Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIS


1.
Pengertian
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit
heterogen yang mengenai laring, infra/ subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik
sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi,
dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas (IDAI, 2008).
Sindrom croup adalah berbagai penyakit respiratorik yang ditandai dengan
gejala akibat obstruksi laring yang bervariasi dari ringan sampai berat berupa stridor
inspirasi, batuk menggonggong, suara parau, sampai gejala distres pernapasan (Oma
dkk, 2005).
Croup (laringotrakeitis) adalah suatu kondisi yang menyebabkan peradangan
pada saluran napas atas yaitu laring, trakea. Hal ini sering menyebabkan batuk
menggonggong atau suara serak, terutama ketika anak menangis (Roosevelt, 2007).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sindrom croup adalah suatu kondisi di mana
terdapat berbagai macam penyakit respiratorik yang mengenai laring hingga bronkus,
dengan karakteristik batuk menggonggong, suara serak, dan stridor inspirasi.
2.

Anatomi dan Fisiologi

a.

Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas 2 bagian yaitu sebelah luar disebut vestibulum dan di
dalam disebut fossa nasalis. Pada vestibulum terdapat nares, dan vibrissae. Fossa

nasalis, terdapat penonjolan tulang yang disebut concha. Concha dapat dibedakan
menjadi concha superior, medial, dan inferior. Concha superior terdapat reseptor
pembau (olfaktorius). Hidung merupakan tempat masuknya udara atmosfer dari luar
ke saluran pernafasan. Di dalam rongga hidung terdapat rambut dan selaput lendir.
Rongga hidung berfungsi sebagai:
1) Penghantar udara pernafasan (respirasi) dan seklaigus sebagai penyaring kotoran
yang terikut dalam udara pernafasan.
2) Menyesuaikan udara atmosfir agar temperatur dan kelembabannya sesuai bagi
tubuh hewan.
3) Menjaga kebersihan dan kelancaran udara yang masuk karena lapisan mukosa
saluran respirasi selalu basah dan bersilia yang berguna untuk menangkap
(menjerat) dan mengeluarkan partikel kotoran yang masuk bersama udara
pernafasan.
Setelah melewati hidung selanjutnya udara masuk ke pharynx.
b. Nasopharynx
Nasopharynx merupakan bagian yang menghubungkan antara rongga hidung dengan
bagian pertama pharynx, ke bawah berlanjut ke bawah bagian oropharynx yaitu
persimpangan antara rongga mulut ke kerongkongan dengan rongga hidung. Pharynx
merupakan sekumpulan tulang rawan. Tulang rawan (cartilago) pada pharynx antara
lain: larynx yang padanya terdapat pita suara yang akan bergetar bila ada udara yang
melaluinya, misalnya pada waktu kita bicara. Pharynx memiliki lubang yang disebut
glotis sedangkan penutupnya disebut epiglottis (anak tekak) yang berfungsi menutup
apabila sedang menelan makanan. Udara setelah melewati pharynx selanjutnya
menuju ke trakhea.
c. Larynx
Larynx merupakan tabung ireguler, yang menghubungkan pahrynx dengan trakhea.
Tedapat pita suara.
d. Trachea
Trachea (batang tenggorok) merupakan tabung dari cincin tulang rawan, terletak di
daerah leher, yang menghubungkan phaynx dengan bronkus. Posisinya bersebelahan
dengan kerongkongan, tepatnya di depan kerongkongan. Dinding dalamnya (mukosa)
dilapisi lendir yang sel-selnya berambut getar.

1) Tunica mucosa tersusun atas sel thoraks (epithelium pseudocomplex columnair)


