Disusun Oleh:
Septi Marta Sari, S.Farm
1408062161
1408062248
Lembar Pengesahan
Oleh :
MAHASISWA PROGRAM PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN ANGKATAN XXIX
BAB I
PENDAHULUAN
A. Epidemiologi Pneumonia CAP
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang
kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data
SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di Singapura,
nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa
penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas
akut termasuk pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika
adalah 12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama
akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat pneumonia di
Amerika adalah 10 %. Di Amerika dengan cara invasif pun penyebab pneumonia hanya
ditemukan 50%. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa
hari untuk mendapatkan hasilnya, sedangkan pneumonia dapat menyebabkan kematian
bila tidak segera diobati, maka pada pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotika
secara empiris. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit
infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di
Indonesia. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan sepuluh penyakit
terbanyak yang dirawat per tahun.
B. Epidemiologi Sepsis
Sepsis adalah penyebab utama kematian pada pasien yang menderita sakit berat dan
dirawat dirumah sakit, insiden sepsis pertahun di negara maju seperti Amerika Serikat
sekitar 132 per 100.000 jiwa dengan angka mortalitas mencapai 50%, dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi ini sepsis dan shock septik termasuk dalam
penyebab 10 kematian tertinggi di Amerika Serikat. Studi terbaru di Inggris menyatakan
sepsis berat merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien yang di rawat di ICU
dengan angka kematian (mortalitas) mencapai 46%, diikuti dengan peningkatan laju
insiden per tahun yang terus meningkat sebesar sebesar 1,5% dan prevalensi terbanyak
pada pasien usia lanjut, meskipun penelitian dalam terapi antibiotik terus berkembang
dan dengan pengobatan anatibiotik terbaru dinegara maju seperti Amerika Serikat sepsis
masih merupakan masalah kompleks yang belum dapat teratasi dengan baik dan
mengakibatkan kematian hingga mencapai 200,000 jiwa per tahun, angka ini hampir
menyamai angka kematian yang disebabkan oleh serangan jantung (infark myocard).
C. Epidemiologi Tuberkulosis Multiple Drug Resistant
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di
Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.
Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah
terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di
Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Di Indonesia berdasarkan
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada
sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada
SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,
sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian
pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke
subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA
positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat
dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap
tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada
setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia
untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PNEUMONIA CAP
1. Definisi
Community acquired pneumonia(CAP) adalah pneumonia infeksius pada seseorang
yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit baru-baru ini.
2. Etiologi
a. Bakteri
- tipik : gram positif maupun gram negatif, bakteriaerobmaupunanaerob
- atipik :mycoplasma,legionella, clamydia,virusinfluenzae,SARS
b. Jamur
c. Protozoa
Infeksi
akan
berkembang
mengakibatkan
terjadinya
denudasi
aminoglikosida intravena
bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik : sefalsporin anti pseudomonas
intravena atau karbapenem intravena ditambah aminoglikosida intravena,
ditambah makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi intravena.
B. SEPSIS
1. Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai keadaan klinis yang ditandai oleh sindrom respon
inflamasi sistemik (SIRS) disertai adanya bakteri pathogen (infeksi) yang ditemukan
melalui kultur atau pewarnaan gram dari spesimen tubuh seperti darah, sputum, feses,
urin dan spesimen tubuh lainnya atau ditemukan fokus infeksi seperti luka dengan pus
purulen atau adanya udara bebas pada rongga abdomen yang ditemukan pada saat
operasi yang berasal dari saluran pencernaan.
2. Etiologi
Sepsis
biasanya
disebabkan
oleh
infeksi
bakteri,
virus
atau
jamur.
Sistem antitrombin
Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi
pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada sepsis. Jumlah
antitrombin berkurang disebabkan karena antitrombin digunakan untuk
menghambat formasi trombin, didegradasi oleh elastase yang dilepaskan sel
neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal hati pada sepsis.
Sistem protein C
Variable Inflamasi
WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature
Peningkatan plasma C-reactive protein
5. Penatalaksanaan Terapi
Penatalaksanaan antibiotik empirik menurut Dipiro edisi ke tujuh
C. HEMAPTOE
1. Definisi
Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit
infeksi.Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam
jumlahminimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.
