Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN STUDI KASUS

Pneumonia CAP + Sepsis +Hemaptoe + Susp TB-MDR


OLEH:
MAHASISWA PKP APOTEKER
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN YOGYAKARTA
ANGKATAN XXIX

Disusun Oleh:
Septi Marta Sari, S.Farm

1408062161

Widya Siswara Madda, S.Farm

1408062248

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2015

Lembar Pengesahan

LAPORAN STUDI KASUS


Pneumonia CAP + Sepsis +Hemaptoe + Susp TB-MDR
Di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
(5 Oktober 4 Desember 2015)

Oleh :
MAHASISWA PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN ANGKATAN XXIX

Laporan ini telah disetujui oleh :


Apoteker Pembimbing Studi Kasus

Nunik Wahyuni, S. Farm., Apt.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Epidemiologi Pneumonia CAP
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data
SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura,
nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa
penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas
akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika
adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama
akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di
Amerika adalah 10 %. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa
hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian
bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika
secara empiris. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit
infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit
terbanyak yang dirawat per tahun.
B. Epidemiologi Sepsis
Sepsis adalah penyebab utama kematian pada pasien yang menderita sakit berat dan
dirawat dirumah sakit, insiden sepsis pertahun di negara maju seperti Amerika Serikat
sekitar 132 per 100.000 jiwa dengan angka mortalitas mencapai 50%, dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi ini sepsis dan shock septik termasuk dalam
penyebab 10 kematian tertinggi di Amerika Serikat. Studi terbaru di Inggris menyatakan
sepsis berat merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien yang di rawat di ICU
dengan angka kematian (mortalitas) mencapai 46%, diikuti dengan peningkatan laju
insiden per tahun yang terus meningkat sebesar sebesar 1,5% dan prevalensi terbanyak
pada pasien usia lanjut, meskipun penelitian dalam terapi antibiotik terus berkembang
dan dengan pengobatan anatibiotik terbaru dinegara maju seperti Amerika Serikat sepsis
masih merupakan masalah kompleks yang belum dapat teratasi dengan baik dan

mengakibatkan kematian hingga mencapai 200,000 jiwa per tahun, angka ini hampir
menyamai angka kematian yang disebabkan oleh serangan jantung (infark myocard).
C. Epidemiologi Tuberkulosis Multiple Drug Resistant
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Di Indonesia berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada
sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada
SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian
pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke
subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA
positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat
dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap
tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada
setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia
untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PNEUMONIA CAP
1. Definisi
Community acquired pneumonia(CAP) adalah pneumonia infeksius pada seseorang
yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit baru-baru ini.
2. Etiologi
a. Bakteri
- tipik : gram positif maupun gram negatif, bakteriaerobmaupunanaerob
- atipik :mycoplasma,legionella, clamydia,virusinfluenzae,SARS
b. Jamur
c. Protozoa

Tabel I.DaftarMikroorganisme yang menyebabkan Pneumonia (Jeremy, 2007)


3. Patofisiologi
Pneumonia sebagian besar berawal dari aspirasi kuman atau penyebaran langsung
melalui orofaring.Volume aspirasi kecil terjadi pada saat tidur dan pada pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran.Dalam keadaan normal tubuh memiliki system pertahan
terhadap mikoorganisme pathogen yang merugikan (flora norma menempel pada
mukosa orofaring), namun pneumonia dapat terjadi bila, mekanisme pertahanan
tersebut mengalami gangguan sehingga kuman pathogen dapat mencapai saluran
nafas bawah. Inokulasi pathogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon
inflamasi akut. Selanjutnya virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli,
inflamasi awal terjadi infiltrasi sel-sel mononuclear ke dalam submukosa dan
perivascular.

Infeksi

akan

berkembang

mengakibatkan

terjadinya

denudasi

(pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke interstitial


sangat jarang menimbulkan fibrosis.Pneumonia viral pada anak merupakan
predisposisi terjadinya pneumonia bacterial oleh karena rusaknya barrier mukosa
(Loscalzo, et al., 2010).
4. Gejala Klinis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan
fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan
jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2
atau lebih gejala di bawah ini :
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan
ronki
Leukosit > 10.000 atau < 4500
5. Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
a) Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam .

Tanpa faktor modifikasi : golongan beta laktam + anti beta laktamase


Dengan faktor modifikasi : golongan beta laktam + anti beta laktamse atau

fluorokuinolon respirasi (levofloksasin, moksifloksasin, gatifloksasin)


Bila dengan pneumonia atipik : makrolid baru (roksitomisin, klaritomisin,
azitromisin).

b) Penderita rawat inap di ruang rawat biasa


Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam

Tanpa faktor modifikasi : golongan beta laktam + anti beta laktamase


intravena atau sefalosporin generasi 2, generasi 3 intravena atau

fluorokuinolon respirasi intravena


Dengan faktor modifikasi : sefalosporin generasi 2, generasi 3 intravena atau

fluorokuinolon respirasi intravena


Bila dengan pneumonia atipik : makrolid baru

c) Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif


Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian
obat
simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam

Tidak ada faktor resiko infeksi pseudomonas : sefalosporin generasi 3

intravena atau fluorokuinolon respirasi intravena


Ada faktor resiko infeksi pseudomonas : s
- sefalosporin anti pseudomonas intravena atau karbapenem intravena
ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin) intravena atau
-

aminoglikosida intravena
bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik : sefalsporin anti pseudomonas
intravena atau karbapenem intravena ditambah aminoglikosida intravena,
ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi intravena.

Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik


(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)

B. SEPSIS
1. Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai keadaan klinis yang ditandai oleh sindrom respon
inflamasi sistemik (SIRS) disertai adanya bakteri pathogen (infeksi) yang ditemukan
melalui kultur atau pewarnaan gram dari spesimen tubuh seperti darah, sputum, feses,
urin dan spesimen tubuh lainnya atau ditemukan fokus infeksi seperti luka dengan pus
purulen atau adanya udara bebas pada rongga abdomen yang ditemukan pada saat
operasi yang berasal dari saluran pencernaan.
2. Etiologi

Sepsis

biasanya

disebabkan

oleh

infeksi

bakteri,

virus

atau

jamur.

Mikroorganisme yang paling sering ditemukan Escherichia coli, Staphylococcus


aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan
Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu interaksi
yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi
3. Patofisiologi
Gangguan koagulasi pada sepsis terjadi melalui tiga mekanisme
a) Pembentukan trombin yang diperantarai TF
Tranfer factor diekspresikan pada permukaan sel endotel, monosit, dan platelet
ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin, sitokin atau mediator lain. Adanya
endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa sitokin proinflamasi seperti
tumor necrosis factor (TNF)- dan interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan
sitokin proinflamasi yang paling berhubungan dengan klinis sepsis dan
komplikasi.Pembentukan trombin yang diperantarai oleh TF merupakan tahap
penting dari patogenesis sepsis. Secara fisiologis pembentukan ini segera
dihambat oleh antitrombin, namun dengan pembentukan trombin yang sangat
cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga terjadi trombinemia. Setelah trombin
terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi sehingga terbentuk bekuan fibrin dan
terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat menyebabkan disfungsi
organ.

b) Gangguan mekanisme antikoagulan


Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis yaitu :

Sistem antitrombin
Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi
pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada sepsis. Jumlah
antitrombin berkurang disebabkan karena antitrombin digunakan untuk
menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase yang dilepaskan sel
neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal hati pada sepsis.

Sistem protein C

Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein C (APC)


yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV.13 Pada sepsis, terjadi
depresi sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan,
gangguan hati, perembesan vascular, dan aktivasi TNF-.

Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)


Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk
menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVIIa. Penurunan TFPI dapat
dijumpai pada sepsis.

c) Penghentian sistem fibrinolisis


Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas
fibrinolisis yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen activator oleh
sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis secara
cepat oleh PAI-1. Jumlah PAI-1 yang tinggi dipertahankan sehingga
menghentikan kemampuan fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan bekuan
fibrin pada mikrosirkulasi. Pada sepsis terjadi trombositopenia pada pasien berat.
Faktor utama yang menyebabkan penurunan jumlah trombosit pada sepsis adalah
produksi trombosit yang terganggu, peningkatan pemakaian maupun destruksi
atau sekuestrasi trombosit di limpa.
(Faranita, et al, 2011)

Gambar 1. Patofisiologi Sepsis


4. Gejala Klinis
Gejala klinis sepsis biasanya didahului oleh tanda tanda sepsis non spesifik,
seperti demam, menggigil, dan gejala konstitutif seperti lelah, malaise, gelisah, atau
kebingungan. Pada kebanyakan kasus, pasien harus mempunyai sumber infeksi yang
terbukti atau dicurigai dan diagnosis yang definitif dari sepsis ditegakkan dengan
testes laboratorium. Kriteria Diagnostik sepsis menurut ACCP/SCCM tahun 2001 dan
International Sepsis Definitions Conference, tahun 2003 :
Variabel Umum

Suhu badan > 380 C atau <360 C


Heart Rate >9O;/menit
Takipnea
Penurunan status mental
Edema atau balance cairan yang positif > 20ml/kg/24 jam
Hiperglikemia > 120 mg/dl pada pasien yang tidak diabetes.

Variable Inflamasi
WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature
Peningkatan plasma C-reactive protein

Peningkatan plasma procalcitonin


Variabel Hemodinamik
Hipotensi artrial (Sistolik < 90mmHg atau penurunan sistolik 40>mmHg dari

sebelumnya, Mean artrial pressure <70mmHg)


Saturasi vena (SvO2 >70%)
Kardiak Indeks >3,5 L/m/m3

Variable Perfusi Jaringan

Serum laktat > 1mmol/L


Penurunan kapiler refil

Variable Disfungsi Organ

Artrial hipoksemia (PaO2 / Fi O2 <300)


Akut oliguria atau urine output < 0,5 ml/kg/jam
Peningkatan creatinin > 0,5 mg/dl
Abnormalitas koagulasi, INR >1,5 atau APTT > 60 detik
Ileus
Trombositopeni (trombosit < 100.000mm3)
Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4mg/dl

5. Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan antibiotik empirik menurut Dipiro edisi ke tujuh

Gambar 2. Antimikroba empiris pada sepsis

Gambar 3. Agen vasopresor pada shock sepsis

C. HEMAPTOE
1. Definisi

Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit
infeksi.Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam
jumlahminimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.
Batuk darahatau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran
napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah
laring.
2. Etiologi
Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain :

Infeksi : tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella, legionella), jamur, virus


Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis, emboli paru, kistik fibrosis,

emfisemabulosa
Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial, tumor metastasis
Kelainan
hematologi
:
disfungsi
trombosit,
trombositopenia,

disseminatedintravascular coagulation (DIC)


Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis tricuspid
Kelainan pembuluh darah : hipertensi pulmoner, malformasi arterivena

aneurismaaorta
Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak
Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi swan-ganz,
limfangiografi
Kelainan sistemik : sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary hemosiderosis,
sistemik lupus erytematosus, vaskulitis (granulomatosis wagener, purpura
henochschoenlein, sindrom chrug-strauss)
Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain
Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura, benda asing,
hemoptisiskriptogenik, amiloidosis