bersilia dengan sel piala (sel goblet). Lamina propria tersusun atas jaringan ikat
longgar dengan serabut elastis.
2) Tunica sub-mucosa tersusun atas jaringan ikat longgar dengan membrana elastica
sebagai batas dengan lamina propria glandula sero-mucosa.
3) Tunica cartilaginea tersusun atas kartilago hyalin berbetuk seperti tapal kuda
(huruf C), jaringan ikat antara kedua ujung kartilago mengandung sel-sel otot
polos juga glandula sero-mucosa.
4) Tunica adventitia tersusun atas jaringan pengikat longgar dengan pembuluh darah
lymfe dan saraf.
e. Bronkus
Trakea bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan kanan yang
keduanya masuk ke dalam paru-paru. Bronkus bercabang-cabang lagi menjadi
bronkeolus.
f. Bronkeolus
Bronkeolus di dalam paru-paru membentuk cabang-cabang lebih kecil yang
bronkeolus terminalis, kemudian bronkeolus respiratorius, dan selanjutnya berujung
pada kantung alveoli. Pada lamina propria terdapat otot polos yang diatur oleh nervus
vagus yang bekerja sebagai saraf parasimpatis artinya menyebabkan konstriksi
(penyempitan lumen bronkeolus). Gangguan yang ditimbulkan disebut asma
bronkeale.
g. Kantung Alveoli (saccus alveolus)
Alveolus merupakan evaginasi (perluasan ke luar) yang membentuk kantung dari
bronkeolus respiratorius, duktus alveoli dan saluran alveolaris. Sel alveoli paru-paru
sangat tipis tebalnya (0,2-0,5m) dan tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk
kantung-kantung alveoli. Seluruh sel alveoli paru-paru jika direntang lebarnya
mencapai 70-80m2. Peran penting alveoli adalah untuk pertukaran gas O2 dari
atmosfer ke kapiler alveoli atau sebaliknya gas CO 2 dari kapiler ke ruang alveoli.
Antara kantung alveoli satu dengan lainnya membentuk dinding (sekat) interalveoler
yang tersusun atas 2 lapisan yaitu: epitel gepeng selapis dan jaringan pengikat.
Interalveoler tersusun atas: 3 jenis sel yaitu: sel endotel kapiler, sel epitel gepeng
alveoli, dan membrana basalis. sel alveolus besar. Sel septal (sel alveoler tipe II)
merupakan sel penghasil cairan yang disebut surfaktan. Surfaktan tersusun atas
dipalmitoil lecithin (phospolipoprotein). Surfaktan berfungsi untuk menjaga tegangan

permukaan alveoli sehingga dinding alveoli tetap tipis. Dengan demikian, fungsi
utama surfaktan adalah mempertipis membran respirasi sehingga difusi gas
pernafasan dapat menjadi lebih efisien.
h. Membran respirasi
Pertukaran gas dari kantung alveoli ke dalam kapiler darah melalui membran respirasi
yang tersusun atas:
1) Sel epitel alveoli
2) Membrana basalis
3) Sel endothel kapiler alveoli.
i. Pembuluh darah paru
Pembuluh darah paru dapat dibedakan menjadi pembuluh darah pemberi nutrisi dan
fungsional. Sirkulasi fungsional terdiri dari: a. pulmonalis, dan v. pulmonalis yang
bercabang menjadi kapiler mengitari kantung alveoli. Pembuluh darah pemberi nutrisi
arteri dan vena bronkealis. Pembuluh limfe mengikuti arteri dan vena bronkealis dan
3.

pulmonalis. Fungsi mengalirkan cairan limfe ke nodus limfatikus.


Etiologi
Virus penyebab infeksi akut sindrom croup menyebar melalui inhalasi langsung
dari batuk atau bersin, kontaminasi tangan yang menyentuh muntah, mukosa hidung
ataupun mulut penderita. Virus penyebab paling umum adalah virus parainfluenza.
Tempat masuk utama virus ini adalah hidung dan nasofaring. Infeksi menyebar dan
melibatkan laring dan trakea.
Penyebab infeksi croup lainnya adalah sebagai berikut:

4.

a. Adenovirus
b. Respiratory syncytial virus
c. Enterrovirus
d. Coronavirus
e. Rhinovirus
f. Influenza A dan B
Klasifikasi
a. Klasifikasi secara Umum
Secara umum Croup Sindrom diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu:
1) Viral Croup (laringotrakeobronhotis)
Ditandai dengan gejala-gejala prodromal infeksi pernafasan: gejala obstruksi
saluran pernafasan berlangsung selama 3-5 hari. Usia 6 tahun. Stridor (+),
Batuk (sepanjang waktu), Demam (+) yang tinggi, durasi 2-7 hari, Keluarga
sejarah (+), kecenderungan oleh asma (-).
2) Spasmodic Croup

