Arsitektur Vernakular Atoni
Arsitektur Vernakular Atoni
IV
III
ARSITEKTUR ATONI, MANGGARAI, DAN PAPUA
perkampungannya
di
puncakpuncak
kepala/pimpinan.
Sebuah
88
mempunyai sebuah rumah yang dikeramatkan yang disebut dengan rumah marga.
Kompleks perumahan raja/Usif terletak pada daerah ketinggian/bukit, sedangkan
perumahan rakyat biasa terletak pada daerah yang lebih rendah. Pemanfaatan
ruang luar/terbuka pada kompleks Sonaf lebih diutamakan pada kegiatan spiritual
(upacara-upacara adat). Hal ini di tandai dengan didirikannya tiangtiang tempat
persembahan.
Jenis bangunan dalam masyarakat Dawan dapat dibagi menjadi :
a. Rumah Rakyat kecil/ume to ana;
b. Rumah marga;
c. Rumah raja/sonaf (istana), dan
d. Pondok kerja
Pada rumah rakyat biasa maupun rumah Raja di bagian depannya biasa di
bangun/dilengkapi dengan Lopo (tempat pertemuan).
1. Rumah Rakyat Biasa (ume To Ana)
a) Tipologi Bangunan.
Denah rumah rakyat biasa berbentuk bundar. Luasnya
tergantung
pada
kebutuhan
serta
status
sosial
89
b) Pondasi (Baki).
Pondasi dibentuk dari batu kali ceper yang disusun
membentuk lingkaran sesuai dengan luasnya. Tinggi
pondasi dari permukaan tanah antara 20 cm40 cm.
Fungsinya untuk mencegah masuknya air pada saat
musim penghujan.
c) Lantai (Nijan).
Lantai bangunan terbuat dari tanah yang diurug diatas/di dalam fondasi yang sudah
berbentuk (bundar). Permukaan lantai kemudian diratakan.
d) Tiang (Ni)
Tiang ume to ana disini dibagi menjadi 3 bagian :
1. Ni Ana :
Tiang yang mengelilingi bangunan. Tiang ini ditanam sesuai dengan bentuk denah
(secara melingkar). Jumlah tiang tergantung dari luasnya. Jarak antara tiangnya
juga bervariasi, namun ratarata antara 1,52,5 m. Bentuk tiang diambil dari alam
dan langsung digunakan tanpa dibentuk lagi, hanya dirapikan. Tiang ini dipilih yang
agak lurus dan bercabang pada bagian atas yang mana nanti berfungsi untuk
menopang Neu Nono. Jenis kayu yang digunakan antara lain : kayu merah atau
kayu putih. Tinggi tiang Ni Ana, makin dekat dengan pintu makin tinggi hingga kira
kira 1,25 m, sedangkan yang terpendek yang terjauh dari pintu 60 80 cm.
Diameter tiang antara 1015 cm.
2. Ni Tetu (tiang loteng/pelindung).
Tiang ini dipakai sebagai tumpuan utama dari bangunan secara keseluruhan dan
juga sebagai tumpuan untuk meletakan balokbalok loteng. Tiang ini juga
meneruskan semua gayagaya vertikal ke tanah. Jumlah tiang ini adalah empat
buah dan di tanam dalam tanah sedalam 50 cm. Demikian pula halnya dengan Ni
Tetu ini, kayu yang digunakan harus dipilih yang bercabang pada puncaknya.
90
Fungsinya sebagai tumpuan balokbalok loteng. Pada saat sekarang ini dengan
peralatan yang cukup baik tiang yang bercabang ini diganti dengan bagian puncak
yang ditakik menyerupai cabang asli. Karena berfungsi sebagai penerima seluruh
gaya vertikal ke tanah maka konsekuensinya dimensi tiang harus cukup besar.
Bentuk tiang ini bulat dan berdiameter antara 2025 cm dan dipilih dari teras kayu
merah/kayu putih, asam dan lain sebagainya. Tinggi tiang rata rata berkisar antara
2,503,00 m.
3. Ni Enaf (Tiang Penopang Bangunan).
Tiang ini diletakan dibaian tengahatas balok loteng. Jumlahnya satu buah. Pada
bagian bawah diberi takikan untuk memasukannya dalam Tunis, yang kemudian
diperkuat dengan ikatan. Sedangkan bagian atas bercabang dan berfungsi untuk
menopang balok bubungan. Bentuk Ni Enaf bulat, tingginya 2,002,50 m.
e) Dinding (Niki).
