Anda di halaman 1dari 18

PERCOBAAN II

ANALISIS ETHAMBUTHOL HCl DAN KLORAMFENIKOL


DENGAN METODE ARGENTOMETRI

A. Tujuan
1. Menganalisis sediaan obat dengan metode argentometri.
2. Memahami proses analisis dalam metode argentometri.

B. Dasar Teori
1. Titrasi Argentometri
Argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar
halogenida dan senyawa-senyawa lain yang membentuk endapan dengan
perak nitrat (AgNO3) pada suasana tertentu. Metode ini disebut juga metode
pengendapan karena pada argentometri menghasilkan pembentukan
senyawa yang relatif tidak larut atau endapan (Gandjar, 2007).
Titrasi argentometri merupakan titrasi yang didasarkan pada
pengendapan anatara ion Ag+ dan anion-anion yaitu halida, tiosianat, dan
sianida. Pada titrasi argentometri, larutan AgNO3 digunakan sebagai larutan
standar. Titrasi argentometri ini didasarkan pada reaksi:
AgNO3 + Cl-

AgCl(s) + NO3-

Kalium kromat dapat digunakan sebagai suatu indikator yang akan


menghasilkan warna merah dengan kelebihan ion Ag+. Titrasi yang lebih
banyak digunakan adalah metode titrasi balik. Kelebihan AgNO3
ditambahkan ke dalam sampel yang mengandung ion klorida atau bromida.
Kelebihan AgNO3 kemudian dititrasi dengan ammonium tiosianat dan
ammonium fero sulfat digunakan sebagai indikator pada kelebihan titrasi
dengan SCN-.
AgNO3 + NH4SCN

AgSCN(s) + NH4NO3

Sebelum titrasi balik dapat dilakukan, AgCl yang mengendap harus


disaring

atau

dilapisi

dengan

dietilftalat

untuk

mencegah

SCN-

menyebabkan penguraian terhadap AgCl. Klorin (Cl-) yang dikombinasikan

secara organik harus dibebaskan melalui hidrolisis dengan natrium


hidroksida sebelum titrasi. Suatu halogen yang menempel pada cincin
aromatik tidak dapat dibebaskan dengan cara hidrolisis dan halida aromatik
harus dibakar dalam tabung oksigen agar dapat melepaskan halogen untuk
proses titrasi.
Titrasi argentometri biasanya digunakan pada penetapan kadar dalam
farmakope untuk tablet natrium klorida dan kalium klorida, tiamin
hidroksida, musin klorida dan karbomat (Watson, 2009).
Garam AgNO3 merupakan satu-satunya garam perak yang terlarutkan
dalam air sehingga reaksi perak nitrat dengan garam lain akan menghasilkan
endapan. Garam-garam seperti natrium klorida (NaCl) dan kalium sianida
(KCN) dapat ditentukan kadarnya dengan cara berikut:
AgNO3 + NaCl

AgCl (s) + NaNO3

AgNO3 + KCN

AgCN (s) + KNO3

Sampel garam dilarutkan dalam air dan dititrasi dengan larutan perak
standar sampai keseluruhan garam perak mengendap. Jenis titrasi ini dapat
menunjukkan titik akhirnya sendiri, tetapi biasanya suatu indikator dipilih
untuk menghasilkan endapan berwarna pada titik akhir titrasi. Pada
penetapan kadar NaCl, kalium kromat (K2CrO4) ditambahkan ke dalam
larutan sebagai suatu indikator, setelah semua NaCl bereaksi, tetesan
pertama AgNO3 berlebih akan menghasilkan endapan perak kromat
(AgCrO4) berwarna merah yang akan mengubah larutan menjadi berwarna
coklat merah (Cairns, 2008).
2. Macam-Macam Metode Titrasi Argentometri
Metode titrasi argentometri dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Metode Volhard
Metode Volhard didasari pada pengendapan dari perak tiosinat
dalam larutan asam nitrit, dengan ion besi (III) yang digunakan sebagai
indikator untuk mendeteksi kelebihan ion tiosianat:
Ag+ + SCN2+

