Anda di halaman 1dari 77

RUANG LINGKUP KAJIAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
B. Pengertian dan tujuan pendidikan Kewarganegaraan
1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
C. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan
1. Landasan Ilmiah (Keilmuan)
2. Landasan Hukum
BAB II. WARGANEGARA
A. Pengertian Warganegara
B. Karakteristik Warganegara
BAB. III. KEWARGANEGARAAN
A. Konsep Kewarganegaraan
B. Perspektif Teori Kewarganegaraan
C. Kewarganegaraan Yuridis- Sosiologis dan Kewarganegaraan
Formal dan Material
BAB. IV. WARGANEGARA INDONESIA
A. Siapakah Wrganegara Indonesia
B. Hak dan Kewajiban Warganegara Indonesia
C. Kewarganegaraan Indonesia
BAB. V. PERATURAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA
A. Sebelum berlakunya UU No. 12 tahun 2006
B. Sesudah berlakunya UU No. 12 tahun 2006
BAB. VI. HAK ASASI MANUSIA
A. Hak Asasi Manusia (HAM)
1. Pengertian HAM
2. Sejarah HAM
3. HAM di Indonesisa
B. Rule of Law
1. Pengertian Rule of Law
2. Unsur-Unsur Rule of Law

BAB. VII. DEMOKRASI


A. Pengertian Demokrasi
B. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
C. Pendidikan Demokrasi
D. Tujuan pendidikan Demokrasi
E. Strategi Pengembangan Pendidikan Demokrasi
F. Nilai-Nilai Demokrasi
BAB. VIII. WAWASAN NUSANTARA
A. Dasar Pemikiran
B. Pengertian Wawasan Nusantara
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara
1. Wilayah (Geografi/Teritori)
2. Geopolitik dan Geostrategi
3. Perkembangan Wilayah Indonesia dan Acuan Dasar
Hukumnya
D. Unsur-Unsur Wadah Wawasan Nusantara
1. Wadah Wawasan Nusantara
2. Isi Wawasan Nusantara
3. Tata Laku wawasan Nusantara (Segi Bathiniah dan
Lahiriah)
E. Implementasi Wawasan Nusantara
1.Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah
Pancasila
2. Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional
3. Penerapan Wawasan Nusantara
BAB. IX. KETAHANAN NASIONAL
A. Latar Belakang dan Landasan Ketahanan Nasional
1. Latar belakang Ketahanan Nasional
2. Landasan Ketahanan Nasional
B. Ruang Lingkup Ketahanan Nasional
1. Pokok-Pokok yang Mendasari Konsepsi Ketahanan
Nasional
2. Pengertian Ketahanan Nasional dan Konsepsi
Ketahanan Nasional
3. Hakekat Ketahanan Nasional dan Hakekat Konsepsi
Ketahanan Nasional
4. Asas-Asas Ketahanan Nasional
5. Sifat Ketahanan Nasional
6. Kedudukan dan Fungsi Konsepsi Ketahanan Nasional

C. Pengaruh HAM, Demokrasi, Lingkungan Hidup dan


demografi terhadap ketahanan nasional
1. Hak Asasi Manusia
2. Demokrasi
3. Lingkungan Hidup
4. Demografi
D. Pengaruh Aspek Ketahanan Nasional terhadap
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
1. Pengaruh Aspek Ideologi
2. Pengaruh Aspek Politik
3. Pengaruh aspek Ekonomi
4. Pengaruh Aspek Sosial Budaya
5. Pengaruh Aspek Pertahanan dan Keamanan
6. Lingkungan hidup
7. Demografi
8. Sumber daya manusia
9. HAM
10. Demokrasi

Strategi Kuliah: Ceramah, tanya jawab, diskusi, membahas kasus.


Objek Penilaian: UTS, UAS, Paper, Kehadiran, Keaktifan
Sistem Penilaian: Standar Universitas.
Daftar Bacaan
1. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi(Team Dosen
UGM, Editor: Drs. H.Kaelan, MS), Edisi I, 2002
2. Pendidikan Kewarganegaraan (Team Penyunting: Drs. H. Hamndan
Mansyur Tjiptadi, SE, SIP, MM dan Drs, H. AN. Sobana), Cetakan
ke IV, 2004.
3. Empat Pilar Berbangsa Dan Bernegara: Prof. Drs. CST Kansil, S.H.
dan Christine S.T Kansil, S.H, M.H
4. UUD 1945 dan Perubahannya.
5. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia (Dalam Hukum Nasional
Dan Internasional) oleh: Prof. H.A. Mansyhur Effendi, S.H., M.S.
6. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi) oleh: R. Abdoel Djamali,
S.H.
7. Kewarganegaraan Indonesia (Dari Sosiologis menuju Yuridis): oleh
Winarno, M.Si.
8. Pendidikan Kewarganegaraan (Paradigma Terbaru Untuk Mahasiswa,
oleh Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan
9. Tripama karya Mangkunegoro ke IV

MATERI AJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


BAB. I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
Keberadaan Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dalam tatanan
Kurikulum Pendidikan Tinggi dan SISDIKNAS untuk mengganti mata kuliah
Kewiraan pada masa era Orde Baru yang sering dianggap berbau militeristik.
Untuk itu agar anggapan itu diluruskan, maka perlu adanya reorientasi dan
restrukturisasi materi kurikulum mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
untuk Pendidikan Tinggi yang sesuai dengan tuntutan dinamika reformasi.
Adapun tujuan pembelajaran mata kuliahPendidikan Kewarganegaraan, agar
mahasiswa mampu memahami serta untuk menumbuhkan :
- Kesadaran berbangsaan dan bernegara
- Hak dan kewajiban sebagai warganegara
- Hak Asasi Manusia (HAM)
- Wawasan Nusantara
- Demokrasi dan Ipoleksosbudhankam
- Lingkungan hidup dan demografi (kependudukan)
- Kesadaran akan Ketahanan Nasional
- Nasionalisme, bela negara (heroisme) dan patriotisme

B. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang SISDIKNAS, Pasal 39 ayat (2)
dinyatakan bahwa : disetiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan
Agama.
Adapun materi pokok Pendidikan Kewarganegaraan adalah tentang hubungan antara warganegara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan
Bela Negara (PPBN:vide Ps26 dan Ps 30 UUD 45) bagi semua warganegara yang berdasar undang-undang jo Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No. 056/U//1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikiulum
Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa jo Keputusan
DIRJEN DIKTI No. 267/DIKTI/2000 yang menyatakan , bahwa Mata
Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan merupakan Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MKPK).
Yang dimaksudkan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian, yakni mata
kuliah yang diharapkan mampu memberi bekal untuk mengembangkan kepribadian/karakter mahasiswa dalam bidang moralitas/etika, agama, huma-

niora, nasionalisme, patriotisme maupun heroisme, baik dalam ranah kehidupan pribadi, sosial, berbangsa dan bernegara (nasional) maupun tata kehidupan internasional. Dalam mata kuliah ini lebih menekankan pada aplikasinya/prakteknya. Misal: prilaku jujur, bela negara bukan hanya sebagai life
service dan sekedar wacana saja, yang lebih penting menyatu dalam prilaku
sehari-hari.

2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


a. Tujuan Umum
Memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa
mengenai hubungan antara warga negara dengan negara , Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara (PPBN), serta pendidikan selanjutnya adalah Wajib
Militer (Wamil) untuk semua warga negara berdasarkan undang-undang
yang berlaku sebagai partisipasi dan keikutsertaan dalam pertahanan sipil
(hansip) dan sishankamrata (sistem keamanan rakyat semesta).

b. Tujuan Khusus :
1. Agar mahasiswa memahami berbagai masalah dalam peri kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mampu mengatasinya
segala persoalan dengan analisa kritis, komprehensif serta berani bertanggung jawab berdasarkan Pancasila, UUD 45, Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional.
2. Agar mahasiswa mempunyai sikap dan prilaku yang sesuai dengan nilainilai kejuangan, cinta tanah air serta berani dan rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
C. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan
1. Landasan Ilmiah (Keilmuan)
Dasar Pemikiran
Setiap warga negara dituntut untuk hidup berguna dan bermakna bagi
negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi dalam segala bentuk
perubahan dan perkembangan jaman demi masa depan bangsa dengan segala kemampuan yang dimiliki, seperti bunyi bait puisi Krawang Bekasi
karya Chairil Anwar, yang tertulis di tembok depan Monumen Jogya
Kembali yakni: kami sudah coba beri apa yang kami punya dan sudah
coba berbuat apa yang kami bisa, tapi kerja belum selesai, belum bisa
memperhitungkan 4-5 ribu nyawa ( Monumen Jogya Kembali).
Juga sesuai dengan adagium John F. Kennedy jangan bertanya pada negara, negara telah memberikan apa padamu, tetapi bertanyalah pada
dirimu sendiri apa yang telah kau berikan pada negara
Di Jawa filosofi rasa memiliki dan rasa rela berkorban (rumangsa handar-

beni lan melu hangungkrebi) di jelaskan oleh Sri Mangkunegara ke IV dalam bukunya Tripama. (uraikan sinopsisnya).
Sebagai perbandingan diberbagai negara juga diajarkan Pendidikan Umum/
Dasar (General Education/Humanities), diantaranya di :
1. Amerika Serikat: history, humanity, dan Philosophy.
2. Jepang: Japanese History, Ethics and Philisophy
3. Filipina: Philipino, Family Planing, Study of Human Right
Selain itu juga diajarkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education)

2. Landasan Hukum (Yuridis)


a. UUD 45
1. Pebukaan UUD 45, alinea ke dua dan ke empat yang memuat cita-cita
dan tujuan serta aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaannya.
2. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa, Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before the law) dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya), serta ayat (3) yang bunyinya: Setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
3. Pasal 30 ayat (1) menyatakan bahwa, tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib dalam usaha pembelaan negara.
b. Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara RI .
c. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang GBHN
d. Ketetapan MPR No VII/MPR/2001 yang dinyatakan masih berlaku terterdapat visi masa depan. Dalam visi masa depan tersebut karakter bangsa yang diidealkan adalah: terwujudnya bangsa yang religius, manusiwi, adil,bersatu, demokratis, sejahtera, maju, mandiri, baik dan
bersih
dalam penyelengggaraan negara (good gouverment).
Bangsa atau masyarakat yang demikian merupakan ciri dari masyarakat
madhani (civil soceity/demokrasi modern/masyarakat yang penuh kesetaraan)) di Indonesia (Handam Mansoer; 2005).

BAB. II. WARGANEGARA


A. Pengertian Warganegara
Istilah Warganegara dalam konteks kosa kata Bahasa Indonesia merujuk
pada terjemahan: kata Citizen (Inggris) dan Citoyen (Perancis).
Istilah Citizen secara etimologis berasal dari Romawi dari bahasa Latin, yak-

ni dari kata Civis/Civitas sebagai anggota atau warga dari suatu Cyte-State.

Kata ini dalam bahasa Perancis diistilahkan Citoyen yang bermakna warga
dalam kota (cite) yang memiliki hak-hak terbatas. Citoyen atau Citezen bermakna warga atau penghuni kota. Warga dan kota adalah kesatuan yang bila
ditelusuri secara historis adalah angggota dari suatu polis (negara)
Warga dari polis historis bermula pada masa Yunani Kuno, dimana warga
di Yunani dinamakan polite, sedang di Romawi warga dari republik disebut
civis atau civitae.
Dengan demikian konsep Polites (Yunani/Greek), Civis/ Civitas (RomawiLatin), Citoyen (Perancis) serta Citizen (Inggris) bermakna sama, yakni
menunjuk pada warga atau penghuni kota yang pada masa lalu yang merupakan komunitas politik. Jadi konsep warga bukan hal yang baru, karena
telah ada sejak pada masa Yunani Kuno dan Romawi yang dianggap tempat
asalnya demokrasi.
Dalam terminologi modern, istilah Citizen dalam kajian akademik berpengaruh luas dalam upaya untuk menjelaskan konsep warganegara maupun
kewarganegaraan.Menurut Tuner (1990), istilah Citizen (abad tengah/abad 15)
saling bertukar pakai dengan istilah Denizen. Kedua istilah itu secara umum
menunjuk warga atau penduduk kota, sedang orang-orang yang berada di
luar kota (di luar Citizen-Denizen) disebut Subject. Subject pada awalnya
adalah non warga kota yang terdiri dari anak-anak, wanita, budak dan penduduk asing.
Dalam Rationalisme Barat, konsep Citizen memiliki karakter yang unik,
karena amat dekat dengan gagasan tentang Civility (kesopanan) dan Civilation
(peradaban). Untuk menjadi warga kota (Citizen) orang luar perlu melakukan
proses Civilization atau menjadi Urban perlu ada proses Citinize bagi orang
tersebut. Diperlukan beberapa persyaratan seseorang agar dikategorikan sebagai
Citizen. Perkembangan konsep polites, civis, citoyen dan citizen yang pada
mulanya bersifat tertutup (eklusif) dengan hak-hak yang terbatas. Melalui perjuangan panjang akhirnya wanita dan anak-anak sudah dapat menjadi bagian dari
Civis dengan hak-haknya yang setara (equality).
Misal wanita sudah memiliki hak suara dalam pemilu. Di Australia pemilu pada tahun 1902, di Kanada pemilu tahun 1918 dan di Amerika Serikat pada
tahun 1920.
Sedangkan hak-hak anak sebagai warganegara baru berkembang pesat setelah
adanya Konvensi hak anak internasional.
Konsep mengenai Citizen, hak, kota, peradaban dan urban tak bisa dilepaskan dengan apa yang terjadi diYunani Kuno, yang memang di sanalah menja-

di kiblat dan cikal bakal (sumber acuan) berkembangnya konsep Citizen bagi
dunia Barat.

Pengertian warganegara harus dibedakan dengan penduduk (population) dan


rakyat (people).
Pengertian tentang warganegara telah dijelaskan di atas, maka perlu juga dijelaskan juga pengertian tentang penduduk dan rakyat.
Adapun pengertian penduduk dan rakyat, adalah:
- Penduduk(Population) adalah setiap orang yang menempati/bertempat tinggal
di daerah/wilayajh teretentu, yang identitasnya ditandai dengan kepemilikan
KTP (Kartu Tanda Penduduk). Penduduk dibedakan:penduduk yang ber KTP
daerah itu (mempunyai hak dan kewajiban, misal bayar pajak, ikut pilkada)
dan penduduk yang tidak ber KTP di daerah itu, yakni penduduk pendatang/
musiman, misal: WNA dan penduduk lain daerah.
- Rakyat (People), adalah semua warganegara yang mempunyai ikatan bathin
dengan bangsa dan negara itu, sehingga mempunyai kesanggupan dan kesediaan diri untuk bela negara, terutama mengahadapi musuh, baik yang berasal
dari dalam negeri maupun dari luar negeri (HGAT).
Rakyat adalah warganegara yang mempunyai rasa memiliki, mencintai serta
rela berkorban demi bangsa dan negaranya.
Dari sanalah akan tersirat nilai-nilai patriotisme, nasionalisme dan heroisme.
B. Karakteristik Warganegara
Karakteristik warganegara yang digambarkan oleh para filsuf tidak dapat
dipisahkan dari pengaruh sosial politik, latar belakang dan institusi, di mana
mereka hidup. Menurut Aristoteles warganegara adalah orang yang mampu
menjalankan dirinya dalam berperan di kehidupan politik, terkenal dengan
ucapanya bahwa manusia adalah:man as a political animal atau zoon politicon.
Menurut dia warganegara diklasifikasikan menjadi dua, yakni:
1). Warganegara yang menguasai atau memerintah (the ruling)
2). Warganegara yang dikuasai atau diperintah (the ruled)
Warganegara yang memerintah harus mempunyai kebajikan dan kearifan, sedangkan kebajikan dan kearifan tidaklah begitu penting bagi yang diperintah.
Semua warganegara adalah bebas, sederajad dan harus siap untuk memerintah
dan diperintah, maka semua warganegara harus mempunyai satu keuatamaan
dan kebajikan.
Karakteristik warganegara yang baik menurut Aristoteles adalah Civic
Virtue (keutamaan sipil) dalam dirinya. Menurutnya ada 4 komponen civic
virtue, yakni : 1). Temperance (kesederhanaan) termasuk self control dan
avoidance of extremes;2). justice (keadilan, 3), courage (keberanian dan
kete-

guhan) termasuk patriotism dan yang ke 4). Wisdom or prudence (kearifan


dan kesopanan) termasuk di dalamnya the capacity for judment (Heater,
2004).

Warganegara yang mempunyai klasifikasi demikian akan menjadi warganegara yang baik dan akan mampu memerintah secara baik dan serta dia juga
dapat diperintah secara baik pula. Sampai di situ akhirnya dia menyatakan
warganegara ada yang yang termasuk good citizen dan bad citizen. Good
citizen berbeda dengan good man, karena good citizen ditentukan oleh konstitusi.
Cicero (Romawi) menyatakan bahwa tugas warganegara Romawi untuk adalah untuk saling menghormati dan mempertahankan ikatan persaudaran bersama, dengan menggantikan semua konsep yang membedakan anggota ras
manusia. Warga hidup dalam arahan dan perlindungan hukum Romawi
dengan memiliki kewajiban dan hak yang sama. Warga ditur oleh hukum
bukan kaisar. Kewajiban warga adalah pelayanan militer dan membayar
pajak-pajak tertentu. Kewajiban khusus warganegara ideal adalah menempatkan civic vitue , pada masa Republik Romawi diartikan sebagai kemauan
untuk mendahulukan kepentingan publik (umum). Tradisi Republik dan kesediaan mendahulukan kepentingan umum, ini natinya menjadi dasar-dasar
bagi berkembangnya teori kewarganegaraan republikan.
Pemikiran abad 17 dan 18 seperti Thomas Hobbes, John locke dan
JJ. Rousseau membawa perubahan ke arah paham indivualisme liberal.
Mereka menganggap manusia adalah sebagai individu-individu dan masyarakat sebagai koleksi individu yang independen dan mengejar tujuan pribadi.
Manusia secara fundamental dianggap sebagai individu-individu yang memiliki hak dan kepentingan. Individu dipandang sebagai makhluk yang
egois, berpikir dan bertindak demi kepentingan semata-mata. Negara adalah
hasil kontrak antara individu, yang tugasnya menjamin pemenuhan hak dan
kepentingan warga (kontrak sosial).
Inilah pendapat mereka tentang warganegara:
1). Thomas Hobbes, berpendapat warganegara menunjuk pada manusia
dengan sifat politik yang fantatis, penuh nafsu, kepentingan dan kebebasan, Hobbes terkenal dengan ucapannya: homo homimhi lupus.
Rationalitas kepentingan pribadi secara sosial mendorong individu untuk mencari kedamaian dan keamanan diri. Sejauh kebebasannya terlindungi, induvidu akan puas dan bersedia menjadi subjek kedaulatan negara
2). John locke, berpendapat bahwa manusia dibekali dengan hak-hak alamiah
(natural right), sedangkan negara merupakan hasil persetujuan dari yang
diperintah (warga/rakyat). Berbeda dengan Hobbes yang mendukung

absolutisme negara, Locke berpendapat bahwa kedaulatan negara tidak


berdiri di atas civil soceity tetapi civil sosietylah yang membatasi negara.

3). J;J. Rousseou mengidealkan sebuah masyarakat di mana setiap individu


dapat mengembangkan kebebasannya dan pada saat yang bersamaan dapat
berprilaku sebagai anggota komunitas yang besar dan loyal.
Untuk mencapainya individu sebagai suatu warga suatu negara harus
tunduk pada hukum yang mengespresikan kehendak umum (volunte
general). Pemikiran Rousseau ini pada sisi lain mengembangkan pemikiran Kewarganegaraan Republik Klasik.
Dalam perkembangan konteporer para ahli berupaya mengembangkan sejumlah karakteristik warganegara yang sejalan dengan dunia modern.
Istilah civic virtue yang diatikan sebagai kebajikan kewarganegaraan yang
berupa kemauan dari warganegara untuk mengesampingkan kepentingan
pribadi (privat) untuk menuju ke kepentingan umum (publik).
Civic virtue terdiri atas Civic Dispotitionn and Civic Commitment (watak
dan komitmen kewarganegaraan). Watak kewarganegaraan merujuk pada
sejumlah kebiasaan dan sikap warga dalam menopang berkembangnya
fungsisosial yang sehat dan jaminan atas kepentingan umum dalam sistem demokrasi. Komitmen warganegara merujuk pada kesediaan secara
sadar untuk menerima, memegang teguh nilai dan prinsip demokrasi.
Thomas Lickona dalam bukunya Education for Character, menyatakan bahwa karakter mengandung tiga bagian yang saling berhubungan,
yakni moral knowing, moral feeling dan moral behavior. Oleh karena itu
karakter yang baik selalu mengandung tiga hal,yakni mengetahui hal yang
baik (knowing the good, menginginkan hal yang baik ( desiring the good)
dan melakukan hal yang baik (doing the good. Moral knowing mempunyai
indikator: moral awareness, knowing moral values, perspecive taking, moral reasoning, decision making dan self knowledge. Moral feeling memiliki indikator : conccience, self esteem, emphaty, loving the good, self
control dan humality, sedangkan Moral behavior/action mempunyai indikator: competence, will dan habit.
Kompetensi ideal seorang warganegara menurut Magaret Stimman
Branson, memiliki 3 kompetensi , yakni civic knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), civic skill (ketrampilan kewarganegaraaan) dan civic
dispotions (karakter kewarganegaraan). Menurut dia civic dispostion terdiri
dari karakter privat dan publik sebagai hal yang esensial bagi pengembangan demokrasi konstitusional. Karakter privat, misalnya : tanggung jawab,

moral, disiplin diri, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia


manusia, sedangkan karakter publik misalnya: taat terhadap aturan, sikap
kritis, sopan, kesediaan mendengar, kemauan bernegoisasi dan kompromi.
Dalam tulisannya yang berjudul: From Character Development and Demo-

cratic Citzenship, Character Count (2007), ia mengembangkan (6)enam pilar karakter bagi kewarganegaraaan demokrasi, yakni; 1). Trustworthines
(rasa percaya), 2) Respect (rasa hormat). 3). Responcibility (tanggung jawab), 4).Fairness (kejujuran), 5). Caring (kepedulian) dan Citizenship
(kewarganegaraan).
Cogan dan Derricot (1998) mengidentifikasi perlunya warganegara memiliki delapan (8) karakteristik yang dipandang sebagai cerminan wargnegara
ideal abad 21. Kedelapan karakteristik tersebut adalah:
1). Kemampuan untuk untuk melihat dan mendekati masalah sebagai anggota masyarakat global).
2). Kemapuan bekerja sama dengan yangh lain dengan cara yang kooperatif
dan menerima tanggung jawab atas peran dan tugasnya di dalam masyarakat.
3). Kemampuan memahami, menerima dan menghargai dan menerima perbedaan-perbedaan budaya.
4). Kapasitas berpikir dengan cara yang kritis dan sistematis.
5). Keinginan untuk menyelesaiakan konflik dengan cara tanpa kekerasan.
6). Keinginan untuk mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtifnya,
untuk melindungi lingkungan.
7). Kemampuan bersikap sensitif dan melindungi hak asasi manusia, misalnya hak wanita, hak etnis minoritas dan hak-hak yang lainnya.
8). Keinginan dan kemampuan untuk ikut serta dalam politik pada tingkat
lokal, national maupun internasional.
Senada dengan karakter tersebut di atas, Louise Douglas dalam bukunya
Global Citizenship (2002) juga memandang warganegara global sebagai
orang yang:
1). Menyadari dunia secara luas dan mempunyai perasaan sendiri sebagai
warganegara.
2). Pengakuan terhadap nilai-nilai keberagaman.
3). Memiliki satu pemahaman bagaimana dunia bekerja secara ekonomis,
politis, sosial, kultural, teknologi dan lingkungan.
4). Menolak ketidakadilan sosial.
5). Berpartispasi dan berperan dari tingkat lokal sampai global.