3. Patofisiologi

4. Gejala Klinis
Tanda-tanda terjadi hemaptoe adalah :
a) Didahului batuk keras yang tidak tertahankan
b) Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam
saluran napas
c) Terasaasin / darah dan gatal di tenggorokan
d) Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari
kemudian warna menjadi lebih tua ataukehitaman
e) pH alkalis

f) Bisa berlangsungbeberapa hari


5. Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan dilakukan melalui tiga tahap:
a. Proteksi jalan napas dan stabilisasi pasien dengan cara pemberian suplementasi
oksigen, koreksi koagulapati, resusitasi cairan
b. Lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab perdarahan dapat dilihat melalui hasil
foto toraks, CT scan toraks, angiografi, bronkoskopi
c. Terapi spesifik dengan pemberian obat dan antifibrinolitik pengobatan penyakit
primernya

D. SUSPECT TB-MDR
1. Definisi
TB- Multiple Drug resisten atau TB dengan resistensi ganda adalah keadaan
dimana basil M. Tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau
tanpa OAT lainnya. TB ini dapat berupa resitensi primer dan resistensi sekunder.
Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah
menjumpai OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasienpasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang
didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Syahrini, 2008).
2. Etiologi
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang
atau dilingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter mendapat
obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
Fenomena addition syndrome yaitu satu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga menganggu bioavabilitas obat.

Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya


sampai berbulan-bulan.
(Syahrini, 2008)
3. Patofisiologi

Koloni M. tuberculosis
MutasiAlamiah

Mutan resisten
2
1

Strain risesten akibat terapi


yang tidak adekuat

Transmisisecaradoplet
Resisten 3aobat
TB
Infeksi HIV
sekunder (multipel)
Kontrolinfeksi yang tidakadekuat
Diagnostik yang terlambat
3b

Transmisi yang lebihjauh

(Leitch GA, 2000)


Resistensi obat TB
primer (multipel)

4.

Resistensi obat TB
primer yang lebih
Gejala Klinis
banyak (multipel)

Gejala tuberkulosis multiple drug samaseperti tuberculosis pada umunya yaitu

terbagi menjadi :
1. Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun

(Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia)


Seseorang dikatakan menderita tuberculosis multiple drug jika kultur basil tahan asam
(BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi
konversi negatif.
5. Penatalaksanaan Terapi
Tiga hal penting dan perlu diperhatikan pada penatalaksanaan TB multiple drug
adalah teknik diagnostic, pemberian obat dan kepatuhan. Untuk dapat menyusun
panduan yang tepat bagi setiap penderita diperlukan beberapa informasi mengenai
hasil tes resistensi kuman tuberculosis, riwayat pengobatan dan pola resitensi kuman
di lingkungan masyarakat penderita menetap.
Ketika hendak memulai terapi, yang perlu diingat adalah jangan pernah
menambahkan satu jenis obat ke regimen yang sudah gagal, karena hal ini yang akan
mempermudah terjadinya resistensi obat (Syahrini, 2008).

Tabel 1. Pengobatan TB-MDR


Obat Resisten

Fase Inisial
Durasi

OAT

(bulan)

Fase lanjutan
Durasi

OAT

(bulan)

H+S

R+Z+E

R+E

H+E+S

R+Z+Amk+Pth,

R+Pth

diikutiR+Z+Pth

H+R+S

3-6

Z+E+Pth+Amk+Fqn

18

E+Pth+Fqn

H+R+E+S

3-6

Z+Pth+Amk+Fqn+Cyc

18

Pth+Fqn+Cyc

H+R+Z+E+S

3-6

Pth+Amk+Fqn+Cyc+Pas

18

Pth+Fqn+Cyc

Keterangan :
H = Isoniazid

Pth = protionamide/ethionamide

R = Rifampisin

Pas = p-aminosalicylic acid

Z = pirazinamid

Amk = amikasin

E = etambutol

Fqn = fluoroquinolon

S = streptomisin

Cyc = cycloserine

Pilihan terapi untuk resistensi obat yang diketahui. Jika diasumsikan banyak
obat (gagal pengobatan setelah terapi jangka pendek dan dengan pengawasan
langsung), terapi 3 bulan dengan aminoglikosida, prothionamide, pirazinamid, dan
fluoroquinolon diikuti dengan 18 bulan prothionamide dan fluoroquinolone.
(Kemper, et al; 2002)

BAB III
STUDI KASUS
A. DEMOGRAFI PASIEN
1. Data Pasien
Nama
: Ny. EE
Umur
: 44 tahun
ID Pasien
: 11084xxx
Status
: JKN
Alamat
: Malang
MRS
: 9 Oktober 2015
IRNA, Ruang
: HCU Paru
2. Keluhan Utama Pasien
Batuk darah
3. Riwayat Penyakit Saat ini
Batuk 1 mingu yang lalu, batuk darah gelas, 2 hari yang lalu batuk darah 1 gelas.
Pagi hingga malam ini 3 gelas, warna merah, keringat malam +, riwayat butuh darah +.
Sesak 1 minggu ini bila batuk kambuh, sesak bila beraktivitas, 2 hari ini tidur sambil
duduk. Nyeri dada bila batuk saja. Demam +, nafsu makan menurun, BB menurun dari
45-42 kg dalam 2 bulan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tuberkulosis paru sejak 14-04-2015
5. Masalah Medis
a. Peumonia CAP

b. Sepsis
c. Hemaptoe
d. Mal Nutrisi
e. Susp TB MDR
6. Tindakan Operasi
Tidak ada
7. Alergi: Tidak ada

B. TANDA-TANDA VITAL DAN KLINIS


1. Tanda Vital
Tanggal
12/1
11/10
0
36
36
88
70
24
40
80/5 90/6

Nilai

Parameter
0

Suhu ( C)
Nadi (x/menit)
RR (x/menit)
Tek. Darah (mmHg)

