Anda di halaman 1dari 235

maria ulfah

Rabu, 02 November 2011


LAPORAN MAGANG BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias sp.)

LAPORAN MAGANG
BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias sp.)
Kelompok Minatani di Desa Sumur bandung Kp. Saradan RT 015/002
Kec. Jayanti Kab. Tangerang.

DI SUSUN OLEH
Semester IV.A
Team Budidaya :

1. Adelaide M.U

(4443090564)

2. Ida Nurlaela sari

(4443090566)

3. Nur Haryanti

(4443090768)

4. Mega mawarni

(4443091412)

5. Siti Lulu A.M

(4443091070)

6. Dedi hermansyah

(4443091366)

7. Wahyu widiyanto

(4443090645)

8. M. Isep Nur hamid

(4443090747)

PERIKANAN/FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kita kesehatan
jasmani maupun rohani. Tak lupa shalawat serta salam kita junjungkan kepada nabi besar
Muhammad SAW. karena dialah merupakan satu-satunya suri tauladan terbaik yang harus kita
contoh sampai dengan zaman sekarang ini.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen jurusan perikanan yaitu Bapak Forcep rio
indaryanto S.pi yang telah mengarahkan kami untuk magang mengenai budidaya ikan lele
sangkuriang (Clarias sp.) di Desa Sumur bandung Kp. Saradan RT 015/002 Kec. Jayanti Kab.
Tangerang. Selama 12 hari mulai dari tanggal 1 sampai tanggal 12 februari 2011 selama mengisi
waktu liburan semester III dan juga kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Suryanah selaku
ketua kelompok Minatani yang sudah memberikan pembelajaran budidaya ikan lele sangkuriang
(Clarias sp.)
Alhamdulilah laopran magang ini dapat terselesaikan. Dalam melaksanakan dan menyusun
laopran ini kami banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada laporan
ini, penyusun berusaha mengungkapkan mengenai kegiatan magang budidaya ikan lele
sangkuriang (Clarias sp.). Kami menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari

kesempurnaan baik bentuk, isi dan penyusunannya, Dengan senang hati kami menerima saran
dan kritikan yang bersifat membangun dan diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca
terutama mahasiswa/mahasiswi Universitas Sultan AgengTtirtayasa Fakultas Pertanian jurusan
Perikanan.

Serang, 18 Maret 2011


PENYUSUN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.1.1

Pengertian kelompok ............................................................................. ........ 1

1.1.2

Kelompok Minatani ........................................................................................ 5

1.2. Tujuan

11

1.3. Waktu dan tempat .......................................................................................... 11


BAB II PEMBAHASAN
2.1. Deskripsi ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)......................................... 12
2.2. Budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)......................................... 14
2.3. Kebijakan pengembangan usaha budidaya
ikan lele sangkuriang (Clarias sp.).......................................................... 16
2.4. Manajemen pembenihan ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)................. 18

2.5. Teknik pembenihan ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)......................... 20


2.6. Penggunaan pakan yang tepat untuk efesiensi biaya
produksi budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)...........................29
2.7. Manajemen kesehatan ikan dan lingkungan............................................ 32
2.8. Penyakit pada ikan lele (Clarias sp.)...................................................... 34
2.9. Analisa usaha ikan lele sangkuriang (Clarias sp.).................................. 37
BAB III KEGIATAN MAGANG KEPADA KELOMPOK MINATANI (Ibu Suryanah) BUDIDAYA
IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias sp.)
3.1. Pembelajaran persyaratan lokasi/dasar kolam................................................. 39
3.2. Kegiatan pemberian pakan .............................................................................. 42
3.3. Kegiatan pemanenan ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) .............................. 44
3.4. Analisa usaha budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) .............. 47
3.5. Materi dan praktek teknik pemijahan ikan lele
sangkuriang (Clarias sp.) ................................................................................ 49
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan ...........................................................................................64
4.2. Saran .....................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... iv

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Beberapa waktu yang lalu selama mengisi liburan semester III (ganjil). Kami
mengadakan kegiatan magang yang tergabung dalam team budidaya di Jurusan Perikanan
Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Kelompok kami mendapatkan
tempat untuk magang pada Kelompok Minatani Budidaya Ikan Lele Sangkuriang (Clarias
sp.).
1.1.1. Pengertian kelompok
Menurut Wekley dan Yulk (1977) mengemukakan bahwa kelompok merupakan
suatu kumpulan orang yang berinteraksi satu sama lain secara teratur dalam suatu periode
tertentu, dan merasakan adanya ketergantungan diantara mereka dalam rangka mencapai
satu atau lebih tujuan bersama.
Faktor-faktor pembentuk kelompok :
a. Kedekatan

Pengaruh tingkat kedekatan, atau kedekatan geografis, terhadap keterlibatan seseorang dalam
sebuah kelompok tidak bisa diukur. Kita membentuk kelompok bermain dengan orang-orang di
sekitar kita. Kita bergabung dengan kelompok kegiatan sosial lokal. Kelompok tersusun atas
individu-individu yang saling berinteraksi. Semakin dekat jarak geografis antara dua orang,
semakin mungkin mereka saling melihat, berbicara, dan bersosialisasi. Singkatnya, kedekatan
fisik meningkatkan peluang interaksi dan bentuk kegiatan bersama yang memungkinkan
terbentuknya kelompok sosial. Jadi, kedekatan menumbuhkan interaksi, yang memainkan
peranan penting terhadap terbentuknya kelompok pertemanan.
b. Kesamaan
Pembentukan kelompok sosial tidak hanya tergantung pada kedekatan fisik, tetapi juga kesamaan
di antara anggota-anggotanya. Sudah menjadi kebiasaan, orang leih suka berhubungan dengan
orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya. Kesamaan yang dimaksud adalah kesamaan
minat, kepercayaan, nilai, usia, tingkat intelejensi, atau karakter-karakter personal lain.
Kesamaan juga merupakan faktor utama dalam memilih calon pasangan untuk membentuk
kelompok sosial yang disebut keluarga.
c. Pembentukan norma kelompok
Perilaku kelompok, sebagaimana semua perilaku sosial, sangat dipengaruhi oleh norma-norma
yang berlaku dalam kelompok itu. Sebagaimana dalam dunia sosial pada umumnya, kegiatan
dalam kelompok tidak muncul secara acak. Setiap kelompok memiliki suatu pandangan tentang
perilaku mana yang dianggap pantas untuk dijalankan para anggotanya, dan norma-norma ini
mengarahkan interaksi kelompok.
d. Waktu dan zaman
Kelompok itu tidak terbentuk dengan sendiri tetapi ada suatu proses di dalamnya dan mengalami
modifikasi dari waktu ke waktu sehingga terbentuklah suatu kelompok yang kongkrit dalam hal
itu terbentuknya suatu kelompok membutuhkan waktu yang tidaklah sebentar.
e. Sebab dan tujuan
Kelompok itu tidaklah mungkin terbentuk tanpa adanya suatu tujuan tertentu, sehingga tujuan
dari kelompok itu menjadi dasar terbentuknya kelompok tersebut dan juga mungkin menjadi
simbol dari kelompok itu. Ex: Bonek terbentuk dengan tujuan supaya permainan bola persebaya
di lapangan baik.
f. Sifat dari anggota kelompok

Karena kesamaan sifat dari anggota kelompok itulah kelompok terbentuk.Kelompok terbentuk
dari kesamaan sifat, minat dan tujuan yang sama dari banyak individu yang ingin mencari orang
yang memiliki sifat yang sama, sehingga dapat berkomunikasi dengan lancar dengan orang yang
sepandangan dengan dirinya dengan tujuan mendapatkan interaksi yang sesuai dengan dengan
apa yang diinginannya. Dikatakan demikian karena di dalam kelompok itu terdapat suatu ikatan
serta tujuan yang menyebabkan si individu tersebut tidak merasa sendirian, karena ternyata
masih banyak orang yang mempunyai suatu pola pikir yang sama, sehingga si individu tersebut
tidak merasa minder dengan apa yang dia miliki sekarang karena ada kelompok yang
mewadahinya ex: perkumpulan gay dan lesby Indonesia
Cara pembentukan kelompok :
Terbentuknya kelompok itu memang tidak semuanya sama, ada yang secara kebetulan
,paksaan maupun sukarela.Karena semua itu tergantung dari situasi dan kondisi kelompok
tersebut. Memang pembentukan kelompok itu diawali dengan adanya presepsi ,perasaan atau
motivasi dan tujuan yang sama dalam memenuhi kebutuhannya, karena hal itu merupakan suatu
proses dasar dari terbentuknya suatu kelompok. Pembentukan kelompok diawali dengan adanya
suatu perassan atau presepsi yang sama dalam memenuhi suatu kebutuhan. Setelah itu akan
timbul suatu motivasai untuk memenuhinya, sehingga ditemukannya suatu tujuan yang sama dan
akhirnya interaksi yang terjadi membentuk suatu kelompok .
Pembentukan kelompok dilakukan dengan menentukan masing-masing kedudukan
anggotanya (siapa yang menjadi anggota dan ketua). Pada interaksi yang terjadi suatu saat akan
memunculkan perbedaan antara individu satu dengan yang lainnya sehingga timbul suatu
perpecahan (konflik). Perpecahan yang terjadi biasanya bersifat sementara karena adanya
kesadaran pentingnya arti dari suatu kelompok tersebut, sehingga anggota kelompokberusaha
menyesuakan diri demi kepentingan bersama. Dan pada akhirnya setelah terjadi penyesuaian,
perubahan dalam kelompok mudah terjadi.
Jenis dan fungsi Kelompok :
Jenis-jenis Kelompok dapat dibedakan berdasarkan klasifikasinya. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan dalam lingkungan organisasi atau perusahaan, maka ada jenis
kelompok formal dan kelompok non-formal.

Kelompok formal adalah sub unit sah dari organisasi yang telah ditetapkan oleh anggaran
dasar atau suatu ketetapan management. Jadi kelompok ini sengaja dibentuk untuk memenuhi
tugas yang nyata guna mendukung tugas organisasi.
Kelompok non-formal adalah kelompok yang muncul sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
individu dengan mengembangkan tata hubungan dengan anggota lain dalam organisasi.
Kelompok informal hanya dapat terbentuk apabila lokasi fisik anggota-anggotanya, sifat
pekerjaan, dan jadwal kerja memungkinkan untuk terbentuknya kelompok. Oleh karena itu
kelompok informal muncul dari kombinasi antara faktor-faktor formal dan kebutuhan manusia
sebagai anggotanya.
Fungsi-fungsi Kelompok :
Pada dasarnya fungsi kelompok dibagi menjadi dua yaitu, fungsi organisasi formal dan
fungsi kebutuhan individual. Fungsi kelompok formal sebagai sarana untuk mengerjakan tugastugas yang kompleks yang saling berkaitan dan terlalu sukar untuk dikerjakan oleh siapapun,
sebagai sarana untuk mencetuskan gagasan-gagasan yang baru atau pemecahan masalah yang
memerlukan kreativitas tertentu, dan sebagai wahana sosialisasi serta pelaksanaan keputusan
yang rumit.
Fungsi kelompok individual yang didasarkan bahwa setiap individu memiliki beraneka
macam kebutuhan, dan kelompok dapat memenuhi kebutuhan yang meliputi pemenuhan
kebutuhan persahabatan, dukungan, dan kasih sayang, sebagai sarana untuk mengembangkan,
meningkatkan, dan menegaskan rasa identitas dan memelihara harga diri, sebagai sarana untuk
menguji kenyataan sosial melalui diskusi dengan orang lain, pengembangan perspektif, dan
konsensus bersama yang dapat mengurangi keragu-raguan dalam lingkungan sosial sehingga
dapat diambil sebuah keputusan.
1.1.2. Kelompok Minatani
Kelompok minatani merupakan kelompok pembudidaya ikan air tawar khususnya
ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) atau POKDAKAN yang asal mulannya terbentuk
kelompok ini dimulai dari setiap masing-masing wilayah di Kab. Tangerang yang
mempunyai usaha membudidayakan ikan air tawar untuk membuat kelompok supaya Dinas
Kelautan dan Perikanan setempat dapat mudah memperoleh data siapa-siapa saja yang

mempunyai usaha tersebut dan juga untuk memudahkan setiap petani dalam memperoleh
informasi tentang bagaimana cara budidaya yang baik dan benar serta hal-hal yang lain
yang terkait dalam pelaksanaan budidaya ikan.
Profil Kelompok Budidaya Ikan Lele Sankuriang (Clarias sp.)
POKDAKAN MINATANI
Nama kelompok

: Minatani

Alamat

: Desa Sumur bandung Kp. Saradan RT 015/002

Kec. Jayanti

Kab. Tangerang.
Nama ketua

: Ny. Suryanah

Sekretaris

: Payumi

Bendahara

: Suparman

Anggota

: 15 Orang

Tahun berdiri

: 2007

Kelas kelompok

: Kelas pemula tahun 2007


Kelas lanjut tahun 2010

Prestasi

: Juara I POKDAKAN tingkat Kabupaten Tangerang tahun 2009


Juara II lomba POKDAKAN tingkat Provinsi Banten tahun
2009
Peserta lomba POKDAKAN tingkat nasional mewakili
Provinsi Banten tahun 2010

STRUKTUR ORGANISASI
PEMBUDIDAYA IKAN LELE SANGKURIANG (Clarias sp.)

PEMBAGIAN TUGAS :

1. Tugas ketua

Bertanggung jawab terhadap maju mundurnya kelompok

Menandatangani surat-surat penting

Mewakili kelompok dihadapan pengadilan

Bertanggung jawab kedalam dan keluar kelompok

Mewakili kelompok dalam hubungan dengan pihak luar

Memimpin rapat dan musyawarah

2. Tugas sekretaris

Mengelola administrasi kelompok

Menjadi notulen rapat

Membantu ketua menyusun rencana kerja kelompok

Mewakili ketua berhubungan dengan pihak luar

Memimpin rapat atas seizin ketua

3. Tugas bendahara

Membantu ketua dalam mengelola keuangan

Memegang buku kas dan administrasi keuangan lainnya

Mencatat pemasukan dan pengeluaran uang

Memegang buku inventaris

Mencatat pemasukan dan pengeluaran barang

Menandatangani surat-surat penting atas seizinatau sepengetahuan ketua

4. Tugas seksi-seksi
a.

Sie Pemasaran

Mencari informasi pasar

Membantu ketua mempersiapkan kontrak jual beli

Membantu ketua menyusun analisis ekonomi usaha budidaya ikan

Mengadakan negosiasi denganpihak pembeli atas seizin dan sepengetahuan


ketua

b. Sie. Peralatan (sarana dan prasarana)

Membantu ketua dalam mengelola saran produksi dengan prinsip tepat harga,
tepat mutu dan tepat waktu

Membantu ketua dalam menata, menyimpan dan menata letak sarana dan
prasarana

c.

Membantu ketua dalam menyiapkan kontrak jual beli sarana produksi

Atas seizin ketua mengadakan negosiasi dengan pihak penjual saran

Sie. Teknisi (bidang teknis)

Mencari informasi tekhnologi budidaya terbaru

Melatih keterampilan teknis anggota

Atas seizin ketua menghadiri pelatihan yang dilaksankan Dinas atau pihak lain

Mengadakan uji coba atau kaji terap tekhnologi atau iovasi baru

Gambar 1. layout bangunan dan unit usaha budidaya ikan lele (Clarias sp.)
Daftar Anggota Aktif Budidaya Ikan Lele Sangkriang (Clarias sp.)
N
o
1
2
3
4
65
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Nama

Jenis

Luas area

Suryanah
Suparman
Payumi
Suleman sare
H. M. Zen
H. Jasman
Juli
Smsuri
Ohim
Mastu
Muslini
Muhi
Ayakub
Halil
Suhedi

Budidaya
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran
Pembesaran

2000
2000
200
800
200
250
250
150
500
1000
250
800
300
200
200

m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2
m2

1.2. Tujuan
Dalam kegiatan magang yang dilakukan oleh team budidaya Jurusan Perikanan
Fakultas Pertanian Universitas sultan Ageng Tirtayasa yang dilaksanakan selama liburan
semester III kepada kelompok Minatani Budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)
mempunyai beberapa tujuan yaitu diantarannya :
a.

Mengetahui kondisi lingkungan perairan dan kolam tempat budidaya ikan lele
sangkuriang (Clarias sp.)

b. Mengetahui kegitan-kegiatan yang dilakukan dalam budidaya ikan lele sangkuriang


(Clarias sp.)
c. Mengetahui manajemen dalam pengelolaan budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)
1.3. Waktu dan tempat
Kegiatan magang yang dilakukan oleh team budidaya Jurusan Perikanan Fakultas
Pertanian Universitas sultan Ageng Tirtayasa dilaksanakan selama liburan semester III
kepada kelompok Minatani Budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) di Desa Sumur

bandung Kp. Saradan RT 015/002 Kec. Jayanti Kab. Tangerang. Selama 12 hari mulai dari
tanggal 1 sampai tanggal 12 februari 2011.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Deskripsi ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)


Menurut Anonimus (2005) secara umum morfologi ikan lele sangkuriang tidak memiliki
banyak perbedaan dengan lele dumbo yang selama ini banyak dibudidayakan. Hal tersebut
dikarenakan lele sangkuriang sendiri merupakan hasil silang dari induk lele dumbo. Tubuh ikan
lele sangkuriang mempunyai bentuk tubuh memanjang, berkulit licin, berlendir, dan tidak
bersisik. Bentuk kepala menggepeng (depress), dengan mulut yang relatif lebar, mempunyai
empat pasang sungut. Lele Sangkuriang memiliki tiga sirip tunggal, yakni sirip punggung, sirip
ekor, dan sirip dubur. Sementara itu, sirip yang yang berpasangan ada dua yakni sirip dada dan
sirip perut. Pada sirip dada (pina thoracalis) dijumpai sepasang patil atau duri keras yang dapat
digunakan untuk mempertahankan diri dan kadang-kadang dapat dipakai untuk berjalan
dipermukaan tanah atau pematang. Pada bagian atas ruangan rongga insang terdapat alat
pernapasan tambahan (organ arborescent), bentuknya seperti batang pohon yang penuh dengan
kapiler-kapiler darah.

Gambar 2. Ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)


Lele Sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik (back cross)
antara induk betina generasi kedua (F2) dengan induk jantan generasi keenam (F6). Kemudian
menghasilkan jantan dan betina F2-6. Jantan F2-6 selanjutnya dikawinkan dengan betina
generasi kedua (F2) sehingga menghasilkan lele sangkuriang. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada Gambar 1. Induk betina F2 merupakan koleksi yang ada di Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi yang berasal dari keturunan kedua lele dumbo yang
diintroduksi dari Afrika ke Indonesia tahun 1985. Sedangkan induk jantan F6 merupakan sediaan
induk yang ada di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi (Anonimus, 2007).
Meskipun induk awal lele sangkuriang berasal dari ikan lele dumbo, antara keduanya tetap
memiliki perbedaan. Lele sangkuriang merupakan hasil perbaikan genetika lele dumbo melalui

silang balik (backcross). Sehingga klasifikasinya menurut Lukito (2002) sama dengan lele
dumbo yakni:
Kingdom
Phyllum

: Animalia
: Chordata

Kelas

: Pisces

Subkelas

: Teleostei

Ordo

: Ostariophysi

Subordo

: Siluroidea

Famili

: Clariidae

Genus

: Clarias

Spesies

: Clarias sp.

Habitat ikan lele sangkuriang dapat hidup di lingkungan yang kualitas airnya sangat jelek.
Kualitas air yang baik untuk pertumbuhan yaitu kandungan O2 6 ppm, CO2 kurang dari 12 ppm,
suhu (24 26) o C, pH (6 7), NH3 kurang dari 1 ppm dan daya tembus matahari ke dalam air
maksimum 30 cm (Lukito, 2002).
Tingkah laku Ikan lele dikenal aktif pada malam hari (nokturnal). Pada siang hari, ikan lele
lebih suka berdiam didalam lubang atau tempat yang tenang dan aliran air tidak terlalu deras.
Ikan lele mempunyai kebiasaan mengaduk-aduk lumpur dasar untuk mencari binatang-binatang
kecil (bentos) yang terletak di dasar perairan (Simanjutak, 1989 ).
2.2. Budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)
Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air Tawar yang sudah dibudidayakan secara luas
oleh masyarakat terutama di Pulau Jawa. Budidaya lele berkembang pesat dikarenakan dapat
dibudidayakan di lahan dan sumber air yang terbatas dengan padat tebar tinggi, teknologi
budidaya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat, pemasarannya relatif mudah dan modal usaha
yang dibutuhkan relatif rendah. Budidaya lele sangkuriang (Clarias sp) mulai berkembang sejak
tahun 2004, setelah dirilis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, dengan Nomor Kepmen KP
26/Men/2004. Teknik budidaya lele sangkuriang tidak berbeda dengan lele dumbo, mulai dari
pembenihan sampai pembesaran.

Pengembangan usaha budidaya ikan lele semakin meningkat setelah masuknya jenis ikan
lele dumbo ke Indonesia pada tahun 1985. Keunggulan lele dumbo dibanding lele lokal antara
lain tumbuh lebih cepat, jumlah telur lebih banyak dan lebih tahan terhadap penyakit. Namun
demikian perkembangan budidaya yang pesat tanpa didukung pengelolaan induk yang baik
menyebabkan lele dumbo mengalami penurunan kualitas. Hal ini karena adanya perkawinan
sekerabat (inbreeding), seleksi induk yang salah atas penggunaan induk yang berkualitas rendah.
Sebagai upaya perbaikan mutu ikan lele dumbo, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Tawar (BBPBAT) Sukabumi telah berhasil melakukan rekayasa genetik untuk menghasilkan lele
dumbo strain baru yang diberi nama lele Sangkuriang.
Seperti halnya sifat biologi lele dumbo terdahulu, lele Sangkuriang tergolong omnivora. Di
alam ataupun lingkungan budidaya, lele sangkuriang dapat memanfaatkan plankton, cacing,
insekta, udang-udang kecil dan mollusca sebagai makanannya. Keunggulan dari lele sangkuriang
ini diantaranya dapat dipijahkan sepanjang tahun, fekunditas telur yang tinggi, dapat hidup pada
kondisi air yang marjinal dan efisiensi terhadap pakan yang tinggi.
Produksi di Indonesia meningkat tajam tiap tahun, selama lima tahun terakhir, antara lain
karena luasnya pasar bagi lele. Lele disukai konsumen karena berdaging lunak, sedikit tulang,
tidak berduri, dan murah. Dari sisi budidaya, lele relatif tidak memerlukan banyak perawatan dan
memiliki masa tunggu panen yang singkat. Pengolahan yang paling populer adalah dengan
digoreng, dan disajikan sebagai pecel lele. Bentuk pengolahan lain adalah dengan diberi bumbu
mangut (mangut lele).
Produksi lele budidaya di Indonesia
Tahun
Jumlah produksi dalam ton
2004
51.271
2005
69.386
2006
77.272
2007
91.735
2008
108.200
Tabel 1 : Produksi lele budidaya di Indonesia
2.3. Kebijakan pengembangan usaha budidaya ikan lele (Clarias sp.)
Perikanan budidaya mempunyai potensi sangat besar dalam penyerapan tenaga kerja (projob) dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat pedesaan sampai perkotaan. Selain itu
dapat menghasilkan margin keuntungan yang cukup besar, mempunyai keterkaitan usaha yang

cukup luas, mengatasi kemiskinan, tekhnologi terseia dan beragam serta produk ekspor dan
konsumsi dalam negeri. pengurangan kemiskinan (pro-poor), dan pertumbuhan ekonomi (progrowth).
Program kebijakan umum Dpartement kelautan dan perikanan mengenai pegendalian
penangkapan, pengembangan budidaya dan peningkatan nilai tambah perikanan diantaranya
yaitu pendekatan kebijakan, peningkatan produksi perikanan budidaya untuk ekspor, peningkatan
produksi perikanan budidaya untuk konsumsi ikan masyarakat (PROKSIMAS) dan perlindungan
serta rehabilitasi sumberdaya perikanan budidaya (PROLINDA).
a. Pendekatan kebijakan yang dilakukan diantaranya yaitu :
1.

Pengembangan kawasan. Dengan maksud mendorong penerapan manajemen hamparan untuk


mencapai skala ekonomi, mencegah penyebaran penyakit, meningkatkan efesiensi dalam
penggunaan air, sekaligus mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan sarana produksi, proses
produksi, pemasaran hasil dan pengolahan lingkungan dalam suatu kesisteman yang mapan.

2.

pengembangan komoditas unggulan. Dengan maksud untuk lebih memacu pengembangan


komoditas yang memiliki kriteria bernilai ekonomis tinggi, tekhnologi tersedia, permintaan pasar
besar dan dapat dikembangkan secara masal.

3. pengembangan usaha. Dengan maksud agar seluruh usaha perikanan budidaya dilakukan dengan
menggunakan prinsip bisnis secara profesional dan berkembang dalam suatu kemitraan usaha
yang saling memperkuat dan menghidupi.
b. Strategi pengembangan usaha budidaya ikan lele (Clarias sp.) diantaranya :
1. Pengembangan kawasan pembudidayaan secara bertahap
2. penerapan tekhnologi berkelanjutan
3. pengembangan segmentasi produksi
4. penyediaan induk unggul dan benih berkualitas
5. dukungan dana penguatan modal
6. pembinaan intensif
7. pendekatan akuabisnis
c. Potensi kawasan usaha budidaya ikan lele (Clarias sp.)

Pekarangan rumah, umumnya berupa lahan marginal dengan wadah berupa kolam plastik,
kolam tembok.

Persawahan, memungkinkan dalam hamparan luas dengan wadah berupa kolam tanah.

Perairan umum, yaitu sungai, waduk, saluran dengan wadah berupa keramba, KHA, KAI.
d. Pendekatan akuabisnis antara lain :

Bisnis kemitraan : win-win solution

Akses permodalan pada perbankan

Usaha dengan nilai tambah dengan rintisan ekspor, misalnya berbagai bentuk produk olahan

Backward and foreward lingkage


Selain upaya-upaya yang terdapat pada pernytaan diatas terdapat upaya yang harus
dilakukan yaitu mengenai dana penguatan modal dengan tujuan untuk mendorong keberpihakan
sektor perbankan kepada masyarakat pembudidaya ikan skala kecil. Langkah yang ditempuh
yaitu berkerjasama dengan bank-bank swasta atau daerah untuk mengarahkan pemanfaatan dana
penguatan modal (DPM) kelompok pembudidaya ikan (POKDAKAN) sebagai dana penjaminan
di bank.
Selanjutnya yaitu Pembinaan intensif dengan cara penetapan penanggung jawab tingkay
pusat, provinsi dan kabupaten/kota, pembinaan kelembagaan UPP (lembaga pemberdayaan usaha
kelompok pembudiaya ikan) & POKDAKAN dan pendampingan tekhnologi oleh UPT & TPT
(tenaga pendamping tekhnologi) serta pelatihan, temu usaha, monitoring dan evaluasi.
Indikator keberhasilannya meliputi terbangunnya kawasan usaha budidaya ikan lele yang
berkelanjutan, berkembanganya kelembagaan UPP dan POKDAKAN yang bankable,
terwujudnya usaha bersama dengan kemitraan yang setara, meningkatnya pendapatan dan devisa,
database produksi, pembudidaya, kelompok dan profil UPP.

2.4. Manajemen pembenihan ikan lele (Clarias sp.)


Manajemen adalah proses mengoordinasikan dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan kerja
agar deselesaikan secara efisien dan efektif dengan melalui orang lain. Fungsi manajemen yaitu
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan. Dan untuk mencapai tujuan
organisasi dan tujuan pribadi dalam menjaga keseimbangan diantara berbagai tujuan yang saling
bertentangan diantara para stakeholder organisasi serta mencapai efesinsi adalah kemampuan
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan benar. dan efektifitas yaitu kemampuan untuk
menentukan tujuan yang tepat atau kemampuan untuk melakuakan pekerjaan yang benar. serta
produktivias yakni ukuran kuantitas dan kualitas prestasi kerja dengan mempertimbangkan pula

kemampuan pemanfaatan sumberdaya. Dengan kata lain produktivitas merupakan keselarasan


atau keseimbangan antara efektivitas dan efesiensi.
Pada dasarnya semua kegiatan telah/memerlukan penerapan fungsi-fungsi manajemen
begitu halnya dengan usaha pembenihan dan pendederan ikan lele (Clarias sp.)
a.

Dasar keterampilan manajemen :

Ketermapilan teknis merupakan paduan antara pendidikan da pengalaman pembenihan dan


pendederan ikan lele

Keterapilan hubungan manusia yaitu bekerjasama dengan orang lain

Keterampilan konseptual yaitu mampu memperkirakan situasi kedepan, terutama peluang pasar
yang baru.

Keterampilan pembuatan keputusan yakni mampu menentukan dan menyeleksi tindakan yang
terbaik.

b. Strategi pengembangan

c.

Pengembangan kawasan budidaya secara bertahap

Pengembangan segmentasi produksi

Penerapan tekhnologi berlanjutan

Penyediaan induk unggul dan benih berkualitas

Dukungan DPM/perbankan

Pengembangan serifikasi unit usaha budidaya

Pendekatan akuabisnis

Pendekatan akuabisnis

Pengembangan segmentasi usaha

Pembagian keuntungan secara proporsional disetiap segmen usaha

Pengelolaan sumberdaya dari hulu ke hilir

d. Kelayakan dalam usaha


1. kelayakan teknis diantaranya : tersediannya paket tekhnologi pembenihan lele yang telah mapan,
tersediannya potensi sumber daya manusia yang memiliki kemampua dalam pembenihan lele,
dan tersediannya sarana dan prasarana yang memadai.

2.

kelayakan ekonomis diantaranya : trsediannya jaminan pasar dan terjaminnya kepastian harga
yang menguntungkan.

3.

kelayakan sosial diantaranya : ikan lele merupakan komoditi yang digemari oleh masyarakat,
tumbuhnya image positif tentang komoditi lele, dan tidak ada paham/kepercayaan masyarakat
yang tabu terhadap ikan lele

2.5. Teknik pembenihan ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)


a.

Pemeliharaan induk
Faktor penting dalam pembenihan ikan lele sangkuriang yaitu kualitas induk yang akan
dipijahkan. Kualitas induk yang baik dapat dilihat dari postur tubuh yang proporsional, tidak ada
cacat dan luka pada tubuh ikan, serta gerakan ikan yang lincah.
Menurut Prihartono dkk (2000), dalam pembenihan ikan lele sangkuriang, induk merupakan
sarana produksi paling penting. Oleh karena itu, agar hasil pembenihan memuaskan, induk yang
digunakan harus unggul. Untuk mendapatkan induk yang unggul, perlu dilakukan pemeliharaan
induk secara khusus. Selama pemeliharaan padat tebar induk perlu diperhatikan karena akan
berpengaruh pada pertumbuhan dan tingkat stress ikan. Induk ikan lele sangkuriang dipelihara
dalam kolam atau bak berukuran (34) m2 dengan padat tebar 5 kg/m2.

b. Pemijahan
Seleksi induk lele sangkuriang dilakukan dengan melihat tanda-tanda pada tubuh ikan. Umur
induk betina lele sangkuriang siap dipijahkan berumur > 1 tahun, massa (0,7 1) kg dengan
panjang standar (25 30) cm, sedangkan induk jantan antara lain yaitu berumur > 1 tahun, massa
(0,5 0,75) kg, dengan panjang standar (30 35) cm. Induk betina yang sudah matang gonad,
secara fisik ditandai dengan perut yang membesar dan lembek, tonjolan alat kelamin membulat
dengan warna merah keungu-unguan dan tampak membesar, bila dilihat secara kasat mata warna
telur terlihat hijau tua bening atau coklat kehijau-hijauan, tulang kepala agak meruncing,
gerakannya lamban.
Sedangkan induk jantan ditandai dengan warna tubuh yang lebih mencolok dari betina yaitu
terlihat kemerah-merahan pada bagian sirip punggung (dorsal), dengan bentuk genital yang
meruncing dan memanjang melebihi ujung sirip anal yang letaknya berdekatan dengan anus,
tulang kepala lebih mendatar (pipih) dibanding induk betina, perut tetap ramping dan gerakannya

yang lincah. Jika diurut secara perlahan pada bagian kelaminnya, akan mengeluarkan cairan
putih susu yang kental, cairan itulah yang dinamakan sperma.

Gambar 3. Ciri indukan ikan lele jantan dan betina


Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada umur (8 9)
bulan dengan massa minimal 500 gram. Telur akan menetas dalam tempo 24 jam setelah
memijah dengan kemampuan memijah sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Menurut
Prihartono, dkk (2000), tanda-tanda induk jantan yang telah siap memijah diantaranya alat
kelamin tampak jelas (meruncing), perutnya tampak ramping, jika perut diurut akan keluar
spermanya, tulang kepala agak mendatar dibanding dengan betinanya, jika warna dasar badannya
hitam (gelap), warna itu menjadi lebih gelap lagi dari biasanya. Sedangkan untuk induk betina
alat kelaminnya bentuknya bulat dan kemerahan, lubangnya agak membesar, tulang kepala agak
cembung, gerakannya lamban, warna badannya lebih cerah dari biasanya.
Pemijahan ikan lele sangkuriang dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu : pemijahan alami
(natural spawning), pemijahan semi alami (induced spawning) dan pemijahan buatan
(induced/artificial breeding).
1. Pemijahan Alami
Dalam teknik pemijahan ini induk betina yang telurnya sudah terlihat matang yang ditandai
dengan perut buncit, biasanya lele betina mempunyai berat diatas 1kg lebih dan berusia diatas 1
tahun. Sedangkan untuk jantan biasanya menggunakan minimal yang setara berat dan besarnya
dengan betina, malah lebih bagus lagi kalau jantan lebih besar sedikit dari betina. Untuk

perbandingan pemijahan 1:1 ( Jantan 1 betina 1) dalam satu media pemijahan.


Media yang kita sediakan:

Bak beton atau bak terpal yang berukuran 1x2x1 m atau disesuaikan dengan lahan yang ada

Keringkan selama 2-4 hari

Isi air setinggi 30 cm dan biarkan mengalir selama pemijahan

Disediakan kakaban Injuk/serutan tali rapia

Masukkan ijuk secukupnya

Masukkan 1 ekor induk betina yang sudah matang gonad pada siang atau sore hari

Masukkan pula 1 ekor induk jantan

Biarkan memijah

Esok harinya tangkap kedua induk dan biarkan telur menetas di tempat itu.
Hasil pemijahan alami lele sangkuriang biasanya kurang memuaskan. Jumlah telur yang
keluar tidak banyak.
2. Pemijahan Semi alami
Untuk pemijahan semi alami hanya sedikit perbedaan yang harus diperhatikan, yaitu dalam
hal pemberian rangsangan dengan penyuntikan obat perangsang ovaprim pada betina dengan
dosis 0,2 ml/kg bobot tubuh ikan atau hipofisa ikan lele, juga penyuntikan setengah dosis pada
jantan. Adapun mengenai persiapan bak dan kakaban sama persis dengan pemijahan alami.

Perbandingan induk jantan dan betina 1:1 baik jumlah maupun berat

Penyuntikkan langkahnya sama dengan pemijahan buatan

Pemijahan langkahnya sama dengan pemijahan alami


3. Pemijahan buatan
Pemijahan buatan memerlukan keahlian khusus. Dua langkah kerja yang harus dilakukan
dalam sistem ini adalah penyuntikkan, pengambilan sperma dan pengeluaran telur.

Penyuntikkan dengan ovaprim

Penyuntikkan adalah kegiatan memasukkan hormon perangsang ke tubuh induk betina. Hormon
perangsang yang digunakan adalah ovaprim. Caranya, siapkan induk betina yang sudah matang

gonad; sedot 0,3 mil ovaprim untuk setiap kilogram induk; suntikkan ke dalam tubuh induk
tersebut; masukkan induk yang sudah disuntik ke dalam bak lain dan biarkan selama 10 jam.

Gambar 4. Cara penyuntikan dengan ovaprim Gambar 5. ovaprim

Penyuntikkan dengan hypofisa

Penyuntikkan bisa juga dengan ekstrak kelenjar hypofisa ikan mas atau lele dumbo. Caranya
siapkan induk betina yang sudah matang gonad ; siapkan 1,5 kg ikan mas ukuran 0,5 kg; potong
ikan mas tersebut secara vertikal tepat di belakang tutup insang; potong bagian kepala secara
horizontal tepat dibawah mata; buang bagian otak; ambil kelenjar hypofisa; masukkan ke dalam
gelas penggerus dan hancurkan; masukkan 1 cc aquabides dan aduk hingga rata; sedot larutan
hypofisa itu; suntikkan ke dalam tubuh induk betina; masukkan induk yang sudah disuntik ke
bak lain dan biarkan selama 10 jam.

Gambar 6. Cara penyuntikan dengan hipofisa

Pengambilan Sperma

Gambar 7. Cara pengambilan sperma pada ikan lele jantan


Setengah jam sebelum pengeluaran tleur; sperma harus disiapkan. Caranya:
1. Tangkap induk jantan yang sudah matang kelamin
2. Potong secara vertikal tepat di belakang tutup insang
3. Keluarkan darahnya
4. Gunting kulit perutnya mulai dari anus hingga belakang insang
5. Buang organ lain di dalam perut
6. Ambil kantung sperma
7. Bersihkan kantung sperma dengan tisu hingga kering
8. Hancurkan kantung sperma dangan cara menggunting bagian yang paling banyak
9. Peras spermanya agar keluar dan masukkan ke dalam cangkir yang telah diisi 50 ml (setengah
gelas) aquabides
10. Aduk hingga homogen.

Pengeluaran Telur

Gambar 8. Cara pengeluaran telur pada

Gambar 9. Telur ikan lele

ikan lele betina


Pengeluaran telur dilakukan setelah 10 jam dari peyuntikkan, namun 9 jam sebelumnya diadakan
pengecekkan.
Cara pengeluaran telur:
1. Siapkan 3 buah baskom plastik, 1 botol Natrium Chlorida (infus), sebuah bulu ayam, kain lap
dan tisu
2. Tangkap induk dengan sekup net
3. Keringkan tubuh induk dengan lap
4. Bungkus induk dengan lap dan biarkan lubang telur terbuka
5. Pegang bagian kepala oleh satu orang dan pegang bagian ekor oleh yang lainnya
6. Pijit bagian perut ke arah lubang telur
7. Tampung telur dalam baskom plastic
8. Campurkan larutan sperma ke dalam telur
9. Aduk hingga rata dengan bulu ayam
10. Tambahkan Natrium Chlorida dan aduk hingga rata

11. Buang cairan itu agar telur-telur bersih dari darah


12. Telus siap ditetaskan.

Penetasan

Penetasan lele sangkuriang dimasukkan ke dalam bak tembok. Caranya :


1. Siapkan sebuah bak tembok ukuran panjang 2 m, lebar 1 m dan tinggi 0,4 m
2. Keringkan selama 2-4 hari
3. Isi bak tersebut dengan air setinggi 30 cm dan biarkan air mengalir selama penetasan
4. Pasang hapa halus yang ukurannya sama dengan bak
5. Beri pemberat agar hapa tenggelam (misalnya kawat behel yang diberi selang atau apa saja
6. Tebarkan telur hingga merata ke seluruh permukaan hapa
7. Biarkan telur menetas dalam 2-3 hari.
Penetasan telur sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir untuk menjamin ketersediaan
oksigen terlarut dan penggantian air yang kotor akibat pembusukan telur yang tidak terbuahi.
Peningkatan oksigen terlarut dapat pula diupayakan dengan pemberian aerasi.
Telur lele sangkuriang menetas 30-36 jam setelah pembuahan pada suhu 22-25 0C. Larva lele
yang baru menetas memiliki cadangan makanan berupa kantung telur (yolksack) yang akan
diserap sebagai sumber makanan bagi larva sehingga tidak perlu diberi pakan. Penetasan telur
dan penyerapan yolksack akan lebih cepat terjadi pada suhu yang lebih tinggi. Pemeliharaan
larva dilakukan dalam hapa penetasan. Pakan dapat mulai diberikan setelah larva berumur 4-5
hari atau ketika larva sudah dapat berenang dan berwarna hitam.
c.

Pendederan
Pada fase ini pembudidaya bisa menggunakan kolam tanah, bak terpal, bak beton ataupun
aquarium. Pendederan menggunakan media kolam haruslah didahului dengan adanya persiapan
kolam yaitu kolam harus melalui pemupukan dan pengapuran dengan dosis untuk pupuk
kandang 250gram/M2 dan kapur 50sd100gram / M2. Dengan ketinggian air 30-35cm.kolam
yang telah melalui pemupukan dan pengapuran diendapkan selama 4-7hari dan larva siap ditebar.
Sedangkan untuk media yang menggunakan bak Terfal ataupun bak beton untuk persiapan kolam
haruslah menggunakan pupuk probiotik atau pupuk buatan dengan menggunakan ragi dan dedek.

d. Pembesaran

Dalam budidaya lele pembesaran biasa ukuran lele masa tebar adalah kisaran 7-8cm dengan
lama pemanenan 40-45 hari dengan standar ukuran panen 12-15 cm melalui proses seleksi
ukuran. Setelah panen ukuran 12-15 cm maka budidaya dilanjutkan dengan pembesaran kedua
pembesaran dengan masa panen 25-30 hari dengan ukuran masa panen 1kg isi 7-10 ekor per kilo
gram. Pada masa tebar calon pembesaran untuk padat tebar benih 150-200 ekor/M2.
e. Program Pemberian Pakan
Untuk pemberian pakan pada lele tidak jauh beda dengan pemberian pakan pada ikan ikan
lain yaitu untuk penggunaan pelet haruslah disesuaikan dengan usia dan besaran mulut lele itu
sendiri. Sebagai contoh Bila lele berukuran dengan panjang 7-8 cm maka pakan yang diberikan
haruslah pelet butiran apung berukuran 3mm. Kita sebagi pembudidaya haruslah pandai mencari
atau membuat pakan alternative yang nan tinya bisa membantu terhadap penekanan pembiayan
pakan,salah satu pakan alternative yang bisa didapat diantaranya: Bangkai ayam, telur ayam
yang tidak jadi netas, ikan asin BS atau tidak terpakai, belatung kotoran ayam, sosis BS, roti BS,
sisa makanan dari restoran dan lain-lain.

2.6.

Penggunaan pakan yang tepat untuk efisiensi biaya produksi budidaya ikan lele
sangkuriang (Clarias sp.)
Peranan pakan dalam budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) yaitu terdiri dari : peran
biologis (kehidupan dan pertumbuhan), ekonomis (50-70% dari biaya produksi total dan perlu
adanya peningkatan efisiensi usaha atau manajemen pemberian pakan yang tepat.
Pertimbangan dalam menyiapkan pakan harus memiliki kriteria sebagai berikut :

Jenis/golongan ikan yang akan diproduksi(herbivor, omnivor, carnivor)

Ukuran ikan yang dipelihara (benih, pembesaran, induk)

Target produksi pakan yang diinginkan

Inventerisir ketersediaan bahan baku

Menyusun/menghitung formulasi

Metode pemprosesan/pencetakan pakan (pellet, remah, flake, tepung, pasta, dll)

Pengemasan dan penyimpanan


Penggunaan atau pemberian pakan yang tepat harus memenuhi beberapa diantaranya usaha
yang berkelanjutan atau lestari, lingkungan yang sehat dan menguntungkan. Pakan ikan juga
harus memenuhi standar yang telah ditentukan yaitu memiliki :

a.

Kualitas dan kuantitas pakan yang baik dilihat dari nilai gizi nya (protein, lemak, vitamin dan
mineral). Mudah dicerna, menarik da beraroma/disukai ikan, ukuran sesuai dengan bukaan mulut
ikan, stabil dalam air(tidak cepat hancur), tidak mencemari air (ramah lingkungan), aman bagi
kesehatan ikan (tidak beracun), memberikan tingkat pertumbuhan, secara ekonomis
menguntungkan sehingga dapat menjamin kelangsungan usaha budidaya. Kualitas tidak baik
seperti debu tinggi, warna keputihan/berjamur, mudah hancur didalam air dan aroma tidak baik.

b.

Bahan baku pakan seperti ukuran partikel (kecernaan, daya rekat), sumber bahan baku, serta
menyiapkan/proses pembuatan. Cara dan lama penyimpanan seperti (suhu, kelembaban, hindari
kontak langsung ke lantai atau dinding, serangga/binatang lain).

c.