6). Memiliki kemampuan untuk bertindak dan membuat dunia sehingga


sebagai tempat yang patut.
7). Bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan mereka.

BAB. III. KEWARGANEGARAAN


A. Konsep Kewarganegaraan
Warganegara dan kewarganegaraan merupakan dua hal yang berkaitan.
John J Cogan dan Ray Derricott membuat definisi kedua hal tersebut secara
berkesinambungan bahwa: Warganegara adalah anggota syah dari suatu
masyarakat, sedang kewarganegaraan adalah seperangkat karakteristik dari
seorang warganegara. Dalam definisi lain dikatakan, bahwa Kewarganegaraan merupakan keanggotaan dalam komunitas politik (yang dalam sejarah perkembangannya di awali pada negara kota polis, namun sekarang
telah berkembang pada keanggotaan suatu negara). Kewarganegaaan membawa implikasi pada kepemilikan hak untuk berpartisipasi dalam politik.
Orang yang telah menjadi dan memiliki keanggotaan penuh disebut Citizen.
Berdasarkan pendapat Roger M Smith, kewarganegaraan dipahami:
1). Sebagai hak yaitu hak politik untuk berpartisipasi dalam proses pemerintahan.
2). Sebagai status hukum yang secara syah diakui sebagai anggota dari komunitas politik negara yang berdaulat.
3). Keanggotaan dari sustu komunitas, kewarganegaraan menunjuk pada asosiasi/keterikatan orang tidak hanya pada negara, tetapi juga komunitas lain
(keluarga, klub, universitas dan komunitas politik yang lebih luas lagi);
4). Seperangkat tindakan, artinya kewarganegaraan tidak hanya mengimplikasikan adanya keanggotaan, tetapi juga ketentuan-ketentuan dan prilaku
warganegara. Kewarganegaraan menunjuk pada seperangkat tindakan.
Handbook: Making Sense of Citizenship, menyatakan bahwa konsep kewarganegaraan memiliki arti sebagai berikut:
Kewarganegaran mencakup: 1). Keanggotaan yang dengannya terdapat hak
dan kewajiban terhadap komunitas, 2). Tindakan dalam kehidupan dan ke
3). Kewarganegaraan mencakup pula aktivitas membantu manusia menjadi
warganegara yang aktif, terbuka dan bertanggung jawab.
Menurut Bryan S Turner, kewarganegaraan merupakan seperangkat praktik
atau tindakan yang mencakup yudisial, politik, ekonomi dan budaya yang
dapat menentukan seseorang sebagai anggota masyarakat yang kompeten,

sebagai konsekuensinya membentuk aliran sumber daya kepada orang-orang


dan kelompok-kelompok sosial.
Ada tiga (3) hal yang bisa disimpulan dari definisi ini, yakni:
1). Kewarganegaraan bukan semata-mata hak/status legal formal, tetapi suatu
identitas yang beragam.
2). Kewarganegaraan tidak pasif, tetapi bersifat aktif (bahwa hak itu perlu

diperjuangkan).
3). Kewarganegaraan bukan hanya berhubungan dengan negara/nation,
tetapi terkait dengan banyak ragam komunitas sebagai identitas seseorang
, misal komunitas atas dasar region, etnik, sex, bahasa, agama dan kelompok sosial lainnya.
Cogan dan Derricott (1998) mengidentifikasi adanya 5 (lima) atribut kewarganegaraan ( The five attributes of citizenship), yakni:
1). Sense of identity (perasaan identitas)
2). The enjoyment of certain rights (pemilikan hak-hak tertentu)
3). The fulfiment of corresponding obligations (pemenuhan kewajibankewajiban yang sesuai)
4). A degre of intterest ang involvement in public affair (tingkat ketertarikan dan ketrelibatan dalam masalah publik)
5). An acceptance of basic social values (penerimaan terhadap nilai-nilai
sosial dasar)
Dari pelbagai pendapat tentang kewarganegaraan kiranya dapat disimpulkan, bahwa kewarganegaraan menunjuk pada status seseorang sebagai
anggota dari suatu komunitas bahkan beragam komunitas.
Kepemilikan akan status tersebut menyiratkan bahwa terkandung di dalamnya seperangkat karakteristik. Identitas, hubungan dengan warga lain dan
komunitas, hak dan kewajiban (tanggung jawab), dan prilaku/tindakan
hidup yang diperjuangkan.
Dalam rumusan yang lebih umum, kewarganegaraan adalah bentuk identitas yang memungkinkan individu-individu merasakan makna kepemilikan, hak dan kewajiban sosial dalam komunitas politik (negara); hubungan antara rakyat dengan negara berdasarkan asas resiprokalitas (proporsional) antara hak dan kewajiban.
Melalui penulusuran sejarah Derek Heater sampai pada simpulan, bahwa
Kewarganegaraan adalah suatu bentuk identitas politik dari seorang individu. Bentuk identitas sosial politik itu berbeda-beda tergantung pada
sistem politik yang dianutnya , dimana warga negara itu berada.
Heater menemukan adanya 5 (lima) bentuk , yakni sistem feodal (feudal),
monarkhi (monarchical), tirani (tyranical), nasianal (nasional) dan sistem

kewarganegaraan (citizenship).
1). Dalam sistem feodal, hubungan warganegara dengan komunitas politiknya bersifat herarkis, artinya status hubungan itu ditentukan berdasarkan keterikatan antara budak dengan sang majikan/tuan yakni raja.
tuan/raja, sedangkan raja memberikan bentuk perlindungan.
2). Dalam sistem kerajaan (monarkhi), raja sebagai penguasa tunggal yang

mempunyai kedudukan/kekuasaan atas warganya. Warga diharapkan


menunjukan semangat kesetiaan/loyalitas kepada raja yang dianggap
sebagai lambang negara. Kesanggupan yang diharapkan dari warganya paling tidak adalah kepatuhan yang bersifat pasif, karena pada dasarnya hal itulah yang dibutuhkan/dikehendaki oleh sang raja.
3). Sistem tirani ditunjukkan dengan bentuk pemerintahan otoriter termasuk totaliter dan keditaktatoran. Dalam sistem ini, kedudukan warga
jauh lebih rendah karena diakibatkan dari tujuan yang kuat akan dukungan terhadap rezim penguasa. Pandangan politiknya adalah pendapat yang dihidupkan oleh penguasa dan satu-satunya kemampuan
warga dibutuhkan adalah kemampuan untuk terlibat dalam pengerahan
dukungan terhadap sang tiran tersebut.
4). Dengan sistem nation, mereka mengakui stausnya sebagai anggota dari
suatu kelompok budaya. Perasaan yang berhubungan dengan bentuk
identitas ini adalah kecintaan pada bangsa dan kesadaran pada badaya.
Dengan demikian pengetahuan tentang apa yang telah dibuat dan yang
masih dijalankan agar negara menjadi besar adalah kompensasi yang
dibutuhkan.
5). Pada sistem kewarganegaraan, hubungan warga tidak seperti yang terdapat dalam sistem feodal, monarkhi, tirani dan nasional melainkan
berhubungan dengan gagasan tentang bernegara. Identitas warga dibadikan di dalam hak-hak yang diakui oleh negara dan kewajibankewajiban yang dijalankan oleh warganegara. Semua warganegara
memiliki status yang setara. Warganegara yang baik adalah mereka
yang merasakan kesetiaan pada negara dan memiliki rasa tanggung
jawab dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sebagai konsekuensinya
mereka butuh ketrampilan dan kecakapan yang berkaitan dengan partispasinya selaku warganegara.

B. Perspektif Teori Kewarganegaraan


Terjadi perbedaan pendapat mengenai konsep kewargnegaraan sesuai dengan perspektifnya masing-masing, diantaranya:
1). Pendapat Ronald Beiner dalam bukunya Theorizing Citizenship

(1995), mengemukakan adanya 3 teori kewarganegaraan, yakni:


liberal, communitarian dan republican.
2). Herman Van Gunstreren dalam Sapriya (2006) mengemukakan ada 3
Teori dasar kewarganegaan yang berkembang dan menjadi kajian
ilmiah, yakni: liberalisme, komunitarianisme dan republikanisme.
3). Derek Heater dalam bukunya: A Brief History of Cizenship (2004)

menyatakan bahwa berdasar sejarah perkembangannya, teori kewarganegaraan dibedakan antara tradisi republikan (the civic tradition)
dengan tradisi liberal (liberal tradition).
Sejalan dengan pendapat umum, maka dapat disimpulkan bahwa teori
kewarganegaraan mencakup: liberal, komunitarian dan republikan.
1). Teori Kewaganegaraan liberal (Liberalism)
2). Teori Kewarganegaraan komunitarian (Communitarianism)
3). Teori Kewarganegaraan Republikan (Republicanism)

1). Teori Kewarganegaraan Liberal (Liberalism)


Teori ini muncul pada abad 17 dan 18 serta berkembang kuat pada
abad 19 dan 20. Teori ini tentang kewarganegaraan dimulai dari pandangan
yang bersifat individualistis. Teori ini bersumber dari ideologi individualisme yang berpahamkan kebebasan individu terutama kebebasan dari
campur
tangan negara dan masyarakat.
Teori ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang otoritas
untuk menentukan pilihan dan hak. Berdasarkan aksioma teori ini memandang warganegara secara individual memaksimalkan keuntungan yang dimilikinya , yakni menentukan pilihan tindakan yang akan mengantarkan
pada hasil tertinggi dikalikan peluang situasi yang akan terjadi.
Perspektif ini bercirikan penekanan pada individu, dan kapasitas individu
untuk mengubah identitas kelompok atau kolektif, untuk menghancurkan
belenggu identitas pasti (status sosial, hirarkis, peran tradisional), untuk
menentukan ulang tujuan seseorang. Teori kewarganegaraan liberal menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak.
Peter H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002) menyatakan bahwa pengaruh besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara sistematis melalui
John locke dan J S Mill. Menurut Locke individu dianugerahi dan dihiasi
oleh Tuhan dengan hukum alam dan berupa hak-hak alamiah. Individu sebelumnya hidup dalam alam alamiah, kemudian masuk dalam kehidupan
masyarakat politik. Teori Locke tentang kepemilikian (Lockes theory of
property) menyebutkan ada tiga (3) elemen sentral bagi kewarganegaraan

liberal. Pertama, individu dapat menciptakan kekayaan atau kepemilikan


dan menambah dominasi kepemilikan itu melalui kerja. Kedua, perlidungan terhadap kepemilikanmerupakan fungsi utama hukum dan pemerintahan
dan Ketiga, pelaksanaan yang sah menurut hukum atas hak-hak kepemilikan
secara alamiah mengasilkan ketidakmerataan yang adil. JS Mill berpendapat
bahwa individualitas dan kepentingan diri merupakan sumber bagi kemajuan dan kebaikan sosial. Menurut Peter H Suchuk ada 5 Prinsip
Dasar

Teori Liberal Klasik. Pertama, mengutamakan kebebasan individu yang


dipahami sebagai kebebasan dari campur tangan negara, Kedua, proteksi
yang luas terhadap kebebasan berpikir, berbicara dan beribadah, Ketiga,
kecurigaan yang dalam terhadap kekuasaan negara dalam mengatasi individu, Keempat, pembatasan kekuasaan negara pada bidang atau aktivitas
individu dalam berhubungan dengan yang lain, serta Kelima, anggapan
yang kuat dapat dibantah mengenai kebaikan hati dalam hal masalah pribadi seta bentuk lain yang mendukung pribadi.
Sedangkan salah satu teori liberal modern, adalah yang dikemukakan oleh
TH Marshall dalam bukunya Citizenship and Social Class (1950), menurutnya kewarganegaraan diartikan sebagai status yang dianugerahkan bagi
mereka sebagai anggota komunitas yang mencakup hak sipil, hak politik,
dan hak sosial. Jadi kewarganegaraan di dasarkan atas elemen hak dan berdasar ini terdapat bentuk kewarganegaraan sipil, kewarganegaraan politik
dan kewarganegaraan sosial. Kewarganegaraan sosial muncul di abad 19,
misal hak mendapat kesejahteraan dan keamanan. Hak sosial menjadi
unsur yang penting untuk menggerakan hak sipil dan politik bagi mereka
yang dimarjinalkan dan dalam situasi yang tidak beruntung. Menurut dia
hak merupakan hal yang penting dan ketiadaan hak menjadikan warganegara tidak dapat berperan aktif secara efektif. Baginya kewarganegaraan
(hak) dapat memperbaiki konflik dalam kelas di masyarakat.

2). Teori Kewarganegaraan Komunitarian (Communitarianism)


Teori ini sangat menekankan pada fakta bahwa setiap orang, warganegara
perlu memiliki sejarah perkembangan masyarakat. Individualitas yang dimiliki
warganegara berasal dan dibatasi oleh masyarakat (Supriya, 2007).
Hal itu berdasar keyakinan teori ini bahwa individu dibentuk oleh masyarakat.
Perspektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis atau kelompok
budaya, solidaritas diantaranya orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi
yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orangorang yang dibiarkan teratomisasi oleh kecenderungan yang mengakar pada

masyarakat liberal. Komunitarian menekankan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan komunitas
sebagai kesatuan dan bahwa individu terbentuk dari budaya-budaya dan nilainilai komunitas. Pada abad 20 muncul teori kewarganegaraan komunitarian
sebagai reaksi dari teori kewarganegaraan liberal, kalau teori kewarganegaraan
liberal yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan bebas individu, sedangkan teori ini berpendapat justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai keyakinan- keyakinannya.
Komunitarianisme menekankan pentingnya komunitas dan nilai sosial
bersama. Pokok-pokok ajaran komunitarianisme antara lain, adalah sebagai
berikut:
1). Komunitas adalah arbiter (yang berkewajiban) dalam kehidupan bersama;
2). Nilai-nilai sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama;
3). Nilai-nilai sosial tersebut pada gilirannya merupakan croos societal moral
dialoge.
Dalam masyarakat perlu pembentukan konsensus bersama dan nilai-nilai
moral merupakan dasar ertimbangan bagi pembentukan nilai sosial bersama
sebagai konsensus. Tanpa nilai-nilai sosial dan konsensus, kehidupan bersama
akan hancur.
Keputusan atas nilai-nilai yang disepakati menjadi milik bersama dan secara
sukarela merupakan sustu keteraturan sosial. Konsensus ini bisa terjadi di tingkat lokal (kelompok), national (nation) maupun kemungkinan berlaku pada
masyarakat global.

3). Teori Kewarganegaraan Republikan (Republicanisme)


Teori ini berpendapat bahwa masyarakat sebagai komunitas politik
adalah pusat kehidupan politik (sapriya, 2006). Kewarganegaraan republikan
menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic bonds) suatu hal yang berbeda
dengan ikatan-ikatan individual (tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok
(tradisi komunitarian). Sementara kewarganegaraan liberal lebih menekankan
pada hak (right), sedangkan kewarganegaraan republikan menekankan pada
kewajiban (duty) warganegara.
Kewarganegaraan Republikan merupakan bentuk kewarganegaraan
yang paling tua dari pada komunitarian, yang menyatakan pentingnya partisipasi warga dalam pengambilan keputusan di wilayah republik, bukan hanya
sebagai hak dan kewajiban tetapi sebagai esensi dari adanya ikatan sipil.
Ia menempatkan tanggung jawab sosial pada masyarakat daripada negara,
percaya bahwa tradisi budaya bukan negara yang dapat menguatkan civil
society. Dalam tradisi Yunanidan Romawi, masyarakat adalah negaritu sendiri

sebagai lembaga publik. Warganegara akan mempunyai arti jika mereka


terlibat dalam kehidupan publik, kehidupan politik atau kehidupan bernegara.
Teori kewarganegaraan republikan baik yang klasik maupun yang humanis
merupakan paham pemikiran kewarganegaraan yang berpendapat, bahwa
bentuk ideal dari suatu negara didasarkan atas dua dukungan, yakni civic
virtue wargannya dan pemerintahan yang republic karena ini merupakan hak
yang esensial, sehingga disebut civic republic.
Jadi kewarganegaraan ini menekankan pentingnya kewajiban (duty), tanggung

jawab (responsibility) dan civic virtue (keutamaan kewarganegaraan) dari


warganegaranya. Civic virtue dalam republik Romawi berarti kesediaan
mendahulukan kepentingan publik.
Warganegara yang baik menurut Republik Klasik Teori JJ Rousseau) adalah
yang mendahulukan kepentingan umum, jika ada warganegara yang mendahulukan kepentingan pribadinya di atas kepentingan umum (publik) berarti dia
melakukan korupsi. Kepentingan umum (publik) itu di formulasikan melalui
apa yang yang dinamakan general will/volonte generale (kehendak umum).
Negara yang ideal adalah negara yang warganya tidak mementingkan dirinya
sendiri, negara yang diatur oleh general will/volonte generale.
Di dalam kewarganegaraan republikan memiliki karakteristik etis demikian
juga status legal/hukum. Warganegara dalam suatu republik tidak hanya
dilindungi oleh hukum, tetapi juga tunduk pada hukum. Kewarganegaraan
mempunyai dimensi etis yang dimunculkan dalam dua cara. Pertama, bahwa
warganegara yang baik adalah yang memiliki semangat publik ( public spirit),
yaitu menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, Kedua,
komitmen pada masalah publik yang dimanivestasikan sebagai suatu komitmen keterlibatan sipil. Warganegara yang baik akan mengambil tanggung
jawab publik ketika muncul tanpa harus menunggu yang lainnya, bahkan
ia akan mengambil bagian yang aktif di dalam masalah publik. Warganegara
republikan dapat mengambil bagian dengan berbagai bentuk dalam masalah
publik maupun untuk kepentingan umum. Secara nyata dapat melalui pengorbanan/loyalitas warganegara, misalnya ikut serta dalam pembelaan negara
(perang), membayar pajak serta mentaati hukum yang berlaku.

C. Perspektif Pengertian Kewarganegaraan


Gautama dalam Paulus (1983) menyatakan bahwa pengertian kewarganegaraan dapat dibedakan dalam : (1) kewarganegaraan dalam arti yuridis dan
sosiologis serta (2) kewarganegaraan dalam arti formal dan material.
1. Kewarganegaraan Dalam Arti Yuridis dan Sosiologis
Yang dimaksud kewarganegaraan dalam arti yuridis, adalah ikatan
hukum (de rechtband) antara negara dengan orang-orang pribadi (natuurlijke

personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat bahwa orang-orang itu
jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain pengertian kewarganegaran dalam arti yuridis adalah adanya ikatan antara warganegara dengan negara dan tanda adanya ikatan itu
antara lain bentuk pernyataan secara tegas seorang individu menjadi anggota
dari suatu negara atau warganegara dari negara tersebut atau dalam bentuk
konkritnya berupa surat-surat (dokumen, surat keterangan atau putusan dari

lembaga negara itu).


Sedangkan kewarganegaraan dalam arti sosiologis, adalah kewarganegaraan
yang terikat pada suatu negara oleh karena adanya suatu perasaan kesatuan
ikatan, dikarenakan satu keturunan, suku, kepercayaan/agama, kebersamaan,
sejarah, daerah, sehingga menimbulkan ikatan emosional yang kuat serta
ada ikatan dengan penguasa (pemerintah) atau dengan kata lain adanya
penghayatan kultur (budaya) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
persekutuan daerah atau negara di mana dia bertempat tinggal.
Dari kewarganegaraan dalam arti yuridis maupun sosiologis mengakibatkan
ada kalanya seorang diakui warganegaranya hanya karena secara yuridis,
atau merasa menjadi warganegara dari suatu negara, karena adanya ikatanikatan emosional (sosiologis). Oleh karena itu sungguh sangat ideal apabila
seseorang menjadi warganegara dari suatu negara karena diakui secara
yuridis maupun sosiologis.
2. Kewarganegaraan Dalam Arti Formal dan Material
Kewargaan dalam arti formal adalah tempat kewarganegaraan itu dalam
sistematika hukum. Hal ini dapat dipahami kewarganegaraan itu menyangkut
salah satu tiang/syarat negara, yaitu rakyat. Oleh karena itu kewarganegaan
termasuk dalam ranah hukum publik, sebab kaidah-kaidah yang mengenai
adanya negara semata-mata bersifat publik.
Sedangkan yang dimaksud Kewarganegaraan dalam arti material (isinya)
adalah akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu sendiri. Misalnya
apakah hak dan kewajiban yang konkrit dari seorang warganegara, apa perbedaan antara warganegara dengan warganegara asing ditinjau dari status dan
ikatan hukumnya.

D. Kewarganegaraan Sebagai Status Hukum


Dari perspektif hukum, status kewarganegaraan seseorang amat
menentukan hak, kewajiban dan kewenangan selaku warganegara.
Orang yang berstatus warganegara akan berbeda dengan orang yang tidak
berstatus sebagai warganegara (WNA) di negara tersebut.
Warganegara akan mendapat jaminan perlidungan dan pemenuhan akan hak-

haknya sebagai warganegara, sedangkan warganegara asing haknya terbatas,


warganegara berhak memilih dan dipilih dalam jabatan politik dan pemilu,
sedangkan orang asing tidak. Orang asing boleh diusir (persona non grata)
dan dikembalikan ke negaranya (ekstradisi), sedangkan untuk warganegara
tidak boleh. Semua ini menunjukkan bahwa warganegara memiliki kedudukan yang penting dalam negara, bahkan merupakan unsur yang esensial untuk
eksistensi, keberlangsungan dan kelanggengan dari suatu negara.

Status kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut mempunyai


pertalian (hubungan) hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan menghasilkan akibat hukum, yakni adanya hak dan
kewajiban warganegara maupun negara. Hak dan kewajiban warganegara
biasanya dimuat dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Akibat hukum
yang lain adalah orang yang sudah memilik kewarganegaraan tidak jatuh
pada kekuasaan atau kewenangan negara lain, negara lain juga tidak berhak
memberlakukan kaidah-kaidah hukum kepada orang yang bukan warganegaranya.
Setiap negara berwenang untuk menentukan siapa-siapa saja yang bisa
menjadi warganegaranya. Hukum internasional memberi pengakuan bahwa
setiap negara berhak memilih dan memiliki hak untuk menentukan siapa saja
yang bisa menjadi warganegaranya atau bukan warganegaranya, karena
setiap negara mempunyai kedaulatan. Negara tidak terikat oleh negara lain
dalam menentukan kewarganegaraan, negara lain juga tak berhak menentukan
dan ikut campur dalam penentuan status kewaragnegaraan seseorang, negara
tidak boleh melanggar general principles (asas-asas umum) hukum internasional tentang kewarganegaraan.
Menurut pasal 1 konvensi Den Haag Tahun 1930 dinyatakan bahwa penentuan kewargegaraan merupakan hak mutlak dari negara yang bersangkutan. Namun demikian hak mutlak tadi tidak boleh bertentangan dengan
General Principles (Prinsip Umum).
Adapun prinsip umum tersebut, adalah:
1). Tidak boleh bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional
2). Tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan international
3). Tidak boleh bertentang dengan prinsip-prinsip hukum yang secara internasional diterapkan dalam hal penentuan kewarganegaraan, misal suaka
politik.
Contoh penerapan prinsip tersebut, adalah:
a). Suatu negara tak boleh memasukkan orang-orang yang sama sekali tidak
ada hubungan sedikitpun dengan negara yang bersangkutan sebagai warga

negaranya. Misal Indonesia tidak dapat menyatakan bahwa semua orang


yang ada di Kutub Utara (Suku Eskimo) adalah warganegaranya.
b). Suatu negara tidak boleh menentukan kewarganegaraan seseorang atau
kelompok orang berdasarkan unsur-unsur primodial seperti: agama, suku,
ras dan golongan yang dirasakan bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum umum. Misal, Indonesia tidak boleh menyatakan bahwa yang
boleh menjadi warganegara Indonesia adalah orang-orang suku/ras

tertentu ( jawa/Minang ) atau yang beragama tertentu saja (Islam/kristen).


