PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
B. Pengertian dan tujuan pendidikan Kewarganegaraan
1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan
2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
C. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan
1. Landasan Ilmiah (Keilmuan)
2. Landasan Hukum
BAB II. WARGANEGARA
A. Pengertian Warganegara
B. Karakteristik Warganegara
BAB. III. KEWARGANEGARAAN
A. Konsep Kewarganegaraan
B. Perspektif Teori Kewarganegaraan
C. Kewarganegaraan Yuridis- Sosiologis dan Kewarganegaraan
Formal dan Material
BAB. IV. WARGANEGARA INDONESIA
A. Siapakah Wrganegara Indonesia
B. Hak dan Kewajiban Warganegara Indonesia
C. Kewarganegaraan Indonesia
BAB. V. PERATURAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA
A. Sebelum berlakunya UU No. 12 tahun 2006
B. Sesudah berlakunya UU No. 12 tahun 2006
BAB. VI. HAK ASASI MANUSIA
A. Hak Asasi Manusia (HAM)
1. Pengertian HAM
2. Sejarah HAM
3. HAM di Indonesisa
B. Rule of Law
1. Pengertian Rule of Law
2. Unsur-Unsur Rule of Law
niora, nasionalisme, patriotisme maupun heroisme, baik dalam ranah kehidupan pribadi, sosial, berbangsa dan bernegara (nasional) maupun tata kehidupan internasional. Dalam mata kuliah ini lebih menekankan pada aplikasinya/prakteknya. Misal: prilaku jujur, bela negara bukan hanya sebagai life
service dan sekedar wacana saja, yang lebih penting menyatu dalam prilaku
sehari-hari.
b. Tujuan Khusus :
1. Agar mahasiswa memahami berbagai masalah dalam peri kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mampu mengatasinya
segala persoalan dengan analisa kritis, komprehensif serta berani bertanggung jawab berdasarkan Pancasila, UUD 45, Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional.
2. Agar mahasiswa mempunyai sikap dan prilaku yang sesuai dengan nilainilai kejuangan, cinta tanah air serta berani dan rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
C. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan
1. Landasan Ilmiah (Keilmuan)
Dasar Pemikiran
Setiap warga negara dituntut untuk hidup berguna dan bermakna bagi
negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi dalam segala bentuk
perubahan dan perkembangan jaman demi masa depan bangsa dengan segala kemampuan yang dimiliki, seperti bunyi bait puisi Krawang Bekasi
karya Chairil Anwar, yang tertulis di tembok depan Monumen Jogya
Kembali yakni: kami sudah coba beri apa yang kami punya dan sudah
coba berbuat apa yang kami bisa, tapi kerja belum selesai, belum bisa
memperhitungkan 4-5 ribu nyawa ( Monumen Jogya Kembali).
Juga sesuai dengan adagium John F. Kennedy jangan bertanya pada negara, negara telah memberikan apa padamu, tetapi bertanyalah pada
dirimu sendiri apa yang telah kau berikan pada negara
Di Jawa filosofi rasa memiliki dan rasa rela berkorban (rumangsa handar-
beni lan melu hangungkrebi) di jelaskan oleh Sri Mangkunegara ke IV dalam bukunya Tripama. (uraikan sinopsisnya).
Sebagai perbandingan diberbagai negara juga diajarkan Pendidikan Umum/
Dasar (General Education/Humanities), diantaranya di :
1. Amerika Serikat: history, humanity, dan Philosophy.
2. Jepang: Japanese History, Ethics and Philisophy
3. Filipina: Philipino, Family Planing, Study of Human Right
Selain itu juga diajarkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education)
ni dari kata Civis/Civitas sebagai anggota atau warga dari suatu Cyte-State.
Kata ini dalam bahasa Perancis diistilahkan Citoyen yang bermakna warga
dalam kota (cite) yang memiliki hak-hak terbatas. Citoyen atau Citezen bermakna warga atau penghuni kota. Warga dan kota adalah kesatuan yang bila
ditelusuri secara historis adalah angggota dari suatu polis (negara)
Warga dari polis historis bermula pada masa Yunani Kuno, dimana warga
di Yunani dinamakan polite, sedang di Romawi warga dari republik disebut
civis atau civitae.
Dengan demikian konsep Polites (Yunani/Greek), Civis/ Civitas (RomawiLatin), Citoyen (Perancis) serta Citizen (Inggris) bermakna sama, yakni
menunjuk pada warga atau penghuni kota yang pada masa lalu yang merupakan komunitas politik. Jadi konsep warga bukan hal yang baru, karena
telah ada sejak pada masa Yunani Kuno dan Romawi yang dianggap tempat
asalnya demokrasi.
Dalam terminologi modern, istilah Citizen dalam kajian akademik berpengaruh luas dalam upaya untuk menjelaskan konsep warganegara maupun
kewarganegaraan.Menurut Tuner (1990), istilah Citizen (abad tengah/abad 15)
saling bertukar pakai dengan istilah Denizen. Kedua istilah itu secara umum
menunjuk warga atau penduduk kota, sedang orang-orang yang berada di
luar kota (di luar Citizen-Denizen) disebut Subject. Subject pada awalnya
adalah non warga kota yang terdiri dari anak-anak, wanita, budak dan penduduk asing.
Dalam Rationalisme Barat, konsep Citizen memiliki karakter yang unik,
karena amat dekat dengan gagasan tentang Civility (kesopanan) dan Civilation
(peradaban). Untuk menjadi warga kota (Citizen) orang luar perlu melakukan
proses Civilization atau menjadi Urban perlu ada proses Citinize bagi orang
tersebut. Diperlukan beberapa persyaratan seseorang agar dikategorikan sebagai
Citizen. Perkembangan konsep polites, civis, citoyen dan citizen yang pada
mulanya bersifat tertutup (eklusif) dengan hak-hak yang terbatas. Melalui perjuangan panjang akhirnya wanita dan anak-anak sudah dapat menjadi bagian dari
Civis dengan hak-haknya yang setara (equality).
Misal wanita sudah memiliki hak suara dalam pemilu. Di Australia pemilu pada tahun 1902, di Kanada pemilu tahun 1918 dan di Amerika Serikat pada
tahun 1920.
Sedangkan hak-hak anak sebagai warganegara baru berkembang pesat setelah
adanya Konvensi hak anak internasional.
Konsep mengenai Citizen, hak, kota, peradaban dan urban tak bisa dilepaskan dengan apa yang terjadi diYunani Kuno, yang memang di sanalah menja-
di kiblat dan cikal bakal (sumber acuan) berkembangnya konsep Citizen bagi
dunia Barat.
Warganegara yang mempunyai klasifikasi demikian akan menjadi warganegara yang baik dan akan mampu memerintah secara baik dan serta dia juga
dapat diperintah secara baik pula. Sampai di situ akhirnya dia menyatakan
warganegara ada yang yang termasuk good citizen dan bad citizen. Good
citizen berbeda dengan good man, karena good citizen ditentukan oleh konstitusi.
Cicero (Romawi) menyatakan bahwa tugas warganegara Romawi untuk adalah untuk saling menghormati dan mempertahankan ikatan persaudaran bersama, dengan menggantikan semua konsep yang membedakan anggota ras
manusia. Warga hidup dalam arahan dan perlindungan hukum Romawi
dengan memiliki kewajiban dan hak yang sama. Warga ditur oleh hukum
bukan kaisar. Kewajiban warga adalah pelayanan militer dan membayar
pajak-pajak tertentu. Kewajiban khusus warganegara ideal adalah menempatkan civic vitue , pada masa Republik Romawi diartikan sebagai kemauan
untuk mendahulukan kepentingan publik (umum). Tradisi Republik dan kesediaan mendahulukan kepentingan umum, ini natinya menjadi dasar-dasar
bagi berkembangnya teori kewarganegaraan republikan.
Pemikiran abad 17 dan 18 seperti Thomas Hobbes, John locke dan
JJ. Rousseau membawa perubahan ke arah paham indivualisme liberal.
Mereka menganggap manusia adalah sebagai individu-individu dan masyarakat sebagai koleksi individu yang independen dan mengejar tujuan pribadi.
Manusia secara fundamental dianggap sebagai individu-individu yang memiliki hak dan kepentingan. Individu dipandang sebagai makhluk yang
egois, berpikir dan bertindak demi kepentingan semata-mata. Negara adalah
hasil kontrak antara individu, yang tugasnya menjamin pemenuhan hak dan
kepentingan warga (kontrak sosial).
Inilah pendapat mereka tentang warganegara:
1). Thomas Hobbes, berpendapat warganegara menunjuk pada manusia
dengan sifat politik yang fantatis, penuh nafsu, kepentingan dan kebebasan, Hobbes terkenal dengan ucapannya: homo homimhi lupus.
