyak 7 yang mempunyai pengaruh terhadap signaling protein
cytoplasma dan faktor transkripsi pada inti yang selanjutnya akan mengaktifkan gen yang akan
berimplikasi terhadap pertumbuhan sel kanker , khususnya STATs 3 dan 5. Aktifasi dari STAT
signaling oleh reseptor faktor pertumbuhan ini efektifitasnya sama dengan reseptor cytokine













Aktifasi dari STAT y yang mendapat signal dari reseptor pertumbuhan akan secara efektif
bekerja melalui mekanisme yang sama dengan reseptor cytokine yang akan diikuti bagian lain
seperti : 1.Reseptor kinase intrinsik mungkin akan bekerja bersama dengan nonreseptor tyrosin
ekinase (JAK dan golongan SRC kinase),2. Satu aktifitas protein STAT ini akan membentuk
aktifitas homodimer atau heterodimer masuk dalam nukleus,3.Ikatan STAT ini akan
berhubungan dengan gen promoter di DNA yang selanjutnya sel tumor akan melakukn
proliferasi

3.Menghambat cyclus sel
Siklus sel ini adalah suatu proses yang saling berhubungan satu proses ke proses lain. Dalam
proses ini meliputi post mitotik phase ( G1) , syntesa DNA (S phase), G2 phase dan Mitotik
phase (M), semua proses ini merupakan pembentukan morphologi dan merupakan step biokimia.
Agent kemoterapi yang klasik selama ini digunakan seperti : CDKs (cyclin-dependent kinase )
akan memberikan respon phosphorilasi yang selanjutnya akan mengaktifasi protein untuk
mempercepat terjadinya proliferasi.CDKIs (cyclin-dependent kinase inhibitors ini akan
menghalangi proses CDK sehingga terjadinya pengaturan negatif dari cyclus sel. Inhibitor cyclus
sel ini telah berkembang dengan cepat ,yang semuanya mempunyai tujuan nutuk mengikat ATP
yang terletak dari kinase dengan mengaktifkan ATP utuk menghambatnya.
4.Modulator Apoptosis
Apoptosis diartikan sebagai kematian sel yang terprogram, ditandai dengan pengkerutan sel,
kondensasi dari nukleus, dan pembentukan apoptotic body, dan selanjutnya melalui dua jalur
kematian sel yaitu lewat reseptor exterensik atau intrinsik melalui jalur mitokondria. Dalam jalur
reseptor extrinsik, yairtu jalur yang kematian selnya didominasi oleh kelompok reseptor TNF
yang berlokasi di lapisan luar sel, yang akan mengikat protein ligand dan menarik protein adaptif,
dan selanjutnya membentuk complek signaling kematian sel (death-inducing signaling
complex(DISC) yang akan memacu aktifasi caspase . Sedangkan jalur intrinsik dari mitokondria
akan teraktifasi pada signal yang berhubungan dengan stress,seperti radiasi , kemoterapi atau
virus .Semuanya itu menimbulkan idea memacu apoptosis pada sel yang imortal seperti sel
kanker ,yang selama ini masih menjadi kendala adalah bagaimana mengendalikan apoptosis pada
sel kanker.
1.P53 sebagai target .
Apoptosis proses agening adalah dua hal yang penting sebagai sytem pertahanan surveillance
system untuk meminmalkan kerusakan , proliferasi sel yang tidak terkontrol. Kehilangan fungsi
dari p53 yang berfungsi sebagai supresor tumor atau oncosupressive yang merupakan gambaran
dari sebagaian besar proses karsinogenessis. Dengan pendekatan bagaimana untuk memperbaiki
fungsi p53 yang rusak ini diharapkan menjadi point untuk terapi kanker. Pada beberapa penelitan
adanya mutasi dari wild type dari P53 ini mempunyai hubungan yang kuat untuk
karsinogenesis dari berbagai jenis kanker. Dengan memahami akan pentingnya gen mutan
dari wilg type p53 ini , maka pengobatan untuk kanker adalah bertujuan untuk
mengembalikan fungsi wild type p53 ini menjadi normal atau memacu fungsi dari wild
type p53. Metode ini hanya akan dicapai dengan memakai molekul kecil seperti fragmen dari
antibody .
2.Survivin.
Survivin merupakan satu dari golongan inhibitor apoptosis protein, protein survivin ini akan
mengalami overexpresi dari sel kanker pada manusia. Dengan overexpresi ini maka survivin ini
akan menjadi terget terapy untuk anti kanker. Dengan menghambat IAP ini maka pertumbuhan
sel akan berhenti atau akan mengalami peningkatan apoptosis. Agent ini baru penelitian secara
invitro pada sel line, dengan kandungan M4N ( tetra -0-methyl nordihydroguaiaretic acid ).
3.Tumor Necrosis Factor-related Apoptosis-inducing Ligand (TRAIL).
Tumor necrosis factor-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL). Adanya aktifasi dari reseptor
kematian atau apoptosis ini yang terletak pada membrane sel oleh TRAIL akan memacu
stimulasi langsung pada apoptosis melalui sugnaling patway dengan extrinsik stimulasi. Molekul
extrinsik yang dapat mengaktifkan reseptor apoptosis ini adalah sejenis agonis monoklonal
antibody pada TRAIL reseptor ( HGS-ERT1,HGS-ETR2,HGS-TR2). Selain itu juga ada yang
merupakan rekombinan /modified TRAIL (Apo2L) . Agen ini dapat digunakan sebagai
monoterapi atau dengan kombinasi dengan kemoterapi konvensional. Molekul kecil tidak hanya
digunakan untuk menghambat fugsi enzyme seluler akan tetapi juga dapat untuk
mengaktifkannya . Tumor Necrosis Factor-related Apoptosis-inducing Ligand (TRAIL) ini
merupakan cytokine yang akan mengikat dua reseptor pada permukaan sel ya itu Death Receptor
4 (DR4) dan Death Receptor 5 (DR5). Apbila TRAIL ini berikatan dengan reseptor tersebut
maka akan mengaktifkan serta memicu jaras intraseluer yang akan memicu program kematian sel
atau apoptosis. Dipercaya bahwa kematian sel ini sangat tergantung dengan jumlah dari Death
Receptor 4 (DR4) dan Death Receptor 5 (DR5) yang diikat. Dan yang perlu diketahui bahwa
TRAIL ini hanya memicu kematian sel kanker tidak pada sel normal , maka TRAIL ini menjadi
target terapi yang menjanjikan.Masih dalam penelitian pengunaan targetet terapi pada sarcoma
dengan grade tinggi seperti Ewings sarcoma dan rabdomyosarcoma . 8
Targeted terapi ini juga dapat melalui jaras imunologi, terapi imunologi ini mempunyai target sel
dengan meningkatkan kemampuan imunosurveilan. Pada tahun 1987 telah dilaporkan mengenai
keberhasilan pemakaian doses tinggi interleukin-2 untuk kanker, ini merupakan suatu permulaan
untuk melawan kanker dengan mengunakan immunologi. Pengatahun tentang imunologi ini
merupakan dasar dari imunoterapi kanker, yang memungkinkan syatem imunologi untuk
membasmi kanker. Sytem imune akan melakukan respon pada type tumor yang sama. Ineterkasi
antara pertumbuhan kanker dan sytem imune ini dapat mengeliminasi sel kanker akan mendasari
sebagai imunogenik antigen tumor, yang selanjutnya antigen tumor ibi akan menaiakan system
imune , hal demikian memungkinkan aktifasi system imune dalam kondisi antitumor. Lebih
kurang 15 % dari pasein dengan melanoma maligna dan carcinoma sel renal mempunyai respon
yang signifikan dengan meningkatkan aktifitas sel T, dengan cara memberikan interleukin-2
dosis tinggi. Dalam penelitian ini didapatkan respon yang komplet, dengan waktu yang cepat dan
dapat dikatakan sembuh. Keberhasilan ini memicu untuk melakuakn terapi seluler menaikan
pengurangan autoimmune , dan akan melawan kanker dengan antigen, dan mestinya akan
menurunkan tingkat toxic pada pasien .
Keberhasilan dengan imunoterapi dengan menggunakan peningkatan sel T, ini dilakukan untuk
kanker lymphoma maligna dengan menggunakan monomklonal antibody dan juga kanker
payudara. Pemakaian monoclonal antibody ini pada lymphoma dengan rituximab, sebagai nati
CD20 (B-cell) antibody, ini lebih efektif pada pasien dengan polimorphisme pada CD16A, yang
mempunyai afinitas yang rendah pada Fc yang diexpresikan pasa NK sel normal. Selain itu juga
keberhasilan pemakaian monoclonal antibody pada kanker payudara dengan trastuzumab, yang
merupakan monoclonal antibody melawan Her-2/neu, yang diketahui mempunyai hubungan
dengan induksi sel T .
Sedangkan vaksin yang dikembangkan untuk terapi pencegahan ini untuk HPV yang memicu
hepatoma, selain itujuaga untuk vaksinasi kanker leher rahim dari humen papillomavirus.
Dengan keberhasilan terapi monoclonal antibody pada lymphoma telah dilaporkan pada tahun
1982. Hunder dkk, dengan menggunakan infuse CD4+ T cells ,akan mengalami inkubasi dengan
APC yang kan mengeliminer melanoma pada pasien pasien melaui kolphe MHC II. Dengan
adaanya proliferasi CD4+T cell akan menjadikan kanker sebagai target. 9.