Sejalan dengan perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia, kedaulatan negara dalam menentukan status kewarganegaraan diimbangi
pula dengan kebebasan dari warganya untuk menentukan hak kewarganegaraan. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam Articel 15 Universal
Declaration of Human Right tahun 1948, bahwa: setiap orang berhak
atas sesuatu kewarganegaraan. Tidak seorangpun dengan semena-mena
dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti
kewarganegaraan.

1. Penentuan Asas Kewarganegaraan


Asas kewarganegaraan menjadi pedoman dasar bagi suatu negara
untuk menentukan siapakah yang menjadi warganegaranya.
Pada dasarnya negara sebagai subjek hukum yang berdaulat memiliki kebebasan untuk menentukan kewarganegaraan termasuk asas yang digunakan/dipilih. Menurut Heater ada dua cara untuk menentukan asas kewarganegaraan , yakni Ius Soli dan Ius Sanguinis, selain itu juga ada/dipakai
yakni Asas Campuran. Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang,
dikenal adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas
perkawinan.
Penentuan asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dikenal
dua
asas, yakni Ius Soli dan Ius Sanguinis. Kedua istilah itu berasal dari
bahasa Latin, Ius artinya hukum atau dalil, Soli berasal dari kata solum
yang artinya negeri atau tanah, sedang sanguinis berasal dari kata sanguis
yang artinya darah. Sedangkan penentuan kewarganegaraan berdasarkan
aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan
derajad. Asas Ius Soli dan asas Ius Sanguinis inilah secara internasional
dianggap asas yang utama dalam menentukan status hukum kewarganegaraan.

Asas-asas kewarganegaraan tersebut, adalah:


1). Asas Ius Soli (Law of the Soil)

Ius Soli artinya pedoman yang berdasarkan daerah atau tempat.


Asas ini nyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari
tempat di mana orang tersebut dilahirkan, disebut juga asas daerah.
Contoh: Negara A menganut asas Ius Soli, berarti orang yang lahir
di negara tersebut akan memiliki kewarganegaraan A, tidak
melihat orang tersebut keturunan dari mana.
2). Asas Ius Sanguinis (Law of the Blood)
Ius Sanguinis artinya pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan
Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaran seseorang ditentukan berdasarkan keturunan dari orang tersebut.
Asas ini disebut juga asas keturunan atau darah (genetik).
Misal: Negara B menganut Asas Sanguinis, maka orang yang lahir di
manapun saja asalkan keturunan dari orang yang berkewarganegaraan B, maka orang tersebut akan berkewarganegaan B.
Dalam prakteknya ada negara yang menganut asas ius soli dan yang
menggunakanasas ius sanguinis. Namun ada juga negara yang menitik
beratkan pada aspek ius soli dengan ius sanguinis sebagai pengecualian, sebaliknya ada negara yang menitikberatkan pada aspek ius sanguinis dengan ius soli sebagai pengecualian.
Pada mulanya asas ius soli lebih awal digunakan karena dianggap
lebih sederhana, artinya siapa saja yang lahir di wilayah itu dianggap
sebagai warganegaranya. Namun seiring dengan berkembangnya konsep nasionalisme di negara-negara/bangsa modern asas ius sanguinis
lebih sering diterapkan. Seseorang dianggap sebagai warganya, jika
orang yang lahir itu merupakan keturunan dari orang yang berkewarganegaraan negara tersebut.
3). AsasKewarganegaraan Tunggal, adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4). Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas, adalah asas yang nenentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anaknya sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang (suatu pengecualian).
Selain itu juga terdapat asas kewarganegaraan umum, yakni:
1). Asas Kepentingan Nasional, yakni asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegearaan yang mengutamakan kepentingan nasional
Indonesia, yang bertekad untuk mempertahankan kedaulatan sebagai
negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuan sendiri.
2). Asas Perlindungan Maksimum, yakni asas yang mewajibkan pemerintah
Memberikan perlindungan penuh kepada setiap setiap warganegara
Indonesia dalam keadaan apapun, baik dalam maupun di luar negeri.
3). Asas Persamaan dalam Hukum dan Pemerintah, adalah asas yang menentukan bahwasetiap warganegara Indonesia mendapatkan perlakuan

yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.


4). Asas kebenaran substansif, adalah prosedur pewarganegaraan seseoorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai subtsansi
dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
5). Asas Nondiskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan
dalam segala hal ihwal yang berhubungandengan warganegara berdasarkan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender.
6). Asas Pengakuan dan Penghormatan Hak Asasi Manusia, adalah asas

yang dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warganegara


yang menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi manusia pada
umumnya dan hak warganegara pada khususnya.
7). Asas Keterbukaan, adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala
hal ihwal berhubungan dengan warganegara harus dilakukak secara terbuka.
8). Asas Publisitas, adalah asas yang menentukan bahwa seseorang memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara RI, agar masyarakat mengetahuinya.
c). Penentuan Kewarganegaraan Berdasarkan Aspek Perkawinan (Asas
Hukum dan Asas Persamaan Derajad)
1). Asas persamaan Hukum, didasarkan pandangan bahwa suami istri
adalah satu ikatan yang tidak terpecah sebagai inti dari masyarakat.
Dalam menjalankan hidupnya suamu istri perlu mencerminkan
suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkar asas ini diusahakan status kewarganegaraan
suami istri sama dan satu.
2). Asas Persamaan Derajad, didasarkan pandangan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan
suami istri. Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan
sendiri kewarganegarannya. Jadi mereka dapat berbeda status kekewarganegaraan seperti halnya ketika mereka belum berkeluarga.
Berdasarkan asas persamaan hukum , bahwa suatu perkawinan dapat
menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Permasalahan akan
timbul jika terjadi perkawinan campuran, yakni perkawinan dilakukan
oleh pihak-pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Bagaiman status kewarganegaran kedua suami istri tersebut setelah
bersatu dalam hubungan perkawinan serta bagaimana pula status
kewarganegaraan keturunannya. Akibat perkawinan campuran seperti

tersebut di atas, maka akan menimbulkan dua asas kewagranegaraan,


yakni asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajad.
Asas kesatuan hukum bertolak dari pandangan bahwa suami istri adalah satu kesatuan dalam sebuah ikatan keluarga. Guna mendukung satu
keluarga ini, maka anggota keluarga (suami-istri) harus tunduk dalam
satu hukum yang sama. Dengan tunduk dalam satu hukum, maka akan
banyak manfaatnya, ketika menjalani kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Jika terjadi persoalan hukum khususnya perdata, maka dapat diatasi dengan satu hukum yang sama. Misalnya masalah pengapengaturan kekayaan, status anak, warisan dan lain-lain.
Dengan demikian kesatuan hukum akan mendukung ikatan yang kuat
dan keharmonisan dalam keluarga. Oleh karena itkeluarga dari perkawinan campuran perlu memiliki status kewarganegaraan yang sama.
Namun permasalahan akan muncul dalam perkawinan campuran,
jika dipertanyakan status kewarganegaraan siapa yang harus diikuti?.
Status kewarganegaraan suami(istri harus mengikuti status kewarganegaraan suaminya) atau status kewarganegaraan istri (suami mengikuti
kewarganegaraan istrinya). Kedua pilihan itu dapat digunakan, namun
pada umumnya status kewarganegaraan suamilah yang digunakan, sehingga istri harus mengikuti kewarganegaraan suaminya.
Istri harus mengikuti status kewarganegaraan suami, kurang dapat di
diterima oleh sebagian pihak karena dianggap merendahkan derajad,
harkat, martabat wanita serta tak sesuai dengan emansipasi wanita.
Wanita (istri) mempunyai hak yang sama dengan laki-laki (suami),
dalam hal untuk menentukanstatus kewarganegaraannya. Istri tidaklah
harus mengikuti status kewaraganegaraan suaminya.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka muncul asas persamaan derjad.
Asas persamaan derajad menentukan bahwa dalam perkawinan tidaklah menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Suami istri
tetap mempunyai status kewaragnegaraan asal, sehingga mereka memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Asas persamaan derajad
memiliki manfaat,yakni dapat menghindari terjadinya penyelundupan
hukum atau penyalahgunaan status kewarganegaran yang dimungkinkan terjadi, jika digunakan asas kesatuan hukum. Misal, orang asing
menikah ingin mendapatkan status kewarganegaraan dari suami/istri.
Setelah itu ia bercerai. Akhirnya dengan status warganegaranya yang
baru, ia dapat melakukan pelbagai tindakan hukum (kejahatan, baik
di dalam negeri ataupun di luar negeri) sebagaimana hak yang dimiliki oleh warganegara lainnya.

d). Akibat Perbedaan penentuan Status Kewarganegaraan


1. Apatride (Stateless), adalah istilah untuk orang-orang yang tidak
mempunyai status kewarganegaraan.
Contohnya:
Seseorang lahir di negara A yang menganut asas ius sanguinis, sedangkan ia keturunan dari orang yang berkewarganegaraan di negara B yang menganut asas ius soli. Maka orang tersebut tak mempunyai status kewarganegaraan A, sebab ia bukan keturunan orang
yang berkewarganegaraan A. Orang tersebut juga tak berkewarganegaraan B karena ia tidak lahir diwilayah negara B.
2. Bipatride (Dwi Kewarganegaraan), adalah istilah untuk orang-orang
yang memiliki status dua kewarganegaraan atau berkewarganegaraan ganda.
Contohnya:
Seseorang lahir di negara X yang menganut asas ius soli, sedangkan
ia keturunan dari orang yang berkewarganegaraan Y yang menganut
asas ius sanguinis. Orang tersebut berkewarganegaraan X karena ia
lahir di negara X dan orang tersebut juga berkewarganegaraan Y
sebab ia keturunan dari orang yang berkewaganegaraan Y.
3. Multipatride, adalah istilah untuk orang-orang yang mempunyai
status wargaganegaraan lebih dari dua.
Penggunaan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan yang
berbeda antar negara (perkawinan campuran) dapat menyebabkan
seseorang menjadi apatride atau bipatride khususnya bagi wanita.
Melalui perkawinan campuran seorang wanita juga dapat mempunyai
status kewarganegaraan ganda atau lebih (bipatride atau multipatride),
bahkan sebaliknya bisa kehilangan satatus kewarganegaraannya atau
tak berkewarganegaraan (apatride).
Contoh, negara A menganut asas kesatuan hukum, sedang negara B
menganut asas persamaan derajad.
Ada laki-laki berkewarganegaraan A menikah dengan wanita yang
berkewarganegaraan B, maka wanita itu dapat bersatatus bipatride.
Ia menjadi warganegaraan A, karena ikut suaminya serta ia juga masih
menjadi berkewarganegaraan B, karena asas persamaan derajad.
Sebaliknya bisa menjadi apatride, jika wanita itu berkewarganegaraan
A, sedang suaminya berkewarganegaraan B. Sedangkan di negaranya
sendiri (A), kewarganegaraannya telah lepas karena bersuamikan dengan orang asing. Sedangkan di negara suaminya (B), ditolak kewarganegaraannya, sebab menurut ketentuan suatu perkawinan (asas per-

samaan derajad) tidak menyebabkan perubahan satatus kewarganegaraan masing-masing-masing pihak.


Munculya kasus apatride/bipatride telah diupayakan untuk dicegah
oleh masing-masing negara, karena status apatride maupun bipatride
akan menjadikan permasalahan dan merugikan negara,
Berkaitan dengan asas kewarganegaraan tersebut, maka dalam suatu
negara terdapat 2 stelsel kewarganegaraan, yakni:
1). Stelsel Aktif, yakni orang harus aktif melakukan tindakan-tindakan
hukum tertentu untuk dapat menjadi suatu warganegara dari suatu
negara tertentu. Ini disebut pewarganegaraan aktif.
2). Stelsel Pasif, yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai
waragnegaranya, walaupun tanpa melakukan tindakan hukum ter-

tentu untuk menjadi warganegara dari suatu negara (misal: dalam


asas perasamaan hukum seorang wanita secaraotomatis akan menjadi warganegara sama dengan warganegara suaminya, atau bayi
yang lahir pada negara yang menganut asas ius soli.
Dengan adanya dua stelsel tersebut, maka terdapat dua
kelompok/jenis warganegaraa, yaitu:
a). Warganegara by operation of law atau warganegara dengan
stelsel pasif. Bahwa status kewarganegaran yang dia peroleh,
karena berlakunya hukum atau karena adanya peristiwa hukum.
b). Warganegara by registration atau warganegara dengan stelsel
aktif. Mereka memperoleh status kewarganegaraan karena melalui proses dan prosedur hukum yang telah ditentukan/hukum
yang berlaku di negara itu.
Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak
opsi, yakni hak untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi
warganegara. Sedang pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak
mau diwarganegarakan/tak mau dijadikan warganegara suatu negara
dapat mengajukan hak repudasi, yakni hak untuk menolak suatu
kewarganegaraan (misal, seorang wanita yang menikah berdasarkan
asas kesatuan hukum)

2). Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan


Menurut Jimly Asshiddiqie (2006) ada 5 (lima) prosedur/metode dalam memperoleh satatus kewarganegaraan, Yakni:
a). Citizenship by birt, yakni perolehan kewarganegaraan karena
kelahiran, di mana orang yang lahir di wilayah negara itu dianggap syah sebagai warganegaranya ( asas Ius Soli).

b). Citizenship by descent, adalah perolehan kewarganegaraan seseorang karena faktor keturunan (genetik/darah), di mana seseorang
yang lahir diluar wilayah negara apabila orang tuanya adalah
warganegara dari negara tersebut (asas Ius Sanguinis).
c). Citizenship by naturatization, adalah pewarganegaraan orang
asing ataskehendaknya sendiri mengajukan menjadi warganegara
suatu negara, dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
d). Citizeship by registration, adalah pewarganegaraan bagi mereka
yang telah memenuhi syarat dianggap cukup dilakukakn melalui
prosedur administrasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan
cara naturalisasi.
Misal, seorang wanita asing yang menikah dengan warganegara

Indonesia, maka proses pewarganegaraannya tidak harus melalui


cara naturalisasi, tetapi cukup dengan cara registrasi.
e). Citizenship by incorporation of teritory, adalah proses pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya,
ketika Timor Timur/Timor Leste menjadi bagian dari wilayah
negara Indonesia tahun 1976, maka proses pewarganegaraan
warga di wilayah tersebut dilakukan melalui prosedur ini.

3). Konsekuensi Hukum dari Status Kewarganegaraan


Konsekuensi (akibat) hukum dari status hukum dari kewarganegaraan yang berkaitan dengan isi material (hak dan kewajiban) kewargaganegaraan. Artinya hak dan kewajiban warganegara apa saja
yang muncul dari status yang nisbatkan tersebut. Ketentuan seperti
itu umumnya terbingkai dalam rumusan-rumusan hukum negara
yang bersangkutan.
Namun demkian setidaknya konsekuensi yuridis tersebut mencakup
dalam tiga (3) ranah hukum, yakni: hukum publik, hukum
kekeluargaan dan hukum perdata internasional (Handoyo, 2003).
a). Hukum Publik
Di bidang hukum publik menunjukkan bahwa status hukum
kewarganegaraan seseorang merupakan bukti keanggotaan mereka dalam suatu negara, sejalan dengan prinsip resiprokalitas
(mereka mempunyai hak-hak tertentu dan sekaligus mempunyai
kewajiban-kewajiban tertentu pula). Hak-hak itu pada umumnya
terdiri atas hak warganegara dan hak asasi manusia, sedangkan
kewajiban mencakup kewajiban warganegara dan kewajiban

dasar manusia. Dalam dimensi publik, negara berkewajiban melindungi hak-hak warganegara, sebaliknya setiap warganegara
harus tunduk pada hukum-hukum negara (ada hubungan timbal
balik antara warganegara dan negara). Hubungan timbal balik
antara negara dan warganegara terlihat jelas di dalam penegrtian
keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles, yakni: 1). Keadilan
Distributf (membagi), yakni keadilan yang diberikan pemerintah/
negara kepada rakyat, masyarakat maupun warganegara (misal:
makna yang terkandung di dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD
45), ke 2). Keadilan Legal, yakni keadilan yang diberikan rakyat,
masyarakat dan warganegara kepada pemerintah/negara (misal:
bayar pajak, bela negara), sedang yang ke 3). Keadilan Komutatif,
yakni keadilan yang diberikan antar individual, warganegara
(hukum privat).
Filsuf Inggris Johm Locke (cikal bakal perumusan hak asasi manusia) mengatakan, bahwa manusia sejak lahir secara inheren
memiliki hak-hak alamiah dan pemikiran bahwa penguasa harus
memerintah dengan persetujuan rakyat.
Menurut dia, hak asasi meliputi: hak hidup (the right of life), hak
merdeka (the right to liberty) danhak milik (the right to property).
Hak asasi pada umumnya dicantumkan dalam konstitusi berbagai
negara sebagai ciri dari pemerintahan yang konstitusional.
Konstititusi dianggap sebagai jaminan yang paling efektif (negara
hukum), bahwa kekuasaan tidak akan disalahgunakan dan hak
asasi akan ditaati dan tidak dilanggar.
Misal, di Indonesia dicantumkan pada Alinea Pertama Pembukaan UUD 45, yang berbunyi: sesunguhnya kemerdekaan itu............
........................, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan, yang juga tercantum pada pasal 27 sampai pasal 34
UUD 45.
Hak asasi manusia yang terumuskan dalam konstitusi pada dasarnya merupakan hak-hak dasar warganegara, namun demikian hakhak warganegara belum tentu hak asasi manusia. Hak asasi bersifat mendasar dan universal, walaupun konstitusi negara tak
mencantumkannya. Sebaliknya hak-hak warganegara bersifat partikular (khusus), artinya oleh/ada karena konstitusi dari suatu
negara.
Hak dan kewajiban warganegara suatu negara bisa berbeda
dengan hak warganegara lain, dikarenakan perbedaan rumusan

dan konstitusinya. Hak dan kewajiban warganegara di Indonesia


diatur pada pasal: 27, 28. 29. 30. 31, 32, 33 dan 34 UUD 45.
Konsep Locke ini akan mengilhami dan mendasari munculnya
berbagai konsep dan deklarasi hak asasi manusia di seluruh dunia
(Inggris, Perancis, Amerika dan PBB).
Mengenai hak asasi manusia akan kita bahas lebih rinci dalam bab
tersendiri.
b). Hukum Kekeluargaan
Di bidang hukum kekeluargaan, status seseorang sebagai
warganegara membawa akibat adanya kepastian hukum (security
of principle) mengenai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
masalah hubungan antara anak dan orang tua, pewarisan, perwalian dan pengampuan. Prinsip ini hanya dibentuk dan implementatasikan dalam kaitannya dengan status seseorang bila berhadapan

dengan negara atau menundukkan diri pada hukum negara. Di sisi


lain seorang warganegara juga bisa tunduk dan mengikatkan diri
pada hukum adat, hukum agama, sebab mereka juga menjadi anggota dari komunitas itu. Jika demikian halnya maka persoalan ini
(hukum adat dan hukum agama)tidak lagi berkaitan dengan hukum
kewarganegaraan yang disusun oleh negara
c).Hukum Perdata Internasional
Di bidang hukum perdata internasional dikenal asas
nationaliteit principles, artinya status hukum seorang warganegara
dalam hak dan kewajiban melekat di manapun dia berada. Di lihat
dari aspek hukum, maka keberadaan hukum nasional suatu negara
tetap mempengaruhi kebaradaan sikap dan prilaku seorang warga
negara, walaupun dia berada di luar yurisdiksi negara yang bersangkutan, prinsip ini penting mengingat aspek kewajiban negara
untuk memberikan perlindungan kepada warganya dimanapun dia
berada. Namun prinsip ini cukup sulit untuk diterapkan kepada
warganegara yang berada di luar yurisdiksinya yang mengalami
persoalan hukum(misal, keberadaan TKI dan TKW di luar negeri).
TKI dan TKW di luar negeri). Hal ini disebabkan karena hukum
internasional juga mengenal prinsip domisili, yang menyatakan
bahwa status hukum mengenai hak dan kewajiban seseorang ditentukan oleh hukum di mana dia berada. Jika prisip ini berlaku
maka akan terjadi dilema hukum. Disatu pihak ada kewajiban
negara untuk melindungi warganya, di sisi lain negara juga harus
menghormati hukum negara lain dengan alasan aspek yurisdiksi

(hukun international). Langkah yang ditempuh antara lain:


dengan mengadakan perjanjian ektradiksi (misal WNI yang melakukan kejahatan di luar negeri), perundingan/minta
pengampunan, keringanan dan penghapusan hukuman (TKI danTKW).

BAB. IV. WARGANEGARA INDONESIA


A. Siapakah Warganegara Indonesia
Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan, bahwa setiap negara yang berdaulat (merdeka) berwenang untuk menentukan siapa saja yang berhak menjadi warganegaranya.
Setiap negara memiliki kewenangan sendiri untuk menentukannya, sebagaimana yang ditetapkan dalam konstitusi negara masing-masing.
Perihal tentang siapa saja yang berhak, bisa dan boleh menjadi warganegara

Indonesia, negara juga telah menentukannya. Ketentuan tersebut tercantum


dalam pasal 26 UUD 45, adalah sebagai beriku:
(1) Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warganegara
(2) Penduduk adalah warganegara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di indonesia.
(3) Hal- hal mengenai warganegara dan penduduk diatur dengan undangundang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa orang yang
dapat/boleh dan berhak menjadi warganegara Indonesia adalah:
a). Orang-orang bangsa Indonesia asli
b). Orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai
warganegara
Pengertian orang-orang bangsa indonesia asli mengalami perubahan dan
perkembangan. Pada awalnya yang dimaksudkan dengan Orang-orang
bangsa Indonesia asli, adalah orang-orang yang merupakan golongan pribumi dan keturunannya. Orang Indonesia asli adalah golongan orang-orang
mendiami bumi nusantara (Indonesia) secara turun temurun sejak Jaman
Tandun. Yang dimaksud Jaman Tandun, adalah jaman di mana tanah dijadikan sumber hidup, manunggal dengan dirinya sendiri, dipercaya dan dijaga
oleh danyang-danyang desa, yang mempunyai sifat magis-religius, diamanatkan oleh nenek moyangnya untuk dijaga dan dipelihara, sebagai tempat menyimpan jazadnya setelah berpindah ke alam baka (Paulu, 1983).