Batuk darahatau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran
napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah
laring.
2. Etiologi
Penyebab batuk darah sangat beragam antara lain :
emfisemabulosa
Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial, tumor metastasis
Kelainan
hematologi
:
disfungsi
trombosit,
trombositopenia,
aneurismaaorta
Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak
Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi swan-ganz,
limfangiografi
Kelainan sistemik : sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary hemosiderosis,
sistemik lupus erytematosus, vaskulitis (granulomatosis wagener, purpura
henochschoenlein, sindrom chrug-strauss)
Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain
Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura, benda asing,
hemoptisiskriptogenik, amiloidosis
3. Patofisiologi
4. Gejala Klinis
Tanda-tanda terjadi hemaptoe adalah :
a) Didahului batuk keras yang tidak tertahankan
b) Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam
saluran napas
c) Terasaasin / darah dan gatal di tenggorokan
d) Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari
kemudian warna menjadi lebih tua ataukehitaman
e) pH alkalis
D. SUSPECT TB-MDR
1. Definisi
TB- Multiple Drug resisten atau TB dengan resistensi ganda adalah keadaan
dimana basil M. Tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid, dengan atau
tanpa OAT lainnya. TB ini dapat berupa resitensi primer dan resistensi sekunder.
Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah
menjumpai OAT sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasienpasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi sekunder yaitu resistensi yang
didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat (Syahrini, 2008).
2. Etiologi
Ada beberapa hal penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis.
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang
atau dilingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter mendapat
obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
Fenomena addition syndrome yaitu satu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga menganggu bioavabilitas obat.
Koloni M. tuberculosis
MutasiAlamiah
Mutan resisten
2
1
Transmisisecaradoplet
Resisten 3aobat
TB
Infeksi HIV
sekunder (multipel)
Kontrolinfeksi yang tidakadekuat
Diagnostik yang terlambat
3b
4.
Resistensi obat TB
primer yang lebih
Gejala Klinis
banyak (multipel)
terbagi menjadi :
1. Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
Fase Inisial
Durasi
OAT
(bulan)
Fase lanjutan
Durasi
OAT
(bulan)
H+S
R+Z+E
R+E
H+E+S
R+Z+Amk+Pth,
R+Pth
diikutiR+Z+Pth
H+R+S
3-6
Z+E+Pth+Amk+Fqn
18
E+Pth+Fqn
H+R+E+S
3-6
Z+Pth+Amk+Fqn+Cyc
18
Pth+Fqn+Cyc
H+R+Z+E+S
3-6
Pth+Amk+Fqn+Cyc+Pas
18
Pth+Fqn+Cyc
Keterangan :
H = Isoniazid
Pth = protionamide/ethionamide
R = Rifampisin
Z = pirazinamid
Amk = amikasin
E = etambutol
Fqn = fluoroquinolon
S = streptomisin
Cyc = cycloserine
Pilihan terapi untuk resistensi obat yang diketahui. Jika diasumsikan banyak
obat (gagal pengobatan setelah terapi jangka pendek dan dengan pengawasan
langsung), terapi 3 bulan dengan aminoglikosida, prothionamide, pirazinamid, dan
fluoroquinolon diikuti dengan 18 bulan prothionamide dan fluoroquinolone.
(Kemper, et al; 2002)
BAB III
STUDI KASUS
A. DEMOGRAFI PASIEN
1. Data Pasien
Nama
: Ny. EE
Umur
: 44 tahun
ID Pasien
: 11084xxx
Status
: JKN
Alamat
: Malang
MRS
: 9 Oktober 2015
IRNA, Ruang
: HCU Paru
2. Keluhan Utama Pasien
Batuk darah
3. Riwayat Penyakit Saat ini
Batuk 1 mingu yang lalu, batuk darah gelas, 2 hari yang lalu batuk darah 1 gelas.
Pagi hingga malam ini 3 gelas, warna merah, keringat malam +, riwayat butuh darah +.