Terapi dengan dengan mengandalkan pembedahan saja ini hanya mampu memberikan disease
free survival (DFS) 5 tahun kurang dari 20% pada pasien Ewings sarcoma atau osteosarcoma.
Sedangkan terapi pembedahan kemudian diberikan kemoterapi multiagent mempunyai disease
free survival (DFS) 5 tahun sekitar 60%-70%. Beberapa sarcoma yang sensitif terhadap
kemoterapi akan memperbaiki hasil akhir dari pengobatan pasien.Sebagai contoh terapi pada
Ewing sarcoma yang masih terlokalisir dengan terapi IESS-II protocol dengan vincristine,
actinomycin D, doxorubicin dan cyclophosphamide sekiter 73%. Sedangkan apabila sudah dalam
stadium lanjut dengan protokol COG hanya akan memberikan harapan hidup 5 tahu sekitar 20%,
begitu juga dengan osteosrcoma juga tidak jauh berbeda. Pada kesimpulan akhir ini diperoleh
bahwa pemberian kemoterapi tidak memberikan tambahan terhadap harapan hidup 5 tahun,
untuk itulah perlu dicarikan terapi yang memberikan harapan untuk menaikan harapan hidup ini
yaitu targeted terapi. Karena tidak semua sarcoma ini sensitif atau memberikan respon yang baik
terhadap kemoterapi, sehingga pemberian adjuvan kemoterapi ini perlu dipertanyakan, karena
efek samping yang besar dengan keuntungan yang minimal. Dengan mencari terapi baru targeted
terapi ini menjadi harapan dimasa mendatang dalam penanganan sarcoma.Tergeted terapi ini
terapi berdasarkan karasteristik dari masing-masing type sarcoma yang begitu banyak, terapi ini
dirancang mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan dengan kemoterapi yang selama ini
digunakan dengan minimal efek samping.10
Banyak penelitian molekuler yang memberikan pencerahan tentang perangai sel kanker,
sehingga diketahui bagaimana proses karsinogenesis. Mekanisme karsinogenesis dengan
berfokus pada oncogen telah diketahui bahwa sel kanker mempunyia sifat: tidak berfungsinya
tumor supresor gen, hilangnya kendali terhadap fungsi regulasi pertumbuhan tumor yang
melibatkan reseptor dan messengers sekunder dengan tyrosine kinase (TKs) yang berlainan.
Dengan menghambat tyrosine kinase (TKs) akan menghentikan sel kanker tumbuh dan
menghilangkan kemampuan sel kanker sebagai sel yang imortal. Inhibitor TKs ini mulai banyak
digunakan dalam penanganan pasien kanker seperti: lapatinib, sorafenib dan sunitinib. Sorafenib
yang dikenal merupakan inhitor TKs multitarget akan menghambat vascular endothelial growth
factor receptor-1, -2, dan -3; platelet-derived growth factor- dan ; RET; Flt3; dan c-KIT.
Sorafenib ini banyak digunakan pada terapi metastatic renal cell carcinoma dan hepatocellular
carcinoma stadium lanjut.11
Imatinib (Gleevec)
Ini merupakan agent targeted terapi dengan menghambat secara spesifik bcr/abl tyrosine kinase
agent ini secara spesifik juga akan menghambat aktifitas tyrosine kinase yang lain, termasuk c-
kit dan reseptor platelet-derived growth factor (PDGF) . Diketahui bahwa tyrosine kinase ini
merupakan enzyme yang didapatkan pada semua sel .yang berfungsi untuk mengikat phosphate
dengan substrate protein. Ikatan ini akan mengakibatkan aktifitas protein meningkat, dengan
akibat meningkatkan proliferasi sel. Ikatan natara imatinib dengan kinase, maka terjadi hambatan
transport phasphat pada protein target , dengan hambatan ini maka kinase yang dibutuhkan untuk
sel kanker agar tetap hidup tidak terpenuhi sehingga akbibatnya sel kanker akan mati.
Penggunakan imatinib ini telah terbukti pada pengobatan CML dengan respon komplet sekitar
95%.
Dengan menghambat bcr/abl tyrosine kinase akan menghambat juga tyrosine kinase yang lain
seperti c-kit yang sangat dibutuhkan pada perkembangan gastrointestinal stroma tumors (GISTs).
Hampir 85% GISTs ini c-kit tyrosine kinase mengalami overexpresi, yang sbagian besar pada
tumor tersebut mengalami mutasi.Maka pemberian imatinib ini pada pasien GISTs memberikan
respon sekitar 41%-70%.Untuk jenis sarkoma yang lain agent imatinib ini juga mempengaruhi
tyrosisne kinase yang lain seperti reseptor PDGF dan c-kit yang merupakan enzyme penting pada
sarcoma, seperti Ewing sarcoma, desmoplastic small round cell tumor, synovial sarcoma juga
mempunyai respon yang baik
Ligand targeted therapy
Terget terapi ini menggunakan antibody nyang merupakan protein yang berada pada permukaan
sel. Sebagai contoh tergeted terapi jenis ini seperti Herceptin untuk kanker payudara,Rituximab
untuk B cell lymphomas dan anti-GD2 untuk Neuroblastoma.
1. Herceptin
Herceptine ini akan mengikat reseptor HER2/neu yang berada pada permukaan sel kanker,
reseptor ini mengkode gen ErbB2 yang apabila mengalami overexpresi pada sel kanker payudara
stadium dini sekitar 25-30% dan akn lebih tinggi lagi pada kanker payudara yang telah
mengalami metastase.Herceptin ini akan menghambat fungsi reseptor yang kan menurunkan
proliferasi sel . Penggunaan Herceptine ini telah banyak dipakai pada terapi kanker payudara dan
telah di approved oleh FDA pada tahun 1998.Pengunaan Herceptine ini juga baru dilakukan
penelitian untuk terapi osteosarcoma. Hal ini didasari oleh penelitian oleh Gorlik dkk pada tahun
1999 mendapatkan bahwa 20 dari 27 pasien osteosarcoma memperlihatkan HER2/neu
overexpresi dan mempunyai prognose yang buruk dan juga respon jelek terhadap terapi
konvensional. Akan tetapi hasil penelitian penggunaan Herceptin yang dilakukan COG pada
terapi osteosarcoma ini belum ada laporan. Akan tetapi hal ini memberikan gambaran bahwa
terapi ligand sebagai terget terapi pada sarcoma ini bisa menjadi harapan dimasa yang akan
datang.12.13
2. Rituximab
Rituximab ini aakan mengikat protein yang disebut CD20 yang didapat pada permukaan sel B
matur termasuk sel lymphoma maligna. Bila Rituximab ini mengikat target maka akan
memicu antibody-mediated cellular cytotoxicity (ADCC), komplemen yang memicu terjadinya
kematian sel, atau menyebabkan sel langsung mengalami apoptosis. Antibody-mediated cellular
cytotoxicity (ADCC) akan melanjutkan proses dengan cytotoxic T lymphosit yang secara
langsung akan membunuh sel yang tidak normal. Dengan demikian Rituximab ini mempunyai
dua target yaitu melalu cytotoxic T lymphosit yang secra langsung kan memmbunuh sel kanker
dan akan mengaktifkan sytem imun humoral. Targeted terapi ligand ini dapat mematikan sel
dari berbagai jaras , diantarnya mematikan sel kanker secara langsung dan membantu sytem
imun dalam mengidentifikasi sel kanker sebagai sel yang berbahaya.
3. Anti-GD2 Antibody
Neuroblastoma merupakan sosft tisue tumor yang sering terjadi pada anak,dengan karakteristik
adanya expresi dari GD2 dari permukaan sel. Denganmembuat monoklonal antibody GD2 untuk
menghambat expersi ini.inipun masih dalam penelitian yang perlu mendapat perhatian.
Physiologically targeted therapy
Target ini digunakan untuk memebantu mamasukan agent yang sulit masuk dalam sel kanker .
Biasanya digunakan untuk untuk menaikan konsentrasi at radioaktif supaya masuk dalam sel
kanker , dengan mammakai sifat unik dari kanker itu sendiri.Target terapi ini seperti 131I-
metaiodobenzylguanidine (MIBG) untuk terapi neuroblastoma. Keunikan neuroblastoma yang
merupakan tumor dari sel prekuser neuron yang secara normal mensintesa epineprine dan
cathecholamine. Oleh karena neuroblastoma ini mensintesa cathecholamin,maka 90% dari tumor
akan menyerap MIBG yang disuntikan, maka dengan dosisi tertentu akan bersifat
cytotoxic .Agent lain adalah Samarium-153(153 Sm) -ethylenediaminetetramethylene
phosphonic acid (EDTMP) untuk terapi osteosarcoma. Yaitu dengan menempelkan radioisotope
(153 Sm) dengan tetraphosphonate yang diletakan pada tulang yang terkena kanker. Sehinggga
dengan terapi ini sel kanker akan dimatikan dengan molekul kecil yang telah dititipi zat
radioaktif sehingga sel kanker akan mati oleh efek radioteri secara efektif dengan efek yang
minimal.