Normal

10/10

36-37
80-85
20

36
102
26

120/80

130/80

13/1
0
36
80
28
90/6

2. Tanda Klinis
Parameter
Batuk Darah
Sesak

IRD 9/10
+
+

10/10
+
+

Tanggal
11/10
12/10
+
+
+

13/10
+

Lemah

Batuk Berdahak

456

456

456

456

456

GCS
-

Rhonki
Wheezing

+
+
-

+
+
-

+
+
-

C. HASIL LABORATORIUM
Parameter

Nilai Normal

Satuan

Tanggal
10/2

Hemoglobin

11,4 15,1 g/dl

g/dL

5,0

+
-

Eritrosit (RBC)

(4,0 5,0) x 10

/L

7,23 x 10

/L

42 x 10

29,50

(4,7 11,3) x
Leukosit (WBC)

10

Hematokrit

38 42

Trombosit (PLT)

142 424 x 10

/L

361 x 10

Albumin

3,5 5,5

g/dL

3,68

AST/SGOT

0-32

U/L

27

ALT/SGPT

0-33

U/L

GD sewaktu

< 200

Mg/dL

112

Ureum

16,6-48,5

Mg/dL

16,50

Kreatinin

<1,2

Mg/dL

0,62

Natrium (Na)

136-145

Mmol/L

138

Kalium (K)

3,5-5,0

Mmol/L

3,78

Klorida (Cl)

110

Mmol/L

104

BGA
Suhu

37,0

Hb

10,5

pH

7,35-7,45

7,38

pCO2

35-45

33,1

pO2

156,1

156,1

HCO3

19,7

19,7

O2 Saturate

>95%

Base excess

(-3)-(+3)

99,3
-5,7

D. HASIL PEMERIKSAAN
Belum diketahui hasil dari pemeriksaan pada pasien.
E. PROFIL TERAPI
Obat

Rute

Dosis

RHCU

NaCl

IVFD

0,9%

10/2

11/2

12/2

13/2

Ceptriaxone

IV

2x1 gram

Stop

Stop

Stop

Levofloxacin

IV

1 x 750 mg

Meropenem
Asam Tranexamat

IV
IV

2 x 1 gram
3 x 500 mg

Norepinephrin
Omeprazole

IV
IV

4 mg/100NS
1x40 mg

Combivent

Nebul

3x/hari

Stop

Stop

Salbutamol)
Codein

PO

3x10 mg

PCT

PO

3x500 mg

OAT Kat II 2FDC

PO

3x seminggu

(Ipatropium Bromida +

satu tablet
Komposisi:
150 mg
150 mg

Komposisi:
Rifampisin
Isoniazid
Etambutol

PO

400 mg

Vit B6

PO

1x10 mg

Adona

IV

3x25 mg

Stop

Stop

(Carbamazochrome)
1. Ceftriaxone
Indikasi

: Sebagai antibiotik empiris pneumonia CAP

Mekanisme Kerja : Spektrum luas dengan aktivitas bakterisid pada penghambatan


sintesis dinding sel bakteri
Dosis
Pasien
2x1 gram

Literatur
Dewasa dan anak

Efek Samping
Eosinophilia (6%)

Monitoring
Hb,

RBC,

Suhu

>12 th: 1-2 g sekali

Thrombocytosis

sehari.

(5%)
RR, Leukosit
Diare, mual, muntah
(3%).

tubuh, TD, Nadi,

Peningkatan

transaminase (3%)
Leukopenia (2%)
2. Levofloxacin
Indikasi

: Sebagai antibiotik empiris pneumonia CAP

Mekanisme Kerja : Menghambat DNA gyrase bakteri (DNA Topoisomerase II),


sehingga terjadi penghambatan replikasi dan transkripsi DNA
Dosis
Pasien
1 x 750 mg

Efek Samping
Literatur
500 mg PO/IV Mual (7%)
Sakit kepala (6%)
sekali sehari untuk
Diare (5%)
7-14 hari atau 750 Insomnia (4%)
Konstipasi (3%)
mg PO/IV sekali
sehari untuk 5 hari

Monitoring
Suhu

tubuh,

leukosit, RR, Nadi,


TD,

frekuensi

BAB, nyeri, mual,


sakit

kepala,

konatipasi/diare
3. Meropenem
Indikasi

: Antibiotik empiris pneumonia CAP

Mekanisme Kerja : Bersifat

bakterisidal

dengan

mempengaruhi/menghambat

pembentukan dinding sel


Dosis
Pasien
2 x 1 gram

Efek Samping
Monitoring
Literatur
1,5-6 g/hari terbagi Konstipasi,
diare, Reaksi
setiap 8 jam

mual, muntah

hipersensitifitas,
mual,
frekuensi

BAB,

Suhu

tubuh,

Leukosit,
TD, RR
4. Norepineprin
Indikasi

muntah,

: Meningkatkan tekanan darah pada kondisi syok sepsis

Nadi,

Mekanisme Kerja : Bekerja pada reseptor beta 1 dan alpha adrenergik yang dapat
meningkatkan cardiac output dan nadi, menurunkan renal perfusion
dan PVR, dan menyebabkan peningkatan tekanan darah
Dosis
4

Pasien
Literatur
mg/jam/100 0,01 3 mcg/kg/

NS

menit

Efek Samping

Monitoring

Bradikardi, hipertensi, Nadi,


aritmia, cemas

tubuh,

RR,

Suhu
tekanan

darah
5. Omeprazole
Indikasi

: sebagai profilaksis stress ulcer

Mekanisme Kerja : Menghambat H+/K+-ATPase (proton pump) pada sel parietal


sehingga menghambat sekresi asam lambung
Dosis
Pasien
1 x 40 mg

Literatur
40 mg sekali sehari

Efek Samping
Sakit

kepala,

Monitoring

nyeri Nyeri

lambung,

abdomen, diare, mual, mual, muntah


muntah
6. Combivent (Ipatropium Bromida dan Salbutamol)
Indikasi

: mengatasi sesak

Mekanisme Kerja : Bekerja sebagai bronkodilator yang merelaksasi otot pada saluran
pernapasan dan meningkatkan airflow dari paru-paru
Dosis
Pasien
3x/hari