Sesak 1 minggu ini bila batuk kambuh, sesak bila beraktivitas, 2 hari ini tidur sambil
duduk. Nyeri dada bila batuk saja. Demam +, nafsu makan menurun, BB menurun dari
45-42 kg dalam 2 bulan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Tuberkulosis paru sejak 14-04-2015
5. Masalah Medis
a. Peumonia CAP
b. Sepsis
c. Hemaptoe
d. Mal Nutrisi
e. Susp TB MDR
6. Tindakan Operasi
Tidak ada
7. Alergi: Tidak ada
Nilai
Parameter
0
Suhu ( C)
Nadi (x/menit)
RR (x/menit)
Tek. Darah (mmHg)
Normal
10/10
36-37
80-85
20
36
102
26
120/80
130/80
13/1
0
36
80
28
90/6
2. Tanda Klinis
Parameter
Batuk Darah
Sesak
IRD 9/10
+
+
10/10
+
+
Tanggal
11/10
12/10
+
+
+
13/10
+
Lemah
Batuk Berdahak
456
456
456
456
456
GCS
-
Rhonki
Wheezing
+
+
-
+
+
-
+
+
-
C. HASIL LABORATORIUM
Parameter
Nilai Normal
Satuan
Tanggal
10/2
Hemoglobin
g/dL
5,0
+
-
Eritrosit (RBC)
(4,0 5,0) x 10
/L
7,23 x 10
/L
42 x 10
29,50
(4,7 11,3) x
Leukosit (WBC)
10
Hematokrit
38 42
Trombosit (PLT)
142 424 x 10
/L
361 x 10
Albumin
3,5 5,5
g/dL
3,68
AST/SGOT
0-32
U/L
27
ALT/SGPT
0-33
U/L
GD sewaktu
< 200
Mg/dL
112
Ureum
16,6-48,5
Mg/dL
16,50
Kreatinin
<1,2
Mg/dL
0,62
Natrium (Na)
136-145
Mmol/L
138
Kalium (K)
3,5-5,0
Mmol/L
3,78
Klorida (Cl)
110
Mmol/L
104
BGA
Suhu
37,0
Hb
10,5
pH
7,35-7,45
7,38
pCO2
35-45
33,1
pO2
156,1
156,1
HCO3
19,7
19,7
O2 Saturate
>95%
Base excess
(-3)-(+3)
99,3
-5,7
D. HASIL PEMERIKSAAN
Belum diketahui hasil dari pemeriksaan pada pasien.
E. PROFIL TERAPI
Obat
Rute
Dosis
RHCU
NaCl
IVFD
0,9%
10/2
11/2
12/2
13/2
Ceptriaxone
IV
2x1 gram
Stop
Stop
Stop
Levofloxacin
IV
1 x 750 mg
Meropenem
Asam Tranexamat
IV
IV
2 x 1 gram
3 x 500 mg
Norepinephrin
Omeprazole
IV
IV
4 mg/100NS
1x40 mg
Combivent
Nebul
3x/hari
Stop
Stop
Salbutamol)
Codein
PO
3x10 mg
PCT
PO
3x500 mg
PO
3x seminggu
(Ipatropium Bromida +
satu tablet
Komposisi:
150 mg
150 mg
Komposisi:
Rifampisin
Isoniazid
Etambutol
PO
400 mg
Vit B6
PO
1x10 mg
Adona
IV
3x25 mg
Stop
Stop
(Carbamazochrome)
1. Ceftriaxone
Indikasi
Literatur
Dewasa dan anak
Efek Samping
Eosinophilia (6%)
Monitoring
Hb,
RBC,
Suhu
Thrombocytosis
sehari.
(5%)
RR, Leukosit
Diare, mual, muntah
(3%).
