Disusun Oleh
Nama : Umi Lestari
NIM
: A1C313025
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2015
Tes Standar
Apa Yang Dimaksud Tes Standar ?
Tes dalam dunia pendidikan dipandang sebagai salah satu alat pengukuran.
Oleh karena itu, dalam penyusunan tes melibatkan aturan-aturan (seperti petunjuk
pelaksanaan dan kriteria penskoran) untuk menetapkan bilangan-bilangan yang
menggambarkan kemampuan seseeorang. Dengan demikian, bilangan tersebut
dapat ditafsirkan sebagai pencerminan karakteristik peserta tes.1
Tes standar adalah suatu tes dimana semua siswa menjawab pertanyaanpertanyaan yang sama dari sebagian tes juga merupakan alat ukur berbentuk satu
set pertanyaan dikerjakan dengan mengikuti petunjuk yang sama.2
Tes standar adalah suatu tes yang memenuhi suatu persyaratan validitas,
reliabilitas, kepraktisan dan lainnya. Tes standar umunya dibuat oleh suatu tim
(guru, ahli psikologi, ahli bidang studi) yang sebelum diteskan, diuji dahulu
validitas, reabilitas, kepraktisan dan daya bedanya.3
Sedangkan tes standar atau tes yang dibakukan mencakup berbagai materi yang
lazimnya diajarkan di kebanyakan kelas.4
Suatu
tersebut memiliki keajegan hasil atau konsistensi. Jika suatu tes diberikan
kepada sekelompok subjek di satu waktu, dan diberikan kepada subjek
yang sama di lain waktu hasilnya sama atau relatif sama, maka dikatakan
tes tersebut memiliki reliabilitas tinggi.
Untuk mengetahui suatu tes reliabel atau tidak dapat ditempuh dengan cara
mencari koefisien reliabilitasnya yang dilambangkan dengan simbol r xx.
Koefisien reliabilitas dapat diestimasi dengan berbagai cara, antara lain
dengan teknik korelasi, teknik analisis varians skor, dan analisis varians
eror.7
2. Tes itu harus valid
Menurut Azwar pada tahun 1996 suatu tes adalah valid jika tes tersebut
mengukur apa yang seharusnya diukur. Misalnya untuk tes mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam harus benar-benar dan hanya mengukur hasil
belajar siswa dalam pelajaran itu, tidak boleh misalnya kemampuan
berbahasa Arab ikut diperhitungkan.
Untuk menyelidiki validitas suatu tes, ditempuh dengan mencari koefisien
validitas. Koefisien validitas dinyatakan oleh korelasi antara distribusi
skor tes yang bersangkutan dengan distribusi skor suatu kriteria. Kriteria
ini dapat berupa skor tes lain yang mempunyai fungsi ukur sama dan dapat
pula berupa ukuran-ukuran lain yang relevan.8
3. Tes itu harus objektif
Suatu tes adalah objektif jika tidak ada unsur-unsur subjektivitas individu
di dalamnya. Objektivitas suatu tes menyangkut dua hal, yaitu (a) yang
berhubungan dengan penskoran tes tersebut, dan (b) yang berhubungan
dengan interpretasi skor tersebut.9
4. Tes itu harus diskriminatif
7 Ibid, hal. 194
8 Ibid, hal. 194
9 Ibid, hal. 195
Suatu tes tersebut dapat diskriminatif jika tes itu disusun sedemikian rupa
sehingga dapat melacak (menunjukkan perbedaan antara siswa yang
mempunyai kemampuan tinggi dan siswa yang mempunyai kemampuan
rendah. Suatu tes dikatakan mempunyai daya diskriminasi yang tinggi jika
dijawab benar oleh semua atau sebagian besar siswa yang berkemampuan
tinggi dan tidak dapat dijawab dengan benar oleh semua atau sebagian
besar siswa yang berkemampuan kurang.10
5. Tes itu harus komprehensif
Suatu tes dikatakan komprehensif jika tes tersebut mencakup segala hal
yang harus diselidiki sesuai dengan tujuan tes. Misalnya, suatu tes hasil
belajar siswa dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, haruslah
dapat menguji penguasaan siswa terhadap semua materi pelajaran yang
telah diberikan, tidak hanya sebagian saja.11
6. Tes itu harus mudah digunakan
Suatu tes dikatakan mudah digunakan jika dalam penyelenggaraan
maupun penskoran tes tersebut tidak terjadi kesulitan yang berarti.
Misalnya, dalam bentuk tes pilihan ganda, petunjuk pengisiannya jelas dan
telah tersedia kunci jawabannya.12
Sebagai contoh, bila diketahui skor seorang siswa pada suatu tes membaca
adalah 79 maka sangat sedikit informasi yang didapat berkaitan dengan
kemampuan membaca siswa itu. Untuk menginterpretasikan secara bermakna atau
mendeskripsikan skor tes diperlukan pengetahuan tentang acuan penilaian.
Misalkan, dalam sebuah kelas terdapat 25 siswa dan skor 79 merupakan skor
tertinggi maka dapat dikatakan bahwa kemampuan siswa yang mendapat skor 79
merupakan yang terbaik di kelas itu dan terletak di atas rata-rata. Demikian pula
sebaliknya jika 79 merupakan skor terendah maka kemampuan siswa dengan skor
79 adalah di bawah rata-rata kemampuan siswa di kelas.14
knowledge kepada anak didik. Mengajar selalu berlangsung dalam suatu kondisi
yang disengaja untuk diciptakan untuk mengantarkan anak didik ke arah
kemajuan dan kebaikan. 16
Tetapi perlu diketahui bahwa mengajar tidak sama dengan mendidik.
Mengajar hanya sebatas menuangkan sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik
di kelas atau di ruangan tertentu. Sedangkan mendidik adalah suatu usaha yang
disengaja untuk membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia
susila yang cakap, aktif-kreatif dan mandiri. Karena itulah mendidik lebih dekat
dengan transfer of values. Ruang lingkup kegiatan mendidik lebih luas dari areal
kegiatan mengajar. Walaupun begitu, baik mengajar atau mendidik, keduanya
adalah tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. 17
Kemuliaan guru akan tercermin dalam kebaikan perilaku anak didik. Kebaikan
hati anak didik adalah sebagai manifestasi dari kebaikan pengajaran dan
pendidikan yang diberikan oleh guru. Sekolah sebagai panti rehabilitasi anak
merupakan laboratorium keilmuan bagi guru dalam mengajar dan membelajarkan
anak didik dalam perspektif keilmuan. Di tempat ini anak didik belajar bebas
terpimpin, aktif, kreatif, dan mandiri di bawah bimbingan dan pengawasan yang
mulia dari guru.18
untuk
mengetahui
aspek-aspek
kepribadian
anak.
sebagai pribadi yang bulat). Anak-anak bukan bejana seperti botol yang
serba sama yang harus kita isi dengan minuman atau zat lain, melainkan
merupakan makhluk hidup yang dapat bereaksi positif maupun negatif
19 Nasution, 2013. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar &
Mengajar. Bandung : Bumi Aksara. Hal. 122
20 Ibid, hal. 122
dan
konflik,
maka
dicarilah
usaha
agar
pelajaran
itu
menyenangkan dan mudah dilaksanakan. Tentu saja tak ada salahnya bila
pelajaran dapat dilakukan dalam suasana gembira, namun ini tidak berarti
bahwa anak-anak harus dijauhi kesukaran. Setiap pelajaran mengandung
unsur kesukaran. Mungkin makin berharga pelajaran itu, makin banyak
kesulitan yang harus dilalui untuk menguasainya. Ini tidak berarti bahwa
pelajaran harus dibuat sulit agar ada nilainya. Akan tetapi kesulitan tidak
dapat dielakkan untuk mempelajarinya banyak hal. Dalam hidupnya kini
dan kelak setiap anak menghadapi kesukaran dan ia harus belajar untuk
mengatasi sehingga kelakuannya berubah dan lebih mampu untuk
menghadapi kesukaran-kesukaran baru. 27
Hal-hal diatas itu tidak harus terjadi di kelas, guru harus mengambil
tindakan untuk menenangkan suasana kelas sehingga terjadi interaksi yang
kondusif antara guru dan anak didik. Salah satu usaha untuk memancing
perhatian anak didik adalah dengan menggunakan media yang merangsang
anak didik untuk berpikir, cara lainnya adalah menghubungkan yang akan
dijelaskan itu dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh anak didikbahan apersepsi. 31
2. Prinsip Aktivitas
Dalam proses belajar mengajar, aktivitas anak didik yang
diharapkan tidak hanya aspek fisik, melainkan juga aspek mental. Anak
didik bertanya, mengajukan pendapat, mengerjakan tugas, berdiskusi,
menulis, membaca, membuat grafik, dan mencatat hal-hal penting dari
penjelasan guru, merupakan sejumlah aktivitas anak didik yang aktif
secara mental maupun fisik. Di sini aktivitas anak didik lebih banyak
daripada aktivitas guru. Guru hanya pembimbing, dan sebagai fasilitator
dari aktivitas belajar anak didik di kelas. 32
3. Prinsip Apersepsi
Apersepsi adalah salah satu prinsip mengajar yang ikut membantu
anak didik memproses perolehan belajar. Prinsip ini bukan hanya dapat
membantu anak didik untuk melakukan asosiasi, tetapi juga dapat
mengadakan reproduksi terhadap pengalaman belajar. Sebab dengan
prinsip ini, guru berusaha membantu anak didik dengan cara
menghubungkan pelajaran yang sedang diberikan dengan pengetahuan
yang telah dipunyai oleh anak didik. Proses pengolahan kesan lebih mudah
dan cepat. Pengertian yang didapatkan anak didik pun tidak berkotakkotak, seolah-olah terpisah satu sama lain. 33
4. Prinsip Peragaan
31 Ibid, hal. 75
32 Ibid, hal. 76
33 Ibid, hal. 76
pada
bahan
pokok
pelajaran,
bahasan
guru
tertentu.
harus
Jangan
memberikan
motivasi
kepada
anak
didik
dalam
bekajar.
attentional set sikap memperhatikan pada anak, sehingga perhatian juga diatur
secara intern oleh anak itu, sehingga anak itu dapat memberi perhatiannya,
walaupun ada hal-hal lain yang menarik perhatiannya. Untuk itu anak itu harus
telah mempelajari sejumlah Ss-R yang dapat mempengaruhi kelakuannya agar
terus memberi perhatian kepada pelajaran.42
Untuk memupuk perhatian pada anak-anak kecil ada yang menganjurkan
digunakan reinforcement berupakan misalnya gula-gula, kemudian dapat
diberikan ganjaran simbolis seperti pujian, angka yang baik. Attentional Set
dapat pula dipupuk dengan memberi kesempatan kepada anak untuk memberikan
respons dan anak-anak suka melakukannya. Selain itu pelajaran dimulai dengan
yang mudah, seperti rangkaian pendek dan kemudian rangkaian yang lebih
panjang. Anak-anak juga suka meneliti dan memperluas ruang lingkup
pengamatannya atas lingkungannya yang dapat dimanfaatkan dalam membina
set perhatiannya. 43
Motivasi Belajar
Motivasi kelakuan manusia merupakan topik yang sangat luas. Banyak macam
motivasi dan para ahli meneliti tentang bagaimana asal dan perkembangannya dan
menjadi suatu daya dalam mengarahkan kelakuan seseorang. Motivasi diakui
sebagai hal yang sangat penting bagi pelajaran di sekolah. Setidaknya anak itu
harus mempunyai motivasi untuk belajar di sekolah. Anak-anak kecil tidak semua
suka ke sekolah, bahkan anak-anak yang lebih besar pun ada juga sebenarnya
kurang menyukai sekolah, sekalipun mereka tidak membenci segala bentuk
pelajaran. Sebaliknya diharapkan agar anak-anak mempunyai motivasi untuk
belajar agar ia dapat melakukan sesuatu.
Ada sejumlah tokoh yang meneliti soal motivasi belajar ini. Hewitt (1986)
mengemukakan bahwa attentional set merupakan dasar bagi perkembangan
motivasi yakni yang bersifat sosial, artinya anak itu suka bekerja sama dengan
42 Ibid, hal. 180
43 Ibid, hal. 180
fase
dan
operasional formal. Pada suatu saat anak itu dapat berpikir logis bila dihadapkan
dengan peristiwa yang konkrit, akan tetapi ia tidak mampu memperlihatkan
pemikiran logis bila menghadapi masalah yang mengandung unsur-unsur
simbolis.46
Dapat juga dikatakan, bahwa perbedaan dalam perkembangan kesiapan anak
disebabkan oleh perbedaan dalam ketrampilan intelektual yang telah dipelajari
sebelumnya. Dengan demikian perlulah dipenuhi prasyarat untuk melakukan
44 Ibid, hal. 181
45 Ibid, hal. 183
46 Ibid, hal. 183
tugas atau memecahkan masalah tertentu. Pada prinsipnya seorang anak kelas
empat SD dapat diajarkan berpikir abstrak asal ia menguasai prasyarat-prasyarat
untuk itu. Anggapan sekarang ialah bahwa anak-anak dapat mempelajari hal-hal
yang dulunya diundurkan sampai usia yang lebih tinggi. Dalam matematika
misalnya pada tingkat rendah di SD telah diajarkan pengertian pengertian aljabar
dan matematika lainnya yang dahulu baru diberikan kepada murid-murid SMP.47
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (1988). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Penerbit Bina
Jakarta : Aksara.
Bahri Djamarah, Syaiful. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Khodijah, Nyayu. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Kusaeri & Suprananto. 2012. Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakart :
Graha Ilmu.
Nasution, 2013. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar.
Bandung : Bumi Aksara.
Rusyan,T.1993.Evaluasi Dalam Proses Belajar Mengajar.Bandung: Bina Budaya
Santrock, John W. 2004. Psikologi Pendidikan edisi kedua. Jakarta : Prenada
Media Group