Dinding dipasang melingkari tiang (Ni Ana). Beberapa kayu/bilah bambu melintang
terdiri dari dua jalur diikatkan pada kayu/bambu melintang sekaligus merupakan
perkuatan pada dinding. Tinggi dinding 0,500,80 m. Semakin dekat ke pintu
semakin tinggi, dindingnya sampai 100 cm. Bahan dinding dipilih dari beberapa jenis
bahan antara lain : papan, bambu cincang, batang pinang cincang, pelepah gewang,
kulit kayu dan sebagainya. Bagian bawah/ujung dinding dimuat diatas batu dengan
tujuan agar tidak mudah rusak akibat rayap atau air.
f) Atap (Tefi).
Atap berbentuk kerucut sebagai akibat dari bentuk denah dan rangka atap. Puncak atap
mempunyai dua bentuk yakni bulat (seperti sanggul wanita) dan pelana/palungan
terbalik. Bentuk bundar (denah) atau metaphor sebagai bentuk bulat/kerucut (atap)
mempunyai arti bentangan langit yang melingkupi bumi. Konstruksi rangka atap sendiri
terdiri dari :
91
92
g) Loteng (Tetu).
Loteng terdiri dari dua balok yang menumpu diatas empat tiang pendukung (Ni Tet )
yang disebut Suif. Diatas Suif diletakan melintang balok Nono, dan diatas Nono ini
diletakan secara melintang balok Tunis. Di atas Tunis in digelar bambu cincang/
batang pinang cincang.
h) Pintu (Enok).
Pintu terbentuk dari susunan papan, bilah bambu/gewang secara vertikal. Tingginya
1m1,25m, lebarnya 0,801,00 m. Pintu biasanya dibuka kedalam. Secara garis besar
pintu orang Dawan dibagi atas : Daun Pintu (Bena) yang berarti ceper/datar dan balok
diatas pintu (kbafnesu Fafof) dan balok dibawah pintu (Kbafnesu Penif). Pada kedua
balok ini dibuat berlubang sebagai tempat memasukan Utin (Lidah Pintu). Lubang
tersebut dinamakan Bola/Kona. Utin dan Bola melambangkan pria dan wanita. Selain
lubang tempat memasukan Utin tadi, juga terdapat lubang lain yang disebut Kona Falo
yaitu tempat memasukan Falo yang berfungsi sebagai kunci tradisional.
i) Tangga (Elak).
Tangga yang dimaksudkan disini adalah tangga yang digunakan untuk naik ke loteng
yang disebut Elak. Elak dapat dibagi menjadi 3 yaitu :
Elak Mabola ( tangga berlubang ), terbuat dari sebatang kayu yang dilubangi
empat sampai lima lubang.
Elak Seat yakni sebuah bambu yang ditakik 4 5 takikakan.
Elak Haunua, Terdiri dari dua batang bambu yang dihubungkan dengan
beberapa kayu pendek sekaligus sebagai anak tangga.
93
b) Pondasi (Baki).
Seperti halnya dengan Ume Kbubu, bahan pondasi berasal dari batu kali ceper
yang disusun setinggi 2040 cm dari permukaan dan membentuk lingkaran.
Fungsinya sama yaitu mencegah masuknya air hujan ke dalam ruangan.
c) Lantai (Nijan).
Setelah pondasi terbentuk, pada bagian tengah lingkaran yang sudah dibatasi
dengan batu kali dimasukan batu kerikil dan diatasnya diurug dengan tanah sampai
rata.
d) Tiang (Nono).
Tiang
struktur
pada
Sonaf
ini
dibagi
bagian
yakni
1. Ni Ana :
Tiang yang dipasang keliling bangunan. Jumlah tiang ini melambangkan sukusuku yang
berada di bawah naungan kepemimpinan raja yang mendiami Sonaf ini. Tinggi tiang dan
jarak antara tiang sekitar 150 cm. Tiangtiang ini diberi ukiran. Untuk bahan tiang ini
digunakan teras pohon kayu merah / teras kayu putih yang lurus. Pada bagian atas tiang
diberi takikan yang menyerupai cabang (Tatone).
94
95
F) Atap (Tefi)
Bentuk atap agak berbeda dengan Ume
Kbubu terutama pada bagian bubungan yang
lebih
panjang
dan
pada
bagian
depan
2. Non Loti :
Rangkaian batangbatang cemara. Ukuran ikatan lebih kecil dari Non Ni Ana.