Rationalitas kepentingan pribadi secara sosial mendorong individu untuk mencari kedamaian dan keamanan diri. Sejauh kebebasannya terlindungi, induvidu akan puas dan bersedia menjadi subjek kedaulatan negara
2). John locke, berpendapat bahwa manusia dibekali dengan hak-hak alamiah
(natural right), sedangkan negara merupakan hasil persetujuan dari yang
diperintah (warga/rakyat). Berbeda dengan Hobbes yang mendukung
cratic Citzenship, Character Count (2007), ia mengembangkan (6)enam pilar karakter bagi kewarganegaraaan demokrasi, yakni; 1). Trustworthines
(rasa percaya), 2) Respect (rasa hormat). 3). Responcibility (tanggung jawab), 4).Fairness (kejujuran), 5). Caring (kepedulian) dan Citizenship
(kewarganegaraan).
Cogan dan Derricot (1998) mengidentifikasi perlunya warganegara memiliki delapan (8) karakteristik yang dipandang sebagai cerminan wargnegara
ideal abad 21. Kedelapan karakteristik tersebut adalah:
1). Kemampuan untuk untuk melihat dan mendekati masalah sebagai anggota masyarakat global).
2). Kemapuan bekerja sama dengan yangh lain dengan cara yang kooperatif
dan menerima tanggung jawab atas peran dan tugasnya di dalam masyarakat.
3). Kemampuan memahami, menerima dan menghargai dan menerima perbedaan-perbedaan budaya.
4). Kapasitas berpikir dengan cara yang kritis dan sistematis.
5). Keinginan untuk menyelesaiakan konflik dengan cara tanpa kekerasan.
6). Keinginan untuk mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtifnya,
untuk melindungi lingkungan.
7). Kemampuan bersikap sensitif dan melindungi hak asasi manusia, misalnya hak wanita, hak etnis minoritas dan hak-hak yang lainnya.
8). Keinginan dan kemampuan untuk ikut serta dalam politik pada tingkat
lokal, national maupun internasional.
Senada dengan karakter tersebut di atas, Louise Douglas dalam bukunya
Global Citizenship (2002) juga memandang warganegara global sebagai
orang yang:
1). Menyadari dunia secara luas dan mempunyai perasaan sendiri sebagai
warganegara.
2). Pengakuan terhadap nilai-nilai keberagaman.
3). Memiliki satu pemahaman bagaimana dunia bekerja secara ekonomis,
politis, sosial, kultural, teknologi dan lingkungan.
4). Menolak ketidakadilan sosial.
5). Berpartispasi dan berperan dari tingkat lokal sampai global.
diperjuangkan).
3). Kewarganegaraan bukan hanya berhubungan dengan negara/nation,
tetapi terkait dengan banyak ragam komunitas sebagai identitas seseorang
, misal komunitas atas dasar region, etnik, sex, bahasa, agama dan kelompok sosial lainnya.
Cogan dan Derricott (1998) mengidentifikasi adanya 5 (lima) atribut kewarganegaraan ( The five attributes of citizenship), yakni:
1). Sense of identity (perasaan identitas)
2). The enjoyment of certain rights (pemilikan hak-hak tertentu)
3). The fulfiment of corresponding obligations (pemenuhan kewajibankewajiban yang sesuai)
4). A degre of intterest ang involvement in public affair (tingkat ketertarikan dan ketrelibatan dalam masalah publik)
5). An acceptance of basic social values (penerimaan terhadap nilai-nilai
sosial dasar)
Dari pelbagai pendapat tentang kewarganegaraan kiranya dapat disimpulkan, bahwa kewarganegaraan menunjuk pada status seseorang sebagai
anggota dari suatu komunitas bahkan beragam komunitas.
Kepemilikan akan status tersebut menyiratkan bahwa terkandung di dalamnya seperangkat karakteristik. Identitas, hubungan dengan warga lain dan
komunitas, hak dan kewajiban (tanggung jawab), dan prilaku/tindakan
hidup yang diperjuangkan.
Dalam rumusan yang lebih umum, kewarganegaraan adalah bentuk identitas yang memungkinkan individu-individu merasakan makna kepemilikan, hak dan kewajiban sosial dalam komunitas politik (negara); hubungan antara rakyat dengan negara berdasarkan asas resiprokalitas (proporsional) antara hak dan kewajiban.
Melalui penulusuran sejarah Derek Heater sampai pada simpulan, bahwa
Kewarganegaraan adalah suatu bentuk identitas politik dari seorang individu. Bentuk identitas sosial politik itu berbeda-beda tergantung pada
sistem politik yang dianutnya , dimana warga negara itu berada.
Heater menemukan adanya 5 (lima) bentuk , yakni sistem feodal (feudal),
monarkhi (monarchical), tirani (tyranical), nasianal (nasional) dan sistem
kewarganegaraan (citizenship).
1). Dalam sistem feodal, hubungan warganegara dengan komunitas politiknya bersifat herarkis, artinya status hubungan itu ditentukan berdasarkan keterikatan antara budak dengan sang majikan/tuan yakni raja.
tuan/raja, sedangkan raja memberikan bentuk perlindungan.
2). Dalam sistem kerajaan (monarkhi), raja sebagai penguasa tunggal yang
menyatakan bahwa berdasar sejarah perkembangannya, teori kewarganegaraan dibedakan antara tradisi republikan (the civic tradition)
dengan tradisi liberal (liberal tradition).
Sejalan dengan pendapat umum, maka dapat disimpulkan bahwa teori
kewarganegaraan mencakup: liberal, komunitarian dan republikan.
1). Teori Kewaganegaraan liberal (Liberalism)
2). Teori Kewarganegaraan komunitarian (Communitarianism)
3). Teori Kewarganegaraan Republikan (Republicanism)
masyarakat liberal. Komunitarian menekankan pada kebutuhan untuk menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan komunitas
sebagai kesatuan dan bahwa individu terbentuk dari budaya-budaya dan nilainilai komunitas. Pada abad 20 muncul teori kewarganegaraan komunitarian
sebagai reaksi dari teori kewarganegaraan liberal, kalau teori kewarganegaraan
liberal yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan bebas individu, sedangkan teori ini berpendapat justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai keyakinan- keyakinannya.
Komunitarianisme menekankan pentingnya komunitas dan nilai sosial
bersama. Pokok-pokok ajaran komunitarianisme antara lain, adalah sebagai
berikut:
1). Komunitas adalah arbiter (yang berkewajiban) dalam kehidupan bersama;
2). Nilai-nilai sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama;
3). Nilai-nilai sosial tersebut pada gilirannya merupakan croos societal moral
dialoge.
Dalam masyarakat perlu pembentukan konsensus bersama dan nilai-nilai
moral merupakan dasar ertimbangan bagi pembentukan nilai sosial bersama
sebagai konsensus. Tanpa nilai-nilai sosial dan konsensus, kehidupan bersama
akan hancur.
Keputusan atas nilai-nilai yang disepakati menjadi milik bersama dan secara
sukarela merupakan sustu keteraturan sosial. Konsensus ini bisa terjadi di tingkat lokal (kelompok), national (nation) maupun kemungkinan berlaku pada
masyarakat global.
personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat bahwa orang-orang itu
jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain pengertian kewarganegaran dalam arti yuridis adalah adanya ikatan antara warganegara dengan negara dan tanda adanya ikatan itu
antara lain bentuk pernyataan secara tegas seorang individu menjadi anggota
dari suatu negara atau warganegara dari negara tersebut atau dalam bentuk
konkritnya berupa surat-surat (dokumen, surat keterangan atau putusan dari
b). Citizenship by descent, adalah perolehan kewarganegaraan seseorang karena faktor keturunan (genetik/darah), di mana seseorang
yang lahir diluar wilayah negara apabila orang tuanya adalah
warganegara dari negara tersebut (asas Ius Sanguinis).
c). Citizenship by naturatization, adalah pewarganegaraan orang
asing ataskehendaknya sendiri mengajukan menjadi warganegara
suatu negara, dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
d). Citizeship by registration, adalah pewarganegaraan bagi mereka
yang telah memenuhi syarat dianggap cukup dilakukakn melalui
prosedur administrasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan
cara naturalisasi.
Misal, seorang wanita asing yang menikah dengan warganegara
dasar manusia. Dalam dimensi publik, negara berkewajiban melindungi hak-hak warganegara, sebaliknya setiap warganegara
harus tunduk pada hukum-hukum negara (ada hubungan timbal
balik antara warganegara dan negara). Hubungan timbal balik
antara negara dan warganegara terlihat jelas di dalam penegrtian
keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles, yakni: 1). Keadilan
Distributf (membagi), yakni keadilan yang diberikan pemerintah/
negara kepada rakyat, masyarakat maupun warganegara (misal:
makna yang terkandung di dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD
45), ke 2). Keadilan Legal, yakni keadilan yang diberikan rakyat,
masyarakat dan warganegara kepada pemerintah/negara (misal:
bayar pajak, bela negara), sedang yang ke 3). Keadilan Komutatif,
yakni keadilan yang diberikan antar individual, warganegara
(hukum privat).