Peningkatan
transaminase (3%)
Leukopenia (2%)
2. Levofloxacin
Indikasi
Efek Samping
Literatur
500 mg PO/IV Mual (7%)
Sakit kepala (6%)
sekali sehari untuk
Diare (5%)
7-14 hari atau 750 Insomnia (4%)
Konstipasi (3%)
mg PO/IV sekali
sehari untuk 5 hari
Monitoring
Suhu
tubuh,
frekuensi
kepala,
konatipasi/diare
3. Meropenem
Indikasi
bakterisidal
dengan
mempengaruhi/menghambat
Efek Samping
Monitoring
Literatur
1,5-6 g/hari terbagi Konstipasi,
diare, Reaksi
setiap 8 jam
mual, muntah
hipersensitifitas,
mual,
frekuensi
BAB,
Suhu
tubuh,
Leukosit,
TD, RR
4. Norepineprin
Indikasi
muntah,
Nadi,
Mekanisme Kerja : Bekerja pada reseptor beta 1 dan alpha adrenergik yang dapat
meningkatkan cardiac output dan nadi, menurunkan renal perfusion
dan PVR, dan menyebabkan peningkatan tekanan darah
Dosis
4
Pasien
Literatur
mg/jam/100 0,01 3 mcg/kg/
NS
menit
Efek Samping
Monitoring
tubuh,
RR,
Suhu
tekanan
darah
5. Omeprazole
Indikasi
Literatur
40 mg sekali sehari
Efek Samping
Sakit
kepala,
Monitoring
nyeri Nyeri
lambung,
: mengatasi sesak
Mekanisme Kerja : Bekerja sebagai bronkodilator yang merelaksasi otot pada saluran
pernapasan dan meningkatkan airflow dari paru-paru
Dosis
Pasien
3x/hari
Efek Samping
Monitoring
Literatur
3-4 kali sehari; ISPA, penyakit paru, RR,
frekuensi
untuk dewasa dan sakit
anak >12 tahun
kepala,
sesak sesak
napas, batuk
7. Paracetamol
Indikasi
: antipiretik
Efek Samping
Monitoring
Literatur
325 650 mg Kulit kemerahan, rash, Nilai
SGOT,
setiap 4-6 jam atau gangguan GI (mual, SGPT, suhu tubuh
1000 mg setiap 6-8 muntah,
diare),
jam
peningkatan
transaminase
8. Asam Tranexamat
Indikasi
Efek Samping
Monitoring
Literatur
1-2 ampul (5-10 Pemberian
secara Tekanan
darah,
mg)
sehari
IV cepat
dapat frekuensi
rasa pendarahan
gangguan
GI
9. Vit B6
Indikasi
Mekanisme Kerja : di dalam hati vit B6 dengan bantuan ko-faktor riboflavin dan
magnesium diubah menjadi zat aktifnya piridoksal-5-fosfat. Zat ini
berperan penting sebagai ko-enzim pada metabolisme protein dan
asam-asam amino, sintesis GABA, juga mempunyai peranan kecil
pada metabolisme karbohidrat dan lemak
Dosis
Pasien
1 x 10 mg
Literatur
10-50 mg
Efek Samping
Monitoring
perifer panas/terbakar
kaki,
di
kesemutan,
urin,
frekuensi BAB
10. Adona (Carbamazochrome)
Indikasi
: Agen Hemostatik
Dosis
Efek Samping
Pasien
Literatur
3 x 25 mg/NaCl 25 mg
Penurunan
0,9% 20 tpm
makan
Monitoring
nafsu Mual,
muntah,
gangguan
pencernaan,
frekuensi
pendarahan
(hemaptoe)
11. Codein
Indikasi
: Cough-supressant
Mekanisme Kerja : Kodein merangsang reseptor susunan saraf pusat (SSP) yang dapat
menyebabkan depresi pernafasan, vasodilatasi perifer, inhibisi gerak
perilistatik usus, stimulasi kremoreseptor dan penekanan reflek
batuk
Dosis
Pasien
3 x 10 mg
Efek Samping
Literatur
7,5-20 mg PO 4-6 Konstipasi,
Monitoring
Tekanan
darah,
frekuensi
frekuensi
mg/24 jam
atau batuk,
bradikardi
BAB
12. Rifampisin
Indikasi
: Antituberkulosis
Efek Samping
Monitoring
Pasien
Literatur
450 mg 3 x Untuk dosis DOT 3 Urin merah, mual, SGPT, SGOT, ual
seminggu
peningkatan
nilai transaminase
13. Isoniazid
Indikasi
: Antituberkulosis
Dosis
Efek Samping
Monitoring
Pasien
Literatur
450 mg (3 x 15 mg/kg maks: Peningkatan
nilai SGOT, SGPT, Rasa
seminggu)
900mg/dosis)
kali perminggu
perifer
kaki,
kesemutan,
: Antituberkulosis
Efek Samping
Monitoring
Pasien
Literatur
1200 mg 3x 25-30
mg/kg, Mengganggu sekresi Kadar asam urat,
perminggu
3x/minggu
15. NaCl
Indikasi
Mekanisme Kerja : Merupakan garam yang berperan penting dalam memelihara tekanan
osmosis darah dan jaringan
Dosis
Pasien
0,9 % 20 tpm
Literatur
0,9 %
Efek Samping
Monitoring
elektrolit
Pasien
TD=
Pasien
(Hari ke-1)
mengalami
130/80
pneumonia
batuk
S = 37
darah,
N = 102
TB-MDR.
