Anda di halaman 1dari 10

PENGARUH SAFETY EQUIPMENT TERHADAP KESELAMATAN

BERLAYAR
Benny Agus Setiono, Mudiyanto
Jurusan Ketatalaksanaan Pelayaran Niaga, Program Diploma Pelayaran,
Universitas Hang Tuah
ABSTRAK
Peristiwa kecelakaan beruntun yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat belakangan
ini menjadi sebuah kejadian yang sangat menarik perhatian kita. Terlebih mengingat
jumlah korban yang tidak sedikit. Seperti tenggelamnya kapal Levina I dan KM. Senopati
Nusantara yang menewaskan ratusan penumpangnya. Data yang ada pada Mahkamah
Pelayaran, diketahui bahwa faktor manusia hanya menyumbang 20 persen saja dari angka
kecelakaan. Sebanyak 30 persen disebabkan oleh human error, yang salah satunya adalah
tiadanya jaminan keselamatan yang memadai.
Syahbandar memang memegang semua izin-izin kapal, tapi kalau ada kerusakan nakhoda
harus lapor ke syahbandar. Kalau semua dokumen kapal hidup syahbandar mengeluarkan
clearance (SOLAS 74, pasal 40). Tapi tanggungjawab di kapal ada pada nakhoda
(SOLAS 74, pasal 57). Nakhoda memberangkatkan kapal kalau dia sudah pasti kapal
layak laut. Jadi tanggungjawab berangkatkan kapal atau tidak ada di nakhoda, bukan
syahbandar. Nakhoda wajib memastikan kapal dalam keadaan layak.
Kata kunci: kesalahan manusia (human error), clearance, kapal layak laut.
pelayaran berisiko tinggi. Oleh sebab itu,
keselamatan harus benar-benar dijamin.
Sea survival atau penyelamatan jiwa
manusia di laut merupakan suatu
pengetahuan
praktis
pelaut
yang
menyangkut
bagaimana
cara
menyelamatkan diri maupun orang lain
dalam keadaan darurat di laut. Seperti
setelah mengalami tubrukan, kebakaran,
kandas, dan sebagainya. Dalam proses
penyelamatan ini baik para penolong
maupun yang ditolong harus tahu dan
paham
benar-benar
cara-cara
menggunakan berbagai alat penolong
yang ada dikapal, persiapan-persiapan,
dan tindakan-tindakan yang harus diambil
sebelum dan sesudah menerjunkan diri ke
laut, tindakan-tindakan selama terapung
dan bertahan di laut, tindakan-tindakan
pada
waktu
menaiki
sekoci/rakit
penolong, serta bagaimana sarana

PENDAHULUAN
Latar belakang
Masalah keselamatan transportasi akhirakhir ini, melejit ke permukaan menjadi
tema hangat pemberitaan, baik pada
media televisi maupun di koran, seiring
dengan
kecelakaan-kecelakaan
transportasi yang terjadi pada akhir tahun
2006 dan awal tahun 2007. Peranan
keselamatan pelayaran dalam sistem
transportasi laut merupakan hal yang
mutlak
diperhitungkan,
karena
menyangkut transportasi barang dan
orang menyeberangi lautan dengan penuh
bahaya dan ancaman badai, kabut, dan
gerakan-gerakan dari laut seperti ombak,
arus, karang laut, pendangkalan serta
jalur pelayaran yang tetap dan berubah,
menjadikan transportasi laut dalam

69

70

Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

komunikasi yang ada di dalam


sekoci/rakit penolong.
Semua tindakan ini dimaksudkan agar
setiap orang yang dalam keadaan
bahaya/darurat dapat menolong dirinya
sendiri maupun orang lain secara cepat
dan tepat, baik pada waktu terjun ke laut,
pada waktu bertahan, dan terapung di
laut, pada waktu menolong orang lain
maupun pada waktu naik ke sekoci/rakit
penolong sebelum pertolongan datang.

pentingnya alat keselamatan berlayar


bagi dunia pelayaran.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan
masukan
terhadap
institusi, khususnya perusahaanperusahaan
pelayaran
untuk
menyiapkan alat keselamatan berlayar
sesuai Solas 74.