Perkataan Asli di atas mengandung syarat biologis, yakni bahwa asalusul keturunan sesorang akan menentukan kedudukan sosial seseorang itu,
antara yang asli atau yang tidak asli. Keaslian ditentukan oleh turunan atau
hubungan darah antara yang melahirkan dengan yang dilahirkan.
Dengan demikian penentuan keaslian bisa didasarkan atas tiga (3) alternatif,
yakni:
a). Turunan atau pertalian darah (geneologis)
b). Ikatan pada tanah atau wilayahnya (territorial)
c). Turunan atau pertaliandarah dan ikatan pada tanah atau wilayah
(geneologis-territorial)
Jika apabila tiga alternatif itu dijadikan sebagai dasar pemahanan tentang
Orang-orang bangsa Indonesia asli, maka pengertian itu dapat diartikan
pengertian antroplogis (ada ikatan ras, darah dan etnik) dan juga pengertian
sosiologis ( ada kaitan dengan tanah, wilayah dan lingkungan alam).
Pengertian Orang-orang bangsa Indonesia asli seperti yang dicontohkan di

atas, akan menimbulkan penafsiran yang ambigu (multi tafsir) yang dikemudian hari akan menjadi probematik dari ranah hukum.
Penafsiran yang abigu ini dapat dipahami antara lain, adalah sebagai berikut
(Handoyo, 2003):
(1) Orang-orang yang berikut keturunannya yang telah ada di Indonesia
sejak Indonesis menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945; ataukah
(2) Orang-orang sejak peradaban Indonesia terbentuk sudah ada di bumi
nusantara, termasuk di dalamnya Phitecantropus Paleo Javanicus atau
Homo Soloensis yang fosilnya ditemukan di Sangiran dan di sepanjang
Sungai Bengawan Solo; ataukah
(3) Orang-orang yang pada prinsipnya sebagai cikal bakal nenek moyang
sebagai pembentuk bangsa Indonesia yang berarti jika ditinjau dari
aspek rasnya; ataukah
(4) Orang-orang yang di dalam sejarah bangsa Indonesia berasal dari
Yunan Utara di Daratan China serta pedagang dari Gujarat.
Problema sosiologis yuridis ini akan berkembang hukum kewarganegaraan Indonesia memang menimbulkan persoalan terutama masalah
diskriminasi penegakan hukum terhadap warganegara yang dianggap
bukan orang-orang bangsa Indonesia asli. Problem ini pada akhirnya
diupayakan untuk diatasi.
Pada perekembangan terakhir melalui Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ditemukan, bahwa

yang dimaksud dengan: orang-orang bangsa Indonesia asli adalah


orang Indonesia yang menjadi warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Adapun sejarah perkembangan kewarganegaraan Indonesia, adalah
sebagai berikut:

1). Kewarganegaraan Indonesia Masa Pra Kolonial


Konsep warganegara masa pra kolonial di Indonesia sulit dicari dan
ditemukan rujukannya, kecuali dengan menyelusuri kehidupan kerajaankerajaan di Indonesia, itupun tidak banyak mengulas masalah kewargaan.
Sebagaimana kita ketahui sebelum bangsa Barat (kolonial) datang ke
wilayah Indonesia (dulu nusantara), sudah ada kerajaan-kerajaan, diantaranya kerajaan-kerajaan besar itu, adalah: kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan
Mataram Islam. Pengetahuan tentang kerajaan-kerajaan itu bersumber dari:
prasasti, kitab dan situs-situs peninggalan kerajaan.

Kehidupan bangsa Indonesia pra kolonial sudah ditandai dengan telah


tumbuhnya berbagai suku bangsa (etnic) yang sebagian secara otonomik
tidak di bawah kekuasaan suatu kerajaan, misal suku di Papua, sedangkan
etnis yang lain (Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB) yang
secara politis berada di bawah kekuasaan raja, bahkan suku-suku bangsa
itu telah ada terlebih dahulu sebelum ada kerajaan-kerajaan.
Sampai saat ini suku-suku bangsa tersebut masih tetap bertahan, walaupun
telah memasuki identitas politik baru serta ada di bawah kekuasaan negara
nasional (NKRI).
Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan adanya struktur
horisontal dan vertikal (Nasikun, 1980; Suriakusumah 2007).
Yang dimaksudkan struktur horisontal dalam struktur masyarakat, adalah
terdapatnya beragam suku bangsa di Indonesia termasuk keragaman agama
yang dianut serta adanya ras di dalam suku-suku bangsa.
Sedangkan dari struktur vertikal ditandai dengan adanya lapisan-lapisan
masyarakat (stratifikasi sosial).
Struktur vertikal ini terjadi, karena hal-hal berikut ini:
(a) Faktor ekonomi, yaitu yang memiliki kekayaan dan yang miskin,
(b) Faktor tanah, yaitu yang merupakan pemilik tanah (tuan tanah atau
juragan) yang kaya dan mereka yang hanya mengandalkan fisiknya
saja untuk mengolah tanah (buruh),
(c) Faktor kekuasaan, yaitu mereka yang memiliki kedudukan tinggi,

menengah dan rendahan dalam birokrasi pemerintahan kerajaan,


(d) Faktor keturunan, yaitu yang mereka yang termasuk keturunan bangsawan (ningrat, darah biru) dan mereka yang hanya merupakan
rakyat jelata (hamba sahaya atau kawulo alit).
Stuktur vertikal pada masyarakat Indonesis lama (prakolonial) pada
umumnya tampak sekali dan berusaha untuk dipertahannkan secara kuat.
Seseorang yang berasal dari bangsawan/ningrat, pada umumnya memiliki
kekuasaan, tanah dan kekayaan, sedangkan rakyat jelata (kawulo alit) tidak
punya kekuasaan, tanah dan kekayaan (miskin). Dari sini muncul dua
golongan masyarakat, yakni: mereka yang berada di lapisan atas, karena
mempunyai kekuasaan, tanah (tuan tanah) dan kekayaan, sedangkan orangorang yang berada di tingkat/lapisan bawah, adalah mereka yang tak punya
kekuasaan, tanah maupun kekayaan (orang miskin), mereka hanya punya
tenaga fisik sebagai buruh. Warisan masa lalu tentang struktur masyarakat
sebagian besar di Indonesia, apalagi di masyarakat Jawa pada dasarnya
bersifat hierarkis (Affan Ghafar, 1999). Ada pemilahan yang tegas antara
mereka yang memegang kekuasaan dengan orang kebanyakan.

Contoh hal ini diperlihatkan dengan cara berekspresi dalam bahasa, untuk
Kalangan kebanyakan jika bertutur kata dengan kalangan priyayi harus
dengan bahasa yang halus (kromo inggil), sedangkan kaum priyayi dalam
bertutur kata dengan orang kebanyakan cukup dengan bahasa biasa/kasar
(ngoko). Pemilahan ini juga terlihat dalam istilah untuk kalangan penguasa
(wong gedhe/penggede), sedang untuk rakyat biasa/jelata disebut wong
cilik.
Hierarkis yang tegas ini juga terdapat pada hubungan warga yang bersifat
Patronage (pola hubungan yang bersifat/patron-client).
Hubungan ini bersifat individual, yakni antara patron dan clien t akan terjadi interaksi yang bersifat resiprokal (hubungan timbak balik dengan
mempertukarkan sumber daya/exchange of resources yang dimiliki masingmasimg pihak. Si patron memiliki sumber daya yang berupa: kekuasaan,
kedudukan/jabatan, perlidungan, perhatian dan rasa sayang, tak jarang pula
sumber daya itu berupa materi (harta kekayaan, tanah garapan dan uang),
sementara Si client hanya mempunyai sumber daya berupa: tenaga, dukungan dan loyalitas.
a. Sistem Masyarakat Pada Masa Kerajaan Majapahit
Lapisan masyarakat yang hierarkis dapat ditemukan pada kehidupan
sosial budaya pada masa kerajaan di Indonesia, meskipun dengan pola yang
berlainan. Masyarakat pada jaman dibedakan atas lapisanlapisan(strata),

(strata), yang pembedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit


terdapat empat kasta seperti di India yang sering disebut dengan Catur
Warna, tetapi hanya bersifat teoritis hanya di literatur istana saja. Pola ini
dibedakan atas empat (4) golongan masyarakat, yakni: Brahmana, Ksatria,
Waisya dan Sudra (Catur Warna), selain itu ada lapisan lain di luar lapisan
ini yang sering disebut Panca Warna, yakni:Candala, Mleccha dan Tuccha
(Mulyana, 2006).
Adapun tugas dan fungsi dari kasta, adalah sebagai berikut:
1). Kasta Brahmana (Kaum Pendeta)
Kasta ini terdiri dari kaum brahmana (pendeta) yang mempunyai
kewajiban menjalankan dharma, yakni mengajar, belajar, melakukan
persajian untuk diri sendiri atau orang lain, membagi dan menerima
derma (sedekah) untuk mencapai keabadian dan kesempurnaan hidup
serta dapat bersatu dengan Brahman (Tuhan).
Semua rokhaniawan menghambakan dirinya kepada raja yang disebut
sebagai wikuhaji. Para rokhaniawan biasanya tinggal di sekitar wilayah
bangunan agama, yakni mandala (nama komunitas agama di desa, di
daerah tepencil di bukit yang berhutan), dharma, sima (adalah daerah

yang menjadi milik kaum agama dari berbagai sekte, tidak langsung
di bawah kekuasaan pejabat istana manapunn) serta vihara dan lainlain.
2). Kasta Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan
yang terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk kekuasaan. Keluarga raja dapat dikatakan keturunan dari raja Singosari dan
Majapahit yang dapat terlihat dari silsilah keluarga-keluarga yang tersebar di seluruh negeri (Nusantara), karena mereka melakukan sistem
poligami secara meluas yang disebut dengan wargahaji atau sakaparek
selain itu juga mempunyai daerah kekuasaan (taklukan/jajahan) di wilayah lain. Para bangsawan yang memerintah di daerah ruang lingkup
kerajaan dapat dikatakan memiliki hubungan (keluarga, persahabatan
atau perjanjian) dengan keluarga raja yang terdahulu, yang disebut
sebagai parawangsya. Semua anggota keluarga raja masing-masing
akan diberi nama atas gelar, umur dan fungsi mereka di dalam masyarakat. Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap keluarga raja
didasarkan atas nama daerah kerajaan yang mereka kuasai sebagai
kuasasi sebagai wakil raja.
3). Kasta Waisya merupakan kaum yang menekuni bidang pertanian dan
perdagangan.

4). Kasta Sudra, yakni kasta yang paling rendah tingkatannya dalam catur
warna, yang hanya mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada
kasta yang lebih tinggi kedudukannya, terutama kepada golongan
(kasta) Brahmana.
5). Golongan (kasta) terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna
dan sering disebut sebagai panca warna (warna ke lima), yang terdiri
dari kaum: candala, mleccha dan tuccha.
- Yang dimaksud candala, adalah anak dari hasil campuran antara
laki-laki (kasta sudra) dengan wanita (kasta yang ada di atasnya:
brahmana , ksatria , waisya dan sudra), sehingga si anak mempunyai status yang lebih rendah dari dari ayahnya.
- Yang dimaksud Mleccha, adalah semua bangsa di luar Arya tanpa
memandang bahasa dan warna kulit, yakni para pedagang asing
(China, India, Champa, Siam dan lain-lain), yang tak menganut
agama Hiundu.
- Yang dimaksud Tuccha, adalah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah penjahat. Ketika mereka melakukan tatayi (membakar rumah, meracuni sesama, mananung, merusak, mengamuk dan mefitnah kehormatan perempuan).
Dari aspek kedudukan wanita dalam masyakat Majapahit, mereka
mempunyai status yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada
kewajiban mereka untuk menyenangkan dan melayanai para suami mereka
saja. Wanita tak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi
dapur rumah tangga mereka. Di dalam undang-undang Majapahit pun para
wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain
atau sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas dan
perselingkuhan diantara kaum pria dan wanita.
b. Sistem Masyarakat pada Masa kerajaan Mataram (Islam)
Konsep kekuasaan di kerajaan Mataram, adalah ajaran ke-agungbinatara-an. Bahwa raja Mataram adalah pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan sekaligus menjadi hakim. Kekuasaan raja Mataram
begitu besar (Hangabehi), dihadapan rakyat raja adalah sebagai pemilik
harta maupun manusia, sehingga dikatakan sebagai wenang wisesa
ing
sanagari (memiliki kewanangan tertinggi di sekuruh negeri).
Raja Mataram (Islam) yang pertama, adalah Panembahan Senopati, dengan
gelar: Kalifatullah, abdul rachman, senopati ing alaga, sayidin patagama.
Masyarakat di atur berdarakan cara pandang agraris, yang kemudian melahirkan masyaraka feodal. Masyarakat disusun atas penguasaan tanah yang
terpusat pada raja. Untuk mendukung kekuasaannya raja membagikan

tanah kepada pembantunya dengan memberikan lungguh (bengkok) yang


luasnya diukur berdasarkan tinggi rendahnya kedudukan dan hitungan karya atau cacah. Dengan sarana tanah inilah masyarakat dibentuk menjadi
masyaratkat agraris dan feodal.
Pelapisan sosial masyarakat pada masa kerajaan Mataram kurang lebih terdiri atas tiga (3) lapisan, yakni:
a). Golongan atas, yakni raja beserta keluarganya
b). Golongan menengah, yakni ulama kraton dan para abdi dalem kraton
termasuk para pegawai kraton yang ditempatkan di wilayah sekitar keraan atau yang ditempatkan di wilayah kekusaan raja, tetapi tempatnya
jauh dari kerajaan, misal sebagai adipati di daerh tertentu.
c). Golongan rakyat jelata sebagai kawula alit yang umumnya berprofesi
sebagai buruh/buruh tani (pengolah tanah dan petani.
Pada waktu Belanda datang ke wilayah Indonesia (nusantara), struktur
masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya bercorak/
bersifat: hierarkis, patronage dan feodal ini tetap dipertahankan.
Hanya bedanya golongan/lapisan atas bukan lagi kasta teringgi (brahmana)
atau raja, tetapi digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda, yang tercermin dalam prilaku orang-orang Belanda, bahkan lebih feodal dari sebelumnya.

2. Kewarganegaraan Indonesia Pada Masa Kolonial


Ketika Belanda datang ke wilayah Indonesia (Nusantara). Wilayah itu
disebutnya Indie (India), sebagai terjemahan dari bahasa Inggris Indies.
Serupa dengan kata itu muncullah istilah Achster-Indie atau India Belakang
atau sekarang disebut Asia tenggara, yang berbeda dengan Voor-Indie atau
India Muka atau Asia Selatan atau India yang sekarang (Hari Poerwanto,
2003).
Selain itu sampai akhir abad 19 juga dipakai istilah Indische Archiple atau
Kepulauan Indie, dan baru tahun 1910 secara resmi wilayah jajahannya disebut dengan: Nederlandsch-Indie (India- Belanda/Hindia-Belanda).
Sedangkan istilah Inladers (bahasa Belanda) sebutan untuk orang Pribumi
(penduduk asli) yang mempunyai dan mediami wilayah itu. Orang Belanda
sendiri menyebut dirinya sebagai Nederlander.
Istilah Inlanders selanjutnya dimasukkan ke dalam undang-undang
Hindia Belanda, yakni Regerings Reglement (RR) tahun 1854, pemerintahan
kolonial membagi pendududuk Hindia Belanda menjadi tiga (3) golongan,
yakni:
1). Europeanen (Golongan orang-orang Eropa),
2). Vreemde Oosterlingen (Golongan Timur Jauh, yakni:: Arab,
India, Tionghoa, kecuali Jepang)
3). Inlanders (Golongan Penduduk Asli).
Menurut Mr. Schrieke pembagian ini berdasarkan perbedaan nationalieit

bukan berdasarakan ras criterium, tetapi kenyataannya tetap berdasarkan


pada kriteria ras.
Kemudian tahun 1892 kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang Wet
de Nederlanderschap, yang isinya bahwa mereka yang berada di wilayah
Nederland Indie (Indonesia) termasuk Inladers dan yang disamakan dengan
Inlanders tidak akan diberi status Nederlander. Sedangkan keturunan
Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Suriname dengan undangundang tersebut akan memeperoleh status Nederlander. Sedangkan orang
Jepang yang di lahirkan di wilayah Nederland Indie (Indonesia) akan mendapatkan status Nederlander.
Kondisi politil akibat kebangkitan nasionalisme Asia yang dipelopori
oleh Dr. Sun Yat Sen memaksa Belanda untuk mengeluarkan Wet op de
Nederlandsch onderdaanschap (undang-undang Kawula Belanda) pada
tanggal 10 Februari 1910 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah orang
Tionghoa yang berada di daerah hukum perwakilan pemerintahTiongkok,
sehingga intervensi Tiongkok dapat dikurangi. Oleh karena itu pemerinpemerintahan Belanda menerapkan ius soli dan stelsel pasif dengan tidak
memberikan hak repudiatie (hak menolak kewarganegaraan).
Dengan demikian orang Tionghoa yang lahir di wilayah hukum Hindia
Belanda otomatis akan berstatus dwi-kewarganegaraan, karena pada saat
yang sama Dinasti Qing mengapdosi ius sanguinis sebagai asas kewarganegaraan yang diumumkan pada tahun 1909.
Pemerintahan Belanda tetap memberlakukan sistem pemisahan penduduk
berdasarkan kategori rasial saat Indische Staatsinricting (IS) menggantikan Regerings Reglement (RR), yakniUndang-Undang DasarPemerintahan Jajahan Belanda (Djamali. 2005, p. 21). Di dalam Pasal 163 IS mengkategorikan penduduk menjadi: golongan Nederlanders/Eropeanen(termasuk Jepang), Uitheemsen (Vreemde Oosterlingen/Timur Asing (Arab dan
Tionghoa) serta Inheemsen (pengganti istilah Inlander).
Indische Staatregeling (IS) tahun 1927 membagi penduduk Hindia belanda
menjadi tiga (3) golongan, yakni:
a). Golongan Eropa (Nederlanders/Europeanen, terdiri atas:
1. Bangsa Belanda
2. Bukan bangsa belanda tetapi dari Eropa
3. Orang bangsa lain yang hukum keluarganya sama dengan golongan
Eropa.
b). Golongan Timur Asing (Uitheemsen/Vreemde Oosterlingen), terdiri
atas:
1. Golongan Tionghoa
2. Gongan Timur Asing bukan China
c). Golongan Bumiputra/Pribumi (Inheemsen pengganti istilah Inlander),

terbagi atas:
1. Orang Indonesia Asli dan keturunannya
2. Orang lain yang menyesuaikan diri dengan yang pertama.
Oleh karena Hindia Belanda bukanlah suatu negara merdeka, tetapi bagian dari negara Belanda, maka wilayah itu tidak mempunyai warganegara.
Menurut peraturan Pemerintah Hindia Belanda, penghuni tanah air wilayah itu selain orang asing disebut kaulanegara Belanda (Kansil, 1984).
Kaulanegara Belanda dibedakan menjadi:
1). Kaulanegara Belanda terdiri dari orang Belanda
2). Kaulanegara Belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk
Bumiputra (Inlander)
3). Kaulanegara Belanda bukan Belanda, tetapi juga bukan termasuk
Bumiputra, misal orang Timur Asing (China, India, Pakistan dan lainlain)
Pengaturan penduduk dan kewarganegaran masa kolonial di atas lebih didasarkan atas kategori ras. Pengkategorian berdasarkan ras ini dianggap
merugikan banyak pihak, terutama bagi orang-orang pergerakan masa itu,
karena, karena dinilai tidak memupuk rasa persatuan para putera bangsa
(bumiputra). Pengkategorian ini juga berakibat pada perbedaan
perlakuan hukum yang berbeda terhadap penduduk wilayah yuridis Hindia
Belanda.
Pada tahun 1936 muncul Petisi Roep, bersama dengan Yo Heng
Kam dan Pranowo yang menuntut sebuah undang-undang kewarganegagaraan di Hindia Belanda (Indonesia) dengan menghapus pembagian
penduduk bersadarkan ras. Kelemahan petisi ini adalah penggunaan kategori perbedaan strata sosial dan intelelektual sebagai pengganti rasial.
Gagasan sistem satu kewarganegaraan tanpa diskriminasai kembali muncul dalam volkstsraad (suara rakyat) yang diajukan oleh
Soetarjo(Petisi
Soetarjo), yang isinya antara lain, menyatakan bahwa syarat untuk diakui
Sebagai warganegara dapat ditentukan berdasarkan: lahir di Indonesia,
asal keturunan, orientasi hidup dikemudian hari.
Jadi semua orang Indonesia dan semua golongan Indo, yang dilahirkan
di Indonesia dan orang asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai
tanah airnya, bersedia memikul segala konsekuensinya dari pengakuan
ini, dinyatakan sebagai warganegara (Kenken, 2006).
Pada masa sidang BPUPKI yang pertama, perihal warganegara dan
penduduk Indonesia juga dibahas, terutama berkisar tentang kewarganegaraan bagi orang-orang keturunan, misalnya Pranakan Tionghoa, Arab,
yakni bagaimana masa depannya kewarganegaraan bagi mereka, mana-

kala Indonesia sudah merdeka. Pada sidang BPUPKI yang ke dua (2)
tanggal 11 Juli 1945, anggota Liem Koen Hian menyatakan pendapatnya:
.... maka pemuka-pemuka bangsa Tionghoa di Malang dan Surabaya
telah meminta kepada saya, agar disampaikan kepada Badan Penyelidik
supaya di waktu mengadakan undang-undang dasar, biar ditetapkan saja,
bahwa semua orang Tionghoa menjadi warganegara Indonesia. Juga di
Bandung Tuan Ketua telah dinyatakan pikiran-pikiran begitu.... (Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI).
Menanggapi isi pidato Liem Koen Hian Wongsonegoro (anggota),menyakan bahwa hal ini tidak dapat dibantah sebagai hal yang benar atau salah,
tetapi kemungkinan diantara saudara-saudara bangsa Tionghoa ada yang
tidak mau menjadi pendduduk asli (warganegara). Oleh karena itu perlu
diciptakan status baru buat saudara kita bangsa Asia Timur Raya.
Selanjutnya dia mengatakan:
Dimana tempatnya formeel itu saya serahkan, akan tetapi dapat kami
sampaikan saran, yang pada waktu ini disetujui oleh para kawan anggota
Jawa Tengah segenapnya, yaitu mengatakan status baru untuk saudarasaudara kita yang tidak masuk asli, juga tidak masuk orang asing, akan
tetapi termasuk golongan kita, bangsa Asia Timur Raya.....(Risalah sidang
BPUPKI & PPKI, 1998).
Salah satu keturunan Arab Baswedan (anggota),menyatakan bahwa orangorang Arab yang tinggal di Indonesia sebagian besar telah merupakan peranakan, sedangkan orang-orang Arab totok sudah amat sedikit.
Oleh karena itu orang-orang Arab minta supaya mereka dimasukkan ke
dalam rakyar Indonesia. Pada intinya Baswedan, meminta kerakyatan
Indonesia meliputi peranakan Arab dan peranakan lainnya, dengan, memberikan kesempatan bagi yang tidak setuju supaya boleh menarik diri dari
pemasukanj ini (Risalah BPUPKI & PPKI, 1998).
Pembicaraan tentang warganegsra Indonesia ini pada akhirnya terwujud dan terumuskan pada pasal 26 UUD 45 Negara Indonesia.
Soepomo ketika menyampaikan pendapat mengenai rancangan pasal tersebut menyatakan sebagai berikut:
Tentang warganegara, lihatlah pasal 26 UUD 45:
(1) Yang menjadi warna negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara.
(2) Syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undangundang.
Sedangkan pendapat lain (Aliran kedua) menyatakan, bahwa hendaknya
orang-orang peranakan (Indo, Arab, Tionghoa) yang sungguh ingin menjadi warganegara Indonesia, hedaknya memberitahukan keinginannya itu.

Siapa yang tidak minta menjadi warganegar, dianggap orang asing.


Berdasarkan hasil rumusan rancangan perihal kewarganegaraan pasal 26
UUD tersebut, terdapat beberapa hal penting, adalah sebagai berikut:
1). Kata bangsa Indonesia asli tetap dirujuk dan diakui yang nampaknya
para anggota masih dipengaruhi oleh pembagian kewarganegaraan di
jaman kolonial. Kata Indonesia asli juga menunjukkan ekspresi politik
dari bangsa yang sebelumnya sebagai orang jajahan. Istilah tersebut tak
Indonesia mudah begitu saja dihilangkan (pengalaman sejarah).
2). Perihal adanya orang-orang peranakan bangsa lain yang tinggal bahkan
telah berkembang secara turun-temurun,hidup bersama sebagai bagian
dari sejarah Indonesia yang perlu diakomodasi.
3). Tetap adanya pemberian kesempatan bagi orang-orang peranakan tersebut untuk menyatakan keinginan menjadi rakyat Indonesia atau tidak
menjadi warganegara Indonesia.
4). Pengaturan yang lebih tentang kewarganegaraan, lebih baik dinyatakan
dalam suatu undang-undang biasa.