Subjective
Objective
Assessment
Plan
diagnosa Monitoring:
CAP, -
Frekuensi
hemaptoe.
RR, Rh, Wh
Frekuensi batuk
Pasien
mendapat -
terapi:
demam
42.000/ul
SGPT SGOT
Hematocrit
- Inj Ceftriaxone 2 x 1 -
Penglihatan
: 29,50
gram
pasien
- Inj Levofloxacin 1 x -
WBC
750 gram
Potensi
sesak,
RR = 26
Suhu tubuh
Peningkatan
ESO
- Asam Tranexamat 3
Antituberkulosi
x 500 mg
- Combivent Nebul 3x
sehari
- Codein 3 x 10 mg
- Paracetamol 3 x 500
mg
- OAT Kat II FDC
{tab (Rifampisin 150
mg, Isoniazid 150 mg)
+ tab Etambutol 400
mg}
- Vit B6 1 x 10 mg
- Adona 3 x 25 mg
DRP:
Tidak
ditemukan
11-10-15
Batuk
DRP
TD: 80/50 Dx: sama dengan hari Monitoring sesuai
(Hari ke-2)
darah
mmHg
hari pertama.
berkurang,
Nadi: 88
Tx:
Monitoring
sesak
RR: 24
berkurang,
T : 360
pasien
mengalami
Pasien
mendapat
penurunan
terapi Norephineprin
tekanan
4 mg dalam 100 NS
darah
4 cc/jam
mmHg
Ceftriaxone
dihentikan
dan
diganti
dengan
meropenem
2x1
severe sepsis
Dx: Anemia
Transfusi PRC 2
labu/hari
obat
dan -
interaksi obat.
-
Frekuensi
tidak
suhu,
sesuai literatur
-
Pasien
Hb >10 gr/dl
Monitoring
reaksi hemolitik
pemberian
meropenem
Transfusi hingga
muntah), Hb
mengeluh
mual,
Menambahkan
omeprazole
distop
sebagai
terapi
tambahan untuk
menghindari
stress ulcer
-
Klarifikasi
dokter
ke
terkait
frekuensi
penggunaan
meropenem yang
seharusnya 3 kali
12-10-15
Sesak
sehari
TD: 90/60 Dx: sama dengan hari Monitoring
(Hari ke-3)
berkurang,
mmHg
ke 2
frekuensi sesak.
batuk
RR:
Tx:
Tekanan
darah
40x/menit -
darah
harus
di
berhenti,
Nadi:
Batuk
70x/menit -
Pasien
berdahak
monitoring
mendapat
tambahan
terapi
omeprazole
untuk
menghindari
stress
ulcer
-
Combivent
di
hentikan
penggunaannya
-
Adona
dihentikan
penggunaannya
Pasien
mendapat Monitoring
terapi transfusi PRC 1 pasien,
labu
Hb
reaksi
hipersensitif, syok
(TD, RR, Nadi),
suhu tubuh
Memberikan
DRP =
- Pasien
belum
mukolitik
mendapat
terapi
acetilsystein
untuk
batuk
untuk
memudahkan
berdahak
- DRP hari
belum
ke
dua
mendapat
tanggapan
- Batuk darah
pasien
penggunaan
pengeluaran
dahak
- Menghentikan
penggunaan
berhenti,
asam
tranexamat
sebaiknya
13-10-15
Keadaan
Nadi: 80
dihentikan
Dx: sama dengan hari
(Hari ke-4)
umum
RR: 28
ke 3
pasien
membaik.
