Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit
yang disebabkan gangguan atau kelainan pada system imun antara lain lupus erimatosus.
Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang
melibatkan multiorgan,seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga
mulut. Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa

teori

yang

dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama.
Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang sulit diduga,
tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan tersebut merupakan sindrom
klinis disertai kelainan imunologik, seperti disregulasi imun. Pembentukan kompleks imun dan
yang terpenting ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui
penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa
organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat
episodik diselangi episoderemisi.
Lupus eritematosus

merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.

Etiologi

lupus

eritmatosus sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang
adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan.

Seperti

pada

penyakit

yang

bermanifestasi pada kulit.


Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di Negara
berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multi
disiplin dan dukungan dari berbagai pihak.

BAB II
I.

DEFINISI
SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) adalah penyakit autoimun dimana organ dan sel

mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissuebinding autoantibody dan kompleks imun,
yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun sebabnya
belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau
kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody.
Pada setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.
Beratnya penyakit bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang
menimbulkan kecacatan.
II.

EPIDEMIOLOGI
Sistemik Lupus Erythematosus merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia

diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap SLE ( Systemic Lupus Erythematosus ). Penyakit
Lupus ditemukan baik pada wanita maupu pria, tetapi wanita lebih banyak dibandingkan pria
yaitu 9:1, umumnya pada usia 18 65 tahun tetapi paling sering antara usia 25 45 tahun,
walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun.
Insidensi lupus tidak diketahui, tetapi bervariasi menurut lokasi dan etnis. Tingkat
prevalensi 4-250/100, 000 telah dilaporkan, dengan penurunan prevalensi putih dibandingkan
dengan penduduk asli Amerika, Asia, Latin,dan Amerika. Walaupun awal awitan sebelum usia 8
tahun tidak biasa, lupus telah di diagnosis selama 1 tahun kehidupan. Dominasi perempuan
bervariasi dari kurang dari 4:1 sebelum pubertas ke 8:1 sesudahnya.
Insidens LES pada anak secara keseluruhan mengalami peningkatan,sekitar 15-17%.
Penyakit LES jarang terjadi pada usia di bawah 5 tahun dan menjelang remaja. Perempuan lebih
sering terkena dibanding laki-laki, dan rasio tersebut juga meningkat seiring dengan pertambahan
2

usia. Prevalensi penyakit LES dikalangan penduduk berkulit hitan ternyata lebih tinggi
dibandingkan dengan penduduk berkulit putih.
SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan
ras Afrika, Amerika, Asia, Hispanik dan dipengaruhi factor sosioekonomi. Sebuah penelitian
epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasiayaitu 0,3-0,9 (per 100.000
orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras
Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE
merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat sukar dipahami.
III.

ETIOLOGI
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh


kombinasi antara factor - faktor genetik, hormonal dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui, diduga factor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan
untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi
ini akan menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam
pembentukan kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan
kerusakkan multiorgan. Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem
pertahanan tubuh ini berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel
tubuhnya sendiri. Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi
penyakit menahun.
Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum sepenuhnya diketahui
tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang
dapat memicu timbulnya lupus :

Infeksi
Antibiotic ( golongan sulfa dan penisilin )
Sinar ultraviolet
3

Stress yang berlebihan


Obat obatan tertentu
Hormone

Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya tidak
diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1. Hanya 10% dari
penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah maupun akan
menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang
akan menderita penyakit ini.
Lupus seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali lebih
sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa menjelaskan mengapa lupus lebih
sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi
dan/atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama estrogen) mungkin
berperan dalam timbulnya penyakit ini.
Meskipun demikian, penyebab yang pasti dari lebih tingginya angka kejadian pada
wanita dan pada masa pra-menstruasi, masih belum diketahui. Faktor Resiko terjadinya SLE :
1. Faktor Genetik

Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria

dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga
yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon


Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang
efektif, Sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut
maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
4. Imunitas
Pada pasien SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ), terdapat hiperaktivitas
sel B atau intoleransi terhadap sel T.
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus
Erythematosus atau DILE).

Jenis obat yang dapat menyebabkan SLE adalah :


Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid, dan isoniazid


Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin, penisilamin, dan kuinidin
Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenis antibiotic dan
griseofurvin

6. Infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang - kadang
penyakit ini kambuh setelah infeksi.
7. Stres
Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki kecendrungan akan
penyakit ini.
IV.

PATOFISIOLOGI
Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga

dekat. Resiko meningkat 2550% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic,
menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis
5

tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga


berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang
mengacau regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE, bisa dilihat pada
tabel berikut :
Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous
Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)
Definite
Probable

Ultraviolet B light
Hormon sex
rasio penderita wanita : pria = 9:1

Possible

rasio penderita menarche : menopause = 3:1


Faktor diet : Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;
Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats
Faktor Infeksi : DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida
bakteri
Faktor paparan dengan obat tertentu : Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid;
Hidantoin; Klorpromazin; Methyldopa; DPenicillamine; Minoksiklin; Antibodi
anti-TNF-a ; Interferon-a

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta factor lingkungan
yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari
pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi
antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon
hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah
produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen autoantibodi dan
deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan
karakteristik SLE.
Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan
seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen tubuh tidak
dikenal (self antigen) contoh : nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen tersebut diproses seperti
6

umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan
diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh.
Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen external akan
merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan
dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks yang merusak berbagai organ bila
mengendap.
Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA,
DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit
dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding
trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic
trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.
Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan kerusakan
jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya
menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.
Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks yang
melibatkan berbagai aktivasi komplemen , PMN dan berbagai mediator inflamasi.
Keadaan-keadaan

yang

terjadi

pada

cytokine

pada

penderita

SLE

adalah

ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat meningkatkan aktivasi sel
B untuk membentuk antibodi.

Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :

Sel T :
-Lymphopenia
-Penurunan sel T supressor
-Peningkatan sel T helper
-Penurunan memori dan CD4
-Penurunan aktivasi sel T supressor
-Peningkatan aktivasi sel T helper

Sel B :
-Aktivasi sel B
-Peningkatan respon terhadap cytokine

Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis SLE, yaitu :
faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.
1.
Faktor genetik
Memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada
saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai factor genetic yaitu studi yang
berhubungan dengan HLA ( Human Leucocyte Complex ) mengatur produksi antibody spesifik.
Penderita lupus 6 % mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4 atau C1q dan
IgA atau kecendrungan jenis fenotip HLA ( -DR2 dan DR3. Faktor imunopatogenik yang
berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif. Kekurangan komplemen dapat
merusak pelepasan sirkulasikompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga
membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal
membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akanmenimbulkan respon imun.
2.
Faktor lingkungan
Dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, obat-obatan,
virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilang toleransi karena menyebabkan
apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita
lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung merubah sel DNA serta
mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan
pada inflamasi. Pengaruh obat memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu
meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius
terutama virus rubella, sitomegalovirus dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan
apoptosis.
3.
Faktor imunologis
Selama ini dinyatakan bahwa hiperreaktivita sel limfosit B menjadi dasar dari patogenesi
SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ). Beberapa autoantibody ini secara langsung bersifat
pathogen termasuk dsDNA ( double stranded DNA ), yang berperan dalam membentuk kompleks
imun yang kemudian merusak jaringan. Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat
beberapa jenis autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi
yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuclear (autoantibody

terhadap

DNA,

RNA,

nucleoprotein,

kompleks

protein

asam

nukleat.

Umumnya titer antiDNA mempunyaikorelasi dengan aktivitas penyakit lupus.


Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk,yaitu bersifat sitotoksik
dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi sel sebagai
perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc immunoglobulin. Contoh klinis
mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun. Ada pula autoantibody tertentu yang
bersifat membahayakan karena dapat berinterkasi dengan substansi antikoagulasi, diantaranya
antiprotombin, sehingga dapat terjadi thrombosis disertai perdarahan. Antibody antinuclear
dikenal juga sebagai pembentuk kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyeba
vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada pathogenesis ataupun bernilai sebagai
petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita
lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu
diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan

secara pasif dengan

serum

penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES didasarkan pada adanya
kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan dermisepidermis, pleksus koroid) dan aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan
hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa
kompleks imun terbentuk disirkulasi dan terdeposit dijaringan, beberapa terbentuk insitu ( suatu
mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas tinggi seperti dsDNA. Komponen
C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan menyebabk anaktivasi komplemen tanpa bantuan
autoantibodi.
4.
Hormone
Meskipun hormon

steroid

(sex

hormone)

tidak

menyebabkan

mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.

LES,
Penyakit

namun
LES

terutama terjadi pada perempuan antara menarsdan menopause, diikuti anak-anak dan setelah
menopause. Namun, studioleh Cooper

menyatakan bahwa menars yang terlambat dan

10

menopause dini juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa

pajanan estrogen yang

lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.


Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen merupakan
karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga mempunyai kadar hormon FSH (Folliclestimulating hormone),LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan
dengan LES,

juga terdapat peningkatan kadar

16 alfa

hidroksiestron

danestriol. Frekuensi

LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon
androgen

akan

menghambat perkembangan penyakit lupus pada

hewan betina, sedangkan

kastrasi prapubertas akan mempertinggi angka kematian penderita jantan.


V.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) sangat

bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda tanda terkenanya berbagai system
dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti oleh
gejala terkenanya sitem imun.
Waktu yang

dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah5 tahun.

Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat
spontan atau didahului oleh factor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus
atau bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
A.

Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak anak yang paling sering ditemukan
adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable.
Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.

B.

Gejala Muskuloskeletal

11

Pada anak anak gejala yang sering ditemukan yaitu athralgia (90%) dan sering
mendahului gejala gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi interfalangeal
proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan
kaki.
Arthritis dapat terjadi pada lebih dari 90 % anak, umumnya simetris. Biasanya sangat
responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada SLE ( Systemisc
Lupus Erythematosus ). Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan
kekakuan sendi yang berat. Osteonekrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah
dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.
Berbeda denga JRA, arthritis SLE umumnya sangat nyeri dan nyeri ini tidak proporsional
dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan radiologis menunjukkan osteopeni tanpa
adanya perubahan pada tulang sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun
kemudian dapat menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.
C.

Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.
1.

Lesi Kulit Akut


Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit

edematus

pada

hidung dan kedua pipi.


Karakteristik malar atau ruam kupu kupu termasuk jembatan
hidung dan bervariasi dari merah pada erythematosus epidermis hingga
penebalan scaly patches.
Ruam bersifat fotosintesis dan juga untuk semua daerah yang
terkena matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan
dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yangtidak beraturan. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.

12

2.
3.

Lesi Kulit Sub AkutLesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
Lesi Diskoid
2 % lesi discoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun.sekitar 7 % lesi
discoid akan menjadi SLE dalam waktu % tahun, sehingga perlu di
monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya
antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang
tinggi dan lekopeni ringan.
Ruam discoi adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga,
dada, punggung, dan ekstremitas yang
dengan

diameter

5-10

mm,

Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu

menimbul dan berbatas


tidak

gatal

erithema,

maupun

tegas,
nyeri.

hiperkeratosis dan

atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,


tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.Kalau
sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.
Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak

kanak. Namun,mereka

terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai diskoid
lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa
kanak-kanak.

13

4.

Livido Retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema

5.

periungual.
Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D.

Kelainan pada Ginjal

Pada

2/3

dari

anak

dan

remaja

SLE

akan

timbul

gejala

lupusnefritis.

Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.
Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupusnefritis adalah :
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
Kelas V
Kelas VI

: minimal mesangial lupus nephritis


: mesangial proliferative lupus nephritis
: focal lupus nephritis
: diffuse lupus nephritis
: membranous lupus nephritis
: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria
dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan
nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis
tampak sebagai sindroma nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sdang sampai berat.
Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan
14

fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.
E.
Gejala

Serositis (pleuritis dan perikarditis)


klinisnya

berupa

nyeri

waktu

inspirasi

dan

pemeriksaan

fisik dan radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering
unilateral, mungkin itemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan
pemberian terapi yang adekuat.
F.

Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dansering tidak dapat
diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapaitahap lanjut.
G.

Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeriakut abdomen, muntah
dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitisintestinalis. Gejala menghilang dengan cepat
bila gangguan sistemiknyamendapat pengobatan yang adekuat.
H.

Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus.


Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal.
I.

Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.Biasanya berupa limfaden
opati difus dan lebih sering pada anak-anak.Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus SLE.
J.

Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik danmotorik. Biasanya bersifat
sementara.
K.

Susunan Saraf Pusat


15

Gejala

SSP

bervariasi

mulai

dari

disfungsi

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala

serebral
dan

global

dengan

kehilangan

memori.

Diagnose lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi gangguan psikososial
reaktif, infeksi dan metabolic. Thrombosis vena serebralis biasanya terkait dengan antibody
antifosfolipid. Bila diagnose lupus serebralis sudah diduga, CT scan perl dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organic dan
kejang kejang. Penyakit otak organik biasanyaditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE
pada system system lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi atau halusinasi disamping
gejala khas kelainan organic otak.
Kejangkejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal.Kelainan lain yang mungkin
ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis,
pseudomotor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis,
neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunansaraf pusat tidak selalu
jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antaralain vaskulitis, deposit gamma globulin di
pleksus koroideus.
L.

Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombspositif anemia hemolitik, anemia penyakit kronistrombositopenia, dan lekopenia.
M.

Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi
karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal.
Gejala dari penyakit lupus:
- demam
- lelah
- merasa tidak enak badan
- penurunan berat badan
16

- ruam kulit
- ruam kupu-kupu
- ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari
- sensitif terhadap sinar matahari
- pembengkakan dan nyeri persendian
- pembengkakan kelenjar
- nyeri otot
- mual dan muntah
- nyeri dada pleuritik
- kejang
- psikosa
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan :
- hematuria (air kemih mengandung darah)
- batuk darah
- mimisan
- gangguan menelan
- bercak kulit
- bintik merah di kulit
- perubahan warna jari tangan bila ditekan
- mati rasa dan kesemutan
- luka di mulut
- kerontokan rambut
- nyeri perut
- gangguan penglihatan
Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE
Penyakit SLE dapat ringan atau berat sampai mengancam nyawa . Kriteria untuk
dikatakan SLE ringan adalah :

Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigai


Secara klinis tenang
Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
17

Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,


gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit
Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana
tercantum di bawah ini, yaitu:

VI.

Jantung : vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi

maligna
Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark

paru, fibrosis interstitial


Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika
Ginjal : nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis), sindroma

nefrotik
Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,

mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma demielinisasi


Otot : miositis
Hematologi : anemia hemolitik, netropenia (leukosit < 1.000/mm3 ), trombositopenia

< 50.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri


Konstitusional : demam tinggi yang persiten tanpa bukti infeksi

DIAGNOSIS
Kriteria untuk klasifikasi SLE dari American Rheumatism Association (ARA, 1992).

Seorang pasien diklasifikasikan menderita SLE apabila memenuhi minimal 4 dari 11 butir
kriteria dibawah ini :
1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak,
atau efusi dimana tulang di sekitar persendian tidak mengalami kerusakan
2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat
yang dapat memicu ANA sebelumnya

18

3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)
4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV / matahari,
menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit
5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit
6. Salah satu Kelainan darah;
anemia hemolitik,
Leukosit < 4000/mm,
Limfosit<1500/mm,
Trombosit <100.000/mm
7. Salah satu Kelainan Ginjal;
Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,
Sedimen seluler , adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari sel
darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
Pleuritis,
Perikarditis
9. Salah satu kelainan Neurologis;
Konvulsi / kejang,
Psikosis
10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi
Sel LE+
Anti dsDNA diatas titer normal
Anti Sm (Smith) diatas titer normal
Tes serologi sifilis positif palsu
Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :
1. Wanita muda
2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari
3. Manifestasi sendi
4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit
5.Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang rendah)
Kriteria untuk klasifikasi SLE dari the American College of Rheumatology
Criteria
Ruam malar

Batasan
eritema malar ( eminensia malar atau lipatan nasolabial ), datar

Ruam discoid

atau menonjol
bercak eritema dengan gambaran bersisik keratosis dan sumbatan
19

folikular, lesi yang lebih lama dapat ditemukan gambaran bersisik


Fotosensivitas

atrofi
ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari, didapat

Ulkus mulut

dari anamnesia atau observasi dokter


ulcer mulut atau nasofaring biasanya tidak nyeri, hasil observasi

Arthritis

dokter
erosive Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer, nyeri, bengkak, efusi

non

serositis

1. Pleuritis : riwayat nyeri pleuritik atau pleural friction rub

dapat didengar oleh dokter atau adanya bukti efusi pleura


2. Perikarditis : bukti hasil EKG atau pericardial friction rub

dapat didengar oleh dokter atau adanya bukti efusi


Gangguan ginjal

pericardium
Proteinuria menetap > 0,5 mg/hari atau >3+

Gangguan neurologi

Apapun tipe cetakan seluler


Kejang tanpa ada penyebab lain

Gangguan hematologi

Psikosis tanpa ada penyebab lain


Anemia hemolitik
Leucopenia <4000/mm3 pada 2 kali/lebih pemeriksaan
Limfopenia <1500/mm3 pada 2 kali/lebih pemeriksaan

Gangguan imunologi

Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa penyebab obat obatan


antiDNA
antiSM
positif antibody antifosfolipid berdasarkan
-

Kadar IgG atau IgM antibody antikardiolipin abnormal


Hasil positif antikoagulan lupus dengan menggunakan

metode standar
Hasil tes sifilis positif palsu selama 6 bulan dengan
konfirmasi dari tes imobilisasi Trepanoma pallidum atau

Antibody
(ANA)

test floresensi absorbsi antibody Trepanoma pallidum


antinuclear Titer ANA yang abnormal berdasarkan tes imunofloresensi tanpa
pengaruh obat yang mengakibatkan sindroma lupus akibat obat

20

VII.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :


1.