Tipe pakan terbagi menjadi dua yaitu tenggelam dan terapung yang keduanya menentukan tinggi
rendahnya tingkat terkonsumsi oleh ikan. Tipe terapung memiliki ciri-ciri seperti jumlah yang
tidak terkonsumsi lebih rendah, tidak mudah hancur didalam air (24 jam masih tersisa 84%,
tenggelam 50%), menurunkan pencemaran lingkungan, menyebar luas atau merata, dan
kecernaan relatif lebih tinggi.

d.

Frekuensi pemberian pakan akan menentukan limbah yang dihasilkan serta memiliki nilai
konversi/efesiensi pakan. Dan harus diusahakan menurunkan limbah yang dihasilkan dan
menaikkan efesiensi pakan.
Penggunaan plankton catalyst 2006 untuk meningkatkan kesuburan tambak/kolam (nutrisi
tambak/kolam), meningkatkan kualitas air dan katalisator untuk pertumbuhan dan perkembangan
pakan alami ikan.
Fungsi plankton catalyst 2006

KUALITAS AIR
Ph, O2, air, salinitas
Ikan/Udang

Planktoncatalyst mensuplai unsure hara lengkap (makro&mikro) yangdibutuhkanuntuk


pertumbuhan pakan alami&kualitas air yangbaik

Keunggulan plankton catalyst 2006 yaitu meningkatkan produksi pakan alami (pakan alamimakanan terbaik bagi pertumbuhan ikan), dapat mengurangi pemberian pakan buatan (sisa pakan

buatan yang busuk mencemari & menurunkan kualitas air), meningkatkan kualitas kolam
(didukung dengan kandungan unsur lengkap & baik) dan dapat mempercepat waktu panen (ikan
tumbuh optimal, didukung oleh melimpahnya pakan alami dan kualitas air kolam yang ideal).
Cara budidaya dengan plakton catalyst terlebih dahulu lumpur busuk/hitam dikeluarkan,
tambak dibersihkan dari musuh alami dan dikeringkan dan aplikasi plankton catalyst.
Penggunaannya dengan memeriksa media awal tambak/kolam sehingga cocok dengan syarat
hidup komoditas yang dibudidayakan, manajemen tambak berwawasan lingkungan, menjaga
kualitas air (kecerahan, ph, salinitas, suhu, kedalaman pada nilai normal). Penggunaan plankton
catalyst 2006 disesuaikan dengan kondisi air (perlunya pemeriksaan air)
Takaran pakai plankton catalyst 2006
A.

Aplikasi sebagai pupuk dasar (sebelum/saat kolam diisi air dangkal)


Bandeng
(10-15 kg/ha)

udang (windu)
(berdasar ph awal 5-10 kg/ha)

ikan air tawar


(15-20 kg/ha = 2-10 g/m2)

B. Aplikasi percik (setelah kolam diisi ikan)


Bandeng : 0.25 kg/ha tiap minggu

Ikan air tawar : 0.25-1 kg/ha tiap 5hari (atau 30 g campur 4 kg pakan

Udang windu : berdasarkan pemeriksaanph air


Ph<5.5 pemakaian 5 kg/ha
Ph 5.5-6.5pemakaian 3-4 g/ha
Ph 6.5-7pemakaian 2-3 kg/ha

2.7. Manajemen kesehatan ikan dan lingkungan


Kesehatan ikan lele sangatlah menentukan terhadap keberhasilan budidaya, untuk itu kita
sebagai pembudidaya haruslah tekun mengamati respon makan dan gerakan ikan bila terjadi ada
kelainan haruslah tanggap dengan solusi penggobatan yang tepat seperti contoh bila lele terkena
whitespot upaya yang bisa kita lakukan adalah dengan penebaran garam atau menaikan suhu air
dengan cara menghindarkan kolm dari air yang masuk atau dengan penambahan pupuk kandang
supaya plangton yang tumbuh bisa membantu terhadap kenaikan suhu. Jenis penyakit lain yang
biasa terjadi pada lele diantaranya Trichodina sp ditandai kumis kriting pada lele
pengendaliannya dengan Metheline Blue+Nacl atau garam 500-1000 ppm Untuk lebih tepatnya
bila kita melakukan budidaya pencegahan penyakitlah yang paling efektif dan efisien dibanding
kita mengobati sepertihalnya penggunaan pemberian vitamin C yang telah tercampur dengan
pelet atau penggunaan bawang putih yang juga telah tercampur dengan pelet.
Kegiatan budidaya lele sangkuriang di tingkat pembenih/pembudidaya sering dihadapkan
pada permasalahan timbulnya penyakit atau kematian ikan. Pada kegiatan pembenihan, penyakit
banyak ditimbulkan oleh adanya serangan organisme pathogen sedangkan pada kegiatan
pembesaran, penyakit biasanya terjadi akibat buruknya penanganan kondisi lingkungan.
Kegagalan pada kegiatan pembenihan ikan lele dapat diakibatkan oleh serangan organisme
predator (hama) ataupun organisme pathogen (penyakit). Organisme predator yang biasanya
menyerang antara lain insekta, ular, atau belut. Serangan lebih banyak terjadi bila pendederan
benih dilakukan di kolam tanah dengan menggunakan pupuk kandang. Sedangkan organisme
pathogen yang lebih sering menyerang adalah Ichthiopthirius sp, Trichodina sp, Dacttylogyrus
sp, dan Aeromonas hydrophyla.

Penanggulangan hama insekta dapat dilakukan dengan pemberian insektisida yang


direkomendasikan pada saat pengisian air sebelum benih ditanam. Sedangkan penanggulangan
belut dapat dilakukan dengan pembersihan pematang kolam dan pemasangan kolam di sekeliling
kolam. Penanggulangan organisme pathogen dapat dilakukan dengan manajemen lingkungan
budidaya yang baik dan pemberian pakan yang teratur dan mencukupi. Bila serangan sudah
terjadi,benih harus dipanen untuk diobati. Pengobatan dapat menggunakan obat-obatan yang
direkomendasikan.
Manajemen lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan persiapan kolam dengan baik.
Pada kegiatan budidaya dengan menggunakan kolam dan tanah, persiapan kolam meliputi
pengeringan, pembalikan tanah, perapihan pematang, pengapuran, pemupukan, pengairan dan
pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai sumber pakan. Pada kegiatan budidaya dengan
menggunakan bak tembok atau bak plastik, persiapan kolam meliputi pengeringan, disinfeksi
(bila diperlukan), pemupukan, pengairan dan pengkondisian tumbuhnya plankton sebagai
sumber pakan. Perbaikan kondisi air kolam dapat pula dilakukan dengan penambahan probiotik.
2.8. Penyakit pada ikan lele (Clarias sp.)
Beberapa jenis penyakit yang sering menyerang ikan lele bisa disebabkan oleh bakteri,
parasit atau bahkan cacing. Penyakit penyakit yang sering dijumpai oleh para peternak ikan
lele adalah cendawan, bintik putih, borok, cacingan serta trichodina.
Untuk terhindar dari kerugian besar, para petani ikan lele harus dapat mengendalikan
penyakit penyakit tersebut diatas dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab dari penyakit
tersebut serta gejala yang muncul sebelum pada akhirnya nanti mengetahui bagaimana caranya
untuk menanggulanginya.

Cendawan
1. Jenis yang dapat menyerang adalah saprolegnia dan achyla, dimana mereka sering dijumpai di
perairan yang kaya akan bahan organik.
2.

Penyakit ini menyerang ikan lele yang sudah teruka atau yang sedang berada dalam kondisi
lemah.

3.

Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah bahwa pada
sekitar lukanya banyak dijumpai serabut berwarna putih.

4. Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah : kepadatan tebar dikurangi dan air
kolam ditaburi dengan garam dapur sejumlah 5 gram / m2.
5. Beberapa tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah : Merendam ikan lele yang sakit ke
dalam air PK berdosis 1 gram / 100 liter air. Proses perendaman dilakukan selama 30 menit.
Jamur dapat dihilangkan dengan menggunakan obat Furazolin.
b. Bintik putih
1. Penyebab dari munculnya penyakit ini adalah ichthyophthirius multifiliis dimana mereka akan
menyerang ikan lele yang dipelihara didalam kolam yang airnya menggenang.
2.

Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah bahwa pada
permukaan kulit dan juga insang ikan lele banyak dijumpai bintik bintik berwarna putih yang
apabila dibiarkan terlalu lama, kulit dan insang ini akan rusak sebelum pada akhirnya nanti ikan
lele akan mati dalam hitungan jam.

3. Beberapa tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah : Memperbaiki sistem sanitasi, air
kolam ditaburi dengan garam dapur sejumlah 30 gram / liter air, sebanyak 2 3 kali berturut
turut, penggunaan malachyte green berdosis 0,1 gram / m2 sebanyak 2 hari sekali hingga ikan
lele sembuh.
c.

Borok

1.

Merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh para peternak ikan lele dikarenakan dapat
menyebabkan kematian massal.

2.

Penyebab dari munculnya penyakit ini adalah aeromonas dan pseudomonas dimana mereka
meenyerang organ dalam ikan lele, seperti hati, limpa serta daging.

3. Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah munculnya borok
diseluruh permukaan kulit ikan lelel. Borok ini akan mengeluarkan nanah jikan penyakit ini
memarah.
4. Beberapa tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah : Mengkarantinakan ikan lele yang
sakit dan pemberian antibiotik pada ikan lele yang masih sehat untuk meningkatkan daya tahan
tubuh mereka. Antibiotik ini dapat diberikan dengan cara dicampurkan ke dalam pakan ikan lele
dengan dosis antibiotiknya adalah sebesar 1 mg / kg pakan. Selain itu air kolam ditaburi dengan
garam dapur sejumlah 10 kilogram yang telah dicampur dengan tumbukan daun pepaya.
d. Cacingan

1.

Jenis yang dapat menyerang adalah dactylogyrus dan gyrodactylus, dimana mereka sering
dijumpai dikolam yang kepadatan tebarnya terlalu tinggi serta baru saja mengalami perubahan
lingkungan hidup yang drastis dan mendadak. Mereka sering menyerang bagian insang ikan lele
(akan menyebabkan kesulitan dalam hal bernafas) serta kulitnya (menjadi berlendir).

2.

Gejala yang ditunjukkan oleh ikan lele yang terserang oleh penyakit ini adalah menurunnya
nafsu makan serta ikan lele sering berenang ke atas permukaan air. Beberapa tindakan
pengobatan yang dapat dilakukan adalah : Mengganti air dalam jumlah yang besar, air kolam
ditaburi dengan garam dapur sejumlah 40 gram / m2, merendam ikan lele yang sakit ke dalam air
PK berkonsentrasi 0,01 % selama 30 menit.

e.

Trichodina
Penyakit ini disebabkan oleh protozoa, dimana mereka menyerang bagian insang dari ikan
lele. Ikan yang terserang oleh penyakit ini akan berputar putar dan muncul diatas permukaan
air. Tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah merendam ikan lele yang sakit ke dalam
air berformalin berkonsentrasi 15 20 ppm.
2.9. Analisa usaha ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)
Dengan asumsi produksi lele konsumsi sebanyak 140 kg. (dari 1000 ekor benih ukuran 5-7
cm). Tengkulak datang sendiri membeli Rp.11.000,- per kilogramnya (diluar jawa harga per kg
nya sampai Rp.20.000,-). Usaha ini dilakukan sendiri selama + 3 bulan.

a.

Biaya Investasi
Pembuatan 1 unit kolam terpal ukuran 23 m : Rp.500.000,-

b. Biaya produksi

Pengadaan benih 1000 ekor @ Rp.150,- : Rp. 150.000,

Pakan dan obat-obatan :


3 kg pelet L1 @ Rp.7.500,-

Rp. 22.500,-

5 kg pelet L2 @ Rp.7.000,-

Rp. 35.000,-

22 kg pelet L3 @ Rp.6.700,-

: Rp. 147.400,-

70 kg pelet tenggelam SNL @ Rp.5.400,- : Rp. 378.000,Obat-obatan : Rp. 50.000,Biaya penyusutan kolam (10) : Rp. 50.000,

Total Biaya Produksi : Rp. 832.900,c.

Pendapatan
Pendapatan : Total produksi X harga lele per Kg.
140 kg X Rp.11.000,- = Rp.1.540.000,- per kg.

d. Keuntungan
Keuntungan : Pendapatan - total biaya produksi
Rp.1.540.000,- - Rp.832.900,- = Rp.707.100,e.

Break Even Point : Total biaya produksi/Total Produksi


(BEP Harga) : Rp.832.900,- / 140 kg = Rp.Rp.5.949,- per kg
Penjualan lele sangkuriang ukuran konsumsi tidak akan mengalami kerugian maupun
keuntungan jika dijual dengan harga Rp.5.949,-

f.

Revenue Cost (R/C) Ratio


R/C Ratio

: Total pendapatan / total biaya produksi

Rp. 1.540.000,- / Rp.832.900,- = Rp.1,85,Artinya setiap penambahan biaya Rp.1000,- akan memperoleh penerimaan sebesar Rp.1.850,- .
Dengan melihat angka R/C ratio ini dapat disimpulkan bahwa usaha pembesaran lele
sangkuriang yang dilakukan layak untuk diteruskan.
Sumber :Buku Budidaya Lele Sangkuriang, Dit. Pembudidayaan, Ditjen Perikanan Budidaya

BAB III
KEGIATAN MAGANG KEPADA KELOMPOK MINATANI (Ibu Suryanah) BUDIDAYA
IKAN LELE
SANGKURIANG (Clarias sp.)
Pembelajaran persyaratan lokasi / dasar kolam

Syarat lokasi lahan budidaya ikan lele terletak didasar kolam. Banyak diantara beberapa
orang yang terkadang menyepelekan mengenai persyaratan dasar kolam yang harus dipenuhi
dalam kegiatan budidaya perikanan, sehingga tidak heran mereka terkadang mengalami
kerugian. Apabila kita ingin melakukan kegiatan budidaya perikanan. Hal yang paling mendasar
yaitu bagaimana syarat lahan lokasi atau dasar kolam untuk budidaya tersebut. Sama halnya
dengan ikan lele (Clarias sp.) apabila ingin dibudidayakan.
Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi antara lain :
a.

Ukuran kolam bebas tergantung padat tebar benih ikan yang ingin ditebar selama proses
pembesaran ikan

b. Dasar kolam memiliki parit diagonal yang berukuran 10 m dengan kemiringan yang disesuaikan
c.

Pada sudut atau ujung kolam terdapat lubang berukuran 1 m x 1 m dengan kedalaman sekitar 30
cm. Fungsinya untuk memudahkan saat pemanenan ikan, karena lubang tersebut menjadi tempat
berkumpulnya ikan saat proses pemanenan ketika air yang berada dikolam disedot. Sehingga
memudahkan dalam pengambilan atau penyerokan ikan.

d. Ketinggian lumpur sekitar 10 cm atau sebatas mata kaki.


Kolam pembesaran yang baik harus memiliki kriteria tertentu. Yang terpenting adalah
aman dari kemungkinan serangan hama sehingga perlu dilengkapi pagar. Selain itu, kondisi
kolam harus baik dan tidak bocor serta dapat menampung air setinggi 100cm. Artinya, untuk bisa
menahan massa air setinggi itu, kolam harus memiliki tanggul yang tinggi dan kokoh sehingga
tidak mudah ambrok. Untuk kegiatan pembesaran lele sangkuriang, tidak ada standar luas kolam.
Luas kolam dapat disesuaikan dengan lahan yang tersedia. Untuk daerah yang memiliki lahan
sempit seperti perkotaan pemanfaatan saluran air dan comberan dibelakang rumah pun
memungkinkan. Namun selama memiliki lahan yang baik seyognya hal itu dilaksanakan.
Penebaran benih dilakukan setalah 4-5 hari setelah pemupukan.

Gambar 10. Pembelajaran dasar kolam

Gambar 11. Parit dan lubang didasar kolam

Gambar 12. Pemberian kapur kedasar kolam


Kegiatan pemberian pakan

Pada saat kami magang setiap pagi hari pukul 07.00 WIB dan sore hari pukul 17.00 WIB.
Kami melakukan kegiatan pemberian pakan kepada ikan-ikan lele yang berada di kolam
pembesaran. Pakan yang biasanya digunakan yaitu pelet sebelum ukuran ikan mencapai size 30
ekor/kg. Apabila ukuran ikan lele sudah lebih dari size 30 ekor/kg maka diberi pakan tambahan
seperti CCM (Jeroan ayam), sosis BS, roti BS, dan sisa makanan dari restoran.
Nama kolam
B. 4

Banyaknya pakan tiap kolam


3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

B. 5

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

B. 6

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

B. 7

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

B. 8

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 1

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 2

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 4

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 5

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 6

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 8

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 10

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 11

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 12

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 14

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan
tambahan

C. 17

3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 18

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 9

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 16

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

C. 19

tambahan
3 gayung isi pelet/1 karung plastik pakan

tambahan
Tabel 2. Aturan pemberian pakan

Gambar 13. Proses penggilingan CCM (jeroan ayam)

Gambar 14. Pemberian pakan


Kegiatan pemanenen ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)
Kegitan pemanenan yang kami lakukan ikan lele tersebut sudah siap panen berumur > 40
hari dari awal masa pembesaran. Atau sudah berukuran 100- 150 gram per ekor Hasil yang
didapat dari masing-masing kolam berbeda disebabkan oleh padat tebar benih yang disebar
ketika saat pembesaran dan luas kolam area pembesaran. Ada beberapa cara pemanenan yang
dapat dilakukan yaitu :

aring ikan lalu mengeringkan kolam

geringkan seluruh air kolam dengan membuka saluran kolam.


Setelah pemanenan selesai yaitu ketika ikan lele telah diangkut dari kolam pembesaran
sebaiknya ditampung sementara di bak penampungan yang airnya mengalir supaya kotorannya

terbuang . kemudian ikan disortir / diseleksi sesuai ukuran yaitu pemilihan ikan-ikan lele yang
memenuhi standar dan kualitas ikan lele yang ingin dijual sesuai permintaan pembeli. Hasil yang
didapatkan secara bersih yaitu sekitar 3 kwintal dari satu kolam yang sebelumnya benih yang
ditebar sebanyak 100 ekor ikan lele (Clarias sp.) size 5-7 cm. Selanjutnya hasil yang didapat
akan dijual kepada tengkulak yang sudah datang ketempat lokasi kami memanen ikan lele
(Clarias sp.)

Gambar 15 a. Proses pemanenan ikan lele (Clarias sp.)

Gambar 15 b. Proses pemanenan ikan lele (Clarias sp.)

Gambar 16 a. Proses penyortiran ikan lele (Clarias sp.)

Gambar 16 b. Proses penyortiran ikan lele (Clarias sp.)

Gambar 17. Proses penimbangan ikan lele (Clarias sp.)


Analisa usaha budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)
Analisis usaha budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) yang dilakukan oleh Ibu
Suryanah yaitu Dengan asumsi produksi lele konsumsi sebanyak 200 kg. (dari 100 ekor benih
ukuran 5-7 cm). Tengkulak datang sendiri membeli Rp.11.000,- per kilogramnya. Usaha ini
sudah dilakukan dilakukan sendiri selama 3 tahun.
a.

Biaya produksi

Pengadaan benih 1 kwintal (size 11-12 cm)

: Rp. 1.000.000,-

Pakan 781 sebanyak 1,5 kwintal

: Rp. 350.000,-

Obat-obatan

: Rp. 50.000,-

Biaya operasional

: Rp. 30.000,-

Biaya penyusutan dll

: Rp. 50.000,-

Total Biaya Produksi

: Rp.1.480.000,-

b. Pendapatan
Pendapatan : Total produksi X harga lele per Kg.
200 kg X Rp.7.500,- = Rp.2.200.000,- per kg.
c.

Keuntungan
Keuntungan : Pendapatan - total biaya produksi
Rp.2.200.000,- Rp.1.480.000,- = Rp. 720.000,-

d. Break even point (BEP)


Total biaya produksi/Total Produksi
(BEP Harga) : Rp.1.480.000,- / 200 kg = Rp. 7.400,- per kg

Penjualan lele sangkuriang ukuran konsumsi tidak akan mengalami kerugian maupun
keuntungan jika dijual dengan harga Rp. 7.400,e.

Revenue Cost (R/C) Ratio


R/C Ratio

: Total pendapatan / total biaya produksi

Rp. 2.200.000.- / Rp.1.480.000 = Rp.1,48,Artinya setiap penambahan biaya Rp.1000,- akan memperoleh penerimaan sebesar Rp.1.480,- .
Dengan melihat angka R/C ratio ini dapat disimpulkan bahwa usaha pembesaran lele
sangkuriang yang dilakukan layak untuk diteruskan.
Materi dan praktek teknik pemijahan ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)
Pada agenda kegiatan selanjutnya kami melakukan proses tekhnik pemijahan ikan lele
sangkuriang (Clarias sp.) Metode pemijahan yang digunakan di kelompok minatani Jayanti Kab.
Tangerang yaitu metode pemijahan secara buatan (Induced Breeding). Sebelum melakukan
proses pemijahan, terlebih dahulu menyiapkan lokasi area untuk pemijahan ikan lele dengan cara
membersihkan bak dan mengisi bak tersebut dengan air tandon atau air yang terlebih dahulu
telah diendapkan selama 1 hari setinggi 50 cm serta masukkan kakaban atau ijuk kedalam bak
tersebut yang berfungsi sebagai tempat keluar nya telur-telur ikan lele.
Setelah persiapan tempat pemijahan selesai lakukan penyortiran atau pemilihan indukan yang
tepat untuk siap kawin dengan terlebih dahulu melakukan proses pengambilan indukan ikan lele
jantan dan betina di kolamnya masing-masing. Kemudian indukan tersebut dimasukkan kedalam
masing-masing bak. Setelah itu lakukan pemeriksaan pada induk ikan lele betina dengan cara
memeriksa gonadnya yang sudah matang melalui pengambilan telur. Menurut Anonimus (2005)
ovulasi adalah puncak dari kematangan gonad, dimana telur yang telah masak harus dikeluarkan
dengan cara dipijit pada bagian perut.
Prosedur Pemijahan
ALUR

KEGIATAN
Hasil

pemeliharaan

proses

Hormon Artifisial (Ovaprim)

Induk Jantan dan Induk Betina

Pencampuran

sperma dan sel telur

Pemijahan

Hasil kegiatan pembelajaran

sel

Hasil kegiatan pembelajaran

gram alur prosedur pemijahan

Gambar 19. Persiapan bak untuk tempat pemijahan ikan lele (Clarias sp.)

Gambar 20. Pencucian

dan penjemuran kakaban/ijuk untuk tempat telur menetas

Gambar 21. Pengisian air tandon kedalam bak pemijahan dan didiamkan selama 1 hari

Gambar 22. Pengambilan induk ikan lele betina

Gambar 23. Pengambilan induk ikan lele jantan

Gambar 24. Indukan ikan lele betina

Gambar 25. Indukan ikan lele jantan

Gambar 26. Proses pemeriksaan gonad ikan lele betina dengan cara pengambilan telur

Gambar 27. Telur ikan lele betina siap pijah


Setelah dilakukan pengambilan indukan ikan lele jantan dan betina serta pengecekan
kondisinya lalu didiamkan atau diberok/puasakan selama + 7 jam sebelum ikan mengalami
proses perkawinan . Setelah proses pemberokan selesai lakukan perhitungan untuk penyuntikan
ikan lele dengan ovaprim (hormon perangsang) dengan cara total berat ikan lele jantan 6 ekor
dan ikan lele betina 8 ekor adalah 16,5 kg. Takaran atau dosis untuk penyuntikan adalah ovaprim
sebanyak 0,2 ml/kg + 0,5 ml NHCL/aquades.
Perhitungannya dengan cara :
Ovaprim 0,2 x (kg ikan)
0,2 x 16,5 kg = 3,3 ml.
NHCL 0,5 x (ekor ikan)

0,5 x 14 ekor ikan lele = 7 ml.


Kemudian hasil dari perhitungan ovaprim dan NHCL dijumlahkan atau ditambahkan yaitu
3,3 ml ovaprim + 7 ml NHCL = 10,3 ml + 14 ekor ikan lele = 0,7 ml. Setelah itu diaduk rata dan
diisikan ketempat suntikan masing-masing 0,7 ml untuk disuntikan ke induk ikan lele jantan dan
betina.
Dilakukan penyuntikan yaitu bertujuan untuk mempercepat proses ovulasi pada induk betina
dan jantan. Persyaratan agar penyuntikan dengan hormon dapat efektif maka induk ikan lele
harus sudah mengandung telur yang siap untuk memijah (matang telur). Apabila kondisi induk
tidak matang gonad, tentu injeksi hormon yang dilakukan tidak akan efektif (tidak berhasil).

Cara menyuntik

Tangkap induk lele dengan menggunakan seser induk. Kemudian seorang membantu memegang
induk lele yang hendak disuntik (ikan betina terlebih dahulu) dengan menggunakan kain untuk
menutup dan memegang kepala ikan dan memegang pangkal ekornya.

Kemudian suntikkan hormon yang sudah disiapkan tadi ke dalam daging lele di bagian
punggung, setengah dosis di sebelah kiri dan setengah dosis disebelah kanan dengan kemiringan
jarum sunik 40 45. Kedalaman jarum suntik 1 cm dan disesuaikan dengan besar kecilnya
tubuh ikan.

Lakukan penyuntikan secara hati-hati. Setelah obat didorong masuk, jarum dicabut lalu bekas
suntikkan ditekan/ditutup dangan jari telunjuk beberapa saat agar obat tidak keluar.

Gambar 28. Menyiapkan media untuk menyuntik induk ikan lele jantan dan betina

Gambar 29. Pengambilan induk ikan lele jantan dan betina untuk disuntik setelah didiamkan didalam bak

Gambar 30. Proses penyuntikan ikan lele betina

Gambar 30. Proses penyuntikan ikan lele jantan

Setelah dilakukan penyuntikan lalu indukan ikan lele tersebut dibawa ketempat lokasi
pemijahan untuk dilakukan proses perkawinan. Lokasi tempat pemijahan telah dipersiapkan
sehari sebelum dilakukan proses pekawinan. Pemijahan buatan menggunakan induk jantan 6
ekor dan induk betina sebanyak 8 ekor. dengan menggunakan bak sebayak 4 buah sebagai tempat
untuk pemijahan.
Bak

Induk ikan lele

Induk ikan lele

jantan
betina
1
2 jantan
2 betina
2
2 jantan
3 betina
3
1 jantan
1 betina
4
1 jantan
1 betina
Tabel 3. Pengisian ikan lele ketempat bak pemijahan

Jumlah
4 ekor
5 ekor
2 ekor
2 ekor

Pada pukul 17.00 WIB indukan ikan lele jantan dan betina dimasukkan kedalam bak. Dan
proses perkawinan pun akan terjadi pada malam hari. Keesokan harinya sekitar pukul 07.00 WIB
indukan betina telah mengeluarkan ribuan telu-telurnya yang akan menetas sekitar (30 36) jam
setelah pembuahan pada suhu (23 24)0C. Dan telur-telur ikan lele pun telah menetas. Apabila
telah melewati batas waktu telur tersebut belum menetas, maka telur tersebut dianggap gagal
atau tidak terjadi proses pembuahan. Setelah itu angkat indukan ikan lele jantan dan betina dan
didiamkan selama 1 hari pada kolam yang terpisah antara induk jantan dan betina sebulum
dikembalikan ke kolam tempat indukan. Dilakukan pemisahan setelah mengalami pemijahan
dibak terpisah, karena setelah proses perkawinan indukan ikan lele tersebut berbau amis dan
apabila disatukan kedalam kolam indukan, indukan ikan lele yang telah mengalami proses
perkawinan akan terancam dimangsa oleh indukan yang lainnya, maka dari itu dilakukan hal
tersebut.

Gambar 31. Telur ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)

Gambar 32. Pengambilan telur ikan lele sangkuriang (Clarias sp.)

Gambar 33. Pengambilan indukan ikan lele sangkuriang di bak pemijahan


Pemeliharaan larva dalam happa dilakukan selama (4-5) hari tanpa diberi pakan, karena larva
pada saat itu masih memanfaatkan kuning telur yang ada dalam tubuh larva itu sendiri.
Memasuki hari ke-5 dan seterusnya kuning telur dalam tubuh larva telah habis, larva selanjutnya
dipindahkan ke dalam bak fiber untuk dipelihara lebih lanjut. Larva dipelihara dalam bak fiber
berukuran 4 m x 2 m x 0,8 m dan diisi air sebanyak 1/2 dari tinggi bak. Selama dalam

pemeliharaan di dalam fiber, larva umur 5 hari diberi pakan cacing sutra (tubifex sp). Sebelum
diberikan, cacing sutra tersebut dicincang terlebih dahulu. Hal itu dilakukan karena ukuran
bukaan mulut ikan yang masih kecil. Pemberian cacing sutra cincang diberikan hingga larva
berumur 12 hari. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 50 gr setiap kali pemberian pakan pada
pagi dan sore hari.

Menurut Mujiman (2000), Pemberian pakan alami disesuaikan dengan ukuran benih. Setelah
itu larva ikan lele dipindahkan ke pendederan 1 sampai berusia 12 hari dan masih diberi pakan
cacing sutra utuh dengan jumlah pakan sebanyak 75 gr setiap kali pemberian pakan pada pagi
dan sore hari. Kemudian ketika 12 hari masa pendederan 1 berakhir larva ikan lele kemudian
dipindahkan ke pendederan 2 selama 15 hari pula dan pakan nya berupa penglinol per 3 jam.
Selanjutnya setelah masa pendederan 2 berakhir selama 15 hari dipindahkan ke pendederan 3
waktu nya masih sama yaitu 15 hari dan diberi pakan pengli 1 PF 1000 per 3 jam. Untuk
mempertahankan kelangsungan hidup larva, maka lingkungan yang baik harus tetap terjaga.
No

Usia

Pendederan

Pakan

1
12
1
Cacing sutra
2
15
2
Penglinol
3
15
3
Pengli 1 PF 1000
Tabel 4. Masa pendederan larva ikan lele (Clarias sp.)

Banyaknya
pemberian pakan
Pagi dan sore hari
Per 3 jam
Per 3 jam

Menurut Lukito (2002), dalam kegiatan pengontrolan kualitas air meliputi pergantian air
dengan pengaturan volume air dan penyiponan. Pengelolaan kualitas air selama PKL, dilakukan
dengan melakukan penyifonan bak pemeliharaan larva setiap pagi hari sebelum pemberian pakan
dan penggantian air sebanyak 50%. Penyifonan dilakukan untuk membersihkan sisa-sisa pakan
dan kotoran yang terdapat di dasar bak pemeliharaan larva. Sedangkan untuk menambah oksigen
terlarut dalam bak pemeliharaan larva, air dalam bak pemeliharaan diberikan aerasi secara terus
menerus.

Selama pemeliharaan larva dalam bak fiber tidak memperlihatkan gejala-gejala bahwa ikan
terserang hama penyakit. Jika dilihat dari gerakannya yang normal dan nafsu makan yang relatif

tinggi menandakan kondisi ikan sehat dan normal. Meskipun kondisi ikan dalam kondisi yang
baik, selama dalam pemeliharaan, larva ikan lele sangkuriang tetap diberikan perawatan sebagai
upaya pengendalian hama penyakit untuk pencegahan. Menurut Lukito (2004), kegiatan
pengendalian hama penyakit meliputi pencegahan dan pengobatan. Tindakan pencegahan yang
dilakukan selama PKL yaitu dengan memberikan garam sebanyak 3 kg dalam 3,2 m3 air (1 ppt).
Panen larva yang telah berumur lebih dari 21 hari warna tubuhnya tampak kehitaman dan
sudah menyebar dipermukaan air, hal ini menandakan bahwa larva siap dipanen untuk langsung
dijual atau ditebar ke kolam pembesaran yang sudah disiapkan sebelumnya. Pemanenan larva
didahului dengan menutup saluran pemasukan air dan membuka outlet. Kemudian pada pipa
outlet dipasang seser halus untuk menampung benih. Menurut Prihartono dkk (2000), Selama
kegiatan pemanenan perlu adanya perlakuan tertentu karena lele sangkuriang merupakan jenis
ikan yang tidak bersisik, tetapi tubuhnya berlendir.
Oleh karena tidak bersisik maka tubuhnya sangat mudah mengalami lecet dan luka. Lecet
atau luka pada lele sangkuriang dapat disebabkan oleh penggunaan peralatan yang sembarangan,
cara panen yang kurang baik dan waktu panen yang kurang tepat. Panen larva ikan lele
menggunakkan bak sortir dengan lubang berdiameter 1-2, 2-3, 4-5, 5-7, 7-8, 11-12. dan siap
dipindahkan kekolam pembesaran yang telah dipersiapkan sebelumnya dan Penebaran benih
dilakukan setalah 4-5 hari setelah pemupukan. Kondisi benih yang ditebarkan harus sehat serta
ukuran sama besar atau panjang. Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada saat suhu rendah
yaitu pagi atau sore menjelang malam. Dan pemberian pakan ikan lele berukuran 30 cm pakan
nya berupa pelet pagi dan sore hari. Setelah lebih dari ukuran 30 cm boleh diberi pakan
tambahan berupa CCM dan lain-lain.

BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Dari laporan magang mengenai budidaya ikan lele sangkuriang yang telah kami
laksanakan di Desa Sumur bandung Kp. Saradan RT 015/002 Kec. Jayanti Kab. Tangerang.
Selama 12 hari mulai dari tanggal 1 sampai tanggal 12 februari 2011 selama mengisi waktu
liburan semester III dapat disimpulkan antara lain terdiri dari :
1. Kelompok minatani merupakan kelompok pembudidaya ikan air tawar khususnya ikan
lele sangkuriang (Clarias sp.) atau POKDAKAN yang berada diwilayah di Kab.
Tangerang
2.

Tujuan pembuatan kelompok POKDAKAN tersebut supaya Dinas Kelautan dan


Perikanan setempat dapat mudah memperoleh data siapa saja yang mempunyai usaha
tersebut dan juga untuk memudahkan setiap petani dalam memperoleh informasi

tentang bagaimana cara budidaya yang baik dan benar serta hal-hal yang lain yang
terkait dalam pelaksanaan budidaya ikan.
3.

Syarat lokasi atau lahan budidaya yaitu Dasar kolam memiliki parit diagonal yang
berukuran 10 m dengan kemiringan yang disesuaikan

4.

Manajemen pemasaran yang ada pada kelompok Minatani yaitu setelah proses
pemanenan tengkulak datang untuk membeli hasil panen ikan lele tersebut.

5. Pakan yang biasanya digunakan kelompok Minatani yaitu pelet sebelum ukuran ikan
mencapai size 30 ekor/kg. Apabila ukuran ikan lele sudah lebih dari size 30 ekor/kg
maka diberi pakan tambahan seperti CCM (Jeroan ayam), sosis BS, roti BS, dan sisa
makanan dari restoran.
6.

Analisis usaha budidaya ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) Tengkulak datang membeli
Rp.11.000,- per kilogramnya.

7.

Teknik pemijahan ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) yang digunakan di kelompok
minatani yaitu metode pemijahan secara buatan (Induced Breeding).

Saran
Dari kegiatan magang yang telah dilakukan oleh mahasiswa/i UNTIRTA mengenai budidaya
ikan lele sangkuriang (Clarias sp.) diharapkan dapat dijadikan salah satu pembelajaran praktek
dalam mata kuliah budidaya perikanan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Lele Sangkuriang. Poster Tentang Pelepasan Varietas Ikan Lele Sebagai Varietas
Unggul . Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar, Ditjen Perikanan Budidaya,
Departemen Kelautan dan Perikanan. Sukabumi.
http://www.google.com
(Diakses tanggal 1 Maret 2011)
J. Purwanto. 2000. Informasi Teknis Budidaya Ikan Lele. Departemen Pertanian
Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta
http://www.google.com
(Diakses tanggal 1 Maret 2011)
Nurhidayat, dkk. 2000. Rekayasa dalam peningkatan mutu ikan lele (Clarias sp.) . dalam laporan
tinjauan hasil bagian proyek pengembangan teknik budidaya air tawar sukabumi. Balai budidaya
air tawar Sukabumi. Sukabumi hal 53-61
http://www.google.com
(Diakses tanggal 1 Maret 2011)

Suryanah. 2009. Kiat sukses budidaya ikan lele (Clarias sp.) dan Materi pengarahan Ibu Suryanah.
2011. Tangerang
Warsino. Dahana, K.2009. Meraup Untung dari Beternak Lele Sangkuriang.Yogyakarta: Lily
Publisher.
http://iswadi37.wordpress.com/2007/12/06/budidaya-lele-sangkuriang/
(Diakses tanggal 1 Maret 2011)

Diposkan oleh Ulfah Laide di 11.24


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Laman qu

Beranda

Pengikut
Arsip Blog

2012 (18)

2011 (35)
o Desember (9)
o November (12)

super junior

USULAN PRAKTEK LAPANG AQUAKULTUR UDANG VANNAMEI

kepulauan togian

Laporan Praktikum Mata KuliahTeknologi Pengolahan ...

Super Junior Superman

(OST Cinderellas Stepsister) It Has To Be You ...

Lirik Lagu Super Junior - Mr Simple

Isu-isu ekonomi terhadap pariwisata

ANALISIS JURNAL Mutu dan daya simpan fillet dende...

LAPORAN MAGANG BUDIDAYA IKAN LELE (Clarias sp.)...

Laporan Praktikum Teknik Produksi dan Pemberian Pa...

IDENTIFIKASI PARASIT PADA INSANG IKAN AIR TAWAR

o Oktober (8)
o Januari (6)

Ulfah Laide
Lihat profil lengkapku
Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

Jun
25

TEKNIK PEMIJAHAN IKAN LELE


DUMBO (Clarias gariepinus) SECARA

INDUCED BREEDING DI BALAI BENIH


IKAN (BBI) KABUPATEN SEKADAU
TEKNIK PEMIJAHAN IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) SECARA INDUCED
BREEDING DI BALAI BENIH IKAN (BBI) KABUPATEN SEKADAU.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki sumberdaya perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan,
baik di wilayah perairan tawar (darat), payau maupun perairan laut. Hal ini didukung oleh
potensi perairan umum yang begitu luas dan belum dimanfaatkan untuk usaha perikanan secara
optimal. Provinsi Kalimantan Barat salah satunya yang memiliki potensi yang baik bagi
pengembangan usaha budidaya perikanan, khususnya air tawar.
Ikan lele merupakan salah satu komoditas air tawar yang memiliki daya serap pasar yang
tinggi,

bila

potensi

tersebut

dimanfaatkan

secara

optimal

dan

benar,

maka

akan dapat meningkatkan pendapatan petani ikan, membuka lapangan kerja, memanfaatkan
daerah potensial, meningkatkan produktifitas perikanan, meningkatkan devisa Negara, serta
membatu menjaga kelestarian sumberdaya hayati. Ikan lele mempunyai kelebihan dan
keunggulan yang khas, bila dibandingkan dengan ikan air tawar yang lainnya, yaitu
pemeliharaan yang murah, mudah, serta dapat hidup di air yang kurang baik, cepat besar dalam

waktu yang relative singkat, kandungan gizi yang tinggi dalam setiap ekornya, juga memiliki
rasa daging yang khas dan lezat yang tidak terdapat pada ikan lainnya.
Dalam hal ini, maka untuk terus dapat menyediakan pasokan ikan lele, kegiatan
pemijahan merupakan salah satu jalan yang dapat dilakukan. Berdasarkan hal inilah penulis
mengambil judul Teknik Pemijahan Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) secara induced
breeding di Balai Benih Ikan (BBI) Kabupaten Sekadau.
Ada beberapa metode pemijahan ikan, yaitu alami, semi intensif, dan intensif. Dalam hal
ini pemijahan dilakukan secara intensif, yaitu dengan menggunakan rangsangan hormone yang
kemudian pembuahan telur dilakukan secara streeping, metode ini dikenal dengan induced
breeding.
Keberhasilan pemijahan sangat ditentukan oleh tingkat kematangan gonad. Oleh
karenanya, induk yang akan dipijahkan sebelumnya dilakukan seleksi terlebih dahulu untuk
menentukan induk yang benar-benar siap untuk dipijahkan agar benih yang dihasilkan
berkualitas.
1.2 Pembatasan Masalah
Dalam kegiatan praktek kerja lapangan ini, batasan masalah yang akan difokuskan pada
teknik pemijahan ikan lele yaitu meliputi :
1. Persiapan wadah
2. Seleksi induk
3. Pemberokan
4. Proses pemijahan
5. Penetasan telur
6. Perawatan larva
1.3 Tujuan
Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui teknik pemijahan ikan lele di Balai Benih Ikan
(BBI) Kabupaten Sekadau.
1.4 Manfaat

Manfaat yang di dapat dari kegiatan ini adalah dapat mengetahui langsung serta
meningkatkan keterampilan dilapangan tentang teknik pemijahan ikan lele dan mengetahui
kendala-kendala apa saja yang akan dihadapi.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi


Berdasarkan klasifikasi menurut taksonominya, ikan lele yang dikemukakan oleh
Suyanto (2002) adalah sebagai berikut:
Phyllum

: Chordatan

Sub Phyllum

: Vetebrata

Class

: Pisces

Sub Class

: Teleostei

Ordo

: Ostariophysi

Sub Ordo

: Siluroidae

Family
Genus
Spesies

: Clarridae
: Clarias
: Clarias gariepinus

Menurut Sarwono (2008), ikan lele dumbo meiliki ciri-ciri bentuk tubuh yang
memanjang agak silindris (membulat) dibagian depan dan mengecil dibagian ekornya, kulitnya
ridak memiliki sisik, berlendir, dan licin sehingga sulit saat di tangkap meggunakan tangan.
Diatas rongga insang terdapat selaput alat pernapasan tambahan (labirin) yang memungkinkan
lele dumbo dapat mengambil oksigen langsung dari udara.
Lele dumbo memiliki 5 (lima) buah sirip yang terdiri dari sirip pasang (ganda) dan sirip
tunggal. Sirip yang berpasangan adalah sirip dada (pectoral) dan sirip perut (ventral). Sedangkan
yang tunggal adalah sirip punggung (dorsal), ekor (caudal) serta sirip dubur (anal). Pada sirip
dada dilengkapi dengan pati dan taji beracun. Jika dibandingkan lele local, patil lele dumbo lebih
pendek dan tumpul. Selain memiliki kemampuan dapat meloloskan diri pada kolam perairan
dengan cara melompat, ikan lele dumbo juga mampu melakukan gerakan zig-zag diatas tanah
tanpa air dalam waktu yang cukup lama asalkan tanah dalam keadaan lembab (Santoso, 2003).