Targeted terapi yang masih dalam penelitian khusus untuk sarcoma
1.Dasatinib
Ini merupakan molekul kecil tyrosine kinase inhibitor, dengan target tyrosine kinase yang
mengatur kehidupan sel dan proliferasi sel. Agent ini sebenarnya digukan untuk terapi CML
yang resisten terhadap imatinib. Dasatinib ini juga menghambat kelompok src kinase yang
banyak diketemukan dalam sel sarcoma. Penelitian yang dilakukan The Sarcoma Alliance for
Research through Collaboration (SARC) sudah masuk dalam phase II dengan menggunakan
dasatinib untuk sarcoma pada usia 13 atau lebih . Penelitian yang dilakukan oleh University of
Pittsburgh menggunakan dasatinib dengan manggambungkan monoclonal
antibody cetuximab ( anti epidermal growth factor receptor EGFR). Sedangkan MD Anderson
Cancer Center menggunakan dasatinib dengan menggabungkan gemcitabine, dengan tujuan
untuk meningkatkan efektifitas cytotoxic kemoterapi konfensional.
2.Sorafenib
Sepert halnya dasatinib ini merupakan tyrosin kinase inhibitor dengan titik tangkap pada reseptor
pertumbuhan dan juga angiogenesis.Sorafenib ini akn menghambat kinase pada reseptor vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan reseptor PDGF , c-kit, ret, and raf,dan intreseuler kinase
seperti serine /threonine.Penelitian sorafenib ini untuk terapi sarcoma masih dalam phase II. 14
3.Anti-IGF1R
Insulin-like growth factor-1 (IGF-1) ini merupakan hormone yang mempunyai fungsi multiple
yang berhubungan dnegan pertumbuhan sel kanker seperti resisten terhadap apoptosis dan
pengaturan proliferasi sel , angiogenesis dan metastase. IGF-1ini bekerjanya adalah mengikat
tyrosine kinase pada reseptor permukakan sel . Dengan ikatan antara IGF-1 dengan reseptor akan
memicu dimerisasi dari reseptor dan selanjutnya akan mengaktifkan intraseluler kinase dan
selanjutnya menggerakan phosphorilasi dari multi target protein. Apabila IGF-1 dan reseptor ini
aktif maka sel akan mengaktifkan jaras signaling intreseluler seperti MAP kinase dan Akt, ayang
kan mengakibatkan sel proliferasi dan resisten terhadap apoptosis. Pada penelitian sel line
diketahui bahwa IGF-IR ini didapat pada Ewings sarcoma, osteosarcoma, rhabdomyosarcoma.
Maka dengan menghambat IGF-IR ini akan menjadi harapan targeting terapi pada sarcoma.
10.15

























KEPUSTAKAAN
1.Brennan M.F., Lewis J.J., 2002, Diagnosis and Management of Soft Tissue Sarcoma, Martin
Dunitz Ltd., United kingdom
2.DeVita VT Jr, Hellman S, Rosenberg SA, eds. Cancer: Principles and Practice of Oncology.
6thed. Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins, 2001:18411891.

3.Nielsen OT, West BR. Translating gene expression into clinical care: sarcomas as a paradigm.
J Clin Oncol 28:1796-1805
4.Grobmyer RS, Maki GR, Demetri DG,Mazumdar M, Riedel E, Brennan FM and Singer S.
Neo-adjuvant chemotherapy for primary high-grade extremity soft tissue sarcoma. Annals of
Oncology 15: 16671672, 2004
5.Piters TWP. Preoperative chemotherapy and split-course radiation therapy for patients with
localized soft tissue sarcomas: home run, base hit, or strike out? Journal of Clinical Oncology,
Vol 24, No 4 (February 1), 2006: pp 549-551
6.Ishiguro S, Yamamoto S, Chuman H, Moriya Y. A case of resected huge Ileocolonic
mesenteric liposarcoma which responded to pre-operative chemotherapy using doxorubicin,
cisplatin and ifosfamide. Jpn J Clin Oncol 2006;36(11)735738
7.Cormier NJ, Huang X, Xing Y, Thall FP, Wang X,Benjamin SR, Pollock ER, Antonescu RC,
Maki GR, Brennan FM, and PistersTWP. Cohort Analysis of Patients With Localized, High-Risk,
Extremity Soft Tissue Sarcoma Treated at Two Cancer Centers: Chemotherapy-Associated
Outcomes. J Clin Oncol 22:4567-4574
8.Giaccone G, Soria J-C. Overview of existing therapies .In Targeted Therapies in Oncology .
New York (USA) Informa Healthcare; 2007: 1-17
9.Weiner ML. Cancer immunotherapy -the endgame begins. n engl j med 2008:358;25
10. Loeb MD. The Next generation of treatments limitations of chemotherapy.
http://sarcomahelp.org/articles/targeted-therapies-sarcoma.html
11.Bergh J. Quo vadis with targeted drugs in the 21st century?.Journal of Clinical Oncology
2009: 27 : 2-5
12.Traxler P, Allegrini PR, Brandt R, Brueggen J, Cozens R, Fabbro D, Grosios K, Lane HA,
McSheehy P, Mestan J, Meyer T, Tang C, Wartmann M, Wood J, Caravatti G AEE788: a dual
family epidermal growth factor receptor/ErbB2 and vascular endothelial growth factor receptor
tyrosine kinase inhibitor with antitumor and antiangiogenic activity. Cancer Res. 2004 Jul
15;64(14):4931-41.
13.Normanno N, Maiello MR, De Luca A.Epidermal growth factor receptor tyrosine kinase
inhibitors (EGFR-TKIs): simple drugs with a complex mechanism of action? J Cell Physiol.
2003 Jan;194(1):13-9.