Filsuf Inggris Johm Locke (cikal bakal perumusan hak asasi manusia) mengatakan, bahwa manusia sejak lahir secara inheren
memiliki hak-hak alamiah dan pemikiran bahwa penguasa harus
memerintah dengan persetujuan rakyat.
Menurut dia, hak asasi meliputi: hak hidup (the right of life), hak
merdeka (the right to liberty) danhak milik (the right to property).
Hak asasi pada umumnya dicantumkan dalam konstitusi berbagai
negara sebagai ciri dari pemerintahan yang konstitusional.
Konstititusi dianggap sebagai jaminan yang paling efektif (negara
hukum), bahwa kekuasaan tidak akan disalahgunakan dan hak
asasi akan ditaati dan tidak dilanggar.
Misal, di Indonesia dicantumkan pada Alinea Pertama Pembukaan UUD 45, yang berbunyi: sesunguhnya kemerdekaan itu............
........................, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan, yang juga tercantum pada pasal 27 sampai pasal 34
UUD 45.
Hak asasi manusia yang terumuskan dalam konstitusi pada dasarnya merupakan hak-hak dasar warganegara, namun demikian hakhak warganegara belum tentu hak asasi manusia. Hak asasi bersifat mendasar dan universal, walaupun konstitusi negara tak
mencantumkannya. Sebaliknya hak-hak warganegara bersifat partikular (khusus), artinya oleh/ada karena konstitusi dari suatu
negara.
Hak dan kewajiban warganegara suatu negara bisa berbeda
dengan hak warganegara lain, dikarenakan perbedaan rumusan
Perkataan Asli di atas mengandung syarat biologis, yakni bahwa asalusul keturunan sesorang akan menentukan kedudukan sosial seseorang itu,
antara yang asli atau yang tidak asli. Keaslian ditentukan oleh turunan atau
hubungan darah antara yang melahirkan dengan yang dilahirkan.
Dengan demikian penentuan keaslian bisa didasarkan atas tiga (3) alternatif,
yakni:
a). Turunan atau pertalian darah (geneologis)
b). Ikatan pada tanah atau wilayahnya (territorial)
c). Turunan atau pertaliandarah dan ikatan pada tanah atau wilayah
(geneologis-territorial)
Jika apabila tiga alternatif itu dijadikan sebagai dasar pemahanan tentang
Orang-orang bangsa Indonesia asli, maka pengertian itu dapat diartikan
pengertian antroplogis (ada ikatan ras, darah dan etnik) dan juga pengertian
sosiologis ( ada kaitan dengan tanah, wilayah dan lingkungan alam).
Pengertian Orang-orang bangsa Indonesia asli seperti yang dicontohkan di
atas, akan menimbulkan penafsiran yang ambigu (multi tafsir) yang dikemudian hari akan menjadi probematik dari ranah hukum.
Penafsiran yang abigu ini dapat dipahami antara lain, adalah sebagai berikut
(Handoyo, 2003):
(1) Orang-orang yang berikut keturunannya yang telah ada di Indonesia
sejak Indonesis menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945; ataukah
(2) Orang-orang sejak peradaban Indonesia terbentuk sudah ada di bumi
nusantara, termasuk di dalamnya Phitecantropus Paleo Javanicus atau
Homo Soloensis yang fosilnya ditemukan di Sangiran dan di sepanjang
Sungai Bengawan Solo; ataukah
(3) Orang-orang yang pada prinsipnya sebagai cikal bakal nenek moyang
sebagai pembentuk bangsa Indonesia yang berarti jika ditinjau dari
aspek rasnya; ataukah
(4) Orang-orang yang di dalam sejarah bangsa Indonesia berasal dari
Yunan Utara di Daratan China serta pedagang dari Gujarat.
Problema sosiologis yuridis ini akan berkembang hukum kewarganegaraan Indonesia memang menimbulkan persoalan terutama masalah
diskriminasi penegakan hukum terhadap warganegara yang dianggap
bukan orang-orang bangsa Indonesia asli. Problem ini pada akhirnya
diupayakan untuk diatasi.
Pada perekembangan terakhir melalui Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ditemukan, bahwa
Contoh hal ini diperlihatkan dengan cara berekspresi dalam bahasa, untuk
Kalangan kebanyakan jika bertutur kata dengan kalangan priyayi harus
dengan bahasa yang halus (kromo inggil), sedangkan kaum priyayi dalam
bertutur kata dengan orang kebanyakan cukup dengan bahasa biasa/kasar
(ngoko). Pemilahan ini juga terlihat dalam istilah untuk kalangan penguasa
(wong gedhe/penggede), sedang untuk rakyat biasa/jelata disebut wong
cilik.
Hierarkis yang tegas ini juga terdapat pada hubungan warga yang bersifat
Patronage (pola hubungan yang bersifat/patron-client).
Hubungan ini bersifat individual, yakni antara patron dan clien t akan terjadi interaksi yang bersifat resiprokal (hubungan timbak balik dengan
mempertukarkan sumber daya/exchange of resources yang dimiliki masingmasimg pihak. Si patron memiliki sumber daya yang berupa: kekuasaan,
kedudukan/jabatan, perlidungan, perhatian dan rasa sayang, tak jarang pula
sumber daya itu berupa materi (harta kekayaan, tanah garapan dan uang),
sementara Si client hanya mempunyai sumber daya berupa: tenaga, dukungan dan loyalitas.
a. Sistem Masyarakat Pada Masa Kerajaan Majapahit
Lapisan masyarakat yang hierarkis dapat ditemukan pada kehidupan
sosial budaya pada masa kerajaan di Indonesia, meskipun dengan pola yang
berlainan. Masyarakat pada jaman dibedakan atas lapisanlapisan(strata),
yang menjadi milik kaum agama dari berbagai sekte, tidak langsung
di bawah kekuasaan pejabat istana manapunn) serta vihara dan lainlain.
2). Kasta Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan
yang terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk kekuasaan. Keluarga raja dapat dikatakan keturunan dari raja Singosari dan
Majapahit yang dapat terlihat dari silsilah keluarga-keluarga yang tersebar di seluruh negeri (Nusantara), karena mereka melakukan sistem
poligami secara meluas yang disebut dengan wargahaji atau sakaparek
selain itu juga mempunyai daerah kekuasaan (taklukan/jajahan) di wilayah lain. Para bangsawan yang memerintah di daerah ruang lingkup
kerajaan dapat dikatakan memiliki hubungan (keluarga, persahabatan
atau perjanjian) dengan keluarga raja yang terdahulu, yang disebut
sebagai parawangsya. Semua anggota keluarga raja masing-masing
akan diberi nama atas gelar, umur dan fungsi mereka di dalam masyarakat. Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap keluarga raja
didasarkan atas nama daerah kerajaan yang mereka kuasai sebagai
kuasasi sebagai wakil raja.
3). Kasta Waisya merupakan kaum yang menekuni bidang pertanian dan
perdagangan.
4). Kasta Sudra, yakni kasta yang paling rendah tingkatannya dalam catur
warna, yang hanya mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada
kasta yang lebih tinggi kedudukannya, terutama kepada golongan
(kasta) Brahmana.
5). Golongan (kasta) terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna
dan sering disebut sebagai panca warna (warna ke lima), yang terdiri
dari kaum: candala, mleccha dan tuccha.
- Yang dimaksud candala, adalah anak dari hasil campuran antara
laki-laki (kasta sudra) dengan wanita (kasta yang ada di atasnya:
brahmana , ksatria , waisya dan sudra), sehingga si anak mempunyai status yang lebih rendah dari dari ayahnya.
- Yang dimaksud Mleccha, adalah semua bangsa di luar Arya tanpa
memandang bahasa dan warna kulit, yakni para pedagang asing
(China, India, Champa, Siam dan lain-lain), yang tak menganut
agama Hiundu.
- Yang dimaksud Tuccha, adalah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah penjahat. Ketika mereka melakukan tatayi (membakar rumah, meracuni sesama, mananung, merusak, mengamuk dan mefitnah kehormatan perempuan).
Dari aspek kedudukan wanita dalam masyakat Majapahit, mereka
mempunyai status yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada
kewajiban mereka untuk menyenangkan dan melayanai para suami mereka
saja. Wanita tak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi
dapur rumah tangga mereka. Di dalam undang-undang Majapahit pun para
wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain
atau sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas dan
perselingkuhan diantara kaum pria dan wanita.
b. Sistem Masyarakat pada Masa kerajaan Mataram (Islam)
Konsep kekuasaan di kerajaan Mataram, adalah ajaran ke-agungbinatara-an. Bahwa raja Mataram adalah pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan sekaligus menjadi hakim. Kekuasaan raja Mataram
begitu besar (Hangabehi), dihadapan rakyat raja adalah sebagai pemilik
harta maupun manusia, sehingga dikatakan sebagai wenang wisesa
ing
sanagari (memiliki kewanangan tertinggi di sekuruh negeri).