Fungsinya sebagai tempat untuk mengikat Loti dan diikat melingkari ujungujung
balok loteng. Fungsinya selain sebagai pembentuk lingkaran juga untuk mengikat
ujungujung balok loteng.
4. Non Sene :
Berfungsi sebagai pemberi bentuk bagian atas.
96
5. Loti.
Loti ditempatkan di teritisan depan rumah. Fungsinya untuk menopang bagian teritis
depan rumah agar lebih tinggi dari bagian teritis yang lain. Jumlah Loti mencerminkan
jumlah sukusuku yang tergabung.
6. Suaf.
Ukuran Suaf pada Sonaf umumnya lebih besar dari Ume Kbubu. Diameter batang 7
10 cm. Bahan Suaf dari batangbatang cemara yang lurus utuh tanpa adanya
sambungan. Suaf diikat diikat diatas semua Nono. Pada bagian bawah diberi takikan
(Tkoma) yang fungsinya sebagai tempat untuk mengaitkan talitali yang diikatkan pada
Non Ni Ana.
7. Takpani :
adalah batangbatang kecil yang diikatkan melingkar diatas Suaf. Diameter Takpani
23 cm. Fungsi Takpani sebagai tempat mengikatkan bahan penutup atap (alang
alang / Hun).
g) Loteng.
Sistem konstruksi loteng sama dengan pada Ume Kbubu, tapi tiang penopang balok
bubungan tidak menopang pada balok loteng namun berasal dari tiang induk (Ni Ainaf)
yang ditanam dalam tanah.
h) Pintu.
Pintu asli untuk Sonaf terbuat dari dua lembar papan yang tingginya 2,00 m. Tebal
masingmasing papan sampai dengan pegangannya 15 cm. Tebal papannya sendiri
kirakira setengah dari tebal sampai dengan pegangannya. Lebar masingmasing
papan 50 cm. Pegangan pintu (Eka Kolok) masingmasing dua buah yaitu disebalah
kiri dan kanan. Pegangan pintu ini dibuat dengan cara memahat sebuah papan yang
97
tebal (15 cm) sampai terbentuknya pegangan tersebut. Jadi pegengan pintu ini
menyatu dengan pintu tanpa adanya paku, pasak, lem, tali pengikat dan sebagainya.
Pada permukaan pintu ini juga diberi Ukiran serta lubang yang tembus pada sisisisinya sebagai tempat untuk memasukan sejenis palang pintu tradisional (Hau Eka).
Pintu ini juga terbagi atas 3 bagian besar :
Daun pintu ( Bena ).
Balok di atas pintu ( Kbafnesu Fafof ).
Balok di bawah pintu (Kbafnesu Penif).
Pada bagian atas dan bawah balok ini diberi lubang (Bola) tempat memasukan lidah
pintu (Utin). Utin dan Bola berfungsi sebagai engsel pintu dan melambangkan pria dan
wanita.
3.
Rumah
Tempat
Pertemuan
Umum
(Lopo/Ume
Buat)
98
99
4.2
ARSITEKTUR MANGGARAI
Pola Perkampungan Dan Rumah Adat Masyarakat Manggarai
Kampung tradisional di Manggarai
berbentuk bundar dengan pintu
saling berhadapan. Bentuk bulat
memiliki
makna
kebulatan.
keutuhan
Bentuk
atau
kampung
Secara
dibagi
atas
mistis
tiga,
yaitu
kampung
paang
Komodo
di
Pulau
Komodo.
100
yang
berada
di
pusat
pusat
desa.
Rumah Gendang dan lingko adalah bentuk dari ikatan sosial tradisional yang
masih kuat untuk orang Manggarai. Tua golo dan juga Tua gendang mempunyai
hak sepenuhnya untuk tinggal di dalam rumah gendang.
Kepemilikan Tanah Adat (ulayat)dibagi menjadi tiga macam yaitu:
Lingko rame ;adalah tanah adat yang berbentuk sarang laba-laba yang
memiliki tempat pemujaan atau mempersembahkan sesaji pada pusat atau di
tengah-tengahnya.
Lingko Bon; bentuknya sama dengan lingko rame, hanya tidak memiliki tempat
pemujaan pada pusat tanahnya.
lingko neol ;tidak berbentuk sarang laba-laba.
