PADA KELINCI
A. Tujuan Praktikum
Untuk memahami gejala-gejala dan melakukan tindakan untuk menanggulangi
keracunan akut
B. Dasar Teori
Racun (toxicon) adalah zat atau berupa subtansi kimia yang dalam jumlah
relative kecil dapat membahayakan kesehatan atau kehidupan. Ilmu yang
mempelajari hal racun disebut toksikologi.
Keracunan adalah suatu keadaan adanya racun di dalam tubuh sedemikian
rupa sehingga menimbulkan gangguan kesehatan. Gejala keracunan dapat muncul
atau tidak tampak tergantung pada kerusakan yang ditimbulkan. Kerusakan yang
ditimbulkan ini dipengaruhi oleh jenis dan jumlah dosis racun, cara masuknya
racun dalam tubuh, organ sasaran dan lamanya terdedah atau terpejan. Gangguan
kesehatan yang timbul akibat dari pendedahan dalam waktu singkat disebut
keracunan akut dan juga pendedahan terjadi dalam jangka waktu lama, gangguan
kesehatan itu dikenal sebagai keracunan kronis.
Racun dapat digolongkan berdasarkan toksisitas atau daya meracuninya
menjadi racun kuat, sedang dan lemah. Berdasarkan sumber atau bidang
kegunaannya dapat dibagi menjadi racun dalam industi, pertanian, rumah tangga,
dan medik. Dapat pula racun dibedakan berdasarkan organ sasaran utama menjadi
hepatotoksin (racun dalam hati), nefrotoksin (racun pada ginjal), neurotoksin
(racun saraf) dan lain-lain.
Pengobatan keracunan akut biasanya berupa terapi untuk menolong fungsi
vital (tekanan darah dan respirasi), mencegah absorpsi racun lebih lanjut dengan
cara emesis atau memuntahkan kembali isi lambung, bilas lambung, pemberian
absorben untuk meningkat reaksi fisikokimiawi atau memberi pencahar atau
laksan. Jika tersedia antidotum khas atau spesifik dapat diberikan untuk melawan
efek racun secara farmakologik. Tindakan lain yang dapat dilakukan ialah
mempercepat ekskresi dengan cara diuresis paksa dengan memberi infuse cairan
fisiologis, dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan hemoperfusa.
Akhirnya rehabilitasi perlu dilakukan untuk menghilangkan atau mengurai
ketidakmampuan korban keracunan akibat gangguan yang timbul dari gangguan
emosional atau fisik. Selain itu dapat juga dilakukan pertolongan pertama pada
keracunan akut misalnya pada keracunan lewat permukaan tubuh seperti mata
atau kulit dilakukan usaha untuk menghilangkan racun yang berada pada
permukaan tubuh itu dengan cara mengguyur dengan air yang mengalir pelanpelan.
Pemuntahan kembali isi lambung ketika racun terlanjur tertelan dapat
dilakukan dengan cara menyentuh dinding belakang faring secara mekanik atau
dengan cara memberikan emetika atau obat pemicu muntah. Meskipun demikian
jika ada kontra indikasi misalnya korban tidak sadar, racun yang tertelan
merupakan hasil destilasi minyak bumi atau bahan korosif maka emesis tidak
boleh dilakukan.
Antidotum diberikan untuk melawan efek racun yang sudah terlanjur masuk
tubuh. Bahan ini dapat dikelompokkan berdasarkan cara kerjanya menjadi
antidotum fisik, kimiawi dan fisiologik. Antidotum fisik bekerja dengan cara
mengadopsi ikatan fisiko-kimiawi sehingga absorpsinya terhambat. Yang
termasuk dalam kelompok misalnya arang aktif, susu bubuk dan putih telur. Air
dapat digunakan sebagai antidotum fisik karena bekarja dengan cara
mengencerkan racun dalam saluran cerna dan menimbulkan diuresis. Antidotum
kimiawi bekerja dengan cara mengikat racun sehingga terhambat absorpsinya atau
tidak berefek. Kalium permanganat merupakan antidotum kimiawi untuk racun
alkoloida dan BAL atau dimercaprol untuk keracunan logam berat. Antidotum
fisiologik merupakan zat yang mempunyai efek fisiologik yang berlawanan
dengan efek racun penyebab keracunan misalnya atropine untuk keracunan
pilokarpin atau obat muskarinik lainnya.
Dalam praktikum kali ini digunakan sianida (CN) untuk menimbulkan
keracunan. Keracunan sianida merupakan racun kuat. Racun ini terdapat dalam
beberapa macam umbi misalnya ketela pohon tertentu atau kentang, biji buah apel
atau sejenis kacang. Pada keadaan sehari-hari racun sianida dalam dosis kecil
yang masuk tubuh akan segera diubah menjadi tiosinat dengan bantuan enzim
rhodanase. Jika racun tersebut masuk tubuh dalam jumlah besar maka kemampuan
detoksifikasi ini jauh terlampaui sehingga timbul gangguan kesehatan.