Perumusan masalah

Kapal sekalipun sudah memiliki kondisi


prima barulah dapat beroperasi dan
dimanfaatkan bila telah diawaki oleh
personil dengan kecakapan sesuai
perundang-undangan,
memiliki
pengetahuan yang memadai tentang
peraturan, aturan, kode, dan petunjuk
yang
terkait
dengan
pelayaran.
Bagaimanapun modernnya suatu kapal
dan diperlengkapi dengan peralatanperalatan
otomatis,
masih
juga
membutuhkan awak kapal. Para awak
kapal, harus memiliki kemampuan untuk
menyiapkan kapalnya dan juga harus
mampu melayarkan kapal dengan muatan
barang atau penumpang secara aman
sampai tempat tujuannya.
Hasil penelitian Analisa Kompetensi
Perwira Awak Kapal Pelayaran Rakyat
(Widarbowo.
PPS
Unhas.
2006)
menunjukkan bahwa sebagian besar
54,7% perwira awak kapal pelayaran
rakyat memiliki kompetensi dengan
penilaian kurang mampu dan terdapat
hubungan kuat antara kompetensi perwira
bagian deck dan mesin terhadap tingkat
kecelakaan.
Aspek-aspek
dalam
kelompok kejuruan kompetensi yang
perlu ditingkatkan untuk perwira bagian
deck yaitu pengetahuan pedoman,
pengetahuan peta, peraturan tubrukan di
laut, pengetahuan arus dan pasang surut
serta kecakapan pelaut. Sedangkan untuk
perwira mesin yaitu sistem pendingin,

Berdasarkan latar belakang yang


dipaparkan di atas, sesuai Solas 74 dapat
disusun perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah
penyebab
terjadinya
kecelakaan kapal LEVINA I dan KM
SENOPATI NUSANTARA?
2. Siapakah yang bertanggung jawab
dalam kecelakaan kapal LEVINA I
dan KM SENOPATI NUSANTARA
tersebut?
Tujuan penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah:
1. Ingin
mengetahui
dan
menggambarkan penyebab terjadinya
kecelakaan kapal LEVINA I dan KM
SENOPATI NUSANTARA.
2. Ingin
mengetahui
dan
menggambarkan siapa-siapa yang
seharusnya bertanggung jawab dalam
kecelakaan kapal LEVINA I dan KM
SENOPATI NUSANTARA tersebut.
Manfaat penelitian
Setelah
mengetahui
permasalahan,
perumusan dan tujuan penelitian maka
berikut ini dikemukan manfaat penelitian
adalah:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan
informasi
tentang

TINJAUAN PUSTAKA
Sumber daya awak kapal

71

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment

sistem pelumasan, cara (prosedur)


menjalankan motor dan pemeliharaannya
serta susunan instalasi motor/penggerak
kapal. Dari segi keamanan pelayaran
maka awak kapal yang terampil bisa
menghindari
bahaya-bahaya
navigasi/kandas ataupun bertubrukan
dengan
kapal
lain.
Keselamatan
pelayaran sangat tergantung pada para
awak kapal.
Kondisi kapal motor baja secara
administratif dapat dikatakan relatif
lumayan, karena kapal-kapal tersebut
terregistrasi pada biro klasifikasi yang
ditandai dengan kepemilikan kelas kapal.
Namun dari segi teknik dan ekonomi,
perlu dipertanyakan. Hal ini, disebabkan
umur armada kapal banyak yang berumur
tua, sehingga dapat menimbulkan
kerusakan-kerusakan yang tidak terduga,
sehingga mempengaruhi keselamatan
Kapal yaitu keadaan kapal yang
memenuhi
persyaratan
material,
konstruksi bangunan, permesinan dan
pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta
perlengkapan radio/ elektronika kapal
yang dibuktikan dengan sertifikat setelah
dilakukan pemeriksaan dan pengujian.