Lele dumbo memiliki sungut yang berada disekitar mulut. Sungut ini berjumlah 8 buah
atau 4 pasang. Sungut berfungsi untuk mengenal mangsanya, lele dumbo juga dapat mengenal
dan menemukan makanan dengan cara rabaan (tentakel) dengan menggerakan salah satu
sungutnya (Santoso, 2003). Secara umum, ikan lele dumbo dapat dilihat seperti Gambar 1
dibawah ini :
Gambar 1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

2.2 Habitat dan Tingkah Laku


Semua perairan tawar dapat menjadi lingkungan hidup atau habitat lele dumbo, seperti
waduk, bendungan, danau, rawa, atau genangan air tawar lainnya. Namun, lele dumbo juga dapat
ditemukan di sungai yang arus airnya tidak terlalu deras, sehingga lele dumbo ini dapat
dikatakan lebih menyukai perairan yang arusnya lamban, lele dumbo kurang menyukai perairan
yang berarus deras (Bachtiar, 1995).
Ikan lele dumbo sangat toleran terhadap suhu yang cukup tinggi, yaitu berkisar antara
20oC - 35oC dan dapat hidup diperairan yang kondisi lingkungannya sangat jelek. Ikan lele
dumbo dapat mengambil oksigen dengan cara melakukan pertukaran gas yang terjadi melalui
organ aboresent yang terletak dalam ruang atas insang. Oleh sebab itu, ikan lele memiliki
kemampuan bernafas dengan udara secara langsung yang memungkinkan ikan lele dapat
bertahan hidup didalam lumpur pada musim kemarau (Santoso, 1995).
Ikan lele dumbo terkenal dengan sifat nocturnalnya yaitu aktif pada malam hari,
sedangkan pada siang hari ikan lele ini jarang menampakan diri dan lebih menyukai tempat yang
gelap dan sejuk. Namun kebiasaan ini dapat diubah dengan dibiasakannya memelihara dikolamkolam, dimana pemberian pakannya diberikan pada siang hari (Santoso, 1995). Pada waktu siang
hari, ikan lele lebih menyukai bersembunyi dibalik batu, lubang dan rumput-rumput yang ada
didasar perairan, dan karena aktif pada malam hari maka mata ikan lele ini tidak terlalu berperan
penting. Sedangkan organ-organ yang berperan penting adalah pembau yang berupa sungutsungut yang berada disekitar mulutnya.
2.3 Perkembangbiakan

Dalam hal pemijahan ikan lele bukanlah musiman sepeti halnya ikan patin ataupun ikan
bawal. Ikan lele dapat memijah dalam sepanjang tahun. Apabila pemberian pakan tambahan
sangat cukup, maka ikan lele dumbo dapat berpijah selama 6-8 minggu. Ikan lele dumbo ini
tergolong ikan yang cepat besar, apabila akan dipijahkan ikan lele dumbo ini harus memiliki
berat badan minimal 600 - 700 gram, dan umurnya harus diatas 1 tahun. Ikan lele dumbo ini
akan mencapai dewasa setelah berumur 2-3 tahun dan akan mulai memijah selama musim hujan
sampai dengan akhir musim hujan (Susanto, 2002). Adapun perbedaaan induk jantan dan betina
dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Ciri-ciri induk ikan lele dumbo
Jantan
Betina
kepala lebih kecil
kepala lebih besar
warna kulit dada tua (gelap)
warna kulit dada agak kurang
urogenital agak menonjol, memanjang
urogenital berbentuk oval dan berwana
kearah belakang dan bewarna kemerahan
kemerahan
perut labih langsing dan kenyal
perut lebih gemuk dan lunak
gerakannya lincah (agresif)
gerakan lambat jika di striping
mengeluarkan
cairan kekuning-kunigan
jika di striping mengeluarkan cairan putih
(telur)
(sperma)
Sumber : Anonym, (2006)

Biasanya ikan lele yang akan memijah mencari tempat untuk meletakan telur-telurnya
yaitu substrat yang berupa batu-batuan, rumput atau ranting kayu yang tenggelam dalam air yang
kedalamannya sekitar 10 cm dengan arus yang tidak terlalu deras atau tenang. Pemijahan ikan
lele berlangsung selama beberapa jam saja, dimana induk betina akan memulai mengeluarkan
dan meletakan telur-telurnya pada substrat dalam beberapa kelompok, kemudian diikuti oleh
keluarnya sperma dari lele jantan menyatu pada telur-telur tersebut. Setelah telur dan sperma
tercampur ikan betina mengibaskan ekornya agar telur-telur tersebut merata pada substrat yang
ada disekitar (Susanto, 2002).
2.4 Pakan dan Kebiasaan Makan
Ketika dipelihara atau dibudidayakan dikolam, Lele dumbo juga dapat diberipakan
bangkai dari limbah peternakan atau diberi pakan buatan seperti pellet. Lele dumbo merupakan
ikan yang sangat responsif terhadap pakan. Artinya, hampir semua pakan yang diberikan sebagai
ransum atau pakan sehari-hari akan disantap dengan lahap. Itulah sebabnya ikan ini cepat besar
(bongsor) dalam masa yang singkat. Keunggulan ini dimanfaatkan para pembudidaya ikan lele
dumbo dengan memberikan pakan yang mengandung nutrisi tinggi untuk menggenjot laju

pertumbuhannya. Harapannya dalam waktu yang relatif singkat lele dumbo sudah bisa dipanen
dan dipasarkan sebagai ikan konsumsi (Khairuman, 2002).
Menurut Mahyuddin (2008), lele mempunyai kebiasaan makan didasar perairan atau
kolam. Berdasarkan jenis pakannya lele digolongkan sebagai ikan yang bersifat karnivora
(pemakan daging). Di habitat aslinya, Lele memakan cacing, siput air, belatung, laron, jentikjentik, serangga air, kutu air. Karena bersifat karnivora pakan yang baik untuk ikan lele adalah
pakan tambahan yang mengandung protein hewani. Jika pakan yang diberikan banyak
mengandung protein nabati, pertumbuhan akan lambat. Lele bersifat kanibalisme, yaitu suka
memakan jenis sendiri. Jika kekurangan pakan ikan ini tidak segan-segan untuk memakan atau
memangsa kawannya sendiri yang berukuran lebih kecil
2.5 Kualitas Air
Air merupakan faktor terpenting dalam budidaya ikan. Bukan hanya lele, ikan-ikan lain
pun untuk hidup dan berkembang biak memerlukan air. Tanpa air ikan tidak akan dapat hidup.
Karenanya, kualitas air harus di perhatikan agar kegiatan budidaya berjalan sesuai dengan yang
di harapkan. Kualitas air adalah variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kehidupan lele.
Variabel tersebut dapat berupa sifat fisika, kimia, dan biologi air. Sifat-sifat fisika air meliputi
suhu, kekeruhan, dan warna air. Sifat kimia air adalah kandungan oksigen (O 2), karbondioksida
(CO2), pH (derajat keasaman), amoniak (NH 3), dan alkalinitas. Sifat bilologi meliputi plankton
yang hidup disuatu perairan (Khairuman dan Amri, 2002). Berikut tabel parameter kualitas air :
Tabel 2. Parameter kualitas air
No
1.
2.
3.
4.

Parameter
Suhu
DO
Ph
Kecerahan

Kisaran
25 32C
5 7 ppm
68
15-30 Cm

Alat yang digunakan


Thermometer
DO meter
Ph meter
Secchidish

Sumber : Anonym (2006)

2.6 Teknik Pemijahan


Masalah utama pembenihan lele dumbo adalah ketersediaan air yang cukup dan
berkualitas baik. Pemijahan lele dumbo harus menggunakan air bersih dan tidak tercemar bahan
beracun baik air hujan, air irigasi, maupun air tanah dari mata air atau sumur. Di alam, lele
dumbo aktif berpijah di pinggiran sungai selama musim hujan. Untuk itu faktor utama yang di
perhatikan dalam usaha pembenihan adalah sebagai berikut.

2.6.1

Seleksi induk
Seleksi induk bertujuan untuk meningkatkan mutu agar menghasilkan benih yang
berkualitas, sifat-sifat induk yang telah diseleksi diharapkan dapat mewariskan keturunannya
(Sutisna dan Sutarmanto, 2006). Induk betina yang sudah matang memiliki ciri-ciri perut gendut,
jika diraba terasa lembek, dan bagian duburnya tampak kemerahan. Sementara itu ciri-ciri induk
jantan adalah jika diurut kearah ekor akan keluar cairan putih (sperma) (Anonym, 2008).

2.6.2

Penyuntikan
Pasangan induk lele dumbo yang cocok dan telah matang kelamin akan segera memijah
setelah di masukkan ke dalam kolam pemijahan. Biasanya ikan lele dumbo berpijah pada tengan
malam menjelang pagi yakni sekitar pukul 07.00-04.00 tetapi proses pemijahan tersebut kadangkadang mundur sampai sehari lebih (24-36 jam).
Hormon yang digunakan untuk merangsang lele dumbo agar memijah adalah hormon
alamiah (dari kelenjar hipofisa) dan hormon buatan. Hormon yang di ambil dari kelenjar hipofisa
yang teletak di bagian bawah otak kecil ikan. Kelenjar hipofisa ini hanya sebesar butir kacang
hijau bahkan lebih kecil (Khairuman, 2002).

2.6.3

Streeping dan pembuahan


Menurut Arie dkk. (2006), setelah 10-12 jam dari penyuntikan, induk betina siap di
streeping (pengurutan telur kearah kelamin). Sebelum melakukan streeping pada induk betina,
terlebih dahulu menyiapkan sperma jantan. Pengambilan sperma jantan dengan cara membedah
perut induk jantan dan mengambil kantong sperma dengan cara mengunting. Selanjutnya sperma
di tampung di gelas yang sudah diisi dengan NaCl aduk hingga merata. Setelah sperma jantan di
siapkan, kemudian dilakukan pengurutan induk betina. Langkah-langkah pembuhan telur sebagai
berikut: telur di tampung dalam baskom plastik, kemudian masukan larutan sperma sedikit demi
sedikit sambil diaduk sampai merata, telur yang sudah terbuahi dibilas dengan untuk mencuci
telur yang kotor.

2.6.4

Penetasan telur

Menurut Susanto (2005), telur yang dikeluarkan pasangan induk ini biasanya melekat
pada ijuk dan sebagian besar berserakkan di sarang dasar. Diameter telur berkisar antara 1.3-1.6
mm dan akan menetas selama 1-2 hari selama 2-3 hari telur biasanya akan menetas seluruhnya.
Begitu proses pemijahan selesai antara jam 05.00-06.00 pagi kakaban harus segera di angkat dan
di pindahkan ke dalam kolam penetasan.
Untuk menghindari tumbuhnya jamur, kakaban yang sudah berisi telur tersebut sebaiknya
di rendam terlebih dahulu, karena sifat telur lele menempel maka perlu kakaban. Selama proses
penetasan telur usahakan sirkulasi air berjalan dengan baik dan air yang masuk lewat
pemasukkan berjalan secara perlahan-lahan (Susanto, 2005).
2.6.5

Perawatan Larva
Setelah telur menetas semua waktu 2-3 hari selanjutnya mengangkat kakaban di dalam
hapa satu persatu pengangkatan harus hati-hati agar kualitas air tetap terjaga. Larva yang baru
menetas belum perlu di beri makanan. Sebab masih mempunyai makanan cadangan berupa
kuning telur. Dengan perawatan dan makanan yang baik dalam tempo 1 bulan benih lele dapat
tumbuh hingga mencapai 3-5 cm. Tahap pemberian pakan larva dapat dilihat pada Tabel 3.
Pekerjaan pokok perawatan lele adalah membersihkan telur, siphonisasi, cangkang dan telur
busuk, dan mempertahankan konsentrasi oksigen pada suhu optimal.
Tabel 3. Tahap pemberian makanan larva
No

Umur

1.

0-3 hari

2.
3.

4-6 hari
7-14 hari

4.

15-30 hari

Makanan yang di berikan


Belum di beri makanan karena masih ada
kuning telur
Kuning telur di rebus
Rotifera, kutu air (disaring)
Kutu air, jentik nyamuk hidup, cacing
rambut

Keterangan
Di larutkan

Sumber : Santoso (2005)

2.6.6

Pemanenan larva
Sebelum dilakukan pemanenan larva ikan, terlebih dahulu siapkan alat-alat yang akan
digunakan seperti ember, Sesser, jarring halus atau happa sebagai penyimpan benih sementara,
saringan yang digunakan untuk mengeluarkan air dari- bak agar benih tidak terbawa arus. Panen
larva di mulai pada pagi hari, yaitu antara jam 05.00-06.00 pagi dan sebaiknya berakhir tidak
boleh lewat dari jam 09.00 pagi. Hal ini di maksudkan untuk menghindari teriknya matahari

yang menyebabkan larva strees. Pemanenan mula-mula dilakukan dengan menyurutkan air
dalam bak secara perlahan-lahan. Setelah air surut larva mulai ditangkap dengan seser atau
jarring halus dan ditampung dalam ember (Suseno 1999).

3. METODELOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) II ini dilaksanakan pada16 Januari sampai
dengan 27 Januari 2011.berlokasi di Balai Benih Ikan (BBI) Kabupaten Sekadau, Provinsi
Kalimantan Barat yang akan dimulai dari tanggal
3.1 Objek PKL
Objek PKL yang diambil adalah semua hal yang berhubungan dengan Teknik Pemijahan
Ikan Lele Dumbo di BBI Skadau, meliputi persiapan wadah, pemeliharaan dan seleksi induk,
pemberokan, proses pemijahan, penetasan telur dan perawatan larva.
3.2 Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data merupakan suatu cara untuk mendapatkan data-data yang
diperlukan dalam penyusunan suatu karya ilmiah atau laporan. Metode yang digunakan berupa
metode deskriptif. Jenis yang diambil berupa data promer dan data sekunder.
3.2.1

Data primer
Data primer adalah data pokok yang diambil secara langsung di lapangan. Teknik
pengambilan data primer adalah pemngambilan data yang dilakukan dengan pengamatan atau
observasi langsung di lapangan, wawancara, serta partisipasi langsung mengenai aktivitas di
lapangan.
Dalam pengumpulan data primer dapat mempergunakan metode-metode antara lain,
pengamatan atau observasi langsung di lapangan, yaitu berbagai kegiatan pengamatan yang
dilakukan meliputi berbagai jenis objek yang diamati di lokasi, wawancara yaitu kegiatan untuk
memperoleh informasi dari narasumber di lapangan yang dinilai dapat memberikan informasi

yang diperlukan dalam penyusunan laporan atau penelitian dimana proses wawacara dilakukan
langsung dengan teknisi yang mengelola serta partisipasi dan aktivitas adalah adalah berbagai
jenis kegiatan yang dilakukan dalam suatu kegiatan di lapangan meliputi kegiatan oprasional.
Parameter utama yang diamati untuk dijadikan sebagai data primer dalam kegiatan
pemijahan ikan lele adalah sebagai berikut :
3.3.1.1. Persiapan wadah
Untuk melakukan pemijahan diperlukan persiapan wadah atau media seperti yang
terdapat pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Pengambilan data persiapan wadah
No

Uraian

Cara Pengambilan Data


Mengindentifikasai jenis wadah yang digunakan
dengan cara observasi dan partisipasi di lapangan.

Menentukan jenis wadah yang


digunakan
Mengukur luasan media dengan menggunakan
Ukuran

Pembersihan wadah

Membersihkan bak dengan cara menyikat wadah


yang akan digunakan

Pemasangan happa

memasang happa sebagai tmpat penetasan telur dan


perawatan larva

meteran.

3.3.1.2. Seleksi induk


Data yang diambil sehubungan dengan seleksi induk meliputi :
Tabel 5. Pengambilan data seleksi induk
No

Uraian

Umur

Ukuran induk

Asal

Tingkat kematangan gonad

Waktu pemijahan

Cara Pengambilan Data


Mengidentifikasi umur induk dengan cara
mewawancarai teknisi.
Mewawancarai
teknisinmengenai
lama
pemeliharaan induk di loksai tersebut
Mengidentifikasi berat induk dengan cara
menimbang induk menggunakan timbangan
Mengidentifikasi panjang induk dengan cara
mengukur menggunakan penggaris
Mengidentifikasi asal induk melalui wawancara
denga teknisi untuk mengetahui dari mana asal
induk yang ada di lokasi
Mengidentifikasi tingkat kematangan gonad
dengan cara melihat cirri-ciri fisik atau alat
kelamin, melihat gerakannya dan wawancara
Untuk mengetahui waktu pemijahan dilakukan
wawancara denga teknisi

3.3.1.3. Pemberokan
Data untuk melakukan pemberokan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut :
Tabel 6. Pengambilan data pemberokan

No
1

Uraian
Tujuan

Cara pengambilan data


Pengambilan data dengan
wawancara.

cara

Perlakuan dan waktu

3.3.1.4.
Proses

Pengambilan data dengan wawancara


dan partisipasi langsung.

pemijahan
Pada proses pemijahan dilakukan beberapa tahap, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Tabel 7 berikut :
No
1

Tabel 7. Pengambilan data proses pemijahan


Uraian
Cara Pengambilan Data
Perbandingan induk betina
Partisipasi dengan menentukan jumlah
perbandingan induk jantan dan betina yang
akan dipijahkan.

Dosis penyuntikan

Waktu dan tahapan penyuntikan Dengan cara berpartisipasi dalam tahap


hormone
penyuntikan dan menentukan waktu
penyuntikannya.

Pengeluaran telur dan sperma

Pembuahan

Wawancara dengan teknisi dan disesuaikan


dangan literature
berpartisipasi dalam menghitung dosis
hormone

Partisipasi dalam pengeluaran telur dengan


cara distriping dan pengeluaran sperma
dengan cara membedah induk jantan
Partisipasi dalam mencampur telur dengan
cara diaduk menggunakan bulu ayam.
Partisipasi dalam menghitung jumlah telur
dengan melakukan sampling dengan cara
mengalikan jumlah telur sampel dengan
total telur.

fekunditas

3.3.1.5. Penetasan telur


Pada penetasan telur data-data yang di ambil dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :
No

Tabel 8. Pengambilan data penetasan telur


Uraian
Cara Pengambilan Data

Waktu penetasan

Dengan cara menghitung rentang waktu


dari pembuahan hingga telur menetas.

Suhu air

Mengukur dan mencatat suhu air pada bak


penetasan telur dengan menggunakan alat
termometer.

pH air

Mengukur dan mencatat pH air pada bak


penetasan telur dengan menggunakan alat
pH meter.

Hatching Rate (HR)

Menghitung dan mencatat jumlah telur


yang menetas dengan melakukan sampling
pada telur larva.

3.3.1.6. Perawatan larva


Telur yang menetas dikenal dengan sebutan larva. Data yang akan diambil pada proses
perawatan larva adalah sebagai berikut :

3.3.2

No
1

Tabel 9. Pengambilan data perawat larva


Uraian
Cara Pengambilan Data
Jenis, dosis, frekuensi dan cara Wawancara dengan teknisi dan partisipasi
pemberian pakan
melakukan pemberian pakan.

Suhu

Mengukur dan mencatat suhu air pada bak


parawatan larva dengan menggunakan
termometer.

pH

Mengukur dan mencatat pH air


menggunakan pHmeter.

sampling

Partisipasi melakukan dan menghitung


sampling larva

Survival Rate (SR)

Dilakukan dengan membandingkan jumlah


larva yang hidup pada waktu tertentu.

Data skunder
Data skunder adalah data yang sifatnya mendukung data primer, yaitu data yang
diperoleh dari hasil studi literature untuk melengkapi data primer. Pengambilan data skunder
dilakukan dengan cara mengutip atau menjadikan buku literature sebagai pelengkap data primer
serta sebagai studi banding dan pengamatan. Data yang diperoleh dari buku yang menjadi

literature sebagai penunjang, biasanya dalam bentuk gambar, table dan kutipan pernyataan
seorang penulis buku tersebut. Adapun data skunder yang diambil dapat dilihat pada Tebel 10
berikut :
No
1

Table 10. Pengambilan data sekunder


Uraian
Cara Pengambilan Data
Sejarah berdirinya lokasi
Data
diambil
dengan
melakukan
wawancara dengan teknisi kemudian
mencatat hasil wawancara.

Struktur organisasi

Data
diambil
dengan
melakukan
wawancara dengan teknisi kemudian
mencatat hasil wawancara.

Letak administratif

Data
diambil
dengan
melakukan
wawancara dengan teknisi kemudian
mencatat hasil wawancara.

Sarana dan prasarana

Data diambil dengan cara mengamati dan


mengindentifikasi sarana dan prasarana
serta melakukan wawancara dengan teknisi

3.3 Analisa Data


Analisa dilakukan berdasaran analisa data kualitatif yang merujuk pada data, yang terdiri
dari deskripsi kaya dengan mengklasifikasikan, dan menafsirkan maknanya dalam kontek
masalah yang teliti. Selanjutnya juga dikatakan dengan analisa kulitatif, bukan berarti tidak ada
angka-angka, hanya saja angka-angka yang digunakan itu bukan merupakan hasil perhitungan
statistic, melainkan tabulasi-tabulasi data saja, jika memang data tersebut mengharuskan untuk
ditabulasikan dalam betuk angka-angka guna mempermudah dalam membaca.
Metode kuantitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data kualitatif
(angka-angka statistic) atau pengkodean yang dapat dikuantifikasi dan menekankan pada hal-hal
dan fakta-fakta yag nyata. (http://www.skripsi-tesis.com/07/05/metode-kuantitatif-pdf-doc.htm 08
Januari 2011)
Analisa data yang di ambil meliputi:
3.3.1

Fekunditas
Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh induk betina per ekor, sedangkan
fekunditas nisbi adalah jumlah telur yang dihasilkan induk betina per satuan berat badan.
Menurut Murtidjo (2001) fekunditas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

W
F=

xn
w

Keterangan :
F = Jumlah total telur (F)
W = Berat telur total (g)
w = Berat telur sampel (g)
n = Jumlah total telur yang dihitung saat sampling (butir)
3.3.2

Hatching rate (HR)


Hatching rate (HR) adalah daya tetas telur atau jumlah telur yang menetas. Untuk
mendapatkan HR sebelumnya dilakukan sampling larva untuk mendapatkn jumlah larva,
Menurut Murtidjo (2001), HR dapat dihitung menggunakan rumus berikut ini :
Jumlah telur yang menetas (ekor)
HR =
X 100%
Jumlah telur yang terbuahi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi


4.1.1

Letak Geografis
Balai Benih Ikan (BBI) Sekadau adalah salah satu tempat dilaksanakannya kegiatan
pembenihan yang ada di Kabupaten Sekadau untuk menghasilkan benih yang unggul dan
sekaligus dijadikan tempat pelatihan atau penyuluhan bagi kelompok tani.
Praktek Kerja Lapangan II ini dilakukan di Balai Benih Ikan (BBI) Kemawan Jl Sintang
di KM 7 dari pusat kota Kabupaten Sekadau dengan luas lahan 5 hektar dan terdiri dari 34
kolam yang berjarak 1.250 m dari jalan raya Kabupaten Sekadau Provinsi Kalimantan Barat.
Dengan keadaan alamnya beriklim tropis, dan berdasarkan musimnya ada dua musim yaitu
penghujan dan musim kemarau.

Keadaan alam di sekitar lokasi BBI Sekadau cukup menunjang untuk usaha budidaya
perikanan, karena jauh dari pencemaran industry dan sumber airnya merupakan aliran air dari
pegunungan / perbukitan.
4.1.2

Sejarah Berdirinya
Balai Benih Ikan (BBI) Kemawan Kabupaten Sekadau berdiri pada tahun 2006 dikelola
oleh Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Sekadau yang dipimpin oleh Bapak
Drs. A. Ardianto. G M. Si.
Balai Benih Ikan tersebut memiliki luas area 5 Ha. Walaupun lokasi BBI berada jauh dari
kota, tetapi banyak konsumen yang datang untuk membeli ikan, baik yang berukuran benih
maupun yang berukuran konsumsi.
Tugas dan fungsi Balai Benih Ikan Kemawan Kabupaten Sekadau adalah sebagai
berikut :

a.

Sebagai tempat kegiatan praktek (magang) untuk mahasiswa dan siswa

b. Pusat pelatihan atau penyuluhan kelompok tani


c.

Untuk kegiatan budidaya dan mengasilkan benih yang unggul


Lahan yang dimiliki BBI Kemawan terdiri dari 32 kolam yaitu kolam pendederan, kolam
pembesaran,

kolam

pemeliharaan

induk,

bangunan

hatcery,

gudang

pakan,

ruang

penerangan/listrik, mess, rumah karyawan, aula tempat pelatihan, dan kantor BBI Kemawan.
4.1.3

Struktur Organisasi
Balai Benih Ikan Sekadau terletak dibawah Dinas Pertanian, Perikanan Kab. Sekadau.
Adapun struktur organisasi terdapat pada Gambar 2.
Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Sekadau
Teknisi Lapangan
Bendahara
Koordinator Lapangan
Kepala Bidang
Perikanan

Gambar 2. Struktur organisasi BBI Sekadau

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

4.1.4

Keterangan :
Kepala Dinas
Kepala Bidang
Koordinator Lapangan
Bendahara
Teknisi Lapangan
Mugimin, S.Pi
Mochtar
Kurniadi Indriawan
M. Hatta
Syahroni
Saharudin
Hayatull
Arif Rohman,A.Md.Pi
Andreas piter

: Drs. A. Ardianto, G. M. Si
: Dede Sunardi, A.Md
: Iwan Supardi, S.Pi
: Eka Purnekasari

Sarana dan Prasarana


BBI Sekadau dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang mendukung untuk syarat
pembenihan dan administratif. Adapun sarana dan prasarana dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Sarana dan Prasarana BBI Kemawan Kabupaten Sekadau
Jumla
No Jenis
Spesifikasi
Fungsi
h
89 x 33 x 44 4
Sebagai wadah penetasan telur
1
Akuarium
cm
dan perawatan larva
Bak pemijahan
2
- Beton
2 x 2 x 0,5 m 5
Sebagai wadah pemijahan
- Fiber bulat
1,5 ton
2
3
Bak inkubasi
1,5 ton
2
Sebagai wadah inkubasi telur
Bak perawatan
2
4
2 x 2 x 0,5 m
Sebagai wadah perawatan larva
larva
Bak
1
Sebagai wadah penampungan
5
2 x 2 x 0,5 m
penampungan air
air
6
Airator
150 watt
5
Sebagai sumber oksigen
7
Dompeng
1500 watt
1
Sebagai sumber energy listrik
4
Sebagai wadah penetasan
8
Konikel tank
33 L
artemia dan larva ikan bawal

9
10

Pompa robin
Selang sipon

3m

11

Styrofoam

12

Baskom

13

Ember

14
15

Gelas ukur
Spuid

300 cc
10 mL

17

Tabung oksigen

50 kg

18
19
20

Timbangan
Serokan induk
Serokan halus

10 kg
-

1
4
10
4
5
9
10
2
1
2
4

Untuk memompa air ke kolam


Untuk menyipon bak/akuarium
Sebagai wadah pengangkutan
benih
Sebagai wadah pengangkutan
benih
Sebagai wadah pengangkutan
benih
Sebagai alat sampling
Untuk menyuntik ikan
Untuk mengisi oksigen pada
saat packing
Untuk menimbang induk
Untuk menyerok induk
Untuk memanen benih/larva

Sumber : BBI Sekadau 2011

4.2 Hasil
4.2.1

Persiapan wadah
Wadah yang digunakan untuk memijahkan ikan adalah bak semen yang dilapisi dengan
tehel yang dipasang waring didalamnya, adapun alur proses persiapan wadah penetasan dapat
dilihat dari skema dibawah ini :
Pengisian air
Pengeringan bak
Penyikatan bak
Pencucian bak
Pencucian waring
Pemasangan waring

Gambar 3. Alur proses persiapan wadah

4.2.2

Seleksi induk
Sebelum kegiatan pemijahan dilakukan, terlebih dahulu induk harus diseleksi. Hasil
seleksi induk dapat dilihat pada Tabel 12 berikut:
Tabel 12. Hasil seleksi induk
No
1.
2.
3.
4.

Kriteria
Umur
Berat Badan
Panjang
Perut

5.
6.

Pergerakan
Kelamin

Jantan
1 Tahun
2 kg
48 cm
Ramping bila di striping
mengeluarkan sperma

Betina
1,5 Tahun
2,5 Kg
50 cm
Buncit bila diraba bagian
perutnya
akan
terasa
lembek
Lamban
Lincah
Runcing, kemerahan dan Bulat kemerahan dan
memanjang hingga sirip anal menonjol keluar.

Sumber : Data lapangan,(2011)

4.2.3

Pemberokan
Tujuan dilakukan pemberokan yaitu untuk memuasakan induk agar kotoran keluar dan
kadar lemak yang dapat menghambat proses ovulasi berkurang.

4.2.4

Proses pemijahan
Alur poses kegiatan pemijahan ikan lele dumbo dapat di lihat pada gambar berikut:
INDUK DITIMBANG
PENYUNTIKAN
INDUK DI ISTIRAHATKAN
DI SETRIPING
PEMBUAHAN
DITEBAR KE HAPPA

Gambar 4. Alur proses pemijahan

Untuk lebih jelas, datadata selama proses pemijahan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut:
Tabel 13. Data hasil pemijahan
No

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Uraian

Keterangan

Metode pemijahan
Jenis hormone
Dosis
Daerah penyuntikan
Waktu penyuntikan
Tahapan penyuntikan
Induk yang di suntik
Jumlah induk di suntik
Berat induk
Jumlah induk jantan

Buatan (induced breeding)


Ovaprim
0,3/ kg induk
Punggung
23.00 WIB
1 X Penyuntikan
Betina
1 ekor
2,5 kg
1 ekor

Sumber : Data lapangan (2011)

Setelah dilakukan pemijahan, data fekunditas dapat dilihat pada Tabel 14 berikut:
Tabel 14. Data hasil fekunditas
No
1
2
3
4

Uraian
Volume seluruh telur (ml)
Volume telur sampel (ml)
Jumlah telur sampel (butir)
Fekunditas

Keterangan
300
1
546
163800

Sumber : Data lapangan (2011)

4.2.5

Penetasan telur
Telur di teteaskan di bak penetasan yang berukuran 2m x 1m. kemudian telur yang siap
ditetaskan di tebar kedalam happa dengan hati-hati.dimana daya tetas telur dapat dilihat pada
Tabel 15 di bawah ini:
Tabel 15 . Hatching Rate pemijahan
No

Volume sampel
( ml )

Jumlah sampel
( ml )

Hatcing rate

1.
2.
3.
4.
5.

250
250
250
250
250

38
59
47
24
45

Total

1250 ml

213 = 42,6 ekor

Volume waring = 200cm x 100cm x 30cm


= 600.000cm
Jumlah larva = 600.000

X 42,6
250
= 102240
102240
HR =
163800

X 100 % = 62,41 %

Sumber : Data lapangan (2011)

4.2.6

Perawatan larva
Perawatan larva dimulai dari telur mulai menetas atau larva berumur 0 hari, selama
kegiatan larva diberi pakan seperti Tabel 16 berikut:
N
0
1.

Umur
0-3 hari

Tabel 16. Pemberian pakan larva


Pakan yang diberikan
Dosis
Frekuensi
Larva belum diberi pakan karena masih mempunyai
kuning telur di tubuhnya

Tepung udang
2.

4-10 hari

Secukupnya

2 kali sehari

Sumber : Data lapangan (2011)

4.3 Pembahasan
4.3.1

Persiapan wadah
Langkah awal yang dilakukan dalam kegiatan pemijahan ikan lele dumbo adalah
mempersiapkan wadah berupa bak penetasan telur. persiapan wadah perlu dilakukan sebelum
kegiatan pemijahan dilakukan, sebelum wadah digunakan untuk penetasan telur wadah tersebut
harus dibersihkan terlebih dahulu dengan cara mengeringkan air yang ada di bak tersebut setelah
dikeringkan barulah menyikat kotoran-kotoran atau lumut-lumut yang ada di bak tersebut yang
bertujuan untuk menghilangkan bibit penyakit yang ada setelah disikat barulah bak tersbut
dibilas dengan air bersih agar kotoran-kotoran dan lumut terbuang atau terbawa air ke saluran
pembuangan. Pembersihan bak harus benar-benar bersih karena kebersihan bak berpengaruh
terhadap keseterilan kualitas air, sehingga tidak menggangu dalam proses penetasan telur. setelah

dibilas bak dikeringkan kemudian diisi air setinggi 30 cm. Setelah diisi air barulah pemasangan
happa dilakukan, happa di pasang dengan cara mengikat pada keempat sudutnya ke kayu yang
terdapat di sudut bak. happa yang digunakan berukuran 2 m x 1 m dan kemudian memastikan
sirkulasi air berjalan lancar untuk penetasan telur. Kegiatan persiapan wadah dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Persiapan Bak Penetasan Telur
4.3.2

Seleksi Induk
Seleksi induk dilakukan dengan tujuan untuk memilih calon induk yang baik dan sehat, serta
untuk melihat tingkat kematangan gonad apakah calon induk tersebut layak untuk dipijahkan
atau tidak. Induk ikan lele dumbo yang baik harus dinyatakan lolos seleksi baik dari segi umur,
berat, kesehatan maupun kematangan telurnya. Sebab jika kurang hati-hati memilih induk, maka
keturunan yang dihasilkan jumlahnya akan lebih sedikit atau kualitas benihnya kurang baik
(Susanto, 2002).
Gambar 6. Seleksi induk

Kegiatan seleksi induk yang dilakukan di BBI Sekadau dengan cara menangkap induk
dengan menggunakan jaring dimana jaring ditarik oleh beberapa orang untuk mempersempit
ruang gerak induk agar induk mudah di tangkap seperti pada Gambar 6. Berdasarkan
pengamatan pada seleksi induk didapat 1 pasang induk yang sudah matang gonad. Ciri ciri
induk matang gonad yaitu induk jantan berumur 1 tahun dan betina 1,5 tahun, berat badan
jantan 2 kg dan betina 2,5 kg, panjang jantan 48 cm dan betina 50 cm dan kelamin pada ikan
berwarna merah. Hasil seleksi induk jantan dan betina dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7. Induk lele betina dan jantan

4.3.3

Pemberokan
Menurut Hernowo (2003), pemberokan adalah memuasakan induk selama 12-24 jam
dengan tujuan agar kotoran (feses) keluar dan sekaligus meyakinkan hasil seleksi induk betina.

di BBI Sekadau induk jantan dan betina yang sudah diseleksi kemudian di istirahatkan pada bak
pemberokan selama 1 hari seperti pada Gambar 8.
Gambar 8. Pemberokan induk
pemberokan bertujuan untuk memuasakan induk ikan lele karena jika induk lele diberi
makan perut induk ikan lele kelihatan besar dan itu akan mempersulit untuk mengetahui induk
yang matang gonad, serta sulit dalam ovulasi. Selama proses pemberokan induk jantan dan induk
betina dipisahkan agar tidak memijah secara liar. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahyudin
(2008), pemberokan adalah tahapan dalam pemijahan yang dilakukan dengan cara ikan atau
induk dipuasakan saat induk ikan selesai diseleksi dan sebelum dipijahkan selama 1-2 hari.
Pemberokan induk jantan dan betina dilakukan pada wadah terpisah.
4.3.4

Proses pemijahan
Pada saat PKL II, ikan lele dipijahkan secara buatan (induced breeding) Adapun kegiatan

pemijahan sebagai berikut:


Induk harus di timbang agar mudah dalam pembentukan dosis hormone yang di gunakan.
Setelah ditimbang induk betina disuntik dengan ovaprim dengan dosis 0,3ml/kg kemudian
ditambahkan 1 ml aquabidest sebagai pengencer. Sementara induk jantan tidak disuntik karena
ikan jantan akan di jadikan ikan donor untuk diambil sepermanya. Data perhitungan dosis
hormone dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penyuntikan induk lele betina dilakukan pada bagian punggung dengan kemiringan 45
penyuntikan dilakukan malam hari sekitar jam 23.00. Pengambilan dosis hormon dan
penyuntikan dapat dilihat pada gambar 9 dibawah ini.
-

Setelah disuntik induk lele betina di masukan lagi ke kolam pemberokan dan dibiarkan 8-10

jam.
Sekitar 8 jam induk di cek tingkat ovulasinya, kemudian apabila di urut ke arah anus sudah

mengeluarkan telur berarti induk sudah siap di streeping untuk megeluarkan telur.
Kemudian induk jantan dibedah untuk di ambil spermanya, selanjutnya sperma yang telah
diambil dibersihkan dan digunting, masukan ke dalam gelas ukur 100 ml yang sudah terisi NaCl
100 ml. Berikut gambar perlakuannya.
Gambar 10. Pengambilan sperma induk jantan

Setelah itu induk betina distreeping untuk dikeluarkan telurnya, telur hasil pengurutan segara
dibuahi sperma dengan cara memasukan sperma kedalam baskom yang berisi telur sampai telur
terendam larutan sperma, agar telur tercampur haduk secara perlahan dengan menggunakan bulu
ayam hingga terlihat merata. Perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini.
Gambar 11. Streeping dan pembuahan

Telur ditebar ke happa yang berukuran 2m x 1m. Hal ini dipertegas oleh Hernowo dan Suyanto
(2008), dimana pembuahan telur meliputi persiapan alat dan bahan, mengambil kantong sperma
dengan cara membedah induk jantan dan mengeluarkan telur secara streeping, sperma di campur
dengan Nacl, telur hasil streeping dibuahi dengan sperma kemudian di tebar merata ke dalam
happa penetasan dengan cara menyiramkan telur kemudian air digusar menggunakan tangan.
Setelah dilakukan proses pemijahan didapat jumlah fekunditas yaitu 163800 butir telur.
Cara perhitungan menggunakan teknik volumetrik. Data perhitungan fekunditas dapat dilihat
pada Lampiran 5.

4.3.5

Penetasan telur
Setelah proses pembuahan selesai langkah selanjutnya adalah penetasan telur. Penetasan
telur dilakukan pada happa. Penetasan telur berlangsung selama 3 hari terhitung sejak
pembuahan dari wadah penetasan. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993), yang
menyatakan bahwa telur ikan lele menetas semua dalam tempo 2-3 hari. Cepat lambatnya
penetasan dipengaruhi oleh suhu air. Semakin tinggi suhu air maka semakin lambat waktu
penetasan. Sebaliknya semakin rendah suhu air maka semakin cepat waktu penetasan. bahwa
Pada suhu 23-26 C telur ikan lele menetas dalam 2 hari, sedangkan pada suhu 27-30 C, telur
menetas dalam 3 hari.
Sebelum telur menetas terlebih dahulu telur tersebut akan dibuahi. Untuk membedakan
telur yang terbuahi dengan telur yang tidak terbuahi dapat dilihat dari warna telurnya, biasanya
telur yang terbuahi akan berwarna bening dan transparan sedangkan untuk telur yang tidak
terbuahi yaitu bewarna putih susu dan berjamur. Jumlah telur yang dibuahi tidak dapat diketahui
secara pasti karena sifat telur ikan lele yang menempel (adesif) sehingga penghitungan
menggunakan metode sampling tidak memungkinkan dilakukan.

Dalam kegiatan praktek, tempat penetasan telur merupakan wadah yang juga digunakan
untuk pemeliharaan larva. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1993), yang menyatakan
bahwa happa penetasan sekaligus digunakan sebagai bak pemeliharaan larva.
Penetasan telur dilakukan pada happa yang berukuran 2 m x 1 m dengan ketinggian air 30 cm.
sepeti terlihat pada Gambar 12, telur ditebar kedalam happa dengan hati-hati saat penebaran
tangan sudah harus berada di air untuk menggusar telur agar telur tidak mengumpal.
Gambar 12. Penebaran telur

Telur hasil pembuahan secara buatan menetas selama 30 jam. Karena keterbatasan alat
maka pengecekan suhu tidak dilakukan. Akan tetepi menurut Hernowo dan Suyanto (2008),
menyatakan ikan lele menetas 36-40 jam dan pada suhu 26-28 C. Telur yang tidak terbuahi atau
mati akan menjadi berwarna putih dan ditumbuhi jamur, oleh karena itu telur yang tidak terbuahi
akan segera dibuang.
Jumlah larva yang dihasilkan dari telur yang berhasil menetas Hatching rate (HR) pada
saat kegiatan yaitu 62,41% hasil tersebut dikatakan cukup baik. Hal ini diperkuat dengan
pendapat Bachtiar (2006), daya tetas telur yang optimum adalah 50-60%. Data perhitungan HR
pada pemijahan ikan lele dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.3.6

Perawatan larva
Telur yang menetas menjadi larva dibiarkan larva di bak penetasan selama 3 hari larva tersebut
belum diberi pakan karena masih mempunyai kuning telur Santoso (2007), menyatakan bahwa
sampai hari ke 3 larva lele belum membutuhkan pakan tambahan karena masih mempunyai
cadangan makanan berupa kantong kuning telur setelah berumur 4-6 hari larva harus diberi
pakan tambahan berupa kuning telur karena kuning telur yang menjadi makanannya sudah habis.
Pada fase ini larva sangat rentan akan sifat kanibal, dengan demikian untuk meminimalisir
tingkat kanibalisme tersebut larva harus diberi pakan yang cukup. Dilapangan pakan larva yang

diberikan yaitu tepung udang. Pakan diberikan 2 kali sehari yaitu pada pukul 7.00 dan sore pada
pukul 17.00 dengan cara pakan tepung udang tersebut dituangkan kedalam serok untuk diberikan
yang halusnya saja sehinga pakan yang kasar tersaring kemudian ditebar dari bagian piggir
hingga merata. Berikut gambar jenis pakan yang di berikan pada larva.
Gambar 13. Pakan untuk larva
Kualitas air juga harus diperhatikan dalam proses perawatan larva karena kualitas air
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup larva. kualitas air selama kegiatan
pemeliharaan larva lele relative sama hal ini dikarenakana kegiatan pemeliharaan larva dilakukan
dalam ruangan tertutup (indoor). Menurut Santoso (2007) pH berkisar 6-8 dan suhu 28-30 C,
dilapangan tidak dilakukan pengecekan kualitas air karena keterbatasan alat.
5.

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari kegiatan pemijahan ikan lele dumbo yang dilaksanakan di BBI Sekadau, kesimpulan
yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Dalam Persiapan bak penetasan telur yaitu dimulai dari pembersihan bak misalnya menyikat bak,
memasang happa, pengisian air yang bersih dalam bak.
2. Seleksi induk bertujuan mendapatkan induk yang benar benar matang gonad dan tidak cacat.
Induk yang di gunakan sebanyak 1 ekor induk jantan dengan berat 2 kg, dan induk betina
sebanyak 1 ekor dengan berat 2,5 kg.
3. Pemberokan dilakukan dalam bak pemberokan, selama proses pemberokan selama 2 hari ikan
tidak diberi pakan sama sekali guna untuk membuang kotoran dalm perut ikan dan mengurangi
lemak dalam perut ikan, hal ini sangat diperlukan agar tidak mengganggu dalam proses striping
ikan.
4. Teknik pemijahan dilakukan dengan secara buatan (induseed breeding), dimana induk betina
disuntik dengan hormone ovaprim dengan dosis 0,3 ml/kg induk. Kemudian penyuntikan hanya
dilakukan 1 kali masukan lagi dalam bak pemberokan dan dibiarkan selama 8 10 jam.
Setelah itu dilakukan striping dan induk dikembalikan lagi kekolam pemeliharaan induk.
Fekunditas yang dihasilkan 163800, dari hasil tersebut daya tetas ikan lele yang dipijahkan
sebesar 62,41% banyak larva 102240 ekor.
5. Perawatan larva dengan memberi pakan berupa pakan tepung udang setelah larva berumur 4 hari
atau sudah habis kuning telurnya.

5.2 Saran
Pada umumnya teknik pemijahan ikan lele dumbo di BBI Sekadau sudah berjalan dengan
baik. Agar pembenihannya berjalan lebih baik lagi maka di sarankan agar sarana dan prasarana
bisa memadai, seperti parameter kualitas air, timbangan digital, jalan masuk ke lokasi dan aliran
listrik dari PLN.
DAFTAR PUSTAKA

Soetomo, 2003. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Sinar baru Algensindo.

Jakarta.

Santoso, Budi. 1995. Petunjuk Praktis Budidaya Ikan Lele Dumbo dan Lokal. Kanisius. Yokyakarta.
Santoso, Heru. 2002. Teknik Kawin Suntik Ikan Ekonomis. Penebar Swadaya. Jakarta.
Khairuman, 2002. Budidaya Lele Dumbo Secara Intensif. Argo Media Pustaka. Jakarta
Hernowo, Suyanto dan Rachmatun. 2002. Pembenihan dan pembesaran Lele. Kanisius. Yogyakarta
Mahyudin, Kholis. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta
Bachtiar, Ir, Yusuf. 2006. Panduan Lengkap Budidaya Lele Dumbo. Agro Media Pustaka. Jakarta
Suyanto. 1997. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.
http://www.skripsi-tesis.com/07/05/metode-kuantitatif-pdf-doc.htm, 08 Januari 2011

Lampiran 1. Rencana kegiatan

No

Rencana Kegiatan

15

16

17

18

19

Tanggal
20 21 22

23

24

25

26

27

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Persiapan PKL
Berangkat ke lokasi PKL
Laporan kepada pimpinan lokasi
Orientasi lapangan
Pengarahan
Kegiatan PKL
Melengkapi data-data laporan
Persiapan pulang
Laporan akhir kegiatan kepada
pimpinan
Pulang

Lampiran 2. Daftar Pertanyaan

A. Keadaan umum lokasi


1. Latar belakang
a.

Kapan bedirinya ?

b. Tujuan berdirinya ?
2. Keadaan lokasi
a.

Lokasi BBI ?

b. Berapa jarak lokasi dengan jalan raya ?


c.

Bagaimana kondisi geografisnya ?

3. Struktur organisasi
a.

Apa bentuk usahanya ?

b. Dari mana sumber dana oprasionalnya ?


4. Tenaga kerja
a.

Berapa jumlah tenaga kerja

b. Apa pendidikannya ?
c.

Berapa jumlah upah ?

B. Prasarana
1. Lahan
a.

Berapa total luas lahan ?

b. Bagaimana tata guna lahan ?

c.