Spasmodic croup, batuk hebat, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal,
anak tiba-tiba bisa mendapatkan obstruksi saluran pernapasan, biasanya pada
malam hari sebelum menjelang tidur, serangan terjadi sebentar kemudian kembali
normal.
b. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Kegawatan
Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat
keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori:
1) Ringan
Ditandai dengan batuk menggonggong keras yang kadang-kadang muncul, Stridor
yang tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada
kegiatan dan teradapat retraksi dada ringan.
2) Moderat/Sedang
Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, Stridor lebih bisa
mendengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas, retraksi dinding dada
yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan yaitu gawat napas
(repiratory distress).
3) Berat
Ditandai dengan sering batuk menggonggong yang sering timbul, Inspirasi stridor
lebih bisa mendengar saat aktivitas pasien atau kurang istirahat, akan tetapi, lebih
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan
stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga terdapat gangguan pernapasan.
4) Gagal napas mengancam
Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif (kadang sangat jelas ketika pasien
5.

beristirahat), terdapat sedikit gangguan kesadaran (letargi), dan kelesuan.


Patofisiologi
Infeksi virus menyebabkan radang dan edema laring serta trakea subglotis,
terutama daerah didekat kartilago krikoid. Secara histologi lokasi yang terinfeksi
menampilkan gambaran bengkak dengan infiltrasi sel yang terletak di lamina propria,
submukosa, dan adventisia. Infiltrasi tersebut mengandung limfosit, histiosit, sel plasma,
dan neutrofil. Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi
langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar terjadi
partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di laryngotrakeitis,
laryngotrakeobronkitis dan laryngotrakeobronkopneumonia biasanya dimulai dari

nasofaring atau oropharynx yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 2-8
hari.
Virus tersebut akan mengaktifkan sekresi klorida dan menghambat penyerapan
natrium di epitel trakea sehingga akan terjadi edema saluran nafas. Pembengkakan yang
terjadi secara signifikan akan mengurangi diameter saluran nafas, sehingga membatasi
aliran udara. Hasil penyempitan inilah yang akan bermanifestasi sebagai batuk
mengonggong, stridor, dan retraksi dinding dada. Selain itu akan teradi kerusakan endotel
dan hilang fungsi silia sehingga terkumpul eksudat yang akan menyumbat trakea.
Timbulnya suara serak karena adanya edema pita suara. Difusi peradangan yang
menyebabkan eritema dan edema dinding mukosa dari saluran pernapasan. Laring adalah
bagian tersempit saluran pernafasan atas, yang membuatnya sangat suspectible untuk
terjadinya obstruksi.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm akan
menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan 75% pada
bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan mobilitas pita suara.
Edema pada daerah subglottis juga dapat menyebabkan gejala sesak napas.
Jalan napas karena turbulensi udara menyebabkan peradangan yang menyebabkan
penyempitan, stridor diikuti retraksi dinding dada dapat terjadi (selama inspirasi). Di
daerah Laryngotrakeitis edematous akut, ada histologis mengandung infiltrat selular di
lamina propria, submukosa dan adventisia. Infiltrat ini berisi histiosit, limfosit, sel
plasma, dan neutrofil. Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak
teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas.
6.

Tanda dan Gejala


Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspiratoir. Bila terjadi obstruksi stridor menjadi makin berat, tetapi dalam kondisi yang
sudah payah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi gejala obstruksi
saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara serak dan batuk
menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai
7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan

takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks
dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal, epigastrial.
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang berat
dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi setelah 714 hari. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di
tempat tidur atau digendong.
Sistem Skoring Croup telah dikembangkan untuk membantu dokter dalam menilai
tingkat gangguan pernapasan. Salah satu croup keparahan skor penilaian yang paling
sering dikutip adalah skor Westley. Meskipun banyak digunakan untuk tujuan penelitian
dan evaluasi protokol pengobatan, keuntungan klinisnya belum diteliti secara luas. Skor
Westley mengevaluasi keparahan croup dengan menilai 5 faktor berikut, dengan rentang
skor 0 sampai 17:
a.

b.

c.

d.

e.