3. Kewarganegaraan Indonesia Pascakolonial


Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, pengaturan tentang kewarganegaraan yang disyahkan oleh PPKI pasal 26 UUD 45 pada tanggal 18
Agustus 1945 tidak mengalami perubahan dari rumusan rancangan hukum
dasar yang dikemukakan oleh BPUPKI. Hal ini berarti pengaturan tentang
kewarganegaraan tidak menjadi problem kebangsaan kala itu. Bisa juga
juga karena adanya klausul yang menyatakan, bahwa pengaturan kewarganegaraan lebih lanjut dan akan lebih baik jika diatur kemudian, melalui
undang-undang biasa (Undang-Undang Kewarganegaraan).
Sebagai tindak lanjut, kemudian pemerintah untuk pertama kalinya mengesahkan undang-undang kewarganegaraan, yakni Undang-Undang No. 3
tahun 1946 yang berjudul Undang-Undang tentang Kewarganegaraan
dan
Penduduk Indonesia. Perihal warganegara, undang-undang ini telah memberikan pengakuan tehadap orang Indonesia asli (pribumi) dan bangsa lain
menjadi warganegara, karena telah memenuhi ketentuan undang-undang.
Sedangkan dalam hal pendududuk, undang-undang menyatakan bahwa
yang namanya pendududuk Indonesia adalah: tiap orang yang berkedudukan dalam daerah Indonesia selama satu tahun berturut-turut.
Undang-undang ini tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai penduduk Indonesia, sehingga yang berlaku dalam prakteknya adalah penggolongan penduduk pada masa Hindia Belanda (IS 1927 pasal 163).
Jadi meskipun secara yurisdi tidak berlaku, tetapi secara secara sosiologis
penggolongan penduduk ini dirasakan oleh warganegara.
Dengan amandemen UUD 45, penggolongan penduduk seperti pernyataan

di atas sudah tak berlaku lagi. Maka berdasarkan hasil perubahan UUD 45,
yang di dalam pasal 26 ayat (2) dinyatakan, bahwa penduduk negara
Indonmesia terdiri atas, yaitu warganegara dan orang asing.
Penduduk Negara Indonesia ialah tiap-tiap orang yang bertempat kedudukan di dalam daerah negara Indonesia.
Untuk istilah pribumi (penduduk asli) dan non pribumi (warga keturunan/
peranakan) sudah tidak berlaku lagi. Istilah bangsa Indonesia asli yang
diartikan sebagai orang pribumi/bumi putra dan keturunannya sudah tak
dapat dipertahankan lagi. Sekarang istilah Bangsa Indonesia Asli diartikan
sudah tidak lagi bersifat diskriminatif, yakni berdasarkan etnis tetapi di dasarkan atas hukum. Menurut UU No. 12 tahun 2006, ditentukan bahwa
yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli, adalah orang yang menjadi
warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Sehingga dengan demikian istilah bangsa Indonesia asli bukan diartikan
dalam pengertian sosiologis antropologis, tetapi merupakan pengertian
yuridis. Telah terjadi perubahan paradigma kewarganegaraan dari pengertian sosiologis antropologis menuju ke pengertian yuridis.
Terjadinya perubahan ini juga telah diakomodasi dalam UUD 45. Misalnya
dalam pasal 6 UUD 45 tentang persyaratan menjadi presiden Indonesia.
Pasal 6 ayat (1) UUD 45 sebelum perubahan berbunyi Presiden ialah
orang Indonesia asli, setelah diamandemen pasal tersebut berbunyiCalon
presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warganegara Indonesia
sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta
mampu secara rokhani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pernyataan harus seorang
warga negara Indonesoa sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain, menyiratkan konsepsi kewarganegaraan yuridis.
Perubahan ini juga sebagai penyesuaian dengan perkembangan masyarakat
yang semakin demokratis, egaliter (equality before the law) dan berdasarkan rule of law.
Penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi juga sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman, terkesan diskriminatif dan bertentangan dengan jiwa pasal 27 UUD 1945. Sebutan pribumi dan non pribumi
rentan sebagai pemicu dan pemacu konflik horisontal dalam masyarakat
Indonesia. Penghapusan istilah tersebut telah dilakukakn melalui inpres No.
26 Tahun 1988 tentang Penghentian Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Rumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Dengan demikian untuk selanjutnya penduduk Indonesia hanya ada dua,

yaitu Warganegara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di


Indonesia.
Tentang orang-orang bangsa lain yang disyahkan sebagai warganegara
Indonesia adalah orang-orang peranakan Belanda, Arab dan Timur Asing
lainnya, termasuk pula orang-orang yang sebelumnya berkewarganegaraan
lain (orang asing). Mereka bisa menjadi warganegara Indonesia melalui
peraturan perundangan yang berlaku. Syarat umum bagi orang bangsa lain
yang ingin menjadi warga negara Indonesia, adalah mengakui negara
Indonesia sebagai tanah airnya, bersikap setia kepada negara republik
Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturutturut.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai kewarganegaraan
Indonesia, yakni UU No. 12 tahun 2006 dinyatakan bahwa orang asing
dapat memperoleh Kewarganegraaan Republik Indonesia dengan melalui
permohonan. Sedangkan tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan. Syarat bagi orang asing unuk melakukan pewarganegaraan
antara lain:
yah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturutturut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c). Sehat jasmani dan rohani;
d). Dapat berbahasa Indonesia serta mengaku dasar negara Pancasila
dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e). Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f). Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan RI tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
g). Mempunyai pekerjaan dan/atau betrpenghasilan tetap; dan
h). Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Jadi bangsa lain yang ingin menjadi warganegara Indonesia perlu melakukan upaya-upaya hukum tertentu (stelsel aktif/pewarganegaraan aktif) agar
dapat diterima sebagai warganegara Indonesia. Cara ini sering disebut
pewarganegaraan aktif, sedangkan kelompok warganegaranya disebut warganegara by registration atau warganegara dengan stelsel aktif.
Warganegara Indonesia belum tentu menjadi penduduk Indonesia.
Kriteria seseorang dikatakan penduduk adalah domisili atau tempat tinggal.
Warganegara Indonesia yang tinggal di Indonesia disebut warganegara
Indonesia, sedang warganegara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia (di
luar negeri) bukanlah penduduk Indonesia, dia akan menjadi penduduk di
negara yang ditempatinya, ia menjadi orang asing di negara tesebut.

Contohnya seorang duta besar atau seorang yang berkewarganegaraan


Indonesia yang studi di luar negeri. Begitu juga warganegara asing bisa
menjadi penduduk Indonesia, karena bertempat tinggal di wilayah negara
Indonesia.
Perbedaan antara penduduk negara yakni warganegara dan orang
asing, adalah kedudukan hukum terhadap negara. Warganegara memiliki
hak dan kewajiban yang penuh terhadap negara. Warganegara mempunyai
hak-hak yang wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dilindungi
(protected), difasilitasi (facilitated) dan dipenuhi (fulfiled) oleh negara.
Sebaliknya warganegara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (reconized),
dihormati (respected) dan juga ditaati atau ditunaikan (complied) oleh
setiap warganegara (Jimly Asshidigie, 2006). Sedangkan orang asing yang
merupakan penduduk negara memiliki hak dan kewajiban yang terbatas
dalam hubungannya dengan negara yang mejadi tempat tinggalnya.
Hak orang asing diantaranya adalah perlindungan terhadap keselamatannya
, sedangkan kewajibannya antara: lain harus taat dan meghormati hukum,
adat budaya dan agama yang ada di seluruh wilayah negara Indonesia.

B. Hak dan Kewajiban Warganegara Indonesia


1. Hubungan Warganegara dengan Negara
Hak dan kewajiban warganegara muncul sebagai akibat adanya hubungan antara warganegara dengan negara. Hubungan antara warganegara dapat
dilihat dari berbagai perspektif, diantaranya perspektif hukum, politik, kesusilaan dan kebudayaan (Cholisin, 2007). Dari perspektif hukum didasarkan
pada konsepsi, bahwa warganegara adalah seluruh individu yang memiliki
ikatan hukum dengan suatu negara. Hubungan yang bersifat yuridis ini dibedakan menjadi (a) hubungan hukum yang sederajad dan tidak sederajad dan
(b) hubungan hukum timbal balik dan timbang timpang.
Hubungan hukum warganegara dengan negara yang baik, adalah hubungan
hukum yang sederajad dan timbal balik. Antara warganegara dengan negara
sesungguhnya tidak ada perbedaan kedudukan tinggi atau rendah. Artinya
apa yang menjadi hak wargnegara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh negara, sebaliknya yang menjadi kewajiban warganegara merupakan
hak negara. Dengan posisi yang sederajad dan timbal balik inilah, maka antar
keduanya dapat saling menggugat, manakala hak dan kewajiban yang timbul
dari keduanya diabaikan. Hal inilah yang disebut hubungan timbal balik antar
warganegara dan negara.
Dalam hubungan hukum yang tidak sederajad dan timbang timpang, dapat
terjadi apabila negara berkuasa atas rakyatn/warganya, sehingga akan muncul
hegemoni negara terhadap warganegara. Sebaliknya jika rakyat/warganegara
berada di atas negara, maka masyarakatlah yang memenangkan hegemoni

terhadap negara. Jika negara memenangkan hegemoni atas rakyat/warganegaranya, maka akan menimbulkan kehidupan politik yang tidak demokratis
serta berpotensi terjadi penindasan oleh negara terhadap rakyat, sehingga
menimbulkan pemerintahan yang tiran, otoriter dan totaliter). Sebaliknya jika
rakyat/masyarakat yang memenangkan hegemoni terhadap negara, maka nasib negara semata-mata hanya sebagai alat begi kelompok-kelompok masyarakat yang saling memiliki kepentingannya sendiri-sendiri(lihat ormas-ormas
radikal, keberadaan kelompok preman Jhon Key). Bagaimana dengan kelompok elit partai yang mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri?.
Bentuk hubungan politik warganegara dengan negara pada dasarnya,
adalah keinginan warganegara untuk mempengaruhi pemerintah negara agar
kepentingannya berupa nilai-nilai politik dipenuhi oleh pemerintah/negara.
Nilai-nilai politik warganegara tersebut menurut W. Deutsh, sebagaimana
dikutip dalam Cholisin, (2007) yang meliputi: kekuasaan, kekayaan, pendidikan, ketrampilan, kesehatan, respek, afeksi, kebajikan, keamanan dan kebebasan, ini semua dituangkan ke dalam konstitusi (lihat Pembukaan UUD 45
alinea ke 4 dan Pasal 26 sampai dengan pasal 34 UUD 45). Adapun bentuk
hubungan politik antara warganegara dengan negara dapat berupa kooperatif
(kerjasama), paternalistik (negara sebagai patront, sedang kelompok sosial/
masyarakat sebagai client).
Perihal hubungan antara negara dengan warganegara dalam sejarah pernah
dikemukakan oleh para founding father pada sidang I BPUPKI tanggal 31
Mei -1 Juni 1945, antara lain Bung Karno yang menyatakan bahwa negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong, sedang Moh
Hatta menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru berdasarkan gotong-royong, sedangkan Mr. Soepomo mengajukan bentuk ideologi dalam hidup berbangsa dan bernegara, yakni 1). Paham
Individualisme,
2). Paham Kolektivisme (Komunisme) dan 3). Paham Integralistik.
Beliau dengan sangat meyakinkan menolak paham individualisme dan kolektivisme dan menyarankan pahan intgralistik yang dinilai lebih sesuai dengan
semangat kekeluargaan yang berkembang di masyarakat kita (Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI). Dalam paham integralistik memberikan makna bahwa
semua untuk semua, tidak mendominasikan untuk kelompok yang besar
(dominasi mayoritas) dan kelompok yang kecil (tirani minoritas), semua tertergantung dari kepentingan (mendesak) dan skala prioritas. Manifestasi dari
bentuk negara yang integralistik tertuang di dalam pasal 1 UUD 1945, yang
menyatakan bahwa, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara

hukum.
Paham negara hukum yang demokratis sesungguhnya dapat menggambarkan
pola hubungan warganegara dengan negara. Dalam negara hukum yang
demokratis, warganegara/rakyat dipandang sebagai sumber kedaulatan (lihat
ayat ke 2), memiliki hubungan yang sederajad dengan negara serta semua
warganegara mempunyai kedudukan hukum yang sama (equality before the
law).
Oleh karena itu negara hukum yang demokratis, hendaknya pola hubungan
negara dan warganegara yang dibangun adalah hukum yang sederajad serta
timbal balik.
Sedangkan perihal hubungan negara dengan warganegara terdapat pada pasal
26 sampai pada pasal 34 UUD 1945, yang isinya menyatakan status warganegara, kedudukan hukum warganegara dalam negara, hak dan kewajiban
warganegara serta hak dan kewajiban negara.

2. Kedudukan (Status) dan Peran (Role) Warganegara


Seseorang yang berkedudukan sebagai warganegar Indonesia, maka ia
memiliki status sebagai warganegara Indonesia. Status sebagai wargnegara
berbeda dengan orang yang berstatus sebagai orang asing. Perbedaan ini akan
ditunjukkan dengan adanya seperangkat peran (role), hak dan kewajiban
selaku warganegara.
Antara status dan peran mempunyai hubungan yang erat, karena status seseorang akan menghasilkan peran dari status tersebut. Peran merupakan aspek
yang dinamis dari status, peran menunjuk pada apa yang seharusnya kita
lakukan berdasarkan status tersebut. Oleh karena itu berstatus sebagai warganegara, kita memilik peran pula sebagai seorang warganegara. Peran itu
itu akan tercermin dengan adanya sejumlah hak, kewajiban dan kewenangan
sebagai warganegara.
Adapun pembagian pola peranan (role) warganegara menurut Soerjono
Soekamto (19820, adalah sebagai berikut:
1). Peranan Ideal yaitu peranan yang diharapkan dari status itu, misal: peranan ideal dari seorang pemimpin/ayah.
2). Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (peranan yang dinginkan).
Misal, seorang ibu yang ingin berperan sebagai seorang kakak bagi anak
perempuannya yang sudah menginjak remaja/dewasa.
3). Peranan yang dikerjakan, yaitu peranan yang dilakukan individu sesuai
dengan kenyataan, misal seorang murid.
Menurut Padmo Wahyono (19830), status seorang warganegara terbagi
4 macam, yakni status positif, negatif, aktif dan pasif.
(1). Status Positif, yang dimaksudkan, adalah setiap warganegara berhak
memperoleh sesuatu yang positif dari negara terutama yang berhubungan dengan upaya pemenuhan untuk mewujudkan kemakmuran dan

dan kesejahteraan. Negara tidak boleh pasif, tetapi harus selalu aktif
untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan warganya.
(2). Status Negatif, yang dimaksudkan bahwa warganegara berhak untuk
menolak atau tidak dicampuri oleh negara dalam hal-hal tertentu terutama menyangkut hak-hak yang bersifat pribadi (privat).
Misal, tentang: menganut agama, memilih pasangan hidup, memilih
pendidikan, memilih pekerjaan dan memilih dalam pemilu.
(3). Status Pasif, diartikan sebagai kepatuhan warganegara kepada pemerintah berserta hukum dan peraturannya dan hukum yang bersumber pada
keadilan dan kebenaran. Contohnya, mematuhi peraturan lalu-lintas, tidak main hakim sendiri, membayar pajak. Status Pasif sangat penting
untuk dilaksanakan oleh warganegara, agar organisasi pemerintahan/
negara dapat berjalan dengan baik.
(4). Status Aktif, adalah keterlibatan secara aktif warganegara dalam organisasi negara. Status ini pada prinsipnya merupakan partisipasi warganegara dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasakan 4 status tersebut, maka warganegara memiliki 4 macam peranan
(role), yakni peranan positif, peranan negatif, peranan pasif dan peranan
aktif (Cholisin, 2007).
Empat (4) macam peranan/peran (role) tersebut, adalah:
a). Peranan Positif, yakni aktivitas warganegara untuk minta pelayanan dari
negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contoh sekelompok warga
yang meminta pemerintah daerah untuk membangun jalan atau jembatan.
b). Peranan Negatif, yakni aktivitas warga untuk menolak campur tangan
pemerintah dalam persoalan pribadi. Misal seorang warga menolak campur tangan pejabat dalam hal membagi harta warisan keluarganya.
c). Peranan Pasif, yakni kepatuhan warganegara terhadap hukum/peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Misal, membayar pajak.
d). Peranan Aktif, yakni aktivitas warganegara, untuk mempengaruhi kebijakan publik. Contoh ikut serta dalam memberi masukan pada sebuah
cangan undang-undang (RUU), misal RUU tentang Rahasia Negara, yang
natinya akan disahkan menjadi sebuah undang-undang .
Status (kedududkan) sebagai warganegara Indonesia, baik aktif, pasif, positif
maupun negatif mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama
pula. Negara Indonesia adalah negara demokrasi, yang meliputi demokrasi
politik, ekonomi dan sosial. Salah satu ktriteria/ciri negara demokrasi, adalah
adanya pengakuan akan persamaan kedudukan (status), hak warganegaranya,
baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. Hal ini jelas dinyatakan
secara tegas dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warganegara

bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan


wajib menjunjunhg tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualiannya

3. Hak dan Kewajiban Warganegara Indonesia


Warganegara dalam peranan/peran (role) mempunyai sejumlah hak dan
kewajiban pada negara, begitu juga dengan negara mempunyai sejumlah
hak dan kewajiban pada warganegara.
Pengaturan akan hak dan kewajiban warganegara maupun negara tertuang
dalam berbagai peraturan perundang-undangan negara.
Pada jaminan akan hak dan kewajiban warganegara maupun negara tertuang
di dalam konstitusi negara (Pembukaan UUD 1945) dan Undang-Undang
tahun 1945.
Hak dan kewajiban antara negara satu dengan yang lainnya berbeda-beda
sesuai dengan pengaturan yang ada dalam undang-undang dasar negara
mereka. Di Indonesia pengaturan tentang hak dan kewajiban warganegara
maupun negara tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4 dan
UUD 1945 pasal 26 sampai pasal 34, yang kemudian akan ditindak lanjuti melalui undang-undang, keputusan menteri dan seterusnya, yang merupakan
petunjuk pelakasanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Coba ingat
kembali tentang: Sistem Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia,
hierarkis nilai:nilai dasar, nilai instrumen dan nilai praksis serta 3 asas hukum:
lex specialis derogat legi generalis, lex superior derogat legi inferiori dan lex
posteriori derogat legi apripori).
Secara garis besar hak warganegara Indonesia tertuang di dalam Alinea
Ke 4 Pembukaan UUD 1945 dan di dalam pasal 26 sampai pasal 34 UUD
1945, adalah sebagai berikut:
1). Hak Warganegara:
a). Hak warganegara untuk memperoleh perlindungan, kesejahteraan dan
pendidikan
Hal ini termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 aline ke 4, yang
berbunyi: kemudian daripda itu untuk membentuk suatu pemerintahan
Negara Indonesia yang melindungi seluluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia........................................
............................serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
b). Pasal 26 ayat (1)dan (2) UUD 1945, yakni hak menjadi warganegara dan
dan penduduk.
c). - Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak.

- Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, yakni hak untuk membela negara.
d). - Pasal 28 UUD 1945, yakni hak berserikat, berkumpul dan berpendapat.
- Pasal 28 A sampai I UUD 1945 mengenai hak asasi manusia dan hak
dasar manusia.
e). Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yakni hak dalam memeluk agama.
d). Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, yakni hak dalam usaha pertahanan negara.
f). Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengajaran
dan pendidikan
g). Pasal 32 ayat (1) UUD 1945, yakni kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
h). Pasal 33 UUD 1945 ayat (1) sampai ayat (4) , yakni hak ekonomi untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
i). Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, yakni hak mendapatkan jaminan sosial.
2). Kewajiban warganegara meliputi:
a). Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni kewajiban warganegara untuk menmentaati hukum dan pemerintahan.
membela negara.
c). - Pasal 28 J ayat (1), yakni kewajiban menghormati hak asasi manusia.
- Pasal 28 J ayat (2), yakni wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
d). Pasal 31 ayat (2), yakni kewajiban mengikuti pendidikan dasar dan
menengah.
e). Pasal 30 ayat (1), yakni yang menyatakan kewajiban warganegara dalam upaya pertahanan negara.
Kewajiban warganegara pada dasarnya adalah hak negara. Negara adalah
Sebagai organisasi kekuasaan yang memiliki sifat memaksa (imperatif),
memonopoli dan mencakup semua hal. (lihat deifinisi negara menurut
Meriem Budihardjo). Oleh karena itu hak negara untuk ditaati dan dilaksanakan hukum-hukumnya yang berlaku di seluruh negara (unifikasi).
Hak-hak warganegara wajib untuk diakui (reconized), wajib untuk dihormati (respected) , dilindungi (protected), difasilitasi (facilitated), serta di
penuhi (fulfilled) oleh negara. Negara dibentuk dan didirikan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya.
Pengertian hak warganegara dan hak asasi manusia perlu dibedakan.
Hak warganegara timbul sebagai akibat hukum dari hubungan antara warganegara dengan negara. Setiap hubungan hukum selalu akan melahirkan
kekuasaan (hak) dan kewajiban. Jadi menurut hal ini adalah kekuasaan
atau wewenang yang oleh hukum diberikan kepada seseorang dari yang
menjadi lawannya, ialah kewajiban. Kekuasaan ini oleh hukum diberikan
kepada seseorang, karena hubungan hukum dengan orang lain atau puhak
yang selanjutnya disebut dengan hak (Suria Kusuma,1986), Pengertian lain

dari hak, adalah sesuatu yang harus diterima/didapat. Misal, hak anak adalah untuk mendapat perlindungan dan pendidikan dari orang tua, hak yang
diperoleh warganegara antara lain:mendapatkan/memeperoleh kesejahteraan, pendidikan dan perlindungan dari pemerintah/negara. Jadi hak bisa disebut sebuah kekuasaan/wewenang yang oleh hukum diberikan kepada
seseorang dari yang menjadi lawannya, ialah kewajiban, yakni orang lain
untuk mengakui kekuasaan itu, sedangkan kewajiban adalah tugas yang
harus dikerjakan/dilakukakan/diberikan oleh manusia untuk dipertahankan
dan membela haknya. Hak warganegara pada dasarnya adalah kekuasaan/
kewengangan yang dimiliki warganegara yang oleh hukum negara diberikan atau ditetapkan. Oleh karena itu hak warganegara setiap negara bisa
bisa berbeda sesuai dengan penetapan dari hukum negara yang bersangkutan.
Sedangkan hak asasi manusia adalah kebutuhan dasar yang memang telah
dimiliki oleh manusia sejak ia lahir. Hak asasi manusia adalah melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan serta
merupakan anugrahNya. Hak warganegara setiap negara berbeda dikarenakan perbedaan penetapan konstitusinya, sedangkan hak asasi manusia adasama, karena bersifat universal, berlaku bagi siapa saja, dimana saja dan
kapan saja.

C. Kewarganegaraan Indonesia
Telah dijelaskan sebelumnya, seperti apa yang dikemukan oleh Paulus,
bahwa konsep kewarganegaraan memiliki dua pengertian, yakni pengertian
yuridis dan sosiologis serta pengertian formal dan material. Pengertian yuridis-sosiologis menunjuk pada ikatan seseorang dengan negara.
Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum
seseorang dengan negara, sedang dalam arti sosiologis, yakni ikatan yang
terjadi tidak berupa ikatan hukum, tetapi karena adaya ikatan emosional,
seperti ikatan perasaan, keturunan, nasib, ikatan sejarah dan ikatan tanah
air. Dengan kata lain ikatan ini lahir dari pengahyatan orang yang bersangtan terhadap negara dan bangsa (wawasan nasional/wawasan nusantara).
Kewarganegaraan dalam arti formal menunjuk pada hal ihwal pada umumnya berada di dalam ranah hukum publik serta membicarakan masalahmasalah kewarganegaraan, sperti: siapakah warganegara itu, bagaimana kehilangan kewarganegaran dan sejnisnya. Kewarganegaran dalam arti material menunjuk pada akibat dari status kewarganegaraan, yakni hak dan
kewajiban warganegara.
Sejak Indonesia merdeka pengaturan masalah kewarganegraan, baik
dalam arti formal maupun material sudah diupayakan masuk dalam negara
maupun perundang-undangan negara, dalam UUD 1945 yang asli. Isi kewarganegraan termuat dalam pasal 27 sampai 34 UUD 1945, yang di da-

lamnya berisi hak dan kewajiban warganegara maupun kewajiban negara.