Fe + SCN

AgSCN (s)
FeSCN2+

Metode ini dapat digunakan untuk titrasi langsung perak dengan


larutan standar tiosianat, untuk titrasi tidak langsung dari ion-ion klorida,
bromida dan iodida. Dalam titrasi tidak langsung, kelebihan dari perak
nitrat standar ditambahkan dan kemudian dititrasi dengan tiosianat
standar.
Metode Volhard biasanya digunakan secara luas untuk perak dan
klorida mengingat titrasinya dapat dijalankan dalam suasana asam.
Kenyataannya, ada keinginan untuk menggunakan suatu media asam
untuk mencegah terjadinya hidrolisis dari indikator ion besi (III). Metode
umum lainnya adalah membutuhkan sebuah larutan yang mendekati
netral untuk kesuksesan titrasi. Banyak kation yang mengendap pada
kondisi semacam ini dan dapat mengganggu metode ini.
b. Metode Fajans
Merupakan metode titrasi yang dilakukan dalam suasana sedikit
asam. Indikatornya adalah indikator absorbsi, misalnya fluorescen dan
titik akhir endapannya adalah endapan merah.
Fluorescen adalah sebuah asam organik lemah yang biasa disebut
dengan HFI. Ketika fluorescen ditambahkan ke dalam botol titrasi, anion
FI- tidak diabsorbsi oleh koloid perak klorida berlebih.
c. Metode Mohr
Seperti halnya pada titrasi asam basa yang menggunakan indikator
asam basa sebagai penentu titik akhir titrasi, titrasi pengendapan juga
dapat menggunakan indikator yang dapat membentuk endapan sebagai
penanda titik akhir titrasi telah tercapai. Metode Mohr merupakan
metode titrasi klorida dengan ion perak, dimana ion kromat (CrO42-)
digunakan sebagai indikator. Kemunculan endapan kromat berwarna
kemerahan diambil sebagai titik akhir titrasi.
Titrasi Mohr terbatas pada larutan-larutan dengan nilai pH sekitar 6
sampai 10. Dalam larutan yang lebih alkalin, akan terbentuk endapan
perak oksida. Dalam larutan-larutan asam, konsentrasi kromat secara
besar-besaran akan menurun karena HCrO4- hanya sedikit terionisasi.

Lebih lanjut lagi, hidrogen kromat ada dalam kesetimbangan dengan


kromat:
2H+ + 2CrO42Penurunan
menambahkan

2HCrO4konsentrasi

sejumlah

ion

besar

Cr2O72- + H2O
kromat

ion

perak

mengharuskan
untuk

untuk

menghasilkan

pengendapan dari perak kromat dan akhirnya mengarah pada galat yang
besar. Secara umum, dikromat cukup dapat larut.
Metode Mohr dapat diaplikasikan pada ion bromida dengan perak
dan juga ion sianida dalam larutan yang sedikit alkali (Watson, 2009).
3. Faktor yang Mempengaruhi Titrasi Argentometri
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi titrasi argentometri
adalah sebagai berikut:
a. Temperatur
Kelarutan semakin meningkat dengan adanya suhu. Jadi, dengan
meningkatnya suhu maka pembentukan endapan akan berkurang.
b. Sifat alami pelarut
Setiap pelarut memiliki kapasitas yang berbeda dalam melarutkan,
sehingga semakin mudah pelarut itu melarutkan maka pengendapan akan
lebih sulit terjadi.
c. Pengaruh pH
Kelarutan endapan garam yang mengandung anion dari asam lemah
dipengaruhi oleh pH. Hal ini disebabkan karena penggabungan proton
dengan anion endapannya. Misalnya endapan AgI akan semakin larut
jika pH meningkat.
d. Hidrolisis
Jika garam dari asam lemah dilarutkan dalam air maka akan
dihasilkan perubahan konsentrasi H+ dimana hal ini akan menyebabkan
kation

garam

tersebut

akan

mengalami

meningkatkan kelarutan garam tersebut.

hidrolisis

yang

akan

e. Ion kompleks
Kelarutan garam yang tidak mudah larut akan semakin meningkat
kelarutannya dengan adanya pembentukan kompleks antara ligan dengan
kation garam tersebut (Basset, 1994).
4. Kloramfenikol
Kloramfenikol adalah antibiotik spektrum luas yang efektif melawan
sebagian besar bakteri aerob dan anaerob kecuali Pseudomonas aeruginosa.
Kloramfenikol dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan anemia
aplastik yang biasanya fatal (Stringer, 2006).
Kloramfenikol

digunakan

dalam

pengobatan

demam

tifoid,

Salmonella, infeksi dan meningitis yang resisten terhadap penisilin.