Raja Mataram (Islam) yang pertama, adalah Panembahan Senopati, dengan
gelar: Kalifatullah, abdul rachman, senopati ing alaga, sayidin patagama.
Masyarakat di atur berdarakan cara pandang agraris, yang kemudian melahirkan masyaraka feodal. Masyarakat disusun atas penguasaan tanah yang
terpusat pada raja. Untuk mendukung kekuasaannya raja membagikan
terbagi atas:
1. Orang Indonesia Asli dan keturunannya
2. Orang lain yang menyesuaikan diri dengan yang pertama.
Oleh karena Hindia Belanda bukanlah suatu negara merdeka, tetapi bagian dari negara Belanda, maka wilayah itu tidak mempunyai warganegara.
Menurut peraturan Pemerintah Hindia Belanda, penghuni tanah air wilayah itu selain orang asing disebut kaulanegara Belanda (Kansil, 1984).
Kaulanegara Belanda dibedakan menjadi:
1). Kaulanegara Belanda terdiri dari orang Belanda
2). Kaulanegara Belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk
Bumiputra (Inlander)
3). Kaulanegara Belanda bukan Belanda, tetapi juga bukan termasuk
Bumiputra, misal orang Timur Asing (China, India, Pakistan dan lainlain)
Pengaturan penduduk dan kewarganegaran masa kolonial di atas lebih didasarkan atas kategori ras. Pengkategorian berdasarkan ras ini dianggap
merugikan banyak pihak, terutama bagi orang-orang pergerakan masa itu,
karena, karena dinilai tidak memupuk rasa persatuan para putera bangsa
(bumiputra). Pengkategorian ini juga berakibat pada perbedaan
perlakuan hukum yang berbeda terhadap penduduk wilayah yuridis Hindia
Belanda.
Pada tahun 1936 muncul Petisi Roep, bersama dengan Yo Heng
Kam dan Pranowo yang menuntut sebuah undang-undang kewarganegagaraan di Hindia Belanda (Indonesia) dengan menghapus pembagian
penduduk bersadarkan ras. Kelemahan petisi ini adalah penggunaan kategori perbedaan strata sosial dan intelelektual sebagai pengganti rasial.
Gagasan sistem satu kewarganegaraan tanpa diskriminasai kembali muncul dalam volkstsraad (suara rakyat) yang diajukan oleh
Soetarjo(Petisi
Soetarjo), yang isinya antara lain, menyatakan bahwa syarat untuk diakui
Sebagai warganegara dapat ditentukan berdasarkan: lahir di Indonesia,
asal keturunan, orientasi hidup dikemudian hari.
Jadi semua orang Indonesia dan semua golongan Indo, yang dilahirkan
di Indonesia dan orang asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai
tanah airnya, bersedia memikul segala konsekuensinya dari pengakuan
ini, dinyatakan sebagai warganegara (Kenken, 2006).
Pada masa sidang BPUPKI yang pertama, perihal warganegara dan
penduduk Indonesia juga dibahas, terutama berkisar tentang kewarganegaraan bagi orang-orang keturunan, misalnya Pranakan Tionghoa, Arab,
yakni bagaimana masa depannya kewarganegaraan bagi mereka, mana-
kala Indonesia sudah merdeka. Pada sidang BPUPKI yang ke dua (2)
tanggal 11 Juli 1945, anggota Liem Koen Hian menyatakan pendapatnya:
.... maka pemuka-pemuka bangsa Tionghoa di Malang dan Surabaya
telah meminta kepada saya, agar disampaikan kepada Badan Penyelidik
supaya di waktu mengadakan undang-undang dasar, biar ditetapkan saja,
bahwa semua orang Tionghoa menjadi warganegara Indonesia. Juga di
Bandung Tuan Ketua telah dinyatakan pikiran-pikiran begitu.... (Risalah
Sidang BPUPKI dan PPKI).
Menanggapi isi pidato Liem Koen Hian Wongsonegoro (anggota),menyakan bahwa hal ini tidak dapat dibantah sebagai hal yang benar atau salah,
tetapi kemungkinan diantara saudara-saudara bangsa Tionghoa ada yang
tidak mau menjadi pendduduk asli (warganegara). Oleh karena itu perlu
diciptakan status baru buat saudara kita bangsa Asia Timur Raya.
Selanjutnya dia mengatakan:
Dimana tempatnya formeel itu saya serahkan, akan tetapi dapat kami
sampaikan saran, yang pada waktu ini disetujui oleh para kawan anggota
Jawa Tengah segenapnya, yaitu mengatakan status baru untuk saudarasaudara kita yang tidak masuk asli, juga tidak masuk orang asing, akan
tetapi termasuk golongan kita, bangsa Asia Timur Raya.....(Risalah sidang
BPUPKI & PPKI, 1998).
Salah satu keturunan Arab Baswedan (anggota),menyatakan bahwa orangorang Arab yang tinggal di Indonesia sebagian besar telah merupakan peranakan, sedangkan orang-orang Arab totok sudah amat sedikit.
Oleh karena itu orang-orang Arab minta supaya mereka dimasukkan ke
dalam rakyar Indonesia. Pada intinya Baswedan, meminta kerakyatan
Indonesia meliputi peranakan Arab dan peranakan lainnya, dengan, memberikan kesempatan bagi yang tidak setuju supaya boleh menarik diri dari
pemasukanj ini (Risalah BPUPKI & PPKI, 1998).
Pembicaraan tentang warganegsra Indonesia ini pada akhirnya terwujud dan terumuskan pada pasal 26 UUD 45 Negara Indonesia.
Soepomo ketika menyampaikan pendapat mengenai rancangan pasal tersebut menyatakan sebagai berikut:
Tentang warganegara, lihatlah pasal 26 UUD 45:
(1) Yang menjadi warna negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang
sebagai warga negara.
(2) Syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undangundang.
Sedangkan pendapat lain (Aliran kedua) menyatakan, bahwa hendaknya
orang-orang peranakan (Indo, Arab, Tionghoa) yang sungguh ingin menjadi warganegara Indonesia, hedaknya memberitahukan keinginannya itu.
di atas sudah tak berlaku lagi. Maka berdasarkan hasil perubahan UUD 45,
yang di dalam pasal 26 ayat (2) dinyatakan, bahwa penduduk negara
Indonmesia terdiri atas, yaitu warganegara dan orang asing.
Penduduk Negara Indonesia ialah tiap-tiap orang yang bertempat kedudukan di dalam daerah negara Indonesia.
Untuk istilah pribumi (penduduk asli) dan non pribumi (warga keturunan/
peranakan) sudah tidak berlaku lagi. Istilah bangsa Indonesia asli yang
diartikan sebagai orang pribumi/bumi putra dan keturunannya sudah tak
dapat dipertahankan lagi. Sekarang istilah Bangsa Indonesia Asli diartikan
sudah tidak lagi bersifat diskriminatif, yakni berdasarkan etnis tetapi di dasarkan atas hukum. Menurut UU No. 12 tahun 2006, ditentukan bahwa
yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli, adalah orang yang menjadi
warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri.
Sehingga dengan demikian istilah bangsa Indonesia asli bukan diartikan
dalam pengertian sosiologis antropologis, tetapi merupakan pengertian
yuridis. Telah terjadi perubahan paradigma kewarganegaraan dari pengertian sosiologis antropologis menuju ke pengertian yuridis.
Terjadinya perubahan ini juga telah diakomodasi dalam UUD 45. Misalnya
dalam pasal 6 UUD 45 tentang persyaratan menjadi presiden Indonesia.
Pasal 6 ayat (1) UUD 45 sebelum perubahan berbunyi Presiden ialah
orang Indonesia asli, setelah diamandemen pasal tersebut berbunyiCalon
presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warganegara Indonesia
sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta
mampu secara rokhani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pernyataan harus seorang
warga negara Indonesoa sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain, menyiratkan konsepsi kewarganegaraan yuridis.
Perubahan ini juga sebagai penyesuaian dengan perkembangan masyarakat
yang semakin demokratis, egaliter (equality before the law) dan berdasarkan rule of law.
Penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi juga sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman, terkesan diskriminatif dan bertentangan dengan jiwa pasal 27 UUD 1945. Sebutan pribumi dan non pribumi
rentan sebagai pemicu dan pemacu konflik horisontal dalam masyarakat
Indonesia. Penghapusan istilah tersebut telah dilakukakn melalui inpres No.