Sistem Pemukiman Dan Budidaya
Sistem pemukiman sebagian masyarakat tradisional Manggarai, berkelompok dan
melingkar dan biasanya memilih puncak sebuah bukit sebagai pusat kampungnya. Di
pusat kampung yang selalu ditanam pohon beringin (Ficus benyamina) ini merupakan
tempat melaksanakan berbagai prosesi adat yang dilaksanakan di rumah pokok (rumah
adat) yang dinamakan rumah gendang. Dinamakan rumah gendang karena di tiang
utamanya digantungkan gendang 8 (delapan) buah pertanda arah angin yang dibunyikan
saat
upacara
adat
atau
pengumpulan
massa.
Sistem pemukiman ini masih ada dan dilakukan bagi tiap-tiap suku keturunan di
101
Manggarai walaupun sebagian besar penduduk tidak berada di wilayah pemukiman ini,
hanya para tokoh adat dan sebagian keturunannya. Sebagian besar penduduknya tinggal
di rumah-rumah modern yang dibangun di sepanjang jalan dengan kebun di bagian
samping atau belakang rumahnya.
Di
dalam
manggarai
kehidupan
yang
masyarakat
terjadi
adanya
budaya
dan
kepercayaan
namun
sama
secara
umum
yakni
mbaru
Niang supe,
Niang mongko,
Niang teruk,
Niang wesa,
Niang wa,
102
Niang dopo.
Perbedaan yang mendasar dari beberapa tipologi rumah tersebut adalah pada
ukuran bangunannya, dimana rumah adat lebih besar dari ukuran rumah tinggal
biasa. Selain itu dari segi tampilan rumah adat memiliki bidang atap yang tinggi
serta dilengkapi dengan ragam hias pada puncak atap (bubungannya), sedangkan
rumah tinggal biasa atapnya lebih rendah dan tidak memiliki ragam hias seperti
rumah adat.
Keberadaan beberapa jenis atau tipologi rumah diatas biasanya selalu disertai
pula dengan beberapa komponen pentingnya yang tidak dapat dipisahkan dari
sebuah kampung tradisional antara lain;
Secara tipologi rumah tradisional di manggarai dapat ditinjau dari tipologi bentuk,
fungsi dan langgam, dari tipologi fungsi
rumah
tradisional
manggarai
dapat
Di tinjau dari segi tipologi bentuk rumah tradisional manggarai awalnya hanya
terdapat 2 macam yakni rumah beratap kerucut dan tumah beratap pelana, namun
dalam perkembangannya dewasa ini di kenal ada atap berbentuk limas.
Dan di tinjau dari tipologi langgam, maka arsitektur rumah tradisional manggarai
mengenal langgam khas manggarai (atap kerucut yang menjulang tinggi) dan
103
tipologi ini memiliki keserupaaan dengan tipologi langgam sumbawa dan bugis
adalah mbau tekur yang memiliki atap berbentuk pelana. Namun walaupun secara
tipologi fungsi, bentuk, dan langgam rumah tradisional manggarai dimasa lampau
memiliki perbedaan akan tetapi secara structural memiliki keserupaan yaitu rumah
dengan memiliki tipologi berbentuk panggang atau rumah panggung.
memiliki
keserupaan
bentuk
yakni
104
ngaung (kolong rumah) digunakan sebagai tempat memelihara ternak dan untuk
menenun.
MATERIAL BANGUANAN
pada dasarnya material bangunan yang digunakan untuk bangunan di NTT khususnya
manggarai untuk tipologi fungsi yang satu dengan yang lain tidak ada perbedaan yang
significant, terkecuali penggunan material tertentu untuk rumah adat yang tidak
diperkenankan untuk rumah tinggal biasa dalam hal ini seperti kayu khusus yang
digunakan untuk tiang utama rumah adat.
105
Secara
umum
bahan
bangunan
yang
106
107
Suku bangsa Dani adalah sebutan bagi penduduk yang tinggal di Lembah Baliem
(Keturunan Moni, penduduk dataran tinggi Pinai, yang datang ke Lembah Baliem), yang
memiliki luas sekitar 1.200 Km2.
Dani adalah orang asing yang awalnya berbunyi Ndani, setelah ada perubahan fenom N
hilang menjadi Dani dan masuk ke pustaka etnografi.
Suku Dani lebih senang disebut suku Parim. Suku ini sangat menghormati nenek
moyangnya dengan penghormatan mereka biasanya dilakukan melalui upacara pesta
babi.
