Anda di halaman 1dari 14

Profil KPHP Delta Mahakam

A. Latar belakang :
Kawasan hutan merupakan wilayah yang paling sering mengalami tekanan dan
gangguan berupa deforestasi dan degradasi. Indonesia yang memiliki luas hutan ke3 terbesar di dunia, setelah Brazil dan Zaire, tak luput dari deforestasi dan
degradasi yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Data dari
Departemen Kehutanan ( kini Kementerian Kehutanan), luas hutan Indonesia terus
menciut. Tahun 1950, luas Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan
pada tahun 1950 sebesar 162 juta; tahun 1992 berkurang menjadi 118,7 juta ha;
tahun 2003 menurun menjadi 110,0 juta ha; dan pada 2005 tinggal menjadi 93,92
juta ha. Indonesia yang merupakan negara maritim, memiliki kurang lebih 17 ribu
pulau yang terdiri dari pulau besar dan kecil yang memiliki garis pantai sepanjang
81.000 km dan luas daratannya sekitar 1,93 juta km2 (SUKARDJO 1996).
Dari wilayah pantai tersebut dapat dijumpai hutan mangrove, tetapi tidak semua
wilayah pesisir ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya ada
persyaratan atau faktor lingkungan yang mengontrolnya. Indonesia yang
merupakan negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas didunia, beberapa
tahun terakhir ini mengalami berbagai tekanan. Pertumbuhan penduduk yang
semakin meningkat disekitar hutan mangrove dan semaraknya pembangunan yang
memanfaatkan areal hutan, mengakibatkan terjadinya perubahan hutan mangrove
bahkan ada kemungkinan hilangnya ekosistem tersebut. Pemanfaatan hutan
mangrove, baik itu dalam bentuk ekplorasi hasil hutan maupun konversi lahan
untuk keperluan lain, sebetulnya sudah sejak ratusan tahun lalu, dan keadaan ini
masih terus berlangsung hingga saat ini (BUDIMAN & KARTAWINATA 1986).
Bahkan PRAMUDJI (1997, 1999) menyebutkan bahwa pemanfaatan hutan mangrove
beberapa tahun terakhir ini semakin meningkat, terutama subsektor perikanan
yang memanfaatkan hutan tersebut untuk kegiatan budidaya tambak,
penambangan atau kegiatan pembangunan lainnya yang kurang memperhitungkan
akibat sampingannya. Pembangunan KPH mutlak dilakukan setelah melihat situasi
lemahnya pengelolaan kawasan hutan negara di lapangan. Terbitnya Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo PP. No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan,
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menandai
orientasi baru pembangunan kehutanan yang menyelamatkan fungsi publik atas
hutan dan mewujudkan mimpi kawasan hutan yang akan dipertahankan sebagai
hutan tetap, serta menjadi dasar pengelolaan hutan lestari.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai
fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.
Terbentuknya organisasi pengelolaan hutan dalam bentuk KPH akan lebih
mendorong implementasi desentralisasi yang nyata, optimalisasi akses masyarakat
terhadap sumberdaya hutan sebagai salah satu jalan untuk resolusi konflik,
kemudahan dan kepastian investasi, tertanganinya wilayah tertentu yang belum
ada pengelolanya yaitu areal yang belum dibebani ijin, serta upaya untuk
meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan perlindungan hutan.

B. Landasan Pembangunan KPH :


Pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat melalui pembangunan KPH didasarkan pada :
-

UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;


PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan; - PP 6/2007 jo PP 3/2008
tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan;
PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah;
Permenhut P. 6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH;
Permenhut P. 6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria
(NSPK) Pengelolaan Hutan pada KPH Lindung (KPHL) dan KPH Produksi (KPHP);
Permendagri No. 61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Produksi di Daerah;

Pembentukan KPH pada tingkat daerah, khusus penetapan wilayah KPH di Propinsi
Kalimantan Timur telah ditindaklanjuti dengan peraturan sebagai berikut :
-

SK.674/MENHUT-II/2011 tanggal 1 Desember 2011 tentang Penetapan Wilayah


KPHL dan KPHP di Propinsi Kalimantan Timur.

Selanjutnya pembentukan KPHP Delta Mahakam di Kabupaten Kutai Kartanegara


ditetapkan melalui :
-

Peraturan Bupati Kutai Kartanegara Nomor 25 tahun 2013 tentang Organisasi


dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Kutai Kartanegara.

Gambar 1. Peta Lokasi KPHP Delta Mahakam

III. GAMBARAN UMUM


A. Fungsi dan luas kawasan hutan di wilayah KPHP Delta Mahakam :
- Hutan produksi seluas : 110.153 ha

B. Letak geografis
Kawasan Delta Mahakam terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, secara geografis
terletak antara 117o1438,2117o3945,7 BT dan 0o2010,20o5543,6 LS.
Kawasan Delta Mahakam ini berjarak 25 Km ke timur dari ibu kota provinsi
Kalimantan Timur, Samarinda.

Untuk menuju ke lokasi yang terdiri atas pulau-pulau terluar dapat ditempuh
menggunakan kapal tradisional dongfeng atau speed boat dari pelabuhan
Samarinda atau dari pelabuhan Sei Meriam, Kecamatan Anggana dengan sistem
sewa.
Batas-batas wilayah Delta Mahakam yaitu sebagai berikut :
-

Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Anggana dan Kecamatan Muara


Badak, Kabupaten Kutai Kartanegara
Sebelah timur berbatasan dengan Selat Makassar
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Muara Jawa, Kabupaten Kutai
Kartanegara
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kecamatan Anggana dan
Kecamatan Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara.

C. Kegiatan Pembangunan Kehutanan di Wilayah KPHP Delta Mahakam


Banyak program beserta dana pendukungnya telah dilaksanakan dengan tujuan
utama menghijaukan kembali Delta serta meningkatkan pendapatan ekonomi
masyarakat petambak. Dinas Kehutanan Kukar mendanai penanaman bakau dari
alokasi Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK DR) dan Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) atau Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan
(Gerhan).
Sejak dimulai tahun 2002, areal hutan produksi Delta yang sudah ditanami bakau
dengan dana DAK DR mencapai 206 Ha. Sedangkan areal yang ditanami lewat
proyek Gerhan sejak tahun 2004 mencapai 150 Ha. Berdasarkan kesepakatan
longgar yang dicapai pada tahun 2001, dinas kehutanan memfokuskan diri untuk
menanam bakau pada areal-areal kritis. Sementara Bapedalda Kukar mengambil
porsi untuk menanam di sempadan pantai dan sungai. Sedangkan dinas perikanan
dan kelautan mengambil bagian di areal-areal yang diperuntukan menjadi tambak
percontohan.
Pada saat yang sama pelaku swasta seperti Total E&P Indonesie , Cevron dan Vico
juga ambil bagian dalam program ini. Sepanjang tahun 2001-2005, Total telah
menanam bibit pohon bakau sebanyak 3.549.977 buah, di atas areal seluas 646 Ha.
Sasaran penanaman oleh Total adalah areal-areal yang sebelumnya ditebangi untuk
keperluan pemasangan jalur pipa. Selain kegiatan penanaman bakau, berbagai
instansi terkait juga melaksanakan kegiatan penataan batas dan pembinaan melalui
sosialisasi dan penyuluhan. D
epartemen Kehutanan melalui BPKH Wilayah IV bekerjsama dengan UPTD Planologi
Kehutanan Dinas Kehutanan Kaltim melakukan kegiatan penataan batas kawasan
hutan sejak tahun 2001. Hasilnya, seluas 103. 682 Ha telah berhasil ditata batas.
Sisa yang belum ditatas batas hanya seluas 6.786 Ha. Dinas Kehutanan Pemprov
melalui UPTD PHH Samarinda melakukan kegiatan penyuluhan. Hal yang sama
dilakukan oleh Bapedalda, Dinas Perikanan dan Kelautan dan Dinas Kehutanan
Kukar. Pada tanggal 30 April 2008, Bupati Kukar membentuk tim sosialisasi melalui
surat keputusan bernomor 180.188/HK-340/2008 tentang Pembentukan Tim
Sosialisasi Kawasan Delta Mahakam Kabupaten Kutai Kartanegara. Sementara

Bappeda Kukar, seperti sudah disinggung pada bagian sebelumnya, sejak tahun
2001 telah mengkoordinir perumusan kebijakan pengelolaan Delta Mahakam yang
berkarakter terpadu dan berorientasi pemanfaatan yang berkelanjutan.
Berjarak kira-kira 7 bulan sejak acara lokakarya di Ancol tahun 2001, pada
November 2001, Bupati Kukar membentuk Tim Pengelolaan Delta Mahakam Terpadu
dan Berkelanjutan melalui surat keputusan nomor 180.188/HK-458/2001. Setelah
bekerja selama lebih kurang 2 tahun, pada tahun 2003 dihasilkan 3 rancangan
kebijakan, yakni: (1) Rencana Stratejik Badan Pengelola Kawasan Lindung Delta
Mahakam; (2) Raperda tentang Pembentukan Organisasi Badan Pengawasan
Kawasan Lindung Delta Mahakam; dan (3) Rancangan Keputusan Bupati Kukar
tentang Uraian Tugas dan Tata Kerja Badan Pengelola Kawasan Lindung Delta
Mahakam.
Salah satu proyeksi Kabupaten Kutai Kartanegara kedepannya adalah menciptakan
pembangunan ekonomi di bidang ekowisata. Delta Mahakam merupakan lokasi
yang sangat mungkin untuk dikembangkan sebagai tujuan ekowisata mengingat di
delta ini terdapat kekhasan yang mungkin tidak terdapat di daerah lain yaitu
kombinasi wisata alam mangrove dan kegiatan migas. Apabila ekowisata ini bisa
dikelola dengan baik, maka sektor ini bisa menciptakan berbagai lapangan
pekerjaan dan menjanjikan pendapatan yang berkelanjutan pula. Memang untuk
mengembangkan ekowisata ini dibutuhkan pengembangan sumber daya manusia
yang tidak sedikit. Oleh karena itu sektor pendidikan dan kesehatan pun kita
kembangkan guna menunjang proyeksi kita kedepan tersebut.

Gambar 2. Peta Lokasi Kegiatan RHL oleh Dinas Kehutanan Kutai Kartanegara di
Kawasan Delta Mahakam

D. Potensi Wilayah KPHP Delta Mahakam


1. Penutupan Vegetasi Ekosistem
Hutan mangrove Delta Mahakam termasuk tipe ekosistem mangrove yang
didominasi sungai. Tipe ekosistem ini dicirikan oleh tingginya pasokan air tawar
yang dibawa aliran sungai, tingginya sedimentasi dan tidak rentan terhadap
perubahan lingkungan. Perubahan salinitas, genangan (pasang surut), komposisi
substrat lahan akan mempengaruhi jenis flora dan fauna yang menghuni termasuk
zona vegetasi. Delta Mahakam dengan tutupan lahan alamiah didominasi oleh
ekosistem mangrove. Sebagai ekosistem pesisir, Delta Mahakam secara alami
ditutupi oleh Nipah sebagai vegetasi dominan, diikuti oleh beberapa jenis tumbuhan
mangrove, seperti Api-api (Avicennia spp), dan Bakau (Rhizophora spp) (Dutrieux,
2001).
Keanekaragaman vegetasi mangrove yang tumbuh di Delta Mahakam adalah bakau
merah (Rhizophora apiculata), tumu (Bruguiera parviflora), nyirih (Xylocarpus
granatum), pidada (Sonneratia caseolaris), perepat (Sonneratia alba), api-api
(Avicennia spp), dungun (Heritiera littoralis) dan nipah (Nypa fructicans). Sebagai
ekosistem pesisir, Delta Mahakam dengan luas sekitar 1.500 km2 secara alami

ditutupi oleh Nipah sebagai vegetasi dominan, diikuti oleh beberapa jenis tumbuhan
mangrove, seperti Api-api (Avicennia spp), dan Bakau (Rhizophora spp) (Dutrieux,
2001).
Dengan luas tutupan Nipah terbesar di dunia, ekosistem Delta Mahakam memiliki
produktivitas hayati yang sangat tinggi dan mendapat pasokan bahan organik
potensial sebagai hara dari lahan atas melalui aliran sungai. Oleh karena itu,
ekosistem ini memiliki potensi sumberdaya ikan, udang dan kepiting yang besar.
Selain potensi sumberdaya alam hayati (renewable resources), ekosistem Delta
Mahakam juga memiliki sumberdaya alam nir-hayati (non-renewable resources)
(minyak dan gas bumi) potensial. Ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem
utama Delta Mahakam memiliki peran biologis yang sangat penting untuk tetap
menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumberdaya hayati wilayah
pesisir. Hal ini mengingat bahwa ekosistem mangrove juga merupakan daerah
asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) beberapa jenis biota
perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan (Bengen dan Dutton, 2004)
(Gambar 2).
Menurut Turner (1977) dan Martosubroto dan Naamin (1978) produksi hasil
tangkapan udang di suatu perairan pesisir berbanding lurus dengan luas hutan
mangrove di wilayah tersebut. Ekosistem mangrove merupakan sumber utama
kehidupan dan budaya masyarakat lokal di wilayah pesisir, yang memanfaatkan
ekosistem ini untuk produksi bahan makanan, obat-obatan, tannin, arang dan
bahan konstruksi (Quarto, 2000).
Selain itu, ekosistem ini juga memiliki fungsi yang sangat penting sebagai pelindung
pantai dan pemukiman pesisir dari hantaman gelombang (abrasi) dan erosi pantai.
Karena itu pengelolaan ekosistem Delta Mahakam baik langsung maupun tidak
langsung harus memperhatikan keterkaitan ekologis antara daratan dan laut
(ecological integrity). Sebaran populasi bekantan di Kalimantan terdapat hampir di
sepanjang pantai, khususnya daerah hutan rawa. Namun demikian laju degradasi
hutan rawa ini sangat cepat, terutama konversi menjadi lahan budidaya dan
pemukiman (persawahan, permukiman dan pertambakan).
Dengan demikian populasi bekantan di delta Mahakam juga mendapat ancaman
dari kegiatan pmbangunan tambak. Berbagai jenis fauna endemik dan spesifik
penting seperti bekantan, burung raja, udang, sikatan, burung madu, elang bondol,
elang hitam, enggang juga memerlukan kawasan hutan mangrove sebagai habitat
hidupnya.
Berdasarkan peta penutupan lahan yang dikeluarkan oleh BPKH wilayah IV
Samarinda Tahun 2012 dapat di lihat pada tabel berikut :
Tutupan Lahan Luas (Ha) Belukar Rawa 10,183.02 Hutan Mangrove Primer 392.11
Hutan Mangrove Sekunder 25,481.68 Hutan Rawa Sekunder 6,126.93 Lahan
Terbuka 876.66 Pertanian Campuran 3,001.28 Perkebunan 1,032.65 Permukiman
212.64 Pertanian 482.43 Rawa 24.19 Tambang 50.78 Tambak 68,108.08

E. Penyebaran Satwa / Fauna Liar

1. Habitat Hutan mangrove Delta Mahakam secara alami merupakan habitat


penyebaran satwa liar (mamalia dan burung), termasuk bekantan sebagai satwa
Pulau Kalimantan. Ruang gerak habitat satwa liar ini terus mengalami penurunan
akibat meningkatnya konversi hutan mangrove untuk pencetakan tambak-tambak
baru. Habitat utama bekantan (Nasalis larvatus) ini adalah hutan mangrove yang
ditumbuhi pidada (Sonneratia alba), karena binatang tersebut memakan daun/
bunga dan buah pidada.
2. Sebaran Populasi Berdasarkan hasil kajian PKSPL IPB (2001 dan observasi di
lapangan (Juli September 2002) diperoleh keanekaragaman satwa liar sebanyak 5
jenis mamalia dan 24 jenis burung yang menghuni kawasan hutan mangrove Delta
Mahakam. Diantara satwa liar yang tergolong satwa dilindungi karena kelangkaan,
keaslian (endemik) dan populasinya terancam punah adalah Bekantan (Nasalis
larvatus); burung raja udang (Halcyon chloris); Elang (accipiter trivirgatus); Elang
bondol (Haliastur indus); Sikatan (Rhipidura javanica) dan burung madu (Nectarina
sp). Adapun secara rinci satwa liar yang dilindungi berikut lokasi penyebarannya di
Delta Mahakam disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1. Lokasi Sebaran Satwa Liar Dilindungi di Delta Mahakam No. Jenis Satwa
Nama ilmiah Lokasi Sebaran Status 1. Bekantan Nasalis larvatus Hutan mangrove
air tawar, hutan pidada (Muara Jawa, Muara Pegah, P. Layangan, Muara Kembang
Dilindungi 2. Burung Raja Udang - Halcyon chloris Muara jawa, P. Selayangan, P.
Tunu, P. Selete, Handil, Tanjung Una, Muara Kembang (Hutan Rawa Air Tawar)
Dilindungi - Pelargopsis capensis Pulau Tunu Dilindungi 3. Elang bondol Haliastur
indus Muara Jawa, Muara Ulu, Muara Tani Baru Dilindungi 4. Elang Acciptrer
trivirgatus Pulau Tunu Dilindungi 5. Kuntul Egretta sp. Muara Ulu Dilindungi 6.
Sikatan Rhipidura javanica Tj. Una, Handil, Muara Kembang Dilindungi 7. Burung
Madu Nectarina sp. Muara Kembang, Handil Dilindungi
Sumber : - Kajian PKSPL IPB (2001) - Observasi Lapangan (2002) Kawasan Delta
Mahakam sebagaimana diuraikan di atas, adalah kawasan yang berlumpur, berawa
dan ditumbuhi oleh tetumbuhan (pohon kayu) hutan, tetumbuhan nipah-nipah,
tetumbuhan bakau dan tetumbuhan rawa jenis lainnya.
Tetumbuhan (pohon kayu) hutan, menempati bagian hulu dari delta (upper delta
lain) yang mengandung air payau, yang masih mengalami pengaruh air tanah dan
air (tawar) sungai sangat besar. Tetumbuhan nipah-nipah berada di kawasan tengah
Delta (lower delta plain), yang mengandung air payau sampai asin, karena adanya
pengaruh air (tawar) sungai, air payau dan air (asin) laut, sedangkan hutan bakau,
umumnya, menempati bagian dari kawasan delta yang mengandung air payau
dengan pengaruh air (asin) laut lebih dominan. Pepohonan kayu hutan, nipah dan
bakau di dalam kawasan delta tersebut sebagian telah ditebang, namun secara
terbatas dan terkendali, untuk keperluan eksplorasi migas, pengeboran sumursumur migas, penghamparan instalasi pipa-pipa produksi migas, pembangunan
instalasi dan anjungan produksi migas. Rona lingkungan ini tidak bertahan lama
karena muncul gangguan terhadap keberadaan sumberdaya alam hayati ini.
Gangguan ini makin lama makin meluas dan tidak terkendali, yang mengakibatkan

penyusutan tutupan lahan secara cepat, yang terjadi sejak awal 1990-an. Gangguan
ini berupa perambahan dan penebangan kawasan hutan kayu, nipah dan bakau
oleh para warga masyarakat guna keperluan pembangunan tambak udang. Lebih
dari separuh kawasan daratan delta kini sudah tidak ditumbuhi oleh tetumbuhan
dan pepohonan. Dengan luas tutupan Nipah terbesar di dunia, ekosistem Delta
Mahakam memiliki produktivitas hayati yang sangat tinggi dan mendapat pasokan
bahan organik potensial sebagai hara dari lahan atas melalui aliran sungai.
Oleh karena itu, ekosistem ini memiliki potensi sumberdaya ikan, udang dan
kepiting yang besar. Selain potensi sumberdaya alam hayati (renewable resources),
ekosistem Delta Mahakam juga memiliki sumberdaya alam nir-hayati (nonrenewable resources) (minyak dan gas bumi) potensial. Keunikan ekosistem
mangrove Delta Mahakam ditampakkan dari luasnya sebaran dominasi vegetasi
nipah disetiap lahan pasang surut Delta Mahakam (luas semula 75.000 ha dari luas
lahan delta sebesar 100.000). Zona Nypa fructicans penyebarannya dapat
mencapai sekitar 50% dari seluruh kawasan Delta Mahakam dan merupakan
formasi nipah paling luas di dunia, namun arealnya kini tinggal 11.000 ha akibat
dikonversi menjadi lahan tambak (Total Fina Elf, 2001).
Potensi spesifik lain yang menjadi andalan ekspor adalah banyaknya lokasi lahan
wilayah Delta Mahakam yang menyimpan cadangan minyak dan gas alam baik
yang telah dieksploitasi maupun yang belum dieksploitasi. Dengan kehadiran
kegiatan eksplorasi tesebut telah mendorong terciptanya lapangan kerja dan
kesempatan berusaha. Potensi sumber daya kawasan delta didominasi oleh ikan
dan udang. Selain itu terdapat potensi sumber tambang minyak dan gas. Kawasan
delta juga merupakan potensi bagi pengembangan areal pertambakan. Pada saat
sekarang juga telah terjadi konversi areal hutan dan persawahan pada beberapa
lokasi menjadi areal tambak dengan menggunakan sistem perairan tawar. Potensi
sumber daya lain yang belum optimal dikembangkan di kawasan Delta Mahakam
adalah jasa kelautan dan kepariwisataan.
Menurut White dalam Naamin (1990) ekosistem mangrove merupakan salah satu
ekosistem wilayah pesisir yang subur dengan produktivitas tinggi yang mana
produktivitas primer ekosistem mangrove bisa menyumbang sekitar 400 sampai
5000 g karbon/m2/tahun. Keeley (2007) menambahkan manfaaat yang diberikan
oleh rawa mangrove yaitu menyumbang 24% dari 6,4% yang menyelimuti bumi
untuk produktivitas global dapat menyerap karbon dalam jumlah besar dan
mengubahnya menjadi makanan bagi hewan lain. Kemudian diperkuat lagi oleh
data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Suryandari (2008) bahwasannya
mangrove dengan luasan 93 ribu Km2 memiliki daya serap karbon sejumlah 75,4
juta ton per tahun atau dengan kata lain 1 hektar luasan mangrove mampu
menyerap 8,11 ton karbon per tahunnya.
F. Data Informasi Sosial
Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai luas wilayah sekitar 27.263,10 Km2.
Secara geografis Kabupaten Kutai Kartanegara terletak antara 1152628 BT 1173643 BT dan 12821 LU - 10806 LS. Secara administrasi Wilayah KPHP
Delta Mahakam berada di 3 Kecamatan (Muara Jawa, Anggana dan Muara Badak)
yang termasuk dalam wilayah KPHP Delta Mahakam, dimana pada ketiga

kecamatan tersebut jumlah penduduk dapat diihat pada tabel berikut :


1. Kecamatan Anggana :
Desa/Keluraha
n

Luas (Km2)

Jumlah RT

Jumlah
Penduduk

Kepadatan
Penduduk
(Jiwa/Km2)

[1]

[2]

[3]

[4]

[5]

1. Sepatin

624,87

3141

5,03

2. Muara
Pantuan
513,32 17 5065 9,87 3. Tani Baru 71,50 20 2982 41,71 4. Kutai Lama 308,95 11
2834 9,17 5. Anggana 97,12 14 2521 25,96 6. Sungai Meriam 116,54 28 9568 82,10
7. Sidomulyo 30,00 17 3025 100,83 8. Handil Terusan 36,50 12 3638 99,67
2. Kecamatan Muara Badak : Desa/Kelurahan Luas (Km2) Jumlah RT Jumlah
Penduduk Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) [1] [2] [3] [4] [5] 1. Saliki 375,34 10
4.237 11,29 2. Salo Palai 156,02 9 1.203 7,71 3. Muara Badak Ulu 81,96 14 4.443
54,21 4. Muara Badak Ilir 41 14 4.474 109,12 3. Kecamatan Muara Jawa :
Desa/Kelurahan Luas (Km2) Jumlah RT Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk
(Jiwa/Km2) 1. Muara Jawa Ilir 23,79 11 2.604 109
2. Muara Jawa Tengah 62,45 14 4.165 67
3. Muara Jawa Ulu 29,74 24 9.659 325 4
4. Muara Kembang 262,90 13 2.657 10

G. Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan


1. Isu Strategis
Seiring dengan pelaksanaan pembangunan, pertambahan jumlah penduduk dan
meningkatnya kebutuhan ruang untuk melakukan aktivitas, sumber daya hutan
juga mengalami tekanan yang cukup besar, sehingga menjadi perhatian berbagai
pihak baik dari dalam maupun luar negeri. Saat ini perubahan iklim menjadi
perhatian serius dunia. Ancaman dan resiko cukup besar dari perubahan iklim
mendorong negara-negara maju dan berkembang terus memikirkan upaya-upaya
strategis, baik untuk menekan laju perubahan iklim maupun memikirkan tindakantindakan adaptasi yang diperlukan." Indonesia juga memberikan perhatian serius
soal isu perubahan iklim ini.
Beberapa isu strategis terkait pengelolaan kawasan Delta Mahakam antara lain
sebagai berikut :
a. Kerusakan Hutan Mangrove di kawasan Delta Mahakam
b. Belum optimalnya pemantapan kawasan dan penyelesaian tenurial masyarakat
c. Masih cukup tingginya angka kemiskinan masyarakat dalam dan sekitar kawasan
hutan

d. Belum optimalnya kontribusi parapihak terhadap peningkatan pendapatan


masyarakat sekitar kawasan hutan Fungsi kawasan hutan yang ada pada wilayah
KPHP Delta Mahakam serta di Kabupaten Kutai Kartanegara pada umumnya masih
pada tahap penunjukan kawasan (berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor
79/KPTS-II/2001, 15 Maret 2001, tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan
Kalimantan Timur). Dilapangan masih terdapat ketidakpastian status dan fungsi
kawasan sehingga masih terdapat overlap/ketidakcocokan antara fungsi kawasan
dengan ijin pengelolaan pemanfaatan dan penggunaan kawasan seperti
keberadaan perkampungan, perkebunan dan pertanian, perikanan di dalam
kawasan Hutan Produksi.

2. Kendala dan Permasalahan


Pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak permasalahan yang merupakan
prasyarat-prasyarat pengelolaan hutan secara lestari yang belum dapat
diselesaikan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, diantaranya
adalah sebagai berikut:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai bagian dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) sampai saat ini belum disahkan.
b. Belum optimalnya pengelolaan kawasan lindung termasuk pengalokasian dan
pengawasannya oleh pihak berwenang.
c. Data dan informasi Biofisik dan sosial budaya serta Spatial (keruangan) terkait
dengan sumberdaya alam hutan di wilayah KPHP Delta Mahakam masih belum
lengkap dan belum sinkron pada berbagai tingkat pemerintahan (pusat, provinsi
dan kabupaten ) serta belum tersedianya protokol pertukaran dan sinkronisasi data
di berbagai tingkatan
d. Kapasitas kelembagaan KPHP Delta Mahakam masih sangat terbatas baik
kapasitas sumberdaya manusia SDM, prasarana dan sarana, pendanaan maupun
bentuk struktur organisasi yang masih sangat sederhana.
e. Tata hubungan kerja, secara umum pembagian peran diantara stakeholder tidak
berjalan pada tataran implementasi. Partisipasi institusi non kehutanan dan para
pihak sangat terbatas. Komunikasi antar instansi juga sangat minim baik di tingkat
kabupaten/kota maupun tingkat provinsi.
f. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Sumberdaya alam hutan,
baik partisipasi dalam ijin pemanfaatan yang sudah ada maupun pengelolaan
secara langsung melalui skema-skema berbasis masyarakat seperti: Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa, serta belum optimalnya
pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), pemanfaatan jasa lingkungan dan
pengembangan wisata alam.

III. RENCANA KEGIATAN PENGELOLAAN


KPHP Delta Mahakam merupakan wilayah kelola yang memiliki potensi yang cukup
besar, akan tetapi pengelolaan dan pemanfaatannya belum optimal. Eksploitasi

kawasan hutan masih berorientasi pada pembukaan tambak, sedangkan


pemanfaatan HHBK, Jasa Lingkungan belum dilihat sebagai potensi ekonomi. KPHP
Delta Mahakam juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang terkait
dengan kelembagaan, kepastian kawasan, integrasi peran antara pihak yang
melakukan kegiatan, partisipasi masyarakat yang masih rendah dalam
pengelololaan hutan. sehingga diperlukan beberapa strategi pengelolaan jangka
panjang untuk memaksimalkan semua potensi yang ada.
A. Inventarisasi berkala wilayah kelola dan penataan hutan
1. Inventarisasi berkala Lima tahun sekali pengelola KPHP Delta Mahakam akan
melakukan inventarisasi hutan di wilayah yang belum dibebani ijin. Untuk wilayah
yang telah dibebani ijin, pengelola akan mencari data sekunder dari inventarisasi
hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin/pengguna kawasan. Inventarisasi meliputi
aspek biogeofisik dan sosekbud, aspek Jasa lingkungan, objek wisata, aspek
pemetaan Kawasan Rawan Keamanan Hutan dan Inventarisasi aspek biomassa dan
karbon hutan.
2. Pembagian blok Wilayah KPHP Delta Mahakam dibagi kedalam beberapa blokblok pemanfaatan dan penggunaan berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial
budaya. Blok-blok tersebut berada di blok perlindungan, Blok pemanfaatan Jasa
lingkungan dan HHBK, Blok Pemanfaatan HHK-HA, Blok HHK/HT, Blok Pemberdayaan
dan Blok Khusus. Selanjutnya blok-blok tersebut dibagi kedalam petak-petak untuk
memudahkan dalam perencanaan pemanfaatan hutan/hasil hutan dan jasa
lingkungan.
3. Pemancangan batas Dalam waktu tiga tahun pertama, pengelola KPHP Delta
Mahakam ditargetkan pemancangan pal batas luar wilayah KPHP. Pada tahun ke
empat, pengelola KPHP mulai melakukan pemancangan pal batas blok.

B. Pemanfaatan hutan pada wilayah tertentu


Pada blok pemanfaatan wilayah tertentu pengelola KPHP Delta Mahakam akan
melakukan pemanfaatan hutan dengan bekerja sama dengan pihak ketiga dalam
bentuk kemitraan. Hasil hutan yang dimanfaatkan dapat berupa hasil hutan kayu,
hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan.
Strategi yang diterapkan adalah : 1) IUPHHK-HA Skala Kecil dengan penerapan
pembalakan, hasilnya antara lain diarahkan untuk budidaya arang aktif. 2)
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), misalnya buah mangrove untuk jus,
dodol dan sebagainya. 3) Skema-Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(Hutan Desa, HKM, HTR)

C. Pemberdayaan masyarakat Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk


meningkatkan peran dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan baik
secara langsung maupun tidak langsung guna peningkatan kesejahteraan, maka
perlu dilakukan kegiatan sebagai berikut :
1. Melakukan pengumpulan data sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

2. Melakukan analisis data sosial ekonomi tingkat unit kelestarian.


3. Melakukan analisis kelembagaan masyarakat pada wilayah KPH baik
kelembagaan internal maupun antara kampung.
4. Menyusun program pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.
5. Membangun pola kemitraan dengan pemegang ijin / pengguna kawasan dan
stakeholder lain.
6. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan Kelembagaan terkait dengan
pengelolaan hutan dan hasil hutan.
7. Mengembangkan skema-skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti:
HKM, Hutan Desa dan HTR.
8. Peningkatan Teknologi Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).

D. Pembinaan dan pemantauan pada areal KPHP yang telah ada ijin pemanfaatan
maupun penggunaan Kawasan Untuk mencapai kelestarian hutan pengelola KPHP
akan memantau pelaksanaan kegiatan pemegang ijin yang ada dalam wilayah KPHP
Delta Mahakam agar pemegang ijin atau pengguna kawasan hutan mematuhi
peraturan. Pemantauan dilakukan melalui pemeriksaan dokumen, penafsiran citra
satelit dan pengecekan lapangan.
E. Penyelenggaraan rehabilitasi pada areal di luar ijin Pada areal hutan yang tidak
dibebani ijin yang mengalami degradasi karena aktifitas illegal akan dilakukan
rehabilitasi dengan penanaman jenis pohon sesuai dengan kondisi ekologis dan
peruntukan lahan. Pada Kawasan Delta Mahakam yang merupakan kawasan pesisir
maka akan ditanami dengan jenis Mangrove (Rhizopora, api-api). Jika kerusakan
terjadi di areal lain yang datar, dekat dengan permukiman, maka jenis yang dipilih
adalah pohon-pohon kehidupan yang memiliki nilai ekonomi.
F. Pembinaan dan pemantauan pelaksanaan rehabilitasi dan reklamasi pada areal
yang sudah ada ijin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan Di dalam wilayah
KPHP Delta Mahakam yang telah dibebani izin / pengguna, kewajiban rehabilitasi
dan reklamasi hutan menjadi kewajiban pemegang ijin / pengguna kawasan.
Pengelola KPHP akan memantau pelaksanaan rehabiltasi dan reklamasi hutan
melalui pemeriksaan dokumen, pengecekan lapangan dan penafsiran citra.
G. Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam Penyelenggaraan
perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan
dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi
tercapai secara optimal dan lestari.
Strategi yang dilakukan adalah :
1. Menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan pengamanan
kawasan hutan dan sumber daya hutan.
2. Melaksanakan pengamanan kawasan dan sumberdaya hutan .
3. Merencanakan alokasi kawasan lindung di dalam wilayah KPH dan
mengintegrasikannya dalam penataan hutan.

4. Menilai dan memetakan kawasan bernilai konservasi tinggi untuk alokasi


kawasan lindung.
5. Menyusun masterplan pengelolaan kawasan lindung sesuai dengan
karakteristiknya.
6. Pengelolaan kawasan lindung secara partisipatif dan kolaboratif dengan berbagai
pihak. 7. Menilai kinerja pengelolaan kawasan lindung di dalam wilayah KPH.
8. Inventarisasi dan Pemetaan Kawasan Lindung dan Kawasan yang mempunyai
Nilai Konservasi Tinggi (HCV).

H. Koordinasi dan sinkronisasi antar pemegang ijin/Pengguna Kawasan Dalam


wilayah KPHP Delta Mahakam, dilakukan koordinasi dan sinkronisasi secara periodik
untuk menghindari konflik batas areal kerja, menyamakan persepsi terhadap
peraturan-peraturan di bidang kehutanan dan mensukseskan program-program
KPHP. Koordinasi dan sinkroninasi dilakukan dengan melakukan pertemuan secara
rutin. Ijin penggunaan kawasan hutan merupakan ijin pemanfaatan kawasan hutan
untuk kegiatan-kegiatan di luar sektor kehutanan.
Pada Wilayah KPHP Delta Mahakam kegiatan utama penggunaan kawasan yaitu
kegiatan pertambangan migas, terhadap kegiatan tersebut perlu dilakukan
pengawasan dan pengendalian dengan kegiatan sebagai berikut :
a. Menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pelaksanaan pemantauan dan
evaluasi dan ijin penggunaan kawasan hutan.
b. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan ijin penggunaan
kawasan hutan secara berkala.
c. Membangun data base rencana dan realisasi kegiatan Ijin Penggunaan Kawasan
hutan.
I. Koordinasi dan sinergi dengan instansi stakeholder terkait Wilayah kelola KPHP
Delta Mahakam bersinggungan dengan areal peruntukan lain dengan berbagai
penggunaan sehingga dalam mengelola wilayah KPHP tersebut, pengelola perlu
melakukan koordinasi dan sinergi dengan para pemangku kepentingan (stake
holder). Pemangku kepentingan terdiri dari unsur pemerintah, yaitu SKPD-SKPD
yang lingkup kerjanya berkaitan dengan kegiatan KPHP, penegak hukum, dan
masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar KPHP serta melakukan integrasi
kegiatan dengan LSM.
J. Pemantapan Kelembagaan KPH dan peningkatan kapasitas Personil Untuk
menjalankan KPHP Delta Mahakam secara efektif, pengelola harus memiliki
kelembagaan yang mantap dalam sistem administrasi. Selain itu tenaga kehutanan
dengan jumlah dan kompetensi yang memadai, yang memenuhi standard yang
diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.
42/Menhut-II/ 2011 tentang Standar Kompetensi Bidang Teknis Kehutanan Pada
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi.
Upaya yang ditempuh adalah melalui pelatihan teknis.

K. Penyediaan Pendanaan Pada tahap awalnya, KPHP Delta Mahakam belum dapat
mandiri karena organisasinya belum berjalan penuh, sehingga pengelola KPHP
masih bergantung pada dana dari pemerintah, pemerintah daerah. Pada tahap
selanjutnya, diharapkan setelah organisasi pengelola berjalan dengan efektif,
pendanaan dapat diperoleh dari penerimaan pemanfaatan hasil hutan kayu, non
kayu dan jasa lingkungan. Pengelola KPHP akan mengusahakan dana programprogram tertentu baik dari APBD, DAK Bidang Kehutanan, maupun kerjasama
dengan LSM nasional dan internasional.
L. Pengembangan Database Untuk menunjang kelancaran operasional KPHP Delta
Mahakam, pengelola akan menyusun data base yang meliputi, data biogeofisik
(geologi, tanah, curah hujan, suhu, kelembaban, tutupan vegetasi, jenis tumbuhan,
jenis satwa) dan sosekbud (kependudukan, pendidikan, kesehatan, perekonomian,
penggunaan lahan, pemanfaatan hasil hutan oleh masyarakat, adat istiadat dan
sarana kesehatan dan transportasi). Pengembangan database terdiri dari kegiatan:
a. Pengadaan sarana peralatan pendukung database.
b. Pengembangan sistem database, meliputi pengadaan software, pelatihan SDM
dan penyusunan data base.
c. Pemutakhiran data secara terus menerus.
M. Rasionalisasi Wilayah Kelola Pengelolaan KPHP Delta Mahakam akan berjalan
dengan efektif jika terdapat tenaga yang memadai secara kualitas dan kuantitas,
sesuai dengan luas wilayah yang dikelola. Pembagian wilayah ke dalam blok-blok
dan petak-petak, kegiatan dalam blok pemanfaatan hasil hutan kayu lebih intensif
daripada kegiatan di dalam blok perlindungan.
Kegiatan yang dilakukan untuk rasionalisasi wilayah kelola adalah:
1. Analisis data hasil inventarisasi dan laporan kegiatan
2. Penentuan luas dan lokasi masing-masing RKPH (jika diperlukan)

N. Review rencana pengelolaan 5 tahun sekali Rencana pengelolaan jangka panjang


yang disusun pertama kali tentunya jauh dari sempurna. Seiring waktu akan terjadi
perubahan kebijakan pemerintah dan dinamika masyarakat, sehingga rencana
jangka panjang ini perlu dievalusi secara periodik. Dalam waktu lima tahun sekali,
rencana pengelolaan KPHP Delta Mahakam perlu dikaji ulang untuk disesuaikan
dengan perubahan kebijakan pemerintah dan dinamika persoalan yang dihadapi di
lapangan.
O. Pengembangan investasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Delta Mahakam
dirancang sebagai suatu unit pengelolaan hutan yang mandiri, termasuk dalam hal
finansial. Oleh karena itu pengelola KPHP Delta Mahakam akan menjalin kerjasama
dengan penyandang dana untuk melakukan kegiatan pemanfaatan hasil hutan
kayu, non kayu dan jasa lingkungan.

DOKUMENTASI DI KAWASAN DELTA MAHAKAM PADA KPHP UNIT XXIX DELTA


MAHAKAM

Foto kerusakan hutan mangrove dan pembukaan tambak pada kawasan delta
mahakam : Upaya parapihak dalam perlindungan Delta Mahakam pada tingkat Desa
dan Pemukiman
Aktifitas Migas di Kawasan Delta Mahakam
KPHP DELTA MAHAKAM
Kantor sementara KPHP Delta Mahakam di Tenggarong
Pengelola KPHP Delta Mahakam.

Anda mungkin juga menyukai