26 Tahun 1988 tentang Penghentian Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Rumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Dengan demikian untuk selanjutnya penduduk Indonesia hanya ada dua,
terhadap negara. Jika negara memenangkan hegemoni atas rakyat/warganegaranya, maka akan menimbulkan kehidupan politik yang tidak demokratis
serta berpotensi terjadi penindasan oleh negara terhadap rakyat, sehingga
menimbulkan pemerintahan yang tiran, otoriter dan totaliter). Sebaliknya jika
rakyat/masyarakat yang memenangkan hegemoni terhadap negara, maka nasib negara semata-mata hanya sebagai alat begi kelompok-kelompok masyarakat yang saling memiliki kepentingannya sendiri-sendiri(lihat ormas-ormas
radikal, keberadaan kelompok preman Jhon Key). Bagaimana dengan kelompok elit partai yang mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri?.
Bentuk hubungan politik warganegara dengan negara pada dasarnya,
adalah keinginan warganegara untuk mempengaruhi pemerintah negara agar
kepentingannya berupa nilai-nilai politik dipenuhi oleh pemerintah/negara.
Nilai-nilai politik warganegara tersebut menurut W. Deutsh, sebagaimana
dikutip dalam Cholisin, (2007) yang meliputi: kekuasaan, kekayaan, pendidikan, ketrampilan, kesehatan, respek, afeksi, kebajikan, keamanan dan kebebasan, ini semua dituangkan ke dalam konstitusi (lihat Pembukaan UUD 45
alinea ke 4 dan Pasal 26 sampai dengan pasal 34 UUD 45). Adapun bentuk
hubungan politik antara warganegara dengan negara dapat berupa kooperatif
(kerjasama), paternalistik (negara sebagai patront, sedang kelompok sosial/
masyarakat sebagai client).
Perihal hubungan antara negara dengan warganegara dalam sejarah pernah
dikemukakan oleh para founding father pada sidang I BPUPKI tanggal 31
Mei -1 Juni 1945, antara lain Bung Karno yang menyatakan bahwa negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong, sedang Moh
Hatta menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru berdasarkan gotong-royong, sedangkan Mr. Soepomo mengajukan bentuk ideologi dalam hidup berbangsa dan bernegara, yakni 1). Paham
Individualisme,
2). Paham Kolektivisme (Komunisme) dan 3). Paham Integralistik.
Beliau dengan sangat meyakinkan menolak paham individualisme dan kolektivisme dan menyarankan pahan intgralistik yang dinilai lebih sesuai dengan
semangat kekeluargaan yang berkembang di masyarakat kita (Risalah Sidang
BPUPKI dan PPKI). Dalam paham integralistik memberikan makna bahwa
semua untuk semua, tidak mendominasikan untuk kelompok yang besar
(dominasi mayoritas) dan kelompok yang kecil (tirani minoritas), semua tertergantung dari kepentingan (mendesak) dan skala prioritas. Manifestasi dari
bentuk negara yang integralistik tertuang di dalam pasal 1 UUD 1945, yang
menyatakan bahwa, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara
hukum.
Paham negara hukum yang demokratis sesungguhnya dapat menggambarkan
pola hubungan warganegara dengan negara. Dalam negara hukum yang
demokratis, warganegara/rakyat dipandang sebagai sumber kedaulatan (lihat
ayat ke 2), memiliki hubungan yang sederajad dengan negara serta semua
warganegara mempunyai kedudukan hukum yang sama (equality before the
law).
Oleh karena itu negara hukum yang demokratis, hendaknya pola hubungan
negara dan warganegara yang dibangun adalah hukum yang sederajad serta
timbal balik.
Sedangkan perihal hubungan negara dengan warganegara terdapat pada pasal
26 sampai pada pasal 34 UUD 1945, yang isinya menyatakan status warganegara, kedudukan hukum warganegara dalam negara, hak dan kewajiban
warganegara serta hak dan kewajiban negara.
dan kesejahteraan. Negara tidak boleh pasif, tetapi harus selalu aktif
untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan warganya.
(2). Status Negatif, yang dimaksudkan bahwa warganegara berhak untuk
menolak atau tidak dicampuri oleh negara dalam hal-hal tertentu terutama menyangkut hak-hak yang bersifat pribadi (privat).
Misal, tentang: menganut agama, memilih pasangan hidup, memilih
pendidikan, memilih pekerjaan dan memilih dalam pemilu.
(3). Status Pasif, diartikan sebagai kepatuhan warganegara kepada pemerintah berserta hukum dan peraturannya dan hukum yang bersumber pada
keadilan dan kebenaran. Contohnya, mematuhi peraturan lalu-lintas, tidak main hakim sendiri, membayar pajak. Status Pasif sangat penting
untuk dilaksanakan oleh warganegara, agar organisasi pemerintahan/
negara dapat berjalan dengan baik.
(4). Status Aktif, adalah keterlibatan secara aktif warganegara dalam organisasi negara. Status ini pada prinsipnya merupakan partisipasi warganegara dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasakan 4 status tersebut, maka warganegara memiliki 4 macam peranan
(role), yakni peranan positif, peranan negatif, peranan pasif dan peranan
aktif (Cholisin, 2007).
Empat (4) macam peranan/peran (role) tersebut, adalah:
a). Peranan Positif, yakni aktivitas warganegara untuk minta pelayanan dari
negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contoh sekelompok warga
yang meminta pemerintah daerah untuk membangun jalan atau jembatan.
b). Peranan Negatif, yakni aktivitas warga untuk menolak campur tangan
pemerintah dalam persoalan pribadi. Misal seorang warga menolak campur tangan pejabat dalam hal membagi harta warisan keluarganya.
c). Peranan Pasif, yakni kepatuhan warganegara terhadap hukum/peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Misal, membayar pajak.
d). Peranan Aktif, yakni aktivitas warganegara, untuk mempengaruhi kebijakan publik. Contoh ikut serta dalam memberi masukan pada sebuah
cangan undang-undang (RUU), misal RUU tentang Rahasia Negara, yang
natinya akan disahkan menjadi sebuah undang-undang .
Status (kedududkan) sebagai warganegara Indonesia, baik aktif, pasif, positif
maupun negatif mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama
pula. Negara Indonesia adalah negara demokrasi, yang meliputi demokrasi
politik, ekonomi dan sosial. Salah satu ktriteria/ciri negara demokrasi, adalah
adanya pengakuan akan persamaan kedudukan (status), hak warganegaranya,
baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. Hal ini jelas dinyatakan
secara tegas dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa segala warganegara
- Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, yakni hak untuk membela negara.
d). - Pasal 28 UUD 1945, yakni hak berserikat, berkumpul dan berpendapat.
- Pasal 28 A sampai I UUD 1945 mengenai hak asasi manusia dan hak
dasar manusia.
e). Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yakni hak dalam memeluk agama.
d). Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, yakni hak dalam usaha pertahanan negara.
f). Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengajaran
dan pendidikan
g). Pasal 32 ayat (1) UUD 1945, yakni kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya.
h). Pasal 33 UUD 1945 ayat (1) sampai ayat (4) , yakni hak ekonomi untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
i). Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, yakni hak mendapatkan jaminan sosial.
2). Kewajiban warganegara meliputi:
a). Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni kewajiban warganegara untuk menmentaati hukum dan pemerintahan.
membela negara.
c). - Pasal 28 J ayat (1), yakni kewajiban menghormati hak asasi manusia.
- Pasal 28 J ayat (2), yakni wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.
d). Pasal 31 ayat (2), yakni kewajiban mengikuti pendidikan dasar dan
menengah.
e). Pasal 30 ayat (1), yakni yang menyatakan kewajiban warganegara dalam upaya pertahanan negara.
Kewajiban warganegara pada dasarnya adalah hak negara. Negara adalah
Sebagai organisasi kekuasaan yang memiliki sifat memaksa (imperatif),
memonopoli dan mencakup semua hal. (lihat deifinisi negara menurut
Meriem Budihardjo). Oleh karena itu hak negara untuk ditaati dan dilaksanakan hukum-hukumnya yang berlaku di seluruh negara (unifikasi).
Hak-hak warganegara wajib untuk diakui (reconized), wajib untuk dihormati (respected) , dilindungi (protected), difasilitasi (facilitated), serta di
penuhi (fulfilled) oleh negara. Negara dibentuk dan didirikan dengan
tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya.
Pengertian hak warganegara dan hak asasi manusia perlu dibedakan.