Hematologi

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat pada
hampir semua penderita lupus. Tetapi antibody nini juga juga bisa ditemukan pada penyakit lain.
Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan juga pemeriksaan untuk
antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi dari kedua antibodi ini hampir spesifik
untuk lupus, tapi tidak semua penderita lupus memiliki antibodi ini.
Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam
sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibody lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk
memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
2.
Kelainan imunologi
Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive, dan lain-lain.
ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE. Antibody doublestranded DNA (Anti-Ds DNA) dan
anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive. Depresi pada serum complement (didapatkan pada fase
21

aktif) dapat berubah menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan
aktivitas dari perjalanan penyakit SLE , tetapi anti-Sm tidak.
Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1)
berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada SLE dengan
negatif ANA.
Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.Mereka disertai
antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan Partial Thrombiplastin (PTT).
Secara diagnostic, antibody yang paling penting untuk dideteksi adalah ANA karena
pemeriksaan ini positif pada 95% pasien, biasanya pada onset gejala. Pada beberapa pasien ANA
berkembang dalam 1 tahun setelah onset gejala; sehingga pemeriksaan berulang sangat berguna.
Lupus dengan ANA negative dapat terjadi namun keadaan ini sangat jarang pada orang dewasa
dan biasanya terkait dengan kemunculan dari autoantibody lainnya (anti-Ro atau anti-DNA).
Tidak ada pemeriksaan berstandar internasional untuk ANA; variabilitas antara pemeriksaan
yang berbeda antara laboratorium sangat tinggi.
Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-kadang sindroma mirip
lupus. Gejala menghilang jika obat dihentikan segera. Obat-obat yang dapat memicu timbulnya
SLE terhadap orang dengan predisposisi genetik :

Definite ascociation : Chlorpromazine, Methyldopa, Hydralazine , Procainamide,

Isoniazid , Quinidine
Possible ascociation : Beta-blocker, Methimazole, Captopril, Nitrofurantion,
Carbamazepine,

Penicillinamine,

Cimetidine,

Phenitoin,

Ethosuximide,

Propylthiouracil, Hydrazine, Sulfasalazine, Levodopa, Sulfonamide, Lithium,

Trimethadione
Unlikely ascociation : Allopurinol, Penicillin, Chlortalidone, Phenylbutazone,
Gold salt , Reserpine, Griseofulvin, Streptomycin, Methysergide, Tetracycline,
Oral contraceptive

22

Jumlah IgG yang besar pada dsDNA (bukan single-strand DNA) spesifik untuk SLE.
ELISA dan reaksi immunofluorosensi pada sel dengan dsDNA pada flagel Crithidia luciliae
memiliki sekitar 60% sensitivitas untuk SLE; identifikasi dari aviditas tinggi untuk antidsDNA
pada emeriksaan Farr tidak sensitive namun terhubung lebih baik dengan nephritis
Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada SLE
dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada ginjal. Untuk
menilai perjalanan SLE pada ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6
bulan. Adanya silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.

Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya.
Antibody

Prevalensi
(%)

Antigen yang dikenali

Antinuclear
antibodies (ANA)

98

Multiple nuclear
Pemeriksaan skrining
terbaik
DNA (doublestranded)

Anti-dsDNA

70

Anti-Sm

25

Kompleks protein pada 6


jenis U1 RNA

Anti-RNP

40

Kompleks protein pada U1


RNA

Anti-Ro (SS-A)

30

Kompleks Protein pada hY


RNA, terutama 60 kDa dan
52 kDa

Clinical Utility
Hasil negative berulang
menyingkirkan SLE
Jumlah yang tinggi spesifik
untuk SLE dan pada beberapa
pasien berhubungan dengan
aktivitas penyakit, nephritis,
dan vasculitis.
Spesifik untuk SLE,
tidak ada korelasi klinis,
kebanyakan pasien juga
memiliki RNP,
umum pada African American
dan Asia dibanding Kaukasia
Tidak spesifik untuk SLE,
jumlah besar berkaitan dengan
gejala yang overlap dengan
gejala rematik termasuk
SLE
Tidak spesifik SLE,
berkaitan dengan sindrom
Sicca, subcutaneous lupus
23

Anti-La (SS-B)

10

47-kDa protein pada hY


RNA

Antihistone

70

Antiphospholipid

50

Histones terkait dengan


DNA
(pada nucleosome,
chromatin)
Phospholipids,2
glycoprotein 1 cofactor,
prothrombin

Antierythrocyte

60

Membran eritrosit

Antiplatelet

30

Permukaan dan perubahan


antigen sitoplasmik pada
platelet

Antineuronal(term
asuk antiglutamate
receptor)
Antiribosomal P

60

Neuronal dan permukaan


antigen limfosit

20

Protein pada ribosome

subakut, dan lupus


neonatus disertai
blok jantung congenital,
berkaitan
dengan penurunan resiko
nephritis.
Biasanya terkait dengan antiRo, berkaitan dengan
menurunnya resiko nephritis
Lebih sering pada lupus akibat
obat daripada SLE
Tiga tes tersedia, ELISA untuk
cardiolipin dan 2G1, sensitive
prothrombin time (DRVVT),
merupakan predisposisi
pembekuan, kematian janin,
dan trombositopenia.
Diukur sebagai tes Coombs
langsung, terbentuk pada
hemolysis
Terkait dengan trombositopenia
namun sensitivitas dan
spesifitas kurang baik, secara
klinis tidak terlalu berarti untuk
SLE
Pada beberapa hasil positif
terkait dengan lupus CNS aktif
Pada beberapa hasil positif
terkait dengan depresi atau
psikosis akibat lupus CNS

Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pada


SLE :
1. Anemia 60%
2. Leukopenia 45%
3. Trombocytopenia 30%
4. False test for syphilis 25%
5. Lupus anticoagulant 7%
6. Anti-cardiolipin antibody 25%
24

7. Direct coomb test positive 30%


8. Proteinuria 30%
9. Hematuria 30%
10. Hypocomplementemia 60%
11. ANA 95-100%
12. Anti-native DNA 50%
13. Anti-Sm 20%
Interpretasi:
Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan spesifitas
98% dan sensitivitas 97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada,
maka bukan SLE.
VIII. KOMPLIKASI
Komplikasi LES pada anak meliputi:
Hipertensi (41%)
Gangguan pertumbuhan (38%)
Gangguan paru-paru kronik (31%)
Abnormalitas mata (31%)
Kerusakan ginjal permanen (25%)
Gejala neuropsikiatri (22%)
Kerusakan muskuloskeleta (9%)
Gangguan fungsi gonad (3%).
IX.

DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat

gambaran klinis yang mirip aau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu :
25

X.

Undifferentiated connective tissue disease


Sindroma Sjogren
Sindroma antibody antifosfolipid (APS)
Fibromialgia (ANA positif)
Purpura trombositopenik idiopatik
Lupus imbas obat
Artritis reumatoid
Vaskulitis
Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.
Endokarditis bacterial subacute
Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi

kulit.
Drug eruption.
Limfoma.
Leukemia.
Trombotik trombositopeni purpura.

PENATALAKSANAAN
Jenis

penatalaksanaan ditentukan

oleh beratnya penyakit.

Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan
serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang
dihubungkan dengan aktifitas penyakit. SLE yang tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan
spontan, dapatmenjadi penyakit menahun atau kematian yang cepat.
Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi
suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam
merencanakan program terapi akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan
tim ahli yang berpengalamandalam menangani penyakit multisystem pada anak dan
remaja. Nefrologis perlu dilibatkan untuk pengamatan yang optimal terhadap
komplikasi

ginjal.

Demikian

pula

keterlibatan

dermatologis

dan

nutrisionis.

Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.

26

1.

Diet

seimbang

dengan

masukan

kalori

yang

sesuai.

Dengan

adanyakenaikan berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka


perludihindari makanan junk food atau makanan mengandung tinggi
2.

sodiumuntuk menghindari kenaikan berat badan berlebih.


Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada
anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari

3.

sinar UVB.
Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risikoinfeksi
meningkat pada anak dengan SLE. Pemberian antibiotic sebagai
profilaksi dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur.
Terdapat beberapa patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus,
yaitu :
a.

d i a g n o s i s d i n i d a n p e n g o b a t a n s e g e r a p e n ya k i t i n f e k s i , t e r

b.

u t a m a infeksi bacterial
sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis harus

c.

dianggap sebagai gejala infeksi


gambaran radiologi infiltrate limfositik paru harus dianggap sebagai

d.

infeksi bacterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain


setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.

Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, antimalaria dan steroid topical. Krim
luocinoid 5% lebih efektif dibndingkan krim hidrokortison 1 %. Terapi dengan
hidroksiklorokuin efektif pada 48 % pasien dan acitrenin efektif terhadap 50 %
pasien.
Serositis lupus ( pleuritis, perikarditis )
Standar terapi adalah nSAIDs ( dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal),
antimalaria dan kadang - kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan musculoskeletal, terapi standar adalan nSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk
27

keluhan myalgi dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan
(amitriptilin).
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison dosis 1-2
mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di
tapering off secara hati hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode
lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengancara
pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,tak lebih 150-250 mg),
metrotreksat atau azathioprine.
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blokers, misalnya nifedipin, alfa1adrenergic,
reseptor antagonist dan nitrat misalnya isosorbidmononitrat.
Lupus nefritis
Kelas I

: tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO

Kelas II

: mensengial, mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal.


Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena menggambarkan perubahan status
penyakit menjadi lebih parah.

Kelas III

: fokal proliferative nefritis / FPGNmemrlukan terapi yang sama agresifnya dengan


DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing.

Kelas IV

: DPGN kombinasi kortikosteroid dengan siklosfosfamid ternyata lebih baik


dibandingkan

dengan

prednisone.

Siklofosfamid

intravena

telah

digunakan secara luas baik untuk DPGN maupun bentuk lain dari
lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti memperbaiki outcome jangka
panjang untuk tipe DPGN.
Prednisone dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar
komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara hati
hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan,
setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis
28

siklofosfamid

selanjutnya

akan

dinaikkan atau diturunkan

tergantung pada jumlah lekositnya.


Kelas V

: regimen terapi yang biasa dipakai adalah monoterapi

dengan

kortikosteroid, terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A,


siklofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Proteinuria sering bisa
diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada lupus nefritis kelas V tahap lanjut
pilihan terapinya adalah dialysis dan transplantasi hati.
Gangguan hematologis
Untuk

trombositopeni, terapi

yang

dipertimbangkan

pada kelainan

ini

adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena,


vinblastin, danazol dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik terapi yang
dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi.
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklofosfamid intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklofosfamid intravena.
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES
1.

Antimalaria : hidroksiklorokuin 3 7 mg/kg/hari peroral dalam garam sulat

2.

(maksimal 400mg/hari)
Kortikosteroid : prednisone dosis harian (1mg/kg/hari), prednisone dosis alternate
yang lebih tinggi (5mg/kg/hari, maksimal 150 250 mg), prednisone dosis rendah
harian (0,5mg/kg/hari) yang digunakan bersama methylprednisolon dosis tinggi

3.

intermitten (30mg/kg/hari)
Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama
3minggu, maksimal 1 g/m2. Harus diberikan intravena dengan infuse
terpasang dan dimonitor. Monitor leukosit pada 8 14 hari mengikuti
setiap dosis (leukosit di maintance > 2000 3000/mm3). Azathioprine 1
3 mg/kg/hari peroral 4 kali sehari.

29

4.

Nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAIDs). Naproxen 7 20 mg/kg/hari


peroral dibagi 2 3 dosis maksimal 500 1000 mg/hari. Tolmetin 15 30
mg/kg/hari peroral dibagi 2 3 dosis maksimal 1200 1800 mg/hari. Diclofenac <
12 tahun tidak dianjurkan, > 12 tahun 2 3 mg/kg/hari peroral dibagi 2 dosis,

5.

maksimal 100 200 mg/hari


Suplemen Kalsium dan vitamin D, Kalsium karbonat < 6 bulan 360 mg/hari, 6 12
bulan 540 mg/hari, 1 10 bulan 800 mg/hari, 11 18 bulan 1200 mg/hari.
Calcifediol < 30 kilogram 20 mcg peroral 3 kali/minggu, > 30 kilogram 50 mcg

6.

peroral 3 kali/minggu
Antihipertensi : nofedipin 0,25 0,5 mg/kg/dosis peroral dosis awal, maksimal 10
mg, diulang setiap 4 8 jam. Enalapril 0,1 mg/kg/hari peroral 4 kali sehari atau 2
kali sehari bisa ditingkatkan kalo perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari. Propranolol
0.5

mg/kg/hari

peroral

dibagi

dosis,

dapat

ditingkatkan bertahap dalam 3 7 hari dengan dosis biasa 1 5 mg/kg/hari.


Masa kanak kanak SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal seragam.
Dengan kemajuan dalam diagnosis dan perawatan. Penyebab utama kematian dapa pasien
dengan lupus saat ini yaitu infeksi, mefritis, penyakit SSP, perdaraan paru paru, dan infark
miocard, dan komplikasi akibat kortikosteroid kronis dalam pegaturan kekebalan penyakit
kompleks.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90 %. Penyebab kematian
dapat langsung akibat penyakit lupus yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna, kerusakan
SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data dari beberapa penelitian tahun 1950 1960
menunjukkan 5 years survival rates sebesar 17,5 69 %. Sedabgkan tahun 1980 1990 5 years
survival rates 83 93 %. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76 85 % pasien SLE dapat
hidup selama 10 tahun, sebesar 88 % dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa
organ tubuh secara jangka panjang dan menetap.
Penatalaksanaan Umum :
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi kelelahan
30

disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah
gaya hidup.
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormone estrogen
Penatalaksanaan Medikamentosa :
Untuk SLE derajat Ringan;

Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis, perikarditis)

hanya memerlukan sedikit pengobatan.


Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-steroid
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim kortikosteroid.
Untuk gejala kulit dan artritis kadang digunakan obat anti malaria
(hydroxycloroquine)

Bila gagal, dapat ditambah prednison 2,5-5 mg/hari :

Dosis dapat diberikan secara bertahap tiap 1-2 minggu sesuai kebutuhan
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat
bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata

Untuk SLE derajat berat;

Penyakit yang berat atau membahayakan jiwa penderitanya (anemia hemolitik,


penyakit jantung atau paru yang meluas, penyakit ginjal, penyakit sistem saraf

pusat) perlu ditangani oleh ahlinya


Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama dengan dosis sesuai

kelainan organ sasaran yang terkena.


Untuk mengendalikan berbagai manifestasi dari penyakit yang berat bisa
diberikan obat penekan sistem kekebalan
31

Beberapa ahli memberikan obat sitotoksik (obat yang menghambat pertumbuhan


sel) pada penderita yang tidak memberikan respon yang baik terhadap
kortikosteroid atau yang tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.

Pengobatan Pada Keadaan Khusus

Anemia Hemolitik : Prednison 60 80 mg/hari (1 - 1,5 mg/kg BB/hari), dapat


ditingkatkan sampai 100 200 mg/hari bila dalam beberapa hari sampai 1 minggu

belum ada perbaikan


Trombositopenia autoimun : Prednison 60 - 80 mg/hari (1 - 1,5 mg/kg BB/hari).
Bila tidak ada respon dalam 4 minggu, ditambahkan imunoglobulin intravena

(IVIg) dengan dosis 0,4 mg/kg BB/hari selama 5 hari berturut turut
Perikarditis Ringan : Obat antiinflamasi non steroid atau anti malaria. Bila tidak

efektif dapat diberikan prednison 20 40 mg/hari


Perkarditis Berat : Diberikan prednison 1 mg/kg BB/hari
Miokarditis : Prednison 1 mg/kg BB/hari dan bila tidak efektif dapat dapat

dikombinasikan dengan siklofosfamid


Efusi Pleura : Prednison 15 40 mg/hari. Bila efusi masif, dilakukan pungsi

pleura atau drainase


Lupus Pneunomitis : Prednison 1 - 1,5 mg/kg BB/hari selama 4 6 minggu
Lupus serebral : Metilprednison 2 mg/kg BB/hari untuk 3-5 hari, bila berhasil
dilanjutkan dengan pemberian oral 5 7 hari lalu diturunkan perlahan. Dapat
diberikan metilprednison pulse dosis selama 3 hari berturut turut

XI.

PROGNOSIS
Beberapa tahun terakhir ini prognosis penderita lupus semakin membaik, banyak

penderita yang menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita penderita lupus yang hamil dapat
bertahan dengan aman sampai melahirkan bayi yang normal, tidak ditemukan penyakit ginjal
ataupun jantung yang berat dan penyakitnya dapat dikendalikan. Angka harapan hidup 10 tahun
meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami
kelainan otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.

32

BAB III
KESIMPULAN
SLE ( Systemisc Lupus Erythematosus ) merupakan penyakit autoimun dimana organ
dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissuebinding autoantibody dan kompleks
imun, yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun
sebabnya belum diketahui secara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam
autoantibody.
Penyakit Lupus ditemukan baik pada wanita maupu pria, tetapi wanita lebih banyak
dibandingkan pria. Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara factor - faktor genetik, hormonal dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal).
Gejala dari penyakit lupus ini berupa demam, lelah, merasa tidak enak badan, penurunan
berat badan, ruam kulit, ruam kupu-kupu, ruam kulit yang diperburuk oleh sinar matahari,
sensitif terhadap sinar matahari dan lain lain.
Jenis

penatalaksanaan ditentukan

oleh beratnya penyakit.

Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam merencanakan
program terapi akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan tim ahli yang
berpengalamandalam menangani penyakit multisystem pada anak dan remaja.
Dengan edukasi dan penatalaksanaan yang baik, a ngka harapan hidup 10 tahun meningkat
sampai 85%. Prognosis yang paling buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan
otak, paru-paru, jantung dan ginjal yang berat.
33