90/60
N-
asam tranexamat
mmHg
Suhu; 360
Memberikan rejimen
OAT Kat II FDC 3
tab
2FDC
(Rifampisin 150 mg
+ isoniazid 150 mg)
+ tab etambutol 400
mg + vit B6 10 mg
Transfusi PRC 1 labu
Hb = 9,4
Monitoring hingga
Hb
pasien
>10
gr/dl,
reaksi
hipersensitif, syok
(TD, RR, Nadi),
Pasien
suhu tubuh
DRP= Pasien belum Rekomendasi
mengalami
batuk
batuk berdahak
berdahak.
mukolitik
mendapat tanggapan
Jenis DRP
DRP
Aktual
Underdose:
Meropenem
Penjelasan
Intervensi
Hasil
Frekuensi
pemberian
Leukosit, TD
mendapat
tanggapan terkait
meropenem
tanpa
peningkatan
gangguan
ginjal Meningkatkan
frekuensi
dosis
monitoring
tetap
Interaksi obat
Potensia
dilakukan.
Antikolinergik bisa Volume urin, frek Belum
muncul
Ipatropium
efek
toksik
toksisitas codein,
bromida
analgesik
samping
salbutamol ><
monitoring
codein
resiko
dilakukan.
dan
konstipasi sesak/RR
retensi
yang
tetap
urin
meningkat
dengan kombinasi
ini
Manag: monitoring
konstipasi
dan
Potensia
Frekuensi
Codein><
nyeri
Isonazid,
Isoniazid dan
tersebut
Rimfampisin
Rifampisin
merupakan
mengurangi efek
manifestasi klinis
terapeutik dari
TBC
kodein
pneumonia,
dan
monitoring
Interaksi obat
Potensia
tetap
dilakukan.
monitor Belum ada efek
Agen
Manag:
Ipatropium >< l
simpatomimetik
Norepineprin
bisa meningkatkan
monitoring
dilakukan.
tetap
simpatomimetik
Interaksi obat
Potensia
lain
Isoniazid
Paracetamol
peningkatan
dari
SGOT/SGPT,
>< Isoniazid
Manag:
Tidak
paracetamol terjadinya
monitoring
enzim
dilakukan.
hepatik (SGPT,SGOT)
terjadi
tetap
CYP2E1
Interaksi obat
Potensia
metabolisme.
meningkatkan efek Manag:
Paracetamol
dari
paracetamol tubuh,
Suhu Tidak
terjadi
SGPT, peningkatan
><
SGOT/SGPT,
Rifampisin
enzim
monitoring
hepatik
tetap
CYP2E1
dilakukan.
metabolisme.
Manag: monitoring
terjadinya
hepatotoksik
Interaksi obat
PCT
Potensia
>< l
Codein
Interaksi Obat
Potensia
(SGPT,SGOT)
Menurunkan
absorpsi
Monitoring
dari tubuh
normal,
paracetamol. minor
monitoring
IO:
dilakukan.
Tidak ada tanda
menurunkan Mual
tetap
Rifampisin >< l
konsentrasi
terjadinya
Omeprazole
omeprazole
interaksi
obat,
monitoring
tetap
dilakukan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Ny EE masuk rumah sakit dengan keluhan batuk darah. Pasien masuk di Rumah
Sakit Saiful Anwar pada tanggal 9 Oktober 2015 melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Pasien mengeluh batuk darah yang banyak sejak 1 minggu yang lalu, gelas. Dua hari
yang lalu 1 gelas, dan pada tanggal 9 oktober 2015, batuk darah 3 gelas.