Dalam hal hukum kewarganegaraan (arti formal), pengaturan masalah kewarganegaraan Indonesia pertama kali diatur dalam UU No. 3 tahun 1946
tentang Warganegara dan Penduduk Indonesia. Dalam perekembangan nya
UU ini mengalami perubahan yang secara berurut-turut, adalah sebagai
berikut:
a. UU No. 6 tahun 1974 tentang Perubahan atas UU No. 3 tahun 1946
tentang Warganegara dan Penduduk Negara
b. UU No. 8 tahun 1974 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewarga Negara Indonesia
c. UU No. 11 tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk
Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewarga Negara Indonesia
d. UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganenagraan republik Indonesia
e. UU No. 3 tahun 1976 tentang Perubahan atas pasal 18 UU No. 62 tahun
1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
f. UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Dengan demikian untuk saat ini perihal hukum kewarganegaraan di atur
dalam UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Adapun perturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sebagai pelaksanaan dari undang-undang tersebut, adalah:
a. Peraturan pemerintah RI No. 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia
b. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL. 30.01 tahun
2006 tentang tata cara untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI berdasarkan pasal 41 dan Memeperoleh Kembali Kewarganegaraan RI berdasarkan pasal 42 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI
c. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No M.02-HL tahun 2006
tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warganegara Indonesia

BAB. V. PERATURAN KEWARGANEGARAAN RI


A. Kewarganegaraan RI sebelum berlakunya UU No. 12 tahun 2006
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 26 UUD 1945, dibuatlah undangundang pelaksanaan, yakni undang-undang yang mengatur tentang kewarganegaraan Indonesia. Sejak merdeka tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang undangundang mengenai kewarganegaraan Indonesia, adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang No. 3 tahun 1946 tentang Warganegara dan penduduk


Indonesia
Undang-undang No. 3 tahun 1946 disetujui bersama oleh pemerintah

dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) dan diundangkan pada tanggal 10 April 1946. Namun pada tanggal 27 Februari 1947,
Pemerintah RI dengan persetujuan KNIP mengeluarkan Undang-Undang No. 6
tahun 1947 tentang Perubahan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang
Warganegara dan Penduduk Indonesia. Undang-undang No. 3 tahun 1946 jo UU
No. 6 tahun 1947.
Menurut pasal 1 UU No. 3 tahun 1946, penjelasan tentang siapakah Warga
Negara Indonesia (Winarno, hal.108- 114).
2. Undang-Undang No. 2 tahun 1958 tentang Persetujuan antara RI-RRT mengenai
Dwikewarganegaraan
Diwajibkan kepada setiap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan
Untuk menentukan pilihannya, apakah ia akan melepaskan kewarganegaraan
RRC dan menjadi warganegara Indonesia, atau tetap menjadi warganegara RRC
dengan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban memilih itu hanya
dibebankan kepada orang dewasa (telah berumur 18 tahun atau pernah kawin).
Pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan dengan menyatakan kepada petugaspetugas negara, kewarganegaraan mana yang hendak dipilihnya, secara tertulis
atau secara lisan , dengan disertai surat-surat keteranagan diri serta keluarganya.
Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu satu tahun
setelah mereka dewasa.
Bagi dwi-kewarganegaraan yang dewasa tidak menyatakan pilihannya dalam
waktu 2 tahun berlaku ketentuan yang berikut:
1. Ia dianggap tekah memilih kewarganegaraan RRC, kalau
ayahnya keturunan Cina,
2. Ia dianggap telah memilih kewarganegaraan Indonesia,
kalau ayahnya keturunan Indonesia.
Sedangkan yang belum dewasa berlaku ketentuan, bahwa ia memilih kewarganegaraan yang diikutinya selama ia belum dewasa. Pada tahun 1969 UU No. 2
tahun 1958 dicabut kembali oleh UU No. 4 tahun 1969. Ditetapkan dalam UU
No. 4 tahun 1969 ini, bahwa mereka yang telah mempunyai kewarganegaraan
RI berdasarkan UU No. 2 tahun 1958, tetap kewarganegaraan Indonesia, sedang
orang-orang yang di bawah umur secara otomatis mengikuti garis kewarganegaraan orang tuanya.
Hal ini berarti, bahwa semasa UU No. 2 tahun 1958 tentang dwi-kewarganegaraan Indonesia masih berlaku. Orang tua memilih warganegara Indonesia, secara otomatis anaknya sesudah dewasa menjadi warganegara Indonesia
dan sebaliknya bila orang tuanya memilih warganegara RRC, maka anaknya sesudah dewasa akan menjadi warganegara RRC. Satu-satunya jalan yang dapat
untuk mengubah kewarganegaraannya menjadi warganegara Indonesia dengan

jalan naturalisasi.
3. Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia
Undang-Undang N0. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia
(Lembaran Negara tahun 1958 Nomor 113) mulai berlaku sejak diundangkan
pada tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa bagian dari undang-undang ini, yaitu
mengenai ketentuan-ketentuan siapa yang menjadi warganegara Indonesia,
status anak dan cara-cara kehilnagan kewarganegaraan, ditetapkan berlaku surut
tanggal 27 Desember 1949. Dasar hukum dari undang-undang ini adalah
UUD S tahun 1950, khususnya 5 pasal dan 144 UUDS 1950(Winarno, hal. 116123).

4. Undang-Undang No. 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No. 62


tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Repulblik Indonesia
Pasal 17 huruf k UU No. 62 tahun 1958 memberikan kewajiban bagi warganegara RI yang bertempat tinggal di luar negeri lain daripada untuk menjalankan dinas negara, guna menyatakan keingiunan untuk tetap menjadi warganegara RI dalam jangka waktu 5 (lima) tahun yang pertama dan selanjutnya
untuk siap 2 (dua ) tahun.
Dalam masa itu tidak semua warganegara RI yang tinggal di luar negeri dapat
memenuhi kewajiban tersebut, bukan karena kelalain melainkan akibat dari
keadaan di luar kesalahannya, sehingga ia terpaksa tidak dapat menyatakan
keinginannya tersebut tepat pada waktunya. Karena Pasal 18 tidak menampung orang-orang tersebut, maka perlu diadakan perubahan bertahap Pasal 18
UU No. 62 Tahun 1958.
Adapun mengenai orang yang berhak menggunakan kesempatan Pasal 18 ayat
(2) adalah orang-orang yang pada waktunya mulai berlakunya UU No. 62
Tahun 1958 adalah warganegara R I dan selama ini menunjukkan kesetiannya kepada Negara RI.
Dengan demikian mereka yang berkewarganegaraan asing, mereka yang
tanpa kewarganegaraan karena kehilangan kewarganegaraan RI atau mereka
yang telah memilih menjadi warganegara dari negara lain, tidak dapat mengmenggunakan kesempatan ini.
Demikian pula orang-orang Cina Perantauan (Hoa Kiau) juga tidak dapat
menggunakan kesempatan yang diberikan oleh UU ini. Ketentuan berlakunya
UU ini terbatas pula, yaitu: hanya berlaku 1 (satu) tahun, sehingga merupakan
ketentuan yang berlaku satu kali saja, Jangka waktu 2 (dua) tahun diberikan
bagi mereka yang di tempat tinggalnya tidak ada Perwakilan RI.
Sedangkan isi Pasal 18 UU No. 62 Tahun 1958 dapat di lihat Winarnod, hal.
124-125.

B. Kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 12 Tahun


2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 berlaku sejak diundangkan tanggal
1 Agustus 2006. UU ini untuk menggantikan undang-undang kewarganegaraan
yang lama, yakni UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI. Dasar
pertimbangan (konsideran) UU ini adalah, sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No. 62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaran R I sudah tidak sesuai lagi dengan perkemabangan
ketatanegaraan RI, sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru.
Undang-Undang No. 62 tahun 1958 secara filosofis, yuridis dan sosiologis
sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan keta-

tanegaran RI. Secara filosofis, undang-undang masih mengandung ketentuanketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena
masih adanya sifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi
manusia dan persamaan antar warganegara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS tahun 1950 sudah
tidak berlaku lagi sejak diberlakukan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 yang
menyatakan kembali ke UUD 1945. Dlam perkembangannya UUD 1945 telah
mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia dan hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-undang ini sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang
menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan waranegara di
hadapan hukum serta adanya kestaraan gender.
Istilah kewarganegaraan menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 adalah
segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara (pasal 1). Oleh karena
kewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan kewarganegaraan, maka kewarganegaraan mencakup hal-hal, antara lain
a. penentuan tentang siapa saja yang termasuk warga negara,
b. cara menjadi warga negara atau pewarganegaraan
c. tentang kehilnagan kewarganegaraan
d. tentang cara memperoleh kembali kewarganegaraan yang hilang
Adapun ketentuan pokok yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006, adalah
sebagai berikut:
a. tentang siapa yang menjadi warga negara Indonesia
b. Tentang syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan RI
c. Tantang kehilangan Kewarganegaraan RI

d. Tentang syarat dan tata cara memperoleh kembalai Kewarganegaraan RI


e. Tentang ketentuan pidana.
Secara umum dalam undang-undang dinyatakan bahwa menjadi WNI adalah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warganegara (pasal 2). Yang dimaksud
dengan orang-orang bangsa Indonesia asli, adalah orang Indonesia yang
menjadi warganegara Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah
menerima kewarganegaraan lain tas kehendaknya sendiri. Rumusan tentang
bangsa Indonesia asli sebagaimana di atas merupakan pengertian yuridis.
Dengan demikian istilah bangsa Indonesia asli bukan diartikan dalam
pengertian sosiologis antropologis. Sedang warganegara Indonesia yang
merupakan orang-orang bangsa lain adalah mereka yang memperoleh

kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan berdasarkan peraturan


perundangan yang berlaku.
Sedangkan isi dari UU No. 12 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:
1. Tentang siapa warga negara Indonesia, dinyatakan bahwa yang menjadi
warga negara Indonesia termaktub didalam pasal 4 atau Winarno, hal.
128-130.
2. Tentang cara memperoleh Kewarganegaraan RI, menuryt undang-undang
ini dapat dlakukan dengan:
a. Melalui permohonan (pasal 8-9)
b. Melalui pernyataan (pasal 19)
c. Melalui pemberian kewarganegaraan (pasal 20)
d. Melaui pernystssn untuk memilih kewarganegaraan (wqinarno, hal.
131-132).
3. Tentang kehilangan kewarganegaraan, dinyatakan bahwa kewarganegaan RI hilang, jika bersangkutan: (pasal 23) atau Winarno, hal. 132-136.
4. Mengenai ketentuan pidana diatur dalam pasal 36-38.
Untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat UUD 45
sebagaimana tersebut di atas, undang-undang ini memperhatikan asa-asa kewarganegaraan umum (universal), yaitu asas ius sanguinis, ius soli dan
campuran.
Asas-asas yang digunakan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, adalah sebagai berikut:
a. asas ius sanguinis )(law of the blood)
b. asas ius soli (law of the soil)
c. asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang mentukan satu
kewarganegaraam bagi setiap orang

d. asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menetukan


kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.
Selain itu masih ada, beberapa asas kewarganegaraan yang bersifat khusus,
yang juga menjadi dasar penyusunan undang-undang Kewarganegaraan
Indonesia, yaitu:
1. Asas kepentingan nasioanl, adalah asas yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatan sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.
2. Asas perlindungan maksimum, adalah asas yang menentukan bahwa
Pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap
WNI dalam kedaan apapun, baik di dalam maupun diluar negeri.

3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, adalah asas yang


menentukan bahwa setiap WNI mendapatkan perlakuan yang sama di
dalam hukum dan pemerintahan.
4. Asas kebebasan substantif, adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai subsatnsi
dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
5. Asas nondiskriminstif,adalah asas yang tidak membedakan perlakuan
perlakuan dalam segala hal ikwal yang berhubungan dengan warga
warganegara atas dasar suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin
dan gender.
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, adalah asas yang dalam segala ikhwal yang berhubungan dengan warga
negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi
manusia pada umumnya dan warganegara pada khususnya.
7. Asas keterbukaan, adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala
hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan
secara terbuka.
8. Asas publisitas, adalah asas yang menentukan bahwa seseorang
yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan RI diumumkan
dalam Berita Negara RI agar masyarakat mengetahuinya.

BAB. VI. HAk-HAk ASASI MANUSIA DAN RULE OF LAW


A. Hak Asasi Manusia (HAM)
1). Pengertiah Hak Asasi Manusia (HAM)
Secara harafiah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh

seseorang sekedar karena orang itu adalah manusia.


Konsep yang sederhana ini mempunyai implikasi yang mendalam ke berbagai ranah,
diantaranya: hukum, politik, sosial, agama dan ekonomi. Hak itu ada dan melekat pada
diri yang namanya manusia, sejak ia hidup dan sampai mati. Hak itu bersifat universal,
merata dan tak dapat dialihkan dan diwakilkan. Sehubungan dengan hal ini persoalan hak
asasai bersifat holistik, dalam arti menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat
manusia,
tanpa membedakan status, identitas diantara mereka.
Hak asasi manusia ada yang bersifat individu, sosial dan universal, oleh karena itu
tanpa
adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh umat manusia, negara sera organisasi-organisasi dunia, hak asasi manusia hanyalah bersifat yuridis, normatif dan jargon belaka.

Kata padanan Hak Asasi Manusia, antara lain :


1). Natural Rights (hak dasar/hak alami) yang dikemukakan oleh John Locke dan Prof.
Ritchie yang artinya sepadan dengan arti manusia adalah Zoon Politicon(Aristoteles),
bahwa manusia secara alami/kodrati adalah sama (equality) dan bebas (freedom).
2). Human Rights dan Basic Rights (Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember
1948) yang mengadung arti : persamaan di depan hukum (equality before the law/
Isonomia.
3). Fundamental Rights yang meliputi Legal Rights dan Moral Rights (Philipus M.
Hadjon, 1985 : 51).
Sedangkan pengertian Hak Asasi Manusia (HAM), adalah hak dasar (kodrati/alami) yang
dimiliki oleh setiap manusia sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia meliputi
hak
hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak-hak yang lainnya yang melekat pada diri
manusia. Hak asasi pada hakekatnya adalah hak yang berasal dari Tuhan, sebagaimana
yang tercantum di dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998, bahwa hak asasi
manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati,
universal
dan abadi sebagai anugerah Tuhan YME.
Pengertian Hak Asasi Manusia dari berbagai

2). Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM)


Sejarah hak asasi manusia merupakan perjalanan panjang upaya manusia mencari keadilan,
untuk memperjuangkan agar memperoleh hak-haknya sebagai manusia.
Nilai-nilai hak asasi manusia mulai diperjuangkan sejak dari :
a. Protes Kaum Bangsawan terhadap Raja Inggris John Lackhland (abad ) yang
menghasilkan : Magna Charta ( 1215) yang isinya : Jaminan perlindungan terhadap hakhak kaum bangsawan dan gereja
b. Pertentangan antara Raja Charles I dengan Parlemen (1628) yang menghasilkan:
Petition of Rights (Penetapan Pajak dan hak-hak istimewa) harus pesetujuan parlemen
dan bahwa siapapun tak boleh ditangkap tanpa tuduhan-tuduhan yang sah.
c. Pada tahun 1689 waktu Raja Willem III menandatangani Bill of Rights sebagai hasil
dari The Glorious Revolution Revolusi ini mengawali babak baru kehidupan demokrasi
di Inggris, yakni perpindahan kekuasaan dari raja ke parlemen.
Parlemen juga berhak : untuk merubah keputusan raja, mempunyai kebebasan berbicara
dan berpendapat, disamping itu pemilihan parlemen berlaku bebas.
d. Di Inggris John Locke dan Thomas Hobbes dan di Perancis, terdiri dari Tiga Serangkai,

yakni: J.J Roesseou ( Contract Social), Montesque (De Lois Sprits), Voltaire serta dari
Jerman adalah Immanuel Kant (Trias Politica: eksekutif, legislatif dan yudiukatif).
John Locke memandang manusia sebagai makhluk sosial (homo Social) yang padanya
melekat hak asasi yang diberikan oleh alam yakni: life, liberty dan property.
Konsep ini mengilhami munculnya Declaration of Independence Amerika Serikat pada
tanggal 4 juli 1776.
e. Di Perancis terjadi Declaration des Droits de Ihomne et du Citoyen (Pernyataan hak
hak asasi dan warganegara pada tahun 1789 yang isinya: Liberty, egality dan
fartenity
pada jaman Raja Louis XVI yang disertai dengan hancurnya Penjara Bastille oleh
oleh Napoleon Bonaparte, sebagai akibat dari revolusi yang dipelopori oleh tiga
serangkai tokoh pencerahan di Perancis.
f. Declaration of Independence (1780) yang dipertegas dan diucapkan pada tahun 1941 oleh
Presiden Amerika Franklin D.Roosevelt,ungkapan ini terkenal dengan Four The Freedom
yang isinya :
1). Kebebasan berbicara (freedom to speech)
2). Kebebasan beragama (freedom to religion)
3). Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want)
4). Kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear).
g. Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948

3). Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia


a. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Sebelum disahkan Hak Asasi Manusia Dunia (Universal Declaration of Human
Rights) tanggal 10 Desember 1948) oleh PBB, Indonesia sudah terlebih dahulu mencantumkan nilai-nilai HAM ke dalam Pembukaan dan UUD 45 sejak disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945 oleh PPKI.
Selain itu Indonesia juga sudah meratifikasi (pengesahan dokumen, konvensi , undangundang, perjanjian antar negara atau persetujuan hukum international yang dilakukan oleh
parlemen) Piagam PBB tentang HAM ke dalam sistem hukum Indonesia.
Adapun Piagam PBB tentang HAM terdiri dari 30 Pasal (Kaelan, p. 15- 23)
Nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) tercantum di dalam :
1). Pembukaan UUD 45 :
a. Di dalam alinea 1, yang berbunyi : kemerdekaanan ----------------karena tidak sesuai
dengan peri keadilan dan peri kemanusiaan
b. Di dalam alinea ke .4 yang isinya antara lain :
1. Pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah
tumpah darah Indonesia
2. Untuk memajukan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian
abadi dan keadilan sosial
2). Di dalam UUD 45 :
a. BAB X Warga Negara dan Penduduk Pasal 27 ayat (1, 2 dan 3)
b. Pasal 28A-28J yang isinya tentang hak: tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.-------- vide hal. 144.
c. BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1 dan 2)

d. BAB XII Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30 ayat (1)


e. BAB XIII Pedidikan dan Kebudayaa Pasal 31 seluruh
f. Pasal 33 tentang sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat ayat ( 1, 2, 3)
g. Pasal 34 Fakir Miskin dan Anak Terlantar meliputi seluruh ayat ( 1, 2, 3, 4)
3). Penjelasan Umum KUHP (U U N0. 8/1981), antara lain menyebutkan bahwa, UUD 45
Menyebutkan bahwa, UUD45menjelaskan dengan tegas, Negara Indonesia berdasarkan
atas hukum (rechtstaat negara hukum) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka
(marchtstaat atau negara kekuasaan), yang berarti negara Indonesia menjunjung tinggi
hak asasi manusia dan menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum (equality before the law).
4). Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993 dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi (KOM
NASHAM) (Masyur, p. 131-133).
5). Bukti bahwa Indonesia adalah negara yang concern/peduli dan melaksanakan hak asasi
manusia, antara lain adalah disahkannya:
a. UU RI No. 3 tahun 1977 tentang Peradilan
b. UU RI No. 4 tentang 1978 tentang Kesejahteraan Anak
c. UU R I No. 23 th 2004 tentang PKDART
d. UU RI No. 5 tahun 1988 tentang Konvesi Menentang dan Penghukuman yang Kejam
e. UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umu
f. Kepres No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
g. UU RI NO. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
h. UU RI No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
i. UU RI No. 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers
j. UU RI No. 13 th 2006 tentang Perlindungan Saksi korban
k.UU RI No. 12 th 2006 tentang Kewarganegaraan RI
l. UU RI No. 40 th 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Selain itu juga banyak tercantum di dalam undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Th
2003 dan UU Serikat Pekerja th 2000

B. Rule of Law
1.Pengertian Rule of Law
Pada abad ke 19 dan abad ke 20 muncul gagasan mengenai pembatasan
mendapat rumusan secara yuridiksi (hukum). Ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant dan friedrich Julius Stahl memakai istilah :
istilah Rechsstaat, sedangkan para ahli hukum Anglo Saxon, seperti A.V.
Dicey memakai istilah Rule of Law.
Menurut Stahl ada empat (4) unsur-unsur rechtssaat dalam arti klasik, yakni:
1. Hak-hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan-kekuasaan untuk menjamin hak-hak
itu (di negara-negara Eropa Kontinental disebut Trias Politica).
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
4. peradilan admonistrasi dalam perselisihan (Oemar Seno Adji, dalam
5. Budihardjo, 1982: 58).
2. Unsur-Unsur Rule of Law
Sedangkan unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik menurut A.V. Dicey
dalam Introduction to the law of the Constitution mencakup tiga hal, yakni:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, dalam arti seseorang boleh dihukum
(diberi sanksi), apabila orang itu melanggar dan melawan hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi/didepan hukum (equality
before the law). Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja, baik pejabat
maupun orang/rakyat biasa.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang negara (konstitusi).
Pada tahun 1965 International Commission of Jurist (organisasi ahli hukum
internasional) dalam konferensinya di Bangkok memperluas konsep rule of
law. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah:
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin
hak-hak individu, harus menentukan pula cara-cara yang prosedural untuk
memperoleh perlindungan atas hak-haknya yang dijamin;
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)

BAB. VII. DEMOKRASI


A. Pengertian Demokrasi
Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani dari kata demos yang artinya rakyat dan
kratos/kraten yang berarti kekuasaan. Demokrasi berarti rakyat bekuasa (goverment of rule by
th people).
Menurut Abraham Lincoln yakni: demokrasi di artikan sebagai pemerintahan/kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat untuk rakyat (government of pepople, by the prople, for the people).
Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan
langsung oleh mereka atau wakil-wakil mereka pilih di bawah sistem pemerintahan yang bebas.
Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedang rakyat
beserta warga masyarakat yang didefinisikan sebagai warganya.
Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktinya, demos menyiratkan makna
diskriminatif. Karena demos bukanlah rakyat secara keseluruhan , tetapi hanya populus tertentu,
yakni mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan foremal dari para pengontrol aksas ke
sumber-su7mber kekuasaan, yang diakui dan bisa mengklaim memeiliki hah-hak praerogatif dalam
proses pengambilan keputusan menyangkut urusan publik atau pemerintahan (sumarsono, 200 :20).
Dalam perspektif teoritis, demokrasi sering dipahami sebagai maryoritarianisme (dominasi
mayoritas), yakni kekeuasaan oleh mayoritas rakyat lewat wakil-wakil yang dipilih melalui proses
pemilihan demokratis, sehingga muncul pertanyaan dari Syamsuddin (2000: 4)Betulkah bahwa
mayoritas identik dengan kebenaran?. Dalam perspektif filosofis jawaban dari pertanyaan
tersebut negatif. Apa yang disukai orang banyak (prefferred by most) tidak sama dengan Apa
yang banyak disukai (most prefferred). Baik kekuasaan maupun kemayoritasan tidak identik
dengan kebenaran. Proses politik acapkali membawa kekuasaan untuk mmemmutuskan kesuakaan

tanpa memperhatikan kebenaran, apalagi jika proses politik itu sendiri dijalankan atas kekuasaan.
Pengertian demokrasi dari dua aliran, yakni:
a. Demokrasi konstitusional/demokrasi yang terbatas kekuasaannya dalam suatu negara hukum.
b. Demokrasi Komunis , yakni mencita-citakan pemerintahan yang tidak terbatas(machtsstaat)
dan bersifat totaliter. Sistem demokrasi ini sebenarnya bertentangan dengan arti dan makna
demokrasi itu sendiri, karena demokrasi adalah identik dengan kebebasan (freedom)
c. Arti demokrasi dalam aplikasinya, antara lain:
1). Musyawarah untuk sepakat dan mufakat.
2). Menghargai pendapat dan suara orang lain
3). Kemenangan ditentukan suara terbanyak (aklamasi) atau 2/3 dari jumlah anggota/pemilih
atau berdasarkan aturan yang telah disepakati (50+1)
4). Sahnya suatu keputusan (DPR) apabila dihadiri paling sedikit 2/3 dari semua jumlah
anggotanya, sehingga kalau kurang dari itu dianggap tidak sah karena tidak memenuhi
qourum.
5). Anggota/peserta yang berhak tidak datang/tak menggunakan haknya, maka dianggap menyetujunya semua hasil keputusan/pemilihan.
6). Demokrasi selalu disamakan dengan kebebasan (freedom)
7). Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi perwakilan.
8). Demokrasi Indonesia berdasarkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 harus sesuai dengan adagium :
Lex Populi Lex Dei dan Lex Populi Suprema lex.
9). Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila (musyawarah untuk mufakat)
Adapun ciri-ciri demokrasi menurut Erni Ernawati dalam bukunya: Business Etics, adalah:
a). Demokrasi menjamin adanya keanekaragaman dan pluralisme (bhinneka).
b). Demokrasi menjamin kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, untuk memperjuangkan
nilai yang dianut oleh setiap orang dan sekelompok masyarakat dalam frame kepentingan
bersama.
c). Demokrasi menjamin setiap orang dan kelompok masyarakat ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik dan memeperoleh manfaatnya
d). Demokrasi menjamin sifat transparansi (keterbukaan)
e). Adanya akuntabilitas publik.
Selain itu ada Demokrasi Klasik, yakni dari Yunani Kuno dalam lingkup Negara Polis (City
State/Polis), sifat demokrasi ini adalah demokrasi langsung, bentuk pemerintahan yang di dalamnya berupa untuk membuat keputusan politik yang dijalankan secara langsung oleh seluruh
warganegara berdasarkan suara .
Demokrasi ini mulai berkembang di Eropa Barat pada abad 15 dan 16 dan mecapai puncaknya
pada abad 19. Dalam Demokrasi Modern menonjolkan asas kebebasan manusia terhadap segala
bentuk kekangan dan penindasan, baik di bidang agama, pemikiran maupun politik.
Selaian itu juga menekankan pentingnya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (demokrasi
terkait dengan HAM).
Komisi Internasional Ahli Hukum dalam konferensi di Bangkok tahun 1965 merumuskan
syarat-syarat dasar penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law,
sebagai berikut :
a. Perlindungan konstitusional yang menjamin hak- hak individu
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
c. Pemilihan yang bebas
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
e. Kebebasan berserikat, berkumpul dan beroposisi
f. Pendidikan kerwarganegaraan (civic education)

Sedangkan bentuk negara pemerintahan menurut Plato, Aristoteles dan Polybus mengklasifikasikan dalam tiga bentuk yakni : Monarki, aristokrasi dan demokrasi.
Kriteria yang digunakan adalah :
1). Jumlah orang yang memegang pemerintahan, apakah satu orang/beberapa orang ataukah
dipegang oleh seluruh rakyat.
2). Sifat pemerintahan ditujukan untuk kepentingan umum (rakyat), pemerintah/negara atau
untuk kepentingan perorangan/kelompok.
3). Tujuan pemerintahan ditujukan untuk kepentingan umum/masyatakat.
Ketiga bentuk pemerintahan/negara itu baik, jika ditujukan untuk kepentingan rakyat (umum),
namun mempunyai ekses, jika kekuasaan tidak untuk kepentingan rakyat.
Adapun ekses-ekses itu adalah :
- Dari Monarki menjadi Tirani
- Dari Aristokrasi menjadi
- Dari Demokrasi menjadi Anarki

B. Perkembangan Demokrasi
Perkembangan jaman modern,k etika kehidupan memasuki skala luas, demokrasi tidak lagi berformat lokal, ketika negara sudah mulai berskala nasional, bahkan internasional demokrasi tak mungkin lagi direalisasikan dalam bentuk partisipasi langsung, masalah diskriminasi dan kegiatan politik tetap saja berlangsung.
Kenyataannya tidak semua warganegara dapat langsung terlibat dalam perwakilan,
dan hanya mereka yang karena sebab tertentu mampu membangun pengaruh dan
menguasai suara politik, terpilih sebagai wakil.Sementara sebagian besar rakyat hanya/harus puas jika kepentingannya terwakili, tetapi tidak memiliki kemampuan
dan kesempatan yang sama untuk mengefektikan hak-haknya sebagai warganegara.
Adapun pun perkembanagn bentuk pemerintahan dari monarkhi absolut menuju ke
monarkhi konstitutional, aristokrasi dan demokrasi.
C. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
1. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia
a. Periode 1945-1959: UUD R I S demokrasi Parlementer yang menonjolkan parlemen,
partai serta memberi peluang untukpartai-partai politik dan DPR.
Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh menjadi lemah
dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan yang konstruktif pasca kemerdekaan.
b. Periode 1959-1965 masa Demokrasi Terpimpin dalam beberapa aspek telah menyimpang
dari Demokrasi Konstitusional dan lebih menampilan beberapa aspek dari demokrasi rakyat
(Marhaen, Ampera).
Dengan ditandai dominasi Presiden, terbatasnya peran politik dan pengaruh komunis semakin luas.
c. Periode 1966-1998, masa Demokrasi Pancasila era Or-Ba merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil. Dalam perkembangannya peran Presiden smakin dominan terhadap lembaga-lembaga yang lain (legislatif dan yudikatif).
d. Periode 1999 - Sekarang: masa demokrasi Pancasila era reformasi dengan berakar pada
kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan peran dan perimbangan antara lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Pada tahun 2004 dimulai pemilihan pejabat publi secara langsung (presiden, gubernur, wali
kota dan bupati)

Selain itu juga disahkannya UU Otonomi Daerah yang mengindikasikan adanya pembagian
kekuasaan secara vertikal dari sistem sentralisasi (terpusat) menjadi desentralisasi (terdistribusi).
e. Adanya Pengesahan Berbagai Undang-Undang, antara lain:
1. Adanya amandemen UUD 45 yang ke empat, bahkan berpotensi untuk amandemen lagi.
2. Adanya UU Otonomi Daerah
3. Adanya UU Otonomi Khusus untuk daerah tertentu (NAD, Papua)
4. Adanya UU Pemilihan Kepala Daerah dan Presiden secara langsung
5. Adanya UU Pemilu.
6. Konsep-konsep demokrasi juga tercantum pada:
a). Alinea ke II Pembukaan UUD 45, yakni Dan perjuangan---------------------------negara
------------------------------Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
b). Alinea ke IV Kemudian Pembukaan UUD 45, yakni-----------------------kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta-----------------rakyat Indonesia.
c). Pasal 1ayat (2) UUD 45, yakni: kedaulatanberada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD***
d). Pasal 19 UUD 45, yakni: Anggota DPR dipilih melalui pemilu *
e). Pasal 22 E yakni: Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
adil setiap lima tahun sekali***.

3. Pengertian Demokrasi menurut UUD 45


a. Seminar Angkatan Darat II (Agustus 1966)
(1). Bidang politik dan Konstitusional
Demokrasi Indonesia menurut UUD 45 berarti menegakkan kembali pada asas-asas
negara hukum (legal state), yang menjamin adanya kepastian hukum (principle of security) dapat dirasakan oleh semua warganegara (equality before the law) serta pelaksanaan hak asasi manusia, baik secara kolektif maupun individual dan penyalagunanaan
wewenang/kekuasaan dapat dihindarkan secara konstitusional. Agar hak-hak warganegara di bidang politik dapat terpenuhi, antara lain hak untuk mengikuti pemilu/pemilukada (hak untuk dipilih dan memilih) yang berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku.
(2). Bidang Ekonomi
Demokrasi ekonomi menurut UUD 45, ekonomi yang tercantum dalam Pasal 33 ayat
(1, 2, 3, 4) UUD 45, yang pada hakekatnya memberikan kehidupan yang layak bagi
semua warganegara, karena itu sebagai tugas dan kewajiban pemerintah/negara pada
warganegaranya, antara lain mencakup:
a. pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara,
b. adanya koperasi,
c. Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya.
d. peranan pemerintah yang bersifat pembinaan, penunjuk jalan serta pelindung.

b. Munas III: The Rule of Law (Desember 1966)


Asas negara hukum mengandung prinsip :
1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi mengandung arti persamaan dalam bidang :
politik, hukum, ekonomi, sosial-kultural, pendidikan dan keamanan.
2. Peradilan yang independen dan tak memihak.
3. Jaminan kepastian hukum dalam segala persoalan.

C. Simposium Hak-Hak Asasi Manusia (Juni 1967)

Persoalan hak asasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun yang
akan datang harus ditinjau dalam rangka untuk mencapai keseimbangan yang wajar, yang
mencakup tiga hal, yakni:
1). adanya pemerintahan yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan,
2). adanya kebebasan yang sebesar-besarnya,
3). perlunya untuk membina suatu rapidly expanding economy (pengembangan ekonomi secara cepat).

D. Nilai-Nilai Demokrasi
Adapun nilai-nilai demokrasi menurut Cipto (2002, 31-37), meliputi:
1. Kebebasan Menyatakan Pendapat
Kebebasan menyatakan pendapat adalah sebuah hak bagi warganegara yang wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah sistem politik demokrasi.
Warganegara dapat menyampaikan kepada pejabat yang berwenang dari tingkat paling rendah
: lurah sampai presiden, DPRD Tk II/I sampai ke DPR Pusat serta ke DPD, baik melalui pembicaraan langsung (temu wicara), lewat surat, sms, media massa, lewat penulisan buku ataupun melalui wakil-wakil di DPR.
2. Kebebasan Berkelompok, Barserikat dan Berkumpul
Berkelompok, berserikat dan berkumpul dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar
demokrasi yang diperlukan bagi setiap warganegara. Kebutuhan berkelompok, berserikat dan
berkumpul merupakan naluri dasar manusia sebagai makhluk sosial, sehingga manusia tidak
bisa hidup sendiri, tanpa bantuan dan kehadiran orang l ain. Secara natural manusia adalah
makhluk tidak sempurna, sehingga tidak mampu mengatasi persoalan secara diri sendiri.
3. Kebebasan Berprestasi
Kebebasan berpartisipasi sejatinya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat,
berserikat dan berkumpul. Ada empat (4) jenis partisipasi:
Pertama, adalah pemberian suara dalam PEMILU, baik pemilihan anggora DPR, ataupun
presiden.
Kedua, adalah bentukpartisipasi yang disebut melakukakan kontak hubungan dengan pejabat
pemerintah. Contoh: temu wicara dengan pejabat pemerintah lurah/kepala desa sampai kepada
presiden, atau menyampaikan aspirasi kepada pejabat.
Ketiga, melakukan protes atau unjuk rasa terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah, misal
tentang privatisasi BUMN, kenaikan TDL, BBM, adalah merupakan salah satu bagian dari
proses demokrasi untuk memperbaiki kebijakan pemerintah atau swasta yang dirasa memberatkan rakyat, terutama rakyat kecil tanpa harus menimbulkan gangguan dalam kehidupan
politik.
Keempat, mencalonkan diri untuk menjadi kadidat pejabat publik mulai dari kepala desa,
bupati atau walikota, gubernur, anggota DPR hingga presiden sesuai dengan sistem dan
undang-dan undang-undang yang berlaku.
4. Kesetaraan Antar Warganegara
Kesetaraan atau egalitarianisme merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan
untuk pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan di sisi lain diartikan sebgai kesempatan yang sama (the right man the right place) bagi setiap warganegara, tanpa membedakan
etnis, suku, agama, ras maupun golongan. Nilai ini sangat diperlukan bagi negara yang masyarakatnya heterogen, yang multi etnis, multi ras, multi bahasa dan multi agama.
Heteroginitas masyarakat sangat rawan dan rentan terhapap berbagai konflik kepentingan
(vetsed interst), terutanma konfik horisontal. jika tidak ada suatu konsep yang disepakati bersama dan mempersatukan mereka, sehinggga situasi toteransi bisa tercipta (kondusif), serta

perbedaan bisa diminimalisir/diperkecil jaraknya.


5. Rasa Percaya (Trust)
Sebuah negara/pemerinatahan yang demokrasi akan sulit berkembang, apabila rasa saling
percaya tidak tumbuh diantara mereka, baik yang bersifat horisontal (antar lembaga peme
rintah) dan bersifat vertikal (antara pejabat pemerintah dengan rakyat/warganegara/masyarakat. Bila yang ada hanyalah rasa ketakutan, kecurigaan, kekawatiran dan permusuhan
sehingga akan menimbulkan hubungan diantara mereka tidak harmonis, yang berakibat pada
situasi tidak kondusif, bahkan secara nasional akan menimbulkan ketidakstabilan (unstability)
kehidupan politik.
6. Kerjasama
Kerjasama di dalam masyarakat demokrasi sangat diperlukan untuk mengatasi pesoalan
yang muncul dalam kehidupan bernasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kerjasama yang dimaksudkan adalah kerjasama dalam hal kebajikan.
Kerjasama (mufakat) akan terlaksanana, jika setiap orang/kelompok bersedia untuk mengorbankan sebagian apa yang diperoleh dari kerjasama itu.
Demokrasi tidak hanya memerlukan hubungan kerjasama antar individu dan kelompok.
Kompetisi, kompromi dan kerjasama merupakan nilai-nilai yang mampu mendorong terwujudnya demokrasi.
Menurut Muhaimin (2002, 11) nilai yang penting dalam demokrasi, seperti: kemauan melakukukan kompromi, bermusywarah berdasarkan asas saling menghargai dan ketundukan pada
rule of law, yang pada akhirnya dapat menjamin terlindungnya hak asasi setiap manusia
Indonesia.
Demokrasi dalam arti yang luas adalah: kebebasan/hak, menghargai perbedaan pendapat, kewajiban, memberi ruang, kesempatan untuk hidup dan pengembangan diri bagi yang
bagi yang minoritas, inilah yang disebut dengan demokrasi modern (Buyung Nasution).
Demokrasi masuk ke dalam ranah hehidupan, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Demokrasi hanyalah sebuah sarana/instrumen/alat/tool untuk penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang tujuan akhirnya, untuk mencapai kesejahteraan bersama (kesejahteraan sebesar-besarnya untuk sebagian besar masyarakat).
Demokrasi bukan tujuan, dengan demokrasi penyelenggraan pemerintahan diharapkan akan
lebih baik. Demokrasi tanpa batas (pasca reformasi) akan terjadi anarki dan reformasi kebablasan, justru akan menimbulkan ketidakjelasan dan kertidakpasian.
Banyak slogan demokrasi diucapkan: atas nama demokrasi, demi demokrasi tetapi cara dalam
menyelesaikan justru bertentangan dengan hakekat demokrasi itu sendiri.
Selain itu demokrasi acapakali bertentangan dengan konsep dan aplikasi ketahanan nasional.
Pelaksanaan demokrasi dalam segala bidang akan berjalan dengan baik, jika disertai kedewasaan berdemokrasi serta dilandasi niat dan moral yang baik,jika tidak, makad emokrasi hanyalah
sebagai slogan dan diskursus semata. Demokrasi yang dibangun sebaiknya adalah demokrasi
partisipatif bukan instruktif/demokrasi epigon), sehingga demokrasi merupakan cerminan suara
rakyat.
Pengertian demokrasi dari perspektif harafiah, adalah pemerintahan/kedaulatan rakyat, sesuai
dengan bunyi pasal 1 ayat (2) UUD 45: Kedaulatan di tangan rakyat yang dilaksanakan berdasarkan UU (amandemen).
Demokrasi dalam arti aplikatif berdasarkan konteks dan kontennya, antara lain:
- Suara 2/3 atau 50 + 1 atau aklamasi
- Mengakui dan menrima kebaradaan dan perbedaan dengan orang lain
- Mengakui dan mendengarkan, menghargai pendapat orang lain
- Tak boleh memaksakan kehendak

- Memberi kesempatan bagi orang lain .


Ada yang berpendapat bahwa demokrasi , adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Demokrasi ini meliputi seluruh aspek kehidupan, baik individual, bermasyarakat, berbangsa
maupun bernegara, antara lain demokrasi politik, ekonomi, sosial, budaya serta hankam.

E.Pendidikan Demokrasi
1. Pengertian pendidikan Demokrasi
a. Pendidikan Demokrasi menurut Zamroni (2001:8), adalah mendidik warga masyarakat
agar mudah dipimpin, tetapi sulit untuk dipaksa, mau diperintah tetapi sulit untuk diperbudak. Sebagai warga masyarakat demokratis, masing-masing warga dengan sukarela
senatiasa taat pada undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Jika undang-undang dilecehkan, mereka akan bangkit, apalagi kalau mereka dipaksa melakukakn sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Demikian pula reaksi spontan warga masyarakat akan muncul, apabila justru penguasa
sendiri yang dengan sengaja dan sadar melecehkan undang-undang atau peraturan-peraturan yang berlaku.
Pendidikan demokrasi menekankan pada kemandirian, kebebasan tanggung jawab.
Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada
kesadaran akan pluralitas masyarakat. Dalam kehidupan pluraliatas, tidak jarang seseorang
atau kelompok masyarakat memiliki kecenderungan untuk mementingkan kelompoknya,
sehingga akan menimbulkan konflik (konflik horisontal).
Oleh karena itu, kebebasan harus diiringi dengan kesabaran, tolernasi dan kemampuan
untuk mengendaliakan diri.
Pendidikan untuk demokrasi adalah proses sepanjang hayat, hal ini tak dibatasi pada jenjang atau kelas pendidikan sekolah. Pendidikan demokrasi dapat menggunakan berbagai
model/pendekatan, sesuai dengan sistem politik, tradisi sosial budaya dan sejarahnya atau
dengan model negara Barat yang bebas, model yang digunakan oleh negara Asia dan
negara-negara berkembang.
b. Menurut UNESCO (1998:57) terdapat berbagai aspek/dimensi demokrasi yang dapat digunakan untuk pendidikan demokrasi meliputi hal-hal yang bersifat: politis, ideologis, filsafati atau konseptual, sejarah, hukum, legislatif, budaya, artistik dan sus sastra.
Suatu pendekatan yang selektif digunakan di dalam memilih dari daftar ini, akan tetapi
perhatian khusus hendaknya diberikan pada demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dari
semua paguyuban (komunitas).

2. Maksud Pendidikan Demokrasi


Menurut Unesco maksud pendididkan demokrasi pada hakekatnya,
adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhami dengan pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghargaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang-orang lain, pengormatan pada individualitas, promosi peran aktif dalam semua aspek kehidupan sosial dan kebebasan bersekspresi, kepercayaan dan beribadat. Jika hal-hal itu sudah ada, maka
dimungkinkan untuk pengambilan keputusan, demokrasi pada semua tingkatan
yang akan mengarah pada kewajaran , keadilan dan perdamaian.
Sedangkan Rosyada (2004:17),berpendapat bahwa sekolah demokratis merupakan
sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik

demokrasi itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stakeholder dan user


sekolah) dalam membahas program-program sekolah dan prosedur pengambilan
keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggungjawabkan implementasinya kepada publik.

3. Tujuan Kurikulum Demokrasi


Menurut UNESCO tujuan kurikulum demokrasi adalah:
1). Meningkatkan informasi dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip demokratis, berbagai bentuk pemerintahan yang demokratis, lembaga-lembaga
politik, demokrasi dalam praktek, dan masasalah-masalah demokrasi khususnya di Asia-Afrika.
2). Menanamkan dan sikap-sikap dan nilai-nilai yang mengembangkan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari.
3). Memperkuat prilaku demokrasi.

4. Strategi Pengembangan Pendidikan Demokrasi


Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam startegi pengembangan pendidikan demokrasi, yakni:
a). Untuk dapat mengembangkan pendidikan demokrasi haruslah berlaku di
tempat-tempat pembelajaran, sepertidi sekolah-sekolah dan di kelas-kelas
pendidikan di luar sekolah. Hendaknya kegiatan-kegiatan pembelajaran
dilaksanakan dengan cara yang demokratis.
b). Pendidikan untuk demokrasi adalah proses yang berlanjut; secara tepat
diperkenalkan di semua jenhjang dan semua bentuk pendidikan, melalaui
pendekatan terpadu.
c). Penafsiran demokrasi yang kaku dan eksklusif hendaknya dihindari, diupayakan secara tetap untuk memperluas perspektif-perspektif demokrasi
kita, sesuai dengan berbagai konteks sosio-budaya dan ekonomis dan
evolusinya.
d). Kawasan Asia Pasifik secara budaya kaya dalam musik, seni, susastra
dan tari-tarian. Hal inilah hendaknya sedapat mungkin digunakan untuk
membuat proses pembelajaran hidup, serta penting untuk mencari suatu
model demokrasi yang ada dan asli di kawasan ini (unesco, 1998,; 5758)

BAB. VIII. WAWASAN NUSANTARA


A. Dasar Pemikiran
Kedudukan Manusia di bumi adalah :
1. Sebagai hamba Tuhan, karena sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi
derajadnya (mempunyai akal, budhi dan nurani), jika dibandingka dengan
ciptaanTuhan yang lainnya.
2. Sebagai wakil Tuhan (Khalifatullah) di bumi yang menerima ananatNya

untuk mengelola, menjaga, melestarikan dan memanfaatkan kekayaan alam


dengan segala isinya
Karena kedudukannya itulah manusia mempunyai dua tatanan hubungan,
yakni :
1. Secara Horizontal: hubungan antara manusia dengan Tuhan (privat)
2. Secara Vertikal: hubungan antara manusia dengan manusia (sebagai makhluk sosial), antara manusia dengan makhluk lainnya (hewan, tumbuhtumbuhan dan alam). Dari sini diharapkan akan terjadi hubungan yang harmonis, komprehensif-holistik, sehingga akan tercipta kondisi ekosistem
yang serasi selaras dan seimbang (simbiose mutualistis).
Bangsa Indonesia sebagai umat manusia yang religius sudah seharusnya
dapat berperan aktif sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan.
Manusia dalam melaksanakan tugas dan kegiatan hidupnya bergerak, meliputi
dua bidang, yakni
1. Bidang Universal Filosofis: bersifat transendens dan idealistis (das sollen)
yang berupa:aspirasi bangsa, pedoman hidup dan pandangan hudup bangsa.
Aspirasi bangsa ini menjadi inspirasi dan dasar wawasan nusantara bangsa
Indonesia dalam kaitannya dengan wilayah Nusantara. Misal : tujuan dan
cita-cita negara.*
2. Bidang Sosial Politik: bersifat imanensi dan realistis (das sain),yang lebih
lebih nyata dan bisa dirasakan dalam kehidupan, karena bersifat indrawi
dan fisik (Kesejahteraan, keamanan, ketentraman, keadilan).
Misal: Aturan hukum dan undang-undang yang berlaku dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagai produk sosial-politik.
Sebagai negara kepulauan(nusantara/archipelago serta tipe masyarakatnya
yang majemuk/bhinneka memiliki dua unsur sekaligus, yakni :
1. Unsur Kekuatan, karena negara Indonesia secara geografis terletak pada
posisi yang strategis (posisi silang diantara benua Asia dan Australia)
dan kaya akan sumber daya alam (natural rechources) serta mempunyai
jumlah penduduk yang banyak, merupakan sumber daya manusia dan
sumber daya pembangunan yang potensial.
2. Unsur Kelemahan, karena wujud kepulauan dan kemajukan masyarakat
yang harus disatukan seperti ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, sebagaimana sudah diperjuangkan dan dikonsepkan oleh para pendiri
bangsa/negara (founding fathers). Puncak perjuangan itu berwujud dengan adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 45.
Dengan banyaknya pulau kalau tak mampu mengelola rentan terhadap penyusupan orang asing dan separatisme. Begitu juga dengan kemajukan
masyarakat, rentan terjadi perpecahan kalau tak ada konsep yang mampu

mempersatukan dan diterima oleh semua elemen dan komponen bangsa.


