Anda di halaman 1dari 10

Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai bahan

bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan biomasa yang memiliki
tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra, 2012). Wood pellet sudah umum
digunakan di beberapa daerah di suatu Negara, di beberapa tempat semakin popular seiring
dengan mahalnya sumber energi primer serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan iklim
(Jones, et. al., 2012).
Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi : serbuk gergaji,
shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang, furniture dan hasil hutan
lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas beberapa langkah : bahan baku,
penyaringan (screening), penggerusan (grinding), pengeringan (drying), pembuatan butiran
(pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali (screening), dan pengepakan
(packaging). (Roos and Brackley, 2012).
Penelitian produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil membuat
mesin pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter lubang 15 mm
dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari serbuk gergajian kayu
jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250oC yang menghasilkan kerapatan
0,82 g/cm, keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm, nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g,
kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%, sedangkan kadar zat terbang terendah terdapat pada
serbuk gergajian kayu akasia yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam dapat dihasilkan 2,67 kg
pelet kayu dengan energi listrik yang terpakai sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem
pres hidrolik yang dilengkapi pemanas dari electric heater, berdasarkan uji coba hasilnya
sudah cukup baik dan dapat digunakan selama 8 jam tanpa henti (Hendra, 2012).
Variabel yang paling penting dalam produksi wood pellet adalah jenis biomassa
(spesies, kadar air, bentuk biomasa terkirim), tanaman dan harga peralatan, biaya energi dan
struktur tenaga kerja. Produksi wood pellet cukup menguntungkan bagi produsen maupun
retailer/distributor, termasuk bagi produksi skala kecil dan menengah (Pirraglia, et. al., 2010).
Standar karakteristik sifat dasar wood pellet yang diacu oleh pasar internasional disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1.1 Standar Bahan Bakar Pellet, efektif per Oktober 2010
Sifat dasar
Kerapatan

Premium grade
(bulk 40,0 46,0

Standard grade

Utility grade

38,0 46,0

38,0 46,0

density, lb/ft3)

0,230 0,285

0,230 0,285

0,230 0,285

Diameter (inches)

5,84 7,25

5,84 7,25

5,84 7,25

Diameter (mm)

>96,5

>95,0

>95,0

Pellet

<1,0

<1,0

<1,0

index

<1,0

<2,0

<6,0

Fines (percent at

<1,0

<1,0

<1,0

mill gate)

<6,0

<10,0

<10,0

Inorganic

ash <300

<300

<300

durability

(%)
Length (%> 1,5
inc)
Kadar air (%)
Chloride (ppm)
Sumber : Roos and Brackley (2012)
Kementerian Kehutanan dan Korea Forest Service telah menandatangani kerjasama
pengembangan industri biomassa ini pada tanggal 6 Maret 2009. Salah satu industri yang
telah menghasilkan wood pellet adalah PT. Solar Park bekerjasama dengan Perum Perhutani
mengolah limbah kayu Sengon dan Kaliandra. Sampai tahun 2007, Indonesia baru mampu
menghasilkan wood pellet 40.000 ton, sedangkan produksi dunia telah menembus angka 10
juta ton. Jumlah ini belum memenuhi kebutuhan dunia pada tahun 2010 yang diperkirakan
mencapai 12,7 juta ton. Peluang mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas
mengingat limbah hasil hutan kita sangat besar baik dari limbah industri kayu maupun dari
hutan tanaman (Kementerian Kehutanan, 2010).
Penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar posil
untuk industri besar,kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebuh rendah dibandingkan
minyak tanah dan gas (ratna dwianingsih 2013). Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu
didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa pengganti minyak bumi yang
semakin mendesak karena harga minyak mentah yang akan terus meningkat dan akan habis.
Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), juga membuat pelet kayu
menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat dan industri baik kecil, menengah, maupun
besar.
Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan berupa limbah
seperti serbuk kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi, yang biasanya dibuang
begitu saja. Pelet kayu juga memberi nilai tambah pada proses pengolahan kayu serta
meningkatkan profitabilitas usaha kecil.

Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan
memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai
bahan biomassa, terutama limbah serbuk gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk
limbah veneer dari pabrik kayu lapis atau palet daur ulang. Prosesnya sangat sederhana,
bahan baku dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan
tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk
proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air tinggi, ditambah tepung kanji
dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan
secara kontinu, (Gustan.2013)
Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9
No.4 Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan
keuntungan usaha. Dalam jurnal tersebut, (Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk 2012) ,
menyatakan nilai tambah, keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika
menggunakan bahan bakar sebetan dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika
menggunakan gas.
Wood pellet adalah partikel kayu yang dipadatkan yang digunakan sebagai bahan
bakar (Jones, et. al., 2012). Wood pellet merupakan hasil pengempaan biomasa yang memiliki
tekanan yang lebih besar dibandingkan briket (Hendra, 2012). Wood pellet sudah umum
digunakan di beberapa daerah di suatu Negara, di beberapa tempat semakin popular seiring
dengan mahalnya sumber energi primer serta tuntutan terhadap mitigasi perubahan iklim
(Jones, et. al., 2012).
Wood pellet adalah bentukan utama dari limbah kayu, meliputi : serbuk gergaji,
shavings, wood chips, yang dihasilkan dari pembagian batang, furniture dan hasil hutan
lainnya. Proses pembuatan pellet kayu terdiri atas beberapa langkah : bahan baku,
penyaringan (screening), penggerusan (grinding), pengeringan (drying), pembuatan butiran
(pelletizing), pendinginan (cooling), penyaringan kembali (screening), dan pengepakan
(packaging). (Roos and Brackley, 2012).
Penelitian produksi pellet kayu di Badan Litbang Kehutanan telah berhasil membuat
mesin pelet kayu dengan kapasitas 2,67 kg/jam dengan spesifikasi diameter lubang 15 mm
dan panjang lubang 110 mm. Pelet kayu yang terbaik dihasilkan dari serbuk gergajian kayu
jati dengan ukuran serbuk 80 mesh pada suhu kempa 250oC yang menghasilkan kerapatan
0,82 g/cm, keteguhan tekan sebesar 387,64 kg/cm, nilai kalor bakar sebesar 4961,51 kal/g,
kadar abu 0,93% dan kadar air 0,98%, sedangkan kadar zat terbang terendah terdapat pada
serbuk gergajian kayu akasia yaitu sebesar 76,38%. Dalam satu jam dapat dihasilkan 2,67 kg

pelet kayu dengan energi listrik yang terpakai sebanyak 2,55 kWh. Mesin pelet kayu sistem
pres hidrolik yang dilengkapi pemanas dari electric heater, berdasarkan uji coba hasilnya
sudah cukup baik dan dapat digunakan selama 8 jam tanpa henti (Hendra, 2012).
Variabel yang paling penting dalam produksi wood pellet adalah jenis biomassa
(spesies, kadar air, bentuk biomasa terkirim), tanaman dan harga peralatan, biaya energi dan
struktur tenaga kerja. Produksi wood pellet cukup menguntungkan bagi produsen maupun
retailer/distributor, termasuk bagi produksi skala kecil dan menengah (Pirraglia, et. al., 2010).
Standar karakteristik sifat dasar wood pellet yang diacu oleh pasar internasional disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1.1 Standar Bahan Bakar Pellet, efektif per Oktober 2010
Sifat dasar
Kerapatan

Premium grade
(bulk 40,0 46,0

Standard grade

Utility grade

38,0 46,0

38,0 46,0

density, lb/ft3)

0,230 0,285

0,230 0,285

0,230 0,285

Diameter (inches)

5,84 7,25

5,84 7,25

5,84 7,25

Diameter (mm)

>96,5

>95,0

>95,0

Pellet

<1,0

<1,0

<1,0

index

<1,0

<2,0

<6,0

Fines (percent at

<1,0

<1,0

<1,0

mill gate)

<6,0

<10,0

<10,0

Inorganic

ash <300

<300

<300

durability

(%)
Length (%> 1,5
inc)
Kadar air (%)
Chloride (ppm)
Sumber : Roos and Brackley (2012)
Kementerian Kehutanan dan Korea Forest Service telah menandatangani kerjasama
pengembangan industri biomassa ini pada tanggal 6 Maret 2009. Salah satu industri yang
telah menghasilkan wood pellet adalah PT. Solar Park bekerjasama dengan Perum Perhutani
mengolah limbah kayu Sengon dan Kaliandra. Sampai tahun 2007, Indonesia baru mampu
menghasilkan wood pellet 40.000 ton, sedangkan produksi dunia telah menembus angka 10
juta ton. Jumlah ini belum memenuhi kebutuhan dunia pada tahun 2010 yang diperkirakan
mencapai 12,7 juta ton. Peluang mengembangkan bahan bakar ini sangat terbuka luas

mengingat limbah hasil hutan kita sangat besar baik dari limbah industri kayu maupun dari
hutan tanaman (Kementerian Kehutanan, 2010).
Penggunaan wood pellet sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar posil
untuk industri besar,kecil, dan rumah tangga menghasilkan emisi lebuh rendah dibandingkan
minyak tanah dan gas (ratna dwianingsih 2013). Penelitian dan pemanfaatan pelet kayu
didorong oleh kebutuhan adanya energi alternatif biomassa pengganti minyak bumi yang
semakin mendesak karena harga minyak mentah yang akan terus meningkat dan akan habis.
Selain itu, adanya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), juga membuat pelet kayu
menjadi salah satu pilihan tepat bagi masyarakat dan industri baik kecil, menengah, maupun
besar.
Keunggulan lain pelet kayu adalah mengoptimalkan pemanfaatan berupa limbah
seperti serbuk kayu sehingga mempunyai nilai jual yang lebih tinggi, yang biasanya dibuang
begitu saja. Pelet kayu juga memberi nilai tambah pada proses pengolahan kayu serta
meningkatkan profitabilitas usaha kecil.
Pelet kayu berbentuk silindris dengan diameter 6-10 mm dan panjang 1-3 cm dan
memiliki kepadatan rata-rata 650 kg/m3 atau 1,5 m3/ton. Pelet kayu dihasilkan dari berbagai
bahan biomassa, terutama limbah serbuk gergaji dari pabrik penggergajian kayu dan serbuk
limbah veneer dari pabrik kayu lapis atau palet daur ulang. Prosesnya sangat sederhana,
bahan baku dikeringkan sampai kadar air maksimal 10% selanjutnya dipres dengan tekanan
tinggi dan dipanaskan pada suhu sekitar 120-1800C, untuk proses kering. Sedangkan untuk
proses basah bisa menggunakan bahan baku dengan kadar air tinggi, ditambah tepung kanji
dan air kemudian dipres dengan tekanan tinggi tanpa pemanasan. Kedua sistem ini dilakukan
secara kontinu, (Gustan.2013)
Berdasarkan data hasil penelitian pada Jurnal Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol.9
No.4 Desember tahun 2012, penggunaan pelet kayu sebagai bahan bakar dapat meningkatkan
keuntungan usaha. Dalam jurnal tersebut, (Dra. Setiasih Irawanti, M.S. dkk 2012) ,
menyatakan nilai tambah, keuntungan dan margin yang dihasilkan adalah paling tinggi ketika
menggunakan bahan bakar sebetan dan pelet kayu, sebaliknya paling rendah ketika
menggunakan gas.

Biomasa dan Biomass pellets (Biopelet)

Biomasa meliiputi semua bahan yang bersipat organik (semua makhluk hidup yang
hidup atau mengalami pertumbuhan dajuga risidenya) (El bassam dan maegaard 2004).
Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang paling serbaguna dibidang sumber
energi terbarukan lainnya. Bimassa dapat bahan bakar untuk panas, listrik dan transportasi
(Siemers 2006). Bahan yang terrmasuk biomassa antara lain sisa hasil hutan dan perkebunan,
biji dan limbah pertanian, kayu dan limbah kayu, limbah hewan tanaman air, tanaman kecil,
dan limbah industri serta limbah pemukiman (Bergnab dan Zerbe 2004). Biomassa
merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbaharui namun biomasa mempunyai
kekurangan yaitu tidak dapat langsung dibakar karena sifat fisiknya yang buruk, seperti
kerapatan energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan dan transportasi
(Saotoadi 2006).
Menurut Yamada et al.(2005), penggunaaan bahan bakar biomssa secara langsung dan
tanpa pengelolaan akan menyebabkan timbulnya penyakit pernapasan yang disebabkan oleh
karbon monoksida, sulfur dioksida (SO2) dan bahan partikulat. Densifikasi limbah pertanian
dan kehutanan menjadi briket atau pellet adalah suatu metode pengembangan fungsi suatu
sumberdaya. Densifukasi dapat meningkatkan kandungan energi tiap satu poluma dan juga
dapat mengurangi biaya transportasi dan penanganan. Densitas briket biomassa berada di atas
rentang densitas kayu yaitu antara 8001.100 kg/m 3 dan densitas kamba (untuk pengemasan
dan pemuatan ke dalam alat transportasi) sekitar 600800 kg/m3 (Leach dan Gowen 1987).
Menurut Leach dan Gowen (1987), metode densifikasi untuk pembuatan pelet atau
briket dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu sistem tekanan rendah seperti mesin
pengempa manual dan mekanis serta sistem tekanan tinggi seperti roller, piston atau screw
extrusion.
Pelet merupakan salah satu bentuk energi biomassa, yang diproduksi pertama kali di
Swedia pada tahun 1980-an. Pelet digunakan sebagai pemanas ruang untuk ruang skala kecil
dan menengah. Pelet dibuat dari hasil samping terutama serbuk kayu. Pelet kayu digunakan
sebagai penghasil panas bagi pemukiman atau industri skala kecil. Di Swedia, pelet memiliki
ukuran diameter 612 mm serta panjang 1020 mm (NUTEK 1996, dalam Jonsson 2006).
Pelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang lebih besar
jika dibandingkan dengan briket (60 kg/m3, kadar abu 1% dan kadar air kurang dari 10%) (El
Bassam dan Maegaard 2004). Pelet memiliki kadar air yang rendah sehingga dapat lebih
meningkatkan efektivitas pembakaran (VE2006).

Bahan bakar pelet memiliki diameter antara 3-12 mm dan panjang bervariasi antara
625 mm. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan bahan secara terusmenerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan termampatkan melewati
lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran tertentu. Proses pemampatan
ini menghasilkan bahan yang padat dan akan patah ketika mencapai panjang yang diinginkan
(Ramsay 1982).
Menurut Ramsay (1982), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat gesekan
alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar air bahan hingga
mencapai 510%. Panas juga menyebabkan suhu pelet ketika keluar mencapai 6065C
sehingga dibutuhkan pendinginan.
Metode pembuatan pelet yang lain dilakukan oleh Livington pada tahun 1977
(Livington dalam Ramsay 1982) dan telah dipatenkan di US Patent. Proses pembuatan pelet
dilakukan dari bahan organik dengan kadar air antara 1628%. Proses berlangsung pada suhu
163C dan tekanan pada lempeng baja sebesar 178 kN. Pelet yang dihasilkan memiliki
ukuran diameter 3 mm serta panjang 13 mm. Pelet kemudian dikeringkan dengan udara panas
dan menghasilkan kadar air 78% serta bobot jenis lebih dari 1,0.
Tabel 02 perbandingan biopelet
Kualitas

Unit

biopelet

Onorm

DIN

DIN

7135

51731

(pelet

(Australia)(a)

(Jerman)(a)

asociation

Diameter
Panjang
Densitas
Kadar air
Kadar abu

Mm
Mm
Kg/dm3
%
%

4-10
5x D (1)
>1,12
< 10
< 0,50

4-10
<50
1,0-1,4
<12
<1,50

Nilai kalor

Mj/kg

>18

17,5

Sulfur
Nitrogen
Klorin
Abrasi
Bahan

%
%
%
%
%

<0,04
<0,3
<0,02
<2,3
<2

19,5
<0,8
<0,3
,0,03
-(2)

plus

germany)
5xD (1)
>1,12
<10
<0,50

Pelet

fuel

Institute (b)

ITEBE

(c)

(20012007)

(a)

6,35 7,94
<38,1
>0,64
<3

6 -16
10- 50
>1,15
15
16

>18

(standar)
<1

>16,9

<0,04
<0,3
<0,02
<2,3
<2

(premium)
>19,8
<0,03
-

<0,10
0,5
<0,07
2

tambahan
Sumber : (a) HEZO (2006); (b) PFI (2007); (c) Douard (2007)

Keunggulan utama pemakaian bahan bakar pelet biomassa adalah penggunaan


kembali bahan limbah seperti serbuk kayu yang biasanya dibuang begitu saja. Serbuk kayu

yang terbuang begitu saja dapat teroksidasi dibawah kondisi yang tak terkendali akan
membentuk gas metana atau gas rumah kaca (Cook 2007).
Menurut PFI (2007b), pelet memiliki konsistensi dan efisiensi bakar yang dapat
menghasilkan emisi yang lebih rendah dari kayu. Bahan bakar pelet menghasilkan emisi
bahan partikulat yang paling rendah dibandingkan jenis lainnya. Arsenik, karbon monoksida,
sulfur, dan gas karbondioksida merupakan sedikit polutan air dan udara yang dihasilkan oleh
penggunaan minyak sebagai bahan bakar.
Sistem pemanasan dengan pelet menghasilkan emisi CO2 yang rendah karena jumlah
CO2 yang dikeluarkan selama pembakaran setara dengan CO2 yang diserap tanaman ketika
tumbuh, sehingga tidak membahayakan lingkungan. Dengan efisiensi bakar yang tinggi, jenis
emisi lain seperti NOx dan bahan organik yang mudah menguap juga dapat diturunkan.
Masalah yang masih tersisa adalah emisi debu akibat peningkatan penggunaan sistem
pemanasan dengan pelets Berdasarkan PFI (2007a), terdapat 2 jenis kualitas bahan bakar
pelet yang diproduksi yaitu premium dan standar. Perbedaan keduanya adalah pada kadar
abu. Jenis standar memiliki kadar abu maksimal 3%, sedangkan jenis premium memiliki
kadar abu tidak lebih dari 1%. Perbedaan ini merupakan hasil dari perbedaan kandungan
pelet. Pelet jenis standar dibuat dari bahan yang menghasilkan residu abu, seperti kulit kayu
dan limbah pertanian. Sedangkan pelet jenis premium dibuat dari serbuk kayu keras dan kayu
lunak yang tidak mengandung kulit kayu. Pelet jenis standar hanya dapat dibakar di instalasi
pembakaran yang dirancang untuk pelet yang mengandung kadar abu tinggi.

Perekat Tapioka
Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket, yaitu
perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak berasap (pati dan
dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah tangga sebaiknya memakai
bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991). Menurut White dan Paskett (1981) bahan
perekat ditambahkan kedalam biopelet untuk meningkatkan keteguhan tekan, diantaranya
bitumen, resin dan gum. Ramsay (1982) menambahkan bahwa penambahan perekat juga
bertujuan untuk meningkatkan ikatan antar partikel, memberikan warna yang seragam dan
juga memberikan bau yang harum.
Tapioka merupakan bahan yang sering digunakan sebagai perekat dalam pembuatan
briket karena mudah didapat dan harganya yang relatif murah. Kelemahan penggunaan
tapioka sebagai perekat yaitu akan sedikit berpengaruh pada penurunan nilai kalor produk

dibandingkan bahan bakunya, selain itu produk yang dihasilkan kurang tahan terhadap
kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka memiliki sifat dapat menyerap air dari udara. Kadar
perekat yang tinggi juga dapat menurunkan mutu briket akibat timbulnya asap. Penambahan
optimal perekat sebaiknya tidak lebih dari 5% (Sudrajat dan Soleh 1994). Huege dan Ingram
(2006) menambahkan bahwa jumlah perekat yang dianjurkan adalah 0,55% b/b total
campuran. Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah mengalami
proses pencucian secara sempurna serta dilanjutkan dengan pengeringan. Tepung tapioka
hampir seluruhnya terdiri dari pati. Ukuran granula pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron.
(Maarif et al., 1984).

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Serbuk Gergajian Kusen,
Tepung tapioka untuk perekat, Air, saringan dengan ukuran lolos 22 mesh dan tertahan pada
ukuran 40mesh. Baskom, timbangan, Mesin Pencetak Wood Pellet. Oven. Alat uji kadar air,
timbangan digital, Mikrometer, Kompor untuk mengukur lama penyalaan.
Prosedur
Pembuatan wood pellet
a) Tahapan persiapan pembuatan wood pellet

Limbah serbuk kayu gergajian kusen yang akan dijadikan bahan baku wood pellet dengan
lolos saringan 22 mesh dan tertahan pada saringan 40mesh, serbuk yang telah disaring akan
dikering anginkan dibawah sinar matahari langsung agar kadar airnya sama.
b) Tahap pembuatan wood pellet
Pembuatan wood pellet dilakukan dengan mesin khusus pembuat wood pellet, setiap
pembuatan digunakan 2 kg bahan baku dengan perlakuan 5%, 10%. 15%, Perekat atau
tepung tapioka dan pemberian air dilakukan dengan 100ml L, 150ml L, 200ml L, dan 200ml
L. Dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan.

Anda mungkin juga menyukai