Stridor inspirasi :
Tidak ada
0 poin
Setelah agitasi
1 poin
Pada saat istirahat
2 poin
Retraksi :
Tidak ada
0 poin
Ringan
1 poin
Sedang
2 poin
Berat
3 poin
Masuknya udara
Normal
0 poin
Penurunan ringan
1 poin
Penurunan dengan gejala 2 poin
Sianosis
Tidak ada
0 poin
Setelah agitasi
4 poin
Pada saat istirahat
5 poin
Tingkat kesadaran
Normal, termasuk tidur 0 poin
Menurun
5 poin
Menurut skor Westley, skor kurang dari 3 merupakan penyakit croup ringan; skor
3-6 merupakan penyakit croup sedang; dan skor lebih besar dari 6 merupakan penyakit
croup berat. Penyakit croup ringan terdiri dari sesekali batuk menggonggong, tidak ada
stridor saat istirahat, retraksi suprasternal dan atau subkostal ringan atau tidak ada sama
sekali. Penyakit croup ringan termasuk sering batuk, stridor terdengar saat istirahat, dan

retraksi terlihat, tetapi sedikit kesusahan atau agitasi. Penyakit croup berat terdiri dari
sering batuk, stridor menonjol saat inspirasi dan kadang-kadang ekspirasi, retraksi
mencolok, penurunan masuknya udara pada saat auskultasi, dan kesusahan yang tampak
sekali disertai agitasi. Adanya kelesuan, sianosis, menurunnya frekuensi nafas merupakan
tanda akan terjadinya gagal nafas.
Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan spasmodic croup
(spasmodic cough) dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel perbandingan antara Viral croup dan Spasmodic croup

7.

Karakteristik
Viral Croup
Spasmodic Croup
Usia
6 bulan 6 tahun
6 bulan 6 tahun
Gejala prodromal
Ada
Tidak jelas
Stridor
Ada
Ada
Batuk
Sepanjang waktu
Terutama malam hari
Demam
Ada (tinggi)
Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit
2-7 hari
2-4 jam
Riwayat keluarga
Tidak ada
Ada
Predisposisi asma
Tidak ada
Ada
Komplikasi
Sebagian besar anak-anak sembuh dari croup tanpa komplikasi. Jarang penyakit
croup memancing infeksi sekunder (infeksi bakteri) pada saluran nafas atas atau
pneumonia. Munculnya dehidrasi lebih disebabkan oleh asupan cairan yang tidak
memadai saat anak sakit. Anak-anak yang lahir prematur atau yang memiliki riwayat
penyakit paru-paru (seperti asma) atau penyakit neuromuskuler (seperti cerebral palsy)
lebih mungkin untuk berkembang menjadi gejala croup yang lebih berat dan sering
memerlukan rawat inap. Namun, croup disease jarang menyebabkan komplikasi jangka
panjang.
Komplikasi yang dapat timbul adalah perlunya pemasangan intubasi pada
sejumlah kecil pasien (<1%). Bacterial tracheitis dapat memperburuk keadaan pasien
croup. Henti kardiopulmoner dapat timbul pada pasien yang tidak dimonitor dan tidak
diterapi secara adekuat. Pada keadaan hipoksia dan hiperkapnea dapat terjadi gagal napas
atau bahkan juga terjadi henti napas. Timbulnya pneumonia yang merupakan komplikasi
dari croup yang jarang terjadi (Alberta Medical Association, 2008).

8.

Tes Diagnostik
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak
perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis,

gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3
yang didominasi PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan diagnosis croup
sindrom ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan CT-Scan.
Gambaran radiologi berupa penyempitan dari subglotis (seperti menara / steeple
sign) pada foto anterior-posterior (AP), densitas jaringan lunak yang ireguler pada trakea
foto lateral, serta peumonia bilateral. Tanda menara terlihat pada radiografi
anteroposterior jaringan lunak leher. Konvektivitas lateral normal trakea subglottic
hilang, dan penyempitan lumen subglottic menghasilkan konfigurasi V terbalik di daerah
ini. Titik dari V terbalik pada tingkat margin inferior pita suara yang benar. Penyempitan
dari lumen subglottic mengubah tampilan radiografi dari kolom udara trakea, yang
menyerupai atap bernada tajam atau menara gereja. Mukosa pada tingkat ini memiliki
lampiran longgar. Tanda menara dihasilkan oleh adanya edema pada trakea, yang
menghasilkan elevasi mukosa trakea dan hilangnya memikul normal (Convexities lateral)
dari kolom udara.
Pada pemeriksaan radiologis leher posisi posterior-anterior ditemukan gambaran
udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna
subglotis. Akan tetapi, gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50% kasus
saja. Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai diagnosis
bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak (intensitas rendah) saluran napas atas dapat
dijumpai sebagai berikut:
a. Pada trakeitis bakterial, tampak gambaran membran trakea yang compang-camping.
b. Pada epiglotitis, tampak gambaran epiglotitis yang menebal.
c. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.
Pada pemeriksaan CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi
pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di
bawah 6 bulan atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan
9.

