DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.1 LATAR
BELAKANG
. 4
1.2 RUMUSAN
MASALAH
. 4
1.3 MANFAAT
PENULISAN
.. 4
1.4 TUJUAN
PENULISAN
4
1.5 SISTEMATIKA
PENULISAN
. 4
BAB II
PEMBAHASAN
.. 5
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Makalah ini berjudul PURA PENTARAN AGUNG BESAKIH, yang di dalamnya
memuat tentang penataan bangunan pada pura penataran agung.
Tujuan penyusunan makalah ini agar bisa mengerti dan mendalami ilmu
tentang pelajaran-pelajaran budaya dan arsitektur peningalan leluhur. mulai
dari definisi pura agung, bagian-bangiannya sampai penataan pura yang
terdapat pada pura agung dan menyadari bahwa makalah yang kami susun
ini masih terasa belum sempurna. Kami mohon maaf dan mengharapkan
kritik serta saran demi penyempurnaan makalah ini selanjutnya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa
Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia.
Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung
Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di
Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu
Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang
di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari
seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk
dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang
terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis
upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek
Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama
simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan
Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara
dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan
Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi
tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, menurut kepercayaan Agama Hindu
Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki
keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung
tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam
Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau
Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung
dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang
bermakna filosofis.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah asal mulanya ada Besakih, sebelum ada apa-apa hanya terdapat kayu-kayuan serta hutan
belantara di tempat itu, demikian pula sebelum ada Segara Rupek (Selat Bali). Pulau Bali dan
pulau Jawa dahulu masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu panjang dan
bernama Pulau Dawa. Di Jawa Timur yaitu di Gunung Rawang (sekarang dikenal dengan nama
Gunung Raung) ada seorang Yogi atau pertapa yang bernama Resi Markandeya.
Beliau berasal dan Hindustan (India), oleh para pengiring-pengiringnya disebut Batara Giri
Rawang karena kesucian rohani, kecakapan dan kebijaksanaannya (sakti sidhi ngucap). Pada
mulanya Sang Yogi Markandeya bertapa di gunung Demulung, kemudian pindah ke gunung
Hyang (konon gunung Hyang itu adalah DIYENG di Jawa Tengah yang berasal dan kata DI
HYANG). Sekian lamanya beliau bertapa di sana, mendapat titah dari Hyang Widhi Wasa agar
beliau dan para pengikutnya merabas hutan di pulau Dawa setelah selesai, agar tanah itu dibagibagikan kepada para pengikutnya.
Sang Yogi Markandeya melaksanakan titah itu dan segera berangkat ke arah timur bersama para
pengiring-pengiringnya kurang lebih sejumlah 8000 orang. Setelah tiba di tempat yang dituju
Sang Yogi Markandeya menyuruh semua para pengiringnya bekerja merabas hutan belantara,
dilaksanakan
sebagai
mana
mestinya.
Saat merabas hutan, banyak para pengiring Sang Yogi Markandeya yang sakit, lalu mati dan ada
juga yang mati dimakan binatang buas, karena tidak didahului dengan upacara yadnya
(bebanten / sesaji)
Kemudian perabasan hutan dihentikan dan Sang Yogi Markandeya kembali lagi ke tempat
pertapaannya semula (Konon ke gunung Raung di Jawa Timur. Selama beberapa waktu Sang
Yogi Markandeya tinggal di gunung Raung. Pada suatu hari yang dipandang baik (Dewasa Ayu)
beliau kembali ingin melanjutkan perabasan hutan itu untuk pembukaan daerah baru, disertai
oleh para resi dan pertapa yang akan diajak bersama-sama memohon wara nugraha kehadapan
Hyang Widhi Wasa bagi keberhasilan pekerjaan ini. Kali ini para pengiringnya berjumlah 4000
orang yang berasal dan Desa Age (penduduk di kaki gunung Raung) dengan membawa alat-alat
pertanian selengkapnya termasuk bibit-bibit yang akan ditanam di hutan yang akan dirabas itu.
Setelah tiba di tempat yang dituju, Sang Yogi Markandeya segera melakukan tapa yoga semadi
bersama-sama para yogi lainnya dan mempersembahkan upakara yadnya, yaitu Dewa Yadnya
dan Buta Yadnya. Setelah upacara itu selesai, para pengikutnya disuruh bekerja melanjutkan
perabasan hutan tersebut, menebang pohon-pohonan dan lain-lainnya mulai dan selatan ke utara.
Karena dipandang sudah cukup banyak hutan yang dirabas, maka berkat asung wara nugraha
Hyang Widhi Wasa, Sang Yogi Markandeya memerintahkan agar perabasan hutan, itu dihentikan
dan beliau mulai mengadakan pembagian-pembagian tanah untuk para pengikut-pengikutnya
masing-masing dijadikan sawah, tegal dan perumahan.
Di tempat di mana dimulai perabasan hutan itu Sang Yogi Markandeya menanam kendi (payuk)
berisi air, juga Pancadatu yaitu berupa logam emas, perak, tembaga, besi dan perunggu disertai
permata Mirah Adi (permata utama) dan upakara (bebanten / sesajen) selengkapnya diperciki
tirta Pangentas (air suci). Tempat di mana sarana-sarana itu ditanam diberi nama BASUKI. Sejak
saat itu para pengikut Sang Yogi Markandeya yang datang pada waktu-waktu berikutnya serta
merabas hutan untuk pembukaan wilayah baru, tidak lagi ditimpa bencana sebagai mana yang
pernah dialami dahulu. Demikianlah sedikit kutipan dari lontar Markandeya Purana tentang asal
mula adanya desa dan pura Besakih yang seperti disebutkan terdahulu bernama Basuki dan
dalam perkembangannya kemudian sampai hari ini bernama Besakih.
Mungkin berdasarkan pengalaman tersebut, dan juga berdasarkan apa yang tercantum dalam
ajaran-ajaran agama Hindu tentang Panca Yadnya, sampai saat ini setiap kali umat Hindu akan
membangun sesuatu bangunan baik rumah, warung, kantor-kantor sampai kepada pembangunan
Pura, demikian pula memulai bekerja di sawah ataupun di perusahaan-perusahaan, terlebih
dahulu mereka mengadakan upakara yadnya seperti Nasarin atau Mendem Dasar Bangunan.
Setelah itu barulah pekerjaan dimulai, dengan pengharapan agar mendapatkan keberhasilan
secara spiritual keagamaan Hindu di samping usaha-usaha yang dikerjakan dengan tenaga-tenaga
fisik serta kecakapan atau keahlian yang mereka miliki. Selanjutnya memperhatikan isi lontar
Markandeya Purana itu tadi dan dihubungkan pula dengan kenyataan-kenyataan yang dapat kita
saksikan sehari-hari sampai saat ini tentang tata kehidupan masyarakat khususnya dalam hal
pengaturan desa adat dan subak di persawahan. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa
Besakih adalah tempat pertama para leluhur kita yang pindah dari gunung Raung di Jawa Timur
mula-mula membangun suatu desa dan lapangan pekerjaan khususnya dalam bidang pertanian
dan peternakan. Demikian pula mengembangkan ajaran-ajaran agama Hindu.