14.Traxler P, Bold G, Buchdunger E, Caravatti G, Furet P, Manley P, O'Reilly T, Wood J,
Zimmermann J.Tyrosine kinase inhibitors: from rational design to clinical trials. Med Res Rev.
2001 Nov;21(6):499-512.

15.Tibes R, Trent J, Kurzrock RTyrosine kinase inhibitors and the dawn of molecular cancer
therapeutics. Annu Rev Pharmacol Toxicol. 2005;45:357-84.

16.Hanahan D,Wwinberg AR. Hallmarks of cancer: The next generation. j.cell.2011.02.013




Diposkan oleh Dr Darwito SH,SpB(K)onk di 01.37 Tidak ada komentar:
Rabu, 26 Oktober 2011
SOFT TISSUE TUMOR
I. Pendahuluan
Soft tissue tumor (STT) dapat merupakan suatu neoplasma yang bersifat jinak atau ganas
dan kadang ditemukan suatu bentuk yang borderline. Perbandingan antara yang jinak dan ganas
kurang lebih 100:1. Soft tissue tumor tipe ganas yang berasal dari jaringan mesenchymal disebut
sebagai soft tissue sarcoma. Istilah sarcoma berasal dari bahasa Yunani Sarkoma yang berarti
suatu bongkahan daging. Pada umunya sarcoma dibagi atas soft tissue sarcoma, bone sarcoma,
Ewing sarcoma dan Peripheral primitive neuroectodermal tumors. Sejarah mengenai penemuan,
pengetahuan dan penatalaksanaan soft tissue sarcoma telah dimulai beberapa abad yang lalu,
yaitu mulai dari Galen (tahun 130-200 masehi) yang menggangap tumor yang besar (fleshy
tumor) sebagai suatu kanker. Dengan diketemukanannya mikroskop cahaya pada tahun 1592,
pengetahuan tentang soft tissue sarcoma semakin berkembang, hingga ditemukan mixoid
liposarcoma oleh Marcus Sverinus (1580-1637) dan suatu retroperitonel liposarcoma oleh
Morgagni (1682-1771)
(1)
.
Pada abad XVIII dan XIX, Bichat (1771-1801), Abernathy (1780-1848) dan Laennec
(1781-1826) adalah diantaranya yang memberikan kontribusi mengenai morfologi kanker. Istilah
soft cancer pertama kali dikemukakan oleh Wardrop (1782-1869) seorang ahli bedah dari
Edinburgh. Terminologi soft cancer berbeda dengan carcinoma yang telah dikemukakan oleh
seorang neuroanatomist, Charles Bell (1774-1842) dalam bukunya Surgical Observation yang
dipublikasikan tahun 1816
(1)
.
Pengetahuan tentang Soft tissue sarcoma terus mengalami perkembangan hingga pada
abad XIX melalui penelitian cellular pathologist, yaitu Cruveilhier (1791-1874) dan Johannes
Muller (1801-1858) yang telah menguraikan mengenai asal sel dari berbagi soft tumor. Pada
Tahun 1838 Johannes Muller juga telah membuat istilah Desmoid. Hal yang sangat penting,
Virchow (1821-1902) mengemukakan bahwa annis cellula et cellulare yang berarti dimana sel
berkembang, ada sebuah sel yang sebelumnya telah ada
(1)
. Mallory (1862-1920) meperkenalkan
cara pengecatan jaringan pada awal abad XX, dalam penelitian soft tissue sarcoma, mulai
dengan tehnik histopatologi dan menguraikan klasifikasi histogenetik yang lebih luas dari
sebelumnya
(1,2)
.
Pada tahun 1920, di Mayo Klinik, Boders mengemukakan tentang jumlah pembelahan sel
pada tumor , indek mitosis yang mencerminkan potensial keganasan dan membuat suatu ilustrasi
yang diaplikasikan pada fibrosarcoma. Sejak saat itu telah mulai dipertimbangkan mengenai
grading histopatologis sarcoma sebagai bagian yang vital dalam pemeriksaan dan pertimbangan
terapi dari tumor. Stout (1885-1967) dalam publikasi monograf tahun 1932 juga menjelaskan
mengenai morfologi, dan treatment dari sarcoma. Dalam klasifikasinya mengenai soft tissue
sarcoma melibatkan histogenesis, grade malignancy termasuk dalam aktivitas seluler dan
mitosis
(1)
.
II. Insiden dan Etiologi
Di USA kejadian soft tissue sarcoma mencapai 7000-8000 kasus baru pertahun. Secara
umum angka kejadiannya adalah 1% dari keganasan pada orang dewasa dan 15 % dari
keganasan pada anak-anak. Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin menurut Memorial
Sloan-Kettering Cancer Center (MSKCC) adalah sama antara laki-laki dan perempuan. Sarcoma
dapat berkembang pada setiap tempat, namun secara anatomis kurang lebih setenganya terjadi di
ekstremitas, dengan prevalensi 32% ekstremitas bawah dan 13% ekstremitas atas.

N=1993

Distribusi soft tissue sarcoma pada ekstremitas (MSKCC, 7/1982 12/2000)
Angka kejadian soft tissue sarcoma di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2009 sampai
2010 adalah sebanyak 81 penderita dengan berbagai macam tipe histopatologi. Berdasarkan
distribusi jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 53% : 47%
dan insiden tertingi pada umur antara 30-40 tahun.

Diagram 1: Distribusi penderita soft tissue sarcoma di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan
Januari 2009 sampai Desember 2010, berdasarkan jenis kelamin

Diagram/ Grafik 2: Distribusi penderita soft tissue sarcoma berdasarkan umur, di RSUP Dr.
Kariadi Semarang bulan Januari 2009 sampai Desember 2010

Diagram 3: Distribusi penderita soft tissue sarcoma di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan
Januari 2009 sampai Desember 2010, berdasarkan Letak Anatomis tumor
Diagram 4: Distribusi
penderita soft tissue
sarcoma di RSUP Dr.
Kariadi Semarang
DFSP
bulan Januari 2009 sampai
Desember 2010,
berdasarkan Histopatologis
tumor
Tidak ada agen
spesifik sebagai etiologi pada
mayoritas penderita soft tissue sarcoma. Seperti umunya pada penyakit keganasan bahwa faktor
lingkungan, paparan bahan kimia, dan radiasi ionisasi adalah merupakan faktor pemicu
timbulnya soft tissue sarcoma. Lymphedema yang menahun juga merupakan faktor penyebab
terjadinya lymphangiosarcoma, sebagaimana disebutkan dalam sindroma Stewart Treves.
Sindroma LiFreumani, Neurofibromatosis, tuberosclerosis dan sindroma Gagner adalah
merupakan sebagian faktor predisposisi terjadinya sarcoma
(2)
.
III. Cytogenetik dan Biologi Molekuler Soft Tissue Sarcoma
Aktivasi beberapa jenis oncogene dihubungkan dengan beberapa jenis sarcoma seperti
Ewing Sarcoma, Clear Cell sarcoma, Alveolar Rabdomyosarcoma, Desmoplastic Small round
cell tumor dan Synovial sarcoma. Inaktinvasi tumor suppressor gene terutama Rb gene dan P53
memegang peranan penting untuk terjadinya sarcoma. Ki67 juga merupakan gen yang
dihubungkan dengan grading histologis yang tinggi dan prognosis yang lebih buruk
(2)
.
Pada sarcoma terjadi pengulangan translokasi kromosom yang spesifik pada masing-
masing tipe sarcoma. Translokasi kromosom tersebut akan menghasilkan fusi gen yang sangat
spesifik. Sebuah konsep yang berhubungan dengan struktur translokasi tersebut adalah bahwa
genomic breaks (DNA-level) hampir selalu terjadi dalam intron (tidak dalam exon) dan sequence
dari exon mengapit chimeric intron yang kemudian bergabung dalam transkripsi dan splicing
untuk membentuk sebuah chimeric mRNA. Intron dapat berukuran sangat besar dan genomic
breaks dapat terjadi hampir di setiap tempat didalamnya, hal ini merupakan suatu alasan
mengapa genomic DNA tumor jarang dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendeteksi
berbagai translokasi dengan polymeric chain reaction (PCR). Sebaliknya, konsistensi dari
gabungan flanking exon dengan pemisahan transkrip pada mRNA sangat sesuai untuk deteksi
molekuler dengan PCR-based (dengan reverse-transcriptase PCR / RT-PCR)