Pemberian sediaan ini pada bayi prematur dapat menyebabkan kolaps
sirkulasi darah (Spencer, 2006).
Antibiotik ini banyak digunakan dalam bentuk sirup, rasanya manis
dan

banyak

disukai

anak-anak.

Untuk

bentuk

sirup,

digunakan

kloramfenikol dalam bentuk esternya, yaitu kloramfenikol palmitat dan


kloramfenikol stearat yang rasanya tidak pahit (Widjajanti, 2010).
Kloramfenikol memiliki berat molekul 323,13 g/mol dengan rumus
molekul C11H12Cl2N2O5. Pemerian dari kloramfenikol adalah hablur halus
berbentuk jarum atau lempeng memanjang; putih sampai putih kelabu atau
putih kekuningan; tidak berbau; rasa sangat pahit. Dalam larutan asam
lemah, mantap. Kloramfenikol larut dalam lebih kurang 400 bagian air,
dalam 2,5 bagian etanol (95%) P dan dalam 7 bagian propilenglikol P; sukar
larut dalam kloroform P dan dalam eter P.

Gambar 1. Struktur Kimia Kloramfenikol (Dirjen POM, 1979)

5. Etambuthol Hidroklorida
Etambuthol HCl merupakan obat yang digunakan pada terapi
tuberkulosis. Efek samping etambuthol HCl adalah toksisitas yang terjadi
pada mata yang dapat mengakibatkan gangguan penglihatan (Wawan,
2001).
Etambuthol HCl memiliki rumus molekul C10H24N2O2.2HCl dengan
berat molekul 277,24 g/mol. Pemerian etambuthol HCl adalah serbuk
hablur; putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau. Etambuthol HCl larut
dalam 1 bagian air, dalam 4 bagian etanol (95%) P dan dalam 850 bagian
kloroform P; sangat sukar larut dalam eter P.

Gambar 2. Struktur Kimia Etambuthol HCl (Dirjen POM, 1979).

C. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Batang pengaduk
b. Buret 50 mL
c. Corong
d. Gelas kimia 100 mL
e. Labu Erlenmeyer 250 mL
f. Labu ukur 50 mL; dan 250 mL
g. Pipet volume10 mL
h. Propipet
i. Sendok tanduk
j. Statif dan klem
k. Timbangan analitik
2. Bahan
a. AgNO3 0,1 N
b. Etanol 95%
c. Indikator Fe3+
d. Indikator K2CrO4
e. KSCN 0,1 N
f. NaCl 0,1 N
g. Sediaan Etambuthol HCl dan Kloramfenikol

D. Prosedur Kerja
1. Standarisasi AgNO3 dengan menggunakan larutan baku NaCl
a. Ditimbang 0,2925 gram padatan NaCl.
b. Dilarutkan padatan dengan aquades.
c. Dipindahkan ke dalam labu ukur 50 mL, ditambahkan aquades sampai
tanda batas kemudian dihomogenkan.
d. Diambil 10 mL larutan, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer,
ditambahkan indikator K2CrO4.

e. Dititrasi dengan AgNO3 hingga larutan berubah warna menjadi merah


bata.
f. Dihitung volume AgNO3 kemudian diulangi titrasi sebanyak tiga kali.
g. Dihitung konsentrasi AgNO3.
2. Standarisasi KSCN dengan menggunakan larutan baku AgNO3
a. Ditimbang 2,475 gram padatan KSCN, dilarutkan dalam aquades.
b. Dipindahkan ke dalam labu ukur 250 mL, ditambahkan aquades sampai
tanda batas kemudian dihomogenkan.
c. Diambil 10 mL AgNO3, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer dan
ditambahkan indikator Fe3+.
d. Dititrasi dengan KSCN hingga larutan berubah warna menjadi merah
darah.
e. Dihitung volume KSCN kemudian diulangi proses titrasi sebanyak tiga
kali.
f. Dihitung konsentrasi KSCN.
3. Analisis Kadar Etambuthol HCl
a. Ditimbang 200 mg sediaan etambuthol HCl, dilarutkan dalam 25 mL
etanol.
b. Dipindahkan dalam labu ukur 50 mL, ditambahkan etanol sampai tanda
batas.
c. Diambil 10 mL larutan, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer dan
ditambahkan indikator K2CrO4.
d. Dititrasi dengan AgNO3 hingga larutan berubah warna menjadi merah
bata.
e. Dihitung volume AgNO3 kemudian diulangi proses titrasi sebanyak tiga
kali.
f. Dihitung kadar etambuthol HCl dalam sediaan.
4. Analisis Kadar Kloramfenikol
a. Ditimbang 300 mg sediaan kloramfenikol, dilarutkan dalam 25 mL
etanol.

b. Dipindahkan dalam labu ukur 50 mL kemudian ditambahkan etanol


sampai tanda batas.
c. Diambil 10 mL larutan, dimasukkan ke dalam Erlenmeyer kemudian
ditambahkan indikator Fe3+ dan 10 mL larutan AgNO3.
d. Dititrasi dengan KSCN hingga larutan berubah warna menjadi merah
darah.
e. Dihitung volume KSCN.
f. Diulang proses titrasi sebanyak tiga kali.
g. Dihitung kadar kloramfenikol dalam sediaan.

E. Hasil Pengamatan
1. Tabel Pengamatan
a. Standarisasi AgNO3
No.

Volume Titran (AgNO3)

Volume Titrat (NaCl)

1.

10,1 mL

10 mL

2.

10,2 mL

10 mL

3.

9,8 mL

10 mL

10,03 mL

10 mL

b. Standarisasi KSCN
No.

Volume Titran (KSCN)

Volume Titrat (AgNO3)

1.

11,5 mL

10 mL

2.

10,7 mL

10 mL

3.

10,8 mL

10 mL

11 mL

10 mL

c. Analisis kadar etambutol HCl


No.

Volume Titran (AgNO3)

Volume Titrat (Etambutol HCl)

1.

3,1 mL

10 mL

2.

2,7 mL

10 mL

3.

2,4 mL

10 mL

2,73 mL

10 mL

d. Analisis kadar kloramfenikol


No.

Volume Titran (KSCN)

Volume Titrat (Kloramfenikol)

1.

11,3 mL

10 mL

2.

14,8 mL

10 mL

3.

11,5 mL

10 mL

12,53 mL

10 mL

2. Perhitungan
a. Standarisasi AgNO3
Ek titran

= Ek titrat

N AgNO3 = N NaCl
V M valensi = V M valensi
10,03 mL M 1
M

= 10 mL 0,1 M x 1
=
= 0,097 M

N AgNO3

= M valensi
= 0,097 M 1 = 0,097 N

b. Standarisasi KSCN
Ek titran

= Ek titrat

N KSCN = N AgNO3
V M valensi

= V M valensi

11 mL M 1

= 10 mL 0,1 M x 1

=
= 0,09 M

N KSCN

= M valensi
= 0,09 M 1 = 0,09 N

c. Analisis kadar etambutol HCl


N AgNO3
V M valensi

= N Etambutol HCl
= V M valensi

2,7 mL 0,097 M 1 = 10 mL M 1
M

=
= 0,02619 M

=MV
= 0,02619 M 10 mL
= 0,2619 mol

massa = n Mr
= 0,2619 mol 277,24
= 72,609 mg
% etambutol HCl

100 %

100 %

= 36,30 %
d. Analisis kadar kloramfenikol
N Kloramfenikol

= N KSCN

V M valensi

= V M valensi

10 mL M 1

= 12,5 mL 0,09 M 1

=
= 0,1125 M

=MV
= 0,1125 M 10 mL
= 1,125 mol

massa = n Mr
= 1,125 mol 323,13
= 363,52 mg
% kloramfenikol

100 %

100 %

= 72,70 %
3. Reaksi
a. Standarisasi AgNO3
AgNO3 (aq) + NaCl (aq) A C

(s)

(putih) + NaNO3 (aq)