Efek Samping
Monitoring
Literatur
3-4 kali sehari; ISPA, penyakit paru, RR,
frekuensi
untuk dewasa dan sakit
anak >12 tahun

kepala,

sesak sesak

napas, batuk

7. Paracetamol
Indikasi

: antipiretik

Mekanisme Kerja : Paracetamol bekerja dengan mengurangi produksi prostaglandin


dengan mengganggu enzim cyclooksigenase (COX)
Dosis
Pasien
3 x 500 mg

Efek Samping
Monitoring
Literatur
325 650 mg Kulit kemerahan, rash, Nilai
SGOT,
setiap 4-6 jam atau gangguan GI (mual, SGPT, suhu tubuh
1000 mg setiap 6-8 muntah,

diare),

jam

peningkatan
transaminase

8. Asam Tranexamat
Indikasi

: Mencegah terjadinya pendarahan (antifibrinolitik)

Mekanisme Kerja : aktivitas hemostatik; mencegah degradasi dari benang fibrin,


degenerasi platelet, dan merangsang faktor-faktor koagulasi
Dosis
Pasien
3 x 500 mg

Efek Samping
Monitoring
Literatur
1-2 ampul (5-10 Pemberian
secara Tekanan
darah,
mg)

sehari

IV cepat

dapat frekuensi

terbagi dalam 1-2 menyebabkan


dosis

rasa pendarahan

kurang nyaman dan


hipotensi,

gangguan

GI
9. Vit B6
Indikasi

: Profilaksis neuritis perifer akibat efek samping Isoniazid

Mekanisme Kerja : di dalam hati vit B6 dengan bantuan ko-faktor riboflavin dan
magnesium diubah menjadi zat aktifnya piridoksal-5-fosfat. Zat ini
berperan penting sebagai ko-enzim pada metabolisme protein dan
asam-asam amino, sintesis GABA, juga mempunyai peranan kecil
pada metabolisme karbohidrat dan lemak
Dosis
Pasien
1 x 10 mg

Literatur
10-50 mg

Efek Samping

Monitoring

Sakit kepala, kejang, Rasa


neuroritis
(dosis tinggi)

perifer panas/terbakar
kaki,

di

kesemutan,

nyeri kaki, kebas,


volume

urin,

frekuensi BAB
10. Adona (Carbamazochrome)
Indikasi

: Agen Hemostatik

Mekanisme Kerja : Carbamazochrome sodium sulfonate menghambat peningkatan


permeabilitas kapiler, meningkatkan resistensi kapiler

Dosis

Efek Samping

Pasien
Literatur
3 x 25 mg/NaCl 25 mg

Penurunan

0,9% 20 tpm

makan

Monitoring

nafsu Mual,

muntah,

gangguan
pencernaan,
frekuensi
pendarahan
(hemaptoe)

11. Codein
Indikasi

: Cough-supressant

Mekanisme Kerja : Kodein merangsang reseptor susunan saraf pusat (SSP) yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan, vasodilatasi perifer, inhibisi gerak
perilistatik usus, stimulasi kremoreseptor dan penekanan reflek
batuk
Dosis
Pasien
3 x 10 mg

Efek Samping
Literatur
7,5-20 mg PO 4-6 Konstipasi,

Monitoring
Tekanan

darah,

kali sehari PRN; mengantuk, hipotensi, nadi,

frekuensi

tidak lebih dari 120 takikardi

frekuensi

mg/24 jam

atau batuk,

bradikardi

BAB

12. Rifampisin
Indikasi

: Antituberkulosis

Mekanisme Kerja : menghambat ekrja enzim DNA-dependent RNA polymerase yang


mengakibatkan sintesa RNA mikroorganisme dihambat
Dosis

Efek Samping
Monitoring
Pasien
Literatur
450 mg 3 x Untuk dosis DOT 3 Urin merah, mual, SGPT, SGOT, ual
seminggu

x seminggu: 10-20 sakit perut, tidak nafsu


mg/kg (maks 600 makan,
mg)

peningkatan

nilai transaminase

13. Isoniazid
Indikasi

: Antituberkulosis

Mekanisme Kerja : menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur


penting dinding sel mikobakterium

Dosis

Efek Samping
Monitoring
Pasien
Literatur
450 mg (3 x 15 mg/kg maks: Peningkatan
nilai SGOT, SGPT, Rasa
seminggu)

900mg/dosis)

2-3 transaminase, Neuritis panas/ terbakar di

kali perminggu

perifer

kaki,

kesemutan,

nyeri kaki, kebas


14. Etambutol
Indikasi

: Antituberkulosis

Mekanisme Kerja : menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel


terhambat dan sel mati
Dosis

Efek Samping
Monitoring
Pasien
Literatur
1200 mg 3x 25-30
mg/kg, Mengganggu sekresi Kadar asam urat,
perminggu

3x/minggu

asam urat, gangguan penglihatan,


penglihatan dan buta
warna

15. NaCl
Indikasi

: resusitasi cairan tubuh

Mekanisme Kerja : Merupakan garam yang berperan penting dalam memelihara tekanan
osmosis darah dan jaringan
Dosis
Pasien
0,9 % 20 tpm

Literatur
0,9 %

Efek Samping

Monitoring

Edema jaringan pada Kadar


penggunaan

elektrolit

volume tubuh, Na, K, Cl

besar (biasanya paru),


akumulasi natrium
F. SOAP
Hari
(perawata
n ke-)
10-10-2015

Pasien

TD=

Pasien

(Hari ke-1)

mengalami

130/80

pneumonia

batuk

S = 37

hemaptoe, and suspect

darah,

N = 102

TB-MDR.