Gambar 1. Kondisi Kapal Perintis

Pada periode tahun 2002 berdasarkan


data atas 30 kapal perintis yang
beroperasi di KTI ditemukan bahwa 67%
armada kapal perintis telah mencapai usia
lebih dari 25 tahun. Untuk periode
sekarang tahun 2007, seandainya atau

jika tidak diadakan peremajaan kapal,


maka
persentase
armada
perintis
meningkat sekitar 90% berumur di atas
25 tahun, sebagaimana pada tabel 1.
Tabel 1. Umur Kapal-kapal Perintis Tahun
1997 dan 2002
Umur Kapal
(Tahun)

Tahun 1997
Jumlah
Kapal

Tahun 2002

Persentase

Jumlah
Kapal

Persentase

< 10

3,85

11 15

3,85

6,67

16 20

19,23

3,33

21 25

7,69

23,33

26 30

34,62

13,33

> 31

30,76

16

53,33

Jumlah

26

100,00

30

100,00

Sumber : Studi Manfaat Pelayaran ALP di KTI,


UPTL LPUH, 2003

Kapal dengan kondisi yang secara teknis


menurut ukuran ketentuan perundangundangan dinyatakan laik-laut lebih dapat
diharapkan menyeberangkan muatan (dan
penumpang) dengan aman. Dari sudut
perasuransian, kapal dengan kondisi
prima akan diberikan nilai pertanggungan
yang besar dengan premi yang rendah.
Sebaliknya kapal dengan kondisi kurang
prima, premi yang tinggi dengan nilai
pertanggungan yang lebih rendah. Selain
itu kapal dengan kondisi baik lebih dapat
diharapkan berlayar tanpa hambatan
selama dalam pelayaran. Berlainan
dengan kapal yang kondisinya diragukan
maka
kemungkinan
mengalami
kerusakan setiap saat di perjalanan. Ini
berarti tambahan biaya eksploitasi
disebabkan terjadinya delay.
Sarana penunjang
faktor lainnya

pelayaran

dan

Selain dari faktor teknis kapal dan ABK


yang telah diuraikan di atas, maka Sarana
Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) tidak
kurang pentingnya sebagai unsur
penunjang di bidang keselamatan

72

Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

pelayaran. Ini terdiri dari rambu-rambu


laut lainnya yang berfungsi sebagai
sarana penuntun bagi kapal-kapal yang
sedang berlayar agar terhindar dari
bahaya-bahaya navigasi terutama yang
berada dibawah permukaan air. Termasuk
di sini Stasiun Radio Pantai yang sangat
berguna bagi kapal-kapal yang dilengkapi
dengan alat navigasi Radio Direction
Finder/RDF. Stasiun Radio Pantai juga
berguna sebagai sarana bantu navigasi
pelayaran untuk memungkinkan kapalkapal melakukan pelayaran ekonomis,
sebab tanpa itu semua, kapal akan
terpaksa
melakukan
pelayaran
memutar, berarti jarak yang lebih jauh
guna menghindari bahaya navigasi.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu cara atau
teknis yang dilakukan dalam proses
penelitian. Kemudian penelitian itu
sendiri diartikan sebagai upaya dalam
bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan
untuk memperoleh fakta-fakta dan
prinsip-prinsip dengan sabar dan
sistematis untuk mewujudkan kebenaran
oleh karenanya masalah metodologi
dalam suatu penelitian ilmiah mempunyai
peranan penting karenanya di dalamnya
terkandung
petunjuk-petunjuk
memperoleh hasil yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Seperti yang dikatakan oleh Marzuki:
Metode ilmiah dari suatu ilmu
pengetahuan adalah segala cara dalam
kerangka ilmu tersebut sampai kepada
kesatuan pengetahuan. Tanpa metode
ilmiah suatu ilmu pengetahuan itu
sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu
himpunan pengetahuan saja tentang
berbagai gejala yang satu dengan gejala
yang lain (Marzuki, 1993).

Dari pendapat para ahli tersebut, maka


dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri
pokok metode diskriptif antara lain :

Memusatkan perhatian pada masalahmasalah yang ada pada saat penelitian


dilakukan atau masalah-masalah yang
bersifat nyata (aktual).

Manggambarkan
fakta
tentang
masalah yang diselidiki sebagaimana
adanya,
serta
diiringi
dengan
interprestasi rasional yang adequate
(Dalam Nawawi, 1990 : 64).