Secara cytogenetic, translokasi kromoson dari berbagai tipe soft tissue sarcoma telah
diidentifikasi. Temuan macam-macan translokasi kromosom tersebut telah memberikan
wawasan mengenai patogenesis dan dapat digunakan sebagai dasar diagnosis secara molekuler.
Soft Tissue Sarcomas Cytogenetic
Synovial cell sarcoma
Liposarcoma (myxoid)
Embryonal Rhabdomyosarcoma
Alveolar Rhabdomyosarcoma (ARMS)
Malignant fibrous histiocytoma (MFH)
Malignant peripheral nerve tumor (MPNT)
t(X;18)(p11.2;;q11.2)
t(12;16)(q13-14;p11)
Trisomy 2q
t(2;13)(q35-37;q14)
lq11,3p12,11p11,19p13
t(11;22)(q24;q11.2-12)
Extraskeletal myxoid chondrosarcoma
Peripheral primitive Neurorectodermal tumor (PNET)
Hemangiopericytoma
Uterine leiomyosarcoma
t(9;15;22)(q31;q15;q12.2)
t(11;22)(q24;q11.2-12)
t(12;19)(q13;q13)
t(12;14) dan 12q5
Abnormalitas cytogenetik pada Soft Tissue Sarcoma
(2)

IV. Diagnosis
Pada umumnya penderita dengan soft tissue sarcoma diawali dengan keluhan timbunya
benjolan yang tidak nyeri. Adanya benjolan tersebut harus dibedakan antara lesi yang jinak dan
ganas dengan melihat tekstur, ukuran tumor, terfiksir pada struktur disekitarnya dan kecepatan
pertumbuhan tumor. Adanya masa pada penderita dengan riwayat trauma harus diperhatikan
bahwa kemungkinan trauma tersebut sebagai penyebab awal terjadinya sarcoma.
Benjolan sebagai tanda awal yang tidak terasa nyeri tersebut sering dianggap sebagai hal
yang biasa oleh pasien sehinggga mereka tidak berobat atau konsultasi ke dokter hingga benjolan
semakin membesar dan menimbulkan masalah yang lain, misal timbulnya ulkus, nyeri atau
ganguan lain akibat pendesakan tumor tersebut ke bagian jaringan sekitar. Masa/ benjolan yang
tumbuh pada jaringan intra abdoment, baik intraperitoneal maupun retroperitoneal seringkali
tidak menimbulkan keluhan sampai tumor tersebut membesar dan menimbulkan pendesakan
pada organ sekitar. Hal ini merupakan salah satu faktor yang sering menyebabkan keterlambatan
dalam diagnosis soft tissue sarcoma yang berasal dari organ/ jaringan intraabdoment.

Benjolan pada extremitas atas, Pada tahap lanjut timbul ulkus
yang tidak nyeri
Pemeriksaan imaging sebagai tambahan dari pemerikasaan klinis penderita perlu
dikerjakan, selain untuk menegagkan diagnosis juga untuk staging. Pada pemeriksaan dengan
foto polos kadang-kadang didapatkan gambaran masa dengan kalsifikasi. Foto polos pada
ekstremitas dapat digunakan untuk evaluasi adanya infiltrasi tumor pada tulang. Pemeriksaan
imaging lebih lanjut dapat dengan CT scan, MRI atau PET scan.
Biopsi pada tumor primer merupakan bagian yang penting sebelum treatment pada
penderita soft tissue tumor. Soft tissue tumor dengan ukuran yang lebih beasar dari 5 cm harus
dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi terlebih dahulu. Dengan biopsi dapat dilakukan
pemeriksaan histopatologi dan diharapkan dapat menentukan grade dari tumor. Grade sangat
penting untuk menentukan rencana terapi.
Percutaneous core-needle biopsy (CNB) memberikan hasil yang cukup memuaskan
untuk diagnosis beberapa soft tissue tumor. CNB dapat dilakukan secara blind atau dengan
image-guided. Dengan image-guided, biopsi akan lebih terarah pada area tumor (tidak pada area
sentral nekrosis).
Insisi biopsi merupakan pilihan kedua apabila dengan CNB diagnostik masih belum bisa
ditegakkan. Hal ini disebabkan oleh karena adanya morbiditas yang harus dipertimbangkan
dengan tindakan insisi biopsi termasuk resiko anestesi, perdarahan dan penyembuhan luka.
Selain itu insisi biopsi juga memerlukan biaya yang lebih besar. Eksisi biopsi merupakan pilihan
pada neoplama yang kecil dan letaknya superficial.
Fine needle aspiration biopsy (FNAB) sebagai alat bantu untuk menegakkan diagnosis
soft tissue neoplasma masih diperdebatkan. Hasil dari FNA pada lesi mesenchymal sangat
bervariasi dan tergantung beberapa faktor, diantaranya skill dari aspirator dan keahlian
interpretasi dari cytopathologist. Dengan demikian akurasi diagnosis FNA sangat tergantung
keahlian dan pengalaman cytopathologist dalam diagnosis soft tissue sarcoma dengan
pemeriksaan sitologi.
V. Klasifikasi Patologi dan Staging
Tipe histology soft tissue sarcoma kurang lebih ada 70 jenis. Umumnya sarcoma
diklasifikasikan menurut tipe sel normal yang menyerupainya. Soft tissue sarcoma umunya
mempunyai karakteristik invasive lokal, metastasis umumnya secara hematogen dan metastasis
secarata lymfogen sangat jarang, kecuali pada tipe-tipe tertentu kaitannya dengan sarcoma pada
anak-anak. Perangai dari masing-masing soft tissue sarcoma juga berbeda, tergantung pada
lokasi anatomis, grade dan pola histologis yang spesifik pada masing-masing soft tissue sarcoma.
Grading
Setelah ditegakkan diagnosis suatu soft tissue sarcoma, maka suatu hal penting yang harus
ditentukan adalah grading histologis. Gambaran patologi yang menyokong dari grade
malignancy adalah defferensiasi, pleomorfisme, necrosis dan aktifitas mitosis. Ada beberapa
skala grading antara lain, four grade system menurut Broderss, three grade system (low,
intermediate, high) menurut American Joint Commission on Cancer (AJCC) dan Sistem Binary
(high vs Low) yang digunakan MSKCC. Sistem AJCC pertama dipublikasikan tahun 1992
berdasar ukuran tumor primer (T), keterlibatan limfenode (N), adanya metastasis (M) dan tipe
serta grade dari sarcoma (G) .
The Fdration Nationale des Centres de Lutte Contre le Cancer Grading System for Soft Tissue
Sarcomas
Differentiation Score Mitoses Score (per 10 HPF) Necrosis Score
Sarcomas resembling adult mesenchymal tissue
Sarcomas of certain histotype
Embryonal/undifferentiated sarcomas and
sarcomas of uncertain histotype
0-9
10-19
20 or more
No necrosis
<50% necrotic
>50% necrotic
Estimasi rentang derajad keganasan berdasar tipe histologi dan grade

