Anda di halaman 1dari 12

MENJADI KEPALA SEKOLAH PROFESIONAL

OLEH : Drs. H. Inayatulah, M..Pd


A. Latar Belakang
Kelemahan terbesar dari lembaga pendidikan di Indonesia adalah karena tidak
mempunyai basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya
dikembangkan berdasarkan model ekonomi untuk menghasilkan sumber daya manusia
pekerja ( abdi dalam ) yang sudah dirancang menurut tata nilai ekonomi yang berlaku
( kapitalistik ) ( Mubiato, 2002 : 98 ).
Dengan demikian tidak mengherankan bila keluaran pendidikan hanya ingin
menjadi manusia pencari kerja dan tidak berdaya, bukan manusia kreatif pencipta
keterkaitan kesejahteraan dalam siklus rangkai manfaat yang beraneka ragam. Untuk
mendorong terjadinya upaya pembudayaan di lembaga pendidikan ini adalah meletakkan
basis budayana yang mengakar pada sumber nilai setempat yang utuh mencakup semua
aspek kemanusiaan, sehingga membuka peluang pengembangannya sesuai dengan
kreatifitas dan inisiatif yang dikelola dalam lembaga pendidikan itu.
Menjadi

Kepala

Sekolah

Profesional

idealnya

harus

memahami

secara

komprehensif bagaimana kinerja dan kemampuan manajerialnya dalam memimpin sebuah


sekolah sehingga sekolah itu bernuansa

sekolah yang berbudaya. Dengan demikian

diharapkan alumni sekolah itu memilikibudaya yang jelas sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Dengan demikian, Made Pidarta ( 1994 : 145 ), mengatakan bahwa di lembaga
pendidikan itu siswa harus (1) memahami sosiologi dan pendidikan, (2) Kebudayaan dan
pendidikan, (3) Masyarakat dan sekolah , (4) Masyarakat Indonesia dan pendidikan, dan
(5) Dampak konsep pendidikan.
Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Dengan demikian bidang
pendidikan adalah bidang yang menjadi tulang punggung pelaksanaan pembangunan
nasional. Tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia adalah membentuk manusia
seutuhnya yang Pancasilais ( UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 ), dimotori oleh
pengembangan afeksi. Tujuan khusus ini hanya bias ditangani dengan ilmu pendidikan
bercorak Indonesia sesuai dengan kondisi Indonesia dan dengan penyelenggaraan
pendidikan yang memakai konsep sistem.

Oleh karena itu Kepala sekolah harus : (a) memiliki wawasan jauh kedepan (visi)
dan tahu tindakan apa yang harus dilakukan (misi) serta paham benar tentang cara yang
akan ditempuh (strategi); (b) memiliki kemampuan mengkoordinasikan dan menyerasikan
seluruh sumberdaya terbatas yang ada untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi
kebutuhan sekolah (yang umumnya tak terbatas); (c) memiliki kemampuan mengambil
keputusan dengan terampil (cepat, tepat, cekat, dan akurat); (d) memiliki kemampuan
memobilisasi sumberdaya yang ada untuk mencapai tujuan dan yang mampu menggugah
pengikutnya untuk melakukan hal-hal penting bagi tujuan sekolahnya; (e) memiliki
toleransi terhadap perbedaan pada setiap orang dan tidak mencari orang-orang yang mirip
dengannya, akan tetapi sama sekali tidak toleran terhadap orang-orang yang meremehkan
kualitas, prestasi, standar, dan nilai-nilai; (f) memiliki kemampuan memerangi musuhmusuh kepala sekolah, yaitu ketidakpedulian, kecurigaan, tidak membuat keputusan,
mediokrasi, imitasi, arogansi, pemborosan, kaku, dan bermuka dua dalam bersikap dan
bertindak.
1.1 Perumusan Masalah
Sumberdaya

meliputi

sumberdaya

manusia

dan

sumberdaya

selebihnya.

Sumberdaya manusia terdiri dari sumberdaya manusia jenis manajer/pimpinan dan


sumberdaya manusia jenis pelaksana. Sedang sumberdaya selebihnya meliputi uang,
peralatan, perlengkapan, bahan, bangunan, dsb. Yang perlu digarisbawahi, agar sekolah
berjalan dengan baik, diperlukan kesiapan sumberdaya, terlebih-lebih sumberdaya
manusia. Kesiapan sumberdaya manusia = kesiapan kemampuan + kesiapan
kesanggupan.