Jumlah penduduk yang banyak distu sisi menguntungkan tersedianya tenaga
kerja, namu disisi lain kelemahannya kalau pemerintah tak mampu menyediakan lapangan kerja akan menjadi masalah sosial, karena akan menciptakan pengangguran. Selain itu jumlah penduduk yang banyak kalau tak berpendidikan juga bermasalah, karena tidak terserap dalam pekerjaan yang
membutuhkan keahlian, sehingga pekerjaan yang sesuai hanyalah kerja
masal/padat karya. *
Salah satu pedoman hidup bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang
berpijak pada wujud wilayah nusantara yang disebut Wawasan Nusantara.
Karena hanya dengan upaya inilah akan menjamin kesatuan dan persatuan
wilayah, bangsa dan segala aspek kehidupan nasionalnya, sehingga bangsa
Indonesia tetap eksis serta dapat melanjutkan perjuangan untuk menuju citacita nasional, yakni masyarakat adil, makmur dan sejahtera (the greatest of
number, the greatest of the hapinnes: memberikan kesejahteraan yang sebesar-besarnya kepada sebagian besar masyarakat/rakyat Indonesia).

B. Pengertian Wawasan Nusantara


1. Pengantar :
a. Setiap bangsa (Indonesia) mempunyai Wawasan Nasional (National Out
look) yang merupakan visi bangsa tersebut menuju ke masa depan.
b.Wawasan Nasional untuk menjamin kelangsungan hidup dan keutuhan
bangsa, wilayahnya serta untuk membangun dan mempertahankan jati diri
bangsa, yang merupakan karakteristik bangsa yang membedakan dengan
bangsa lain.
c.Wawasan Nasional bangsa Indonesia dikenal dengan nama Wawasan
Nusantara.
2. Pengertian Wawasan Nusantara
Wawasan berasal dari kata Wawas yang berarti : pandangan, tinjauan
atau penglihatan indrawi, yang kemudian menjadi kata : Mawas, yang
berarti : memandang , meninjau atau cara melihat. Sedangkan arti
Wawasan adalah : cara pandang, cara tinjau atau cara melihat.
Sedangkan istilah Nusantara berasal dari kata Nusa yang artinya :
pulau-pulau dan Antara yang artinya : diapit diantara dua hal. Istilah
Nusantara dikenal sejak jaman Majapahit pada masa kejayaan raja
Hayamwuruk dengan patihnya Gajahmada. Kata Nusantara dipakai untuk: menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulaupulau(arhipelago) di Indonesia yang terletak diantara samudra Pasifik
dan samudra Indonesia serta diantara benua Asia dan Australia.
Secara umum Wawasan Nasional adalah cara pandang suatu bangsa
tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan
sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografis negara-

nya untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.


Sedangkan Wawasan Nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa
Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan
UUd 45 serta sesuai dengan geografis wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
Fungsi dan peran wawasan nusantara adalah untuk membimbing dan
mengarahkan bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupannya,
serta sebagai rambu-rambu dalam perjuangan mengisikemerdekaan.
Selain itu juga diharapkan mampu untuk membina persatuan dan kesatuan bangsa dan negara RI dalam segala aspek kehidupan.

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara


1. Faktor Wilayah (Geografi)
a. Asas Kepulauan (Archipelagic Principle)
Kata archipelago/archipelagic berasal dari bahasa Italia dari kata
archipelagos, dari asal kata : archi yang berarti penting dan terutama
serta dari kata pelagos yang berarti laut atau wilayah lautan.
Jadi Archipelago dapat diartikan sebagi wilayah lautan yang terpenting.
Pada awalnya kata Archipelago terdapat di Naskah resmi Perjanjian
antara Republik Venezza dengan Michael Palaleogus pada tahun 1262.
Perjanjian ini menyebutkan bahwa Arc(h)Pelago, yang maksudnya adalah Auigaius Pelagos atau Laut Aigia yang dianggap sebagai laut terpenting oleh negara-negara yang bersangkutan. Pengertian ini berkembang tidak hanya laut Aigia saja, tetapi juga laut-laut yang ada di dalamnya. Istilah Archipelago pada mulanya berarti wilayah lautan dengan pulau-pulau di dalamnya.
Namun dalam perkembangannya Archipelago selalu diartikan kepulauan/kumpulan pulau-pulau atau gugusan pulau-pulau.
Lahirnya asas archipelago mengandung pengertian : bahwa pulau-pulau
tersebut selalu dalam kesatuan yang utuh, sedangkan tempat unsur perairan sebagai unsur penghubung dan bukan sebagai unsur pemisah.
Istilah Archipelago pertama kali digunakan oleh John Cawford dalam
bukunya The History of Indian Archipelago tahun 1820.
b. Kepulauan Indonesia
Bagian wilayah Indiche Archipel yang dikuasai oleh Belanda dinamakan
Nederlandsch Oost Indishe Archipelago, yang kemudian menjadi wilayah negara RI. Banyak untuk sebutan kepulauan bekas jajahan Belanda,
yakni: Hindia Timur, Insulinde (Multatuli), Nusantara (Majapahit),
Indonesia, Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie), Nama Indonesia yang
berarti Kepulauan India. Dalam bahasa Yunani Indo berarti Indi/Hindia
dan Nesos yang berarti pulau.Jadi Indonesia adalah Pulau India/Hindia.
Sebutan Indonesia merupakan ciptaan ilmuwan JR Logan dalam Journal

of the indian Archipelago and East Asia (1850). Seorang ahli hukum Sir
W.E Maxwell juga memakainya dalam kegemarannya mempelajari Rumpun Melayu. Pada tahun1882 dia menerbitkan buku penuntun untuk bahasa itu, dengan kata pembukaan memakai istilah Indonesia.
Istilah Indonesia semakin terkenal berkat peran Adolf Bastian (etnolog)
yang menegaskan arti kepualauan ini dalam bukunya: Indonesien order
die Inseln des Malaysichen Archipels (1884-1889).
Pada awal abad ke-20 Perhimpuanan Mahasiswa Indonesia di Belanda
menyebut diri dengan Perhimpunan Indonesia, yang kemudian diikuti
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan menggunakan
istilah Indonesia untuk: tanah air, bangsa dan bahasa untuk mengganti
sebutan Nederlandsch Ooust Indie.
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 kata/istilah
Indonesia telah resmi (legal formal) menjadi nama negara dan bangsa
Indonesia sampai sekarang.
C. Konsepsi Wilayah Lautan
Dalam perkembangannya hukum laut International dikenal beberapa
konsepsi mengenai pemilikan dan penggunaan wilayah laut, yakni :
1). Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memilikinya.
2). Res Cimmunis, yang menyatakan bahwa laut itu dalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat dimiliki oleh masing-masing negara.
3). Mare Liberum, yang menyatakan bahwa wilayah laut adalah bebas untuk semua bangsa.
4). Mare Clausum (The Right and Domonion of the Sea) hanya laut sepanjang pantai saja yang dapat dimiliki oleh suatu negara sejauh yang
dapat dikuasai dari darat (waktu itu kira-kira sejauh 3 mil).
5). Archipelagic State Principle (Asas negara Kepulauan) yang menjadi
dasar adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.
Saat ini Konvensi PBB tentang Hukum Law (United Nation Convention the Law of the Sea-UNCLOS) mengakui adanya tertib hukum laut
dan samudra yang dapat memudahkan komunikasi internasional dan
memajukan penggunaan laut yang damai.
Selain itu juga ada keinginan untuk mendayagunakan sumber daya
dan kekayaan laut secara adil dan efisien, konservasi dan pengkajian
sumber kekayaan hayati serta perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut.
Sesuai dengan Hukum Laut International, secara garis besar negara
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki Laut
teritorial,Perairan
Pedalaman, Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan LandasKontinen.

Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:


1). Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari
satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lainnya. Sedangkan yang dimaksud kepulauan adalah suatu gugusan
pulau, termasuk bagian pulau yang terdiri dari:perairan dan wujud
alamiah, antara satu dengan yang l ainnya mempunyai hubungan
yang erat dan merupakan satu kesatuan yang hakiki diantara
geografi, ekonomi dan politik.
2). Laut Teritorial adalah satu wilayah laut yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal, yakni garis air surut
terendah sepanjang pantai, seperti terlihat pada peta laut skala besar berupa garis yang menghubungkan titik terluar dari dua pulau
dengan batas-batas tertentu sesuai dengan konvensi ini.
3). Perairan Pedalaman adalah wilayah sebelah dalam daratan atau
sebelah kanan dari garis pangkal.
4). Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah zona tidak boleh melebihi
dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di dalam ZEE negara yang
bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan
alam hayati dari perairan.
5). Landas Kontinen suatu negara berpantai meliputi dasar laut dan
tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya, sepanjang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya.
Jaraknya 200 mil laut dari garis pangkal atau lebih dari itu dengan
tidak boleh melebihi 100 mil batas kedalaman dasar laut 2500 m.
d. Karakteristik Wilayah Nusantara
Nusantara berarti Kepulauan Indonesia yang terletak diantara: Benua Asia
dan Benua Australia dan diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik. Kepulauan Indonesia terdiri dari 17.508 pulau besar maupun kecil.
Pulau yang sudah memiliki nama berjumlah 6.044. Kepulauan Indonesia
terletak pada batas-batas astronomi :
Utara
: 6 08 LU
Selatan : 11 15 LS
Barat
: 94 45 45 BT
Timur
: 141 05 BT
Jarak antara Utara - Selatan 1.888 km, sedangkan jarak antara Barat Timur sekitar 5.110 km. Bila diproyeksikan dengan peta Benua Eropa jarak
Barat-Timur sama dengan jarak antara London (Inggris) Ankara (Turki).
Bila diproyeksikan dengan peta Amerika Serikat jaraknya antara Pantai

Barat sampai Pantai Timur Amerika Serikat.


Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km2, yang terdiri dari
daratan seluas 2.027.087 km2 dan perairan 3.166.163 km2.
Luas wilayah Indonesia terbesar, jika dibandingkan dengan negara-negara
Asia Tenggara dan jika dibandingkan negara-negara dunia luas daratan
Indonesia menempati urutan yang ke 14.
2. GEOPOLITIK DAN STRATEGI
A. GEOPOLITIK
1). Pengertian Geopolitik
Istilah Geopolitik semula diartikan oleh Frederich Ratzel (1884-1904)
sebagai Ilmu Bumi Politik (Political Geography).
Istilah itu kemudian diperluas dan dikembangkan oleh : Rudolf Kjellen
(Sarjana Ilmu Politik Swedia 1864-1922) dan Karl Haushofer Jerman
1869-1964) menjadi Geographical Politic = Geopolitik).
Perbedaannya dari dua istilah : Ilmu Bumi Politik (Political Geograhy)
dengan Geograpical Politic (Geopolitik) terletak pada perspektif dan tekanannya, apakah bidang politik atau geografinya. Ilmu Bumi Politik
Ratzel melihat/mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedangkan Geopolitik Kjellen dan Houshofer mempelajari fenomena politik dari
aspek geografi.
Geopolitik memaparkan dasar pertimbangan dalam nenentukan kebijakan
nasional untuk mencapai tujuan tertentu (misal ketahanan nasional).
Prinsip-prinsip geopolitik menjadi perkembangan suatu wawasan nasional. Pengertian geopolitik mulai berkembang sejak abad XIX-XX sebagai: ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijaksanaannya selalu
dikaitkan dengan problematik geografi wilayah yang menjadi tempat
tinggal suatu bangsa.
2). Pandangan Ratzel dan Kjellen
Pandangan Ratzel dalam kajian Geografi Politik, bahwa negara adalah
mirip dengan suatu organisme (makhluk hidup). Dia memandang negara
dari sudut konsep ruang hidup (lebensraum). Negara adalah ruang yang
ditempati oleh sekelompok masyarakat politik (bangsa). Bangsa dan negara terikat oleh hukum alam. Jika bangsa dan negara ingin tetap eksis dan
berkembang, maka harus diberlakukan hukum ekspansi (pemekaran
wilayah, coba ingat kembali Teori Evolusi Darwin dalam bukunya Original of species , srategi makhluk hidup untuk memepertahankan diri
supaya tetap eksis/the survival of fittest, harus melakukan antara lain :
evolusi, mencari/menduduki daerah lain (ekspansi, imperialisasi dan kolonilaisasi). Sedang Kjellen berpendapat bahwa negara adalah organanisme yang harus memiliki intelektual, negara merupakan sistem politik yang

mencakup : geopolitik, ekonomi politik, kratopolitik dan sosiopolitik.


Dia juga setuju dengan paham Ekspansionis dalam rangka untuk mempertahankan dan mengembangkan negara, dengan langkah strategis sekaligus
untuk memperkuat negara, dengan dimulainya membangun kekuatan daratan (kontinental) dan diikuti dengan membangun kekuatan maritim/bahari/kelautan. Seperti pendapat negara-negara penganut paham ekspansionisme : suatu negara jika menguasai daratan dia akan menguasai dunia
(Jerman), suatu negara jika menguasai lautan dia akan menguasai dunia
(Inggris), jika suatu negara menguasai udara dia akan menguasai dunia
(Amerika Serikat).
Mereka mengajukan paham ekspansionisme, yang kemudian melahirkan
ajaran adu kekuatan (Power Politics/Theory of Power).
3. Pandangan Haushofer
Pandangan dan pemikiran Haushofer mewarnai geopolitik Nazi Jerman
(Hittler). Selain berisi paham ekspasionisme Haushofer juga mengandung
paling unggul(Duetch ubber alles/Ubber mench: F. Nietsche). Pandangan
ini juga berkembang di Jepang, yakni ajaran Hako Ichiu, Boshido, Kamikaze yang dilandasi oleh semangat militerisme dan fasisme yang tinggi.
Fasisme juga dianut negara Turki yang dipimpin oleh presiden Benicto
Mussolini.
Pokok-Pokok Pemikiran Haushofer, yakni :
a). Suatu bangsa bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam (natural selection). Hanya bangsa yang unggul
(berkualitas) sajalah yang mapu bertahan hidup (survival of fittes, coba
ingat kembali teori evolusi Charles Darwin: seleksi , evolusi, kompetisi dan ekspansi yang terus berkembang dan menjurus kearah diskriminasi rasialis, chauvinistik , zenobhis, gnozidais, apartheid dan di
Australia disebut dengan White Policy , di Amerika black and white.
b). Kekuasaan/imperium daratan yang kompak akan dapat mengejar
kekuasaan imperium maritim untuk menguasai pengawasan lautan.
c). Beberapa negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai Eropa
, Afrika dan Asia Barat, yakni Jerman dan Italia. Sementara Jepang
akan menguasai Timur Raya.
d). Geopolitik dirumuskan sebagai perbatasan ruang hidup bangsa dengan
kekuasaan ekonomi dan sosial yang rasial mengharuskan pembagian
baru dalam kekayaan dunia. Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi
tindakan politik untuk memperjuangkan kelangsungan hidup untuk
mendapatkan ruangb hidupnya .
Berdasarkan teori yang bersifat ekspansionisme, wilayah dunia dibagi
- bagi menjadi region-region yang akan dikuasai oleh bangaa-bangsa
yang unggul (dalam segala aspek), seperti Amerika, Jerman, Rusia ,

Inggris, Jepang, yang kemudian terkelnal sebagai negara-negara


Industri/G.8.
4. Geopolitik Bangsa Indonesia
Pandangan Geopolitik Bangsa Indonesia didasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan Kemanusiaan yang luhur dengan jelas dan tegas tertuang di
dalam Pembukaan UUD 45. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta
damai, cinta kemerdekaan. Bangsa Indonesia menolak segala bentuk
pejajajahan,karena penjajahan tidak sesuai dengan peri keadilan dan perikemanusiaan (alinea I Pembukaan UUD 45).
Bangsa Indonesia menolak rasialisme, karena berpijak pada paham kebangsaan (nasionalisme), dengan menolak paham chauvinisme. Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang terbuka, mau kerjasama, tolong menolong
antara bangsa lain dan saling menguntungkan. Semua dalam rangka ikut
mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia yang abadi.
B. GEOSTRATEGI
Geostrategi berasal dari dua kata, yakni Geo= alam, bumi, sedangkan strategi
adalah : politik dalam pelaksanaan, yakni upaya bagaimana mencapai tujuan
dan sasaran yang ditetapkan sesuai dengan keinginan politik.
Karena strategi merupakan upaya pelaksanaan, maka strategi pada hakekatnya merupakan suatu seni/cara yang implementasinya didasarkan atas intuisi, perasaan dan hasil pengalaman.
Strategi merupakan ilmu yang langkah-langkahnya selalu berkaitan dengan
data dan fakta yang ada. Seni dan ilmu digunakan sekaligus untuk membina
dan mengelola sumber daya yang dimiliki dalam suatu rencana dan tindakan.
Pertimbangan geostrategis untuk Indonesia yang berada dalam posisi silang
Dilihat dari dari berbagai aspek, geografi, demografi maupun dari aspek :
IPOLEKSOSBUDHANKAM.
1). Geografis ; terletak diantara dua benua Asia dan Australia, serta diantara
samudra Pasifik dan Samudra Hindia. (apa keuntungan dan kelemahannya).
2). Demografi Penduduk Indonesia berada penduduk yang jarang di selatan
(Australia) dan penduduk yang padat penduduknya (RRC dan Jepang).
Sebutkan kelelebihan dan kelemahan dalam segala aspek kehidupan).
3). Ideologi : Indonesia Pancasila berada diantara ideologi Liberalisme
(Australia) dan Komunisme (RRC, Vietnam dan Korea Utara).
4). Politik : Indonesia demokrasi Pancasila berada dinatara demokrasi liberal
dan demokrasi rakyat (demokrasi proletar/diktator).
5). Ekonomi : terletak diantara ekonomi kapitalis (selatan) dan sosialis/
komunis (utara).
6). Sosial : Indonesia terletak diantara masyarakat individulis /liberalisme
(Selatan) dan masyarakat sosialis (utara).

7). Budaya:Budaya Indonesia terletak diantara budaya barat dan budaya


timur.
8). Hankam: geopolitik dan geostrategi Hankam Indonesia terletak diantara
wawasan kekuatan maritim (Selatan) dan wawasan kekuatan kontinental/
daratan (Utara).
3. Perkembangan Wilayah Indonesia dengan Dasar Hukumnya
a. Sejak tanggal 17-8-1945 13-12-1957
Wilayah RI ketika merdeka meliputi semua wilayah bekas jajahan
Belanda berdasarkan ketentuan Teritoriale Zee en Maritim Krigen
Ordonantie (1939) tentang batas wilayah laut teritorial Indonesia.
Ordonansi tersebut menetapkan batas wilayah laut teritorial sejauh 3
Mil dari garis pantai surut dengan asas pulau demi pulau secara terisahpisah.
b. Deklarasai Juanda (13-12-57-17-2-69)
Tanggal 17 Desember 1957 dikeluarkan Deklarasi Juanda sebagai pengganti Ordonasi tahun 1939 dengan tujuan adalah sebagain berikut :
1). Perwujudan bentuk wilayah NKRI yang utuh dan bulat.
2). Penentuan batas-batas wilayah Negara Indonesia disesuaikan dengan
asas hukum negara kepulauan (Archipelagic State Princiles).
3). Pengaturan lalulintas damai pelayaran yang lebih menjamin keselamatan dan keamanan NKRI.
Asas kepulauan mengikuti ketentuanYurisprudensi Makamah International
tahun 1951 ketika menyelesaikan kasus perbatasan antara Inggris dan Norwegia. Berdasarkan asas kepulauan nusantara termasuk perairan yang utuh
dan bulat (Point to point the ory untuk menentukan garis dasar titik terluar
dari pulau-pulau terluar).
Untuk mengatur lalu lintas perairan dikeluarkan PP No. 8 tahun 1962 tentang lalun lintas damai perairan pedalaman Indonesia(intrnal waters) yang
meliputi:
a). semua pelayaran dari laut bebas kesatu pelabuhan Indonesia,
b). semua pelayaran dari pelabuhan Indonesia ke laut bebes dan
c). semua pelayaran dari indonesia ke laut bebas dengan melintas perairan
Indonesia.

BAB. IX. KETAHANAN NASIONAL


1. Latar Belakang

a. Terbentuknya negara Indonesia dilatarbelakangi oleh


perjuangan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.
b. Adanya HGAT dari sejak Indonesia merdeka sampai sekarang ,baik dari dalam maupun dari luar yang bersumber bisa dari IPOLEKSOSBUDHANKAM, pangan, kependuduk, hak asasi manusia, demokrasi dan lingkungan
hidup.
2. Landasan Ketahanan Nasional
a. Landasan Ideal : Pancasila
b. Landasan Konstitusional: UUD 45 (Ps 27 dan Ps 30 UUD
45)
3. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional
Bangsa Indonesia merintis jalan kebangsaan dengan perjuangan sejak jaman penjajahan baik secara fisik, jiwa maupun
pikiran demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia sekarang
dan masa yang akan datang (visi ke depan).
4. Ruang Lingkup Katahanan Nasional
Pokok-Pokok Pikiran Ketahanan Nasional
Konsepsi Ketahanan Nasional: mengandung keuletan dan ketangguhan dalam rangka mengembangkan kekuatan nasional
untuk menghadapi potensi HGAT baik yang berasal dalam
dari luar maupun dari dalam negeri.
Konsep nasional berupa pokok pikiran :
- Manusia sebagai makhluk berbudaya
- Tujuan nasional, falsahah dan ideologi negara.
5. Pengertian Ketahanan Nasional dan pengertian Konsepsi Ketahanan Nasional.
a). Pengertian Ketahanan Nasional, adalah kondisi suatu bangsa
yang meliputi segenap kehidupan nasional yang terintegrasi
berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi
segala potensi HGAT baik dari dalam maupun dari luar negeri untuk menjamin identitas, integritas dan kelangsungan hidup bangsa yang disertai perjuangan untuk mencapai tujuan
nasional (Lemhanas, 2000:98).
b). Konsepsi Ketahanan Nasional berupa: hal. 68-69 Kaelan.
- Ketangguhan

- Keuletan
- Identitas
- Integritas
- HGAT
Dalam aplikasinya untuk membangun ketahanan nasional seLalu berhadapan dengan : hak asasi manusia, demokrasi, kependudukan,lingkungan hidup,pangan serta IPOLEKSOSBUD.
Diantara komponen-komponen itu ada kalanya dalam aplikasinya dapat sejalan dan saling mendukung, namun juga tak dapat
dipungkiri seringkali terjadi pertentangan dan perlawanan bagi
mereka yang merasa dirugikan.

Anda mungkin juga menyukai