Anda di halaman 1dari 175

OLEH

DRS. BASUKI RAHARDJO, MS

FAKULTAS EKONOMI DAN BSNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN
(Pertemuan I)
Drs. Basuki Rahardjo, MS.

A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan


endidikan Kewarganegaraan telah diseminarkan, diajarkan, dan dikembangkan
hampir di seluruh dunia, dengan pemaknaan istilah yang diberikan kepada

P pendidikan ini dengan berbagai jenis, misalnya: “civic education”, “democrazy


education”, dan “citizenship education”. Sedangkan untuk pemaknaan di Indonesia
sendiri ada yang memakai istilah “pendidikan kewarganegaraan”, “pendidikan
kewargaan”, yang pada awalnya dimasukkan dalam istilah “pendidikan kewiraan”.
Pendidikan Kewarganegaraan, menurut cakupannya merupakan pendidikan yang
dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa mengenai status, hak, dan
kewajiban dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
serta peningkatan kualitas dirinya sebagai umat manusia. Dengan memahami segala
aspek-aspek yang berada dalam cakupan ruang lingkup tersebut, diharapkan mahasiswa
dapat menjadi seorang warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan mempunyai
karakter sebagaimana diamanatkan di dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Adapun secara garis pokoknya, lebih banyak ditujukan pada learning by doing,
yakni meliputi praktik pembelajaran materi, yang diamanatkan di dalam
kewarganegaraan, sebagai pengembangan pola pembelajaran, untuk lebih mendalami
pengetahuan dan pemahaman, secara mendalam, melalui pengalaman belajar life skills
(kecakapan hidupnya). Penghayatan pembelajaran kewarganegaraan dapat juga
dilakukan di luar kelas dengan metode CTL (Contextual Teaching Learning), dan
melalui teknologi informasi, yang dapat lebih mendorong mahasiswa belajar secara
aktif (student teaching learning).
Pembelajaran secara aktif ini diupayakan, agar dapat meningkatkan keikutsertaan
seluruh mahasiswa sebagai warga negara berpendidikan, yang bertanggung jawab
secara analistis, aktif, kreatif, inovatif, dan belajar secara konsisten dalam kehidupan
berkeluarga, dan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-harinya. Perkuliahan kewarganegaraan dimaksimalkan dapat menjadi
laboratorium kehidupan kemahasiswaan yang demokratis, dapat dilaksanakan secara
praktis dan komprehensif bagi seluruh mahasiswa. Hal ini seperti apa yang
diungkapkan oleh Edgar Morin dalam forum Unesco (2006) Outliers The Story of
Success: bagi para guru (dosen) bahwa kelas harus menjadi sebuah tempat untuk para
siswa (mahasiswa) belajar tentang aturan-aturan debat atau diskusi yang sportif. Kelas
harus dapat menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan-kebutuhan serta adat atau tatacara
memahami pikiran orang lain, mendengar dan menghormati suara minoritas, dan suara
yang berbeda dengannya. Dengan pembelajaran memahami kebersamaan maka
sebetulnya pelaksanan demokrasi sudah dekat untuk dapat dipraktekkan di dalam
kehidupan sesama (Kartono, Guruku: )

B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

2
1. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Keputusan Dirjen Dikti No.
43/DIKTI/Kep/2006 memberikan rambu-rambu tentang Visi, Misi, dan Kompetensinya
sebagai berikut:
Visi Pendidikan Kewarganegaraan, merupakan sumber nilai dan pedoman dalam
pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasiswa
memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Mahasiswa sebagai generasi
bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan,
cinta tanah air, dan bangsanya.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan, membantu mahasiswa memantapkan
kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila,
rasa kebangsaan dan cinta tanah air, dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuaan, teknologi dan seni dengan rasa tanggungjawab
dan bermoral.
Kompetensi, menjadikan mahasiswa menjadi ilmuwan dan profesional yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis, serta berkeadaban. Di
samping itu, diharapkan mahasiswa menjadi warganegara yang memiliki daya saing,
berdisiplin, berperanserta membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai
yang ada di Pancasila.
Obyek Formal Pendidikan Kewarganegaraan adalah segi hubungan antara
warganegara dan negara, dan segi pembelaan negara, terarah pada warganegara
Indonesia dalam hubungannya dengan Negara Indonesia, dan upaya Pembelaan Negara
Indonesia.
Obyek Material segala hal yang berkaitan dengan warganegara meliputi wawasan,
sikap dan perilaku warganegara dalam kesatuan bangsa dan negara.
Substansi Kajian mencakup:
a. Pendahuluan;
b. Nilai-nilai Pancasila;
c. Identitas Nasional;
d. Negara, Kewarganegaraan, dan Konstitusi;
e. Masyarakat Madani;
f. Demokrasi Indonesia;
g. Hak Azasi Manusia;
h. Budaya Politik Indonesia;
i. Kependudukan, Lingkungan Hidup, dan Batas-batas Pertumbuhan;
j. Bela Negara;
k. Pendidikan Karakter;
l. Budi Pekerti;
m. Pendidikan Anti Korupsi.
2. Landasan Hukum
a. Pancasila, sebagai sumber hukum nasional, maka segala peraturan hukum/peraturan
perundang-undangan negara Republik Indonesia (RI) harus bersumber dan tidak
bertentangan dengan Pancasila;
b. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

3
1) Pembukaan UUD 1945, pada alinea kedua dan keempat, tentang cita-cita tujuan
dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaannya;
2) Pasal 27 (1) bahwa: Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualiannya;
3) Pasal 27 (3) bahwa: Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara.
4) Pasal 28C (1) bahwa: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui
pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia;
5) Pasal 30 (1) bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan negara;
6) Pasal 30 (2) bahwa: Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia
dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat
sebagai kekuatan pendukung;
7) Pasal 30 (3) bahwa: Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara;
8) Pasal 30 (4) bahwa: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara
yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum;
9) Pasal 30 (5) bahwa: Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional
Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya,
syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan
undang-undang;
10)Pasal 31 (1) bahwa: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
c. UU RI Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara
1) Pasal 2: Hakikat Pertahanan Negara adalah upaya pertahanan bersifat semesta
yang penyelenggaraannya di dasarkan pada kesadaran hak dan kewajiban warga
negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri;
2) Pasal 4: Pertahanan keamanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi
kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap bangsa dan
segala bentuk ancaman;
3) Pasal 5: Pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan dan mempertahankan
seluruh wilayah NKRI sebagai kesatuan pertahanan;
d. UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000 tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa
dan Nomor 45/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi telah ditetapkan
bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Bahasa dan Pendidikan Kewarganegaraan

4
merupakan kelompok Matakuliah Pengembang Kepribadian, yang wajib diberikan
dalam kurikulum setiap Program Studi/ Kelompok Program Studi.
e. Untuk pelaksanaannya di lapangan, didasarkan pada surat Keputusan Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Nomor
43/DIKTI/Kep/2006, yang memuat rambu-rambu pelaksanaan kelompok
Matakuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
f. Peran Serta dalam Usaha Pembelaan Negara
Bela Negara merupakan hak dan kewajiban warga negara. Warga negara untuk dapat
berperan serta di dalam melakukan bela negara, dapat disesuaikan profesinya
masing-masing, artinya pengabdian warga negara yang disesuaikan bidangnya
masing-masing untuk kepentingan pertahanan negara termasuk di dalam ikut serta
terhadap membantu korban bencana alam. Beberapa profesi yang dimaksud
contohnya:
1) Tim SAR
2) PMI
3) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (dan Daerah)
4) Sukarelawan
5) LSM
6) Petugas Yayasan
7) Satuan-satuan Tugas (Task Force).

5
BAB II
NILAI-NILAI PANCASILA
(Pertemuan II)

A. Pengertian Pancasila
gar menjadi dasar awal pembelajaran Pancasila, ada baiknya dipaparkan teks Pancasila
sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.

A
B. Teks Pancasila

1. Ketuhanan Yang Maha Esa


2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permu-
syawaratan/perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta. Panca dan sila. Panca
artinya lima, dan sila berarti alas, azas atau dasar. Dengan demikian Pancasila berarti
lima azas atau lima dasar. Pancasila merupakan jiwa seluruh bangsa Indonesia yang telah
diwarisi sejarahnya turun temurun sekian abad lamanya. Pancasila merupakan falsafah
negara Indonesia, adalah lima dasar yang dipakai sebagai ideologi negara, maka kelima
sila itu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Oleh karena, Pancasila adalah dasar dan falsafah, atau sebagai landasan negara Republik
Indonesia yang terdiri dari lima azas, di mana antara sila yang satu dengan yang lain
merupakan suatu tali kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Isi rumusan Pancasila yang resmi, seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD
1945 alinea keempat. Mengenai tata susunan/sistimatika, tata tulis, dan cara
pengucapannya telah ditetapkan dan ditegaskan dengan Instruksi Presiden Nomor 12
Tahun 1968.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang sudah mengakar atau membudaya
dalam kehidupan bangsa Indonesia tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sila 1: terkandung dengan nilai keimanan, ketakwaan, saling menghormati antar
pemeluk agama;
2. Sila 2: dapat mempunyai tenggang rasa, dapat menghargai orang lain, juga dapat
menjunjung tinggi HAM;
3. Sila 3: terdapatnya jiwa persatuan, kekeluargaan, bersedia kerjasama, mau rela
berkorban, dan mempunyai rasa cinta pada tanah air;

6
4. Sila 4: adanya budaya bermusyawarah, tidak memaksakan kehendaknya kepada orang
lain, dan mengembangkan demokrasi;
5. Sila 5: mempunyai rasa keadilan, bahu membahu, bekerja keras, hidup lugas dan
sederhana.
1. Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
Pancasila sebagai dasar negara disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Adapun fungsi Pancasila yang meliputi berbagai hal adalah sebagai:
a. Dasar Negara: Artinya Pancasila sebagai landasan atau dasar dalam
penyelenggaraan negara atau pemerintah, sesuai pernyataan yang dimuat dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat;
b. Ideologi Negara: Merupakan faham yang dianut oleh bangsa Indonesia dalam
perjuangannya mengisi masa kemerdekaan, dan menuju kehidupan yang dicita-
citakan (Masyarakat Adil Makmur-MAM);
c. Pandangan Hidup Bangsa (Way of life): Ini sebagai pegangan hidup manusia
Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Dengan pandangan hidup ini diharapkan
bangsa Indonesia mempunyai arah tujuan yang jelas untuk mencapai kehidupan yang
dicita-citakan, tidak mudah dihasut dan diombang-ambingkan dari pengaruh
kehidupan internasional yang tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia;
d. Jiwa dan Kepribadian Bangsa: Dapat memberikan corak kepada pembentukan
sikap mental dan perilaku manusia Indonesia, yang ini membedakan dengan bangsa-
bangsa lainnya. Pancasila menjadi dicita-citakan sebagai identitas bangsa Indonesia.
e. Perjanjian Luhur Bangsa Indonesia: Pancasila telah menjadi kesepakatan yang
sudah disetujui oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada saat merintis pendirian
negara (founding father). Para wakil-wakil bangsa Indonesia menyepakati rumusan
Pancasila saat menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia;
f. Sumber Hukum Nasional: Hal ini ditegaskan kembali dalam Ketetapan MPR
Nomor III/MP/2000, bahwa sumber hukum nasional Indonesia tidak lain dan tidak
bukan adalah Pancasila, maka segala peraturan hukum/peraturan perundang-
undangan negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersumber dan tentu
saja tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
2. Arti Penting Ideologi bagi NKRI
Secara etimologi, ideologi berasal dari kata “idea” dan “logos”. Idea berarti
pemikiran atau gagasan, logos berarti ilmu. Ideologi berarti ilmu tentang idea atau
gagasan. Ideologi menurut Oetoyo Oesman berintikan serangkaian nilai/norma atau
sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang
oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup. Dengan
demikian ideologi sangat penting bagi suatu negara:
a. Memberikan landasan bagaimana cara berpikir dan berperi laku bagi bangsanya;
b. Membentuk jati diri yang biasa disebut identitas melalui nilai-nilai yang telah
disepakati, sehingga dapat bertahan;
c. Memberi arah bagi suatu negara dalam mencapai cita-cita kehidupan yang telah
ditentukan bersama;
d. Menjadi pegangan bangsa dan negara, sehingga tak mudah terpengaruh oleh
kemungkinan dominasi negara lain;

7
e. Untuk mempersatukan bangsa dan negara dalam rangka menjaga kedaulatannya.
3. Berbagai bentuk Ideologi Negara
Sebagai gambaran di bawah ini akan diulas beberapa contoh ideologi negara di
dunia yang ada pada saat ini.
a. Liberalisme: Liberalisme adalah paham yang memberikan kepada warga negaranya
untuk melakukan tindakannya secara bebas. Liberalisme selalu dikaitkan dengan
free fight liberalism yang pada umumnya orang menyebutnya dengan persaingan
bebas di dalam segala sudut kehidupan kemasyarakatan, secara politik, ekonomi,
sosial, dan budaya.
Adapun ciri-ciri negara yang menganut paham dari liberalisme adalah:
1) Pola kehidupan bermasyarakatnya mempunyai kecenderungan ke arah
induvidualistis;
2) Kebijakan yang ditempuh oleh Negara berkecenderungan sekuler, karena negara
tidak mengatur kehidupan beragama;
3) Kegiatan praktek keekonomian berkecencenderungan sistem kapitalis, yang
mengagungkan kapital atau kepemilikan modal sebesar-besarnya;
4) Keberadaan Lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpisah secara
transparan;
5) Negara juga tidak melarang warganya untuk berpaham atheisme (tidak beragama).
b. Agama: Apabila ideologi ini diterapkan pada suatu negara, maka disebut teokrasi
atau negara agama. Di dalam penyelenggaraan kepemerintahan dan kenegaraan
menganut dasar ajaran agama tertentu. Di sini doktrin agama mengatur
kepemerintahan, kenegaraan, maupun kehidupan pada masyarakat yang ekstrem
pada umumnya. Contoh yang extrem adalah Saudi Arabia (Islam), dan Vatikan
Roma (Kristen).
c. Komunisme: Ideologi komunisme kebalikan dari ideologi liberalisme. Komunis
dikembangkan atas dasar ajaran marxis-leninisme, di mana awal mulanya marxisme
digagas oleh Karl Marx. Doktrin Komunisme tidak mengakui adanya hak-hak
pribadi secara individual. Segala aspek kepemerintahan, kenegaraan dan aspek
kehidupan sosial ekonomi dan budaya, ditentukan dan dikuasai oleh negara.
Komunisme tidak memberikan jaminan bagi para pemeluk agama, dan pada
umumnya membebaskan warga negaranya untuk anti agama, yang dalam
kenyataannya negara berkecendeungan memunculkan diktator (Rusia, Cuba, dan
Korea Utara).
d. Pancasila: Ideologi ini menggunakan dasar Pancasila sebagai landasan untuk
berkehidupan, bersikap, dan bertindak dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara,
yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Ideologi Pancasila
mengupayakan terwujudnya keselarasan, keserasian, dan pola keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan bangsa dan negara.
4. Sistimatika Perundang-undangan NKRI
Pancasila sebagai landasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dijabarkan dalam bentuk perundang-undangan nasional, sehingga penerapannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara lebih jelas dan tegas. Dimulai dari tahun 2004,
pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia.

8
Mulai saat itu pula peranan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menjadi berubah,
dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara biasa. Tata urutan Peraturan
Perundang-undangan NKRI mengalami perubahan, dan berdasar pada Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004, sebagai berikut:
a. UUD 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
c. Peraturan Pemerintah (PP);
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah yang meliputi; Peraturan Daerah (Perda) Provinsi, Perda
Kabupaten/Kota, dan peraturan Desa/Kelurahan.
5. Inti pembahasan
a. Tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dan sebagai ideologi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar hukum dan landasan penyelenggaraan pemerintahan, di
tingkat pusat dan daerah. Ideologi negara Pancasila adalah sebagai paham, pemikiran
yang menjadi dasar melakukan kebijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
b. Berbagai ideologi yang ada di dunia sebagai dasar kebijakan bertindak adalah:
liberal, komunisme, agama, dan di Indonesia Pancasila. Liberal, mengutamakan
kebebasan mutlak sebagai individu. Komunisme, berdasar proletarisme bersandar
atas kekuasaan negara dan mengekang kebebasan individu. Agama, berdasarkan
keyakinan agama tertentu dan disebut teokrasi. Sedangkan Pancasila, adalah
mendasarkan kegiatan kepemerintahan atas dasar Pancasila, dan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara;
c. Pengamalan nilai-nilai Pancasila, yaitu secara obyektif oleh seluruh penyelenggara
negara, dan subyektif dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu
pemahaman dan penghayatannya kepada generasi muda merupakan suatu
keharusaan, untuk tetap menjaga tegaknya Negara Kesatuan Republik Inonesia
(NKRI).
6. Pendekatan Strategis membudayakan Pancasila menurut Ryas Rasyid
a. Kepemimpinan: artinya membangun model kepemimpinan yang secara konsisten
mengamalkan Nilai-nilai Pancasila. Perekrutan pemimpin dilakukan secara
transparan dan tegas, sehingga dapat menjadi contoh dan teladan dalam segala
tingkah lakunya;
b. Pembangunan Ekonomi: berorientasi pada keadilan sosial. Pembangunan harus
merata dan berkeadilan, sehingga mampu menjembatani adanya jurang pemisah
orang-orang miskin dan kaya. Hal ini untuk menghindari kesenjangan ekonomi yang
terjadi antar individu, wilayah, dan kelompok masyarakat;
c. Hukum: Penegakan hukum dan ketaatan hukum. Pengangkatan penegak hukum
harus transparan, dengan memperhatikan loyalitas dan kredibilitasnya, sehingga
menjalankan fungsinya sebagai hamba hukum yang amanah. Asumsinya, bahwa
penegakan hukum dan ketaatan terhadap hukum adalah sebagian dari pengamalan
Pancasila.

9
C. Contoh Kasus Pengangkatan Penegak Hukum Yang Transparan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga penegakan hukum yang
khusus di bawah presiden untuk menangani maraknya korupsi di Indonesia. Adapun
pengangkatan Ketua KPK yang dipercaya untuk mengisi jabatan tersebut harus dilakukan
secara transparan dan akuntabel. Sebelum diadakan pengangkatan seyogyanya dilakukan
seleksi yang ketat oleh panitia seleksi (pansel) untuk memilih ketua KPK, sehingga dapat
ditetapkan figur yang diterima secara luas secara kredibel.
Pansel Pimpinan KPK pada masa bhakti 2015 yang sudah ditentukan dan
diumumkan oleh Presiden, telah diinformasikan pada Senin, 25 Mei 2015. Rekam jejak
pansel, Ketua KPK Johan Budi SP di Jakarta menyebutkan, “Mereka yang duduk di
panitia seleksi itu kredibel. Dari rekam jejaknya terlihat punya integritas, serta tak ter-
afiliasi dengan kepentingan politik tertentu (Kompas, Jumat 22 Mei 2015, kolom 5-7).
Adapun Pansel Pimpinan KPK yang diumumkan Presiden Joko Widodo, terdiri atas
sembilan orang dan semuanya perempuan. Pansel Pimpinan KPK itu diketuai oleh Destry
Damayanti dan Enny Nurbaningsih sebagai Wakil Ketua. Pansel Pimpinan KPK harus
dibentuk karena pada Desember 2015, lima unsur pimpinan KPK akan mengakhiri tugas
yang telah diembannya.
Tabel 1: Profil Panitia Seleksi Pimpinan KPK, Tahun 2015.
No Nama Jabatan Latar Belakang Pengalaman

1. Destry Damayanti Ketua Pengajar dan Peneliti di LPEM FEUI, 2005-


merangkap 2006 Ekonom Kepala PT Bank Mandiri
Anggota (Persero) Tbk. Mei 2011-sekarang

.2. Enny Nurbaningsih Wakil Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
merangkap UGM, Yogyakarta
Anggota
.3. Yanti Garnasih Anggota Dosen Hukum Pidana bidang Ekonomi dan
Tindak Pidana Khusus Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta

4.. Supra Wimbarti Anggota Dekan Fakultas Psikologi UGM,


Yogyakarta

5.. Natalia Subagyo Anggota Ketua Dewan Pengurus Transparency


International Indonesia

.6. Diani Sadiawati Anggota Direktur Analisa Peraturan Perundang-


undangan Bappenas

.7. Meuthia Gani Rohman Anggota Dosen FISIP Universitas Indonesia

8.. Harkristuti Anggota Dosen Fakultas Hukum Universitas


Harkrisnowo Indonesia 1993-sekarang Mantan Dirjen
Administrasi Hukum Umum Kementerian

10
Hukum & HAM

.9. Betti Alisjahbana Anggota Presiden Direktur IBM, 2000-2008 Pendiri


PT Quantum Business International

Sumber: Kompas, 22 Mei 2015, kolom 5-7.


Di dalam pemilihan calon pimpinan KPK, Presiden telah menyatakan ketegasannya,
bahwa kompetensi dan integritas jadi pertimbangan dalam memilih anggota pansel. Oleh
karena itu mereka yang dipilih merupakan pakar dari berbagai bidang, yaitu hukum pidana,
hukum tata negara, hukum bisnis, ekonomi manajemen, organisasi, sosiolog, psikolog, dan
tata kelola pemerintahan. Dengan beragamnya komposisi tersebut, Presiden berharap calon
pemimpin KPK yang dipilih memiliki kemampuan yang lengkap, mampu memperkuat
kelembagaan KPK dan meningkatkan sinergi KPK dengan lembaga penegak hukum lain,
serta mampu membangun sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi (Kompas, 22
Mei 2015, kolom 5-7).
D. Tulisan-tulisan di koran berkaitan dengan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.
1. Pancasila dan Kepentingan Kekuasaan (Pancasila dinilai masih relevan: Muhammad
Hafil Republika, Kamis 28 Mei 2015, kolom 1-5).
Pancasila berusia 70 tahun terhitung sejak diperkenalkannya nama tersebut untuk
pertama kali oleh Bung Karno pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945. Pancasila dilahirkan oleh Sukarno
yang secara brilian mampu membangun suatu peradaban bangsa. Budayawan Romo
Benny Susetyo mengatakan, “hal tersebut dikarenakan lima butir Pancasila
mengandung sebuah hal yang mendasar tentang bagaimana rakyat Indonesia
membangun ide berbangsa dan bernegara. Manusia-manusia Indonesia itu dipandu agar
Indonesia menjadi bangsa yang besar, memiliki peradaban. Pancasila itu menjadi
pemandu hidup kita sehingga hidup kita bisa sejahtera, rukun, damai, dan menjadi
ikatan bersama”. Oleh karena itu Pancasila tidak cukup menjadi hafalan, tapi harus
dibatinkan dalam perilaku. Pengambil keputusan pun harus menjadikan Pancasila
sebagai roh dalam setiap kebijakan yang ia buat.
Sayangnya dalam perjalanan bangsa Indonesia, Pancasila tidak pernah dijalankan
sepenuhnya, seperti dalam ekonomi, politik, serta kebudayaan. Salah satu kegaduhan
yang terjadi di dunia politik Indonesia sekarang merupakan bukti politik yang tidak
berdasar pada nilai-nilai Pancasila, yakni kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan
musyawarah. Dalam perjalanan Pancasila tidak dijadikan falsafah hidup, cara berpikir,
bertindak, bernalar. Diterapkannya Pancasila hanya sebagai alat politik, bahkan
menjadi alat kepentingan kekuasaan. Pancasila tidak dijalankan dalam politik,
ekonomi, kebudayaan.
Pengamalan sungguh-sungguh akan membangun peradaban bangsa dan
membangun politik yang memberi keadaban. Jika Pancasila sebagai konstitusi
dijalankan dengan baik dan menjadi supremasi atau hukum tertinggi, semua hal-hal
yang bersifat kapitalis dan tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat akan dengan
sendirinya gugur. Menurut Benny, parpol (partai politik) tidak pernah menggunakan
Pancasila untuk membangun politik peradaban. Tidak ada politik yang dijalankan

11
secara baik untuk membangun kedaulatan rakyat. Politik hanya menjadi alat
kepentingan mencapai kekuasaan semata yang bersifat sementara dan bukan berjangka
panjang, yaitu membangun peradaban bangsa.
Pemangku kepentingan tidak memahami roh Pancasila dan tidak pernah konsisten
bahwa Pancasila itu menjadi falsafah hidup kita bersama dan ideologi kita. Kalau
memahami maka semua UU (Undang-Undang) yang bertentangan dengan Pancasila
akan gugur. Ke depan kita harus mendorong bagaimana Pancasila dijadikan benar-
benar pegangan bangsa, gugus insting yang mempengaruhi cara berpikir bertindak,
bernalar ke mana bangsa untuk menjadi sebuah kebiasaan, dibatinkan. Kalau nilai
Pancasila itu dibatinkan maka akan muncul tatanan hidup yang sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila itu.
Bisri yang disapa Gus Mus mengatakan, selama ini Pancasila hanya digunakan
penguasa untuk kepentingan mereka dan tidak diimplementasikan sebagaimana
mestinya. Hal itu mulai terlihat saat zaman orde baru. Meski dalam setiap pidato
seorang pejabat dapat menyebut kata Pancasila sebanyak 12 kali, namun nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila tidak pernah diimplementasikan.
“Mereka hanya katakan Pancasila-Pancasila tok, visinya apa, orang tidak tahu.
Orang yang nggak cocok dengan Pancasila berarti melawan pemerintah. Jadi Pancasila
selalu digunakan untuk kepentingan mereka. Mestinya menjadi patokan hidup, mulai
dasari pimpinan, pemerintah sebagai panutan, kemudian masyarakat tinggal ikut”.
Pancasila yang hanya digunakan sebagai alat kepentingan, membuat permasalahan
sosial, seperti diskriminasi terus terjadi di tengah masyarakat hingga saat ini.
Kepentingan telah menggelapkan mata, membuat orang lupa diri dan abai dengan nilai
Pancasila.
Peneliti Pusat Studi Pancasila UGM Swandaru mengatakan, sebagai falsafah
bernegara, Pancasila tidak akan pernah hilang dan akan tetap relevan sepanjang masa.
Sebagai bagian konsepsi kultural yang digali dari akar kebudayaan masyarakat, nilai-
nilai Pancasila masih tetap terjaga di masyarakat. Ketika masyarakat berkumpul dan
berembuk yang jelas menunjukkan jiwa gotong royong dan melatih persatuan.
Pancasila secara global tetap ada dalam kehidupan masyarakat karena dia hidup di
masyarakat. Nilai-nilai Pancasila akan tetap hidup dan tetap terjaga selama rakyat
Indonesia terus berkumpul dan bergaul satu sama lainnya. Selama masyarakat masih
membangun interaksi sosial seperti itu, pancasila akan tetap hidup. Kumpulan itu pasti
ada dialog, pasti ada persatuan, pasti terjadi permufakatan dalam memutuskan sesuatu
dan dari mulainya mereka pasti tetap bertuhan.
Kelompok-kelompok yang menggunakan Pancasila sebagai dasar penindasan
jelas bertolak belakang dengan Pancasila. Orang terus mendiskriminasikan dan
menindas rakyat jelas bukan penganut atau orang yang memahami Pancasila. Pancasila
itu justru melindungi yang terlemah, yang terkecil, menopang yang besar, dan juga
menghubungkan orang yang terpisah.
2. Mental Pancasila: Yudi Latif, Kompas Kamis 28 Mei 2015.
Setelah 70 tahun Pancasila hadir sebagai dasar dan haluan kenegaraan, langit
kejiwaan bangsa ini lebih diliputi awan tebal pesimisme, ketimbang cahaya optimisme.
Suasana kemurungan itu amat melumpuhkan. Berbeda dengan pemikiran konvensional

12
yang memandang kesuksesan sebagai pendorong optimisme, bukti menunjukkan
sebaliknya. Seperti diungkap oleh psikolog Martin Saligman, optimismelah yang
mendorong kesuksesan. Impian kemajuan suatu bangsa tak bisa dibangun dari
pesimisme. Tentu saja yang kita perlukan bukanlah suatu optimisme dengan mata
terbuka. Suatu harapan yang berjejak pada visi yang diperjuangankan menjadi
kenyataan. Harapan tanpa visi bisa membawa kesesatan. Upaya menyemai politik
harapan harus memperkuat kembali visi yang mempertimbangkan warisan baik masa
lalu, peluang masa kini, dan keampuhannya mengantisipasi masa depan. Pancasila
sesungguhnya bisa memberikan landasan visi tranformasi sosial yang holistik dan
antisipatif. Berdasarkan pandangan hidup Pancasila, perubahan sistem sosial
merupakan fungsi dari perubahan pada ranah mental-kultural (sila ke- 1, 2, 3), ranah
politik (sila ke- 4), dan ranah material (sila ke- 5).
Tiga ranah revolusi. Untuk mengatasi krisis dimensional yang melanda bangsa
ini, imperatif Pancasila menghendaki adanya perubahan mendasar secara akseleratif,
yang melibatkan revolusi material, mental-kultural, dan politikal. Revolusi (basis)
material diarahkan untuk menciptakan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan
berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong menolong (gotong royong) dan
penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting - yang menguasai hajat
hidup orang banyak, serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.
Revolusi (superstruktur) mental-kultural diarahkan untuk menciptakan masyarakat
religius yang berperikemanusiaan, yang egaliter, mandiri, amanah, dan terbebas dari
berhala materialisme-hedonisme, serta sanggup menjalin persatuan (gotong royong)
dengan semangat pelayanan (pengorbanan).
Revolusi (agensi) politikal diarahkan untuk menciptakan agen perubahan dalam
bentuk integrasi kekuatan nasional melalui demokrasi permusyawaratan yang
berorientasi persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan);
dengan pemerintah negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan
keadilan.
Ketiga ranah revolusi itu bisa dibedakan tetapi tak dapat dipisahkan. Satu sama
lain saling memerlukan pertautan secara sinergis. Selaras dengan gagasan Trisakti
Bung Karno, revolusi material diusahakan agar bangsa Indonesia bisa berdikari
(mandiri) dalam perekonomian; revolusi mental agar bangsa Indonesia bisa
berkepribadian dalam kebudayaan; revolusi politik, agar bangsa Indonesia bisa
berdaulat dalam politik. Secara sendiri-sendiri dan secara simultan ketiga ranah
revolusi itu diarahkan mencapai tujuan Revolusi Pancasila: mewujudkan perikehidupan
kebangsaan dan kewarganegaraan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur
(material dan spiritual).
Revolusi Mental. Revolusi mental merupakan salah satu unsur dari revolusi
Pancasila. Revolusi mental ini diorientasikan agar mental Pancasila bisa menjiwai dan
mendorong perubahan di bidang material dan politik yang sejalan dengan idealitas
Pancasila.

13
Istilah mental berasal dari kata Latin mens (mentis) yang berarti jiwa, nyawa,
sukma, roh, semangat. Mental dapat diartikan sebagai suasana kejiwaan dan pola pikir
(mindset) seseorang atau sekelompok orang. Berdasarkan pengertian itu, inti dari
revolusi mental adalah perubahan mendasar pada pola pikir dan sikap kejiwaan bangsa
Indonesia, sebagai prasyarat bagi perwujudan karakter yang bisa membuat bangsa
berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam
kebudayaan.
Gerakan Revolusi Mental ini berangkat dari asumsi bahwa dengan mengubah
mentalitas akan menimbulkan perubahan perilaku; perilaku yang terus diulang akan
menjadi kebiasaan (adat-istiadat/moralitas); sedangkan kebiasaan yang terus
dipertahankan akan membentuk karakter. Dengan demikian, yang dikehendaki dari
“Revolusi Mental” tidak berhenti pada perubahan pola pikir dan sikap kejiwaan saja,
tetapi juga konsekuensi turunannya dalam bentuk perubahan kebiasaan serta
pembentukan karakter yang menyatukan antara pikiran, sikap, dan tindakan sebagai
suatu integritas.
Dasar dan haluan pembangunan mental-karakter ini adalah nilai Pancasila,
terutama sila ke 1, 2, 3. Menurut pandangan hidup Pancasila, keberadaan manusia
merupakan dasar yang diciptakan oleh cinta kasih Sang Maha Pencipta sebagai dasar
pertama. Di hadapan Sang Maha Kasih, semua manusia sederajat, yang melahirkan
semangat-mental egalitarianisme. Setiap pribadi dimuliakan Sang Pencipta dengan
bawaan hak asasi yang tak bisa dirampas, seperti hak hidup, hak milik dan kehormatan-
kemerdekaan (dignitas), dengan kedudukan sama di depan hukum.
Penghormatan terhadap esksistensi individu dan hak asasinya tidak berarti harus
mengarah pada individualisme. Individualisme memandang bahwa manusia secara
perseorangan merupakan unit dasar dari seluruh pengalaman manusia. Postulat dasar
dari individualisme adalah otonomi independen dari setiap pribadi. Ungkapan yang
sangat terkenal dari individualisme menyatakan: “Kamu datang ke dunia seorang diri
dan meninggalkan dunia seorang diri”. Meski kenyataannya tidak ada seorang pun
yang lahir ke dunia secara sendirian. Selalu ada ibu dan budaya komunitas yang
menyertainya hingga ke “tempat peristirahatan terakhir”.
Apa yang menjadi karakteristik dari individualisme adalah keyakinan dari
individualisme, adalah keyakinan implisit, bahwa relasi sosial bukanlah pembentuk
perseorangan dalam pengalamannya yang paling fundamental. Dengan kata lain,
perseorangan tak dipandang sebagai produk relasi-relasi sosial. Relasi sosial adalah
sesuatu yang terjadi pada individu ketimbang sesuatu yang mendefinisikan identitas
dan mengkoordinasikan eksistensi individu. Individu tidaklah dibentuk dan diubah
secara fundamental oleh relasi sosial. Karena itu tetap sebagai pribadi yang otonom-
independen (Gilbert, 2014: 29-34).
Berbeda dengan individualisme, Pancasila memandang bahwa dengan segala
kemuliaan eksistensi dan hak asasinya, setiap pribadi manusia tidaklah bisa berdiri
sendiri terkucil dari keberadaan yang lain. Setiap pribadi membentuk dan dibentuk oleh
jaringan sosial. Semua manusia, kecuali mereka yang hidup di bawah keadaan yang
sangat luar biasa, bergantung pada bentuk-bentuk kerjasama dan kolaborasi dengan
sesama yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan potensi kemanusiaannya

14
dan dalam mengamankan kondisi-kondisi material dasar untuk melanjutkan kehidupan
keturunannya.
Tanpa kehadiran yang lain, manusia tidak akan pernah menjadi manusia
sepenuhnya. Kebajikan individu hanya mencapai pertumbuhannya optimum dalam
kolektivitas yang baik. Oleh karena itu, selain menjadi manusia yang baik, manusia
harus membentuk kolektivitas yang baik. Dalam kaitan ini, pengembangan mental-
karakter harus berorientasi ganda: ke dalam dan ke luar. Ke dalam, pengembangan
mental-karakter harus memberi wahana kepada setiap individu untuk mengenali siapa
dirinya sebagai “perwujudan khusus” (“deferensiasi”) dari alam. Sebagai perwujudan
khusus dari alam, setiap orang memiliki keistimewaan-kecerdasannya masing-masing.
Proses pengembangan mental-karakter harus membantu manusia menemukenali
kekhasan potensi diri tersebut sekaligus kemampuan untuk menempatkan
keistimewaan diri itu dalam konteks keseimbangan dan keberlangsungan jagat raya.
Sementara ke luar, pengembangan mental-karakter harus memberikan wahana
setiap orang untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai sistem nilai,
sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama, melalui olah pikir, olah rasa, dan
olah raga. Kebudayaan sebagai sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan perilaku
ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat menentukan apakah
disposisi karakter seseorang berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Dalam menghadirkan kolektsivitas yang baik, setiap pribadi memiliki kewajiban
sosial (bahkan dituntut untuk mendahulukan kewajiban di atas hak). Seturut dengan itu,
selain ada hak individu ada pula hak kolektif (ekonomi, sosial, budaya) yang – dalam
banyak sejarah sosial – mendahuluinya. Sebagai padanan dari semangat egaliterianisme
pada level pribadi, bangsa Indonesia sebagai suatu kolektivitas juga harus memperoleh,
bahkan harus terlebih dahulu memperoleh, hak kemerdekaannya. Inilah pesan moral
dari alinea pertama UUD 1945. “Bahwa sesuangguhnya Kemerdekan itu ialah hak
sebagal bangsa”.
Sikap mental yang harus ditumbuhkan sebagai ekspresi kemerdekaan bangsa ini
adalah mental kemandirian. Kemandirian tidaklah sama dengan kesendirian.
Kemandirian adalah sikap dan mental yang bisa berani berpikir, bersikap, dan
bertindak secara berdaulat, bebas dari intervensi dan paksaan pihak-pihak lain.
Menumbuhkan mental mandiri, selain mensyaratkan mental egaliter, juga
meniscayakan adanya kecerdasan, kreativitas, dan produktivitas berbasis sains dan
teknologi. Kemandirian kolektif bangsa Indonesia juga bisa tumbuh secara ajek jika
warga Indonesia juga bisa menuaikan kewajiban publiknya secara amanah, jujur, dan
bersih. Kolektivitas yang tidak disertai mentalitas kejujuran akan merobohkan
kemandirian bangsa. Dalam suatu bangsa di mana korupsi merajalela, kedaulatan
bangsa tersebut mudah jatuh ke dalam dikte-dikte bangsa lain.
Selain semangat mental egaliter, mandiri dan amanah, manusia sebagai makhluk
religius yang berperikemanusiaan juga harus membebaskan dirinya dari berhala
materialisme dan hedonisme. Kegagalan proyek emansipasi Revolusi Perancis yang
melahirkan tirani “nomenklatura” terjadi karena keduanya sama terpenjara dalam
pemujaan terhadap materalisme. Menurut pandangan hidup Pancasila, materi itu

15
penting tetapi tidak boleh diberhalakan. Di hadapan Yang Maha Kuasa, materi itu
bersifat relatif tak dapat dimutlakkan.
Dengan semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan, materi sebagai hak milik
itu memiliki fungsi sosial yang harus digunakan dengan semangat altruis (murah hati).
Dengan mental altruis, manusia Indonesia sebagai mahkluk sosial dapat
mengembangkan pergaulan hidup kebangsaan yang ditandai oleh segala
kemajemukannya dengan mentalitas gotong royong, Bhineka Tunggal Ika (persatuan
dengan keragaman). Dengan semangat gotong royong, persatuan warga Indonesia bisa
dikembangkan dengan menghargai adanya perbedaan: sedangkan dalam perbedaan bisa
merawat persatuan.
Untuk bisa menumbuhkan mentalitas persatuan dalam keragaman itu diperlukan
semangat - mental pengorbanan dan pelayanan. Ujung dari semangat persamaan,
kemandirian, kejujuran, altruisme dan persatuan adalah pelayanan kemanusiaan.
Makna pelayanan di sini bukan hanya dalam bentuk kesiapan mental untuk
menunaikan kewajiban sosial sesuai dengan tugas dan fungsi, akan tetapi juga dalam
bentuk kerja keras dan kerja profesional dalam mengaktualisasikan potensi diri hingga
meraih prestasi tertinggi di bidang masing-masing, yang dengan itu memberikan yang
terbaik bagi kemuliaan bangsa dan umat manusia.
Demikianlah pandangan hidup Pancasila sudah mengandung bawaan mentalnya
tersendiri. Oleh karena itu, gerakan Revolusi Mental tidak perlu memungut jenis-jenis
mentalitas itu dari udara. Yang diperlukan tinggal menentukan mentalitas inti sebagai
prioritas perubahan. Logika revolusi menghendaki “sekali revolusi dicetuskan, ia harus
diselesaikan, tidak boleh ditinggalkan di tengah jalan sebelum tujuan revolusi itu
tercapai, setidaknya hingga taraf minimum”. Oleh karena itu, kita menunggu realisasi
gerakan Revolusi Mental yang dicanangkan pemerintahan ini secara konsisten.
3. “Mem-Pancasila-kan” Pancasila: Daud Sihombing, Republika Jumat 29 Mei 2015
Tanggal 1 Juni telah dijadikan sebagai hari lahirnya Pancasila. Terlepas dari
polemik hari kelahiran tersebut apakah betul pada 1 Juni ataukah yang lain, bukan
menjadi subyek yang ingin diulas dalam tulisan ini, melainkan hal lain yang jauh lebih
urgen daripada persoalan hari kelahirannya itu, ialah eksistensi Pancasila.
Meskipun Pancasila sudah menapaki usia 70 tahun, yang jika itu manusia, telah
dapat dikatakan menuju renta. Namun, ia belum juga mengakar kuat dan mendarah
daging dalam kehidupan bangsa Indonesia. Malah, perhatian sebagian masyarakat
Indonesia terhadapnya beberapa waktu belakangan ini justru cenderung menipis.
Bahkan, sudah muncul sikap sinis atau acuh tak acuh, dan lebih jauh lagi sudah mulai
timbul gelagat untuk meninggalkannya.
Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan dapat membahayakan kelangsungan
NKRI. Sebab, Pancasila itu merupakan dasar atau landasan berdirinya NKRI, yang jika
dia tidak teguh, dapat meruntuhkan NKRI. Karena itu, hal ini dapat tidak boleh
dibiarkan, harus segera diatasi.
Untuk itu, perlu Pancasila selekas mungkin di – “Pancasila” – kan. Artinya,
semua sila dari Pancasila itu harus diwujudkan secara konkret dalam peri kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Tidak boleh hanya tercantum
eksplisit di atas kertas ataupun pajangan atau hiasan di dinding.

16
Karena itu, harus terjamin bahwa sila dari Pancasila itu bukanlah retorika atau
sekedar slogan yang manis, melainkan keniscayaannya yang tidak boleh tidak mesti
mewujud nyata. Hanya dengan jaminan itulah Pancasila dapat eksis di hati, pikiran,
dan jiwa setiap insan Indonesia.
Tanpa jaminan itu, Pancasila akan makin tersisih untuk kemudian menjadi
sekedar barang pajangan atau hiasan. Jika itu yang terjadi, berarti Indonesia secara de
facto tidak lagi berideologi Pancasila. Sungguh berbahaya.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa harus betul-betul dibuat dapat menjamin
kebebasan agama bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali serta adanya
toleransi dan saling menghormati antar pemeluk agama di seantero Tanah air. Tidak
boleh terjadi intimidasi. Penekanan, ataupun pemaksaan terhadap siapapun, oleh
siapapun, dalam bentuk apapun, dan di manapun terhadap kebebasan memeluk dan
menjalankan agama ini.
Bila itu terjadi, harus segera ditindak sesuai ketentuan yang berlaku, jangan
dibiarkan. Negara tidak boleh terlambat dan kurang memadai menindaknya, terlebih
lagi absen. Demikian juga, dengan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, harus
betul-betul dibuat dapat menjamin berlangsungnya keadilan dan keberadaban bagi
seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Semua warga negara harus diperlakukan
sama di muka hukum, tidak boleh ada yang diistimewakan kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundangan yang sah. Tidak boleh terjadi apa yang disebut, “hukum hanya
tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas”.
Selain itu, harkat dan martabat setiap warga negara harus betul-betul dijunjung
tinggi tanpa melihat latar belakang sosialnya. Tidak boleh terjadi pelecehan atau
tindakan semena-mena terhadap siapapun dan di manapun itu. Kalau itu terjadi, harus
segera diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tidak boleh dibiarkan atau
ditoleransi.
Begitu pula dengan sila Persatuan Indonesia, harus betul-betul dibuat dapat
menjamin terwujudnya satu kesatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
Indonesia di seantero nusantara, mulai dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas
hingga pulau Rote. Solidaritas, persaudaraan, dan kesetiakawanan sosial sebagai satu
bangsa Indonesia harus senantiasa terjaga dan terpelihara baik.
Kesusahan dan kebahagiaan setiap warga negara harus menjadi kesusahan dan
kebahagiaan bersama. Harmoni antar warga harus selalu terpupuk baik. Jika muncul
potensi konflik antar warga, harus segera diatasi, jangan dibiarkan berlarut-larut dan
berkembang menjadi konflik sosial atau bentrok massal, harus segera dihentikan dan
diselesaikan sampai tuntas dan menyeluruh. Negara tidak boleh juga terlambat dan
kurang memadai dalam mengatasinya, terlebih sampai absen.
Sama juga dengan sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, harus dapat menjamin berlangsungnya kehidupan
demokratis yang berhikmat di seluruh Indonesia dengan mengedepankan musyawarah
untuk mufakat, bukan dominasi mayoritas ataupun tirani minoritas. Untuk itu,
pengambilan keputusan di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, kecuali
pemilu, haruslah mengedepankan sistem musyawarah untuk mufakat, bukan voting.

17
Penerapan sistem voting haruslah dibelakangkan dan hanya digunakan dalam
keadaan sangat terpaksa dan merupakan jalan terakhir manakala sistem musyawarah
mufakat mengalami kebuntuan. Sistem musyawarah untuk mufakat merupakan
warisan leluhur bangsa Indonesia. Karena itu, the founding fathers NKRI merumuskan
sila ke – 4 itu seperti yang tertulis sekarang ini.
Tak juga ketinggalan hanya dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, harus dapat menjamin terkikisnya dan lenyapnya ketidakadilan,
ketimpangan, dan kesenjangan sosial di seluruh masyarakat dan wilayah Indonesia.
Pembangunan nasional di semua bidang harus disebar merata dan adil. Tidak boleh
terus berlansung ketimpangan dan kesenjangan pembangunan.
Kelompok masyarakat dan daerah yang relatif masih lebih tertinggal harus
mendapat porsi pembangunan dan perhatian yang lebih besar guna segera terentas dari
ketertinggalannya dan sejajar dengan yang sudah lebih dulu maju dan berkembang.
Janganlah yang masih tertinggal dibiarkan tetap tertinggal, tak mendapat perhatian
khusus, sementera yang sudah maju malah mendapat perhatian lebih, semoga berhasil.
4. Pancasila Telah dilupakan? Dawam Rahardjo (Kompas, Senin 1 Juni 2015)
Istilah “Pancasila” memang sering disebut-sebut, baik oleh para politisi maupun
akademisi, sebagai dasar legitimasi atau kritik sosial.
Universitas Gadjah Mada masih mempertahankan Pusat Studi Pancasila sebagai
bagian dari Fakultas Filsafat walaupun pusat studi di IKIP Malang – yang dulu pernah
terkenal itu – sekarang sudah tidak terdengar lagi suaranya. Namun, Pusat Studi
Ekonomi Pancasila yang didirikan dan dulu dipimpin Prof Mubyarto sudah dibubarkan
dan diganti dengan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan.
Dengan bubarnya Pusat Studi Ekonomi Pancasila, Pancasila tidak lagi
dikembangkan sebagai sumber rekayasa sosial. Dahulu ini pernah dilakukan Ketua
Bappenas Ginandjar Kartasasmita dalam mengembangkan daerah tertinggal
berdasarkan Inpres Desa tertinggal (IDT) yang dipimpin Prof Mubyarto sebagai
penasehat Bappenas.
Pancasila diputus dari realitas. Oleh karena itu, sinyalemen “Pancasila telah
dilupakan” memang ada indikasinya walaupun tidak sepenuhnya benar. Di lain pihak
selalu timbul pernyataan bahwa Pancasila sebagai ideologi negara merupakan suatu
pandangan yang sudah final, bahkan akhir-akhr ini disebut sebagai pilar pertama politik
kebangsaan Indonesia.
Sementara itu, Yudi Latif telah menerbitkan buku yang dinilai sebagai
masterpiece mengenai Pancasila yang menjadi dasar dari sebuah “negara-paripurna”.
Dengan perkataan lain, dengan meminjam pengertian Francis Fukuyama, Pancasila
adalah suatu “the end of history”, sebagai puncak perkembangan pemikiran bangsa
Indonesia yang sudah menjadi paradigma pemikiran, dalam arti pemikiran yang telah
mendapatkan persetujuan dari komunitas akademis yang menjadi dasar legitimasi,
kritik, maupun rekayasa sosial.
Namun, karena dianggap sebagai ideologi yang final, terkesan seolah-olah
Pancasila tak bisa lagi diutik-utik oleh pemikiran kritis. Boleh dibanggakan, tetapi
tidak boleh dikritik. Maka, jadinya “pintu ijtihad” seolah-olah telah tertutup dalam
pengembangan pemikiran. Dengan perkataan lain, Pancasila sudah jadi “ideologi

18
tertutup”. Karena tabu dibicarakan dalam pemikiran kritis yang melahirkan proses
dialektika, sementara itu masyarakat Indonesia dan dunia terus berkembang dan
berubah, maka Pancasila seolah-olah terputus dari realitas sehingga dirasakan tidak
relevan lagi untuk dibicarakan.
Dari situlah, Pancasila seolah-olah telah dilupakan. Apalagi Pancasila tidak lagi
diteoritiskan jadi sumber rekayasa sosial. Alhasil timbul kesan seolah-olah Pancasila
tidak lagi hadir sebagai solusi terhadap permasalahan masyarakat karena Pancasila tak
lagi dikembangkan secara historis konstektual. Dengan perkataan lain, ia telah
kehilangan relevansinya.
Oleh karena itu, wacana mengenai gagasan Pancasila perlu dihidupkan kembali di
tengah-tengah masyarakat kiranya perlu dipertimbangkan. Belum tentu gagasan ini bisa
diterima mengingat bisa timbul kekhawatiran tertentu. Ketika Mubyarto
memperkenalkan gagasan teori dan sistem Ekonomi Pancasila, banyak cendekiawan
yang menanggapinya secara skeptis. Misalnya, Prof Sarbini Sumawinata menganggap
Ekonomi Pancasila sebagai angan-angan yang tidak konkret jika ditanyakan bagaimana
implementasinya dalam kebijakan publik. Arief Budiman juga menilai gagasan
Ekonomi Pancasila itu kabur karena tidak didasarkan pada teori tentang manusia.
Kritik senada ditulis Sjahrir dan Nono Anwar Makarim. Kesemuanya
diasosiasikan sebagai “orang-orang sosialis”. Bahkan Sri-Edi Swasono, yang didukung
para teknokrat FEUI, lebih suka menyebut Demokrasi Ekonomi sebagai sistem
ekonomi Indonesia, yang kemudian – atas perintah Preseden Soeharto – dijabarkan
prinsip-prinsipnya oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI).
Karena itu pula, dalam rangka konkretisasi gagasan, Prof Sarbini sebagai tokoh
PSI dari kalangan akademisi itu meluncurkan gagasan ”Ekonomi Kerakyatan” sebagai
pemikiran politik ekonomi untuk memberantas kemiskinan dengan trilogi
pembangunan perdesaannya, yaitu program pembangunan infrastruktur, industrialisasi,
dan monetisasi pedesaan, tetapi tanpa menyebut Pancasila sebegai sumber legitimasi.
Mubyarto sendiri, dalam responnya, mengembangkan Ekonomi Pancasila sebagai
pembangunan ekonomi rakyat, terutama di desa-desa tertinggal.
Di bidang politik, pengalaman pahit dialami pula oleh konsep “Demokrasi
Pancasila”. Para pemikir Barat pernah menyebutnya sebagaimana “Demokrasi Rakyat”
sebagai konsep unusual democracy demokrasi yang tidak lazim karena yang lazim
adalah demokrasi liberal. Demokrasi Pancasila adalah istilah lain dari “Demokrasi
Terpimpin” yaitu demokrasi yang dipimpin oleh rezim otoriter atau pemerintahan
“diktator proletariat” dan di Indonesia oleh “Pemimpin Besar Revolusi”. Di situ
pengertian “terpimpin” dianggap bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri.
Padahal, yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dipimpin
oleh nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebagai kritik sosial. Dari pengalaman historis itu, menghidupkan
kembali wacana tentang Pancasila mengandung resiko. Di masa Reformasi, Pancasila
sebagai suatu gagasan memang cenderung dibekukan, dipetieskan, dimasukkan ke
dalam museum pemikiran atau, meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla, dijadikan
sebagai “monumen” atau “tugu”. Jika Pancasila itu disebut sebagai ideologi, maka
sebuah ideologi itu, menurut Weber-Rodinson, mengandung tiga komponen: spirit,

19
mentalitas, dan lembaga. Spirit bisa menggerakkan seseorang atau masyarakat.
Mentalitas tercermin dalam perilaku. Adapun lembaga terkandung dalam suatu sistem,
misalnya sistem politik dan sistem ekonomi. Pemikiran kritis akan mempertanyakan
realitas atau kehadiran dari tiga komponen ideologi itu.
Karena itu, menghidupkan kembali wacana mengenai Pancasila memerlukan
pemahaman, yang dalam epistemologi Wallersteian adalah melalui pendekatan ilmu-
ilmu sosial transdisiplin, terutama antropologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan sejarah.
Dengan pendekatan itu, Pancasila perlu diwacanakan sebagai kritik sosial. Dari kritik
sosial terhadap kondisi dan permasalahan Indonesia dan dunia, akan terbuka
kemungkinan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar rekayasa sosial.
Dengan teori komunikasi aktif Juergen Habermas, umpamanya, Demokrasi
Pancasila dapat dipahami sebagai sistem demokrasi deliberatif sebagaimana telah
dijelaskan Frans Budi Hardiman dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Dengan
menggunakan teori geoekonominya Samir Amin, seorang ekonom Mesir terkemuka di
dunia, umpamanya. Ekonomi Pancasila dapat ditafsirkan sebagai gagasan ekonomi
perlawanan atau pembebasan terhadap sistem dunia kapitalis yang eksploratif terhadap
kawasan pinggiran oleh pusat metropolitas dunia di Amerika Serikat dan Eropa. Dari
kritik sosial itu, bisa dipahami gagasan yang dilontarkan Presiden Joko Widodo
mengenai “membangun dari pinggiran” yang dapat dilaksanakan sebagai rekayasa
sosial.
Dari sistem dunia kapitalis bisa dilakukan pemahaman yang lebih baik tentang
“Kesejahteraan Sosial” sebagai sistem ekonomi Indonesia. Sri-Edi Swasono pernah
menjelaskan makna Pasal 33 dan 34 UUD 1945 sebagai “Doktrin Kesejahteraan
Indonesia” dengan menguraikan evolusi dan revolusi pemikiran ekonomi sejak Adam
Smith hingga krisis moneter 2008 sebagai gejala “the end of laissez faire”. Sementara
itu, Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah terakhir di
masa Orde Baru, juga menjelaskan bahwa koperasi adalah sistem ekonomi Indonesia
yang bertujuan untuk mencapai ”kesejahteraan sosial” sebagai ciri utama sistem
ekonomi Pancasila.
Banyak teori dan penjelasan mengenai pengertian “kesejahteraan”. Misalnya
pemikiran Machiavelli; aliran “Negara Kesejahteraan” yang dipelopori Otto von
Bismark, Kanselir Prusia pada akhir abad ke-19; aliran sistem pasar sosial Jerman
sesudah Perang Dunia II, atau menurut Kahbub ul-Haq yang dikembangkan di UNDP,
dan terakhir menurut Amartya K Sen yang mengusulkan indikator kesejahteraan itu.
Namun hingga sejauh ini belum ada yang menjelaskan konsep kesejahteraan
dalam kaitannya dengan sistem koperasi sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD
1945 dan sila kelima Pancasila, yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Padahal, menurut Mubyarto, koperasi merupakan sendi ketiga sistem Ekonomi
Pancasila. Karena itu, ada kebutuhan konkret yang mendesak untuk mewacanakan
kembali Pancasila dalam pemikiran kritis dan trandisiplin. Dari wacana itu bisa lahir
teori, misalnya, mengenai “Sistem Dunia Pancasila” yang merupakan suatu model
masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia.

20
BAB III
IDENTITAS NASIONAL
(Pertemuan III)

A. Identitas Nasional
1. Pengertian
dentitas berasal dari perkataan bahasa Inggris identity, yang mempunyai arti sebagai
suatu ciri-ciri, tanda-tanda tertentu, atau jati diri. Ciri-ciri dapat disebutkan sebagai

I suatu yang menandai mengenai benda, tumbuh-tumbuhan atau makhluk hidup seperti
orang, ataupun binatang. Ciri-ciri yang diungkapkan tersebut ada yang disebut ciri
fisik, dan ciri non fisik. Ciri fisik misalnya dapat diidentifikasikan bahwa, orang
Eropa pada umumnya mempunyai kulit putih, mempunyai rambut pirang/blonde, dan
pada umumnya berhidung mancung. Sementara pada kebanyakan orang negro, mempunyai
kulit hitam, dan mempunyai rambut keriting. Dalam pada itu kebanyakan orang Asia (dan
Asia Tenggara), pada umumnya berkulit kecoklatan, mempunyai rambut hitam dan
sebagiannya ada yang dikaruniai mata sipit. Itu adalah gambaran yang dapat
diidentifikasikan mengenai ciri-ciri fisik seseorang.
Adapun identifikasi dari ciri non fisik di tengarai pada logat orang dalam berbicara,
bernyanyi, kebiasaan, sikap, dan sifat-sifat lain yang khas berlainan dengan logat yang
lainnya. Perilaku dan sifat manusia seperti yang diidentifikasi inilah, yang dalam sosiologi
diwujudkan pada kepribadian seseorang. Perilaku manusia dapat dibedakan melalui
kepribadian yang dilakukannya, karena kepribadian merupakan latar belakang perilaku
(identitas) yang ada dalam diri individu. Kekuatan kepribadian dari seseorang, bukanlah
terletak pada jawaban atau tanggapan manusia terhadap suatu keadaan, akan tetapi lebih
ditekankan justru pada kesiapannya di dalam memberi jawab dan tanggapan (Soekanto).
Jawaban atau tanggapan merupakan perilaku (identitas) seseorang.
Misalnya seseorang yang harus menyelesaikan perselisihan antara dua orang.
Keinginan akan menyelesaikan perselisihan, keinginan untuk membiarkan, atau keinginan
mempertajam perselisihan tersebut adalah merupakan kepribadian seseorang yang dapat
diidentifikasikan. Sedangkan tindakan seseorang untuk mewujudkan keinginan (apapun
keinginannya), merupakan perilaku atau identitasnya. Kepribadian mencakup kebiasaan-
kebiasaan, sikap dan sifat lain yang khas yang dimiliki seseorang akan dapat lebih
berkembang apabila orang selalu berhubungan dengan orang lain.
Jati diri atau identitas merupakan perkataan yang umumnya dipakai dalam bahasa
Indonesia untuk kata identity. Sedangkan perkataan identitas secara obyektif berkaitan
dengan ciri, sifat, atau jati diri seseorang. Secara subyektif perkataan identitas
menunjukkan keterangan yang bisa lebih memperjelas jati diri seseorang, sebagai
bagian dari pengalaman hidup yang telah dilaluinya. Misalnya seseorang yang
mempunyai pengalaman hidup, awalnya dimulai dari namanya, tanggal lahirnya, jenis
kelamin, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, dan prestasi selama menjalani riwayat
kehidupannya.