Kesiapan

kemampuan

menyangkut

kualifikasi,

sedang kesiapan

kesanggupan menyangkut pemenuhan kepentingan sumberdaya manusia. Jika pemimpin,


anak buah, staf, kepala, ketua, bawahan, pembantu pimpinan dan apapun peran dan
jabatan yang disandang seseorang, mampu melaksankan tugas, peran serta fungsinya
sesuai dengan tanggungjawabnya. Diyakini kasus-kasus yang berhubungan dengan
lemahnya manajemen organisasi/kelembagaan akan dapat direduksi.
Seseorang akan dihargai profesionalitasnya, kepribadiannya dan bahkan kinerjanya
apabila ia mampu mengahsilkan produktifitas kerja yang senantiasa berada dalam track
record yang baik, mampu melaksanakan kewajibannya secara ajeg sesuai dengan track
yang harus ia lewati.

Bukankah apabila kita ingin ketahuan siapa diri kita sesungguhnya maka kita harus
berbuat sebanyak-banyaknya berbuat .
Ada beberapa kiat untuk menata sisrtem manajemen kelembagaan yang efektif :
1. Bangunlah manajemen kelembagaan berdasarkan komunikasi yang baik.
Komunikasi yang interaktif, dialogis, tidak underpressure, tapi komunikasi yang
dibangun atas dasar komitmen dan pengertian yang bisa diterima oleh semua
pihak. Komunikasi jenis ini bisa dijalin melalui pengembangan sistem budaya
kerja yang tidak mengutamakan kekuasaan tapi cenderung lebih mengutamakan
kekeluargaan, silaturahmi dan rasa memiliki yang tinggi dari semua pihak
terkait ( Stake holders dan share holders )
2. Membangun kondisi organisasi yang bisa menciptakan kepuasan (Satisfaction)
dari semua pihak. Jadilah pemimpin yang bijak, berlaku adil, familiar, terbuka,
mau dikritik, jujur, demokrasi dan bertanggung jawab, sebaliknya jadilah
bawahan yang sebaik-baiknya bawahan.
3. Memulai perubahan dari diri kita masingmasing.
Jangan mengharapkan orang lain mangubah sesuat yang telah ada.
Inisiatif harus dari diri kita.
Bukankah jika inginmengubah dunia maka harus dimulai dari mengubah diri
sendiri, dan yang terpenting ubahlah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin
dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.
4. Banyak berkarya dan berbuat.
Produktifitas dan kinerja kita akan diukur dari kuantitas dan kualitas dari apa
yang telah kita lakukan.
5. Belajar dan belajar terus memahami dan mengerti orang lain.
Jangan egois, jangann menganggap bahwa diri kita penting dimata orang lain,
belum tentu orang lain butuh kita.
6. Menjaga hati dan mulut kita.
Menjaga hati dari fikiran-fikiran negatif terhadap orang lain, dan menjaga mulut
agar senantiasa mencerminkan beapa bersihnya diri kita. Jagalah mulutmu,
karena mulutmu adalah pedangmu dan bahkan harimaumu.
7. Memahami diri sendiri.

Memahami dan mengerti siapa diri kita seindiri melulaui analisiss diri, analisis
posisi, bukankan musuh yang paling bersar di dunia ini adalah diri kita sendiri.
8. Mau dikrtik oleh orang lain.
Demi kemajuan kita harus senantiasa mau dikritik oleh orang lain, terbuka
terhadap saran dan pendapat orang lain dan bahkan mampu memenej kritik itu
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan kita.