Pasien sebelumnya telah di diagnosa menderita tuberkulosis paru dan telah
mengkonsumsi obat antituberkulosis sejak 14 April 2015. Ekspetorasi darah dapat terjadi
akibat infeksi tuberkulosis yang masih aktif. Susunan parenkim paruh dan pembuluh
darahnya dirusak oleh penyakit ini sehingga terjadi bronkietasi dengan hipervaskularisasi,
lebaran pembuluh darah bronkial, anastomosis pembuluh darah bronkialdan pulmoner.
Penyakit tuberkulosis juga dapat mengakibatkan timbulnya kaviti dan terjadi pneumonitis
tuberkulosis akut yang dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis pembuluh darah
disekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh darah tersebut mengakibatkan
ekspektorasi darah dalam dahak, ataupun hemoptisis masif.
Untuk mengatasi batuk darah tersebut, pasien menerima terapi asam tranexamat yang
dikombinasi dengan Adona (Carbamazochrome). Asam tranexamat merupakan agen
fibrinolitik dengan mekanisme mencegah degradasi dari benang fibrin, degenerasi platelet,
peningkatan fragilitas pembuluh darah dan merangsang faktor-faktor koagulasi, sedangkan
Adona bekerja dengan menurunkan permeabilitas plasma dan meningkatkan resistensinya.
Kombinasi keduanya adalah kombinasi yang sinergis terkait mekanisme kerja. Selain itu,
pasien mendapat terapi codein yang berfungsi sebagai cough-supressant sehingga
mengurangi pemicu terjadinya pendarahan.
Pasien juga didiagnosa dokter mengalami pneumonia CAP dan sepsis yang ditandai
oleh peningkatan leukosit yang mencapai 42.400/ul, demam, nyeri dada bila batuk, dan
pemeriksaan rhonki. Pneumonia yang dialami pasien berasal dari faktor resiko, yaitu
tuberkulosis yang kemudian berembang menjadi sepsis. Gejala klinis berupa demam
diberikan parasetamol tablet dengan dosis 3x500 mg. Terapi selanjutnya yaitu menghilangkan
penyebab pneumonia dengan memberikan antibiotik. Pada awal masuk rumah sakit, 10
Oktober, pasien diterapi antibiotik Ceftriaxone dan Levofloxacin. Kombinasi antibiotik
tersebut merupakan terapi empiris untuk pasien pneumonia yang dirawat di ruang intensif
sesuai dengan Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Dokter Paru Indonesia. Pada tanggal
11 Oktober, penggunaan ceftriaxone dihentikan dan diganti dengan meropenem. Hal tersebut
berdasarkan pertimbangan kondisi pasien yang mengalami sepsis berat. Selain terapi tersebut,
pasien diterapi dengan Combivent yang merupakan bronkodilator, untuk mengatasi sesak
yang dialami pasien.
Pada tanggal 11 Oktober 2015 pasien mengalami syok sepsis yang ditandai dengan
penurunan tekanan darah secara tiba-tiba mencapai 80/50 mmHg. Syok sepsis terjadi karena
aktivasi berbagai mediator kimiawi akibat infeksi bakteri, dimana terjadi ketidakmampuan sel
untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Obat-obat vasopresor diperlukan untuk
penanganan pada kasus syok sepsis. Target tekanan arterial rerata 65 mmHg telah
ditunjukkan secara fisiologis equivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Vasopressor yang
digunakan untuk Ny EE adalah norepineprin, karena norepineprin dapat meningkatkan
tekanan darah tanpa perubahan cardiac arrest yang besar, dibandingkan dengan obat lain
yang mekanismenya sama. Vasopresor lain seperti dobutamin dan dopamin, selain
meningkatkan tekanan darah, aktivitasnya terhadap reseptor 1 sangat tinggi sehingga dapat
memperkuat kontraktilitas miokardium dan meningkatkan kecepatan kontraksinya. Akibatnya
kebutuhan oksigen dalam miokardium meningkat. Kondisi ini tidak cocok untuk pasien
karena pasien sudah merasa sesak dan fungsi miokardiumnya masih stabil. Sedangkan
epineprin, efek nya pada reseptor 1, 2, 1, 2 juga sangat tinggi sehingga efek sampingnya
lebih banyak.
