Anda di halaman 1dari 46

PEMIKIRAN PENDIDIKAN KH.

AHMAD DAHLAN
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada
mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam.
Dosen pengempu:
Dr. H. Syahidin, M.Pd.
Iman Firmansyah, M.Ag.
disusun oleh:
Aan Sopian

1001578

Enggi Pramudia

1005766

Fikri Haekal Anwar

1003390

M. Sofwan Nugraha

1001741

ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2012

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan nikmat iman dan islam
sehingga kita masih dapat berjihad di jalan-Nya dalam rangka menuntut ilmu. Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad
ialah utusan Allah. Salawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada
Rasulullah SAW, kepada keluarga, para sahabat, tabiin tabiutnya dan seluruh
umatnya sampai akhir zaman. Amien.
Disusunnya Makalah ini, ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas
kelompok pada mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yang membahas tentang
Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Syahidin, M.Pd. dan
Iman Firmansyah, M.Ag atas bimbingannya, serta kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Disadari sepenuhnya, bahwa penyusunan makalah ini masih sangat jauh dari
sempurna, baik dalam penyajiannya, maupun penguraianya. Oleh karena itu, besar
harapan penulis, semoga pembaca khususnya dosen pembina, dapat memaklumi
kekurangan yang terdapat pada makalah ini, karena penulis masih dalam tahap
proses pembelajaran. Karena segala kebenaran dan kesempurnaan hanya milik
Allah semata.

Bandung, April 2012

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan Penyusunan.......................................................................................2
D. Metode Penyusunan......................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN .........................................................................................3
A. KH. Ahmad Dahlan
1. Biografi Singkat KH. Ahmad Dahlan.........................................................3
2. Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan..............................................11
3. Peran KH. Ahmad Dahlan dalam Dunai Pendidikan Indonesia...............25
4. Analisis Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan................................28
BAB 3 PENUTUP.................................................................................................31
A. Kesimpulan.................................................................................................31
B. Kritik dan Saran..........................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................34

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna di antara makhluk
yang diciptakan oleh Tuhan, yang memiliki dua potensi yang ada dalam
dirinya yang tidak diberikan kepada makhluk lain, yaitu akal dan nafsu. Akal
merupakn potensi yang diberikan Tuhan untuk mengetahui dan mempelajari
setiap hal yang ada di alam semesta ini.
Dari akallah kita dapat mengetahui dan mempelajari berbagai ilmu dan
pegetahuan, termasuk dunia pendidikan. Di setiap negara, memiliki
perkembangan dan konsep yang tak jauh berbeda dalam dunia pendidikannya.
Masa penjajahan, pendidikan di Indonesia terkesan sekuler memisahkan antara
ilmu umum dan ilmu agama, bahkan di lembaga-lembaga pendidikan pada
masa itu tidak ada mata pelajaran agama.
Dewasa ini dunia pendidikan di Indonesia sudah meninggalkan sistem
sekulernya, dan dalam tujuan pendidikan Nasional pun Indonesia hendak
melahirkan pribadi-pribadi yang beriman dan beratakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia dan sebagainya. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa dunia
pendidikan di Indonesia tidak sekuler lagi. Bahkan dalam tujuan pertama dari
pendidikan itu iman dan bertaqwa kepada Tuhan yang merupakan konsep dari
agama.
Semua ini, tidak dapat terwujud dengan sendirinya. Setiap peristiwa dan
setiap perubahan pasti ada tokoh atau pahlawan di dalamnya. Sebut saja KH.
Ahmad Dahlan merupakan seorang Kiayi yang memiliki pemikian yang
terbuka dan luar biasa dalam memperjuangkan dunia pendidikan yang
terkesan sekuler pada waktu itu. Beliau memberikan dobrakan besar dalam
duani pendidikan, termasuk pendidikan Islam yang mendapat berbagai
pertentangan dari pihak penjajah bahkan dari pribumi sendiri. Berkat jasanya
dunia pendidikan Indonesia tidak sekuler lagi, bahkan dewasa ii banyak
lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa islami.
Oleh karena itu, kami tertarik untuk melakukan pengkajian mengenai
profil KH. Ahmad Dahlan, pengalaman beliau, dan yang terpenting konsep
atau pemikiran pendidikan yang memberikan pencerahan dalam dunia
pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan islam.

B. Rumusan Masalah
Masalah-masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini di antaranya
sebagai berikut.
1. Siapakah KH. Ahmad Dahlan?
2. Bagaimana pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan?
3. Bagaimana konsep pendidikan islam KH. Ahmad Dahlan?

4. Bagaimana peran KH. Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan di


Indonesia?
5. Apa pengaruh dari pemikiran KH. Ahmad Dahlan dunia pendidikan di
Indonesia?
C. Tujuan Penyusunan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, untuk menjawab semua
rumusn masalah-masalah yang akan dibahas, di antaranya sebagai berikut.
1. Mengetahui biografi singkat KH. Ahmad Dahlan?
2. Mengetahui dan memahami pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan?
3. Mengetahui dan memahami konsep pendidikan islam KH. Ahmad
Dahlan?
4. Mengetahui dan memahami peran KH. Ahmad Dahlan dalam dunia
pendidikan di Indonesia?
5. Mengetahui dan memahami pengaruh dari pemikiran KH. Ahmad Dahlan
dunia pendidikan di Indonesia?
D. Metode Penyusunan
Penyusunan makalah ini, menggunakan metode pengumpulan data
dengan melakukan kajian pustaka dengan menggali sumber-sumber dari
berbagai literatur baik yang berupa artikel, maupun yang berbentuk buku-buku
dan beberapa sumber dari internet.

BAB 2
PEMBAHASAN
A. Biografi Singkat KH. Ahmad Dahlan
1. Kelahiran KH. Ahmad Dahlan
Pendirian persyarikatan Muhammadiyah, Kyai Haji Ahmad Dahlan,
dilahirkan pada tahun 1285 H bertepatan dengan 1868 M di kampung
Kauman Yogyakarta. Beliau merupakan putra keempat dari KH Abu Bakar
bin Sulaiman KH Sulaiman yang pernah menjabat sebagai Khatib Mesjid
Besar Mataram Yogyakarta. (Yahya, 2003 : 27)
Silsilah lengkapnya ialah Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH
Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang
Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gibrig (Djatinom) bin Maulana Muhammad
Fadlulllah (Prapen) bin Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin
Maulana Malik Ibrahim. (Hidayat, 2011 : 15)
KH Abu Bakar memberi nama putranya itu Muhammad Darwisyi, masih
merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim salah seorang
dari sembilan Wali Songo yang telah berjasa menyebarkan Islam di Jawa.
Ibu Muhammad Darwisy yang terkenal dengan sebutan Nyai Abu Bakar,
adalah puti KH Ibrahim bin KH Hasan dengan nama Siti Aminah. KH
Ibrahim sendiri menjabat sebagai penghulu keraton. Dengan demikian
jelaslah bahwa Muhammad Darwisy dari sisi ayah dan ibu dilahirkan
dalam keadaan muslim yang taat. (Yahya, 2003 : 27)
Pada saat Darwisy berusia 21 tahun, beliau menikahi putri dari KH
Muhammad Fadlil yang bernama Siti Walidah yang kelak kemudian
dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan pada bulan Dzulhijjah tahun 1889 dan
pasangan ini kemudian dikaruniai enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj
Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. (Hidayat,
2011 : 16)
Di samping itu KHA Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda
H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Rum, Adik Kyai
Munawwir

Krapyak.

KhA Dahlan

juga

mempunyai

putra

dari

perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur


yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta. (Hidayat, 2011 : 17)
2. Kampung Kelahiran KHA Dahlan

Kauman terletak di sekitar Masjid Besar Mataram Yogyakarta, yang pada


awal mulanya dihuni oleh para ulama yang bertugas memakmurkan mesjid
sebagai khatib, imam, muadzin, serta kyai penghulu atau Kadli keraton
dengan segala staff dan pegawainya. Jumlah khatib ada 12 orang dan salah
seorang diantaranya adalah KH Abu Bakar dengan gelar Khatib Amin, atau
dalam logat Jawa Ketib Amin. (Yahya, 2003 : 27)
Setelah KH Abu Bakar wafat maka gelar khatib dilanjutkan oleh putranya
KHA Dahlan. Para Kyai dan ulama penduduk Kauman itu kemudian
saling berbesanan diantara anak-anak dan cucu-cucu mereka, dan mereka
semua menghuni kampung Kauman. Dengan demikian jelaslah bahwa
Muhammadiyah itu terlahir di tengah-tengah masyarakat yang tebal
keislamannya. (Yahya, 2003 : 28)
3. Masa Kecil KHA Dahlan
Sewaktu masih kanak-kanak, Muhammad Darwisy bergaul akrab dengan
kawan-kawan dan tetangganya. Beliau dikenal sebagai anak yang rajin,
jujur dan suka menolong, dia memiliki banyak kelebihan yaitu pandai
membuat kerajinan-kerajinan tangan dan barang-barang mainan. Oleh
karena itu beliau begitu disenangi oleh teman-temannya dan tetangga
sekampungnya. (Yahya, 2003 : 28)
4. Pendidikan KHA Ahmad Dahlan
Di kalangan masyarakat Kauman saat itu, ada suatu pendapat umum yang
mengatakan bahwa barang siapa yang memasuki sekolah Gubernement
( sekolah Pemerintah Belanda), akan dianggap kafir atau kristen. Oleh
sebab itu ketika menginjak usia sekolah, pendidikan Muhammad Darwisy
pertama-tama diberikan oleh ayahnya sendiri dan setelah meningkat
dewasa beliau belajar mengenai ilmu Fiqih kepada KH Muhammad Shaleh
dan belajar ilmu nahwu-sharaf kepada KH Muhsin, yang keduanya adalah
kakak ipar beliau sendiri. Guru-gurunya yang lain adalah KH Muhammad
Nur dari Kauman dan KH Abdul Hamid dari Lempuyangan. Ilmu
Qiraatul Quran dipelajarinya dari Syekh Amin dan Sayyid Bakri Syata.
Tentang ilmu falak dan hisab beliau dapat dari KH Dahlan dari Semarang
dan dari Syekh Muhammad Jamil Jambek sewaktu keduanya sedang
bermukim di Mekkah. Dari Syekh Mahfud dan Syekh Khayat, beliau
mempelajari ilmu hadits. Bahasa Melayu (Indonesia) beliau pelajarinya
dari R. Ngabehi Sosrosoegondo, seorang guru bahasa melayu di
Kweekschool gubernement Yogyakarta saat itu. Bahkan beliau pernah pula