Suatu penelitian sosial pada dasarnya


bertujuan untuk menerangkan suatu
fenomena sosial /peristiwa sosial, dimana
kadang-kadang peristiwa tersebut dapat
berbentuk suatu kasus yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat. Dengan melihat
permasalahan yang terjadi, penelitian ini
menggunakan bentuk penelitian studi
kasus, yaitu suatu penelitian yang
dilakukan secara intesif, terperinci dan
mendalam terhadap suatu organisme
lembaga atau gejala tertentu (Dalam
Arikunto, 1996 : 115).
Tujuan dari studi kasus adalah untuk
memberikan gambaran secara mendetail
tentang latar belakang, sifat-sifat serta
karakter yang khas dari kasus, ataupun
status dari individu yang kemudian dari
sifat-sifat yang khas seperti diatas akan
dijadikan suatu hal yang bersifat umum
(Dalam Nasir, 1998: 66-67).
Dalam penelitian ini peneliti berusaha
memperoleh gambaran yang kongkret
tentang penyebab terjadinya kecelakaan
kapal LEVINA I dan KM SENOPATI
NUSANTARA serta peneliti ingin
memperoleh gambaran siapa-siapa yang
seharusnya bertanggung jawab dalam
kecelakaan kapal LEVINA I dan KM
SENOPATI NUSANTARA tersebut.
dengan berusaha menggali fakta-fakta
yang ada, menganalisanya secara
objektif, tidak dogmatis walaupun

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment

bersandar pada prinsip-prinsip teoritis.


Adapun pendekatan dalam analisis
penelitian yang digunakan dengan
analisis kualitatif, dimana diharapkan
data diskriptif, berupa kata-kata atau lisan
dari orang-orang dan sumber informasi
lainya yang diamati.
Jenis penelitian
Berdasarkan perumusan masalah dan
tujuan dari penelitian yang ada, maka
penelitian ini termasuk dalam jenis
penelitian diskriptif, yaitu merupakan
penelitian yang dimaksudkan untuk
mengumpulkan informasi mengenai
status suatu gejala yang ada, yaitu
keadaan gejala menurut apa adanya pada
saat penelitian dilakukan yaitu hal-hal
yang berkaitan dengan penyebab
terjadinya kecelakaan kapal LEVINA I
dan KM SENOPATI NUSANTARA
serta
peneliti
ingin
memperoleh
gambaran siapa-siapa yang seharusnya
bertanggung jawab dalam kecelakaan
kapal LEVINA I dan KM SENOPATI
NUSANTARA.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tiap-tiap perusahaan, dalam bentuk atau
bidang
manapun,
apalagi
bidang
perdagangan, tidak mungkin berjalan
sebagaimana mestinya untuk memperoleh
laba tanpa adanya alat-alat pengangkutan
antara lain memungkinkan sampai
barang-barang produksi dan barang
dagangan sampai tepat di tempat
konsumen.
Begitupun
produsen
memerlukan alat-alat pengangkutan yang
berjalan baik secara menyalurkan hasilhasil produksi pada konsumen.
Mustahil bila ada suatu usaha
perniagaan/perdagangan
yang
mengabaikan segi pengangakutan ini.
Disamping itu mengenai pengangkutan
benda-benda tersebut diperlukan di
tempat-tempat tertentu, dalam keadaan

73

lengkap dan utuh serta tepat waktunya,


tetapi juga mengenai pengangkutan
orang-orang
yang
memberikan
perantaraan
pada
pelaksanaan
perusahaan. Sebagai contoh, misalnya
seorang pekerja berkeliling, seorang
makelar, seorang komisioner, mereka
semuanya pada waktu tertentu tidak
mungkin memenuhi prestasi-prestasinya
tanpa alat pengangkutan, belum lagi
terhitung bertambahnnya orang-orang
yang karena sesuatu hal misalnya untuk
peninjauan di dalam negeri maupun di
luar negeri tentunya memerlukan
pengangkutan.
Hukum Pengangkutan merupakan bagian
dari hukum dagang (Perusahaan) yang
termasuk dalam bidang keperdataan.
Adapun Hukum Pengangkutan bila
ditinjau dari segi Keperdataan dapat kita
tunjuk sebagai keseluruhan peraturanperaturan, di dalam dan di luar kodifikasi
(Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
yang berdasarkan atas dan bertujuan
untuk mengatur hubungan-hubungan
hukum yang terbit karena keperluan
pemindahan barang-barang dan atau
orang-orang dari suatu tempat ke tempat
lain untuk memenuhi perikatan-perikatan
yang lahir dari perjanjian-perjanjian
tertentu, termasuk juga perjanjianperjanjian untuk memberikan perantaraan
mendapatkan pengangkutan.
Penyajian data dan analisa data
Analisis dan pengolahan data akan
mengkaji
pentingnya
alat-alat
keselamatan
terhadap
keselamatan
berlayar sesuai dengan SOLAS 1974.
Analisis laporan ini didasarkan pada
pendapat para praktisi di bidang
pelayaran yang bersedia menjadi
responden dalam survey ini didukung
dengan temuan-temuan pengamatan yang
dilakukan selama penelitian berlangsung.

74

Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

Analisis pendapat responden dalam angka


yang khusus dijelaskan melalui analisis
deskriptif kuantitatif dan mengkaji trend
tingkat korban dalam kecelakaan di laut.
Peristiwa kecelakaan beruntun yang
terjadi dalam waktu yang sangat singkat
belakangan ini menjadi sebuah kejadian
yang sangat menarik perhatian kita.
Terlebih mengingat jumlah korban yang
tidak sedikit. Seperti tenggelamnya kapal
Levina I dan KM Senopati Nusantara
yang
menewaskan
ratusan
penumpangnya. Mereka yang menjadi
korban jelas membawa tragedi tersendiri
bagi keluarga yang ditinggalkan.
Menyaksikan peristiwa tersebut, salah
satu pelajaran penting yang harus sangat
dibenahi adalah jaminan keselamatan
transportasi. Jaminan dimaksud adalah
sebuah sistem yang baku, tersistematisasi
dan mudah dimengerti oleh para
penumpang, sehingga ketika terjadi
kecelakaan, prosedur tersebut langsung
berlaku.
Dari data yang ada pada Mahkamah
Pelayaran, diketahui bahwa faktor
manusia hanya menyumbang 20 persen
saja dari angka kecelakaan. Sebanyak 30
persen disebabkan oleh human error,
yang salah satunya adalah tiadanya
jaminan keselamatan yang memadai tadi.
Faktor cuaca buruk terutama dijadikan
kambing hitam dari semua musibah
tersebut, walau secara teknis faktor
desain dan kondisi kapal layak
dipertanyakan siapa tahu justru faktor ini
penyebab utama yang tidak pernah
terungkap karena tidak pernah dilakukan
penyelidikan untuk itu.
Menurut laporan, hantaman gelombang
setinggi 3-4 meter diduga menjadi
penyebab utama tenggelamnya kapal
yang didesain untuk bertahan pada
ketinggian ombak 1-2 meter. Kecelakaan
laut terbuka dialami KM Senopati
Nusantara yang melayani jalur Kumai

(Kalimantan Tengah) menuju Tanjung


Mas (Semarang). Kapal ini berjenis roro
seperti KMP Tri Star 1 tetapi dengan
ukuran dan kapasitas yang lebih besar,
mengangkut ratusan manusia dan
sejumlah kendaraan.
Kondisi cuaca yang buruk dan pukulan
ombak setinggi 5-6 meter diduga menjadi
penyebab
utama
musibah
yang
merenggut ratusan jiwa manusia dari
kapal yang dirancang bertahan terhadap
tekanan gelombang setinggi 3-4 meter.
Yang terakhir kasus terbakarnya kapal
Levina I.
Seperti yang diulas di berbagai media
cetak dan elektronik, faktor cuaca buruk
adalah yang paling dipersalahkan
sehingga kecelakaan kapal tersebut
terjadi. Tinggi gelombang yang tidak
lazim dari biasanya telah menghantam
badan
kapal
dan
selanjutnya
menenggelamkan kapal-kapal tersebut.
Secara logika sederhana, alasan tersebut
dapat diterima. Kapal dengan sarat atau
ketinggian geladak 2 meter akan mampu
menghadapi ombak atau gelombang
dengan ketinggian rata-rata 1-2 meter.
Demikian pula dengan kapal yang
memiliki sarat 4 meter maka akan mampu
menahan hempasan gelombang dengan
ketinggian 3-4 meter. Ketika ketinggian
gelombang melebihi ambang batas yang
diizinkan maka air laut dalam jumlah
besar akan memasuki badan kapal yang
memiliki banyak bukaan (open space)
dan selanjutnya mengganggu stabilitas
dan memorak-porandakan kapal.
Sedangkan tenggelamnya Kapal Motor
Penumpang (KM) Levina I diduga kuat
erat kaitannya dengan klaim asuransi.
Karena jika seluruh kapal tenggelam,
proses penggantian asuransinya lebih
maksimal dibandingkan jika kapal
dibiarkan terapung dalam kondisi rusak.
Mengenai jumlah penumpang KMP
Levina I yang hingga saat ini masih

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment

simpang siur, menurut Harijogi pihaknya


masih menyelidiki, karena datanya terus
berubah. Awalnya data Dephub jumlah
penumpang 316 dengan, 300 selamat dan
16 tewas. Namun Minggu (25/2) pagi,
ditemukannya 22 jenazah tambahan.
Namun masih ada penyebab kecelakaan
beragam, antara lain:
1. Sistem Peringatan Dini. Sistem ini
sering tak menjadi perhatian. Acap
terjadi ketika kecelakaan berlangsung,
kru kapal tidak memberikan arahan
yang jelas bagi para penumpang
untuk menyelamatkan diri. Kru juga
sering tidak memberikan informasi di
mana alat-alat keselamatan berada
dan
bagaimana
cara
menggunakannya.
2. Kapasitas angkut. Setiap kapal
harusnya memiliki surat izin berlayar
(SIB) yang antara lain mengatur
kapasitas kapal yang dikeluarkan
syahbandar. Beberapa kecelakaan
yang menimpa kapal sering terjadi
karena penumpang dan barang yang
diangkut melebihi kapasitas yang
ditentukan. Dalam aturan pelayaran
yang baku sebelum keberangkatan,
harusnya
petugas
pelabuhan
memeriksa sesuai tidaknya barang
dan orang yang diangkut dengan
kapasitas dan daya angkut kapal.
3. Kondisi kapal. Kapal yang berlayar di
Indonesia, terutama berjenis roll onroll of (Ro-Ro) adalah kapal eks
Jepang. Lazimnya kapal jenis ini
tidak dipergunakan dalam pelayaran
jarak jauh. Karena tidak sesuai
dengan peruntukannya, maka risiko
kecelakaan pada kapal ini sangat
terbuka.
4. Standar
Operasional
Prosedur.
Prosedur ini sering diabaikan. Kapal
yang berlayar sering tanpa register,
kru-nya tidak memiliki sertifikat
internasional, dan tidak dilengkapi

75

alat-alat penyelamatan. Sebagian


kapal memiliki alat penyelamatan,
tetapi kedaluwarsa sehingga tidak
layak digunakan dalam keadaan
darurat.
Beberapa hal di atas yang tidak dimiliki
dan tidak dijalankan kapal-kapal di
Indonesia
menyebabkan
risiko
keselamatan penumpang sering terancam.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua Umum
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi
Rustandi. Menurut dia, sebagian besar
armada kapal nasional tidak laik laut
karena tidak memenuhi syarat teknis
perkapalan. Selain itu, banyak kapal tidak
memiliki peralatan keselamatan yang
memadai dan tidak memperhatikan
kesejahteraan pelaut. Hal ini sangat
membahayakan
keselamatan
ABK,
penumpang, dan barang yang diangkut.
Anehnya, kapal-kapal tersebut tetap
mendapatkan SIB dari syahbandar.
Padahal, kapal-kapal itu jelas melanggar
ketentuan
yang
tercantum
dalam
Konvensi
International
Maritime
Organization (IMO) dan International
Labour Organization (ILO).
Menurut The Study for The Maritime
Traffic Safety System Development Plan
tahun 2002, penyebab kecelakaan kapal
antara lain kesalahan manusia (human
error) 41%, bencana alam (force majeur)
38%, dan struktur kapal (hull structure)
21%.
Sedangkan studi Dephub-JICA tahun
2002 menunjukkan tahun 1982 hingga
2000 terjadi 3.826 kecelakaan kapal (ratarata 204 kecelakaan setiap tahun atau
setiap dua hari sekali).