Apa jenisnya ?

2. Sistem penerangan
a.

Dari mana sumber penerangan yang diperoleh ?

b. Digunakan untuk apa saja ?


c.

Berapa biaya rata-rata tiap bulan ?

3. Jalan
a.

Adakah jalan disekitar lokasi ?

b. Bagaimana kondisinya ?
c.

Adakah sarana transportasinya ?

4. Sumber air
a.

Dari mana sumber airnya ?

b. Berapa jarak sumber air dengan lokasi pemeliharaan ?


c.

Bagaimana kualitas dan kuantitas airnya ?

5. Komunikasi
a.

Adakah alat komunikasi ?

C. Sarana
1. Kolam
a.

Bagaimana saluran irigasi untuk pembenihan dan pembesaran ?

b. Berapa jumlah kolam ?


c.

Bagaimana penggunaannya ?

d. Berapa luas masing-masing kolam ?


e.

Bagaimana tata letaknya ?

f.

Bagaimana bentuk dan konstruksi kolam ?

2. Pakan
a.

Apa jenis pakan yang diberiakan ?

b. Berapa dosis dan waktu pemberian ?


c.

Bagaimana kualitas pakannya ?

d. Berapa biaya pembelian pakan ?


3. Obat-obatan
a.

Apa jenis obat yang digunakan ?

b. Kapan waktu pemberiannya ?

c.

Bagaimana cara penggunaannya ?

D. Kegiatan Pemijahan Lele Dumbo


1. Persiapan wadah
a.

Apa jenis wadah yang digunakan ?

b. Berapa ukuran serta luasnya ?


c.

Apa saja yang haeus di siapkan pada wadah ?

2. Pemeliharaan dan seleksi induk


a.

Dari mana asal induk ?

b. Bagaimana kriteria induk ?


c.

Berapa lama pemeliharaannya ?

d. Apa tujuannya ?
e.

Bagaimana cara perawatan yang dilakukan ?

f.

Bagaimana ciri induk betina yang siap dipijahkan ?

g. Bagaimana ciri induk jantan yang siap dipijahkan ?


3. Pemberokan
a.

Apa tujuan pemberokan ?

b. Berapa lama perlakuannya ?


4. Proses pemijahan
a.

Apa saja alat yang digunakan ?

b. Kapan waktu pemijahan ?


c.

Apa jenis serta dosis hormon yang digunakan ?

d. Bagaimana cara pemberian hormonnya ?


e.

Berapa lama waktu pemijahannya ?

f.

Bagaimana proses pembuahan telurnya ?

5. Penetasan telur
a.

Bagaimana perawatan telurnya ?

b. Berapa lama waktu penetasan telur ?


6. Perawatan larva ?
a.

Apa saja yang harus disiapkan ?

b. Bagaimana kualitas air saat perawatan larva ?


c.

Kapan pemberian pakannya ?

d. Apa jenis pakan yang diberikan ?


Diposkan 25th June 2012 oleh ACH.KHUMAIDI
0

Tambahkan komentar

INDONESIAN AQUACULTURE

Beranda

1.
Aug
6

Penetasan Cyste Artemia Metode


Dekapsulasi dan Non-dekapsulasi

Penetasan Cyste Artemia Metode Dekapsulasi dan Nondekapsulasi

A. Latar Belakang
Artemia merupakan pakan alami yang banyak digunakan dalam usaha
pembenihan ikan dan udang, karena kandungan nutrisinya baik. Akan tetapi di perairan
Indonesia tidak atau belum ditemukan Artemia, sehingga sampai saat ini Indonesia masih
mengimpor Artemia sebanyak 50 ton/ tahun, dimana harganya dalam bentuk kista/ telur
antara Rp 400.000 500.000/ kg (Suara Merdeka, 2002). Walaupun pakan buatan dalam
berbagai jenis telah berhasil dikembangkan dan cukup tersedia untuk larva ikan dan
udang, namun Artemia masih tetap merupakan bagian yang esensial sebagai pakan larva
ikan dan udang diunit pembenihan. Keberhasilan pembenihan ikan bandeng, kakap dan
kerapu juga memerlukaan ketersediaan Artemia sebagai pakan alami esensialnya, serta
dengan adanya kenyataan bahwa kebutuhan Artemia untuk larva ikan kakap dan kerapu
10 kali lebih banyak dibandingkan dengan larva udang, maka kebutuhan cyste Artemia
pada tahun-tahun mendatang akan semakin meningkat (Raymakers dalam Yunus, dkk.,
1994).
Secara umum terdapat dua alasan mengapa penggunaan pakan hidup alami
sepertihalnya Artemia lebih mengutungkan dibandingkan pakan buatan (pellet, dll) dalam
pemeliharaan larva-larva hewan air (ikan dan crustacean), yaitu : 1. Buruknya kualitas air
mengakibatkan disintegrasi micropelet yang biasanya pemberian pakan tersebut
cenderung berlebihan dengan tujuan pertumbuhan yang sempurna. 2. Tingginya tingkat
mortalitas, mengakibatkan malnutrisi dan atau penyerapan komponen-komponen nutrisi
pakan pellet yang tidak komplit(http://www.aquafauna.com/, 2004).

Cyste Artemia yang dibutuhkan sebagian besar masih diimpor, umumnya dari
Amerika Serikat dan hanya sebagian dari China (Yap et.al. dalam Yunus, dkk., 1994).
Tetapi kebanyakan cyste impor yang ada di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Sehingga menyebabkan produksi yang beragam dan kematian masal larva udang. Untuk
itu ditempuh jalan untuk dapat membudidayakan Artemia di tambak secara lokal. Dari
hasil budidaya Artemia secara lokal ini diperoleh beberapa keuntungan yaitu waktu
transportasi dan penyimpanan lebih singkat, pengawasan kualitas pada proses produksi
dan pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan tambak budidaya mengarah pada
produksi cyste Artemia lokal yang berkualitas dan aman. Lebih jauh lagi, produksi
Artemia lokal dapat menunjang penghematan devisa melalui subtitusi impor.
Jenis pakan secara umum yang dapat dikonsumsi oleh ikan terdiri atas 2 jenis,
yakni pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami adalah jasad-jasad hidup yang
biasanya dari jenis plankton baik fito maupun zooplankton yang sengaja dibudidayakan
untuk diberikan kepada ikan sesuai dengan kebutuhannya. Ketersediaan pakan alami
merupakan faktor yang berperan penting dalam mata rantai budidaya ikan terutama pada
fase benih. Kepentingan pakan alami sebagai sumber makanan ikan dapat dilihat antara
lain:
o nilai nutrisinya yang relatif tinggi,
o mudah dibudidayakan,
o memiliki ukuran yang relatif sesuai dengan bukaan mulut ikan terutama pada
stadia benih,
o memiliki

pergerakan

yang

memberikan

rangsangan

pada

ikan

untuk

memangsanya,
o memiliki kemampuan berkembangbiak dengan cepat dalam waktu yang relative
singkat, sehingga ketersediaannya dapat terjamin sepanjang waktu,
o memerlukan biaya usaha yang relativ murah (Priyamboko, 2001).

Jenis pakan alami yang diberikan pada ikan seharusnya disesuaikan dengan stadia
yang berhubungan dengan ukuran ikan. Dengan demikian maka akan terdapat klasifikasi
jenis pakan alami yang diberikan.
Pakan alami sangat dibutuhkan dunia pembenihan karena pakan alami dapat bergerak
aktif dan sehingga mengundang larva ikan untuk memakannya. Pada larva, setelah
kuning telur habis perlu diberikan tambahan pakan supaya larva tetap mendapat asupan
nutrisi. Masalah yang dihadapi adalah larva belum biasa mendapatkan pakan dan bukaan
mulut larva masih sangat kecil. Gerakan yang dibuat pakan alami (contohnya : inforia,
Dapnia, Artemia) akan merangsang larva memakannya dan ukurannya yang kecil cocok
dengan bukaan mulut larva.
Artemia merupakan pakan alami yang sangat penting dalam pembenihan ikan
laut, krustacea, ikan konsumsi air tawar dan ikan hias. Ini terjadi karena Artemia
memiliki nilai gizi yang tinggi, serta ukuran yang sesuai dengan bukaan mulut hampir
seluruh jenis larva ikan. Artemia dapat diterapkan di berbagai pembenihan ikan dan
udang, baik itu air laut, payau maupun tawar.

B. TUJUAN

1. Diharapkan dapat mengetahui cara-cara penetasan cyste artemia dengan metode


dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi pada artemia sebelum dilakukan pengkulturan.
2. Agar dapat mengetahui pengaruh perlakuan dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi
terhadap tingkat penetasan kista artemia yang akan di kultur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi dan Daur Hidup Artemia


o Klasifikasi
Artemia atau brine shrimp adalah sejenis udang-udangan primitive. Menurut Vos
and De La Rosa dalam Sambali (1990); Sorgeloos dan Kulasekarapandian (1987); Cholik
dan Daulay (1985); Tunsutapanich (1979), Artemia termasuk dalam:

Phylum

: Arthropoda

Klass : Crustacea
Subklass

: Branchiopoda

Ordo : Anostraca
Genus : Artemia
Spesies

: Artemia sp.

Famili : Artemiidae

Oleh Linnaeus, pada tahun 1778, Artemia diberi nama Cancer salinus. Kemudian
pada tahun 1819 diubah menjadi Artemia salina oleh Leach. Artemia salina terdapat di
Inggris tapi spesies ini telah punah (Sorgeloos dan Kulasekarapandian, 1987).
Dalam perkembangan dewasa ini, secara taksonomis nama Artemia salina Leach
sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa diantara kelompok-kelompok Artemia terdapat dinding

pemisah perkawinan silang. Dua kelompok Artemia yang tidak dapat melakukan
perkawinan silang dinamakan sibling spesies.
Untuk Artemia hingga saat ini telah ada 20 kelompok yang berkembang biak
dengan kawin yang diklasifikasikan ke dalam beberapa sibling spesies. Disamping itu ada
juga jenis Artemia yang berkembang biak tanpa kawin. Beberapa contoh jenis Artemia
antara lain Artemia fransiscana, A. tunisana, A. urmiana, A. persimilis, A. monica, A.
odessensis, sedangkan yang tanpa kawin Artemia partogenetica (Mudjiman, 1983). Untuk
menghindari kebingungan dalam penamaan, maka Artemia dinamakan dengan Artemia
sp. Saja.
Artemia merupakan dalam pembenihan ikan laut, krustacea, ikan konsumsi air
tawar dan ikan hias air tawar karena ukurannya yang sangat kecil. Disamping ukurannya
yang kecil, nilai gizi Artemia juga sangat tinggi dan sesuai dengan kebutuhan gizi untuk
larva ikan dan krustacea yang tumbuh dengan sangat cepat. saat Artemia pakan alami
belum dapat digantikan oleh lainnya. Artemia biasanya diperjual belikan dalam bentuk
kista/cyste, yang mudah dan praktis, karena hanya tinggal menetaskan kista saja. Dapat
dilakukan oleh setiap orang. Sebab membutuhkan suatu keterampilan dan pengetahuan
tentang penetasan itu sendiri. Kegagalan dalam menetaskan kista Artemia barakibat fatal
terhadap larva ikan yang sedang dipelihara. Penetasan Artemia dapat dilakukan, baik
pada skala kecil skala besar. Penetasan Artemia dikerjakan di daratan maupun di daerah
pantai.

o Morfologi
a. Telur
Telur Artemia atau cyste berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat
penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal
dan kuat (Cholik dan daulay, 1985). Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio
terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah

pengapungan (Mudjiman, 1983). Cangkang telur Artemia dibagi dalam dua bagian yaitu
korion (bagian luar) dan kutikula embrionik (bagian dalam). Diantara kedua lapisan
tersebut terdapat lapisan ketiga yang dinamakan selaput kutikuler luar.
Korion dibagi lagi dalam dua bagian yaitu lapisan yang paling luar yang disebut
lapisan peripheral (terdiri dari selaput luar dan selaput kortikal) dan lapisan alveolar yang
berada di bawahnya. Kutikula embrionik dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu lapisan
fibriosa dibagian atas dan selaput kutikuler dalam di bawahnya. Selaput ini merupakan
selaput penetasan yang membungkus embrio. Diameter telur Artemia berkisar antara 200
300 (0.2-0.3 mm). Sedangkan berat kering berkisar 3.65 g, yang terdiri dari 2.9 g
embrio dan 0.75 g cangkang (Mudjiman, 1983).

b. Larva
Apabila telur-telur Artemia yang kering direndam dalam air laut dengan suhu
25oC, maka akan menetas dalam waktu 24 36 jam. Dari dalam cangkang akan keluar
larva yang dikenal dengan nama nauplius, seperti yang terlihat pada gambar 1. dalam
perkembangan selanjutnya nauplius akan mengalami 15 kali perubahan bentuk. Nauplius
tingkat I = instar I, tingkat II = instar II, tingkat III = instar III, demikian seterusnya
sampai instar XV. Setelah itu nauplius berubah menjadi Artemia dewasa, seperti yang
terlihat pada gambar
Gambar 1. Nauplius dan perubahan bentuknya Gambar 2. Artemia dewasa
Gambar 3. Siklus hidup Artemia
3. Ekologi
Artemia sp. secara umum tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30 derajat
celcius. Kista artemia kering tahan terhadap suhu -273 hingga 100 derajat celcius.
Artemia dapat ditemui di danau dengan kadar garam tinggi, disebut dengan brain shrimp.
Kultur biomasa artemia yang baik pada kadar garam 30-50 ppt. Untuk artemia yang

mampu menghasilkan kista membutuhkan kadar garam diatas 100 ppt (Kurniastuty dan
Isnansetyo, 1995).

4. Reproduksi
Chumaidi et al., (1990) menyatakan bahwa perkembangbiakan artemia ada dua
cara, yakni partenhogenesis dan biseksual. Pada artemia yang termasuk jenis
parthenogenesis populasinya terdiri dari betina semua yang dapat membentuk telur dan
embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada artemia jenis
biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan betina yang berkembang melalui
perkawinan dan embrio berkembang dari telur yang dibuahi.

B. Metode Penetasan Cystae Artemia


Sutaman (1993) mengatakan bahwa penetasan cyste artemia dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu penetasan langsung (non dekapsulasi) dan penetasan dengan cara
dekapsulasi. Cara dekapsulasi dilakukan dengan mengupas bagian luar kista
menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio.
Cara dekapsulasi merupakan cara yang tidak umum digunakan pada panti-panti benih,
namun untuk meningkatkan daya tetas dan meneghilangkan penyakit yang dibawa oleh
cytae artemia cara dekapsulasi lebih baik digunakan (Pramudjo dan Sofiati, 2004).
Subaidah dan Mulyadi (2004) memberikan penjelasan langkah-langkah penetasan
dengan cara dekapsulasi, sebagai berikut:
1. Cyste artemia dihidrasi dengan menggunakan air tawar selama 1-2 jam;
2. Cyste disaring menggunakan plankton net 120 mikronm dan dicuci bersih;

3. Cyste dicampur dengan larutan kaporit/klorin dengan dosis 1,5 ml per 1 gram
cystae, kemudian diaduk hingga warna menjadi merah bata;
4. Cyste segera disaring menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas
menggunakan air tawar sampai bau klorin hilang, barulah siap untuk ditetaskan;
5. Cyste akan menetas setelah 18-24 jam. Pemanenan dilakukan dengan cara
mematikan aerasi untuk memisahkan cytae yang tidah menetas dengan naupli
artemia.

Pramudjo dan Sofiati (2004) cystae hasil dekapsulasi dapat segera digunakan
(ditetaskan) atau disimpan dalam suhu 0 derajat celcius (- 4 derajat celcius) dan
digunakan sesuai kebutuhan. Dalam kaitannya dengan proses penetasan Chumaidi et al
(1990) mengatakan kista setelah dimasukan ke dalam air laut (5-70 ppt) akan mengalami
hidrasi berbentuk bulat dan di dalamnya terjadi metabolisme embrio yang aktif, sekitar
24 jam kemudian cangkang kista pecah dan muncul embrio yang masih dibungkus
dengan selaput. Pada saat ini panen segera akan dilakukan.
Menurut Daulay (1993) cara melakukan decapsulasi sebagai berikut: Telur
direndam di air tawar dengan perbandingan 12 ml air tawar untuk 1 gram cyste Artemia.
Perendaman dilakukan dalam tabung berbentuk corong yang bagian dasar bisa dibuka.
Maksud penggunaan tabung tersebut agar pembuangan air dapat dilakukan dengan
mudah tanpa mengganggu cyste. Sementara itu, pada bagian dasar corong diberi aerasi.
Setelah 1 jam suhu air diturunkan hingga 15C, dengan penambahan es. Setelah suhu
turun baru ditambahkan NaHOCl 5,25% sebanyak 10 ml untuk 1gram cyste. Setelah 15
menit, larutan NaHOCl dibuang, kemudian cyste dicuci dengan air laut dan dibilas 6 10
kali hingga pengaruh NaHOCl benar-benar hilang. Selama decapsulasi telur yang semula
berwarna coklat akan berubah menjadi putih, lalu kemudian berubah lagi menjadi orange.
Setelah decapsulasi, telur ini dapat disimpan untuk ditetaskan, atau bisa langsung
diberikan sebagai pakan alami pada benih ikan dan atau larva udang.

Wadah penetasan Artemia dapat dilakukan dengan wadah kaca, polyetilen (ember
plastik)atau fiber glass. Ukuran wadah dapat disesuaikan dengan kebutuhan, mulai dari
volume 1 liter sampai dengan volume 1 ton bahkan 40 ton. Hal yang penting untuk
diperhatikan dalam penetasan Artemia adalah bentuk dari wadah. Bentuk wadah
penetasan Artemia sebaiknya bulat. Hal ini dikarenakan jika diaerasi tidak ditemukan titik
mati, yaitu suatu titik dimana Artemia akan mengendap dan tidak teraduk secara merata.
Artemia yang tidak teraduk pada umumnya kurang baik derajat penetasannya, atau
walaupun menetas membutuhkan waktu yang lebih lama.
Sebelum diisi air dimedia penetasan, wadah Artemia dicuci terlebih dahulu dengan
menggunakan sikat sampai bersih. Agar sisa lemak atau lendir dapat dihilangkan, pada
waktu mencuci gunakanlah deterjen. Media untuk penetasan Artemia dapat menggunakan
air laut yang telah difilter. Hal ini ditujukan agar cyste dari jamur atau parasit tersaring.
Penyaringan dapat dilakukan dengan menggunakan filter pasir atau filter yang dijual
secara komersial seperti catridge filter misalnya. Disamping dengan air laut, media
penetasan Artemia juga dapat dilakukan dengan menggunakan air laut buatan. Air laut ini
dibuat dengan jalan menambahkan garam yang tidak beriodium ke air tawar. Garam yang
digunakan harus bebas dari kotoran. Jumlah Penetasan Artemia garam yang dibutuhkan
berkisar antara 25-30 g/liter air tawar, sehingga memiliki kadar garam 25-30 ppt. Setelah
garam dimasukkan maka media harus diaerasi secara kuat agar garam tercampur merata.
Bak fiber glass volume air 100 liter Galon air bekas volume 15 liter
Gambar 4. Wadah penetasan Artemia untuk skala besar.
Penetasan kista Artemia adalah suatu proses inkubasi kista Artemia di media
penetasan (air laut ataupun air laut buatan) sampai menetas. Proses penetasan terdiri dari
beberapa tahapan yang membutuhkan waktu sekitar 18-24 jam.
6. Proses penyerapan air
7. Pemecahan dinding cyste oleh embrio

8. Embrio terlihat jelas masih diselimuti membran


9. Menetas dimana nauplius berenang bebas

BAB III
METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat


Praktikum Penetasan Cyste Artemia Salina ini dilaksanakan pada : Hari/Tanggal :
Kamis, 21 April 2011 Jumat,13 Mei 2011 Tempat : Hatchery Departemen Perikanan
dan Kelautan VEDCA Cianjur.

B. Alat dan Bahan


Alat : Bahan :
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Botol bekas volume 1,5 liter 2 buah


Kayu/ bambu
Gergaji
Tali rafia
Selang aerasi
Batu aerasi Refraktometer
Gunting/cutter
Plastic hitam
Lem silica
Air
Garam
Larutan klorin
Langka Kerja

1.

Buat wadah penetasan artemia dengan menggunakan botol bekas sedemikian rupa
sehingga wadah tidak bocor saat digunakan dengan menggunakan selang aerasi, lem

2.

silica, gunting/cutter
Buat dudukan botol dengan menggunakan kayu/bambu, gergaji dan tali rafia sehingga

botol nantinya berdiri dengan baik dengan posisi terbalik


3. Atur wadah dan aerasi sebelum digunakan, pastikan wadah dan aerasi dapat berfungsi
dengan baik
4. Buatlah media penetasan dengan air bersalinitas 35 ppt dengan menggunakan air tawar
dan garam sebanyak masing-masing 1 liter (botol A dan B)
5. Masukkan media yang telah disiapkan kedalam wadah penetasan
C. Metode Pelaksanaan
Adapun metode pelaksanaan praktikum penetasan artemia ini yaitu pertama
persiapan alat dan bahan, kemudian membuat wadah dan media penetasan artemia,
melakukan metode penetasan, dan melakukan pemanenan artemia. Dalam kegiatan
penetasan cyste artemia ini menggunakan 2 metode yaitu sebagai berikut :

1. Penetasan Cyste Artemia Metode Tanpa dekapsulasi


Alat : Bahan :
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Timbangan digital
Seser halus
Wadah penetasan
Plastic hitam
Beaker glass
Petridisk
Mikroskop Media penetasan
Cyste Artemia
Air
Langka Kerja :

1. Timbang cyste artemia yang akan ditetaskan sebanyak 3 gram/liter


2. Hitung kepadatan cyste artemia yang akan ditetaskan

3. Hidrasi/rendam cyste artemia dengan air tawar dalam beaker glass selama 1-2 jam
4. Saring artemia dengan plankton net/seser halus lalu masukkan kedalam wadah dan media
penetasan yang telah disiapkan dengan aerasi kuat.
5. Tutup wadah penetasan dengan menggunakan plastic hitam
6. Amati dan catat perkembangan cyste artemia selama 6 jam
7. Hitung derajat penetasan artemia
2. Penetasan Cyste Artemia dengan Metode Dekapsulasi
Alat : Bahan :
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o

Timbangan digital
Seser halus
Wadah penetasan
Plastic hitam
Beaker glass
Petridisk
Mikroskop Media penetasan
Cyste Artemia
Air
Larutan Chlorin
Langka Kerja :

1. Timbang cyste artemia yang akan ditetaskan sebanyak 3 gram/liter


2. Hitung kepadatan cyste artemia yang akan ditetaskan
3. Hidrasi/rendam cyste artemia dengan air tawar dalam beaker glass selama 1-2 jam
4. Saring artemia dengan plankton net/seser halus lalu masukkan kedalam beaker glass
yang telah berisi larutan chlorine 20 ml, aerasi kuat, tunggu hingga 5-15 menit, amati
5.

dan catat perubahan yang terjadi coklat tua > abu-abu > orange
Saring cyste artemia dengan menggunakan saringan halus, lalu bilas dengan air tawar

6.
7.
8.
9.

hingga bau khlorin benar-benar hilang


Masukkan cyste artemia kedalam wadah penetasan dengan aerasi kuat
Tutup wadah penetasan dengan menggunakan plastic hitam
Amati dan catat perkembangan cyste artemia selama 6 jam
Hitung derajat penetasan artemia
3. Pemanenan Cyste Artemia
Alat : Bahan :

o
o
o
o
o
o

Seser halus/plastic net


Wadah penetasan
Plastic hitam
Senter
Baskom/Beaker glass Media penetasan
Artemia
Langka Kerja :

1. Buka plastic hitam penutup wadah penetasan dibagian bawah


2. Amati artemia yang telah menetas dengan menggunakan senter
3. Siapkan beaker glass sebagai wadah penampungan artemia yang akan dipanen, serta
4.

seser halus untuk menyaring artemia yang dipanen


Buka aerasi dari bagian pangkal (dekat aerator) hingga selang aerasi mencapai seser

halus untuk menyaring artemia yang dipanen


5. Lakukan secara perlahan dan hati-hati, jangan sampai cangkang artemia ikut terbawa.
D. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan yang akan diamati dalam praktikum ini adalah
Pengamatan perbedaan tahapan proses dalam metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi
dan Penghitungan Derajat Penetasan atau Hatching Rate (HR) dari kista artemia sesuai
dengan masing-masing metode penetasan. Untuk mengetahui derajat penetasan artemia
maka dilakukan penghitungan telur artemia berdasarkan dari jumlah cyste artemia yang
ditetaskan dengan jumlah nauplius yang dihasilkan. Metode yang dapat digunakan untuk
mengetahui derajat penetasan menurut gusrina (2008), yaitu dengan menggunakan rumus
: HR=N/C x100%
Dimana :
HR = daya tetas
N = jumlah telur menetas
C = jumlah total telur yang ditetaskan
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Derajat Penetasan
Non Dekapsulasi
Sampel I : 318
II : 294
III : 349
320 x 100 = 320.000 ekor
HR=(Cyste yang menetas)/( Cyste yang ditetaskan) x100%
320.000/545.100 X 100 %
= 58,72 %
Dekapsulasi
Hasil sampling : 125 Larva dalam 1 ml air = 125.000 ekor
HR=(Cyste yang menetas)/( Cyste yang ditetaskan) x100%
=(125.000 ekor)/545.100 X100 %
= 22,93 %

B. Pembahasan

Adapun parameter yang akan dibahas oleh penulis dalam kegiatan praktikum
penetasan cyste artemia dengan metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi ini antara lain
adalah : Persiapan wadah dan media penetasan, persiapan cyste artemia, penetasan cyste
artemia, pemanenan nauplius/larva artemia dan Menghitung derajat penetasan (HR).
Karena ini adalah bagian dari faktor-faktor berhasil atau tidaknya penetasan cyste
artemia.

Persiapan Wadah dan Media Penetasan


Wadah yang digunakan dalam praktikum penetasan artemia ini berupa botol aqua

dengan kapasitas 1,5 liter, sebelum digunakan wadah ini dicuci, dan kemudian digantung
pada dinding serta diberi selang aerasi pada bagian permukaan wadah dengan tekanan
tinggi. Sebelum digunakan botol ini dicoba terlebih dahulu agar tidak terjadi kebocoran
pada saat penetasan (lihat gambar ). Botol aqua yang digunakan sebanyak 2 buah yaitu
untuk metode dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi.
Gambar 5. Wadah penetasan dari botol aqua volume 1,5 liter
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan (gusrina 2008), wadah yang dapat
digunakan dalam mengkultur pakan alami artemia ada beberapa macam. Antara lain
adalah kantong plastic berbentuk kerucut, botol aqua, gallon air minum bekas, ember
plastic dan bentuk wadah lainnya yang didesain berbentuk kerucut pada bagian bawahnya
agar memudahkan pada saat pemanenan.
Setelah dipastikan kondisi wadah penetasan telah berfungsi dengan baik, langkah
selanjutnya adalah pembuatan media penetasan. Salinitas pada media penetasan artemia
ini adalah salinitas 35 ppt dengan cara membuat air laut tiruan, air laut ini dibuat dengan
jalan menambahkan garam yang tidak beryodium ke dalam air tawar sampai memiliki
salinitas 35 ppt dengan pengecekan menggunakan salinomoter. Setelah media penetasan
dibuat, kemudian dimasukkan kedalam botol aqua yang telah disiapkan sebanyak 1
liter/botol aqua dan diaerasi secara kuat agar garam tercampur merata. Sedangkan

munurut (gusrina 2008), kista artemia dapat ditetaskan pada media yang mempunyai
salinitas 5-35 ppt, walaupun pada habitat aslinya dapat hidup pada salinitas yang sangat
tinggi.
Gambar 6. Pengecekan salinitas menggunakan salinomoter

Persiapan Kista Artemia


Kista artemia yang akan ditetaskan sebelumnya ditimbang sesuai dengan dosis

yang akan digunakan dengan timbangan digital. Dalam praktikum ini menggunakan 3
gram cyste per liter air media penetasan. Kemudian dilakukan perhitungan jumlah cyste
dengan metode sampling. Pada penetasan ini menggunakan 6 gram cyste untuk masingmasing metode penetasan 3 gram cyste. sedangkan hasil penghitungan sampling untuk 3
gram cyste didapat 545.100 butir cyste artemia.
Gambar 7. Penimbangan dan penghitungan cyste artemia

Penetasan Cyste Artemia


Cyste artemia sebelum dimasukkan kedalam wadah penetasan dengan metode

dekapsulasi dan tanpa dekapsulasi, terlebih dahulu dihidrasi/direndam cyste artemia


dengan air tawar 20 ml dalam beaker glass selama 2 jam serta diberi aerasi kuat untuk
melunakkan cyste artemia, hal ini tidak lain dengan tujuan untuk mempercepat proses
penetasan.
Gambar 8. Proses hidrasi/rendam cyste artemia dengan air tawar
Munurut (Gusrina 2008), dalam penetasan cyste artemia ada 2 metode yang dapat
digunakan yaitu metode dekapsulasi dan metode tanpa dekapsulasi. Metode dekapsulasi
adalah suatu cara penetasan cyste artemia dengan melakukan proses penghilangan lapisan

luar cyste dengan menggunakan larutan hipokhlorit tanpa mempengaruhi kelangsungan


hidup embrio. Sedangkan metode penetasan tanpa dekapsulasi adalah suatu cara
penetasan artemia tanpa melakukan proses penghilangan lapisan luar cyste tetapi secara
langsung ditetaskan dalam wadah penetasan.
Gambar 9. Penyaringan cyste artemia dengan plankton net
Setelah dihidrasi selama 2 jam, cyste artemia ini kemudian disaring dengan
plankton net/seser halus. Untuk metode tanpa dekapsulasi cyste artemia ini langsung
dimasukkan kedalam wadah dan media yang telah disiapkan untuk proses penetasan.
Sedangkan penetasan dengan metode dekapsulasi setelah disaring, langkah selanjutnya
adalah cyste dimasukkan kedalam beaker glass yang telah berisi larutan bayclin (khlorin)
ukuran 20 ml, kemudian diaduk selama 5 15 menit hingga perubahan warna dari coklat
tua > abu-abu > menjadi oarange. Selanjutnya cyste segera disaring kembali
menggunakan plankton net 120 mikron dan dibilas menggunakan air tawar sampai bau
bayclin (khlorin) hilang, barulah siap dimasukkan kedalam wadah dan media yang diberi
aerasi kuat untuk ditetaskan. Wadah penetasan ini dibungkus dengan menggunakan
plastic hitam, dengan tujuan agar memudahkan saat pengamatan dan pemanenan nauplius
artemia.
Gambar 10. Metode dekapsulasi dengan larutan bayclin (khlorin)
Gambar 11. Wadah penetasan dengan dibungkus plastic hitam
Pada praktikum ini, cyste artemia dimasukkan kedalam wadah penetasan pada
pukul 10.00 WIB dan penetasan cyste terjadi pada pagi harinya antara pukul 02.00-06.00
WIB. Penetasan kista Artemia adalah suatu proses inkubasi Cyste artemia di media
penetasan (air laut ataupun air laut buatan) sampai menetas. Proses penetasan terdiri dari
beberapa tahapan yang membutuhkan waktu sekitar 18-24 jam.
o
o
o
o

Proses penyerapan air


Pemecahan dinding cyste oleh embrio
Embrio terlihat jelas masih diselimuti membran
Menetas dimana nauplius berenang bebas

o Pemanenan
Pada praktikum ini pemanenan segera dilakukan pada esok hari setelah diyakini
cyste artemia telah menetas, hal ini dapat diketahui dengan cara selang aerasi dilepaskan
dari wadah penetasan, pembungkus plastic hitam di buka, kemudian menggunakan senter.
Nauplius artemia akan berenang menuju ke arah cahaya. Karena bagian wadah (botol
aqua) tranparan dan ditembus cahaya maka nauplius Artemia akan berenang bebas dalam
wadah penetasan. Oleh karena itu pada saat pemanenan nauplius, sebaiknya bagian dasar
wadah disinari lampu dari arah samping agar nauplius berkumpul pada dasar wadah.
Selain nauplius, di dasar wadah juga akan terkumpul kista yang tidak menetas.
Sedangkan cangkang (kulit) cyste akan mengembang berada diatas permuakaan air
wadah penetasan.
Menghitung derajat penetasan (HR)
Penghitungan derajat penetasan dilakukan bersamaan pada saat pemanenan
berlangsung, penghitungan ini menggunakan metode pengambilan sempel, mula-mula
mengambil nauplius artemia dalam wadah dengan menggunakan pipet/spuit ukuran 1 ml,
kemudian disimpan dalam piring untuk dilakukan penghitungan secara manual (kasat
mata). Untuk masing-masing wadah penetasan diambil tiga kali sempel, selanjutnya
dihitung rara-rata hasil sempel. Dari hasil penghitungan sempel ini, maka di dapat hasil
HR sebagai berikut :
1. Non Dekapsulasi = total nauplius 320.000 ekor
HR=(Cyste yang menetas)/( Cyste yang ditetaskan) x100%
HR= 320.000/545.100 X 100 %
HR = 58,72 %
2. Dekapsulasi = total nauplius 125.000 ekor
HR=(Cyste yang menetas)/( Cyste yang ditetaskan) x100%

=(125.000 ekor)/545.100 X100 %


= 22,93 %
Dari data tersebut dapat dilihat jumlah cyste artemia yang menetas (Hatching rate)
lebih besar pada perlakuan non-dekapsulasi dibandingkan perlakuan dekapsulasi. Tujuan
awal dilakukan metode dekapsulasi adalah meningkatkatkan daya tetas cyste artemia atau
biasa disebut dengan peningkatan heacthing rate (hareta, 1997). Akan tetapi dari hasil
praktikum ini bertolak belakang dengan pernyataan tersebut, HR cyste artemia yang
mendapat perlakuan dekapsulasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan cyste nondekapsulasi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranta : suhu, aerasi,
kepadan cyste, salinitas air, intensitas cahaya, kualitas cyste artemia serta ketebalan
lapisan klorin cyste. Sedangkan dalam praktikum ini banyaknya cyste yang tidak menetas
adalah akibat dari penanganan pada saat cyste diberi chlorine, dimana yang seharusnya
dimasukkan kedalam beaker glas dan diaresai kuat hingga 5-15 menit, namun dalam
praktikum ini dengan cara pengadukan secara manual (diputar).
Hal ini yang mengakibatkan cyste artemia pecah/mati karena dapat terjadi
penggilasan cyste oleh alat pengaduk. Selain itu karena terjadinya pemadaman listrik
pada malam hari kurang lebih 3-4 jam sehingga mengakibatkan aerasi tidak berfungsi,
hal ini dapat menyebabkan kurangnya oksigen terlarut dan tidak terjadinya pengadukan
media dalam wadah penetasan. Sehingga mengakibatkan banyak cyste artemia tidak
menetas.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penetasan cyste artemia dengan metode dekapsulasi lebih baik dibandingkan


dengan non-dekapsulasi, namun dalam praktikum ini mendapatkan hasil yang sebaliknya.
Hal ini karena diakibatkan oleh tidak ada kecermatan dalam prosedur proses perlakuan
dekapsulasi terutama tahap pemberian khlorin serta fasilatas penunjang listrik yang
terganggu. Dari hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa dengan metode dekapsulasi
dinyatakan tidak berhasil karena dibawah nilai 50 % dengan hasil presentase Hacthing
Rate (HR) hanya 22,93 %. Sedangan dengan metode non-dekapsulasi Hacthing Rate
(HR) hasilnya adalah 58,72 %. Maka presentasi ini dapat dinyatakan berhasil melakukan
penetasan cyste artemia.

Diposkan 6th August 2012 oleh ACH.KHUMAIDI


0

Tambahkan komentar
1.
Jul
6

Panduan Teknologi Hatcheri Ikan Laut


Skala Kecil

Kemajuan teknologi produksi benih untuk spesies ikan laut ekonomis penting
seperti ikan kerapu telah memacu peningkatan perhatian untuk menata hatcheri agar
menghasilkan benih untuk budidaya. Hatcheri skala kecil merupakan teknologi yang
memungkinkan diterapkan oleh rakyat kecil di Negara-negara berkembang. Permodalan
usaha hatcheri skala kecil ini relatif rendah dan keuntungan dari usaha tersebut
memungkinkan pengembalian modal usaha dengan cepat.
Panduan ini menyediakan suatu kerangka yang diperlukan untuk mengembangkan
suatu hatcheri ikan laut skala kecil, khususnya menyangkut aspek-aspek ekonomi.
Informasi yang tersedia dalam panduan ini, diharapkan cukup memadai bagi para
pemodal yang berpotensi untuk memutuskan penanaman modalnya dalam bidang usaha
ini. Panduan ini memberikan beberapa informasi teknis yang mendasar dalam upaya
memberikan

suatu

indikasi

tingkat

keahlian

teknik

yang

diperlukan

untuk

mengoperasikan hatcheri ikan laut skala kecil. Namun demikian, buku ini disadari belum
mengandung petunjuk teknis secara rinci untuk mengoperasikan hatcheri skala kecil.
Sumberdaya tambahan, seperti kursus pelatihan produksi hatcheri ikan laut, disediakan
dalam daftar buku panduan ini. Pengembangan hatcheri skala kecil lebih tepat diterapkan
di daerah dimana sudah terdapat kegiatan pengoperasian hatcheri, seperti untuk udang
atau ikan bandeng. Dalam pengertian hatcheri skala kecil ini, tidak mencakup pengadaan
fasilitas untuk induk, karena yang penting disini adalah penyediaan telur yang sudah
dibuahi (biasanya dari hatcheri yang lebih besar). Cara mendapatkan telur yang dibuahi
dan adanya teknisi yang trampil merupakan faktor pembatas dalam penerapan teknologi
hatcheri skala kecil ini. Meskipun demikian, ada potensi yang dapat dipertimbangkan
untuk mengadopsi teknologi ini.
Panduan ini ditulis oleh para pakar dalam budidaya ikan laut yang sudah terlibat
dalam proyek kerjasama penelitian secara multinasional sejak tahun 1999. Proyek
penelitian ini, didanai oleh Pusat Penelitian Australia untuk Penelitian Pertanian
Internasional atau the Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR),
yang memberikan suatu kontribusi penting untuk peningkatan budidaya ikan laut yang
berkesinambungan melalui perbaikan produksi hatcheri spesies-spesies ikan ekonomis
penting, khususnya kerapu.

Download:

Klik

Link

di

Khumaidi Download's
Diposkan 6th July 2012 oleh ACH.KHUMAIDI
0

Tambahkan komentar
2.
Jul
3

EKOLOGI PERAIRAN
EKOLOGI PERAIRAN

bawah

ini

Ach.
Khumaidi

A.

PENDAHULUAN

Pengertian ekologi
Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Erneast Haeckel pada pertengahan
tahun 1860-an. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, oikos yang berarti rumah dan logos
yang berarti ilmu. Jadi, secara harfiah, ekologi adalah ilmu yang mempelajari mahkluk
hidup dalam rumahnya. Atau dapat diartikan ilmu yang mempelajari rumah makhluk
hidup.
Ekologi merupakan pendekatan holistic terhadap pemahaman akan organisme
hidup dalam konteks relasinya baik dengan lingkungan fisik (abiotik) maupun dengan
satu sama lain (biotic). Interaksi-interaksi organism hiduplah yang merupakan bahan
mentah bagi pengkajian-pengkajian ekologis.
Unit ekologis adalah ekosistem, yang merupakan sebuah kelompok yang terdiri
atas beragam populasi yang berinteraksi dalam suatu daerah tertentu. Daerah (habitat)
tersebut bisa jadi sebesar kolam local. Beberapa pengertian yang biasanya tercakup dalam
wilayah kerja ekologi:
1)

Individu
Individu adalah suatu satuan struktur yang membangun satu kehidupan dalam
bentuk makhluk.

2)

Populasi

Populasi adalah kumpulan individu dari jenis yang sama dan berada di suatu
tempat dan waktu tertentu.
3)

Komunitas
Komunitas adalah kumpulan populasi yang berinteraksi satu sama lain, yang
hidup bersama dalam suatu tempat.

1) Ekosistem
Ekosistem adalah tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas. Pada
ekosistem terdapat hubungan timbale balik antara makhluk hidup dan lingkungan
abiotiknya, yang membentuk suatu system yang dapat diketahui aliran energy dan
siklus materinya.
Dilihat dari unsure penyusunnya, ekosistem dapat dibedakan menjadi empat
macam, yaitu:
a.

Bahan tak hidup atau abiotiik, yang berupa komponen fisik dan kimia.

b.

Produsen yaitu organism autotrofik

c.

Konsumen, yaitu organism heterotrofik

d.

Pengurai, perombak atau decomposer

2) Biosfer
Biosfer adalah organisasi biologi terbesar yang mencakup semua kehidupan
di bumi dan adanya interaksi antara lingkungan fisik secara keseluruhan.

Permukaan planet kita sebagian besar terdiri atas air. Sekitar 70 persen permukaan
planet merupakan ligkungan laut. Baik lingkungan perairan tawar maupun laut memiliki

rangkaian yang kaya akan kehidupan komunitas dan mempengaruhi secara siginifikan
aspek-aspek masyarakat manusia.

Berbagai factor lingkungan terpenting yang bekerja dalam ekosistem perairan.


Factor-faktor tersebut adalah:
1.

Gas terlarut

2.

Salinitas

3.

Kepekatan

4. Warna dan kebeningan


5.

Suhu

6.

Cahaya

7. Arus air

B.

EKOLOGI PERAIRAN TAWAR


Hanya 3% air di permukaan bumi ini adalah air tawar. Sebagian besar dapat

membeku dalam glasier dan es atau terbenam dalam akuifer. Sisanya terdapat dalam
danau, kolam, sungai, dan aliran.
Perairan tawar kebanyakan berupa perairan pedalaman. Susunan dan kadar garam
terlarutnya relative rendah atau dapat diabaikan. Ekosistem perairan tawar dapat dibagi
menjadi dua jenis, yaitu air tawar mengalir (lotik) dan ait tawar diam (lentik). Air tawar
mengalir terdiri dari air bergerak yang mengalir terus-menerus kea rah tertentu, termasuk
semua sungai dan aliran dengan segala ukuran. Sedangkan periaran tawar lentik terdediri
dari air tergenang, seperti danau, kolam, dan rawa.

Perairan Lotik
Perairan mengalir mempunyai corak tertentu yangsecara jelas membedakannya
dengan perairan tergenang. Sejumlah tumbuhan terdapat terbatas pada air yang mengalir.
Tumbuhan tersebut mencakup spesies ganggang merah dan paku air. Ada juga tumbuhan
bunga yang khas pada air mengalir, yang secara tertaur berkembang biak dengan biji.
Hewan air mengalir mencakup siput air tawar, hydroid, lintah, dan larva lalat hitam.
Beberapa corak pentingpada habitat air mengalir atau tepian air, dapat dijelaskan
dalam suatu perbandingan dengan keadaan air tergenang.
1.

Pada air mengalir, alirannya sering bergolak-galik, tetapi dalam air tergenag
alirannya, kalau ada, sangat lamban.

2.

Dalam air mengalir pelapisan sangat jarang terjadi.

3.

Hubungan antara kepekatan air dan suhu tak bersangkut paut karena arus yang
bergolak.

4.

Pada air mengalir jarang terjadi deoksigenasi. Tetapi pada air tergenang adalah
laziim terjadi.

5.

Penumpukan gas seperti karbondioksida dan hidrogensulfida pada air mengalir


sangat kecil atau minimum.

6.

Tumbuhan mengakar tak banyak ditemukan di dalam air mengalir karena


terganggu oleh penghanyutan.

7.

Plankton tak dapat berkembang subur dalam air mengalir. Plankton yang lazim
ditemukan adalah diatom dan rotifer.

Perairan lentik
Tubuh air tawar tergenang yang besar tidak terpengaruh oleh perubahan besar
dalam suhu. Air tawar tergenang terdiri dari tiga jenis berdasarkan keadaan haranya, yaitu
oligotrofik, yang miskin hara dan humus. Distrofik, yang miskin hara tetapi kaya humus;
dan eutrofik, yang airnya kaya hara dan humus.

Komponen biotik dalam ekosistem perairan tawar


Tumbuhan air tawar dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1.

Jenis tumbuhan merapung. Mencakup ganggung apung renik Lemna, Wolfia,


Salvinia, tumbuhan selada air, dan eceng gondok.