The National Cancer Institute Grading System for Soft Tissue Sarcomas
Common Histologic Types
Grade 1 Grade 2 Grade 3
Well-differentiated liposarcoma
Myxoid liposarcoma
Deep-seated dermatofibrosarcoma protuberan
Some leiomyosarcomas
Pleomorphic liposarcoma
Fibrosarcoma
MFH
Malignant
Alveolar rhabdomyosarcoma
Soft tissue osteosarcoma
Primitive neuroectodermal tumor
Alveolar soft part sarcoma
Epithelioid hemangioendothelioma
Spindle cell hemangioendothelioma
Infantile fibrosarcoma
Subcutaneous myxofibrosarcoma
hemangiopericytoma
Synovial sarcoma
Leiomyosarcoma
Neurofibrosarcoma
Or
0%-15% necrosis
Mesenchymal chondrosarcoma
Or
>15% necrosis
Grading histologi yang rendah sering berhubungan dengan rekurensi lokal sedangkan
Grading histologi yang tinggi sering berhubungan dengan terjadinya metastasis jauh. Adanya
mutasi P53 , over ekspresi P53 pada inti, dan indek proliferasi Ki -67 berhubungan dengan high
grade dan survival yang jelek. Akan tetapi marker biologi tersebut merupakan indikator
prognosis yang independent dan tidak dapat digunakan dalam menentukan grade dari soft tissue
sarcoma.
Grade berdasar histotogi:
Gx : Grade belum dapat dinilai
G1 : Grade 1
G2 : Grade 2
G3 : Grade 3
Staging
Sistem klasik berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 1977
adalah pada stadium I-II dibedakan berdasarkan grade dan stadium IV bila didapatkan metastasis.
Sistem AJCC pertama dipublikasikan tahun 1992 berdasar ukuran tumor primer (T),
keterlibatan limfenode (N), adanya metastasis (M) dan tipe serta grade dari sarcoma (G).
Staging Soft Tissue Sarcoma berdasar AJCC

VI. Immunohistokimia Pada Soft Tissue Sarcoma
Immunohistokimia merupakan tehnik analisa dengan berdasarkan reagent antibody pada
lokasi spesifik epitop dalam jaringan. Ekspresi antigen-antigen tertentu atau cluster dari antigen
adalah khas pada beberapa tumor. Didapatkan ribuan monoclonal dan polyclonal antibody yang
tersedia untuk membantu menegakkan diagnosis tumor, akan tetapi hanya dalam jumlah terbatas
yang telah mempunyai makna pada praktek dalam diagnosis soft tissue sarcoma.
Intermediate filament merupakan komponen utama dari cytoskeletal dan terdiri dari lima
sub group komponen utama yaitu vimentin, cytokeratin, desmin, neurofilamen, glial fibrillry
acidic protein (GFAP) dan sub kelompok minor seperti nestin dan peripherin). Sementara
Intermediate filament secara spesifik diekspresikan oleh sel-sel tertentu (seperti cytokeratin pada
karsinoma, vimentin pada sarcoma).
Vimentin merupakan protein Intermediate filament yang mempunyai berat molekul 57-
kDa dan diekspresikan pada semua sel mesenchymal. Vimentin yang merupakan ubiquitin
diekspresikan pada semua sel selama awal embriogenesis dan kemudian secara bertahap
menempati sel-sel sesuai dengan tipe spesifik dari Intermediate filament. Vimentin juga
diekspresikan oleh sarcomatoid karsinoma, oleh karena itu penggunaannya sebagai
imunohistokimia untuk membedakan antara sarcoma dengan karsinoma sangat terbatas. Dalam
diagnosis, Vimentin sering digunakan untuk menentukan primer dari karsinoma tertentu, yang
mempunyai ekspresi kuat sebagai petunjuk pada ginjal, endometrial, dan karsinoma thyroid.
Cytokeratin merupakan family protein Intermediate filament yang sangat komplek, yang
mempunyai lebih dari 20 protein. Cytokeratin mempunyai berat molekul 40-67 kDa. Cytokeratin
merupakan marker yang sangat sensitive untuk identifikasi karsinoma dan umumnya digunakan
sebagai marker untuk membedakan antara bentuk tumor epitelial dan non epithelial (seperti
limfoma, sarcoma dan melanoma).
Desmin merupakan protein Intermediate filament yang berhubungan dengan otot polos dan
otot skeletal. Pada otot skeletal desmin berlokasi pada zone Z diantara myofibril. Pada otot polos
berhubungan dengan cytoplasmic dense body dan subplamental dense plaques. Desmin juga
diekspresikan oleh sel-sel selain otot termasuk sel reticulum fibroblastic dari lymfenode, sub
mesothelial fibroblast, dan sel stromal endometrial. Desmin diekspresikan hampir 100% oleh
rhabdomyosarcoma pada semua subtype termasuk pada differensiasi yang sangat jelek.
Actin merupakan suatu protein ubiquitin, diekspresikan oleh semua tipe sel. Pad umunya
aktin dapat dikelompokkan dalan muscle dan non muscle isoform yang berbeda pada asam
amino dalam protein dengan berat molekul 43.000. Sementara ada monoklonal antibodi yang
dapat mengidentifikasi semua isoform actin (seperti clone C4) yang sensitif pada semua tehnik
imunohistokima yang ada, antibodi ini tidak dapat digunakan untuk membedakan muscle dari
actin non muscle. Antibodi HHF35 telah digunakan secara luas untuk identifikasi sel muscle,
yang dapat menguraikan spesifitas dari actin muscle (dibandingkan dengan non muscle).
Antibodi 1A4 adalah monoclonal antibodi yang spesifik untuk identifikasi isoform actin pada
smooth muscle, dan dapat digunakan untuk membedakan dengan skeletal muscle.
Ada beberapa marker yang digunakan differensiasi nerve sheath antara lain protein S-100,
Caludin-1, Glut-1, CD57, p75NTR. Protein S-100 mempunyai berat molekul 20 kDa dan
dinamakan demikian oleh karena mempunyai kelarutan 100% pada ammonium sulfate.
Proteinnya terdiri atas 2 subunit, yaitu dan yang kombinasinya terdiri atas 3 isotipe. Isotype
- didapatkan pada myokardium, otot skeletal, dan neuron. Isotype - ada pada melanosit,
glia, chondrocyte, dan adnexa kulit. Isotype - pada sel langerhans dan sel schwan.