Hak warganegara timbul sebagai akibat hukum dari hubungan antara warganegara dengan negara. Setiap hubungan hukum selalu akan melahirkan
kekuasaan (hak) dan kewajiban. Jadi menurut hal ini adalah kekuasaan
atau wewenang yang oleh hukum diberikan kepada seseorang dari yang
menjadi lawannya, ialah kewajiban. Kekuasaan ini oleh hukum diberikan
kepada seseorang, karena hubungan hukum dengan orang lain atau puhak
yang selanjutnya disebut dengan hak (Suria Kusuma,1986), Pengertian lain
dari hak, adalah sesuatu yang harus diterima/didapat. Misal, hak anak adalah untuk mendapat perlindungan dan pendidikan dari orang tua, hak yang
diperoleh warganegara antara lain:mendapatkan/memeperoleh kesejahteraan, pendidikan dan perlindungan dari pemerintah/negara. Jadi hak bisa disebut sebuah kekuasaan/wewenang yang oleh hukum diberikan kepada
seseorang dari yang menjadi lawannya, ialah kewajiban, yakni orang lain
untuk mengakui kekuasaan itu, sedangkan kewajiban adalah tugas yang
harus dikerjakan/dilakukakan/diberikan oleh manusia untuk dipertahankan
dan membela haknya. Hak warganegara pada dasarnya adalah kekuasaan/
kewengangan yang dimiliki warganegara yang oleh hukum negara diberikan atau ditetapkan. Oleh karena itu hak warganegara setiap negara bisa
bisa berbeda sesuai dengan penetapan dari hukum negara yang bersangkutan.
Sedangkan hak asasi manusia adalah kebutuhan dasar yang memang telah
dimiliki oleh manusia sejak ia lahir. Hak asasi manusia adalah melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan serta
merupakan anugrahNya. Hak warganegara setiap negara berbeda dikarenakan perbedaan penetapan konstitusinya, sedangkan hak asasi manusia adasama, karena bersifat universal, berlaku bagi siapa saja, dimana saja dan
kapan saja.
C. Kewarganegaraan Indonesia
Telah dijelaskan sebelumnya, seperti apa yang dikemukan oleh Paulus,
bahwa konsep kewarganegaraan memiliki dua pengertian, yakni pengertian
yuridis dan sosiologis serta pengertian formal dan material. Pengertian yuridis-sosiologis menunjuk pada ikatan seseorang dengan negara.
Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum
seseorang dengan negara, sedang dalam arti sosiologis, yakni ikatan yang
terjadi tidak berupa ikatan hukum, tetapi karena adaya ikatan emosional,
seperti ikatan perasaan, keturunan, nasib, ikatan sejarah dan ikatan tanah
air. Dengan kata lain ikatan ini lahir dari pengahyatan orang yang bersangtan terhadap negara dan bangsa (wawasan nasional/wawasan nusantara).
Kewarganegaraan dalam arti formal menunjuk pada hal ihwal pada umumnya berada di dalam ranah hukum publik serta membicarakan masalahmasalah kewarganegaraan, sperti: siapakah warganegara itu, bagaimana kehilangan kewarganegaran dan sejnisnya. Kewarganegaran dalam arti material menunjuk pada akibat dari status kewarganegaraan, yakni hak dan
kewajiban warganegara.
Sejak Indonesia merdeka pengaturan masalah kewarganegraan, baik
dalam arti formal maupun material sudah diupayakan masuk dalam negara
maupun perundang-undangan negara, dalam UUD 1945 yang asli. Isi kewarganegraan termuat dalam pasal 27 sampai 34 UUD 1945, yang di da-
dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) dan diundangkan pada tanggal 10 April 1946. Namun pada tanggal 27 Februari 1947,
Pemerintah RI dengan persetujuan KNIP mengeluarkan Undang-Undang No. 6
tahun 1947 tentang Perubahan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang
Warganegara dan Penduduk Indonesia. Undang-undang No. 3 tahun 1946 jo UU
No. 6 tahun 1947.
Menurut pasal 1 UU No. 3 tahun 1946, penjelasan tentang siapakah Warga
Negara Indonesia (Winarno, hal.108- 114).
2. Undang-Undang No. 2 tahun 1958 tentang Persetujuan antara RI-RRT mengenai
Dwikewarganegaraan
Diwajibkan kepada setiap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan
Untuk menentukan pilihannya, apakah ia akan melepaskan kewarganegaraan
RRC dan menjadi warganegara Indonesia, atau tetap menjadi warganegara RRC
dengan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban memilih itu hanya
dibebankan kepada orang dewasa (telah berumur 18 tahun atau pernah kawin).
Pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan dengan menyatakan kepada petugaspetugas negara, kewarganegaraan mana yang hendak dipilihnya, secara tertulis
atau secara lisan , dengan disertai surat-surat keteranagan diri serta keluarganya.
Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu satu tahun
setelah mereka dewasa.
Bagi dwi-kewarganegaraan yang dewasa tidak menyatakan pilihannya dalam
waktu 2 tahun berlaku ketentuan yang berikut:
1. Ia dianggap tekah memilih kewarganegaraan RRC, kalau
ayahnya keturunan Cina,
2. Ia dianggap telah memilih kewarganegaraan Indonesia,
kalau ayahnya keturunan Indonesia.
Sedangkan yang belum dewasa berlaku ketentuan, bahwa ia memilih kewarganegaraan yang diikutinya selama ia belum dewasa. Pada tahun 1969 UU No. 2
tahun 1958 dicabut kembali oleh UU No. 4 tahun 1969. Ditetapkan dalam UU
No. 4 tahun 1969 ini, bahwa mereka yang telah mempunyai kewarganegaraan
RI berdasarkan UU No. 2 tahun 1958, tetap kewarganegaraan Indonesia, sedang
orang-orang yang di bawah umur secara otomatis mengikuti garis kewarganegaraan orang tuanya.
Hal ini berarti, bahwa semasa UU No. 2 tahun 1958 tentang dwi-kewarganegaraan Indonesia masih berlaku. Orang tua memilih warganegara Indonesia, secara otomatis anaknya sesudah dewasa menjadi warganegara Indonesia
dan sebaliknya bila orang tuanya memilih warganegara RRC, maka anaknya sesudah dewasa akan menjadi warganegara RRC. Satu-satunya jalan yang dapat
untuk mengubah kewarganegaraannya menjadi warganegara Indonesia dengan
jalan naturalisasi.
3. Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia
Undang-Undang N0. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia
(Lembaran Negara tahun 1958 Nomor 113) mulai berlaku sejak diundangkan
pada tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa bagian dari undang-undang ini, yaitu
mengenai ketentuan-ketentuan siapa yang menjadi warganegara Indonesia,
status anak dan cara-cara kehilnagan kewarganegaraan, ditetapkan berlaku surut
tanggal 27 Desember 1949. Dasar hukum dari undang-undang ini adalah
UUD S tahun 1950, khususnya 5 pasal dan 144 UUDS 1950(Winarno, hal. 116123).
tanegaran RI. Secara filosofis, undang-undang masih mengandung ketentuanketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena
masih adanya sifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi
manusia dan persamaan antar warganegara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS tahun 1950 sudah
tidak berlaku lagi sejak diberlakukan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 yang
menyatakan kembali ke UUD 1945. Dlam perkembangannya UUD 1945 telah
mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia dan hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-undang ini sudah tak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia
sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang
menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan waranegara di
hadapan hukum serta adanya kestaraan gender.
Istilah kewarganegaraan menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 adalah
segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara (pasal 1). Oleh karena
kewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan kewarganegaraan, maka kewarganegaraan mencakup hal-hal, antara lain
a. penentuan tentang siapa saja yang termasuk warga negara,
b. cara menjadi warga negara atau pewarganegaraan
c. tentang kehilnagan kewarganegaraan
d. tentang cara memperoleh kembali kewarganegaraan yang hilang
Adapun ketentuan pokok yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006, adalah
sebagai berikut:
a. tentang siapa yang menjadi warga negara Indonesia
b. Tentang syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan RI
c. Tantang kehilangan Kewarganegaraan RI
yakni: J.J Roesseou ( Contract Social), Montesque (De Lois Sprits), Voltaire serta dari
Jerman adalah Immanuel Kant (Trias Politica: eksekutif, legislatif dan yudiukatif).
John Locke memandang manusia sebagai makhluk sosial (homo Social) yang padanya
melekat hak asasi yang diberikan oleh alam yakni: life, liberty dan property.
Konsep ini mengilhami munculnya Declaration of Independence Amerika Serikat pada
tanggal 4 juli 1776.
e. Di Perancis terjadi Declaration des Droits de Ihomne et du Citoyen (Pernyataan hak
hak asasi dan warganegara pada tahun 1789 yang isinya: Liberty, egality dan
fartenity
pada jaman Raja Louis XVI yang disertai dengan hancurnya Penjara Bastille oleh
oleh Napoleon Bonaparte, sebagai akibat dari revolusi yang dipelopori oleh tiga
serangkai tokoh pencerahan di Perancis.
f. Declaration of Independence (1780) yang dipertegas dan diucapkan pada tahun 1941 oleh
Presiden Amerika Franklin D.Roosevelt,ungkapan ini terkenal dengan Four The Freedom
yang isinya :
1). Kebebasan berbicara (freedom to speech)
2). Kebebasan beragama (freedom to religion)
3). Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want)
4). Kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear).
g. Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948
B. Rule of Law
1.Pengertian Rule of Law
Pada abad ke 19 dan abad ke 20 muncul gagasan mengenai pembatasan
mendapat rumusan secara yuridiksi (hukum). Ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant dan friedrich Julius Stahl memakai istilah :
istilah Rechsstaat, sedangkan para ahli hukum Anglo Saxon, seperti A.V.