DAFTAR PUSTAKA
1. Rahman A, Isenberg DA. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med. Feb 28
2008;358(9):929-39.
2. D'Cruz DP, Khamashta MA, Hughes GR. Systemic lupus erythematosus. Lancet. Feb 17
2007;369(9561):587-96.
3. Sestak AL, Frnrohr BG, Harley JB, Merrill JT, Namjou B. The genetics of systemic
lupus erythematosus and implications for targeted therapy. Ann Rheum Dis. Mar 2011;70
Suppl 1:i37-43.
4. Bosch X. Systemic lupus erythematosus and the neutrophil. N Engl J Med. Aug 25
2011;365(8):758-60.
5. Sanchez E, Nadig A, Richardson BC, et al. Phenotypic associations of genetic
susceptibility loci in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. Oct
2011;70(10):1752-7.
6. Blank M, Shoenfeld Y, Perl A. Cross-talk of the environment with the host genome and
the immune system through endogenous retroviruses in systemic lupus
erythematosus. Lupus. Nov 2009;18(13):1136-43.
7. Ritterhouse LL, Crowe SR, Niewold TB, et al. Vitamin D deficiency is associated with an
increased autoimmune response in healthy individuals and in patients with systemic lupus
erythematosus. Ann Rheum Dis. Sep 2011;70(9):1569-74.
8. Helmick CG, Felson DT, Lawrence RC, Gabriel S, Hirsch R, Kwoh CK, et al. Estimates
of the prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States. Part
I. Arthritis Rheum. Jan 2008;58(1):15-25.
9. Costenbader KH, Feskanich D, Stampfer MJ, Karlson EW. Reproductive and menopausal
factors and risk of systemic lupus erythematosus in women. Arthritis Rheum. Apr
2007;56(4):1251-62.
10. Faurschou M, Dreyer L, Kamper AL, Starklint H, Jacobsen S. Long-term mortality and
renal outcome in a cohort of 100 patients with lupus nephritis. Arthritis Care Res
(Hoboken). Jun 2010;62(6):873-80. [Medline].
11. Office of Minority Health & Health Disparities (OMHD). Eliminate Disparities in Lupus.
Available athttp://www.cdc.gov/omhd/amh/factsheets/lupus.htm. Accessed May 14, 2008.
12. Gladman DD, Urowitz MB. Prognosis, mortality and morbidity in systemic lupus
erythematosus In: Wallace DJ, Hahn BH. Dubois' lupus erythematosus. 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007:1333-53.
34

13. Faurschou M, Mellemkjaer L, Starklint H, et al. High risk of ischemic heart disease in
patients with lupus nephritis. J Rheumatol. Nov 2011;38(11):2400-5.
14. Alarcn GS, McGwin G Jr, Bastian HM, Roseman J, Lisse J, Fessler BJ, et al. Systemic
lupus erythematosus in three ethnic groups. VII [correction of VIII]. Predictors of early
mortality in the LUMINA cohort. LUMINA Study Group. Arthritis Rheum. Apr
2001;45(2):191-202.
15. Wallace D, Edmund D, eds. Dubois' Lupus Erythematosus. Philadelphia, Pa: Lippincott
Williams & Wilkins.; 2006.
16. Bertsias GK, Ioannidis JP, Aringer M, et al. EULAR recommendations for the
management of systemic lupus erythematosus with neuropsychiatric manifestations:
report of a task force of the EULAR standing committee for clinical affairs. Ann Rheum
Dis. Dec 2010;69(12):2074-82.
17. Varaprasad IR, Agrawal S, Prabu VN, Rajasekhar L, Kanikannan MA, Narsimulu G.
Posterior reversible encephalopathy syndrome in systemic lupus erythematosus. J
Rheumatol. Aug 2011;38(8):1607-11.
18. Petri M, Naqibuddin M, Carson KA, Wallace DJ, Weisman MH, Holliday SL, et al.
Depression and cognitive impairment in newly diagnosed systemic lupus
erythematosus. J Rheumatol. Oct 2010;37(10):2032-8.
19. Nodler J, Moolamalla SR, Ledger EM, Nuwayhid BS, Mulla ZD. Elevated
antiphospholipid antibody titers and adverse pregnancy outcomes: analysis of a
population-based hospital dataset. BMC Pregnancy Childbirth. Mar 16 2009;9:11.
20. Ramos-Casals M, Cuadrado MJ, Alba P, Sanna G, Brito-Zern P, Bertolaccini L, et al.
Acute viral infections in patients with systemic lupus erythematosus: description of 23
cases and review of the literature. Medicine (Baltimore). Nov 2008;87(6):311-8.
21. Muscal E, Brey RL. Neurologic manifestations of systemic lupus erythematosus in
children and adults.Neurol Clin. Feb 2010;28(1):61-73.
22. Lin YC, Wang AG, Yen MY. Systemic lupus erythematosus-associated optic neuritis:
clinical experience and literature review. Acta Ophthalmol. Mar 2009;87(2):204-10.
23. Williams EL, Gadola S, Edwards CJ. Anti-TNF-induced lupus. Rheumatology (Oxford).
Jul 2009;48(7):716-20.
24. Hanly JG, Urowitz MB, Su L, et al. Autoantibodies as biomarkers for the prediction of
neuropsychiatric events in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis. Oct
2011;70(10):1726-32.
25. Ibaez D, Gladman DD, Touma Z, Nikpour M, Urowitz MB. Optimal frequency of visits
for patients with systemic lupus erythematosus to measure disease activity over time. J
Rheumatol. Jan 2011;38(1):60-3.
26. Yazdany J, Panopalis P, Gillis JZ, Schmajuk G, MacLean CH, Wofsy D, et al. A quality
indicator set for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Mar 15 2009;61(3):3707.
35

27. Broder A, Khattri S, Patel R, Putterman C. Undertreatment of Disease Activity in


Systemic Lupus Erythematosus Patients with Endstage Renal Failure Is Associated with
Increased All-cause Mortality. J Rheumatol. Nov 2011;38(11):2382-9.
28. Navarra SV, Guzmn RM, Gallacher AE, Hall S, Levy RA, Jimenez RE, et al. Efficacy
and safety of belimumab in patients with active systemic lupus erythematosus: a
randomised, placebo-controlled, phase 3 trial. Lancet. Feb 26 2011;377(9767):721-31.
29. Hill E. Belimumab Earns FDA Approval for Lupus. Medscape News [serial online].
March
15,
2011;Accessed
August
11,
2011.
Available
at http://www.medscape.com/viewarticle/738729.
30. Lu TY, Ng KP, Cambridge G, Leandro MJ, Edwards JC, Ehrenstein M, et al. A
retrospective seven-year analysis of the use of B cell depletion therapy in systemic lupus
erythematosus at University College London Hospital: the first fifty patients. Arthritis
Rheum. Apr 15 2009;61(4):482-7.
31. Merrill JT, Neuwelt CM, Wallace DJ, et al. Efficacy and safety of rituximab in
moderately-to-severely active systemic lupus erythematosus: the randomized, doubleblind, phase II/III systemic lupus erythematosus evaluation of rituximab trial. Arthritis
Rheum. Jan 2010;62(1):222-33.
32. Alarcn GS, McGwin G, Bertoli AM, Fessler BJ, Calvo-Aln J, Bastian HM, et al. Effect
of hydroxychloroquine on the survival of patients with systemic lupus erythematosus:
data from LUMINA, a multiethnic US cohort (LUMINA L). Ann Rheum Dis. Sep
2007;66(9):1168-72.
33. Yazdany J, Panopalis P, Gillis JZ, Schmajuk G, MacLean CH, Wofsy D, et al. A quality
indicator set for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. Mar 15 2009;61(3):3707.
34. Schmajuk G, Yelin E, Chakravarty E, Nelson LM, Panopolis P, Yazdany J. Osteoporosis
screening, prevention, and treatment in systemic lupus erythematosus: application of the
systemic lupus erythematosus quality indicators. Arthritis Care Res (Hoboken). Jul
2010;62(7):993-1001.
35. Schmajuk G, Schneeweiss S, Katz JN, et al. Treatment of older adult patients diagnosed
with rheumatoid arthritis: improved but not optimal. Arthritis Rheum. Aug 15
2007;57(6):928-34.
36. Scalzi LV, Hollenbeak CS, Wang L. Racial disparities in age at time of cardiovascular
events and cardiovascular-related death in patients with systemic lupus
erythematosus. Arthritis Rheum. Sep 2010;62(9):2767-75.
37. van Assen S, Agmon-Levin N, Elkayam O, Cervera R, Doran MF, Dougados M, et al.
EULAR recommendations for vaccination in adult patients with autoimmune
inflammatory rheumatic diseases. Ann Rheum Dis. Mar 2011;70(3):414-22.
38. Elkayam O, Amir S, Mendelson E, Schwaber M, Grotto I, Wollman J, et al. Efficacy and
safety of vaccination against pandemic 2009 influenza A (H1N1) virus among patients
with rheumatic diseases.Arthritis Care Res (Hoboken). Jul 2011;63(7):1062-7.
36

39. Bramham K, Hunt BJ, Bewley S, et al. Pregnancy outcomes in systemic lupus
erythematosus with and without previous nephritis. J Rheumatol. Sep 2011;38(9):190613.
40. Vinet E, Clarke AE, Gordon C, Urowitz MB, Hanly JG, Pineau CA, et al. Decreased live
births in women with systemic lupus erythematosus. Arthritis Care Res (Hoboken). Jul
2011;63(7):1068-72.
41. Silverman E, Jaeggi E. Non-cardiac manifestations
erythematosus. Scand J Immunol. Sep 2010;72(3):223-5.

of

neonatal

lupus

42. Hornberger LK, Al Rajaa N. Spectrum of cardiac involvement in neonatal lupus. Scand J
Immunol. Sep 2010;72(3):189-97.
43. Houssiau FA, Vasconcelos C, D'Cruz D, et al. The 10-year follow-up data of the EuroLupus Nephritis Trial comparing low-dose and high-dose intravenous
cyclophosphamide. Ann Rheum Dis. Jan 2010;69(1):61-4.
44. Appel GB, Contreras G, Dooley MA, et al. Mycophenolate mofetil versus
cyclophosphamide for induction treatment of lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. May
2009;20(5):1103-12.
45. Isenberg D, Appel GB, Contreras G, et al. Influence of race/ethnicity on response to lupus
nephritis treatment: the ALMS study. Rheumatology (Oxford). Jan 2010;49(1):128-40.
46. Houssiau FA, D'Cruz D, Sangle S, et al. Azathioprine versus mycophenolate mofetil for
long-term immunosuppression in lupus nephritis: results from the MAINTAIN Nephritis
Trial. Ann Rheum Dis. Dec 2010;69(12):2083-9.
47. Wolfe F, Marmor MF. Rates and predictors of hydroxychloroquine retinal toxicity in
patients with rheumatoid arthritis and systemic lupus erythematosus. Arthritis Care Res
(Hoboken). Jun 2010;62(6):775-84.
48. Griffiths B, Emery P, Ryan V, Isenberg D, Akil M, Thompson R, et al. The BILAG multicentre open randomized controlled trial comparing ciclosporin vs azathioprine in patients
with severe SLE.Rheumatology (Oxford). Apr 2010;49(4):723-32.
49. Tsokos GC. Systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 2011;365:2110-2121
50. Santer DM, Hall BE, George TC, et al. C1q deficiency leads to the defective suppression
of IFN- in response to nucleoprotein containing immune complexes. J
Immunol2010;185:4738-4749
51. Lood C, Gullstrand B, Truedsson L, et al. C1q inhibits immune complex-induced
interferon-alpha production in plasmacytoid dendritic cells: a novel link between C1q
deficiency
and
systemic
lupus
erythematosus
pathogenesis. Arthritis
Rheum2009;60:3081-3090
52. Duarte C, Couto M, Ines L, Liang MH. Epidemiology of systemic lupus erythematosus.
In: Lahita RG, Tsokos G, Buyon J, Koike T, eds. Systemic lupus erythematosus. 5th ed.
London: Elsevier, 2011:673-96.
37

53. Pons-Estel GJ, Alarcon GS, Scofield L, Reinlib L, Cooper GS. Understanding the
epidemiology and progression of systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis
Rheum2010;39:257-268
54. Moser KL, Kelly JA, Lessard CJ, Harley JB. Recent insights into the genetic basis of
systemic lupus erythematosus. Genes Immun 2009;10:373-379
55. Manolio TA, Collins FS, Cox NJ, et al. Finding the missing heritability of complex
diseases.Nature 2009;461:747-753
56. Niederer
HA, Clatworthy
MR, Willcocks
LC, Smith
KG.
FcgammaRIIB,
FcgammaRIIIB, and systemic lupus erythematosus. Ann N Y Acad Sci 2010;1183:69-88
57. Lahita RG, ed. Systemic lupus erythematosus. 5th ed. Boston: Elsevier, 2011.

38

Anda mungkin juga menyukai