belajar ilmu pengobatan untuk luka karena serangan-serangan binatang


berbisa dari Syekh Hasan. (Yahya, 2003 : 29)
Sejak Kecil Muhammad Drwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang
membekalinya pengetahuan agama dan bahasa arab. Pada usia 15 tahun
1833, ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan
dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Mekkah selama lima
tahun. Ia pun semakin Intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani,
Rasyid Ridha, dan ibnu Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh tersebut
sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwisy. (Hidayat,
2011 : 14)
5. Perjuangan KHA Ahmad Dahlan
Sebelum mendirikan Muhammadiyah KHA Dahlan pernah bergabung
dalam perkumpulan Djamiatul-Khair, Boedi Utomo, maupun Sarikat
Islam. Pernah pula menjadi pengurus Komite Tentara Pembela
Kemerdekaan. KHA Dahlan selain gemar membaca dan mendidik para
pemuda, beliau termasuk ulama yang mengajar Isslam di sekolah negri,
beliau memberi pelajaran agama Islam untuk para siswa sekolah
guru(Kweekschool) di Jetis Yogyakarta dan sekolah pamong praja
(Mosvia) di Magelang. Tak jarang beliau juga selalu berdagang dan
bertabligh ke berbagai daerah. (Yahya, 2003 : 30)
Adapun puncak dari semua itu, akhirnya

beliau

mendirikan

Muhammadiyah. Tidak sedikit halangan dan rontangan yang beliau jumpai


manakala persyarikatan Muhammadiyah mulai berdiri, baik dari pihak
keluarga ataupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai cacian banyak yang
tertuju pada beliau, beliau dituduh sebagai kyai palsu yang akan
mendirikan agama baru, yang meniru-niru kristen, bahkan pula ada orang
yang hendak membunuhnya. (Yahya, 2003 : 31)
Meskipun kelahiran Muhammadiyah sebagai

realisasi

dari

ide

pembaharuan yang diidam-idamkan, beliau tidaklah serta merta diterima


oleh masyarakat luas, namun dengan tekad, keyakinan dan ketabahannya,
akhirnya titik terang telah mulai bermunculan, banyak masyarakat yang
mulai tertarik dan menerima pembaharuan-pembaharuan yang beliau
perjuangkan. Dan akhirnya organisasi Muhammadiyah mulai melebar
sayapnya ke berbagai pelosok. (Yahya, 2003 : 31)
Pada tanggal 23 Februari 1923 KHA Dahlan wafat dalam usianya ke-55
tahun. Kini Muhammadiyah telah dapat kita rasakan. Oleh karena itu

tidaklah berlebihan ketika pemerintah negara Indonesia berdasarkan surat


keputusan Presiden nomor 637 tahun 1961 telah mengangkat dan memberi
penghargaan putra bangsanya : KHA Dahlan sebagai pahlawan
Kemerdekaan Nasional. (Yahya, 2003 : 32)
Berikut beberapa hasil perjuangan KHA Dahlan (Farid, 2012):
a. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta
dengan gelar Ketib Amin. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori
Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan
arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
b. Tahun 1922. Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama yang bertujuan
untuk mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan
berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam
khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai
RH Moehammad Kamaludiningrat yang juga membentuk Majelis Tarjih
(1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar
manusia berfikir dan tertarik pada Islam melalui pembuktian jalan
kepandaian dan ilmu.
c. Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo.
Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk
memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya.
Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul
bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan
Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917
diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan. Keanggotaannya di Boedi
Oetomo memberikan kesempatan luas berdakwah kepada para anggota
Muhammadiyah dengan mengajar agama Islam kepada siswa-siswa yang
belajar di sekolah Belanda. Antara lain Kweeck School di Jetis. OSVIA
(Opleiding School Voor Indlandsch Amtenaren), Sekolah Pamong Praja
(Magelang). Selain dakwah yang diadakan di rumahnya di Kauman.
d. Tahun 1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu
Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan
belajar mengajarnya diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5
x 6 meter. Meskipun demikian sudah dikelola secara modern dengan
menggunakan metode dan kurikulum. Dengan menggunakan papan tulis,
meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal. Waktu merupakan
sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama kali

muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat


menjadi 20 orang.
e. Tahun 1914 besluit pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah
Belanda, Kiai Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu
yaitu Sapatresna. yang tahun 1920, kemudian diubah namanya jadi
Aisiyah. Tugas pokoknya mengadakan pengajian khusus bagi kaum
wanita. Dengan ciri khusus peserta pengajian Sapatresna diwajibkan
memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini
pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan.
f. Tahun 1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Tahun
1922 didirikan Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari
Aisyiyah kalangan muda. Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan
Hizwul Wathan (HW) diketuai Haji Muhtar. Diantara alumni HW (yang
juga berkembang di Banyumas) adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1917
Kiai Ahmad Dahlan mendirikan pengajian Malam Jumat sebagai forum
dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat
simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps Mubaligh keliling, yang
bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir
miskin, dan yang sedang dilanda musibah.
g. Tahun 1918 didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian
menjadi Pondok Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan
yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia,
yakni Penolong Haji.
Selain itu mendirikan pula mushala yang pertama di Indonesia untuk kaum
wanita Untuk mendukung aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta
benda dan kekayaannya sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah
Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang perabot rumah tangganya untuk
mencukupi keperluan dana bagi gerakan Muhammadiyah.
h. Tahun 1922 Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang
guru dan 1019 siswa. Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck
School (Magelang), Kweeck School (Purworejo), Normal School (Blitar),
NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School (Surabaya), Hoogers
Kweeck School (Purworejo). Pada tahun 1921 Muhammadiyah sudah
memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta),
Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa
Timur). Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo,
Purwokerta, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan

Sungai Liat (Bangka). Selain itu Muhammadiyah sudah menerbitkan


majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM) sejak tahun 1914. Kemudian
Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun 1922, untuk
para anggota dan Umat Islam pada umumnya.
Hubungan pergaulan Kiai Ahmad Dahlan sangat luas. Selain di
Muhammadiyah dan Boedi Oetomo, Kiai Dahlan merupakan komisariat
Central Sarekat Islam (SI) dan Adviseur (Penasehat Pusat) SI. Sekaligus
ahli propaganda dari aspek dakwah bagi SI. Bahkan kiai ini termasuk
rombongan yang mewakili pengurusan pengeshan Badan Hukum Sarekat
Islam, bersama Cokroaminoto. Aktivitasnya di SI sejak tahun 1913. Selain
di SI, Muhammadiyah, dan Boedi Oetomo, jauh sebelum mendirikan
Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan pun menjadi anggota perkumpulan
Jamiatul Khair (1905) dari kalangan pribumi, bersama Husein
Jayadiningtrat. Luasnya hubungan Kiai Ahmad Dahlan bisa dilihat dari
donatur Muhammadiyah yang terdiri dari bermacam kalangan. Antara lain
para pemimpin SI, organisasi Islam di pulau Jawa dan luar Jawa. Juga para
politisi dan Birokrat seperti Pegawai Jawatan Kereta Api dan Irigasi.

6. KHA Dahlan dan Muhammadiyah


Suatu ketika KHA Dahlan ditaya oleh murid-muridnya perihal nama apa
yang akan diberikan kepada organisasi yang akan beliau dirikan, maka
Kyai menjawab : Muhammadiyah, nama itu beliau pilih sebagai hasil
dari shalat istikharah yang berulang kali beliau lakukan, waktu itu KH.
Suja, salah seorang murid dan kadernya bertanya kepada beliau apa sebab
diberi nama Muhammadiyah, seperti nama perempuan ? pertanyaan
tersebut oleh beliau jawab : Muhammadiyah itu bukanlah nama seorang
perempuan, melainkan artinya ummat Muhammad, pengikut Muhammad,
utusan terakhir Tuhan. (Yahya, 2003 : 6)
Adapun arti Muhammadiyah selain itu (Yahya, 2003 : 6):
a. Arti Bahasa
Secara
Lughawy,
Muhammadiyah
berasal

dari

bahasa

arabMuhammad, yaitu nabi dan rasul terakhir., kemudian mendapat


tambahanYa nisbiah yang berfungsi menisbikan
b. Arti Istilah
Adapun secara istilahy, Muhammadiyah adalah persyarikatan yang
didirikan oleh KHA, Dahlan yang erupakan gerakan Islam dan
Dakwah Amr Maruf Nahyi Munkar, berasaskan Islam dan bersumber

pada Al-Quran dan As-Sunnah (AD psal 1) dengan maksud dan tujuan
menegaskan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. (AD pasal 2)
Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oelh pendirinya karena dengan
nama itu berharap agar dapat mencontoh segala jejak perjuangan dan
pengabdian Nabi Muhammad. Juga dimaksudkan agar semua anggota
Muhammadiyah benar-benar menjadi seorang muslim yang penuh
pengabdian dan tanggungjawab terhadap agamanya serta bangga dengan
kesilamannya. Dengan Muhammadiyah beliau ingin mengadakan suatu
pembaharuan di Indonesia dalam cara berfikir dan beramal menurut
tuntunan K-Quran dan As-Sunnah. (Yahya, 2003 ; 7)
Ia pun menidirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di
bidang pendidikan. (Hidayat, 2011 : 17)
Semangat, jiwa dan pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, yang
diperoleh KHA Dahlan dari tokoh-tokoh pembaharu Islam seperti
Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, Ibnu Taimiyah dan laimlain selama belajar di Mekkah, diwujudkannya dengan menampilkan corak
keagamaan yang sama dengan tokoh pembaharu Islam tersebut di atas,
melalui

Muhammadiyah

yang

bertujuan

untuk

memperbaharui

pemahaman keagamaan(ke-Islaman) di sebagian besar dunia Isslam di


Indonesia saat itu yang masih bersifat ortodoks(kolot). (Hidayat, 2011 :
18)
Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan
kebekuan ajaran Islam, stagnansi, dan dekadensi (keterbelakangan) ummat
yang diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian
ajaran Islam dengan kembai kepada al-Quran dan al Hadits. (Hidayat,
2011 : 18)
Atas jasa-jasa KHA Dahlan dalam rangka membangkitkan kesadaran
bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka pemerintah
Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan
Surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Penetapannya sebagai
Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yaitu (Hidayat,
2011 : 18):
a. KHA Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk
menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar
dan berbuat.

b. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya., telah banyak


memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang
menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan
ummat, dengan dasar iman dan Islam.
c. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha
sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan
kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam.
d. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori

kebangkitan

wanita

Indonesia

untuk

mengecap

pendidikan.
B. Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
1. Kiprah di Dunia Pendidikan
Membaca kisah hidupnya, KH. Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik,
muballigh, dan organisatoris sejati. Namun dalam masalah ide dan pemikiran,
tampaknya Ahmad Dahlan tidak sehebat yang digambarkan oleh warga
Muhammadiyah

yang

hampir-hampir

mengultuskannya.