Subjective

Objective

Assessment

Plan

diagnosa Monitoring:
CAP, -

Frekuensi
hemaptoe.
RR, Rh, Wh
Frekuensi batuk

Pasien

mendapat -

nyeri dada, Leukosit:

terapi:

demam

42.000/ul

NaCl 0,9% 20 tpm

SGPT SGOT

Hematocrit

- Inj Ceftriaxone 2 x 1 -

Penglihatan

: 29,50

gram

pasien

- Inj Levofloxacin 1 x -

WBC

750 gram

Potensi

sesak,

RR = 26

Suhu tubuh
Peningkatan

ESO

- Asam Tranexamat 3

Antituberkulosi

x 500 mg

- Combivent Nebul 3x
sehari
- Codein 3 x 10 mg
- Paracetamol 3 x 500
mg
- OAT Kat II FDC
{tab (Rifampisin 150
mg, Isoniazid 150 mg)
+ tab Etambutol 400
mg}
- Vit B6 1 x 10 mg
- Adona 3 x 25 mg
DRP:
Tidak

ditemukan

11-10-15

Batuk

DRP
TD: 80/50 Dx: sama dengan hari Monitoring sesuai

(Hari ke-2)

darah

mmHg

pertama + Syok Sepsis

hari pertama.

berkurang,

Nadi: 88

Tx:

Monitoring

sesak

RR: 24

berkurang,

T : 360

hari pertama, minus Target: MAP >65

pasien
mengalami

Terapi sama dengan tekanan darah.


OAT dan vit B6

Pasien

mendapat

penurunan

terapi Norephineprin

tekanan

4 mg dalam 100 NS

darah

4 cc/jam

mmHg

Ceftriaxone
dihentikan

dan

diganti

dengan

meropenem

2x1

gram sebagai terapi


pilihan pada pasien
Hb= 5,0

severe sepsis
Dx: Anemia

Transfusi PRC 2

Pasien mendapat PRC

labu/hari

DRP= munculnya efek Target:


samping

obat

dan -

interaksi obat.
-

Frekuensi

(Nadi, RR, dan

tidak

suhu,

sesuai literatur
-

Pasien

Hb >10 gr/dl
Monitoring
reaksi hemolitik

pemberian
meropenem

Transfusi hingga

muntah), Hb

mengeluh

sesak, PRC 1 labu

mual,

Menambahkan
omeprazole

distop

sebagai

terapi

tambahan untuk
menghindari
stress ulcer
-

Klarifikasi
dokter

ke
terkait

frekuensi
penggunaan
meropenem yang
seharusnya 3 kali
12-10-15

Sesak

sehari
TD: 90/60 Dx: sama dengan hari Monitoring

(Hari ke-3)

berkurang,

mmHg

ke 2

frekuensi sesak.

batuk

RR:

Tx:

Tekanan

darah

40x/menit -

Sama dengan hari ke tetap

darah
harus

di

berhenti,

Nadi:

Batuk

70x/menit -

Pasien

berdahak

monitoring
mendapat

tambahan

terapi

omeprazole

untuk

menghindari

stress

ulcer
-

Combivent

di

hentikan
penggunaannya
-

Adona
dihentikan
penggunaannya
Pasien
mendapat Monitoring
terapi transfusi PRC 1 pasien,
labu

Hb
reaksi

hipersensitif, syok
(TD, RR, Nadi),
suhu tubuh
Memberikan

DRP =
- Pasien

belum

mukolitik

mendapat

terapi

acetilsystein

untuk

batuk

untuk
memudahkan

berdahak
- DRP hari
belum

ke

dua

mendapat

tanggapan
- Batuk darah

pasien

penggunaan

pengeluaran
dahak
- Menghentikan
penggunaan

berhenti,
asam

tranexamat
sebaiknya
13-10-15

Keadaan

Nadi: 80

dihentikan
Dx: sama dengan hari

(Hari ke-4)

umum

RR: 28

ke 3

pasien

Tek Darah: Tx:

membaik.

90/60

N-

Sama dengan hari ke

asam tranexamat

mmHg

Suhu; 360

Memberikan rejimen
OAT Kat II FDC 3
tab

2FDC

(Rifampisin 150 mg
+ isoniazid 150 mg)
+ tab etambutol 400
mg + vit B6 10 mg
Transfusi PRC 1 labu

Hb = 9,4

Monitoring hingga
Hb

pasien

>10

gr/dl,

reaksi

hipersensitif, syok
(TD, RR, Nadi),
Pasien

suhu tubuh
DRP= Pasien belum Rekomendasi

mengalami

mendapat terapi untuk pemberian

batuk

batuk berdahak

berdahak.

DRP hari ke 3 belum

mukolitik

mendapat tanggapan

G. DRP, REKOMENDASI DAN RENCANA MONITORING


Tipe

Jenis DRP

DRP
Aktual

Underdose:
Meropenem

Penjelasan

Intervensi

Hasil

Frekuensi

Suhu, Nadi, RR, Belum

pemberian

Leukosit, TD

mendapat

tanggapan terkait

meropenem

tanpa

peningkatan

gangguan

ginjal Meningkatkan

frekuensi

adalah setiap 8 jam

dosis

dosis meropenem meropenem,


menjadi 3 x sehari

monitoring

tetap

Interaksi obat

Potensia

dilakukan.
Antikolinergik bisa Volume urin, frek Belum
muncul

Ipatropium

meningkatkan efek BAB.

efek

toksik

toksisitas codein,

bromida

analgesik

samping

salbutamol ><

opioid. Khususnya, Frekuensi

monitoring

codein

resiko

dilakukan.

dan

konstipasi sesak/RR
retensi

yang

tetap

urin

meningkat

dengan kombinasi
ini
Manag: monitoring
konstipasi

dan

retensi urin pasien.


Interaksi obat

Potensia

Frekuensi

Codein><

nyeri

batuk, Pasien mengalami


batuk, tetapi batuk

Isonazid,

Isoniazid dan

tersebut

Rimfampisin

Rifampisin

merupakan

mengurangi efek

manifestasi klinis

terapeutik dari

TBC

kodein

pneumonia,

dan

monitoring
Interaksi obat

Potensia

tetap

dilakukan.
monitor Belum ada efek

Agen

Manag:

Ipatropium >< l

simpatomimetik

tekanan darah, RR samping toksisitas,

Norepineprin

bisa meningkatkan

monitoring

efek toksik agen

dilakukan.

tetap

simpatomimetik
Interaksi obat

Potensia

lain
Isoniazid

Paracetamol

meningkatkan efek monitoring

peningkatan

dari

SGOT/SGPT,

>< Isoniazid

Manag:

Tidak

paracetamol terjadinya

dengan menyerang hepatotoksik

monitoring

enzim

dilakukan.

hepatik (SGPT,SGOT)

terjadi

tetap

CYP2E1
Interaksi obat

Potensia

metabolisme.
meningkatkan efek Manag:

Paracetamol

dari

paracetamol tubuh,

Suhu Tidak

terjadi

SGPT, peningkatan

><

dengan menyerang SGOT

SGOT/SGPT,

Rifampisin

enzim

monitoring

hepatik

tetap

CYP2E1

dilakukan.

metabolisme.
Manag: monitoring
terjadinya
hepatotoksik
Interaksi obat
PCT

Potensia

>< l

Codein
Interaksi Obat

Potensia

(SGPT,SGOT)
Menurunkan
absorpsi

Monitoring
dari tubuh

suhu Suhu tubuh dalam


batas

normal,

paracetamol. minor

monitoring

IO:

dilakukan.
Tidak ada tanda

menurunkan Mual

tetap

Rifampisin >< l

konsentrasi

terjadinya

Omeprazole

omeprazole

interaksi

obat,

monitoring

tetap

dilakukan.

H. KONSELING ASUHAN KEFARMASIAN


1. Penggunaan antibiotik Levofloxaxin tidak boleh melebihi 14 hari untuk mencegah
terjadinya resistensi
2. Rekomendasi N-acetylsistein 2x 400 mg untuk mengatasi batuk berdahak, yang juga
bisa menjadi pemicu batuk berdahak
3. Frekuensi penggunaan meropenem ditingkatkan menjadi 3x 1 gram sesuai guideline,
untuk mencegah terjadinya resistensi dan ketidaktercapaian efek terapi.

BAB IV
PEMBAHASAN
Ny EE masuk rumah sakit dengan keluhan batuk darah. Pasien masuk di Rumah
Sakit Saiful Anwar pada tanggal 9 Oktober 2015 melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Pasien mengeluh batuk darah yang banyak sejak 1 minggu yang lalu, gelas. Dua hari
yang lalu 1 gelas, dan pada tanggal 9 oktober 2015, batuk darah 3 gelas.
Pasien sebelumnya telah di diagnosa menderita tuberkulosis paru dan telah
mengkonsumsi obat antituberkulosis sejak 14 April 2015. Ekspetorasi darah dapat terjadi
akibat infeksi tuberkulosis yang masih aktif. Susunan parenkim paruh dan pembuluh
darahnya dirusak oleh penyakit ini sehingga terjadi bronkietasi dengan hipervaskularisasi,
lebaran pembuluh darah bronkial, anastomosis pembuluh darah bronkialdan pulmoner.
Penyakit tuberkulosis juga dapat mengakibatkan timbulnya kaviti dan terjadi pneumonitis
tuberkulosis akut yang dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis pembuluh darah
disekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh darah tersebut mengakibatkan
ekspektorasi darah dalam dahak, ataupun hemoptisis masif.
Untuk mengatasi batuk darah tersebut, pasien menerima terapi asam tranexamat yang
dikombinasi dengan Adona (Carbamazochrome). Asam tranexamat merupakan agen

fibrinolitik dengan mekanisme mencegah degradasi dari benang fibrin, degenerasi platelet,
peningkatan fragilitas pembuluh darah dan merangsang faktor-faktor koagulasi, sedangkan
Adona bekerja dengan menurunkan permeabilitas plasma dan meningkatkan resistensinya.
Kombinasi keduanya adalah kombinasi yang sinergis terkait mekanisme kerja. Selain itu,
pasien mendapat terapi codein yang berfungsi sebagai cough-supressant sehingga
mengurangi pemicu terjadinya pendarahan.
Pasien juga didiagnosa dokter mengalami pneumonia CAP dan sepsis yang ditandai
oleh peningkatan leukosit yang mencapai 42.400/ul, demam, nyeri dada bila batuk, dan
pemeriksaan rhonki. Pneumonia yang dialami pasien berasal dari faktor resiko, yaitu
tuberkulosis yang kemudian berembang menjadi sepsis. Gejala klinis berupa demam
diberikan parasetamol tablet dengan dosis 3x500 mg. Terapi selanjutnya yaitu menghilangkan
penyebab pneumonia dengan memberikan antibiotik. Pada awal masuk rumah sakit, 10
Oktober, pasien diterapi antibiotik Ceftriaxone dan Levofloxacin. Kombinasi antibiotik
tersebut merupakan terapi empiris untuk pasien pneumonia yang dirawat di ruang intensif
sesuai dengan Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Dokter Paru Indonesia. Pada tanggal
11 Oktober, penggunaan ceftriaxone dihentikan dan diganti dengan meropenem. Hal tersebut
berdasarkan pertimbangan kondisi pasien yang mengalami sepsis berat. Selain terapi tersebut,
pasien diterapi dengan Combivent yang merupakan bronkodilator, untuk mengatasi sesak
yang dialami pasien.
Pada tanggal 11 Oktober 2015 pasien mengalami syok sepsis yang ditandai dengan
penurunan tekanan darah secara tiba-tiba mencapai 80/50 mmHg. Syok sepsis terjadi karena
aktivasi berbagai mediator kimiawi akibat infeksi bakteri, dimana terjadi ketidakmampuan sel
untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Obat-obat vasopresor diperlukan untuk
penanganan pada kasus syok sepsis. Target tekanan arterial rerata 65 mmHg telah
ditunjukkan secara fisiologis equivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Vasopressor yang
digunakan untuk Ny EE adalah norepineprin, karena norepineprin dapat meningkatkan
tekanan darah tanpa perubahan cardiac arrest yang besar, dibandingkan dengan obat lain
yang mekanismenya sama. Vasopresor lain seperti dobutamin dan dopamin, selain
meningkatkan tekanan darah, aktivitasnya terhadap reseptor 1 sangat tinggi sehingga dapat
memperkuat kontraktilitas miokardium dan meningkatkan kecepatan kontraksinya. Akibatnya
kebutuhan oksigen dalam miokardium meningkat. Kondisi ini tidak cocok untuk pasien
karena pasien sudah merasa sesak dan fungsi miokardiumnya masih stabil. Sedangkan
epineprin, efek nya pada reseptor 1, 2, 1, 2 juga sangat tinggi sehingga efek sampingnya
lebih banyak.

Pada tanggal 11 Oktober malam, pasien didiagnosa mengalami anemia dengan nilai
Hb 5,0 mg/dl. Tanggal 12 Oktober, pasien kemudian diberi transfusi PRC dengan target Hb
>10 mg/dl. Tetapi, pada tanggal 13 Oktober, Hb pasien belum mencapai target sehingga
masih ditransfusi PRC. Anemia yang dialami pasien adalah disebabkan oleh batuk darah yang
dialaminya sejak seminggu lalu.
Pasien tetap mendapat terapi lanjutan antituberkulosis kategori II FDC 3 x seminggu
(rifampisin, isoniazid dan etambutol) sambil menunggu hasil pemeriksaan apakah pasien
mengalami TB-MDR atau tidak. Pada bulan Oktober ini, pasien telah memasuki bulan ke-7
pengobatan. Pasien juga mendapat vitamin B6 sebagai profilaksis efek samping obat
antituberkulosis isoniazid yang dapat menyebabkan neuritis perifer.
Dari berbagai macam terapi yang didapat oleh pasien, terdapat beberapa DRP (Drug
Related Problem), yakni under dose, interaksi obat, dan efek samping obat. Under dose
terjadi pada terapi menggunakan meropenem. Dosis yang didapat pasien adalah 2 x 1 gram,
sedangkan pada literatur penggunaan meropenem tanpa gangguan ginjal adalah setiap 8 jam
(3 x sehari).
Interaksi obat pertama adalah antara combivent (antikolinergik) dengan codein
dimana efek toksik codein akan meningkat (potensial), resiko konstipasi, dan peningkatan
retensi urin. Selanjutnya adalah interaksi codein antituberkulosis dimana efek codein akan
berkurang. Ipatropium bromida dan norepineprin juga berpotensi mengalami interaksi dimana
agen simpatomietik bisa meningkatkan efeke toksik dari agen simpatomimetik lain.
Paracetamol dan isoniazid/rifampisin juga berpotensi menimbulkan interaksi, yakni efek
paracetamol akan meningkat karena penyerangan enzim CYP2E1. Interaksi lain adalah antara
rifampisin dan omeprazole dimana efek omeprazole bisa menurun dengan adanya rifampisin.
Monitoring yang intens dibutuhkan untuk mencegah terjadinya efek tidak diinginkan dari
interaksi obat tersebut, walaupun potensinya minor.

BAB V
KESIMPULAN
Ny. EE dengan diagnosis Pneumonia CAP + sepsis + hemaptoe + suspect TB-MDR
diketahui pasien masuk RS pada tanggal 9-10-2015 diruang HCU (high care unit) paru.
Kondisi pasien sampai tanggal 13-10-2015 sudah semakin membaik dan dipindahkan ke
ruang 23 infeksi untuk proses pemulihan.
1. Pasien mendapatkan regimen pengobatan sudah sesuai dengan guideline
2. DRP tidak mendapat jawaban dari dokter, namun tetap dilakukan monitoring.
3. Rekomendasi N-acetylsistein 2x 400 mg untuk terapi batuk berdahak pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Central Tuberculosis Division, Ministry of Health and Family Welfare. Revised National
Tuberculosis Control Programme DOTS-Plus Guidelines . New Delhi. 2010
Dipiro, Joseph T et all. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th edition, The
McGraw-Hill Companies. 2008
Faranita,T dkk, Gangguaan Koagulasi pada Sepsis Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober
2011
National Sepsis Steering Committee. Sepsis Management National Clinical Guideline No.
6. 2014
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003
Priyantoro K dkk. Gangguan fungsi Jantung pada Keadaan Sepsis Jurnal Kardiologi
Indonesia. Vol. 31,No. 3. September-Desember 2010
Rasmin, Menaldi. Editorial: HEMOPTISIS. Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran
Respirasi

FKUI-SMF

Paru

RSUP

Persahabatan.

jurnalrespirologi.org/jurnal/April09/HEMOPTISIS%20editorial.pdf
Syahrini, Henry. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
R.S.U.P Adam Malik Medan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2008

Anda mungkin juga menyukai