Sianida mempunyai kemampuan bergabung besar terhadap ion ferri (Fe
+++
yang juga banyak terdapat pada sitokrom oksidase yang berfungsi penting dalam
proses pemindahan oksigen ke dalam sel. Dengan terikatnya Fe
+++
pada sitokrom
oksidase oleh sianida maka enzim itu kehilangan fungsinya sehingga timbul gejala
kekurangan oksigen antara lain hiperkapenea, nyeri kepala, tremor, kejang dan
akhirnya mati.
Antidotum keracunan sianida yang digunakan dalam pratikum ini ialah
natrium tiosulfat (Na2S2O2) dan senyawa nitrit (amil nitrit, sodium nitrit 3% ).
Senyawa nitrit mengubah Fe
+++
(Hb) menjadi Fe
+++
c. Ingesti pada orang dewasa sebanyak 200 mg sodium atau potassium sianida
dapat berakibat fatal. Larutan dari garam sianida dapat diabsorpsi melalui
kulit.
b. Masuknya Senyawa Sianida ke Tubuh
Jalur masuk sianida atau bahan kimia umumnya ke dalam tubuh berbeda
menurut situasi paparan. Metode kontak dengan racun secara umum melalui cara
berikut :
a. Melalui mulut karena tertelan (ingesti).
Sebagian keracunan terjadi melalui jalur ini anak-anak sering menelan racun
secara tidak sengaja dan orang dewasa terkadang bunuh diri dengan menelan
racun. Saat racun tertelan dan mulai mencapai lambung, racun dapat melewati
dinding usus dan masuk kedalam pembuluh darah, semakin lama racun tinggal
di dalam usus maka jumlah yang masuk ke pembuluh darah juga semakin
besar dan keracunan yan terjadi semakin parah (Henry, 1997).
b. Melalui paru-paru karena terhirup melalui mulut atau hidung (inhalasi).
Racun yang berbentuk gas, uap, debu, asap atau spray dapat terhirup melalui
mulut dan hidung dan masuk ke paru-paru. Hanya partikel-partikel yang
sangat kecil yang dapat melewati paru-paru. Partikel-partikel yang lebih besar
akan tertahan dimulut, tenggorokan dan hidung dan mungkin dapat tertelan.
(Henry, 1997).
c. Melalui kulit yang terkena cairan atau spray.
Orang yang bekerja dengan zatzat kimia seperti pestisida dapat teracuni jika
zat kimia tersemprot atau terciprat ke kulit mereka atau jika pakaian yang
mereka pakai terkena pestisida. Kulit merupakan barier yang melindungi
tubuh dari racun, meskipun beberapa racun dapat masuk melalui kulit (Henry,
1997).
c. Mekanisme Sianida dalam Tubuh
Sianida bereaksi melalui hubungan dengan atom besi ferri dari sitokrom
oksidase sehingga mencegah pengambilan oksigen untuk pernafasan sel. Sianida
tidak dapat disatukan langsung dengan hemoglobin, tapi dapat disatukan oleh
intermediary compound methemoglobin.
Apabila methemoglobin tidak dapat mengangkut cukup oksigen maka
molekul hemoglobin menjadi tidak berfungsi. Produksi methemoglobinemia lebih
banyak racun yang masuk dalam tubuh, sebagian lagi tergantug pada berapa
banyak racun dalam tubuh yang dapat dikeluarkan. Selama waktu tertentu
pemejanan dapat terjadi hanya sekali atau beberapa kali (Henry, 1997).
Setelah terpejan sianida, gejala yang paling cepat muncul adalah iritasi
pada lidah dan membran mukus serta suara desir darah yang tidak teratur. Gejala
dan tanda awal yang terjadi setelah menghirup HCN atau menelan garam sianida
adalah kecemasan, sakit kepala, mual, bingung, vertigo, dan hypernoea, yang
diikuti dengan dyspnoea, sianosis, hipotensi, bradikardi, dan sinus atau
aritmea AV nodus (Meredith, 1993). Onset yang terjadi secara tiba-tiba dari efek
toksik yang pendek setelah pemaparan sianida merupakan tanda awal dari
keracunan sianida. Symptomnya termasuk sakit kepala, mual, dyspnea, dan
kebingungan. Syncope, koma, respirasi agonal, dan gangguan kardiovaskular
terjadi dengan cepat setelah pemaparan yang berat (Olson, 2007).
Dalam keracunan stadium kedua, tampak kecemasan berlebihan, koma,
dan terjadi konvulsi, kejang, nafas tersengal-sengal, kolaps kardiovaskular, kulit
menjadi dingin, berkeringat, dan lembab. Nadi menjadi lemah dan lebih cepat.
Tanda terakhr dari toksisitas sianida meliputi hipotensi, aritmia kompleks, gagal
jantung, udem pada paru-paru dan kematian (Meredith, 1993).