Dicey memakai istilah Rule of Law.
Menurut Stahl ada empat (4) unsur-unsur rechtssaat dalam arti klasik, yakni:
1. Hak-hak asasi manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan-kekuasaan untuk menjamin hak-hak
itu (di negara-negara Eropa Kontinental disebut Trias Politica).
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.
4. peradilan admonistrasi dalam perselisihan (Oemar Seno Adji, dalam
5. Budihardjo, 1982: 58).
2. Unsur-Unsur Rule of Law
Sedangkan unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik menurut A.V. Dicey
dalam Introduction to the law of the Constitution mencakup tiga hal, yakni:
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, dalam arti seseorang boleh dihukum
(diberi sanksi), apabila orang itu melanggar dan melawan hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi/didepan hukum (equality
before the law). Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja, baik pejabat
maupun orang/rakyat biasa.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang negara (konstitusi).
Pada tahun 1965 International Commission of Jurist (organisasi ahli hukum
internasional) dalam konferensinya di Bangkok memperluas konsep rule of
law. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah:
1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin
hak-hak individu, harus menentukan pula cara-cara yang prosedural untuk
memperoleh perlindungan atas hak-haknya yang dijamin;
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)
tanpa memperhatikan kebenaran, apalagi jika proses politik itu sendiri dijalankan atas kekuasaan.
Pengertian demokrasi dari dua aliran, yakni:
a. Demokrasi konstitusional/demokrasi yang terbatas kekuasaannya dalam suatu negara hukum.
b. Demokrasi Komunis , yakni mencita-citakan pemerintahan yang tidak terbatas(machtsstaat)
dan bersifat totaliter. Sistem demokrasi ini sebenarnya bertentangan dengan arti dan makna
demokrasi itu sendiri, karena demokrasi adalah identik dengan kebebasan (freedom)
c. Arti demokrasi dalam aplikasinya, antara lain:
1). Musyawarah untuk sepakat dan mufakat.
2). Menghargai pendapat dan suara orang lain
3). Kemenangan ditentukan suara terbanyak (aklamasi) atau 2/3 dari jumlah anggota/pemilih
atau berdasarkan aturan yang telah disepakati (50+1)
4). Sahnya suatu keputusan (DPR) apabila dihadiri paling sedikit 2/3 dari semua jumlah
anggotanya, sehingga kalau kurang dari itu dianggap tidak sah karena tidak memenuhi
qourum.
5). Anggota/peserta yang berhak tidak datang/tak menggunakan haknya, maka dianggap menyetujunya semua hasil keputusan/pemilihan.
6). Demokrasi selalu disamakan dengan kebebasan (freedom)
7). Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi perwakilan.
8). Demokrasi Indonesia berdasarkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 harus sesuai dengan adagium :
Lex Populi Lex Dei dan Lex Populi Suprema lex.
9). Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila (musyawarah untuk mufakat)
Adapun ciri-ciri demokrasi menurut Erni Ernawati dalam bukunya: Business Etics, adalah:
a). Demokrasi menjamin adanya keanekaragaman dan pluralisme (bhinneka).
b). Demokrasi menjamin kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, untuk memperjuangkan
nilai yang dianut oleh setiap orang dan sekelompok masyarakat dalam frame kepentingan
bersama.
c). Demokrasi menjamin setiap orang dan kelompok masyarakat ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik dan memeperoleh manfaatnya
d). Demokrasi menjamin sifat transparansi (keterbukaan)
e). Adanya akuntabilitas publik.
Selain itu ada Demokrasi Klasik, yakni dari Yunani Kuno dalam lingkup Negara Polis (City
State/Polis), sifat demokrasi ini adalah demokrasi langsung, bentuk pemerintahan yang di dalamnya berupa untuk membuat keputusan politik yang dijalankan secara langsung oleh seluruh
warganegara berdasarkan suara .
Demokrasi ini mulai berkembang di Eropa Barat pada abad 15 dan 16 dan mecapai puncaknya
pada abad 19. Dalam Demokrasi Modern menonjolkan asas kebebasan manusia terhadap segala
bentuk kekangan dan penindasan, baik di bidang agama, pemikiran maupun politik.
Selaian itu juga menekankan pentingnya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (demokrasi
terkait dengan HAM).
Komisi Internasional Ahli Hukum dalam konferensi di Bangkok tahun 1965 merumuskan
syarat-syarat dasar penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law,
sebagai berikut :
a. Perlindungan konstitusional yang menjamin hak- hak individu
b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
c. Pemilihan yang bebas
d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat
e. Kebebasan berserikat, berkumpul dan beroposisi
f. Pendidikan kerwarganegaraan (civic education)
Sedangkan bentuk negara pemerintahan menurut Plato, Aristoteles dan Polybus mengklasifikasikan dalam tiga bentuk yakni : Monarki, aristokrasi dan demokrasi.
Kriteria yang digunakan adalah :
1). Jumlah orang yang memegang pemerintahan, apakah satu orang/beberapa orang ataukah
dipegang oleh seluruh rakyat.
2). Sifat pemerintahan ditujukan untuk kepentingan umum (rakyat), pemerintah/negara atau
untuk kepentingan perorangan/kelompok.
3). Tujuan pemerintahan ditujukan untuk kepentingan umum/masyatakat.
Ketiga bentuk pemerintahan/negara itu baik, jika ditujukan untuk kepentingan rakyat (umum),
namun mempunyai ekses, jika kekuasaan tidak untuk kepentingan rakyat.
Adapun ekses-ekses itu adalah :
- Dari Monarki menjadi Tirani
- Dari Aristokrasi menjadi
- Dari Demokrasi menjadi Anarki
B. Perkembangan Demokrasi
Perkembangan jaman modern,k etika kehidupan memasuki skala luas, demokrasi tidak lagi berformat lokal, ketika negara sudah mulai berskala nasional, bahkan internasional demokrasi tak mungkin lagi direalisasikan dalam bentuk partisipasi langsung, masalah diskriminasi dan kegiatan politik tetap saja berlangsung.
Kenyataannya tidak semua warganegara dapat langsung terlibat dalam perwakilan,
dan hanya mereka yang karena sebab tertentu mampu membangun pengaruh dan
menguasai suara politik, terpilih sebagai wakil.Sementara sebagian besar rakyat hanya/harus puas jika kepentingannya terwakili, tetapi tidak memiliki kemampuan
dan kesempatan yang sama untuk mengefektikan hak-haknya sebagai warganegara.
Adapun pun perkembanagn bentuk pemerintahan dari monarkhi absolut menuju ke
monarkhi konstitutional, aristokrasi dan demokrasi.
C. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
1. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia
a. Periode 1945-1959: UUD R I S demokrasi Parlementer yang menonjolkan parlemen,
partai serta memberi peluang untukpartai-partai politik dan DPR.
Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh menjadi lemah
dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan yang konstruktif pasca kemerdekaan.
b. Periode 1959-1965 masa Demokrasi Terpimpin dalam beberapa aspek telah menyimpang
dari Demokrasi Konstitusional dan lebih menampilan beberapa aspek dari demokrasi rakyat
(Marhaen, Ampera).
Dengan ditandai dominasi Presiden, terbatasnya peran politik dan pengaruh komunis semakin luas.
c. Periode 1966-1998, masa Demokrasi Pancasila era Or-Ba merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil. Dalam perkembangannya peran Presiden smakin dominan terhadap lembaga-lembaga yang lain (legislatif dan yudikatif).
d. Periode 1999 - Sekarang: masa demokrasi Pancasila era reformasi dengan berakar pada
kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan peran dan perimbangan antara lembaga-lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif).
Pada tahun 2004 dimulai pemilihan pejabat publi secara langsung (presiden, gubernur, wali
kota dan bupati)
Selain itu juga disahkannya UU Otonomi Daerah yang mengindikasikan adanya pembagian
kekuasaan secara vertikal dari sistem sentralisasi (terpusat) menjadi desentralisasi (terdistribusi).
e. Adanya Pengesahan Berbagai Undang-Undang, antara lain:
1. Adanya amandemen UUD 45 yang ke empat, bahkan berpotensi untuk amandemen lagi.
2. Adanya UU Otonomi Daerah
3. Adanya UU Otonomi Khusus untuk daerah tertentu (NAD, Papua)
4. Adanya UU Pemilihan Kepala Daerah dan Presiden secara langsung
5. Adanya UU Pemilu.
6. Konsep-konsep demokrasi juga tercantum pada:
a). Alinea ke II Pembukaan UUD 45, yakni Dan perjuangan---------------------------negara
------------------------------Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
b). Alinea ke IV Kemudian Pembukaan UUD 45, yakni-----------------------kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta-----------------rakyat Indonesia.
c). Pasal 1ayat (2) UUD 45, yakni: kedaulatanberada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut UUD***
d). Pasal 19 UUD 45, yakni: Anggota DPR dipilih melalui pemilu *
e). Pasal 22 E yakni: Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
adil setiap lima tahun sekali***.