2. Defenisi Konseptual Menjadi Kepala Sekolah Profesional


Berdasarkan semantiknya, Anton Muliono ( 1989 : 702 ), mengemukakan bahwa
Profesi, adalah bidang pekerjaan yang dilandasai pendidikan keahlian ( ketrampilan,
kejuruan ) tertentu, Profesional, adalah memerlukan kepandaian khusus untuk
menjalankannya, Profesionalisme, adalah sifat professional, dan profesionalisasi adalah
proses membuat suatu badan menjadi professional. Sedangkan, proteksi, adalah
perlindungan hukum secara juridis formal. Selanjutnya, A.S Hornby ( 1952 : 989 ), said
that professionalism is The mark or qualities of a profession. Dari kutipan di atas, dapat
disimpulkan bahwa profesionalisme mencakup, antara lain ; budaya profesi, kualifikasi,
kompetensi, ketrampilan, komitmen, konsitensi, etos kerja, kode etik dan dedikasi.
Profesi guru, adalah karya profesi. Engkoswara ( 2004 : 29 ) mengatakan bahwa
karya profesi memerlukan kemampuan dasar, yakni ; membaca dan belajar sepanjang
hayat, etos dan etika kerja, dan ketrampilan nalar dan ketrampilan tangan. Guru sebagai
tenaga kependidikan wajib dan mutlak memiliki karya profesi tersebut, sehingga dengan
memiliki ketrampilan dasar itu, maka seorang guru akan menjadi professional. Seorang
guru akan professional , jika memiliki sifat pribadi manusia Indonesia. Lebih lanjut,
Engkoswara ( 2004 : 31 ), mengatakan bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu
memiliki, yakni ; (1) Budaya Utama ( sehat, baik dan jujur ), (2) Budaya Profesi ( cerdas,
terampil, dan ahli, (3) Budaya Penyerta ( indah ), sedangkan sifat manusia Indonesia,

adalah, (1) sifat utama ( sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan
penuh disiplin, (2) sifat profesi ( cerdas, produktif, dan professional ), dan (3) sifat
penyerta ( kreatif ).
Profesional dapat berkembang menjadi jabatan professional, sejalan dengan itu
Komarudin ( 2000 : 205 ), mengatakan bahwa professional berasal dari bahasa Latin, yaitu
Profesia yang berarti ; pekerjaan, keahlian, jabatan, jabatan guru besar. Demikian
halnya kepala sekolah, adalah merupakan jabatan fungsional yang diberi sebagai tugas
tambahan sebagai kepala sekolah. Dengan demikian muncullah terminology bagaimana
menjadi kepala sekolah professional.
Terminologi professional melahirkan teriminologi baru, yakni profesionalisme.
Freidson ( 2970 : 28 ), mengemukakan bahwa profesionalisme adalah sebagai komitmen
untuk ide-ide professional dan karier. Secara operatif, Syaiful ( 2002 : 199 ) menegaskan
bahwa profesionalisme memiliki aturan dan komitmen jabatan keilmuan teknik dan jabatan
yang akan diberikan kepada pelayan masyarakat agar secara khusus pandangan-pandangan
jabatan dikoreksi secara keilmuan dan etika sebagai pengukuhan terhadap profesionalisme.
Profesionalisme tidak dapat dilakukan atas dasar perasaan, kemauan, pendapat atau
semacamnya, tetapi benar-benar dilandasi oleh pengetahuan secara akademik.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat dirumuskan bahwa yang disebut Kepala
Sekolah professional harus dapat membedakan mana ilmu yang esensial berkaitan dengan
disiplin ilmunya dan tidak esensial sesuai dengan tuntutan professional. Sehubungan
dengan terminology itu, Paure ( 1972 : 25 ), menegaskan bahwa professional harus
mereduksi lama pendidikan untuk memberikan kualifikasi bagus tanpa mengurangi standar
dan metodologi pengajaran yang tepat, percepatan proses belajar, menyeleksi ilmu yang
diberikan.
3. Korelasi Profesional Dengan Sosial Budaya
Sekolah harus memperhatikan pengembangan nilai-nilai pada diri peserta didik di
sekolah. Karena salah satu fungsi sekolah adalah untuk memperbaiki mental anak-anak,
seperti harapan yang disampaikan oleh Coleman. Sekolah berfungsi sebagai alat
kontrol social dan perubahan social.
Menjadi kepala sekolah professional harus memperhatikan banyak hal dalam diri
siwa selama dalam lingkungan sekolah. Made ( 1994 : 156 ), mengemukakan bahwa
sosiologi atau sosiologi pendidikan dapat dideskripsikan sebagai berikut ; (1) Sosiologi

menunjukkan pentingnya kegiatan sosialisasi anak-anak dalam pendidikan, (2)