2.

Jenis daun merapung. Tumbuhan ini berakar tetapi tangkai daunnya memanjang
sampai ke permukaan air. Contohnya seperti teratai.

3.

Jenis timbul. Tumbuhan ini berakar, sebagian batang mencuat ke atas air. Misalnya,
Thypa dan Phragmites.

4.

Jenis terendam. Jenis ini merupakan yang paling khas, seperti Cerathopyllum
demersum, Myriophyllum, maupun spesies Chara.

C.

EKOLOGI ESTUARINE
Ekologi estuarin merupakan daerah atau lingkungan yang merupakan campuran

antara air sungai dan air laut, sehingga mengakibatkan daerah estuarin ini mempunyai air
yang bersalinitas lebih rendah daripada lautan terbuka. Sebagian besar jenis flora dan
fauna yang hidup didaerah estuarin tersebut adalah organisme yang telah beradaptasi
dengan kondisi yang terbatas didaerah tersebut. Oleh karena itu, umumnya daerah ini
dikatakan bahwa estuarin relative hanya dapat dihuni oleh bebrapa spesies saja. Pada

daerah estuarin ini selain dari turun naiknya salinitas yang disebabkan oleh air pasang,
juga terjadi penurusan salinitas yang bertahap ketika air dari mulut estuarin (muara
sungai) bergerak ke arah sumber mata air ( hulu sungai) sehingga terdapat wilayah dari
flora dan fauna yang hidup di daerah ini.
Estuari berasal dari kata aetus yang artinya pasang-surut. Estuari didefinisikan
sebagai badan air di wilayah pantai yang setengah tertutup, yang berhubungan dengan
laut bebas. Oleh karena itu ekosistem ini sangat dipengaruhi oleh pasang surut dan air
laut bercampur dengan air darat yang menyebabkan salinitasnya lebih rendah daripada air
laut. Muara sungai, rawa pasang-surut, teluk di pantai dan badan air di belakang pantai
pasir temasuk estuari. Selain itu estuarin juga merupakan bentuk teluk dipantai yang
sebagian tertutup, dimana air laut dan air tawar bertemu dan bercampur.
Biota yang hidup di ekosistem estuari umumnya adalah percampuran antara yang
hidup endemik, artinya yang hanya hidup di estuari, dengan mereka yang berasal dari laut
dan beberapa yang berasal dari perairan tawar, khususnya yang mempunyai kemampuan
osmoregulasi yang tinggi. Bagi kehidupan banyak biota akuatik komersial, ekosistem
estuari merupakan daerah pemijahan dan asuhan. Kepiting (Scylia serrata), tiram
(Crassostrea cucullata) dan banyak ikan komersial merupakan hewan estuari. Udang
niaga yang memijah di laut lepas membesarkan larvanya di ekosistem ini dengan
memanfaatkannya sebagai sumber makanan.
Daerah muara sungai yang terlindung dan kaya akan sumberdaya hayati menjadi
tumpuan hidup para nelayan, sehingga tidak dapat dihindari terjadinya pemukiman di
pinggiran muara sungai. Tidak hanya itu, karena muara sungai ini juga menjadi
penghubung daratan dan lautan yang sangat praktis, maka manusia menggunakannya
sebagai media perhubungan. Daerah yang terlindung juga menjadi tempat berlabuh dan
berlindung kapal, terutama di saat saat laut berombak besar. Perkembangan industri
pantai menambah padatnya wilayah estuari ini oleh kegiatan manusia karena daratan
estuari merupakan akses yang bagus buat kegiatan industri itu, khususnya tersedianya air
yang melimpah, baik itu untuk pendingin generator maupun untuk pencucian alat alat
tertentu dan tidak dapat dihindari nafsu untuk membuang limbah ke lingkungan akuatik.

Sifat fisik ekosistem estuarin


Sifat fisik estuarin yang mempunyai variasi yang besar dalam banyak parameter
yang sering kali menciptakan suatu lingkungan yang sangat menekan bagi organisme.
Mungkin inilah yang menyebabkan mengapa jumlah spesies yang hidup didaerah estuarin
lebih sedikit dibanding dengan di habitat laut lainnya.
Faktor fisik seperti salinitas, suhu, aksi ombak dan arus, kekeruhan, oksigen. Yang
pertama adalah salinitas dimana salinitas merupakan faktor dominan. Secara definitif,
sutu gradient salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu. Tetapi pola gradient
bervariasi bergantung pada musim, topografi estuaria, pasang surut dan jumlah air tawar.
Tetapi ada juga faktor lain yang berperan dalam mengubah pola salinitas. Pasang surut
merupakan salah satu kekuatan. Tempat perbedaan pasang surut cukup besar, pasang naik
mendorong air laut lebih jauh ke hulu estuaria, mengesre isohaline ke hulu dan pasang
surut sebaliknya mengesre isohaline kehilir. Akibatnya da daerah estuaria yang rezim
salinitasnya berubah sesuai dengan keadaan pasang surut. Juga bias diakibatkan rotasi
bumi yang berpengaruh terhadap membeloknya aliran air, dibelahan bumi utara kekuatan
ini membelokan air tawar yang mengalir keluar kesebelah kanan dan kebalikan untuk
daerah disebelah selatan. Perubahan salinitas musiman didaerah estuaria diakibatkan
karena perubahan penguapan atau perubahan aliran air tawar musiman. Didaerah dimana
debit air tawar atau kering dalam setengah waktu dalam setahun salinitas tinggi akan
bergeser ke hulu. Dengan mulainya kenaikan air tawar gradient salinitas bergeser kehilir
ke arah mulut estuaria. Oleh karena itu, pada berbagai musim suatu titik tertentu
diestuaria dapat mengalami salinitas yang berbeda-beda.
Suhu air yang ada diestuaria lebih bervariasi dari pada di perairan pantai
didekatnya. Hal ini sebagian karena biasanya diestuaria volume air lebih kecil sedangkan
luas permukaan lebih besar, dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada air estuaria
ini mudah cepat panas dan lebih cepat dingin. Selain itu juga masukan air tawar. Air
tawar di sungai atau dikali lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman dari pada air

laut. Sungai di daerah beriklim sedang suhunya lebih rendah dimusim dingin dan lebih
tinggi dimusim panas dari pada suhu ar laut didekatnya. Ketika air tawar masuk ke
estuaria dan bercampur dengan air laut, maka akan terjadi perubahan suhu. Akibatnya
suhu perairan estuaria lebih rendah pada musim dingin dan lebih tinggi pada musim
panas daripada perairan pantai disekitarnya. Karena air tawar memperlihatkan kisaran
suhu yang yang terbesar, maka apabila seseorang bergerak kehulu estuaria, kisaran suhu
tahuananmenjadi lebih besar. Begitu pula kisaran suhu paling kecil dimana percampuran
air twar minimal. Suhu yang bervariasi secara vertical. Perairan permukaan mempunyai
kisaran yang terbesar, dan perairan lebih dalam kisaran suhunya lebih kecil. Pada estuaria
baji garam, perbeaan suhu vertical ini juga memperlihatkan kenyataan bahwa perairan
permukaan didominasi air tawar, sedangkan perairan yang lebih dalam didominasi atau
seluruhnya terdiri dari air laut.
Aksi ombak dan arus, pada lingungan estuaria dikelilingi daratan pada tiga sisi.
Ini berarti bahwa luas perairan yang ada diatasnya angina dapat bertiup untuk
menciptakan ombak adalah minimal. Paling tidak jika disbanding dengan lautan. Karena
ombak bergantung pada luas perairan terbuka yang diatasnya angina dapat bertiup, berarti
pada daerah perairan yang sempit menghasilkan ombak yang kecil. Arus estuaria
dipengaruhi oleh kegiatan pasang surut dan aliran sungai. Untuk daerah hulu terjadi
masukan air tawar yang terus menerus. Sebagian akan bercampur dengan air laut. Pada
akhirnya sebagian besar juga mengalir keluar estuaria. Atau menguap untuk
mengimbangi air berikutnya yang masuk kebagian hulu. Selain itu juga kekeruhan
dimana jumlah partikel tersuspensi dalam perairan estuaria setidak-tidaknya pada waktu
tertentu dalam setahun air menjadi sangat keruh. Kekerhan terjadi pada saat aliran sungai
maksimum . kekeruhan suatu estuaria mendekati konsentrasi plankton dan atau kecepatan
angin. Pengaruh ekologi utama kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara
mencolok. Hal ini mengakibatkan menurunkan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan
bentik yang mengakibatkan turunya produktivitas. Untuk jumlah oksigen yang masuk
kedalam

estuaria

bersama-sama

dengan

kedangkalannya,

pengadukannya,

dan

pencampuran oleh angin biasanya berarti cukupnya persediaan oksigen. Karena kelarutan

oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas jumlah oksigen dalam air
akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter.

Hewan yang bisa hidup


Daerah estuarin merupakan tempat hidup yang baik bagi populasi ikan jika
dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Daerah ini merupakan tempat untuk berpijah dan
membesarkan anak-anaknya bagi beberapa spesies ikan. Adapun faktor yang
menyebabkan daerah ini mempunyai nilai produktivitas tinggi yaitu, disana terdapat
suatu penambahan bahan- bahan organik secara terus menerus yang berasala dari daerah
aliran sungai, perairan estuarin adalah dangkal, sehingga cukup menerima matahari untuk
membantu kehidupan tumbuh-tumbuhan yang sangat banyak, daerah estuarin merupak
tempat yang relative kecil menerima aksi gelombang akibatnya detritus dapat menumpuk
didalamnya, aksi pasang selalu mengaduk-aduk bahan organic yang berada disekitar
tumbuh-tumbuhan.
Biota yang hidup di ekosistem estuari umumnya adalah percampuran antara yang
hidup endemik, artinya yang hanya hidup di estuari, dengan mereka yang berasal dari laut
dan beberapa yang berasal dari perairan tawar, khususnya yang mempunyai kemampuan
osmoregulasi yang tinggi. Bagi kehidupan banyak biota akuatik komersial, ekosistem
estuari merupakan daerah pemijahan dan asuhan. Kepiting (Scylia serrata), tiram
(Crassostrea cucullata) dan banyak ikan komersial merupakan hewan estuari. Udang
niaga yang memijah di laut lepas membesarkan larvanya di ekosistem ini dengan
memanfaatkannya sebagai sumber makanan.
Terdapat juga binatang yang dapat kita golongkan kedalam kompenen peralihan,
kedalam kompenen ini termasuk dalam organisme seperti ikan yang melakukan migrasi
yang melewati estuaria dalam perjalananya kedaerah pemijahan baik diair tawar maupun
air laut, contoh umum adalah ikan salem (Salmo, Oncorbyncus) dan Belut laut
(Anguilla). Sedangkan untuk fauna peralihan juga termasuk binatang yang ada di estuaria
hanya untuk mencari makan dan termasuk berbagai burung dan ikan. Organisme estuarin

berasal dari binatang laut dan bukan dari air tawar, karena binatang laut mampu
mentolerir penurunan sanilitas yang besar daripada spesies air tawar menghadapi
kenaikan salinitas.

D.

EKOLOGI LAUT
Kehidupan biota laut, dimana pun, selalu dipengaruhi oleh factor-faktor

lingkungan. Factor-faktor tersebut dapat berperan bersama-sama atau satu factor lebih
menonjol pengaruhnya dari yang lain.
Lingkungan laut selalu berubah dan dinamik. Perubahan tersebut akan mengubah
intensitas factor-faktor lingkungan. Factor-faktor lingkungan yang banyak berpengaruh
terhadap terhadap kehidupan di laut adalah:
1.

Gerakan air

2.

Suhu dan densitas air

3.

Salinitas

4.

Cahaya

Air laut selalu dalam keadaan bergerak, yang disebabkan oleh angin yang
berhembus di atas permukaannya, pengadukan yang terjadi akibat perbedaan suhu air di
dua lapisan, perbedaan tinggi permukaan laut, pasang-surut dan lain-lain. Gerakan air laut
ini dikenal sebagai arus, gelombang, permukaan massa air (upwelling), tenggelaman
massa air (downwelling) dan sebagainya.
Salinitas air laut berasal dari dalam dasar laut melalui proses outgassing, yaitu
rembesan dari kulit bumi dari dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut.
Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang massa.

Zat-zat terlarut yang membentuk garam, yang kadarnya diukur dengan istilah
salinitas dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a.

Konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg.

b.

Gas terlarut

: CO2, N2, dan O2.

c.

Unsure hara

: Si, N, dan P.

d.

Unsur runut

: I, Fe, Mn, Pb, dan Hg

Suhu alami laut berkisar antara suhu di bawah 0 C sampai 33 C. di permukaan


laut, air laut membeku pada suhu -1,9 C. uumumnya ada hubungan tak langsungg antara
suhu dan densitas, karena ada gangguan atom-atom dalam molekul air. Kenaikan suhu
menurunkan densitas air laut dan menambah daya larut air laut.
Caahaya bagi hewan laut mempunyai pengaruh terbesar secara tidak langsung,
yakni sebagai sumber energy untuk proses fotosintesis tumbuhan yang menjadi tumpuan
hidupnya. Cahaya juga merupakan factor penting dalam hubungannya dengan
perpindahan populasi hewan laut.

Zonasi perairan laut


Dari perspektif ekologis, lautan dapat dibagi menjadi daerah neritik di atas
paparan benua (continental shelf) dan kedalaman oseanik yang terletak setelah paparan
benua yang relative dangkal. Bagian neritik yang terletak di lepas pantai disebut zona
litoral. Karena arusnya dan penetrasi sinar matahari penuh akibat kedangkalannya, zona
litoral sangat kaya akan hewan dan tumbuhan. Lebih dekat lagi dengan pantai dari pada
zona litoral disebut zona antarpasang (intertidale zone, zona pasang surut), yang secara
periodic tertutup oleh air saat pasang naik dan terbuka saat pasang surut. Kedalamankedalaman laut dibagi menjadi zona pelagic yang kaya plankton dan zona abisal yang
lebih dalam lagi.

Tentang zonasi laut Kimball (1991), menjelaskan bahwa lautan dapat


digambarkan dalam istilah zona, dan banyak persamaan di antara keduanya. Pinggiran
laut disebut zona intertidal. Daerah ini terdiri atas pasir pantai, karang, muara, dan dii
daerah tropic dan subtropik, ada rawa mangrove dan gosong karang.
Lautan yang relative dangkal dan meluas ke pinggiran selat benua dinamakan
zona neritik. Zona oseanik terdapat di atas lembah lautan.

Kehidupan di Laut
Meskipun dilaut terdapat kehidupan yang beraneka ragam, tetapi lazimnya biota
laut hanya dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama, yakni palankton, nekton, dan
bentos. Plankton hidup di zona pelagic dan meengapung, menghanyut, atau berenang
sangat lemah. Plankton terdiri dari fito plankton dan zooplankton. Nekton adalah biota
yang berenang-renang, yang hanya terdiri dari hewan. Sedangkan benthos adalah biota
yang hidup di atas atau di dalam dasar laut, baik itu tumbuhan ataua hewan.
Di laut tumbuhan merupakan produsen yang sesungguhnya. Dari keempat divisi
tumbuhan, hanya ada dua divisi yang dapat ditemukan di laut, yaitu Thallophyta dan
Spermatophyta. Kelas Thallophyta adalah Myxophyceae (alga hijau-biru), Chlorophyceae
(alga hijau), Phaephyceae (alga coklat), Rhodophyceae (alga merah).

E.

PENGELOLAAN EKOSISTEM PERAIRAN

River continuum concept


Pengelolaan pesisir
Pengelolaan

sumberdaya

pesisir

secara

terpadu

menghendaki

adanya

keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan

yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki


kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu:
1)

UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.

2)

UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.

3)

UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

4)

UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.

5)

PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk dan
Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.

6)

Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

7)

Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di


Daerah.

8)

Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.


Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah

pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya.


Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas
sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang berbeda dari
sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh
karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan
dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management,
ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir
secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996; Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht
1998; Kay and Alder 1999).

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif dan
evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan
berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan
ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang
terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir,
sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi.
Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan
kepada : (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang
berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi ekonomi, sosial, budaya
dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang
dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir.
Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai
berbagai isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan
muncul dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk
mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan
berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan utama : (1) penataan dan
perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knecht
1998). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna
mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan
tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau
pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk
mencapai tujuan tersebut.
Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir
secara berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan
pesisir dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b)
keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder.
Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir
yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh

segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal.
Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan
kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one
plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Secara skematik kerangka konsep studi
disajikan pada Gambar 1.

F. PENCEMARAN DAN KESEHATAN LINGKUNGAN


Aspek fisika pencemaran perairan
Aspek kimia pencemaran perairan
Aspek biologi pencemaran lingkungan

DAFTAR PUSTAKA
Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung: Penerbit ITB.
Deshmukh, Ian. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kimball, Jhon W. 1991. Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Romimohtarto, Kasijan. 2007. Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang Biota Laut.
Jakarta: Djambatan.
Yudha, Indra Gumay. 2008. Ekosistem Perairan Tawar.
http://ramli-and-brother.blogspot.com

Diposkan 3rd July 2012 oleh ACH.KHUMAIDI


0

Tambahkan komentar
3.
Jul
1

Bioteknologi Genetik Pada Ikan


Bioteknologi Genetik Pada Ikan

Endang Masduki,
S.St.Pi

Bioteknologi merupakan penggunaan sistem biologi atau organisme hidup dalam


proses produksi. Bioteknologi memiliki cakupan manfaat yang luas bagi dunia perikanan
dan budidaya ikan. Manfaat tersebut diantaranya, meningkatkan tingkat pertumbuhan
ikan budidaya, meningkatkan nilai gizi pada pakan ikan, meningkatkan kesehatan ikan,
membantu memperbaiki dan melindungi lingkungan, memperluas cakupan jenis ikan,
meningkatkan pengelolaan dan konservasi ketersediaan benih di alam. Terdapat beberapa
bioteknologi sederhana yang sudah diterapkan sejak lama seperti pemupukan kolam
untuk meningkatkan ketersediaan pakan. Sedangkan yang lain merupakan teknologi maju
yang memanfaatkan pengetahuan biologi molekul dan genetik seperti rekayasa genetik

dan diagnosa penyakit melalui DNA. Tujuan utama penerapan bioteknologi genetik pada
ikan adalah untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan. Namun bisa juga digunakan untuk
meningkatkan daya tahan terhadap penyakit dan lingkungan. Terdapat beberapa teknik
bioteknologi yang sudah diterapkan pada ikan budidaya.

Pembenihan Selektif
Pembenihan selektif, yang merupakan pembenihan ikan secara tradisional,
pertama kali dikembangkan pada ikan mas ribuan tahun yang lalu. Namun sampai
sekarang pembenihan selektif hanya diterapkan pada ikan untuk konsumsi seperti ikan
nila, catfish, dan trout sehingga masih banyak ikan budidaya yang pembenihannya seperti
di perairan umum. Program pembenihan secara selektif telah memberikan peningkatan
hasil dan pendapatan yang setabil contohnya terdapat peningkatan tingkat pertumbuhan
5-20% pada ikan budidaya seperti Salmon, Nila dan catfish.

Manipulasi
Manipulasi pada bentuk kromosom merupakan teknik yang bisa digunakan untuk
menghasilkan organisme triploid yaitu organisme dengan tiga bentuk kromosom dimana
biasanya suatu organisme cuma memiliki dua bentuk. Triploid umumnya tidak bisa
bereproduksi sehingga ada pemikiran bahwa energi yang dimiliki akan sepenuhnya
digunakan untuk meningkatkan perkembangan suatu organisme walaupun belum ada
bukti yang menguatkan pemikiran tersebut. Keuntungan triploid lebih terlihat pada fungsi
sterilitasnya meskipun tidak mencapai 100%. Contohnya, tiram triploid tidak dapat
memproduksi gonad sehingga dapat dipasarkan sepanjang tahun. Hal ini disebabkan
produksi gamet (sel kelamin, ovum atau telur pada betina dan sperma pada jantan)
membuat tiram yang matang gonad memiliki rasa yang tidak enak.

Budidaya Sejenis (monosex culture)

Dalam budidaya perikanan, budidaya sejenis (monosex culture) biasanya lebih


menguntungkan dari pada budidaya lainnya. Sebagai contoh, Ikan sturgeon betina
menghasilkan caviar, ikan nila jantan tumbuh lebih cepat daripada betina, ikan salmon
dan trout betina lebih cepat tumbuh daripada ikan jantan. Produksi ikan secara monosek
memberikan banyak keuntungan dan dapat dilakukan dengan cara memanipulasi
perkembangan gamet dan embrio. Pemanipulasian dilakukan dalam bentuk denaturalisasi
DNA sel kelamin yang dilanjutkan dengan manipulasi bentuk kromosom atau sex
reversal menggunakan hormon dan tindakan pembenihan.
Penggunaan hormon yang tepat dengan ketat dapat merubah sifat fenotip kelamin
ikan. Contohnya, secara genetik ikan nila jantan akan berubah secara fisik menjadi betina
dengan pemberian hormon estrogen. Ikan-ikan jantan ini dikawinkan dengan ikan jantan
alami untuk menghasilkan semua anakan ikan nila jantan yang tumbuh lebih cepat dan
dapat menghindari perkawinan yang tidak diinginkan yang biasa terjadi pada budidaya
nila secara multi-sex. Pada budidaya ikan nila multi-sex, perkawinan ikan-ikan berukuran
kecil sering terjadi dan menyebabkan kepadatan yang berlebih. Beberapa anakan jantan
dari proses ini memiliki dua kromosom jantan sehingga dapat dijadikan sebagai induk
untuk pembenihan selanjutnya. Manfaat besar dari teknik ini yaitu semua populasi jantan
bisa diproduksi untuk generasi seterusnya tanpa menggunakan hormon.

Hibridasi
Hibridasi merupakan bioteknologi genetik yang semakin mudah dilakukan dengan
berkembangnya teknik pembenihan buatan seperti penggunaan kelenjar hipopisa atau
hormon lainnya yang merangsang perkembangan gamet dan mendorong pemijahan
(pengeluaran telur ikan). Peningkatan pemahaman faktor-faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi reproduksi seperti lamanya penyinaran matahari, suhu atau arus air telah
memainkan peranan penting dalam peningkatan program pembenihan. Sekarang
pembudidaya ikan dapat mengatasi rahasia mekanisme reproduksi ikan secara alami di
perairan umum. Hibridasi bisa digunakan juga untuk menghasilkan anakan satu jenis
kelamin (Hibridasi pada ikan nila Nile dan Nila biru).

Peningkatan Teknologi
Peningkatan teknologi reproduksi ikan telah banyak membantu pembudidaya
dalam usaha membudidayakan ikan. Selain itu, dengan adanya kemampuan untuk
mengatasi kendala alam dan masa memijah, pembudidaya bisa mengawinkan ikan lebih
banyak pada saat-saat nilai jual ikan tinggi dan juga menjamin ketersediaan ikan di pasar.

Perkembangan Teknologi Transgenik


Rekayasa genetik merupakan sebuah istilah yang samar dan pengertiannya
menjadi hampir mirip dengan transgenik (transfer gen) seperti ikan trangenik atau
Modifikasi Organisme secara Genetik (GMOs). Teknologi ini sedang berkembang dengan
cepat dan memungkinkan merubah gen-gen species yang memiliki keterikatan yang jauh;
contohnya, sebuah gen yang menghasilkan protein anti-beku telah ditransfer dari ikan
laut yang tahan dingin ke buah strawberry. Transfer gen pada ikan biasanya mencakup
gen yang menghasilkan hormon pertumbuhan dan hal ini telah dibuktikan dengan
peningkatan tingkat pertumbuhan yang tinggi pada ikan mas, catfish, salmom, ikan nila,
mudloach,dan trout. Gen anti-beku yang diterapkan pada tanaman juga diterapkan pada
ikan salmon dengan harapan dapat memperluas pembudidayaan ikan tersebut. Produksi
protein gen ini tidak cukup untuk memperluas jangkauan ikan salmon di perairan dingin
tetapi gen ini memungkinkan salmon untuk terus berkembang selama musim dingin
dimana ikan salmon non-transgenik tidak akan berkembang. Teknologi transgenik saat ini
masih dalam taraf penelitian dan pengembangan; belum ada ikan ataupun tanaman
transgenik yang tersedia untuk dikonsumsi.
Diposkan 1st July 2012 oleh ACH.KHUMAIDI
0

Tambahkan komentar
4.

Jun
30

Materi SOP Udang

SOP(Standard Operating Procedures) BUDIDAYA UDANG


DI TAMBAK
PERSIAPAN TAMBAK
a.

Pengeringan Tambak
Tambak terbuat dari beton yang diberi dasar dan dinding dengan plastik agar air
tidak merembes, kemudian diberi pasir diatas plastik. Luas rata-rata tambak 2.800
m2(luas total 30 ha) luas efektif tambak 15 ha.Pengeringan tambak membutuhkan
waktu selama 10-15 hari untuk perkolamnnya. Untuk membersihkan tambak
membutuhkan waktu selama 2 minggu dari mulai persiapan hingga
penebaran.Untuk mengeluarkan air menggunakan sentral grain berukuran 3 inch.
Pembersihan kolam (penyiponan) dimulai pada hari ke-40 dan dilakukan seminggu
2 kali.

b.

Perbaikan Pematang & Pintu Air


Perbaikan pematang dilakukan jika pematang mengalami kebocoran. Pematang
tadalam tambak budidaya udang biasanya ada yang menggunakan semen dan
tambak tanah. Tambak semen/beton perbaikanya dengan mengontrol disaat
pengeringan lalu tambak dapat diperbaiki/ditutup kembali dengan menggunakan
semen. Jika tambak terbuat dari tanah, maka pengontrolan dititik beratkan kepada
arus pusaran air yang terjadi didalam tambak, setelah itu maka tambak dapat
diperbaiki dengan menutup tanggul dengan karung yang berisi pasir, lalu ditimbun
denga menggunkan lumpur.

c.

Pengangkutan Lumpur

Pengangkutan lumpur dilakukan pada saatpenyifonan dengan menggunakan selang


spiral. Lumpur disedot kemudian dibuang ke pematang/lubang sifon di tambak.

d.

Pengapuran
Kapur yang digunakan menggunakan kapur pertanian, dolomite, dan Ca(OH)2 .
kapur pertanian digunakan untuk molting setelah sifon dan pengendapan. Dolmit
dan zeolit digunakan untuk pupuk. Dengan dosis masing-masing sebanyak 2
kg.Pengairan
Sumber air langsung berasal dari laut dan tidak ada treatmen tandon. Saluran outlet
(pembuangan) langsung dialirkan ke laut. Tinggi air untuk awal penebaran 80-100
cm. setelah umur 40 hari bertambah menjadi 120-150 cm.

e.

Pemupukan
Jenis pupuk terbuat NPK, SP36 dan Urea. Dosis NPK 10 kg/kolam, Urea 5
kg/kolam. Pupuk diberikan 1 kali dalam 1 hari. Ada pemupukan susulan apabila
kondisi air kurang cerah dengan menggunakan Urea. Penyuburan perairan budidaya
juga menggunakan hasil fermentasi dari bahan-bahan : molase 2kg, dedak 2 kg,
Bacillus sp 2 L,

f.

Pengairan Lanjutan
Pergantian air dilakukan 10 hari (tergantung kualitas air). Pergantian air 5 % dan
dilakukan setiap 4 hari sekali.

PENEBARAN BENUR
a.

Pengangkutan Benur
Asal benur
Benur berasal dari hatchery udang Pokpan Anyer dan udang yang diproduksi
adalah jenis udang vanamei (Litopneaus monodon).
Padat tebar pengangkutan
1.600 1.700 ekor/ kantong.
Lama pengangkutan
Lama pengangkutan dari Anyer ke Ujung Genteng selama kurang lebih 12
jam. Dengan menggunkan mobil truk.
Cara pengangkutan
Menggunakan truk sebagai sarana pengangkutan. Didalam plastik packing
diberikan pakan artemia sebagai pakan pada saat perjalanan agar tidak terjadi
kanibalisme atau mortalitas.

b.

Aklimatisasi
Cara
-

Penyesuaian suhu dengan cara kantong packing yang berisi benur


dicelupkan ke air tambak, hingga plastic mengalmi pengembunan
artinya dapat mengindikatorkan bahwa suhu packing dan tambak telah
sesuai.

Penyesuain kualitas air dengan cara mengoplos air tambak dengan air
yang berada dalam kantong packing sebesar volume air dalam
packing sampai benur berenang ke permukaan atau sampai benur sadar.

Udang siap ditebar, jika benur sudah mulai berenang aktif dan menuju
ke atas/permukaan.

Waktu

c.

Penyesuain suhu 10-30 menit.

Penyesuaian kualitas air 10-30 menit atau sampai benur sadar.

Penebaran
Cara
kantong packing sedikit dicelupkan ke air tambak sampai semua benur keluar
dari kantong packing dengan sendirinya.
Padat tebar
Padat penebaran 120- 150 ekor/m2.
Waktu penebaran
Waktu penebaran selama 10 - 30 menit.

d.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan dengan cara visual. Pengamatan dilakukan setelah 30 hari
pemeliharaan. Sampling bobot dilakukan pada 5 titik dengan menggunakan anco.
Setelah 7 hari sekali sampling untuk menghitung pakan
Ciri benur yang baik
-

Warna cerah

Karapas bersih

Nafsu makan tinggi

Pergerakan agresif

Peka terhadap rangsang

Cepat beradaptasi dengan lingkungan baru

Ciri benur yang kurang baik

Warna pucat

Masih terdapat sisa-sisa molting pada karapas

Nafsu makan kurang

Pergerakan lambat

Kurang peka terhadap rangsangan

Mudah stres

Sulit untuk beradaptasi

Parameter keberhasilan penebaran


-

Nafsu makan tinggi

Tingkat kelangsungan hidup tinggi

PEMBERIAN PAKAN
a.

Pakan

Jenis Pakan
-

serbuk (PL 10 10 hari pemeliharaan)

crumble (1140hari pemeliharaan)

pelet (41 hari panen)


Feeding Rate

FR 6 % (awal penebaran)

Konversi Pakan
Konversi pakan pada udang sebesar 1,6

Cara Perhitungan Kebutuhan Pakan

b.

penghitungan kebutuhan pakan awal menggunakan metode blind


feeding (satu bulan pertama)
mendapatkan nilai FR dari metode blind feeding
cek anco sebanyak 5- 10 % dari total jumlah pakan/ satu kali
pemberian pakan

Pemberian Pakan

Metode Pemberian Pakan


-

Blind feeding (30 hari pertama penebaran)


o Umur 5 day 2 kali sehari total pakan 2 Kg
o Umur 10day4 kali sehari total pakan 4 Kg
o Umur 15day5 kali sehari total pakan 4 Kg up

Restricted (pemeliharaan selanjutnya) berdasarkan hasil sampling.


Frekuensi pemberian pakan

5x sehari (jam 06.00, 10.00, 14.00, 18.00, 22.00)


c.

Penyimpanan Pakan

Tempat Penyimpanan
Gudang pakan (ditiap Blok)

Standar Tempat Penyimpanan Pakan


-

Kering

Terhindar dari kontak dengan cahaya matahari

Berventilasi

Terhindar dari gangguan hewan pengerat

PENGELOLAAN AIR
a.

Penggantian

Air

Sumber air berasal dari laut langsung.


Caranya air laut diambil dengan pompa dan dialirkan melalui saluran saluran
sampai pada ke kolam kolam.
Volume yang diganti adalah 5 % selama 4 hari sekali (tergantung keadaan air)
b.

Kincir
Kapasitas kincir 1 PK mampu mendukung suplai oksigen untuk bobot
biomassa udang sebanyak 500-600 Kg.
Cara penggunaannya kincir dipasang di permukaan kolam beroperasi 24 jam
penuh dengan jumlah kincir yang dipasang berdasarkan banyaknya udang
didalam kolam.

c.

Pemupukan Lanjutan
Pemupukan menggunakan Jenis pupuk Urea, NPK, SP36. Dosis yang digunakan
untuk pemupukan yaitu Urea 5kg, NPK 10kg, SP36 1-2kg. Waktu pemupukan
hanya dilakukan pada awal saja, adapun pemupukan susulan, apabila kondisi air
kurang cerah menggunakan urea.

PEMBERANTASAN HAMA DAN PENYAKIT


a.

Pemberantasan hama
Jenis hama adalah kepiting yang dapat merusak konstruksi tambak.
Cara pencegahan yaitu dengan memasang suatu filter pada inlet untuk
menghalangi masuknya hama ke dalam tambak.

Alat filter yaitu berupa kain strimin yang dipasang pada pipa inlet.
Hama : Hama yang sering menyerang pada tambak udang Ujung Genteng adalah
kepiting (Scylla serrata), Biawak, dan manusia. Karena kepiting adalah sebagai
organisme pembawa penyakit dan sebagai hama yang dapat merusak pematang
tambak.
Penyakit : penyakit pada udang yang sangat vital meliputi 2 golongan yakni virus
dan bakteri. Virus yang umumnya menyerang udang dan sangat mematikan adalah
WSSV (white spot syndrome virus), IHHNV (infectious hypodermal and
hematopoetic necrosis virus), TSV (taura syndrome virus), dan IMV (infectious
myonecrosis virus).

b.

Pemberantasan penyakit
Jenis penyakit yang dialami adalah penyakit yang berasal dari virus yaitu IMNV
(Infection Mio Necrocis Virus).
Cara pengobatan yaitu mengkarantina kolam yang terserang penyakit agar tidak
menyebar ke kolam yang lain dan dilakukan treatment pengobatan pada
kolam tersebut.
Obat yang digunakan adalah saponin 10 kg

PEMANTAUAN (Sampling)
a.

Pemantauan bobot
Metodesampling dengan anco
Cara penghitungan yaitu ambil udang dengan jumlah tertentu lalu ditimbang
dan dirata-ratakan.

b.

Kondisi biota kultur


Metodepengamatan udang dilihat keadaannya saat sampling di anco.
Tindakan yang dilakukan jika ditemukan masalah pada biota maka akan
dilakukan pengecekan.

PEMANENAN DAN PEMASARAN


a.

Pemanenan
Pemanenan dilakukan pada saat waktu pemeliharaan telah mencapai 100-114
hari.
Ukuran panen adalah size 60.
Dengan SR 80%
Pemanenan dilakukan dengan cara menyiapkan alat yang akan digunakan
terlebih dahulu seperti jaring (jaring kondom), dan drum plastik. Setelah itu
jaring dapat dipasang ke outlet khusus untuk panen, jika telah terpasang pintu
outlet dibuka hingga air surut, kemudian udang pada jaring dimasukkan ke
dalam drum plasik. Waktu yang diperlukan adalah 2 jam dengan jumlah
udang yang dipanen sekitar 1 ton untuk kolam/tambak ukuran 2800 m2.
Udang yang telah dipanen langsung disortir dan disesuaikan dengan size nya.
Setelah itu maka udang dipacking didalam box sterofoam dengan susunan
box diberikan es batu, lalu diberikan udang diatasnya dan begitu pula
selanjutnya.

b.

Pengangkutan
Pengangkutan hasil panen dilakukan dengan bantuan kendaraan bermotor yaitu
mobil pick-up sampai ke tempat penyortiran, dari tempat sortir hasil panen
langsung di angkut oleh pengumpul. Lama penyortiran adalah 1 jam.

c.

Pemasaran
Hasil panen dipasarkan langsung kepada pengumpul, pengumpul datang ke tambak
pada saat panen, kegiatan panen mulai dari pemanenan sampai udang di angkut ke
tempat sortir sepenuhnya dilakukan oleh seluruh karyawan tambak, kegiatan dari
sortir sampai udang dimuat ke alat pengangkut (truk) dikerjakan sepenuhnya oleh
orang-orang dari pembeli.

Diposkan 30th June 2012 oleh ACH.KHUMAIDI


0

Tambahkan komentar
5.
Jun
28

REKAYASA AQUACULTURE
REKAYASA AQUACULTURE

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Kawasan pesisir Indonesia memiliki ekosistem yang cocok bagi pengembangan


kegiatan budidaya udang di tambak air payau. Pengoperasian tambak udang biasanya
dikembangkan di daerah pasang surut. Di kawasan tersebut tersedia air setinggi 0,8-1,5 m
selama periode rata-rata pasang tinggi, yang dapat digunakan untuk budidaya udang dan
untuk pengeringan secara sempurna pada saat diperlukan.
Pertambakan yang dibangun di kawasan pesisir difungsikan untuk pemeliharan
(budidaya) udang. budidaya udang bertujuan sebagai kegiatan membesarkan benih udang
(nener) menjadi udang dengan size 30, selama labih kurang 4 bulan masa pemeliharaan.
Selama masa pemeliharaan, setiap ekor udang bila mendapat pakan dan air yang baik,
akan tumbuh dengan cepat guna memproduksi daging udang.
Di Indonesia, budidaya udang di tambak dikategorikan pada tiga system produksi,
yaitu sistem ekstensif, semi intensif dan intensif. pada tambak intensif padat
penebarannya di atas 100.000 ekor per ha, menggunakan benur dari harchery dengan
pergantian air 3-4 hari sekali. Padat penebaran yang tinggi membutuhkan pakan dalam
jumlah besar. menerapkan sistem semi intensif dengan padat penebaran cukup tinggi,
menggunakan kincir dan pakan buatan atau pellet. Dalam kondisi demikian, beban bahan
organik tambak menjadi tinggi. Bahan organik berasal dari ekskresi udang, sisa pakan
dan bangkai organisme yang mengendap di dasar tambak. Untuk menanggulangi hal
tersebut, pada tambak semi intensif dilakukan pengaerasian dan pergantian air yang
cukup, baik kuantitas maupun frekuensinya. Upaya tersebut dilakukan guna
mempertahankan kualitas air bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan optimum
organisme target.
Untuk mempertahankan agar kualitas air tetap optimum bagi organisme budidaya,
di tambak intensif seluas 1 ha dibutuhkan air sebanyak 29-39 liter per detik. Jumlah
tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tambak semi intensif dan ekstensif. Salah
satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pertambakan udang adalah ketepatan
pemilihan lokasi. Kekeliruan pemilihan lokasi akan menyebabkan membengkaknya
kebutuhan modal, tingginya biaya operasi, rendahnya produksi dan munculnya masalah
lingkungan.

Pengalaman membuktikan bahwa lokasi pertambakan, teknologi yang diterapkan


dan pola sebaran tambak di suatu kawasan pantai akan berdampak luas terhadap mutu
lingkungan, stabilitas produksi tambak dan keuntungan ekonomi usaha pertambakan.
Dengan demikian, keputusan yang diambil untuk memilih lahan yang sesuai
untuk pertambakan harus mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu,
melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dihubungkan dengan
potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah
berikut usaha pemeliharaan kelestariannya.
Lahan untuk usaha pertambakan harus memenuhi persyaratan biologis, teknis,
sosial ekonomi dan hygienis, karena kesesuaian lahan pertambakan akan sangat
menentukan produktivitas tambak. Beberapa hal yang harus diperhatikan secara ekologis
guna keberhasilan usaha pertambakan yaitu: pasokan air, topografi, tipe tanah, vegetasi.

Tujuan Mendesain Tambak


o

Agar kita dapat mengetahui tentang pola tata guna tanah serta kesesuaian lahan yang
disesuaikan dengan potensi wilayahnya sebagai tempat media pembuatan tambak

nantinya.
Agar kita dapat menentukan tipe tambak yang menguntungkan bagi usaha

o
o

pembudidayaan.
Agar kita dapat mendesain bentuk tambak yang layak untuk proses pembudidayaan.
Desain tambak dapat dijadikan informasi serta bahan acuan bagi mahasiswa lain serta
bagi yang berminat mengembangkannya.

Manfaat
Manfaat laporan ini antara lain adalah diperolehnya suatu alternatif sistem
budidaya udang yang menghasilkan produktifvitas tinggi dengan limbah buangan

seminimal mungkin. Hal ini dapat dicapai bila ada keseimbangan antara komponenkomponen ekosistem tambak sehingga menghasilkan kondisi lingkungan yang optimal
bagi kehidupan udang sehingga pemanfaatan pakan oleh udang menjadi efisien.
I.

SYARAT-SYARAT PEMILIHAN LOKASI TAMBAK


Berdasarkan kebiasaan hidup, tingkah laku dan sifat udang atau ikan itu sendiri,

maka dalam memilih lokasi tambak baik dalam rangka membuat tambak baru maupun
dalam perbaikan tambak yang sudah ada, sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
o

Memiliki sumber air yang cukup, baik air laut maupun air tawar dan tersedia
sepanjang tahun atau setidaknya 10 bulan dalam setahun, tetapi bukan daerah banjir.
Memiliki saluran saluran air yang lancar, baik untuk pengisian waktu pasang maupun
membuang air waktu surut dan sumber air serta lingkungan bebas dari pencemaran.
tambak harus tetap dibangun di atas ketinggian permukaan air surut tertinggi karena
jika tidak maka tambak akan terus menerus tergenang, sedangkan pengeringan secara

o
o

berkala mutlak diperlukan untuk mempertahankan kesuburan tambak.


Kadar garam air berkisar 10-25 ppm dan derajat keasaman (pH) berkisar 7 8,5
Tanah dasar tambak terdiri dari Lumpur berpasir dengan ketentuan kandungan

pasirnya tidak lebih dari 20%.


o Perlu di pertimbangkan tentang topografi areal pantai, sifat fisik dan kimiawi tanah
(kesuburan), kondisi vegetasi mangrove, dan keadaan prasarana (jalan atau sungai)
untuk mengangkut barang-barang kebutuhan operasional tambak dan pemasaran
hasil.

A. PERSIAPAN TAMBAK
a. Pengeringan
Pengeringan merupakan proses dimana seluruh air yang berada di area tambak
dikeringkan total sampai tanah mengerut. Persiapan tanah dasar tambak yang pertama

kali dilakukan adalah pengeringan total kemudiaan penjemuran tanah dasar dibawah terik
matahari hingga tanahnya retak. Lama penjemuran sekitar 1-2 minggu, tergantung dari
kondisi cuaca. Khusus tambak yang pernah digunakan untuk memelihara udang, lapisan
atas tanah dasar tambak perlu dibuang karena mengandung timbunan sisa pakan yang
sudah membusuk. Pembuangan lapisan atas tanah dasar dilakukan dengan cangkul. Jika
kondisi tanah dasar tambak tidak terlalu buruk, pembuangan lapisan atas tidak perlu
dilakukan , tetapi cukup membalik tanah dasar dengan cangkul atau bajak (Ahmad dkk,
2006).

b. Pengapuran
Pengapuran merupakan proses kedua dalam pembuatan tambak yang mana
pengapuran merupakan proses penaburan kapur pertanian. Jika proses pengeringan dan
pembalikan tanah dasar dianggap cukup, selanjutnya dilakukan pengapuran dengan kapur
pertanian. Pengapuran tidak hanya dilakukan di tanah dasar tambak, tetapi juga di
dinding tanggul bagian dalam yang mengarah ke tambak. Cara pengapuran adalah
menyebar kapur secara merata ke seluruh tanah dasar dan dinding tanggul (Ahmad
dkk,2006).

c. Pemupukan
Pemupukan adalah proses pemberian pupuk pada tambak. Setelah dilakukan
tahap-tahap sebulumnya, air tambak harus dipupuk dengan pupuk NPK dosis 4-5 ppm
dan penambahan pupuk organik (kotoran ayam) dosis 0,1 ppm. Gunanya, untuk
menyuburkan pertumbuhan plankton setelah plankton mati karena aplikasi klorin. Bila
plankton sama sekali tidak tumbuh maka harus dimasukkan bibit plankton yang diperoleh
dari laboratorium yang membuat kultur tersebut. Bila plankton tidak dibenarkan diambil
dari tambak lain karena kekhawatiran akan tertular penyakit (Suyanto, 2009).

Persyaratan kualitas air tambak yang siap untuk di tebari benur antara lain,
kecerahan 35-45 cm (diukur dengan secchi disk), warna air coklat muda atau hijau, pH air
7,5-8,5, oksigen terlarut (DO) 3-4 ppm, dan kedalaman air > 70 cm. Untuk petani yang
memiliki alat pemeriksaan kualitas air dan tanah yang lengkap, dapat diukur juga
alkalinitas 90-140 ppm dan total bahan organic kurang dari 150 ppm (Suyanto, 2009).