Persoalan hak asasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun yang
akan datang harus ditinjau dalam rangka untuk mencapai keseimbangan yang wajar, yang
mencakup tiga hal, yakni:
1). adanya pemerintahan yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan,
2). adanya kebebasan yang sebesar-besarnya,
3). perlunya untuk membina suatu rapidly expanding economy (pengembangan ekonomi secara cepat).
D. Nilai-Nilai Demokrasi
Adapun nilai-nilai demokrasi menurut Cipto (2002, 31-37), meliputi:
1. Kebebasan Menyatakan Pendapat
Kebebasan menyatakan pendapat adalah sebuah hak bagi warganegara yang wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah sistem politik demokrasi.
Warganegara dapat menyampaikan kepada pejabat yang berwenang dari tingkat paling rendah
: lurah sampai presiden, DPRD Tk II/I sampai ke DPR Pusat serta ke DPD, baik melalui pembicaraan langsung (temu wicara), lewat surat, sms, media massa, lewat penulisan buku ataupun melalui wakil-wakil di DPR.
2. Kebebasan Berkelompok, Barserikat dan Berkumpul
Berkelompok, berserikat dan berkumpul dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar
demokrasi yang diperlukan bagi setiap warganegara. Kebutuhan berkelompok, berserikat dan
berkumpul merupakan naluri dasar manusia sebagai makhluk sosial, sehingga manusia tidak
bisa hidup sendiri, tanpa bantuan dan kehadiran orang l ain. Secara natural manusia adalah
makhluk tidak sempurna, sehingga tidak mampu mengatasi persoalan secara diri sendiri.
3. Kebebasan Berprestasi
Kebebasan berpartisipasi sejatinya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat,
berserikat dan berkumpul. Ada empat (4) jenis partisipasi:
Pertama, adalah pemberian suara dalam PEMILU, baik pemilihan anggora DPR, ataupun
presiden.
Kedua, adalah bentukpartisipasi yang disebut melakukakan kontak hubungan dengan pejabat
pemerintah. Contoh: temu wicara dengan pejabat pemerintah lurah/kepala desa sampai kepada
presiden, atau menyampaikan aspirasi kepada pejabat.
Ketiga, melakukan protes atau unjuk rasa terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah, misal
tentang privatisasi BUMN, kenaikan TDL, BBM, adalah merupakan salah satu bagian dari
proses demokrasi untuk memperbaiki kebijakan pemerintah atau swasta yang dirasa memberatkan rakyat, terutama rakyat kecil tanpa harus menimbulkan gangguan dalam kehidupan
politik.
Keempat, mencalonkan diri untuk menjadi kadidat pejabat publik mulai dari kepala desa,
bupati atau walikota, gubernur, anggota DPR hingga presiden sesuai dengan sistem dan
undang-dan undang-undang yang berlaku.
4. Kesetaraan Antar Warganegara
Kesetaraan atau egalitarianisme merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan
untuk pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan di sisi lain diartikan sebgai kesempatan yang sama (the right man the right place) bagi setiap warganegara, tanpa membedakan
etnis, suku, agama, ras maupun golongan. Nilai ini sangat diperlukan bagi negara yang masyarakatnya heterogen, yang multi etnis, multi ras, multi bahasa dan multi agama.
Heteroginitas masyarakat sangat rawan dan rentan terhapap berbagai konflik kepentingan
(vetsed interst), terutanma konfik horisontal. jika tidak ada suatu konsep yang disepakati bersama dan mempersatukan mereka, sehinggga situasi toteransi bisa tercipta (kondusif), serta
E.Pendidikan Demokrasi
1. Pengertian pendidikan Demokrasi
a. Pendidikan Demokrasi menurut Zamroni (2001:8), adalah mendidik warga masyarakat
agar mudah dipimpin, tetapi sulit untuk dipaksa, mau diperintah tetapi sulit untuk diperbudak. Sebagai warga masyarakat demokratis, masing-masing warga dengan sukarela
senatiasa taat pada undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku.
Jika undang-undang dilecehkan, mereka akan bangkit, apalagi kalau mereka dipaksa melakukakn sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Demikian pula reaksi spontan warga masyarakat akan muncul, apabila justru penguasa
sendiri yang dengan sengaja dan sadar melecehkan undang-undang atau peraturan-peraturan yang berlaku.
Pendidikan demokrasi menekankan pada kemandirian, kebebasan tanggung jawab.
Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada
kesadaran akan pluralitas masyarakat. Dalam kehidupan pluraliatas, tidak jarang seseorang
atau kelompok masyarakat memiliki kecenderungan untuk mementingkan kelompoknya,
sehingga akan menimbulkan konflik (konflik horisontal).
Oleh karena itu, kebebasan harus diiringi dengan kesabaran, tolernasi dan kemampuan
untuk mengendaliakan diri.
Pendidikan untuk demokrasi adalah proses sepanjang hayat, hal ini tak dibatasi pada jenjang atau kelas pendidikan sekolah. Pendidikan demokrasi dapat menggunakan berbagai
model/pendekatan, sesuai dengan sistem politik, tradisi sosial budaya dan sejarahnya atau
dengan model negara Barat yang bebas, model yang digunakan oleh negara Asia dan
negara-negara berkembang.
b. Menurut UNESCO (1998:57) terdapat berbagai aspek/dimensi demokrasi yang dapat digunakan untuk pendidikan demokrasi meliputi hal-hal yang bersifat: politis, ideologis, filsafati atau konseptual, sejarah, hukum, legislatif, budaya, artistik dan sus sastra.
Suatu pendekatan yang selektif digunakan di dalam memilih dari daftar ini, akan tetapi
perhatian khusus hendaknya diberikan pada demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dari
semua paguyuban (komunitas).
of the indian Archipelago and East Asia (1850). Seorang ahli hukum Sir
W.E Maxwell juga memakainya dalam kegemarannya mempelajari Rumpun Melayu. Pada tahun1882 dia menerbitkan buku penuntun untuk bahasa itu, dengan kata pembukaan memakai istilah Indonesia.
Istilah Indonesia semakin terkenal berkat peran Adolf Bastian (etnolog)
yang menegaskan arti kepualauan ini dalam bukunya: Indonesien order
die Inseln des Malaysichen Archipels (1884-1889).
Pada awal abad ke-20 Perhimpuanan Mahasiswa Indonesia di Belanda
menyebut diri dengan Perhimpunan Indonesia, yang kemudian diikuti
Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan menggunakan
istilah Indonesia untuk: tanah air, bangsa dan bahasa untuk mengganti
sebutan Nederlandsch Ooust Indie.
Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 kata/istilah
Indonesia telah resmi (legal formal) menjadi nama negara dan bangsa
Indonesia sampai sekarang.
C. Konsepsi Wilayah Lautan
Dalam perkembangannya hukum laut International dikenal beberapa
konsepsi mengenai pemilikan dan penggunaan wilayah laut, yakni :
1). Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memilikinya.
2). Res Cimmunis, yang menyatakan bahwa laut itu dalah milik masyarakat dunia, karena itu tidak dapat dimiliki oleh masing-masing negara.
3). Mare Liberum, yang menyatakan bahwa wilayah laut adalah bebas untuk semua bangsa.
4). Mare Clausum (The Right and Domonion of the Sea) hanya laut sepanjang pantai saja yang dapat dimiliki oleh suatu negara sejauh yang
dapat dikuasai dari darat (waktu itu kira-kira sejauh 3 mil).
5). Archipelagic State Principle (Asas negara Kepulauan) yang menjadi
dasar adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.
Saat ini Konvensi PBB tentang Hukum Law (United Nation Convention the Law of the Sea-UNCLOS) mengakui adanya tertib hukum laut
dan samudra yang dapat memudahkan komunikasi internasional dan
memajukan penggunaan laut yang damai.
Selain itu juga ada keinginan untuk mendayagunakan sumber daya
dan kekayaan laut secara adil dan efisien, konservasi dan pengkajian
sumber kekayaan hayati serta perlindungan dan pelestarian lingkungan
laut.
Sesuai dengan Hukum Laut International, secara garis besar negara
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki Laut
teritorial,Perairan
Pedalaman, Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan LandasKontinen.
- Keuletan
- Identitas
- Integritas
- HGAT
Dalam aplikasinya untuk membangun ketahanan nasional seLalu berhadapan dengan : hak asasi manusia, demokrasi, kependudukan,lingkungan hidup,pangan serta IPOLEKSOSBUD.
Diantara komponen-komponen itu ada kalanya dalam aplikasinya dapat sejalan dan saling mendukung, namun juga tak dapat
dipungkiri seringkali terjadi pertentangan dan perlawanan bagi
mereka yang merasa dirugikan.