76

Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

Yang bertanggung jawab dalam


kecelakaan kapal Levina I dan KM
Senopati Nusantara
Pihak Polri tidak berhak memeriksa
penyebab kecelakaan yang menimpa KM
Levina 1, apalagi langsung menyelidiki
kemungkinan adanya tindak pidana
dalam peristiwa naas itu. Dalam UU
Pelayaran No 21/1992 ditegaskan kalau
ada kecelakaan kapal, maka yang harus
memeriksa
adalah
pejabat
yang
berwenang, dan kasus ini kemudian dapat
diteruskan
ke
pengadilan
yang
berwenang. Ini merupakan masalah
kompetensi peradilan, jadi sudah diatur
bahwa Mahkamah Pelayaran yang
pertama kali harus membuktikan ada
kecenderungan perbuatan pidana baru
diserahkan ke polisi.
Syahbandar memang pegang semua
izin-izin kapal, tapi kalau ada kerusakan
nakhoda harus lapor ke syahbandar.
Kalau semua dokumen kapal hidup
syahbandar mengeluarkan clearance
(SOLAS
74,
pasal
40).
Tapi
tanggungjawab di kapal ada pada
nakhoda di (SOLAS 74, pasal 57).
Nakhoda memberangkatkan kapal kalau
dia sudah pasti kapal layak laut. Jadi
tanggungjawab berangkatkan kapal atau
tidak ada di nakhoda, bukan syahbandar,
Nakhoda wajib memastikan kapal dalam
keadaan layak. Kalau celaka kan kapten
yang celaka bersama ABK dan para
penumpang serta pemilik kapal.
Pemilik atau operator kapal wajib
memberi keleluasaan kepada nakhoda
atau pemimpin kapal untuk melaksanakan
ketentuan yang berlaku. Sekarang
pemilik sering paksa kapten untuk
berlayar, Pernyataan muatan berbahaya
harus dinyatakan oleh EMKL atau
pemilik kapal, tetapi dalam kasus ini
harus dicek siapa yang mengurus muatan,
dan dicek mengapa muatan bahan kimia
tidak dilaporkan?

Dari kewajiban pengangkut diatas


menimbulkan
tanggung
jawab,
khususnya jika timbul kerugian atas
barang yang diangkut dalam jangka
pengangkutan.
Pada
asasnya,
pertanggung jawaban pengangkut dimulai
pada saat barang angkutan dibawah
penguasaannya, yaitu di pelabuhan
pemuatan, selama pengangkutan dan
berakhir di pelabuhan pembongkaran.
Dalam pasal 86 Undang-Undang
Pelayaran, diatur mengenai tanggung
jawab pengangkut sebagai berikut:
(1) Bahwa perusahaan angkutan di
perairan bertanggung jawab atas akibat
yang ditimbulkan oleh pengoperasian
kapalnya berupa:
a. Kematian atau lukanya penumpang
yang diangkut;
sebagaimana
dimaksud
dalam
ketentuan ini adalah kematian atau
lukanya penumpang yang diakibatkan
oleh kecelakaan selama dalam
pengangkutan dan terjadi di dalam
kapal, dan/atau kecelakaan pada saat
naik dan turun dari kapal sesuai
dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
b. Musnah, hilang atau rusaknya barang
yang diangkut;
tanggung jawab tersebut sesuai
dengan perjanjian pengangkutan dan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Keterlambatan angkutan penumpang,
dan atau barang yang diangkut;
tanggung jawab tersebut meliputi
antara lain memberikan pelayanan
dalam batas-batas kelayakan sesuai
kemampuan perusahaan angkutan di
perairan kepada penumpang selama
menunggu keberangkatan dalam hal
terjadi keterlambatan pemberangkatan
karena kelalaian perusahaan angkutan
tersebut.