Mungkin

dikarenakan kesibukannya yang luar biasa dalam berdakwah dan mengajar,


sepengetahuan kami tidak ada satu buku pun yang ditulis oleh Ahmad Dahlan
sebagai peninggalan karya ilmiah intelektualnya.
Prof. Abuddin berkata,
Ahmad Dahlan bukan seorang penulis sebagaimana Muhammad Natsir.
Oleh karena itu, gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara
lisan dan karya nyata. Untuk itu ia lebih dikenal sebagai pelaku
dibanding sebagai pemikir.
Sebagaimana kata Prof. Abuddin, Ahmad Dahlan memang seorang pelaku
atau praktisi. Dia mendirikan sendiri model lembaga pendidikan yang
diinginkannya, sekolah yang menerapkan pengajaran ilmu agama Islam
sekaligus ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1910, bertempat di ruang tamu
rumahnya sendiri yang berukuran 2,5 m x 6 m, sekolah itu pun terwujud.
Sekolah pertama itu dimulai dengan delapan orang siswa di mana Ahmad
Dahlan sendiri bertindak sebagai guru.
Semula, proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada
pemboikotan masyarakat sekitar, para siswa yang hanya delapan orang tersebut
juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak
segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk
kembali. Dan pada tahun 1911, sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan

diresmikan dan diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika


diresmikan, sekolah itu mempunyai 29 orang siswa, dan enam bulan bertambah
menjadi 62 orang. Ini adalah sekolah pertama yang didirikan Ahmad Dahlan
sekaligus cikal bakal sejumlah sekolah yang di kemudian hari juga beliau
dirikan bersama Muhammadiyah.
Kemudian, pada tanggal 1 Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan
sebuah Sekolah Dasar di lingkungan Keraton Yogyakarta. Di sekolah ini,
pelajaran umum diberikan oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem
pendidikan gubernemen. Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam
swasta pertama yang memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi
pemerintah.
Selanjutnya, pada tahun 1913 Ahmad Dahlan mendirikan sekolah di
Karangkajen, Yogyakarta. Lalu, pada tahun 1915 mendirikan sekolah di
Lempuyangan, Yogyakarta. Tahun 1916 mendirikan sekolah di Pasargede
(sekarang Kotagede). Dan pada tahun 1918 mendirikan sekolah bernama AlQismul Arqa di Kauman Yogyakarta. Sekolah terakhir ini selanjutnya pindah ke
Patangpuluhan dan berganti nama menjadi Hogere Muhammadijah School,
kemudian berubah lagi menjadi Kweekschool Islam, dan menjadi Kweekschool
Muhammadijah, yang akhirnya pada tahun 1941 berganti nama menjadi
Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah sampai sekarang. Berikutnya, pada
tahun 1920, Ahmad Dahlan mendirikan gerakan kepanduan bernama
Padvinders Muhammadiyah, di mana kemudian atas usul KRH Hadjid, nama
pandu itu diganti menjadi Hizbul Wathon.
Namun demikian, sekalipun Ahmad Dahlan banyak mendirikan sekolah,
bukan berarti Ahmad Dahlan "mewajibkan" warga Muhammadiyah agar
bersekolah di lembaga pendidikan yang dia dirikan. Justru Ahmad Dahlan
mengatakan,
"Muhammadiyah sekarang ini lain dengan Muhammadiyah yang akan datang.
Maka teruslah kamu bersekolah, menuntut ilmu pengetahuan di mana saja.
Jadilah guru, kepada Muhammadiyah. Jadilah meester, insinyur, dan lain-lain
dan kembalilah kepada Muhammadiyah."
2. Pendidikan Tak Sekadar Teori
Memberikan teladan bagi pendidik adalah suatu keniscayaan. Tak ada
pendidikan yang berhasil tanpa contoh dari si pendidik. Demikian yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan demikian pula

yang hendak dipraktikkan oleh KH. Ahmad Dahlan. KRH. Hadjid menuturkan
bahwa Ahmad Dahlan membagi pelajaran menjadi dua bagian, yaitu [1]
belajar ilmu, yakni pengetahuan atau teori; dan [2] belajar amal, yakni
mengerjakan atau mempraktikkan. Menurut Ahmad Dahlan, semua pelajaran
harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian
pula dalam belajar amal, harus dengan cara bertingkat. Kalau setingkat saja
belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah.
Ada cerita yang cukup terkenal di kalangan Muhammadiyah dan sering
diceritakan ulang, berkenaan dengan cara KH. Ahmad Dahlan mengajarkan
surat Al-Maun kepada para muridnya. Diceritakan bahwa KH. Ahmad Dahlan
berulang-ulang mengajarkan surat Al-Maun dalam jangka waktu yang lama
dan tidak mau beranjak kepada ayat berikutnya, meskipun murid-muridnya
sudah mulai bosan.
Dihimpit oleh rasa bosan karena sang guru terus-menerus mengajarkan
surat Al-Maun, akhirnya salah seorang muridnya, H. Syuja, bertanya
mengapa Kyai Dahlan yang tidak mau beranjak untuk mempelajari pelajaran
selanjutnya. Namun Kyai Dahlan balik bertanya, Apakah kamu benar-benar
memahami surat ini? H. Syuja menjawab bahwa ia dan teman-temannya
sudah paham betul arti surat tersebut dan menghafalnya di luar kepala.
Kemudian

Kyai

Dahlan

bertanya

lagi,

Apakah

kamu

sudah

mengamalkannya? H. Syuja menjawab, Ya, kami sering membaca surat ini


sewaktu shalat.
Kyai Dahlan lalu menjelaskan bahwa maksud mengamalkan surat AlMaun bukan menghafal atau membaca, tapi lebih penting dari itu semua,
adalah melaksanakan pesan surat Al-Maun dalam bentuk amalan nyata. Lalu
Ahmad Dahlan berkata, Oleh karena itu, setiap orang harus keliling kota
mencari anak-anak yatim, bawa mereka pulang ke rumah, berikan sabun untuk
mandi, pakaian yang pantas, makan dan minum, serta berikan mereka tempat
tinggal yang layak. Untuk itu pelajaran ini kita tutup, dan laksanakan apa yang
telah saya perintahkan kepada kalian. Menurut Ahmad Dahlan, istilah
mengamalkan bukan saja sebatas menghafal dan menjadikan surat pendek
dalam al-Qur`an itu dibaca dalam setiap shalat, melainkan menjadikannya
sebagai pedoman dan sekaligus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Cerita tentang bagaimana Ahmad Dahlan mengajarkan para santrinya,
rasanya masih sangat relevan dengan tuntutan sekarang ini, di mana pada saat

ini betapa sudah semakin semarak ayat-ayat Al-Qur`an dijadikan bahan


pelajaran, didiskusikan dan bahkan juga dijadikan bahan kajian di kampuskampus. Tetapi setelah acara usai digelar, tak tampak adanya gerakan yang
signifikan

untuk

mengimplementasikannya.

Misalnya,

dalam

bentuk

pengentasan kemiskinan sebagaimana dilakukan oleh Kyai Ahmad Dahlan


tersebut.
3. Pendidikan Tauhid
Tauhid di atas segalanya. Demikianlah seharusnya. Allah menciptakan
manusia dan jin tak lain hanya untuk menyembah-Nya. Menyembah Allah
harus mentauhidkan-Nya. Manusia sama sekali tak menyertakan makhluk lain
selain-Nya dalam beribadah kepada-Nya. Ini adalah syirik, di mana pelakunya
tak diampuni oleh-Nya jika belum bertaubat hingga ajal menjemput. Segala
sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba, harus ikhlas hanya diperuntukkan
kepada-Nya.
KH. Ahmad Dahlan mengatakan, bahwa manusia dilarang menghambakan
diri kepada siapa pun atau benda apa pun juga, kecuali hanya kepada Allah
semata. Barangsiapa yang menghambakan diri kepada hawa nafsunya, artinya
mengerjakan apa saja yang diinginkan dengan didorong oleh hawa nafsu, itu
musyrik namanya. Barangsiapa yang mengikuti kebiasaan yang menyalahi
hukum Allah Yang Maha Agung, itulah yang disebut menyembah hawa
nafsunya. Padahal kita manusia, tidak diperbolehkan menaruh rasa cinta
kepada siapa pun juga melebihi rasa cinta kasihnya terhadap Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang.
4. Pendidikan Kepribadian
Memisalkan dengan Sayyid Ahmad Khan (tokoh pembaru Islam di India),
Prof. Abuddin menyebutkan bahwa Ahmad Dahlan mempunyai pandangan
yang sama dalam hal pentingnya pembentukan kepribadian dalam pendidikan.
Menukil dari H. Suja'i, Prof. Abuddin berkata,
Sebagaimana halnya Ahmad Khan, Ahmad Dahlan menganggap bahwa
pembentukan kepribadian sebagai target penting dari tujuan-tujuan
pendidikan. Ia berpendapat bahwa tak seorang pun dapat mencapai
kebesaran di dunia ini dan di akhirar kecuali orang yang memiliki
kepribadian yang baik. Seorang yang berkepribadian baik adalah orang yang
mengamalkan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan Hadits. Maka, dalam proses
pembentukan kepribadian siswa harus diperkenalkan pada kehidupan dan
ajaran-ajaran Nabi."
5. Pembekalan Keterampilan

Ahmad Dahlan berpandangan, bahwa untuk mencapai tujuan materil,


bekal ketrampilan juga merupakan hal yang penting dimiliki oleh siswa didik,
selain ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup.
Dengan demikian, secara tak langsung sesungguhnya Ahmad Dahlan telah
mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang
diwarisi secara turun temurun tanpa mencoba melihat relevansinya dengan
perkembangan zaman.
6. Pemikiran Pendidikan
Menurut Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam
dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas
utama dalam proses pembangunan umat. Untuk mengaktualisasikan gagasan
besarnya dalam dunia pendidikan tersebut, Ahmad Dahlan langsung
mengaplikasikannya sebagai praktisi dalam tindakan dan karya nyata (Akaha,
2010). Adapun kunci bagi meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan
kembali pada Al-Quran dan hadits, mengarahkan umat pada pemahaman
ajaran Islam secara konprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan
(Syarifah, 2011)
Jika ditelisik sepak terjang Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan,
setidaknya ada tiga poin penting dalam konsep pemikiran pendidikannya
berkait dengan lembaga pendidikan:
a. Landasan Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh.
Landasan ini merupakan kerangka filosofis dalam merumuskan konsep dan
tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (Al-Khaliq) maupun
horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas
penciptaan manusia, yaitu sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifah fil
ardh (pemimpin di bumi). Dalam proses kejadiannya, manusia dikaruniai ruh
dan akal oleh Allah. Untuk itu, pendidikan hendaknya menjadi media yang
dapat mengembangkan potensi ruh untuk menalar petunjuk pelaksanaan
ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Khaliqnya.
Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang
perlu dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoritis dan

metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal


maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptaannya. Meskipun dalam
banyak tempat, Al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya penggunaan
akal, tetapi Al-Quran juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Hal
ini memiliki dua dimensi, yaitu fisika dan metafisika. Manusia merupakan
integrasi dari kedua dimensi tersebut yaitu dimensi ruh dan jasad.
b. Tujuan Pendidikan
Menurut KH. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam
agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut
merupakan pembaruan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada
saat itu, yakni pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda.
Di satu sisi, pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan
individu yang saleh dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan
sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekular yang di dalamnya tidak
diajarkan agama sama sekali. Akibat dualisme pendidikan tersebut, lahirlah
dua kutub intelektual: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan alumni sekolah Belanda yang menguasai ilmu
umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa tujuan
pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh, menguasai
ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat.
Bagi Ahmad Dahlan, kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual, dan
dunia-akhirat) merupakan hal yang integral, tidak bisa dipisahkan satu sama
lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa Ahmad Dahlan mengajarkan
pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah.
c. Materi pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut KH. Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi:
1)

Pendidikan akhlaq, yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia

2)

yang baik berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah.


Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran

individu

yang

utuh

lagi

berkesinambungan

antara

perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelektual


serta antara dunia dengan akhirat.

3)

Pendidikan kemasyarakatan, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan

kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.


d. Model Mengajar
Dalam menyampaikan pelajaran agama, KH. Ahmad Dahlan tidak
menggunakan pendekatan yang tekstual melainkan kontekstual. Karena
pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara
kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi.
1) Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem weton dan
sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal
seperti sekolah Belanda.
2) Bahan pelajaran di pesantren diambil dari kitab-kitab agama.
Sedangkan di madrasah Muhammadiyah bahan pelajarannya diambil
dari buku-buku umum.
3) Hubungan guru-murid. Di pesantren hubungan guru-murid biasanya
terkesan otoriter karena para kyai memiliki otoritas ilmu yang
dianggap

sakral.

Sedangkan

madrasah

Muhammadiyah

mulai

mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.


e. Ijtihad Sistem Pengajaran
Upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut bukan merupakan hal
yang mudah, terutama bila dikaitkan dengan kondisi objektif lembagalembaga pendidikan Islam tradisional waktu itu. Dalam hal ini, Ahmad
Dahlan melihat bahwa problem epistemologi dalam pendidikan Islam
tradisional disebabkan karena ideologi ilmiahnya hanya terbatas pada
dimensi relijius yang membatasi diri pada pengkajian kitab-kitab klasik
para mujtahid terdahulu, khususnya dalam madzhab Syafii. Sikap ilmiah
yang demikian menyebabkan lahirnya pemikir yang tidak mampu
mengolah dan menganalisa secara kritis ilmu pengetahuan yang diperoleh,
sehingga produktif dan kreatif terhadap perkembangan peradaban
kekinian.
Untuk itu diperlukan kerangka metodologis yang bebas, sistematis, dan
mengacu pada nilai universal ajaran Islam. Proses perumusan kerangka
ideal yang demikian, menurut Ahmad Dahlan disebut sebagai proses
ijtihad, yaitu mengarahkan otoritas intelektual untuk sampai pada suatu
konklusi tentang berbagai persoalan. Dalam konteks ini, pendidikan
merupakan salah satu bentuk artikulasi tajdid (modernisasi) yang strategis
dalam memahami ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan
Sunnah secara proporsional.

7. Konsepsi Penyelenggaraan Pendidikan Muhammadiyah


Keberhasilan yang dicapai Muhammadiyah dalam menempatkan
pendidikan sebagai wahana mencapai tujuan-tujuannya dalam membentuk
suasana ideal dalam pendidikan, baik kualitas maupun nilai-nilainya,
mengalami perkembangan dinamis, yaitu mampu menggiring dan
mengantisipasi perubahan zaman (Malik Fadjar, 1998: 26). Kemampuan
Muhammadiyah menggiring dan mengantisipasi perubahan zaman
disebabkan Muhammadiyah menggiring dan terjebak ke dalam satu paham
atau aliran dan bersikap inklusif serta progresif dalam merumuskan tujuantujuan yang akan dicapainya (Hamdan, 2009: 115).
Menurut KH. Ahmad Dahlan pendidkan Islam hendaknya diarahkan pada
usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam
agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan Islam
merupakan upaya pembinaan pribadi muslim sejati yang bertaqwa, baik sebagai
abd maupun khalifah fi al-ardh. Untuk mencapai tujuan ini, proses pendidikan
Islam hendaknya mengkomodasi berbagai ilmu pengetahuan, baik umum maupun
agama, untuk mempertajam daya intelektualitas dan memperkokoh spritualitas
peserta didik. Untuk menciptakan sosok peserta didik yang demikian, maka
epistemologi Islam hendaknya dijadikan landasan metodologis dlam kurikulum
dan bentuk pendidikan yang dilaksanakan. (Syarifah, 2011)
Inklusivisme dan progresivisme yang ditampilkan Muhammdiyah,
utamanya dalam bidang pendidikan, perlu diapresiasi, sebab keterbukaan sistem
pendidikan Muhammadiyah tidak mengubah identitas Muhammadiyah sebagai
gerakan dakwah amar maruf nahi munkar yang bersumber kepada Al-Quran
dan As-Sunnah. Karena itu, inklusivisme dan progesivisme pengelolaan lembaga
pendidikan Muhammdiyah yang tidak meninggalkan identitasnya dapat kita lihat
melalui kurikulum, manajemen, pedagogik, dan evaluasi yang dilaksanakan pada
lembaga-lembaga pendidikannya (Hamdan, 2009: 116).
a. Kurikulum
Kurikulum berarti suatu kegiatan yang mencangkup berbagi rencana
aktivitas peserta didik yang terperinci berupa bentuk-bentuk bahan pendidikan,
saran-saran strategi belajar-mengajar, peraturan-peraturan program agar dapat
ditetapkan, dan hal-hal yang mencangkup pada kegiatanyang bertujuan mencapai

target dan sasaran tujuan yang diinginkan yang didasarkan pada dasar agama
(religi) dasar filsafah, psikologis, dan dasar sosiologis (Fathurrahman, 2004: 221).
Dalam desain kurikulum pendidikan Muhammadiyah harus bersifat
futuristik dengan memperhatikan kebutuhan yang mendasari masyarakat dan tidak
lepas dari identitasnya sebagai lembaga yang berorientasi pada amar maruf nahi
munkar yang bersumberkan pada Al-Quran dan As-Sunnah (Hamdan, 2009:
120). Kurikulum sekolah perserikatan Muhammadiyah berbeda dengan kurikulum
sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Perbedaannya, di
sekolah Perserikatan Muhammadiyah ada mata pelajaran Al-Quran (Suryanegara,
2009: 434).
Oleh karena itu, penyusunan kurikulum Muhammadiyah mengikuti
perundang-undangan yang didasarkan kepada asas-asas sebagai berikut:
1) Asas Filosofis
Sebagai organisasi pembaruan keagamaan, Muhammadiyah berpandangan
bahwa kunci kemajuan kaum Muslimin terletak pada perbaikan pendidikan
(Shihab, 1998: 105), karena itu sejak berdiri hingga saat ini bidang pendidikan
merupakan prioritas amal usaha organisasi Muhammadiyah. Karena secara
kuantitas lembaga sekolah Muhammdiyah begitu banyak, mulai Taman KanakKanak hingga perguruan tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa Muhammadiyah
merupakan organisasi sosial keagamaan yang maju di bidang amal usaha.
Pencapaian kuantitas lembaga pendidkan ini tidak diiringi meningkatnya kulitas
sumber daya manusia di tubuh Muhammadiyah (Hamdan, 2009: 121).
2) Asas Psikologis
Muhammadiyah dalam menyusun kurikulum pendidikannya perlu
memperhatikan aspek psikologis anak didiknya. Dalam hal ini, Al-Syaibani
mengemukakan pentingnya aspek psikologis menjadi salah satu pertimbangan
dalam menyususn kurikulum sebagai berikut:
Dasar psikologis bersangkut paut dengan perkembangan pelajar, tahap
kematangannya, bakat-bakat jasmani, intelektual bahasa, emosi, dan
sosial, kebutuhan kebutuhan, keinginan-keinginan, minat, kecakapan yang
bermacam-masam, perbedaan perseorangan di antara mereka, faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan, proses belajar, pengamatan
mereka terhadap sesuatu, pemikiran mereka, dan lain-lain perkaraperkara psikologis atau mempunyai hubungan dengan segi-segi psikologis
pada pribadi pelajar yang pada keseluruhannya membentuk dasar
psikologis bagi kurikulum dan proses pendidikan sebagai keseluruhan (AlSyaibani: 529-530).

Dalam penyusunan kurikulum, Muhammadiyah perlu memerhatikan aspek


metode belajar sebagai bagian dari psikologi belajar yang merupakan salah satu
asas dari penyususnan kurikulum dan hal itu tidak boleh terlepas dari tujuan
belajar yang ada pada siswa. Karena itu, peranan psikologi belajar dipakai dan
menjadi salah satu pertimbangan dalam penyususnan kurikulum, sebab antara
kurikulum dan psikologi belajar harus sejalan dengan materi yang akan diajarkan
kepada anak didik sehingga mencapai hasil yang diharapkan sebagaimana tujuan
dan sebuah kurikulum pendidikan (Hamdan, 2009: 125-126).
3) Asas Sosiologis
Dalam konteks ini, kurikulum didesain berdasarkan the ligimate demands
of society (sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat) yang tidak telepas
dari kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk menjadi bahan pertimbangan
dalam penyusunan kurikulum. Hal ini terjadi karena berlainannya setiap corak
nilai masyarakat yang dianutnya dan setiap anak berbeda latar belakang
kebudayaannya. Karena itu, perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan
kemampuan psikologis harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan kurikulum
(Hamdan, 2009: 127).
4) Asas Organisasi
Kurikulum pendidikan Muhammadiyah bertujuan untuk merealisasikan
cita-cita Ahmad Dahlan agar supaya lahir manusia-manusia baru yang mampu
tampil sebagai ulama-intelek atau intelek-ulama, yaitu seorang Muslim yang
memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas. Dengan sistem pendidikan
semacam ini, ia berusaha membentuk Muslim yang alim dan intelek sekaligus,
seperti yang ia sering pesankan pada murid-muridnya; Dadiyo Kyai sing
kemajuan, aja kesel anggonmu nyambut gawe kanggo Muhammadiyah (Jadilah
seorang kyai/ulama yang dapat mengikuti perkembangan zaman, melengkapi
dengan ilmu umum, di samping ilmu agama yang dimiliki (Sahlan Rosidi: 49).
b. Manajemen
Hakikat manajemen pendidikan Muhammadiyah berdasarkan Pedoman
Badan Pengurus Komplek Pendidikan Muhammadiyah yang diputuskan oleh PP
Muhammdiyah No. 19/SK. MPDM-PPM/III.A/8c./1999 pada Bab II pasal $ yang
berbunyi sebagai berikut: Dalam kedudukan sebagai pengurus, BKPM
merupakan representasi dari penyelenggara yang khusus mengurus pengadaan,
pemeliharaan, dan pengembangan sarana fisik kompleks pendidikan (MP.
Dikdasmen. PP. Muhammdiyah, 2002: 66)
c. Pedagogik
Sebagai lembaga transformasi sosial yang bergerak di bidang dakwah dan
tajdid, Muhammadiyah turut prihatin dengan kondisi yang dialami umat Islam di