21
2. Identitas Individu
Apabila ingin menjelaskan tentang identitas seseorang, atau individu sangat
berhubungan dengan keseluruhan ciri-ciri khas seseorang, dan hal ini akan dibentuk,
apabila seseorang selalu rajin berinteraksi (secara biologis dan sosial) dengan orang
lainnya. Semakin seseorang itu banyak melakukan kegiatan apaun, maka semakin
banyak pula seseorang mempunyai kekhasan identitas, sehingga dalam pengalaman
kehidupan masyarakat, seseorang dimaksud akan semakin mempunyai peranan.
Oleh karena itu dapat disimpulkan, dengan identitas, maka seseorang atau
individu akan mempunyai ciri khas atau jati dirinya, yang ini dapat diperoleh
semenjak dilahirkan, dan selalu akan diperbanyak/dikembangkan, secara terus
menerus dalam proses berinteraksi dengan masyarakat yang berada di sekitarnya.
3. Identitas Kelompok
Di dalam seseorang menghadapi dan menyesuaikan diri dengan masyarakat
sekelilingnya, manusia pada umumnya membentuk kelompok-kelompok. Kelompok-
kelompok sosial tersebut terdiri dari, dan merupakan himpunan, atau kesatuan-kesatuan
atau kelompok-kelompok manusia yang hidup bersama. Pola hubungan tersebut antara
lain menyangkut kaitan secara timbal balik yang saling mempengaruhi. Kelompok-
kelompok tersebut yang dalam prakteknya mempunyai suatu kepentingan bersama,
maka akan dapat menjadi tali pengikat atau media pemersatu. Manusia di dalam
perjalanan kehidupannya, akan banyak menjalin banyak hubungan dengan kelompok-
kelompok sosial lainnya yang ada, baik dimulai dari kelompok yang kecil seperti
keluarga, ataupun kelompok yang lebih besar seperti lingkungan desa, lingkungan kota,
lingkungan suku, masyarakat luas, dan bangsanya.
Manusia yang menjalani kehidupannya, pada umumnya mempunyai naluri untuk
senantiasa menjalin hubungan dengan manusia sesamanya. Hubungan yang
berkesinambungan tersebut menghasilkan pola pergaulan, yang dinamakan pola
interaksi sosial. Dari adanya pergaulan bermasyarakat tersebut, menghasilkan
pandangan-pandangan atau norma-norma mengenai pemahaman tentang kebaikan dan
keburukan, yang menjadi nilai-nilai dasar manusia, yang selanjutnya berpengaruh
terhadap cara dan pola berfikir, yang akhirnya menjadi identitas kelompok. Dengan
kata lain, berdasar dari pengalaman kelompoklah, yang membuat sekelompok
manusia mempunyai ciri-ciri, dapat menghayati norma-norma kebudayaan,
mempunyai keyakinan nilai-nilai, dan menentukan tujuan hidup bersama.
Apabila terdapat kelompok di masyarakat, sedikit banyak akan mempunyai
kecenderungan untuk menganggap, bahwa segala sesuatu yang termasuk kebiasaan dari
kelompoknya, maka akan menjadi identitas kelompoknya tersebut. Sikap seperti ini
pada kenyataannya akan terbentuk di dalam setiap kelompok, dan pada gilirannya
masing-masing mempunyai identitas sendiri-sendiri sesuai dengan kelompoknya.
Identitas kelompok dapat muncul, apabila terdapat interaksi saling berhubungan
di dalam kelompok itu sendiri. Pada umumnya kepribadian seseorang, sebagai bagian
dari suatu identitas, adalah merupakan keseluruhan totalitas dari faktor-faktor biologis,
psikologis dan sosiologis yang mendasari tingkah laku individu, dan sedikit demi
sedikit mempengaruhi kelompoknya, dan pada akhirnya akan menjadi tingkah laku
kelompok. Tingkah laku yang dimaksud, terdiri dari: kebiasaan, sikap, sifat-sifat, serta

22
karakter yang melekat pada diri seseorang, sehingga seseorang tersebut berbeda dengan
yang lainnya.
4. Lambang/Atribut Identitas
Mengenai lambang/atribut, merupakan segala sesuatu yang sifatnya selektif, dari
keadaan yang disengaja maupun tidak disengaja, yang pada gilirannya membedakan
yang satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi identitas atau jatidiri seseorang atau
aktifitas tertentu. Lambang/Atribut dapat juga berupa ciri-ciri khas dari suatu
benda, dan maklhuk hidup, atau bentuk fisik seseorang. Oleh karena itu, identitas
seseorang sedikit banyak akan ditentukan mulai dari sifat-sifat, atau pola perilaku,
maupun dari logat bahasa atau dialek sehari-hari yang digunakan.
Suparlan (1999) menyebutkan, atribut-atribut yang diperoleh seseorang
manusia berbarengan pada waktu kelahirannya, adalah atribut-atribut yang
digunakan untuk menunjukan ciri-cirinya, tergolong menurut jenis kelaminnya,
tanda-tanda fisik tertentu, dan jenis suku tertentu. Atribut-atribut yang digunakan
sebagai acuan bagi ciri-ciri seseorang sebagai tergolong dalam suatu suku tertentu
berasal dari ciri-ciri fisik, kebudayaan material atau benda-benda kebudayaan, bahasa
dan ungkapannya, mimik muka dan gerakan-gerakan tubuh, beserta nilai-nilai budaya.
Berdasarkan atribut-atribut tersebut, maka dua orang pelaku dapat menentukan bahwa
suku bangsa mereka itu berbeda dengan suku bangsa yang lainnya.
5. Identitas Nasional
Identitas Nasional, terdiri dari dua perkataan: identitas dan nasional. Identitas
adalah merupakan ciri-ciri, tanda-tanda, tau jati diri. Sedangkan Nasional berasal dari
perkataan bahasa Inggris national, yang berarti warga negara atau kebangsaan. Identitas
nasional berasal dari bahasa Inggris national identity, yang berarti kepribadian nasional,
atau jati diri nasional. Pengertian identitas nasional disamakan dengan Peoples
Character, atau National Character.
Identitas Nasional adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang
secara filosofis membedakan antara bangsa tersebut dengan bangsa yang lain.
Kepribadian nasional atau jati diri nasional adalah jati diri yang dimiliki oleh suatu
bangsa. Oleh karena itu, merujuk pada pengertian di atas, maka sudah dapat dipastikan
bahwa setiap bangsa yang bermasyarakat di muka bumi ini masing-masing akan
mempunyai identitasnya yang disandangnya sesuai kekhasan, keunikan, ciri-ciri,
ataupun karakter bangsa tersebut. Tentu saja identitas nasional suatu bangsa, tidak dapat
dibedakan dengan jati diri suatu bangsa.
Bangsa, merupakan sekelompok besar himpunan manusia, yang dibatasi oleh
persamaan nasib dalam proses sejarah kehidupannya, membentuk persamaan watak
atau karakter khusus untuk bersatu, dan hidup bersama dalam suatu wilayah, sebagai
suatu kesatuan nasional. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah
satu negara yang mempunyai identitas pluralistik, yang warga negaranya terdiri
dari berbagai macam suku, bahasa, agama, budaya, ras, bermacam pulau, dan
variasi karakter lainnya, yang sejak asal dan awalnya memang mempunyai
adanya suatu perbedaan. Perkembangan kepribadian Indonesia memperoleh coraknya
ketika diproklamirkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah pada 17 Agustus 1945.
Identitas Nasional akan selalu berkembang sesuai dengan proses pembangunan, ilmu

23
pengetahuan, seni, tehnologi dan informasi, termasuk interaksinya secara global dengan
bangsa-bangsa lain di dunia internasional.
Bangsa-bangsa lain mengembangkan secara dinamis identitasnya seiring
kemampuannya dalam mewadahi garis-garis besar haluan negaranya masing-masing.
Jepang yang terkenal warga negaranya terdiri orang-orang yang berjiwa work alholic,
mampu membawa bangsanya untuk menguasai berbagai kesempatan di dunia. Bangsa
Jerman terkenal dengan tehnologi otomotifnya, karena warga negaranya mempunyai
identitas ketekunan dalam mengembangkan tehnologinya, misalnya: dengan mobil
Merzedez Benz, BMW, VW, dan Audy. Swis menjadi negara yang mempunyai
keahlian mengembangkan arloji, sehingga Swis identik dengan arloji. Turki dengan
ketrampilannya menganyam karpet. Belanda dengan kincir anginnya. Begitupun India
dengan produk filmnya yang terkenal sampai seantero dunia. Indonesia masih
memerlukan pemikiran dan pengembangan lebih jauh untuk dikenal di dunia
internasional, atau mungkin dengan jati diri ketrampilan membatiknya, walaupun secara
nasional juga sudah mempunyai identitas Pancasilanya.
Orde Baru yang pernah memerintah selama tiga puluh dua tahun pada awal
pemerintahannya melakukan program REPELITA, yang menitikberatkan pada program
pembangunan. Repelita memang melakukan program pembangunan yang dapat
dinikmati raakyat, namun ternyata dalam perjalanannya pemerintah saat itu banyak
memperoleh pinjaman dari dana moneter internasional, yang akhirnya justru
membebani rakyat semuanya. Kepemimpinan tiga puluh dua tahun Soeharto terbukti
menghianati sendiri apa yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, padahal pada
periode itu dikembangkan Penataran P4, yakni Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila.
Mundurnya Presiden pada 21 Mei 1998 membuat bangsa Indonesia memasuki era
baru. Reformasi telah bergulir 17 tahun (2015) di negeri ini, tetapi era yang diharapkan
merupakan transisi menuju demokrasi ini nampaknya belum dapat dicapai sepenuhnya.
Berbagai aturan hukum dasar dari amandemen UUD 1945 yang dulu di jaman Orde
Baru dianggap sakral hingga aturan-aturan yang lain, pun telah dilakukan, akan tetapi
pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Berbagai peristiwa sosial dan politik
mewarnai transisi ini, dari konflik antar warga, antara pusat dan daerah, hingga kondisi
ekonomi. Adapun yang paling memprihatinkan saat ini adalah identitas nasional yang
dikoyak-koyak oleh semakin berkembangnya budaya korupsi (Bank Century, Gayus,
Melinda Dee, Nazarudin, Anas Urbaningrum (yang diputus oleh MA hukuman 17
tahun penjara, dan mengganti kerugian negara 57 milyardan), Suryadharma Ali, Jero
Wacik, Sutan Bathoegana, Dahlan Iskan Mantan Dirut PLN, dan Miranda Swaray
Goeltom, yang korupsi tersebut telah mengakar pada para pejabat pemerintahan negara,
baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena ulah para koruptor itulah identitas nasional
Indonesia saat ini dikenal sebagai bangsa yang suka korup, dan mengutamakan
kepentingan golongan dan pribadi.
Reformasi telah berjalan 17 tahun, tetapi kondisi rakyat banyak yang belum
beranjak naik. Bahkan di daerah tertentu keadaan rakyat masih ada yang bergizi buruk
dan busung lapar pada sejumlah anak balita. Walaupun sudah banyak yang dilakukan
pemerintah Indonesia dalam melakukan reformasi, baik di bidang politik, hukum,

24
ekonomi, militer, pendidikan serta bidang lainnya. Saat ini ideologi kebangsaan dan
kenegaraan kita adalah reformasi, namun dalam pemaknaannya masih beragam, bahkan
ada yang mengatakan reformasi sudah kebablasan. Maka yang terjadi, adalah
munculnya berbagai konflik perbedaan, konflik fisik, konflik sosial yang berlangsung di
masyarakat. Tayangan televisi tiap hari dapat kita saksikan di berbagai belahan
nusantara ada-ada saja konflik yang mengarah ke kekerasan fisik, bahkan di kampus
pun sering terjadi kekerasan fisik semacam ini. Ironisnya, berdasar pada banyaknya
kekerasan ini memunculkan kesan budaya kekerasan, yang memberi label bangsa
Indonesia mempunyai identitas suka kekerasan.
B. Penegakan Hukum
1. Babak Baru Pemberantasan Korupsi: M. Fajar Marta, Kompas Kamis 28 Mei
2015 Kolom 1-6.
Entah disengaja atau tidak, peta pemberantasan korupsi tengah memasuki babak
baru. Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sebelumnya begitu
dominan kini menurun. Sebaliknya, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara RI yang
sebelumny relatif landai, mulai unjuk gigi dengan semakin gencar mengungkap kasus
korupsi.
Tidak dimungkiri, tahun ini mulai terjadi pergeseran dominasi pemberantasan
korupsi di antara penegak hukum, yakni KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri.
Melemahnya KPK tentu saja beralasan. Langkah Ketua KPK Abraham Samad dan
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menetapkan calon Kapolri Komisaris Jenderal
Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi pada selasa (13/1 2015) kembali memantik
konflik dengan Polri. Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri menjerat Ketua KPK
Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka dua
kasus pidana terpisah.
Abraham dijerat kasus pemalsuan dokumen administrasi, sementara Bambang
dengan kasus mengarahkan kesaksian palsu dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Dua kasus yang terjadi jauh
sebelum keduanya menjadi pimpinan KPK.
Tak berhenti di situ, penyidik senior KPK, Novel Baswedan, juga dijadikan
tersangka atas peristiwa yang terjadi 11 tahun silam ketika dia menjabat Kepala Satuan
Reserse Kriminal Polres Bengkulu. Abraham dan Bambang pun dinonaktifkan dari
jabatan mereka. Presiden Joko Widodo melantik Taufiequrachman Ruki sebagai
Pelaksana Tugas Ketua KPK serta Indrianto Seno Adji dan Johan Budi SP sebagai Plt
Wakil Ketua KPK.
Di sisi lain, KPK juga disibukkan oleh maraknya gugatan praperadilan yang
diajukan sejumlah pihak yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Situasi
bertambah rumit karena Makkamah Konstitusi juga memberikan kewenangan lembaga
praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka. Kini, hampir setiap saat
digelar sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sejauh ini, sudah tiga tersangka KPK yang permohonan praperadilannya
dikabulkan, yakni Komjen Budi Gunawan; Mantan Walikota Makasar, Sulawesi
Selatan, Ilham Arief Sirajuddin; dan mantan Direktur Jenderal Pajak yang juga mantan

25
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Hasil sidang itu membuat status
tersangka ketiganya gugur.
Kinerja berbalik. Rentetan peristiwa tersebut membuat KPK seolah kehilangan
kegarangannya. Produktivitas KPK menyidik kasus korupsi pun anjlok. Berdasarkan
data KPK, jumlah kasus yang disidik KPK selama triwulan 1-2015 hanya 10 kasus.
Padahal KPK mampu menyidik 58 kasus pada 2014 atau hampir 15 kasus per triwulan.
Pada 2013, jumlah kasus yang disidik mencapai 70 kasus, 17 kasus lebih per triwulan.
Sebaliknya dlihat dari kuantitas kasus korupsi yang disidik, kinerja Kejaksaan
Agung justru meningkat signifikan. Dalam konteks ini, yang dilihat hanyalah kasus
korupsi yang disidik langsung oleh Kejaksaan Agung, bukan kejaksaan negeri atau
kejaksaan tinggi.
Hal ini tidak terlepas dari langkah Jaksa agung HM Prasetyo membentuk Satuan
Tugas Khusus (Satgasus) Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana
Korupsi (P3TPK) Kejagung awal 2015.
Satgasus berisi 100 jaksa yang merupakan hasil seleksi dari seluruh Indonesia.
Sebanyak 75 jaksa ditempatkan sebagai penyidik, 21 jaksa sebagai penuntut umum,
dan 4 jaksa sebagai eksekutor. Jumlah personel Satgasus hampir setara dengan KPK
yang memiliki 75 penyidik dan 47 penuntut umum.
Tiga bulan dibentuk, menurut Prasetyo, Satgasus menyidik 112 kasus korupsi.
Sebanyak 88 kasus merupakan kelanjutan hasil penyelidikan 2014 dan 24 kasus
merupakan perkara baru. Jumlah tersebut meningkat signifikan dibandingkan sebelum
Satgasus dibentuk. Pada 2013, misalnya total perkara korupsi yang disidik Kejaksaan
Agung hanya 85 kasus. Sementara pada 2012, jumlah perkara yang disidik juga hanya
85 kasus.
Bareskrim Polri pun tak mau ketinggalan.beberapa kasus yang menyita perhatian
publik sedang ditangani polisi tahun ini. Kasus-kasus tersebut antara lain dugaan
pengadaan uninterruptible power supplay (UPS) di Provinsi DKI Jakarta; kasus
penjualan kondensat jatah negara yang melibatkan SKK Migas dan PT Trans Pacific
Petrochemical Indotama (TPPI); kasus proyek pembangunan stadion Gelora Bandung
Lautan Api di Gedebage, Jawa Barat; dan kasus implementasi payment gateway di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2014.
Lebih berani. Lonjakan kinerja penanganan kasus korupsi yang ditunjukkan
Kejaksaan Agung dan Polri jelas membawa harapan baru. Pasalnya, Kejagung dan
Polri itulah sejatinya menjadi motor pemberantasan korupsi. Kelahiran KPK 2003
justru dipicu ketidakmampuan kejaksaan dan kepolisian memberantas praktik korupsi
sampai ke akarnya.
Namun, kejaksaan dan kepolisian jangan dulu menepuk dada karena mulai
mengimbangi KPK. Apalagi jika kinerja itu sekadar untuk menunjukkan mereka bisa
melakukan apa yang dikerjakan KPK selama ini sehingga keberadaan lembaga anti
rasuah ini tidak diperlukan lagi.
Bagaimanapun, apa yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian saat ini belum teruji
dan belum menyentuh esensi pemberantasan korupsi yang sesungguhnya. Kasus
korupsi yang ditangani Satgasus Kejagung antara lain kasus bantuan sosial dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Cirebon, Jawa Barat, dengan

26
kerugian negara Rp 1,8 miliar; korupsi alat kontrasepsi di Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional dengan jumlah kerugian negara Rp 4,4 miliar; korupsi
pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan di RSUD Raden Mattaher, Jambi; proyek
pengadaan program siap siar di TVRI pusat; dan kasus kredit fiktif Bank BNI Cabang
Pare-pare, Sulawesi Selatan.
Kini, publik menanti sejauh mana kejaksaan dan kepolisian mengungkap kasus-
kasus korupsi bernilai besar. Jaksa dan polisi harus berani dari KPK dalam menyeret
koruptor kelas kakap ke penjara.
Tabel 2: Polisi, Parlemen, dan Peradilan Lembaga Paling Korup Di Indonesia
INDONESIA ASIA TENGGARA
Indeks Nilai Indeks Nilai
Lembaga Lembaga
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Polisi 4,5 Polisi 3,9
Parlemen 4,5 Partai Politik 3,6
Peradilan 4,4 Pegawai Negeri 3,5
Partai Politik 4,3 Peradilan 3,4
Pegawai Negeri 4,0 Parlemen 3,3
Swasta 3,4 Swasta 3,1
Lembaga Kesehatan 3,3 Lembaga Pendidikan 2,9
Lembaga Pendidikan 3,2 Lembaga Kesehatan 2,9
Militer 3.1 Militer 2,8
LSM 2,8 Media 2,5
Pemuka Agama 2,7 LSM 2,5
Media 2,4 Pemuka Agama 2,2
Sumber : KPK dan Global Corruption Barometer 2013
2. Siklus Kekerasan Terus Berulang: Ferry Kisihandi, Republika Jumat 9 Januari
2015 Kolom 1-3.
Prancis melakukan operasi militer di Mali untuk menangani Boko Haram. Paris –
Siklus kekerasan terus berlangsung dari satu kawasan ke kawasan lainnya. Pengamat
politik dari Polling Vo, Jereme Sainte-Marie, mengatakan serangan di Prancis diduga
dari siklus kekerasan itu.
“Serangan di Prancis mengagetkan pemerintah. Ini tak terduga,” kata Marie,
seperti dikutip laman Guardian, Rabu (7/1). Ia merespons serangan terhadap kantor
majalah satire Charlie Hebdo, yang menewaskan 12 orang.
Prancis saat ini, menggelar operasi baru di Afrika untuk menangani kelompok
radikal. Sekitar 3.000 tentara, mereka kerahkan di Mauritania hingga Niger dan Chad.
Ini merupakan kelanjutan campur tangan Prancis di Mali pada 2013 untuk menangani
Boko Haram.
Prancis memiliki sekitar 1.200 tentara yang beroperasi di Gao dan sejumlah
daerah lainnya di Mali. Mereka bergabung dengan lima negara lainnya dalam operasi
antiterorisme dengan kode operasi bernama Barkhane.
Prancis bergabung dengan sekutu pimpinan AS, menyerang Negara Islam Irak
dan Suriah (ISIS) di Suriah. Sebanyak 5.000 bom telah dijatuhkan koalisi di Irak dan
Suriah. Konflik di Suriah yang diintervensi Barat telah menyebabkan 3,3 juta warga
Suriah mengungsi.

27
Mereka menyebar ke beberapa negara tetangga. Di antaranya, ke Lebanon, Turki,
Yordania, dan Irak. Kini mereka harus menghadapi musim dingin yang menggila.
Warga Prancis juga banyak yang bergabung dengan ISIS. Ini menjadi kekhawatiran
Pemerinth Prancis. Pengamat politik Emmanuel Riviere, mengatakan keberadaan ISIS
di Irak Suriah serta bergabungnya anak-anak muda Prancis dengan ISIS membuat
Pemerintah Prancis khawatir. Ini akan meningkatkan ketegangan politik di dalam
negeri terutama dari kelompok kanan.
Pemimpin kelompok kanan Prancis, Marine Le Pen menyatakan, adanya serangan
di Prancis membuka mata Islam sebagai ancaman. Ini memperkuat pandangan anti
Islam yang selama ini disebarkan kepada masyarakat di Prancis.
Dalam beberapa bulan terakhir, media Prancis juga didominasi polemik tentang
Islam. Pekan ini, sebuah novel yang distulis Michel Houellebecq berjudul Submission
terbit. Ia membayangkan bagaimana jika pemerintahan Prancis dikuasai sebuah partai
Islam.
Pada Kamis (8/1 - 2015), serangan terhadap masjid di Prancis terjadi sebagai
respons serangan kantor Charlie Hebdo. Tiga granat dilemparkan ke sebuah masjid di
Le Mans, bagian barat Paris. Sebuah lubang peluru juga ditemukan di jendela masjid
tersebut.
Di Distrik Port–la–Nouvel-le, wilayah selatan Prancis, beberapa tembakan
diarahkan ke sebuah tempat shalat. Ini terjadi setelah shalat Isya. Beruntung tak ada
korban. Sebab, tak ada orang shalat tersebut saat serangan terjadi.
Mengenai siklus kekerasan ini, Imam Masjid New York Syamsi Ali mengatakan,
menentang hinaan kepada agama Islam harus dilakukan. Tapi, melakukan tindakan
teror termasuk membunuh atas nama agama tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini juga
akan merusak wajah Islam.
Menurut dia, tugas Muslim adalah meluruskan apa yang mereka lakukan. “Islam
harus berada di atas nilai rata-rata. Kalau mereka jahat, kita respons dengan salam,”
katanya. Ia meyakini, dalam konteks dunia global, kekerasan tidak akan membawa
keuntungan.

28
BAB IV
NEGARA, KEWARGANEGARAAN, DAN KONSTITUSI
(Pertemuan ke IV)

A. Pengertian Negara
stilah Negara diterjemahkan dari bahasa Belanda dan Jerman Staat, State dari bahasa
Inggris, Etat dari bahasa Prancis. Istilah tersebut staat, state, atau etat di ambil dari

I bahasa Latin, status atau statum, yang mempunyai arti suatu keadaan yang tegak dan
tetap. Sedangkan dari perkataan atau istilah yang dipakai ini, secara historis
pengertian dari negara terus mengalami evolusi perkembangannya. Di Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kata negara sebetulnya telah dipergunakan
oleh kerajaan-kerajaan dalam memberikan nama kerajaan atau rajanya, yang dimulai pada
awal abad 5, misalnya Tarumanegara adalah nama suatu negara. Sedangkan Kartanegara
(Raja Singasari 1266-1292) adalah seorang raja. Jayanegara (Raja Majapahit 1309-1350),
dan Rajasanegara (Raja Majapahit 1350-1389). Untuk melengkapi dalam uraian sejarah,
kita juga mengacu pada buku yang terkenal dengan nama Negara Kertagama, hasil karya
Empu Prapanca.
1. Aristoteles yang dalam sejarah hidup pada tahun 384-322 S.M., memberi batasan
mengenai negara di dalam bukunya Politica, sebagai negara polis, yang dipahami
sebagai suatu wilayah yang kecil. Negara dapat disebut sebagai negara hukum, di mana
di dalamnya terdapat sejumlah warga negara yang ikut dalam permusyawaratan
(eclesia). Menurutnya di dalam suatu negara, keadilan bagi warga negara menjadi syarat
mutlak bagi tercapainya penyelenggaraan negara yang baik, dan menjadi syarat untuk
mencapai cita-cita seluruh warga negaranya.
2. Agustinus, dalam pemikirannya mengenai negara, membagi negara menjadi dua
pengertian: yakni Civitas Dei, yang artinya negara Tuhan, Civitas Terrena atau Civitas
Diaboli yang artinya negara duniawi. Negara Tuhan bukanlah negara dari dunia ini,
malainkan jiwanya yang dimiliki oleh sebagian atau beberapa orang di dunia ini untuk
mencapainya.
3. George Jelinek, mengajukan gagasannya, bahwa negara merupakan organisasi
kekuasaan, dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
4. Sedangkan Harold J. Lasky, menyebutkan dalam uraian bukunya, bahwa negara adalah
suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat
memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang
merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat, adalah suatu kelompok manusia
yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka
bersama. Masyarakat dapat dikatakan merupakan negara, kalau cara hidup yang harus
ditaati, baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu
wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat.
5. Secara singkat Logeman menyebutkan, bahwa negara adalah organisasi kekuasaan yang
bertujuan untuk mengatur masyarakat melalui kekuasaannya.
6. Max Weber, menyatakan pendapatnya, bahwa negara adalah suatu masyarakat yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu
wilayah (1958: 78).

29
7. Mr. Budiardjo salah seorang pakar Kenegaraan dari Indonesia, mengemukakan bahwa
negara adalah suatu teritoral rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan
berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangan
melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah (1985: 40-41).
8. Mr. Kranenberg, mengungkapkan mengenai pengertian negara, adalah suatu organisasi
yang timbul karena dari suatu golongan atau bangsanya.
9. Nicollo Machiavelli (1969-1527), mengajukan pendapatnya, bahwa negara sebagai
kekuasaan. Negara dipandang dari sudut kenyataan yang ada, bahwa dalam suatu
negara harus ada kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin negara atau raja. Raja
sebagai pemegang kekuasaan tidak mungkin hanya mengandalkan kekuatan hanya pada
suatu moralitas atau kesusilaan. Kekacauan timbul dalam suatu negara karena lemahnya
kekuasaan negara. Ajaran Machiavelli menyatakan tujuan negara dapat menghalalkan
segala cara, sehingga dalam prakteknya muncullah berbagai praktek pelaksanaan
kekuasaan negara yang otoriter, yang jauh dari nilai-nilai moral.
10.Robert M. MacIver, memberikan batasan, bahwa negara adalah asosiasi yang
menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk
maksud tersebut diberikan kekuasaan (1955: 22).
11.Terakhir Roger H. Soltau, mengatakan negara adalah sebagai alat agency atau
wewenang/authority yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama
atas nama masyarakat (1961). Dari beberapa penjelasan tersebut di atas demikian dapat
kita ketahui bersama, bahwa keberadaan negara harus memiliki unsur-unsur yang harus
mutlak ada.
Unsur-unsur Negara:
a. Wilayah atau daerah teritorial yang sah;
b. Rakyat yaitu suatu bangsa sebagai pendukung negara dan tidak dibatasi apapun
etnisnya;
c. Pemerintahan yang dinyatakan sah dan mempunyai kedaulatan.
B. Sifat Negara,
Agar negara dapat melaksanakan berbagai tugas, dan juga fungsinya secara baik, negara
harus mempunyai beberapa sifat:
1. Memaksa (Coersive), negara mempunyai sifat yang dapat memaksa, dan dengan
demikian berarti bahwa negara:
a. Mempunyai kekuasaan untuk menggunakan kekerasan fisik secara sah untuk
memaksa warga negara untuk taat seperti apa yang sudah digariskan oleh negaranya;
b. Dapat memaksa kepada warga negaranya untuk mematuhi perundang-undangan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
2. Mencakup Semua (Universal, all-encompassing, all-embracing), agar tercipta
ketertiban, keteraturan, dan kesejahteraan masyarakat, maka negara memutuskan
perundang-undangan yang berlaku tanpa adanya pengecualian bagi individu atau
sekelompok orang. Seperti apa yang terkandung di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

30
3. Monopoli, negara memiliki kekuasaan monopoli dalam menetapkan kebijakan bersama
untuk kepentingan maasyarakat, di Indonesia seperti yang diamanatkan dalam Pasal 34,
ayat (2) UUD 1945, Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; ayat (3) UUD 1945, Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
C. Fungsi Negara
Menurut Budiardjo (1978: 46), bahwa setiap negara terlepas dari ideologinya harus
menjalankan beberapa fungsi minimum yang mutlak diperlukan, antara lain:
1. Melaksanakan penertiban (Law and Order); Negara melaksanakan penertiban dan
bertindak sebagai stabilisator, misalnya tindakan preventif untuk mencegah adanya
tindak kerusuhan yang mungkin terjadi di masyarakat.
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Negara ikut bercampur
tangan dan berperan aktif untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
3. Pertahanan, yaitu untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar, sehingga negara
harus diperlengkapi dengan alat-alat pertahanan.
Di Indonesia seperti antara lain diamanatkan di dalam Aliea 4 Pembukaan
(Preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Fungsi Negara untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang antara
lain:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan keterstiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.
D. Fungsi yang berkaitan dengan Negara
1. Fungsi Ikut Melaksanakan Ketertiban Dunia yang berdasarkan Kemerdekaan,
Perdamaian Abadi dan Keadilan Sosial, Seperti yang ditegaskan di dalam UUD
1945, yakni:
a. Pasal 11 ayat (1), Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain;
b. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat
yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang
harus dengan persetujuan dengan Dewan Pewakilan Rakyat;
c. Pasal 13 ayat (1), Presiden mengangkat duta dan konsul;
d. Pasal 13 ayat (2), Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan rakyat;
e. Pasal 13 ayat (3), Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Fungsi Melindungi, Fungsi Negara di dalam Pasal-pasal UUD 1945, yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, yang dijabarkan UUD 1945
dalam:

31
a. Pasal 27 ayat (3), Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara;
b. Pasal 28D ayat (1), Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
c. Pasal 28G ayat (1), Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi;
d. Pasal 30 ayat (1), Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
3. Fungsi Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, seperti yang digariskan dalam UUD 1945,
yakni:
a. Pasal 31 ayat (1), Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
b. Pasal 31 ayat (2), Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya;
c. Pasal 31 ayat (3), Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-
undang;
d. Pasal 31 ayat (4), Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional;
e. Pasal 31 ayat (5), Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan tehnologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban
serta kesejahteraan umat manusia.
4. Fungsi Memajukan Kesejahteraan Umum, seperti yang ditegaskan di dalam UUD
1945, yakni:
a. Pasal 33 ayat (1), Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan;
b. Pasal 33 ayat (2), Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
c. Pasal 33 ayat (3), Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
d. Pasal 33 ayat (4), Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
e. Pasal 34 ayat (1), Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara;
f. Pasal 34 ayat (2), Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakayat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan;
g. Pasal 34 ayat (3), Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

32
E. Bentuk Negara
Di dalam perkembangannya sampai saat ini ada dua bentuk negara yang terdapat di
dunia, yakni
1. Negara Kesatuan, adalah negara merdeka berdaulat, yang berkuasa dalam satu
pemerintahan pusat, yang mengatur daerah teritorialnya secara mutlak, contohnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Negara Federasi, negara yang merupakan gabungan dari beberapa negara, yang pada
pelaksanaannya menjadi negara-negara bagian dari negara federasi. Contohnya United
States of America (USA). Negara-negara bagian di Amerika tadinya merupakan negara
bagian yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri, yang melepaskan diri dan
bergabung dengan negara serikat.
F. Bentuk Pemerintahan
Apabila kita mencermati, ada dua bentuk pemerintahan yang berkembang di dunia saat ini,
yakni:
1. Kerajaan, yang dimaksud kerajaan (monarkhi) adalah suatu negara yang dipimpin oleh
kepala negara sebagai seorang raja, sultan, ataupun kaisar. Di dalam sistem monarkhi
sebutan raja wanita adalah Ratu. Pada sejarah yang telah ditulis beberapa ahli, bahwa
Kepala negara dinobatkan secara turun temurun, dengan tahap pertama memilih putera
atau puteri, yang lahir dari permaisuri raja yang sah. Sampai saat ini negara yang
mengikuti bentuk ini adalah: Malaysia, Belanda, Inggris, Luxemberg, Saudi Arabia,
Spanyol, Monaco, Brunei Darussalam.
2. Republik, yang dimaksud adalah negara yang kepala negaranya seorang presiden.
Keberadaan presiden dipilih secara langsung oleh rakyatnya, untuk waktu lima tahun,
dan pada umumnya maximal boleh mengajukan menjadi presiden untuk dua kali
periode (10 tahun).
G. Kewarganegaraan
Seperti telah disebutkan di muka, bahwa syarat-syarat utama berdirinya suatu negara
merdeka adalah harus ada: Wilayah teritori tertentu, ada Rakyat sebagai penduduk atau
Warga Negara, dan ada Pemerintahan yang berdaulat. Ketiganya merupakan syarat yang
dijadikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
1. Warga Negara, atau penduduk adalah rakyat yang menetap di suatu wilayah teritori
negara tertentu, dalam hubungannya dengan suatu negara. Baik warga negara maupun
negara, masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang diatur menurut undang-
undang yang berkekuatan sah.
a. Pasal 26 ayat (1), menyebutkan bahwa: Yang menjadi warga negara ialah orang-
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara;
b. Pasal 27 ayat (1), Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya;
c. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan;
d. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

33
2. Asas-asas Kewarganegaraan
a. Menurut Darah Keturunan (ius sanguinis), yakni kewarganegaraan seseorang
yang diturunkan dari orang tuanya, artinya jika seorang dilahirkan dari orang tua
yang berwarga negara X (Indonesia), maka ia secara otomatis menjadi warga negara
X (Indonesia).
b. Menurut Tempat Kelahiran (ius solis), yakni kewarganegaraan ditandai dari mana
seseorang dilahirkan. Seseorang yang dilahirkan dalam wilayah hukum negara
tertentu X (Indonesia), maka ia sudah menjadi warga negara dari negara tertentu X
(Indonesia) tersebut.
c. Pewarganegaraan (naturalisasi), seseorang yang oleh karena sesuatu hal tidak
dapat memenuhi ke dua asas di atas, seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan
dengan jalan pewarganegaraan atau naturalisasi, yang tentu saja dengan tetap sesuai
ketentuan yang berlaku dari negara di mana seseorang mengajukan/diajukan untuk
memperoleh kewarganegaraannya.
d. Bipatride (dwi-kewarganegaraan), seseorang dapat mempunyai kewarganegaraan
ganda, apabila peraturan dari dua negara terkait seseorang dianggap sebagai warga
negara. Hal ini dapat terjadi, karena kedua negara yang dimaksud menganut asas
yang berbeda, akan tetapi menguntungkan seseorang yang sedang lahir.
e. Apatride (tanpa-kewarganegaraan), seseorang tidak dapat diakui sebagai warga
negara dari negara manapun. Hal ini dapat terjadi apabila seseorang tidak dapat
diakui kewarganegaraannya, karena kedua negara yang bersangkutan dengan orang
tua menganut asas yang berbeda, sehingga seseorang yang bersangkutan tidak dapat
memperoleh hak kewarganegaraannya.
3. Hak Warga Negara yang diatur dalam UUD 1945 adalah:
a. Pasal 27 ayat (2), Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan;
b. Pasal 28E ayat (3), Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat;
c. Pasal 29 ayat (2), Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu;
d. Pasal 31 ayat (1), Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
4. Kewajiban Warga Negara yang diatur dalam UUD 1945 adalah:
a. Pasal 27 ayat (1), Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualiannya;
b. Pasal 27 ayat (3), Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan negara;
c. Pasal 30 ayat (1), Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara;
d. Pasal 31 ayat (2), Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.

34
5. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis Constituer, atau dari bahasa Inggris
Constitution, atau dari bahasa Belanda Constitutie. Adapun terjemahan istilah tersebut
ke dalam bahasa Indonesia adalah Undang-undang Dasar. Istilah ini dalam kebiasaan di
Belanda dan Jerman memakai padanan Grondwet (Grond=dasar, wet= undang-
undang), keduanya menunjuk pada naskah tertulis. Di dalam praktek ketatanegaraan di
Indonesia pengertian Konstitusi disamakan dengan pengertian Undang-undang Dasar,
yang terbukti dengan disebutnya istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat bagi
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (Totopandoyo, 1981: 25-26).
Beberapa Pengertian Konstitusi, adalah sebagai berikut:
a. Menurut C.F. Strong, bahwa konstitusi dalam arti sempit, yaitu kumpulan naskah
atau sekumpulan peraturan yang mengandung otoritas sebagai hukum negara;
b. Herman Heller, menyatakan pendapatnya, bahwa konstitusi memiliki arti yang lebih
luas dari undang-undang dasar. Konstitusi sebenarnya tidak hanya bersifat yuridis
semata, tetapi juga bersifat sosiologis dan politis. Undang-undang Dasar hanya
sebagian dari konstitusi;
c. K.C. Wheate, menguraikan pendapatnya, bahwa konstitusi memiliki dua pengertian:
1) Seluruh peraturan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara;
2) Konstitusi menunjuk pada peraturan tertentu yang termuat dalam dokumen
tertulis;
d. Usep Ranawijaya, menuliskan pendapatnya, bahwa Konstitusi dalam arti sempit
menunjuk pada dokumen pokok yang berisi aturan mengenai susunan organisasi
kenegaraan beserta cara kerjanya. Konstitusi dalam arti luas mencakup segala
ketentuan tentang keorganisasian negara, baik yang ada dalam undang-undang dasar,
undang-undang organik/pelaksanaan, maupun kebiasaan kenegaraan atau konvensi.
6. Kandungan Konstitusi
Konstitusi negara di manapun, khususnya Negara Indonesia berisi pokok-pokok hal:
a. Menjamin atas hak-hak asasi manusia atau hak-hak manusia sebagai warga negara;
b. Mengatur susunan ketatanegaraan yang mempunyai sifat fundamental atau
mendasar;
c. Mengatur pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketetanegaraan yang mempunyai
fungsi fundamental;
d. Bersifat fleksibel, yang dimaksud pasal-pasal yang termaktub di dalam konstitusi
secukupnya sehingga memudahkan penyesuaian dengan perkembangan jaman, dan
adanya aturan yang sewajarnya untuk mengadakan perubahan konstitusi tersebut.
Undang-undang Dasar hanya memuat 37 pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat
peralihan dan tambahan. Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok,
hanya memuat garis-garis besar sebagai suatu instruksi, kepada pemerintah pusat dan
lain-lain penyelenggaraan Negara.
7. Fungsi Konstitusi
Konstsitusi dapat diberi makna sebagai kerangka kerja (frame work) dari sebuah
negara, di mana dalam konstsitusi tersebut menjelaskan bagaimana tujuan negara
diorganisasikan dan dijalankan. Oleh karenanya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, konstitusi memiliki fungsi yang sangat penting. Adapun fungsi konstitusi

35
tersebut, adalah sebagai perjanjian atau kesepakatan untuk mendirikan negara.
Makna pendirian bangsa sebetulnya merupakan sebuah perjanjian antar anggota
masyarakat (melalui wakil-wakilnya), untuk mencapai tujuan negara yang biasanya
secara garis besar adalah ketertiban, keadilan dan kesejahteraan bersama. Di dalam
kesepakatan tersebut negara memuat: dasar negara, bentuk negara, dan tujuan negara,
yang harus dicantumkan dalam konstitusi negara.
8. Sejarah Konstitusi
Untuk dapat mempunyai gambaran keadaan ketatanegaraan sejak jaman kuno sampai
dewasa ini di berbagai belahan dunia, akan diberikan penjelasan Sejarah Konstitusi
secara ringkas sebagai berikut:
a. Athena. Pendirian kota Athena di Yunani Kuno, dijelaskan oleh Aristoteles bahwa
penyelenggaraan negara Athena didasarkan pada politea dan nomai. Politea
merupakan konsitusi atau hukum dasar yang kedudukannya lebih tinggi dari nomai.
Sedangkan nomai merupakan undang-undang biasa dan kedudukannya berada di
bawah politea;
b. Mitsaqul Madinah atau Piagam Madinah (622 M), adalah catatan piagam yang
memuat 47 pasal yang berisikan mengenai peraturan-peraturan tentang kehidupan
masyarakat dan hubungan antara manusia, yang dari penelusuran sejarah naskahnya
otentik tak diragukan lagi keasliannya. Selanjutnya, secara sosiologis piagam
tersebut telah dideklarasikan oleh Rasulullah, dalam rangka berusaha mengantisipasi,
dan merupakan jawaban terhadap realitas sosial penduduk Madinah yang heterogen.
Piagam ini pada masa pemberlakuannya ditengarai bersifat revolosioner, karena di
dalamnya ada klausul menentang tradisi kesukuan bangsa Arab, yang ada pada
waktu itu. Piagam menekankan adanya kesetaraan/keseimbangan (equality), yakni
tidak adanya keistimewaan atau kelebihan suku yang satu dengan suku lainnya di
Arab;
c. Magna Charta (Piagam Agung 1215), Piagam inilah yang merupakan suatu
dokumen beberapa hak yang diberikan oleh Raja Jhon (Inggris) kepada para
bawahan, yang membatasi kekuasan Rajanya atas adanya desakan oleh kaum
bangsawan Inggris. Naskah yang dimaksud, isinya meliputi persetujuan pemungutan
pajak, di mana raja tidak boleh melakukan pungutan pajak tanpa ada persetujuan dari
rakyat yang bersangkutan, dan tidak boleh adanya penangkapan rakyat, tanpa
adanya peradilan;
d. Habeas Corpus Act (1679), mengenai perlindungan terhadap penangkapan yang
dilakukan secara sewenang-wenang, dan adanya jaminan pelaksanaan peradilan
cepat, yang diserahkan kepada Parlemen Inggris;
e. Bill of Rights (Undang-undang Hak 1689), merupakan dokumen yang sudah dapat
disepakati raja dan parlemen Inggris, di dalamnya mengatur beberapa hak rakyat, hak
bicara, serta bebas dari ancaman dan penangkapan bagi anggota parlemen. Undang-
undang tersebut diterima Parlemen Inggris sesudah berhasil dalam tahun
sebelumnya, parlemen mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam
revolusi tak berdarah yang dikenal dengan The Glorius Revolution 1688;
f. Declaration of Independence (1776), naskah Revolusi Amerika yang menentang
Kolonial Inggris, yang akhirnya dijadikan Konstitusi Negara Amerika;

36
g. Bill of Rights (Undang-undang Hak 1769), Naskah yang disusun oleh rakyat
Amerika pada tahun 1769, yang pada akhirnya menjadi bagian dari Undang-undang
dasar pada tahun 1791;
h. Declaration des Droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-hak Manusia dan
Warga Negara, 1789), yang digagas keberadaannya pada awal permulaan Revolusi
Prancis, sebagai bentuk perlawanan terhadap raja. Deklarasi tentang hak-hak dan
kemerdekaan rakyat sekaligus pembatasan kekuasaan Raja Prancis;
i. Undang-undang Dasar 1945 sejarahnya, dan perkembangannya konstitusi
ketatanegaraan yang pernah diberlakukan di Indonesia:
1) UUD 1945 (Periode Pertama berlaku 18 Agustus 1945 sampai dengan 27
Desember 1949);
2) UUD RIS (27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950);
3) UUD 1950 (17 Agstus 1950 sampai dengan 5 Juli1959);
4) UUD 1945 (5 Juli 1959 sampai dengan 21 Oktober 1999);
5) UUD Amandemen (21 Oktober 1999 sampai sekarang).
9. Penyimpangan Konstitusi
Dalam perkembangannya konstitusi ketatanegaraan yang pernah berlaku di
Indonesia, mengalami penyimpangan-penyimpangan, seperti di bawah ini:
a. Pada masa berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), Negara
Indonesia secara de facto pada 17 Agustus 1945 telah diproklamirkan. Secara de yure
(menurut hukum tata negara) saat itu belum memenuhi syarat sebagai negara, karena
belum mempunyai pemerintahan.Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang saat itu baru saja
ditetapkan dan tercantum (kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan
sepenuhnya oleh MPR). Sedangkan saat itu MPR belum terbentuk. Untuk itu dasar
pemikiran memakai penjelasan yang ada pada Aturan Peralihan Pasal IV, sebelum
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut UUD ini, segala kekuasaannya
dilaksanakan Presiden dangan bantuan Komite Nasional. Bunyi Pasal 1 ayat (2)
dengan Pasal IV Aturan Peralihan isinya bertentangan, akan tetapi dalam
pelaksanaannya terjadi saat itu;
b. Pada masa berlakunya UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) 1950 (27
Desember 1949 - 17 Agustus 1950), pada saat itu UUD yang dilaksanakan adalah
UUD RIS (Republik Indonesia Serikat) dan sistem kabinetnya adalah Parlementer,
maka terjadilah penyimpangan-penyimpangan, antara lain:
1) Negara Serikat bertentangan dengan pendirian Negara Kesatuan Republik
Indonesia, karena tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat Indonesia;
2) UUD 1945 diganti dengan UUD RIS;
3) Semangat UUD 1945 mengesampingkan pemerintahan Parlementer.
c. Pada masa berlakunya UUD RIS (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959), di dalam masa
pemerintahan ini kondisi negara tidak menentu, Presiden Soekarno waktu itu
menyatakan negara dalam kondisi bahaya (Staats Orlog en Beleg), oleh karena
negara dalam keadaan bahaya maka presiden berwenang mengambil langkah-
langkah penyelamatan bangsa dan negara. Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
mengeluarkan Dekrit Presiden, yang isinya:

37
1) Bubarkan Konstitusi;
2) Berlaku kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUD ’50;
3) Segera dibentuk MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS
(Dewan Pertimbangan Agung Sementara).
d. Pada masa berlakunya UUD 1945 (5 Juli 1959-11 Maret 1966), saat itu yang berlaku
adalah sistem Demokrasi Terpimpin, dan penyimpangannya saat pelaksanaan itu,
adalah:
1) Pembentukan lembaga negara yang setingkat, dan bahkan lebih tinggi dari
presiden: MPRS, DPR, DPAS, dan MA, di mana anggota-anggotanya ditunjuk
oleh presiden. DPR dibentuk berdasar Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1959.
MPRS dengan penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
2) Ketua Lembaga Negara dirangkap oleh Para Menterinya. DPAS yang
pelantikannya dilakukan tanggal 15 Agstus 1959 diketuai sendiri Presiden
Soekarno.
3) Ketetapan Nomor III/MPRS/1963, yaitu pengangkatan Presiden Soekarno sebagai
presiden seumur hidup;
4) Presiden membubarkan DPR hasil pemilu tanggal 5 Maret 1960, dan membentuk
DPRDGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), penetapan Presiden
Nomor 4 Tahun 1960;
5) Lembaga Negara, dan Pemerintahan harus berasas Nasakom (Nasionalisme,
Agama, Komunis).
e. Pada masa Orde Baru (Orde Baru 11 Maret 1966-21 Mei 1998), Perkembangan
pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia saat itu menjurus kepada tersentralisasinya
kekuasaan pada satu partai yang berkuasa. Pelaksanaannya selama 32 tahun negara
dikuasai oleh satu partai politik (Golongan Karya), dan selalu memilih Presiden
Soeharto sebagai kepala negara. Walaupun sistem politik yang tersentralisasi oleh
pemerintahan Orde Baru menciptakan stabilisasi pemerintahan, namun pemerintah
mengusahakan terjadinya kelanggengan kekuasaan, yang akhirnya mengabaikan
kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan sosial.
H. Amandemen UUD 1945
Pada penjelasan Kandungan Konstitusi Nomor 8 a, telah disebutkan bahwa konstitusi
bersifat fleksibel, dan karena perjalanan pemerintahan bisa tak terbatas, dinamika
perkembangan jaman mengharuskan adanya perubahan konstitusi. Adapun alasan-alasan
perubahan atau amandemen konstitusi/UUD 1945, adalah:
1. Negara Indonesia yang merupakan kumpulan dari beribu-ribu pulau, keadaan
masyarakat, bangsa, dan negara memerlukan landasan yang kuat untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur. UUD 1945 sebagai hukum dasar hanya menyangkut
pokok-pokok aturan yang senantiasa perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan
dinamika perkembangan jaman;
2. Memerlukan perumusan Hak-hak asasi Manusia yang lebih dapat melindungi harkat
dan martabat warga negaranya;
3. Demokrasi memerlukan peran dari warga negara yang lebih luas, maka diperlukan
keikutsertaan warga negara secara langsung;
4. Pembatasan jabatan pejabat publik yang lebih tegas.

38
5. Pengalaman di masa Orde Baru yang cenderung otoriter, maka kekuasaan otonom
menjadi pilihan untuk dilaksanakan;
6. Perlunya penyempurnaan kelembagaan negara untuk menuju pemerintahan yang
demokratis;
I. Negara Indonesia, Negara Hukum
Pasal 1 ayat (1), menyebutkan Negara Indonesia negara hukum, Negara Indonesia
ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik berdasarkan Pancasila, yang
mencerminkan jiwa bangsa Indonesia. Negara Indonesia menjamin adanya perlindungan
hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum, dan bukan atas kemauan seseorang
yang menjadidasar kekuasaan.
1. Ciri-ciri Negara Hukum adalah:
a. Adanya Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung
persamaan dalam bidang: politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan;
b. Adanya Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan
tidak memihak;
c. Adanya Jaminan kepastian hukum, artinya ada kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Sistem Pemerintahan Negara
Sistem Pemerintahan Negara yang ditegaskan dalam Undang-undang Dasar 1945
Hasil Amandemen, adalah:
a. Indonesia, adalah Negara yang Berdasarkan pada Hukum (Rechtsstaat). Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pada hukum (Rechtsstaat), dan bukan
berdasarkan pada kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pemahaman ini mengandung
pengertian, bahwa negara dan termasuk di dalamnya Pemerintahan, serta Lembaga-
lembaga Negara yang ada di dalamnya dalam melakukan tindakan-tindakan apapun
yang harus diputuskan, harus dilandaskan pada peraturan hukum atau harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pengertian Negara Hukum,
1) secara formal melindungi seluruh warga negara dan seluruh tumpah darah, dan
2) secara material negara bertanggungjawab terhadap kesejahteraan dan kecerdasan
seluruh warganya;
b. Sistem Konstitusional, Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Cara pengendalian
pemerintahan dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, dan ketentuan-ketentuan
hukum lainnya yang merupakan produk konstitusional, ketetapan MPR, dan Undang-
undang;
c. Kekuasaan Negara yang Tertinggi di Tangan Rakyat (Die Gesamte Staatsgewalt liegt
allein bei der Majelis). Kekuasaan Kedaulatan Rakyat sebelum dilakukan
Amandemen dipegang oleh suatu Badan, bernama “Majelis Permusyawaratan
Rakyat”, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens
der Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan
Garis-garis Besar Haluan Negara. Majelis ini mengangkat Kepala negara (Presiden)
dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang
kekuasaan negara yang tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan

39
negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang
diangkat oleh Majelis tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah
“Mandataris” dari Majelis, Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis.
Presiden tidak “neben” akan tetapi “undergeordnet” kepada Majelis.
Menurut UUD 1945 (Hasil Amandemen 2002), kekuasaan tertinggi di tangan
Rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD 1945 pasal 1 ayat (1). Hal ini berarti terjadi
suatu reformasi kekuasaan tertinggi dalam negara, menjadi kelembagaan tinggi
negara. Namun hakikatnya tetap rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi.
MPR hanya memiliki kekuasaan melakukan perubahan UUD, melantik Presiden dan
Wakil Presiden, serta memberhentikan Presiden dan wakil Presiden sesuai dengan
batasan masa jabatan yang telah ditentukan, atau apabila melanggar konstitusi.
Presiden bersifat “neben” bukan “undergeordnet”, karena Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat dalam Pemilu.
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Presiden Penyelenggara Pemerintahan Negara
yang Tertinggi di samping MPR dan DPR. Penjelasan Sistem Pemerintahan Negara
UUD 1945 menyatakan: Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden ialah
penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi.
Dalam menjalankan pemerintah negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan
Presiden (concentration of power and responsibility upon the Presiden).
1. Pasal 6A ayat (1), UUD 1945 (Hasil Amandemen), Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat;
2. Pasal 6A ayat (5), UUD 1945 (Hasil Amandemen), Tata cara pelaksanaan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-undang;
3. Pasal 7, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan.
J. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk undang-undang (Gesetzgebung)
dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting). Oleh
karena itu, Presiden harus bekerja sama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak
bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan Presiden tidak tergantung dari
Dewan. Di dalam UUD 1945 (Hasil Amandemen) memiliki isi yang sama dengan UUD
1945. Penjelasannya ada pada:
1. Pasal 20 ayat (2), Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
2. Pasal 23 ayat (2), Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Pewakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
K. Menteri Negara ialah Pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri
itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak

40
tergantung dari Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi tergantung dari pada Presiden.
Mereka ialah pembantu Presiden.
1. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945, Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden;
2. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 (Hasil Amandemen), Menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden.
L. Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak-Terbatas.
Penjelasan sistem ini dijelaskan baik di dalam UUD 1945 maupun di dalam UUD
1945 Hasil Amandemen.
1. Pasal 6 ayat (2), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara terbanyak;
2. Pasal 6A ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat;
3. Penjelasan Kekuasaan Tidak Tak-Terbatas ada pada Pasal 7A UUD 1945 Hasil
Amandemen, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Peermusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat,
baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
4. Pasal 7B ayat (2), Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan
fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan demikan kelembagaan negara Presiden tak lagi mandataris MPR, bahkan
sejajar dengan DPR dan MPR. Apabila Presiden melanggar Undang-undang maupun
UUD maka MPR dapat melakukan impeachment.

41
BAB V
MASYARAKAT MADANI
(Pertemuan ke V)
A. Pengertian Masyarakat Madani
enggunaan istilah Masyarakat Madani di Indonesia, padanannya ada beberapa
istilah, antara lain: masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil,

P masyarakat beradab, masyarakat berbudaya, atau berasal dari bahasa Inggris civil
society. Kata madani pertama merujuk pada kata Madinah, sebuah kota yang
sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab, di mana masyarakat Islam di bawah
kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban
tinggi.
B. Lahirnya Masyarakat Madani (Civil Society)
Perkataan Civil Society, diambil dari kata Latin “Civilis Societies”, di mana awal
mulanya diungkapkan oleh Cicero, seorang Pujangga Roma, yang berupa suatu masyarakat
atau komunitas politik (Politic Community), yang mendasarkan pada hukum yang beradab.
Hal inilah, yang membedakannya dengan masyarakat yang masih biadab, atau belum
terorganisir (106 – 43 SM). Awal pengungkapan tersebut, kemudian semakin berkembang
melalui pemikiran John Locke (1632 – 1704), dan J.J. Rousseau (1712 – 1778). Keduanya
menyebutkan, sebagai masyarakat politik (Political Society), masyarakat terstruktur,
dalam suatu negara yang mendasarkan tata kehidupan yang mentaati hukum. Di sisi lain,
masyarakat ini sudah terdapat kehidupan ekonomi dalam bentuk pasar, dan sudah ada
sistem keuangan yang memakai mata uang tertentu, dan adanya peran teknologi.
Menurut Nurcholish Madjid, kata “madinah” berasal dari bahasa Arab
“madaniyah”, yang berarti peradaban. Karena itu, masyarakat madani berasosiasi
“masyarakat beradab”. Pemaknaan lain masih menurut Nurcholish Madjid, kata “madani”
dalam bahasa Arab dapat juga diterjemahkan sebagai kota. Dengan demikian masyarakat
madani berarti masyarakat kota. Ada beberapa definisi dari masyarakat madani, seperti
dikutip di bawah ini:
1. AS. Hikam, yang tetap memakai istilah Civil Society mengikuti konsep de ‘Tocquiville”
menyebutkan pengertiannya, bahwa wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self
generating), dan keswadayaan (self supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan
negara dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh
warganya. Civil society merupakan suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya
perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan
material dan tidak terserap di jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Diperlukan
ruang publik yang bebas (the free public sphere), tempat di mana transaksi komunikasi
yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.
2. Dato Seri Anwar Ibrahim, menuturkan, bahwa yang dimaksud civil society atau
masyarakat madani, adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip
moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan
masyarakat. Pengertian ini dikemukakan pada Simposium Nasional dalam rangka
Forum Ilmiah Festifal Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep masyarakat

42
madani dilatarbelakangi oleh konsep kota ilahi, kota peradaban atau masyarakat kota
yang telah tersentuh peradaban maju.
3. Dawam Rahardjo, dalam uraiannya menyebutkan, bahwa civil society sebagai suatu
ruang (realm) partisipasi masyarakat, dalam perkumpulan-perkumpulan sukarela
(voluntary association), perkumpulan profesi, media massa, serikat buruh tani, gereja
atau perkumpulan-perkumpulan keagamaan.
4. Gellner, menyebutkan bahwa masyarakat madani, merujuk pada masyarakat yang terdiri
atas berbagai institusi non pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat
mengimbangi negara. Mengimbangi, artinya bahwa kelompok ini memiliki kemampuan
untuk menghalangi atau membendung negara dalam mendominasi kehidupan
masyarakat tetapi, meskipun demikian, tidak berarti bahwa konsep ini mengingkari
kegiatan negara dalam menjalankan perannya sebagai penjaga perdamaian, dan peran
negara sebagai wasit di antara berbagai konflik kepentingan besar yang dapat
menghancurkan tatanan sosial dan politik keseluruhan.
5. Nurcholish Madjid, menyebutkan lebih singkat bahwa Masyarakat Madani dirujuk dari
perkataan madinah dalam peristilahan modern menunjuk kepada semangat dan
pengertian civil society, suatu istilah Inggris yang berarti masyarakat sopan, beradab,
dan teratur dalam bentuk negara yang baik.
6. Riswandha Imawan, menyebutkan masyarakat madani merupakan konsep tentang
keberadaan satu masyarakat yang dalam batas-batas tertentu mampu memajukan dirinya
sendiri melalui penciptaan aktivitas mandiri, dalam satu ruang gerak yang tidak
memungkinkan negara melakukan intervensi.
Berbagai batasan pengertian di atas merupakan suatu penggambaran yang
merupakan kepedulian mereka terhadap pengembangan masyarakat itu sendiri. Secara
umum yang dimaksud masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan
masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, memiliki
ruang publik (public sphere) dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga
yang mandiri (pengembangan ataupun pembiayaan kelompoknya), yang dapat
menyalurkan aspirasi dan kepentingan publik.
C. Indikator Sifat/Karakter Masyarakat Madani
Perkembangan masyarakat madani dalam era Orde Baru di Indonesia, dihadapkan
pada kendala kegiatan negara yang kuat mengontrol kehidupan publik. Akibatnya
melemahkan kekuatan masyarakat madani yang ditandai ketergantungan yang tinggi
terhadap negara. Namun demikian, masih terdapat adanya peluang-peluang bagi upaya
untuk mengembangkan semakin maraknya demokratisasi di setiap bidang. Konsep
masyarakat madani tentu saja masih sangat diperlukan, dan diupayakan pengembangannya
di Indonesia.
Untuk mewujudkan terealisasinya masyarakat madani memerlukan sifat-sifat karakter
dalam upaya mengembangkannya. Konsep Masyarakat Madani, telah banyak digambarkan
oleh para ahli, sehingga kita dapat menyimpulkan indikatornya (Masyarakat Madani)
untuk memperjelas pemahaman kita bersama.

43
Tabel 3: Indikator Masyarakat Madani
No. Indikator
1. Sukarela, Masyarakat Madani tidak memerlukan ajakan secara berkesinambungan,
akan tetapi dengan secara sukarela muncul pemikiran, dalam kaitannya dengan
penentuan nasib diri dan masyarakat sekitarnya. Mereka, tidak usah diperintah
untuk mengadakan pembaharuan yang dapat memajukan diri dan masyarakat
sekitarnya. Mereka tergerak dengan tanpa adanya dorongan dari pemerintah, yang
mengakibatkan mereka diperintah secara terpaksa dalam mengembangkan program-
program kerjanya.
2. Mandiri, kemandirian Masyarakat Madani adalah merupakan salah satu indikator
yang dikembangkan. Terdapat beberapa kasus, bahwa Masyarakat Madani dimulai
dari beberapa orang yang mempunyai kepedulian, untuk berbuat lebih banyak di
masyarakat, sedangkan orang lain belum ada yang tertarik melakukannya. Pada
kasus-kasus tertentu, secara mandiri mereka memulai suatu kegiatan yang
bermanfaat, dengan modal dan tindakan pribadi. Tentu saja hal ini diperlukan
kegigihan untuk menjadi manusia mandiri, yang akan mengarah kepada masyarakat
mandiri.
3. Otonomisasi, Masyarakat Madani mempunyai pemikiran yang tidak datang dari
pemerintah. Secara otonom, mereka tidak menunggu bantuan yang datang dari
pemerintah. Mereka mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat,
secara bebas, namun tetap tidak membuat kegiatan yang eklusif, yang dapat
merugikan sebagian masyarakat lainnya.
4. Social Responsibility yang tinggi, Masyarakat Madani mempunyai tanggung jawab
sosial yang tinggi, karena dilahirkan dari orang-orang/warga masyarakat yang
mempunyai dedikasi yang tinggi pula terhadap persoalan yang melilit bangsanya.
5. Taat Azas, warga Masyarakat Madani adalah bagian dari masyarakat yang tidak
terlepas dari warga negara. Dengan demikian, mereka tidak akan ke luar dari azas,
yang menyatakan bahwa semua warga negara harus taat azas pada kaidah hukum
yang sudah menjadi kesepakatan bangsa. Mereka, umumnya telah secara sadar
menjadi bagian dari masyarakat lainnya, artinya tidak hidup secara biadap, dan
mementingkan komunitasnya sendiri.
6. Bagian dari Organisasi, Masyarakat Madani adalah sekelompok orang yang dapat
hidup secara mandiri, tanpa campur tangan pemerintah dalam proses
perkembangannya. Namun demikian, mereka adalah bagian dari organisasi
pemerintahan yang dinamakan Negara, sehingga tidak dapat melepaskan dirinya
terhadap aturan-aturan organisasi kenegaraan. Mereka harus taat pada aturan
organisasi kenegaraan, yang pada umumnya mempunyai ikatan erat sebagai bagian
dari warga negara.

D. Karakteristik Masyarakat Madani


Masyarakat Madani, hanya dapat berkembang, apabila tersedia beberapa kriteria
yang memungkinkan untuk pengembangannya. Beberapa kriteria yang dimaksud tidak
dapat saling asing atau berdiri sendiri. Masing-masing kriteria harus saling mendukung

44
dan mengisi, sehingga memudahkan masyarakat madani mempunyai kebebasan untuk
mengembangkan diri. Adapun beberapa kriteria karakteristik tersebut, antar lain:
Tabel 4: Karakteristik Masyarakat Madani
Indikator
No. Pembahasan
Karakteristik
1. Pers Yang Untuk dapat berkembang dengan bebas terkendali,
Bebas masyarakat Madani, disyaratkan ada Pers Yang Bebas namun tetap
terkendali. Pembungkaman media pers untuk mengungkapkan
fakta yang ada, merupakan kriteria terhambatnya berkembangnya
Masyarakat Madani.
Pers Yang Bebas menjamin, tidak tersumbatnya komunikasi
antar masyarakat madani sendiri, dan perannya sebagai warga
negara yang baik.
2. Free Public Ruang Publik yang bebas, mencerminkan pola kehidupan
Sphere bermasyarakat yang dinamis. Semua ruang publik yang tersedia,
memungkinkan setiap warga untuk berperan serta aktif, tanpa
adanya intimidasi dari pemerintah yang berkuasa, peran ini lebih
luas dari hanya menyuarakan pendapat. Akan tetapi juga, memberi
ruang bagi warga negara untuk menyampaikan pendapat,
mengadakan perkumpulan, mengadakan kegiatan dan
menyampaikan informasi-informasi yang merujuk pada kesatuan,
dan kemajuan warga negara.
3. Social Justice Keadilan Sosial, yang dimaksud adalah keadilan yang
seimbang antara hak dan kewajiban. Adil tidak mesti harus sama,
akan tetapi kesamaan yang merata secara adil. Mereka yang
mempunyai inisiatif lebih tinggi, tentu saja akan mendapat peran
dan kesempatan yang lebih baik, sekaligus mendapat goodwill
yang lebih tinggi. Sementara, mereka yang lebih sedikit inisiatif,
akan mendapat peran, kesempatan, dan balas jasa yang relatif lebih
kecil.
4. Pluralism Kemajemukan, adalah keberagaman, dalam arti yang luas
dan komplek. Masyarakat Indonesia yang tinggal di berbagai
pulau, mempunyai ragam: suku, budaya, warna kulit, agama, dan
ideologi. Oleh karena itu, Masyarakat Madani dapat berkembang,
jika masing-masing kemajemukan tersebut dapat terkelola secara
baik dan seimbang, sehingga tidak muncul kecemburuan.
Dari sisi agama, Kemajemukan Indonesia sebagai suatu
bangsa, harus disyukuri bersama sebagai bagian dari rahmat Allah
SWT, Tuhan semesta alam. Salah satu tokoh Indonesia yang
dikenal mempunyai jiwa plural atau jamak, adalah KH
Abdurahman Wachid, atau yang terkenal dengan sebutan Gur Dur.
Hary Tanoesoedibjo, adalah saat ini ramai diperbincangkan,
karena sedang merintis berdirinya Partai Perindo, yang telah

45
mengeluarkan dana puluhan trilliun milik pribadi untuk
memberdayakan orang lain dengan mendirikan partai, sebagai
salah satu orang Indonesia yang mandiri atau madani secara
keuangan. yang peduli terhadap nasib pemberdayaan bangsanya.
5. Toleransi Masyarakat Madani, dapat lebih berkembang apabila,
terdapat suasana saling hormat menghormati, saling tolong
menolong, seperti lazimnya nilai-nilai yang terkandung dalam sila
kedua Panca Sila yakni: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.
Segala tindak tanduk warga negara dapat mencerminkan
penghargaan, dan penghormatan kepada orang lain, sehingga
terjadi kebersamaan langkah yang lebih pasti, untuk menyongsong
masa depannya secara bersama-sama.
6. Demokratis Apabila dirunut secara etimologisnya, kata demokrasi
berasal dari bahasa Yunani demokratia, yang terdiri dari dua
perkataan demos yang berarti rakyat, dan kratos/kratein berarti
kekuatan/pemerintahan. Oleh karena itu konsep demokrasi adalah
“rakyat berkuasa” (goverment of rule by the people). Demokrasi
adalah “pemerintahan oleh rakyat, di mana kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat, dan dijalankan langsung oleh mereka, atau wakil-
wakil yang mereka pilih, di bawah sistem pemilihan bebas.”
Dengan demikian demokrasi adalah janji sekaligus tantangan.
Ia menjanjikan, bahwa manusia yang bebas, bekerja sama, dapat
memerintah diri sendiri dalam cara yang akan melayani aspirasi
mereka bagi kebebasan pribadi, kesempatan ekonomi dan keadilan
sosial. Ia juga merupakan tantangan karena keberhasilan usaha
demokratis bertumpu pada pundak warga negaranya sendiri dan
bukan pada orang lain.

E. Sosok Anggota/Gerakan Masyarakat Madani


1. Pelopor Pengolahan Sampah dari Kampung Banjir: Winarto Herusansono,
Kompas Selasa 20 Agustus 2014.
Sepuluh tahun lalu, kondisi kampung di Rukun Warga 002, Kelurahan
Sampangan, Kota Semarang, Jawa Tengah, kumuh. Kampung yang berbatasan dengan
dua sungai kecil itu juga gersang, minim pohon peneduh. Setiap musim hujan,
kawasan ini kebanjiran akibat naiknya aliran Sungai Garang.
Namun, kondisi itu telah berubah. Di Kampung Sampangan, Kecamatan
Gajahmungkur, pertengahan Agustus lalu, meski jam menunjukkan pukul 13.00,
sejumlah warga bersantai duduk di halaman kantor Kelompok Swadaya Masyarakat
Ngudi Kamulyan.
Mereka seolah tidak merasakan terik matahari. Kini, lingkungan itu teduh berkat
keberhasilan penanaman ratusan pohon, kondisi sungainya pun bersih, jauh dari
tebaran sampah. Kampung ini teduh dan bersih berkat campur tangan Yoyok.

46
Sekitar 10 tahun silam, lelaki kelahiran Pati, Jawa Tengah, ini memelopori
pengolahan sampah mandiri. Sampah dibuat kompos, lalu pupuk tersebut diuji coba
dengan mengajak tetangga menanam pohon. Ketika pupuk hasil mengompos sendiri
terbukti baik untuk penghijauan, kampungnya pun asri karena banyak pohon tumbuh.
Yoyok adalah panggilan Suharto Setiyo (48), Ketua Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM) Ngudi Kamulyan, kelompok warga yang memberdayakan smpah
agar bermanfaat. Dia rela menggeluti sampah, mengajari warga menangani pemilahan
sampah, sampai mengolah sampah menjadi barang bernilai sejak tahun 2004.
Menurut beberapa warga di Kampung Sawangan, apa yang dilakukanYoyok saat
itu kurang lazim. Awalnya dia sendirian mengurusi sampah rumah tangga warga
ataupun yang terserak di badan sungai. Kampung itu dikelilngi dua sungai, Kali Tuk
yang mengalir ke Sungai Kali Garang dan Kali Tuk Anakan dari Sendang Bendan
Duwur di selatan kampung.
“Sudah menjadi adat warga membuang sampah sembarang. Sungai dianggap
tempat sampah terpanjang di kampung. Kapan saja, warga membuang sampah ke
sungai,” ujarnya.
Kini, dia mengolah sampah sudah tampak hasilnya. Di kampung ini, ada lebih
dari 15 perajin khusus kerajinan sampah non-organik. Di tangan para perempuan
perajin, kantong plastik kemasan bekas diubah menjadi tas, tikar, dan taplak meja yang
berharga Rp. 35.000,00 hingga Rp. 50.000,00.
Dari mengolah sampah, KSM Ngudi Kamulyan kemudian mewadahi perajin
miniatur mobil, pesawat terbang, dan peralatan militer. Salah satu perajinnya, Enggar
kerap mendapat pesanan dari Amerika Serikat. Kerajinan miniatur tersebut berbahan
tempat cakram padat (compact disc/CD) bekas, tutup botol minuman bekas, untuk
bagian roda, serta plastik bekas.
Usaha pengolahan sampah itu telah menghasilkan pendapatan per bulan Rp. 4 juta
– Rp. 5 juta. Itu belum termasuk hasil pemanfaatan sampah non-organik menjadi
produk bermanfaat, seperti kerajinan tangan.
Melibatkan perempuan. Kelompok tersebut dinamai Ngudi Kamulyan, yang
berarti upaya warga meraih kemuliaan hidup. Dalam hal ini, mengubah kampung
menjadi bersih dan nyaman. Kunci perubahan itu dimulai dari penanganan sampah
secara mandiri dan berkesinambungan.
Yoyok memulai dengan menangani sampah karena potensinya di kampung yang
terdiri dri RW 002, RW 004, dan RW 005 ini besar. Selain menghasilkan uang,
pengolahan sampah juga mengurangi kekumuhan kampung tersebut.
Dibantu warga yang peduli sampah, Yoyok yang pernah bekerja sebagai manajer
cabang perusahaan perdagangan luar negeri ini masuk-ke luar gang untuk mengambil
sampah rumah tangga.
“Waktu itu, sampah organik dan non-organik masih menyatu. Saya kerja dua kali,
mengambil dari rumah warga, lalu memilah sampah organik dan non-organik’” ujar
Yoyok yang pada 2007 memilih mundur dari pekerjaannya.
Untuk sampah non-organik, awalnya dijual begitu saja, relatif tak memberi
keuntungan. Dia membujuk beberapa ibu rumah tangga belajar membuat kerajinan.

47
Sebagai imbalannya mereka mendapat pinjaman mesin jahit. Hasilnya, kini ada 15
mesin jahit yang dipinjam para ibu untuk membuat kerajinan dari bahan sampah.
Usaha itu dia rintis selama dua tahun secara sukarela. Selama itu pula dia
mengeluarkan biaya dari kocek pribadi untuk honor warga yang membantu mengambil
sampah. Namun, sang istri “protes” karena hal itu mengganggu keuangan rumah
tangga.
Mengedukasi. Awalnya, KSM Ngudi Kamulyan hanya menangani sampah
sekitar 150 rumah dan secara bertahap sampai tahun 2008 menjadi 325 rumah. Sejalan
tumbuhnya kesadaran warga memilah sampah, Yoyok berharap bisa menangani
sampah dari 838 rumah di tiga RW di Kelurahan Sampangan.
Namun, banyaknya sampah juga membuat mereka kewalahan karena belum
punya tempat usaha permanen. Namun, kegigihan menangani sampah membuat KSM
itu mendapat bantuan dari Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Jateng pada
2008.
Jadilah lahan kumuh di tepi sungai di pojok kampung itu “disulap” untuk lokasi
pengolahan sampah menjadi kompos. Dibangun pula kantor KSM Ngudi Kamulyan.
Tiga gerobak sampah pun ditambahkan, juga satu sepeda motor beroda tiga, mesin
pencacah sampah, dan satu set alat pencetak sampah menjadi briket.
Ada pula gudang penampungan sampah non-organik dan ruang pamer untuk
kerajinan warga. Dari sini, Yoyok mengendalikan sekitar 10 orang, dari pemungut,
pengolah, sampai pemilah sampah.
Dia senang karena warga kini sadar dan mau membantu mewujudkan lingkungan
bersih. Hasil komposnya per bulan berkisar 75-100 kilogram. Kompos ini dibeli Dinas
Kebersihan dan Pertamanan Kota Semarang. Sejak sampah ditangani KSM Ngudi
Kamulyan, semakin sedikit pula warga yang membuang sampah ke sungai.
Meski saja kampung relatif bersih, upaya mengajari warga menangani sampah
terus berlangsung. Setahun terakhir ini, misalnya, warga diajari cara membuka kantong
plastik besar sampai kantong cairan pembersih baju untuk menambah nilai jualnya.
“Kalau kantong itu digunting miring akan tidak laku karena susah untuk bahan
kerajinan,” ujar Rusdi (58) anggota KSM Ngudi Kamulyan sekaligus perajin tas
berbahan sampah.
Selain mengurus kelompoknya, Yoyok juga menjadi Koordinator Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat di sejumlah tempat. Dia juga memelopori pembentukan
kelompok swadaya masyarakat, khususnya penanganan sampah rumah tangga.
Dia lebih senang menyebut dirinya sebagai pelopor pengolahan sampah berbasis
3R: reuse, reduce, dan recycle. Keberadaan kelompoknya membuat Kampung
Sampangan kerap dikunjungi mahasiswa dari sejumlah perguran tinggi di Jateng,
sebagai tempat praktik penanganan sampah berbasis warga.
2. Menjadi Manusia Pembelajar: A Ilyas Ismail, Republika Senin 22 Juni 2015
Heboh ijazah palsu, gelar palsu, dan perguruan tinggi palsu belakangan ini
menunjukkan dengan jelas suramnya dunia pendidikan (tinggi) kita. Beberapa kawan
tak bersemangat lagi berbicara tentang daya saing bangsa, bonus demografi, dan
kompetisi global terkait Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 lantaran miris dan
pesimistis melihat wajah buram dunia pendidikan kita.

48
Fenomena ini memperlihatkan bahwa sebagian masyarakat kita masih banyak
yang mengidap penyakit feodalistik, mengagungkan gelar, dan menjadi manusia
dengan mental sertifikat. Manusia sertifikat tak mementingkan ilmu, skill, kompetensi,
apalagi karakter personal. Ia hanya mementingkan gelar dan secarik kertas bernama
ijazah.
Pemerintah dan dunia pendidikan kita harus mampu mengedukasi masyarakat
pembelajar agar tak menjadi manusia sertifikat. Manusia pembelajar adalah orang
yang terus belajar, mempertinggi kemampuan (kompetensi) agar bisa memberi
kontribusi lebih besar bagi kemajuan bangsa dan kemanusiaan.
Manusia pembelajar, menunjuk pada pemikiran James R. Davis dan Adelaide B.
Davis, mencintai hal-hal baru, pemikiran baru, dan ketrampilan baru. Ia belajar bukan
hanya untuk mengetahui, tetapi lebih dari itu untuk berpikir dan memecahkan masalah.
Manusia pembelajar belajar dan mengembangkan ilmu tak hanya dari bangku kuliah
dan text book, tapi juga pengalaman dan dari realitas kehidupan sebenarnya. R Davis
menyebutnya dengan istilah perpetual learner (pembelajar sejati). (Lihat, Managing
Your Own Learning: 2000).
Memasuki era baru ini, setiap orang dari kita, tidak bisa tidak, mesti menjadi
pembelajar. Manusia pembelajar tidak diukur dari gelar dan atribut lahiriah yang
dimiliki, tapi dari mental dan karakternya, serta dari kontribusi untuk kemajuan ilmu
dan peradaban.
Manusia pembelajar setidaknya memiliki lima sifat yang menjadi karakter dan
etos utama intelektualnya. Pertama, rasa ingin tahu yang tinggi. Inilah sifat yang
membuatnya rajin belajar dan memiliki kemauan belajar yang kuat. Dari banyak riset,
anak menjadi pandai bukan karena diajar, tapi karena ia semangat dan rajin belajar.
Meski berstatus mahasiswa atau dosen, bilamana tidak ada lagi rasa ingin tahu, mereka
senyatanya bukan pembelajar.
Dari rasa ingin tahu ini lahir, (1) peminatan, yakni ketertarikan pada satu obyek
studi; (2) fokus, yaitu pemusatan perhatian dan pemikiran; dan (3) motivasi, yaitu
semangat menggelora untuk mencapai apa yang menjadi minat dan perhatiannya. Dari
rasa ingin tahu itu lahir motivasi. Motivasi adalah faktor kunci sukses pembelajaran.
Dianna Van Blerkom berujar, “The Student who are not motivated are tend to be less
succesful.” (Becoming a Stategic Learner: 2011).
Kedua, ia suka berbagi ilmu dengan teman atau orang lain. Merupakan keunikan
ilmu, ia tidak habis kalau dibagi, malah bertambah. Penulis teringat nasihat populer
dari Profesor Andi Hakim Nasution, Rektor IPB (1978 – 1987). Beliau pernah
menyatakan kalau kita tukar menukar apel, tidak bertambah. Namun kalau kita
bertukar ilmu pengetahuan, kita bukan mendapatkan satu, melainkan lebih banyak lagi.
Ketiga, selain berbagi, manusia pembelajar, menurut Maxine A Dalton, rajin
memperluas ilmu pengetahuan dengan dua cara. Pertama, dengan membedol batas
horizon pengetahuan kita. Kedua, dengan cara ke luar dan melepaskan diri dari zona
kenyamanan.
Diperlukan keberanian dan teknik tersendiri untuk bisa ke luar dari kungkungan
zona kenyamanan. (Lihat, Becoming a More Versatile Learner, 2011). Philip E Johson
merekomendasikan cara lain untuk eskpansi ilmu, yaitu dengan latihan berpikir serta

49
menghubungkan diri dengan berbagai kearifan, wisdom, dan pemahaman hidup, bukan
dengan pengetahuan yang sudah mati, yang harus dieja dan dihafal saban hari. (Fifty
Nifty Ways to Help Your Child Become a Better Learner: 2004).
Keempat, ia memiliki kontribusi bagi kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dalam
perspektif Islam, ilmu tidak untuk ilmu, tetapi ilmu untuk kemaslahatan umat sebagai
wujud pengabdian kepada Allah SWT. Pada wahyu pertama yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW, perintah iqra yang dalam wujud sosialnya berwujud penelitian
atau riset dan pengembangan ilmu haruslah dilakukan dalam kerangka bi ism-i rabbik,
dengan nama Tuhan, dalam arti untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.
Kelima, ia memiliki sifat rendah hati dan tawadhu. Meskipun berpengetahuan
sangat luas serta memberi kontribusi besar bagi kemajuan ilmu dan peradaban, para
pembelajar sejati tidak pongah dan tidak besar kepala. Mereka tetap rendah hati, ibarat
filosofi padi, makin berisi, makin tunduk ke bawah.
Yang dimaksud dengan rendah hati adalah sikap mental bahwa ilmu yang
diperolehnya masih sedikit. Apa yang diperolehnya masih sedikit, apa yang belum
diketahui jauh lebih besar dibanding yang sudah diketahui. Inilah sikap yang membuat
seseorang pembelajar tidak menutup diri, tetapi selalu terbuka dan sedia berdialog
dengan orang lain.
Sikap rendah hati ini pernah ditunjukkan Aristoteles, filsuf Yunani (384 SM),
yang pemikirannya masih dipelajari hingga hari ini, ketika menyatakan, “I only know
that I dom’t know.” Imam Syafi’I (wafat 204 H), pendiri mazhab Syafi’i, tidak kalah
tawadhunya.
Sebagai mujtahid mutlak yang mumpuni, Imam Syafi’I juga tidak mengklaim
pendapatnya paling benar. Dalam perselisihan pendapatnya, lebih dari 200 masalah
dengan gurunya, Imam Malik, ia berkata, “Pendapatku benar (tetapi) mengandung
kemungkinan salah; pendapat orang lain salah, (tetapi) mengandung kemungkinan
benar.”
Jadi, semua ulama dan pemikir besar Islam abad pertengahan mewariskan teladan
dan kearifan yang sama, rendah hati. Mereka selalu mengakhiri tulisan dengan tidak
lupa mencantumkan “Wa Allah-u a’lam bi al-shawab” yang berarti mengembalikan
kebenaran sejati hanya kepada Allah SWT. Memang seperti itulah watak dan karakter
para pembelajar sejati. Wa Allahu a’lam!.

50
BAB VI
DEMOKRASI
(Pertemuan ke VI)

A. Pendahuluan
emokrasi itu sendiri tidak menjamin apa-apa. Sebaliknya ia menawarkan kesempatan
untuk berhasil serta resiko kegagalan. Dalam ucapan Thomas Jefferson yang

D mengiang-ngiang tapi bijak, janji demokrasi adalah “hidup, kemerdekaan dan


pengejaran kebahagiaan”. Dengan demikian demokrasi adalah janji sekaligus
tantangan. Ia menjanjikan bahwa manusia yang bebas, bekerja sama, dapat memerintah
diri sendiri dalam cara yang akan melayani aspirasi mereka bagi kebebasan pribadi,
kesempatan ekonomi dan keadilan sosial. Ia juga merupakan tantangan karena
keberhasilan usaha demokratis bertumpu pada pundak warga negaranya sendiri dan bukan
pada orang lain.
Pemerintahan atas, dan oleh rakyat, berarti bahwa suatu masyarakat demokratis
sama-sama menerima manfaatnya dan memikul bebannya. Dengan menerima tugas
pemerintahan sendiri, satu generasi berusaha melestarikan warisan yang dicapai dengan
susah payah, yakni kebebasan idividu, hak-hak asasi manusia dan aturan hukum bagi
generasi mendatang. Dalam setiap masyarakat dan setiap generasi, rakyat harus
memperbarui pekerjaan demokrasi lagi, mengambil prinsip-prinsip masa lalu, dan
menerapkannya pada berbagai praktek dalam abad baru, dan masyarakat yang berubah.
Josef Brodsky, pujangga kelahiran Rusia dan pemenang Hadiah Nobel, pernah menulis,
“Orang yang bebas, jika gagal, tidak menyalahkan siapa pun.” Itu berlaku juga bagi warga
demokrasi yang akhirnya, harus memikul tanggung jawab, terhadap nasib masyarakat
yang telah mereka pilih sendiri, sebagai tempat untuk hidup. Pada akhirnya, kita
mendapatkan pemerintah yang pantas kita terima.
Chester E. Finn Jr., guru besar dalam pendidikan dan kebijakan umum di Universitas
Vanderbilt, dan Director Educational Excellence Network, dalam pidatonya di hadapan
pendidik dan pejabat pemerintah di Managua, Nikaragua, mengatakan: “Bahwa manusia
secara alamiah memilih kebebasan ketimbang penindasan, adalah hal yang sangat wajar.
Tapi itu tidak sama dengan mengatakan, bahwa sistem politik demokrasi dapat diharapkan
tercipta dan mempertahankan dirinya sepanjang masa. Sebaliknya, gagasan tentang
demokrasi itu langgeng, tetapi prakteknya sulit.”
Berbeda dengan adanya beberapa persepsi, bahwa kehidupan suatu masyarakat
demokratis yang sehat bukanlah sekadar gelanggang kehidupan, di mana masing-masing
individu-individu mengejar idola pribadi mereka sendiri. Demokrasi itu, dapat secara sehat
tumbuh subur, apabila ia mendapat pengawalan, dan dijaga oleh warga, yang bersedia
mewadahi kebebasan, yang telah mereka capai dengan secara susah payah, untuk
berperanserta dalam kehidupan masyarakat. Mereka juga menyumbangkan kesepakatan
suara mereka yang dilaksanakan dalam suatu perdebatan umum, kemudian melakukan
pemilihan wakil-wakilnya, yang dapat bersedia dimintai pertanggungjawabannya, atas
tindakan mereka, dan di sisi lainnya dapat menerima adanya toleransi dan mufakat di
hadapan umum. Maka pada prinsipnya, para warga demokrasi, dapat menikmati tentang
hak kebebasan individu, dan sekaligus mereka diminta untuk memikul tanggung jawab

51
bersama-sama dengan orang lain, demi terbentuknya masa depan, dan akan berkelanjutan
menggawangi prinsip-prinsip yang mendasar tentang adanya kebebasan, serta mendirikan
kepemerintahan sendiri, yang dikelola secara bersama-sama.
B. Pengertian
Apabila dirunut secara etimologisnya, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani
demokratia, yang terdiri dari dua perkataan demos yang berarti rakyat, dan kratos/kratein
berarti kekuatan/pemerintahan. Oleh karena itu konsep demokrasi adalah “rakyat
berkuasa” (goverment of rule by the people). Demokrasi adalah “pemerintahan oleh rakyat,
di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat, dan dijalankan langsung oleh mereka, atau
wakil-wakil yang mereka pilih, di bawah sistem pemilihan bebas.”
Di bawah ini akan dikutipkan beberapa pengertian demokrasi, antara lain:
1. Menurut Abraham Lincoln Mantan Presiden AS, bahwa demokrasi adalah suatu
pemerintahan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”;
2. Deliar Noer, menuturkan pendapatnya, “demokrasi sebagai dasar hidup bernegara
mengandung pengertian, bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan
negara, karena kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat” (1983: 207);
3. Di dalam Ensiklopedi Populer, menyimpulkan: “demokrasi adalah suatu pola
pemerintahan dalam mana kekuasaan untuk memerintah berasal dari mereka yang
diperintah. Demokrasi adalah pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif
semua anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang
berwenang”;
4. Dalam uraian lain, Henry B. Mayo mengulaskan pendapatnya, demokrasi adalah,
“sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dalam suasana terjaminnya kekuasaan politik”
(Mahfud MD, 1999: 8);
5. Pendapat terakhir diungkapkan oleh Josefh A. Schmeter, bahwa “demokrasi merupakan
suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-
individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif
atas suara rakyat” (Abdillah, M, 1999: 72-73);
Dari beberapa batasan pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa demokrasi
adalah rakyat sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu keputusan dan kebijakan
tertinggi, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, serta pengontrol terhadap
pelaksanaan kebijakannya, baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, atau yang
mewakilinya, melalui lembaga perwakilan.
Adanya kebebasan, dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya
sebetulnya tidak sama. Demokrasi, intinya mengenai seperangkat gagasan, dan prinsip
tentang kebebasan, tapi juga mencakup seperangkat praktek dan prosedur, yang terbentuk
melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya demokrasi adalah
melembagakan adanya kebebasan.
Demokrasi terbagi dalam kategori dasar langsung, dan atau perwakilan. Dalam
demokrasi secara langsung, semua warga, tanpa melalui pejabat yang dipilih atau
diangkat, dan mereka ikut berperan serta dalam pembuatan keputusan negara. Sistem ini

52
jelas hanya cocok untuk relatif sejumlah kecil warga/orang, rakyat, atau penduduk. Kini,
bentuk paling umum dari demokrasi, apakah itu ibukota dengan 50.000 orang, atau pun
negara yang berpenduduk sampai sejumlah 50 juta orang, dapat dikatakan sebagai
demokrasi perwakilan. Apapun cara yang dipakai, pejabat pemerintah dalam demokrasi
perwakilan memangku suatu jenis jabatan atas nama rakyat, dan tetap bertanggung jawab
kepada rakyat atas semua tindakan mereka.
C. Pilar-pilar atau Prinsip-prinsip Demokrasi
1. Kedaulatan Rakyat: Demokrasi, adalah penyelenggaraan negara berdasar pada
kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu
pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri, atau atas persetujuan
rakyat, karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Majelis Permusyawartan Rakyat,
yang mewakili seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah, memegang kedulatan
negara, sehingga betul-betul dianggap sebagai penjilmaan dari rakyat;
2. Pemerintahan Berdasarkan Persetujuan dari yang Diperintah: Rakyat, (yang
diperintah) diletakkan pada posisi sentral (rakyat berkuasa). Pemakaian demokrasi
sebagai prinsip hidup bernegara sebenarnya telah melahirkan fiksi-yuridis, bahwa
negara adalah milik rakyat (yang diperintah), sehingga untuk membuat keputusan-
keputusan politik, dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara, yang
bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang
mewakili yang diperintah) memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak
terbatas.
3. Kekuasaan Mayoritas: Demokrasi, adalah sistem di mana warga negaranya bebas
mengambil keputusan melalui kekuasaan mayoritas. Kekuasaan harus digandengkan
dengan jaminan hak-hak asasi manusia individu yang minoritas;
4. Hak-hak Minoritas: Hak-hak minoritas, apakah itu etnik, agama, atau politik tidak
tergantung pada iktikad baik mayoritas, dan tidak dapat dihapus oleh suara mayoritas.
Hak-hak minoritas dilindungi karena undang-undang dan lembaga demokratis
melindungi hak-hak semua warga negara;
5. Jaminan Hak-hak Asasi Manusia: Demokrasi kekuasaan harus berjalan beriringan
dengan perlindungan harkat dan martabat manusia warga negaranya, dengan
memperhatikan nila-nilai luhur, moral dan agama.
Di Indonesia hal ini diatur dalam:
a. Pasal 21 ayat (5) UUD 1945 (Hasil Amandemen), Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
b. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 (Hasil Amandemen), Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Hak-hak Asasi Manusia yang mutlak adalah:
a. Kebebasan berbicara, berpendapat, dan pers;
b. Kebebasan beragama;
c. Kebebasan berkumpul dan berserikat;
d. Hak atas perlindungan yang sama di depan hukum;
e. Hak atas proses sewajarnya dan pengadilan yang jujur.

53
6. Pemilihan yang Bebas dan Jujur: Pemilihan, adalah institusi pokok pemerintahan
perwakilan yang demokratis. Karena dalam demokrasi, wewenang pemerintah hanya
diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah. Adapun mekanisme utama
untuk menerjemahkan persetujuan, itu menjadi wewenang pemerintah, adalah dengan
melaksanakan pemilihan umum yang bebas dan jujur. Jeane Kirkpatrick, menyebutkan
Pemilihan Demokratis bukan sekadar lambang..... tapi pemilihan yang kompetitif,
berkala, inklusif (luas), dan definitif, di mana para pengambil keputusan utama dalam
pemerintah dipilih oleh warga negara yang menikmati kebebasan luas untuk mengkritik
pemerintah, menerbitkan kritik mereka dan menawarkan alternatif (1991, 16).
Di Indonesia hal ini diatur dalam:
a. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 (Hasil Amandemen), Pemilihan Umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, setiap lima tahun sekali.
b. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 (Hasil Amandemen), Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah;
7. Konstitusional: Fondasi dasar pijakan pemerintahan demokratis, adalah mengacu pada
konstitusi, dengan kewajiban, pembatasan, dan prosedur kepada pemerintah.
Konstitusi, sesuai pada pengertian ringkasnya, adalah undang-undang tertinggi negara,
dan semua warganya, dari presiden sampai buruh, tunduk kepada ketentuannya.
Walaupun, konstitusi bersifat tahan jaman, dan mempunyai nilai monumental,
konstitusi harus dapat diubah, disesuaikan, jika tidak ingin ketinggalan jaman. Adapun
cara yang paling sederhana, yang dianut oleh banyak negara, adalah menyatakannya
dengan melalui cara amandemen, beserta ketentuan-ketentuan khusus, yang sedikit
berbeda dari batang tubuh perundang-undangan;
8. Persamaan di depan Hukum: Hak atas persamaan di depan hukum, atau perlindungan
yang sama oleh hukum, sebagaimana sering disebut, merupakan landasan pokok bagi
masyarakat yang adil, dan demokratis. Kaya ataupun miskin, mayoritas etnik ataupun
minoritas agama tertentu, koalisi dari politik negara, berhak atas perlindungan yang
sama di depan hukum. Ahli hukum konstitusi John P. Frank menulis: “Dalam keadaan
apapun negara tidak boleh melaksanakan ketidaksamaan tambahan, negara wajib
melayani secara rata dan sama seluruh rakyatnya.” Tak seorang pun berada di atas
hukum, yang bagaimanapun hukum itu merupakan ciptaan rakyat atau citra rakyat itu
sendiri.
Negara Indonesia, berdasarkan hukum (rechsstaat) dan bukan atas kekuasaan
(machtsstaat), hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya Pemerintah
dan Lembaga-lembaga Negara lainnya, dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun
harus dilandasi oleh peraturan hukum, dan harus dapat dipertanggung jawabkan
(accountability) secara hukum. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD (Hasil
Amandemen), Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
9. Proses Hukum yang Wajar/Peradilan Bebas: Dalam setiap masyarakat sepanjang
sejarah, Frank menjelaskan, mereka yang menjalankan sistem peradilan pidana
mempunyai kekuasaan yang berpotensi melakukan penyalahgunaan, dan menjadi tirani

54
kekuasaan. Atas nama negara, banyak individu dipenjarakan, harta mereka dirampas,
dan mereka disiksa, diasingkan, dan dihukum mati tanpa dasar hukum, dan sering tanpa
pernah dikenai tuduhan resmi. Masyarakat demokratis tidak dapat menerima
penyalahgunaan seperi ini. Aparat hukum dalam melakukan tugasnya harus
memperlakukan secara wajar/bebas dari pengaruh ekskutif, sehingga tidak ada
keistimewaan apapun bagai seseorang, apabila melakukan kesalahan, sehingga
mengharuskan dirinya berhadapan dengan aparat hukum;
10.Pembatasan Pemerintah secara Konstitusional: pada era reformasi dewasa ini
bangsa Indonesia benar-benar akan mengembalikan peranan hukum, aparat penegak
hukum, beserta seluruh sistem peraturan perundang-undangan akan dikembalikan pada
dasar-dasar negara hukum, yang didasarkan pada Pancasila, dan UUD 1945 (Hasil
Amandemen), yang mengemban amanat demokrasi dan perlindungan hak-hak asasi
manusia.
Pelaksanaan Pemerintahan Presiden Soeharto selama 32 tahun, negara dikuasai
oleh satu partai politik (Golongan Karya), dan selalu memilih Presiden Soeharto sebagai
kepala negara. Walaupun sistem politik yang tersentralisasi oleh pemerintahan Orde
Baru menciptakan stabilisasi pemerintahan?, namun pemerintah saat itu mengusahakan
terjadinya kelanggengan kekuasaan, yang akhirnya mengabaikan kesejahteraan,
kedamaian dan keadilan sosial.
Oleh karenanya, harus ada pembatasan masa jabatan, di semua tingkatan
pemerintahan yang ada di Indonesia, seperti yang sudah diatur di dalam Pasal 7 UUD
1945 (Hasil Amandemen), Presiden dan Wakil Presiden, memegang jabatan selama
lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan;
11.Adanya Partai Politik: Partai-partai politik, pada sistimatika keorganisasiannya
menghimpun atau merekrut, selanjutnya mencalonkan, dan kemudian berkampanye
untuk kepentingan pemilihan para pejabat pemerintah, dan anggota DPR. Gilirannya
mulai menyusun kebijakan pemerintahnya, jika mereka menjadi mayoritas, ataupun
mengajukan kritik dan kebijakan alternatif lainnya, apabila mereka menjadi
penyeimbang kebijakan (oposisi). Partai-partai politik, yang pada kenyataannya sebagai
mayoritas, ataupun minoritas sama bervariasinya dengan masyarakat, di mana mereka
melakukan fungsinya, sebagai media yang mengontrol kebijakan pemerintah. Dalam
suatu sistem demokrasi, memberikan ruang tumbuhnya multi partai dengan bebas, dan
dapat membawa ideologinya masing-masing, untuk kepentingan masyarakat yang telah
memilihnya (konstituennya), yang pada akhirnya untuk dijabarkan dalam kebijakan
pemerintahannya, apabila suatu ketika partai yang mengusungnya memenangkan
pemilihan;
12.Adanya Pers yang Bebas: Memerintah pada prinsipnya, berarti berkomunikasi.
Dengan semakin kompleknya kehidupan, dalam masyarakat yang modern, wilayah
cakupan untuk melakukan komunikasi, dan perdebatan umum, banyak dikuasai oleh
media berita: media massa, media dunia maya, radio, televisi, koran, majalah, buku, dan
berita yang diperoleh pada pusat-pusat data komputer.
Adapun Media berita, dalam negara yang mempraktekkan demokrasi,
mempunyai beberapa fungsi:

55
a. Pertama, memberikan informasi, dan mempunyai peran mendidik. Peran ini
begitu penting, khususnya selama berkampanye, ketika hanya sedikit pemilih yang
dapat memperhatikan, apalagi berkampanye dengan melakukan pembicaraan,
dengan para calon secara langsung. Mereka akan sangat memperhatikan mengenai
pentingnya peran media massa.
b. Kedua, sebagai media pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, dan lembaga-
lembaga yang lain ada di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu dalam
negara demokrasi, harus terdapat ukuran standard tentang kebebasan dan
obyektivitas, yang dapat dipakai untuk mendukung adanya kebebasan pers secara
bertanggung jawab;
13. Adanya Keterbukaan: Warga negara secara hakiki, mempunyai hak untuk
mengadakan perkumpulan dengan secara damai. Dapat juga melakukan pemrotesan
terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahnya, atau kelompok lain dengan
tindakan demontrasi, melakukan kecaman, mengadakan longmars, teatrikal, petisi,
pemboikotan sesuatu, dan bentuk aktivitas lain, yang dilakukan dari warga negara.
Protes dalam bentuk demikian, menjadi bagian dari masyarakat demokratis. Pada saat
ini protes dengan tanpa kekerasan, sering dilakukan juga untuk mendapat perhatian
dari media massa yang ada, dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang
melilit masyarakat pada umumnya.
Mengajukan cita-cita, untuk menyatakan suatu pendapat, dan keikutsertaan
warga negara mudah untuk dipertahankan, apabila setiap orang tetap dalam koridor
kesopanan, dan mempunyai kesepakatan mengenai isu-isu pokok. Terjadinya
pembungkaman setiap protes-protes dengan dalih untuk menjaga ketertiban (umum),
akan mengundang berbagai penindasan. Sebaliknya, apabila pemerintahan yang sah
mengijinkan berbagai macam protes dengan tindakan kekerasan yang tidak terkendali,
maka akhirnya berkecenderungan memunculkan tindakan anarkhi;
14. Pluralitas: Demokrasi, pada kenyataannya mempunyai beberapa pendapat mengenai
hakikat manusia pada umumnya. Anggapan lain, bahwa masyarakat terdiri dari
beraneka macam kepentingan, dan individu, yang berhak mengupayakan suara mereka
agar didengar, dan pandangan mereka menjadi dihormati.
Masyarakat biasanya sangat plural, dan sangat bervariasi. Di dalam demokrasi
yang berjalan secara wajar, maka demokrasi itu sangat dinamis. Suara hasil demokrasi
itu, tentu di dalamnya mencakup suara pemerintah itu sendiri, para pendukungnya,
termasuk penentang politiknya, suara lembaga masyarakat, organisasi yang tergabung
dalam serikat sekerja, kelompok lain yang merasa mempunyai kepentingan
mempunyai organisasi yang sah, organisasi massa (ormas), organisasi sosial dan
politik (orsospol), tokoh agama, para cerdik-pandai, pakar berbagai bidang,
budayawan, pemodal, wiraswastawan, usaha kecil, usaha menengah, usaha besar,
paguyuban, lembaga-lembaga nir-laba, dan sekolah-sekolah, beserta perguruan tinggi.
Semua yang disebutkan di atas tersebut, dapat diberi kebebasan untuk
menyampaikan pendapat atau sarannya, dan mengikuti proses perjalanan demokrasi,
baik pada tingkat lokal, dan regional, nasional, maupun internasional. Oleh karena
itu, pemerintahan yang berpijak pada demokrasi, melakukan kegiatannya mediator
untuk banyaknya masukan-masukan, dan tuntutan-tuntutan, dan ada kalanya berwujud

56
nada keras, dari masyarakat yang komplek tersebut, di dalam proses perjalanannya
menjadi sekumpulan kebijakan, yang dapat akhirnya dapat diterima masyarakat luas.
Mantan Presiden AS Jimmy Carter pernah berujar: “Pengalaman demokrasi itu
bagaikan pengalaman hidup itu sendiri, selalu berubah, tidak terhingga variasinya,
kadang-kadang bergolak dan makin bernilai saja karena telah diuji oleh berbagai
kesulitan.”
D. Sejarah Demokrasi di Indonesia
Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah merdeka selama 70 tahun (2015), dan di
dalam proses perkembangan demokrasinya masih mengalami pasang surut. Masalah pokok
yang dihadapi NKRI, ialah bagaimana demokrasi yang selalu dicita-citakan, dapat
mewujudkan konsepnya, dalam berbagai sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, di
bidang politik, ekonomi, hukum, agama, dan sosial budaya.
Sebagai tatanan kehidupan demokratis, terkait persoalan hubungan rakyat dengan
negara, atau pemerintah Indonesia, dalam posisi yang seimbang. Sistem pemeriksaan dan
penyeimbangan (checks and balances), untuk menjamin bahwa kekuasaan politik merata
dan tidak terpusat. Sistem ini didirikan di atas keyakinan kuat bahwa pemerintah Indonesia
adalah paling baik, manakala dapat menurunkan potensi menekan rakyat, dan jika ia selalu
berada sedekat mungkin dengan rakyatnya. Masalah ini berkaitan dengan penyusunan
sistem politik dengan kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan di
segala bidang, serta pembangunan karakter bangsa (character and nation building) dengan
mengikutsertakan rakyat, dan berupaya menghindari kecenderungan munculnya diktator
individu, terjadinya dominasi partai, ataupun berada dalam pencengkeraman unsur militer.
Sejarah telah berlalu, dan menorehkan lukisan sejarah perkembangan Demokrasi, di
Indonesia sebagai berikut:
1. Rentang Waktu 1945-1959
Rentang waktu itu, yang dijalankan dalam mengelola pemerintahan, adalah
demokrasi parlementer, dan mulai diberlakukan oleh negara setelah kemerdekaan
Indonesia tersebut diproklamirkan. Pelaksanaan Demokrasi parlementer yang
dijalankan oleh pemerintah tersebut, memberi peluang atas terjadinya dominasinya
partai-partai besar dan Dewan Perwakilan Rakyatnya. Dengan demikian, hal tersebut
tidak selaras dengan proses perjuangan panjang bangsa Indonesia, yang telah
menyatukan berbagai unsur – unsur kekuatan, dan telah banyak memakan korban jiwa,
tenaga, maupun harta. Ternyata, pada awal menikmati kemerdekaan terlepas dari
belenggu penjajahan, malahan menjadi awal keretakan kerukunan bangsa Indonesia.
Masalah tersebut terjadi, karena adanya saling memperebutkan pengaruh, dari partai-
partai besar yang berkuasa, sehingga kehidupan masyarakat yang lebih aman, pada
umumnya kurang terjamin keberadaannya. Di dalam perkembangannya, apabila partai-
partai ingin membentuk kekuasaan, harus saling mengadakan koalisi di antara partai-
partai, sehingga menjadikan koalisi partai-partai tersebut rawan gagal menyatukan visi
dan misinya, dan akhirnya kabinet yang dibentuk pun, selalu diadakan resuffle, bahkan
realita dalam catatan sejarahnya dibubarkan.
Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959 dimaklumatkan, sebagai upaya presiden
untuk menjaga ketertiban keadaan Negara Indonesia, yang menganggap parlemen tidak
dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik, dalam melakukan pembahasan undang-

57
undang baru yang akan ditetapkan. Kabinet pada proses amanatnya hanya
mengedepankan perdebatan panjang lebar, yang dinilai tidak ada kesudahannya.
2. Rentang Waktu 1959-1965
Pada rentang waktu ini, diberlakukan sistem Demokrasi Terpimpin dengan
mengedepankan Doktrin Nasakom (Nasional Agama Komunis) sebagai penyangga
kekuatan bangsa. Tanggal 9 Juli 1959 terbentuk kabinet Presidentiil, yang diberi nama
Kabinet Kerja, yang terdiri dari Kabinet Inti, dan di bawahnya diangkat Menteri-menteri
Muda, sebagai pelaksana politik, yang ditentukan oleh Kabinet Inti. Adapun Tri
Programnya yang ditetapkan, antara lain:
a. Sandang dan Pangan;
b. Keamanan;
c. Anti Imperialisme dan Pembebasan Irian Barat.
Di dalam perjalanan sejarahnya, tindakan presiden selanjutnya, untuk mengatasi
kesukaran-kesukaran, menetapkan haluan baru dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Haluan Baru tersebut, terdiri atas Lima Pokok, yaitu:
a. UUD 1945;
b. Sosialisme Indonesia;
c. Demokrasi Terpimpin;
d. Ekonomi Terpimpin;
e. Kepribadian Nasional, yang kesemuanya disingkat USDEK.
Pada tanggal 17 Agustus 1960 Partai Masyumi, dan Partai Sarikat Islam
dibubarkan. Organisasi-organisasi Politik (orpol-orpol), dan organisasi karya diikat
dalam suatu ikatan Front Nasional. Dengan demikian, pada saat itu golongan oposisi
telah dihilangkan, dan perjalanan maju mundurnya negara, sangat tergantung pada pola
kebijakan Presiden Soekarno.
Di dalam Demokrasi Terpimpin, dominasi kebijakan presiden, menjadi sangat
kelihatan. Mulai saat itu berkembanglah pengaruh komunis (dan diperkuat dengan
dibangunnya poros Jakarta-Peking), dan meluasnya peranan Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI), sebagai bagian yang berpengaruh terhadap unsur sosial
politik. Praktek pelaksanaan demokrasi pemerintahan, terasa terpasung secara nyata,
ketika ada penyimpangan UUD 1945, tentang keputusan masa jabatan presiden selama
5 (lima) tahun. Saat itu pelaksanaan demokrasi dinodai, oleh Ketetapan MPRS No.
III/1963, yang memutuskan untuk mengangkat Ir. Soekarno, sebagai seorang presiden
seumur hidup. Dengan demikian, terdapat pelanggaran, sehingga ketetapan UUD 1945
sebagai dasar negara Republik Indonesia, telah menyimpang dari rel yang sebenarnya.
Noda lain yang menonjol adalah ketika presiden membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat Hasil Pemilu 1955, dan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong,
yang peran utamanya hanya sebagai pembantu pemerintah, dan bukannya
memperhatikan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Presiden Soekarno tanggal 17 Agustus 1960 berpidato dengan thema “Penemuan
kembali Revolusi Kita”, yang kemudian dijadikan Manifesto Politik (Manipol), atau
lengkapnya Manipol USDEK dijadikan GBHN tahun 1960. Demokrasi Terpimpin lebih
mendahulukan terpimpinnya, dari pada hikmah permusyawaratannya. Fungsi terpimpin
lebih terpusat kepada kepemimpinan Presiden, sehingga kepada beliau diberikan

58
predikat Pemimpin Besar Revolusi, dan disusul pengangkatannya menjadi Presiden
seumur hidup seperti yang telah disebutkan di atas.
Awal tahun 1965, Malaysia terpilih sebagai anggota Dewan Keamanan PBB, dan
Indonesia merasa tidak puas, maka setelah beberapa waktu pada tanggal 7 Januari 1965
Indonesia keluar dari keanggotaannya di PBB, dengan alasan Malaysia oleh Indonesia
dianggap sebagai alat Nekolim (Neo-kolonialisme dan Imperialisme), maka Indonesia
menyatakan menentang Malaysia (Karso dkk. 1978)
Menurut Syafi’i Ma’arif Demokrasi Terpimpin, adalah demokrasi yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dalam kesempatan lain
ia (Soekarno) mengatakan bahwa demokrasi terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan
tanpa anarkisme, liberalisme dan otokrasi diktator. Demokrasi kekeluargaan ialah
demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan
mufakat dengan pimpinan sentral yang sepuh, seorang ketua dan mengayomi.
Demokrasi terpimpin Soekarno adalah pengingkaran adanya nilai-nilai demokrasi.
Demokrasi terpimpin Soekarno sebenarnya bukan sistem demokrasi yang sebenarnya,
melainkan sebagai bentuk otoriterian, karena yang sebenarnya terjadi adalah rezim
pemerintahan yang sentralistik otoriter Soekarno. Demokrasi berakhir 30 September
1965, setelah ada kudeta Partai Komunis Indonesia.
3. Rentang Waktu 1965-1998
a. Bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI), dan timbulnya Gerakan 30
September (G 30 S PKI). Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berlaku kembalinya Indonesia
kepada UUD 1945, merupakan suatu keadaan yang sangat baik, namun dalam
kenyataannya terjadi hal-hal yang menyimpang dari UUD 1945, dan menguntungkan
PKI, antara lain:
1) Fungsi terpimpin dalam Demokrasi Terpimpin lebih memusatkan kepada
kepemimpinan Presiden Soekarno, mengangkat beliau menjadi Pemimpin Besar
Revolusi, dan menjadikan Presiden seumur hidup;
2) Melabelkan Nasakom kepada kepemimpinan lembaga dan semua potensi
nasional, yang ini sangat menguntungkan PKI, karena peranan PKI menjadi
dominan yang menguasai semua lembaga negara. Situasi dan kondisi seperti
inilah yang menguatkan posisi PKI di Indonesia;
3) Pemusatan kekuasaan kepada Presiden berkecenderungan kepada pemujaan atau
mengkultuskan pemimpin;
4) PKI membelokkan politik luar negeri ke blok Komunis, sehingga tercipta Poros
Peking-Jakarta, sehingga bertentangan dengan politik Indonesia yang Bebas
Aktif;
5) PKI berhasil mendesak pemerintah ke luar dari PBB, sehingga Indonesia menjadi
makin terasing dari percaturan dunia internasional
b. Gerakan 30 September 1965
Dari dokumen yang diketemukan oleh pemerintah pada tahun 1964, PKI telah
memperkirakan, bahwa pada tahun 1966 kondisi telah matang untuk beralih ke
taktik kekerasan, karena Presiden dalam bulan Agustus 1965 sakit keras, yang
menurut team dokter dari RRC kemungkinan Presiden akan lumpuh atau mati. Atas
pertimbangan itu PKI lalu mempercepat langkah taktik parlementer ke taktik

59
kekerasan. Oleh karenanya taktik tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 September
1965, dengan mengadakan gerakan kudeta yang dinamakan Gerakan 30 September
1965, sebelum Subuh. Targetnya menguasai alat-alat perhubungan, mengumumkan
di RRI bahwa telah berdiri pemerintah baru, yang disebut Dewan Revolusi,
mengkomuniskan Indonesia, dan mengancam kehancuran falsafah Pancasila, dengan
jatuhnya korban-korban Pahlawan Revolusi.
Pahlawan Revolusi tersebut, adalah: sebagai berikut:
1) Jendral Anumerta A. Yani;
2) Jendral Anumerta Haryono;
3) Jendral Anumerta Suprapto;
4) Jendral Anumerta S. Parman;
5) Mayjen. Anumerta D.I. Panjaitan;
6) Mayjen. Anumerta Sutoyo Siswohardjo;
7) Kapten Anumerta Piere Tendean, dan di daerah ada korban-korban lainnya.
c. Kesaktian Pancasila
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jendral Soeharto, sebagai Panglima
Kostrad menggerakkan pasukan khusus Resimen Para Komando Angkatan Darat
(RPKAD), untuk menghancurkan Gerakan 30 September 1965. Kekuatan G 30 S PKI
dapat dilumpuhkan, dan dilakukan penangkapan pemimpin-pemimin PKI dan tokoh-
tokoh yang mendalangi G 30 S PKI.
d. Bangkitnya Angkatan ’66, dan Orde Baru (Orba)
Pada tahun 1966 terjadi krisis kepemimpinan, dan muncullah demontrasi-
demontrasi besar-besaran.Tanggal 10 Januari 1966. Utamanya, Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar (KAPPI), Kesatuan
Aksi Pemuda Indonesia (KAPI), dan laian-lain, menuntut pemerintah Orde Lama
(Orla), memenuhi Tri Tuntutan Rakyat (TRITURA)
Tri Tuntutan Rakyat terbut, adalah:
1) Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya;
2) Bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI;
3) Turunkan harga-harga.
Kewibawaan Presiden Soekarno sangat merosot, dan memberi kekuasaan kepada
Letjen Soeharto sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat, yang bertindak sebagai
Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dengan
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), dengan mandat mengambil segala
tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketenangan serta memelihara
keutuhan bangsa Indonesia dan Republik Indonesia.
Presiden Soeharto melakukan tindakan:
a. Membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, serta dinyatakan sebagai organisasi
terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia;
b. Menangkap 15 Menteri, yang terdapat indikasi-indikasi tersangkut G 30 S PKI.
Pada awal kebangkitan Orba, pemerintah mempunyai cita-cita untuk menjalankan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan murni dan konsekuen. Pemerintah
memperoleh dukungan TNI, Mahasiswa, dan Rakyat yang mendambakan ketenangan
hidup saat itu. Demokrasi Pancasila di masa Orba merupakan Demokrasi Konstitusional,

60
yang lebih cenderung ke sistem presidensiil. Dengan landasan Pancasila, UUD 1945, dan
ketetapan MPRS/MPR dalam membentuk pemerintahan, yang mengembalikan UUD 1945.
Proses pembangunan sistem demokrasi Pancasila diawali dengan memperbaiki kondisi
perekonomian rakyat Indonesia di segala bidang, dengan mengacu pada Garis-garis Besar
Haluan Negara, dalam rangka memperbaiki taraf kehidupan rakyat.
Perjalanan demokrasi Pancasila sampai era ’70-an, masih berjalan sesuai apa yang
diharapkan oleh masyarakat pada umumnya, artinya masih sejalan apa yang diamanatkan
oleh UUD 1945 dan Pancasila. Presiden Soeharto berkali-kali mengajak memahami secara
mendalam dan benar pengamalan Pancasila, dalam rangka mewujudkan cita-cita
kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 23 Maret 1978, Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila diserahkan kepada Presiden/Mandataris di hadapan Rapat paripurna
Majelis untuk dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Pasal 108 Peraturan Tata Tertib MPR,
dan ditetapkanlah sebagai Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, yang berisi tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa). Ekaprasetia Panca
Karsa berasal dari bahasa Sanskerta, “eka” berarti satu atau tunggal, “prasetia” berarti
janji atau tekad, “panca” berarti lima, “karsa” berarti kehendak yang kuat. Eka Prasetia
panca Karsa, berarti tekad yang kuat untuk melaksanakan lima kehendak. Dengan
demikian, Pancasila akan menjadi sumber ketahanan nasional yang merupakan modal
perjuangan dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.
Pada era ‘80-an, dan diikuti era ’90-an proses pembangunan ekonomi menjadi
keuntungan pemerintah pusat, mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang semakin
melebar antara pemerintah pusat dan daerah. Budaya korupsi, kolusi dan nepotisme
merajalela di mana-mana, pada tubuh pemerintahan. Di ranah perpolitikan, partai-partai
kecil semakin dikebiri keberadaannya, dengan jalan melibatkan ABRI, yang melahirkan
praktek Dwi-fungsi ABRI. Siapa yang dekat oknum pemerintah ia akan mempunyai peran
yang strategis di masyarakat, maupun lembaga pemerintah. Nama Pancasila hanya
digunakan sebagai legitimasi kekuasaan politis dan ekonomis saat itu, karena yang
dilaksanakan tidak sesuai dengan amanat Pancasila. Adapun puncak kekuasaan Orba
diakhiri, saat Presiden Soeharto tidak kuasa lagi mengatasi gelombang gerakan reformasi
tanggal 21 Mei 1998. Mulai saat itulah Orba tumbang bersama Presiden Soeharto yang
sempat berkuasa selama 32 tahun.
4. Rentang Waktu 1998-sekarang
Pada tanggal 21 Mei 1998, karena desakan demonstran yang terjadi di mana-
mana, Presiden Soeharto mengundurkan diri, dan digantikan oleh Wakil Presiden Dr. Ir.
B.J. Habibie. Reformasi melahirkan Demokrasi Reformasi, yang berakar pada
kekuasaan multi partai, yang bermaksud untuk mengembalikan perimbangan kekuatan
antar lembaga, antara ekskutif, yudikatif, dan legislatif. Peran partai menjadi menonjol,
sehingga nafas demokrasi yang sudah lama dimatisurikan, kembali dapat bernafas lebih
lega. Tanggal 7 Juni 1999 diadakan Pemilu multi partai (diikuti 48 partai politik), yang
dianggap sebagai pemilu paling awal yang jujur dan adil, jika dibandingkan dengan
pemilu sebelumnya, yang melahirkan partai besar seperti: PDIP, GOLKAR, PPP, PKB,
PAN, dan PBB.
Setelah menghasilkan pemilu yang dinyatakan lebih demokratis, dilaksanakan
Sidang Umum MPR Republik Indonesia pada bulan Oktober 1999. Di dalam sidang itu

61
terpilih Ketua MPR-RI untuk periode 1999-2004 Dr. Amin Rais (PAN), seorang yang
mendapat julukan lokomotif reformasi, dan sekaligus pemilihan Ketua DPR-RI, yang
kemudian terpilih Ir. Akbar Tanjung (GOLKAR).
Pada tanggal 20 Oktober 1999, MPR-RI mengadakan pemilihan presiden RI
dengan pemungutan suara atau voting. Pemilihan tersebut menghasilkan K.H.
Abdurahman Wahid terpilih sebagai presiden RI dengan memperoleh jumlah suara 373,
dan Wakil Presiden terpilih Megawati Soekarno Putri dengan memperoleh jumlah suara
313, masing-masing untuk periode jabatan 1999-2004. Pelantikan Presiden dan wakil
Presiden dilaksanakan tanggal 30 Otober 1999.
Pada tanggal 23 Juli 2001, MPR-RI mengadakan sidang untuk mengadakan
pemilihan presiden dan wakil presiden yang baru. Hasilnya terpilih Megawati Soekarno
Putri sebagai Presiden RI, dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden RI untuk periode
jabatan 2001-2004. Pemilihan ini dilakukan sebelum kepemimpinan Presiden K.H.
Abdurahman Wahid habis, karena dinilai banyak melakukan tindakan kontradiktif dan
kontraproduktif (penghapusan beberapa departemen) terhadap jalannya agenda
reformasi. Kasus yang salah satunya dianggap besar kontribusinya terhadap penurunan
presiden, adalah isu Buloggate yang menyeret nama presiden.
Pemilu Langsung, Pemilihan presiden melalui pemilu secara langsung
dilaksanakan tahun 2004, dengan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Wakil Presiden Yusuf Kalla. Walaupun kestabilan dianggap lebih mantap, masa-masa
awal reformasi ditandai oleh berkembangnya kebebasan sipil dan politik di satu sisi,
serta berbagai reformasi terbatas ke arah pasar bebas. Menurut Vedi R. Hadiz (2005) di
Indonesia terwujudnya demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas, hanyalah soal waktu
saja. Sementara itu gelombang reformasi ternyata tidak cukup untuk menyapu bersih
kelompok-kelompok dominan “eks” Orde Baru. Bahkan kelompok-kelompok ini
mampu menyesuaikan diri terhadap logika reformasi. Melalui kerangka kelembagaan
baru di era reformasi ini yakni partai politik, pemilu parlemen, dan desentralisasi
pemerintahan, kelompok-kelompok dominan dengan cepat melakukan penataan diri
kembali dan tetap memiliki akses yang sangat kuat atas proses-proses ekonomi-politik
di Indonesia. Lebih dari itu, kehadiran lembaga-lembaga demokrasi ternyata tidak serta
merta diiringi oleh munculnya praktek politik yang lebih beradab, melainkan telah
ditandai oleh merajalelanya praktek politik uang, eksploitasi simbol-simbol identitas
melalui jalur etnis dan agama, serta kekerasan dan premanisme. Sementara itu
“perubahan” di bidang ekonomi tidak disertai munculnya rule of the law, transparansi,
dan akuntabilitas publik, melainkan justru menyuburkan praktek KKN gaya baru.
Menurut Sri Palupi (Kompas) di beberapa daerah, seperti Tangerang, Banten, Sulawesi
Selatan, NTB, dan Sumatera Barat masyarakat tengah dihadapkan pada meluasnya
busung lapar. Bahkan, dua hingga empat anak balita di 72 persen kabupaten di
Indonesia tengah menderita busung lapar. Di Kabupaten Bone misalnya, dalam dua
bulan terakhir jumlah anak yang menderita busung lapar meningkat 700 % dari 40 anak
menjadi 281 anak.
Tahun 2009, dilakukan pemilu secara langsung yang kedua, yang
dimenangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Wakil Presiden Boediono.
Pada masa ini peran partai semakin menonjol, sehingga demokrasi lebih lagi dapat

62
bernafas lega?. Jikalau esensi demokrasi tatkala pemilu memang demikian, namun
dalam pelaksanaannya setelah pemilu banyak kebijakan tidak mendasarkan pada
kepentingan rakyat, melainkan lebih ke arah pembagian kekuasaan antara presiden dan
partai politik dalam DPR.
Isu resuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II) kian menguat, karena
pengangkatan para menteri berkecenderungan balas jasa saat pemilu presiden, dan
bukan berdasar pada profesionalisme. Rencana Resuffle kabinet tak pelak (secara tidak
langsung) SBY mengakui jika di kabinetnya tidak mencerminkan amanat UUD 1945,
karena hanya mementingkan golongan atau kelompok tertentu. Solopos menyebutkan
kabar resuffle KIB II, akan dilaksanakan sebelum tanggal 20 Oktober 2011, dan
dikabarkan akan mengorbankan partai yang diajak berkoalisi, yang selama ini memang
disorot terus menerus. Saat ini dari personal 34 menteri KIB II, 19 menterinya di
antaranya berasal dari parpol. Dalam perombakan itu, SBY jelasnya tidak akan meminta
masukan dari parpol. Hasil evaluasi Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan
Pengendalian (UKP4) terhadap kinerja menteri telah dipegang presiden menjadi alasan
untuk melakukan perombakan. Jadi setelah banyak desakan dari berbagai pihak,
nampaknya SBY akan menindaklanjuti perombakan kabinetnya. Dengan kata lain
perkataan model demokrasi ekonomi era reformasi dewasa ini kurang mendasarkan
pada keadilan sosial (welfare state) bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara dengan
getolnya mengontrol moralitas warga negara, sementara korupsi, kemiskinan, kelaparan
dan pengangguran kian merajalela. DPR lantang bicara tentang moral, namun tidak
merasa bersalah dengan gajinya yang naik berlipat-lipat, dan studi bandingnya ke luar
negeri di saat beban hidup rakyat semakin berat.
Berbagai ujian terus menggerus demokrasi kepemimpinan Presiden SBY
dengan kurang berhasilnya pengusutan terhadap dugaan korupsi dan manipulasi
(Likuiditas Bank Century, Gayus, Nazaruddin), dan yang melibatkan beberapa
kementerian (Kemenpora, Kemenakertrans), menjadi contoh masih lemahnya
pengawasan Presiden terhadap para menterinya. Solopos 18 Agustus 2011 mengutip
kata Ketua PPATK (Yunus Husein), “bahwa Pusat Pengawasan dan Analisis Transaksi
Keuangan meyakini Muhammad Nasarudin tak sendiri dalam mengelapkan uang
negara. Dari 154 perusahaan yang terkait dengan perusahaan Nazaruddin, diduga juga
melibatkan banyak pihak. Dia enggak main sendiri, setahu saya 154 perusahaan yang
terkait sama dia. ”Sementara itu menurut Staf Ahli Presiden (Danil Sparingga),
memasuki tahun ketiga kepemimpinan, SBY akan mengubah gaya kepemimpinan.
Perubahan ini akan berpengaruh terhadap kinerja menteri, birokrat, gubernur hingga
bupati. Presiden SBY akan lebih cepat menggerakkan roda pemerintahan dalam sisa
waktu yang ada, dan menjadi penggerak para menterinya dibandingkan hanya
mengandalkan sistem. Langkah ini harus diikuti bupati maupun kepala daerah.
Penggantian menteri harus lebih baik dan kabinet harus mempunyai semangat baru.
Di bawah ini akan diulaskan beberapa tulisan dari kasus yang ditengarai
menyimpang dari amanat UUD 1945.
a. Selingkuh Politik Century, Masa depan Century. Kasus Century menjadi rancu
karena campur aduk pidana dengan perdata, politik, dan hukum. Ketika putusan
diambil, urgensinya adalah menyelamatkan perbankan Indonesia yang bisa di-rush

63
jika Century ditutup. Ini karena seluruh dunia memberi jaminan blanket quarantee,
kecuali Jusuf Kalla yang meyatakan biarkan saja Century bangkrut, yang lain tidak
akan terpengaruh. Arogansi Sri Mulyani sebagai Menkeu yang menyatakan tidak
kenal dan tidak tahu menahu Robert Tantular, yang malam ketika keputusan itu
diambil berada di satu gedung, merupakan dosa yang harus ditanggung akibatnya.
Seorang Menkeu terbaik, kok, bisa mengucurkan dana kepada bankir yang
dicurigai kriminal oleh Wakil Presiden. Namun, saat ini proses perselingkuhan
politik sudah demikian dahsatnya, sehingga terpetik berita Jusuf Kalla sedang
melamar Sri Mulyani menjadi duet calon presiden-wakil 2014, membendung
Aburizal Bakrie yang terbebani musibah Lapindo. Lamaran itu tak ada gunanya jika
Rafat memenangi gugatan di ICSID (Wibisono, C., Kompas: September 2011).
b. DPR Berkuasa soal Anggaran? Dalam Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 disebutkan,
“Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh
Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan pertimbangan
Dewan Perwakilan Daerah” Ketentuan ini mengandung makna, pertama, APBN
diajukan presiden dan tidak ada usulan inisiatif oleh DPR. Kedua, usulan presiden
dibahas bersama dengan DPR sehingga kedudukan keduanya seimbang, tak ada satu
pihak yang lebih kuat. Sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan APBN, presiden
pada Pasal 6 UU Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara menguasakan
kepada menteri keuangan, selaku pengelola fiskal/APBN, kemudian menguasakan
kepada menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran.
Sementara DPR, menurut UU Nomor 29 Tahun 2009 mengenai MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (MD 3), memiliki alat kelangkapan untuk membahas APBN yakni
komisi-komisi dan Badan Anggaran (Banggar). Dalam soal APBN, tugas komisi
adalah membahas RAPBN, menetapkan pendapatan negara dan alokasi anggaran,
serta menyampaikan kepada Banggar untuk sinkronisasi. Selanjutnya
menyempurnakan hasil sinkronisasi serta menyerahkan kembali kepada Banggar.
Sementara tugas Banggar adalah menetapkan kebijakan fiskal dan prioritas
anggaran, pendapatan negara, kemudian RUU APBN. Penetapan Banggar dilakukan
dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi. Disebutkan, Bangar hanya
membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan komisi dan anggota komisi
dalam Banggar harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi.
Dalam soal APBN, pemerintah berhak mengajukan dan membahasnya bersama DPR.
DPR punya hak membahas, menyetujui, dan menolak APBN. Dalam hal menyetujui,
persetujuan oleh DPR terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan
jenis belanja. Pasal 15 Ayat 3 UU No. 17/2003 menyatakan, perubahan RUU tentang
APBN dapat diusulkan DPR sepanjang tak mengakibatkan peningkatan defisit
anggaran. Itu beberapa ketentuan pokok dalam pengusulan, pembahasan, dan
penetapan APBN.
(Kelemahan penetapan APBN), ketentuan di atas menunjukkan Pertama,
usulan inisiatif APBN harus berasal dari pemerintah. Kedua, pembahasan di
Banggar dilakukan sesuai hasil komisi dan jika ada perubahan anggaran harus
dikembalikan ke komisi untuk kemudian difinalisasi kembali di Banggar. Ketiga,
pembahasan anggaran kementerian dan lembaga dengan komisi dilakukan dalam

64
rincian terbatas dan tak ada ketentuan yang mengharuskan pembahasan hingga
satuan tiga (anggaran rinci dalam unit eselon I menyangkut sub program dan sub
fungsi). Perubahan dalam anggaran juga ada batasannya, yakni tak melebihi defisit
yang diusulkan pemerintah.
Dalam praktik yang saya amati, masih ada berbagai kelemahan perencanaan
APBN. Pertama, munculnya pos-pos belanja di luar usulan pemerintah. Kedua,
pembahasan sangat rinci hingga satuan tiga hingga menyulitkan dan memperlambat
pembahasan, bahkan menyebabkan anggaran terlambat cair. Ketiga, disharmoni
antara hasil komisi dan Banggar sering menimbulkan ketegangan internal. Kenapa
terjadi penyimpangan ini? Sejak awal, pemerintah sering membiarkan DPR
mengambil inisiatif atas terciptanya pos belanja baru tanpa usulan pemerintah.
Pemerintah juga membiarkan pembahasan belanja transfer ke daerah langsung ke
Banggar tanpa melalui komisi terkait. Ini jelas bertentangan dengan ketentuan dalam
UU MD3. Sinkronisasi antara hasil pembahasan komisi dan Banggar serta sebaliknya
juga sering tak dkonfirmasi ulang sesuai ketentuan dalam UU MD3.
Kelemahan paling mencolok adalah dalam alokasi tambahan anggaran dari
hasil optimalisasi pendapatan negara. Munculnya Dana Percepatan Insfrastruktur
Darah (DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Insfrastruktur Daerah (DPPID)
diindikasikan melanggar ketentuan yang ada karena tak diusulkan pemerintah dan
tak dibawa ke sidang komisi. Meski ada sumpah jabatan DPR untuk
memperjuangkan daerah pemilihan, alokasi sangat subyektif dan sering tak sesuai
dengan prioritas tujuan kesejahteraan rakyat nasional. Alasan yang sering
diungkapkan adalah keterbatasan waktu pembahasan. Padahal dimungkinkan
ketentuan rincian anggaran ditetapkan setelah UU APBN disahkan di rapat paripurna
akhir Oktober. UU MD3 membatasi kewenangan Banggar dalam penetapan
anggaran. Meski dibatasi, sampai sekarang Banggar masih mempunyai kelemahan
dalam tata kerjanya. Memperbaiki kelemahan-kelemahan dalam penetapan dan
pembahasan APBN adalah awal dari upaya pemberantasan korupsi.
Sudah saatnya DPR dan pemerintah betindak disiplin dan tegas menerapkan
jadwal, mekanisme ketentuan yang ditetapkan dalam UU keuangan negara, UU
MD3, dan peraturan DPR. Tugas pemerintah memberantas praktik korupsi dalam
pelaksanaan anggaran yang juga tak kalah rawan. Kongkalingkong, arisan, dan
pengaturan tender masih terjadi.
Suap-menyuap dan penyelewengan pelaksanaan kegiatan anggaran juga
dijumpai. Belum lagi banyaknya hambatan pelaksanaan proyek yang belum
ditangani, keterlambatan, dan rendahnya kualitas proyek di banyak tempat.
Terkuaknya kasus wisma atlet dan dana DPID di Kemenakertrans hendaknya jadi
awal upaya pemberantasan mafia anggaran yang melibatkan oknum pemerintah pusat
dan daerah, DPR, serta kontraktor. Yang paling urgen, memperbaiki mekanisme
pengusulan, pembahasan, dan penetapan anggaran (APBN) oleh DPR dan
pemerintah serta dalam pelaksanaan anggaran. Namun, selama akar masalah
pembiayaan parpol dan pilkada belum dituntaskan, peluang (anggota) DPR menjadi
mesin uang parpol terus terbuka (Abimanyu: Kompas, September 2011).

65
c. Mafia (Badan) Anggaran. Setelah pemanggilan keempat unsur pimpinan Badan
Anggaran DPR oleh KPK, publik dikejutkan oleh aksi boikot pembahasan anggaran
oleh badan ini. Alih-alih membenahi mekanisme pembahasan anggaran, pimpinan
Badan Anggaran DPR malah menyerahkan pembahasan anggaran kepada pimpinan
DPR. DPR memiliki otoritas mengubah ataupun menolak usulan anggaran ekskutif.
Namun, DPR tidak memiliki kapasitas memadai untuk mengusulkan alternatif
anggaran sendiri. Ditambah biaya politik tinggi untuk menghidupi partai politik,
fungsi anggaran DPR terjebak pragmatisme “kejar setoran” dengan memburu rente
anggaran.
Sudah tepat KPK memeriksa pimpinan Badan Anggaran DPR. Terkait suap di
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Terjadinya praktik mafia anggaran
harus dlihat dari hasil kebijakan anggaran yang diputuskan Badan Anggaran DPR.
Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), yang baru dialoksikan
pada APBN Perubahan 2011, adalah sumber terjadinya kasus ini. Banggar tidak
memiliki kewenangan dan kapasitas teknis untuk menetapkan besaran alokasi dan
daerah yang memperoleh DPPID. Pasal 107 Ayat 2 UU Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD secara tegas membatasi diskresi Badan
anggaran DPR: hanya membahas alokasi yang sudah diputuskan oleh komisi.
Adapun DPPID diputuskan dalam rapat kerja Badan Anggaran DPR, dari hasil
optimalisasi pembahasan yang dilakukan. Sayang, Tata Tertib DPR tidak memiliki
pengaturan mekanisme pengalokasian anggaran hasil optimalisasi Badan Anggaran
DPR.
Banggar juga tak memiliki kapasitas teknis untuk menentukan alokasi dan
daerah yang memperoleh dana. Impikasinya dana ini justru mengacaukan sistem
dana perimbangan sebagai instrumen mengatasi kesenjangan antar daerah. Untuk
memperolehnya, kemampuan daerah melobbi adalah yang menentukan. Artinya
daerah harus menyetor atau memiliki kontraktor yang berani memberikan dana
talangaan untuk mengerjakan proyek. Pembahasan di DPR memang terbuka, tetapi
keputusan-keputusan informal justru terjadi secara tertutup dan luput dari perhatian
publik. Dalam kasus pembangunan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur yang
melibatkan anggota Panitia Anggaran, kenaikan anggaran, diputuskan di hotel.
Selain itu masih banyak rapat pada tingat panitia kerja Banggar DPR yang masih
bersifat tertutup, dibandingkan alat kelengkapan lain. Banggar tak pernah
mempublikasikan hasil rapatnya di situs web-DPR. Kita tidak menginginan Badan
Anggaran DPR dibubarkan atau fungsi DPR dilemahkan. Namun, kita juga tidak
menginginkan DPR serta Banggar DPR menjadi wadah mufakat jahat para mafia
yang menggerogoti anggaran rakyat (Farhan, Yuna. Kompas: September 2011).
Untuk menyelamatkan pilar demokrasi dan kebangsaan yang mengalami
penyimpangan, menurut Ketua Al-Maun Institute (Moeslim Abdurahman), tidak
cukup hanya berharap melalui Pendidikan Kewarganegaraan atau membangun
kesadaran bangsa sebagai komunitas imajinatif. Yang paling dibutuhkan sekarang
adalah perjuangan untuk memperoleh pekerjaan karena makin banyak orang makin
lapar, pendidikan makin mahal, rakyat sakit yang tidak kuat lagi membeli obat akibat
rendahnya upah dan pengangguran.

66
Rekontruksi makna kebangsaan dan demokrasi bagi rakyat sekarang,
sebenarnya cukup sederhana, yaitu menjadi orang Indonesia berarti dapat pekerjaan,
bisa menyekolahkan anak, dan kalau sakit dapat berobat. Persoalannya kini kita
mesti berkejar-kejaran dengan waktu. Persoalan makin menumpuk, kesenjangan
sosial yang melebar dan menghimpit rakyat kebanyakan yang berada dalam batas
kemiskinan, menimbulkan frustasi yang meruntuhkan mimpi bersama suatu bangsa.

67
BAB VII
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
(Pertemuan ke VII)

A. Pendahuluan

s
ebagai bukti yang nyata, bahwa semua orang diciptakan untuk sama, artinya
mereka dikaruniai oleh Pencipta, dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat
dicabut. Hak-hak dimaksud adalah: hidup, kebebasan dan kebahagiaan.
Thomas Jefferson menetapkan suatu prinsip dasar bagi berdirinya
pemerintahan demokratis. Pemerintah dalam iklim demokratis diciptakan
untuk melindungi kebebasan yang dimiliki oleh individu berdasarkan eksistensi individu
itu.
Dalam rumusan kebebasan oleh para filsuf jaman Pencerahan abad 17 dan 18, hak-hak
kebebasan: berbicara dan berpendapat, beragama dan berkeyakinan, berserikat dan hak
untuk mendapatkan perlindungan yang sama di depan hukum. Karena bebas dari
pemerintah, maka dalam pemerintahan demokratis hak-hak inti ini harus dijunjung tinggi
tidak dapat dihapus menurut undang-undang, ataupun tunduk pada hasil suara mayoritas.
Rumusan rinci undang-undang dan prosedur mengenai hak asasi manusia pastilah
bervariasi dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya, akan tetapi setiap demokrasi wajib
membangun struktur konstitusional, hukum dan sosial yang akan menjamin perlindungan
atas hak-hak itu.
Berbicara dan berpendapat, kebebasan berbicara dan berpendapat adalah darah
daging hidup setiap demokrasi. Berdebat dan memberikan suara, menjamin keadilan bagi
semua. Patrick Wilson dari Kanada pencipta serial televisi The Struggle for Democracy
mengamati, Demokrasi adalah komunikasi orang berbicara satu sama lain tentang masalah
bersama dan membentuk suatu nasib bersama, mereka harus bebas menyatakan pendapat
mereka. Warga suatu demokrasi, hidup dengan keyakinan bahwa melalui pertukaran
gagasan dan pendapat yang terbuka, kebenaran akhirnya akan menang dari kepalsuan,
nilai-nilai orang lain akan lebih dipahami, bidang-bidang mufakat akan dirinci dengan
jelas, dan jalan ke arah kemajuan terbuka.
Berlawanan dengan negara otoriter, negara demokratis tidak mengawasi, mendikte,
atau menilai isi tulisan atau ucapan orang. Demokrasi tergantung pada warga negara
yang berpendidikan dan berpengetahuan. Akses mereka pada informasi yang seluas-
luasnya memungkinkan mereka berperan penuh pada kehidupan umum masyarakat.
Kebodohan menimbulkan rasa apatis. Demokrasi tumbuh subur pada tenaga warga negara
yang ditunjang oleh arus gagasan, data, pendapat dan spekulasi yang tidak dihalangi.
Beragama dan berkeyakinan, Kebebasan beragama atau lebih luasnya berkeyakinan,
berarti tak seorang pun diwajibkan mengakui agama tertentu atau kepercayaan lain
manapun yang bertentangan dengan kehendaknya sendiri. Seterusnya tak seorang pun
boleh dihukum atau dipidana dengan cara apapun karena ia memilih agama tertentu bukan
yang lainnya, dan bahkan memilih tidak beragama sama sekali. Negara demokratis
mengakui, bahwa kepercayaan agama seseorang adalah benar-benar urusan pribadi. Di
dalam pengertian yang masih berkaitan, kebebasan beragama berarti tak seorang pun dapat

68
dipaksa oleh pemerintah untuk mengakui suatu agama atau kepercayaan resmi. Anak-anak
tidak dapat dipaksa pergi ke sekolah agama tertentu, dan tak seorang pun wajib menghadiri
ibadah agama tertentu, berdoa atau ikut dalam kegiatan keagamaan bertentangan dengan
kemauannya. Ada negara demokratis telah secara resmi menetapkan agama atau
kepercayaan tertentu dengan dukungan negara.
Berserikat, demokrasi bertumpu pada prinsip, bahwa pemerintah ada untuk melayani
rakyat; rakyat ada bukan untuk melayani kepentingan pemerintah. Dengan kata lain, bahwa
rakyat adalah warga suatu negara demokratis, bukan kawulanya. Negara melindungi hak-
hak warga negaranya, sebagai imbalannya warga negara memberikan kesetiaannya kepada
negara. Ketika warga negara berserikat untuk memberikan suaranya, mereka menjalankan
hak dan tanggung jawab mereka untuk menentukan siapa yang akan memerintah atas nama
mereka. Inti tindakan demokratis adalah partisipasinya aktif pilihan warga negara sendiri
dalam kehidupan umum masyarakat dan bangsa mereka. Tanpa partisipasi yang luas dan
menunjang ini, demokrasi akan mulai layu dan menjadi cagar hidup yang tidak berguna.
Dengan keterlibatan aktif individu di seluruh jajaran masyarakat, demokrasi dapat
menahan badai ekonomi dan politik yang dapat melanda masyarakat. Demokrasi tulis
Diane Ravitch: “adalah suatu proses, suatu cara hidup dan bekerja bersama. Sifatnya
berkembang (evolusioner), tidak statis, memerlukan kerjasama, mufakat dan toleransi di
antara seluruh warga negara. Membuatnya berjalan memang sulit, tidak mudah. Bebas
berarti mempunyai tanggung jawab, dan bukan bebas dari tanggung jawab.”
Persamaan di depan Hukum, Hak atas persamaan di depan hukum, atau
perlindungan yang sama oleh hukum sebagaimana sering disebut, adalah landasan pokok
bagi masyarakat yang adil dan demokratis. Kaya atau miskin, mayoritas etnik atau
minoritas agama, sekutu politik negara atau lawan-semuanya berhak atas perlindungan
yang sama di depan hukum. Ahli Hukum Konstitusi John P. Frank menulis, “Dalam
keadaan apa pun negara tidak boleh memaksakan ketidaksamaan tambahan; negara wajib
melayani secara rata dan sama seluruh rakyatnya.” Tak seorang pun berada di atas hukum
yang bagaimanapun, merupakan ciptaan rakyat, bukan sesuatu yang dipaksakan kepada
rakyat. Warga negara suatu demokrasi tunduk kepada hukum karena mereka mengakui
bahwa sekalipun tidak langsung, mereka menyerahkan diri sebagai pembuat undang-
undang itu.
Selanjutnya Frank mengatakan, dalam setiap masyarakat sepanjang sejarah, yang
menjalankan sistem peradilan pidana mempunyai kekuasaan yang berpotensi melakukan
penyalahgunaan dan menjadi tirani. Atas nama negara, banyak individu dipenjarakan, harta
mereka dirampas, dan mereka disiksa, diasingkan dan dihukum mati tanpa pernah dikenai
tuduhan resmi. Masyarakat demokratis tidak dapat menerima penyalahgunaan seperti itu.
Setiap negara harus mempunyai kekuasaan untuk memelihara ketertiban dan
menghukum tindak pidana, tapi aturan dan prosedur negara untuk melaksanakan undang-
undangnya harus terbuka dan jelas, tidak rahasia, sewenang-wenang atau tunduk pada
manipulasi politik oleh negara.
A. Sejarah Lahirnya HAM
1. Sejarah lahirnya HAM, dimulai saat para Baron Inggris dan Raja John Lackland
menandatangani dokumen di lapangan Runnymede, pada tahun 1215, yang
akhirnya ditandai sebagai tonggak sejarah dalam perkembangan konstitusional (USIA,

69
cdf1991: 12). Para baron itu sebelumnya merasa berang apa yang mereka pandang
sebagai penyalahgunaan undang-undang feodal tradisional oleh Raja. Undang-undang
itu telah memberi kepada mereka otonomi cukup besar dalam urusan mereka dengan
raja itu. Ketika Raja menolak tuntutan mereka, mereka mengangkat senjata dan
memaksanya menandatangani Magna Carta (Piagam Besar), yang berisi 63 pasal,
kebanyakan daftar hak yang terutama menguntungkan pemilik tanah dan gereja.
Meskipun demikian, sejumlah ketentuan-ketentuan kemudian berlaku bagi seluruh
rakyat Inggris; berbagai ketentuan lainnya menjadi dasar bagi sistem hukum negeri itu.
Magna Carta menyatakan misalnya, bahwa raja harus minta nasehat dan persetujuan
dari para baron dalam semua masalah penting kenegaraan termasuk pengenaan pajak.
Pada abad-abad berikutnya, ketentuan-ketentuan ini dipakai untuk menyatakan bahwa
undang-undang tidak boleh disahkan atau pajak dikenakan tanpa persetujuan dari badan
yang mewakili seluruh rakyat, yakni Parlemen.
2. Tahun 1628 ditandatangani Petition of Right, oleh Raja Charles I. Pada saat itu raja
berhadapan dengan utusan rakyat (House of Command). Piagam dan petisi ini antara
lain menyebutkan, bahwa raja yang semula memiliki kekuasaan absolut, artinya
menciptakan hukum, akan tetapi ia sendiri tidak terikat hukum, menjadi dibatasi
kekuasaannya, dan mulai diminta pertanggungjawabannya, di muka hukum. Dari
sinilah kemudian lahir adanya doktrin, raja sebetulnya tidak kebal hukum, dan
diharuskan bertanggungjawab kepada hukum.
3. Tahun 1689, ditandatangani Bill of Rights, oleh Raja Willem III, sebagai akibat dari
pergolakan politik yang cukup dahyat waktu itu, yang disebut sebagai The Glorius of
Revolution. Pada masa setelah ditandatanganinya piagam ini merupakan suatu usaha
yang berhasil dengan kemenangan parlemen atas raja, yang mengalir menjadi
kemenangan pergolakan rakyat yang menyertai pergolakan Bill of Rights yang
berlangsung 60 tahun (Asshiddiqie, 2006: 86).
4. Pada 4 Juli 1776, puncak sejarah perkembangan HAM terjadi tatkala dilakukan
perumusan secara resmi Human Rights, dalam Declaration of Independence Amerika
Serikat. Salah satu isi deklarasi tersebut menggariskan bahwa umat manusia telah
dikaruniai oleh Tuhan beberapa hak yang tetap dan melekat padanya dan tidak dapat
diganggu gugat. Perumusan hak-hak manusia secara resmi kemudian menjadi dasar
pokok konstitusi Amerika Serikat, yang mulai berlaku 4 Maret 1789 (Hardjowirogo,
1977: 43).
5. Pada tahun 1789, dilahirkan The French Declaration, di mana hak-hak asasi manusia
digariskan secara lebih jelas dan rinci, yang kemudian menghasilkan dasar-dasar negara
hukum atau The Rule of Law. Sebagian isi penting dasar-dasar ini antara lain digariskan
bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk
ditangkap tanpa alasan yang sah atau ditahan tanpa surat perintah, yang dikeluarkan
oleh pejabat yang sah. Di dalamnya juga dinyatakan pula asas presumtion of innocence,
yaitu bahwa orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak
dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum
yang menyatakan ia bersalah. Kemudian dipertegas lagi asas freedom of expression
(kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (kebebasa beragama atau
berkeyakinan), dan The right of Property (perlindungan hak milik).

70
Dua deklarasi hak-hak manusia disetujui di musim panas dan musim gugur tahun 1989
hanya terpaut kurang dari satu bulan. (1) Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara
Perancis pada 26 Agustus (The French of Declaration-Musim Panas), dan (2) Deklarasi
Pernyataan Hak Asasi Manusia Amerika (Bill of Rights-Musim Gugur) pada 25 September
(USIA, 1991: 20).
Hubungan Perancis dan Amerika pada awalnya rumit dan bukan tanpa ironi. Pada masa
Revolusi Amerika tahun 1776, Perancis adalah pusat pemikiran dan sekaligus kediaman
Monarkhi Eropa yang paling berkuasa, Dinasti Bourbon, dengan istananya yang megah di
Versailles. Perancis membentuk persekutuan militer dengan koloni-koloni Amerika untuk
mengalahkan musuh bersama mereka, Inggris. Satu dasawarsa kemudian, Amerika dengan
bersemangat mendukung babak pembukaan Revolusi Perancis-pertemuan-pertemuan
jenderal-jenderal negara, penyerbuan terhadap penjara Bastile dan pembentukan Majelis
Nasional. Tapi semangat itu berhenti dengan dilaksanakannya hukuman mati terhadap
Louis XVI dan datangnya Pemerintahan Teror. Pemerintahan Federalis Amerika yang
konservatif di Washington muak dengan kekerasan itu: “Gigi-gigi naga telah ditebarkan di
Perancis dan menjadi momok,” ucap presiden kedua Amerika Serikat, John Adams.
Oposisi politik yang baru muncul di Amerika Serikat pimpinan Thomas Jefferson tetap
mendukung republikanisme Perancis, “Ini sekedar satu bab dalam sejarah kebebasan
Eropa,” tulis Jefferson. Dalam suratnya kepada Jefferson tokoh Pencerahan Perancis Ny.
D’Houdetot menulis: “Perbedaan khas antara revolusi Anda dan revolusi kami adalah
karena Anda tidak mempunyai sesuatu yang harus dihancurkan, Anda tidak perlu melukai
sesuatu.” Revolusi mereka memang berbeda secara dramatis, tapi dalam Bill of Rights dan
Deklarasi Hak Manusia, Perancis dan Amerika menghasilkan penegasan yang langgeng
atas hak-hak individu yang terus bergema selama bertahun-tahun.
C. Pengertian HAM
Hak asasi manusia menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, adalah hak yang melekat
pada kemanusiaan, yang tanpa hak itu mustahil manusia hidup sebagaimana layaknya
manusia. Dengan demikian eksistensi hak asasi manusia dipandang sebagai aksioma yang
bersifat given, dalam arti kebenarannya seyogianya dapat dirasakan secara langsung dan
tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (Anhar Gonggong, dkk., 1995: 60).
D. Masalah HAM
Masalah HAM merupakan masalah yang kompleks, setidak-tidaknya ada tiga masalah
utama yang harus dicermati dalam membahas masalah HAM, antara lain:
1. HAM merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena:
a. Topik HAM, merupakan salah satu di antara tiga masalah utama yang menjadi
keprihatinan dunia. Ketiga topik yang memprihatinkan itu antara lain: HAM,
demokratisasi, dan pelestarian lingkungan hidup.
b. Isu HAM, selalu diangkat oleh media massa setiap bulan Desember sebagai
peringatan diterimanya Piagam Hak Asasi Manusia oleh Sidang Umum PBB
tanggal 10 Desember 1948.
c. Masalah HAM, secara khusus kadang dikaitkan dengan hubungan bilateral antara
negara donor dan penerima bantuan. Isu HAM sering dijadikan alasan untuk
penekanan secara ekonomis dan politis.

71
2. Kedua, HAM sarat dengan masalah tarik ulur antara paham universalisme dan
partikularisme. Paham universalisme menganggap HAM itu ukurannya bersifat
universal diterapkan di semua penjuru dunia. Sementara paham partikularisme
memandang bahwa setiap bangsa memiliki persepsi yang khas tentang HAM sesuai
dengan latar belakang historis kulturalnya, sehingga setiap bangsa dibenarkan memiliki
ukuran dan kriteria tersendiri.
3. Ketiga, Ada tiga tataran diskusi tentang HAM, yaitu:
a. Tataran filosofis, yang melihat HAM sebagai prinsip moral umum dan berlaku
universal karena menyangkut ciri kemanusiaan yang paling asasi.
b. Tataran ideologis, yang melihat HAM dalam kaitannya dengan hak-hak
kewarganegaraan, sifatnya partikular, karena terkait dengan bangsa atau negara
tertentu.
c. Tataran kebijakan praktis sifatnya sangat partikular karena memperhatikan
situasi dan kondisi yang sifatnya insidental.
E. Pandangan bangsa Indonesia tentang Hak asasi manusia.
Dapat ditinjau/dilacak dalam Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh UUD 1945, Tap-
Tap MPR dan Undang-undang. Hak asasi manusia dalam Pembukaan UUD 1945 masih
bersifat sangat umum, uraian lebih rinci dijabarkan dalam Batang Tubuh UUD 1945,
antara lain:
1. Hak atas kewarganegaraan (pasal 26 ayat 1, 2);
2. Hak kebebasan beragama (Pasal 29 ayat 2);
3. Hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
4. Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28);
5. Hak atas pendidikan (Pasal 31 ayat 1, 2);
6. Hak atas kesejahteraan sosial (Pasal 27 ayat 2, Pasal 33 ayat 3, Pasal 34).
F. Catatan penting berkaitan dengan masalah HAM dalam UUD 1945, antara lain:
1. UUD 1945 dibuat sebelum dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, sehingga tidak secara eksplisit menyebut Hak
asasi manusia, namun yang disebut-sebut adalah hak-hak warga negara.
2. Mengingat UUD 1945 tidak mengatur ketentuan HAM sebanyak pengaturan konstitusi
RIS dan UUDS 1950, namun mendelegasikan pengaturannya dalam bentuk Undang-
undang yang diserahkan kepada DPR dan Presiden.
Masalah HAM juga diatur dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia. Tap MPR ini memuat Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap
Hak Asasi Manusia serta Piagam Hak Asasi Manusia. Pada bagian pandangan dan sikap
bangsa Indonesia terhadap hak asasi manusia, terdiri dari pendahuluan, landasan, sejarah,
pendekatan dan substansi, serta pemahaman hak asasi manusia bagi bangsa Indonesia.
G. Pada bagian Piagam Hak Asasi Manusia terdiri dari pembukaan dan batang tubuh
yang terdiri dari 10 bab 44 pasal. Pada pasal-pasal Piagam HAM ini diatur secara
eksplisit antara lain:
1. Hak untuk hidup;
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3. Hak mengembangkan diri;
4. Hak keadilan;

72
5. Hak kemerdekaan;
6. Hak atas kebebasan informasi;
7. Hak keamanan;
8. Hak kesejahteraan;
9. Kewajiban menghormati hak orang lain dan kewajiban membela negara;
10. Hak perlindungan dan pemajuan.
Catatan penting tentang ketetapan MPR tentang HAM ini adalah Tap ini merupakan
upaya penjabaran lebih lanjut tentang HAM yang bersumber pada UUD 1945 dengan
mempertimbangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.
H. Kasus di Indonesia (Gagalnya Penegakan Hukum dan HAM).
1. Gagalnya Penegakan Hukum dan HAM, (Herlambang Perdana. Kompas: September
2011).
Di bawah ini akan diulaskan tulisan Harian Kompas yang berkaitan dengan
Penegakan Hukum, dan HAM di Indonesia. “Ketiadaan komitmen politik yang kuat dari
pemerintah melakukan perubahan – menjadi lebih maju – merupakan alasan kegagalan
pemerintahan SBY menegakkan pemerintahan berdasar Hukum dan HAM. Inilah
kesimpulan dalam konferensi yang diselenggarakan Serikat Pengajar dan Peneliti HAM
(Sepaham) seluruh Indonesia di Surabaya, Jawa Timur, 20-21 September 2011. Peserta
datang dari sejumlah kampus, dari Aceh hingga Papua. Mereka menyajikan hasil riset
dan pemikiran secara paralel; mengungkapkan keprihatinan betapa hukum dan HAM
hanya permainan politik, bukan mandat untuk menjalankan konstitusi. Konferensi
seperti peradilan rakyat tatkala hampir semua pengajar dan peneliti dalam presentasi
melancarkan kritik tajam atas berbagai kebijakan, peraturan, penegakan hukum, dan -
vonis- yang meragukan komitmen politik pemerintah hari ini.
Nilai Komitmen, Penegakan pemerintah berdasarkan hukum bukan sekedar
penegakan hukum, melainkan upaya negara membangun sistem hukum yang bekerja
secara berkeadilan, tanpa diskriminasi, dan menjangkau seluruh struktur politik
ketatanegaraan untuk menjamin hak dasar warga negara. Ada sejumlah palang pintu
dalam penegakan hukum pemerintah berdasarkan hukum dan HAM. Pertama, hukum
dan penegakannya telah terlalu jauh memasuki pusaran kekuasaan politik ekonomi. Tak
usah menyaksikan lunaknya penyelesaian hukum sejumlah kasus korupsi yang
melibatkan pejabat, petinggi politik, dan pemilik modal. Berlikunya penyelesaian kasus
Century dan kasus Lapindo adalah contoh soal. Kedua, pemerintah tidak saja
melakukan pembiaran, teapi terlibat dalam konflik dan kekerasan. Ini yang membuat
hak-hak dasar warga negara, tegasnya hak atas rasa aman, terancam. Kasus kekerasan
terhadap warga Ahmadiyah disertai perusakan tempat ibadah, rumah, dan sekolah
membuktikan betapa kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak yang sama
sekali tak boleh dikurangi begitu gampang dilanggar. Ketiga, pelanggaran impunitas.
Pelaku kejahatan HAM sistematik dan terencana justru dibebaskan. Proses hukumnya
dibiarkan mengambang. Pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief soal tuntasnya kasus
pembunuhan aktivis HAM, Munir, (Kompas 7/9) mengindikasikan fakta betapa
kuatnya kebijakan impunitas (kebebasan dari jerat hukum). Keempat, melemahnya
fungsi-fungsi protektif kelembagaan negara; tersumbatnya aspirasi politik warga negara
melalui parlemen, masih dominannya praktek mafia peradilan, dan ketidakberpihakan

73
pemerintah atas hajat hidup orang banyak. Sayangnya, Komnas HAM sebagai lembaga
independen yang diharapkan progresif dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM
justru terjebak dalam situasi ini sehingga perannya pun terlihat kurang lugas dan berani
membongkar akar kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi. Kelima, terpasungnya
kebebasan pers. Pers telah secara dominan dikendalikan pemilik media yang
berkepentingan atas kuasa politik, baik di level nasional maupun lokal. Pekerja pers
juga kerap mendapat ancaman, bahkan aksi kekerasan tanpa ada pertanggungjawaban
dari pelaku. Indikasi ini dikuatkan oleh laporan Reporters Sans Frontieres yang
menempatkan Indonesia di posisi terburuk sejak 2002, yakni di peringkat ke-117 pada
2010. Kelima palang pintu, dalam kerangka analisis rule of law (Bedner, 2010),
merupakan pengingkaran elemen-elemen substantif yang jelas sangat berbahaya bagi
masa depan hukum dan HAM. Boleh dikata, secara ketatanegaraan telah rapuh untuk
bangunan sistem politiknya, disertai begitu rendahnya kadar konstitusionalisme
Indonesia di tangan pemerintah. Ironisnya, SBY terkesan sangat tak berdaya melawan
permasalahan hukum dan HAM yang mendera ini.
Peran Kampus, yang mengejutkan, kenyataan palang pintu penegakan rule of
law dan HAM yang demikian itu diperpuruk keinginan sejumlah kampus, terutama
fakultas hukum, yang menghapus mata kuliah HAM dari daftar kurikulum. Belum jelas
apa alasannya, tetapi keinginan ini terendus dari sejumlah dokumen penyusunan
kurikulum nasional, yang semata-mata lebih mementingkan mata kuliah yang ramah
terhadap kepentingan pasar. Ini menunjukkan lemahnya komitmen, lemahnya komitmen
juga ditunjukkan perguruan tinggi, yang kian memperlihatkan gejala komersialisasi dan
pragmatisme. Bahayanya, kampus sekadar mampu mencetak – tukang-tukang yang
mahir – menerapkan pasal-pasal atau pasalistik, sementara ajaran rule of law dan HAM
manusia kian menjauh dari upaya pembelaan akademisi kampus atas situasi sosial
politik kebangsaan. Apalagi legitimasi kampus dan akademisi kerap dituding justru
masuk dalam arus besar legalisasi yang melanggar HAM. Disadari atau tidak, tak
sedikit kampus atau individu akademisi yang melacurkan pengetahuan dan keilmuan
untuk mengeruk keuntungan di tengah karut marut penegakan hukum. Sampai jelas,
persoalan penegakan hukum dan HAM masih merupakan agenda besar dan panjang
bagi bangsa Indonesia. Kita perlu terus menerus mengingatkan penyelenggara negara
agar menunjukkan komitmen untuk memindahkan – rel – politik hukumnya kembali ke
jalur yang lebih konstitusionalisme Indonesia yang lebih menghormat, melindungi, dan
memenuhi HAM, (Herlambang Perdana. Kompas: September 2011).
2. Hak Asasi Ajaran Pokok Islam (Republika: Hafid Multisany, Jum’at 5 Desember
2014)
Konsep dasar hak asasi manusia sudah diatur Islam sejak 14 abad silam. Dunia
melakukan refleksi setiap penanda tanggal berhenti di angka 10 bulan Desember. Hari
itu, orang-orang merayakan apa yang mereka sebut Hari Hak Asasi Manusia (HAM)
Sedunia. Tanggal 10 Desember dipilih menjadi Hari HAM Sedunia setelah Majelis
Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember
1948.
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr H Hasanudin AF
mengatakan, Islam sejatinya telah mengungkapkan konsep HAM sebelum Hari HAM

74
Sedunia diketok di New York. Banyak masyarakat lupa Islam telah membahas,
memperhatikan, dan menjunjung HAM sejak 14 – 15 abad lalu. Islam pun telah
mengatur lima hak dasar yang kini dikenal sebagai HAM. “Namun, ada yang harus
diingat bahwa Islam mengajarkan hak harus selalu dibarengi dengan kewajiban dari hak
itu,” jelas Hasanudin.
Ia menyebutkan, lima hak dasar tersebut terdiri atas: Pertama, hak untuk
beragama dan berkewajiban membela agamanya sampai mati. Kedua, hak untuk hidup
sebagai manusia dan memiliki kewajiban untuk menghargai hak manusia lainnya untuk
hidup. Karena hanya Tuhan yang memiliki hak untuk mencabut nyawa manusia, bukan
manusia.
Ketiga, hak untuk mempertahankan dan mengembangkan akal, sedangkan
kewajibannya adalah menghargai akal yang diberikan oleh Tuhan, tidak dirusak atau
pun merusaknya. Baik akal milik sendiri maupun orang lain. Kemudian Keempat, hak
untuk menjadi keturunan dan memiliki keturunan. Kewajibannya, menjaga keluarga dan
keturunannya dengan baik. Tidak menyiakan dan berlaku kasar terhadap keturunannya.
Terakhir Kelima, hak memperoleh dan mempertahankan harta dan kewajibannya, yakni
mencari harta dengan legal, tidak merampas harta milik lainnya.
Hak dasar itulah sebagai bukti bahwa hak yang dipahami Islam sangat luas,
lengkap, dan adil. Sedangkan HAM yang saat ini dipahami oleh banyak orang hanya
sebagian kecilnya. Fenomena yang terjadi saat ini manusia fokus pada pemenuhan
haknya saja dan mengabaikan hak Tuhan. Padahal, Tuhan yang memberikan hak itu
untuk manusia dan untuk memberikan keselamatan untuk ciptaannya.
Hal itu disebabkan pemahaman Islam terkait HAM di masyarakat telah
terkontaminasi oleh pemikiran Barat yang hanya untuk bersenang-senang serta
menganggap hukum dan aturan sebagai pelanggaran HAM. Padahal, hukum dan aturan
itu ada dan dibuat untuk menyempurnakan serta melindungi hak itu sendiri. Jika hanya
ingin memenangkan hak diri sendiri dan merasa hanya dia yang pantas hidup serta tidak
ingin ada hukum serta peraturan hidup, hidup saja di hutan.
Memahami HAM dalam ajaran Islam harus dimulai dari pendidikan dan
pembinaan di dalam rumah, tempat pertama akidah terbangun dalam pribadi umat.
Kekacaubalauan akan terus terjadi kalau kerancuan berpikir itu masih terus berlanjut.
HAM dalam hukum Islam merupakan yang paling jelas dan nyata. Bahkan,
mendapatkan tempat dalam kitab suci umat Islam. Sebenarnya HAM sudah diturunkan
terlebih dahulu dalam kitab-kitab Allah, yakni dari Zabur, Taurat, Injil dan
disempurnakanlah dalam Al-Qur’an.
Selain membicarakan HAM, Islampun membahas kewajiban sebagai
penyeimbang di antara keduanya. Selain itu, keduanya merupakan filosofis dasar-dasar
Islam. Terkait dengan kesetaraan Islam pun sudah mencontohkannya di dalam masjid.
Tidak ada perbedaan di antara hamba-Nya. Yang datang terlebih dahulu, siapapun dia,
bisa menempati shaf pertama dan tidak harus pejabat maupun fakir.
Sebenarnya, HAM yang dipahami saat ini merupakan bagian-bagian dari
pemikiran Islam. Seingga, tidak benar jika mengatakan Islam sebagai penghalang dan
keterbatasan HAM. Justru adanya kewajiban sebagai pendamping hak menjadi milik
semua umat. Kesadaran agama yang menjadi pembeda antara HAM secara universal

75
dan dalam pemahaman Islam. Orang yang beragama akan mengetahui dan menyadari
bahwa aturan dan hukum dibuat untuk keselamatan dirinya. Sedangkan, yang tidak
lurus dengan agamanya akan sesuai juga dengan tindakannya.
Islam jangan dikotomikan dengan prinsip universal HAM, karena nlai-nilai Islam
itu universal. Namun, yang menjadi masalah adalah implementasi dari nilai-nilai
universal itu. Setiap sistem dan kondisi-kondisi, seperti politik, sosial, ekonomi, dan
budaya menyebabkan nilai-nilai universal itu tidak dapat terekspresi sesuai dengan
perkembangan sejarah di masing-masing sosial antarnegara.
Ada bangsa-bangsa yang menolak universalitas HAM, seperti Amerika Latin yang
berpaham sosialistis, dan marxistis. Selain itu ada negara-negara Cina dan sekutu-
sekutu dekatnya yang sudah jadi liberal secara ekonomi, tapi tidak menerima ide
liberalisme politik dan negara-negara OKI yang berusaha tetap berada di tengah.
Namun, prinsipnya tetap tidak mengikuti logika Barat yang liberal.
Namun, apabila ditelususri masing-masing mempunyai kepentingan politik
sendiri-sendiri di luar urusan murni tentang kemanusiaan yang universal. Bahkan, ada
yang menjadikan HAM untuk kepentingan politik semata. Namun, hal itu berbeda
dengan Islam sebagai ajaran dan tidak bisa dipertentangkan dengan idea-idea universal.
Bahkan, ada yang menjadikan HAM untuk kepentingan politik semata. Namun, hal itu
berbeda dengan Islam sebagai ajaran dan tidak bisa dipertentangkan dengan idea-idea
universal tentang HAM.
Khususnya Indonesia telah memutuskan untuk mengadopsinya menjadi materi
pokok dalam UUD 1945, melalui perubahan kedua pada 2000. Islam harus dipandang
sebagai sumber nilai-nilai universal untuk perdamaian umat manusia seluruhnya.
3. Menuntut Keadilan (Republika: Hanan Putra, Juma’t 5 Desember 2014)
Hak Islam masih banyak dipasung haknya di negara pengusung HAM. Isu
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang menjadikan umat Islam sebagai obyek
masih saja terjadi. Komisioner Komnas HAM, Manager Nasution mengatakan, secara
umum ada tiga bentuk pelanggaran HAM yang masih dialami umat Islam di berbagai
belahan dunia.
Pertama, hak atas kemerdekaan dari penjajahan, seperti yang dialami Palestina.
Kedua, hak kebebasan beragama, seperti kurang terpenuhinya hak Muslimah untuk
berjilbab, kesulitan membangun rumah ibadah, dan hak-hak dasar beragama lainnya di
beberapa negara di Barat dan Eropa. Ketiga, hak atas politik, yakni terjadinya
diskriminasi politik terhadap umat Islam. Sekadar contoh, berapa jabatan publik
setingkat menteri, apa ada yang diberikan kepada umat Islam di Barat dan Eropa.
Ada kecenderungan Barat dan Eropa menerapkan standar ganda dalam menilai
penegakan dan pemajuan HAM di negara lain. Barat yang mendengung-dengungkan
persoalan HAM, sebenarnya belum begitu baik menjalankan HAM itu sendiri.
Buktinya, di tempat mereka sendiri masih banyak persoalan HAM yang
mendiskriminasikan umat Islam.
Kalau mau jujur, Eropa dan Barat sejatinya perlu belajar HAM di Indonesia.
Misalnya, soal penghormatan terhadap hari kebesaran keagamaan. Ada sekitar 20 hari
besar di Indonesia yang mayoritasnya merupakan hari besar keagamaan. Tidak hanya
Islam, tetapi juga semua agama.

76
Di bidang politik, sejak dulu Indonesia sudah berbagi dengan semua agama dan
etnis. Inilah yang tidak ditemukan di Barat yang katanya menjunjung tinggi nilai HAM.
Apakah ini ditemukan di Barat dan Eropa. Di Indonesia sendiri proses advokasi
penyelesaian HAM umat Islam masih menempuh jalan panjang. Masih banyak yang
harus dilakukan untuk pemenuhan HAM di Indonesia. Negara harus hadir dan
menegakkan hukum kepada siapa pun, tanpa pandang bulu. Hukum tidak boleh tajam
ke bawah, tumpul ke atas.
Kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di zaman dahulu harus diselesaikan
oleh pemerintah sekarang. Satu hal yang harus dicamkan oleh bangsa ini, terutama
pemerintahan Jokowi-JK yang punya modal sosial. Tuntaskan semua pelanggaran HAM
berat masa lalu. Jangan wariskan masalah ini kepada generasi bangsa ini. Kasus-kasus
pelanggaran HAM yang pernah terjadi itu tidak akan kedaluwarsa, tetapi tetap hangat
untuk dibahas dan diselesaikan. Jika tidak tuntas sekarang, itu akan menjadi warisan
rejim berikutnya.
Hal yang sama juga dilontarkan oleh mantan ketua MK, Mahfud MD.
Menurutnya kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu akan terus
menghantui bangsa Indonesia selama tidak diselesaikan secara baik. Kita punya sejarah
pelanggaran HAM berat itu di masa lalu. Itu juga menjadi beban kita saat ini. Seperti
kasus Talang Sari, Tanjung Priok, dan lain sebagainya. Saat ini rakyat Indonesia patut
bergembira dan bersyukur, karena tidak ada lagi pelanggaran HAM berat yang terjadi.
Kendati demikian, kasus-kasus pada era Orde Lama dan Orde Baru yang pernah terjadi
harus diselesaikan.
Sebagian pihak yang merasa didholimi dan korban pelanggaran HAM dahulu
akan terus mengguggat dan meminta keadilan. Mahfud menyebut, hal itu akan terus
turun menurun kepada anak cucunya untuk mengungkit-ungkit persoalan itu. Kasus
pelanggaran HAM di masa lalu itu harus diselesaikan. Bagaimanapun, itu akan selalu
diungkit terus.
Cara penyelesaiannya, dahulu sudah ada Undang-Undang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR), tetapi dibatalkan melalui keputusan MK. Tapi, sekarang kita bisa
mengusulkan agar undang-undang ini bisa digagas lagi. Undang-Undang KKR
dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu. MK menilai UU KKR itu
bertentangan dengan konstitusi. Meski begitu, MK tidak menghalangi penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu dengan cara rekonsiliasi, asalkan undang-undangnya tidak
melanggar konstitusi bisa digagas lagi. Menurut Mahfud, tidak ada salahnya untuk
mengesahkan kembali undang-undang ini.
Dahulu Indonesia selalu disebut sebagai negara yang mempunyai pelanggaran
HAM yang tinggi. Di zaman Orde Baru. Indonesia setiap tahun selalu saja tercatat
sebagai pelanggar HAM di PBB. Namun sekarang malah kasusnya terbalik. Jika dahulu
pelanggar HAM didalangi oleh aparat pemerintah yang menindas rakyat sipil, sekarang
malah kebalikannya. Ada kasus yang menyebut aparat yang ditindas oleh sipil. Di satu
sisi, ini menggambarkan bahwa sudah tidak ada lagi model pelanggaran HAM zaman
dahulu yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Pelanggaran HAM tidak haya terjadi di bumi Indonesia. Masyarakat dunia
khususnya umat Islam masih mengalami diskriminisasi dan pelanggaran HAM bahkan

77
sampai saat ini. Justru dalang pelanggar HAM adalah Barat yang katanya menjunjung
tinggi nilai HAM. Menurut Mahfud, kekuatan politik dan keamanan dikuasai oleh
Amerika. Ada ketidakadilan struktural yang saat ini dikuasai Amerika. PBB itu
didominasi oleh Amerika, jadi Amerika mempunyai pengaruh paling besar. Pertama,
karena PBB juga bermarkas di sana. Kemudian, Amerika juga mempunyai hak veto. Ini
kan menjadi dilema. Kalau kita menghapus hak veto, nanti kita di-veto.
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) KH Zakky Mubarok
mengatakan, banyak konspirasi Barat yang akan memecah belah umat Islam.
Diskriminasi dan pelanggaran HAM yang menjadikan umat Islam sebagai obyek bisa
saja sebagai jurus Barat untuk melemahkan kekuatan Islam. Menurutnya, umat Islam
harus memperlihatkan persatuan dan kekompakan ketika ada saudaranya yang ditindas.
Ini yang harus diwaspadai. Umat Islam harus cerdas. Jangan mudah dipecah belah.
Kalau kita mau saja terprovokasi, yang rugi itu kita sendiri. Umat Islam digambarkan
Rasulullah SAW, seperti satu batang tubuh. Jika satu anggota tubuh merasakan sakit,
seluruh tubuh akan merasakan dan turut peduli. Ketika ada umat Islam yang mengalami
pelanggaran HAM, di satu belahan bumi yang berjauhan, umat Islam yang ada di
tempat lain akan peduli dan menunjukkan solidaritasnya.

78
BAB VIII
KEPENDUDUKAN, DAN LINGKUNGAN HIDUP (I)
(Pertemuan ke VIII)

A. Pendahuluan
ndonesia, sebagai penduduk terbesar ke-empat setelah RRC (1,289.000.000 jiwa),

I
India (1,069.000.000 jiwa), United States (292.000.000 jiwa), Indonesia
220.000.000 jiwa) (World Population Data Sheet 2003), sangat merasakan betapa
beratnya himpitan-himpitan yang diakibatkan masalah kependudukan, kemerosotan
lingkungan, dan terbatasnya pertumbuhan fasilitas hidup yang semakin komplek.
Salah satu masalah kependudukan, yang cukup berat dirasakan, adalah
pertumbuhan penduduk yang pesat (1,6% tahun 2003), dan persebarannya yang tidak
merata ke seluruh bagian negara Indonesia. Di samping itu, Indonesia juga menghadapi
masalah urbanisasi ke kota-kota besar yang pada umumnya semakin tidak dapat
menyediakan kesempatan kerja yang memadai, dan kalau pun ada pada umumnya
kesempatan kerja yang ada, sifatnya kerja untuk yang tidak terdidik. Adapun perkiraan,
atau proyeksi data kependudukan dunia pada tahun 2025: China 1.454.700.000 jiwa; India
1.363.000.000 jiwa United States of America 351.100.000 jiwa; dan Indonesia 281.900.000
jiwa (World Population Data Sheet 2003).
Sensus Penduduk Indonesia, dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada
tanggal 1 Mei – 15 Juni 2010, dengan biaya 3.3 triliun (Rp. 14.000 per orang yang
dicacah/didata), dan mengerahkan tenaga pencacah sebanyak 700.000 orang. Pada sensus
tersebut, diajukan kepada kepala keluarga sejumlah 43 pertanyaan tentang: kondisi dan
fasilitas perumahan dan bangunan tempat tinggal, karakteristik rumah tangga dan
keterangan individu anggota rumah tangga.
Jumlah Penduduk Indonesia, menurut Hasil Sementara Sensus Penduduk 2010, adalah
sebesar 237.556.363 orang. Jumlah tersebut terdiri dari Penduduk Laki-laki sebesar
119.507.580 orang, dan Penduduk Wanita sebesar 118.048.783 orang. Laju pertumbuhan
penduduk sebesar 1,49 % per tahun. Kepadatan penduduknya rata-rata 124 per kilometer
persegi. Kepadatan penduduk terbesar untuk DKI Jakarta sebesar 4.400 jiwa per kilometer
persegi, dan terkecil di Papua Barat sebesar 8 jiwa per kilometer persegi. Penduduk
tersebar di Pulau Jawa sebesar 58 %, Pulau Sumatra sebesar 21 %, Pulau Sulawesi sebesar
7 %, Pulau Kalimantan sebesar 6 %, Pulau Bali dan Nusa Tenggara sebesar 6 %, Pulau
Papua dan Maluku sebesar 3 %, dan sisanya pulau-pulau kecil lainnya yang tersebar di
seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sementara itu, oleh karena pertumbuhan penduduk semakin besar, maka sudah dapat
dipastikan, bahwa pemakaian sumber daya alam dan lingkungan semakin pula
dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga di daerah-daerah tertentu terjadi kemerosotan
sumber daya alam dan lingkungan yang dapat membahayakan kehidupan manusia.
Kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan telah menjadi masalah, dan di masa
mendatang bahaya kerusakan dan kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan itu akan
tetap ada. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bertujuan:

79
1) menjaga kelestarian produktivitas sumber daya alam yang meliputi tanah, hutan, air
serta lautan;
2) menanggulangi kemerosotan lingkungan hidup.
Dalam usaha mencapai itu, maka dilaksanakan kegiatan-kegiatan pengawetan tanah,
dan air di areal produksi pertanian, reklamasi tanah kritis, pencegahan kerusakan pantai
dan pencegahan perusakan hutan. Pengelolaan sumber daya alam, dan lingkungan hidup,
perlu ditunjang dengan perangkat hukum yang memadai, serta aparatur pengelola sumber
daya alam, dan lingkungan hidup yang mantap, agar kegiatannya mempunyai landasan
hukum yang jelas, dan berhasil guna.
Kalau arah pertumbuhan penduduk dunia, industrialisasi, pencemaran, produksi
pangan, dan pemakaian sumber berjalan terus tanpa perubahan, batas-batas pertumbuhan di
planet kita ini akan muncul dalam waktu 100 tahun ke depan. Kemungkinan besar
akibatnya, adalah menurunnya penduduk dan kemampuan industri dengan mendadak tidak
terkendali. Arah kecenderungan-kecenderungan ini mungkin saja diubah, agar tercapai
lingkungan hidup dan ekonomi yang stabil, yang bisa dipertahankan sampai jauh di masa
datang. Keseimbangan dunia dapat dibuat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan kebendaan
setiap orang di atas dunia ini dapat dipuaskan, dan setiap orang dapat kesempatan yang
sama untuk mengembangkan bakatnya.
Menyadari, bahwa lingkungan hidup dunia punya batas-batas kuantitatif, dan apabila
melampaui batas, akan membawa akibat-akibat sangat buruk. Maka perlu langkah-langkah
pemikiran yang terus dikembangkan, untuk merubah tingkah laku manusia, dan seluruh
jaringan masyarakat, di manapun mereka tinggal sebagai warga negara. Masyarakat harus
tahu, dan memperhitungkan keterbatasan planetnya. Tekanan penduduk Indonesia masih
cukup tinggi, dan persebarannya tidak merata, sehingga masyarakat harus terdorong untuk
mencari keseimbangan di planet ini. Hal ini, mengingat sumber daya alam, dan lingkungan
hidup, yang sebagian besar tidak dapat pulih ketika sudah digunakan, dan semakin menipis
ketersediaannya. Tulisan ini diharapkan untuk memberikan pengarahan agar mahasiswa
lebih mempunyai kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta bertanggungjawab
tentang pengaruh timbal balik antara penduduk (dalam hal ini mahasiswa) dengan
lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Dasar diberikannya materi pada bab ini adalah, seperti yang tercantum di dalam UUD
1945 Bab X Tentang Warga Negara dan Penduduk, Pasal 26 Ayat (2), Penduduk ialah
warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Pasal 26
Ayat (3), Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.
B. Arti, Tujuan Demografi, dan Kependudukan
Demografi berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “demos” adalah rakyat, dan
“grafein” artinya menulis. Demografi adalah tulisan-tulisan atau karangan-karangan yang
berkaitan dengan rakyat sebagai warga negara atau penduduk. Istilah demografi
diungkapkan pertama kali oleh Achille Guillard dalam buku karangannya berjudul
“Elements de Statistique on Demographic Compares” yang ditulis pada tahun 1885.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dikutipkan salah satu definisi
demografi yang dikemukakan oleh Donald J. Bogue dalam bukunya “Principles of
Demography” dalam terjemahan bebas sebagai berikut: Demografi, adalah ilmu yang
mempelajari secara statistik, dan matematik tentang besar, komposisi, dan distribusi

80
penduduk, dan perubahan-perubahannya sepanjang masa, melalui bekerjanya 5
(lima) komponen demografi yaitu Kelahiran (Fertility), Kematian (Mortality),
Perkawinan (Married), Migrasi (Migration) dan Mobilitas Sosial (Social Mobility).
Demografi menghasilkan tehnik-tehnik untuk menghitung data kependudukan, atau
perkiraan keadaan penduduk tersebut di masa depan atau di masa lampau.
Kependudukan, adalah ilmu penghubung, antara penduduk, dengan sistem sosial,
karena demografi tidak terlepas dari variabel-variabel non-demografis, misalnya: ekonomi,
sosiologi, geografi, agama, administrasi, psikologi, politik dan sebagainya. Jadi, studi
kependudukan, merupakan studi kuantitatif dan kualitatif, terutama unsur-unsur
demografi, beserta perubahan-perubahannya dan kaitannya dengan bidang lain, seperti
yang disebutkan di atas. Konsep ini berarti, bahwa studi kependudukan, tidak hanya
mempelajari variabel-variabel demografi, tetapi juga mengenai hubungannya, antara
perubahan-perubahan disebabkan variabel-variabel lain di luar demografi.
Tujuan Pokok mempelajari demografi, ada 4 (empat) komponen:
1. Mengetahui kuantitas (sejumlah besaran/hitungan) dan distribusi (penyebaran)
penduduk dalam suatu daerah tertentu;
2. Mengetahui gambaran pertumbuhan, penurunan, dan persebaran penduduk masa
lampau dengan data yang tersedia di point a;
3. Mempelajari hubungan sebab akibat antara perkembangan penduduk, dengan
bermacam-macam aspek kehidupan sosial;
4. Meramalkan (dengan tehnik ilmiah tertentu) di masa mendatang dan segala
kemungkinannya.
Data dan pengetahuan kependudukan, diperlukan oleh lembaga-lembaga swasta,
maupun pemerintah, baik itu di tingkat pusat maupun daerah. Data kependudukan dipakai
dasar perencanaan yang berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, perpajakan,
kesejahteraan, pertanian, sandang, pangan, papan, pertanian, perhubungan, pariwisata dan
hiburan, lapangan kerja, transmigrasi, tempat ibadah, rumah makan, hotel dan lain
sebagainya. Data kependudukan dipakai untuk menghitung perkiraan pelayanan, baik jasa
maupun barang.
C. Kelahiran (Fertility/Fertilitas)
1. Pengertian
Kelahiran/Fertility/Fertilitas: Adalah hasil reproduksi yang nyata, dari seseorang
wanita, atau sekelompok wanita. Fertilitas, menyangkut banyaknya bayi yang lahir
hidup. Fekunditas, adalah merupakan potensi fisik untuk melahirkan anak, merupakan
lawan kata sterilitas. Lebih jelas perbedaan fertilitas (jumlah anak lahir hidup), dengan
fekunditas (kemampuan biologis untuk menghasilkan anak lahir hidup), contohnya:
adalah wanita yang mampu melahirkan seorang anak hidup secara biologis, adalah
subur (fekund), sedangkan wanita yang tidak mampu melahirkan anak lahir hidup
adalah steril/mandul (infekund/gabuk=Jawa). Namun, perlu diketahui, bahwa wanita
yang secara biologis subur tak selalu melahirkan, misalnya, apabila seseorang
mengatur fertilitasnya dengan abstinensi, atau menggunakan alat-alat kontrasepsi.
Di dalam beberapa buku, yang membahas biologis wanita, mengatakan, bahwa
usia haid (menstruation) dimulai ketika seorang gadis memperoleh haidnya yang
pertama, atau keluarnya darah dari kandungan atau uterus. Apabila sudah teratur haid,

81
periodenya berjarak empat minggu, dan haid siklusnya 5 hari. Apabila haidnya
berhenti, dikatakan seorang telah mati haid atau menopause. Dalam hal ini, reproduksi
wanita dimulai dari haid pertama (mentruation) sampai dengan menopause. Perkiraan
waktunya kurang lebih umur 15 sampai dengan 49 tahun.
Agar seorang wanita dapat hamil, maka seorang wanita tersebut harus
melakukan hubungan seksual. Di dalam hubungan seksual, maka sperma yang berujud
benih pria (dalam beberapa cc terdapat jutaan sel) memasuki rahim wanita. Wanita
dapat hamil jika secara biologis ia subur, sehingga dapat menghasilkan sel yang
disebut ovum atau telur. Wanita dapat memproduksi telur pada pertengahan siklus
haid, dan ovulasi terjadi ketika telur dilepaskan. Apabila telur yang dilepaskan tersebut
dibuahi sperma, terjadilah konsepsi atau kehamilan. Telur yang dibuahi harus melekat
pada dinding uterus. Di dalam pembahasan demografi, hasil konsepsi disebut janin,
dan kehidupan janin di dalam kandungan rata-rata sekitar 9 bulan, atau 280 hari,
berkembang dalam kandungan sebelum ia dilahirkan.
Dalam kebanyakan masyarakat, hampir semua kelahiran terjadi dalam suatu
perkawinan, yaitu suatu ikatan seksual yang sah. Meskipun dalam ikatan perkawinan,
ada kalanya wanita tidak mengadakan hubungan seksual. Disengaja (abstinensi
sukarela), dan karena memang tidak mungkin dilakukan (abstinensi terpaksa).
2. Abstinensi sukarela meliputi 5 macam pantangan untuk berhubungan seksual,
yakni:
a. Sehabis melahirkan (postpartum); hampir dalam semua masyarakat abstinensi
sukarela dijalankan beberapa minggu setelah melahirkan. Tradisi China setelah
melahirkan seorang wanita pulang ke rumah orang tuanya selama 1 bulan, dan
hubungan seks dianggap mendatangkan sial bagi suami maupun istri. Di Jawa
Tengah abstinensi dilakukan hampir 2 tahun, karena orang Jawa percaya hubungan
seks akan merusak susu ibu (Singarimbun dan Manning, 1976). Amennorhea
(periode tidak haid) berarti tidak ada ovulasi wanita. Kelahiran akan disusul suatu
periode tidak haid sesudah melahirkan (postpartum amennorhea). Menyusui anak
dapat memperpanjang periode tidak haid.
b. Berhenti seterusnya (terminal); Suku Yoruba di Nigeria mempraktekkan
abstinensi permanen, bila sudah di atas usia 35 tahun, terutama yang sudah menjadi
nenek, merasa malu berhubungan seks. Suku Nupe di Nigeria Utara “ibu tidak
bersaing, dengan puterinya yang sudah kawin, bersaing melahirkan anak”. Di India,
ibu-ibu yang mempunyai derajat/berstatus tinggi, yang mempunyai anak wanita,
malu untuk hamil lagi. Abstinensi sukarela, dapat diusahakan melalui suatu operasi
yang membuat seseorang steril, yakni: (a) vasektomi untuk laki-laki, dan (b)
tubektomi untuk wanita.
c. Berhenti berkala; Abstinensi berkala ada hubungannya dengan upacara dan hari
besar. Di India, agama Hindu mewajibkan abstinensi pada berbagai hari besar.
Umat muslim disunahkan untuk abstinensi selama melakukan kewajibannya puasa
di bulan Ramadhan.
d. Dalam keadaan sedang mengandung;
e. Selama masa haid. Abstinensi terpaksa, dilakukan karena impotensi, sakit, dan
perpisahan yang tidak terelakkan tetapi hanya bersifat sementara.

82
3. Konsep-konsep yang dipakai:
a. Lahir hidup (live birth), suatu kelahiran seorang bayi tanpa memperhitungkan
lamanya di dalam kandungan, di mana bayi menunjukkan tanda-tanda kehidupan
misalnya: bernafas, ada denyut jantungnya, atau denyut tali pusat, tonjolan gerakan
otot-otot, suhu badan.
b. Lahir mati (still birth), adalah kelahiran bayi dari kandungan berumur 28 minggu,
tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
c. Abortus, kematian bayi dalam kandungan dengan umur kehamilan kurang 28
minggu.
Ada dua macam abortus:
1) disengaja (induced) dan; Induced ada dua jenis:
a) berdasarkan alasan medis, misalnya: mempunyai riwayat penyakit tertentu,
yang membahayakan jiwa si ibu;
b) bukan karena alasan medis: malu, ekonomi lemah, atau alasan lainnya.
2) tidak disengaja (spontaneous).
d. Agar dapat mempunyai anak lahir hidup, seorang wanita harus melalui 3 tahap
sebagai berikut:
1) Harus mengadakan hubungan sex;
2) Harus hamil;
3) Harus berhasil menyelesaikan kehamilan (gestasi) dan kemudian melahirkan
anak (partus)
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi Fertilitas
Tiga tahap yang penting dari proses reproduksi adalah:
1) Tahap hubungan kelamin (intercourse);
2) Tahap konsepsi (conseption);
3) Tahap kehamilan (gestation)
4) Faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi fertilitas akan
melalui faktor-faktor yang langsung ada kaitannya dengan ketiga tahap
reproduksi di atas.
f. Faktor-faktor, yang mempunyai kaitan dengan ketiga tahap di atas, disebut
Variabel Antara, adalah sebagai berikut:
1) Enam ”intercourse variables” yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi
hubungan kelamin (intercourse):
a) Umur memulai hubungan kelamin;
b) Selibat permanen;
c) lamanya berstatus kawin;
d) Abstinensi sukarela;
e) Abstinensi terpaksa (misalnya sakit, berpisah sementara);
f) Frekuensi hubungan kelamin
2) Tiga ”conception variables” yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi
kemungkinan terjadinya konsepsi:
a) Fekunditas atau infekunditas yang tidak disengaja;
b) Pemakaian kontrasepsi;

83
c) Fekunditas atau infekunditas yang disebabkan hal-hal yang disengaja
(misalnya sterilisasi)
3) Dua ”gestation variables) faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan:
a) Mortalitas janin karena sebab yang tidak disengaja
b) Mortalitas janin karena sebab disengaja
g. Ukuran Dasar Pengukuran fertilitas, ada dua macam pendekatan:
1) Yearly Performance (current fertility), mencerminkan fertilitas dari suatu
kelompok penduduk/berbagai kelompok penduduk untuk jangka waktu satu
tahun yang disebut “current fertility”.
a) Crude Birth Rate (CBR), yang disebut Angka Kelahiran Kasar
𝐵
Rumus CBR= 𝑃 x k
Di mana B= banyaknya kelahiran selama 1 tahun
P= banyaknya penduduk pada pertengahan tahun
K= bilangan konstan, yang biasa digunakan angka 1000
Contohnya : Banyak kelahiran di kota Anu tahun 2010 adalah 182.880 orang
bayi. Banyaknya penduduk kota Anu pada pertengahan tahun 2010 sebesar
4.546.942 orang, maka
182.880
CBR = 4.546.942x 1000= 40,2 perseribu penduduk

Tabel 5: Kebaikan dan Kelemahan CBR


Kebaikan Kelemahan

Perhitungan sederhana, karena hanya Tidak memisahkan penduduk laki-laki


memerlukan keterangan tentang jumlah anak dan penduduk kanak-kanak, beserta 50
yang dilahirkan dan jumlah penduduk pada tahun ke atas, yang tidak melahirkan. Jadi
pertengahan tahun angkanya sangat kasar.

b) General Fertility Rate (GFR) atau Angka Kelahiran Umum, yaitu banyaknya
kelahiran tiap seribu wanita yang berumur 15-49 tahun atau 15-44 tahun.
𝐵 𝐵
Rumus GFR = 𝑓 𝑥 𝑘 atau 𝑓 xk
𝑃15−49 𝑃15−44
Di mana B= banyaknya kelahiran selama 1 tahun
𝑓
𝑃15−49 = banyaknya penduduk wanita yang berumur 14-49 tahun pada
pertengahan tahun
𝑓
𝑃15−44 = banyaknya penduduk wanita yang berumur 14-44 tahun pada
pertengahan tahun
Contoh: dari contoh pada (1), apabila diketahui banyaknya penduduk wanita
berumur 14-49 tahun pada pertengahan tahun sebesar 1.165.680,
182.880
maka GFR =1.165.680 x 1000 = 156,9 per seribu penduduk wanita usia 14-49
tahun.

84
Tabel 6: Kebaikan dan Kelemahan GFR
Kebaikan Kelemahan
Ukuran ini lebih cermat daripada Ukuran ini tidak membedakan resiko melahirkan
CBR, karena hanya memasukkan dari berbagai kelompok umur, sehingga wanita
wanita yang berumur 15-49 tahun, yang berumur 40 tahun dianggap mempunyai resiko
atau penduduk yang “exposed to melahirkan yang sama dengan kelompok umur 25
risk” tahun

c) Age Specific Fertility Rate (ASFR) atau Angka Kelahiran Menurut


Kelompok Umur, yaitu banyaknya kelahiran tiap seribu wanita pada
kelompok tertentu.
𝑏𝑖
Rumus 𝐴𝑆𝐹𝑅𝑖= 𝑓 x k (i = s/d 7),
𝑝𝑖
Di mana 𝑏𝑖 = banyak kelahiran dalam kelompok umur i selama 1 tahun
𝑓
𝑝𝑖 = banyak wanita kelompok umur i pada pertengahan tahun
k = bilangan konstan, biasanya 1000

Tabel 7 : Contoh Perhitungan ASFR, Penduduk Kota Anu 2010


Umur Wanita Penduduk Wanita Kelahiran ASFR tiap 1000 wanita
(1) (2) (3) (4)= {(3):2)} x 1000

15-19 264.960 15.840 60


20-24 208.080 41.040 197
25-29 200.880 50.400 251
30-34 163.440 49.680 304
35-39 151.200 18.000 119
40-44 110.160 7.200 65
45-49 66.960 720 11

Sumber: dari Hatmaji, 1981: 64


Tabel 8: Kebaikan dan Kelemahan ASFR
Kebaikan Kelemahan

o lebih cermat dari GFR, karena membagi penduduk  Ukuran membutuhkan data
exposed to risk ke dalam tingkatan umur terperinci, kelahiran
o ASFR memungkinkan analisa perbedaan fertilitas menurut kelompok umur.
(current fertility) menurut karakteristik umur wanita Data belum tentu ada di
o Dengan ASFR dimungkinkan studi fertilitas menurut setiap daerah
kohort  Tidak menunjukkan ukuran
o ASFR dasar perhitungan ukuran fertilitas dan fertilitas untuk keseluruhan
reproduksi selanjutnya (TFR, GRR, dan NRR) wanita umur 15-49 tahun

d) Total Fertility Rate (TFR) atau Angka Kelahiran Total, yaitu jumlah dari
ASFR, dengan catatan bahwa umur dinyatakan dalam satu tahunan

85
Rumus TFR 5 ∑7𝑖=1 𝐴𝑆𝐹𝑅𝑖 (i = 1, 2, 3,........)
Di mana ASFR = Angka kelahiran menurut kelompok umur
i = kelompok umur 5 tahunan, dimulai dari 15-19
Contoh dari Tabel di atas,
TFR dapat dihitung = 5(60+197+251+304+119+65+11)
= 5 x 1007
= 5035 per 1000 wanita usia 15-49 tahun atau
TFR= 5,035 untuk wanita usia 15-19
Ini berarti, setiap wanita di Kota Anu pada tahun 2010 rata-rata mempunyai
anak sebanyak 5 orang di akhir masa reproduksinya.
Kebaikannya: merupakan ukuran untuk seluruh wanita umur 15-49 tahun,
yang dihitung berdasarkan angka kelahiran menurut kelompok umur.
2) Reproductive History (Cummulative Fertility)
a) Jumlah anak yang pernah dilahirkan (Children ever Born/CEB), yakni
mencerminkan banyaknya kelahiran sekelompok atau beberapa kelompok
wanita selama reproduksinya; sering juga disebut Paritas.
Rumus Jumlah Anak yang Dilahirkan
𝐶𝐸𝐵𝑖
CEB= 𝑓
𝑃𝑖

Di mana 𝐶𝐸𝐵𝑖 = banyak anak dilahirkan hidup sekelompok umur i


𝑓
𝑃𝑖 = banyak wanita pada kelomok umur i

Tabel 9: Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan per kelompok umur


Umur Wanita CEB anak yang dilahirkan Rata-rata CEB/Wanita

15-19 2.143.735 1.231.556 0,574 (𝑃1 )


20-24 3.681.930 6.106.510 1,691 (𝑃2 )
25-29 4.702.153 14.344.629 3,051 (𝑃3 )
40-44 3.001.199 14.972.479 4,989 (𝑃6 )
45-49 2.200.035 10.777.259 4,899 (𝑃7 )

Sumber: Hatmaji, 1981: 66


Catatan : Rata jumlah anak yang dilahirkan untuk kelompok wanita berumur 45-
49 disebut “Completed Family Size”
Tabel 10: Kebaikan dan Kelemahan Cummulative Fertilyte Rate
Kebaikan Kelemahan
 Mudah didapat  Angka paritas menurut kelompok umur akan mengalami
informasinya (baik kesalahan karena pelaporan umur penduduk, terutama di
di sensus penduduk negara yang sedang berkembang
dan survey)  Ada kecenderungan semakin tua semain besar
 Tidak ada referensi kemungkinannya melupakan jumlah anak yang dilahirkan
waktu

86
b) Child Woman Ratio (CWR), yaitu hubungan dalam bentuk rasio antara
jumlah anak di bawah umur 5 tahun, dengan penduduk wanita usia
reproduktif
𝑃0−4
Rumus CWR = 𝑓 xk
𝑃15−44
Di mana 𝑃0−4 = banyak penduduk umur 0-4 tahun
𝑓
𝑃15−49= banyaknya wanita umur 15-49
k = bilangan konstan, biasanya 1000
Contoh:
Banyaknya penduduk umur 0-4 tahu=3.193.185 orang
Banyaknya wanita umur 15-49 tahun 5.117.015 orang, maka
𝑃0−4 3.193.185
CWR= 𝑓 x k, x 1000= 624
𝑃15−49 5.117.015

CWR disebut sebagai indikator dari General Fertility Rate. CWR ada juga
yang menyebut sebagai General Fertility Ratio. Kemudian, mengapa CWR
cenderung memakai jumlah anak umur 0-4 tahun, dan bukan 0-1 tahun?.
Sebab:
i. Data dari Sensus dan Survey yang biasa dipublikasikan dalam
kelompok umur 5 tahunan, bukan 1 tahunan;
ii. Kekuranga pelaporan (under enumeration) lebih banyak terjadi pada
usia 0-1 tahun, jika dibandingkan pada umur 0-5 tahun;
iii. Dalam perhitungan rasio, semakin besar jumlah pembilang maka
semakin stabil.
Tabel 11: Kebaikan dan Kelemahan CWR
Kebaikan Kelemahan

o Untuk mendapatkan data  Langsung dipengaruhi oleh kekurangan pelaporan


yang diperlukan, tidak perlu anak, yang sering terjadi di negara sedang
mengajukan pertanyaan berkembang. Walaupun kekurangan pelaporan juga
khusus terjadi di kelompok ibunya, namun secara relatif
o Berguna untuk indikasi kekurangan pelaporan pada anak-anak jauh lebih besar
fertilitas di daerah kecil  Dipengaruhi oleh tingkat mortalitas, di mana tingkat
sebab di negara yang mortalitas anak khususnya di bawah 1 tahun juga lebih
registrasinya cukup baik besar dari orang tua. Sehingga CWR selalu lebih kecil
pun, statistik kelahiran dari tingkat fertilitas yang seharusnya
ditabulasikan untuk daerah  Tidak memperhatikan distribusi umur penduduk
yang kecil-kecil wanita

h. Besarnya Keluarga Ideal:


Di negara-negara maju, rata-rata jumlah anak yang ideal berkisar anatara 2 dan
3. Beberapa dari negara-negara Asia menunjukkan bahwa 4-5 anak adalah ideal,
sedangkan di beberapa negara Afrika, hampir tidak seorangpun menginginkan anak
kurang dari empat. Beberapa studi di Afrika bahkan menunjukkan bahwa jumlah anak
yang ideal adalah lebih besar daripada 9 (Ware, 1974 & 1975).

87
i. Studi Perbedaan Fertilitas
1) Hubungan Fertilitas dengan Tingkat Pendidikan
Pengaruh Pendidikan, terhadap fertilitas tidak tepat, seperti yang
diperkirakan, yaitu makin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki wanita,
makin rendah fertilitasnya. Bondan Supraptilah et. al., menggunakan data
Survai Fertilitas Mortalitas Indonesia melaporkan, bahwa hubungan antara
tingkat pendidikan dan fertilitas berbeda dari satu daerah dengan daerah
lainnya. Misalnya, di pedesaan di Jawa Barat dan Sulawesi, serta daerah kota
di Jawa Tengah, hubungannya tersebut berbentuk U terbalik. Sebaliknya
hubungan berbentuk U, terdapat di daerah kota di Sulawesi dan pedesaan di
Jawa Tengah. Sedangkan, untuk daerah lain, hubungannya cenderung
berbentuk posistif. Hasil studi di Maguwoharjo menyimpulkan adanya gejala
hubungan yang positif antara beberapa indikator sosial ekonomi termasuk
tingkat pendidikan yang ditamatkan.
Menurut Holsinger dan Kasarda (1976: 154), meskipun kenaikan tingkat
pendidikan menghasilkan tingkat kelahiran yang lebih rendah, tetapi hubungan
antara kedua variabel ini, belum benar-benar terbukti. Pendidikan jelas
mempengaruhi usia kawin karena pelajar dan mahasiswa pada umumnya
berstatus bujangan. Lagi pula, jika pendidikan meningkat, maka pemakaian
alat-alat kontrasepsi juga meningkat. Hawthorn (1970: 42), menyatakan bahwa
dalam semua masyarakat, kesadaran akan pembatasan kelahiran memang
tergantung pada latar belakang daerah kota atau tempat tinggal, pendidikan dan
penghasilan. Pendidikan yang kuat pengaruhnya terhadap variabel-variabel
pengaruh lainnya, seperti; sikap terhadap besarnya keluarga ideal, dan nilai
anak.
Menurut Bogue (1969: 676), pendidikan menunjukkan pengaruh yang
lebih kuat terhadap fertilitas daripada variabel-variabel lainnya. Muangthai
merupakan salah satu contoh di mana kedua variabel ini mempunyai hubungan
yang berlawanan pada tahun 1960, wanita yang berumur di atas 50 mempunyai
rata-rata anak 5-7 bagi yang tidak berpendidikan, 5-2 bagi yang berpendidikan
tingkat pertama, dan 3-4 bagi yang berpendidikan tingkat menengah
(Goldstein, 1972: 434). Meskipun demikian, di beberapa negara lain, termasuk
Indonesia (Hull and Hull, 1977) diketemukan bahwa wanita yang tidak
berpendidikan dan yang berpendidikan tingkat menengah mempunyai rata-rata
anak lebih sedikit daripada yang berpendidikan sekolah dasar. Dengan
mempertimbangkan adanya pola yang sama seperti ini (rendah-tinggi-rendah)
di Nigeria, Simbabwe (1971: 151) menemukan peningkatan pendidikan dan
mengakibatkan abstinensi sesudah melahirkan menurun sedangkan penggunaan
alat-alat kontrasepsi meningkat.
2) Hubungan Fertilitas dengan Status Sosial Ekonomi
Wrong (1977: 81) percaya bahwa norma yang menunjukkan penduduk
dari golongan ekonomi yang lebih rendah, mempunyai fertilitas yang arelatif
lebih tinggi, hampir dapat dikatakan sebagai suatu hukum sosial ekonomi.

88
Perkawinan wanita yang lebih miskin kurang stabil, masa abstinensinya setelah
melahirkan lebih lama, dan mereka lebih mungkin menjadi mandul.
3) Hubungan Fertilitas dengan Tempat Tinggal Desa-Kota
Di negara maju, fertilitas di daerah pedesaan biasanya lebih tinggi
dibandingkan di daerah pedesaan. Di beberapa negara seperti Polandia dan
Yugoslavia, perbedaannya justru lebih dari 30% (United Nations, 1976: 48).
Di Australia pada 1911 jumlah anak rata-rata nasional bagi wanita 45-49
tahun adalah 4,2, sedangkan di pedesaan sebesar 4,8. Menjelang 1966,
angkanya turun menjadi 2,7 di kota, dan di daerah pedesaan menjadi 3,2
(National Population Inquiry, 1975: 51-52). Di Indonesia perbedaan desa-
kota sangat kecil.
4) Hubungan Agama dan Fertilitas
Agama, tentu saja merupakan salah satu variabel pengaruh yang
penting. Orang Katholik, seringkali mempunyai fertilitas yang lebih tinggi
dari pada penganut agama Yahudi atau Protestan, dan kebanyakan penelitian
menunjukkan, bahwa orang Islam sering mempunyai fertilitas yang lebih
tingi, daripada yang bukan Islam. Masing-masing hipotesa di bawah ini,
mencoba menerangkan bagaimana agama dapat mempengaruhi perbedaan
fertilitas (Goldscheider, 1977: Bab 10; Chame, 1977: 365).
a) Hipotesa Karakteristik, mengemukakan bahwa perbedaan fertilitas
menggambarkan perbedaan sosial-ekonomi antar penganut agama. Agama,
dianggap sebagai indikator pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tempat
tinggal dan mobilitas.
b) Hipotesa Theologi Khusus, Pengaruh agama berdiri sendiri. Agama,
mempengaruhi fertilitas karena doktrin-doktrin tertentu dari gereja, atau
ideologi agama tentang batasan kelahiran dan norma-norma besarnya
keluarga. Misalnya Gereja Khatolik mengajarkan, bahwa hanya abstinensi
total dan pantang berkala saja dapat diterima sebagai cara pembatasan
kelahiran (Jones and Nortman, 1968: 1).
c) Hipotesa Status Kelompok Minoritas, berpendapat bahwa keadaan
tertentu, ketidaktenangan yang dihadapi oleh suatu kelompok minoritas
dapat menekan fertilitasnya sampai di bawah tingkat fertilitas klompok
mayoritas.
5) Fertilitas Kaum Muslimin (Kirk, 1966; El-Kammash, 1971)
Ada lebih dari 22 negara, dengan mayoritas penduduknya beragama
Islam dan penganut agama ini yang disebut Muslimin, barangkali berjumlah
sekitar seperlima penduduk dunia. Kirk (1966: 567) telah mencatat bahwa
Fertilitas Kaum Muslimin:
a) pada umumnya tinggi;
b) tidak nyata menunjukkan trend penting dari waktu ke waktu;
c) umumnya lebih tinggi daripada negara-negara tetangganya yang mayoritas
penduduknya beragama lain. Oleh karena itu Kirk menarik kesimpulan,
bahwa hubungan antara agama dan fertlitas itu lebih erat pada kaum
Muslimin, daripada pada agama lain.

89
Faktor-faktor yang mendorong tingginya fertilitas pada komunitas kaum
Muslimin antara lain:
a) Sebagian besar, hidup dalam masyarakat pertanian tradisional, di mana
anak mempunyai peranan ekonomi yang penting, dan tingkat
pendidikannya relatif rendah. Masyarakat semacam itu cenderung kolot,
dan berpegang teguh pada ajaran-ajaran kuno;
b) Dan dorongan dari agama untuk kawin pada usia muda, dan kehidupan
perkawinan di kalangan Muslimin hampir universal;
c) Wanita, mempunyai kedudukan yang lebih rendah, dan kegiatannya
seringkali terbatas kepada rumah tangga saja (karena pendidikan wanita
Muslim pada umumnya rendah, maka variabel-variabel agama dan
fertilitas saling berkaitan);
d) Agama Islam, menolak sterilisasi dan penguguran sesudah kandungan
berumur 4 bulan. Selain itu beberapa pemuka Islam sama sekali tidak
menyetujui pengguguran.
Menurut Kirk (1966: 561), agama Islam, lebih berhasil dalam hal
merintangi keluarga berencana daripada agama Khatolik. Meskipun
demikian, pendapat bahwa agama Islam menentang segala bentuk keluarga
berencana, tidak benar. Senggama terputus biasanya dapat diterima,
sedangkan untuk menjaga kesehatan ibu, dengan jalan menjarangkan
kehamilan mendapat banyak dukungan.
D. Prediksi Jumlah Penduduk
Memprediksi, berarti meramal apa yang akan terjadi di masa depan. Yang dimaksud
prediksi, dalam pembahasan ini, adalah meramal dengan mempergunakan data lengkap
untuk dijadikan bahan perhitungan, yang apabila tak dihitung dengan ramalan, akan sulit
memperolehnya. Penduduk sekian tahun mendatang dapat diramalkan berdasarkan data
kependudukan tahun yang lampau. Perhitungan untuk meramal jumah penduduk
mendatang biasanya menggunakan rumus:
𝑃𝑛 = 𝑃0𝑒 𝑟𝑛
Contoh: Berapakah jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010, apabila
pertambahan penduduk rata-rata tiap tahunnya sebesar 2 % sejak tahun 1995. Diketahui
jumlah penduduk Indonesia pada tahun 1995 berjumlah 164.047.000 jiwa.
e = 2,7102818 (angka eksponensial)r = 0,02 (2 %)
n = 2010 – 1995= 15 tahun
𝑃0 = 164.047.000 (jiwa)
Maka 𝑃𝑛 = 164.047.000 x 2,7102818 x 0,02 x 15
= 164.047.000 x 1.349858808
= 221.440.288
Jadi penduduk Indonesia pada tahun 2010 akan menjadi 221.440.288 jiwa, dengan
syarat pertambahan penduduk setiap tahun rata-rata 2 %.

90
BAB IX
KEPENDUDUKAN, DAN LINGKUNGAN HIDUP (II)
(Pertemuan ke IX)

A. Mortalitas (Mortality/Kematian)
1. Pendahuluan
Mortalitas, atau disebut kematian, merupakan suatu komponen demografi yang dapat
mempengaruhi perubahan penduduk. Informasi tentang kematian itu penting, tidak saja
bagi pemerintah, melainkan juga pihak swasta, yang bergerak di bidang ekonomi dan
kesehatan. Data kematian diperlukan untuk proyeksi penduduk, dan perencanaan
pembangunan. Misalnya fasilitas perumahan, pendidikan, jasa untuk kepentingan
masyarakat, sekaligus untuk kepentingan evaluasi program-program kebijakan
kependudukan.
(McDonald, 1984) Studi demografi secara ilmiah dimulai dengan studi tentang
mortalitas. Studi klasik John Graunt, Natural and Political Observations Made upon the
Bil of Mortality (Pengamatan Alami dan Politis atas Undang-undang Kematian) yang
diterbitkan pada tahun 1962, dipakai sebagai titik awal analisis statistik kematian dan
demografi. Bills of Mortality (Undang-undang Kematian) untuk London, dimulai abad 16,
dan undang-undang ini mendukung dibuatnya statistik tentang jumlah pemakaman, di
setiap tanah pekuburan, jumlah kematian karena pes, dan jumlah pembaptisan per minggu.
Tujuannya, adalah pengumpulan semua statistik tersebut, rupanya untuk mencatat
kematian yang disebabkan penyakit pes menurut tempat kejadiannya.
Hingga abad ke 19, studi Graunt hanya diikuti oleh beberapa penelitian tentang
mortalitas yang berdasarkan atas catatan gereja di pelbagai tempat di Eropa. Setelah
kelahiran, kematian dan perkawinan mulai dimasukkan dalam catatan sipil di Inggris dan
Wales, maka pada tahun 1836, William Farr, yang baru saja terpilih sebagai kepala kantor
statistik, membuat tabulasi statistik kematian. Ia menerbitkan statistik kematian tahunan,
untuk membantu studi tentang mortalitas dan sebab-sebabnya.
Sampai sekarang ini, definisi kematian masih dipersoalkan, tetapi dalam analisis
statistik, definisi tersebut diperlukan untuk membedakan antara kematian bayi dan
kematian janin yang telah tua (lahir mati). Kematian janin yang telah tua berbeda dengan
kematian bayi, karena bayi baru dapat disebut mati, kalau ia pernah hidup atau pernah lahir
hidup. Data kematian sangat diperlukan antara lain untuk proyeksi penduduk guna
perencanaan pembangunan. Misalnya: perencanaan fasilitas kesehatan, perumahan,
pendidikan, dan jasa-jasa lainnya untuk kepentingan masyarakat. Juga diperlukan untuk
evaluasi terhadap program-proram kebijaksanaan kependudukan.
2. Menurut konsepnya ada tiga keadaan vital, ialah:
a. Lahir Hidup (Live Birth): Menurut WHO, lahir hidup didefinisikan sebagai:
“Peristiwa keluarnya, atu terpisahnya suatu hasil konsepsi dalam rahim ibunya,
tanpa mempedulikan lamanya kehamilan, dan setelah itu bayi bernafas, atau
menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang lain seperti: detak jantung, denyut nadi
tali pusat atau gerakan yang disengaja, baik bila tali pusat dipotong atau masih
melekat dengan plasenta, oleh karena itu suatu kematian harus didahului suatu
kelahiran hidup”.

91
b. Mati (Death): adalah keadaan menghilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara
permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Dengan demikian
maka ”mati” hanya bisa terjadi kalau sudah terjadi kelahiran hidup.
c. Lahir Mati (Fetal Death): Fetal death menghilangnya tanda-tanda kehidupan dari
hasil konsepsi sebelum hasil konsepsi tersebut dikeluarkan dari rahim ibunya. Dari
definisi mati dan hidup di atas, maka lahir mati tidak dimasukkan dalam mati atau
hidup. Termasuk dalam pengertian lahir mati antara lain stillbirth dan abortus.
3. Ukuran Kematian
Ukuran kematian menunjukkan suatu angka atau indeks, yang dipakai sebagai
dasar, untuk menentukan tinggi rendahnya tingkat kematian suatu penduduk. Ada
beberapa ukuran kematian, mulai dari yang paling sederhana sampai yang cukup
komplek. Biasanya berbagai macam ukuran kematian dipakai sekaligus guna
mencerminkan keadaan kematian penduduk secara keseluruhan. Hampir semua ukuran
kematian merupakan suatu “rate” atau “ratio”.
a. “Rate” suatu ukuran yang menunjukkan terjadinya suatu keadaan (misalnya:
kematian, kelahiran, sakit, dsb) selama periode tertentu. Secara umum “rate” dapat
didefinisikan/dijabarkan sebagai berikut:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
“Rate” kejadian=𝑗𝑚𝑙ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑝𝑢𝑛𝑦𝑎𝑖 𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑠𝑎𝑚𝑎
Catatan: kejadian (rate) tersebut dapat berupa: kematian, kelahiran, sakit, dsb.
“Ratio”, merupakan suatu ukuran yang berbentuk suatu angka tunggal, yang
menyatakan hasil perbandingan antara 2 angka. Di samping dua bentuk angka,
kadangkala dipakai ukuran lain yang berupa persentase (%). Dalam menyatakan
“rate” atau “ratio” atau “persentase” sebagai suatu ukuran, harus dijelaskan
populasi golongan mana yang tersangkut.
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑙𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖
b. Rumus Sex Ratio =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛 x k
Pada tahun 1971 ratio jenis kelamin penduduk Indonesia 97, berarti tiap 100
perempuan terdapat 97 laki-laki.
Contoh: jumlah penduduk laki-laki : 58.338.664
Jumlah penduduk perempuan : 60.029.206
58.338.664
Sex Rationya adalah= 60.029.206 x 100 = 97,2 dibulatkan menjadi 97.
c. Rumus Angka Beban Tanggungan (Dependency of Ratio)
Angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya orang yang belum
(umur 0-14), dan sudah tidak produktif (umur 65 +), dengan banyak orang yang
termasuk usia produktif (umur 15-64).
𝑃0−14 + 𝑃65+
Rumus Angka Beban Tanggungan (Dependency Ratio) = 𝑃15−64
Secara kasar, angka ini dapat digunakan sebagai indikator perekonomian dari suatu
negara, apakah ekonominya tergolong maju atau belum. Untuk Indonesia tahun
1971 Angka Beban Tanggungan adalah 87, yang berarti tiap 100 orang produktif,
harus menanggung beban 87, orang yang tidak produktif.
53.040.311+2.983.436
Contoh Angka Beban Tanggungan 62.344.103
x 1.000 = 87

92
d. Ukuran-ukuran yang dipakai dalam melihat Tingkat Kematian Penduduk,
antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
1) Angka Kematian kasar (Crude Death Rate=CDR)
Angka Kematian Kasar, adalah jumlah kematian pada tahun tertentu,
dibagi dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun tersebut. Secara
konvensional, angka kematian untuk 1000 orang dapat dinyatakan dengan
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑥 𝐷
Rumus CDR= 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑥 x 1.000, atau xk
𝑃
D = jumlah kematian pada tahun x
P = jumlah penduduk pada pertengahan tahun x
k = bilangan konstanta biasanya 1.000
Contoh: Negara Anu penduduknya pada 31 Desember 2009 sebesar 650, dan
pada 31 Desember 2010 sebesar 550. Maka penduduk pertengahan tahun = 650
+ 550: 2= 600.
Apabila pada tahun 2010 terdapat kematian 15, maka
15
CDR =600 x 1.000 = 25 per 1.000. Jadi negara Anu tersebut rata-rata tedapat 25
kematian per 1.000 penduduk.
Di negara-negara maju, CDR sudah dapat ditekan sampai di bawah 10 per
1.000 penduduk. Tapi pada negara-negara yang baru berkembang CDR masih
di atas 20 per 1.000 penduduk. Pada umumnya CDR dari berbagai negara
berkisar antara 5 sampai 35 per 1000 penduduk.
2) Angka Kematian Menurut Umur (Age Specific Death Rate=ASDR)
Resiko kematian, berbeda antara satu kelompok penduduk, dan
kelompok penduduk lainnya. Demikian pula, kelompok umur satu dengan
kelompok umur lainnya. Orang yang berumur 65 tahun, akan mempunyai
resiko kematian lebih tinggi, dibandingkan yang berumur 30 tahun, begitu pula
anak yang berumur 1 tahun mempunyai resiko kematian lebih tinggi
dibandingkan yang berumur 20 tahun. Maka dari itu akan dikenal angka
kematian bayi, angka kematian anak, angka kematian dewasa. Salah satu untuk
melihat angka kematian menurut komposisi umur adalah
Angka Kematian Menurut Umur (Age Specific Death Rate).
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑥
ASDR kelompok umur ke-i =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑚𝑢𝑟 𝑖 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑥
x 1000
𝐷𝑖
atau xk
𝑃𝑖
Di mana 𝐷𝑖 = jumlah kematian dari orang-orang berumur i
𝑃𝑖 = jumlah penduduk berumur i (pada pertengahan umur)
k = bilangan konstanta 1000
Contoh ASDR umur 20-24 tahun penduduk Negara Anu pada tahun 2010
adalah 8 per 1000. Ini berarti Negara Anu tahun 2010 terdapat kematian 8
orang dari penduduk yang berumur 20-24 per 1000 penduduk yang berumur
20-24 tahun.
3) Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate)

93
Angka Kematian Bayi merupakan salah satu indikator penting untuk
menentukan tingkat kesehatan masyarakat di suatu daerah.

Rumus Angka Kematian Bayi


𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑑𝑖 𝑏𝑎𝑤𝑎ℎ 1 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑥
= x 1000
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑥
Apabila Angka Kematian Bayi di suatu negara pada tahun 2010, adalah
120 per 1000, berarti terdapat 120 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup.
Mengenai keadan secara umum di dunia, Angka Kematian Bayi berkisar 10 per
1000, sampai dengan yang paling tinggi 200 per 1000.
4) Harapan Hidup Waktu Lahir (Life expectancy at Birth)
Harapan Hidup Waktu Lahir (HHWL), adalah indeks ringkasan yang
diperoleh dari tabel kematian. Harapan Hidup Waktu Lahir, merupakan sarana
dasar, pengukuran bagi para ahli demografi. Ini menunjukkan jumlah tahun
rata-rata yang dapat diharapkan seseorang, untuk hidup sejak saat mereka lahir,
kalau sepanjang hidupnya, mereka mengalami tingkat-tingkat kematian
menurut umur yang berlaku. Oleh karena itu, dibandingkan dengan tingkat
kematian kasar, harapan hidup waktu lahir dapat menjadi dasar yang lebih
dipercaya, untuk perbandingan international tentang tingkat mortalitas.
B. Hal-hal yang berkaitan dengan Mortalitas
1. Perbedaan Mortalitas dari Jenis Kelamin:
Di negara-negara Barat kecuali Irlandia pada tahun 1920, semua data kematian
yang ada menunjukkan bahwa rentang hayat yang secara konsisten lebih panjang
untuk wanita. Penelitian tentang hewan juga demikian, hewan jantan lebih rendah
harapan hidupnya. Di hampir semua negara, jumlah pria yang mula-mula lebih banyak
dibandingkan wanita pada saat lahir berkurang karena mortalitas yang tidak
sebanding, sehingga rasio jenis kelamin penduduk secara keseluruhan menunjukkan
kelebihan wanita. Ternyata harapan hidup wanita lebih meningkat dibandingkan pria.
Banyak penelitian tentang manusia yang didukung penelitian hewan menunjukkan
adanya perbedaan biologis antara pria dan wanita, sehingga menyebabkan mortalitas
pria lebih tinggi.
Studi mortalitas menurut status perkawinan telah menunjukkan bahwa tingkat
mortalitas dari mereka yang telah menikah, lebih rendah dari pada yang tidak
menikah, tetapi ada kesan bahwa beberapa perbedaan ini disebabkan oleh masalah
seleksi. Orang sehat, agaknya lebih banyak dipilih sebagai teman hidup, dari pada
yang menderita sesuatu penyakit atau kelainan, dan faktor seleksi menjadi lebih
penting dengan makin sedikitnya orang yang telah membujang. Dapat diamati, bahwa
mortalitas di kota lebih rendah, dibandingkan dengan di desa, dan dapat disimpulkan
bahwa ini disebabkan oleh lebih baiknya fasilitas kesehatan yang tersedia di kota.
Namun demikian, pada kenyataannya, perbedaan pendidikan atau standard hidup
antara penduduk kota dan penduduk desa, atau karena mereka yang bermigrasi ke kota
mempunyai kondisi kesehatan lebih baik.

94
2. Jumlah Penduduk, Tingkat Kematian Kasar, Tingkat Kematian Bayi, dan
Harapan Hidup Waktu Lahir di Asia Tenggara (Southeast Asia) Tahun 2003.

Tabel 12: Jumlah Penduduk, Tingkat Kematian Kasar, CDR, IMR, Harapan Hidup
Crude
Penduduk Infant Harapan Harapan
Southeast Death
Pertengahan Mortality Hidup Pria Hidup Wanita
Asia Rate
2003 (juta) Rate (IMR) (𝑒 0 =Male) (𝑒 0 =Female)
(CDR)
Brunei 0.4 3 7 74 79
Cambodia 12.6 10 95 54 58
East Timor 0.8 13 129 48 49
Indonesia 220.5 6 46 66 70
Laos 5.6 13 104 52 55
Malaysia 25.1 4 11 70 75
Myanmar 49.5 11 87 54 60
Philippines 81.6 6 26 67 72
Singapore 4.2 4 2,5 77 81
Thailand 63.1 6 20 68 75
Vietnam 80.8 6 26 70 73
Sumber: 2003 World Population Data Sheet of Population Reference Bureau (Demographic
Data and Estimate for the Countries and Regions of the World).
3. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Mortalitas
Angka kematian pada pokoknya berbeda menurut umur dan jenis kelamin. Ada
baiknya diketahui faktor mortalitas yang disebabkan oleh faktor-faktor lain, misalnya
ras dan pekerjaan.
Faktor-faktor lain yang menyebabkan perbedaan Mortalitas, antara lain:
a. Status Perkawinan;
b. Mortalitas kelompok penduduk, yang sudah menikah ternyata lebih rendah,
dibandingkan dengan yang belum menikah, dan perbedaannya untuk pria lebih
besar dari wanita. Hal ini disebabkan oleh faktor bahwa perkawinan biasanya
mensyaratkan orang-orang yang sehat, maupun perbedaan kebiasaan, dan kondisi
hidup;
c. Tempat Tinggal;
d. Mortalitas di daerah perkotaan, pada umumnya lebih rendah dibandingkan di
daerah pedesaan. Tetapi sekarang perbedaan tersebut sudah berkurang. Beberapa
jenis penyakit, menyerang daerah bermusim panas, dan ada pula yang melanda di
musim dingin; Akibatnya perbedaan iklim dapat juga menjadi faktor penyebab
kematian;
e. Cara Hidup;

95
f. Apabila kondisi sosial semakin memuaskan (diukur dari segi kualitas perumahan,
kebersihan, pelayanan kesehatan dll), maka angka mortalitas akan menurun.
Kebiasaan hidup; misalnya merokok, makan minum, pola istirahat, dapat juga
mempengaruhi mortalitas.
g. Genetik;
h. Beberapa penyakit dapat menular, dari generasi yang satu ke generasi
berikutnya; dengan demikian terdapat kesimpulan; dewasa ini perbedaan keturunan
secara komparatif dianggap tidak berarti. Umumnya, disimpulkan angka kematian
bangsa kulit putih, lebih rendah dibandingkan dengan kulit hitam. Sedangkan
untuk kulit kuning (coklat), terletak di antara kedua kulit di atas. Namun, perbedaan
ini sebetulnya, lebih mencerminkan faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan ,
dibandingkan dengan perbedaan biologis atau genetik (keturunan). (Pollard, 1984:
118).

96
BAB X
KEPENDUDUKAN, DAN LINGKUNGAN HIDUP (III)
(Pertemuan ke X)

A. Perpindahan Penduduk (Migration)


“Barang siapa berhijrah (migrasi, penulis) di jalan Allah, niscaya akan
diperolehnya di bumi tempat pindah yang banyak lagi lapang (rezeki). Barang siapa ke
luar dari rumahnya karena hijrah kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian ia ditimpa
maut, maka sesungguhnya pahalanya dari Allah, Allah pengampun, lagi penyayang
(Q.S An-Nissak: 100).
1. Pendahuluan
Walaupun, fertilitas dan mortalitas menentukan tingkat pertambahan penduduk
alami, jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh migrasi (perpindahan). Tingkat
migrasi, dapat naik turun dengan pesat dari tahun ke tahun, sehingga dalam waktu
yang relatif singkat, perpindahan penduduk, kadang-kadang dapat menyebabkan
perubahan yang besar. Dengan demikian, migrasi merupakan salah satu dari tiga
faktor dasar, yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk.
Walaupun, ada pendapat yang mengatakan, bahwa migrasi kelihatannya berjalan
terus tanpa hukum tertentu, akan tetapi Ravenstein terdorong menyajikan papernya
yang sangat terkenal mengenai hukum-hukum migrasi (The Laws of Migration) di
dalam pertemuan Royal Statistical Society pada tanggal 17 Maret 1885. Hukum-
hukum migrasi ini mendapat beberapa kritik dari ahli lainnya, namun demikian
papernya itu lama tahan uji dan tetap menjadi titik tolak untuk penelitian teori migrasi.
Kesimpulan yang diambil oleh Ravenstein adalah, sebagai berikut:
2. Migrasi dan Jarak
a. Banyak migran hanya menempuh jarak dekat dan jumlah migran di suatu pusat
(kegiatan) yang dapat menampung migran-migran itu, makin menurun karena
makin jauhnya jarak yang ditempuh;
b. Migran yang menempuh jarak jauh, umumnya lebih suka menuju ke pusat-pusat
perdagangan, dan industri yang penting.
3. Migrasi Bertahap
a. Arus migrasi terarah ke pusat-pusat perdagangan dan industri yang penting yang
dapat menyerap para migran itu;
b. Penduduk daerah pedesaan yang langsung berbatasan dengan kota yang
bertumbuh cepat itu berbondong-bondong pindah ke sana.Turunnya jumlah
penduduk di pedesaan yang pindah itu digantikan oleh migran dari daerah-daerah
yang jauh terpencil.
4. Arus dan Arus Balik
Adanya arus migrasi itu sendiri, menimbulkan hubungan (kontak) antara tempat
asal, dan tempat tujuan. Berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan,
misalnya berbagai pengalaman baru yang diperoleh di tempat tujuan, apakah itu
ketrampilan khusus atau kekayaan, sering dapat menyebabkan orang kembali ke
tempat asal dengan posisi yang menguntungkan.

97
Migran-migran, kembali ke tempat asal bersama dengan anak-anak mereka yang
lahir di tempat tujuan, dan bersama mereka, ikut juga penduduk asli dari tempat
tujuan, yang memperoleh pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan,
yang lebih baik di daerah asal para migran tersebut. Selanjutnya, tidak semua yang
bermigrasi, bermaksud menetap selama-lamanya di tempat tujuan. Migran, ada yang
mengumpulkan uang dalam jumlah cukup banyak, kembali menikmati hasilnya di
tempat asal. (Everet S. Lee, 1984: 17).
B. Kecenderungan Penduduk untuk Migrasi
Beberapa hal yang dapat disebutkan, mengenai kecenderungan untuk melakukan
migrasi, antara lain sebagai berikut:
1. Pola Kecenderungan Pindah
a. Penduduk kota kurang minatnya untuk bermigrasi, jika dibandingkan dengan
penduduk daerah-daerah pedesaan di suatu negara.
b. Kebanyakan Wanita Lebih Suka Bermigrasi ke Daerah-daerah yang Dekat.
Para Wanita, yang pindah ke daerah yang relatif lebih dekat, rupanya lebih besar
jumlahnya dari pada kaum laki-laki.
c. Teknologi dan Migrasi. Adakah Migrasi Meningkat?. Dengan meningkatnya
sarana perhubungan, perkembangan industri dan perdagangan, menyebabkan
meningkatnya migrasi.
d. Motif Ekonomi Merupakan Dorongan Utama
e. Faktor Penghambat untuk Pindah
1) Undang-undang yang tidak baik atau menindas/tidak menunjang;
2) Pajak yang tinggi;
3) Lingkungan masyarakat yang tidak menyenangkan dan juga paksaan-paksaan
(perdagangan budak);
4) Transportasi.
Keempat di atas dari dulu sampai sekarang selalu menimbulkan arus migrasi,
tetapi tak satupun dari arus-arus itu volumenya dapat dibandingkan dengan volume
arus migran yang didorong oleh keinginan untuk memperbaiki kehidupannya dalam
bidang materiil (ekonomi).
2. Konsep Migrasi:
Perserikatan Bangsa-bangsa merumuskan, migrasi penduduk, adalah
perpindahan tempat tinggal, dari satu unit administrasi ke unit administrasi yang lain.
Pendapat ini di berikan pula oleh Lee (1956), bahwa migrasi adalah perubahan secara
permanen, tidak ada pembatas baik jarak perpindahan atau sifatnya sukarela atau
terpaksa.
a. Penetapan Konsep Migrasi
Penetapan konsep mobilitas teritorial memang rumit, dan menurut Guy
Standing ada empat jenis kriteria, yakni:
1) Ruang: Pengertian migrasi mengandung makna, perpindahan dari satu tempat
ke tempat lainnya yang berarti suatu perubahan “wilayah”, dan perpindahan
melampaui suatu jarak tertentu. Adapun yang terjadi, kriteria ruang menunjuk
pada unit administrasi tertentu, dari suatu wilayah (kelurahan, Kecamatan dan
seterusnya). Namun yang ideal, adalah penetapan wilayah dengan mengacu

98
pada variabel-variabel tertentu, yang penting untuk dianalisa atau berdasarkan
pada ciri-ciri wilayah. Penetapan wilayah memang sulit, boleh jadi wilayah
dibedakan atas kriteria ekonomi (tingkat pendapatan, struktur produksi), bisa
pula atas kriteria kebudayaan, bahasa dan politik.
2) Sedangkan migrasi jarak dekat, adalah perpindahan dalam ruang pengaruh
ibukota yang paling dekat., sedangkan migrasi jarak jauh adalah yang di luar
jarak itu (1983: 4).
3) Tempat Tinggal: Migrasi, adalah perubahan tempat tinggal, yang mencakup
perubahan menyeluruh, dan penyesuaian kembali afiliasi individu pada
komunitas.
4) Waktu: Migrasi, adalah perubahan tempat tinggal melampaui batas wilayah,
yang telah ditetapkan sebelumnya, selama waktu yang ditentukan pula. Ada
yang menentukan waktu selama satu, atau dua tahun, enem bulan, bahkan yang
paling ektrem selama 24 jam, tapi tidak termasuk mereka yang bepergian
secara harian, yang pada dasarnya pelaju. Untuk menambah wawasan kita
bahwa migrasi, adalah perpindahan orang yang relatif permanen melampaui
jarak yang cukup jauh. Bahkan definisi yang lebih lengkap menyatakan, bahwa
migrasi, adalah perpindahan yang permanen, melibatkan rasa perubahan
keterikatan, dan kegiatan struktur sosial, dari satu ke lain tempat, untuk masa
tertentu.
3. Konsep Migrasi Menurut Sensus Penduduk (SP) 1971 dan 1980
Konsep migrasi yang dipergunakan dalam SP 1971 dan 1980 sama, yakni
perpindahan seseorang melewati batas propinsi, menuju ke provinsi lain, dalam jangka
waktu 6 bulan atau lebih. Namun seseorang juga dikatakan bermigrasi walaupun,
pindahnya kurang dari 6 bulan, tetapi sudah mempunyai niatan untuk menetap.
Definisi, dalam arti luas tentang migrasi, ialah perubahan tempat tinggal secara
permanen atau semi permanen. Tidak ada perbatasan, baik dari jarak perpindahan
maupun sifatnya, yaitu migrasi itu sukarela atau paksaan, serta antara perpindahan
dalam, atau luar negeri. Jadi, pindah tempat dari satu apartemen ke apartemen lainnya,
hanya dengan melintasi lantai antara kedua ruangan itu, dipandang sebagai migrasi,
sama perpindahan dari Jakarta ke New York, meskipun sebab-sebab perpindahan itu
berbeda-beda, antara satu migran dengan migran lainnya. Yang tidak dapat diglongkan
sebagai migran adalah, pengembaraan orang nomad (Caravans) di Afganistan, dan
pekerja-pekerja musiman yang tidak lama berdiam di suatu tempat, atau perpindahan
sementara, seperti misalnya pergi ke pegunungan untuk berlibur satu atau dua pekan,
bahkan 3 bulan.
4. Faktor-faktor Pendorong dan Penarik untuk Migrasi
Dengan tidak memperhatikan dekat atau jauhnya perpindahan, adanya
kemudahan atau kesulitan, setiap ada migrasi akan berasal dan menuju, dan adanya
hambatan-hambatan yang merintanginya.
Teori Dorong-Tarik (Push-pull theory): Oleh Everett S. Lee 1966, terdapat
empat faktor yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk bermigrasi, yaitu:
a. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal;

99
Kepekaan pribadi, kecerdasan, kesadaran tentang kondisi di lain tempat,
mempengaruhi tentang keadaan di tempat asal. Bahwa keputusan untuk bermigras,
tidak pernah seluruhnya rasional. Ketidakadilan, kejahatan, tanah gersang, konflik
suku (agama) atau diskriminasi politik dan suku, kemiskinan, peperangan, cuaca
ekstrem, menyempitnya lapangan pekerjaan, tidak cocok lagi dengan adat (budaya,
kepercayaan), bencana alam (banjir, gempa bumi, kemarau panjang, wabah
penyakit, tanah longsor), mungkin menjadi penyebab (pendorong) dari daerah asal
migran untuk berpindah tempat, karena persepsi seseorang dan kepekaannya,
terhadap sesuatu keadaan atau lingkungan berbeda-beda.
b. Faktor-faktor di daerah tujuan;
Pengetahuan tentang keadaan di tempat tujuan, tergantung kepada hubungan-
hubungan seseorang atau berbagai sumber informasi yang tidak tersedia secara
umum. Faktor penarik dari daerah tujuan antara lain: pertumbuhan ekonom dan
terbukanya lapangan kerja baru, fasilitas kesehatan, pendidikan, tempat-tempat
pelesiran yang lengkap, keamanan dan ketertiban hidup, keadaan lingkungan hidup
yang lebih baik (kesuburan tanah, iklim yang lebih menyenangkan), tarikan dari
orang yang telah berhasil (keluarga, teman), kerukunan hidup;
c. Faktor Rintangan dan;
Faktor utama yang menjadi rintangan orang untuk bermigrasi adalah jarak. Di
Jerman dulu ada rintangan Tembok Berlin yang terkenal itu. Di negara lain
Undang-undang Imigrasi menjadi rintangan orang untuk melakukan migrasi.
Transportasi, jalan, kendala lautan luas, cuaca panas, padang pasir luas, menjadi
rintangan berikutnya.
d. Faktor-faktor Pribadi;
Benar tidaknya seseorang melakukan migrasi itu mengambil keputusan
sendiri. Mau tidak mau, anak-anak ikut bermigrasi, begitu pula istri, dan mungkin
keluarga lainnya. Seseorang pindah, atau melakukan migrasi, apabila tempat
kerjanya menghendaki itu, maka keputusan ada pada pribadi seseorang tersebut.
Perkawinan dan perceraian, yang mengharuskan seseorang untuk bermigrasi adalah
keputusan pribadi masing-masing.
Terdapat perbedaan persepsi seseorang migran, atau calon migran terhadap
faktor-faktor yang terdapat di daerah asal, atau tujuan dapat bersifat negatif, positif
atau netral. Orang yang tinggal di satu daerah, mengenal langsung dan mengenal
daerahnya, dan biasanya dapat menentukan pendapatnya tentang fakta di
daerahnya, secara tidak tergesa dan dengan pertimbangan yang matang. Tetapi,
pengetahuannya mengenai faktor-faktor di daerah tujuan, tidak selalu tepat. Faktor-
faktor menguntungkan dan merugikan, hanya dapat diketahui secara tepat jika
menghayati tinggal di daerah tujuan. Selalu ada sisi misterius, di daerah tujuan, dan
tidak tahu migran, apakah ia diterima atau tidak di daerah tempat migran.

100
Bagan 1: Faktor Penarik, Pendorong Migran

0 + _ 0 + _ 0 + _ + _ 0 + _ 0 + _ 0

_ + 0 _ + 0 _ + 0 0 + _ 0 + _ 0 + _

0 _ + 0 _ + 0 _ + _ 0 + - 0 + _ 0 +

Daerah Asal Penghalang AntaraDaerah Tujuan


Catatan= + faktor penarik
_ faktor pendorong
0 faktor netral

Gambar kiri, menunjukkan daerah asal, dan tengah penghalang antara,


sedangkan sebelah kanan, menunjukkan daerah tujuan migrasi. Baik daerah asal,
ataupun daerah tujuan, masing-masing mempunyai sisi negatif, positif, maupun
netral. Begitu pula daerah tujuan juga mempunyai sisi negatif, positif, maupun
netral. Beberapa jenis halangan adalah faktor penghalang jarak, penghalang alami
(natural barries), biaya perjalanan, peraturan atau undang-undang imigrasi, dan
besarnya anggota keluarga.
5. Jenis-jenis Migrasi
Akan disebutkan beberapa jenis migrasi yang dapat disebutkan di bawah ini:
a. Migrasi Masuk (In-Migration), penduduk yang masuk, ke suatu daerah tujuan
migran (Area of Destination);
b. Migrasi Ke luar (Out-Migration), penduduk yang ke luar, dari daerah asal migran
(Area of Origin);
c. Migrasi Netto (Net-Migration), Selisih, antara jumlah migrasi yang masuk, dengan
migrasi ke luar. Apabila migrasi yang masuk, lebih besar dari pada migrasi ke luar,
maka disebut migrasi netto positif, sedangkan bila migrasi ke luar, lebih besar dari
pada migrasi masuk, disebut migrasi netto negatif;
d. Migrasi Brutto (Gross-Migration), jumlah semua migrasi, baik masuk maupun ke
luar;
e. Migrasi Total (Total-Migraton), seluruh kejadian migrasi, mencakup migrasi
semasa hidup (life time migration) dan migrasi pulang (return migration). Migrasi
Total, adalah orang yang pernah mengalami perpindahan;
f. Migrasi Internasional (International Migration), merupakan perpindahan
penduduk, dari suatu negara ke negara lain. Migrasi yang merupakan masuknya
penduduk ke suatu negara, disebut Imigrasi (Immigration), sedangkan sebaliknya
jika itu merupakan ke luarnya penduduk, dari suatu negara, disebut Emigrasi
(Emigration);
g. Migrasi Semasa Hidup (Life Time Migration), adalah migrasi berdasarkan tempat
kelahiran. Mereka yang saat pencacahan sensus, bertempat tinggal di daerah yang
berbeda dengan daerah tempat ia dilahirkan;

101
h. Arus Migrasi (Migration Stream), jumlah atau banyaknya perpindahan yang terjadi
dari daerah asal, ke daerah tujuan dalam jangka waktu tertentu;
i. Urbanisasi (Urbanization), perpindahan penduduk, dari desake kota;
j. Ruralisasi (Ruralization), perpindahan penduduk, dari kota ke desa;
k. Tranmigrasi (Tranmigration), adalah bagian dari migrasi. Dalam literature dikenal
istilah resettlement. Transmigrasi, adalah pemindahan dan/kepindahan penduduk,
dari suatu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam rangka menyebarkan penduduk
agar lebih merata. (Rozy Munir, 1981: 117-119).
6. Faktor yang berpengaruh terhadap Migrasi
a. Pendidikan: Faktor Pendidikan, sangat erat hubungannya dengan migrasi. Secara
ektrem Connell mengatakan bahwa penduduk yang berpendidikan cenderung pergi
ke lain daerah, sedangan mereka yang buta huruf tinggal di rumah (1976). Secara
umum dikatakan, bahwa tingginya tingkat pendidikan mempunyi hubungan positif
dengan migrasi.
b. Ekonomi: Selama motif migrasi adalah ekonomi, maka pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi (growth centers) menjadi daya penarik utama. Dalam hal ini faktor
komunikasi menjadi faktor penting, sebab kelancaran komunikasi akan menimbulkan
dampak saling mengetahui informasi secara cepat. Kota besar menjadi pusat
pertumbuhan, akibatnya tidak pelak lagi menjadi tujuan orang untuk migrasi.
Beberapa propinsi juga mempunyai daya tarik karena terdapatnya sumber daya alam
yang melimpah, misalnya minyak bumi dan hasil hutan.
c. Fasilitas Kesehatan: Kesehatan merupakan indikator kesejahteraan rakyat, yang
dalam hal ini erat hubungannya, dengan tingkat perkembangan suatu daerah.
d. Fasilitas Transportasi: Banyak faktor yang dapat menentukan terhadap kelancaran
transportasi. Masuknya mobil penumpang ke berbagai pelosok desa akan
merangsang orang untuk mengunjungi daerah lain, atau melakukan perpindahan.
7. Ukuran-ukuran Migrasi
a. Angka Mobilitas, adalah rasio dari banyaknya penduduk yang pindah secara lokal
(mover) dalam jangka waktu tertentu dengan banyaknya penduduk.
𝑀
Rumusnya m = 𝑃 . k
m = angka mobilitas
M = jumah mover
P = Penduduk
K = angka konstanta, biasanya 1000. Namun dalam kenyataan suit
memperoleh angka jumlah penduduk yang pindah secara lokal ini.
b. Angka Migrasi Masuk, Angka yang menunjukkan banyaknya migran yang masuk
per 1000 orang penduduk daerah tujuan dalam waktu satu tahun.
𝐼
Rumusnya 𝑚𝑖 = 𝑃k
𝑚𝑖 = angka migrasi masuk
𝐼 = jumlah migrasi masuk (immigraton)
𝑃 = penduduk pertengahan tahun

102
1. Angka Migrasi Ke luar, angka yang menunjukkan banyaknya migran yang
ke luar per 1000 penduduk daerah asal dalam waktu satu tahun.
0
Rumusnya 𝑚𝑜 = 𝑃 . k
𝑚𝑜 = angka migrasi ke luar
0 = jumlah migrasi ke luar (out migration)
P= penduduk pertengahan tahun
c. Angka Migrasi Netto, selisih banyaknya migran masuk dan ke luar ke dan dari
suatu daerah, per 1000 penduduk dalam satu tahun.
𝐼−0
𝑚𝑛 = .k
𝑃
𝑚𝑛 = angka migrasi netto
0 = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ migrasi ke lua
𝐼 = jumlah migrasi masuk
P = penduduk pertengahan tahun
d. Angka Migrasi Brutto, Angka yang menunjukkan banyaknya kejadian
perpindahan, yaitu jumlah migrasi masuk dan migrasi ke luar dibagi jumlah
penduduk tempat asal dan jumlah penduduk tempat tujuan.
𝐼+0
𝑚𝑏 = 𝑃 .k
1 + 𝑃2
𝑚𝑏 = angka migrasi brutto
𝑃1 = penduduk di tempat tujuan
𝑃2 = penduduk di tempat asal
𝑘 = bilangan konstanta, biasanya 1000
𝐶𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ = Angka migrasi brutto Jakarta
49.133−26.124
𝑚𝑔= 4.350.710+21.176.248 x 1000 = 2,9 per seribu
e. Balancing Equation, perkiraan mengenai migrasi netto dapat dilakukan dengan
menggunakan data jumlah penduduk yang diperoleh dari sensus.
I – E = (𝑃1 + 𝑃2 ) − (𝐵 − 𝐷)
Di mana
I – E = migrasi nett
B – D = (Birth – Death) pertambahan penduduk alamiah
𝑃1 − 𝑃2 = perubahan jumlah penduduk antara dua sensus
Contoh
Penduduk pada sensus 2010= 10.508.000
Penduduk pada sensus 2000= 8.987.000
𝑃1 − 𝑃2 = 1.521.000

Kelahiran (B) = 1.544.000


Kematian (D) = 601.000
(B – D) = 943.000
I – E = (𝑃1 - 𝑃0 ) – (B – D)= 578.000
8. Urbanisasi dan Permasalahannya
Menurut Sensus, yang dimaksud dengan Urban yaitu Ibukota propinsi, Ibukota
Kabupaten, Kota Madya, dan kota-kota lain yang amempunyai fasilitas modern:

103
listrik, air PAM, bioskop, rumah sakit, sekolahan, perkantoran, pasar besar, komplek
perumahan dan seterusnya.
a. Latar Belakang Masalah Urbanisasi
1) Penarik yang besar dari kota-kota besar, dibandingkan dengan pedesaan;
2) Penduduk pedesaan di Indonesia pada umumnya berpenduduk lebih besar;
3) Tekanan hidup yang berat;
4) Bertambahnya penduduk, dan semakin menyempitnya lapangan pekerjaan di
pedesaan;
5) Bayangan kota yang lebih memungkinkan untuk hidup lebih baik.
b. Permasalahan Urbanisasi
1) Pertambahan penduduk yang masih tinggi, maka kota-kota besar mempunyai
penduduk yang besar;
2) Migran yang masuk tidak mempunyai keahlian yang memadai;
3) Kota belum siap menerima para migran (urbanis), terutama dalamsoal
lowongan pekerjaan.
4) Menaikkan kesempatan kerja di daerah pedesaan pada umumnya.
9. Mobilitas Penduduk Desa ke Kota dalam Konteks Dunia
Tabel 13: Jenis Migran, Ciri-ciri Perpindahan, Keterikatan desa-kota
Jenis
Ciri-ciri
Migran Keterikatan pada Kota Keterikatan pada Desa
Pepindahan
Spontan
-Pengun- -Pembelanja -tidak ada -tidak ada
jung Asing,
jangka Wisatawan,
pendek Pengunjung

-Migran -Mencari investasi keuangan atau sosial Keluarga (penampung) tetap


Musiman pekerjaan yg amat kecil di kota. Tidur di tinggal di desa. Peran politik
atau untuk ruang terbuka yg disewa dan sosial tetap di desa.
Bolak- memperbesar kelompok, atau barak yg Bagian terbesar pendapatan
balik pendapatan disediakan majikan. Interaksi (kelebihan biaya hidup)
pertanian sosial hampir keseluruhannya dikirim ke desa. Kewargaan
yang memang dgn migran yg lain yg juga dari tetap di desa. Hampir
kecil desa. Pekerjaan dalam sektor keseluruhan orientasi ke
tradisional atau buruh. desa.

-Migran -Datang ke -Sedang. Dapat mengajak -Hubungan kuat terpelihara


Target kota untuk keluarga (penampung) dengan keluarga di desa
masa terbatas, penghasilan. Mencari tempat melalui kunjungan dan
untuk tinggal yg lebih permanen, surat, meskipun beberapa
mencapai misalnya ruang yg disewa peran dpt lepas secara
tujuan pribadi. Lebih banyak sementara. Pengiriman uang
tertentu melakukan interaksi dgn tetap teratur dan dlm jumlah
(misal penduduk kota yg menetap besar. Biasanya tetap
pendidikan namun tetap mempunyai mempertahankan kewargaan

104
tertentu) hubungan dekat dgn teman- desa.
teman desa di kota. Biasanya
bekerja di sektor tradisional.

-Migran -Migran yg Sedang. Dapat mengajak -Hubungan kuat terpelihara


Bertahap berpindah ke keluarga (penampung) dengan keluarga di desa
dan Daur kota dlm penghasilan. Mencari tempat melalui kunjungan dan
Kehi- tahap tertentu tinggal yg lebih permanen, surat, meskipun beberapa
dupan daur misalnya ruang yg disewa peran dpt lepas secara
kehidupan pribadi. Lebih banyak sementara. Pengiriman uang
melakukan interaksi dgn tetap teratur dan dlm jumlah
penduduk kota yg menetap besar. Biasanya tetap
namun tetap mempunyai mempertahankan kewargaan
hubungan dekat dgn teman- desa.
teman desa di kota. Biasanya
bekerja di sektor tradisional.
-Migran Migran yg Tinggi. Keluarga (penampung) -Hubungan-hubungan
Usia menghabiskan penghasilan senantiasa secukupnya dgn desa
Kerja seluruh usia menyertai. Membeli atau asalnya dipelihara untuk
kerjanya di membangun rumah pribadi, menjamin agar kelak
kota namun menempati rumah dinas (PNS) diterima lagi kalau kembali
bermaksud atau menyewa rumah jangka ke desa. Investasi dlm
pada akhirnya panjang. Seringkali mempunyai bidang perumahan dan
tinggal di pekerjaan di sektor formal. tanah, meskipun tidak dapat
desa asal, Tingat interaksi dengan mempertahankan sebagian
kelak setelah penduduk kota yg menetap besar peran dlm bidang
pensiun. tinggi, naun tetap memelihara sosial dan politik.
hubungan dgn teman-teman Pengiriman uang kepada
sesama migran melalui keluarga secara berkala.
perkumpulan yg ada. Kunjungan ulang dilakukan
Mengalihkan kewargaan ke pada hari-hari Lebaran dan
kota. Membantu pendatang baru ketika upacara-upacara
dari desa asal yg ke kota. kekeluargaan yg penting.

-Migran -Migran yg -keseluruhan -tidak ada


Per- menukar
manen secara kese-
luruhan gaya
hidup pede-
saan dgn gaya
hidup kota

-Migran -Migran yg -tidak diketahui -tidak diketahui


yang tak
bimbang mempunyai

105
tujuan ia akan
tinggal di kota
atau kembali
ke desa.
Sumber: G. Hugo, New Concept Approach to Migration in the Context of Urbanization: a
Discussion based on Indonesian Experience, (dalam Guy Standing, 1985: 44).
10. Penyebaran Jumlah (%) Suku Penduduk Indonesia Tahun 2000
Tabel 14: Penyebatran Jumlah Penduduk di Indonesia Tahun 2.000
No. Nama Suku Jumlah Persentase

1. Jawa 83.865.724 41,71


2. Sunda 30.978.404 15,41
3. Melayu 6.946.040 3,45
4. Madura 6.771.727 3,37
5. Batak 6.076.440 3,02
6. Minangkabau 5.475.145 2,72
7. Betawi 5.041.688 2,51
8. Bugis 5.010.421 2,49
9. Banten 4.113.162 2,05
10. Banjar 3.496.273 1,74
11. Bali 3.027.525 1,51
12. Sasak 2.611.059 1,30
13. Makassar 1.982.187 0,99
.... ................. .................. ........
14. Suku-suku lainnya (88 Suku di bawah 26.676.441 17,73
0,99%) 201.092.238 100,00

Sumber: Indonesia’s Population, Suryadinata, 2003: 7-9


11. Suatu Tipologi Kategori Status Mobilitas
Tabel 15: Tipologi Kategori Status Mobilitas
No. Tipologi Kategori Status

1. Pengembara..........................................................  Nomad
 Pengelana
 Pekerja berpindah-pindah
2. Pesinggah..............................................................  Migran Sirkuler
 Migran Musiman
 Migran Tahap Daur
Kehidupan
3. Perpindahan.........................................................

4. Migran Jangka Panjang...................................... Migran Usia Kerja


Migran Sepanjang Hidup
Migran Kembali

106
Migran Bertahap
Migran Jangka Panjang

5. Non-Migran.......................................................... -Penduduk Menetap


-Penduduk yang Ragu-ragu
-Calon Migran

Sumber: Guy Standing, 1985: 48.Betapa pentingnya migrasi sebagai kajian


kependudukan, untuk melihat fenomena sosial dan ekonomi, dan diharapkan
semakin banyak yang mempelajari dan meneliti migrasi.
12. Dilema Urbanisasi
Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap kali habis Lebaran, media massa
nasional kembali ramai menyoroti isu urbanisasi. Setiap kali, pemerintah Ibu Kota dan
kota besar lain kewalahan dan disibukkan dengan berbagai kebijakan untuk
membendung serbuan pendatang ilegal yang masuk bersamaan dengan arus balik,
Tahun ini (2011), menurut BKKBN sekitar 1,8 juta orang menyerbu Jabodetabek.
Ini menambah beban perkotaan, khususnya DKI yang sudah overpopulated,
serta memunculkan persoalan ekonomi dan sosial baru. Kebijakan pemerintah DKI
membatasi jumlah penduduk pun diragukan akan berhasil. Kita memahami, persoalan
urbanisasi juga dilematis bagi pemerintah. Penyakit kita selama ini, kita hanya sibuk
menangani di hilir, bukan di hulu persoalan, dan itu pun tak menyelesaikan masalah.
Kita, juga cenderung melihat ini, semata beban dan persoalan pemerintah kota.
Padahal, problem urbanisasi tali-temali dengan paradigma kebijakan
pembangunan daerah dan pembangunan nasional yang lebih besar, yang selama ini
tidak saja gagal memberdayakan masyarakat di daerah, tetapi justru melahirkan
ketimpangan kian tajam, baik antar daerah, antar sektor, desa-kota, maupun antar
kelompok pendapatan.
Urbanisasi hanya satu indikasi tersumbatnya pembangunan di daeah dan
timpangnya distribusi pembangunan dan pertumbuhan. Kendati sudah ada otonomi
daerah, sektor-sektor di pedesaan terus mengalami kemunduran cepat dan masif
karena dianaktirikannya pertanian dan pembangunan pedesaan akibat kebijakan
pembangunan yang bias kota.
Selama ketimpangan desa-kota terus melebar, dan desa terus ditinggalkan,
selama itu pula, migrasi ke perkotaan akan terus terjadi serta Ibu Kota, dan kota-kota
besar akan terus menjadi magnet bagi pendatang. Melarang orang datang, lebih-lebih
melalui kebijakan represif, tak akan menyelesaikan masalah. Urbanisasi, hanya bisa
ditekan, dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya di daerah asal.
Ke depan, kita harus menempatkan urbanisasi sebagai bagian dari persoalan
pembangunan yang lebih besar, dan bukan persoalan yang berdiri sendiri. Percepatan
pembangunan di daerah, khususnya pedesaan, tak boleh lagi hanya jadi retorika.
Sampai sekarang, gagasan menciptakan pusat pertumbuhan baru, modernisasi atau
industrialisasi pedesaan, dan menjadikan desa sebagai pilar penting pertumbuhan lebih
banyak hanya berhenti di gagasan.

107
Kita harus belajar dari China, yang pemerintahnya secara sadar
menggelontorkan investasi masif, untuk membangun prasarana jalan dan berbagai
infrastruktur lain hingga pelosok pedesaan guna membuka berbagai sumbatan dan
akses serta pengembangan potensi seluas-luasnya.
Terabaikannya pembangunan pertanian, dan pedesaan serta kenyataan, bahwa
64 % penduduk miskin kita hidup di pedesaan menunjukkan, kebijakan pembangunan
yang kita terapkan selama ini jauh dari jargon pro-foor (Kompas, Selasa 13 September
2011).
13. Keluarga Berencana (Family Planning)
a. Pendahuluan
Menurut catatan sejarah, salah satu penyebab begitu cepatnya pertumbuhan
penduduk Indonesia, adalah pasca kemerdekaan itu sendiri yang menyebabkab ada
ledakan jumlah kelahiran, dan kelalaian yang dilakukan sebelum tahun 1949 ada
gerakan yang menyetujui kelahiran pada jaman Soekarno. Kemudian Presiden
Soeharto menandatangani “Deklarasi PBB tentang Kependudukan” (United Nations
Declaration on Population), kemudian diikuti berdirinya Lembaga Keluarga
Berencana Nasonal (LKBN) pada tahun 1969, yang merupakan badan semi
pemerintah. Kegiatan ditingkatkan menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), pada tahun 1970. Adapun salah satu tujuan program ini adalah
menurunkan Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate=CBR) sebanyak 50 % pada
tahun 1990, dibandingkan keadaan tahun 1971.
b. Istilah yang Dipakai
1) Akseptor, Pasangan usia subur, di mana salah seorang dari padanya
menggunakan satu cara/alat kontrasepsi untuk tujuan pencegahan kehamilan,
baik melalui program maupun bukan program.
2) Akseptor Baru, pasangan usia subur, yang baru pertama kali menggunakan
salah satu cara/alat kontrasepsi, dan/atau pasangan usia subur yang
menggunakan kembali, salah satu cara/alat kontrasepsi, setelah berakhir masa
kehamilan.
3) Pasangan Usia Subur (PUS), pasangan suami istri, yang pada saat ini hidup
bersama, baik tempat tinggal resmi dalam suatu rumah ataupun tidak, di mana
istrinya berumur antara 15-44 tahun.
4) Kontrasepsi Modern, Cara/alat kontrasepsi, yang digunakan untuk mencegah
kehamilan. Adapun yang termasuk dalam alat ini adalah: IUD, Pil, Suntikan,
Kondom, Diapragma, Vaginal Tablet/jelly/foam, maupun sterilisasi baik untuk
wanita, maupun untuk pria.
5) Peserta KB Aktif (Current User), Pasangan Usia Subur, yang saat ini masih
menggunakan salah satu cara/alat kontrasepsi.
6) Akseptor Aktif Kembali, adalah Pasangan Usia Subur, yang telah berhenti
menggunakan selama 3 bulan atau lebih, yang tidak diselingi oleh kehamilan,
dan kembali menggunakan kontrasepsi, baik dengan cara yang sama maupun
berganti.

108
7) Kelahiran Tercegah (Birth Prevented), Banyaknya kelahiran yang dapat
dicegah karena pasangan-pasangan usia subur mengunakan salah satu cara/alat
kontrasepsi.
8) Peserta KB Aktif (Current Users), Pasangan Usia Subur yang pada saat ini
masih menggunakan salah satu cara/alat kontrasepsi.
9) Current Users Pil. Dihitung berdasarkan jumlah pil oral yang disampaikan
kepada peserta KB. Setiap strip pil oral yang diberikan kepada peserta KB, akan
memberi perlindungan (proteksi) dalam satuan bulan (Couple Month).
10)Current Users Kondom, dihitung berdasarkan jumlah pemberian komdom
kepada peserta KB. Asumsinya sebulan memakai 6 biji.
11)Current Users Suntik KB, dihitung berdasarkan jumlah suntikan yang
dilakukan kepada peserta KB. Asumsinya suntikan akan efektif selama 3 bulan.
12)Current Users Medis Operatif Pri (MOP) Asumsinya rata-rata efektif selama
7 tahun.Current Users Medis Operatif Wanita (MOW). Asumsinya rata-rata
efektif dalam waktu 7 tahun.

109
BAB XI
KEPENDUDUKAN, DAN LINGKUNGAN HIDUP IV
(Pertemuan ke XI)

A. Angkatan Kerja (Labour Force)


1. Pendahuluan
Tenaga kerja merupakan faktor yang terpenting dalam proses produksi. Sebagai
sarana produksi, tenaga kerja lebih penting daripada sarana produksi yang lain seperti:
bahan mentah, tanah, air dan sebagainya. Karena manusialah, yang menggerakkan
semua sumber-sumber tersebut untuk menghasilkan barang (Simanjuntak, P.J. 1981).
Penyediaan tenaga kerjapun sifatnya terbatas, karena tidak semua penduduk
merupakan tenaga kerja. Hanya penduduk yang telah mencapai umur minimum
tertentu, baru bisa dianggap sebagai tenaga kerja potensial, atau angkatan kerja. Di
Indonesia, misalnya hanya mereka yang telah mencapai umur 10 tahun atau lebih
yang dianggap sebagai angkatan kerja. Sedangkan di negara maju, angkatan kerja
adalah semua penduduk yang berumur 15 tahun atau lebih. Selain itu, tidak semua
angkatan kerja terlibat dalam kegiatan ekonomi. Yang terlibat dalam kegiatan
ekonomi, hanyalah mereka yang bekerja.
Adapun jumlah angkatan kerja dalam suatu negara, atau daerah pada suatu
waktu tertentu, tergantung dari jumlah penduduk usia kerja. Perbandingan antara
angkatan kerja, dan penduduk usia kerja ini disebut “Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK)”. Semakin besar jumlah penduduk usia kerja, dan semakin besar
TPAK-nya, maka semakin besar pula jumlah angkatan kerja. TPAK dipengaruhi oleh
berbagai faktor demografis, sosial dan ekonomi. Faktor-faktor ini antara lain: adalah
umur, status perkawinan, tingkat pendidikan, daerah tempat tinggal (kota-desa),
pendapatan, dan agama. Pengaruh tersebut berbeda antara penduduk laki-laki dan
perempuan.
Hampir sama dengan negara berkembang lainnya, Indonesia juga mengalami
tingkat pertumbuhan penduduk yang pesat di masa-masa yang lampau. Pada tahun
1980 penduduk Indonesia 147 juta jiwa, dan saat ini tahun 2010 sudah menjadi
237.556.363 jiwa. Pertumbuhan yang pesat ini tentu saja mempengaruhi pula pesatnya
pertumbuhan angkatan kerja. Tidak saja pertumbuhan itu berubah, akan tetapi
pertumbuhan juga terjadi pada TPAK-nya.
2. Pengertian Tenaga Kerja (Manpower)
Tenaga Kerja: penduduk dalam usia kerja, adalah uia 15-64 tahun. Kebiasaan
yang dipakai di Indonesia adalah seluruh penduduk usia 10 tahun ke atas. Definisi
lengkap adalah jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi
barang dan jasa, jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau
berperanserta dalam aktifitas tersebut.
3. Angkatan Kerja (Labour Force)
a. Secara Demografis besarnya angkatan kerja tergantung dari tingkat partisipasi
angkatan kerja, yaitu berapa persen dari tenaga kerja, yang menjadi angkatan kerja.
Angkatan kerja, adalah bagian dari tenaga kerja, yang sesungguhnya terlibat, atau
berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan produktif, yaitu memproduksi barang dan

110
jasa. Konsep labour force, harus mempunyai referensi waktu yang pasti, misalnya
satu minggu.
b. Angkatan Kerja yang Bekerja: Penduduk (10 Tahun) ke atas yang dimaksudkan
dalam kategori bekerja, adalah mereka yang selama satu minggu yang lalu
melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh, atau membantu memperoleh
penghasilan, atau keuntungan dan bekerja paling sedikit 1 (satu) jam dalam
seminggu yang lalu.
c. Punya Pekerjaan, tetapi sementara Tidak Bekerja: Yang dimaksud ke dalam
kategori ini adalah penduduk (10 tahun ke atas) yang mempunyai pekerjaan tetapi
selama seminggu yang lalu tidak bekerja karena berbagai sebab, seperti sedang
sakit, cuti, menunggu panenan, mogok dan sebagainya, atau bekerja tetapi kurang
dari 1 (satu) jam. Contoh:
1) Pekerja Tetap, pegawai pemerintah atau swasta yang sedang tidak bekerja
karena cuti, sakit, mogok, mangkir, perusahaan menghentikan kegiatannya
sementara (misal: kerusakan mesin, kekurangan bahan baku);
2) Petani yang mengusahakan tanah pertanian, dan sedang tidak bekerja karena
alasan seperti menunggu panenan, atau hujan untuk menggarap sawah;
3) Mereka yang bekerja atas tanggungan sendiri dalam bidang keahlian yang
sedang tidak bekerja seperti tukang cukur, tukang pijat.
4) Mencari Pekerjaan, yang dimasukkan dalam kategori ini ialah penduduk 10
tahun ke atas, yang sedang berusaha mendapatkan/mencari pekerjaan.
Termasuk di dalamnya:
5) Mereka yang belum pernah bekerja;
6) Mereka yang sudah pernah bekerja kemudian karena sesuatu hal berhenti atau
diberhentikan,
7) Mereka yang dibebastugaskan, dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan.
Sedangkan usaha mendapatkan pekerjaan misalnya, dapat dilakukan dengan cara:
1) Mendaftar di Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
2) Sedang mengajukan lamaran;
3) Melamar pekerjaan iklan yang menawarkan pekerjaan;
4) Mendatangi kantor/pabrik untuk melamar pekerjaan;
5) Memesan kepada teman/saudara untuk memberitahukan lowongan pekerjaan;
6) Lainnya yang berkaitan dengan mencari pekerjaan.
7) Kegiatan usaha mencari pekerjaan tersebut tidak terbatas dalam jangka waktu
seminggu yang lalu saja, tetapi bisa dilakukan beberapa waktu yang lalu. Jadi
dalam kategori ini mencari pekerjaan juga dimasukkan, misalnya mereka yang
sedang memasukkan lamaran pekerjaan, atau pesan pada saudara/teman,
beberapa beberapa bulan yang lalu.
4. Bukan Angkatan Kerja (Not in the Labour Force)
a. Adalah bagian dari tenaga kerja (man power), yang tidak bekerja ataupun
mencari pekerjaan, jadi mereka adalah bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya
tidak terlibat, atau tidak berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan produktif, yaitu
memproduksi barang atau jasa.

111
b. Sedang Sekolah, yang dimasukkan dalam kategori ini adalah penduduk 10 tahun
ke atas yang melakukan pekerjaan sekolah. Anak sekolah yang selam seminggu
yang lalu sedang berlibur dan tidak melakukan kegiatan lainnya dimasukkan ke
dalam kategori sekolah.
c. Mengurus Rumah Tangga, yang dimasukkan ke dalam kategori mengurus rumah
tangga adalah penduduk umur 10 tahun ke atas yang selama seminggu yang lalu
mengurus rumah tangga tanpa mendapatkan upah/gaji. Pembantu rumah tangga
yang mendapatkan upah/gaji walaupun pekerjaannya mengurus rumah tangga
dianggap bekerja.
d. Penerima Pendapatan, penduduk yang berusia 10 tahun ke atas yang tidak bekerja
atau melakukan suatu kegiatan tetapi memperoleh penghasilan, misalnya:
pensiunan, bunga simpanan, hasil pesewaan.
e. Lain-lain, penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang hidupnya tergantung
pada orang lain, misalnya: usia lanjut, lumpuh, dungu/cacat mental, cacat jasmani
(bisu, tuli).
f. Tidak Bekerja, Penduduk (10 tahun) yang dimasukkan dalam kategori kerja
adalah mereka yang selama seminggu yang lalu tidak bekerja, karena berbagai
sebab; seperti: sedang sakit, cuti, menunggu panenan, mogok. (Konsep menurut
Sensus Penduduk Tahun 1971, dan Tahun 1980).
5. Ukuran Dasar dalam Angkatan Kerja
a.Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yaitu menggambarkan jumlah
angkatan kerja dalam suatu kelompok umur sebagai persentase penduduk dalam
kelompok umur itu. Ini dapat juga merupakan tingkat partisipasi total dari seluruh
penduduk dalam usia kerja (Tingkat Aktivitas Umum).
𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
Rumus = x 100 %
𝑇𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
b. Tingkat Aktivitas Menurut Umur dan Jenis Kelamin (Age Sex Specific Activity
Rate), yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Umur dan Jenis Kelamin.
𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝐿𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖 𝑈𝑚𝑢𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
Rumus untuk Laki-laki = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝐿𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖 𝑈𝑚𝑢𝑟 𝑇𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 x 100 %
Rumus ini dapat dilakukan untuk berbagai karakteristik dari Angkatan Kerja,
misalnya:
-Tingkat Pendidikan
-Status Perkawinan
-Tingkat Pendapatan di Rumah Tangga
c. Tingkat Aktivitas Menurut Jenis Kelamin (Sex Specific Activity Rate), tingkat
partisipasi yang disajikan antara Laki-laki dan Wanita. Menurut polanya, Tingkat
Partisipasi biasanya untuk Laki-laki lebih tinggi dari wanita.
𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝐿𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖
Rumusnya = x 100 %
𝑇𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝐿𝑎𝑘𝑖−𝑙𝑎𝑘𝑖
d. Tingkat Pengangguran (Unemployment Rate), angka yang menunjukkan berapa
berapa banyak dari jumlah angkatan kerja, yang sedang aktif mencari pekerjaan.
Pengertian penganggur adalahaktif mencari pekerjaan.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑂𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑐𝑎𝑟𝑖 𝑃𝑒𝑘𝑒𝑟𝑗𝑎𝑎𝑛
Rumusnya = x 100 %
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎

112
e. Menganggur, adalah mereka yang tidak bekerja, dan sekarang ini sedang mencari
pekerjaan, menurut referensi waktu tertentu. Termasuk dalam kelompok ini adalah
mereka yang pernah bekerja, atau sekarang sedang dibebastugaskan, tetapi sedang
menganggur dan mencari pekerjaan.
f. Pengertian Pengangguran, di atas telah disebutkan bahwa menganggur, adalah
bagian dari angkatan kerja yang sekarang tidak bekerja, dan sedang aktif mencari
pekerjaan. Konsep ini sering disebut sebagai keadaan pengangguran terbuka.
g. Setengah Menganggur (Underemployment), konsep yang dipakai International
Labour Orgnization (ILO), adalah perbedaan antara jumlah pekerjaan yang betul
dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya, dengan jumlah pekerjaan yang secara
normal mampu, dan ingin dikerjakannya. Konssep ini dibagi lagi dalam:
h. Setengah Menganggur yang Kentara (Visible Underemployment), adalah jika
seseorang bekerja tidak tetap (part time) di luar keinginannya sendiri, atau bekerja
dalam waktu yang lebih pendek dari biasanya.
i. Setengah Menganggur yang Tidak Kentara (Invisible Underemployment), jika
seseorang bekerja secara penuh (full time) tetapi pekerjaannya itu dianggap tidak
mencukupi, karena pendapatannya yang terlalu rendah, atau pekerjaannya tersebut
tidak memungkinkan seseorang untuk mengembangkan seluruh keahliannya.
j. Pengangguran Tidak Kentara (Disguised Unemployment), mereka yang bekerja
tetapi sebetulnya mereka adalah, penganggur jika dilihat dari segi produktifnya.
Jadi sebetulnya dia tidak produktif dalam pekerjaannya. Misalnya: mereka terdiri
dari 4 orang yang bekerja dalam satu jenis pekerjaan, yang sesungguhnya dapat
dikerjakan oleh 3 orang, sehingga 1 orang tersebut sebetulnya “Disguised
Unemployment”.
k. Pengangguran Friksionil, pengangguran yang terjadi akibat pindahnya seseorang,
dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan akibatnya harus mempunyai tenggang
waktu, dan berstatus sebagai penganggur sebelum mendapatkan pekerjaan yang
lain tersebut (Kusumosuwidho, 1985: 205 – 213).
6. Kegiatan Ekonomi dan Pengangguran.
a. Hampir semua ekonom dan lembaga-lembaga internasional selalu mengatakan,
pertumbuhan ekonomi mesti mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Bahkan
dihitung secara eksak, bahwa pertumbuhan ekonomi sekian persen, akan
mengurangi pengangguran sekian persen. Invesitasi sekian persen, akan
meningkatkan pertumbuhan sekian persen. Lapangan kerja baru untuk menyerap
angkatan kerja akan tercipta, sehingga mengurangi pengangguran, apabila
pertumbuhan ekonomi selalu meningkat.
b. Masalah pengangguran terbuka (Open Unemployment) memang selalu menjadi
masalah yang perlu dipecahkan dalam setiap pertumbuhan ekonomi. Jumlah
penduduk yang semakin banyak (237.556.363 jiwa Sensus Penduduk 2010), telah
membawa akibat jumlah angkatan kerja yang makin besar pula. Tentu saja ini
mengakibatkan orang yang mencari pekerjaan akan semakin besar, begitu pula
jumlah mereka yang menganggur. Idealnya, pertumbuhan ekonomi harus
berkembang lebih cepat dari jumlah orang yang mencari pekerjaan. Keadaan ini
sangat diperlukan untuk memperkecil tingkat pengangguran terbuka. Jika

113
perekonomian suatu negara menjadi makmur, maka makin memperkecil jumlah
pengangguran.
c. Adapun data di Indonesia tentang ciri demografinya, menunjukkan jumlah
penduduk yang sangat besar, karena tingkat pertumbuhannya masih cukup
tinggi (1,49 % per tahun). Stukturnya tergolong struktur usia muda, dengan
dicirikan banyaknya penduduk usia muda. Hal inilah yang memberikan implikasi
serius terhadap perkembangan ketenagakerjaan. Dari Sensus Penduduk 1980,
angkatan kerja Indonesia tercatat 52,1 juta, atau sepertiga dari jumlah penduduk
yang ada, dan jumlah tersebut semakin tahun mengalami pertumbuhan yang
signifikan.
7. Fluktuasi Tingkat Pengangguran Indonesia
a. Pada saat terjadi “Baby Boom” setelah selesainya perang fisik (Tahun 1945),
maka masih terasa dampaknya terhadap angkatan kerja. Aktivitas Keluarga
Berencana yang sudah dimulai pada tahun 1970-an baru akan mempunyai
pengaruh terhadap angkatan kerja pada tahun 1985-an, karena memerlukan
tenggang waktu 10 – 15 tahun dalam memasuki angkatan kerja.
b. Pada periode 1971 tingkat pertumbuhan angkatan kerja mencapai 4,8 persen
atas penduduk kota, dan pada periode terakhir 1976 meningkat menjadi 6,3
persen atas penduduk kota. Pada periode tahun 1977 ada sedikit penurunan
pengangguran kota yakni sebesar 6,1 persen. Pada periode tahun 1978 sebesar 6,0
persen, dan tahun 1980 menurun drastis menjadi sebesar 3,9 persen.
c. Ketidakberhasilan sektor industri di kota dianggap paling potensial dalam
penyerapan tenaga kerja, karena pola investasi padat-modal akan berpengaruh
terhadap timbulnya pengangguran di kota.
Tingkat pengangguran kota di Indonesia sebetulnya relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan negara Asean lainnya (kecuali Muangthai tahun 1968,
sebesar 1,3 persen). Rendahnya tingat pengangguran di kota untuk Indonesia dan
Muangthai, kiranya sangat berkaitan dengan besarnya sektor informal.
Tabel 16: Perkiraan Tingkat Pengangguran di Indonesia

Tahun 1) Kota 2) Desa *)

1971 4,8 1,8


1976 6,3 1,6
1977 6,1 1,6
1978 6,0 1,8
1980 * 3,9 1,8
1990 * 2,9 1,6
2000 * 2,4 1,5

*) Angka Perkiraan
Sumber: Sensus Penduduk 1971 & 1980(Seri-C), SAKERNAS ‘76, ‘77, ‘78.
Apabila mengikuti tingkat pengangguran di kota di Indonesia dari waktu ke
waktu sejak 1971, ternyata ada pola yang serasi dan sedikit kenaikan sampai

114
1978. Namun demikian banyak ahli kependudukan memperkirakan telah terjadi
“underestimation”, mengingat hasil-hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga
Demografi Universitas Indonesia (1972) dan Gavin Jones, Bondan Supraptilah
(1975), masing-masing mengenai pengangguran di tiga kota besar di Jawa
(Jakarta, Surabaya dan Bandung), dan dua kota besar di luar Jawa (Ujung
Pandang dan Palembang). Kedua survey ini, menghasilkan tingkat pengangguran
di kota besar sekitar 10 persen. Sebagaimana di negara berkembang lainnya,
tingkat pengangguran di kota 2 – 4 kali lebih tinggi di desa.
Untuk analisa tahun 1980, mungkin terjadi pada pengklasifikasian penduduk
usia kerja ke dalam angkatan kerja, dan bukan angkatan kerja oleh para pencacah
Sensus Penduduk 1980. Pada Sensus Penduduk 1980, kolom lainnya yang
biasanya termasuk orang sakit, cacat dan jompo, terlalu besar terutama pada usia
muda. Lebih dari 10 persen jumlah penduduk usia kerja, baik di kota maupun di
desa masuk ke dalam kategori “lainnya” ini. Sedangkan kategori lainnya pada
SAKERNAS hanya kecil saja jumlahnya, yakni sekitar 6 persen, bahkan kurang
dari ini untuk kelompok umur relatif muda.
Membicarakan tingkat pengangguran akan tidak banyak berarti, apabila
tidak dipisahkan antara tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan. Di banyak
negara sedang berkembang, tingkat pengangguran wanita lebih tinggi, dari tingkat
pengangguran perempuan, terutama untuk daerah perkotaan. Perbedaan kota dan
desa di Indonesia, tanpa memisahkan antara Jawa dan Luar Jawa, adalah lemah,
mengingat heterogenitas kota-kota di Indonesia. Oleh karena itu pemisahan kota
Jawa dan Luar Jawa penting untuk keperluan analisis tingkat pengangguran di
Indonesia.
Ketidakseimbangan antara Penawaran (Supply) dan Permintaanan (Demand)
Tenaga Kerja. Masalah yang pada umumnya timbul dalam pembicaraan angkatan
kerja, adalah adanya ketidakseimbangan antara Penawaran Tenaga Kerja (Supply
of Labour) dengan Pemintaan Tanaga Kerja (Demand of Labour) pada suatu
tingkatan upah nominal tertentu. Ketidakseimbangan itu dapat berupa:
Terdapat lebih besarnya Penawaran tenaga kerja, dibandingkan permintaan
terhadap tenaga kerja (Excess Supply of Labour); Keadaan umum yang terjadi
adalah adanya “Excess Supply of Labour” ini. Artinya, pada suatu tingkat upah
tertentu, dan di suatu lapangan pekerjaan tertentu, jumlah orang yang
menawarkan tenaganya untuk dipekerjakan lebih banyak, dari pada jumlah
orang yang diminta untuk bekerja. Contohnya: Lowongan formasi beberapa jenis
pekerjaan tertentu di kota-kota Indonesia, selalu dibanjiri banyaknya pelamar,
dibandingkan dengan formasi yang ada.
Terdapat lebih besarnya permintaan tenaga kerja dibanding penawaran
tenaga kerja (Excess Demand of Labour); Ada kalanya pada beberapa lapangan
pekerjaan tertentu dapat terjadi “Excess Demand of Labour” ini. Artinya pada
suatu tingkat upah tertentu, jumlah orang yang diminta bekerja dalam suatu
lapangan pekerjaan tertentu lebih banyak dibandingkan dengan jumlah orang
yang menawarkan tenaganya untuk bekerja. Contohnya: Tenaga-tenaga Medis,
Dokter, Petugas Lapangan dan Guru di daerah terpencil).

115
B. Perkawinan (Married) dan Perceraian (Divorce)
“Tiap-tiap sesuatu Kami jadikan berpasang-pasang (jantan-betina), mudah-
mudahan kamu menerima peringatan (Q.S. Azz-Zariyaat, 49). “Maha Suci Allah
yang menciptakan berpasang-pasang semuanya, di antara apa-apa yang
ditumbuhkan bumi, dan dari diri mereka sendiri dan dari apa-apa yang tidak
mereka ketahui (Q.S Yaasin, 36).
Sesungguhnya pernikahan tidak akan menjadi surga bagimu, kecuali karena
usahamu; dan tidak akan menjadi neraka, kecuali juga karena ulahmu. Kalian
tinggal memilih, bagaimana bentuk pernikahan yang kalian inginkan; seperti surga
atau neraka (Ustadz Muhammad bin Rasyid Al-Uwaidi).
1. Pendahuluan
Perkawinan, berasal dari kata asal “kawin”, dan kata kawin ini jangan dipahami
sebatas hubungan seksual (di luar akad nikah resmi), tetapi justru harus dipahami
sebagai nikah resmi. Antara “kawin” dan “nikah” mempunyai arti yang sama.
Perbedaannya, kata kawin itu berasal dari Bahasa Jawa, sedangkan kata nikah berasal
dari Bahasa arab. Orang sering membedakan antara kawin dan nikah. Menurut Imam
Hanafi, nikah adalah hubungan seksualitas, sementara menurut Imam Syafi’i nikah
adalah sebuah akad, yang dengannya hubungan sekusualitas menjadi halal, yang
menjadikan hubungan dua orang menjadi satu pasangan sah secara legal. Sebagaimana
diketahui, bahwa dalam tradisi seks, seorang laki-laki mesti kawin dengan wanita.
Demikian juga, seorang wanita mesti kawin dengan laki-laki.
Di dalam pembahasan perkawinan, ada dua yang perlu dibedakannya, yaitu:
status perkawinan dan perkawinan itu sendiri. Yang dimaksud perkawinan, adalah
merupakan suatu perubahan, dari status perkawinan lain menjadi status “Kawin”.
Sedangkan perceraian, merupakan perubahan dari status kawin menjadi status “Cerai”,
sedangkan “Janda” merupakan perubahan dari status kawin karena salah satu pasangan
meninggal, atau sebab yang lain. Ahli demografi menaruh perhatian kepada status
perkawinan seseorang, adalah karena dalam semua masyarakat, status sosial yang
paling penting sebenarnya adalah status perkawinan.
Ahli Demografi tertarik ikatan perkawinan, terutama karena awal mula dan
berlanjutnya ikatan seksual yang stabil, itu merupakan sebagian variabel hubungan
seks dalam analisis fertilitas. Perkawinan, bukan merupakan komponen yang langsung
mempengaruhi pertambahan penduduk, akan tetapi mempunyai pengaruh cukup besar,
terhadap fertilitas yang merupakan salah satu unsur pertumbuhan penduduk.
2. Konsep dan Istilah yang dipakai
Perserikatan Bangsa Bangsa mengkategorikan 4 jenis Status Perkawinan
yang erat hubungannya, dengan tingkah laku manusia dalam Hukum, Agama,
dan Kebudayaan, yakni:
a. Belum Kawin; Seseorang yang tidak/belum mempunyai ikatan perkawinan yang
sah.
b. Kawin; atau Perkawinan, adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah
Tangga) yang bahagia dan kekal (Sakinah, Mawaddah, Warrohmah dalam Islam),
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ada dua jenis perkawinan, yaitu:

116
1) Perkawinan Pertama, yaitu perubahan status dari belum kawin ke dalam
status Kawin;
2) Perkawinan Kedua adalah kawin kembali, yaitu perubahan dari status janda,
atau cerai menjadi status kawin kembali.
c. Janda; Status Perkawinan yang sah, akan tetapi berubah atau rusak karena
bercerai, ditinggal mati pasangannya, atau ditangguhkan.
d. Cerai; Berpisahnya ikatan perkawinan yang sah yang diakibatkan oleh sesuatu hal,
dan diputuskan oleh lembaga yang berhak untuk memutuskan perceraian. Sahnya
perceraian dinyatakan atas hukum perdata yang berlaku, hukum agama, dan
peraturan adat kebudayaan dalam suatu negara.
Status Perkawinan di luar yang disebutkan di atas, yang terjadi di negara
tertentu, yaitu kumpul tanpa mempunyai predikat legal dalam Hukum, atau Agama
tidak dikenal secara sah di Indonesia. Di negara lain ada yang memasukkan status
lain tersebut (Free Sex, Samen Laven, di Indonesia diistilahkan kumpul kebo),
dengan status Kawin.
3. Jenis-jenis Perkawinan
Ada beberapa jenis perkawinan yang dikenal selama ini:
a. Monogami, suatu sistem perkawinan di mana seorang pria/wanita hanya boleh
menikah dengan lawan jenisnya pada suatu waktu tertentu.
b. Poligini, dalam poligami seorang pria/wanita dapat menikah dengan lebih dari
seorang lawan jenisnya, pada suatu waktu tertentu.
c. Poliandri, seorang isteri mempunyai lebih dari seorang suami pada waktu yang
sama.
d. Hidup Selibat, istilah selibat dipergunakan untuk menunjukkan keadaan tidak
pernah kawin. Bila seorang tetap dalam keadaan seperti itu sepanjang hidupnya,
maka disebut ia melakukan Selibat Permanen.
Di hampir semua negara Barat yang berorientasi Kristen, jenis perkawinan
selain monogami biasanya dilarang menurut hukum. Cotran menulis, bahwa semua
hukum adat (perkawinan) di Afrika mengijinkan, bahkan mendorong pria memiliki
isteri sebanyak ia suka (1968: 17). Menurut adat, hampir semua kebudayaan Asia
mengijinkan poligini. Akan tetapi, praktek poligini sekarang sudah tidak banyak
lagi dan kurang dapat diterima. Di manapun poligami dilaksanakan, selalu
dihubungkan dengan status yang tinggi dan kekayaan, kedua hal inilah yang
mungkin merupakan sebab, mengapa praktek poligami ditentang di negara-negara
Asia pada masa sekarang.
4. Usia Kawin
Ahli Demografi, tertarik untuk mengukur distribusi umur penduduk pada
waktu memasuki ikatan seksual, atau dengan istilah perkawinan, usia konsumasi
perkawinan (hubungan kelamin yang pertama kali dilakukan setelah menikah). Bila
konsumasi terjadi segera setelah menikah (biasanya memang demikian), maka usia
kawin, dianggap sama dengan usia memasuki suatu ikatan perkawinan, atau ikatan
seksual. Ini didasarkan, dalam kasus dalam beberapa masyarakat di Asia waktu
lampau, seorang gadis dikawinkan beberapa tahun sebelum cukup umurnya. Maka,
konsumasi ditunda selama beberapa tahun, karena gadis itu masih kanak-kanak dan

117
secara seksual belum dewasa. Perkawinan bocah sangat lazim dalam perkawinan
tradisional di India dan Republik Rakyat China.
Hukum Islam mengijinkan seorang gadis dinikahkan tanpa pandang umur,
tetapi konsumasinya harus menunggu sampai ia mendapat haid pertama. Hukum
Kanon (Gereja Kristen) menuntut seorang gadis yang sudah mencapai usia 12 tahun,
dan jejaka 14 tahun, dapat menikah resmi. Pada abad 20 ini, baik di negara-negara
Barat maupun Timur, usia perkawinan minimum yang resmi cenderung di atas usia
pubertas. Di RRC dalam perkembangan selanjutnya, hanya mengijinkan perkawinan
bagi gadis yang sudah 18 tahun, dan pemudanya 20 tahun. Perkawinan di Australia
menetapkan usia 16 tahun untuk gadis, dan 18 tahun untuk pemudanya. Sedangkan
untuk Indonesia menetapkan umur 17 untuk gadisnya, dan 20 untuk pemudanya.
Menurut tradisi Hindu-Weda di Asia Selatan, dan sebagian Asia Tenggara
seorang gadis pada usia pubertas sudah dianggap kawin yang ideal, karena gadis
hanya dapat masuk Nirwana kalau ia sudah menikah. Di samping itu, di negara-
negara Hindu, gadis yang cepat kawin dijamin, tidak akan mencemarkan nama orang
tuanya, karena terhindar dari kehilangan keperawanannya sebelum nikah. Kawin
muda juga memperkuat status orang tuanya dalam masyarakat karena putri mereka
dianggap “mendapat pasaran baik” (MacDonald, 1984: 83).
5. Sumber Data Perkawinan dan Perceraian
Lengkap dan tidaknya data tentang perkawinan dan perceraian, sangat
tergantung lengkapnya data hasil registrasi penduduk. Data yang tidak lengkap dapat
diperoleh dengan melalui survey dan pencacahan, dengan pertanyaan secara khusus
lewat Sensus Penduduk. Pencatatan nikah, talak, rujuk dikumpulkan dari
kementerian agama. Di samping itu dapat juga dikumpulkan dari pencatatan sipil
yang dilakukan oleh Gereja, Pura, ataupun Vihara.
6. Perkawinan, Perceraian dan Fertilitas
Dalam proses biologis seorang wanita melahirkan menjadi hal yang terus
menerus berulang kali, sampai dengan masa menopause, yang biasanya pada umur
kurang lebih 45 – 49 tahun. Siapa pun wanita yang meningkat dewasa dan
melangsungkan perkawinan, kemudian mempunyai anak, akan selalu melalui proses
tersebut di bagan bawah ini. Indonesia yang tidak mengenal kelahiran di luar nikah,
maka dalam proses biologisnya tidak terdapat garis yang berasal dari dewasa
langsung melewati konsepsi, begitu juga janda dan cerai, yang secara biologis dia
dapat melahirkan.

118
Dewasa

Kawin Pertama

Cerai/Janda Konsepsi

Kawin Lahir Mati


Aborsi Lahir Hidup
Kembali

Menopause

Bagan 2: Perkawinan, Perceraian, dan Kawin Kembali dengan Fertilitas.


Sumber: Abdurahman, 1985: 147.
7. Ukuran-ukuran Perkawinan
a. Angka Perkawinan Kasar
Rumus 𝑀̅ = 𝑀. 1000
𝑃
̅ = Angka Perkawinan Kasar
𝑀
M = Jumlah Perkawinan
P = Jumlah PendudukPertengahan Tahun
Contoh: Di Negara Anu pada tahun 2010 tercatat ada perkawinan sejumlah 314.841
kali.
Adapun Penduduk pada 1 Januari 2009 sejumlah 45.728.677 jiwa. Seddangkan
Penduduk pada 1 Januari 2010 sebesar 46.237.021. Berarti Penduduk Pertengahan
= (45.728.677 + 46.237.021) : 2 = 45.982.849 jiwa. Maka Angka Perkawinan
341.841
Kasarnya ̅̅̅
𝑀= x 1000 = 6,8 %.
45.982.849
b. Angka Perkawinan Umum
Perhitungan Angka Perkawinan Umum, yang menjadi pembilangnya sama
seperti dalam Angka Perkawinan Kasar, sedangkan yang menjadi penyebutnya
adalah penduduk umur 15 tahun ke atas, di mana secara biologis dan sosial
penduduk tersebut mempunyai resiko perkawinan. Oleh karena itu penduduk yang
berumur kurang dari 15 tahun tidak diikutsertakan sebagai penyebut, karena tidak
terkena resiko perkawinan.
𝑀
Rumusnya𝑀𝑢 = . 1000
𝑃15+
Di mana 𝑀𝑢 = Angka Perkawinan Umum
M = Jumlah Perkawinan dalam satu tahun
𝑃15+ = JumlahPenduduk umur 15 tahun ke atas.
c. Angka Perkawinan Menurut Umur dan Jens Kelamin.

119
Untuk menghilangkan pengaruh perbedaan umur dan jenis kelamin dilakukan
perhitungan yang lebih khusus lagi, karena jenis kelamin pada umumnya
mempunyai perbedaan dalam perkawinan. Angka perkawinan perempuan biasanya
banyak diinginkan dalam hubungannya dengan fertilitas. Rumus Angka
Perkawinan Spesifik/khusus berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin adalah sebagai
berikut:
𝑀𝑎1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑃
𝑀𝑎 = . 10
𝑃𝑎1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑃
Di mana 𝑀𝑎 = Angka Perkawinan Umur a (tertentu)

𝑀𝑎1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑃 = Jumlah Perkawinan Laki-laki atau Perempuan Umur a (tertentu)

𝑃𝑎1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑃 = Penduduk Pertengahan Tahun Laki-laki atauPerempuan.

Adapun Umur a atau Tertentu tersebut contohnya kelompok umur 15 – 19. Jadi
1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑃
𝑀15− 19
rumusnya dapat menjadi 𝑀15−19 = 1 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑃 . 1000
𝑃15−19
8. Perceraian (Divorce)
Apabila suatu perkawinan sudah tidak dapat dilanjutkan, maka terjadilah
perceraian. Perkawinan yang berakhir merupakan implikasi demografi dan sosiologi.
Perceraian mengakibatkan terjadinya penurunan fertilitas, sehingga mengurangi
pertumbuhan penduduk, yang berkibat pula pada turunnya status perkawinan, dari
kawin menjadi status cerai. Seperti pada umumnya data tentang perceraian diperoleh
dari data survei dan sensus.
a. Ukuran-ukuran Perceraian
1) Angka Perceraian Kasar;
Angka yang menunjukkan jumlah perceraian yang terjadi per seribu
orang. Perhitungan Angka Perceraian Kasar tidak cukup mewakili dengan baik,
karena yang menjadi penyebutnya adalah semua penduduk yang terkena
maupun tidak atas resiko perceraian berdasarkan umur.
𝐷
Rumusnya d = 𝑃 . 1000
D = Jumlah Perceraian selama 1 tahun
P = Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun
Apabila Jumlah Perceraian dalam satu tahun sejumlah 8958 kasus, dan
Penduduk Pertengahan Tahun sebesar 7.485.615, maka Angka Perceraian
Kasarnya adalah:
8.958
d =7.458.615 x 1000 = 1,2 per seribu penduduk
2) Angka Perceraian Umum;
Untuk melihat lebih valid demi perbaikan data di Angka Perceraian
Kasar di atas, Angka Perceraian Umum ini penyebutnya, adalah adalah
penduduk berumur 15 tahun ke atas, atau disebut orang yang berumur
“divorceable”. Adapun Rumusnya sebagai berikut:
𝐷
d =𝑃 . 1000
15
d = Angka Perceraian Umum

120
D = Perceraian dalam satu tahun
𝑃15 = Jumlah Penduduk 15 tahun ke atas
a. Faktor-faktor yang Penting dalam Analisa Perkawinan dan Perceraian
Beberapa faktor-faktor yang penting dalam analisa perkawinan dan
perceraian, dapat dipakai sebagai gambaran, dan dapat diambil manfaatnya.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Adat Kebiasaan, banyak mempengaruhi umur perkawinan muda dan
perkawinan kembali.
2) Umur Perkawinan, dengan menikah pada umur lebih tua waktu perkawinan
pertama, akan mengakibatkan menurunnya jangka waktu reproduksi.
Implikasinya, adalah akan menurunkan fertilitas. Di samping itu, umur
perkawinan pertama saat masih muda, banyak mempengaruhi stabilitas
kerukunan rumah tangga.
3) Angka Perceraian merupakan refleksi dari hukum perdata yang berlaku,
khususnya yang menyangkut berakhirnya perkawinan. Tidak setiap negara
memperbolehan perceraian, maka angka perceraian antar negara tidak bisa
dibandingkan dengan mudah, dan harus melihat hukum, atau adat yang berlaku
masing-masing.
4) Lama Perkawinan, sangat penting dalam menghitung potensi seseorang dan
melihat stabilitas perkawinannya. Dengan meningkatnya jangka waktu
perkawinan, meningkat pula proporsi yang bercerai.
5) Status Perkawinan Sebelumnya, perkawinan merupakan indikator yang
mempengaruhi kehidupan keluarga. Perceraian dari laki-laki atau wanita yang
berstatus “Cerai”, dan kemudian kawin kembali biasanya tinggi, jika
dibandingkan dengan perceraian dari mereka yang pada saat perkawinan masih
berstatus “Belum Kawin”.
6) Faktor kondisi ekonomi, pendidikan, dan legal formalnya perkawinan menjadi
penunjang perkawinan dan perceraian.
7) Negara di mana tingkat perceraian tinggi, maka tingkat perkawinan kembali
juga tinggi.
9. Ramalan Demografer Tentang Bisnis Indonesia Menjelang Tahun 2020
a. Paduan Tangis
Di Indonesia selama satu jam, telah terjadi minimal seribu empat ratus tiga
puluh (1430) tangisan. Seribu empat ratus tiga puluh empat itu, terdiri dari kira-kira
530 tangisan bayi yang baru lahir, dan kira-kira 900 tangisan penduduk yang
kehilangan anggota keluarganya. Ini adalah tangisan selama satu jam di Indonesia
saat ini.
Tahun 2020 nanti?. Jumlah tangisan meningkat dari 1430 di saat sekarang,
menjadi 1570 menjelang tahun 2020. Penduduk Indonesia, akan selalu meningkat
dari 180,4 juta tahun 1990 lalu, menjadi 253,7 juta tahun di tahun 2020. Dengan
demikian selama dua puluh tahun Indonesia akan mendapat tambahan 73,3 juta
penduduk.
b. Bayi, Kakek, dan Nenek

121
Walaupun penduduk usia reproduktif (yang potensial melahirkan 15-49)
masih akan meningkat terus sampai tahun 2020, berkat keberhasilan keluarga
berencana, jumlah kelahiran terus menerus turun. Selama 20 Tahun mendatang
Indonesia akan mendapat tambahan 22,5 juta penduduk perempuan potensial untuk
melahirkan. Untungnya, mereka sudah tidak berlomba-lomba untuk memproduksi
anak sebanyak-banyaknya. Pola keluarga kecil sudah menjadi makin melembaga.
Di Indonesia secara diam-diam akan terjadi revolusi, tapi revolusi yang
dimaksud adalah revolusi damai. Revolusi yang terjadi di dalam rumah tangga,
yakni revolusi jumlah anak yang diinginkan telah menurun terus. Pemakaian
kontrasepsi meningkat.
Revolusi kelahiraan, akan berdampak pada penduduk usia tua yang
meningkat (65 tahun ke atas). Jumlah penduduk balita menurun 21,6 juta pada
tahun 1990 lalu, menjadi 17,6 juta di tahun 2020. Di dalam 20 tahun mendatang
Indonesia akan mendapat tambahan 11,4 juta penduduk tua. Kebutuhan
kepentingan orang tua akan meningkat, jadi orang tua akan menjadi lahan bisnis
yang menarik.
c. Orang Kota, Berpendidikan, dan Berpenyakitan
Jumlah penduduk desa akan masih meningkat, tetapi hanya sampai tahun
2000 yang baru lalu, dalam jumlah 133,6 juta jiwa. Setelah itu akan menurun
menjadi 121,2 juta di tahun 2020. Jumlah penduduk kota di tahun 2020 sudah
melebihi penduduk desa
Tekanan untuk menyediakan jumlah sekolah akan menurun sejak tahun 1990
lalu. Jumlah penduduk usia SD (7-12) telah menurun sejak 1990. Jumlah penduduk
usia SMP (13-15) turun mulai 1995 kemarin. SMA mulai tahu 2000, dan Perguruan
Tinggi tahun 2015 mendatang, jadi terdapat penurunan pada tekanan untuk
menyediakan jumlah sekolah. Ini berarti sudah saatnya makin memperhatikan
mutu pendidikan.
Peningkatan pendidikan berarti kesadaran yang meningkat terhadap
kesehatan. Kebutuhan pelayanan kesehatan yang baik akan meningkat. Pelayanan
kesehatan, akan meluas ke pelayanan kesehatan yang bukan modern (paranormal
atau perdukunan).
Industri rokok yang makin berkembang saat ini juga akan menyuburkan lahan
bisnis di bidang pelayanan kesehatan. Di masa depan jumlah penyakit akibat rokok
akan meningkat, maka bisnis kesehatan melayani dampak merokok akan meningkat
pula.
d. Perempuan
Penduduk perempuan yang bekerja pada tahun 2005 dan seterusnya, mereka
memusatkan kelahiran pada umur 25-29. Sebagian besar akan berhenti melahirkan
pada umur 29 tahun. Selama sisa masa reproduksinya sebagian besar akan berhenti
untuk melahirkan, sehingga ini akan memerlukan pelayanan kontrasepsi yang
cukup besar.
Penduduk perempuan tesebut bukan sembarang penduduk perempuan saja,
tetapi mereka berpendidikan tinggi, sehingga memerlukan pelayanan kesehatan

122
yang tinggi pula. Mereka juga mempunyai penyakit lain yang macam-macam,
terutama berkaitan dengan stres.
10. Borobudur, Prambanan, Lalu Pawon
Tahun 1961 piramida penduduk Indonesia bagaikan candi Borobudur, kemudian
berubah menjadi candi Prambanan di tahun 1990, dan berubah lagi menjadi candi
Pawon pada tahun 2020.
Di masa depan makin banyak orang tua, makin banyak orang kota, makin
banyak orang berpenyakit canggih dan makin banyak pekerja perempuan. Singkatnya
sasaran bisnis di masa depan adalah pelayanan kesehatan kepada perempuan yang
bekerja di kota, berpenyakit macam-macam, berpendidikan tinggi, dan usianya relatif
lebih tua. Wallahualam bsw.

70-74

40-44

35-39

30-34

25-29

20-24

15-19

10-14

5-9

0-4
Tahun 1980 Tahun 1990 Tahun 2020
(Candi Borobudur) (Candi Prambanan) (Candi Pawon)
Bagan 3: Perkembangan Pyramide Penduduk Indonesia
(Ananta, Warta Demografi, 31 Oktober 1990)
11.Lingkungan Hidup
a. Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Lingkungan Hidup
“Tiadakah kamu perhatikan, bahwa Allah menundukkan
(memudahkan) untukmu apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi
dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir batin. Di antara
manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ‘ilmu, tanpa
petunjuk dan tanpa kitab yang terang” (Q.S. Luqman, 20).
“Dia menundukkan untukmu apa-apa yang di langit dan apa-apa yang
di bumi semuanya, (sebagai kurnia) dari pada-Nya. Sungguh pada demikian
itu beberapa ayat (keterangan) bagi kaum berfikir (Q.S. Al-Jaatsiyah, 13).

123
“Allah yang meninggikan langit dengan tiada tiang yang kamu lihat,
kemudian Dia bersemayam di atas ‘arasy (berkuasa) dan Dia tundukkan
matahari dan bulan, masing-masing berlari (beredar) sampai waktu yang
ditentukan. Dia mengatur semua urusan dan menerangkan beberapa
keterangan, mudah-mudahan kamu yakin akan menemui Tuhanmu. (Q.S. Ar-
Rad, 2).
b. Pesan Inti Pendidikan Kependudukan dan Pendidikan Keluarga Berencana
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, sesuai dengan tujuan
program kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, ditetapkan:
Ada 6 pesan inti atau konsep yang menjadi isi pendidikan Keluarga
Berencana di Indonesia, yaitu:
a. Pendewasaan Usia Perkawinan;
b. Keluarga Bertanggung-jawab;
c. Reproduksi Sehat;
d. Kependudukan dan Lingkungan Hidup;
e. Nilai serta kepercayaan yang berhubungan dengan Kependudukan;
f. NKKBS (Nilai Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera) sebagai tujuan Program
Keluarga Berencana.
1) Pendewasaan Usia Kawin
Mengandung arti berbagai keuntungan, baik bagi individu maupun bagi
negara, dan masyarakat. Wanita yang menunda usia kawin, akan mempunyai
masa reproduksi yang lebih pendek. Akibatnya, tentu akan mempunyai anak
yang lebih kecil atau lebih sedikit dibandingkan dengan wanita yang kawin
usia muda. Begitu juga untuk pemudanya.
Mereka dapat meningkatkan pendidikan untuk memperoleh pekerjaan
dan bekal kehidupan yang lebih memadai. Mereka juga dapat membanu
kesejahteraan anggota keuarga termasuk orang tua dan saudara-saudaranya.
Mereka lebih matang secara emosional dan mentalnya, serta lebih siap secara
ekonomi untuk mengemban tanggung-jawab dalam kehidupan keluarga.
2) Keluarga Bertanggung-jawab
Pengertiannya, dapat merencanakan jumlah anak yang dipunyainya,
menjarangkan kelahiran anak, memelihara orang tua, dan tanggung jawab
lainnya sesuai kebudayaan kita sebagai bangsa Indonesia. Kehatan ibu dan
anak akan lebih terjamin, jika mempunyai anak sedikit, dan jaraknya cukup
lama. Wanita akan mempunyai waktu yang lama untuk kegiatan lainnya (sosial
dan ekonomi), yang lebih bermanfaat untuk pribadi dan keluarganya.
3) Reproduksi Sehat
Manusia hidup mempertahankan jenisnya, dan memperbanyak jenis
dalam perkembangannya yang disebut reproduksi. Adapun sistem reproduksi
manusia adalah bisexual yang memerlukan keaktifan pria dan wanita.
Terjadinya konsepsi berasal dari bertemunya sel mani pria dan sel telur wanita,
dan akhirnya melahirkan keturunan untuk generasi berikutnya. Pengetahuan
tentang anatomi reproduksi itu penting, agar menjadi pengetahuan dalam

124
rangka mengendalikan kelahiran, bagi pria dan wanita sebelum memasuki
gerbang perkawinan, menuju keuarga berencana.
4) Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Pembahasan tentang kependudukan dan lingkungan hidup, adalah
bertujuan menciptakan keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup.
Pembangunan ekonomi harus dikembangkan tanpa harus mengganggu
keseimbangan dan kesinambungan, serta keserasian dan keterpaduan, antara
kependudukan dan lingkungan hidup.
5) Nilai serta Kepercayaan yang Berhubungan dengan Kependudukan
Hal ini mencakup tentang nilai dan kepercayaan sosio-kultural, misalnya:
harapan pemilikan anak, kawin muda, keluarga kecil, rasa aman di hari tua,
serta kepercayaan nilai tradisionil tentang peranan wanita. Pada umumnya di
daerah yang kaya akan sumber alam utama, orang tua akan mendapat material,
apabila mereka mempunyai banyak anak. Dengan makin kurangnya sumber
daya alam, nilai kepercayaan pembentukan keluarga besar akan berkurang,
karena biaya pengasuhan anak sangat meningkat.
Secara umum disimpulkan, bahwa orang tua di desa menitikberatkan
nilai ekonomi (membantu bekerja di sawah) dan kegunaan praktis dari anak.
Sedangkan orang tua di kota (terutama yang berpendidikan tinggi),
menekankan pada nilai emosional dan psikologis (anak membawa
kebahagiaan, cinta kasih) pada anak. Di Taiwan dan Korea Selatan, anak laki-
laki mempunyai arti religius khusus, sehingga anak laki-laki banyak
diharapkan. Orang-orang tua dan wanita dari klas ekonomi menengah
mengharapkan kehadiran anak perempuan, yang dapat menjadi kawan bagi ibu
(Lucas and Meyers, 1984: 159).
6) Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS) sebagai Program
Keluarga Berencana.
Dengan konsep keluarga kecil, maka akan terjadi peningkatan kualitas
kehidupan, apabila dibandingkan dengan keluarga besar. Ada beberapa
indikator yang dapat dipakai untuk menentukan kenaikan kualitas kehidupan,
antara lain: makanan yang bergzi, sandang yang rapi, perumahan yang asri,
kesehatan prima, air minum yang sehat, pendidikan memadai, peluang rekreasi,
tabungan rutin, pemeliharaan dan perhatian orang tua yang cukup. NKKBS
sebagai tujuan program KB Nasional perlu dilembagakan, untuk mencapai
kualitas hidup yang standard.
12. Peraturan Perundangan
Landasan Hukum mengenai pengelolaan Kependudukan dan Lingkungan Hidup
adalah UUD 1945, Pasal 33 Ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai olehnegara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal inilah yang menjadi landasan utama kita bersama
untuk mengatur pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia (PKLH, 1989: 132-137).
Kebijakan pengelolaan kependudukan dan lingkungan hidup, merupakan
landasan yang sudah digariskan oleh pemerintah bagi kegiatan-kegiatan atau upaya
untuk menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat kepadatan penduduk dan

125
perusakan lingkungan hidup. Sikap dan perilaku manusia dipengaruhi oleh lingkungan
di sekitarnya, menyebabkan perbedaan sikap dan perilaku orang desa dan orang kota.
13. Batas-batas Pertumbuhan (The Limits to Growth)
“Janganlah kamu berbuat bencana di muka bumi, sesudah baiknya. Mintalah
kepada-Nya dengan ketakutan dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat
dekat dari orang-orang yang berbuat kebaikan (Q.S. Al-A’Raaf, 56).
“Negeri yang baik, ke luar tumbuh-tumbuhannya dengan ijin Tuhannya.
Negeri yang buruk tiada ke luar tumbuh-tumbuhannya, melainkan dengan
bersusah payah. Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat itu bagi kaum yang
berterima kasih (Q.S. Al-A’Raaf, 58).
14. Tulisan di Koran Tentang Demografi
a. Bonus Demografi Menuju Bencana Demografi (Nasihin Masha, Republika:
Jum’at 9 Januari 2015).
Fasli Jalal bukanlah nama asing. Dia seorang dokter, tapi justru namanya
moncer sebagai pegawai BAPPENAS. Dari sana ia menjadi disrjen di
Kemendikbud-mulai dari Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Dirjen Peningkatan
Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dan Dirjen Pendidikan Tinggi-hingga
kemudian menjadi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Karena faktor persaingan, ia berhenti menjadi Wakil Menteri. Pemerintah
kemudian menunjuknya sebagai Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN). Seorang politisi menyebustnya sebagai kunci
Inggris. Ia cocok untuk segala jabatan.
Saat ini ia sedang risau. Angka bonus dsemografi yang sering dibanggakan
pemerintah bisa memudar. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, Indonesia
mengalami bonus demografi sejak 2010 hingga 2045. Yaitu, ketika 100 penduduk
usia kerja menanggung kurang dari 50 penduduk usia 0-14 tahun dan di atas
65 tahun.
Bandingkan, pada 1971, sebanyak 100 orang menanggung 86 orang. Pada
2010 sudah berubah, yaitu 100 orang menanggung 51 orang. Kini, 100 orang
menanggung 49 orang. Berdasarkan sensus itu, puncak bonus demografi akan
terjadi pada 2020 hingga 2030. Saat itu, 100 orang ‘hanya’ menanggung 44 orang.
Namun, berdasarkan sensus penduduk 2010, terjadi perkembangan yang
mengkhawatirkan. Bonus demografi terbaik akan terjadi pada 2028 hingga 2031,
yaitu ketika 100 orang mananggung 47 orang. Terjadi pereseran. Puncak bonus
demografi hanya terjadi tiga tahun (bukan lagi 10 tahun) dan penduduk yang
ditanggung bukan lagi 44 orang, melainkan 47 orang.
Artinya, beban angkatan kerja makin berat. Jika situasi ini tak dicermati,
bonus demografi itu akan benar-benar lenyap. Saat ini saja, pertambahan penduduk
lansia (usia 65 tahun lebih) berkembang dengan cepat. Pada sisi lain, angka
pertumbuhan penduduk naik terus.
Gempita bonus demografi bukanlah sesuatu yang turun dari langit secara
begitu saja. Itu hasil kerja keras, sistematis, dan jangka panjang. Singkatnya, itu
hasil kerja rezim Orde Baru. Saat itu, program keluarga berencana dikampanyekan
dan dikerjakan dengan luar biasa. Slogan “dua anak cukup” menancap kuat.

126
Menikah usia dini itu malu. Masih melahirkan pada usia lebih dari 40 tahun itu tak
baik. Upaya pengendalian jumlah penduduk demikian sukses.
Namun, reformasi telah membuat persoalan demografi bukan strategis lagi.
Pertama, otonomi daerah telah menjadikan pemerintah pusat tak memiliki gigi di
daerah untuk urusan keluarga berencana.
Kedua, pilkada langsung telah menjadikan kepala daerah yang sudah otonom
itu fokus pada “keterpilihan”. Mereka memilih program-program yang instan dan
sebaliknya malas pada program strategis berjangka panjang. Mereka memilih
pembangunan infrastruktur, bantuan sosial, dan seterusnya yang langsung dirasakan
masyarakat.
Ketiga, struktur organisasi pemerintah daerah dan penganggaran tak lagi
berpihak pada masalah demografi. Di pusat pun BKKBN tak begitu diperhatikan.
Apa yang terjadi kemudian?. Jumlah penyuluh lapangan program keluraga
berencana berkurang drastis. Saat ini, hanya ada 15 juta orang. Di puncak
prestasinya, pada masa Orba, ada 50 juta penyuluh lapangan. Mereka pensiun atau
minta pensiun beralih ke dinas lain. Pengabaian terhadap program keluarga
berencana membuat petugas di lapangan talk lagi memiliki kebanggaan dan
prospek karier tak lagi menjanjikan.
Slogan “dua anak cukup” juga berganti menjadi “dua anak lebih baik”.
Terkesan longgar sekali. Bahkan, ada yang memelesetkan. Mestinya dibaca “dua
anak” dalam satu tekanan, lalu diikuti “lebih baik”; menjadi “dua anak lebih baik”
dan diikuti “baik”. Juga muncul persaingan politik maupun persaingan jumlah
pemeluk agama. Jika kita membuka data pertumbuhan pendudk berdasarkan
agama, akan terlihat perbedaan yang signifikan. Tiadanya perhatian yang kuat
terhadap persoalan demografi ini bisa menjadi bibit masalah, bahkan bibit
perpecahan pada masa datang.
Mencermati geliat demografi ini ibarat mendeteksi getaran gunung berapi.
Kita bisa siaga dan menghindarkan diri dari bencana letusan gunung jika kita
cermat terhadap perubahan getaran gunung di perut bumi. Munculnya Arab Spring
salah satunya bisa dilihat dari sisi demografi ini. Sekitar 25 persen penduduk usia
muda terdidik (19-24 tahun) adalah pengangguran. Angka 25 persen adalah garis
merah bagi lahirnya revolusi dan chaos.
Saat ini, penduduk usia muda terdidik Indonesia yang menganggur sekitar 18
persen. Sudah masuk lampu kuning. Angkanya cenderung naik. Jika pemerintah tak
mencermati ini, bonus demografi (jumlah usia muda lebihbanyak, dan sesuai
Sensus Penduduk Indonesia 2010 rata-rata usia penduduk Indonesia 27 tahun) bisa
berubah menjadi bencana demografi (demographic disaster). Kerisauan Fasli
mestinya menjadi kerisauan kita bersama.
b. KB Sterilisasi, Bolehkah? (Hanan Putra, Republika: Jum’at 29 Mei 2015)
Cepatnya pertumbuhan penduduk membuat pemerintah melancarkan program
keluarga berencana (KB). Alat kontrasepsi yang disarankan dalam program KB
salah satunya adalah sterilisasi. Model kontrasepsi ini berbeda dengan kontrasepsi
lainnya.

127
Sterilisasi adalah upaya memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi
agar tidak dapat menghasilkan keturunan lagi. Jika kontrasepsi lain hanya bersifat
menunda atau mengatur jarak kehamilan, sterilisasi memang benar-benar
mmandulkan. Lantas bagaimanakah fikih Islam tentang KB model ini?.
Secara umum, para ulama tak mempermsalahkan program KB yang
didengungkan pemerintah. Jika hanya sebatas mengatur atau menunda kehamilan,
hal ini pun pernah dipraktekkan di masa para sahabat. Tujuan dari pengaturan
kehamilan agar anak-anak yan dilahirkan dapat diasuh dengan baik dan
menghindarkan resiko-resiko melahirkan yang disebabkan jarak kelahiran terlalu
dekat. Intinya, program KB bertujuan mengutamakan kualitas anak dibandingkan
kuantitasnya.
Soal pembolehan KB juga didukung ulama Tanah Air dalam konferensi besar
pengurus besar Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) pertama yang diselenggarakan di
Jakarta. Para ulama menghukum makruh dalam kasus ini. Jika dengan azl
(mengeluarkan mani di luar rahim) atau dengan alat yang mencegah sampainya
mani ke rahim seperti kondom, hukumnya makruh. Begitu juga makruh hukumnya
meminum obat untuk menjarangkan kehamilan.
Para ulama seperti Imam syafi’I, Al Ghazali, dan ulama kontemporer tak
mempermasalahkan model azl seperti yang pernah dilakukan sahabat pada zaman
Nab. Ilmuwan Islam, seperti Dr Muhammad Abdus Salam Madkur dan Dr
Mahmud Shalthut (Rektor Universitas Al-Azhar Mesir) pernah membahas tuntas
hal ini dan tak mempermasalahkan KB.
Namun, ternyata tidak semua program KB tersebut disetujui para ulama. Hal
yang menjadi perdebatan ulama adalah KB model sterilisasi. KB jenis ini, baik
vasektomi maupun vasligation (sterilisasi pada wanita), tak disetujuai ulama. Dr
Shalthut tidak sepakat jika program sterilisasi yang berlangsugn secara permanen.
Terkecuali jika memang ada alasan-alasan serius, seperti menyangkut penyakit
keturunan atau penyakit menular yang membahayakan.
Lalu bagaimana jika sterilisasi tersebut bisa dipulihkan lagi (reversable)?.
Para ulama tetap menyangsikan ini, mengingat resiko besar hal ini dapat berhasil.
Para ahli kedokteran mengakui soal reversable harapannya tipis sekali untuk bisa
berhasil. Para ulama berdalil dengan kaidah fikih da’ma yuribuka ila ma la
yuribuka (tinggalkan apa yang engkau ragui kepada apa yang tidak engkau ragui).
Terlalu beresiko mengambil tindakan sterilisasi, sedangkan kemungkinan
reversablenya sangatlah tipis.
Jadi, sterilisasi baik untuk lelaki maupun untuk perempuan akhirnya sama
saja dengan abortus yang bisa berakibat kemandulan sehingga yang bersangkutan
tidak lagi mempunyai keturunan. Para ulama menetapkan hukum asalnya adalah
haram. Namun, ada beberapa pengecualian yang bisa membolehkan sterilisasi.
Para ulama berdalil, sterilisasi berakibat pemandulan secara permanen. Ini
tentu bertentangan dengan tujuan asal perkawinan, yaitu untuk mendapatkan
keturunan yang sah. Selain itu, sterilisasi juga berarti mengubah ciptaan Tuhan
dengan jalan memotong dan menghilangkan sebagian tubuh yang sehat dan
berfungsi.

128
Hal lainnya, proses operasi juga membarikan kesempatan memperlihatkan
aurat mughallazah (kemaluan) yang haram dilakukan kecuali untuk urusan darurat.
Jika hanya untuk sebuah sterilisasi, tentu alasan ini tak dapat diperkenankan.
Namun, jika ada unzur-unzur syar’i, seperti dalam keadaan sangat terpaksa
untuk menghindari penurunan penyakit dari orang tua terhadap anakketurunannya,
hal ini diperbolehkan. Misalnya, kondisi terancamnya jiwa si ibu bia ia
mengandung atau melahirkan bayi, si bayi dikhawatirkan terkena penyakit berat
yang berujung pada kematian, kebolehan dalam kasus ini berdalil dengan kaidah
fikih, “Keadaan darurat itu membolehkan hal-hal yang dilatrang.” Allahu a’lam.
c. Mudik Kultural dan Spiritual (Aziz Anwar Fachrudin, Republika: Jum’at 25
Juli 2014)
Tradisi mudik Lebaran secara masif hanya ada di Indonesia. Fenomena ini
menyimpan dua makna. Pertama, itu tanda bahwa struktur demografi Indonesia
yang sedemikian besar dihuni kalangan berumur dan berkemampuan ekonomi
menengah juga dalam taraf tertentu menyiratkan belum meratanya kesejahteraan.
Dua, bahwa memang watak sosioantropologis manusia Indonesia yang sangat
homofestivus; merayakan besar-besaran setiap budaya, menjunjung etos
kolektivitas dan kegotong-royongan, mengenang kembali masa lampau, inward
looking.
Konon, leluhur kita adalah bangsa perantau. Catatan hisstoriografi klasik dari
Cina menyebut bangsa yang tinggal di selatan sebagai bangsa Kun Lun (bangsa
maritim). Orang Minang juga terkenal dengan budaya merantau untuk berdagang.
Orang-orang Maluku sudah ada yang sampai Madagaskar. Perdagangan rempah-
rempah, bahkan sudah menyeberang sampai daratan Timur Tengah. Namun, sejauh
manapun pergi jadi watak primordial orang Indonesia untuk ingin kembali.
Tenggang rasa. Mudik secara etimologis berarti kembali ke udik, kampung
halaman di desa. Kosakata ini cenderung berkonotasi negatif. Istilah ndeso kerap
menjadi bahan olokan. Namun, secara terminologis, semestinya ia juga dimaknai
posistif; mudik adalah kembali ke kultur mula-mula.
Agaknya, modernisme dan globalisme ikut andil dalam mengikis secara
perlahan kultur udik. Orang-orang desa yang hijrah ke kota menjadi kaget;
urbanisasi berimbas pada cultural-shock. Sayangnya, globalisasi yang lebih
mengesankan kemajuan memenangkan gejolak budaya dalam diri orang udik itu.
Begitu kembali ke kampung, sebagian dari mereka memamerkan “kesuksesannya”.
Gejala inilah yang perlu direnungi lagi. Mudik semestinya juga diniati
dengankembali mengenang dan mengalami akar kultur masing-masing. Sedalam
apapun orang menyelami lautan modernisme dan globalisasi, semestinya ia tidak
lupa bahwa ia tetap harus kembali ke daratan tempat akar budayanya berada.
Kemegahan materi yang dibawa pulang, kemewahan perayaan Lebaran di
kampung, itu memang boleh. Id bermakna “perayaan berbuka” bahwa ibadah puasa
sebulan sudah usai, zakat sudah ditunaikan, maka itu adalah waktu untuk
merayakan. Catatan, pada hemat saya memaknai Idul Fitri dengan “kembali ke
fitrah”, sebagaimana yang umumnya dipahami, adalah kurang tepat secara semantik
dalam linguistik Arab.

129
Namun demikian, perayaan itu bukan terus kemudian menafikan rasa tepa-
selira (tenggang rasa) dengan tetangga. Salah satu hikmah dari kewajiban zakat
fitrah adalahagar mereka yang fakir miskin juga ikut merasa senng dalam perayaan
fitri. Mudik, dengan demikian, juga bisa kita maknai secara spiritual,
memperbaharui tenggang rasa dengan sesama bahwa ada banyak yang senasib tidak
sebaik kita. Ini tradisi yang dimaknai dengan melihat diri kedalam, inner journey.
Id juga satu derivasi dengan adah (adat), yakni tradisi yang berulang-ulang,
rutin, dan diperbaharui. Dinamai dengan demikian, salah satu hikmah atau ibrahnya
agar tenggang rasa itu juga diperbaharui, diingatkan kembali.
Perjalanan sunyi. Dalam tradisi dan perayaan Lebaran itu dianjurkan
bertakbir. Takbir adalah manifesto bahwa Allah itu Mahabesar, sementara manusia
hanya noktah kecil di alam semesta ini. Di hadapan Tuhan, semua manusia sama
kecilnya, yang membedakan adalah kadar takwanya dan jelas bukan seberapa
banyak materi yang ia punya.
Takbir semestinya dihayati dengan renungan, bukan hura-hura, bukan dengan
berpesta di jalan-jalan yang kadang tidak relevan sama sekali dengan takbir yang
diucapkan. Mudik bisa kita maknai sebagai perjalanan spiristual itu. Selain kembali
ke akar kultural, juga kembali ke akar spiritual. Lebaran juga menjadi media saling
bermaafan. Memaafkan adalah bentuk pelepasan dendam dari ruang-ruang hati,
dari fakultas-fakultas rohani dalam diri. Menurut uthak-athik-mathuk orang Jawa,
Lebaran itu 3L, Lebar pasane, lebur dosane, luber ganjarane (usai puasanya, lebur
dosanya, jadilah berlipat-lipat pahalanya).
Lebaran di Indonesia penuh dengan tradisi. Di satu sisi tradisi itu mnyiratkan
gairah besar dari masyarakat pada setiap momen keagamaan semarak yang mngkin
tidak kita jumpai di negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Sebagai tradisi,
kadang ia terjerat ke luar dari esensi spiritualitasnya. Kadang, ia tak jauh beda
dengan festival layaknya pesta, semata untuk kesenangan dan hiburan. Dengan
pemaknaan sebagai mana dipaparkan di atas, mudik sebenarnya perjalanan sunyi.
d. Transmigrasi Hidupkan Daerah Perbatasan
(Republika: Rabu, 15 Juli 2015, Kolom 1-5). Salah satu program Nawacita
yang menjadi fokus utama pemerintah Indonesia era sekarang adalah pembangunan
Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan. Sehingga terjadi pemerataan pembangunan dan tidak
lagi terjadi ketimpangan antar daerah.
Untuk mewujudkannya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi, (Kemendesa PDTT) melalui Direktorat Jenderal Penyiapan
Kawasan dan Pembangunan Pemukiman Transmigrasi bersama Direktorat jenderal
Pengembangan Daerah Tertentu menggelar kegiatan Forum Komunikasi
Pembangunan dan Pengembangan Daerah Perbatasan Negara.
Menteri Desa PDTT, Marwan Jafar mengatakan, komitmen kuat
pemerintahan saat ini adalah memperhatikan daerah perbatasan. Yakni,
memaksimalkan peran tugas pokok dan fungsi untuk mengurus, memelihara
sekaligus memajukan daerah perbatasan supaya menjadi lebih baik dan maju.

130
Pada dasarnya, menurut Menteri Marwan, perbatasan adalah wilayah yang
sangat potensial dilihat dari sisi manapun yang sesungguhnya bisa diupayakan jauh
lebih baik dari yang dilakukan sebelumnya. Untuk itu, pembangunan akan dimulai
dari Kalimantan Barat dan ditargetkan akan dilanjutkan dengan wilayah lain dalam
1-2 tahun ke depan.
“Daerah perbatasan seharusnya bukan dianggap sebagai sebuah tantangan,
tetapi justru perlu menjadi sebuah peluang yang bisa dikembangkan bersama-sama.
Ke depan kisah pilu yang biasanya didengar dari masyarakat perbatasan tidak perlu
terjadi lagi.” Kata menteri Marwan beberapa waktu lalu.
Salah satu cara mengembangkan daerah perbatasan, kata Menteri Marwan,
dengan menggalakkan program transmigrasi. Transmigrasi di sini, Menteri Marwan
menegaskan, bukan sebagai upaya urbanisasi terselubung, melainkan bagian dari
upaya pemerataan pembangunan daerah yang dimiliki.
“Transmigrasi sebagai upaya membangun dan menghidupkan kembali ruh
dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia),” ujar Menteri kelahiran Pati,
Jawa Tengah. Menteri Marwan mengatakan transmigrasi hakekatnya
mencerminkan daerah-daerah yang produktif, yang awalnya terisolasi menjadi lebih
hidup.
“Transmigrasi tidak hanya memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa,
tetapi bisa juga dilakukan secara lokal. Transmigrasi tidak hanya sekadar
pemindahan penduduk tetapi juga seharusnya diiringi dengan basis skill yang
memadai,” ujar Menteri Marwan.
Selain menggalakkan transmigrasi, kata Menteri Marwan, untuk
mengembangkan daerah perbatasan perlu adanya penguatan koordinasi dan
komunikasi antara pemerintah daerah dan pusat. Koordinasi dan komunikasi
pemerintah daerah dengan pemerintah tentu sangat penting karena dapat
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di daerah perbatasan.
Untuk membangun daerah perbatasan, menurut Menteri Marwan, selayaknya
diawali dengan rencana kerja yang lebih komprehensif dengan roadmap yang jelas
dan tata nilai yang konstektual sesuai dengan kondisi kultural dan sosiologis
masyarakat setempat. Pembangunan yang lebih komprehensif tersebut misalnya di
bidang kesehatan, pariwisata, psendidikan, dan kebudayaan.
Dengan adanya forum komunikasi ini, Menteri Marwan berharap ada
rekomendasi yang sifatnya strategis yang bisa menjadi pegangan sekaligus menjadi
rujukan pemerintah untuk mengambil keputusan. Sehingga, pemerintah dapat
menelurkan program-program yang relevan dan produkstif untuk rakyat dan
masyarakat di daerah perbatasan.
Senada dengan Menteri Marwan, Penjabat (Pj) Gubernur Kalimantan Utara,
Triyono Budi Sasongko mengatakan, salah satu program yang ingin didorongnya
adalah program transmigrasi yang berkualitas. Yaitu, dengan mendayangkan
masyarakat dari daerah padat penduduk, khususnya memiliki ketrampilan yang
berkualitas. “Transmigrasi juga harus memperhatikan kearifan lokal dengan
mensertakan aspirasi dari masyarakat setempat,” kata Triyono.

131
e. Mudik dan Fitrah Kemanusiaan (Tantowi Yahya, Republika: 15 Juli 2015,
kolom 1 - 3).
Tradisi mudik sudah menjadi realitas permanen setiap menjelang perayaan
Hari Raya Idul Fitri. Realitas kolosal mudik menyiratkan pesan kerelaan dan
kegembiraan manusia menempuh perjalanan panjang berjam-jam, bahkan berhari-
hari untuk menjumpai orang tua, keluarga, dan sanak saudara yang dirindukan.
Dengan mudik, kita membayangkan orang-orang di kampung halaman sedang
menunggu cerita yang hendak kita dedahkan.
Tradisi unik ini tidak hanya dilakukan oleh umat Islam, tetapi juga sudah
berkembang menjadi sebuah “peribadatan massal” lintas agama dan kultural.
Banyak umat non-Muslim yang memanfaatkan momentum liburan panjang
Lebaran untuk pulang ke kampung halaman bersilaturahim dengan keluarga. Di
Amerika juga ada tradisi Christmas Day dan Thanksgiving Day, tetapi stidak
sefenomenal tradisi mudik Lebaran di Indonesia.
Sementara, di tempat kelahiran Islam tidak dikenal tradisi mudik. Bahkan,
saat Idul Fitri tiba, Makkah dan Madinah tampak menjadi “kota mati.” Di sana,
yang dikatakan Lebaran adalah Idul Adha atau Idhul Akbar (Jawa: bodho besar)
yang dirayakan dengan ibadah haji dengan melibatkan umat Islam seantero dunia.
Sebaliknya, Idul Fitri sebagai hari raya kecil di sana tidak dirayakan semeriah Hari
Raya Idul Adha.
Memiliki logika sendiri. Istilah “mudik” terangkum dalam kata “id”
sehingga mudik Idul Fitri bisa dimaknai sebagai pulang ke “kampung halaman”
yang suci. Kesucian tersebut direngkuh setelah menjinakkan nafsu libidinal-primitif
manusia dengan laku puasa sebulan penuh. Kemudian disempurnakan dengan
meminta dan memberi pemaafan kepada keluarga, sanak saudara, kerabat, dan
handai taulan ketika Lebaran dan mudik ke kampung halaman.
Entah kekuatan apa yang digerakkan masyarakat untuk selalu terpanggil
melaksanakan ritual massal bernama mudik. Kita bertanya, mengapa mereka harus
mudik di tengah situasi yang serba tidak ideal dan sarat resiko? Tenaga, biaya,
waktu dipertaruhkan dan tak jarang pula mudik sampai meminta korban nyawa.
Padahal, keberadaan alat komunikasi yang supercanggih saat ini telah memberikan
kemudahan untuk sekadar saling kirim ucapan selamat hari raya.
Apalagi, memberi dan meminta maaf sebagai ritus penyucian diri bisa
dilakukan kapan dan di mana saja serta dalam sistuasi apa pun juga, tanpa harus
menungga saat momentum Lebaran tiba. Di sinilah letak nilai spiritual mudik
sebagai tradisi yang telah mengakar kuat dalam sejarah kebudayaan (Islam)
nusantara. Di balik selasar mudik, tampaknya tersimpan kekuatan “magis” yang tak
bisa dipatahkan oleh alasan-alasan rasional logis apa pun.
Tradisi mudik memiliki logikanya sendiri bagi siapa saja yang ingin
merengkuh kebahagiaan dan kenikmatan saat Lebaran. Budayawan Umar Kayam
pernah mengungkapkan bahwa mudik bermula dari tradisi primordial masyarakat
petani Jawa yang rutin pulang (mudik) setelah bekerja sekian jauh dari sanak
keluarga. Tradisi masyarakat primordial dibangun dengan ikatan komunalitas,
seperti semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang kuat.

132
Tak heran jika momentum Lebaran selalu kurang sempurna sebelum
diselesaikan melalui silaturahim (pertemuan) secara fisik, meskipun hanya sekadar
bersalaman. Terlebih, silaturahim memiliki nilai ibadah yang sangat tinggi sehingga
tidak boleh ditinggalkan. Bukankah Nabi Muhammad SAW pernah berpesan:
“Barang siapa yang menginginkan diperpanjang usia dan dilimpahkan rezekinya
hendaklah ia menyambung tali silaturahim.” Inilah makna strategis dalam tradisi
mudik.
Ekspresi simbolik. Secara sosiologis, mudik juga dapat dimaknai sebagai
ekspresi simbolik tentang kebanggaan seseorang yang telah menemukan apa yang
dicarinya di perantauan. Niat untuk menuju ke kota adalah ikhtiar untuk meraih
kehidupan yang lebih baik karena kehidupan di desa dinilai sudah tidak
memberikan harapan. Jadi, mudik adalah bagian dari rangkaian perjuangn hidup
untuk meraih kesuksesan di kota. Mengenai bagaimana seseorang mendefinisikan
“kesuksesan” dan bagaimana perasaan orang lain merumuskan pandangan
“kesuksesan”, itu persoalan lain lagi.
Tetapi, bagi sebagian orang yang telah merasa berhasil menaklukkan kota
akan menunjukkan identitas eksistensinya dengan memperlihatkan simbol-simbol
kesuksesannya ketika mudik. Misalnya, kendaraan, pakaian, oleh-oleh, atau barang
yang dibawa dari kota sebagai hadiah untuk dibagikan kepada sanak saudara di
desa. Sampai di sini, mudik telah memberikan pesona dan kepuasan emosional.
Namun, dalam batas-batas tertentu hal itu bisa mencederai agenda pemutihan
teologis dan sosial dalam rangkaian mudik.
Sebab, agenda mudik menjelma menjadi wahana kontestasi kesuksesan, ajang
pengidentifikasi status sosial dan pamer keberhasilan. Oleh karena itu, mudik
Lebaran harus mendapatkan pemaknaan yang positif. Ia harus ditafsir sebagai
penyempurnaan ibadah puasa dengan silaturahim dan bersedekah. Pemaknaan ini
penting agar mudik tidak hanya dimaknai sebatas perjalanan yang bersifat fisik:
melelahkan dan menguras biaya, tetapi juga menjadi perjalanan spiritual yang
mencerahkan jiwa.
Refleksi kemanusiaan. Dalam telaah spiritual, mudik merefleksikan suasana
batin manusia yang secara hakiki selalu merindukan “kampung halaman”, baik
dalam arti harfiah maupun dalam arti kondisi batiniah seseorang yang tidak pernah
berhenti meminta untuk disucikan sesuai dengan kontrak spiritualnya. Dalam
konteks ini, mudik Lebaran selayaknya menjadi jalan untuk melakukan refleksi
kemanusiaan yang utuh dan autentik.
Mudik memberikan kesempatan bagi manusia menemukan fitrahnya, asal-
usulnya, sejarahnya untuk merumuskan ulang jati dirinya hingga pada akhirnya
merayakan kegembiraan dan kemenangan yang sesungguhnya. Sebuah
kemenangan yang tidak dapat diukur dengan uang, kekayaan, dan patokan
kebendaan apa pun. Melainkan kemenangan yang akan menghasilkan kesadaran
baru, energi baru, semangat baru sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan yang
lebih bermanfaat dan bermartabat saat kembali ke perantauan. Selamat mudik,
mohon maaf lahir batin.

133
f. Tajuk, Idul Fitri untuk Memperbaiki Diri (Republika: 15 juli 2015, kolom 4).
Tak lama lagi umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Fitri 1436 H.
Momen yang biasanya dirayakan secara meriah di berbagai penjuru nusantara. Hari
raya ini menjadi puncak perayaan setelah puasa sebulan penuh. Banyak sekali
dimensi yang terlibat dalam momen perayaan hari nan penuh keberkahan itu.
Beberapa hari menjelang perayaan, tradisi mudik menjadi hal yang tidak bisa
ditinggalkan.jutaan manusia dari perantauan berupaya kembali ke kampung
halamannya untuk bertemu sanak dan keluarga. Dari sisi sosial, momen ini menjadi
perekat ikatan tali persaudaraan. Dari dimensi ekonomi, mudik juga menjadi
medium perpindahan sebagian uang dari kota ke desa.
Secara spiritual, Idul Fitri juga diyakini menjadi kesempatan untuk kembali
membersihkan diri dari berbagai dosa. Puasa sebulan menjadi latihan paripurna
untuk mengendalikan diri. Diharapkan, pelatihan tersebut bisa meningkatkan
kualitas kehidupan manusia selepas Idul Fitri.
Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari puasa dan Idul Fitri. Tiap
tahun juga ceramah yang mengupas soal pelajaran puasa di Idul Fitri ini terus
digemakan kepada umat. Cuma persoalannya adalah masih saja sebagian kita
menjadikan puasa dan Idul Fitri hanya sebatas seremoni yang tidak begitu
diperhatikan maknanya.
Kondisi tersebut menjadikan kondisi sebagian umat tidak banyak berubah
sebelum maupun setelah Idul Fitri. Yang terbiasa mencuri ya tetap mencuri, yang
biasanya korupsi tetap saja korupsi, yang nyaman dengan menyuap juga tak mau
berhenti menyuap. Puasa dan Idul Fitri malah hanya dijadikan gaya hidup untuk
menuruti gengsi.
Lebih parah lagi, hari besar tersebut hanya dijadikan momen untk
mengumbar hiburan dan berfoya-foya. Saat Idul Fitri tiba, acara-acara yang
cenderung mengarah kepada maksiat digelar di mana-mana. Masyarakat digiring
membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang sekadar menyenangkan meski
sebenarnya tidak diperlukan.
Idul Fitri kali ini berlangsung dalam suasana bangsa yang secara ekonomi
tidak begitu membahagiakan. Pertumbuhan ekonomi yang diprediksi hanya sekitar
4,7 persen memberi dampak yang kurang diinginkan. Sebagian buruh harus
menelan pil pahit karena kehilangan pekerjaan akibat terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK). Para pedagang yang pada Lebaran tahun lalu bisa memanen hasil
besar, tahun ini pendapatannya tidak sebesar tahun lalu.
Kita sangat berharap agar para pemuka masyarakat, para tokoh, dan
pemimpin negara benar-benar menunjukkan keteladanan untuk menjadikan puasa
dan Idul Fitri ini sebagai momen untuk bnar-benar memperbaiki kehidupan
berbangsa dan bernegara. Mereka yang selama ini menjadikan kalangan yang
terpandang harus benar-benar menghindari sikap yang menjadikan momen tersebut
hanya sekadar gaya hidup.
Kalangan yang menjadi contoh bagi masyarakat luas ini harus menunjukkan
kinerja yang lebih baik selepas Idul Fitri nanti. Mereka juga harus menjaga
tanggung jawabnya secara lebih baik dibanding sebelumnya. Sikap dan keteladanan

134
mereka akan memberi pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat untuk bersama-
sama menjalankan perbaikan kehidupan bangsa dan negara.
Jika para elite tetap tidak memberikan inisiatif perbaikan, jangan harap publik
akan berpartisipasi maksimal dalam upaya tersebut. Kita tidak mau bangsa dan
negara ini tetap begini-beini saja. Kita ingin puasa dan Idul Fitri ini menjadikan
Indonesia lebih baik dibanding sebelumnya. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir
dan batin.

135
BAB XII
BUDAYA POLITIK INDONESIA
(Pertemuan XII)
A. Pendahuluan
1. Pengertian Budaya, Politik, Partai Politik, dan Budaya Politik
Agar dapat memberikan penjelasan yang runtut, akan diberikan terlebih dahulu
pengertian dari budaya. Budaya atau kebudayaan, awalnya berasal dari bahasa
Sanskerta, yaitu buddhayah, diambil dari kata jamak buddhi (budi atau akal), yang
berarti sebagai hal-hal yang ada hubungannya dengan, budi dan atau akal manusia. Di
dalam bahasa Inggris, perkataan kebudayaan dipadankan dengan culture, yang awal
katanya berasal dari bahasa Latin colere (kata kerja), yakni berkaitan dengan kata
mengolah atau mengerjakan. Pada perluasan pengertiannya, dapat mempunyai makna
kata kerja yang maknanya mengolah tanah atau bertani. Sedangkan kata culture,
akhirnya merujuk pada kata kultur, yang disebut sebagai kebudayaan dalam bahasa
Indonesia.
Pengertian budaya, menurut Wikipedia bahasa Indonesia, adalah suatu cara
hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi (22 Juli 2015). Kebudayaan yang dimaksud terbentuk dari
banyak unsur: sistem agama, politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya-karya seni. Budaya merupakan pola hidup yang menyeluruh,
bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Sedangkan kebudayaan, mengandung keseluruhan pengertian tentang nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur soaial,
religius, segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat. Tylor menyebutkan, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang
komplek, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat (Edward Burnett, 1974). Dari beberapa pengertian
tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa kebudayaan merupakan media hasil karya,
adanya rasa, dan ciptaan-ciptaan yang ada di suatu masyarakat. Pada
perkembangannya kebudayaan mempengaruhi tingkat pencapaian pengetahuan, hasil
pemikiran manusia, yang pada kehidupan sehari-hari kelihatan abstrak. Pada pola
perwujudannya, kebudayaan tersebut dapat berbentuk benda-benda/barang-barang
yang diciptakan manusia yang berbudaya, bahasa, norma, perlengkapan kehidupan
yang semakin berkembang, hasil-hasil kesenian, bakat yang kesemuanya dapat
meringankan manusia untuk menjalani kehidupannya di dunia.
J.J. Hoenigman yang dikutip pada Wikipedia menyebutkan, 3 wujud dari
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
a. Gagasan (wujud ideal). Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang
berbentuk kumpulan idea-idea, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba dan disentuh. Wujud
kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga
masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk

136
tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-
buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
b. Aktifitas (tindakan). Aktifitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan
sistem sosial. Sistem sosialini terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang saling
berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut
pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkrit, terjadi di
dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
c. Artefak (karya). Adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktifitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau
hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di
antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat,
antara wujud kebudayaan yang satu tidak dapat dipisahkan dari wujud kebudayaan
yang lain. Sebagai contoh, wuud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah
kepada tindakan (aktifitas) dan karya (artefak) manusia (22 Juli 2015).
2. Politik
Politik secara Etimologi, berasal menurut Wikipedia, berasal dari bahasa
Belanda politiek, dan dalam bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber
dari bahasa Yunani, politika (yang berhubungan dengan negara), politikos, dengan
akar kata polities ((warga negara), dan (polis) negara kota. Perkataan tersebut yang
mempunyai pengertian dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara, adalah
proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain
berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Secara Etimologi
juga kata politik masih mempunyai hubungan dengan polisi, kebijakan. Kata politis
berarti hal-hal yang berhubungan dengan politik. Kata politisi, berarti orang-orang
yang menekuni dunia pollitik (16 Mei 2015).
Pengertian politik, dapat dipahami dalam sudut pandang yang berbeda-beda,
sebagai berikut:
a. Politik, adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama (dari teori klasik Aristoteles);
b. Politik, adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintah dan negara;
c. Politik, merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuassaan di masyarakat;
d. Politik, adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan
publik;
e. Masyarakat, adalah sekumpuln orang yang mendiami wilayah suatu negara.
Selanjutnya Max Weber, mencatatkan teorinya, tentang adanya 3 sumber
kekuasaan, sebagai berikut:
a. Dari perundang-undangan yang berlaku;
b. Dari tindakan kekerasan, seperti penguasaan senjata;
c. Dari kepemilikan kharismanya.
Di bawah ini diberikan nama-nama Tokoh para Pemikir Ilmu Politik, sebagai
bahan rujukan apabila akan mempelajari kajian mengenai perpolitikan, sebagai berikut:

137
a. Para Pemikir Politik dari Mancanegara: Aristoteles, Adam Smith, Cicero,
Friedrich Engels, Immanuel Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther,
Max Weber, Nicolo Machiavelli, Rousseau, Samuel P. Huntington, Thomas
Hobbes, Antonio Gramsi, Harold Crouch, Douglas E. Ramage.
b. Para Pemikir Politik dari Indonesia: Miriam Budiharjo, Salim Said, Ramlan
Surbakti, Affan Gafar, Riswanda Imawan, Amin Rais.
Perilaku Politik (Politic Behaviour), adalah perilaku yang dilakukan oleh
wagta negara atau individu, atau kelompok guna memenuhi hak maupun
kewajibannya, sebagai manusia politik. Di dalam ketatanegaraan, seorang individu
sebagai warga negara atau sebagai kelompok mempunyai kewajiban yang diatur oleh
negara untuk melakukan perilaku yang seimbang, untuk melakukan hak dan
kewajibannya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Adapun wujud dari
perilaku politik tersebut dapat teridentifikasikan, sebagai berikut:
a. Ikut serta melakukan pemilihan, untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin;
b. Diperbolehkan, dan mempunyai hak untuk menjadi manusia politik, sebagai
partisipan suatu partai politik (parpol), berperan sebagai anggota organisasi
masyarakat (ormas), ataupun lembaga nir-laba Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM).
c. Mengikuti dalam pesta demokrasi/politik;
d. Diperbolehkan mengajukan kritik, atau mengusahakan penurunan para pelaku
politik yang bermasalah;
e. Mempunyai hak untuk dapat dipilih menjadi pimpinan atau fungsionaris partai
politik;
f. Mempunyai hak dan kewajiban yang didasarkan kepada Undang-Undang Dasar,
dan peraturan perundangan yang berlaku (16 Mei 2015).
3. Partai Politik
Wikipedia menyebutkan, Partai Politik adalah organisasi yang menjalai ideologi
tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus (2 Juli 2015). Partai Politik juga
didefinisikan sebagai kelompok, yang terorganisir, yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini untuk
memperoleh capaian kekuasaan politik, dan memperebutkan kedudukan politik,
dengan secara konstitusionil, untuk memberlakukan kebijakan-kebijakan yang telah
ditentukan olehnya. Partai politik pada umumnya merupakan sekumpulan orang
(segolongan), yang mempunyai asas bersama, haluan yang sama, dan mempunyai
tujuan ideologis yang telah disepakati bersama. Ideologi, merupakan seperangkat
tujuan, dan ide-ide yang dapat dipakai sebagai pengarah pada suatu tujuan, harapan,
dan tindakan bersama. Contoh ideologi yang terinventarisir, antara lain: Liberalisme,
Neoliberalisme, Kapitalisme, Neokapitalisme, Komunisme, Sosialisme, Monarkhisme,
Absolutisme, Nasionalisme, Nazisme, Neonazisme, dan Fasisme.
Kamus Besar Bahasa Indonesia membatasi pengertian partai politik, adalah
perkumpulan didirikan untuk mewujudkan ideologi politik tertentu. Cikal bakal dalam
sejarah perpolitikan di Indonesia diawali dengan telah terbentuknya suatu organisasi
yang disebut Boedi Oetomo (BO), pada Tahun 1908, oleh Dr. Wahidin Soediro
Hoesodo di Jakarta.

138
Partai Politik, merupakan sarana politik, yang dapat dipakai sebagai penghubung
para elit politik, untuk berusaha memperolehkekuasan politik, dalam suatu negara
secara mandiri secara keuangan, mempunyai ideologi tertentu, mempunyai cita-cita
kelompok terorganisir, sehingga dapat ikut serta dalam membangun bangsanya. Di
dalam suatu negara biasanya ditentukan persyaratan pendirian Partai Politik, dengan
penetapan undang-undang, sehingga dapat terseleksi dalam pelaksanaan Pesta
Demokrasi yang dinamakan Pemilihan Umum, untuk pemilihan anggota legislatif,
pimpinan negara,dan kepala daerah.
Untuk lebih memahami pengertian Partai Politik, dikutipkan beberapa pendapat
para pakar, yang telah dituliskan di Wikipedia, sebagai berikut:
a. Carl J. Friedrich, Partai Politik adalah sekelomok manusia yang terorganisir secara
stabil, dengan tujuan merebut atau memperthankan penguasaan pemerintah bagi
pemimpin partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat ideal maupun material;
b. R.H. Soltou, Partai Politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyaknya terorganisis, yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan
menfaatkan kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintah dan
melaksanakan kebijakan umum mereka;
c. Sigmund Neumann, Partai Politik adalah organisasi dari aktivis-sktivis politik yang
berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat
atas dasar persaingan melawan glongan-golongan lain yang tidak sepaham;
d. Miriam Budiardjo, Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama
dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan
mereka (2Juli 2015).
4. Budaya Politik
Pembicaraan Budaya Politik menurut Gaffar diawali, pada saat terbentuknya
konsep dari satu revolusi yang terjadi di Amerika Serikat, setelah berlangsungnya
Perang Duni II, yakni Behavioural Revolution. Behavioural Revolution, diperkirakan
sebagai efek dari ideologi Positivism Madzhab. Paham yang dimaksud, berusaha
menguraikan tentang gejala-gejala sosial yang mulai berkembang di masyarakat
Amerika Serikat.
Pakar yang terkenal dengan pembicaraan Budaya Politik, adalah Gabriel Almond
dan Sidney Veba yang mengungkapkan, bahwa Budaya Politik merupakan sikap
individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu
terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah politik. Selanjutnya, disebutkan
bahwa, Budaya Politik yang bserkembang pada saat ini, terdiri dari tiga macam, yaitu:
a. Budaya Politik Parochial, yang lebih dominn orientasinya bersifat kognitif;
b. Budaya Politik Subyektif, yang lebih dominan orientasinya bersifat afektif; dan
c. Budaya Politik Partisipatif, yang berorientasi dan bersifat evaluatif, yang dapat
memberikan evaluasi bagi masyarakat dalam sistem politik. Budaya ini
menyangkut suatu kumpulan keyakinan, sikap, norma, persepsi, dan sejenisnya
yang menopang terwujudnya partisipasi.

139
B. Ringkasan Buku yang membahas Budaya Politik
1. Ringkasan Buku “Civic Culture”, Gabriel Almond & Sidney Verba, 1963. Budaya
Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara (terj. Sahat Simamora,
Civic Culture) Jakarta: Bumi Aksara.
Pembahasan Budaya Politik, dan Sosialisasi Politik, merupakan pembahasan
pendekatan yang diperbincangkan, dalam perkembangan akhir di dalam ilmu politik
di dalam buku ini. Adalah Hasil Penelitian Dua Peneliti Amerika Serikat: Gabriel A.
Almond, dan rekan akademisnya Sydney Verba. Setelah sekian lama meneliti, maka
Hasil Penelitiannya, disajikan di dalam buku yang diberi judul Budaya Politik (Civic
Culture). Di dalam penelitian keduanya, dicakup sebanyak 5.000 responden, yang
diinventarisir pada 5 Negara, yakni: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jerman Barat,
dan Meksiko.
Di dalam penelitian ini, responden merupakan subyek penelitian pokok sebagai
data empiris, sehingga apa yang diungkap respondenlah yang dipakai dasar untuk
menyimpulkan hasil penelitian. Budaya Politik, merupakan cara individu berpikir,
merasa, dan bertindak terhadap sistem politik, serta bagian-bagian yang ada di
dalamnya, termasuk sikap atas peranan mereka sendiri di dalam sistem politik.
Menurutnya, kecenderungan individu terhadap sistem politik, digolongkan menjadi
tiga, yakni:
a. Orientasi Kognitif, yakni pengetahuan atas mekanisme input dan output mengenai
sistem politik, dan pengetahuan atas hak dan kewajiban sebagai warganegara; ini
dapat dijelaskan, bagaimana seorang individu dapat mengetahui hak dan
kewajibannya di dalam sistem konstitusi yang berlaku, tentang tata cara pemilihan
umum, kegiatan partai, wajah-wajah tokoh pemimpin, dan segala sepak terjangnya.
b. Orientasi Afektif, yakni perasaan individu tentang sistem politik, dan
keikutsertaan para aktor (politisi), dan lembaga-lembaga politik yang ada (Partai
Politik, Peran Lembaga Ekskutif, Peran Lembaga Legislatif, dan Lembaga
Yudikatif); Sesuai dengan pengertiannya, bahwa afektif menyentuh soal perasaan
individu. Tingkatannya lebih kelihatan nyata, misalnya diikutsertakannya,
menikmati kebijakan yang telah ditetapkan para pemimpinnya, keadilan,
kesejahteraan, keamanan, kemudahan, dan kata lain yang sepadan. Orientasi ini
lebih ditujukan kepada keberpihakan para pemimpin terhadap konstituennya, yang
diharapkan tetap diperolehnya simpati, dari warga negara.
c. Orientasi Evaluatif, yakni pendapat individu terhadap obyek-obyek politik yang
mengacu pada nilai, informasi, dan perasaan sebagai kenyataan dalam praktek
pemilihan. Pada orientasi ini, seseorang atau kelompok lebih mengarah kepada
tindakan yang lebih nyata, misalnya dalam bentuk dukungan dan pembelaan,
sehingga hati nurani lebih menonjol pada orientasi ini.
Terinventarisasikan dalam penelitian keduanya, mengenai type-type Budaya
Politik. Kesimpulannya menyebutkan, bahwa teridentifikasi 3 Budaya Politik yang
berpengaruh di kalangan responden, antara lain sebagai berikut:
a. Budaya Poilitik Parokial, hasil penelitian menunjukkan, bahwa ketika keterikatan
seorang responden terhadap sebuah sistem politik pilihannya tidak begitu kentara,
baik secara kognitif maupun afektif. Responden hanya merasa, mereka ada

140
keterikatannya dengan kekuasaan yang paling dekat dengan mereka, misalnya:
oleh karena keterikatan sesama suku mereka saja, sama-sama agamanya, atau
sesama berasal dari satu daerah.
b. Budaya Politik Subyek, adalah merupakan budaya politik, yang menurut
jenjangnya setingkat lebih tinggi, dari budaya politik parokial. Pada dasarnya
responden merasakan bahwa seseorang inidividu menjadi bagian dari komunitas
warga negara. Pada umumnya responden memberikan keikutsertaannya sebagai
anggota warga negara, akan tetapi sifatnya, biasanya pasif. Walaupun
keikutsertaannya diakui oleh mereka, namun secara emosional mereka tidak merasa
terlibat dengan urusan kenegaraan. Di dalam budaya politik subyek, mereka
cenderung selektif, dan mempunyai perasaan, tidak mudah untuk mempercayai
keadaan, karena merasa dirinya lemah.
c. Budaya Politik Partisipan, adalah budaya politik yang jenjangnya paling tinggi
dari yang telah diuraikan di atas. Responden sebagai individu telah mengetahui
secara pasti, dan menjadi masyarakat madani, sehingga mereka merasa sebagai
bagian dari warga negara, yang dengan kesadarannya, mereka mempunyai hak dan
kewajiban. Oleh karenanya, mereka telah mengetahui tentangberbagain hak untuk
dapat: menyampaikan pendapatnya, mendapatkan pendidikan yang wajar,
memperoleh pekerjaan, mendapatkan penghasilan yang sah, dan mempunyai
kewajiban secara sukarela membela negara, membayar pajak, dan mematuhi
perundang-undangan yang berlaku. Secara politik, mereka telah merasa mampu
untuk berorganisasi, baik organisasi yang sifatnya kemasyarakatan, politik, maupun
keswadayaan. Ketika terdapat pesta demokrasi, mereka dengan kesadaran yang
mendalam telah paham, untuk berperanserta demi kemajuan bersama.
d. Hasil Ringkasan Kesimpulan Penelitian
Tulisan Gabriel A. Almond, dan Sidney Verba (1963), yang berjudul “Civic
Culture” memberi pengertian, bahwa adanya rangkaian peristiwa yang berlangsung
sejak terjadinya peristiwa Perang Dunia II, telah meninggalkan persoalan, tentang
demokrasi berskala dunia, serta perkembangan budaya politik, yang terjadi pada
berbagai negara.
Terdapat beberapa butir dalam budaya politik demokrasi yang terjadi di
beberapa negara.
1) Tentang sifat budaya demokratis. Bahwa mengenai isu besar makna
demokrasi, yakni: adanya kebebasan individu, dan pemerintahan dari rakyat.
Dengan demikian, maka keikutsertaan responden dalam persoalan politik,
sebagai individu menjadi utama untuk diperhatikan.
2) Demokrasi adalah membandingkannya dengan individu-individu dari
negara-negara lain. Dalam kaitan dengan demokrasi Harold Laswell
menyampaikan pendapatnya. 5 kriteria Manusia Demokratis, antara lain
sebagai berikut:
a) Sifat ego yang bersedia “membuka diri” dengan manusia/individu yang lain;
b) Kesediaan berbagi “nilai” dengan manusia lain;
c) Kepercayaan, dan mempunyai kepercayaan diri dalam lingkungan
pergaulan/masyarakatnya;

141
d) Bersedia memberi penilaian, dari berbagai nilai yang ada; dan
e) Mempunyai rasa kebebasan dari kegelisahan.
3) Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gabriel Almond, dan Sidney Verba
(1963), scope penelitiannya meliputi 5 negara, yaitu:
a) Amerika Serikat, dipilih sebagai sampel penelitian karena telah terbukti
adanya pemerintahan demokratis yang dikembangkannya; pada sisi lain,
bahwa Amerika Serikat menjalankan kepemerintahannya secara daulat dan
bebas (liberal) dengan tanpa memberi keistimewaan, terhadap lembaga-
lembaga tradisionil maupun para aristokratnya. Dengan demikian,
kepemerintahan tidak cenderung adanya sikap yang otoritatif, akan tetapi
lebih menekankan persaingan dan peranserta perpolitikan dari warga
negaranya. Kesimpulan dari budaya politik Amerika Serikat, adalah
mempunyai Budaya Politik Partisipan, yang tokoh-tokoh
kepemerintahannya mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi, dan
sudah mempunyai tingkat demokrasi yang hampir merata pada warga
negaranya.
b) Inggris, dipilih karena alasan seperti tersebut di atas. Budaya politik
demokratis di Inggris menekankan pada inisiatif dan peranserta, yang telah
dibarengi dengan kesadaran adanya hak dan kewajiban sebagai warga
negara. Budaya Politik di Inggris menurut hasil penenelitian mempunyai
Budaya Politik Diferensial;
c) Italia, negara ini diambil sebagai sampel penelitian, karena Italia budaya
politik yang rasional tidak pernah dikembangkan oleh negara. Pemerintahan
Italia sebelum Perang Dunia I dikuasai oleh sistem Monarkhi, yang pernah
ditentang oleh Gereja (Kristen), yakni menentang memberikan persetujuan
terhadap adanya negara baru, dan kalangan Gereja tidak memberikan
keikutsertaannya dalam proses pendirian negara baru. Italia juga terkenal
dengan rejim Fasis, yang mengembangkan kepemerintahan dengan ancaman
fisik, dan tidak mempertimbangkan adanya demokrasi (kebebasan
berpendapat);
d) Jerman, negara ini dimasukkan dalam negara sampel penelitian, karena
Jerman merupakan negara maju, yang dipandang telah menjalankan
kepemerintahannya secara efektif dan efisien, dalam rangkaian sejarah
negaranya. Walaupun keikutsertaan demokrasi kepada warganegaranya,
baru dimulai pada abad 19, Jerman dikenal menghormati adanya kekuasaan
secara otoriter, pada kepemerintahan sebelum abad 19;
e) Meksiko, diambil sebagai negara sampel penelitian, karena pencerminan
sebagai negara kurang maju, dan sedang mengalami sistem perpolitikan
transisional. Pada sisi lain Meksiko, merupakan contoh negara demokrasi
yang wilayahnya ada pada luar Kawasan Atlantik. Meksiko adalah negara
yang berkecenderungan ekploitatif dalam kepemerintahannya, sampai
terjadinya suatu revolusi, kemudian seusai revolusi, kepemerintahan
Meksiko, dijalankan mulai menuju ke demokrasi yang modern.

142
Kelima negara dipertimbangkan untuk diambil sampel penelitiannya,
dengan alasan negara-negara tersebut mengalami pengalaman sejarah dan
perpolitikan yang beragam. Meksiko, kapasitasnya sebagai negara sampel,
adalah negara yang paling tradisionil, dibandingkan dengan empat negara
lainnya. Sebagai tambahan pengetahuan,bahwa Tingkat iliterate (buta huruf)
paling tinggi juga. Masing-masing negara tersebut di atas diambil
sampelnya 1.000 responden, sehingga jumlah keseluruhannya untuk 5
negara menjadi 5.000 responden.
4) Hasil penelitian Gabriel Almond, dan Sidney Verba (1963), memberi
penjelasan dari berbagai keterlibatan warga negara dalam perpolitikan
negaranya, yang dinilai kurang, keikutsertaan warga negaranya. Justru, pada
negara-negara yang dianggap sudah mencerminkan demokrasi. Penelitian ini
dianggap yang paling lengkap, karena melibatkan lima negara yang berbeda,
untuk pengukuran variabel yang telah disusun secara sistematis. Data yang
dikumpulkan dalam variabel ordinal, dan interval, yang secara metodologis
analisisnya kuantitatif, dengan konsistensi dan validitas yang menyertainya,
sehingga data dapat ditampilkan secara tabulatif yang relatif mudah dipahami.
5) Penelitian Gabriel Almond, dan Sidney Verba (1963), melakukan survey cross-
sectional, yakni mengukur kualitas yang dipakai mengungkap keikutsertaan
politik para warga negara, pada lima negara yang diteliti. Adapun variabel
yang diukur adalah: “Pengaruh Pemerintah, terhadap Kehidupan sehari-hari,
dengan Kesadaran Politik Warga Negara.” Sebagai kelengkapan diteliti juga
tentang “Sikap warga Negara dengan warga negara lain/orang lain,
hubunguannya warga negara dengan orang lain, terdapatnya kegiatan sosial
yang dijalani, keanggotaannya di dalam organisasi, dan keikutsertaannya dalam
kegiatan perpolitikan.”
2. Budaya Politik di Indonesia
Budaya Politik Indonesia ditandai dengan beberapa kenyataan, yang sudah
tercatat dalam berbagai penelitian, adalah sebagai berikut:
a. Hierarkhi garis. Di Indonesia dapat ditengarai dengan terdapatnya kelompok etnis
yang secara dominan menguasainya, yakni etnis Jawa. Dari penelitian yang dikutip
Gaffar, Claire Holt dkk., menyebutkan bahwa etnis ini (Jawa) mempengarui segala
sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia. Konsep
mengenai adanya kekuasaan pada masyarakat Jawa, pada dasarnya bersifat konkret,
konstan, homogen, tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi.
b. Patronage, yang dimaksud adanya interaksi secara stimbal balik, ddengan jalan
bertukar kepemilikan sumber yang dimiliki oleh masing-masing yang berperan.
Berbagai pihak yang berhubungan saling mengisi kekurangan yang ada dipihaknya
untuk dilengkapi oleh pihak lain. Di dalam praktek model ini akan dapat merugikan
berbagai pihak karena munculnya kolusi dan nepotisme yang berkembang di mana-
mana, sehingga menjadikan suasana saling curiga dan merasa diabaikan
keberadaannya.
c. Neo-Patrimonialistik, menurut Gaffar, kecenderungan dunia politik di Indonesia,
menjadikan politik yang cenderung Neo-Patrimonialistik, yakni negara memiliki

143
atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, serta memperlihatkan atribut yang
bersifat patrimonialistik. Sistem ini pada prinsipnya menyelenggarakan
kepemerintahan dan kemuatan politiknya di bawah langsung unsur pimpinan
negara. Oleh karena itu, Weber menyebutkan karakteristik Negara Patrimonalistik,
sebagai berikut:
1) Mempunyai kecenderungan korup, dengan mempertukarkan sumber daya yang
dikuasai seseorang dengan kroni-kroninya;
2) Mengambil kebijakan yang partikularistik, yang bertentangan dengan sisfat
universalistik;
3) Pengaturan Hukum yang cenderung diabaikan;
4) Penelantaran kepentingan bersama, daripada kepentingan pribadi.
3. Budaya Demokratis
Suatu demokrasi yang sehat tergantung terutama pada pembangunan suatu
budaya warga negara yang demokratis. Menurut Diane Ravitch, budaya demokratis
dalam pengertian ini, tidak merujuk pada seni, sastra atau musik, tapi pada “perilaku,
praktek dan norma-norma yang menjelaskan kemampuan rakyat untuk memerintah
diri sendiri. Suatu sistem politik totaliter mendorong budaya pasif dan apatis.” Rezim
berusaha membentuk suatu warga negara yang patuh dan jinak. Sebaliknya, budaya
warga negara masyarakat demokratis dibentuk oleh aktifitas yang dipilih secara bebas
oleh individu atau kelompok.
Warga negara suatu masyarakat bebas mengejar kepentingan mereka,
menalankan hak mereka dan bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri.
Mereka membuat keputusan mereka sendiri tentang di mana mereka akan bekerja, apa
jenis pekerjaannya yang akan mereka lakukan, di mana mereka akan tinggal, apakah
akan ikut partai politik, apa yang akan dibaca, dan sebagainya. Ini semua adalah
keputusan pribadi, dan bukan keputusan politik.
Sastra, seni, drama dan film - pengungkapan seni dari suatu budaya masyarakat -
juga berjalan bebas dari pemerintah. Suatu masyarakat demokratis mungkin
mendukung atau mendorong seniman dan penulis, akan tetapi tidak menetapkan
standard seni, atau memberi penilaian atas karya seni, atau bahkanmenyensor karya
seni tersebut. Seniman itu bukan pegawai atau pelayan negara. Sumbangan utama
suatu demokrasi kepada seni adalah kebebasan-untuk mencipta, bereksperimen,
menjelajahi dunia pemikiran dan semangat manusia.
Pendidikan (termasuk kewarganegaraan), adalah unsur vital dalam setiap
masyarakat, tapi terutama masyarakat yang demokratis. Thomas Jefferson
mengatakan: “Jika suatu bangsa ingin bodoh dan bebas, dalam suatu negara beradab,
bangsa itu mengharapkan apa yang tidak ada dan apa yang tidak pernah akan ada.”
Berlawanan desngan masyarakat yang totaliter yang berusaha menanamkan sikap
menerima secara pasif, sasaran pendidikan demokratis adalah menghasilkan warga
negara yang bebas, mau bertanya dan analitis dalam pandanganmereka. Mahasiswa
jelas dapat diajari tentang prinsip-prinsip demokrasi dalam semangat bertanya. Nah,
semangat ini sendiri merupakan nilai demokratis. Mereka harus didorong untuk
menantang pemikiran yang konvensional dengan argumentasi yang beralasan dan

144
penelitin yang cermat. Mungkn akan terjadi perdebatan yang seru, tapi itulah nilai-nlai
demokratis yang dapat dijabarkan dalam pelaksanaannya.
Dalam pada itu Chester E Finn Jr Guru Besar Universitas Vanderbilt,
menyataknan: “Jika sistem pendidikan di rezim-rezim lain merupakan alat bagi
rezim itu, dalam suatu demokrasi rezim adalah abdi rakyat, pendidikan
memungkinkan kebebasan itu sendiri untuk tumbuh pada waktunya.” Manusia
mempunyai keinginan yang kadangkala bertentangan. Contohnya orang menginginkan
keamanan, tapi menikmati petualangan atau perburuan (hewan, makhluk halus, bahkan
manusia); mereka menyuarakan kebebasan, sementara mereka menuntut persamaan
sosial.
Menurut Larry Diamond, Demokrasi dalam banyak hal tidak lebih dari sekadar
seperangkat peraturan untuk mengelola konflik. Pada waktu yang sama, konflik ini
harus dikelola dalam batas-batas tertentu dan menghasilkan mufakat, konsensus atau
pengaturan lain semua fihak yang sah. Suatu tekanan berlebihan kepada salah satu
forum di mana mereka dapat mendesakkan tuntutan mereka, masyarakat dapat hancur
dari dalam. Sebaliknya jika pemerintah menjalankan tekanan berlebihan untuk
mencapai konsensus, dengan membungkam suara rakyat, masyarakat dihancurkan
dari atas. Suatu masyarakat demokratis membutuhkan komitmen warga negaranya
yang menerma bahwa konflik tidak dapat dihindarkan, dan toleransi sangat diperlukan
(USIA, 1991: 19).
Budaya demokrasi, begitu penting untuk dikembangkan. Individu dan
kelompok harus bersedia, menerima perbedaan satu sama lain, mengakui bahwa fihak
lain mempunyai hak yang sama dan sah, dan dari suduts pandang yang sah pula,
sehingga dapat bertemu dalam suatu semangat mufakat dan mencari penyelesaian
khsus yang membangun di atas prinsip umum pemerintahan mayorits dan hak
minoritas.
Diane Ravitch, mengamati: “Pembangunan koalisi adalah inti dari tindakan
demokrasi. Ini mengajar kelompok kepentingan untuk berunding dengan fihaklain,
berkompromi dan beerja untuk menciptakan koalisi, kelompok-kelompok yang
mempunyai pandangan berbeda belajar cara berebat secara damai, mengejar cita-cita
mereka secara demokratis dan akhirnya hidup dalam suatu masyarakat yang beragam.”
Demokrasi bukanlah seperangkat kebenaran yang diungkapkandan tidak berubah,
malainkan suatu mekasnisme bagi rakyat untuk mencapai kebenaran, melalui
pertentangan dan mufakt antar gagasan, individu dan institusi. Demokrasi itu
pragmatis, gagasan dan penyelesainnya tidak diujikan terhadap suatu ideologi yan
kaku, akan tetapi diuji cobakan dalam dunia nyata di mana hal-hal itu dapat diubah,
diterima, dan bahkan dibuang.

145
BAB XIII
PENDIDIKAN KARAKTER
(Pertemuan XIII)

A. Pendidikan Karakter
1. Pendahuluan
earah dengan salah satu prioritas pembangunan nasional, semangatnya secara
implisit dimunculkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Nasional

S
(RPJPN) periode Tahun 2005-2025, di mana pendidikan karakter
ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan
nasional, yaitu: “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan Pansasila.” Penegakan
komitmen nasional mengenai pentingnya pendidikan karakter, sudah tertuang
dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Di dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan:
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Mengenai awal semangatnya, sebetulnya telah diungkapkan sejak kemerdekaan
negara Republik Indonesia. Awal semangat itu diungkapkan oleh Presiden Soekarno, yang
meyatakan bahwa, bangsa/negara memerlukan landasan kuat karakter, yakni perlunya
nation and character building untuk membangun bangsa Indonesia. Bahwa karakter
bangsa yang kuat, dapat lebih cepat untuk mencapai kemajuan dan perkembangan bangsa.
Adapun mengenai betapa pentingnya pendidikan/pembangunan karakter/budi
pekerti, telah dinyatakan oleh pemerintah, yang menuangkannya di dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007, tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
2005-2025. Dikuatkan lagi penetapan Instruksi Presiden Republik Indonesia, Nomor 1
tahun 2010, tentang pencepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2010,
yang menegaskan lagi payung hukumnya, bahwasanya pemerintah sangat serius untuk
membangun karakter/budi pekersti bangsanya.
Di dalam kehidupan sehari-hari, upaya pembentukan karakter, sesuai dengan budaya
bangsa ini, tidak hanya dilakukan di instansi pendidikan, dan melalui rangkaian
pendidikan belajar mengajar saja, akan tetapi juga dilakukan di luar sekolah, pembiasaan
(habituation) dalam kehidupan sehari-hari, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja
keras, cinta damai, dan bertanggung jawab. Instansi pendidikan dianggap sebagai salah
satu alternatif yang mempunyai peran preventif, untuk membangun generasi penerus yang
lebih baik. Mendidk sesuai karakter Islam, atau akhlaqul karimah, adalah mengembangkan
nilai-nilai akhlaqul karimah, terhadap diri peserta didik, melalui pendidikan yang dapat
dirasakan oleh hati, otak, dan fisik, berdasarkan al-Quran, dan Keteladanan Nabi
Muhammad SAW.
Kenyataannya di Indonesia saat ini, merosotnya karakter bangsa telah banyak
muncul, dan tingkatnya sudah sangat mengkhawatirkan kita bersama. Salah satu

146
kemerosotan karakter, seperti terjadinya banyaknya kasus korupsi, yang dapat
diungkapkan oleh Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) akhir-akhir ini, yang melanda
seluruh bidang kehidupan sosial dan pemerintahan, dan lebih parah lagi sudah mengakar
dalam peri kehidupan, budaya, dan tingkah laku. Korupsi, seperti yang sudah banyak
diungkapkan di media-media masa telah menjangkiti, hampir semua kementerian dan
semua jalur birokrasinya, perwakilan rakyat, dunia usaha, lembaga peradilan, lembaga
keagamaan, bahkan sampai pada lingkungan elit kepresidenan.
Telah dijelaskan pada Q.S. al-Maidah (5): 62-63 tentang melakukan tindakan suap,
(termasuk korupsi di dalamnya), agar tidak memakan harta yang haram, karena menurut
ayat ini amat jahat yang mereka kerjakan. Korupsi termasuk tindakan keji lahir dan batin,
kegiatan maksiat yang malampaui batas kewajaran, dan tindakan aniaya terhadap orang,
karena merampas hak banyak orang.
2. Definisi
Secara etimologis, perkataan karakter (yang dalam bahasa Inggris Character)
awal katanya berassal dari kata Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to
engrave” (Ryan and Bohlin, 1999: 5). Di dalam Kamus kata “to engrave” bisa
diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan
Shadily, 1995: 214). Penjelasan selanjutnya di dapat dai Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), bahwa kata “karakter”, diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.
Dalam penjelasan selanjutnya, “karakter” juga bisa berarti huuf, angka, ruang, simbul
khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan ketik (Pusbah, Depdiknas, 2008:
682).
Thomas Lickona, menyebutkan, “A reliable inner disposition to respond to
situations in a morally good way. ……. Character so conveived has three interrelated
parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior.” (1991: 51). Selanjutnya,
karakter mulia (yang disebut good character), meliputi segala sesuatu pengetahuan
tentang kebaikan (moral knowing), yang lalu memunculkan komitmen terhadap
kebaikan (moral feeling), yang akhirnya memunculkan perilaku kebaikan (moral
behaviour).
Menurut Ahmad Amin, kehendak (niatan), sebagai awal terjadinya akhlak
(karakter) pada diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk
pembiasan sikap dan perilaku (1995: 62). Ahli lain, Frye memberi batasan tentang
Pendidikan Karakter sebagai, “A national movement creating schools that foster
ethical, responsible, and caryng young people by modeling and teaching good
character through an emphasis on universal values that we all share” (Frye, 2002: 2).
Menurutnya, Pendidikan Karakter harus ditetapkan sebagai gerakan nasional, sehingga
dapat memberi peran sekolah sebagai agen membangun karakter para siswa, melalui
ethika, tanggungjawab, yang membawa pemuda sebagai model pembelajaran nilai-
nilai yang universal. Dengan Pendidikan karakter, sekolah harus melakukan kreatifitas
untuk membawa para siswa untuk memiliki nilai-nilai karakter mulia: hormat dan
peduli pada orang lain, dan bertanggung jawab. Di sisi lain pendidikan karakter juga
harus mampu menjauhkan peserta didik dari sikap dan perilaku yang tercela dan
dilarang. Pendidikan karakter tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana

147
yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan
kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga peserta didik paham, mampu
merasakan, dan mau melakukan yang baik. Dengan demikian, pendidikan karakter
membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau pendidikan moral. Frye,
menambahkan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha secara disengaja dalam
membantu seseorang untuk memahami, menjaga, dan mempunyai perilaku, yang
sesuai dengan kaidah-kaidah karakter mulia (Frye, 2002: 3).
Karakter, menurut Pusat Bahasa, Depdiknas, adalah bawaan, jiwa, kepribadian,
budi pekerti, perilaku, personifikasi, sifat, tabi’at, temperamen, watak (Jubaidi, hal 8).
Pendidikan karakter, adalah usaha sengaja (sadar) untuk mewujudkan suatu kewajiban
menuju ke kualitas kemanusiaan yang baik, secara obyektif, bukan hanya baik untuk
individu atau perseorangan, tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan (Jubaidi,
hal 14).
Arti Karakter, menurut salah satu pengertian yang lain, karakter adalah watak,
tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang,
berpikir, bersikap, dan bertindak. “Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter pada diri seseorang.
Pengembangan karakter hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter
individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan
budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat
dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan, artinya,
pengembangan karakter hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang
tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya, masyarakat, dan
budaya bangsa (Utomo, 2010: 3).
Sedangkan Akhlak, secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang
didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang
baik. Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari Bahasa Arab
yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat (Zakky, 2008 : 20-39). Akhlak adalah
perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik
tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Kata akhlak diartikan sebagai suatu
tingkah laku, tetapi tingkah laku teersebut harus dilakukan secara berulang-ulang tidak
cukup hanya sekali melakukan perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja.
Seseorang dapat dikatakan berakhlak jika timbul dengan sendirinya didorong oleh
motivasi dari dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran, apalagi
pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan
untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah
pencerminan akhlak.
Budi Pekerti, budi pekerti pada kamus bahasa Indonesia merupakan kata
majemuk dari kata budi dan pekerti. Budi berarti sadar atau yang menyadarkan atau
alat kesadaran. Pekerti kelakuan. Kata budi adalah yang ada pada manusia yang
berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, yang disebut karakter.
Sedangkan pakerti ialah yang terlihat pada manusia, karena dorongan hati, yang sering

148
disebut tingkah laku. Maka secara terminologi budi pekerti merupakan perpaduan dari
hasil rasio yang disebut karakter dan pengejawantahan/perujudan dari pada karsa atau
tingkah laku manusia. Budi pekerti dapat bersifat positif maupun negatif. Budi pekerti
didorong oleh suatu kekuatan yang terdapat dalam rasio.
3. Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter/Budi Pekerti, dapat dimaknai, sebagai pendidikan nilai,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan, baik
memelihara apa yang baik dan mewujudkan dan menebarkan kebaikan ke dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Djoko Santosa, Dirjendikti).
Menurut UU Nomor: 20 Tahun 2003, pasal 1 ayat (1), menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik sktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Pendidikan Karakter, adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter, kepada
warga sekolah, yang meliputi komponen: kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut ditujukan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, untuk diri sendiri, sesama masyarakat sekelilingnya, agama, bangsa, dan
negaranya.
Kajian mengenai Pendidikan Karakter telah mulai dikenalkan sejak tahun
1900-an. Oleh karena pemikiran awal Thomas Lickona, maka ia selanjutnya dijuluki
sebagai pelopornya. Pada kesempatan itu, ia mengarang buku, yang diberi judul
“The Return of Character Education”, dan tidak lama kemudian terbit buku
berikutnya, “Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility.” Dari pemikiran melalui kedua buku tersebut, maka muncullah
gerakan tentang betapa pentingnya Pendidikan Karakter, yang menurutnya
mengandung tiga unsur pokok: yaitu mengetahui tentang kebaikan (knowing the
good), mencintai tentang kebaikan (desiring the good), dan melakukan tentang
kebaikan (doing the good) (1991: 51).
4. Pendidikan Karakter Pandangan Islam
Makna karakter yang melatarbelakangi sama arti dengan akhlak, merupakan
penghayatan yang didasarkan sesuai pada syari’ah islam, baik ibadah maupun
muamalah. Dengan demikian, karakter dapat tumbuh dengan suburnya, karena
dilatarbelakangi landasan akidah yang kuat. Bangunan akidah seorang yang
mempunyai penghayatan akidah yang kuat, akan tercermin pada karakter yang sesuai
dengan keimanan seseorang tersebut. Tidak ada dalam diri seorang yang berakidah
kuat, dapat mempunyai akhlak yang tercela, sehingga merugikan orang lain di
sekitarnya.
Menurut Hawa, hal pertama untuk merealisasikan akhlak, adalah dengan
mengikatkan jiwa manusia dengan ukuran-ukuran peribadatan kepada Allah. Karakter
tidak akan tampak dalam perilaku tanpa mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh
Allah SWT (1977: 72). Ketika karakter dilatarbelakangi oleh penghayatan kepada

149
keimanan, maka seseorang akan dapat membedakan adanya moral/akhlak yang baik
ataupun buruk. Pakar lain Amin menyebutkan, di kala memberi hukum kepada sesuatu
perbuatan, bahwa ia akan baik atau buruk, wajib kita melihat kelezatan dan kepedihan
yang ditimbulkan oleh perbuatan itu, bukan untuk kita sendiri saja, bahkan bagi
sesama manusia seluruhnya, segala binatang dan tiap-tiap makhluk yang merasakan
kelezatan dan kepedihan dari perbuatannya. Dan hendaklah jangan sampai hanya
melihat kepada kelezatan yang langsung dan dekat, akan tetapi hendaknya meliputi
pandangan kita ke arah kelezatan yang tidak langsung dan jauh, lalu menghimpun apa
yang ditimbulkan oleh perbuatan itu dari kelezatan dan kepedihan. Apabila kelezatan
itu lebih kuat dari kepedihan maka biklah ia, dan bila kepedihan lebih berat keleatan
maka buruklah ia (1995: 95-96). Hal di atas menjelaskan kepada kita bahwa karakter
apabila dilakukan oleh seseorang, akan mempunyai dampak baik ataupun buruk oleh
lingkungan semesta. Lingkungan di mana dapat terpengaruh oleh tindakan-tindakan
orang yang mempunyai karakter, baik ataupun buruk.
Di dalam kandungan Al-Qur’an, sudah dapat dipastikan terdapat ayat-ayat yang
merujuk kepada keutamaan pembentukan akhlak atau karakter, yang dengan rujukan
ini, seseorang Muslim dapat terindar dari akhlak atau karakter yang tercela. Terdapat
ayat yang memerintahkan seseorang Muslim berbuat kebaikan (ihsan), dan juga
kebajikan (al-birr), bersedekah dengan sekian persen hartanya, memiliki kejujuran,
menghayati kesabaran, menepati janji (alwafa), merasa bahwa ia selalu ada yang
mengawasi, menjalankan keadilan, mudah memaafkan. Kesemuanya tersebut terdapat
pada:
a. QS. al-Baqarah (2: 177), “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang
beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim,
orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-
minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat
dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan
orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah
orang-orang yang bertaqwa.”
b. “(Yaitu), orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebajikan.” QS. al ‘Imran
(3: 134).
c. “Dan sungguh. Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia berkata,
‘Wahai kaumku! Sembahlah Allah, (karena) tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-
Nya)?” QS. al-Mu’minun, (23): 1-11.
d. an-Nur (24: 37), “Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan
jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat.
Mereka takut hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari
Kiamat).”

150
e. QS. Al-Furqan (25: 35-37), “Dan sungguh, kami telah memberikan Kitab
(Taurat) kepada Musa dan Kami telah menjadikan Harun saudaranya,
menyertai dia sebagai wazir (pembantu) (35).” “Kemudian Kami berfirman
(kepada keduanya), ‘Pergilah kamu berdua kepada kaum yang mendustakan
ayat-ayat Kami’ lalu Kami hancurkan mereka dengan sehancur-hancurnya
(36).” “Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh ketika mereka mendustakan
para rasul. Kami tenggelamkan mereka dan Kami jadikan (cerita) mereka itu
pelajaran bagi manusia. Dan Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim
azab yang pedih (37).”
f. “ QS. Al-Qhashash (28: 77), “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan
bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan (77).”
g. “Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan
dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama
mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan
keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud.
Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan sifat-
sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang
mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar
dan tegak lurus di atas batangnya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-
penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang yang kafir
(dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang
yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan
pahala yang besar al-Fath (48: 29).” Pada ayat-ayat tersebut di atas yang
dituliskan secara acak, sesuai urutan suratnya, yang memberikan pemahaman
kepada kita (sebagai orang Muslim), untuk selalu mendasarkan apa yang
dikerjakan sesuai karakter islami diajarkan di dalam AlQur’an.
Seseorang tidak dapat memilih akan dilahirkan di mana, sehingga hanya takdir
saja yang dapat menentukannya. Jika demikian, maka seseorang kemungkinan saja
dilahirkan pada lingkungan kumuh, dalam artian kumuh sosial maupun kumuh secara
ekonomi. Pada awal, dan proses perkembangan kepribadiannya, ada kemungkinan
seseorang, berkarakter dasar sesuai lingkungannya. Pada sisi lain, seseorang yang
dilahirkan pada lingkungan yang baik, akan mempunyai dasar kharakter baik. Oleh
karena, seseorang sangat dipengaruhi, terutama oleh pengalaman masyarakat
lingkungan yang membesarkannya, walaupun secara fitrah dia telah membawa
anugerah dari Allah SWT.
Berdasarkan berbagai alasan tersebut, maka Pendidikan Karakter diharapkan
mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan kepribadian seseorang.
Membentuk karakter seseorang yang telah berumur, pada umumnya lebih sulit, karena
karakter yang melekat dalam diri seseorang sudah menjadi watak, sehingga
memerlukan kesabaran dan kesadaran yang luar biasa untuk mempengaruhinya.
Pengalaman seseorang, di dalam mengarungi hidupnya, akan mempengaruhi

151
kepribadiannya, tatkala tidak bersentuhan sama sekali dengan norma-norma agama,
yang sudah pasti baik. Karakter seseorang di dalam lingkungan tertentu, sudah terisi
oleh pengalamannya, yang bisa jadi kurang menguntungkan untuk pembentukan
karakter yang baik. Namun demikian, tentang pembentukan karakter, tidak dapat
dilupakan, harus tetap berpedoman kepada al-Qur’an dan Hadits (bukan yang
dla’if/tergolong lemah, dan maudlu’/tergolong palsu), yang telah memberikan
pedoman untuk melakukan tindakan mulia, bagi setiap orang yang memeluknya.
5. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Berkarakter
Mengenai tujuan dan fungsi Pendidikan Karakter, didasarkan pada Undang-
Undang Dasar 1945, pasal 3, (3), sebagai payung hukumnya, yang menyebutkan:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.” Sedangkan,
di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional,
dirumuskan dalam pasal 3, yang menyebutkan: “Pendidikan Nasional bertujuan
untuk berkembangya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Mengenai Fungsinya, telah ditetapkan bahwa pendidikan nasional:
“mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.” Fungsi pendidikan
karakter yaitu menumbuhkembangkan kemampuan dasar peserta didik, agar berpikir
cerdas, berperilaku yang berakhlak, bermoral, dan berbuat sesuatu yang baik, yang
bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.”
Setelah ditetapkan tujuan dan fungsi Pendidikan Karakter, maka ditetapkan pula
beberapa komitmen tujuan pendidikan karakter secara umum adalah.
a. Membangun, dan mengembangkan karakter peserta didik pada setiap jalur, jenis,
dan jenjang pendidikan, agar dapat menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur
menurut ajaran agama dan nilai-nilai luhur dari setiap butir-butir sila-sila dalam
Pancasila.
b. Meningkatkan mutu penyelenggaraan, dan hasil pendidikan yang mengarah pada
pencapaian Pendidikan Karakter, dan akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu dan seimbang.
6. Nilai dan Deskripsi Karakter Bangsa
Di bawah ini akan disebutkan beberapa Nilai dan Deskripsi Karakter Bangsa
yang dikutipkan dari Buku Pelatihan Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum, Kemendiknas
Republik Indonesi, sebagai berikut:

152
Tabel 17: Nilai dan Deskripsi Karakter Bangsa

No Nilai Deskripsi

1. Religius/Tawadlu Sikap dan Perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran


’ agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2. Jujur/Siddiq Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya


sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam: sopan
santun, perkataan, dan tindakannya.

3. Toleransi/ Sikap dan Tindakan tentang bagaimana menghargai adanya


Tasamuh perbedaan umur, agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dari diri dan
kelompoknya.

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada


berbagai norma kehidupan, kesepakatan bersama, ketentuan,
dan peraturan yang ada.

5 Kerja Keras Perilaku yang menampakkan upaya bersungguh-sungguh


. mengatasi berbagai persoalan atau hambatan: dapat
membagi waktu, rajin belajar dan melaksanakan tugas
secara maksimal, dan sebaik-baiknya. Kerja keras,
mencerminkan: pekerja keras akan selalu gigih (orang
Jepang disebut workalholic), tekun, tidak kenal lelah,
berkarakter unggul.

6 Kreatif Mempunyai pemikiran, dan melakukan sesuatu untuk


. menghasilkan cara, atau hasil baru, dari sesuatu yang belum
ada menjadi ada. Kreatif dalam membuat sesuatu
(misalnya: pengolahan limbah-limbah sampah dapat dibuat
suatu kerajinan tangan). Mempunyai jiwa tanggap/
mempunyai inisiatif, tanggap terhadap perkembangan
perubahan lingkungan, yang dan dapat menjadikannya
peluang untuk berusaha, atau membuka usaha lapangan
kerja untuk dirinya sendiri, bahkan untuk orang lain.
Mampu memecahkan persoalan, mereka yang selalu dapat
mencari jalan keluarnya suatu persoalan, dapat memikirkan
alternatif lain yang benar, dan tepat.
7 Mandiri Perilaku yang dapat mencerminkan kemandirian, tidak
. menunggu untuk melakukan tindakan. Mempunyai
sikap kepercayaan diri yang tinggi, mempunyai identitas
yang menonjol, kukuh di dalam pendirian, kuat di dalam
menggapai sesuatu yang dicita-citakan

153
8 Demokratis Mempunyai sikap, pemikiran, dan tindakan yang setara,
. memberi kesempatan kepada orang lain, menghargai
kesepakatan, dan menekankan permusyawaratan

9 Rasa Ingin Tahu Mempunyai sikap, pemikiran, dan tindakan yang mengarah
. kepada peningkatan pemuasan dalam segala hal. Ingin
mengetahui segala kemungkinan yang dirasa masih gelap

1 Semangat Mempunyai sikap, pemikiran dan tindakan yang didasarkan


0 Kebangsaan cinta lingkungan. Sikap yang menempatkan kepentingan
. bangsa, dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.

1 Cinta Tanah Air/ Mempunyai sikap, pemikiran, dan tindakan yang


1 Amanah mencerminkan adanya loyalitas terhadap: bangsa, bahasa,
. budaya, lingkungan hidup, ekonomi, politik dan sosialnya.

1 Menghargai Mempunyai sikap, pemikiran, dan tindakan terhadap


2 Prestasi keberhasilan. Selalu berusaha untuk mempunyai target
. kerja, sehingga dapat mempunyai prestasi yang
membanggakan diri, keluarga, dan bangsanya. Mempunyai
rasa penghormatan terhadap karya atau prestasi orang lain.

1 Bersahabat/ Mempunyai sikap, pemikiran dan tindakan, yang


3 Komunikatif komunikatif: mudah bermasyarakat, mudah bergaul,
. berteman, bersahabat, berempati nasib orang, dan bersikap
serba menyenangkan.
1 Cinta Damai Mempunyai sikap, perkataan, dan tindakan elegan,
4 terhormat, mengayomi dan bersahabat
.
1 Gemar Membaca Mempunyai sikap, pemikiran, dan tindakan haus ilmu
5 pengetahuan. Menjadi kutu buku, dan menyediakan dana
. untuk perburuan ilmu pengetahuan.

1 Peduli Mempunyai sikap, pemikiran, dan tindakan yang selalu


6 Lingkungan mengupayakan kelestarian lingkungan, menjaga
keselamatan lingkungan, dan mencegah terjadinya
degradasi lingkungan. Mengusahakan renovasi lingkungan
yang sudah terlanjur rusak.

1 Peduli Sosial Mempunyai sikap, pemikiran, dan tindakan peka kepada


7 lingkungan masyarakat sekitarnya, dan empati terhadap
. persoalan sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan.

1 Tanggung Jawab Mempunyai sikap, pemikiran, dan komitmen terhadap tugas


8 dan tanggung jawabnya sebagai warga masyarakat.

154
. Melakukan penyelesaian yang sudah menjadi tanggung
jawab, dan melaporkannya kepada yang menyuruhnya.
Tanggung jawab secara individu, lembaga, serta unsur-unsur
masyarakat

Sumber: Balitbang Puskur Kemendikbud RI.


7. Inspirasi di dalam Pendidikan Karakter
a. Sosok wanita yang berhasil mengatasi keterbatasan anggota tubuhnya adalah
seorang wanita dari Amerika Serikat, yang bernama Hellen Keller yang hidup pada
tahun 1880-1968. Wanita ini, saat dilahirkan belumlah ketahuan mempunyai cacat
bawaan, dan diketahui sudah menjadi buta dan tuli, pada saat usianya baru
menginjak 19 bulan. dengan cacat bawaan yang demikian, keluarganya tidak
mendiamkannya. Keluarganya membantu pengembangan anaknya, dan Hellen
Keller juga mendapat perhatian bimbingan dari Annie Sullivan (yang ia juga hanya
dapat melihat secara terbatas), yang ternyata dapat menyelesaikan pendidikannya di
Radcliffe College tahun 1904. Hellen keller, sukses menjadi manusia penyandang
buta dan tuli pertama, yang memperoleh predikat kelulusan dengan penghargaan
cum laude. Selanjutnya, ia menyatakan pendapatnya: “Character cannot be
develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the
soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.”
Apa yang dinyatakan tersebut, bahwa karakter dan jiwa yang kuat, tidak dapat
dibangun, ketika seseorang hanya diam menunggu, dapat memberikan inspirasi
kepada banyak orang. Dengan dasar inspirasinya sendiri itu, dan jiwa juang, visi
yang jernih, dan ketekunannya yang tinggi, melewati ujian kehidupan yang
panjang, ia betul-betul menjadi sukses dalam mencapai ambisi kehidupannya.
Tidak kalah penting, akhirnya ia mendapat julukan sebagai salah satu pahlawan
besar, dalam Sejarah Amerika.
b. Pendidikan Karakter Agar Jadi Mata Pelajaran (Dyah Ratna Meta Novia,
Republika Sabtu 18 Desember 2013.
Saat ini pendidikan karakter hanya menjadi sisipan. Jakarta – Pendidikan
karakter diusulkan menjadi sebuah mata pelajaran tersendiri. Terutama, untuk
tingkat pendidikan dasar dan dini.
Anggota Komisi X Bidang Pendidikan DPR RI Rully Azwar mengatakan,
pendidikan karakter bisa dijadikan mata pelajaran di pendidikan anak usia dini
(PAUD), TK, dan SD. Sebab, pada usia dini, kata dia, karakter itu bisa dibangun,
kalau sudah SMP ke atas membangun karakter itu agak susah. Rully menambahkan
guru yang mengajarkan pendidikan karakter bgi PAUD sampai SD harus orang
yang benar-benar menguasai psikologi sehingga pendidikan karakter bisa diserap
anak dengan baik. Materinya bisa berupa etika, tata krama, dan nasionalisme. Etika
dan tata krama, ujar Rully, bisa diambil dari agama dan adat istiadat. Sedangkan,
nasionalisme bisa diajarkan hidup sesuai dengan falsafah Pancasila. “Diharapkan
lahir anak yang saleh, santun, cinta Tanah Air,” ujar Rully kepada Republika,
Selasa (17/12). Untuk anak-anak SMP ke atas, kata Rully, pendidikan karakter bisa

155
dilakukan dengan disisipkan oleh masing-masing guru mata pelajaran. Guru harus
bisa memberikan nilai-nilai teladan dan bersikap tegas jika siswa berbuat yang
kurang baik sehingga itu bisa membangun karakter mereka.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menolak jika
pendidikan karakter masuk dalam mata pelajaran sendiri. Sebab, pendidikan
karakter yang mengandung pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang baik itu
sudah termasuk dalam setiap mata pelajaran yang ada. “Dalam Kurikulum 2013 itu
sudah melekatkan nilai-nilai karakter,” ujar Nuh, Selasa (17/12). Dulu, terang Nuh,
Pendidikan karakter hanya dibebankan pada pelajaran agama dan pelajaran budi
pekerti. Tetapi, sekarang tidak karena di dalam semua mata pelajaran disipkan
pendidikan karakter. Lagi pula ujar Nuh, pelajaran agama dan budi pekerti itu ada
mulai dari SD sampai perguruan tinggi. Hal itu cukup memberikan bekal karakter
yang baik bagi para pelajar. Pendidikan karakter, ujar Nuh, disisipkan dalam
matematika. Ini terlihat kalau mengerjakan soal matematika itu ada urutan, tidak
langsung menuju hasilnya. Nuh, mengakui memang saat ini masih ada siswa yang
sering tawuran, lalu ada pula yang membuat video tidak senonoh, dan berbagai
macam kenakalan remaja lainnya. Sejak tahun 2011, sudah dilakukan penanaman
nilai karakter yang harus disisipkan dalam setiap mata pelajaran di sekolah.
Sekjen Komnas Pendidikan, Andreas Tambah mengatakan, pendidikan
memang tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak menguasai bidangnya. Kalau
pendidikan karakter hanya disisipkan dalam mata pelajaran saja hasilnya masih
kurang efektif. “Pendidikan karakter itu tidak bisa dilakukan oleh orang yang
kurang pas. Apalagi, tidak semua guru itu baik dan perilakunya bisa dicontoh,” kata
Andreas.
Kalau memang pendidikan karakter dibuat mata pelajaran sendiri, terang
Andreas, harus diajarkan oleh guru yang memiliki latar belakang pendidikan
psikologi yang bagus. Dan, perilakunya juga baik serta pantas dicontoh. “Sebab,
kalau diajarkan oleh guru asal-asalan hasilnya tidak akan efektif,” terangnya.
Sebenarnya, ujar Andreas, pendidikan karakter itu bukan hanya tanggung
jawab para pendidik, tetapi juga pejabat, tokoh masyarakat, dan media. Selama ini
banyak koruptor yang ditangkap tetapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah
meski disiarkan di TV berulang-ulang.

156
BAB XIV
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
(Pertemuan XIV)

A. Korupsi
1. Pengertian
Mungkin dapat dikatakan, bahwa sesungguhnya korupsi merupakan penyebab
utama suatu bangsa, mengalami kemunduran, baik secara moralitas, secara maupun
ekonomi. Mengenai permasalahan korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang realitasnya sudah merajalela, menjadikan pekerjaan rumah tersendiri, bagaimana
bangsa Indonesia memulai untuk mencari jalan pemecahannya. Tindakan Korupsi
telah jadi membudaya, sehingga seakan-akan, semakin sulit dan tidak ada lagi celah-
celah, untuk menghindarinya.
a. Kata korupsi, berasal dari Bahasa Latin “corruption”, atau “corruptus”, yang pada
dasarnya berarti merusak, tidak jujur (bohong), dapat disuap, atau sesuatu yang
rusak atau hancur. Kata korupsi juga berasal dari bahasa Latin “corrumpere,” yang
berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik dan menyogok yang
mengandung unsur-unsur melanggar hukum, suap, yakni menyangkut makna
“menggunakan keuntungan atau manfaat individu, mengambil bagian yang bukan
menjadi haknya.” Secara etimologis, korupsi (dalam Bahasa Belandanya
“korruptie”) mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
penyuapan (dan dikenal dalam bahasa Arab “risywah”), penggelapan, kerakusan,
amoralitas, dan segala penyimpangan dari suatu kebenaran.
Kamus Oxford mendefinisikan korupsi sebagai “penyimpangan atau merusak
integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa.”
Sedangkan Kamus Webster mengartikan sebagai “bujukan untuk berbuat salah
dengan cara-cara yang tidak pantas secara moral atau melawan hukum (seperti
penyuapan).” Di dalam perbendaharaan Bahasa Inggris menyebutkan, “a corrupt
manuscript,” yang dapat diartikan sebagai, naskah yang rusak, dan juga dapat
digunakan untuk merujuk pada kerusakan tingkah laku “immoral” atau tidak jujur
(dishonest), juga tidak bersih (impure). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), korupsi, “merupakan penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau
perusahaan dsb.) untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya.”
Berapakah usia Korupsi?. Bulan Desember, dilaporkan, bahwa sebuah tim
arkeologi Belanda menemukan di Rakka, Syria, sekitar 150 prasasti cuneiform yang
menunjukkan bahwa situs itu adalah pusat administrasi perdaban Assyria pada abad
ke – 13 SM. Ditemukan sebuah arsip, barangkali milik lembaga yang setara dengan
lembaga modern “Kementerian Dalam Negeri”, yang berisi nama-nama pegawai
yang menerima suap, termasuk nama-nama pejabat-pejabat tinggi dan nama
seorang putri Assyria (Dikutip dari: Kertas Kerja Parlemen Eropa, “Measures to
Prevent in EU Member State,” Maret 1998, Pope, 2007: 8).
b. Selanjutnya, korupsi merupakan sebuah kata dengan multi arti. Kata korupsi dapat
juga berarti: keburukan, kebejatan, penyuap dan tersuap, immoral, penyimpangan,
kebusukan, penghinaan, dan penfitnahan. Kata korupsi yang dimaknakan di dalam

157
Undang-Undang RI Nomor: 31 Tahun 1999, kemudian diubah dan disempurnakan
dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, menyebutkan: bahwa yang dimaksud dengan korupsi, adalah
“tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain,
atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.”
Di dalam Undang-Undang tersebut dicantumkan, bahwa terdapat 9
(sembilan) tindakan yang dikategorikan sebagai korupsi, antara lain: suap, illegal
profit, secret transaction, hibah (pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme dan
penyalahgunaan jabatan dan wewenang serta fasilitas negara.” Kolusi diartikan
sebagai “permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara
negara atau antara penyelenggara negara dengan pihak lain, masyarakat dan atau
negara.” Adapun nepotisme, disebutkan pada Pasal 1, butir 5 sebagai “setiap
tindakan penyelenggaraan negara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarga dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa,
dan negara.” Secara lebih luas, pengertian Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN),
adalah “praktek kolusi dan nepotisme antara pejabat dengan swasta yang
mengandung unsur korupsi atau perlakuan istimewa.
Praktek fasilitas istimewa yang dimaksud antara lain:
1) Pelaksanaan pelelangan yang tidak wajar, dan tidak taat asas dalam pengadaan
barang dan jasa pemerintah atau dalam rangka kerjasama pemerintah/Badan
Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan
swasta;
2) Fasilitas kredit, pajak, dan cukai yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku
atau membuat aturan/keputusan untuk itu, secara eksklusif;
3) Penetapan harga penjualan dan ruislag.
b. Dalam bukunya Negara dan Korupsi, Semma, menyatakan: “korupsi sama buruk
dan jahatnya dengan terorisme. Yang aneh, banyak kalangan tidak menyadarinya
seolah-olah korupsi itu dianggap perbuatan kriminal biasa, sering dianggap
perbuatan yang wajar (2008: 33).
c. Di dalam buku terjemahan Al-Quran edisi Inggris, Marmaduke Pickthall
menerjemahkan, kata al-fasad dalam surah ar-Rum ayat 41, “Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia;
Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar),” sebagai korupsi.
Mengenai pengertian al-fasad dalam bahasa Arab sendiri, mempunyai makna
yang sangat luas, seperti antara lain: kejahatan moral individual, sampai dengan
ke kejahatan publik. Jadi, seseorang yang mabuk, Lalai mendirikan shalat, juga
termasuk ke dalam fasad. Segala hal yang membuat kerusakan, baik secara
individual maupun sosial bisa disebut fasad. (Hikmah, Pandangan Al-Qur’an
tentang Korupsi, Juni 20, 2014). Di dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik, derivasi atau
turunan dari KKN ini, akan menyebabkan kerusakan akhlak, moral, kehancuran
ekonomi, pendidikan, budaya dan tatanan kehidupan lainnya. Dalam perspektif
ajaran Islam, “korupsi termasuk kategori perbuatan fasad dan khiyanat, yakni

158
perbuatan yang merusak (fasad) tatanan kehidupan, dan pelakunya boleh
dikategorikan melakukan jinayah kubr 𝑎̂ (dosa besar) (Al-Qur’an dan
Ketatanegaraan, 2011: 395).
d. Selain itu dalam istilah bahasa Arab, korupsi juga berasal dari kata al-ghulul.
Menurut Ibnu Katsir kata al-ghulul pada asalnya, bermakna khianat (khiyanat)
dalam urusan rampasan perang, mencuri dan lain sebagainya. Kemudian digunakan
untuk setiap perbuatan khianat dalam urusan secara sembunyi-sembunyi. Jadi kata
ghulul digunakan untuk setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat
atau tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya (tanpa seizin
pemimpinnya atau orang yang menugaskannya (Hikmah, Pandangan Al-Qur’an
tentang Korupsi, Juni 20, 2014)
Baik di pemerintahan, dunia perpolitikan, dan olah raga, tindakan korupsi
merupakan setiap tindakan, di mana yang melakukannya menyelewengkan, dan
menyalahgunakan hak dan kewenangan, serta tanggungjawab yang diberikan
kepadanya. Misalnya: terjadi pembicaraan awal sebelum berlangsungnya suatu
kegiatan, yang dapat mengakibat seseorang dapat diuntungkan. kegiatan tersebut
umumnya yang berkaitan dengan proyek, gelar kegiatan, atau gelar perkara. Di dalam
pembicaraan tersebut akhirnya disepakati untuk membayar semacam tarif atau fee,
sehingga proyek, gelar perkara, atau gelar kegiatan memprioritas kan yang membayar.
Pembangunan proyek, akan menjadi berkualitas di bawah kwalitas, karena akan terjadi
mark-up, untuk menutup pemberian fee. Gelar kegiatan yang beraroma pemberian fee,
dapat mengurangi mutu dan kualitas produk. Sedangkan gelar perkara yang beraroma
korupsi, akan mengakibatkan keputusan yang tidak sesuai dengan kenyataan yang
terjadi, dan menguntungkan pemberi fee.
2. Ayat Al-Qur’an yang memuat tentang Perbuatan yang dinggap Korupsi dan
perbuatan Aniaya yang lain.
a. “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil,
dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan
maksud agar dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa,
padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah, 2: 188).”
b. “Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (ghulul) (dalam urusan harta
rampasan perang). Barang siapa yang berkhianat, niscaya pada hari Kiamat
dia akan datang membawa apa yang dikhianatkan itu. Kemudian setiap orang
akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya,
dan mereka tidak dizalimi (QS. Al-‘Imran, 3: 161).”
c. “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan
yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu (QS. An-
Nisa’, 4: 29).”
d. “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah atau merampok
(hirabah) dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau
diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi

159
mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar (QS. Al-
Maidah, 5: 33).” “Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka
lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa dan
Mahabijaksana (QS. Al-Maidah, 5: 38).”
e. “Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku
bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
akan merampas (ghasab) setiap perahu (QS. Al-Kahfi, 18: 79).”
Perkataan korupsi, yang mengandung banyak arti, jika ditelaah lebih lanjut
dapat mempunyai berbagai makna yang ada perbedaannya, satu dengan yang lain.
Pengertian yang dapat disimpulkan dalam makna korupsi dalam Fiqih Islam, dapat
disebutkan ssebagai berikut: perampasan (ghasab), pencurian, menggunakan/mengaku
hak orang lain, pencurian (sariqah), penyuapan (risywah), penyelundupan/
penyelewengan harta negara (ghanimah), kerusakan (fasad) dan pengingkaran/
pengkhiatan (khiyanat) terhadap komitmen. Perbuatan penyelewengan terhadap Fiqih
Islam termasuk di dalamnya pengambilan/pencarian harta yang haram: bunga/riba,
menjual minuman keras (miras/khamer), dan babi. Apabila hal-hal tersebut di atas
terjadi di Indonesia, maka hal-hal tersebut menjadi sangat ironis, oleh karena Negara
Kesatuan Republik Indonesia, merupakan negara berpenduduk mayoritas beragama
Islam, berfalsafah Pancasila, dan selalu diharapkan mendahulukan nilai-nilai spiritual,
saat ini mengalami penurunan nilai-nnilai moralnya, karena berbagai kasus korupsi
yang dilakukan para pejabatnya
Menjadi sangat kontroversual, jika di Indonesia, justru banyak para pejabatnya
yang terjebak, untuk segera menikmati hidup bergelimang harta, dengan cara
melakukan perbuatan korupsi. Apabila ditinjau dari pemikiran perspektif Islam,
perbuatan tercela tersebut akan mempunyai dampak yang signifikan, terhadap
kehancuran moral dan ekonomi bangsa, termasuk di dalamnya merampas banyak
masyarakat yang lainnya. Jika sudah sedemikian kejadiannya, maka tentu saja
memerlukan solusi, bagaimana korupsi semakin dapat ditekan, dan secara preventif
selalu diusahakan pemusnahannya (www.korupsi.com. 6 Mei 2013).
3. Undang-Undang Pidana yang Mengatur Korupsi
a. Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, tentang Tindak Pidana Koupsi;
b. Undang-Undang No. 24/Prp/1967, dan Kepres No. 228/1967, Tahun 1967, tentang
Pemberantasan Korupsi;
c. TAP MPR No. XI/MPR1998, Tahun 1998, tentang Pemerintahan Yang Bersih dan
Bebas KKN;
d. Undang-Undang No. 28/1999, Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara Yang
Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi Nepotisme;
e. Undang-Undang No. 31/1999, Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
f. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
g. Undang-Undang No. 30/2002, Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK);

160
h. Keppres No. 59/2004, Tahun 2004, , tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor);
i. Keppres No. 11/2005, Tahun 2005, tentang Tim Koordinasi Pemberantasan
Tipikor;
Dalam perspektif hukum positif di Indonesia, definisi korupsi dijelaskan dalam
13 buah pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001, dan dalam
UU tersebut juga disebutkan sanksi bagi yang melanggar. http://www.academia.edu
(Hikmah, Pandangan AlQur’an tentang Korupsi, Juni 20, 2014)
4. Tidak ada yang dapat menjamin, seseorang terbebas dari keinginan untuk
melakukan perbuatan yang tercela, yang disebut korupsi. Lingkungan
perkantoran, baik negeri ataupun swasta, dan bahkan lembaga nir-laba, yang tidak
didukung Standard Operating Prosedures (SOP) akan memungkinkan munculnya
fenomena korupsi. Mereka pada umumnya ingin menunjukkan penampilan yang
mewah, padahal gaji dan penghasilan lainnya tidak mendukngnya. Mereka seseorang
yang, dengan segala keterbatasannya, mengalami proses kehidupan yang berat. Di
samping itu pada umumnya landasan keimanannya juga relatif lemah, sehingga
bisikan bahkan ajakan untuk melakukan korupsi terus menggerogoti hati nuraninya.
Tulisan Hikmah, yang mengutip dari Lajnah Ilmiah Hasmi, mengidentifikasikan
beberapa penyebab, seseorang melakukan korupsi, yang pada akhirnya dapat
menyeretnya ke lembah kehinaan diri dan keluarganya, pada tahap yang paling
rendah. Beberapa penyebab tersebut, antara lain:
a. Lemahnya semangat keagamaan, dan menurunnya kadar keimanan seseorang
b. Mengikuti keinginan hawa nafsu, dan hanyut dalam kelezatan dunia yang seolah-
olah begitu indah lagi memperdayakan
c. Pembelaan dan nepotisme, terhadap keluarga secara berlebihan, sehingga
mematikan sikap jujur, rasa keadilan, perilaku amanah, dan profesionalisme dalam
dunia pekerjaan
d. Menempatkan para pejabat yang kurang ikhlas, dalam pengabdian dan kurang
bertanggung jawab, dalam mengemban tugas, sehingga mereka banyak melakukan
tindakan curang
e. Terpengaruh, dengan gaya hidup yang glamor, dan serba hedonis.
f. Terpengaruh, dengan pemikiran dan prinsip-prinsip hidup yang menyimpang, dan
materialistis.
g. Terpedaya, dengan kehebatan materi dan kenikmatan harta sesaat. Bahkan muncul
anggapan bahwa harta adalah segala-galanya (Lajnah Ilmiah HASMI “ Haramnya
Korupsi” Lembaga Buku Kecil Islami, Bogor : 2011-9).
5. Tindakan-tindakan yang Dikategorikan Perbuatan Korupsi
Adapun yang termaktub di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, juncto
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, dapat diketahui berbagai bentuk tindakan-
tindakan yang termasuk di dalamnya, sebagai perbuatan korupsi, antara lain:
a. Korupsi yang berkaitan dengan kerugian negara, yakni tertera pada:
b. Pasal 2, tentang melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan
keuangan negara; juga pada

161
c. Pasal 3, tentang menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri dan
dapat merugikan keuangan negara;
d. Korupsi terkait dengan suap-menyuap, di antaranya pada:
1) Pasal 5 ayat (1), tentang menyuap pegawai negeri;
2) Pasal 13 tentang memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya;
3) Pasal 5 ayat (2), tentang pegawai negeri menerima suap;
4) Pasal 6 ayat (1), huruf (a), tentang menyuap hakim; dan
5) Pasal 6 ayat (1) huruf (b), tentang menyuap advokat.
e. Korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan, diantaranya pada:
1) Pasal 8 tentang pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan
penggelapan;
2) Pasal 9 tentang pegawai negeri yang memalsukan buku untuk pemeriksaan
administrasi;
f. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan pemerasan, diantaranya pada: Pasal 12
tentang pegawai negeri memeras;
g. Korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang, diantaranya pada: Pasal 7 ayat
(1), tentang pemborong berbuat curang;
h. Korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan,
diantaranya pada: Pasal 12 huruf (i), tentang pegawai negeri turut serta dalam
pengadaan yang diurusnya. Korupsi yang berkaitan dengan gratifikasi, di antaranya
pada: Pasal 12 B tentang pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK.
http://repository.usu.ac.id.
6. Bidang-bidang kegiatan pemerintahan yang paling mudah dijangkiti Korupsi
Bidang-bidang kegiatan pemerintah, yang umumnya rawan untuk tindakan-
tindakan Korupsi, antara lain, sebagai berikut:
a. Pengadaan barang dan jasa;
b. Penetapan batas-batas tanah;
c. Pengumpulan pemasukan;
d. Pengangkatan pegawai pemerintah; dan
e. Tata pemerintahan setempat (Pope, 2007: 32).
7. Kegiatan-kegiatan yang mengarah ke Tindakan Korupsi
Beberapa kegiatan yang dapat saja, jika tidak hati-hati akan mengarah ke
tindakan Korupsi, antara lain, sebagai berikut:
a. Menteri “menjual” wewenangnya untuk mengambil keputusan. Misalnya, di New
South Wales, Australia, Menteri Urusan Kepenjaraan terbukti bersalah dan
dimasukkan ke dalam penjara karena menjual izin keluar penjara sebelum hukuman
dijalankan pada para pengedar madat;
b. Pejabat mendapat presentase tertentu dari kontrak pemerintah, dan uang komisi ini
kemudian disimpan di bank asing;
c. Pejabat mendapat “pelayanan” yang sangat berlebihan dari kontraktor pemerintah
dan keuntungan lain dalam berbagai bentuk, misalnya, bea siswa untuk pendidikan
anak-anaknya di universitas di luar negeri;

162
d. Pejabat mengantongi sendiri kontrak pemerintah, melalui perusahaan bayangan dan
“mitra”-nya atau bahkan secara terang-terangan kepada dirinya sendiri sebagai
“konsultan”;
e. Pejabat sengaja melakukan perjalanan ke luar negeri agar dapat mengantongi
tunjangan per diem yang besarnya ditentukannya sendiri – biasanya sangat besar;
f. Partai politik menggunakan kemungkinan mendapat kekuasaan, atau melanjutkan
kekuasaan yang ada, untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya dari perusahaan-
perusahaan internasional terutama, dengan imbalan perusahaan-perusahaan itu
mendapat kontrak-kontrak pemerintah (yang diselubungi dengan istilah
“sumbangan” untuk badan “amal” atau “rumah sakit”). Misalnya di Kenya pada
waktu pemerintahan Kenyatta, lembaga yang digunakan adalah Rumah Sakit
Angkatan Perang Gatundu, yang diterapkan sebagai “penerima” “sumbangan untuk
amal” oleh pihak yang ingin melakukan transaksi dengan pemerintah. Seandainya
benar-benar menjadi tujuan akhir dari semua dana ini, rumah sakit itu sebenarnya
dapat menjadi rumah sakit praktik yang, dan bukannya rumah sakit sederhana yang
terletak di wilayah suku bekas presiden itu;
g. Pejabat bea cukai melakukan pemerasan dengan mengancam akan mengenakan
pada pembayar pajak atau importir pungutan tambahan, kecuali kalau dia diberi
suap – jika diberi suap, pajak yang harus dibayar akan berkurang banyak, atau
impor dibebaskan dari bea masuk. Misalnya, pemasukan Tanzania pada tahun 1994
– 1995 turun banyak sekali. Di Italia, yang kabarnya juga dijangkiti praktik
pemerasan, pembayar pajak, terutama perusahaan-perusahaan besar, menuduh
“polisi keuangan” memeras mereka, meski sampai seberapa jauh mereka tidak
bersedia membayar suap untuk mendapat potongan pajak ilegal, harus diuji di
depan pengadilan;
h. Penegak hukum mengutip uang untuk kepentingan sendiri dengan cara mengancam
akan menjatuhkan sanksi pelanggaran peraturan lalu lintas kecuali jika ia diberi
uang (jumlahnya biasanya lebih rendah dari sanksi denda yang dijatuhkan
pengadilan, jka perkara pelanggaran bersangkutan dibawa ke pengadilan);
i. Petugas pelayanan publik (misal, surat izin mengemudi, surat izin berdagang,
paspor) meminta uang imbalan mempercepat penerbitan surat izin bersangkutan
atau untuk mencegah kelambatan. Di Amerika Selatan, praktik ini sudah
melembaga sehingga muncul sekarang kelompok orang yang pekerjaannya
“membantu” orang yang ingin berhubungan dengan departemen pemerintah;
j. Kepala unit pelayanan publik meminta “bagian” dari bawahannya mengharuskan
bawahannya menaikkan setoran setiap minggu atau setiap bulan dan meneruskan
uang yang masuk ke atasan. Di kota Mexico, ada parktik, polisi lalu lintas yang
bertugas di jalan raya dikenakan uang sewa bagi mobil patroli yang digunakannya,
senjatanya dan tugasnya, di samping harus pula membayar uang sewa perwira-
perwira polisi yang mengepalai bagian angkutan, bagian senjata dan pengawasan;
dan
k. “Unit Fiktif” diciptakan untuk memperpanjang daftar gaji dan daftar pensiunan,
atau untuk menciptakan lembaga-lembaga fiktif yang, jika benar-benar ada, berhak
mendapat dana negara. Di Uganda ditemukan “sekolah-sekolah fiktif” dalam

163
sebuah audit mendadak pada sebuah proyek pembangunan. Komisi Warioba
menemukan banyak sekali “sekolah fiktif” di Tanzania. Bahkan Perancis tidak
luput dari praktik semacam ini. Seorang Perwira yang bertugas membayar gaji
prajurit menciptakan unit-unit fiktif di dalam angkatan darat Perancis untuk
memperkaya diri (Pope, 2007: 34).
8. Bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal
Ada berbagai bentuk yang umum dikenal sebagai bentuk korupsi’ antara lain
sebagai berikut:
a. Berkhianat, subversi, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan;
b. Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu
dan mencuri;
c. Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsu dokumen, dan menggelapkan uang,
mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak,
menyalahgunakan dana;
d. Menyalahgunakan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi
ampun dan grasi yang tidak pada tempatnya;
e. Menipu dan mengecoh, memberi kesan salah, mencurangi dan memperdaya,
memeras;
f. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan
secara tidak sah, menjebak;
g. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu;
h. Penyupan, dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi;
i. Menjegal pemilihan umum, memalsu kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan
umum agar bisa unggul;
j. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi,
membuat laporan palsu;
k. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin
pemerintah;
l. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan dan pinjaman
uang;
m. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan;
n. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan;
o. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada
tempatnya;
p. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap;
q. Perkoncoan, menutupi kejahatan;
r. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos;
s. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak
istimewa jabatan.
Dikutip dari: Gerald E. Caiden. Toward a General Theory of Official Corruption,
Asian Jurnal of Public Administration, Vol. 10, No. 1. 1998.
9. Ancaman Hukuman Koruptor
Tidak ada petunjuk nash, dalam Fiqh Jinayah, yang secara khusus, mencatat
dengan secara jelas, sanksi seseorang yang melakukan perbuatan pidana korupsi. Apa

164
yang diperoleh dari dalam pandamgan Islam. Pidana korupsi digolongkan dalam
berbagai ragam persamaannya seperti kata: kerusakan (fasad), penggelapan
(ghulul), suap/rasuah (risywah), mengambil hak secara paksa (ghasab),
pengkhianatan (khiyanat), dan sariqah pencurian (sariqah). Persamaan perkataan
sariqah tidak dapat disejajarkan secara persis, dengan tindakan pidana korupsi.
Perkataan sariqah tidak serta merta dapat disejajarkan dengan korupsi, karena unsur-
unsur korupsi tidaklah terpenuhi dalam sariqah, sehingga dalam hukum Islam,
hukuman yang disandangnya, akan diganti dengan hukuman ta’zir.
Adapun jenis-jenis hukuman ta`zir yang dapat diberlakukan, bagi pidana
pelaku korupsi adalah:
a. Penjara;
b. Pukulan yang tidak menyebabkan luka;
c. Menampar;
d. Dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya);
e. Diasingkan; dan
f. Hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara,
Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku
maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati
(seumur hidup).
Mengenai sanksi yang diberlakukan, terhadap perbuatan ghulul pada zaman
Rasulullah SAW, pada prinsipnya lebih dikategorikan sanksi moral. Pelaku ghulul
akan dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa
perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral dengan
ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu, kasus-kasus ghulul
hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil, kurang dari tiga dirham.
Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul memakan kerugian jutaan hingga
miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik yang lebih tegas untuk mengatasinya.
Bagi para pelaku KKN di Indonesia bila memang terbukti bersalah dan dapat
merugikan negara maka hukumannya haruslah setimpal dengan besarnya korupsi yang
dilakukannya, sesuai amanah jabatan yang diembannya dan kadar kemudharatan yang
ditimbulkannya serta kesalahan lain yang didukungnya. Tentunya, ia dapat dihukum
berat bahkan sampai tingkat hukuman mati bila perlu dan bukan hanya sebatas
hukuman potong tangan untuk menjerakan masyarakat dari praktik korupsi dan
menyehatkan perekonomian sebagaimana telah dilaksanakan di negara-negara lain
seperti Cina, Jepang, dan Korea Utara.
Melihat pengentasan tindakan korupsi di Indonesia yang kian tak kunjung
padam, kiranya tidaklah bentuk hukumnya yang tidak tegas, namun pelaksanaan
hukumnya yang tidak tegas direalisasikan. Pemerintah yang memiliki wewenang
sebagai penegak hukum, tentunya ia harus mampu berlaku adil dan bijak dalam
memutuskan perkara hukum sebagaimana yang telah tertera dalam undang-undang.
Karena itu, yang menjadi titik tekan dalam hal ini adalah para penegak dan aparat
hukum serta petinggi negara yang harus memberi contoh sebagai clean govenrment
yang bebas dari KKN sehingga mampu memberantas koruptor dan menghukum berat
para koruptor tanpa pandang bulu. Faktanya, pemerintah seakan-akan saling

165
melindungi apabila ada oknum yang tertangkap korupsi, sehingga masalah ini tidak
pernah akan ada habisnya (Hikmah, 2014).
10. Modus-modus Korupsi
Sudah diungkap oleh banyak pakar, bahwa korupsi mempunyai berbagai modus.
Amien Rais, mantan Ketua MPR, dan mantan Ketua PP Muhammadiyah
menyebutkan, ada empat modus korupsi yitu:
a. Korupsi Ekstortif, adalah korupsi dengan modus sogokan atau suap yang dilakukan
dilakukan oleh pengusaha kepada pengusaha, untuk mendapatkan fasilitas tertentu.
b. korupsi manipulative, mengandung arti permitaan seseorang kepada pejabat
legislative atau pejabat eksekutif untuk membuat regulasi atau peraturan tertentu
yang dapat menguntungkan orag tersebut meskipun itu berdampak negative bagi
masyarakat luas.
c. Korupsi Nepotistic, yaitu korupsi dikernakan adnya ikatan keluarga, seperti dia
memiliki keluarga yang ia berikan fasilitas yang berlebihan atau di terima menjadi
pegawai tanpa ada pertimbangan atau hal-hal yang patut untuk dia menyandang
predikat tersebut.
d. Korupsi Subversive, yaitu perampokan kekayaan Negara secara sewenang-wenang
untuk dialihkan kepada pihak asing untuk kepentingan pribadi (Hikmah, 2014).
11. Usaha preventif pencegahan KKN
Ajaran Islam, telah memiliki sejumlah cara yang secara gamblang dimungkinkan
untuk menanggulangi KKN, seperti diuraikan dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik, antara
lain sebagai berikut:
a. Sistem penggajian yang layak. Sebagai manusia biasa, para pejabat/birokrat tentu
memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu agar
bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, mereka harus
diberi gaji dan fasilitas yang layak. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: Siapa yang bekerja untukku dalam keadaan tidak beristri,
hendaklah menikah; atau tidakmemiliki pelayan, hendaklah mengambil
pelayan; atau tidak mempunyai rumah hendaklah mengambil rumah; atau
tidak mempunyai tunggangan (kendaraan), hendaklah mengambil
kendaraan. Siapa saja yang mengambil selain itu, dia curang atau pencuri!
(Riwayat Ahmad dari al-Mustaurid).
b. Larangan suap dan menerima hadiah. Tentang suap, Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap
(Riwayat Ibnu Hibb𝑎̅n dari Ab𝑢̅ Hurairah. Tentang larangan menerima hadiah,
Rasullullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak pantas seorang petugas
yang kami utus datang dan berkata, “Ini untuk Anda, sementara ini adalah
hadiah yang diberikan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di
rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia akan mendapatkan
hadiah atau tidak?. (Riwayat al-Bukh𝑎̅r𝑖̅ dari Ab𝑢̅ Humaid as-Sa’idi).
c. Penghitungan kekayaan pejabat. Agar tidak berbuat curang, Khalifah ‘Umar
selalu menghitung kekayaan para pejabatnya di awal dan di akhir jabatannya. Jika
terdapat kenaikan tidak wajar, Khalifah ‘Umar akan memaksa mereka untuk
menyerahkan kelebihan itu kepada negara.

166
d. Teladan dari pemimpin. Dengan keteladanan pemimpin, tindakan atas
penuimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak
sulit dilakukan. Khalifah ;Umar misalnya pernah menyita sendiri seekor unta
gemuk milik putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar. Pasalnya, unta gemuk tersebut
kedapatan ada bersama beberapa unta lain yang digembalakan di padang rumput
milik negara. Khalifah ‘Umar menilai hal tersebut sebagai penyalahgunaan fasilitas
negara. Allah berfirman: Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkanhukum di
antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh,
Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat (QS an-Nis𝑎̅’, 4: 58).ukuman setimpal.
e. Hukuman setimpal. Pada umumnya orang takut menerima resiko yang akan
mencelakakan dirinya. Hukuman dalam Islam memeang berfungsi sebagai upaya
pencegahan. Dengan hukuman setimpal atas koruptor, misalnya, pejabat akan
berpikir seribu kali melakukan korupsi. Hukum Islammenyebutkan, koruptor wajib
dikenai hukum ta’zir. Bentuknya dapat berupa tasyir (dipermalukan di depan
umum), hukuman kurungan, dan lain-lain.
f. Pengawasan masyarakat. Masyarakat jelas turut berperan dalam menyuburkan
atau menghilangkan korupsi. Jika di dalam masyarakat tumbuh budaya anti
korupsi, insya Allah masyarakat akan berperan efektif dalam mengawasi setiap
tindakan birokrat sehingga korupsi bisa dicegah. Allah berfiman: Wahai manusia!
Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya;
dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasimu (QS an-Nis𝑎̅′, 4:1).
g. Pengendalian diri dengan iman yang teguh. Korupsi atu tidak, pada akhirnya
memang berpulang pada kekuatan iman dan kontrol diri para birokrat/individu
sendiri. Dengan iman yang teguh, ia merasa selalu diawasi Allah subb𝑎̅nah𝑢̅ wa
ta’𝑎̅l𝑎̅ dan selalu takut untuk melakukan penyelewengan yang akan membawanya
pada azab neraka (2011: 400-403).
12. Money Laundering dan Money Politic
13.Money Laundering
Money Laundering, atau istilah yang terkenal, dengan istilah pencucian uang,
lazim disebut sebagai bagian dari kejahatan keuangan di jaman modern ini.
Pencucian uang, ini dilakukan dengan jalan mengupayakan uang yang umumnya
diperoleh secara tidak sah, agar menjadi uang yang kepemilikannya diakui secara
sah, walau dengan jalan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Pencucian
uang, akhir-akhir ini secara mudah dapat dilakukan, karena pengaruh teknologi
informasi, sehingga orang dengan sangat mudahnya bertransaksi dalam
kepemilikan uangnya di bank, termasuk di dalamnya, uang yang diperolehnya
secara ilegal tersebut. Dengan cara menyamarkan kepemilikan uang ilegalnya,

167
seseorang berusaha menjadikan uang tersebut menjadi uang sah, sehingga pihak
lain tidak akan mencurigainya lagi sebagai uang ilegal.
Di dalam Tafsir Tematik Al-Qur’an money laundering, diartikan sebagai
“proses untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh
dari hasil kejahatan (2011, 405).” Maksud penyamaran sudah pasti untuk
menghindari penuntutan dan penyitaan. Money laundering merupakan rangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang, atau organisasi, terhadap uang haram yang
berasal dari kejahatan, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-
usul uang tersebut dari pemerintah, atau otoritas yang berwenang melakukan
penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara memasukkan uang ke dalam
sistem keuangan (financial system), sehingga uang tersebut dapat dikeluarkan dari
sistem keuangan sebagai uang uang halal.
Money laundering, dimulai dari adanya uang kotor (dirty money), yang
diperoleh melalui dua cara:
1) Melalui pengelakan pajak. Adalah memperoleh uang secara legal atau halal,
tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan
pajak lebih sedikit daripada yang diperoleh sebenarnya.
2) Memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum: seperti korupsi,
perdagangan narkoba (drug sales or drug traffiking), perjudian gelap (ilegal
gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terorism), pelacuran (prostitution),
perdagangan senjata (arms traffiking), penyelundupan minuman keras, ganja,
pornografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco, pornography), dan
kejahatan kerah putih (white collar crime) (2011: 407-408).
h. Money Politics
Money politics, atau lebih populer dengan istilah politik uang, telah menjadi
suatu hal yang lumrah di Indonesia, apalagi ketika terjadi peristiwa Pemilu atau
Pemilukada, baik pemilihan legislatif, maupun pemilihan ekskutif (Anggota DPR,
DPD, DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Lurah). Bahkan, ada rumor,
“Terima uangnya, coblos sesuai hati nuraninya.” Rumor tersebut telah memberi
isyarat kepada kita, bahwa menerima uang (saat Pemilu/Pemilukada) adalah hal
yang biasa, walaupun pilihan hati kita, saat pencobloson tidak memilih/mencoblos
mereka yang memberi uang. Beberapa kasus, dari calon yang kalah, akhirnya
meminta pengembalian dana yang telah dia berikan saat berkampanye, karena ia
tidak terpilih, beberapa terungkap di media setelah Pemilu/Pemilukada usai.
Praktek politik uang, sudah menjadi alat untuk memberikan uang suap kepada para
pemilih secara masal, yang sedikit banyak mempengaruhi perolehan suara, yang
pada gilirannya dapat mengubah peta pemilih secara signifikan.
Tafsir Al-Qur’an tematik memberikan istilah modus operandi suap dalam
peta politik di Indonesia sebagai berikut:
A. “Serangan Fajar”. Istilah ini sudah dikenal sejak era Orde Baru. Dalam operasi
tersebut segenap aparat desa dan kader salah satu partai politik menjelang
subuh pada hari pemungutan suara mendatangi rumah penduduksatu per satu
dengan menawarkan imbalan uang atau ancaman represi dengan jurugertak

168
dari Babinsa, Koramil, dan Kodim agar mencoblos tanda gambar partai
tersebut;
B. “Influence Buying”, praktek beli pengaruh (influence buying), adalah sebah
tindakan yang dilakukan kandidat atau partai politik dengan ‘membeli’ tokoh
masyarakat seperti pemuka agama dan pemuka adat untuk mempengaruhi
pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Dalam kondisi ketika
Pemilu dilakukan secara langsung, sebagimana dalam pemilihan kepala daerah
nanti, praktek pembelian pengaruh akan lebih efektif digunakan daripada
pendekatan beli suara;
C. “Bantuan Relijius”. Di samping operasi ‘serangan fajar’ pada subuh hari H,
partai politik tertentu tak segan-segan menggunakan uang untuk mempengaruhi
para saksi dan segenap aparat penyelenggara pemilihan umum untuk
melakukan segala-galanya demi kemenangan partai pemerintah. Menjelang
pemilihan umum, para petinggi pemerintah, yang juga menjabat sebagai
fungsionaris partai tersebut, rajin berkunjung ke pondok pesantren untuk
membagi-bagikan uang dan bantuan lain dengan harapan agar para kyai dan
segenap santri mereka bersedia mendukung parpol tersebut. Ada yang
memenuhi dengan setengah hati, dan ada yang secara sadar ingkar janji.
D. “Money Politics”. Istilah politik uang baru menjadi populer di Indonesia pada
pertengahan 90-an, yang menandai tubangnya rezim Orde Baru. Ketika itu,
skandal Bank Bali terbongkar dan melibatkan sejumlah fungsionaris partai
penguasa. Money politics kini merupakan istilah yang berarti “penggunaan
uang untuk membeli dukungan politik melalui transaksi jual beli suara. Uang
yang digunakan untuk menjualbelikan dukungan politik biasanya bersumber
pada negara.”
E. Intertaining Penyelenggara Pemilu. Pembelian penyelenggara pemilu adalah
tindakan ilegal oleh kandidat atau partai politik demi mempengaruhi proses
pemilu dan hasilnya dengan menyuap para penyelenggara pemilu, dari tingkat
desa, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya, serta pengawas pemilu untuk
melakukan praktik-praktik curang seperti menggandakan jumlah pemilih,
memasukkan surat suara ilegal, membatalkan suara sah, dan memanipulasi
perhitungan suara. Sesungguhnya praktik ini sangat berbahaya karena dapat
mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu, sekaligus dapat
meneikung aspirasi pemilih yang seharusnya dicerminkan dari pilihan politik
mereka pada sat mencoblos.
F. ‘Mahar’ (beli kursi, seat buying). Menjelang pemilihan kepala daerah, sebuah
istilah religius yang identik dengan pernikahan pun mendadak laris manis.
Sejumlah media mengangkat isu mahar di balik penjaringan nama caon
gubernur dan calon wakil gubernur provinsi tertentu. Misalnya, sejumlah
mantan kandidat calon wakil gubernur menagih janji kembali mahar yang telah
disetor ke sejumlah partai agar lolos pencalonan. Para kandidat yang ingin
menjadi pejabat publik, seperti anggota DPR/DPRD, presiden, ataupun kepala
daerah, dengan kekuatan uang dan koneksinya dapat memesan jatah kursi
nomor wahid. Dalam Islam, kepentingan publik, trutama lapisan bawah

169
merupakan kepentingan Allah. Karena praktik suap secara nyata berlawanan
dengan prinsip pemihakan pada kebenaran dan keadilan sebagai
kepentinganbersama, maka Allah benar-benar menyatakan kutukan atasnya.
Nabi bersabda, “Allah mengutuk pemberi dan penerima suap.”
B. Hal-hal Yang Berkaitan dengan Korupsi.
1. Guru Menulis Pendidikan Antikorupsi, oleh Jamal Arifansyah, S. Pd (Republika, Rabu
18 Desember 2013).
Ada hal menarik ketika beberapa waktu lalu saya memberi tes ujian sejarah
kepada siswa kelas XII. Ketika itu materi yang diujikan adalah tentang Indonesia masa
Reformasi. Ketika pertanyaan tentang, “Apa keberhasilan yang telah ditorehkan
pemerintahan Reformasi sampai saat ini?”. Mayoritas siswa menjawab bahwa
keberhasilan pemerintahan Reformasi adalah mulai dibukanya pintu kebebasan dalam
berpendapat dan keberanian dalam upaya memberantas korupsi. Selanjutnya ketika
saya melanjutkan pertanyaan, “Apa masalah terpenting pemerintahan Reformasi yang
sampai saat ini belum teratasi secara maksimal?”. Secara sepakat seluruh siswa
menjawab korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dari jawaban siswa tersebut, setidaknya ada tiga point penting. Pertama,
kebebasan dalam berpendapat serta memberikan kritik dan saran adalah hal penting
untuk kemajuan. Saat ini, siswa bisa ikut mengkristisi kebijakan pemerintah melalui
media sosial, bahkan atas dasar kemajuan siswa juga bisa mengkritisi gurunya bila
keliru menyampaikan pelajaran. Kedua, informasi yang disampaikan dapat
mengembangkan wawasan dan pengetahuan. Siswa menjadi tahu bahwa masalah
KKN merupakan masalah di tubuh Pemerintah Indonesia yang belum teratasi secara
maksimal disebabkan sampai saat ini pemberitaan masalah tersebut tidak kunjung
habis. Ketiga, pendidikan dapat menjadi wahana menyosialisasikan perilaku
antikorupsi. Melalui pendidikan, seorang guru dapat mnyampaikan dan
mengaktualisasikan nilai-nilai yang terdapat dalam pelajaran, seperti nilai kejujuran
yang merupakan nilai-nila dasar untuk tidak korupsi.
Tiga poin di atas merupakan akumulasi dari jawaban-jawaban siswa yang
mengindikasikan bahwa ada kesadaran dari para generasi muda untuk mengetahui
berbagai permasalahan bangsa Indonesia. Mereka yang merupakan calon pemilih
pemula tidak apatis dengan kondisi bangsa. Mereka menyadari bahwa inti dari
berbagai permasalahan di Indonesia bermuara pada perilaku korup. Dan, yang
diharapkan adalah mereka juga mereka memiliki kesadaran untuk mencegah
berperilaku korup sejak dini.
Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa menghilangkan
masalah korupsi yang ada di Indonesia. Namun, bila tindakan pencegahan sudah
dilakukan secara dini, melalui pendidikan, bukan hal mustahil untuk mengatasi
masalah korupsi. Ketua KPK Abraham Samad pernah menyatakan bahwa harapannya
“suatu saat nanti generasi bangsa Indonesia ketika ditanya apa itu korupsi?. Dia akan
balik bertanya, korupsi itu apa?. Apakah salah satu yang namanya makanan?.
Masyarakat tidak akan lagi mengenal yang namanya korupsi, apalagi melakukannya”.
Harapan ketua KPK itu hanya terwujud apabila generasi muda saat ini dididik untuk

170
memiliki kesadaran akan bahayanya korupsi sehingga pada akhirnya mereka
membenci dan memusuhi perilaku korupsi.
Oleh sebab itu, lembaga pendidikan harus bisa berfungsi efektif untu
menanamkan budi pekerti dan menabarkan nilai-nilai anti korupsi bagi generasi muda.
Melalui lembaga pendidikan, setidaknya ada nilai-nilai dasar antikorupsi yang bisa
ditanamkan pada siswa, antara lain: kejujuran, siswa dididik untuk kata dan berbuat
jujur, stidak mengakui barang yang bukan kepunyaannya, tidak mencontek ketika
ulangan. Tanggungjawab, siswa dibiasakan untuk mengerjakan tugas,, memiliki
keinginan untuk menjadi siswa berprestasi. Adil dan peduli, siswa dibiasakan untuk
tidak membeda-bedakan teman dan mau berbagi dengan temannya. Disiplin dan kerja
keras, siswa harus terbiasa menaati aturan dan tata tertib yang berlaku, harus
dibiasakan selalu berusaha untuk meraih kesuksesan. Sederhana, siswa juga
dibiasakan untuk tidak berpakaian mencolok atau bergaya yang berlebihan.
Telah dijelaskan pada Q.S. al-Maidah (5): 62-63 tentang melakukan tindakan
suap, (termasuk korupsi di dalamnya), agar tidak memakan harta yang haram, karena
menurut ayat ini amat jahat yang mereka kerjakan. Korupsi termasuk tindakan keji
lahir dan batin, kegiatan maksiat yang malampaui batas kewajaran, dan tindakan
aniaya terhadap orang, karena merampas hak banyak orang.
2. Tahun 2002 adalah tahun semakin gencarnya berbagai negara menghadapi ulah para
koruptor. Political and Economic Risk Consultansy (PERC), pada Maret 2002 merilis
daftar negara di Asia yang melakukan korupsi, sebagai berikut:

Tabel 18: Negara Asia yang melakukan Korupsi


Nilai
No. Negara Keterangan
Skala Korupsi (0-10)
1. Indonesia 9,92 Angka Korupsi Tertinggi
2. India 9,17 Angka Korupsi
Kesembilan
3. Vietnam 8,25 Angka Korupsi
Kedelapan
4. Filipina 8,0 Angka Korupsi Ketujuh
5. RRC 7,0 Angka Korupsi Keenam
6. Taiwan 5,83 Angka Korupsi Kelima
7. Korea Selatan 5,75 Angka Korupsi Keempat
8. Malaysia 5,1 Angka Korupsi Ketiga
9. Hongkong 3,33 Angka Korupsi Kedua
10. Jepang 3,25 Angka Korupsi Kesatu
11. Singapura 0,9 Angka Korupsi
Terendah

Keterangan: Skala 0 – 10 adalah skala yang menunjukkan rentang korupsi, semakin tinggi
nilainya negara tersebut paling korup.

171
3. Analisa SWOT Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi
Bagan 4: Analisa SWOT Pendidikan Karakter dan Anti Korupsi
Strenghts Weakness
Faktor Internal Setiap Perguruan Tinggi Seiring pertambahan
Agama Islam telah jumlah mahasiswa di
mempunyai dosen Civic setiap kampus, ditengarai
Education, baik yang masih diperlukan dosen
sudah mengikutii yang mengampu
Workshop atau belum Pendidikan Karakter dan
Dosen dapat lebih Anti Korupsi
berkreatifitas praktek di Selama ini pendidikan anti
acara persidangan- korupsi tidak secara
persidangan di daerah mandiri muncul sebagai
yang sedang mengadili mata kuliah, sehingga
perkara korupsi bahasannya kurang
Faktor Eksternal menggigit

Opportunities Srategi SO Strategi WO


Telah sering terjadi Menginventarisir Memberikan penghar-
kemerosotan moral dan tindakan-tindakan karena gaan kepada dosen dan
karakter bangsa di setiap akibat terjadinya mahasiswa yang benar-
daerah merupakan bahan kemerosotan moral, dan benar menunjukkan
kajian tindakan korupsi di kegigihan menyuarakan
Pendidikan Karakter dan setiap daerah pendidikan karakter dan
Anti Korupsi mempunyai Merancang schedule anti korupsi
peluang sebagai tindakan nasional untuk
preventif terhadap korupsi merancang kurikulum
pelatihan pendidikan
karakter dan anti korupsi
Threats Strategi ST Strategi WT
Jaringan kerjasama yang Memanfaatkan dosen Menginventarisir dosen
perlu di jalin antar instansi di yang mempunyai baru dan mahasiswa yang
daerah dengan Perguruan kompetensi dan motivasi nyata mempunyai
Tinggi terkait pendidikan untuk melakukan motivasi tinggi dan
karakter dan anti korupsi penataran intern tentang kepedulian tentang
Walaupun korupsi pendidikan karakter dan pendidikan karakter dan
merupakan perbuatan haram, anti korupsi anti korupsi diberi
namun dunia pendidikan penataran lebih lanjut
masih belum tergugah secara
nyata dalam kurikulum

Sumber: Analisa Penulis

172
DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Durri Najaf. Jihad Melawan Korupsi. Jakarta: Citra: 2008.


Abdulgani, Ruslan, Pancasila dan Reformasi, Yogyakarta: Kagama, 1998.
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya dengan Cita-
cita Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Admin, Wed., 10/12/2011-08.27. Indikator Pendidikan Karakter Bangsa. 2011.
Alatas, Syed Hussein. Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer.
Diterjemahkan oleh Al Ghozie Usman, Cet.4. Jakarta: LP3ES. 1986
Alamudin, Abdullah, Apakah Demokrasi Itu?, Jakarta: United States Information Agency,
1991.
Amin, M. Maswardi. Pendidikan Karakter Anak Bangsa. Jakarta : Badouse Media. 2011.
Andrews, William G., Constitution and Constitutionalism, New Yersey: Van Nostrand
Company, 1978.
A.R, Tatang Hidayat. Inspiring Word. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar. 2009.
Arfani, Riza Noer (ed)., Demokrasi Indonesia Kontemporer, Jakarta: CV Rajawali, 1997.
Ashary, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya,
Jakarta: UI Press, 1995.
Asshidiqie, Jimmly, Konstitusi dan Konstitusional Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press,
2005.
Badrun, Ahmad. Ki Hajar Dewantara; Pengabdian dan Buah Pemikirannya untuk
Pendidikan Bangsa. http://yayasansoebono.org.
Baut Paul, S., Beny Hartman, Kompilasi Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, Jakarta:
Yayasan LBHI, 1988.
Budihardjo, Miriam, Dasar-dasar ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia, 1981.
Budi Pekerti. http.//jagadkejawen.com.
Darmodiharjo, Darji, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT Gramedia, 1978.
Departemen Pendidikan Nasional, KBBI Pusat Bahasa Edisi Empat, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. 2008.
Depdikbud, Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di IKIP dan FKIP, Jakarta:
Ditjend Dikti dan Ditjend Dikdasmen, 1989.
Elliot, Kimberly Ann. Korupsi Dan Ekonomi Dunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta. 1999.
Gabriel A. Almond dan Sydney Verba. Budaya Politik. Jakarta: Rajawali Press. Tp. Th.
Gallner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan, Bandung:
Mizan, 1995.
Hardjowirogo, Marbangun, Hak-hak Asasi Manusia dalam Mekanisme-mekanisme
Perintis, Nasional, Regional, Bandung: Padma, 1977.
Hasyim, Dardiri, Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Berorientasi
pada Pendidikan Karakter Bangsa. Solo: PKG Guru SD se-Solo Raya, 2012
Hikam, Muhammad A.S., Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1997.
Imani, Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur’an. Jakarta: Al-Huda. 2003.
Ismangun. Pancasila sebagai Kepribadian Bangsa Indonesia, Bandung: Karya Remaja,
1981.

173
Jubaidi. Desain pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Pranada Media. 2012.
Joeniarto. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: PT Bina Aksara, 1982.
Kaelan dan H. achmad Zubaidi. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi,
Yogyakarta: Paradigma, 2007.
Kelompok Kerja Tannas. Ketahanan Nasional Indonesia, Jakarta: Lemhanas, 2000.
Kemendiknas, Ditbin SMP. Pendidikan Karakter di SMP, 2010.
Klitgaard, Robert. Memberantas Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1998,
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Sinar
Baru. 1985.
Lajnah Ilmiah HASMI. Haramnya Korupsi. Bogor: Lembaga Buku Kecil Islami. 2011..
Lucas, David dkk. Pengantar Kependudukan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1984.
Madjid, Nurcholish. Menuju Masyarakat Madani, dalam Jurnal Kebudayaan Peradaban
Ulumul Qur’an No. 2/VII/1996.
Mahfud, Moh. MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Gama Media, 1999.
Muaddab, Hafis. Pendidikan Karakter: Revitalisasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara
(Refleksi Hari Pendidikan Nasional). http.//edukasi.kompasiana.com
http.//hafismuaddab.wordpress.com. / /201105/02.
Muslich, Masnur. Pendidikan Karakter. Jakarta : PT. Bumi Aksara. 2011.
Muzadi, H. Menuju Indonesia Baru, Strategi Pemberantasan Korupsi. Malang: Bayumedia
Publishing. Tn. Th.
Pamuji, S., Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, Jakarta: Bina Aksara, 1981.
Parmono, R., Ketahanan Nasional, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1995.
Pope, Jeremy. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 2007.
Prayitno. Pelayanan Bimbingan Di Sekolah. Jakarta : Ghalia Indonesia. 1975.
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi (Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi secara
Singkat), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
Sabdalangit’s, Web. Kejawen; Ajaran Luhur yang Dicurigai & Dikambinghitamkan,
http.//sabdalangit.wordpress.com.
Sabdalangit’s Web, Kepemimpinan Punakawan; Semar-Gareng-Petruk-Bagong.
http.//sabdalangit.wordpress.com.
Sabdalangit,s Web. Sejatinya Guru Sejati; Guru Sejati, dan Sedulur Papat Lima Pancer.
http.//sabdalangit.wordpress.com.
Saleh, Wantjik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1978.
Semma, Mansyur. Negara dan Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.2008.
Shryock, Henry S., Jacob S. Siegel and Associates, The Methods and Material of
Demography, New York-San Francisco-London: Academic Press, 1976.
Soegito, H.A.T., Rule of Law, Jakarta: Dirjen Dikti, 2006.
Suryo, Joko, Pembentukan Identitas Nasional, Yogyakarta: LP3M UMY, 2002.
Tantowi, Ahmad. Pendidikan Islam di Era Transformasi Global. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra: 2008.
Taopan, M., Demokrasi Pancasila, Jakarta: Sinar Grafika, 1987.
Thaib Dahlan, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: AMP YKPN, tanpa tahun.

174
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta: UIN
Jakarta, 2004.
Tohirin. Bimbingan dan Konseling di Sekolah dan Madrasah (Berbasis Integrasi). Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada. 2007.
Tylor, E.B. Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy.
Tp. Kota Pnb: Tp. Pnb. 1974.
Usman, Wan, dkk., Daya Tahan Bangsa, Jakarta: Pascasarjana, 2003.
Wirosuhardjo, Kartomo, Dasar-dasar Demografi, Jakarta: LDUIFE, 1981.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta: 1982

175

Anda mungkin juga menyukai