Benny Agus S. : Pengaruh safety equipment

d. Kerugian pihak ketiga;


yang dimaksud dalam pihak ketiga
adalah orang atau badan hukum yang
tidak
ada
kaitannya
dengan
pengoperasian kapal.
(2) Jika perusahaan angkutan dapat
membuktikan
bahwa
kerugian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b,c, dan d bukan disebabkan karena
kesalahannya, maka dapat dibebaskan
sebagian atau seluruh dari tanggung
jawabnya.
(3) Perusahaan
angkutan
wajib
mengasuransikan tanggung jawabnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Meskipun pengangkut harus bertanggung
jawab atas kerugian yang timbul, namun
pengangkut tidak berkewajiban memberi
ganti rugi apabila ada keadaan-keadaan
sebagai berikut :
a. Keadaan memaksa (overmacht/force
majeure).
b. Cacat yang melekat pada barang
angkutan itu sendiri.
c. Kesalahan/kelalaian terletak pada
pengirim maupun Ekspenditur.
Untuk mengajukan klaim kepada pihak
pengangkut, pengirim/penerima cukup
menjelaskan bahwa kurang lengkapnya
prestasi dari pengangkut disebabkan
karena kesalahan pengangkut dan ganti
rugi yang diminta. Sedangkan beban
pembuktian diletakkan kepada pihak
pengangkut.
Pengangkutan harus membuktikan bahwa
kesalahan tersebut bukan kesalahan
pengangkut. Oleh karena itu harus
membuktikan hal-hal yang dapat
mendiskulpasi (melenyapkan culpa) dari
kewajibannya.

77

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Peristiwa kecelakaan beruntun yang
terjadi dalam waktu yang sangat singkat
belakangan ini menjadi sebuah kejadian
yang sangat menarik perhatian kita.
Terlebih mengingat jumlah korban yang
tidak sedikit. Seperti tenggelamnya kapal
Levina I dan KM Senopati Nusantara
yang
menewaskan
ratusan
penumpangnya. Mereka yang menjadi
korban jelas membawa tragedi tersendiri
bagi keluarga yang ditinggalkan.
Menyaksikan peristiwa tersebut, salah
satu pelajaran penting yang harus sangat
dibenahi adalah jaminan keselamatan
transportasi. Jaminan dimaksud adalah
sebuah
sistem
yang
baku,
tersistematisasi, dan mudah dimengerti
oleh para penumpang, sehingga ketika
terjadi kecelakaan, prosedur tersebut
langsung berlaku.
Saran
1. Informasi yang diperoleh tidak hanya
berupa rekomendasi tentang perlunya
pembenahan prosedur keselamatan
pelayaran tetapi juga berkaitan
dengan penyempurnaan desain dan
konstruksi kapal. Pengujian model
juga dapat menghasilkan kesimpulan
tentang laik atau tidaknya sebuah
kapal untuk dioperasikan pada
perairan tertentu dengan lebih teliti.
2. Keharusan tiap kendaraan yang
berada di atas kapal untuk diikat
(lashing) dan penempatan barang
tidak memperhitungkan titik berat
kapal. Jika kita mau berpegang pada
aturan dan itu dijalankan dengan baik,
maka berbagai macam kecelakaan
terhadap moda transportasi di mana
pun, baik di laut, udara, maupun di
darat sesungguhnya bisa ditekan.

78

Jurnal Aplikasi Pelayaran dan Kepelabuhanan, Volume 1, Nomor 1, September 2010

3. Pada akhirnya semua itu tergantung


kepada itikad baik otoritas pemerintah
dalam rangka menyediakan sarana
transportasi laut yang nyaman dan
juga aman.
DAFTAR PUSTAKA
Pemerintah
RI.
2004.
Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 2004
tentang Perubahan atas PP No. 1
Tahun 1998 tentang Pemeriksaan
Kecelakaan Kapal.
Perhubungan Laut. 1992. Undang
Undang No. 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran.
Departemen
Perhubungan.
Rahayu
Hartini.
2007.
Hukum
Pengangkutan.
Malang:UMM
Press.

Anda mungkin juga menyukai