Indonesia. Sebgaio wujud dari keprihatinan Muhammadiyah yang dipelopori oleh


Ahmad Dahlan, maka direalisasikanlah pembentukan dan pendirian sekolahsekolah Muhammadiyah mulai dari tingkat pras-sekolah (TK) hingga perguruan
tinggi (PT) sebgai wujud menjawab kebutuhan masyarakat. (Hamdan, 2009: 140).
d. Evaluasi
Tujuan evaluasi pendidikan Muhammadiyah sebagai langkah untuk
mengetahui sejauh mana capaian program yang telah ditetapkan. Memang
evaluasi pendidikan yang dikemukakan sebagai tolak ukur keberhasilan siswa dan
mengetahui efisiensi program dan metode yang telah ditetapkan dalam jangka
waktu telah ditentukan. Namun, evaluasi pendidikan Muhammadiyah mencakup
keseluruhan dari progran pelaksanaan pendidikannya baik kurikulum, manajemen,
kelembagaan, dan prestasi serta mutu lulusannya. Keterkaitannya dengan
menejemen kelembagaan dan mutu mengacu pada sistem pengawasan pendidikan
PP. Muhammadiyah. No. 166/Sk-PPM PDM/III. A/1.b/1996 pada Bab I ayat 1,
yang berbunyi: Pengawasan pendidikan Muhammadiyah adalah upaya
memberikan bimbingan dan petunjuk ke arah perbaikan pengelolaan pendidikan
penyelenggaraan proses belajar mengajar (PP. Muhammadiyah, 2002: 69).
Manajemen Pendidikan di Lembaga Pendidikan Islam Sebelum dan Sesudah
Munculnya Gerakan Pembaruan Pendidikan Ahmad Dahlan & M. Natsir
(Munandar, 2011)
No

1.

2.

Komponen
Sebelum
Sesudah
Manajemen
Pendidikan
Manajemen -Sumber belajar utama Kiyai -Guru juga memanfaatkan
Pengajaran dan buku-buku klasik (kitab sumber belajar lain termasuk
kuning).
buku ( Barat)

Manajemen
Personalia

-Tidak adanya TIK TIU


dll(RPP)

-Mulai dibuat RPP setiap


pelajaran

-Tidak mempelajari ilmu


umum

-Belajar ilmu umum dan juga


agama

-Sistem sorogan, halaqah.

-Sistem klasikal (bangku, media


dll)
- Kepsek adalah manajer
sekolah

-Kiyai merangkap manajer

-Santri terbaik bisa diangkat


oleh kyai sbg asisten
-Terdapat sejumlah guru sesuai
membantu PBM
dgn kompetensi mengajarnya
masing2
-Kegiatan admin TU biasanya

ditangani Kyai dan


keluarganya
3

Manajemen
Kesiswaan

4.

Manajemen
Humas

Manajemen
Keuangan

Manajemen
Supervisi

Sarana
Prasarana
Tujuan
Pendidikan

-Santri/siswa sebagai obyek


didik
-Sistem absensi & raport
prestasi belajar santri tidak
tersistem
-Berlangsung secara
tradisional dari mulut ke
mulut dan referensi alumni
dan lingkungan pondok
-Tidak dikelola secara
akutansi
-Bantuan dana dari
masyarakat
-Kyai menjadi supervisor
yang mengendalikan PBM
dan lainnya
-Tidak terstruktur

-Administrasi TU sekolah
ditangani oleh karyawan yang
menanganinya
-Sttudent centered, keunikan
siswa diperhatikan (bimbingan
konseling)
-Berlaku absensi, raport, OSIS
dll
-Menggunakan media
kehumasan seperti surat kabar,
TV, Radio dll (ditangani secara
khusus)
-Menggunakan sistem akutansi
-Dana pemerintah, RAPB
Sekolah

-Supervisi dilakukan secara


berkala dan incidental oleh
Kepala Sekolah, Guru, dll
-Terstruktur seperti
perpustakaan, media, dll
-Tujuan pendidikan disusun - Tujuan pendidikan meliputi
pada penguasaan materi sang tujuan kurikuler, institusi dan
Kyai
Nasional

C. Peran KH. Ahmad Dahlan dalam Dunai Pendidikan Indonesia


Untuk mengetahui peran KH. Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan
Indonesia kita lihat saja sepak terjang organisasi yang di gagas oleh KH.
Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan yaitu Muhammadiyah.
Dalam bukunya Zuhairini, dkk (2010) dikatakan bahwa Organisasi ini
didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 bertepatan pada
tanggal 18 Zulhijah 1330 H, oleh KH. Ahmad Dahlan atas saran yang di
ajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota budi utomo untuk
mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.
Organsasi ini mempunyai maksud menyebarkan pengajaran kangjeng
Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putra dan memajukan hal
agama islam kepada anggota-anggotanya. Untuk mencapai ini organisasi itu
bermaksud mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat
dan tablig di mana dibicarakan masalah-masalah islam, mendirikan rapat dan

mendirikan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur suratsurat kabar dan majalah-majalah.
Usaha lain untuk mencapai maksud dan tujuan itu ialah dengan :
1.
2.
3.
4.
5.

Mengadakan dakwah islam


Memajukan pendidikan dan pengajaran
Menghidup-suburkan masyarakat tolong menolong
Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf
mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak

menjadi orang islam yang berarti


6. Berusaha ke arah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai
dengan ajaran islam
7. Berusaha dengan segala kebijaksanaan, supaya ke hendak dan
peraturan islam berlaku dalam masyarakat. (Zuhairini, dkk, 2010: 172)
Menurut Rustam (2010) yang di kutip oleh Mochammad Arif Hidayat
dalam Skripsinya mengatakan bahwa dalam bidang pendidikan, peran
muhammadiyah

terlihat

lebih

jelas

lagi.

Karena

strategi

gerakan

muhammadiyah di awali dengan perintisan dan pengembangan kader lewat


jalur pendidikan formal dan non formal. Kemudian pada aspek perkembangan
pemikiran keagamaan, muhammadiyah berada di garda depan. Di zaman
Belanda muhammadiyah berhasil melakukan de-mistifikasi (penghancuran
berfikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya dengan tetap berpijak pada
konsep Al-Quran

dan As-Sunnah. Muahammadiyah pun mendobrak

ketaqaklidan yang membabi buta berfikir feodal seperti pengkultusan


individu yang bisa memastikan ijtihad dan keterbukaan pikir. Muhammadiyah
turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah kebiasaan kurang baik,
dalam proses pembelajaran Al-Quran. Misalnya turut mempelopori usaha
penerjemahan

Al-Quran,

yang

di

zaman

Belanda

diharamkan.

Muhammadiyah mempelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930an, yang menggemparkan. Bahkan belanda khawatir akan bergeser pada aksi
masa. Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa
kemanusiaan (kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa
umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan
inspirasi ajaran Al-Quran dan sunah. Dari pola pemikiran rasional tersebut
gerakan Muhammadiyah telah menumbuhkan kesadaran umat Islam yang
sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam
pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan muhammadiyah bisa

membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan
umat dan bangsa lainnya. (Hidayat, 2011: 41)
Menurut Mochammad Arif Hidayat dalam Skripsinya mengatakan bahwa
peranan Muhammadiyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa
selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih
dalam menyikapi isu-isu nasional dan Internasional selalu tampil di depan
sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan
individu kader-kadernya. Dalam usia satu abad, muhammadiyah telah, sedang
dan akan terus menghasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa.
(Hidayat, 2011: 41)
Kegiatan cabang Muhammadiyah dalam bentuk kelembagaan yang berada
di bawah oraganisasi Muhammadiyah ialah : 1) PKU (Penolong
Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usahamembantu orang-orang
miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klik-klinik
kesehatan; (2) Aisyah, organisasi wanita Muhammadiyah, dan menitik
beratkan perhatiannya kepada kedudukan wanita sebagai ibu dan pendidik,
yang mempunyai tanggung jawab besar untuk kemajuan masyarakat melalui
asuhan dan didikan anak, dan mengkordinir kegiatan remaja putri didalam
nasyiatul

Aisyah;

(3)

Hizbul

watan,

berupa

gerakan

kepanduan

muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1918 oleh K.H. Ahmad Dahlan.
(Zuhairini, dkk, 2010: 176)
Menurut Hamdan (2009) mengatakan bahwa sebagai salah satu
wahana

untuk

berperan

aktif

mencerdaskan

kehidupan

bangsa,

muhammadiyah telah merumuska visi, misi, tujuan dan kelembagaan


pendidikannya.
1. Visi dan misi pendidikan Muhammadiyah
Bagi Muhammadiyah, pendidikan memiliki kedudukan yang sangat
strategis dalam pencapaian maksud dan tujuan Muhammadiyah, yakni
menegakkan dan menjungjung agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Menurut Muhammadiyah
tujuan itu dapat dicapai dengan melaksanakan dakwah yang salah
satunya melalui pendidikan.
2. Tujuan Pendidikan Muhammadiyah
Sejak awal berdirinya, organisasi Muhammadiyah merupakan gerakan
furifikasi pemikiran Islam dan sekaligus memosisikan diri dari sebagai

gerakan dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi keagamaan yang


concern

dengan

dunia

pendidikan,

Muhammadiyah

telah

menyelenggarakan berbagai jenis lembaga pendidikan yang tercakup


dalam kegiatan pendidikan formal, non formal dan informal.
B. Biografi Muhammad Abduh
A.
Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849. Bapaknya
bernama Abduh Hasan Khaerullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab.
Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr. Muhammad Abduh dibesarkan
dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang
teguh.
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal
Al Quran dari orang tuanya, kemudian setelah mahir membaca dan menulis
diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al Quran. Ia dapat
menghapal Al Quran dalam masa dua tahun. Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk
belajar agama di Masjid Sekh Ahmad ditahun 1862, Ia belajar bahasa Arab,
nahu ,sarf, fiqih dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu
tidak lain metode hapalan diluar kepala, dengan metode ini Ia merasa tidak
mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.
Masjid ini kedudukannya dianggap nomor dua setelah universitas AlAzhar dari segi tempat belajar Al-Quran dan menghafalnya. Sistem pembelajaran
dengan menghafal nash (teks) dan ulasan serta hukum di luar kepala, yang tidak
memberi kesempatan untuk memahami, membuat Muhammad Abduh merasa
tidak puas. Dia meninggalkan Masjid dan bertekad untuk tidak kembali lagi ke
kehidupan akademis. Kemudian ia menikah pada usia enam belas tahun. Setelah
empat puluh hari menikah, Ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta untuk
belajar, Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta, malah
bersembunyi dirumah pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr seorang
terpelajar pengikut tarikat Syadli dan merupakan alumni pendidikan tasawuf di
Libia dan Tripoli.1 Pada mulanya ia enggan belajar, namun perjumpaannya dengan
Syaikh Darwisy sangat mempengaruhi kehidupannya secara mendalam sehingga
dengan bimbingannya semangat belajarnya kembali berkobar.
Setelah selesai belajar di Tanta, Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada
tahun 1866. Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu
1

dengan Jamaludin Al-Afgani, ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke


Istambul. Dalam perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan
kepada Muhammad Abduh dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa
ayat Al-Quran. Kemudian ia memberikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini
memberikan kesan yang baik didalam diri Muhammad Abduh.
Ketika Al-Afghani datang untuk menetap di mesir pada tahun 1871,
Muhammad Abduh segera menjadi muridnya yang paling setia. 2 Al-Afghani
memberikan tekanan pada mata kuliah teologi dan filsafat, yang pada waktu itu di
Al-Azhar dianggap dan disamakan dengan bidah. Sebelum berguru kepada AlAfgani dan menekuni ilmu yang dianggap berbahaya itu, Muhammad Abduh
minta nasihat kepada Syaikh Darwisy. Bukan saja guru sufy itu

menghapus

kecemasannya, bahkan menjamin bahwa filsafat (al-Hikmah) dan ilmu


pengetahuan merupakan jalan yang paling selamat untuk mengenal dan
menyembah Tuhan. Hanya orang-orang bodoh dan sembrono yang pada
hakikatnya merupakan musuh-musuh Tuhan yang paling jahat, yang memandang
mata kuliah ini sebagai bidah.
Tahun 1877 Muhammad Abduh menyelesaikan pendidikannya di Al-Azhar
dan mendapat gelar sebagai Alim. Ia mulai mengajar pertama di Al-Azhar
kemudian di Dar Al-Ulum dan juga di rumahnya sendiri. Diantara buku-buku
yang diajarkannya adalah buku akhlak karangan Ibnu Miskawaih, Muqaddimah
Ibnu Khaldun dan sejarah kebudayaan Eropa karangan Guizot yang diterjemahkan
Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab pada tahun 1857
Pemberontakan Irabi Pasya di Mesir telah mengakhiri kegiatan Syekh
Muahmmad Abduh, karena pada akhir tahun 1882 M, Ia diusir dari Mesir. Karena
itu ia pergi pertama-tama ke Bairut kemudian pada awal tahun 1884 M, ia pergi ke
Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin al-Afghani
B. Akhirnya, atas bantuan temannya diantaranya seorang Inggris, pada tahun
1888 kemudian ia di izinkan pulang ke Kairo. Kesan keterlibatan Abduh
dalam pemberontakan Urabi Pasya tampaknya belum terhapus di hati
Khedewi Tawfik sebagai peguasa Mesir saat itu. Permohonan Abduh untuk
agar di izinkan mengajar di Daral- Ulum ditolaknya. Sebaliknya ia
menawarkan kepada Muhammad Abduh jabatan yang dianggapnya bukan
sarana yang ampuh bagi Abduh untuk menyebarkan pemikiran politiknya.
2

Jabatan yang ditawarkan adalah hakim diluar kota Kairo, sebenarnya ia tidak
menyenangi jabatan tersebut, akan tetapi karena ia melihat tidak ada jalan lain
yang lebih baik selain menerima jabatan tersebut, maka jabatan tersebut
diterimanya

juga

dan

dimanfaatkan

untuk

merealisasikan

cita-cita

pembaharuannya. Ia menjabat jabatan hakim di kota Benha dan beberapa kota


lain di luar Kairo dan kemudian sebagai penasihat pada Mahkamah Tinggi di
Kairo. Di tahun 1894, ia diangkat menjadi anggota Majlis Ala dari Al-azhar.
Sebagai anggota dari Majlis ini ia membawa perubahan-perubahan dan
perbaikan ke dalam tubuh Al-azhar sebagai Universitas. Di tahun 1899, ia
diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi ini dipegangnya sampai ia
meninggal dunia di tahun 1905.
C. Pemikiran Muhammad Abduh
a. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh,
sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:3
1. Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang
menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai mana haknya
salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya
perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Quran.
2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan
resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media
massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat
Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam
saat ini dapat digambarkan sebagian suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup
rapat-rapt pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat
Allah atau meng-istibnat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup
dengan hasil pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud)
serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus pikiran nya itu, Muhammad Abduh memberikan
peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa
Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal dari pada
Mutazilah. Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:4
1. Tuhan dan sifat-sifatnya.
3
4

2. Keberadaan hidup diakhirat.


3. Kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada upaya mengenal tuhan dan
berbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak
mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.
4. Kewajiban manusia mengenal tuhan.
5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat
untuk kebahagiaan diakhirat.
6. hukum-hukum mengenai kewajiban itu.
Dengan memperhatikan perbandingan Muhammad Abduh tentang peranan
akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya adalah sebagai
penolong (al-mumin). kata ini pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi
akal manusia. Wahyu, katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan
keadaan kehidupan alam akhirat. Mengatur kehidupan masyarakat atas dasar
prinsip-prinsip umum yang dibawanya. Menyempurnakan akal tentang tuhan dan
sifat-sifatnya. Dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih pada Tuhan.
dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk
menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah
satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada
akal. Islam, kata nya, adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan
antara akal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga
berdasarkan akal, wahyu yang dibawa Nabi tidak mungkin bertententangan
dengan akal. Kalau ternyata keduanya terdapat pertentangan, menurutnya,
terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi
lain yang mendorong pada penyesuaian.
b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai
kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri
manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi,
tetapi mahluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat
perbuatan yang

dilakukannya.

Kemudian mengambil keputusan dengan

kemauannya sendiri, dan selanjutnya mengwujudkan perbuatannya itu dengan


daya yang ada dalam dirinya.

Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai


kebebasan dalam menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan,
faham perbuatan yang dipaksakan manusia atau Jabariyah tidak sejalan dengan
pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai
kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki
kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai
kebesan mutlak sebagai orang yang angkuh.
c. Pembaharuan Muhammad Abduh
Pendidikan
Ide-ide

pembaharuan

adalam

bidang

pendidikan

yang

diajukan

Muhammad Abduh dilatarbelakangi situasi sosial keagamaan dan situasi


pendidikan pada saat itu. Pemikiran statis, taqlid, bidah, dan khurafat menjadi
ciri dunia Islam pada saat itu. Demikian pula halnya yang terjadi di Mesir.
Kejumudan telah merambah ke berbagi bidang dan sistem kehidupan masyarakat.
Kejumudan dalam bidang-bidang kehidupan itu tampak saling terkait dan saling
mempengaruhi antara bidang kehidupan yang satu dengan bidang kehidupan yang
lain, terutama bidang akidah terlihat sangat mempengaruhi bidang-bidang
kehidupan yang lain.5 Program pembaharuan pendidikan yang diajukannya
adalah; memahami dan menggunakan ajaran Islam dengan benar, sebagai salah
satu fondasi utama untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik
sekolah-sekoalah modern yang didirikan oleh misionaris asing, juga mengkritik
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah. Menurutnya, di sekolah-sekolah
misionaris yang didirikan bangsa asing (al-madrasah al-ajnabiyyah) siswa
dipaksa
untuk mempelajari kristen, sementara itu di sekolah-sekolah pemerintah,
siswa tidak diajar agama sama sekali. Sementara sekolah-sekolah pemerintah
tampil dengan kurikulum barat sepenuhnya, tanpa memasukkan agama ke dalam
kurikulumnya, pada sisi yang lain sekolah-sekolah agama tidak memberikan
kurikulum modern (Barat) sama sekali. Pendidikan agama kala itu tidak
mementingkan perkembangan intelektual sama sekali, padahal Islam mengajarkan
untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan aspek jiwa yang lain.
Antara tipe sekolah modern yang dibangun oleh pemerintah dan misionaris,
dengan tipe sekolah agama di mana Al-Azhar sebagai pendidikan tertingginya,
tidak mempunyai hubungan sama sekali antara yang satu dengan yang lain.
5

Dualisme pendidikan sebagaimana tersebut di atas, melahirkan dua kelas


sosial dengan dua spirit yang berbeda. Tipe sekolah modern menghasilkan kelas
elit generasi muda dengan pengetahuan modern tanpa pengetahuan agama,
sedangkan tipe

sekolah agama

menghasilkan

ulama-ulama

yang

tidak

berpengetahuan modern. Pola pemikiran pada sekolah tipe pertama akan


membahayakan dan mengancam sendi-sendi agama dan moral, sementara itu
mempertahankan pola pemikiran pada sekolah tipe kedua hanya akan
menyebabkan ummat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan
pemikiran modern. Dengan memperkuat pendidikana agama di sekolah-sekolah
modern dan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke dalam sekolah-sekolah
agama, jurang yang memisahkan golongan ahli ilmu modern dari golongan ulama
akan dapat diperkecil.
Tujuan pendidikan yang ingin dicapai Muhammad Abduh adalah tujuan
pendidikan yang luas, yang mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual
(afektif). Aspek kognitif untuk menanamkan kebiasaan berfikir, dan dapat
membedakan antara yang baik dengan yang buruk, antara yang berguna dan yang
membawa mudharat. Aspek afektif untuk menanamkan akhlak yang mulia dan
jiwa yang bersih. Dengan pendidikan spiritual diharapkan moral yang tinggi akan
terbentuk, sehingga sikap-sikap yang mencermnkan kerendahan moral dapat
terhapuskan. Dengan tujuan pendidikan yang demikian, Muhammad Abduh
menginginkan terbentuknya pribadi-pribadi yang utuh, yang mempunyai struktur
jiwa yang seimbang, yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual tetapi juga
memiliki kecerdasan spiritual. Ia berkeyakinan jika akal dicerdaskan dan jiwa
dididik dengan akhlak agama, maka ummat Islam akan dapat berpacu dengan
Barat dalam menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbangi mereka
dalam kebudayaan.
Dalam metode pengjaran, Muhammad Abduh membawa cara baru dalam
dunia pendidikan saat itu. Ia mengkritik tajam metode yang hanya menonjolkan
hafalan tanpa pengertian yang pada umumnya diterapkan di sekolah-sekolah.
Walaupun tidak menjelaskan dalam tulisan-tilisannya, dari apa yang dipraktekkan
ketika mengajar di Al-Azhar, tampaklah bahwa ia menerapkan metode diskusi
untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid. Ia menekankan
pentingnya memberikan pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan, dan
memperingatkan para pendidik agar tidak menonjolkan hafalan, karena metode
yang demikian menurutnya hanya akan merusak daya nalar.

A. Biografi Singkat Jamaluddin Al-Afghani


Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin al-Afghani. Ia lahir di
Asadabad, dekat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun 1839 dan meninggal
di Istambul tahun 1897. Tetapi penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia
sebenarnya lahir di kota yang bernama sama (Asadabad) tetapi bukan di
Afghanistan, melainkan di Iran. Ini menyebabkan banyak orang, khususnya
mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang muslim modernis itu AlAsadabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia telah terlanjur mengenalnya
sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan sebutan AlAfghani. Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin Ali melalui Ali AtTirmizi, ahli hadis terkenal. Keluarganya mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah
seorang pembaharu yang berpengaruh di Mesir. Ia menguasai bahasa-bahasa
Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia
Hingga pada usia 8 tahun Jamaluddin al-Afghani telah memperlihatkan
kecerdasannya yang sangat luar biasa, ia sangat tekun mempelajari bahasa Arab,
sejarah, matematika, filsafat, dan ilmu-ilmu keislaman. Hingga akhirnya
Jamaluddin al-Afghani dikenal karena kejeniusannya. Pendidikannya sejak kecil
sudah diajarkan mengaji Al-Quran dari ayahnya sendiri. Ayahnya mendatangkan
seorang guru ilmu tafsir, hadits, dan fiqih yang dilengkapi dengan ilmu tasawuf
dan ilmu ketuhanan, kemudian dikirim ke India untuk mempelajari ilmu
pengetahuan modern (Eropa).
Sampai usia 18 tahun, ia dibesarkan dan belajar di Kabul. Pada usia ini ia
sangat tertarik kepada studi falsafat dan matematika. Menjelang usia 19 tahun, ia
pergi ke India selama lebih dari satu tahun. Dari sana ia menuju Mekkah untuk
beribadah haji. Dari Mekkah ia kembali ke tanah airnya. Ketika berusia 22 tahun
ia telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan.
Di tahun 1864 ia menjadi penasihat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudia ia
diangkat oleh Muhammad Azam Khan menjadi perdana menteri. Ketika itu
Inggris sudah ikut campur dalam urusan negeri Afghanistan, maka Jamaluddin
termasuk salah satu orang yang menentangnya. Karena kalah melawan Inggris ia
lebih baik meninggalkan negerinya dan pergi menuju India pada tahun 1869. Di
negeri jiran inipun ia tidak tenang karena karena negeri itu dikuasai oleh Inggris,
maka ia pindah ke Mesir pada tahun 1871. Ia menetap di Kairo dan menjauhkan

urusan politik untuk berkonsentrasi ke bidang ilmiah dan sastra Arab. Rumah
tempat tinggalnya menjadi pusat pertemuan bagi para mahasiswa, diantaranya
adalah Muhammad Abduh.
Di Mesir Al-Afghani dapat mempengaruhi massa intelektual dengan
pikiran-pikiran barat antara lain mengenai ide trias politika melalui terjemahan
bahasa Arab yang berasal dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi.
Ia berhasil membentuk Partai Nasional (Al-Hizbu al-Watani) disana dan
mendengungkan Mesir

untuk bangsa Mesir, memperjuangkan pendidikan

universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam bidang


militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan penguasa Mesir Khadewi Ismail
dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq yang ingin mengadakan
pembaharuan di Mesir. Tetapi setelah Tauwfik berkuasa, ia tidak dapat
melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung oleh AlAfghani itu mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun 1879.
Jamaluddin

Al-Afghani

meninggalkan

Mesir

menuju

Paris

dan

mendirikan perkumpulan Al-Urwatul Wustqa, sesuai dengan majalah yang


diterbitkan oleh kelompok itu, yang pengaruhnya tersebar di dunia sampai ke
Indonesia. Majalah ini terbit hanya 18 nomor saja selama 8 bulan dari tanggal 13
Maret 1884 17 Oktober 1884. Tujuan diterbitkannya majalah itu antara lain
untuk mendorong bangsa-bangsa timur dalam memperbaiki keadaan, mencapai
kemenangan dan menghilangkan rasa putus asa, mengajak berpegang pada ajaran
yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya, dan menolak anggapan yang
dituduhkan kepada umat Islam bahwa mereka tidak akan maju bila masih
berpegang pada agamanya, menyebarkan informasi tentang peristiwa politik dan
untuk memperkokoh persahabatan di antara umat Islam. Akhirnya majalah
tersebut dilarang beredar di dunia Islam yang berada di bawah pengaruh barat.
Pada tahun 1889, Al-Afghani diundang ke Persia untuk suatu urusan
persengketaan politik antara Persia dengan Rusia yang timbul karena politik proInggris yang dianut pemerintah Persia ketika itu. Bersamaan dengan itu Afghani
melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri. Karenanya dia
mengajurkan perombakan sistem politik-nya yang masih otokratis, sehingga
timbul pertikaian antara Al-Afghani dan Syah Nasir al-Din. Pada tahun 1892,
undangan yang sama

dari penguasa Turki, Sultan Abdul Hamid, untuk

kepentingan politik Islam Istambul dalam menghadapi kekuatan Erofa. Menurut


Afghani, sebelum menangani politik luar negeri harus dibenahi dahulu sistem
politik dalam negerinya. Rupanya, pandangan politik Afghani yang sangat
demokratis tidak bertemu dengan kepentingan politik Sultan tetapi hakikatnya ia
menjadi tawanan Sultan Abdul Hamid II yang berdiam di sangkar emas
istananya.
Melihat kepada kegiatan politik yang demikian besar dan daerah yang
demikian luas, maka dapat dikatakan bahwa Al-Afghani lebih banyak bersifat
pemimpin politik daripada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam,
tetapi kegiatan yang dijalankan Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ideidenya tentang pembaharuan dalam Islamyang otokratis. Sejak itu sampai akhir
hayatnya, 9 Maret 1897, Afghani dicabut izin keluar negerinya. Kelihatannya
Jamaluddin Al-Afghani menjadi tamu terhormat kerajaan Turki Usmani

C. Pemikiran Politik Jamaluddin Al-Afghani


Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara
lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya,
perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat
Islam dan lain-lain. Ajaran qada dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme
yang menjadikan umat menjadi statis. Untuk mengatasi semua hal itu antara lain
menurut pendapatnya ialah umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang
benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat,
pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam
harus diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman.
Ia juga menganjurkan umat Islam untuk mengembangkan pendidikan
secara umum, yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis
dalam menghadapi dominasi dunia barat. Ia berpendapat tidak ada sesuatu dalam
ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal/ilmu pengetahuan, atau dengan kata
lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Selanjutnya bagaimana
ide-ide pembaharuan dan pemikiran politik Al-Afghani tentang negara dan sistem
pemerintahan akan diuraikan berikut ini :

1. Bentuk Negara dan Pemerintahan


Menurut Al-Afghani, Islam menhendaki bahwa bentuk pemerintahan
adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala
negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Pendapat seperti ini baru
dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk
khalifah yang mempunyai kekuasaan absulot. Pendapat ini tampak dipengaruhi
oleh pemikiran barat, sebab barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik,
meskipun pemahaman Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran
Islam yang berkaitan dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan.
Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu sebab
kemunduran politis yaitu pemerintah absulot.
2. Sistem Demokrasi
Di dalam pemerintahan yang absulot dan otokratis tidak ada kebebasan
berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja/kepala negara untuk bertindak yang
tidak diatur oleh Undang-undang. Karena itu Al-Afghani menghendaki agar corak
pemerintahan absulot diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi.
Pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas
dari dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan
pemerintahan republik sebagaimana dalam pemerintahan negara yang demokratis,
kepala negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat
yang berpengalaman karena pengetahuan manusia secara individual terbatas
sekali dan syura diperintahkan oleh Allah dalam Al-Quran agar dapat
dipraktekkan dalam berbagai urusan.
Selanjutnya ia berpendapat pemerintahan otokrasi yang cenderung
meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat
menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan otokrasi harus diganti dengan
pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu.
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling
taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan
suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh

melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang
terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu.
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan menurut AlAfghani adalah rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau
kedaulatan rakyat terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih
oleh rakyat.
3. Pan Islamisme / Solidaritas Islam
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah
merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme.
Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam
dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu
menuntut adanya rasa tanggung jawab bersama dari tiap negara terhadap umat
Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama
dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam.
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada tulisan Al-Afghani. Ia
menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan
permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik.
Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syiah,
dapat dijembatani sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan Afghan
supaya bersatu.
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat
Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang
dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas.
Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat
Islam dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang
atau badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara
persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui adanya kepala
negara di setiap negara Islam.
Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-Islamismenya Al-Afghani itu
adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan umat Islam di wilayah jajahan

untuk menentang kezaliman interen, para pengusaha muslim yang lalim,


menentang kolonialisme dan imperialisme barat serta mewujudkan keadilan.
Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim karena ikatan agama,
bukan ikatan teknik atau rasial. Penguasa itu hendaknya dipilih dari orang-orang
yang paling taat dalam agamanya, bukan karena pewarisan, kehebatan sukunya
atau kekayaan materialnya, dan disepakati oleh anggota masyarakatnya.
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal
dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat
Islam sedunia). Namun usaha Al-Afghani tentang Pan-Islamismenya ini tidak
berhasil.