B. PENEBARAN
a. Kepadatan
Kepadatan benur yang ditebar tergantung dari metode budidaya yang diterapkan,
kondisi tambak (daya dukung), kualitas air, dan sarana penunjang yang tersedia, seperti
aerator (kincir air) dan pompa air. Padat tebar benur pada budidaya udang secara intensif
adalah 150.000-300.000 ekor/ha. Jika tambak memiliki daya dukung yang prima dan
prasarana yang memadai, padat tebar bisa lebih tinggi, tetapi penambahan padat tebar ini
dipertimbangkan lebih matang (Khairul A, 2003).
Padat penebaran benih udang windu bila diberikan pakan tambahannya dedak
halus, penebarannya sebanyak 100-200 ekor per meter persegi, dan jika diberi makanan
tambahan pelet yang berkadar protein 25%, penebaran benih sebanyak 300-400 ekor per
meter persegi. Benih udang windu akan cepat tumbuhnya, kalau dipelihara dalam tambak
yang baik (Prahasta A, 2009).

b. Waktu yang Baik Untuk Penebaran


Waktu yang baik untuk penebaran yaitu kondisi yang cocok untuk proses
penebaran. Penebaran sebaiknya dilakukan saat teduh,seperti pada pagi hari atau sore
hari. Hindari penebaran benur ketika hujan atau terik matahari karena akan menyebabkan
stress, bahkan bisa memicu kematian udang windu (Khairul A, 2003).

c. Kriteria Bibit yang Baik


Benur/benih udang bisa didapat dari tempat pembenihan (Hatchery) atau dari
alam. Di alam terdapat dua macam golongan benih udang windu (benur) menurut
ukurannya (Anonim, 2009).
Benih yang masih halus, yang disebut post larva. Terdapat di tepi-tepi pantai.
Hidupnya bersifat pelagis, yaitu berenang dekat permukaan air. Warnanya coklat
kemerahan. Panjang 9-15 mm. Cucuk kepala lurus atau sedikit melengkung seperti huruf
S dengan bentuk keseluruhan seperti jet. Ekornya membentang seperti kipas (Anonim,
2009).
Benih yang sudah besar atau benih kasar yang disebut juvenil. Biasanya telah
memasuki muara sungai atau terusan. Hidupnya bersifat benthis, yaitu suka berdiam
dekat dasar perairan atau kadang menempel pada benda yang terendam air. Sungutnya
berbelang-belang selang-seling coklat dan putih atau putih dan hijau kebiruan. Badannya
berwarna biru kehijauan atau kecoklatan sampai kehitaman. Pangkal kaki renang
berbelang-belang kuning biru (Anonim, 2009).

2. KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Deskripsi Teoritis
2.1.1.

Sistem Budidaya
Pada dekade tahun 1980, budidaya udang secara intensif berkembang sangat

pesat. Pembukaan tambak baru dengan hamparan yang cukup luas, seringkali kurang
memperhatikan keberadaan jalur hijau, akibatnya populasi pohon bakau sangat menurun,
bahkan di beberapa tempat dibabat habis. Pada sisi lain para pengusaha seakan berusaha
memacu produksi dengan meningkatkan padat tebar udang. Dengan padat tebar yang
tinggi, diikuti dengan pemberian pakan yang lebih banyak per satuan luas tambak akan
menambah berat beban lingkungan. Hal ini diperburuk dengan sistem pembuangan air

sisa pemeliharaan yang kurang baik, akibatnya dari waktu ke waktu terjadi akumulasi
bahan organik sisa pakan dan kotoran udang dalam tambak dan lingkungan estuaria.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1990 tanda-tanda pengaruh memburuknya
lingkungan mulai terlihat, pertumbuhan udang mulai lambat dan seringkali terserang
penyakit. Budidaya udang intensif mulai menghadapi masalah setelah terjadi wabah
virus MBV yang mematikan udang dan munculnya senyawa metabolik toksik (amonia,
nitrit, dan H2S). Serangan MBV ini terparah terjadi di pantai utara P. Jawa, dan pada saat
itu hampir seluruh kegiatan budidaya udang intensif dihentikan.
2.1.2.

Biologi
Pola hidup yang merupakan sifat dasar dari udang adalah bersifat bentik dan

nokturnal. Sifat bentik dimulai sejak udang bermetamorfosis menjadi PL (Bailey-Brock


dan Moss, 1992). Sifat demikian akan menjadi faktor pembatas manakala di dasar
tambak terdapat cemaran timbunan bahan organik (terutama yang berasal dari sisa pakan
maupun feses) ataupun pada saat kekurangan oksigen. Oleh karena itu, sifat bentik dapat
menjadi dasar pertimbangan manajemen lingkungan tambak. Sifat nokturnal, yaitu aktif
pada malam hari, dapat digunakan sebagai dasar untuk manajemen pakan yang berarti
bahwa prosentase pakan yang lebih banyak harus diberikan pada malam hari; atau
implikasinya adalah dengan memperdalam kolom air (yaitu >1m) (Primavera, 1994).
a. Induk
Udang windu tersebar secara luas di perairan Indonesia, dan kelimpahannya di
setiap daerah dipengaruhi oleh musim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk udang
yang berasal dari perairan Aceh mempunyai keragaan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan daerah lain. Meskipun udang dewasa yang tertangkap dapat dijadikan sebagai
induk, namun induk yang diperoleh dari hasil budidaya sudah mempunyai gen adaptif
terhadap lingkungan (Gjedrem, 1983). Waktu pencapaian matang telur untuk induk alam
adalah 4-6 minggu sedangkan untuk induk hasil budidaya selama 8-12 minggu, meskipun
sudah dengan perlakuan ablasi (Primavera, 1994). Produksi nauplii mencapai kurang
lebih 250.000 ekor/induk.

Dalam pemilihan induk perlu diperhatikan tiga hal pokok guna mendapatkan benih
bermutu, yaitu: 1) keragaan genetik yang tinggi, 2) tipe ekosistem dari asal induk dengan
daerah budidaya, dan 3) jumlah induk yang digunakan, terutama bila induk berasal dari
hasil budidaya.
2.1.3.

Lingkungan

Lingkungan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan udang adalah yang mampu
menyediakan kondisi fisika, kimia, dan biologi yang optimal. Kondisi lingkungan fisik
yang dimaksud antara lain suhu dan salinitas. Kondisi lingkungan kimia antara lain
meliputi pH, oksigen terlarut (DO), nitrat, ortofosfat, serta keberadaan plankton sebagai
pakan alami. Selain itu perlu diperhatikan timbulnya kondisi lingkungan yang dapat
menghambat pertumbuhan udang, bahkan dapat mematikan udang, misalnya munculnya
gas-gas beracun serta mikroorganisme patogen.

2.1.4. Pakan dan Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan


a. Pakan
Pada prinsipnya komponen pakan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok
besar, yaitu: 1) komponen makro, 2) komponen mikro, dan 3) komponen suplemen atau
food additives. Protein, karbohidrat, dan lemak termasuk dalam komponen makro;
sedangkan yang termasuk dalam komponen mikro adalah vitamin, mineral dan zat
pengikat (binder). Berbagai senyawa yang seiring dimasukkan ke dalam komponen
food additives meliputi senyawa antioksidan, antibiotik, atraktan, pewarna, enzim dan
vitamin atau mineral tunggal yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk
tujuan-tujuan tertentu.

b. Kemungkinan Dampak yang Ditimbulkan

Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk mendukung pertumbuhan maksimum


dan pemenuhan kebutuhan energinya, udang membutuhkan protein pakan pada
konsentrasi yang tinggi (Deshimaru dan Shigeno, 1972).

Sebagai akibat yang

kemungkinan besar dapat ditimbulkannya adalah ekskresi bahan organik bernitrogen


(baik yang berasal dari feses maupun metabolit) maupun pakan yang tidak termakan
dalam jumlah yang besar. Kondisi lingkungan tambak yang mengandung banyak sisa
bahan organik dapat menyebabkan dua hal, yaitu udang mengalami tekanan fisiologis
diluar toleransinya serta menurunnya daya tahan udang terhadap penyakit. Salah satu
penyakit udang yang diyakini disebabkan oleh jenis virus sama adalah white spot
disease. Namun karena diteliti oleh berbagai kelompok peneliti dari berbagai negara,
maka mereka menamakannya dengan istilah masing masing, yaitu white spot disease,
WSD, SEMBV, WSSV, WSBV, HHNBV, RV-PJ, PmNOBII, PmNOBIII.
Berbagai masalah yang telah diuraikan tersebut di atas dapat diperbaiki dengan
tiga cara, yaitu melalui: (1) manajemen biota, (2) manajemen lingkungan, serta (3)
manajemen pakan yang baik. Dari beberapa alternatif, budidaya dengan resirkulasi
merupakan suatu alternatif yang mempunyai prospek cerah untuk dikembangkan guna
menanggulangi permasalahan dalam budidaya udang.

3. APLIKASI TEKNOLOGI

Selama ini air buangan tambak intensif dengan kandungan bahan organik yang
sangat tinggi dibuang ke lingkungan melalui saluran tambak, dengan harapan dapat
terbawa arus ke laut lepas. Kenyataannya air buangan ini terdorong oleh arus dan pasang
air laut dan masuk kembali ke saluran-saluran tambak. Hal ini akan menyebabkan
penumpukan bahan organik di wilayah pertambakan. Pencemaran bahan organik di

tambak merangsang timbulnya penyakit udang. Kondisi ini telah terjadi pada tambak
intensif dengan desain konvensional.

Desain Tambak Berwawasan Lingkungan


Kesuksesan

suatu

budidaya

perairan

(akuakultur)

tergantung

pada:

1)

Pengendalian siklus reproduksi suatu organisme budidaya secara lengkap; diketahuinya


latar belakang genetika induk dengan baik; dan penentuan (diagnose) penyakit serta
pencegahan terjadinya penyakit yang dilakukan secara cermat; 2) Penyediaan air yang
cukup dengan kualitas baik; dan pemahaman yang benar berdasarkan fisiologi
lingkungan serta kondisi nutrisi; dan 3) Aplikasi teknik manajemen inovatif.

3.1. Manajemen Biota


3.1.1. Udang
Keragaan udang dewasa umumnya sudah dapat ditunjukkan oleh laju
pertumbuhannya selama tahap larva dan postlarva. Apabila pada tahap awal udang dapat
menunjukkan respon positif terhadap pakan yang diberikan, yang ditunjukkan oleh
kelancaran perkembangan mulai dari nauplius, zoea, mysis sampai postlarva (PL), maka
diharapkan perkembangan selanjutnya di tambak juga akan mengikuti respon awal
tersebut. Sebagai dasar perbandingan, pada umumnya perkembangan nauplius menjadi
zoea memerlukan waktu 2-3 hari, zoea-mysis 3 hari, mysis-PL 1 3-4 hari, serta PL1 sampai
siap tebar 12-15 hari. Perkembangan metamorfosis tersebut paling mudah untuk
dijadikan indikator tentang keragaan pertumbuhan udang karena kelancaran dalam
pergantian kulit (molting) menunjukkan pertumbuhan yang positif bagi larva udang.

Pada beberapa kasus, perkembangan larva yang terlambat (kuntet) akan menghasilkan
laju pertumbuhan yang kecil selama pemeliharaan di tambak.
Agar benur dapat beradaptasi dengan lingkungan tambak, maka dilakukan
aklimatisasi. Proses ini akan dilakukan terutama untuk parameter suhu dan salinitas air.
Dengan proses ini diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan hidup udang yang
selanjutnya meningkatkan nafsu makan serta secara langsung akan meningkatkan derajad
kelangsungan hidup (SR).
Untuk memperoleh pertumbuhan yang baik (yaitu metamorfosis yang cepat dan
serentak) diperlukan kondisi media optimal. Faktor fisika dan kimia air yang perlu
diperhatikan adalah suhu, salinitas, pH, dan lain-lainnya. Sebagai contoh, suhu yang
stabil (291)C akan menyediakan kondisi optimum untuk aktivitas metabolisme tubuh.
Salinitas yang mendekati titik isosmotik cairan tubuhnya dapat menghemat energi yang
seharusnya untuk memelihara tingkat kerja osmotik, dapat digunakan untuk energi
tumbuh. Selain itu diperlukan pakan (alami dan buatan) dengan kandungan nutrisi yang
lengkap dan sesuai pada masing-masing fase. Dengan kondisi demikian, metamorfosis
yang cepat dan serentak dapat dicapai, sehingga pertumbuhan pada fase berikutnya (PL,
juvenil dan dewasa) di tambak tidak terganggu.
Manajemen terhadap faktor luar (fisika, kimia air dan nutrisi ) sifatnya temporal
dalam satu musim pemeliharaan, maka memperbaiki keragaan biota harus ditempuh dari
dalam dan permanen (perbaikan mutu genetik). Perbaikan mutu genetik (seleksi) dapat
diarahkan kepada trait-trait tertentu sesuai yang diinginkan, misalnya trait pertumbuhan,
trait metamorfosis, dan sebagainya. Pembentukan strain demikian dapat dilakukan
dengan metoda konvensional (seleksi) atau menggunakan teknologi terkini yaitu
penambahan/penyisipan gen tertentu (transgenik). Dengan pembentukan strain demikian
sistem budidaya udang akan dipermudah dan produksi dapat tetap dimaksimalkan.
Manajemen biota secara demikian diharapkan mampu mendukung pertumbuhan udang
dengan laju pertumbuhan yang cepat dengan sintasan yang tinggi.

3.1.2.

Penyakit
Dalam kegiatan budidaya udang windu, penyakit merupakan salah satu kendala

atau masalah yang dihadapi. Pengendalian penyakit harus dilakukan sejak dini, dan
dimulai dari awal budidaya, baik pada pembenihan maupun pembesaran udang windu.
Hal yang harus diperhatikan dalam tindakan itu adalah keamanan, efisiensi dan ekonomi
bagi penggunaan agent atau substansi yang dipakai.
Keamanan, efisiensi dan ekonomi merupakan suatu pertimbangan yang utama.
Bahan-bahan kimia yang dipakai dalam jangka panjang dapat menimbulkan dampak yang
merugikan bagi lingkungan, kesehatan konsumen dan resistensi patogen. Atas dasar ini,
perlu dicari alternatif jenis tindakan yang aman untuk diaplikasikan. Karena itu, dalam
kegiatan budidaya berwawasan lingkungan maka bioremediasi, merupakan alternatif
terhadap upaya yang memenuhi tiga tinjauan seperti di atas.
Pada sistem budidaya udang dengan cara konvensional, air buangan tanpa
pengolahan yang dikeluarkan dari tempat budidaya ke lingkungan merupakan polutan
yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan.
3.2. Manajemen Lingkungan
Beberapa kegiatan untuk mengelola budidaya dengan metode ramah lingkungan dapat
dilakukan melalui:
1.

Sistem resirkulasi tertutup yang bertujuan agar metabolit dan bahan toksik tidak

mencemari lingkungan .
2. Pemanfaatan mangrove untuk menurunkan kadar limbah budidaya udang, merupakan
suatu cara bioremediasi dalam budidaya udang sistem tertutup (Ahmad dan
3.

Mangampa, 2000)
Penggunaan bakteri biokontrol atau probiotik untuk mengurangi penggunaan
antibiotik sehingga pencemaran di perairan dapat dikurangi.
Kualitas air dalam tambak terkait dengan sumber air yang masuk dalam tambak,

proses biologis dalam tambak dan proses fisik, seperti ganti air dan aerasi. Pengelolaan

kualitas lingkungan tambak yang bertujuan untuk menyediakan habitat yang layak bagi
kehidupan udang dimulai dari saat membuat desain tambak. Terdapat perbedaan yang
substansial antara desain tambak sistem terbuka dengan desain tambak yang tertutup .
Untuk itu saya menggunakan desain tambak tertutup, saya memilih desain
tambak tertutup ini karna untuk menjalankan proses pembudidayaannya, tambak ini
sangat efisien dan ramah lingkungan.Dalam desain tambak ini saya akan memanfaatkan
mangrove sebagai bioremediator yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas udang
serta menghasilkan kualitas air yang baik.
Tambak udang sistem tertutup (resirkulasi) bertujuan untuk mengurangi
kontaminasi dengan lingkungan sekitarnya. Air baru yang berasal dari laut ditampung di
tandon utama, diberi perlakuan kaporit 30 ppm untuk memberantas seluruh hama penular
sekaligus dengan partikel virus (virion) bebas di dalam air (Kokarkin dan Kontara,
2000). Kajian berikutnya dosis khlorin dapat diturunkan antara 5-20 ppm. Kemudian air
disalurkan ke petak tambak. Air buangan sisa budidaya disalurkan ke petak tandon
sekunder, kemudian ditampung di petak tandon utama. Dengan sistem ini selama
budidaya penambahan air dari luar seminal mungkin, dan hanya diperlukan untuk
mengganti air yang menguap dan yang merembes ke tanah, serta mempertahankan
salinitas air tetap layak.
Dalam mengatasi serangan hama dan penyakit dari air masuk adalah dengan
mengggunakan multi spesies ikan liar yang dipelihara di tandon. Jenis ikan yang
digunakan adalah keting (Ketangus sp), bandeng (Chanos chanos), kakap putih (Lates
calcalifer), petek (Leiognatus insidiator), dan wering (Kurtus indicius) untuk memakan
udang liar yang berpotensi sebagai pembawa agen penyakit sehingga tidak
menularkannya pada udang yang sehat di dalam wadah pemeliharaan.

Untuk mendapatkan kondisi optimum dalam budidya udang perlu diperhatikan


hal-hal berikut. Sebuah tambak harus memiliki kandungan oksigen minimal 3,5 mg/l
untuk tambak tradisional dan minimal 4 mg/l untuk tambak intensif dan semi-intensif.

Untuk mendapatkan kondisi optimum bagi kelangsungan budidaya udang maka perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sebuah tambak semi-intensif dan intensif harus melakukan pemasangan kincir air
(paddle wheel) sesuai dengan target produksi: satu kincir untuk target 300 kg
udang.
2. Pemupukan air harus dilakukan sejak bulan pertama ditentukan berdasarkan rasio
N dan P di perairan hingga mendekati 16:1 agar fitoplankton kelompok
Bacillariophyceae atau Chlorophyceae dapat tumbuh dengan stabil.
3. Pada tingkat kehidupan udang yang tinggi atau kepadatan udang lebih dari 15
ekor/m2 pada bulan ketiga, pemberian pakan harus diperkaya dengan vitamin C
dan E, serta kalsium, masing-masing 500 mg, 300 SI, dan 10 g/kg pakan, dua hari
sekali, pada jam pakan tertinggi. Pengkayaan pakan ini diperlukan sekali karena
suplai dari alam sudah sangat terbatas (Kokarkin dan Kontara, 2000).
4. Pergantian air harus dilakukan dengan rutin sebesar 10-20% per hari, sejak bulan
kedua (Fast, 1992); namun tetap dengan air yang telah diendapkan selama empat
hari dalam petak ikan atau diendapkan satu hari setelah disaring halus dan diberi
kaporit sebanyak 5 ppm. Pergantian air diperlukan untuk memasok unsur-unsur
mikro bagi pertumbuhan fitoplankton dan untuk membuang sisa metabolik yang
larut di dalam air (Kokarkin dan Kontara, 2000).
3.3. Manajemen Pakan
Desakan internasional agar tetap memperhatikan dan melestarikan lingkungan
mendorong untuk pembuat formulasi pakan yang ramah atau berwawasan lingkungan,
termasuk manajemen pemberiannya agar lebih efisien. Terkait dengan masalah tersebut
adalah: (a) pengadaan pakan dengan kandungan protein rendah, (b) optimalisasi
profil/konfigurasi asam amino, (c) optimalisasi perbandingan protein terhadap energi
(P/E ratio) dari pakan, (d) perbaikan kualitas bahan pakan, (e) pemilihan bahan pakan
yang mempunyai daya cerna tinggi, dan (e) optimalisasi strategi manajemen pakan.
Dengan strategi seperti pada point (a) sampai dengan (e) diharapkan dapat menjadi
alternatif untuk meningkatkan efisiensi pakan dan menekan permasalahan yang
ditimbulkan oleh limbah bernitrogen.

Penggunaan karbohidrat dalam pakan adalah penting dikarenakan beberapa hal:


(a) sebagai sumber energi yang jauh lebih murah bila dibandingkan dengan protein, maka
karbohidrat dapat menekan ongkos produksi dan yang pada akhirnya dapat menurunkan
total harga pakan (Cruz-Suarez et al., 1994), (b) pada tingkat tertentu, karbohidrat
mampu men-substitusi energi yang berasal dari protein pakan (sparing protein pakan)
dan karena itu efisiensi pemanfaatan protein pakan untuk pertumbuhan dapat
ditingkatkan (Rosas et al., 2000), (c) sebagai binder, karbohidrat (terutama yang berasal
dari bahan pakan tertentu) mampu meningkatkan kualitas fisik pakan dan menurunkan
prosentase debu pakan (Hastings dan Higgs, 1980), (d) sebagai komponen tanpa
nitrogen, maka penggunaan karbohidrat dalam jumlah tertentu dalam pakan dapat
menurunkan sejumlah limbah ber-nitrogen sehingga meminimalkan dampak negatif dari
pakan terhadap lingkungan (Kaushik dan Cowey, 1991), yang juga merupakan media
hidup dari udang itu sendiri.
Jenis dan tingkat karbohidrat pakan mempengaruhi laju pertumbuhan udang.
Misalnya, kelangsungan hidup juvenil udang windu dipengaruhi oleh tingkat karbohidrat;
sedangkan sukrosa dan glukosa adalah lebih baik daripada trehalosa dalam meningkatkan
pertumbuhannya (Pascual et al., 1983; Alava dan Pascual, 1987). Dalam penelitiannya,
Rosas et al. (2000) mendapatkan bahwa pakan dengan kandungan karbohidrat 10%
belum cukup untuk memenuhi kebutuhan energi-karbohidrat, dan masih perlu energi dari
protein pakan. Selanjutnya dijelaskan bahwa nilai maksimum dari tingkat glikogen dan
aktifitas -amilase terjadi pada udang yang diberi pakan mengandung 21%
karbohidrat.
Udang mampu mencerna karbohidrat pakan menjadi komponen-komponen yang
lebih sederhana dan dapat diserap melalui dinding usus sebelum masuk ke dalam aliran
darah. Daya cerna atau kemampuan dalam memanfaatkan karbohidrat bervariasi dan
terkait

dengan

sumber/asal

karbohidrat,

spesies,

proses

pembuatan

pakan

(pemanasan/penggunaan suhu saat pembuatan pellet), kondisi lingkungan hidupnya


(terutama suhu), dan status kesehatan.

Namun demikian, penelitian menunjukkan bahwa udang dari spesies tertentu


mampu memanfaatkan karbohidrat pakan pada konsentrasi yang tinggi (Cruz-Suarez et
al., 1994). Hal ini membuktikan bahwa penggunaan karbohidrat dalam pakan berpotensi
untuk dapat terus ditingkatkan hingga konsentrasi tertinggi-optimum.

3.3.1. Kontrol sistem akuakultur


Kebutuhan protein pakan yang tinggi dapat berarti limbah bernitrogen dan biaya
pakan yang tinggi pula. Sebanyak kurang lebih 25% nitrogen pakan dimanfaatkan oleh
organisme target (udang atau ikan), sisanya diekskresikan sebagai ammonia atau sebagai
N-organik dalam feses atau sisa pakan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas
air (Hargreaves, 1998; Avnimelech, 1999).

Karena itu, peningkatan prosentase

karbohidrat yang diberikan secara langsung ke dalam pakan hingga kebutuhan


maksimum sering dilakukan. Disamping itu, karbohidrat dapat pula diberikan secara
tidak langsung melalui biosintesis protein mikrobial. Penambahan karbohidrat dilakukan
sebagai bagian dari skema pemberian pakan. Pada kasus ini, penambahan substrat
berkarbon menyebabkan recycling dan meningkatkan penggunaan protein melalui
penggunaan protein-protein mikroba.

Pendekatan metode ini telah dirintis oleh

Avnimeleh (1999), yaitu penambahan substrat berkarbon guna menurunkan N-organik


dan memproduksi protein mikroba dalam sistem akuakultur.
3.3.2. Strategi pemberian pakan
Konsumsi pakan akan meningkatkan produksi hormon anabolik untuk langsung
menggunakan nutrien tercerna. Peningkatan hormon anabolik tersebut yang terjadi
setelah pemberian pakan kemudian secara langsung mungkin mengaktifkan proses-proses
yang mendorong peningkatan pertumbuhan seperti transport nutrien intestinal atau
sintesis protein. Karena itu, kemungkinan yang ada adalah bahwa periode puasa dapat
dijadwalkan kedalam strategi pengaturan pemberian pakan untuk mengaktifkan responrespon endokrin yang mengurangi lipogenesis atau mendorong terjadinya lipolisis.

Puasa (fasting) memberikan efek endokrin yang berbeda bila dibandingkan


dengan pembatasan pemberian pakan (food restriction). Farbridge et al. (1992)
mendapatkan bahwa level hormon pertumbuhan menurun pada rainbow trout yang diberi
makan terbatas, namun sebaliknya, sering ditemukan bahwa hormon pertumbuhan
meningkat pada ikan yang dipuasakan. Disimpulkan bahwa status fisiologis yang
diakibatkan oleh pembatasan pemberian pakan secara substansial berbeda dengan yang
terjadi selama puasa penuh. Ditambahkan bahwa puasa yang berkepanjangan justru
mendorong terjadinya proses-proses katabolisme seperti mobilisasi protein untuk
mempertahankan kehidupan ikan. Dengan demikian, perlu dikaji periode waktu yang
tepat antara hari-hari pemberian pakan (feeding periods) dan puasa (fasting time).

PANEN

1. Waktu Panen dan Ukuran Panen


Udang windu yang dipelihara secara semi-intensif, pertumbuhannya agak lambat
disbanding dengan pada budidaya intensif. Karena pada tambak intensif air tambak sering
diganti dan pakan cukup bermutu sehingga pertumbuhan udang cepat. Pada tambak semiintensif, dalam waktu pemeliharaan 4-5 bulan udang baru mencapai berat rata-rata 25-28
gram/ekor. Sedangkan pada tambak intensif dalam waktu pemeliharaan 4 bulan atau
kurang berat udang dapat mencapai 35-40 gram/ekor (Suyanto, 2006).

2. Metode Panen
Metode pemanenan ialah dengan menggiring udang yang umumnya berada di
dasar tambak. Alat yang digunakan kerei atau jaring yang lebarnya caren. Lumpur dasar
tempat udang bersembunyi itu didorong beramai-ramai oleh beberapa orang yang
memegangi kerei atau jarring itu, menuju ke depan pintu air. Di depan pintu air udang

dicegat dengan kerei yang lain. Udang yang terkumpul di kubangan dekat pintu air itu
dengan mudah diambil. Cara menangkap udang secara total yang lebih baik ialah dengan
memasang jarring penadah yang cukup luas/panjang disaluran pembuangan air. Pintu air
dibuka dan diatur agar air mengalir perlahan-lahan sehingga udang tidak banyak
tertinggal bersembunyi dalam Lumpur (Suyanto, 2006).
Udang yang siap panen adalah udang yang telah berumur 5-6 bulan masa pemeliharaan.
Dengan syarat mutu yang baik, yaitu (Suyanto, 2006) :
1. Ukurannya besar
2. Kulitnya keras, bersih, licin, bersinar dan badan tidak cacat
3. Masih dalam keadaan hidup dan segar.

Jenis Jenis Panen


1. Panen Selektif
a.

Panen menggunakan Prayang, yang terbuat dari bambu, yang terdiri dari dua bagian,
yaitu kere sebagai pengarah dan perangkap berbentuk jantung sebagai tempat jebakan.
Prayang dipasang di tepi tambak, dengan kerenya melintang tegak lurus pematang dan
perangkapnya berada di ujung kere. Pemasangan prayang dilakukan malam hari pada
waktu ada pasang besar dan di atasnya diberi lampu untuk menarik perhatian udang.
Lubang prayang dibuat 4 cm, sehingga yang terperangkap hanya udang besar saja. Pada
lubang mulut dipasang tali nilon atau kawat yang melintang dengan jarak masing-masing

sekitar 4 cm.
b. Panen menggunakan jala lempar. Penangkapan dilakukan malam hari. Air tambak
dikurangi sebagian untuk memudahkan penangkapan. Penangkapan dilakukan dengan
masuk ke dalam tambak. Penangkapan dengan jala dapat dilakukan apabila ukuran udang
c.

dalam tambak tersebut seragam.


Panen menggunakan tangan kosong. Dilakukan pada siang hari, karena udang biasanya
berdiam diri di dalam lumpur.

2. Panen Total
a.

Panen total dapat dilakukan dengan mengeringkan tambak. Pengeringan tambak dapat
dilakukan dengan pompa air atau apabila tidak ada harus memperhatikan pasang surut air
laut. Malam/dini hari menjelang penangkapan, air dikeluarkan dari petak tambak
perlahan-lahan waktu air surut. Pada tambak semi intensif, air disurutkan sampai caren,

b.

sehingga kedalaman air 10-20 cm.


Panen menggunakan seser besar yang mulutnya direndam di lumpur dasar tambak/caren,
lalu didorong sambil mengangkatnya jika diperkirakan sudah banyak udang yang masuk
dalam seser. Dan cara tersebut dilakukan berulang-ulang.Dengan menggunakan jala,

c.

biasanya dilakukan banyak orang.


Panen menggunakan kerei atau jaring yang lebarnya sesuai dengan lebar caren. Lumpur
dasar tempat udang bersembunyi didorong beramairamai oleh beberapa orang yang
memegangi kerei atau jaring itu, menuju ke depan pintu air. Di depan pintu air udang
dicegat dengan kerei lainnya. Udang terkumpul di kubangan dekat pintu ai, sehingga

d.

dengan mudah ditangkap.


Panen memasang jaring penadah yang cukup luas atau panjang di saluran pembuangan
air. Pintu air dibuka dan diatur agar air mengalir perlahalahan, sehingga udang tidak
banyak tertinggal bersembunyi dalam lumpur. Udang akan keluar bersama air dan

e.

tertadah dalam jaring yang terpasang dan dengan mudah ditangkapi dengan seser.
Panen menggunakan jaring (trawl) listrik. Jaring ini berbentuk dua buah kerucut. Badan
kantung mempunyai bukaan persegi panjang. Mulut kantung yang di bawah di pasang
pemberat agar dapat tenggelam di lumpur. Bagian atas mulut jaring diberi pelampung
agar mengambang di permukaan air. Bagian bibir bawah mulut jaring dipasang kawat
yang dapat dialiri listrik berkekuatan 3-12 volt. Listrik yang mengaliri kawat di dasar
mulut jaring akan mengejutkan udang yang terkena, lalu udang akan meloncat dan masuk
ke dalam jaring.

PASCA PANEN

Pasca panen merupakan persiapan yang dilakukan sebelum melakukan panen.


Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penanganan pasca panen (Suyanto,
2006) :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Alat-alat yang digunakan harus bersih.


Penanganan harus cepat, cermat, dan hati-hati.
Hindarkan terkena sinar matahari langsung.
Cucilah udang dari kotoran dan lumpur dengan air bersih.
Masukkan ke dalam keranjang, ember, atau tong, dan siram dengan air bersih.
Selalu menggunakan es batu untuk mendinginkan dan mengawetkan udang.
Selain didinginkan, dapat juga direndam dalam larutan NaCl 100 ppm untuk
mengawetkan udang pada temperatur kamar dan untuk membunuh bakteri pembusuk

(Salmonella, Vibrio, Staphylococcus).


8. Kelompokan menurut jenis dan ukurannya. (Anonim, 2009).

IV. KESIMPULAN

Sistem budidaya udang windu secara tertutup dapat dipakai sebagai alternatif
budidaya yang berwawasan lingkungan untuk menghasilkan produksi udang yang tinggi
secara lestari. Kinerja sistem budidaya tersebut akan lebih baik bila didukung dengan
manajemen biota, manajemen lingkungan dan manajemen pakan.

Diposkan 28th June 2012 oleh ACH.KHUMAIDI


0

Tambahkan komentar
6.
Jun

27

TURBIDITAS (Kekeruhan)
ACH. KHUMAIDI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Semua organisme baik ikan maupun makluk hidup lainnya yang hidup dalam air
sangat terpangaruh terhadap kualitas air. Tanpa didukung dengan kualitas air / mutu air
yang baik semua organisme yang hidup di perairan akan mengalami hambatan dalam
pertumbuhannya. Beberapa factor yang mempengaruhi kualitas air diataranya Suhu, pH,
DO, CO2, Turbiditas( Kekeruhan ) dll.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas air adalah Turbiditas (Kekeruhan).
Turbiditas ( Kekeruhan ) merupakan kandungan bahan Organik maupun Anorganik yang
terdapat di peraairan sehingga mempengaruhi proses kehidupan organisme yang ada di
perairan tersebut. Turbiditas sering di sebut dengan kekeruhan, apabila di dalam air media
terjadi kekeruhan yang tinggi maka kandungan oksigen akan menurun, hal ini disebabkan
intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam perairan sangat terbatas sehingga
tumbuhan / phytoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis untuk mengasilkan

oksigen.
Pada tahap pemeliharaan benih, faktor turbiditas sangat mempangaruhi
kahidupan benih maupun larva di dalam perairan. Turbiditas terlalu tinggi dapat
menyebabkan kematian masal, hal ini disebabkan adanya luka pada tubuh benih maupun
larva sehingga terjadi infeksi dan mempercepat pertumbuhan penyakit. Biasanya kalau
terjadi kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan mengelupasnya sisik / kulit benih
maupun larva akibat infeksi.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan tentang Turbiditas adalah sebagai berikut:
o Untuk mengetahui bagaimana terjadinya turbiditas dan bagaimana gejala-gejalanya.
o Untuk mengetahui factor-faktor yang menyebabkan terjadinya Turbiditas
o Untuk mengetahui dampak turbiditas terhadap organisme lain dalam proses
berlangsungnya Budidaya ikan ( aquaculture ).
o Agar mahasiswa dapat memahami tingkat turbiditas yang ideal pada usaha Budidaya
ikan ( aquaculture ) sesuai dengan tahapan-tahapannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Faktor yang mempengaruhi kualitas air secara garis besarnya dapat dibagi
menjadi 3 golongan besar yaitu Aspek fisika, Aspek kimia, dan Aspek biologi.

2.1 Aspek Fisika


Di tinjau dari aspek fisika perairan, beberapa diantaranya sebagai berikut:
o Suhu
Suhu air merupakan satu faktor yang penting bagi ikan. Ikan adalah organisma
berdarah dingin dan mempunyai suhu tubuh yang sama dengan suhu persekitarannya
(air). Suhu air akan memberi kesan terhadap aktivitas, makan, pembesaran dan
pembiakan semua ikan. Suhu air juga dapat berperan didalam menentukan jumlah gas
(oksigen, karbon dioksida, nitrogen,dll) yang terlarut didalam air. Semakin dingin air
semakin banyak kandungan gas yang dapat terlarut. Suhu juga memegang peranan
didalam proses stratifikasi termal "thermal stratification". Bagi para penternak yang
menjalankan aktivitas ternakan ikan dalam sangkar harus memahami dengan seksama
mengenai perkara ini. Air yang lebih dingin biasanya lebih berat dari air yang panas.
Perbedaan yang sedemikian akan menyebabkan air tadi tidak dapat bercampur.. Hujan
lebat yang terus menerus selama beberapa hari akan menyebabkan stratifikasi termal
"pecah" dan air dibagian bawah tasik/empangan akan bercampur dengan air dibagian
permukaan dan kematian masal akan terjadi. Kandungan suhu yang ideal untuk usaha
budidaya ikan adalah 23 320C.(Benefield, Lary D., Joseph F.,& Barron L. Weand.
1982).

2.2 Aspek Kimia


Di tinjau dari aspek kimia perairan, beberapa diantaranya sebagai berikut
o Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut, adalah parameter kimia air yang terpenting didalam akuakultur.
Kandungan oksigen yang rendah akan mengakibatkan kematian ikan yang banyak,
secara langsung atau tidak langsung, Seperti juga manusia, ikan memerlukan oksigen

untuk proses respirasi (bernafas). Jumlah oksigen yang diperlukan oleh ikan adalah
bergantung kepada saiz (ukuran), kadar makan, tahap aktivitas, dan juga suhu. Anak ikan
atau benih memerlukan jumlah oksigen yang lebih dibandingkan dengan ikan yang lebih
besar, kerana kadar metabolik anak ikan lebih tinggi
Untuk mendapatkan kadar pertumbesaran ikan yang tinggi, ikan harus dipelihara
pada kandungan oksigen yang optimal. Sebagai panduan kandungan oksigen didalam air
minimal 5 mg/l. Kandungan oksigen yang kurang dari 5 mg/l akan menyebabkan ikan
merasa tertekan, dan pada kandungan oksigen < 2 mg/l pula dapat menyebabkan
kematian ikan. Walau bagaimanapun harus diingat, terdapat juga jenis-jenis ikan yang
tidak memerlukan kandungan oksigen yang tinggi, contohnya ikan Keli.
Seperti yang kita ketahui bukan hanya ikan yang memerlukan oksigen, tetapi juga
bakteri memerlukan jumlah oksigen yang besar, Ketika terjadi Dekomposisi (pereputan)
bahan-bahan organik (terdir dari algae, bakteria, dan bahan buangan ikan) adalah
merupakan proses yang utama menggunakan oksigen didalam sistem akuakultur.

o Karbondioksida (CO2)
Jumlah kandungan CO2 pada tahap 10 mg/l masih tidak mendatangkan kesan
kepada kehidupan ikan jika pada masa yang sama kandungan oksigen didalam air yang
tinggi. Air kolam yang yang mempunyai kadar penebaran ikan yang normal, selalu
mempunyai kandungan CO2 sekitar <5 mg/l. Bagi kolam yang mempunyai kepadatan
yang tinggi, misalnya bagi ternakan secara intensif, kandungan CO2 adalah pada tahap
antara 0 mg/l pada sebelah tengah hari dan 5 - 15 mg/l pada waktu subuh Tahap
kandungan CO2 > 20 mg/l akan mendatangkan masalah kepada ikan.
Ada dua cara yang dapat diamalkan untuk mengurangkan kandungan CO2. Cara
yang paling mudah adalah dengan memberikan pengudaraan "aeration". Dengan cara ini
CO2 boleh dibebaskan ke udara. Cara kedua adalah dengan menambah bahan yang terdiri
dari "carbonate" contoh nya CaCO3 atau Na2CO3. Cara ini akan menghilangkan CO2

dari air dan menyimpannya didalam bentuk penampan "bicarbonate" atau "carbonate".
Kita akan sentuh perkara ini didalam perkara berkaitan dengan alkalinitas. (Benefield,
Lary D., Joseph F.,& Barron L. Weand. 1982).

2.3 Asfek Biologi


Di tinjau dari aspek kimia perairan, beberapa diantaranya sebagai berikut
o Phytoplankton
Kekeruhan air yang disebabkan oleh plankton (tumbuhan mikroskopik) dan
zooplankton (hewani mikroskopik) tidak akan memudaratkan ikan secara langsung.
Fitoplankton bukan saja mengeluarkan oksigen malahan menjadi bahan makanan kepada
zooplankton dan juga kepada beberapa jenis ikan. Fitoplankton juga akan menggunakan
ammonia yang dikeluarkan oleh ikan sebagai sumber nutriennya. Zooplankton pula
menjadi sumber makanan anak ikan yang utama.. Selain dari itu pertumbuhan
fitoplankton yang keterlaluan ataau dikenali sebagai ledakan "bloom", akan
menyebabkan kekurangan oksigen dalam air secara mendadak. Ini berlaku apabila
fitoplankton itu mati. Para penternak agar supaya selalu mengawasi kandungan oksigen
dan tingkat kekeruhan dalam kolam ternakan. Kandungan oksigen biasanya pada siang
dan malam akan membawa kepada keadaan kekurangan oksigen. Namun tidak semua
ikan jika kekurangan oksigen akan mati contohnya ikan lele tahan terhadap kekurangan
oksigen karena mempunyai labirin yang bias menyimpan oksigen. (Benefield, Lary D.,
Joseph F.,& Barron L. Weand. 1982).

BAB III
PEMBAHASAN

Kekeruhan dinyatakan dalam bentuk turbiditas. Peralatan yang di gunakan untuk


mengukur kekeruhan adalah sehi dish. Dan aspek yang mempengaruhi kekeruhan adalah
sebagai berikut :
3.1 Aspek fisika
o Suhu
Suhu yang baik untuk budidaya ikan 23 32oC peninkatan suhu menyebabkan
meninkatnya metabolisme dan respirasi organisme air yang mengakibatkan kekeruhan.
Oksigen terlarut dalam air, peninkatan suhu sebeasar 10OC menyebabkan terjadinya
peninkatan komsumsi oksigen oleh organisme sekitar 2 -3 Kali lipat, meninkatkan suhu
yang menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organic oleh mikraba.
Alat yang di gunakan untuk mengukur suhu berupa thermometer. Apabila suhu
meninkat maka kekeruhan ikut meninkat.
Contohnya : Didalam air media terdapat ikan. Apabila suhu naik menyebabkan
metabolisme ikan semakin cepat dan feaces yang di hasilkannya semakin banyak
sehingga menyebabkan kekeruhan.

o Cahaya
Cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan di pengaruhi oleh factor
kedalaman air. Khususnya Phytoplankton memerlikan cahaya metahari untuk melakukan
proses potosintesis di siang hari Phytoplanktaon atau tumbuhan memerlukan karbon di

oksida untuk Phytoplankton dan menhasilkan oksigen yang di gunakan oleh organisme
air untuk bernapas
Sedangkan malam hari Phytoplankton maupun zooplankton memerlukan oksigen
sehingga terjadi persaingan antara organisme yang ada dalam perairan.

3.2 Aspek kimia


o Karbon dioksida
Karbonioksida memegang peranan penting sebagai unsur pertan yang mampu
berasimilasi. Baik tumbu tumbuhan renik dan beberapa plankton maupun tumbuhan
tingkat tinggi.
Biasanya lapisan air yang paling bawah mempunyai kadar CO2 karena di tenpat
ini banyak terjadi penguraian (dekomposisi). Karbondioksida dalam air berada dalam
bentuk karbonan dalam bentuk bebas.

o pH ( Puissance negative de H)
pH yaitu logaridma negative dari kepekatan ion H yang terlepas dalam suatu
larutang / cairan. Menurut Tubbut (1992) menyatakan bahwa pH yang menggambarkan
konsentrasi yang hydrogen. Semakin tinggi nilai pH semakin tinggi pula nilai alkalinitas
dan semakin rendah kadar karbiondioksida bebas pH yang mempengaruhi toksisitas suatu
senyawa kimia. Untuk meningkatkan pH suatu perairan kita bisa melakukan pengapuran.

3.3 Aspek biologi


Warna air di dalam kolam sangat menentukan jenis Pakan alami apa yang tumbuh
di dalam perairan. Warna air yang menentukan jenis phytoplankton atau Zooplankton

yang tumbuh di dalam Perairan.


o Zooplanton yaitu organisme renik yang menyerupai hewan yang gerakannya tidak di
pengaruhi oleh pergerakan air Zooplanton di gunakan sebagai sember makanan bagi
Benih maupun larva.
o Phyplankton yaitu organisme renik yang menyerupai tumbuhan yang bergeraknya di
pengaruhi oleh pergerakan air. Zooplanton di gunakan sebagai sumber makanan bagi
benih maupun larva ikan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
o Hasil yang kami dapatkan dari materi bahwa dari ketiga aspek tersebut menyankut
kekeruhan karena kekeruhan sangat di pengaruhi oleh ketiga aspek tersebut yaitu
Aspek Fisika ,Aspek kimia, Aspek Biologi.
o Dari ketiga aspek tersebut yang paling mempegaruhi adalah Aspek biologis yaitu
zooplankton dan phytoplankton.

4.2 Saran

Jika melakukan budidaya ikan sebaiknya diperhatikan kualitas air sebelum


melakukan penebaran benih ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Hefni Effendi,2007, Telaa kualitas air ; Kanisius 2003, yokyakara.