Immunohistokimia protein S-100 dapat ditemukan pada beberapa jaringan normal antara
lain neuron dan glia, sel schwan melanosit, sel langerhans, interdigatating reticulum cells pada
lymfenode, chondrocyte, dan duktus kelenjar keringat, kelenjar ludah dan payudara, kelenjar
serous paru, neuroblast fetal dan sel sustentakuler pada medulla adrenal. Dalam diagnosis soft
tissue neoplasma, protein S-100 sangat bermakna sebagai marker untuk benigna dan maligna
pada nerve sheath tumor dan melanoma. Protein S-100 diekspresikan dengan kuat, uniform pada
schwanoma dan pada malignant peripheral nerve sheath tumor hanya 40-80% dan diekspresikan
lemah. Pada semua tipe malignant melanoma termasuk pada variant desmoplastic dan
sarcomatoid hampir selalu menunjukkan positif kuat pada protein S-100. Hanya 2-3% dari
melanoma yang menunjukkan negatif pada protein S-100.
Claudin-1 dapat untuk menentukan struktur ikatan (tight junction structure) dan
permeabilitas yang diekspresikan oleh jaringan, seperti misal ekspresi claudin-1 hampir selalu
didapatkan diantara epitel dan claudin-3 hanya terbatas pada epitel paru dan liver. Claudin akan
berikatan dengan protein transmembran membentuk kompleks dengan protein transmembran
yang lain seperti junctional adhesion molecule (JAM) dan occludin dan berinteraksi dengan
scaffolding protein seperti ZO-1, ZO-2 dan ZO-3. Dalam klinis, claudin-1 digunakan sebagai
marker untuk perineurioma, yang mana 20-09% positif pada perineurioma.
Glut-1 merupakan tipe protein glukose erythrocyte transporter yang mempunyai peranan
dalam transport glukosa diantara barier epitel dan endotel jaringan. Ekspresi protein Glut-1
didapatkan pada perineurial sel normal dan perineurial tumor baik jinak maupun ganas. Glut-1
juga diekspresikan dalam jumlah sedikit pada epitheloid sarcoma dan diantara vascular tumor
ekspresi Glut-1 khususnya didapatkan pada semua juvenile capillary hemangioma, tetapi tidak
pada tumor vascular pediatrik yang lain termasuk pada malformasi vaskuler.
CD57 merupakan protein dengan berat molekul 110-kDa secara normal didapatkan pada
permukaan natula cell killer dan lymphocyte T. Meskipun immunoreaktivitas CD57 didapatkan
pada sebagian besar malignant peripheral nerve sheath tumor namun dalam prosentase yang
cukup signifikan juga positif pada sarcoma yang lain termasuk synovial sarcoma dan
leiomyosarcoma. Kekurangan dari CD57 dalam diagnosis immunohistokimia adalah spesifitas
yang terbatas.
p75NTR diekspresikan sampai 80% oleh malignant peripheral nerve sheath tumor dan
hampir semua schwanoma, granular sel tumor dan neurofibroma. Akan tetapi sama dengan
CD57, p75NTR ekspresinya tidak hanya terbatas pada malignant peripheral nerve sheath tumor
akan tetapi juga pada sarcoma yamg laintermasuk synovial sarcoma dan malignant melanoma.
CD99 merupakan glikoprotein transmembran dengan berat molekul 30-32 kDa (p30/32).
Penggunaan yang sangat penting dari antibody CD99 adalah untuk diagnosis immunohistokimia
Ewings sarcoma/ primitive neuroectodermal tumor (ES/ PNET). Dari beberapa penelitian
menyebutkan bahwa lebih dari 90% ES/ PNET mengekspresikan CD99. CD99 juga
diekspresikan lebih dari 90% olek lymphoblastic Lymphoma , 20-25% primitive
rabdomyosarcoma, lebih dari 75% pada poorly differentiated synovial sarcoma, kurang lebih 50%
pada mesenchymal chondrosarcoma dan jarang pada kasus small sel osteosarcoma dan intra-
abdominal desmoplastic round cell tumor.
Marker Imunohistokimia Pada Soft Tissue Sarcoma
Antibodi Diekspresikan oleh
Cytokeratin
Vimentin
Desmin
Glial Fibrillary acidic protein
Neurofilamens
Pan-Muscle Actin
Smooth muscle actin
Myogenic nuclear regulatory
protein (myogenin, MyoD1)
S-100 protein
Epithelial membrane antigen
CD99 (MIC2 gene product)
CD45 (Leucocyte common
antigen)
CD30 (Ki-1)
CD68
Melanosome-specific antigen
(HMB-45, Melan-A, tyrosinase,
microphthalmia transcription
Carcinoma, Epiteloid sarcoma, synovial sarcoma, beberapa angiosarcoma dan
leiomyosarcoma, Mesothelioma, extrarenal rhabdoid tumor
Sarcoma, Melanoma, beberapa carcinoma dan lymphoma
Tumor jinak dan ganas pada smooth & skeletal muscle
Glioma, pada beberapa schwannomas
Neuroblastic tumors
Tumor jinak dan ganas pada smooth & skeletal muscle, myofibroblastik tumor dan
pseudotumor
Tumor jinak dan ganas pada smooth muscle, myofibroblastik tumor dan
pseudotumor
Rhabdomyosarcoma
Melanoma, benign & malignant peripheral nerve sheath tumor, cartilagenous tumor,
normal adiposa tissue, Langerhans cells
Carcinoma, epitheloid sarcoma, synovial sarcoma, perineurioma, meningioma,
Anaplastic large cell lymphoma
Ewing sarcoma / primitive neuroectodermal tumor, beberapa rhabdomyosarcoma,
beberapa synovial sarcoma, lymphoblastic lymphoma, mesenchymal
chodrosarcoma, small cell asteosarcoma
Non Hodgkin Lymphoma
Anaplastic large cell Lymphoma, Embrional carcinoma
factor)
MDM2/ CDK4
Claudin-1
Glut-1
Protein kinase C 0
Bcl-2
Macrophages, fibrihistiocytic tumors, granuler cell tumors, various sarcoma,
melanoma, carcinomas
Melanoma, PEComa, clear cell sarcoma, melanotic schwannoma
Atypical lipomatous tumor and differentiated liposarcoma
Prineurioma, Synovial sarcoma, epitheloid sarcoma, beberapa Ewing sarcoma /
primitive neuroectodermal tumor/ PNET
Prineurioma, infantile hemangioma
GIST
Synovial sarcoma, solitary fibrous tumor, other spindle cell tumor
Keterlibatan gen sebagai penyokong diagnosis soft tissue sarcoma, berdasarkan NCCN 2010


Keterlibatan Gen sebagai penyokong Diagnosis soft tissue sarcoma, berdasarkan NCCN 2010
VII. Pemeriksaan Imaging.
Pemerikasaan radiologi pada soft tissue tumor telah mengalami revolusi secara dramatik
semenjak setelah abad XX, oleh karena diketemukannya Computed Tomografi (CT) dan
kemudian Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pada pemeriksaan imaging hal-hal yang
diharapkan adalah,
1. Untuk mengidentifikasi dan mengetehahui karakteristik dari lesi
2. Membedakan suatu proses neoplasma atau non neoplasma
3. Menegakkan suatu diagnosis yang spesifik atau kemungkinan differensial diagnosis.
4. Sebagai penunjuk arah biopsi pada lesi jaringan
5. Staging
Dengan adanya pemeriksaan imaging yang bertehnologi tinggi, pemeriksaan foto rontgen
sering kali ditinggalkan dalam evaluasi suatu soft tissue tumor. Pemeriksaan dengan foto rontgen
sering normal dan kurang bermanfaat untuk pemeriksaan suatu soft tissue tumor. Meskipun foto
rontgen tidak dapat menguraikan secara lebih detail, namun karena ketersediaannya yang cukup
luas dan harganya yang tidak mahal, pemeriksaan ini masih dapat digunakan sebagai
pemeriksaan awal pada soft tissue tumor. Penggunaan imaging cross-sectional seperti USG, CT
dan MRI memberikan hasil yang lebih baik dalam pemeriksaan soft tissue tumor.
Beberapa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pemeriksaan imaging
Modalitas Kelebihan Kekurangan
Foto rontgen
Ultrasound
CT
MRI
Nuclear
Murah
Tersedia secara luas
Kalsifikasi merupakan gambaran
patognomonik yang khas untuk
identifikasi adanya suatu kelainan
Dapat untuk identifikasi awal
abnormalitas tulang
Non cross-sectional imaging
Tidak spesifik
Tidak dapat mengidentifikasi adanya
suatu masa yang kecil
Adanya radiasi ionisasi
Operator dependent
Medicine Murah
Tersedia secara luas
Cross-sectional multiplanar
Real-time (dynamic) scanning
Tidak menimbulkan radiasi
Sangat baik untuk evaluasi lesi yang
superfisial
Execellent untuk membedakan lesi
kistik dan solid
Dapat mengidentifikasi kalsifikasi
US doppler dapat mengevaluasi
vascularitas
Cross sectional multiplanar imaging
Optimal imaging dalam mendeteksi /
mengetahui karakter calsifikasi
Baik untuk lesi pericapsular
Baik untuk lesi pada abdomen/
dinding dada
Tidak ada radiasi ionisasi
Cross sectional multiplanar imaging,
merupakan metode yang sangat
optimal untuk membedakan
karakteristik komponen soft tissue
yang mengalami lesi
Methode optimal untuk staging
anatomis
Intermediate cost
Gallium: dapat membedakan MPNST
(uptake) dengan BPNST (no
High learning curve
Beberapa lesi tidak dapat dijangkau
Abnormalitas awal dari tulang tidak
dapat dievaluasi
Secara anatomis tidak dapat untuk
staging dengan baik
Mempunyai keterbatasan untuk
mendeteksi lemak pada lesi
Sering terbatas pada lapang pandang
Tidak menunjukkan karakteristik yang
baik pada kalsifikasi.
Mahal
Radiasi ionisasi
Tidak sebaik pada resolusi kontras pada
MRI
Perlu image post kontras
Potensial alergi pada kontras
Mungkin perlu imaging pada dua sisi
untuk perbadingan (extremitas)
Ketersediaan terbatas
Mahal
Kadang perlu kontras (potensial alergi)
Ada beberapa kontraindikasi
( claustrophobia, beda asing logam,
pacemaker)
Tidak begitu baik dalam identifikasi/
evaluasi karakteristik dari kalsifikasi
uptake) Non cross-sectional imaging
Non spesifik
Radiasi ionisasi
Beberapa hal penting dalam evaluasi soft tissue sarcoma adalah mengenai lokasi dan
karakteristik termasuk ukuran, morfologi, bentuk dan perluasannya. Lokasi merupakan suatu hal
yang sangat penting sebagai petunjuk diagnostik. Penggunaan kontras secara intravena dalam
pemeriksaan CT atau MRI dapat meningkatkan resolusi kontras pada evaluasi soft tissue tumor.
Tehnologi kedokteran nuklir belum mempunyai peran utama dalam evaluasi soft tissue
tumor. Pada saat ini FDG (Fluorine-18 fluro-2-deoxy-D-Glukose) positron emission tomografi
(PET) telah digunakan dalam pemeriksaan soft tissue tumor dengan mengukur aviditas dari
turnover glukosa (dihitung secara kuntitatif menggunakan standardized uptake value / SUV).
Peranan dari FDG PET dalam membedakan tumor jinak dan ganas (SUV lebih dari 2-3),
evaluasi dalam treatment neoplasma dan evaluasi recurensi neoplasma setelah pembedahan
sampai saat ini masih dalam penelitian.
VIII. Penatalaksanaan
Operasi merupakan terapi primer pada soft tissue sarcoma yang masih terlokalisir.
Dengan eksisis lokal luas sampai margin jaringan normal, recurent rate adalah 10-31%, diseksi
sepanjang pseudokapsul (enukleasi atau shelling out) kemungkinan terjadi lokal recurent adalah
antara 33%-63%. Batas-batas margin pada soft tissue sarcoma tidak dapat ditentukan secara
tepat, tergantung dari letak anatomis tumor dan jaringan lunak sekitar tumor.
Pada saat ini, kurang lebih 90% pasien dengan sarcoma pada ekstremitas yang masih
terlokalisir dilakukan penatalaksanaan dengan limb-sparing treatment. Penggunaan
multimodalitas limb-sparing treatment approach untuk sarcoma pada ekstremitas adalah
berdasarkan suatu trial fase III dari US National Cancer Institute (NCI). Berdasarkan random
trial dari NCI dan MSKCC didaptkan suatu evidence untuk memberikan tambahan operasi
dengan radiasi sebagai standart approach pada pasien dengan superficial trunk dan ekstremitas
yang masih operable.
Radioterapi memberikan beberapa efek samping. Adanya efek samping dari radiasi
seperti edema, fibrosis, dan induksi keganasan sekunder akibat radiasi memberikan suatu
alternatif pilihan untuk terapi pembedanhan saja tanpa radiasi. Akan tetapi seleksi pasien harus
benar-benar tepat pada pemberian unimodalitas operasi. Kriteria penting terenasuk lokasi
anatomis dan surgical margin yang adequate.
Amputasi merupakan pilihan terapi pada pasien dengan tumor primer yang locally
advanced. Kriteria seleksi pasien untuk amputasi adalah:
- Pada pemeriksaan radiologi didapatkan keterlibatan pembuluh darah utama, tulang, atau
saraf termasuk apabila dilakukan reseksi tumor primer dengan limb sparing akan
didapatkan hilangnya fungsi atau jaringan yang tidak viable.
Tindakan diseksi limfenode bukan merupakan prosedur rutin pada soft tissue sarcoma.
Insiden metastase limfenode sangat rendah (2-3%) pada pasien dewasa dengan soft tissue
sarcoma yang masih lokalized. Akan tetapi pada psien dengan angiosarcoma, embrional/
alveolar rhabdomyosarcoma, clear cell sarcoma, dan epitheloid sarcoma mempunyai resiko
metastasis limfenode yang lebih tinggi. Pada pasien-pasien tersebut sebaiknya dipertimbangkan
untuk sentinel limfenode biopsi sebagai bagian dari terapi definitif operasi. Limfenode diseksi
sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keterlibatan limfenode secara patologi dan secara
radiologis tidak didapatkan adanya metastasis jauh. Limfenode diseksi dapat menghasilkan
survival rate sebesar 34%. Pada umunya Prognosis pasien dengan metastasis limfenode sama
dengan metastasis visceral.
Kemoterapi merupakan terapi utama pada pasien soft tissue sarcoma dengan metastasis
(stage IV). Penggunaan kemoterapi dalam setting sebagai adjuvan masih merupakan kontroversi.
Akan tetapi pada Ewing sarcoma/ primitive neuroectodermal tumor (PNET),
Rhabdomyosarcoma, dan osteogenis sarcoma adjuvant atau neoadjuvant kemoterapi merupakan
suatu standart terapi yang tepat. Dengan pemberian kemoterapi disease free survival pada 10
tahun meningkat dari 45% menjadi 55%, lokal desease free survival pada 10 tahun juga
meningkat dari 75% menjadi 81%. Overall survival pada 10 tahun juga meningkat dari 50%
menjadi 54% akan tetapi tidak signifikan secara statistik.
Neoadjuvant kemoterapi secara teori memberikan bebrpa kentungan, anata lain dapat
mengetahui sensitivitas kemoterapi secara in vivo, dapat memberikan terapi sedini mungkin
setelah diagnosis pada occult metastasis dan sitoreduksi oleh kemoterapi dapat menurunkan
morbidatas operasi. Kombinasi Ifosfamide merupakan pilihan regiment untuk neoadjuvant
kemoterapi.
DAFTAR PUSTAKA
1.Brennan M.F., Lewis J.J., 2002, Diagnosis and Management of Soft Tissue Sarcoma, Martin
Dunitz Ltd., United kingdom
2. Weiss S.W., Goldblum J.R., 2008, Soft Tissue Tumors, Fifth Edition, Mosby Elsevier, China
3. Manuaba, T.W., 2010, Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid, Peraboi 2010, Sagung Seto,
Jakarta
4. Fletcher C.D.M., Unni K.K., Martens F., 2002, Pathology and Genetic of Tumours of Soft
Tissue and Bone, IARC Press, Lyon
5. Brown F.M., Fletcher C.D.M., Problems in Grading Soft Tissue Sarcomas, Am J. Clin Pathol
2000;114(Suppl 1):S82-S89
6. Schuetze S.M., Baker L.H., Benjamin R.S., Conetta R., Selection of Response Criteria for
Clinical Trials of Sarcoma Treatment, The Oncologist 2008;13 (suppl 2):32-40
www.TheOncologist.com
7. NCCN Practice Guidelines in Oncology, 2010, Soft Tissue sarcoma, www.nccn.org
8. Yu G.H., Sack M.J., Baloch Z., Gupta P.K., Difficulties in the fine needle aspiration (FNA)
diagnosis of schwannoma, Cytopathology 1999, 10, 186194
9. Chan A.S., Thorner P.S, Squire J.A., Zielenska M., Identification of a novel gene NCRMS on
chromosome 12q21 with differential expression between Rhabdomyosarcoma subtypes,
Oncogene (2002) 21, 3029 3037, www.nature.com/onc
10. Kilpatrick S.E., Bergman S, Pettenati M.J., Gulley M.L., The usefulness of cytogenetic
analysis in fine needle aspirates for the histologic subtyping of sarcomas, Modern
Pathology (2006) 19, 815819, www.modernpathology.org
11. Noy A., Scadden D.T., Lee J., Dezube B.J., Aboulafia D., Tulpule A., Walmsley S., Gill P.,
Angiogenesis Inhibitor IM862 Is Ineffective Against AIDS-Kaposis Sarcoma in a Phase
III Trial, but Demonstrates Sustained, Potent Effect of Highly Active Antiretroviral
Therapy, Journal of Clinical Oncology,2005; 23:990-998
12. Hawkins D.S., Schuetze S.M., Butrynski J.E., Rajendran J.G., Vernon C.B.,. Conrad III E.U.,
Eary J.F., [
18
F]Fluorodeoxyglucose Positron Emission Tomography Predicts Outcome
for Ewing Sarcoma Family of Tumors, Journal of Clinical Oncology,2005; 23:8828-8834.
13 DAdamo D.R., Anderson S.E., Albritton K.., Yamada J., Riedel E., Scheu K., Schwartz G.K.,
Chen H., Maki R.G., Phase II Study of Doxorubicin and Bevacizumab for Patients With
Metastatic Soft-Tissue Sarcomas, Journal of Clinical Oncology, 2005; 23:7135-7142.

Anda mungkin juga menyukai