Memberikan bantuan dalam upaya menganalisis proses sosialisasi anak-anak. Seperti
konsep tentang interaksi social, kontak social, komunikasi, bentuk social, dan sebagainya,
(3) Kelompok social dan lembaga masyarakat dengan berbagai bentuknya, termasuk
sekolah, (4) Dinamika kelompok, yang sudah tentu berlaku juga dalam dunia pendidikan,
(5) Konsep-konsep untuk mengembangkan kelompok social dan lembaga-lembaga
masyarakat, (6) Nilai-nilai yang ada di masyarakat serta keharusan sekolah untuk
mengembangkan aspek itu pada diri siswa, (7) Peranan pendidikan dalam masyarakat, dan
(8) Dukungan masyarakat terhadap pendidikan.
Memahami akan hal itu, para pendidik ( guru ) dan kepala sekolah professional
hendaklah menantang diri agar proses pendidikan di sekolah tidak ketinggalan zaman, agar
dapat membantu siswa berpacu antarteman sekelas atau dengan yang lainnya. Dengan
demikian guru dan kepala sekolah harus meningkatkan profesinya agar memiliki kualitas
yang sejajar dengan para pendidik di negara-negara maju. Misalnya di Amerika, Jepang
dan negara maju lainnya.
3.2 Korelasi Profesi Dengan Budaya
Engkoswara ( 2004 : 31 ), mengatakan bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia
itu memiliki, yakni ; (1) Budaya Utama ( sehat, baik dan jujur ), (2) Budaya Profesi
( cerdas, terampil, dan ahli, (3) Budaya Penyerta ( indah ), sedangkan sifat manusia
Indonesia, adalah, (1) sifat utama ( sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme,
tangguh dan penuh disiplin, (2) sifat profesi ( cerdas, produktif, dan professional ), dan (3)
sifat penyerta ( kreatif ).
Untuk merealisasikan sifat dan budaya tersebut di kalangan pendidikan, tenaga
kependidikan mutlak memilikinya dan mampu menatanya dengan harmonis di dalam
kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya,
bahwa sifat dan budaya manusia Indonesia itu harus tercermin dalam keseharian guru baik
di sekolah maupun di luar sekolah ( di rumah ). Engkoswara ( 2004 : 63 ), mengemukakan
dalam menegakkan budaya harmoni ada tiga nilai praksis ( aktual ) yang harus ditata
secara harmoni, yakni (1) Budaya Utama, adalah budaya atau nilai yang berlaku bagi kita

semua orang sebagai mahluk Tuhan Yang Mahaesa yang mempunyai cirri universal, yang
mempunyai hak dan kewajiban yang relatif bersamaan, (2) Budaya profesi, adalah nilai
yang berlaku bagi manusia sebagai mahluk sosial yang mempunyai karakteristik yang
bersamaan dalam kelompok-kelompok tertentu, dan (3) Budaya penyerta, adalah nilai yang
berlaku bagi manusia sebagi mahluk pribadi yang bersifat unik dan hakiki.
Tahapan perkembangan yang harus ditempuh dalam suatu proses profesionalisasi
adalah terkait dengan sejumlah pelayanan. Kepala sekolah professional harus dapat
mengkomunikasikan segala tugas pokok dan fungsinya dalam manajemen sekolah. Fungsi
manajemen sekolah harus dapat diberdayakan seoptimal mungkin sesuai dengan standar
kompetensi yang dimiliki sebagi pimpinan ( manajer ). Pendidikan adalah enkultusasi.
Manan ( 1989 : 79 ), mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu proses membuat
orang kemasukan budaya, membuat orang berperilaku mengikuti budaya yang memasuki
dirinya. Enkulturasi ini terjadi di mana-mana, disetiap tempat hidup seseorang dan setiap
waktu. Dalam hal inilah akan muncul pengenalan kurikulum yang sangat luas, yaitu semua
lingkungan tempat hidup manusia. Suatu budaya sesungguhnya merupakan bahan masukan
atau pertimbangan bagi anak dalam mengembangkan dirinya. Ada kalanya bagioan budaya
akan dipakai terus, ada kalanya diperbaiki dan ada kalanya dibuang atau diganti dengan
yang baru. Hal ini tergantung bagaimana pembinaan pendidik, pengaruh lingkungan, dan
hasil penilaian anak itu sendiri.
Kepala sekolah professional harus cerdas dan intelek serta bijaksana. Sebagai
kepala sekolah dengan fungsinya sebagai manajer di sekolah harus memperhatikan cirriciri profesionalisasi. Robert W. Rihe ( 1974 : 87 ), mengemukakan bahwa cirri-ciri
profesionalisasi jabatan fungsional ada 7, antara lain ; (1) Kepala sekolah bekerja sama dan
tidak semata-mata hanya memberikan pelayanan kemanusiaan bukan usaha untuk
kepentingan pribadi, (2) Memiliki pemahaman serta ketrampilan yang tinggi, (3) Memiliki

lisensi hokum dalam memimpin sekolah, (4) Memiliki publikasi yang dapat melayani para
guru sehingga tidak ketinggalan zaman, (5) Mengikuti aneka kegiatan seminar pendidikan
( workshop ), (6) Jabatannya sebagai suatu karier hidup, dan (7) Meiliki nilai dan etika
yang berfungsi secara nasional maupun local.
Kinerja dan produktifitas kepala sekolah professional harus dapat diukur dengan
para meter yang ada, yakni standar pelayanan minimal. Standar pelayanan minimal
mengacu kepada konteks sisial budaya pendidikan yang ada di sekolah. Misalnya, sekolah
berbasis budaya lingkungan. Sekolah bernuansa basis lingkungan budaya dapat tampak
dalam pengelolaan lingkungan sekolah. Misalnya dengan penanaman aneka tanaman
rindang atau pembuatan apotek dan warung hidup di lingkungan sekolah. Sekolah akan
tampak rindang dan sejuk sehingga warga sekolah dapat menikmati lingkungan dengan
nyaman dan teduh sehingga warga sekolah akan merasa betah di sekolah dalam berbagai
situasi yang ada.
Kegiatan manajerial sekolah yang biasanya mencakup dalam lingkup manajemen
pendidikan. Komponen manajemen pendidikan meliputi 5-M, yakni ; Sumber daya
manusia ( Man ), finasial ( Money ), substansi ( Material ), metode ( Method ), dan
Fasilitas ( Machine ). Kepala sekolah sebagai sumber daya manusia yang professional
harus mampu mengelola sekolah sesuai dengan fungsi sekolah sebagai wiyata mandala.
Kepala sekolah sebagai manajer harus mampu mengelola keuangan sebagai pembiayaan
pendidikan di sekolah baik pembiayaan langsung maupun pembiayaan tidak langsung .
Kepala sekolah sebagai guru harus mampu memerikan bimbingan kepada semua warga
sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Kepala sekolah fungsinya sebagai
pimpinan harus mampu metode kepemimpinan atau model kepemimpinannya yang layak
dan pantas diterapkan sesuai dengan norma, dan demikian juga kepala sekolah sebagai

pimpinan harus mampu memberdayakan semua fasilitas yang ada dalam menunjang
kemajuan pendidikan di sekolah.
Korelasi trugas pokok dan fungsi kepala sekolah dalam tatanan manajerial sekolah,
idealnya mampu mengimplementasikan gaya kepemimpinannya sesuai dengan budaya
sekolah. Kepala sekolah professional harus mampu mendorong semua warga sekolah
untuk melestarikan budaya sekolah sehingga tercermin dalam setiap perilaku atau sikap
warga sekolah dalam kehidupan sehari-harinya. Motivasi intrinsic akan mendorong kepala
sekolah untuk terus berpacu dalam menggalakkan budaya sekolah. Demikian halnya
motivasi ekstrinsik akan mendukung kepemimpinan kepala sekolah demi terciptanya
budaya sekolah dengan sistem social yang ada pada komunitas sekolah dan masyarakat
( orang tua ).
Kesimpulan
Menjadi Kepala Sekolah professional harus memelihara budaya sekolah dengan
sistem social yang ada dalam warga sekolah dalam konteks social budaya pendidikan di
masyarakat. Sosial budaya pendidikan. Sosial budaya dan pendidikan dapat dideskripsikan,
sebagai berikut :
1. Kebudayaan adalah cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan manusia itu
sendiri sebagai warga masyarakat.
2. Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia, adalah : penerus keturunan dan
pengasuh

anak,

pengembang

kehidupan

berekonomi,

transmisi

budaya,

meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, pengendalian social
dan rekreasi
3. Isi kebudayaan, antara lain ; gagasan, ideology, norma, teknologi, ilmu, kesenian,
kepandaian, dan benda

4. Kepala sekolah professional adalah kepala sekolah yang memegang teguh nilai dan
etika serta budaya profesi sesuai dengan konteks social budaya pendidikan di
masyarakat
5. Sifat dan budaya manusia Indonesia itu memiliki, yakni ; (1) Budaya Utama ( sehat,
baik dan jujur ), (2) Budaya Profesi ( cerdas, terampil, dan ahli, (3) Budaya
Penyerta ( indah ), sedangkan sifat manusia Indonesia, adalah, (1) sifat utama
( sehat, iman, taqwa, berbudi pekerti luhur, patriorisme, tangguh dan penuh disiplin,
(2) sifat profesi ( cerdas, produktif, dan professional ), dan (3) sifat penyerta
( kreatif ).
6. Di kalangan pendidikan, tenaga kependidikan mutlak memilikinya dan mampu
menatanya dengan harmonis di dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya
bagi guru dalam menjalankan rutinitasnya, bahwa sifat dan budaya manusia
Indonesia itu harus tercermin dalam keseharian guru baik di sekolah maupun di luar
sekolah ( di rumah ).
7. Dalam menegakkan budaya harmoni ada tiga nilai praksis ( aktual ) yang harus
ditata secara harmoni, yakni (1) Budaya Utama, adalah budaya atau nilai yang
berlaku bagi kita semua orang sebagai mahluk Tuhan Yang Mahaesa yang
mempunyai cirri universal, yang mempunyai hak dan kewajiban yang relatif
bersamaan, (2) Budaya profesi, adalah nilai yang berlaku bagi manusia sebagai
mahluk sosial yang mempunyai karakteristik yang bersamaan dalam kelompokkelompok tertentu, dan (3) Budaya penyerta, adalah nilai yang berlaku bagi
manusia sebagi mahluk pribadi yang bersifat unik dan hakiki.
Saran
Menjadi Kepala Sekolah professional idealnya menjunjung tinggi budaya profesi.
Dengan budaya profesi, kepala sekolah tersebut sudah memiliki ke-7 ciri-ciri jabatan

10

fungsional yang tertuang dalam profesionalisasi. Profesionalisme wajib ditingkatkan agar


kualifikasi yang dimilikinya dapat tercermin dalam manajerial serta gaya kepemimpinan
yang dimilikinya. Dengan demikian, Kepala Sekolah professional akan lebih tampil
percaya diri dalam mengelola sekolah secara professional sesuai dengan sistem social
budaya pendidikan yang ada dalam komunitas pendidikan formal.

11

BIBLIOGRAFI
Coleman, 1997. Strategic Learning. Third Edition, The University Chicago Press,
USA.Prentice Hall
Engkoswara. 2004. Iman Ilmu Amaliah Indah.Bandung : Yayasan Amal Keluarga.
Hornby, A.S. 1958. The Advanced Leaners Dictionary of Curent English. London :
Oxford University Press., Amen House.
Ikezawa, Tatsuo. (1993). Effective TQC : How to Make Quality Assurance More than a
Slogan. Tokyo : PHP Institute, INC.
Made, 1994. Landasan Kependidikan. Bandung : Rineka Cipta
Muliono, Anton,. 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.
Nasution. 1989. Metodologi Pembelajaran Tuntas. Jakarta. Judhistira, Jilid I.
Piyami, Bull. 1987. Becoming An Educator. New York : University of North Carolina
Tilaar, H.A.R., 1992. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung : Rosda Karya.
Undang-Undang RI N0. 2 tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan nasional
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

12

Anda mungkin juga menyukai