Bahasa Dani terdiri dari 3 sub keluarga bahasa, yaitu:
1. Sub keluarga Wano
2. Sub keluarga Dani Pusat yang terdri ataslogat Dani Barat dan logat lembah
Besar Dugawa, dan
3. Sub keluarga Nggalik Dugawa
Selain itu juga bahasa suku Dani termasuk keluarga bahasa Melansia dan bahasa
Irian (secara umum).
Sistem Religi / Kepercayaan
Dasar religi masyarakat Dani adalah sama uraian yang di atas yaitu menghormati roh
nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi.
Konsep kepercayaan / keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti
para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki).
Kekuasaan sakti ini antara lain :
1. Kekuatan menjaga kebun;
2. Kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala;
3. Kekuatan menyuburkan tanah.
108
Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang
yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan
untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri
perang.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga yaitu kelompok kekerabatan, paroh
masyarakat, dan kelompok teritorial.
a. Kelompok kekerabatan
1. Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga
luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama sama
menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima). Pernikahan orang
Dani bersifat poligami diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu satuan
tempat tinggal yang disebut siimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 4 slimo yang
dihuni 8 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang
suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem
Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang
menikah dengan kerabat suku Moety sehingga perkawinannya berprinsip eksogami
Moety (perkawinan Moety / dengan orang di luar Moety).
2. Paroh masyarakat. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul
(klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar)
3. Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa
Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas
yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki.
109
Moliage
Valuk
Seg
Wim
Kurok
1. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong
2. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang
dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku
3. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga
dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.
Suku Dani dipimpin oleh seorang kepala suku besar yaitu disebut Ap Kain yang
memimpin desa adat watlangka, selain itu ada juga 3 kepala suku yang posisinya berada
di bawah Ap Kain dan memegang bidang sendiri sendiri, mereka adalah :
-Ap.Menteg
-Ap.Horeg
- Ap Ubaik
110
Silimo biasa yang dihuni oleh masyatakat biasa dikepalai oleh Ap. Waregma. Dalam
masyarakat Dani tidak ada sistem pemimpin, kecuali istilah kain untuk pria yang berarti
kuat, pandai dan terhormat.
Pada tingkat uma, pemimpinnya adalah laki-laki yang sudah tua tetapi masih mampu
mengatur urusannya dalam satu halaman rumah tangga maupun kampungnya. Urusan
tersebut antara lain :
- Pemeliharaan kebun dan Bahi
- Melerai pertengkaran
Pemimpin federasi berwenang untuk memberi tanda dimulainya perang atau pesta lain.
Pertempuran dipimpin untuk para win metek. Pemimpin konfederasi biasanya pernah
juga menjadi win metek, meski bukan syarat mutlak, syarat menjadi pemimpin
masyarakat Dani :
- Pandai bercocok tanam
- Bersifat ramah dan murah hati
- Pandai berburu
- Memiliki kekuatan fisik dan keberanian
- Pandai berbicara
- Pandai berdiplomas
Sistem Ekonomi
Nenek moyang orang Dani tiba di Irian hasil dari suatu proses perpindahan manusia yang
sangat kuno dari daratan Asia ke kepulauan Pasifik Barat Irian Jaya.
Kemungkinan pada waktu itu masyarakat mereka masih bersifat praagraris yaitu
baru mulai menanam tanaman dalam jumlah yang sangat terbatas.
111
meter. Anyaman bambu ini telah diatur mengelilingi dinding interior rumah dan satu pintu
di bagian depan. Rumah tersebut memiliki dukungan empat tiang di tengah dan perapian
untuk mengejar keluar udara dingin di malam hari, juga merupakan tempat untuk
masak,spt.; hipere (ubi jalar), WAM (babi), dan sayuran. Lantainya dari tanahdan ditutupi
dengan rumput kering. Honai terdiri dari 2 lantai yaitu lantai pertama sebagai tempat tidur
dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan, dan mengerjakan kerajinan tangan.
Karena dibangun 2 lantai. Pada bagian tengah rumah disiapkan tempat untuk membuat
api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu untuk
kaum laki-laki (disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
112
Rumah Honai terbuat dari kayu dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami
atau ilalang. Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak memiliki jendela yang bertujuan
untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua.
113
Arsitektur tak selalu mewujud dalam bangunan yang besar, megah, mewah dan serba
wah. Bisa saja kecil, sederhana, tetapi memiliki kualitas yang baik.. Lebih dari itu,
arsitektur adalah wujud anasir hasil proses pergumulan, pemikiran, dan perenungan
arsitek untuk melahirkan ide arsitektural.
Sebutlah di daerah Wamena, Papua, ada gaya arsitektur tradisional yang begitu
terkenal, yaitu honai. Rumah khas masyarakat Papua ini berbentuk lingkaran, terbuat
dari kayu dan beratap jerami atau ilalang berbentuk kerucut. Satu keluarga bisa
memiliki beberapa honai yang berkumpul menjadi satu dan dibatasi pagar kayu di
sekelilingnya. Tiap rumah dihuni satu pria beserta istri-istri dan anak-anak mereka.
Rumah tradisional itu memiliki pintu yang kecil dan rendah, dan tak memiliki jendela
sebagai ventilasi udara. Komposisi demikian bertujuan untuk menahan hawa dingin
pegunungan Papua. Struktur rumah tradisinal tersebut tersusun atas dua lantai
lantai dasar sebagai tempat tidur dan lantai kedua untuk tempat bersantai, makan,
dan mengerjakan kerajinan tangan. Karena dibangun dua lantai, ia memiliki tinggi
kurang lebih 2,5 meter. Pada bagian tengah rumah, disiapkan tempat untuk membuat
api unggun untuk menghangatkan diri, sekaligus sebagai tempat untuk memasak.
Gaya arsitektur honai memang memiliki banyak kekhasan sebagai wujud cara arsitek
terdahulu
dalam
memandang,
memahami,
dan
mewujudkannya
dengan
114
material dibuat sedemikian efektif dan ekonomis, tanpa mengurangi kualitas dan nilai
fungsional suatu bangunan.
Dalam perkampungan Suku Dani biasanya terdapat sebuah tempat khusus untuk
mengadakan upacara yang berhubungan dengan perang. Tempat ini umumnya hanya
dipakai oleh kaum pria. Sementara kaum wanitanya memiliki tempat tersendiri, yang
disebut Eba-ae, tempat para wanita makan dan tidur dengan anak-anaknya. Eba-ae
ini juga menjadi tempat pria datang mengunjungi istri-istrinya.
4.4
Arsitektur Atoni
Arsitektur Manggarai
115
Kesimpulan
Arsitektur Nusantara merupakan julukan bagi arsitektur Indonesia secara
keseluruhan dari sabang sampai Marauke. Nusantara sendiri sebenarnya
merupakan kata majemuk dari bahasa Jawa Kuno (Kawi), terdiri dari kata
Nusa yang berarti pulau Antara yang berarti lain. Istilah ini biasa digunakan
dalam konsep kenegaraan Jawa, artinya dikenakan pada daerah di luar
pengaruh budaya Jawa.
Arsitektur Nusantara terdiri atas :
1) Arsitektur Klasik atau Candi
2) Arsitektur Islam
3) Arsitektur Kolonial
4) Arsitektur Vernakular
Karakteristik budaya Indonesia sendiri dipengaruhi oleh budaya bangsa
Austronesia yang merupakan cikal bakalnya, begitu pun arsitektur sebagai
produk budaya memiliki ciri dan karakter yang sama dengan austonesia dalam
materi maupun makna simboliknya.
116
4.5.2 Saran
Arsitektur Tradisional (Vernakular) sebagai warisan budaya leluhur memiliki
sejumlah pola pikir yang kompleks, dalam perwujudannya, sehingga dapat
menciptakan suatu filosofi Arsitektur dalam menjawab tantangan dan peluang di
era globalisasi.
Kesadaran untuk memanfaatkan arsitektur Vernakular sebagai sumber dan modal
desain merupakan suatu upaya meningkatkan kualitas wajah Arsitektur Nusantara,
Akan tetapi penerapan unsur lokal tersebut nampaknya masih mengalami
hambatan yang cukup berarti karena belum didukung oleh teori, metoda dan
bahkan pengaruh perkembangan Arsitektur Modern. Memang tidak dapat dipungkiri
117
Arsitektur
mengakibatkan
pudarnya
tata nilai
Arsitektur
Vernakular. Untuk itu sebagai warisan budaya leluhur harus dapat menyaingi
budaya modern, akibatnya jati diri lokal kita tidak akan lenyap apabila dalam setiap
desain arsitektur dapat menghadirkan nuansa lokal dalam tranformasinya, tidak
perlu semua unsur dihadirkan paling tidak sebagian bentuk, makna ataupun
langgamnya yang diterapkan, sehingga warisan budaya kita senantiasi hadir, hidup
dan berkembang dalam menjawab tantangan Globalisasi.
118
DAFTAR PUSTAKA
119