Ir syaamsudin Adang Rifai, ir Komar Pertagunawan ,1982 Biologi perikanan .tidak
diperjual belikan, milik Depertemen pendidikan dan kebudayaan 1982.
Benefield, Lary D., Joseph F.,& Barron L. Weand. 1982. Process Chemistry for Water
and Wastewater Treatment, Prentice-Hall, Inc. Englewood, new Jersey. 510
pp.
Boyd, C.E. 1979. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Agriculture Experiment
Station, Auburn, Alabama. 359 pp.
Diposkan 27th June 2012 oleh ACH.KHUMAIDI
0

Tambahkan komentar
7.
Jun
27

PENGARUH UMUR YANG BERBEDA


PADA LARVA IKAN NILA (Oreochromis
sp.) TERHADAP TINGKAT
KEBERHASILAN PEMBENTUKAN
KELAMIN JANTAN DENGAN
MENGGUNAKAN
METILTESTOSTERON
PENGARUH UMUR YANG BERBEDA PADA LARVA IKAN NILA
(Oreochromis sp.) TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PEMBENTUKAN
KELAMIN JANTAN DENGAN MENGGUNAKAN METILTESTOSTERON

THE EFFECT OF DIFFERENT TILAPIA (Oreochromis sp.) LARVAE AGE INTO


MALE FORMING SUCCESIVENESS WITH METHYL TESTOTERONE

Asus Maizar Suryanto, Budi Setyono


email: abud@yahoo.com

ABSTRAK
Latar Belakang: Teknik terbaru untuk memproduksi benih ikan jantan adalah sex reversal atau
pembalikan kelamin. Pada kebanyakan ikan terdapat kemungkinan untuk membalik jenis
kelaminnya dengan pemberian androgen atau steroid melalui pakan atau perendaman.Salah satu
faktor penting untuk keberhasilan pembalikan jenis kelamin adalah umur dari larva ikan nila
(Oreochromis sp.) yang direndam dalam larutan hormon metiltestosteron. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui umur yang optimal larva ikan nila terhadap tingkat keberhasilan pembentukan
kelamin jantan dengan metode perendaman menggunakan hormon metiltestosteron .
Metode: Percobaan dilaksanakan dengan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas lima
umur larva (7,14,21, 28, 35 hari) dan satu kontrol dengan masing-masing perlakuan diulang tiga
kali. Masing-masing media pemeliharaan diisi 100 ekor. Dosis hormon testoteron setiap
perlakuan adalah 2 ppm. Parameter utama adalah prosentase pembentukan kelamin jantan,
sedangkan data penunjang meliputi kelangsungan hidup, laju pertumbuhan ikan nila dan kualitas
air.
Hasil: Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa penggunaan hormon metiletstosteron
pada larva ikan nila (Oreochromis sp.) dengan umur yang berbeda tidak memberikan pengaruh
yang nyata (P>0,05) terhadap pembentukan kelamin jantan, kelangsungan hidup dan laju
pertumbuhan ikan nila .

Kata kunci : ikan nila, sex reversal, hormon metiltestosteron, pembentukan kelamin
jantan

Background: Sex reversal is a latest technology to produce only male fish. In most fish, sex
reversal could be done with added androgen or steroid in feeding or deeping methods. One of
important factor in sex reversal succesiveness is tilapia (Oreochromis sp.) larvae age that deeped
in methyl testoterone.
Metode: Research was conducted based on Completely Randomized Design with five larvae age
(7,14,21, 28, 35 days) as treatment, each treatment was replicated three times and consist of 100
fish. The methyl testoterone dossage was 2 ppm. Main measured parameter was percentage of
male forming succesiveness and supporting parameter i.e. fish survival rate and growth rate, and
also water quality.
Result: Research showed that giving methyl testoterone to different age
significant (P>0,05) into terhadap male forming, survival, and growth rate .

ilapia has non

Keywords: Tilapia, sex reversal, methyl testosterone, male forming

PENDAHULUAN
Pengembangan budidaya air tawar dewasa ini semakin digalakkan terutama budidaya air
tawar yang rata-rata cenderung masih menerapkan pola budidaya ekstensif. Intesifikasi budidaya
air tawar terutama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani yang
berasal dari ikan yang semakin meningkat. Keberhasilan budidaya iikan tentunya sangat

tergantung terhadap penyediaan benih yang mencukupi dan berkualitas baik serta sesuai dengan
tujuan budidaya.
Salah satu permasalahan dalam budidaya pembesaran ikan nila adalah sifat reproduksi
yang lebih awal dan berkali-kali selama masa pemeliharaan. Hal ini dapat menyebabkan populasi
terlalu padat, pertumbuhan terhambat, ukuran beragam pada akhir masa pemeliharaan sehingga
kurang menguntungkan. Pemeliharaan ikan secara tunggal kelamin jantan cenderung
meningkatkan produksi, karena proses perkawinan tidak akan terjadi, sehingga enerji dari pakan
sepenuhnya digunakan untuk pertumbuhan (Subagyo, Asih, Idris, dan Jangkaru, 1992).

Teknik terbaru untuk memproduksi benih ikan jantan adalah sex reversal atau pembalikan
kelamin. Pada kebanyakan ikan terdapat kemungkinan untuk membalik jenis kelaminnya dengan
pemberian androgen atau steroid melalui pakan atau perendaman
Salah satu faktor penting untuk keberhasilan pembalikan jenis kelamin adalah umur dari
larva ikan nila yang direndam dalam larutan hormon metiltestosteron. Hal ini sangat terkait
dengan persentase jumlah larva yang berhasil untuk dibentuk menjadi berkelamin jantan
(Maskulinisasi). Penelitian tentang umur yang optimal bagi larva ikan nila yang akan dilakukan
maskulinisasi sejauh ini masih belum ditentukan secara pasti.

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yaitu
suatu bentuk rancangan percobaan di mana perlakuan dikenakan secara acak pada unit-unit
percobaan yang homogen.

Penelitian perlakuan hormon metiltestosteron dimulai saat larva berumur 7 hari setelah
menetas pada Oreochromis mossambicus (Pandian dan Varadaraj, 1988) dan dilakukan pada
umur yang sama untuk Oreochromis aureus (Jo et al., 1988). Perlakuan hormon 17metiltestosteron pada level (jarak perlakuan) 10 hari untuk Oncorhynchus kisuch memberikan
hasil yang berbeda antar perlakuan (Piferrer dan Donaldson, 1993), tetapi selisih lama perlakuan
5 hari dalam 17-metiltestosteron untuk Oreochromis niloticus memberikan hasil yang sama
(Abucay dan Mair, 1997). Pada ikan Misgurnus mezolapis (Gunther) dengan perendaman dalam
17-estradiol (perlakuan sex reversal) pada selisih lama perlakuan 7 hari memberikan hasil yang
berbeda pada dosis yang sama (Kim et al., 1997).

Belum ada informasi lengkap dari berbagai pustaka tentang differensiasi seks pada ikan
nila dan periode labil masih dalam kisaran yang lebar. Periode labil demikian dijelaskan Pandian
dan Varadaraj (1990), bahwa untuk Oreochromis mossambicus 11-19 hari, untuk Oreochromis

aureus 18-32 hari, untuk Oreochromis niloticus 25-59 hari, dan dalam penelitian berlanjut,
selama 11 hari dari hari ke-10 setelah penetasan merupakan periode kritis untuk Oreochromis
mossambicus.

Perlakuan dalam penelitian ini terdiri dari 5 macam perlakuan beda umur ditambah satu
perlakuan kontrol, masing-masing diulang 3 kali sehingga terdapat 18 unit percobaan. Kelima
perlakuan dan kontrol tersebut adalah:
A.

Perendaman larva ikan nila (Oreochromis sp.) pada umur 7 hari setelah penetasan dengan
dosis hormon metiltestosteron 2 ppm.

B.

Perendaman larva ikan nila (Oreochromis sp.) pada umur 14 hari setelah penetasan dengan
dosis hormon metiltestosteron 2 ppm.

C.

Perendaman larva ikan nila (Oreochromis sp.) pada umur 21 hari setelah penetasan dengan
dosis hormon metiltestosteron 2 ppm.

D.

Perendaman larva ikan nila (Oreochromis sp.) pada umur 28 hari setelah penetasan dengan
dosis hormon metiltestosteron 2 ppm.

E.

Perendaman larva ikan nila (Oreochromis sp.) pada umur 35 hari setelah penetasan dengan
dosis hormon metiltestosteron 2 ppm.

F.

Perendaman larva ikan nila (Oreochromis sp.) tanpa hormon metiltestosteron.

Parameter uji
Parameter Uji Utama
Parameter uji utama yang diukur dalam penelitian ini adalah keberhasilan pembentukan
jenis kelamin. Keberhasilan pembentukan jenis kelamin diukur dengan menggunakan rumus:

1. Jumlah ikan jantan : J (%): Jumlah ikan jantan / jumlah sampel x 100 %
2. Jumlah ikan betina : J (%): Jumlah ikan betina / jumlah sampel x 100 %
3. Jumlah ikan intersex : J (%): Jumlah ikan intersex / jumlah sampel x 100 %

Parameter Penunjang
Parameter penunjang dalam penelitian ini berupa tingkat kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan parameter kualitas air, yang diukur dengan rumus:

Tingkat kelangsungan hidup/Survival Rate (SR)


SR (%) : Jumlah ikan yang hidup di akhir / jumlah ikan yang hidup di awal x 100%

Pertumbuhan ikan

Menurut Effendi (1979) pertumbuhan ikan diukur dengan menggunakan rumus laju
pertumbuhan mutlak:
W = Wt Wo
t
Dimana:
Wt

: berat rata-rata ikan pada waktu tertentu (gram)

Wo

: berat rata-rata ikan pada waktu t = 0 (gram)

: waktu (hari)

Oksigen terlarut diukur dengan DO meter

Suhu air diukur dengan termometer

pH air diukur dengan pH pen

Analisis Data
Data hasil penelitian yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistik data dalam
bentuk persentase ditransformasi menurut aturan Gomez dan Gomez (1995), agar distribusi data
normal (Hanafiah, 1993). Analisis sidik ragam (uji F) selanjutnya dilakukan sesuai dengan
rancangan yang dipergunakan, yaitu rancangan acak lengkap (RAL). Jika dari hasil analisis sidik
ragam diketahui perlakuan menunjukkan hasil yang berbeda nyata (significant) atau berbeda
sangat nyata (highly significant), dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) untuk
membandingkan nilai antar perlakuan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang pengaruh umur yang berbeda pada larva ikan nila (Oreochromis
sp.) terhadap tingkat keberhasilan pembentukan kelamin jantan dengan menggunakan hormon
metiltestosteron didapatkan data sebagaigaimana Tabel 1.

Tabel 1. Data Tingkat Keberhasilan Pembentukan Kelamin Jantan dengan Menggunakan


Hormon Metiltestosteron pada Larva Ikan Nila Berbeda Umur.
Parameter

Umur Ikan ( hari )

Kontrol
Jumlah Populasi
Awal
100
Akhir
28
Jumlah Kelamin
Jantan
18
Betina
10
Persentase
Kelamin 64
Jantan (%)
SR ( % )
28
Berat ikan ( gr )
Awal
0.03
Akhir
2.74

14

21

28

35

100
28

100
31

100
29

100
28

100
27

22
6
78

24
7
80

20
9
69

19
9
68

18
9
66

28

31

29

28

27

0.03
3.54

0.07
3.7

0.19
3.78

0.7
3.44

1.1
3.08

Kelangsungan Hidup
Data kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis sp.) selama penelitian disajikan dalam
Tabel 2.

Tabel 2. Kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis sp.) selama penelitian (%)
Perlakuan
A= 7hari
B=14 hari
C=21 hari
D=28 hari
E=35 hari
Total

1
27
32
31
30
23

Ulangan
2
26
33
23
27
26

3
30
27
33
28
31

Total

Rata-rata

83
92
87
85
80
427

27,67
30,67
29,00
28,33
26,67

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian hormon metiltestosteron tidak


berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila (Oreochromis sp.). Tingkat kelangsungan
hidup pada ikan diduga banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, misalnya penanganan dan
padat tebar. Penanganan yang salah dapat menyebabkan ikan stress, sehingga kondisi kesehatan

ikan menurun dan dapat menyebabkan kematian, demikian juga padat tebar yang berlebihan
dapat mengakibatkan terjadiya kompetisi baik dalam hal pakan, ruang gerak maupun
pemanfaatan oksigen terlarut.

Wardhana (1992) dalam Agustiningsih (1998) menyatakan, sifat pakan buatan yang
mempunyai permukaan kasar dan belum sempurnanya saluran pencernaan larva dan benih ikan
dapat menyebabkan pecahnya perut yang dapat menyebabkan kematian pada ikan.

Persentase Kelamin Jantan


Berdasrkan hasil penelitian didapatkan persentase keberhasilan pembalikan kelamin pada
ikan nila sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase Pembalikan Kelamin Jantan


Perlakuan
A= larva umur 7 hari
B= benih umur 14 hari
C=benih umur 21 hari
D= benih umur 28 hari
E=benih umur 35 hari

1
81
84
58
63
70

Ulangan
2
73
64
74
78
65

3
80
93
76
64
65

Jumlah

Rata-rata

234
241
208
205
200

78
80
69
68
67

Hasil peneluitian menunjukkan bahwa perlakuan perendaman larva dalam metiltestosteron tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan kelamin jantan, hal ini karena waktu
perendaman yang sangat singkat antara 6 12 jam. Pemberian hormon metiltestosteron pada
dosis 50 ppm yang diberikan pada ikan uji selama 6 15 minggu setelah telur menetas diperoleh
ikan berjenis kelamin jantan sebesar 92,7 %, sedangkan pemberian hormon metiltestosteron pada
dosis 100 ppm yang diberikan selama 3 8 minggu setelah telur menetas diperoleh hasil sebesar
93 % gonad steril ( Komen et.al, 1990 ). Rudy ( 1989 ) dalam Rustidja (1998) memperoleh hasil
ikan nila jantan sebanyak 48,57 % dengan pemberian hormon metiltestosteron sebanyak 100 ppm
yang mulai diberikan pada saat ikan berumur 25 hari.

Pertumbuhan Berat

Data pertumbuhan berat rata-rata ikan nila (Oreochromis sp.) hasil sex reversal dengan
menggunakan hormon metiltestosteron pada umur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4.

Pertumbuhan Berat Ikan Nila Hasil Sex Reversal dengan Menggunakan


Hormon
Metiltestosteron pada Umur yang Berbeda.

Perlakuan
A=larva umur 7 hari
B=benih umur 14 hari
C=benih umur 21 hari
Dbenih umur 28 hari
E= benih umur 35 hari

1
0,058
0,0608
0,0638
0,0578
0,0497

Ulangan
2
0,063
0,0613
0,0633
0,0583
0,0531

3
0,059
0,0628
0,0617
0,0558
0,051

Jumlah

Rata-rata

0,18
0,1849
0,1888
0,1719
0,1538
0,8794

0,060
0,062
0,063
0,057
0,051

Berdasrkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian hormon metiltestosteron tidak


memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan ikan. Penelitian Guerrero (1975) dalam
Donaldson et al., (1978) pada ikan nila mendapatkan hasil bahwa pemberian hormon
metiltestosteron dengan dosis 15 ppm selama 21 hari tidak menghasilkan perbedaan laju
pertumbuhan yang nyata, dan pada dosis yang lebih tinggi yaitu 30 60 ppm baru menampakkan
bedanya. Huet (1972) dalam Rustidja (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan ikan Tilapia
dipengaruhi oleh faktor spesies, ketersediaan pakan, suhu, kadar oksigen terlarut, ruang gerak dan
padat penebaran. Mc Bride & Fagerlund (1975) dalam Rustidja (1998) juga menyatakan,
pemberian hormon metiltestosteron dapat merangsang ikan untuk lebih banyak makan sehingga
akan meningkatkan berat badan benih ikan karena hormon metiltestosteron mempunyai efek
anabolik dalam tubuh ikan.
Data hasil pengamatan suhu, DO dan pH air selama penelitian terlihat pada

Tabel 5. Data Rata-rata Kualitas Air Selama Penelitian

Parameter
Suhu ( o C )
DO (ppm)
pH

Jam Pengamatan
06.00
21
5.7
6.6

12.00
23
7.6
7.7

17.00
22
6.7
7.3

Tabel 5.

Dari Tabel 5 di atas, terlihat bahwa kualitas air media masih dalam kisaran yang normal untuk
kehidupan dan pertumbuhan ikan nila (Oreochromis sp.)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian hormon
metiltestosteron dalam sex reversal pada umur ikan nila (Oreochromis sp.) yang berbeda tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelansungan hidup ikan, keberhasilan perubahan
kelamin jantang dan laju pertumbuhan ikan.

Saran
Guna mendapatkan populasi jantan pada ikan nila (Oreochromis sp.) melalui metode sex
reversal dengan cara perendaman sebaiknya dilakukan pada umur ikan 7 28 hari dan tidak lebih
dari umur 35 hari. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan dosis yang berbeda
untuk mendapatkan persentase pembalikan kelamin yang lebih tinggi.

DAFTAR PUSATAKA

Abucay, J. S. and G. C. Mair. 1997. Hormonal Sex Reversal of Tilapias: Impliation of


Hormone Treatment application in Closed Water System. Aquaculture Research. Vol.
28 No. 11 Nov. 1997 p. 841-845.
Agustiningsih. 1998. Maskulinisasi Ikan mas (Cyprinus carpio Linn) Strain Punten Hasil
Gynogenesis dengan Hormon Metiltestosteron pada Dosis, Umur dan Waktu
Perendaman yang Berbeda. Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Hang Tuah. Surabaya.
55 hal.
Donaldson, I. M., U. H. Fagerlund, D. A. Higgs and J. R. Bride. 1978. Hormonal
Enhanchement of Growth. In: W. S. Hoar, D. J. Randall and J. R. Brett (eds). Fish
Physiology Vol. VIII. Academic Press. New York. p. 456-597.
Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi
Kedua. Penerjemah: E. Sjamsuddin dan J. S. Baharsjah. Penerbit Universitas Indonesia.
Jakarta. 689 hal.

Hanafiah, K. A. 1983. Rancangan Percobaan. Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Fakultas
Pertanian. Universitas Sriwijaya. Palembang. 238 hal.
Kim, D. S., Y. K. Nam and J-Y. Jo. 1997. Effect of Oestradiol-17 Immerson Treatment on
Sex Reversal of mud loach, Misgurnus mizolepis (Grunther). Aquaculture Research.
Vol. 28 No. 12 Des. 1997 p. 941-946
Komen, J. Lordder, P.A.J., Huskens, F., Richter, C.J.J and Huisman, E.A. 1989. The Effects Oral
Administration Of 17 Alpha-metiltestosteron and 17 betha-estradiol an Gonad
Development in Common Carp (Cyprinus carpio L.). Aquaculture 92 : 127- 142
Pandian, T. J. dan K. Varadaraj. 1988. Tecniques for Producing All-Male and All-Triploid
Oreochromis mossambicus. In: R. S. V. Pullin, T. Bhukasman, K. Tongithai anf J. L.
Maclean. The Second International Symposium on Tilapia in Aquaculture. Bangkok,
Thailand 16-20 March 1987. ICLARM Conference Proc. 15. Printed in Manila
Philipphines. p. 243-249.
Rustidja, 1998. Sex Reversal Ikan Nila. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.57
hal
Subagyo, Sularto, J. Subagja dan L. Dharma. 1992. Pengujian Sex Reversal pada Benih
Ginogenetik Ikan Mas (Cyprinus carpio). Bull. Pen. Perik. Darat. Vol. 11 No. 2 Jun.
1992. Hal. 74-80.
Surakhmad, W. 1989. Pengantar Penelitian Ilmiah. Tarsito. Bandung. 386 hal
Suryabrata, S. 1995. Metode Penelitian. Universitas Gadjah Mada. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta. 115 hal

Diposkan 27th June 2012 oleh ACH.KHUMAIDI


0

Tambahkan komentar
o
Jun
27

Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda


terhadap Kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan pada Polikultur Udang
Windu (Penaeus Monodon Fab) dan
Ikan Bandeng (Chanos Chanos) pada
Hapa

Pengaruh Padat Tebar yang Berbeda terhadap Kelangsungan Hidup dan


Pertumbuhan pada Polikultur Udang Windu (Penaeus Monodon Fab) dan Ikan
Bandeng (Chanos Chanos) pada Hapa di Tambak Brebes - Jawa Tengah

Umy Kholifah 1, Ninis Trisyani 2, Is Yuniar3

Department of Fisheries, Faculty of Engineering and Marine Science, Hang Tuah


University
2,3

School of Marine Technology and Fishery, Hang Tuah Universiy

Abstract: This research aims to study the effects of stocking density to survival rate
and growth of shrimp (Penaeus monodon Fab) and milkfish (Chanos chanos). The
research used experimental method with field sclae and data collection are conducted
through direct observation of the variables used in this research. It is used the random
group design which consists four treatments dan for replication. Data are analysed
using analysis of randomised design and continued with real different tests with level
of significant 95%. In this research, each hapa is filled shrimps and milk fishes with
different stocking density. Treatment A: stocking density of milkfishes 10 tails/m3

and shrimps 20 tails/m3. Treatment B: stocking density of milkfishes 15 tails/m3 and


shrimps 30 tails/m3 . Treatment C : stocking density of milkfishes 20 tails/ m3 and
shrimps 40 tails/m3. Treatment D: stocking density of milkfishes 25 tails/m 3 and
shrimps 50 tails/m3. The research result shows that different stocking density has real
effects on survival rates of shrimps but has no real effects on survival rates of
milkfishes and gives no effects on growths of both. Treatment with stocking density
of milkfishes 25 tails/m3 and shrimps 20 tails/m3 is the best

Key words: shrimp, milkfish, random group design

PENDAHULUAN
Udang windu (Penaeus mondon fab) merupakan salah satu komoditas
primadona di subsektor perikanan yang diharapkan dapat meningkatkan devisa
negara. Permintaan pasar di luar negeri yang cenderung meningkat serta sumber daya
yang cukup tersedia di Indonesia memberikan peluang sangat besar untuk dapat
dikembangkan budidayanya.
Budidaya udang windu sudah lama di kenal oleh masyarakat Indonesia, sejak
awal dekade 1970, pada awal-awal tahun (1970-1990) produksi udang windu yang
dihasilkan dari budidaya meningkat dengan pesat, namun seiring dengan berjalannya
waktu sampai sekarang budidaya udang windu mengalami kemunduran. Hal ini
dikarenakan pengembangan teknologi budidayanya dilakukan tanpa dasar ilmiah yang
kokoh maka banyak usaha budidaya udang (lebih dari 60%) mengalami kegagalan,
selain itu udang windu mengalami kematian massal yang disebabkan kondisi
lingkungan yang buruk dan terserang penyakit. Sehingga banyak petani udang windu
beralih usaha ke budidaya ikan (bandeng atau nila) dan sebagian lain menelantarkan
tambak akibat kerugian.
Di sisi lain, perkembangan teknologi budidaya Bandeng (Chanos chanos)
berjalan sangat lambat, tetapi bandeng tetap menjadi komoditas budidaya yang paling
banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia. Budidaya udang windu lebih
menguntungkan dari pada bandeng, karena harga jual udang windu lebih tinggi.
Sehingga untuk mengantisipasi agar kegiatan budidaya udang windu tetap
berlangsung, perlu diterapkan budidaya dengan cara polkultur. Kondisi ini
memungkinkan pemanfaatan tambak yang terlantar untuk membudidayakan udang
windu dan bandeng dalam satu lahan dengan cara polikultur.
Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk pemeliharaan
banyak produk dalam satu lahan. Dengan sistem ini diperoleh manfaat yaitu tingkat
produktifitas lahan yang tinggi. Pada prinsipnya terdapat beberapa hal yang berkaitan
dengan produk yang harus diatur sehingga tidak terjadi persaingan antar produk
dalam memperoleh pakannya, selain itu setiap produk diharapkan dapat saling

memanfaatkan sehingga terjadi sirkulasi dalam satu lokasi budidaya. (Syahid dkk,
2006)
Penerapan teknik budidaya secara polikultur diharapkan dapat meningkatkan
craying capacity atau daya dukung lahan tambak pada keadaan tertentu, dimana
pertumbuhan produksi akan tetap stabil. Hasil produksi dengan sistem monokultur,
petani hanya dapat memanen satu produk dalam satu periode. Namun dengan
polikultur, hasil panen dalam satu periode akan bertambah dengan pemanfaatan lahan
luasan yang sama, hal ini sangat membantu peningkatan penghasilan petambak
(Syahid dkk, 2006).

METODE PENILITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di desa Kedunguter Kabupaten Brebes Jateng, pada
bulan Juni-Juli 2008 selama sekitar satu bulan. Hewan uji yang digunakan dalam
penelitian ini adalah benih udang windu stadia gelondongan (PL 20-22) dan ikan
bandeng stadia gelondongan (2-5 cm) yang diperoleh dari hatchery di daerah Brebes
Jateng. Sedangkan wadah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu hapa terbuat dari
bambu yang diselimuti jaring dari bahan monofilamen berbentuk bujur sangkar
dengan ukuran panjang 1 m, lebar 1 m dan 1 m. Jumlah wadah percobaan yang
digunakan adalah sebanyak 16 buah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan
teknik pengumpulan data yang dilakukan secara observasi langsung yaitu
mengadakan pengamatan langsung terhadap variabel-variabel pada objek yang diteliti
(Prijosepoetro, 1998).
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK). Dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan, karena pertimbangan antara
lain mengefisienkan waktu, biaya, tenaga dan menjaga keakuratan data. Masingmasing perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: (a) Padat penebaran ikan
bandeng 10 ekor/m3 dan udang windu 20 ekor/m2, (b) Padat penebaran ikan bandeng
15 ekor/m3 dan udang windu 30 ekor/m2, (c) Padat penebaran ikan bandeng 20
ekor/m3 dan udang windu 40 ekor/m2, (d) Padat penebaran ikan bandeng 25 ekor/m 3
dan udang windu 50 ekor/m2.
Pengamatan pertumbuhan ini dilakukan seminggu sekali selama satu bulan.
Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan menimbang berat biomassa total benih
udang windu dan ikan bandeng tiap perlakuan dibagi individu. Penimbangan ini
bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan melalui berat atau bobot tubuh benih udang
windu dan ikan bandeng setiap minggunya selama masa pemeliharaan. Sedangkan
pengamatan kematian dilakukan setiap harinya. Benih udang windu dan ikan bandeng
yang mati langsung diambil.

Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran terhadap kualitas air.


Pengukuran ini bertujuan agar benih udang windu dan ikan bandeng yang mati bukan
karena kualitas air, pengukuran ini dilakukan setiap pagi hari pukul 06.30 WIB
sebanyak sepuluh kali dalam satu bulan. Parameter kualitas air yang diukur adalah
oksigen terlarut, suhu, pH dan amonium.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh tingkat kelangsungan hidup Udang
Windu (Penaeus monodon Fab) seperti pada tabel 1 dan ikan bandeng (Chanos
chanos) pada tabel 2. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan dengan
padat tebar berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kelangsungan
hidup udang windu, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kelangsungan hidup ikan bandeng.
Hal ini disebabkan kedua jenis spesies tersebut memiliki habitat hidup dan
kebiasaan makan yang berbeda. Ikan bandeng pada stadia gelondongan hidupnya di
kolom perairan yang menyebabkan pergerakkannya luas, aktif kedasar perairan untuk
mencari makanan (klekap dan plankton) pada siang hari dengan mengandalkan
kemampuan penglihatannya. Sedangkan udang windu stadia gelondongan hidupnya
di dasar perairan yang pergerakkannya dipengaruhi oleh luasan lahannya dan adanya
pergerakan ikan bandeng untuk mencari makanan didasar sehingga mempengaruhi
ruang gerak udang windu.
Dari hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa angka kematian yang
tinggi disebabkan oleh faktor padat penebaran yang tidak seimbang. Syahid dkk
(2006), menyatakan bahwa kepadatan benih udang yang terlalu padat menyebabkan
terjadinya variasi kematian benih yang berbeda-beda, sebagai akibat dari adanya sifat
kanibal. Selanjutnya dikatakan bahwa apabila keadaan dasar wadah benih yang
digunakan terlalu sempit dibandingkan dengan jumlah benih yang ditampung akan
menyebabkan bertumpuknya benih satu sama lain, akibatnya akan terjadi persaingan
tempat. Dalam hal ini harus ada keseimbangan antara luas dasar wadah dengan
jumlah padat penebaran.
Ruang gerak karena adanya padat penebaran secara langsung tidak berpengaruh
terhadap kelangsungan hidup ikan bandeng, karena ikan bandeng tidak mempunyai
sifat kanibal terhadap lainnya, dan juga ikan bandeng merupakan jenis ikan yang suka
berkelompok dalam mencari makanan walaupun dalam jumlah yang tidak begitu
besar. Lain halnya dengan udang windu padat penebaran secara langsung
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, karena udang windu mempunyai sifat
kanibal terhadap lainnya. (Tjoronge, 2005)
Ketersediaan makanan yang cukup dan kualitas air yang menunjang sangat
mempengaruhui tingkat kelulushidupan ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Spote

(1987) dalam Badare (2001), bahwa kualitas air turut mempengaruhui kelulushidupan
dan pertumbuhan dari organisme perairan yang dibudidayakan.
Selain itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh McCormick et.al (1998) dalam
Ninef (2002), bahwa padat penebaran yang tinggi akan menyebabkan tingkat
persaingan terhadap makanan dan ruang menjadi tinggi yang akan menurunkan
tingkat kelulushidupan suatu organisme.
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semakin tinggi padat tebar maka
kelangsungan hidup udang windu dan ikan bandeng semakin rendah.
Table 1. Data kelangsungan hidup udang windu (penaeus monodon fab)
Perlakuan
A
B
C
D

1
85
70
42,5
30

Ulangan (%)
2
3
90
95
70
66,7
32,5
40
34
24

4
95
56,7
37,5
28

Total (%)
365
263,4
152,5
116

Rata-rata
(%)
91,25
65,85
38,12
29

Tabel 2. Data kelangsungan hidup ikan bandeng (chanos chanos)


Perlakuan
A
B
C
D

1
100
100
100
100

Ulangan (%)
2
3
100
100
100
100
100
100
96
100

4
100
100
100
96

Total

Rata-rata

400
400
400
392

100
100
100
98

Data pertumbuhan berat rata-rata individu udang windu (Penaeus monodon Fab) selama
penelitian yang disajikan pada tabel 3 dan ikan bandeng (Chanos chanos) pada tabel 4.
Udang windu dan ikan bandeng sebagaimana hewan air lainnya untuk memperoleh
pertumbuhan maksimal membutuhkan asupan makanan yang unsur-unsurnya (protein,
karbohidart, lemak dan lain-lainnya) mencukupi hewan tersebut. Padat tebar yang tinggi akan
mengganggu laju pertumbuhan meskipun kebutuhan makanan tercukupi. Hal ini disebabkan
karena adanya persaingan dalam memperebutkan makanan dan ruang.
Pertumbuhan adalah total energi yang diubah menjadi penyusun tubuh, kebutuhan
energi ini diperoleh dari makanan. Pertumbuhan juga merupakan suatu proses pertambahan
bobot maupun panjang tubuh ikan, adapun perbedaan laju pertumbuhan dapat disebabkan
karena adanya pengaruh padat penebaran dan persaingan di dalam mendapatkan makanan.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perlakuan padat penebaran yang
berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan udang windu

dan ikan bandeng. Hal ini karena ikan bandeng mempunyai sifat menggerombol dan
hidup di kolom air sehingga mengalami persaingan dalam mendapatkan makanan
akibat padat penebaran yang tinggi. Berbeda dengan udang windu yang memiliki sifat
individu dan kanibal padat penebaran yang tinggi serta asupan pakan yang diberikan
tidak mencukupi sehingga menimbulkan sifat kanibal antar sesama untuk memenuhi
kebutuhan asupan makanannya, akibatnya banyak udang windu yang mati sehingga
persaingan lebih sedikit.
Menurut Mangampa dkk (2008), menyatakan bahwa semakin besar kepadatan
ikan yang kita berikan, akan semakin kecil laju pertumbuhan per individu. Dengan
kepadatan rendah ikan mempunyai kemampuan memanfaatkan makanan dengan baik
dibandingkan dengan kepadatan yang cukup tinggi, karena makanan merupakan
faktor luar yang mempunyai peranan di dalam pertumbuhan (Syahid dkk, 2006).
Kekurangan pakan akan memperlambat laju pertumbuhan sehingga dapat
menyebabkan kanibalisme, sedangkan kelebihan pakan akan mencemari perairan
sehingga menyebabkan udang stres dan menjadi lemah serta nafsu makan udang akan
menurun (Anonimous, 2000).
Ruang gerak juga merupakan faktor luar yang mempengaruhi laju pertumbuhan,
dengan adanya ruang gerak yang cukup luas ikan dapat bergerak dan memanfaatkan
unsur hara secara maksimal (Anonimous, 1993). Pada padat penebaran yang tinggi
ikan mempunyai daya saing di dalam memanfaatkan makanan, unsur hara dan ruang
gerak, sehingga akan mempengaruhi laju pertumbuhan ikan tersebut.

Table 3. Data rata-rata laju pertumbuhan harian individu udang windu (penaeus
monodon fab)

Ulangan (%)

Perlakuan
A
B
C
D

1
6,6
5,7
5,6
5,3

2
6,5
5,8
5,9
5,4

3
6,4
5,9
5,3
5,6

4
6,1
5,9
5,4
5,5

Total (%)

Ratarata
(%)

25,7
23,3
22,2
21,8

6,41
5,8
5,6
5,4

Total (%)

Ratarata (%)

32,1
30,2

8
7,6

Tabel 4. Data laju pertumbuhan ikan bandeng (Chanos chanos)


Ulangan (%)

Perlakuan
A
B

1
7,7
7,5

2
7,9
7,5

3
8,6
7,6

4
7,9
7,6

C
D

7,2
6,6

7,1
6,7

6,9
6,5

6,8
6,9

28
26,7

7
6,7

Selama penelitian dilakukan pengukuran parameter kualitas air sebagai data


penunjang. Kualitas air yang diukur meliputi salinitas, suhu, pH, DO dan ammonium.
Data hasil pengukuran dapat di lihat pada tabel 5. Hasil pengamatan kualitas air yang
di ukur tidak begitu memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup dan
pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng yang dipelihara. Karena masih dalam
kisaran yang aman.

Tabel 5. Data Nilai Rata-rata Kualitas Air Selama Penelitian


Perlakuan

DO

Salinitas

Suhu

pH

A
B
C
D

8
8
7,8
8

17
17
17
17

29,4
29
30
29

7,5
8
7,5
7,5

Ammoniu
m
0,2
0,2
0,2
0,2

KESIMPULAN
Berdasarkan analisa dan pembahasan data penelitian pengaruh padat tebar yang
berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada polikultur udang windu
(penaeus monodon fab) dan ikan bandeng (chanos chanos) pada hapa di tambak.
Perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan
hidup udang windu dan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan bandeng
dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan udang windu dan
ikan bandeng.
Perlakuan terbaik pada perlakuan, yaitu padat tebar ikan bandeng 10 ekor/m 3
dan udang windu 20 ekor/m2, sedangkan untuk aplikasi di lapangan untuk
mendapatkan hasil yang maksimal lebih baik menggunakan padat tebar untuk ikan
bandeng 25 ekor/m3 dan udang windu 20 ekor/m2.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1993. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Departemen Pertanian,


Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan Jakarta. hal. 37.
Anonimous. 2000. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Windu. Dirjen Perikanan Tim
MMC Daerah Jawa Timur. PT. Aquatik Consultans dan Konsorsium.
Badare, A. I. 2001. Pengaruh Pemberian Beberapa Makroalga Terhadap
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Abalone (Holiotis spp) Yang
Dipelihara Dalam Kurungan Terapung. Program Studi Budidaya Perairan
Fakultas Pertanian Undana: Kupang.
Mangampa, M. Busran dan Suswoyo, H. S.2008. Optimalisasi Padat Tebar Terhadap
Sintasan Tokolan Udang Windu Dengan Sistem Aerasi di Tambak.
www.yahoo.com. 02 juli 2008.
Ninef, M. C. H. 2002. Pengaruh Padat Penebaran Yang Berbeda Terhadap
Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Abalon (Holiotis spp) Yang
Dipelihara Dalam Kurungan Apung. Program Studi Budidaya Perairan Fakultas
Perikanan. UHT: Surabaya.
Prijosepoetro, S. 1998. Bahan Kuliah Metode Ilmiah. Fakultas Perikanan. UHT:
Suarabaya.
Syahid, M. Subhan, A. dan Armando, R. 2006. Budidaya Udang Organik Secara
polikultur. Penebar swadaya: Jakarta.
Tjoronge, M. 2005. Polikultur Rumput Laut Gracillaria sp. dan Ikan Bandeng
(Chanos chanos) Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda. Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. 11 (7).
Wiyanto, H. dan Hartono, R. 2004. Pembenihan dan Pembesaran Lobster Air Tawar.
Penebar swadaya: Jakarta.

Diposkan 27th June 2012 oleh ACH.KHUMAIDI


0

Tambahkan komentar
o
Jun

27

HUBUNGAN EKOLOGIS DAN


BIOLOGIS YANG TERJADI ANTARA
MANGROVE, LAMUN, DAN
TERUMBU KARANG

HUBUNGAN EKOLOGIS DAN BIOLOGIS YANG TERJADI


ANTARA MANGROVE, LAMUN, DAN TERUMBU KARANG
Oleh : Rahadian Harry Dewanto
Abstrak
Ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun mempunyai keterkaitan
ekologis (hubungan fungsional), baik dalam nutrisi terlarut, sifat fisik air, partikel
organik, maupun migrasi satwa, dan dampak kegitan manusia. Oleh karena itu
apabila salah satu ekosistem tersebut terganggu, maka ekosistem yang lain juga ikut
terganggu. Yang jelas interaksi yang harmonis antara ketiga ekosistem ini harus
dipertahankan agar tercipta sebentuk sinergi keseimbangan lingkungan. Ekosistem
mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif dengan produktivitas
primernya yang sangat tinggi daripada ekosistem lainnya di perairan. Hutan
mangrove mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting yaitu sebagai salah satu
penyerap karbondioksida di udara. Peningkatan kandungan karbondioksida di udara
dapat menyebabkan dampak pemanasan global. Jika terjadi pemanasan global oleh
penebangan hutan mangrove besar-besaran maka ini akan berpengaruh terhadap
ekosistem terumbu karang dan lamun. Misalnya zooxanthela pada terumbu karang

akan keluar dari karang akibat meningkatnya suhu perairan. Karang yang
membutuhkan zooxanthela dalam memproduksi zat-zat penting bagi pertumbuhannya
akan mati sehingga terjadi pemutihan karang.
Kata kunci : interaksi yang harmonis antara ketiga ekosistem, fungsi ekologis

PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri
atas 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.791 km, memiliki keanekaragaman
hayati yang cukup tinggi seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun,
ikan, mamalia, reptilia, krustasea dan berbagai jenis moluska. Sumberdaya alam laut
tersebut merupakan salah satu modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk
pembangunan nasional.
Adanya suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik
antara mahluk hidup dengan lingkungannya disebut dengan ekosistem. Ekosistem
berasal dari kata : Geobiocoenosis, yang berarti Biocoenosis : komponen Biotik dan
Geocoenosis : komponen abiotic.
Tidak hanya tergantung di mana organisme tadi hidup, tetapi juga pada apa
yang dilakukan organisme termasuk mengubah energi, bertingkah laku, bereaksi,
mengubah lingkungan fisik maupun biologi dan bagaimana organisme dihambat oleh
spesies lain.
Aliran energi dalam niche yang terjadi adalah ketika matahari menyinari laut,
sinarnya akan membantu proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton.
Fitoplankton inilah yang kemudian akan dikonsumsi oleh zooplankton, zooplankton
dikonsumsi oleh hewan dengan tingkat yang lebih tinggi (karnivora), hingga pada
akhirnya hewan karnivora akan mati dan didekomposisi oleh dekomposer menjadi
detritus, yang kemudian diserap fitoplankton sebagai zat hara/nutrien.

Ada beberapa ekosistem yang terdapat di laut tropis contohnya : mangrove,


lamun dan terumbu karang. hubungan ketiga ekosistem ini sangat sinergis. Apabila
salahsatu sistem mengalami gangguan,maka sistem yang lain akan berpengaruh juga.

MANGROVE, LAMUN, DAN TERUMBU KARANG


1.

Ekosistem Mangrove
Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English),

Suatu tipe ekosistem hutan yang tumbuh di suatu daerah pasang surut (pantai, laguna,
muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas pada saat air laut surut, komunitas
tumbuhannya mempunyai toleransi terhadap garam (salinity) air laut.
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem
yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis, fisik dan ekonomis.
Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain : pelindung garis pantai, mencegah intrusi
air laut, habitat, feeding ground, nursery ground, spawning ground bagi aneka biota
perairan, tempat bersarang berbagai satwa liar terutama burung,sumber plasma
nutfah,serta sebagai pengatur iklim mikro.
Fungsi fisik hutang mangrove yaitu

mempercepat perluasan lahan,

melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin


kencang serta menguraikan/mengolah limbah organic. Fungsi ekonominya antara
lain : penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil
bibit.
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8
famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia,
Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras,
Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen). Formasi hutan mangrove dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut,
sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik. Ekosistem mangrove yang terdapat pada
wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon
atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau.

a. Fungsi Mangrove
1. Sebagai peredam gelombang dan angin, pelindung dari abrasi dan pengikisan pantai
oleh air laut, penahan intrusi air laut ke darat, penahan lumpur dan perangkap
sedimen.
2. Sebagai penghasil sejumlah besar detritus bagi plankton yang merupakan sumber
makanan utama biota laut.
3. Sebagai habitat bagi beberapa satwa liar, seperti burung, reptilia (biawak, ular), dan
mamalia (monyet).
4. Sebagai daerah asuhan (nursery grounds), tempat mencari makan (feeding grounds),
dan daerah pemijahan (spawning grounds) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut
lainnya.
5. Sebagai penghasil kayu konstruksi, kayu bakar, bahan baku arang, dan bahan baku
kertas.
6. Sebagai tempat ekowisata.
b. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap Lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap
lingkungan (Bengen, 2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
1.

Adaptasi terhadap kadar kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki


bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora
(misalnya: Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil
oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel

(misalnya Rhyzophora spp.).


2. Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
o Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan
garam.
o Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur

3.

keseimbangan garam.
o Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara
mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan
horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga
berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
c. Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung


oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di
Indonesia:
o Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi
oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan
tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
o Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di
zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
o Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
o Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh
Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

2.

Ekosistem Padang Lamun


Lamun ( sea grass ) adalah Tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya

menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari
Rhizome,daun dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap
secara mendatar, serta berbuku-buku. pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek
yang tegak ke atas,berdaun dan berbunga. Dengan rhizome dan akarnya inilah
tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga tahan
terhadap hempasan gelombang dan arus.
Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang hidupnya terbenam di dalam
laut.Padang lamun ini merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik
yang tinggi. Fungsi ekologi yang penting yaitu sebagai feeding ground, spawning
ground dan nursery ground beberapa jenis hewan yaitu udang dan ikan baranong,
sebagai peredam arus sehingga perairan dan sekitarnya menjadi tenang.
Meskipun padang lamun merupakan ekosistim yang penting namun
pemanfaatan langsung tumbuhan lamun untuk kebutuhan manusia tidak banyak di
lakukan. Beberapa jenis lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan, samo-samo
( Enhalus acoroides) misalnya di manfaatkan bijinya oleh penduduk pulau-pulau
seribu sebagai bahan makanan.

Adapun ancaman terhadap padang lamun, diantaranya sebagai berikut :


o Pengerukan dan pengurugan dari aktivitas pembangunan (pemukiman pinggir
laut,pelabuhan,industri dan saluran navigasi).
o Pencemaran limbah industri terutama logam berat dan senyawa organoklorin.
o Pencemaran minyak dan industri.
a. Upaya pelestarian Padang Lamun mencegah terjadinya pengrusakan akibat
pengerukan dan pengurugan kawasan lamun.
b. Mencegah terjadinya pengrusakan akibat kegiatan konstruksi di wilayah pesisir.
c. Mencegah terjadinya pembuangan limbah dari kegiatan industri, buangan termal
d.

serta limbah pemukiman.


Mencegah terjadinya penangkapan ikan secara destruktif yang membahayakan

lamun.
e. Memelihara salinitas perairan agar sesuai batas salinitas padang lamun.
f. Mencegah terjadinya pencemaran minyak di kawasan lamun

3.