Warna merah terang pada kulit atau tidak terjadinya sianosis, jarang terjadi
dalam keracunan sianida. Secara teoritis tanda ini dapat dijelaskan dengan adanya
kandungan yang tinggi dari oksihemoglobin, dalam venus return, tetapi dalam
keracunan berat, gagal jantung dapat dicegah. Kadang-kadang sianosis dapat
dikenali apabila pasien memiliki bintik merah muda terang (Meredith, 1993).
e. Antidotum Na-Tiosulfat
Berupa hablur besar, tidak berwarna, atau serbuk hablur kasar.Mengkilap
dalam udara lembab dan mekar dalam udara kering pada suhu lebih dari 33C.
Larutannya netral atau basa lemah terhadap lakmus. Sangat mudah larut dalam air
dan tidak larut dalam etanol (Anonim, 1995).Sodium tiosulfat merupakan donor
sulfur yang mengkonversi sianida menjadi bentuk yang lebih nontoksik, tiosianat,
dengan enzyme sulfurtransferase, yaitu rhodanase. Tidak seperti nitrit, tiosianat
adalah
mengubahnya
menjadi
tiosianat
oleh
rhodanase,
walaupun
2.
inhalasi.
Profilaksis selama infus nitroprusida
Ekstravasasi dari mechlorethamin.
Ingesti garam bromat (Olson, 2007).
Kontraindikasi
Efek samping
Infus intravena dapat menyebabkan rasa terbakar, kejang otot dan gerakan
a. Berikan 12.5 g (50 mL dari 25% larutan) secara IV pada 2.5-5 mL/menit.
Dosis untuk pediatrik sebesar 400 mg/kg (1.6 mL/kg dari 25% larutan) sampai
50 mL. Setengah dosis awal sebaiknya diberikan setelah 30-60 menit bila
diperlukan (Olson, 2007).
b. Untuk profilaksis selama infuse nitroprusida. Tambahan 10 mg tiosulfat pada
tiap milligram nitroprusida pada larutan intravena dikatan dapat menjadi
efektif, namun data kompatibilitasnya tidak tersedia (Olson, 2007). 39
5. Formulasi
Parenteral, sebagai komponen pada paket antidot sianida, sodium tiosulfat,
25% larutan, 50 mL. juga tersedia dalam bentuk ampuldan vial yang berisi 2.5
g/10 mL atau 1 g/10 mL (Olson, 2007)
C. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan :
1. Spuit injeksi dengan jarumnya (steril)
2. Kapas, stetoskop, timbangan dan senter.
3. Stopwatch
Bahan yang digunakan :
1. Alcohol 70%
2. Larutan KCN 0,25 %
3. Larutan Na Tiosulfat 10%
D. Prosedur Kerja
1. Masing-masing kelompok mahasiswa bekerja dengan satu ekor kelinci.
2. Timbanglah dan amati serta catatlah sikap (hiperaktif, aktif, hipoaktif),
sianosis (pada telinga, mukosa mulut dan hidung), respirasi (frekuensi,
kualitas/tipe), denyut jantung, salvias, reflek-reflek terhadap stimuli dari luar,
tremor, kejang-kejang.
3. Suntiklah binatang secara intraperitoneal dengan KCN 5mg/kg BB
(pengambilan harus tepat dan amatilah hal-hal seperti pada control diatas
setiap menit, lebih kurang 5 menit)
4. Sesudah gejala-gejala keracunan nampak jelas, suntikkan Na tiosulfat 250
mg/kg BB intraperitoneal. Amati dan catat lagi hal-hal diatas.
5. Bila kurang dari 5 menit gejala-gejala belum berkurang, ulangi sekali lagi
pemberian Na tiosulfat. Amati terus sampai gejala-gejala keracunan hilang
atau mati.
E. Analisa Data
1. Pemberian Larutan KCN 5 mg/kg
1
0,21 kg 5 mg = 1,05 mg 4 = 0,25 ml
2.Pemberian Larutan Na Tiosulfate 250 mg/kg
0,21 kg250 mg=55 mg 2=110 mg
F. Hasil Praktikum
SEBELUM
PERLAKUA
Aktif
SETELAH
26
JANTUNG
79
kali/menit
kali/menit
SETELAH PEMBERIAN
PEMBERIAN KCN
ANTIDOTUM I
Memberikan
reaksi 1.Denyut
jantung:
kejang dan gatal gatal kali/menit
pada kelinci
SALIVA
REFLEK
SETELAHPEMBERIAN
ANTIDOTUM I
117 1.Denyut jantung: 90 kali/menit
2.Sikap: hipoaktif
2.Sikap: hipoaktif
G. Pembahasan
Pada praktikum toksikologi kali ini dilakukan percoban uji mengenai
keracunan akut dan antidotumnya dengan hewan coba kelinci. Larutan KCN
0,25% digunakan sebagai penyebab toksik dan antidotumnya adalah larutan
Natrium tiosulfat 10%.
DAFTAR PUSTAKA
(Online)
Tersedia