Pada tanggal 11 Oktober malam, pasien didiagnosa mengalami anemia dengan nilai
Hb 5,0 mg/dl. Tanggal 12 Oktober, pasien kemudian diberi transfusi PRC dengan target Hb
>10 mg/dl. Tetapi, pada tanggal 13 Oktober, Hb pasien belum mencapai target sehingga
masih ditransfusi PRC. Anemia yang dialami pasien adalah disebabkan oleh batuk darah yang
dialaminya sejak seminggu lalu.
Pasien tetap mendapat terapi lanjutan antituberkulosis kategori II FDC 3 x seminggu
(rifampisin, isoniazid dan etambutol) sambil menunggu hasil pemeriksaan apakah pasien
mengalami TB-MDR atau tidak. Pada bulan Oktober ini, pasien telah memasuki bulan ke-7
pengobatan. Pasien juga mendapat vitamin B6 sebagai profilaksis efek samping obat
antituberkulosis isoniazid yang dapat menyebabkan neuritis perifer.
Dari berbagai macam terapi yang didapat oleh pasien, terdapat beberapa DRP (Drug
Related Problem), yakni under dose, interaksi obat, dan efek samping obat. Under dose
terjadi pada terapi menggunakan meropenem. Dosis yang didapat pasien adalah 2 x 1 gram,
sedangkan pada literatur penggunaan meropenem tanpa gangguan ginjal adalah setiap 8 jam
(3 x sehari).
Interaksi obat pertama adalah antara combivent (antikolinergik) dengan codein
dimana efek toksik codein akan meningkat (potensial), resiko konstipasi, dan peningkatan
retensi urin. Selanjutnya adalah interaksi codein antituberkulosis dimana efek codein akan
berkurang. Ipatropium bromida dan norepineprin juga berpotensi mengalami interaksi dimana
agen simpatomietik bisa meningkatkan efeke toksik dari agen simpatomimetik lain.
Paracetamol dan isoniazid/rifampisin juga berpotensi menimbulkan interaksi, yakni efek
paracetamol akan meningkat karena penyerangan enzim CYP2E1. Interaksi lain adalah antara
rifampisin dan omeprazole dimana efek omeprazole bisa menurun dengan adanya rifampisin.
Monitoring yang intens dibutuhkan untuk mencegah terjadinya efek tidak diinginkan dari
interaksi obat tersebut, walaupun potensinya minor.
BAB V
KESIMPULAN
Ny. EE dengan diagnosis Pneumonia CAP + sepsis + hemaptoe + suspect TB-MDR
diketahui pasien masuk RS pada tanggal 9-10-2015 diruang HCU (high care unit) paru.
Kondisi pasien sampai tanggal 13-10-2015 sudah semakin membaik dan dipindahkan ke
ruang 23 infeksi untuk proses pemulihan.
1. Pasien mendapatkan regimen pengobatan sudah sesuai dengan guideline
2. DRP tidak mendapat jawaban dari dokter, namun tetap dilakukan monitoring.
3. Rekomendasi N-acetylsistein 2x 400 mg untuk terapi batuk berdahak pada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Central Tuberculosis Division, Ministry of Health and Family Welfare. Revised National
Tuberculosis Control Programme DOTS-Plus Guidelines . New Delhi. 2010
Dipiro, Joseph T et all. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 7th edition, The
McGraw-Hill Companies. 2008
Faranita,T dkk, Gangguaan Koagulasi pada Sepsis Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober
2011
National Sepsis Steering Committee. Sepsis Management National Clinical Guideline No.
6. 2014
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2003
Priyantoro K dkk. Gangguan fungsi Jantung pada Keadaan Sepsis Jurnal Kardiologi
Indonesia. Vol. 31,No. 3. September-Desember 2010
Rasmin, Menaldi. Editorial: HEMOPTISIS. Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran
Respirasi
FKUI-SMF
Paru
RSUP
Persahabatan.
jurnalrespirologi.org/jurnal/April09/HEMOPTISIS%20editorial.pdf
Syahrini, Henry. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departemen Ilmu Penyakit Dalam
R.S.U.P Adam Malik Medan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
2008