Ekosistem Terumbu Karang


Terumbu karang adalah suatu ekosistem di laut tropis yang mempunyai

produktivitas tinggi (Sukarno et al., 1986). Terumbu karang merupakan ekosistem


yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan
perairan laut tropis dengan laut sub tropis maupun kutub (Nontji, 1987 dan Nybakken,
1988). Ekosistem ini mempunyai sifat yang menonjol karena produktivitas dan
keaneka- ragaman jenis biotanya yang tinggi. Longhurst dan Pauly (1987)
menyatakan bahwa besarnya produktivitas yang dimiliki terumbu karang disebabkan
oleh adanya pendauran ulang zat-zat hara melalui proses hayati.
Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium
karbonat (CaCO3) dan terutama dihasilkan oleh karang (Filum Cnidaria, Kelas
Anthozoa, Ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga
berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat.
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami
perubahan terus menerus dan tidak tahan terhadap gangguan-gangguan alam yang
berasal dari luar terumbu. Beberapa faktor yang membatasi pertumbuhan karang
adalah : cahaya, diperlukan oleh Zooxanthellae untuk melakukan

fotosintesis

dalam jaringan karang. Suhu dapat merupakan faktor pembatas yang umum bagi
karang. Pertumbuhan karang yang optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu
tahunannya berkisar 23 25oC, akan tetapi karang juga dapat mentoleransi suhu pada
kisaran 20oC, sampai dengan 36 40oC (Nybakken, 1988).

Hubungan :
o Sifat fisik air Hutan mangrove sejati biasanya tumbuh di daerah yang terlindung
dari pengaruh ombak dan arus yang kuat. Terumbu karang dan lamun disini berfungsi
sebagai penahan ombak dan arus yang kuat untuk memperlambat pergerakannya. Ini
merupakan salah satu interaksi fisik dari terumbu karang dan lamun terhadap
mangrove sehingga mangrove terlindungi dari ombak dan arus yang kuat. Hutan
mangrove kaya akan sedimen yang mengendap di dasar perairan. Apabila sedimen ini
masuk ke ekosistem lamun maupun terumbu karang dengan jumlah yang sangat
banyak dan terus menerus oleh pengaruh hujan lebat, penebangan hutan mangrove
maupun pasang surut dapat mengeruhkan perairan, maka ini akan mempengaruhi
fotosintesis dari lamun dan zooxanthela yang hidup pada karang. Sedimen yang
membuat perairan keruh akan berdampak pada berkurangnya penetrasi cahaya
matahari (kecerahan). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang.
Dan ini akan mempengaruhi persebaran dan kelimpahan lamun serta terumbu karang
secara vertikal dan horizontal.
o Partikel organik yang berasal dari serasah lamun dan mangrove dapat
mempengaruhi pertumbuhan dari terumbu karang. Tingginya partikel organik yang
tersuspensi diperairan dapat menurunkan fotosintesis dari lamun dan zooxanthela di
perairan. Partikel organik ini akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang
dibutuhkan lamun dan zooxanthella untuk proses fotosintesis. Selain itu partikel
organik yang terbawa dari ekosistem mangrove ke ekosistem lamun dan terumbu
karang merupakan makanan bagi biota-biota perairan seperti filter feeder dan detritus
feeder. Khusunya ekosistem mangrove, arus dan gelombang disekitarnya cukup kuat
sehingga berfungsi mencernihkan perairan. Sedangkan ekosistem lamun yang
berdekatan dengan ekosistem mangrove yang kaya sedimen, mempunyai rhizoma
yang saling menyilang untuk menahan substrat dasar. Penebangan hutan, pembukaan
jalan, pembukaan lahan pertanian dapat meningkatkan partikel organik diperiaran.

Partikel yang tersuspensi terutama dalam bentuk partikel halus maupun kasar, akan
menimbulkan dampak negatif terhadap biota perairan pesisir dan lautan. Misalnya
partikel tersebut menutupi sistem pernafasan yang mengakibatkan biota tersebut susah
bernafas.
o Nutrien Terlarut
Nutrien diperiaran penting bagi produsen primer untuk proses fotosintesis. Nutrien di
perairan dapat berasal dari batuan-batuan maupun serasah tumbuhan dan organismeorganisme yang mati, dan kemudian didekomposisi oleh bakteri menjadi zat
anorganik yang diserap oleh produsen primer. Mangrove kaya akan nutrien yang
biasanya terbawa ke ekosistem lamun dan terumbu karang melalui aliran sungai
maupun efek pasang surut. Nutrien ini diserap langsung oleh lamun melalui
perakarannya, dan zooxanthella memperoleh nutrien tersebut juga.Batuan-batuan
karang yang pecah juga merupakan nutrien yang dibutuhkan bagi organisme yang ada
disekitar mangrove yang bisanya membentuk cangkang. Nutrien ini juga bisanya
dibawa oleh arus dan ombak untuk diserap oleh lamun.
MigrasiFauna

Migrasi fauna dapat disebabkan oleh meningkatnya predator pada suatu ekosistem,
berkurangnya makanan, reproduksi, meningkatnya persaingan dalam memperbutkan
makanan, tempat persembunyian yang aman, dll. Ketika ekosistem mangrove dalam
keadaan rusak atau terganggu oleh aktivitas manusia maupun oleh pengaruh alam,
maka biota-biota/fauna yang hidupnya disekitar mangrove akan beralih tempat ke
ekositem lamunmaupun terumbukarang untuk memperoleh perlindungan. Apabila
dalam ekosistem lamun, terjadi persaingan yang ketat dalam memperbutkan makanan,
maka fauna-fauna disekitarnya akan bermigrasi ke darerah mangrove untuk
memperoleh makanan yang banyak. Ketika terjadi kekeruhan di ekosistem lamun oleh
pengaruh sedimentasi, maka fauna-fauna yang hidup disekitarnya khususnya ikan
akan menghindari daerah tersebut dan menempati ekosistem terumbu karang yang
tidak kecerahan lebih baik.
o Dampak manusia
Penebangan hutan mangrove untuk pemukiman, pebukaan lahan pertanian dan
pertambakan

dapat

mengakibatkan

erosi

sehingga

mengeruhkan

perairan.

Pengaruhnya ini akan berdampak pada ekosistem lamun dan terumbu karang yang ada
disekitarnya. Proses fotosintesis akan yang berjalan akan terhambat. Selain

pemanfaatan mangrove yang merusak lingkungan, pemanfaatan lamun dengan cara


yang sama akan menyebabkan sedimentasi, mengingat bahwa lamun mempunyai
rhizoma yang saling mentilang yang berfungsi untuk mengikat sedimen didasar
Pengambilan terumbu karang sebagai bahan bangunan akan mengancam ekosistem
mangrove. Mengingat bahwa secara ekologis terumbu karang berfungsi untuk
menahan gelombang dan arus yang kuat, sehingga tanpa keberadaannya akan
mengamcam ekosistem mangrove yang biasanya terlindung dari ombak dan arus yang
kuat.Ikan di daerah terumbu karang yang memakan suatu spesies ikan di sekitar
daerah lamun lama kelamaan akan habis apabila terus menerus dieksploitasi secara
besar-besaran oleh manusia. Ikan di daerah terumbu karang berkurang jumlahnya
sedangkan ikan di daerah lamun meningkat jumlahnya. Dari pembahasan diatas kita
dapat melihat bahwa dampak manusia dan alam akan mempengaruhi ketiga ekosistem
ini.

B.

Keterkaitan Ekosistem secara Biologis


Hubungan keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang

sudah diduga sejak lama oleh para ahli ekologi. Namun kepastian tentang bentuk
keterkaitan antara ketiga ekosistem tersebut secara biologis masih belum banyak
dibuktikan. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk membuktikan adanya
keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang tersebut
dilaksanakan oleh Nagelkerken et al., (2000), di Pulau Curacao, Karibia.
Penelitian tersebut dilakukan untuk membuktikan apakah daerah mangrove
dan lamun benar-benar secara mutlak (obligat) dibutuhkan oleh ikan karang untuk
membesarkan ikan yang masih juvenil ataukah hanya sebagai tempat alternatif
(fakulatif) saja untuk memijah. Lokasi penelitian dibagi menjadi 4 jenis biotope
(habitat) yang berbeda, yaitu : daerah padang lamun di teluk yang ditumbuhi
komunitas mangrove, daerah padang lamun di teluk yang tidak ditumbuhi mangrove
(tanpa mangrove), daerah berlumpur di teluk yang ditumbuhi lamun dan mangrove
serta daerah berlumpur di teluk yang tidak ditumbuhi lamun dan mangrove (daerah
kosong tanpa vegetasi).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, Nagelkerken et al., (2000)


melaporkan bahwa beberapa spesies ikan menggunakan daerah lamun dan mangrove
sebagai daerah asuhan tempat membesarkan juvenile (nursery ground). Kelimpahan
dan kekayaan jenis (species richness) tertinggi ditemukan di daerah padang lamun dan
daerah berlumpur yang sekelilingnya ditumbuhi oleh vegetasi mangrove.
Keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang
menciptakan suatu variasi habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis
organisme. Hal ini membuktikan adanya pengaruh tepi (edge effect) seperti tampak
pada penelitian Nagelkerken et al. (2000). Adanya variasi habitat menciptakan daerah
tepi yang saling tumpang tindih. Hal ini menimbulkan suatu daerah pertemuan antar
spesies sehingga meningkatkan keanekaragaman jenis organisme di daerah tersebut.

C.

Keterkaitan ekositem secara Ekologis


Secara ekologis, terumbu karang mempunyai keterkaitan dengan daratan dan

lautan serta ekosistem lain, seperti hutan mangrove dan lamun. Hal ini disebabkan
karena terumbu karang berada dekat dengan ekosistem tersebut serta daratan dan
lautan. Berbagai dampak kegiatan pembangunan yang dilakukan di lahan atas atau di
sekitar padang lamun atau hutan mangrove akan menimbulkan dampak pula pada
ekosistem terumbu karang. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan di laut
lepas, seperti: kegiatan pengeboran minyak lepas pantai, pembuangan limbah dan
perhubungan laut.

Kesimpulan
Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English),
Suatu tipe ekosistem hutan yang tumbuh di suatu daerah pasang surut (pantai, laguna,
muara sungai) yang tergenang pasang dan bebas pada saat air laut surut, komunitas
tumbuhannya mempunyai toleransi terhadap garam (salinity) air laut.

Lamun ( sea grass ) adalah Tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya


menyesuaikan diri untuk hidup terbenam dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari
Rhizome,daun dan akar. Rhizome merupakan batang yang terbenam dan merayap
secara mendatar, serta berbuku-buku. pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek
yang tegak ke atas,berdaun dan berbunga. Dengan rhizome dan akarnya inilah
tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga tahan
terhadap hempasan gelombang dan arus.
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di laut tropis yang mempunyai
produktivitas tinggi (Sukarno et al., 1986). Terumbu karang merupakan ekosistem
yang khas di daerah tropis dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan
perairan laut tropis dengan laut sub tropis maupun kutub (Nontji, 1987 dan Nybakken,
1988).
Secara ekologis, terumbu karang mempunyai keterkaitan dengan daratan dan
lautan serta ekosistem lain, seperti hutan mangrove dan lamun.
Keterkaitan ekosistem antara mangrove, lamun dan terumbu karang
menciptakan suatu variasi habitat yang mempertinggi keanekaragaman jenis
organisme.

Saran
Dari pembahasan diatas kita dapat melihat bahwa dampak manusia dan alam
akan mempengaruhi ketiga ekosistem ini. Ketiga ekosistem ini saling terkait satu
sama lain dan biasanya ke tiga ekosistem ini bersama-sama terdapat di sekitar pesisir.
Untuk itu penting bagi ketiga ekosistem ini untuk dilestarikan dan dijaga secara
sinergis sehingga terhindar dari kerusakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anugerah Nontji.2007.Laut Nusantara.Djambatan:Jakarta.

Bengen Dietriech. G. 2001. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.


PKSPL IPB, Bogor. 27 halaman
Naamin, N. 2001. Oseanology (Parameter fisik, Kimia dan Biologi) Dari Terumbu
Karang. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia.
Jakarta.
Sudarmadji, 2003. Konservasi dan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember, Bali. 53
halaman
Sukarno, M., M. Hutomo, K. Moosa, dan P. Darsono,. 1986. Terumbu Karang di
Indonesia : Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek
Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya
Hayati Ikan. LON-LIPI. Jakarta
Suharsono. 1998. Standard Monitoring Terumbu Karang. Puslitbang LIPI. Jakarta
Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah
Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Umum Jakarta,
Sudarmadji, 2003. Konservasi dan Rehabilitasi Hutan Mangrove. Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Jember, Bali.
Yayasan Terangi. 2005. Selamatkan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta
http://shifadini.wordpress.com/2010/04/15/56/
http://www.shttp://kambing.ui.ac.id/bebas/v12/sponsor/SponsorPendamping/Praweda
/Biologi/0027%20Bio%201-6b.htmmkjeunieb.co.cc/2010/08/keterkaitanekosistem-secara-biologis.html
http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/02201/kel4_012.htm

Diposkan 27th June 2012 oleh ACH.KHUMAIDI


0

Tambahkan komentar

Memuat
(AK.). Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.

Anak Kepiting
blog ini dibuat untuk menambah pengetahuan ... semoga bermanfaat... Jika ada yang kurang
jelas hubungi saya lewat sosmed yang ada .. :P

Rabu, 30 Oktober 2013


PEMIJAHAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus ) (Laporan Praktikum
Genetika pada Ikan)

PEMIJAHAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus )


(Laporan Praktikum Genetika pada Ikan)

Oleh :
WIDI INDRA KESUMA
1114111058

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013
I.
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemijahan merupakan bagian dari reproduksi ikan yang menjadi mata rantai daur hidup
kelangsungan hidup spesies. Penambahan populasi ikan bergantung kepada berhasilnya
pemijahan ini dan juga bergantung kepada kondisi dimana telur dan larva ikan diletakkan
untuk tumbuh. Oleh karena itu sesungguhnya pemijahan menuntut suatu kepastian untuk
keamanan kelangsungan hidup keturunannya dengan kepada habitat pemijahan itu untuk
melangsungkan prosesnya.

Dalam keadaan normal memilih tempat, waktu dan kondisi yang menguntungkan.
Berdasarkan hal ini pemijahan tiap spesies ikan mempunyai kebiasaan yang berbeda
tergantung ikan melangsungkan pemijahan minimum satu kali dalam satu daur hidupnya
seperti yang terdapat pada ikan salmon dan sidat. Sesudah melakukan pemijahan, induk ikan
tersebut mati karena kehabisan tenaga. Hampir semua ikan pemijahannya berdasarkan
reproduksi seksual yaitu terjadinya persatuan sel produksi organ seksual yang berupa telur
dari ikan betina dan spermatozoa dari ikan jantan. Dari persatuan kedua macam sel tersebut
akan terbentuk individu baru yang akan menambah besarnya populasi. Persatuan kedua
macam sel seks tadi ada yang terjadi di dalam tubuh (pembuahan di dalam atau fertilisasi
internal) dan ada pula yang terjadi di luar tubuh (fertilisasi eksternal). Ikan yang mengadakan
fertilisasi internal mempunyai perlengkapan tubuh untuk memastikan berhasilnya fertilisasi
tadi dengan organ khusus (copulatory organ) untuk keperluan ini, organ tersebut biasanya
terdapat pada ikan jantan saja.
Ikan lele yang hidup di alam memijah pada musim penghujan dari bulan Mei sampai
Oktober. Ikan lele juga dapat memijah sewaktu-waktu sepanjang tahun, apabila keadaan air
kolam sering berganti. Pemijahan juga di pengaruhi oleh makanan yang diberikan. Makanan
yang bermutu baik akan meningkatkan vitalitas ikan sehingga ikan lele lebih sering memijah.
Apabila telah dewasa, lele betina akan membentuk telur di dalam indung telurnya. Sedangkan
lele jantan membentuk sperma atau mani. Bila telur-telurnya telah berkembang maksimum
yaitu mencapai tingkat yang matang untuk siap dibuahi maka secara alamiah ikan lele akan
memijah atau kawin.
Ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang
sudah banyak dibudidayakan di Indonesia. Asal-usul dari lele sangkuriang, yaitu Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) memutuskan untuk melakukan pemurnian
kembali dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas ikan lele dumbo yang mengalami
penurunan. Ikan lele betina keturunan kedua yang merupakan lele dumbo asli dari Afrika
Selatan (F2) dikawinkan dengan ikan lele jantan keturunan keenam (F6) yang merupakan
sediaan induk yang ada di BBPBAT Sukabumi, sehingga anakan yang dihasilkan kemudian
dinamakan Lele Sangkuriang (Amri & Khairuman 2008).
Pemijahan lele sangkuriang tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara alami dan
buatan. Secara alami dapat dilakukan dengan memasangkan indukan lele jantan dan betina

dalam satu kolam pemijahan, sedangkan secara buatan dapat dilakukan dengan menyuntikkan
hormone yang dapat merangsang pemijahan. Untuk mengetahui secara pasti proses
pemijahan tersebut dan mengetahui hasilnya secara genetic, maka dilakukanlah praktikum
ini.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
a.

Untuk mengetahui cara dan proses pemijahan ikan lele secara buatan maupun alami.

b. Untuk mengetahui secara genetic hasil dari pemijahan ikan lele Sangkuriang
c.

Agar mahasiswa mempunyai kemampuan/skill untuk melakukan cara dan teknik pemijahan
pada ikan yang dibudidayakan.

II.

METODELOGI

2.1 Alat
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu kakaban, ember, saringan, sapu lidi,
sikat, gelas objek, mikroskop, pipet dan gelas film.
2.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu ikan Lele jantan, ikan lele betina,
pakan, larutan fisiologis, dan air untuk media hidup ikan.
2.3 Cara Kerja
2.3.1 Fertilisasi
a) Persiapan Wadah
Persiapan wadah yang dilakukan untuk pemijahan ikan lele secara alami diawali dengan
pembersihan kolam pemijahan dengan sapu lidi, sikat yang dibersihkan terlebih dahulu,
setelah itu kolam pemijahan diisi air sampai setengah dari tinggi bak pemijahan.
b) Seleksi Induk
Induk yang akan digunakan untuk pemijahan diseleksi terlebih dahulu. Induk betina yang
dipilih yaitu induk yang mempunyai ukuran perut yang besar , lembek dan apabila distipping

akan keluar cairan bening dan jika di striping terlalu berlebihan akan menyebabkan telur ikan
akan keluar, sedangkan induk jantan yang dipilih yaitu jantan yang mempunyai papilla
berwarna merah dan agresif . Perbandingan induk yang akan dipijahkan yaitu 1:1, satu jantan
dan satu betina.
c) Pemijahan
Pemijahan ikan lele secara alami dilakukan dengan cara dimasukkannya ikan lele jantan dan
betina dengan rasio 1:1 di bak pemijahan dengan ukuan 1.5 m x 1 m x 1 m, yang sebelumnya
dilakukan pemasangan kakaban sebanyak 5 buah sebagai substrat penempelan telur.
Selanjutnya tunggu ikan sampai mijah, waktu pemijahan membutuhkan waktu 10-15 jam.
2.3.2

Embriogenesis
Telur yang telah disatukan di tempelkan pada cawan petri.
Tulur di letakan dalam aquarium dengan mengunakan hiter dengan suhu 300C.
Diberi MB secukupnya pada iar aquarium.
Ambil sampel 2-3 larva diletakan dicawan perti.
Diamati setiap 20 menit sekali dibawah microskop.

III.

IV.

HASIL

PEMBAHASAN

1. Persiapan wadah dan substrat (kakaban).


Persiapan bak pemijahan dilakukan sebelum dilakukan pemijahan. Wadah pemijahan induk
ikan lele dumbo dapat juga digunakan sebagai tempat penetasan telur. Pada praktikum ini
wadah yang digunakan adalah 2 unit, berupa bak beton berukuran 2 m x 1 m x 0,5 m.
Sebelum digunakan, bak induk perlu disiapkan terlebih dahulu. Proses penyiapan meliputi
pengeringan, pembersihan, perbaikan (saluran pembuangan dan selang aerasi). Penyiapan
wadah pemeliharaan bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang optimal bagi induk ikan
lele dumbo untuk pemijahan serta menghilangkan atau mengurangi potensi serangan hama
atau penyakit. Wadah pemeliharaan disiapkan 1 hari sebelum induk ditebar. Pengeringan bak
dilakukan dengan cara membuang seluruh air yang ada di bak dengan membuka outlet
(saluran air keluar), kemudian dilakukan perbaikan terhadap kebocoran pada saluran
pembuangan serta merapikan instalasi udara (aerasi). Pembersihan bak dilakukan dengan cara
mencuci bak menggunakan sikat dan membilasnya dengan air hingga bersih. Pengisian air
dilakukan dengan cara memompa air dari bak penampungan air ke bak pemijahan sampai
mencapai ketinggian sekitar 25 30 cm.
Sebagai tempat atau media menempelnya telur, di dasar bak dipasang kakaban yang terbuat
dari ijuk. Ukuran kakaban disesuaikan dengan ukuran bak pemijahan. Dengan ukuran
kakaban yang digunakan 75 cm x 30 cm. Pada praktikum ini digunakan kakaban sebanyak 3
buah. Jika kurang, dikhawatirkan telur yang dikeluarkan ketika pemijahan tidak tertampung
seluruhnya atau menumpuk di kakaban, sehingga mudah membusuk dan tidak menetas.

Kakaban harus menutupi seluruh permukaan dasar bak pemijahan, sehingga semua telur lele
dumbo tertampung di kakaban.
3. Pemijahan secara alami.
Induk lele dumbo yang telah diseleksi kematangan gonad selanjutnya dipijahkan secara
alami. Induk tersebut dimasukan ke dalam bak pemijahan yang telah disiapkan. Induk akan
memijah setelah 8 12 jam setelah dilepaskan kedalam bak. Selama proses pemijahan
berlangsung dilakukan pengontrolan. Pada praktikum ini induk lele dilepaskan pada pukul
16.00 WIB ke dalam bak pemijahan yang telah diberi kakaban, sebagai substrad atau media
penempelan telur, dan pemijahan terjadi pada pagi harinya antara pukul 23.00-05.00 WIB.
Dari hasil pemijahan ini hanya 2 buah kakaban yang terjadi penumpukan menempelnya telur,
sedangkan 1 buah kakaban kosong. Hal ini dikarenakan pada saat penempatan kakaban di bak
pemijahan, hanya 2 kakaban yang berada di dasar wadah sedangan 1 buah kakaban lagi
terapung diatas permukaan air karena kurangnya diberi pemberat. Hal ini juga sesuai dengan
sifat dari telur ikan lele yang berada pada dasar wadah pemijahan.
Setelah pemijahan induk ikan lele segera diangkat dari bak pemijahan dan di timbang berat
induk betina untuk mengetahui fekunditas telur, selanjutnya induk dikembalikan ke kolam
pemeliharaan induk agar tidak mengganggu proses penetasan telur, hasil dari penimbangan
induk betina pasca pemijahan adalah 1,1 kg maka dapat diketahui berat telur = 1,2 1,1 kg =
100 gram. Kegiatan selanjutnya dilakukan penjarangan kakaban agar pada saat penetasan
tidak terjadi kepadatan larva pada wadah, pada tahap praktikum ini 1 buah kakaban
dipindahkan ke bak penetasan sedangkan satunya dibiarkan didalam bak pemijahan untuk
penetasan, artinya 1 bak penetasan diberi 1 buah kakaban yang dipenuhi telur. Selanjutnya
telur yang menempel pada kakaban ini dihitung agar diketahui jumlah total telur pasca
pemijahan dan jumlah telur yang terbuahi. Dari hasil praktikum pemijahan ini, didapat hasil
penghitungan telur pasca pemijahan dengan cara pengambilan sampling telur pada kakaban
adalah 35.273 butir dengan rumus : . maka dapat diketahui presentasi jumlah telur
(Fekunditas) hasil pemijahan ikan lele ini.
Telur yang menepel pada kakaban yang terbuahi dapat diketahui berwarna kuning cerah,
sedangkan telur yang tidak terbuahi berwarna putih, dari hasil pemijahan ini jumlah telur
yang terbuahi adalah 28.350 butir.
Embriogenesis adalah proses pembelahan sel dan diferensiasi sel dari embrio ikan yang
terjadi pada saat tahap-tahap awal dari perkembangan ikan hingga penetasan telur. Tahaptahap embriogenesis terdiri dari zigot, morula, blastula, grastula dan organogenesis. Zigot

akan mulai membelah oleh mitosis untuk menghasilkan organisme multiselular, waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan zigot ini adalah 15 menit (Anonim 2009). Berdasarkan hasil
praktikum pembentukan zigot berkisar 27 menit yang dimulai dari pukul 07.21 - 07.47 WIB.
Hasil dari proses ini disebut embrio. Morula adalah suatu bentukan sel seperti bola (bulat)
akibat pembelahan sel terus menerus dimana keberadaan antara satu dengan sel yang lain
adalah rapat, waktu yang dibutuhkan pada tahap ini 2 jam (Anonim 2009). Berdasarkan hasil
praktikum dibutuhkan waktu dari proses zigot keproses morula berkisar 97 menit yaitu dari
pukul 07.47 08.44 WIB. Tahap berikutnya, blastula adalah bentukan lanjutan dari morula
yang terus mengalami pembelahan. Tahap blastula ditandai dengan mulai adanya perubahan
sel dengan mengadakan pelekukan yang tidak beraturan. Berdasarkan hasil praktikum proses
morula keproses blastula berkisar 1 jam 7 menit yaitu dari pukul 08.44 10.14 WIB.
Selanjutnya, gastrula adalah bentukan lanjutan dari blastula yang pelekukan tubuhnya sudah
semakin nyata dan mempunyai lapisan dinding tubuh embrio serta rongga tubuh, waktu yang
dibutuhkan pada tahap ini 4 jam (Anonim 2009). Berdasarkan hasil praktikum dari proses
blastula keproses grastula berkisar 3 jam yaitu dari pukul 10.14 - 13.18 WIB. Tahap akhir
dari embriogenesis yaitu organogenesis yaitu proses pembentukan organ-organ tubuh pada
makhluk hidup (Anonim 2009).

Adapun kegunaan embriologi adalah memberikan

pengertian tentang organ dan jaringan yang berbeda, berkembang dari suatu sel tunggal
(zigot) dan membantu memberikan gambaran mengenai perkembangan normal dan
perkembangan abnormal. Berdasarkan praktikum terlihat perbedaan dan terjadinya
pembelahan setiap jamnya. Sehingga dapat membedakan perkembangan sel tunggal sampai
penetasan telur.
Berdasarkan praktikum ikan yang digunakan adalah ikan lele (Clarias sp.). Awal
perkembangan dimulai saat pembuahan (fertilisasi) sebuah sel telur oleh sel sperma yang
membentuk zigot (zygot). Gametogenesis merupakan fase akhir perkembangan individu dan
persiapan untuk generasi berikutnya. Proses perkembangan yang berlangsung dari
gametogenesis sampai dengan membentuk zygot disebut progenesis. Proses selanjutnya
disebut embriogenesis (blastogene) yang mencakup pembelahan sel zigot (cleavage), morula,
blastulasi, dan gastrulasi. Proses selanjutnya adalah organogenesis , yaitu pembentukan alatalat (organ) tubuh. Embriologi mencakup proses perkembangan setelah fertilisasi sampai
dengan organogenesis sebelum menetas atau lahir, berdasarkan hasil praktikum proses
penetasan terjadi pada keesokan harinya pada pukul 07.08 WIB.

Menurut Nagy (1981), cleavage yaitu tahapan proses pembelahan sel. Proses ini berjalan
teratur dan berakhir hingga mencapai balastulasi. Bisa juga dikatakan proses pembelahan sel
yang terus menerus hingga terbentuk bulatan, seperti bola yang di dalamnya berisi rongga.
Gastrulasi merupakan proses kelanjutan blastulasi. Hasil proses ini adalah terbentuknya tiga
lapisan, yaitu ektoderrm, modeterm dan entoderm. Organogenesis adalah tahapan dimana
terjadi pembentukan organ-organ tubuh dari tiga lapisan diatas, yaitu ektoderm, metoderm
dan entoderm. Setiap lapisan membentuk organ yang berbeda. Ektoterm membentuk lapisan
epidermis pada gigi, mata dan saraf pendengaran. Mesoderm membentuk sistem respirasi,
pericranial, peritonial, hati dan tulang. Sedangkan entoterm membentuk sel kelamin dan
kelenjar endokrin. Berdasarkan hasil praktikum pembentukan tulang belakang terjadi pada
pukul 19.14, untuk pembentukan sirip kaudal 19.40. Untuk pembentukan mata terjadi pada
keesokan harinya pada pukul 04.05WIB.
Adapun proses-proses secara terperinci setelah pembuahan terjadi adalah sebagai berikut
(Nagy 1981):
1. Proses cleavage; proses pembelahan zygote secara cepat menjadi unit-unit sel kecil yang
disebut blastomer.
2. Proses blastulasi; proses yang menghasilkan blastula, yaitu campuran sel-sel blastoderm
yang membentuk rongga penuh cairan sebagai blastokoel. Pada akhir blastulasi, sel-sel
blastoderm akan terdiri atas neural, epidermal,notokhordal, mesodermal,dan entodermal yang
merupakan

bakal

pembentuk

organ-organ.

3. Proses grastulasi; proses pembelahan bakal organ yang sudah terbentuk pada saat
blastulasi.

Bagian-bagian

yang

terbentuk

nantinya

akan

menjadi

suatu

organ.

4. Proses organogenesis; proses pebentukan berbagai organ tubuh secara berturut-turut, antara
lain susunan saraf, notochord, mata, somit, rongga kupffer, olfaktorin sac, subnotokhordrod,
linear lateralis, jantung, aorta, insang, infundibulum, dan lipatan-lipatan sirip.
Peristiwa penetasan terjadi jika embrio telah menjadi lebih panjang lingkaran kuning telur
dan telah terbentuk perut. Selain itu penetasan telur juga disebabkan oleh gerakan larva akibat
temperature, intensitas cahaya, dan pengurangan tekanan tekanan oksigen (Affandi 2000).
Kematangan gonad adalah tahapan tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah
memijah. Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan gonad.
Bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah kemudian akan
menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung sampai selesai. Menurut
Effendie (1997), umumnya pertambahan bobot gonad ikan betina pada saat stadium matang

gonad dapat mencapai 10-25% dari bobot tubuh dan pada ikan jantan 5-10%. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa semakin rneningkat tingkat kematangan gonad, diameter telur yang ada
dalam gonad akan menjadi semakin besar. kematangan seksual pada ikan dicirikan oleh
perkembangan diameter rata-rata telur dan melalui distribusi penyebaran ukuran telurnya.
Berdasarkan hasil praktikum telur yang dihasilkan mempunyai diameter yang hampir sama
pada umumnya.
Berdasarkan praktikum tidak terdapat perbedaan antara hasil yang diamati dengan
gambar literatur. Dapat dilihat pada tabel 1 yaitu tabel hasil embriogensis ikan lele, literatur
menunjukkan hasil yang sama dengan hasil yang diamati pada saat praktikum. selain itu
waktu yang dibutuhkan dalam proses perkembangan telur sampai telur menetas selama 25
jam. Menurut Effendi (2000), kisaran normal perkembangan telur sampai menetasnya telur
(18-20 jam). Hal ini berbeda dengan literatur yang ada, adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi proses embriogenesis antara lain suhu, intensitas cahaya, dan pengurangan
tekanan oksigen (Affandi 2000). Lamanya perkembangan telur ikan lele, dikarenakan
kurangnya intensitas cahaya, serta suhu. Selain itu, pada praktikum semua perlakuan
mengalami pemijahan baik itu perlakuan alami, semi alami, dan buatan

Sel sperma adalah sel padat yang tidak tumbuh atau membelah diri. Sel sperma hanya
bertujuan untuk membuahi sel telur. Jumlah Sperma yang dihasilkan oleh ikan jantang
beraneka ragam volum dan maupun kualitasnya, hal ini dipengaruhi oleh umur, ukuran dan
frekuensi pengeluaran sperma (Kazakou, 1981 dalam Sutrisna, 2002) selain tiu faktor
eksternal lain yang mempengaruhi adalah musim, frekuensi pemijahan, jumlah ikan betina
yang akan dibuahi dan konsisi pemijahan. Sperma bergerak dengan bantuan bagian ekornya.
Sperma yang berkualitas akan bergerak melawan aliran air.
Faktor luar yang yang berpengaruh terhadap penetasan telur ikan adalah suhu, oksigen
terlarut, pH, salinitas dan intensitas cahaya. Proses penetasan umumnya berlangsung lebih
cepat pada suhu yang lebih tinggi karena pada suhu yang tinggi proses metabolismo berjalan
lebih cepat sehingga perkembangan embrio akan lebih cepat yang berakibat lanjut pada
pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif. Namur demikian, suhu yang terlalu
tinggi atau berubah mendadak dapat menghambat proses penetasan dapat menyebabkan
kematian embrio dan kegagalan penetasan. Suhu yang baik untuk penetasan ikan 27 300C.

Kelarutan oksigen terlarut dan intensitas cahaya akan mempengaruhi proses penetasan.
Oksigen dapat mempengaruhi sejumlah organ embrio. Cahaya yang kyat dapat menyebabkan
laja penetasan yang cepat, kematian dan pertumbuhan embrio yang jelek serta figmentasi
yang banyak yang berakibat pada terganggunya proses penetasan.
Telur yang telah dibuahi berwarna kuning cerah kecoklatan, sedangkan telur yang tidak
dibuahi berwarna putih pucat. Di dalam proses penetasan telur diperlukan suplai oksigen
yang cukup. Untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen terlarut dalam air, setiap bak
penetasan di pasang aerasi.
Telur akan menetas tergantung dari suhu air bak penetasan dan suhu udara. Jika suhu semakin
panas, telur akan menetas semakin cepat. Begitu juga sebaliknya, jika suhu rendah,
menetasnya semakin lama. Telur ikan lele dumbo, ikanpatin dan bawal akan menetas menjadi
larva antara 18 24 jam dari saat pembuahan. Sumantadinata (1983) mengatakan faktorfaktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah :
1.Kualitas telur. Kualitas telur dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan pada induk dan
tingkat kematangan telur.
2.Lingkungan yaitu kualitas air terdiri dari suhu, oksigen, karbon-dioksida, amonia, dll.
3.Gerakan air yang terlalu kuat yang menyebabkan terjadinya benturan yang keras di antara
telur atau benda lainnya sehingga mengakibatkan telur pecah.
Menurut Suyanto (1999), lele sangkuriang mulai dapat dijadikan induk pada umur (8 9)
bulan dengan massa minimal 500 gram. Telur akan menetas dalam tempo 24 jam setelah
memijah dengan kemampuan memijah sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Menurut
Prihartono, dkk (2000), tanda-tanda induk jantan yang telah siap memijah diantaranya alat
kelamin tampak jelas (meruncing), perutnya tampak ramping, jika perut diurut akan keluar
spermanya, tulang kepala agak mendatar dibanding dengan betinanya, jika warna dasar
badannya hitam (gelap), warna itu menjadi lebih gelap lagi dari biasanya. Sedangkan untuk
induk betina alat kelaminnya bentuknya bulat dan kemerahan, lubangnya agak membesar,
tulang kepala agak cembung, gerakannya lamban, warna badannya lebih cerah dari biasanya.
Cara menyuntik

Tangkap induk lele dengan menggunakan seser induk. Kemudian seorang membantu

memegang induk lele yang hendak disuntik (ikan betina terlebih dahulu) dengan
menggunakan kain untuk menutup dan memegang kepala ikan dan memegang pangkal
ekornya.

Kemudian suntikkan hormon yang sudah disiapkan tadi ke dalam daging lele di bagian

punggung, setengah dosis di sebelah kiri dan setengah dosis disebelah kanan dengan
kemiringan jarum sunik 40 45. Kedalaman jarum suntik 1 cm dan disesuaikan dengan
besar kecilnya tubuh ikan.

Lakukan penyuntikan secara hati-hati. Setelah obat didorong masuk, jarum dicabut

lalu bekas suntikkan ditekan/ditutup dangan jari telunjuk beberapa saat agar obat tidak keluar.
Setelah dilakukan penyuntikan lalu indukan ikan lele tersebut dibawa ketempat lokasi
pemijahan untuk dilakukan proses perkawinan. Lokasi tempat pemijahan telah dipersiapkan
sehari sebelum dilakukan proses pekawinan. Pemijahan buatan menggunakan induk jantan 6
ekor dan induk betina sebanyak 8 ekor. dengan menggunakan bak sebayak 4 buah sebagai
tempat untuk pemijahan.
Pada pukul 17.00 WIB indukan ikan lele jantan dan betina dimasukkan kedalam bak. Dan
proses perkawinan pun akan terjadi pada malam hari. Keesokan harinya sekitar pukul 07.00
WIB indukan betina telah mengeluarkan ribuan telu-telurnya yang akan menetas sekitar (30
36) jam setelah pembuahan pada suhu (23 24) 0C. Dan telur-telur ikan lele pun telah
menetas. Apabila telah melewati batas waktu telur tersebut belum menetas, maka telur
tersebut dianggap gagal atau tidak terjadi proses pembuahan. Setelah itu angkat indukan ikan
lele jantan dan betina dan didiamkan selama 1 hari pada kolam yang terpisah antara induk
jantan dan betina sebulum dikembalikan ke kolam tempat indukan. Dilakukan pemisahan
setelah mengalami pemijahan dibak terpisah, karena setelah proses perkawinan indukan ikan
lele tersebut berbau amis dan apabila disatukan kedalam kolam indukan, indukan ikan lele
yang telah mengalami proses perkawinan akan terancam dimangsa oleh indukan yang
lainnya, maka dari itu dilakukan hal tersebut.
V.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari praktikum teknik pemijahan dan embriogenesis dapat
disimpulkan bahwa pengaruh teknik pemijahan yang berbeda terhadap embriogenesis ikan
lele (Clarias sp.) bergantung pada suhu, intensitas cahaya, serta pengaruh pengurangan

tekanan oksigen, sehingga akan dihasilkan telur dan larva yang berbeda pada setiap perlakuan
pemijahan.
Berdasarkan pada hasil penelitian yang telah lakukan mengenai embriogenesis telur ikan lele
(Clarias sp), bahwa kegagalan pada saat praktikum mingkin disebabkan karena kurang
kehati-hatian saat mengambil gonad dan mencapurkan keduanya. Hal ini ditunjukkan dengan
kematian semua telur ikan setelah di teliti hingga praktikum ini dapat dikatakan gagal.

Saran
Setelah mengambil kesimpulan dari penelitian ini, penulis menyarankan hendaknya para
praktikan lebih berhati-hati dalam bekerja dan dibutuhkan kekompakan antar kelompok agar
memperhatikan setiap perkembangan yang dapat terjadi di kelompok masing-masing.
Sehingga pada praktikum ini dapat menghasilkan hasil yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Embriogenesis. http://www.embriogenesis ikan lele.com. [13


2012].

Desember

Afandi R. & Tang U.M. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Laporan. Pekanbaru: Pusat Penelitian
Kawasan Pantai dan Perairan.
Efendi M.I. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Pustaka Nusantara.
Harijanto, Andre. 2006. Upaya Maskulinisasi Induk Lele Dumbo (Clarias sp.) yang Telah
Diovariektomi Parsial dengan Metode Implantasi Hormon 17-metiltestosteron. Skripsi.
Program Studi Teknologi dan Manajemen Akuakultur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.
Khairuman, dan Amri. 2008. Budidaya Lele Lokal Secara Intensif. Jakarta : Agromedia Pustaka.

KKP. 2011. Analisis capaian target produksi lele : produksi naik, capaian naik.
http://ww.kkp.go.id [24 Desember 2012]
Nagy A, Bercsenyi M. & Csenyi V. 1981. Sex reversal in corp Cyprinus caprio by oral
administration of metthytestosteron. Canadian Journal of Fisheries & Aquatic Science 38:
725-728.

Prihatman K. 2000. Proyek pengembangan ekonomi masyarakat pedesaan, budidaya ikan lele
(Clarias sp.). Jakarta : BAPPENAS
Sary M. 2010. Metode pemijahan ikan lele. http://www.metode-pemijahan.pdf [16 Desember 2012]
Sumantadinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-ikan Peliharaan di Indonesia. Bogor: Sastra
Hudaya
Sunarma, Ade. 2004. Peningkatan Produktifitas Lele Sangkuriang (Clarias sp.). Sukabumi:
Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai
Budidaya Air Tawar Sukabumi.
Rosyatin.2012. Budidaya Ikan Lele.http://www.aquaculture.co.id [27 Desember 2012]
Diposkan oleh Widi Indra di 4.55.00 PM
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Reaksi:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

My Facebook
Widi Indra | Buat Lencana Anda

Jumlah Pengunjung

157387

Fish
Windows Live Messenger + Facebook
Pengikut
apakah saya menarik?
Share It
Langganan
Pos
Komentar

Cari Blog Ini

Label

HOT NEWS!! (1)

ILMU PENGETAHUAN (8)

Mengenai Saya

Widi Indra
Lihat profil lengkapku

Arsip Blog

2015 (40)

2013 (99)
o Desember (4)
o November (33)
o Oktober (52)

Platyhelminthes

BAKTERI DAN PATOGEN (Laporan Praktikum Parasit da...

PARASIT DAN JAMUR (Laporan Praktikum Parasit dan ...

<!--[if !mso]>v\:* {behavior:url(#default#VML);}o\...

PENGAMATAN PARAMETER KUALITAS AIR PADA


AKUARIUM (...

PENGAMATAN PARAMETER KUALITAS AIR PADA


AKUARIUM (...

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false fa...

PENGAMATAN PARAMETER FISIKA, KIMIA, DAN BIOLOGI


PE...

SIKLUS FOSFOR DAN NITROGEN DI PERAIRAN TAWAR


(Mak...

SIKLUS FOSFOR DAN NITROGEN DI PERAIRAN TAWAR

SIKLUS FOSFOR DAN NITROGEN DI PERAIRAN TAWAR

SIKLUS FOSFOR DAN NITROGEN DI PERAIRAN TAWAR

<!--[if !mso]>v\:* {behavior:url(#default#VML);}o\...

PENGAMATAN PARAMETER FISIKA, KIMIA, DAN BIOLOGI


PE...

PENGAMATAN PARAMETER FISIKA, KIMIA, DAN BIOLOGI


PE...

PENGAMATAN PARAMETER FISIKA, KIMIA, DAN BIOLOGI


PE...

<!--[if !mso]>v\:* {behavior:url(#default#VML);}o\...

KASUS GENETIKA KUALITATIF PADA IKAN (Laporan Pra...

PEMIJAHAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus ) (Lapor...

PENENTUAN JENIS KELAMIN IKAN DAN GEN TUNGGAL


DOMIN...

PENENTUAN JENIS KELAMIN IKAN DAN GEN TUNGGAL


DOMIN...

PENENTUAN JENIS KELAMIN IKAN DAN GEN TUNGGAL


DOMIN...

<!--[if !mso]>v\:* {behavior:url(#default#VML);}o\...

GENETIKA POPULASI IKAN GUPPY HASIL BUDIDAYA (Lap...

PENGENALAN MORFOLOGI DAN ANATOMI REPRODUKSI


IKAN ...

Perubahan Kelamin pada Ikan Tetra Kongo (Micralest...

REPRODUKSI IKAN GUPPY DAN IKAN CUPANG DENGAN


PENGA...

ANALISIS SPERMA ikan

RESPIRASI (Laporan Praktikum Fisiologi Hewan Air)...

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL


LINGKUN...

OSMOREGULASI (Laporan Praktikum Fisiologi Hewan A...

KONTRAKSI OTOT JANTUNG PADA IKAN (Laporan Praktik...

PERTUMBUHAN IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) d...

PERHITUNGAN NILAI HEMATOKRIT PADA IKAN (Laporan P...

praktikum terumbu karang

praktikum mangrove

praktikum makrobentos

praktikum lamun

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS BIOLOGI LAUT DI PANTAI R...

KONDISI EKOLOGI PADA EKOSISTEM SUNGAI DAN LAUT


DI ...

ASPEK PENDUGAAN POPULASI (Laporan Praktikum Biolo...

KAJIAN ISI LAMBUNG IKAN NILA (Oreochromis niloticu...

ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)...

FILUM ECHINODERMATA

FILUM ARTHROPODA SUBFILUM CRUSTACEA

filum moluska

filum Platyhelminthes dan Aschelminthes

filum protozoa

FILUM PORIFERA DAN CNIDARIA

filum rotifera

filum anelida

o Mei (1)
o Maret (9)

2012 (11)

Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai