BEDAH
Fazl Q Parray, Mohd L Wani 1, Ajaz A Malik, Shadab N Wani 1, Akram H
Bijli2, Ifat Irshad3, Nayeem-Ul-Hassan
Department of General Surgery, Sher-I-Kashmir Institute of Medical Sciences
(SKIMS) Soura, Srinagar, India,1 Department of Cardiac Surgery, Sher-I-Kashmir
Institute of Medical Sciences (SKIMS) Soura, Srinagar, India, 2 Department of
Plastic Surgery, Sher-I-Kashmir Institute of Medical Sciences (SKIMS) Soura,
Srinagar, India,3 Department of Radiology, Sher-I-Kashmir Institute of Medical
Sciences (SKIMS) Soura, Srinagar, India
Correspondence to: Dr. Mohd Lateef Wani, Cardiac Surgery, SKIMS Srinagar,
India. E-mail: latifs_dr@yahoo.co
Date of Submission:Dec 03, 2011
Date of Acceptance:Mar 30, 2012
ABSTRAK
Kolitis ulseratif adalah penyakit kronis yang secara khusus mengenai
mukosa rektum dan usus besar. Meskipun etiologi dari gangguan inflamasi
berulang ini pada dasarnya belum diketahui, telah ada kemajuan signifikan dalam
mengidentifikasi kemungkinan peran genetik dan faktor lingkungan yang
berkontribusi terhadap patogenesisnya. Perjalanan klinis penyakit biasanya
bermanifestasi dalam bentuk remisi dan eksaserbasi yang ditandai dengan
pendarahan anus dan diare. Oleh karena kolitis ulseratif paling sering mengenai
usia muda atau usia pertengahan awal, penyakit ini dapat memiliki konsekuensi
lokal dan sistemik jangka panjang yang serius. Tidak ada terapi medis tertentu
yang bersifat kuratif. Meskipun terapi medis dapat memperbaiki
proses inflamasi dan mengontrol gejala yang timbul, tidak satupun merupakan
pengobatan definitif untuk penyakit ini. Proctocolectomy atau pengangkatan total
usus besar dan rektum merupakan satu-satunya yang menyembuhkan secara
tuntas; Namun, alternatif bedah yang inovatif tidak lagi harus dengan ileostomy
permanen. Tujuan dari review ini adalah untuk memberikan penjelasan rinci
tentang manajemen bedah dari kolitis ulseratif.
Kata Kunci: Proctocolectomy, ileostomy, kolitis ulseratif.
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
PENDAHULUAN
Meskipun Hippocrates telah menjelaskan penyakit diare yang seperti
kolitis sebelum tahun 360 SM, sebelum sampai akhir tahun 1800 kolitis ulseratif
belum dapat dibedakan secara klinis dari enteritis akibat infeksi. Kolitis ulseratif
sekarang telah diakui sebagai entitas penyakit yang berbeda selama hampir 150
tahun. Catatan medis pertama tentang kolitis oleh Sir Samuel Wilks dari London
pada tahun 1859 disebutkan seorang wanita 42 tahun yang meninggal setelah
beberapa bulan diare dan demam. Pemeriksaan postmortem mengungkapkan
peradangan ulseratif transmural dari usus besar dan ileum terminal yang pada
awalnya disebut sebagai "kolitis ulseratif sederhana", mungkin sebenarnya
merupakan penyakit Crohn. Laporan kasus berikutnya pada tahun 1875, sekali
lagi oleh Wilks dan Walter Moxon, yang menjelaskan ulserasi dan radang seluruh
kolon wanita muda yang telah menderita diare berdarah yang parah, mungkin
merupakan catatan rinci pertama kolitis ulseratif.[1] Meskipun telah lama
diketahui adanya penyakit kolitis ulseratif, pemahaman yang jelas tentang faktorfaktor yang mendasari patogenesis masih terus luput dari penelitian.
Dari perspektif bedah, setelah Burrill Crohn mendeskripsikan enteritis
lokalvpada tahun 1930, yang membedakan antara kolitis ulseratif dan penyakit
Crohn pada usus besar tampaknya relatif tidak rumit. Meskipun kedua penyakit
awalnya tampaknya memiliki fitur patologis yang berbeda, terdapat tumpang
tindih tidak hanya pada proses patologis, tetapi juga pada distribusi anatomi.
Fakta bahwa kesalahan diagnosis terjadi pada 10% dari pasien,[2] yang dapat
mempengaruhi implikasi terapi secara signifikan karena pendekatan bedah untuk
kolitis ulseratif dan penyakit Crohn secara inheren agak berbeda. Seperti yang
akan dibahas lebih lanjut, bedah alternatif yang lebih baru untuk kolitis ulseratif
umumnya kontraindikasi pada pasien dengan penyakit Crohn.
EPIDEMIOLOGI
Kolitis ulseratif menimbulkan banyak tantangan bagi ahli epidemiologi
karena kejadian penyakit yang rendah dan jarang berakibat fatal, presentasi klinis
dapat bervariasi dan sering membahayakan, interval antara awal kejadian dan
diagnosis bisa dalam dekade, dan tidak ada kriteria diagnostik yang bersifat
universal. Meskipun keterbatasan ini, studi epidemiologi dapat memberikan
wawasan berharga mengenai berbagai faktor etiologi potensial. Meskipun onset
usia kolitis ulseratif biasanya bimodal dan biasanya terjadi antara usia 15-40 tahun
dan setelah usia 60 tahun, Penyakit dapat terjadi pada semua usia dari bayi ke
lansia. Faktanya sekitar 5% dari kasus baru dilaporkan terjadi setelah usia 60.
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
Sepanjang rentang usia, pria dan wanita jumlahnya hampir sama. Angka kematian
dari kolitis ulseratif menurun di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, tidak
hanya sebagai hasil dari terapi medis yang sudah maju, tetapi juga karena
intervensi bedah yang lebih awal.
PATOFISIOLOGI
Meskipun pemahaman kita tentang peran familial dan faktor genetik
sebagai etiologi kolitis ulseratif telah meningkat pesat, tetapi patogenesis kolitis
ulseratif tetap tidak dipahami secara jelas karena interaksi yang kompleks dari
lingkungan atau faktor ekstrinsik yang dapat mempengaruhi secara signifikan
kerentanan seseorang. Seperti disebutkan, kolitis ulseratif adalah penyakit
peradangan kronis dicirikan oleh episode berulang dari peradangan usus diikuti
oleh penyembuhan parsial. Siklus inflamasi berulang-ulang ini akhirnya
menyebabkan gangguan kronis fungsi usus. manifestasi klinis dari proses
patologis ini dihasilkan dari serangkaian interaksi yang tumpang tindih antara
faktor ekstrinsik lingkungan, faktor intrinsik genetik, dan fungsi penghalang
mukosa.
Meskipun faktor etiologi tunggal belum dapat diidentifikasi, bukti kuat
menunjukkan bahwa penyakit ini dicetuskan oleh respon peradangan mukosa
berkelanjutan dimana mekanisme downregulate dari host tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Kegagalan untuk melemahkan respon ini meningkatkan
rekruitmen dan aktivasi sel-sel kekebalan dan sel-sel inflamasi, dan ditambah
dengan pelepasan mediator proinflamasi, menyebabkan peradangan dan
memfasilitasi kerusakan jaringan usus. Penelitian terbaru telah difokuskan pada
peran sistem kekebalan mukosa dalam patogenesis kolitis ulseratif. Respon imun
inflamasi meliputi disregulasi imunitas humoral dan seluler dan peningkatan
reaktivitas terhadap antigen bakteri usus. Saat ini terpikir bahwa hilangnya
toleransi terhadap flora usus adalah cara mendasar dalam patogenesis kolitis
ulseratif.[4,5] Mukosa usus terus terkena paparan lingkungan ektrim. Toleransi
mukosa optimal terletak pada regulasi yang ketat dan rumit antara imunitas
mukosa dan sel nonimmune, yang diatur oleh jaringan mediator autokrin dan
parakrin. Disregulasi kronis dari kekebalan mukosa dapat memulai respon
inflamasi yang tidak terkontrol dan mungkin menjadi mekanisme yang mendasari
kolitis ulseratif. Immunoregulatory dan sitokin proinflamasi juga memainkan
peran kunci dalam modulasi peradangan usus.
Sitokin dapat memiliki efek parakrin dan autokrin serta endokrin yang
memediasi baik respon lokal dan sistemik dari peradangan usus. Sitokin
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
proinflamasi seperti interleukin 1 (IL-1), IL-6, IL-8, dan tumor necrosis factoralpha, dan prostaglandin seperti prostaglandin E2 dan leukotrien B4 juga terlibat
memperburuk peradangan mukosa, sementara IL-4 dan IL-10 memainkan peran
penting dalam menekan peradangan usus serta memulai mekanisme perbaikan dan
penyembuhan. Sementara peran sitokin proinflamasi ini belum benar-benar
diketahui, tampak bahwa kolitis ulseratif dimediasi oleh Th2-like cytokin.
PATOLOGI
Pada pemeriksaan makroskopik, mukosa kolon tampak bengkak dan
mengalami kongesti bahkan dalam kasus-kasus ringan. Selama penyakit
berlangsung, mukosa mulai terkikis meninggalkan pulau mukosa kecil yang
menyerupai polip tetapi sebenarnya merupakan pseudopolip. Mukosa yang erosi
sering bergabung membentuk ulkus linear dan celah dangkal yang melemahkan
mukosa yang tersisa, yang menjadi rapuh dan eritematosa dengan berkurangnya
lipatan haustral. Sifat berulang dari penyakit ini sering meninggalkan ulkus
dangkal dengan jaringan granular pada mukosa yang menebal dengan peningkatan
vaskularisasi. Penampakan ini sangat kontras dengan inflamasi transmural yang
ditemukan pada penyakit Crohn di usus besar, di mana semua lapisan dinding
kolon mungkin terlibat dalam proses inflamasi granulomatosa.
Secara histologis, lesi awal yang khas terdiri dari infiltrasi sel-sel
inflamasi, terutama leukosit polimorfonuklear, ke dalam kriptus di dasar mukosa,
membentuk abses crypt. Sebagai lesi lanjut, terdapat perpaduan dari abses crypt
dan deskuamasi sel di atasnya untuk membentuk ulkus. Cryptitis ini dikaitkan
dengan melemahnya mukosa yang relatif normal, yang menjadi edema dan
membentuk konfigurasi polypoid karena terisolasi antara ulkus yang berdekatan.
Pada sediaan seluruh bagian dari usus dari pasien dengan penyakit berat
menunjukkan ulkus dengan dasar yang luas. Tidak adanya fibrosis dan kurangnya
peradangan pada bagian transmural menyingkirkan penyakit Crohn. Kolagen dan
jaringan granulasi sering menempati bidang ulserasi, yang memanjang, tapi jarang
melalui lapisan muskularis. Pada pembesaran yang lebih kuat, tepi ulkus tampak
menjorok ke mukosa yang meradang. Meskipun kolitis ulseratif umumnya
terbatas pada mukosa dan submukosa, dalam bentuk yang paling parah dari
penyakit ini, seperti kolitis fulminan atau megakolon toksik, proses penyakit dapat
meluas ke lapisan otot yang lebih dari usus besar dan bahkan lapisan serosa.
Sebagai contoh, kami telah mencatat bahwa spesimen kolektomi dari
beberapa pasien dengan kolitis kronis parah aktif berisi ulkus dangkal yang
meluas memasuki lapisan propria muskularis dari usus.[6] Celah ulkus dangkal
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
merupakan fitur patologi khas kolitis ulseratif. Ulkus ini muncul dengan
gambaran seperti pisau, berorientasi vertikal dilapisi dengan jaringan granulasi
yang aktif meradang dan sering dikaitkan dengan peradangan kronis di sekitar
ulkus. Meskipun ulkus yang dalam biasanya terkait dengan penyakit Crohn,
beberapa patolog percaya bahwa ulkus dalam dapat dilihat pada kasus berat. Jenis
penampakan ini bisa menyulitkan diferensial diagnosis. Jarang, abses crypt
menembus lapisan propria muskularis, sering membentang sepanjang pembuluh
darah, akhirnya mengarah perforasi.
GAMBARAN KLINIK
Pasien dengan episode yang relatif ringan biasanya mengeluh diare
berdarah, sakit perut, dan demam. Meskipun penyakit pada awalnya terbatas pada
rektosigmoid, akhirnya dapat pula berlangsung pada bagian proksimal. Persentase
yang lebih kecil (25%) hadir dengan serangan moderat di mana diare berdarah
adalah gejala utama. Pada sejumlah kecil pasien (15%), kolitis ulceratif dapat
berkembang dengan cepat menjadi bentuk fulminan. Pasien-pasien ini sering
mengalami onset yang relatif mendadak, gerakan usus berdarah, demam tinggi,
berat badan menurun, dan nyeri perut difus.
Temuan fisik umumnya terkait dengan durasi, tingkat, dan keparahan
penyakit. Berat badan menurun dan pucat biasanya menyertai serangan akut,
bersama dengan perubahan dalam berbagai fungsi metabolisme. Selama periode
aktif, abdomen, terutama di dekat dengan usus besar, terasa nyeri saat dipalpasi.
Serangan akut atau fulminan dapat bermanifestasi seperti perut sehabis dibedah,
dengan demam yang menyertai dan penurunan bising usus. Pada pasien dengan
megakolon toksik, distensi abdomen mungkin diidentifikasi.
Manifestasi ekstra-intestinal dari kolitis ulseratif diamati di sejumlah organ
sistem.[7] Dengan demikian, pemeriksaan yang cermat dari kulit, rongga mulut
dan lidah, sendi, dan mata bisa menjadi komponen penting dari diagnosis awal
karena adanya penyakit ekstra-intestinal menunjukkan bahwa penyakit inflamasi
usus adalah kemungkinan penyebab diare yang mendasari. Banyak manifestasi
ekstra-intestinal dari kolitis ulseratif berhubungan erat dengan aktivitas penyakit
dan merespon terapi dengan steroid, agen imunosupresif, atau perawatan bedah.
[8] Hati dan gangguan saluran empedu juga sering dialami pasien dengan kolitis
ulseratif. Hingga 80% dari pasien, terutama mereka dengan pancolitis,
menunjukkan beberapa keterlibatan hati. Sclerosing cholangitis, satu komplikasi
ekstra-intestinal yang paling sulit terkait dengan kolitis ulseratif, diamati pada 14% pasien. Meskipun beberapa pasien merespon dengan kolektomi, sebagian
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
MODALITAS DIAGNOSTIK
Endoskopi:
Tidak ada laboratorium khusus, radiografi, atau tes histologis yang secara
definitif menegakkan diagnosis kolitis ulseratif; sehingga diagnosis akhir biasanya
dengan mengekslusi penyakit lain. Namun, endoskopi dengan biopsi dapat
memainkan peran integral dalam diagnosis, manajemen, dan pengawasan dari
kolitis ulseratiif.[9] Endoskopi bisa sangat berharga dalam menegakkan diagnosis
akhir, dengan menyingkirkan etiologi lainnya pada pasien dengan diare berdarah,
menggambarkan sejauh mana dan aktivitas peradangan mukosa, dan memperoleh
biopsi mukosa untuk dievaluasi secara histologis. Untuk ahli bedah, endoskopi
dapat sangat berguna dalam membedakan kolitis ulseratif dari penyakit Crohn,
yang dapat memiliki dampak yang signifikan pada keputusan bedah dan
manajemen komplikasi terkait penyakit. Karakteristik klinis mayor yang
membedakan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn ditunjukkan pada Tabel 1.
Karena kolitis ulserativa melibatkan rektum pada 90-95% kasus,
sigmoidoskopi fleksibel adalah langkah pertama dalam diagnosis. Kasus ringan
mungkin hanya menunjukkan hilangnya pola vaskular yang normal, tekstur
granular, dan perdarahan mikro ketika mukosa melunak adalah disentuh atau
diusap. Ketika penyakit ini cukup aktif, mukosa menjadi lebih rapuh dan
perdarahan spontan sering terjadi. Pada kasus yang parah terdapat ulkus makro
dan perdarahan hebat, biasanya disertai dengan eksudat purulen. Kolitis ulseratif
kronis sering dikaitkan dengan penampilan pseudopolip kecil, yang mewakili
daerah dari regenerasi mukosa di tengah-tengah destruksi mukosa yang difus.
Penggunaan fleksibel sigmoidoskopi serta modalitas pencitraan lainnya
telah meningkatkan akurasi diagnostik dan penerimaan pasien. Kolonoskopi
mungkin berguna dalam menentukan tingkat dan aktivitas penyakit, terutama pada
pasien yang didiagnosis kanker yang tidak jelas atau dicurigai.
Radiografik:
Pada pasien dengan kolitis ulseratif fulminan dan berat, foto polos
abdomen mungkin berguna awalnya, terutama karena teknik pencitraan invasif
dapat memiliki risiko yang serius. Foto abdomen mungkin menunjukkan dilatasi
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
kolon atau toksik megakolon dalam 3-5% pasien. Meskipun pelebaran ini paling
sering diamati dalam usus besar yang melintang, bisa terjadi di mana saja di usus
besar. Sebuah foto rontgen polos juga berguna untuk mendeteksi udara bebas
dalam rongga peritoneum, menunjukkan potensi perforasi usus yang sakit.
Pencitraan saluran cerna bawah atau pemeriksaan barium enema usus
besar berguna pada kebanyakan pasien, meskipun berpotensi berbahaya pada
mereka dengan toksik megakolon. Seiring kolitis ulseratif berkembang, mukosa
bergranuler dan perdarahan mikro menghasilkan pola reticularis yang difus, di
mana tampak belang-belang yang tak terhitung jumlahnya karena bahan kontras
bersarang di ulkus mikro. Kasus yang lebih ringan dari kolitis ulseratif akut
mungkin tampak gambaran granular yang difus yang juga dapat dilihat secara
lebih rinci pada barium enema kontras udara. Dalam kasus berat, margin usus
besar tidak teratur dengan ulkus yang dapat diamati pada full-collum barium
enema. Stadium akhir atau "burn out" kolitis ulseratif ditandai dengan
pemendekan usus besar, hilangnya redundansi yang normal di wilayah sigmoid
dan pada flexura limpa dan hati, hilangnya pola haustral, tidak adanya ulserasi
diskrit, dan kaliber usus menyempit.
Terapi Medik:
Ahli bedah sekarang terlibat dalam manajemen pasien yang berpotensi
menjalani terapi bedah pada awal perjalanan penyakit mereka, sehingga
pemahaman umum tentang manajemen medis pada berbagai presentasi dan tahap
kolitis ulseratif sangat diperlukan. Terapi medis untuk kolitis ulseratif tidak
kuratif. Hal ini terutama ditujukan untuk mengontrol gejala pasien atau mengelola
proses inflamasi yang mendasari untuk menginduksi remisi. Setelah diagnosis
kolitis ulseratif telah ditetapkan, keputusan mengenai pelaksanaan terapi medis
tergantung pada keparahan gejala, riwayat klinis pasien, dan endoskopi dan studi
radiografi. Rencana perawatan yang optimal, yang mungkin akhirnya termasuk
operasi, sering dibuat dengan masukan dari pasien serta dokter ahli pencernaan
dan dokter bedah. Meskipun kepatuhan individual terhadap rencana perawatan
dapat menghasilkan hasil jangka panjang yang lebih baik, persentase yang
signifikan pasien pada akhirnya mengalami refrakter bahkan setelah rejimen
pengobatan agresif atau mengalami komplikasi lainnya yang memerlukan
intervensi bedah.[10]
Pilihan agen yang biasa digunakan untuk menginduksi remisi pada pasien
dengan kolitis ulseratif tergantung pada tingkat dan beratnya penyakit dan lokasi
anatomi, dan dapat berupa rejimen oral dan rejimen topikal sendiri atau dalam
kombinasi.[11] Obat yang biasa digunakan dalam pengobatan berbagai tahap
kolitis ulseratif termasuk sulfasalazine dan analog aminosalicylate, kortikosteroid,
imunomodulator, penekan antimetabolites, anti-tumor necrosis factor-alpha, agen
biologis termasuk infliximab, dan dalam beberapa kasus antibiotik. Antidiare dan
agen antispasmodik juga dapat digunakan dalam bentuk terapi kombinasi bila
dibutuhkan [Tabel 2].
10
jika serangan berat, insiden meningkat menjadi sekitar 10%. Jika pasien
memiliki pancolitis, tingkat perforasi bisa naik sampai 15%; jika pancolitis
yang dikaitkan dengan klinis serangan yang parah, tingkat perforasi naik
ke hampir 20%. Perforasi tidak selalu terkait langsung dengan kolitis
ulseratif yang mendasari, dan penyebab lain seperti tukak lambung atau
duodenum dari penggunaan steroid atau bahkan penyakit Crohn mungkin
penyebab perforasi lainnya. Namun, karena perforasi adalah komplikasi
yang paling mematikan dari kolitis ulseratif, tidak ada tempat untuk terapi
medis, dan pasien harus segera menjalani operasi. Meskipun perforasi usus
terjadi lebih sering dengan adanya megakolon toksik, penting untuk
diingat bahwa megakolon toksik bukan merupakan prasyarat untuk
terjadinya perforasi. Dengan adanya perforasi kolon, operasi definitif
harus dilakukan. Kolektomi abdomen dengan ileostomy dan penutupan
rektum metode Hartmann adalah prosedur pilihan.
e. Obstruksi
Obstruksi total disebabkan oleh striktur jinak terjadi pada 11%
pasien, dengan 34% dari striktur terjadi di rektum. Striktur biasanya hasil
dari fibrosis submukosa dan hiperplasia mukosa. Meskipun biasanya tidak
menyebabkan obstruksi akut, lesi harus dibedakan dari karsinoma dengan
biopsi atau eksisi, dan khususnya perhatian harus diberikan untuk
mengesampingkan penyakit Crohn. Striktur yang disebabkan oleh
karsinoma lebih jarang daripada yang disebabkan oleh penyakit jinak dan
lebih rentan untuk menyebabkan perforasi. Banyak ahli bedah sekarang
percaya bahwa setiap striktur kolon yang menyebabkan gejala obstruktif,
bahkan jika itu jinak pada endoskopi, harus dilakukan pembedahan.[12]
Kasus Elektif:
Banyak pasien dengan kolitis ulseratif kronis memilih untuk menjalani
proctocolectomy elektif lebih awal di perjalanan penyakit mereka,[17] sekarang
terdapat prosedur restoratif yang menawarkan komplikasi yang minimam serta
harga dan hasil yang sangat baik. Pasien biasanya memutuskan operasi elektif
setelah berkonsultasi dengan dokter ahli pencernaan dan ahli bedah, dan meskipun
kolitis ulseratif adalah penyakit kronis, indikasi untuk operasi elektif dapat terjadi
di awal penyakit pasien atau setelah bertahun-tahun pada penyakit yang cukup
ringan. Indikasi utama untuk pengobatan bedah kolitis ulseratif adalah:
a. Penyakit berat: Kegagalan terapi medis seperti ditunjukkan oleh disfungsi
dan cacat fisik kronis dan gangguan fisiologis adalah indikasi yang paling
umum untuk operasi elektif kolitis ulseratif kronis. Gejala berat dapat
dicirikan dengan menurunnya kualitas hidup pasien, yang disebabkan oleh
penyakit yang mendasari atau terapi yang dijalani. Karena penyakit berat
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
11
secara klinis didefinisikan, dapat terjadi pada pasien baik pada penyakit
akut atau kronis. Pada kondisi akut umumnya mengacu pada
ketidakmampuan untuk mengontrol gejala meskipun terapi medis sudah
maksimal. Sebaliknya, pada kondisi kronis mengacu baik
ketidakmampuan untuk menurunkan dosis obat tanpa terjadi kekambuhan,
terutama steroid, kedalam dosis pemeliharaan yang dapat ditoleransi, atau
munculnya efek samping obat.[12] Ada banyak operasi elektif untuk
kolitis ulseratif yang dibahas di bawah.
b. Displasia, Keganasan dari usus besar atau rektum, atau profilaksis kanker:
Pasien dengan kolitis ulseratif mengalami peningkatan risiko untuk
terjadinya displasia dan kanker kolorektal.[18] Kebanyakan ahli bedah
setuju bahwa displasia signifikan, dicurigai kanker, atau yang jelas-jelas
keganasan indikasi untuk kolektomi. Meskipun kolitis ulseratif hanya
menyumbang sekitar 2% dari semua kasus kanker kolorektal pada
populasi umum, komplikasi ini menyumbang sekitar 15% dari semua
kematian terkait dengan penyakit inflamasi usus.[18] Kolitis ulseratif
meningkatkan risiko kanker usus sebesar sekitar 0,5-1,0% per tahun
setelah 10 tahun. Diagnosis pada usia dini, dan peningkatan durasi dan
luasnya penyakit tampaknya meningkatkan risiko secara substansial.[19]
Dengan demikian, pada saat pasien memiliki memiliki penyakit selama 20
tahun, risiko kanker usus dapat setinggi 20%, meningkat menjadi lebih
dari 30% pada pasien yang telah memiliki penyakit selama lebih dari 35
tahun.
Peningkatan risiko ini jelas menekankan pentingnya melakukan
kolonoskopi lengkap dengan berbagai biopsi dari seluruh kolon dan
rektum secara berkala untuk mendeteksi displasia mukosa dan untuk
mengidentifikasi kemungkinan kolektomi profilaksis.[20] Meskipun waktu
operasi untuk profilaksis kanker masih kontroversial, ada beberapa pasien
dengan hal ini merupakan satu-satunya indikasi untuk operasi. Peran
biopsi rektum atau kolon dalam mengarahkan waktu kolektomi juga tetap
kontroversial. Pasien dengan kolitis lama, displasia grade tinggi, atau
Displasia Lesi terkait Dysplasia associated lesions or mass (DALM)
adalah kandidat untuk kolektomi. Displasia pada kolitis ulseratif mungkin
diklasifikasikan sebagai datar atau meningkat (DALM). Pasien dengan
displasia grade tinggi umumnya kandidat kolektomi.[21] Karena dysplasia
adalah penanda untuk deteksi karsinoma, beberapa ahli bedah sekarang
menganjurkan bahwa bahkan dysplasia grade rendah, jika diverifikasi oleh
ahli patologi berpengalaman, merupakan indikasi untuk kolektomi.
Displasia setiap kelas meningkatkan probabilitas penderita kanker hidup
berdampingan dan bahkan dysplasia grade rendah memiliki nilai prediksi
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
12
13
14
15
pada sampai dengan 20% pasien. Selain itu, ada potensi untuk kebocoran
anastomosis antara ileum dan rektum. Kolektomi subtotal dengan
anastomosis ileorectal jelas operasi yang dikompromi, kecuali untuk
indikasi tertentu, dan jelas kontraindikasi pada pasien dengan disfungsi
sfingter anal, penyakit dubur parah, displasia dubur, atau keganasan.
Dengan ketersediaan dan Keberhasilan proctectomy mukosa dan
anastomosis ileoanal, anastomosis ileorectal diindikasi sangat kurang pada
pasien. Seperti dibahas di bawah, dengan kekhawatiran baru-baru ini lebih
pada infertilitas wanita muda setelah anastomosis ileum kantong anal,
subtotal kolektomi dengan atau tanpa ileorectal anastomosis lebih populer
pada pasien wanita muda.
c. Continent ileostomy: ketidakpuasan Pasien karena masalah mekanis dan
fungsional ileostomy dan inkontinensia telah memotivasi ahli bedah untuk
mencari alternatif untuk mencegah inkontinensia. Upaya awal seperti
continent ileostomy atau Kock pouch, namun, penuh komplikasi teknis.
[27] Kock pertama kali mengonstruksi continent ileostomy dari seluruhnya
ileum terminal dengan ileum pouch yang berperan sebagai wadah untuk
tinja dan saluran ileum menghubungkan kantong stoma ke kulit. Meskipun
hasil fungsional kurang, pasien yang menjalani total proctocolectomy
untuk pertama kalinya, terbebas dari inkontinensia. Operasi kemudian
dimodifikasi untuk menyertakan katup antara kantong dan stoma.
Biasanya, 45-50 cm dari ileum terminal dibutuhkan untuk pembedahan
membuat kantong dan katup. Bagian proksimal sekitar 30-35 cm dibuat
menjadi kantong; sedangkan arus keluar saluran intussuscepting dari
kantung dan kemudian dijahit atau distaples membentuk katup. Reservoir
ileum dijahit ke peritoneum dan fascia, dan anggota tubuh eferen melalui
dinding perut sebagai stoma flush. Melewati tabung plastik lembut melalui
katup dan stoma maka dapat mengosongkan kantong ileum. Signifikansi
operasi ini untuk waktu adalah bahwa pasien ditawarkan operasi yang
kuratif dan tidak memerlukan penggunaan suatu alat eksternal.
Continent ileostomy telah dikaitkan dengan sejumlah komplikasi, yang
paling signifikan berkaitan dengan dislodgment dari katup sehingga
menghasilkan inkontinensia tinja dan kesulitan dalam intubasi dan
mengosongkan kantong. Kegagalan katup yang memerlukan revisi
dilaporkan terjadi pada sampai dengan 60% dari pasien dan sekitar 20%
pasien akan mengalami obstruksi usus kecil, terutama karena perlengketan.
[28] Risiko disfungsi kandung kemih, impotensi, dan masalah luka
perineum yang mirip dengan proctocolectomy standar dan ileostomy.
Beberapa sindrom disfungsi terkait langsung dengan continent ileostomy
termasuk stagnant loop syndrome, enteritis, ileitis spesifik, dan pouchitis.
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
16
Secara klinis, pasien ini sering hadir dengan diare, malabsorpsi lemak dan
vitamin B12, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, dan peradangan
mukosa dari kantong dan inkontinensia. Pasien mungkin juga mengalami
fistula antara kantong dan kulit atau organ enterik lainnya. Penyakit Crohn
adalah kontraindikasi untuk melakukan operasi ini.
Meskipun continent ileostomy memiliki keuntungan teoritis jelas atas
ileostomy Brooke, terutama berkenaan dengan kontinensia, tinggi tingkat
komplikasi fungsional telah membatasi penggunaan klinisnya. Continent
ileostomy mungkin berguna pada pasien yang telah menjalani total
proctocolectomy dan ileostomy, dan setelah konseling yang hati-hati, ingin
menjalani prosedur pemulihan kontinensia. Operasi ini juga tetap menjadi
pilihan untuk pasien telah gagal IPAA,[29] atau yang karena alasan lain
lebih memilih tetap ileostomy. Di pusat pusat utama yang menawarkan
semua alternatif bedah untuk pasien dengan kolitis ulseratif, Kock-pouch
terbatas kegunaan klinisnya dan metode serupa tersebut saat ini sedang
dibangun meskipun laporan baru baru ini yang memuaskan fungsi jangka
panjang dalam lebih dari dua pertiga pasien sampai sampai 30 tahun.[28]
Meskipun revisi bedah mungkin dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi
yang tepat, continent ileostomy tampaknya memiliki daya tahan yang baik.
Dalam penelitian lebih terbaru, pasien melaporkan fungsi yang memadai,
kepuasan yang tinggi, dan kualitas kesehatan yang mirip dengan populasi
umum.[30]
d. Total proctocolectomy dengan ileal pouch-anal anastomosis: Seperti
disebutkan, sampai sekitar 25 tahunclalu, proctocolectomy dengan
ileostomy Brooke adalah satu-satunya pilihan bedah yang layak yang bisa
ditwarkan ahli bedah kepada pasien dengan kolitis ulseratif yang
membutuhkan kolektomi. Meskipun prosedur ini menghilangkan semua
jaringan yang sakit dan risiko transformasi maligna berikutnya, pasien dan
dokter mereka menolak untuk pilihan ini karena diperlukan ileostomy
perut permanen. Untuk alasan ini bahwa ahli bedah mencari alternatif total
proctocolectomy dan ileostomy yang bisa menyediakan pasien dengan
kontinensia dengan fungsi yang baik. Sementara opsi yang dibahas di atas
adalah yang dilakukan, banyak ahli bedah yang berkembang lebih inovatif,
fungsional, dan prosedur yang dapat diterima.
Meskipun anastomosis ileoanal pertama dilaporkan dilakukan oleh Nissen
di Jerman di awal 1930-an,[31] merintis dua ahli bedah, Mark Ravitch dan
David Sabiston, yang lebih dari setengah abad yang lalu mengusulkan
konsep proktokolektomi dengan pelestarian sfingter anal.[32] Alih-alih
mengablasi seluruh rektum, anus, dan sfingter anal seperti yang terjadi
selama proctocolectomy standar, mereka mengakui bahwa karena kolitis
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
17
18
J-pouch
W-pouch
S-pouch
Lateral side-to-side
isoperistaltic pouch
KONTROVERSI
a. Prosedur satu tahap atau dua tahap: satu tahap yaitu, tanpa ileostomy
pengalihan sementara memiliki keuntungan operasi tunggal dan tidak ada
komplikasi ileostomy, kelemahan terjadi peningkatan risiko sepsis panggul
International Journal of Preventive Medicine, Vol 3, No 11,
November 2012 |
19
Tetapi metode ini memiliki kelemahan yaitu risiko keganasan dan mengacaukan
pengobatan.
Post IPA A:
Komplikasi IPA A:
Jangka pendek: sepsis dan abses pelvis dikarenakan kebocoran anastomosis
Jangka panjang:
20
KONKLUSI
Manajemen bedah dari kolitis ulseratif memerlukan pemahaman yang
komprehensif tentang semua pilihan bedah. Sementara anastomosis ileorectal dan
proctocolectomy dengan Brooke ileostomy atau Kock-pouch memiliki peran
dalam pengelolaan bedah pasien tertentu dengan kolitis ulseratif, IPAA menjadi
prosedur definitif dalam banyak kasus. IPAA telah berkembang melalui banyak
tahapan sebelum menjadi prosedur yang sangat sukses saat ini digunakan di pusatpusat kesehatan. Kemajuan teknis dan pengalaman ahli bedah yang lebih baik
hanya dapat lebih meningkatkan fungsi, hasil, dan kepuasan pasien. Meskipun
beberapa oposisi, dalam kondisi elektif, IPAA tetap merupakan pilihan yang
sangat baik untuk pasien dengan kolitis ulseratif ketika keputusan untuk operasi
telah saling dicapai oleh pasien, dokter ahli pencernaan, dan dokter bedah.
Dengan pengalaman, proctectomy mukosa dan IPAA sekarang dapat dilakukan
dengan tingkat komplikasi rendah, hasil fungsional yang baik, dan
kualitas hidup yang baik, dan dengan hasil jangka panjang yang sangat baik. Hasil
yang optimal dapat diperoleh dengan pemilihan pasien dengan hati-hati,
manajemen pra operasi yang sesuai, teknik bedah standar yang teliti, pendidikan
pasca operasi yang sesuai, dan tindak lanjut yang ketat.
21
22