. Gerakan Jamaluddin Al-Afghani


1. Gerakan Pembaharuan Islam di abad Modern
Afghani memang bukan seorang hakim, tapi dia punya syarat dan
kapabilitas untuk menjadi seorang hakim dan diapun bukan seorang faqih yang
menguasai dunia literatur fiqh, walaupun dia bukan pula orang yang buta dan
taklid dalam berfiqih. Tetapi dia adalah seorang revolusioner islamis, seorang
penggugah dalam tidur yang berkepanjangan, seorang pengilham bagi jiwa-jiwa
pesimisme.
Dialah orang pertama kali yang mengatakan bahwa Misr lilmasriyyin
dan perintis pertama Hizb Wathan hingga dengan gerakan pembaharuannya
berhasil melahirkan tuntutan adanya undang-undang negara dan pembentukan
majelis perwakilan. Dan ini semua telah tercapai dengan hasil yang tidak sedikit,
bahkan jika saja intervensi Inggris yang dimotori oleh Khadevi tidak turut serta,
maka gerakan ini pun bisa mencapai pada kemerdekaan Mesir pada saat itu.
Dan suatu kelebihan dari diri Afghani ialah kemampuanya untuk
menghentak kesadaran Bangsa Mesir saat itu untuk secara kesuluruhan sadar
kembali dalam menghadapi cengkraman penjajahan Eropa dalam kepemimpinan
Ratu Victoria. Adapun perjuangan Afghani dibagi dalam dua tahap, merombak
sistem yang ada saat itu dan membangun kembali sistem yang baru. Sepeninggal
Afghani muncul beberapa upaya untuk meragukan kembali perjuangan dan

kontribusi Afghani bagi umat Islam saat itu, namun semua itu mengalami
kegagalan dan jauh yang diharapkan.
2. Gerakan Pan Islamisme
Dari sudut pandang ide secara umum gerakan pembaharuan di Indonesia
dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu Timur
Tengah pada akhir abad ke-19, khususnya Sayid Jamaluddin Al-Afghani dan
Sheikh Muhammad Abduh. Pemikiran dan usaha mereka bertumpu pada
keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal
sehingga keharusan ijtihad tidak pernah tertutup.
Gerakan Jamaluddin Al-Afghani dengan Pan Islamismenya mempunyai
dua tujuan utama,yaitu membangun dunia Islam di bawah satu pemerintahan dan
mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam (Masyhur Amin, Sejarah
Peradaban Islam). Al-Afghani melihat di antara sebab kemunduran Islam adalah
lemahnya persaudaraan antara sesama umat Islam. Karena itu harus dibangun
solidaritas umat Islam sedunia (Pan Islamisme) sehingga umat Islam berada dalam
pemerintahan yang demokratis. Dengan cara demikian umat Islam akan
memperoleh kemerdekaannya kembali dari penjajah Barat.
Di Indonesia, hampir berbarengan dengan Gerakan Pan Islam berdiri
perkumpulan Jamiatul Kheir di Pekojan, Batavia, pada 1901 sebagai organiasi
sosial yang membawa semangat tolong menolong. Jamiatul Kheir dibentuk
dengan tujuan utama mendirikan satu model sekolah modern yang terbuka luas
untuk umat Islam. Perkumpulan ini lebih menitikberatkan pada semangat
pembaruan melalui lembaga pendidikan modern. Pramudya Ananta Toer dalam
bukunya, Rumah Kaca, menyebut Jamiatul Kheir yang didirikan sejak 1901
merupakan organisasi politik yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang
telah menginspirasi lahirnya Boedi Oetomo.
3. Tarbiyah Pemikiran Syaikh Jamaluddin Al-Afghani
Afghani menggabungkan ilmu-ilmu tradisional Islamnya dengan berbagai
ilmu pengetahauan yang diperolehnya dari Eropa dan pengetahuan modern. Ia
mengembangkan pemikiran (dan gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang
berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus
kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan
oleh generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang saleh.

Sebenarnya Afghani bukanlah pemikir Islam yang pertama yang


mempelopori aliran salafiyah (revivalis). Ibnu Taymiyah telah mengajarkan teori
yang serupa, begitu pula Syeikh Mohammd Abdul Wahab pada abad ke-18. Tetapi
salafiyah (baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni; Pertama,
keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin
terwujud kalau umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan
meneladani pola hidup para sahabat Nabi. Kedua, perlawanan terhadap
kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi maupun kebudayaan.
Ketiga, pengakuan terhadap keunggulan barat dalam bidang ilmu dan teknologi,
dan karenanya umat Islam harus belajar dari barat dalam dua bidang tersebut.
Afghani mendiagnosa penyebab kemunduran di dunia Islam, adalah tidak
adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak setianya pemerintah pada konstitusi
dikarenakan pemerintahan yang sewenang-wenang (despotik). Pemerintahan
republik, merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang
diatur oleh pemerintahan republik yang diatur oleh hukum yang didasari oleh
keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan hubungan dengan orang
yang lain yang dapat mengangkat masyarakat ke puncak kebahagiaan.
Tujuan utama gerakan Afghani ialah menyatukan pendapat semua negaranegara Islam dibawah satu kekhalifahan, untuk mendirikan sebuah imperium
Islam yang kuat dan mampu berhadapan dengan campur tangan bangsa Eropa.
Afghani adalah pembaharu muslim pertama yang menggunakan term Islam dan
Barat sebagai dua fenomena yang selalu bertentangan. Sebuah pertentangan yang
justru harus dijadikan patokan berpikir kaum muslim, yaitu untuk membebaskan
kaum muslim dari ketakutan dan eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang
Eropa.

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kyai Haji Ahmad Dahlan, dilahirkan pada tahun 1285 H bertepatan
dengan 1868 M di kampung Kauman Yogyakarta. Beliau merupakan putra
keempat dari KH Abu Bakar bin Sulaiman KH Sulaiman yang pernah
menjabat sebagai Khatib Mesjid Besar Mataram Yogyakarta. (Yahya, 2003 :
27)
Silsilah lengkapnya ialah Muhammad Darwisy bin KH Abu Bakar bin KH
Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung
Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki
Ageng Gibrig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlulllah (Prapen) bin
Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
(Hidayat, 2011 : 15)
Sebagaimana kata Prof. Abuddin, Ahmad Dahlan memang seorang pelaku
atau praktisi. Dia mendirikan sendiri model lembaga pendidikan yang
diinginkannya, sekolah yang menerapkan pengajaran ilmu agama Islam
sekaligus ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1910, bertempat di ruang tamu
rumahnya sendiri yang berukuran 2,5 m x 6 m, sekolah itu pun terwujud.
Sekolah pertama itu dimulai dengan delapan orang siswa di mana Ahmad
Dahlan sendiri bertindak sebagai guru.

Memberikan teladan bagi pendidik adalah suatu keniscayaan. Tak ada


pendidikan yang berhasil tanpa contoh dari si pendidik. Demikian yang
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, dan demikian pula
yang hendak dipraktikkan oleh KH. Ahmad Dahlan. KRH. Hadjid menuturkan
bahwa Ahmad Dahlan membagi pelajaran menjadi dua bagian, yaitu [1]
belajar ilmu, yakni pengetahuan atau teori; dan [2] belajar amal, yakni
mengerjakan atau mempraktikkan.
Menurut Rustam (2010) yang di kutip oleh Mochammad Arif Hidayat
dalam Skripsinya mengatakan bahwa dalam bidang pendidikan, peran
muhammadiyah

terlihat

lebih

jelas

lagi.

Karena

strategi

gerakan

muhammadiyah di awali dengan perintisan dan pengembangan kader lewat


jalur pendidikan formal dan non formal. Kemudian pada aspek perkembangan
pemikiran keagamaan, muhammadiyah berada di garda depan. Di zaman
Belanda muhammadiyah berhasil melakukan de-mistifikasi (penghancuran
berfikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya dengan tetap berpijak pada
konsep Al-Quran

dan As-Sunnah. Muahammadiyah pun mendobrak

ketaqaklidan yang membabi buta berfikir feodal seperti pengkultusan


individu yang bisa memastikan ijtihad dan keterbukaan pikir. Muhammadiyah
turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah kebiasaan kurang baik,
dalam proses pembelajaran Al-Quran. Misaln ya turut mempelopori usaha
penerjemahan

Al-Quran,

yang

di

zaman

Belanda

diharamkan.

Muhammadiyah mempelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930an, yang menggemparkan. Bahkan belanda khawatir akan bergeser pada aksi
masa. Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa
kemanusiaan (kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa
umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan
inspirasi ajaran Al-Quran dan sunah. Dari pola pemikiran rasional tersebut
gerakan Muhammadiyah telah menumbuhkan kesadaran umat Islam yang
sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam
pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan mihammadiyah bisa
membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan
umat dan bangsa lainnya. (Hidayat, 2011: 41)

B. Kritik dan Saran


Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat memberikan
ilmu dan pengetahuan mengenai konsep pendidikan KH. Ahmad Dahlan yang
menjadi

pahlawan

dalam

dunia pendidikan

di Indonesia, terutama

perkembangan pendidikan Islam.


Kami sadari makalah ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangu dari berbagai pihak sebagai
perhatian kami selanjutnya dalam menyusun dan membuat makalah yang
lebih baik lagi. Kami pun berharap semoga makalah ini dapat menjadi acuan
untuk pengembangan makalah selanjutnya dan memeberikan hasil yang lebih
baik dari apa yang telah kami susun ini.

DAFTAR PUSTAKA

Akaha, A. Z. (2010, Juli 22). Pemikiran Pendidikan KH Ahmad Dahlan. Dipetik


April 30, 2012, dari Beranda Muhasabah:
http://abduhzulfidar.blogspot.com/2010/07/pemikiran-pendidikan-khahmad-dahlan.html
Farid. (2012, April 13). Napak Tilas Kehidupan KHA Dahlan. Dipetik April 30,
2012, dari Vivasocio: http://forum.vivanews.com/sejarah-danbudaya/72676-napak-tilas-kehidupan-k-h-ahmad-dahlan.html
Hidayat, M. A. (2011). Konsep Pendidikan Integralistik Menurut KH.Ahmad
Dahlan . Bandung: UPI Bandung.
Hamdan. (2009). Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyah. Jogjakarta: ArRuzz Media.
Munandar, A. (2011, November 5). Pemikiran M. Natsir dan A. Dahlan tentang
Pendidikan (Bagian 1). Dipetik April 30, 2012, dari UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang: http://www.uin-malang.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=2653:pemikiran-pendidikan-mnatsir-dan-ahmad-dahlan-bagian-1&catid=35:artikel-dosen&Itemid=210
Pemikiran M. Natsir dan A. Dahlan tentang Pendidikan (Bagian 1)
Pemikiran Pendidikan KH Ahmad Dahlan
Suryanegara, A. M. (2009). Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka Semesta.
Syarifah. (2011, Juli 21). Pemikiran Pendidikan KH. Ahmad Dahlan. Dipetik
April 30, 2012, dari Ambiya:
http://ambiya1990.blogspot.com/2011/07/heroin.html.
Wikipedia. (t.thn.). Ahmad Dahlan. Dipetik April 24, 2012, dari Wikipedia
Indonesia: http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan
Zuhairini, dkk . (2010). Sejarah Pendidikan Islam . Jakarta : PT Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai