Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEPAILITAN
DAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

Dibuat Oleh :
Raisa Fathia

PPAK Tahun 2015

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 3
A. LATAR BELAKANG........................................................................................... 3
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................... 4
C. TUJUAN................................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 5
A. PENGERTIAN KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
.......................................................................................................................
5
B. SYARAT-SYARAT PENGAJUAN PAILIT.......................................................... 6
C. AKIBAT-AKIBAT KEPAILIAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
7
D. PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT DALAM PENGURUSAN
PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
.......................................................................................................................
.......................................................................................................................
12
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 15
A. KESIMPULAN.................................................................................................... 15
B. SARAN................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 16

BAB I
PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG
Berbagai kegiatan usaha pada era global saat ini tidak lepas dari berbagai masalah. Jika

suatu perusahaan dinyatakan pailit, maka efek yang ditimbulkan tidak hanya akan berimbas
pada perusahaan itu saja namun juga dapat berakibat global. Pada dasarnya Kepailitan dapat
terjadi karena makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan dimana muncul
berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul dalam masyarakat. Begitu juga
dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberikan dampak yang tidak
menguntungkan terhadap perekonomian nasional sehingga menimbulkan kesulitan besar
terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk meneruskan kegiatan
usahanya. Contohnya saja tingkat inflasi meningkat dari di bawah 10 % menjadi sekitar 70 %
yang mengakibatkan banyak perusahaan kesulitan membayar kewajiban utangnya terhadap
para kreditor dan lebih jauh lagi banyak perusahaan mengalami kebangkrutan (Pailit).
Jadi, Kepailitan dan penundaan pembayaran lazimnya dikaitkan dengan masalah utang
piutang antara Debitur dengan pemilik dana atau Kreditur. Dimana dalam hal Debitur dan
Kreditur memiliki sebuah perjanjian utang piutang yang melahirkan suatu perikatan, Maka
masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban debitur adalah
mengembalikan utangnya. Apabila kewajiban tersebut berjalan secara lancar sesuai dengan
perjanjian tentu bukanlah suatu masalah. Permasalahan akan timbul apabila Debitur
mengalami kesulitan untuk mengembalikan utangnya tersebut. Oleh karena itu, lembaga
kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya
status pailit menjadi salah satu sebab keluarnya pelaku bisnis dari pasar. Atas dasar itulah,
kemudian dilakukanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan Faillissements Verordering
(FV) melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang-Undang tentang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan
sebagai konsekwensi lebih lanjut dari PERPU No.1 tahun 1998 kemudian ditetapkan menjadi
Undang-Undang yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Kepailitan.
B.
1.
2.
3.

RUMUSAN MASALAH
Apa yang dimaksud dengan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayar Utang?
Bagaimana syarat pengajuan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayar Utang ?
Apa saja Akibat yang ditimbulkan dari adanya Putusan Pailit ?
3

4. Pihak pihak mana saja yang terkait dalam pengurusan penundaan kewajiban
pembayaran utang ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayar Utang
2. Untuk mengetahui apa saja syarat untuk pengajuan Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayar Utang
3. Untuk mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari adanya putusan pailit
4. Untuk mengetahui Pihak-pihak mana saja yang terkait dalampengurusan penundaan
kewajiban pembayaran utang

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN
KEWAJIBAN UTANG
Kata pailit berasal dari bahasa Perancis failite yang berarti kemacetan pembayaran.
Sedangkan dalam Hukum Anglo Amerika, Undang-Undangnya dikenal dengan Bankcruptcy
Act.
Dalam pengertian kita, merajuk aturan lama yaitu pasal 1 ayat 1 Peraturan Kepailitan
atau Faillisement Verordening S. 1905-217 jo 1906-348 menyatakan:
Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan
sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan
putusan hakim dinyatakan dalam keadaan pailit.
Ini agak berbeda pengertiannya dengan ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU
No.4 Th. 1998 pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan:
Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri,
maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya
Pengertian kepailitan menurut Undang-Undang Kepailitan No.37 tahun 2004 adalah :
sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pembebasannya
dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini (pasal 1 ayat 1).
Dilihat dari beberapa pengertian kepailitan tersebut diatas maka esensi kepailitan secara
singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur baik yang ada pada
waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk
kepentingan semua kreditur yang mempunyai piutang pada debitur tersebut dan dengan
adanya pengawasan dari pihak yang berwajib.
Apabila seorang debitur dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditur akan
berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan jalan mengajukan
gugatan perdata kepada debitur ke pengadilan. Akan tetapi karena Indonesia merupakan
Negara hukum, segala permasalahan harus dapat diselesaikan melalui jalur-jalur hukum.
Salah satu cara untuk menyelesaikan utang piutang dengan jalur hukum antara lain melalui
perdamaian, salah satunya yaitu dengan penundaan kewajiban membayar utang.
5

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diatur dalam Undang-Undang


Kepailitan, artinya adalah debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan
rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada
kreditur konkuren. Seperti halnya permohonan pernyataan pailit, permohonan PKPU juga
harus diajukan oleh debitur ke pengadilan dengan ditandatangani oleh debitur dan oleh
penasihat hukumnya.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ((PKPU) harus diajukan oleh Debitur
sebelum ada putusan pernyataan pailit. Apabila putusan pernyataan pailit sudah diucapkan
oleh Hakim terhadap Debitur tersebut, Debitur tidak dapat lagi mengajukan permohonan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sebaliknya, Debitur dapat mengajukan
pemohonan kepailitan bagi dirinya bersama-sama dengan permohonan PKPU. Dalam
keadaan demikian Hakim akan mendahulukan memeriksa PKPU.
Keuntungan bagi debitur atas lembaga PKPU ini adalah dalam jangka waktu yang
cukup dapat memperbaiki kesulitannya dan akhirnya dapat membayar utangnya dan bagi
kreditur ada kemugkinan besar debitur dapat membayar utang-utangnya. Sedangkan apabila
dinyatakan pailit, semua harta akan dilelang dan bagi kreditur belum tentu mendapatkan
pembayaran dengan penuh.
B. SYARAT- SYARAT PENGAJUAN PAILIT
Memperhatikan pasal 1 ayat 1 FV maka dapat disimpulkan bahwa syarat untuk
dinyatakan pailit adalah:
a. Debitor dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya.
b. Dengan putusan hakim
c. Atas permintaan baik Debitor, Kreditor, maupun Kejaksaan (Pasal 1 ayat 2 FV)
Dari ketentuan tersebut jelas syarat dinyatakan pailit diantaranya Debitor telah
berhenti membayar utang-utangnya. Pengertian telah berhenti menunjukkan bahwa pada
saat jatuh tempo untuk membayar, yang bersangkutan tidak melakukan kewajibannya
(wanprestasi). Biarpun ternyata asset Debitur sebenarnya lebih dari cukup, mungkin juga
melimpah, tetapi karena telah berhenti membayar utangnya, sehingga tetap dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan.
Syarat selanjutnya untuk dinyatakan dalam keadaan pailit adalah dengan putusan
hakim. Jadi, tidak dapat Debitur yang bersangkutan atau Krediturnya menyatakan tanpa
6

proses surat bahwa Debitur dalam keadaan pailit karena telah berhenti membayar utangnya.
Masalah ini perlu dipahami karena dalam praktik sering terjadi kesalah-pahaman, terdapat
Debitur yang menyatakan dirinya dalam keadaan pailit padahal belum memenuhi proses surat
sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan.
Syarat terakhir untuk dapat dinyatakan dalam keadaan pailit adalah atas permintaan:
1. Debitur yang bersangkutan;
2. Kreditur atau para Kreditur;
3. Kejaksaan dengan alasan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, meskipun Debitur berhenti membayar utang-utangnya apabila tidak
ada permintaan dari salah satu ketiga pihak tersebut, pengadilan tidak akan otomatis
memeriksa.
Syarat-syarat tersebut menerangkan bahwa untuk dapat dinyatakan pailit minimal
terdapat 2 Kreditur, suatu persyaratan yang tidak terdapat dalam Pasal 1 FV. Lahirnya syarat
ini sebenarnya dalam rangka untuk lebih memberikan perlindungan kepada kreditur atau para
krediturnya dibandingkan ketentuan kepailitan yang lama (pasal 1) yang mana terdapat celah
yang seringkali dimanfaatkan oleh debitur yang nakal, karena didalam pasal 1 peraturan
kepailitan (yang lama) syaratnya hanya debitur dalam keadaan berhenti membayar, tanpa ada
penjelasan lebih lanjut maka kemudian hal ini disalah artikan. Mestinya untuk debitur yang
benar-benar tidak mampu membayar saja dijatuhi kepailitan bukan debitur yang tidak mau
membayar.
C.

AKIBAT-AKIBAT KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG
Pernyataan pailit menimbulkan akibat baru. Mengenai akibat-akibat kepailitan tersebut
UUKPKPU mengatur secara khusus. UUK tidak mengatur secara khusus tersendiri tetapi
masih memberlakukan ketentuan FV bab kesatu bagian kedua mulai pasal 19 s.d pasal 62 FV.
Tetapi terdapat beberapa pasal yang diubah oleh UUK.
a. Akibat terhadap Harta Kekayaan
Pasal 21 UUKPKPU menyebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor
pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitur dan bukan meliputi
diri debitur. Jelas bahwa UUK masih memberlakukan ketentuan pasal 19 FV. Selanjutnya,
pasal 22 FV mengatur hal yang sama dengan pasal 24 ayat (1) UUKPKPU yang menegaskan
bahwa dengan dinyatakan pailit maka debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan

mengurus hartanya. Dengan demikian, peraturan dalam UUKPKPU dan UK (FV) mengenai
akibat kepailitan terhadap harta kekayaan Debitur pada dasarnya sama.
b. Akibat terhadap Transfer Dana
Pasal 24 ayat (3) UUKPKPU mengatur bahwa apabila sebelum putusan pailit
diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada
tanggal putusan dimaksud, transfer tersebut wajib diteruskan. Penjelasan pasal 24 ayat (3)
UUKPKPU menyebutkan bahwa transfer dana melalui bank perlu dikecualikan untuk
menjamin kelancaran dan kepastian system transfer melalui bank. Hal ini berlaku pula untuk
transaksi efek yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan menurut
ketentuan Pasal 24 ayat (4) UUKPKPU, transaksi efek di Bursa Efek tersebut wajib
diselesaikan.
c. Akibat terhadap perikatan Debitor sesudah ada putusan pernyataan pailit
Apabila sesudah Debitur dinyatakan pailit kemudian timbul perikatan, maka perikatan
Debitur tersebut tidak dapat dibayar dari harta pailit. Demikian ditentukan dalam Pasal 25
UUKPKPU. Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 23 FV yang masih diberlakukan
UUK. Kedua ketentuan tersebut juga mengatur sama bahwa terhadap hal diatas terdapat
pengecualian yaitu apabila perikatan dimaksud menguntungkan harta pailit.
d. Akibat terhadap hukuman kepada Debitor
Kemungkinan setelah dinyatakan pailit, Debitur mendapatkan suatu hukuman badan
yang tidak berkaitan dengan masalah kepailitan. Dalam hal demikian, Pasal 25 ayat (2)
UUKPKPU menegaskan bahwa penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hokum
terhadap harta pailit. Ketentuan demikian diatur pla dalam Pasal 24 ayat (2) FV yang masih
diberlakukan UUK yang menyebutkan bahwa:
Jika tuntutan-tuntutan itu dimajukan ataupun diteruskan oleh atau terhadap si pailit, maka
apabila tuntutan-tuntutan itu mengakibatkan suatu penghukuman terhadap si pailit,
peghukuman itu tidak mempunyai suatu kekuatan hokum terhadap harta kekayaan yang telah
pailit
Dengan demikian, akibat putusan pernyataan pailit terhadap hukuman yang dijatuhkan
kepada Debitur, kedua peraturan perundang-undangan tersebut pada pokoknya mengatur
akibat yang sama yaitu penghukuman tersebut tidak berakibat hokum terhadap harta pailit.
e. Akibat Hukum terhadap tuntutan atas harta pailit
Dengan adanya putusan pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan
melakukan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan
terhadap Debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Ketentuan Pasal 27 UUKPKPU diatas mengandung arti bahwa mereka yang merasa sebagai
Kreditur apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit, harus
mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokkan dalam verifikasi. Hal itu kembali menegaskan
8

bahwa setelah putusan pernyataan pailit segala tuntutan berkaitan dengan harta pailit harus
didaftarkan kepada kurator.
f. Akibat Hukum terhadap Eksekusi (Pelaksanaan Putusan Hakim)
Memperhatikan ketentuan Pasal 31 UUKPKPU maka diketahui bahwa dengan adanya
putusan pernyataan pailit mengakibatkan segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap
setiap bagian dari kekayaan Debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan
seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga
dengan menyandera Debitur Pasal 31 ayat (1) UUKPKPU. Selanjutnya, Pasal 31 ayat (2)
UUKPKPU menyebutkan semua pernyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika
diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Dari ketentuan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sesudah ada putusan pernyataan pailit, sitaan pelaksanaan dan
sitaan jaminan menjadi hapus. Apabila pelaksanaan putusan tersebut telah dimulai,
pelaksanaan tersebut harus segera dihentikan. Bahkan, apabila diperlukan Hakim Pengawas
harus memerintahkan pencoretannya. Ketentuan pasal 31 aat (1) dan ayat (2) UUKPKPU
tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) FV mengatur bahwa
putusan pernyataan pailit mempunyai akibat, bahwa segala pelaksanaan putusan Hakim
terhadap setiap bagian dari kekayaan si berutang, yang telah dimulainya sebelum kepailitan
seketika harus dihentikan. Selanjutnya, sejak waktu yang sama pula, tidak satu putusan pun
boleh dijalankan dengan memenjarakan si berutang. Kemudian Pasal 32 ayat (2) FV
menyebutkan pula bahwa semua penyitaan yang telah ditaruh, menjadi hapus; jika
diperlukan, hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya.
g. Akibat Kepailitan Terhadap Penyanderaan
Penyanderaan adalah tindakan penahanan terhadap Debitur agar mau melunasi
utangnya. Pemikirannya adalah apabila debitur ditahan kemungkinan sanak keluarganya akan
berusaha untuk mengeluarkannya dari penyanderaan dengan mengumpulkan uang untuk
membayar utang tersebut. Berkaitan dengan ini, Pasal 31 ayat (3) UUKPKPU menyebutkan
bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 93 UUKPKPU Debitur yang
sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah pernyataan pailit diucapkan.
Dengan demikian, dengan adanya putusan pernyataan pailit berakibat:
1. Debitur yang sedang dalam penyanderaan harus dikeluarkan. Hal inilah antara lain juga dapat
merupakan alasan mengapa Debitur dimungkinkan mengajukan permohonan agar dirinya
dinyatakan pailit.
2. Terhadap debitur tidak boleh dilakukan penyanderaan, apabila Debitur tersebut belum
disandera kemudian diputus pailit.
Ketentuan seperti diatas juga diatur dalam Pasal 32 FV yang tidak diubak UUK. Pasal 32 ayat
(3) FV tersebut berbunyi:
9

Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 84, maka si berutang yang sedang
dipenjarakan, harus dilepaskan, seketika setelah putusan pernyataan pailit memperoleh
kekuatan mutlak.
Dengan adanya penjelasan pasal 31 ayat (1) UUKPKPU diatas, berarti eksekusi yang
telah dilakukan mereka tidak hapus atau mereka tidak kehilangan hak eksekusinya. Walaupun
demikian, hak eksekusi kreditor separatis tersebut harus memperhatikan ketentuan Pasal 56
UUKPKPU yaitu antara lain adanya penangguhan pelaksanaan hak eksekusi dimaksud
selama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.
h. Akibat Hukum Terhadap Uang Paksa
Pasal 32 UUKPKPU menyebutkan bahwa selama kepailitan tidak dikenakan uang
paksa. Menurut penjelasan Pasal 32 UUKPKPU uang paksa yang dimaksud mencakup uang
paksa yang dikenakan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan pasal 32
UUKPKPU diatas intinya sama dengan Pasal 32a FV yang tidak dapat diubah UUK. Pasal
32a FV tersebut mengatakan selama kepailitan, maka uang paksa yang dikenakan menurut
pasal 606a Reglemen Acara Perdata, tidak dibayar.
i. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Timbal Balik
Kemungkinan sebelum pernyataan pailit, Debitur membuat suatu perjanjian timbal
balik dengan pihak lain. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 36 UUKPKPU mengatur halhal sebagai berikut:
a. Pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada Kurator
untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut. Pihak
yang bersangkutan dan Korator dapat membuat kesepakatan mengenai jangka waktu
pelaksanaannya.
b. Apabila kesepakatan jangka waktu tersebut tidak tercapai maka Hakim Pengawas yang
menetapkan jangka waktu dimaksud.
c. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan Kurator tidak memberikan jawaban
atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian maka:
1. Perjanjian berakhir
2. Pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitur dapat menuntut ganti kerugian
dan berkedudukan sebagai kreditur konkuren.
d. Apabila Kurator menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan perjanjian, Kurator
wajib memberikan jaminannya atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian
dimaksud
e. Ketentuan yang disebutkan diatas tidak berlaku untuk perjanjian yang mewajibkan
Debitur melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan

10

f. Ketentuan tentang akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik yang diatur dalam
Pasal 36 UUKPKPU diatas pada prinsipnya sama pula dengan yang diatur dalam Pasal
36 UUK yang mengubah ketentuan Pasal 36 FV.
j. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Sewa menyewa
Kemungkinan sebelum dinyatakan pailit, Debitur telah menyewa suatu barang kepada
pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut maka menurut Pasal 38 UUKPKPU:
1. Kurator atau yang menyewakan dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat
pemberitahuan penghentian perjanjian sewa tersebut dilakukan sebelum berakhirnya
perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
2. Untuk melakukan penghentian perjanjian sewa menyewa tersebut harus dilakukan
pemberitahuan menurut perjanjian atau kelaziman dalam waktu paling singkat 90 hari.
3. Apabila uang sewa telah dibayar di muka maka perjanjian sewa tidak dapat
diberhentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang
sewa tersebut.
4. Sejak tanggal putusan penyataan pailit, uang sewa merupakan utang harta pailit.
k. Akibat Kepailitan terhadap Perjanjian Kerja
Ketentuan pasal 39 UUKPKPU mengatur mengenai akibat kepailitan terhadap
perjanjian kerja. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa pekerja yang bekerja pada Debitur
dapat memutuskan hubungan kerja. Perlu diperhatikan bahwa hubungan kerja tersebut dapat
diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya. Disamping itu, sejak
tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.
l. Akibat Kepailitan terhadap Harta Warisan
Kemungkinan selama kepailitan, Debitur memperoleh warisan. Mengenai hal tersebut
Pasal 40 UUKPKPU mengaturnya dan menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada
Debitur selama kepailitan, oleh Kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan
tersebut menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima warisan dimaksud, Kurator
memerlukan izin dari Hukum Pengawas. Ketentuan demikian agak berbeda dengan yang
diatur dalam Pasal 40 FV yang masih diberlakukan oleh UUK. Perbedaannya diantara kedua
ketentuan tersebut adalah bahwa menurut UUKPKPU, Kurator tidak boleh menerima
warisan tersebut apabila menguntungkan harta pailit, sedangkan menurut FV, Kurator boleh
menerima apabila harta peninggalan. Disamping itu, untuk menolak warisan menurut
UUKPKPU, Kurator harus mendapat izin dari hakim Pengawas, sedangkan menurut FV,
Kurator harus mendapat kuasa dari Hakim Pengawas. Kedua hal tersebut tentu berbeda arti
dan berbeda akibat hukumnya.
Sementara itu, akibat yang ditimbulkan dari adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) adalah:
a. Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas
sesuatu bagian dari hartanya, jika debitur melanggar, pengurus berhak melakukan segala
11

sesuatu untuk memastikan bahwa harta debitur tidak dirugikan karena tindakan debitur
tersebut. (Pasal 22)
b. Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang-utangnya dan semua tindakan eksekusi
yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan utang harus ditangguhkan (Pasal 228
ayat 1)
c. Debitur berhak membayar utangnya kepada semua kreditur bersama-sama menurut
imbangan piutang masing-masing (Pasal 231)
d. Semua sitaan yang telah dipasang berakhir (Pasal 228 ayat 2)
D PIHAK-PIHAK YANG TERKAIT DALAM PENGURUSAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Dalam UU Kepailitan yang baru yaitu UUK No. 37 Tahun 2004, mengenai pengurusan
harta pailit diatur pada bagian tersendiri yakni pada Bab II tetntang Kepailitan.
Pengurusan harta Kepailitan dapat dilakukan oleh:
1. Hakim Pengawas
Menurut lampiran pasal 13 UUK 1998 jo pasal 15 UUK 2004, dalam putusan
pernyataan pailit harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari
Hakim Pengadilan Niaga.
Tugas Hakim pengawas ini adalah mengawasi pengurusan dan pembebasan harta
pailit seperti yang diatur dalam lampiran pasal 63 UUK 1998 jo pasal 65 UUK 2004. Dan
sebelum memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pembebasan
harta pailit, Pengadilan Niaga wajib mendengar nasehat terlebih dahulu dari Hakim
Pengawas.
Selain itu juga berwenang untuk mendengar saksi-saksi atau memerintahkan para ahli untuk
menyelidikinya. Para saksi ini akan dipanggil oleh Hakim Pengawas, dan bila ada yang tidak
datang menghadap atau menolak memberikan kesaksiannya, maka bagi mereka berlaku
ketentuan Hukum Asas Perdata.
2. Kurator
Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan maka kurator berwenang
melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau
peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau
pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam 17 tetap sah dan mengikat Debitur. Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa,
Kurator wajib mengumumkan putusan Kasasi atau PK yang membatalkan putusan pailit
dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian.
12

Tugas Kurator diatur dalam Pasal 69 ayat 1 UUK No.37 Tahun 2004, adalah melakukan
pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang meliputi penyelamatan, pengelolaan dan
penjaminan serta penjualan harta pailit.
Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani harta
pailit dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan yang lainnya, maka
pinjaman tersebut harus mendapat persetujuan lebih dahuu dari Hakim Pengawas. Dan
pembebanan terhadap harta pailit hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang
belum dijadikan jaminan utang.
3. Balai Harta Peninggalan (BHP)
Sebelum ada UUK terdapat 15 macam tugas BPH, salah satunya adalah pengurusan
harta kekayaan orang-orang yang dinyatakan pailit. Dengan diucapkannya keputusan
kepailitan oleh Pengadilan Negeri, maka si pailit telah kehilangan haknya untuk mengurus
dan menguasai harta kekayaannya, walaupun dia masih tetap menjadi pemilik harta kekayaan
tersebut, pengurusan dan penguasaan atas harta kakayaan tersebut telah beralih pada Balai
Harta Peninggalan yang bertindak sebagai pengampu atau curator atas harta pailit, dan Balai
Harta Peninggalan ditugaskan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dan
dalam melaksanakan tugasnya tersebut Balai Harta Peninggalan diawasi oleh Hakim
Komisaris. Si pailit masih tetap berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan
syarat hal tersebut harus menguntungkan.
Menurut ketentuan dalam UUK, Kurator ada 2 macam yaitu BHP dan curator lainnya.
BHP baru bertindak sebagai Kurator apabila Debitur atau Kreditur tidak mengajukan usul
pengangkatan kurator lain kepada pengadilan. Karena BHP selama ini dianggap kurang
professional (tidak punya tenaga ahli yang memadai terutama ketika BHP harus menjalankan
perusahaan sipailit agar berjalan terus), tentunya debitur atau kreditur lebih suka dan memilih
untuk mangajukan pengangkatan kurator lain ke pengadilan untuk melaksanakan tugas-tugas
pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit tersebut.
4. Panitia Para Kreditur
Undang-undang tidak mewajibkan diadakannya panitia kreditur, akan tetapi apabila
kepentingan menghendaki, maka Pengadilan Negeri dapat membentuk panitia tersebut. Jadi
adanya panitia tersebut sifatnya hanya fakultatif.
Panitia para kreditur itu dibedakan menjadi dua sifat yaitu:
1. Panitia Kreditur Sementara, dan
2. Panitia Kreditur Tetap
Panitia Kreditur Sementara dibentuk atau diangkat oleh Pengadilan Negeri dengan
Putusan Kepailitan atau dengan penetapan lainnya. Panitia ini diambil dari para kreditur yang
ada dan dikenal, dengan jumlah anggota 1 sampai 3 orang, yang bertugas untuk memberi
13

nasihat dan mendampingi kurator dalam tugasnya memeriksa keadaan harta pailit dan
melakukan pencocokan kepada hakim pengawas.

14

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Krisis moneter membuat hutang menjadi membengkak luar biasa sehingga
mengakibatkan banyak sekali Debitor tidak mampu membayar utangutangnya. Di samping itu, kredit macet di perbankan dalam negeri juga makin
membubung tinggi secara luar biasa (sebelum krisis moneter perbankan
Indonesia memang juga telah menghadapi masalah kredit bermasalah yaitu
sebagai akibat terpuruknya sektor riil karena krisis moneter.
Dirasakan bahwa peraturan kepailitan yang ada, sangat tidak dapat
diandalkan. Banyak Debitor yang sulit dihubungi oleh para Kreditornya
karena berusaha mengelak untuk tanggung jawab atas penyelesaian utangutangnya. Sedangkan restrukturisasi utang hanyalah mungkin ditempuh
apabila Debitor bertemu dan duduk berunding dengan para Kreditornya atau
sebaliknya. Di samping adanya kesediaan untuk berunding itu, bisnis Debitor
harus masih memiliki prospek yang baik untuk mendatangkan revenue,
sebagai sumber pelunasan utang yang direstrukturisasi itu. Dengan demikian
diharapkan adanya feedback antara kreditor dan debitor dengan baik. Sehingga
dirasakan dapat menguntungkan kedua belah pihak.

B. SARAN
Seyogyanya Majelis Hakim pengadilan niaga dalam memeriksa perkara
kepailitan harus tetap memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku
seperti memperhatikan subyek yang menjadi persengketaan.

15

DAFTAR PUSTAKA
http://cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/artikel-kepailitan.html
http://lotusbougenville.wordpress.com/2010/06/16/kepailitan-dan-penundaanpembayaran/
http://www.hukumkepailitan.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Pailit

16

Anda mungkin juga menyukai