2 AgNO3 (aq) + K2CrO4 (aq) A 2CrO4 (s) (cokelat merah) + 2 KNO3 (aq)

b. Standarisasi KSCN
AgNO3 (aq) + KSCN (aq) A SCN (s) + KNO3 (aq)
Fe+3(aq) + 6 SCN- [ Fe(SCN)6 ]-3 (merah darah)
c. Analisis Ethambutol HCl

d. Analisis Kloramfenikol

F. Pembahasan
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghitung kadar sediaan ethambutol
HCl dan kloramfenikol serta mengetahui proses analisis sediaan obat
menggunakan metode argentometri. Argentometri merupakan metode umum
untuk menetapkan kadar halogenida dan senyawa-senyawa lain yang
membentuk endapan dengan perak nitrat (AgNO3) pada suasana tertentu.
Titrasi adalah salah satu analisis kuantitatif untuk menentukan kadar
suatu zat yang belum diketahui konsentrasinya atau biasa disebut titran, dengan
zat yang telah diketahui konsentrasinya atau biasa disebut dengan titrat. Titran
ditambahkan titrat tetes demi tetes sampai mencapai keadaan ekuivalen
(artinya secara stoikiometri titran dan titrat tepat habis bereaksi) yang biasanya
d

d d

u h y w

ekuivalen y u

kd

ko

dk o.K d

titik

titran sama dengan konsentrasi titrat.

Sedangkan keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan


w

dk o d

titik akhir titrasi. T k kh

mendekati titik ekuivalen, tapi biasanya titik akhir titrasi melewati titik
ekuivalen. Oleh karena itu, titik akhir titrasi sering disebut juga sebagai titik
ekuivalen.
Titrasi argentometri terdiri dari 4 metode yaitu metode Mohr, metode
Fajans, metode Volhard dan metode Leibig. Namun yang digunakan pada
percobaan ini ialah metode Mohr dan metode Leibig. Metode Mohr dapat
digunakan untuk menetapkan kadar klorida dan bromida dalam suasana netral
dengan larutan baku perak nitrat dengan penambahan larutan K2CrO4 sebagai
indikator. Indikator tersebut digunakan agar kelebihan perak akan berikatan
dengan kromat dan membentuk senyawa berwarna merah. Kekurangan dari
indikator ini yaitu harus bekerja pada pH 6-10, karena jika larutan bersifat
terlalu asam, maka kalium kromat (K2CrO4) kembali menjadi kalium dikromat
(K2Cr2O7).

Metode Leibig adalah metode titrasi dalam argentometri yang

biasanya untuk menentukan ion sianida. Pada metode ini, titik akhir titrasinya
tidak ditentukan dengan indikator akan tetapi ditunjukkan dengan terjadinya
kekeruhan. Ketika larutan perak nitrat ditambahkan kepada larutan alkali

sianida akan terbentuk endapan putih, tetapi pada penggojokan akan larut
kembali karena terbentuk kompleks sianida yang stabil dan larut. Cara Leibig
hanya menghasilkan titik ahir yang memuaskan apabila pemberian pereaksi
pada saat mendekati titik akhir dilakukan perlahan-lahan. Cara Leibig ini tidak
dapat dilakukan pada larutan amoni-akalis karena ion perak akan membentuk
kompleks Ag(NH3)2+ yang larut. Hal ini dapat diatasi dengan menambahkan
sedikit larutan kalium iodida.
Perlakuan pertama yaitu standarisasi AgNO3 dengan menggunakan
larutan baku NaCl. Standarisasi bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
AgNO3 dengan tepat. AgNO3 akan bereaksi dengan NaCl membentuk endapan
AgCl yang berwarna putih. Bila semua Cl- sudah bereaksi dengan Ag+ dari
AgNO3, maka kelebihan sedikit Ag+ akan bereaksi dengan CrO42- dari
indikator K2CrO4 dan menghasilkan senyawa berwarna merah serta endapan
putih. Ini berarti titik akhir titrasi telah dicapai. Kemudian konsentrasi AgNO3
dihitung dengan ekuivalen titrat berbanding lurus dengan ekuivalen titran.
Didapat konsentrasi AgNO3 sebesar 0,09 N.
Perlakuan kedua yaitu standarisasi KSCN dengan menggunakan larutan
baku AgNO3. Padatan KSCN yang ditimbang adalah sebesar 2,425 gram.
Dilarutkan dengan sedikit aquades, dipindahkan ke labu ukur 250 mL.
Ditambahkan aquades hingga tanda batas. Diambil 10 mL, lalu ditambahkan
indikator Fe3+. Dititrasi dengan larutan AgNO3. Didapat konsentrasi KSCN
0,09 N. Indikator Fe3+ yang digunakan adalah sebagai indikator untuk
mengetahui adanya ion tiosianat berlebih. Ion Fe3+ akan mengikat kelebihan
larutan KSCN membentuk warna merah darah yang merupakan FeSCN.
Perlakuan ketiga yaitu analisis etambutol HCl, 200 mg sampel dilarutkan
dengan 50 mL aquades. Diambil 10 mL sampel, ditambahkan K2CrO4 sebagai
indikator. Dititrasi dengan AgNO3 yang telah distandarisasi hingga larutan
berwarna merah bata keruh. Pada permulaan titrasi akan terjadi endapan perak
klorida dari ikatan antara Ag+ dari AgNO3 dan Cl- dari Ethambutol HCl,
kemudian setelah tercapai titik ekivalen, maka penambahan sedikit AgNO3
akan menimbulkan reaksi antara Ag+ dengan CrO42- dengan membentuk

endapan perak kromat yang berwarna merah. Diulangi titrasi 3 kali untuk
mendapatkan data yang valid. Kemudian dilakukan perhitungan dan didapat
kadar etambutol HCl dalam sediaan adalah 36,30 %. Seharusnya presentase
berat analit mencapai 75%. Hal ini mungkin disebabkan karena pada saat
menimbang sampel, tidak tepat 200 mg. Penimbangan mungkin hanya
mencapai pembulatan yang mendekati 200 mg, namun tidak tepat 200 mg.
Metode argentometri yang dilakukan untuk menentukan kadar etambutol
HCl ini adalah metode Mohr. Metode Mohr umumnya digunakan untuk
menentukan kadar Cl-. Pada etambutol HCl terkandung ion Cl-, oleh karena itu
untuk menentukan kadarnya digunakan metode Mohr.
Perlakuan keempat yaitu analisis kadar kloramfenikol, 500 mg sampel
dilarutkan dengan sedikit etanol lalu dipindahkan ke labu ukur 50 mL dan
ditambahkan etanol hingga tanda batas. Kloramfenikol dilarutkan dengan
etanol karena satu bagian kloramfenikol larut dalam 400 bagian air dan dalam
2,5 bagian etanol. Hal tersebut menunjukkan bahwa kloramfenikol lebih
mudah

dilarutkan

dengan

etanol

dibandingkan

dengan

air.

Setelah

dihomogenkan, lalu dititrasi dengan KSCN hingga tercapai titik akhir titrasi
yang ditandai dengan kekeruhan yang terjadi dengan indikator Fe3+. Pada awal
titrasi, ion Ag+ dari AgNO3 akan berikatan dengan ion Cl- dari kloramfenikol
hingga tercapai titik akhir titrasi. Dengan penambahan KSCN berlebih, SCNkemudian bereaksi membentuk kompleks dengan Fe3+ berwarna cokelat.
Setelah dihitung, kadar kloramfenikol dalam sediaan adalah 80,98 %.
Seharusnya kadar kloramfenikol mencapai 100 % karena kloramfenikol yang
digunakan adalah kloramfenikol murni. Hal ini dapat disebabkan karena
penimbangan yang hanya mencapai pembulatan mendekati 500 mg, namun
tidak tepat 500 mg. Metode argentometri yang digunakan pada penentuan
kadar kloramfenikol adalah metode Leibig.

G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kadar etambutol HCl dalam sediaan adalah 37,43 %.
2. Kadar kloramfenikol dalam sediaan adalah 80,98 %.

DAFTAR PUSTAKA

Basset, J., 1994. Buku Ajar Vogel: Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Cairns, D., 2008. Intisari Kimia Farmasi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Dirjen POM, 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Gandjar, I. G. dan Rohman, A., 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Stringer, J. L., 2006. Konsep Dasar Farmakologi Panduan untuk Mahasiswa.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Spencer, Schwartz dan Shires., 2006. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6.
Jakarta: Gramedia.
Watson, D. G., 2009. Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi dan
Praktikum Kimia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Wawan, 2001. Pengaruh Obat Etambuthol pada Pasien Tuberkulosis di Kawasan
Pabrik Rokok. Jurnal Kefarmasian. 7. (1).
Widjajanti, D., 2010. Menganalisis Pengaruh Kloramfenikol bagi Kesehatan
Tubuh pada Manusia. Jurnal Kesehatan. 5. (2).

Anda mungkin juga menyukai