bila pada gambaran radiologis dicurigai adanya massa2.


Penatalaksanaan Medis
a. Terapi Suportif
Oleh karena gejala croup sering timbul pada malam hari, banyak orang tua yang
merasa khawatir dengan penyakit ini, sehingga meningkatkan kunjungan ke unit
gawat darurat. Sehingga penting untuk memberikan edukasi kepada orang tua tentang
penyakit yang secara alami dapat sembuh sendiri ini.

1) Melembabkan Udara (Penguapan)


Pada abad ke-20 terapi dengan melembabkan udara (terapi uap) merupakan dasar
dari manajemen croup, tetapi sekarang ini efektivitasnya masih dipertanyakan.
Rumah sakit saat ini menggunakan peralatan penguapan untuk tujuan ini. Cara
yang sederhana termasuk memaparkan anak pada udara malam yang basah, atau
memaparkan anak pada uap air yang panas.
2) Oksigen
Tatalaksana pemberian oksigen dapat dipakai untuk anak dengan hipoksia.
3) Gabungan Oksigen-Helium
Pemberian gas Helium pada anak dengan croup diusulkan karena potensinya
sebagai gas dengan densitas rendah (dibanding nitrogen) dalam menurunkan
turbulensi udara pada penyempitan saluran pernapasan (Alberta Medical
Association, 2008).
b. Farmakoterapi
1) Analgesik/Antipiretik
Walaupun belum ada penelitian khusus tentang manfaat analgesik atau antipiretik
pada anak dengan croup, sangat beralasan memberikan obat ini karena membuat
anak lebih nyaman dengan menurunkan demam dan nyeri.
2) Antitusif dan Dekongestan
Tidak ada penelitian yang bersifat eksperimental yang potensial dalam
menunjukkan keuntungan pemberian antitusif atau dekongestan pada anak dengan
croup. Lagipula, tidak ada dasar yang rasional dalam penggunaannya, dan karena
itu tidak diberikan pada anak yang menderita croup.
3) Antibiotik
Tidak ada penelitian yang potensial tentang manfaat antibiotik pada anak dengan
croup. Croup sebenarnya selalu berhubungan dengan infeksi virus, sehingga
secara empiris terapi antibiotik tidak rasional. Lagipula, jika terjadi super infeksi
paling sering bacterial tracheitis dan pneumonia- merupakan kejadian yang
jarang (kurang dari 1:1.000) sehingga pemakaian antibiotik untuk profilaksis juga
tidak rasional.
4) Epinephrine
Berdasarkan data terdahulu, penggunaan epinephrine pada anak dengan croup
berat, dapat mengurangi kebutuhan alat bantu pernapasan. Epinephrine dapat
mengurangi distres pernapasan dalam waktu 10 menit dan bertahan dalam waktu
2 jam setelah penggunaan. Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif

menyarankan pasien yang mendapat terapi epinephrine dapat dipulangkan selama


gejalanya tidak timbul kembali setidaknya dalam 2-3 jam setelah terapi.
Anak yang hampir mengalami gagal napas, dapat diberikan epinephrine secara
berulang. Pemberian epinephrine yang kontinyu dilaporkan telah digunakan
dibeberapa unit perawatan intensif anak.
5) Glucocorticoids
Steroid adalah terapi utama pada croup. Beberapa penelitian menunjukkan
penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan jumlah dan durasi pemakaian
intubasi, reintubasi, angka dan durasi dirawat di rumah sakit, dan angka
kunjungan berulang ke pelayanan kesehatan, serta menurunkan durasi gejala pada
anak yang menderita gejala derajat ringan, sedang dan berat (Alberta Medical
Association, 2008). Dexamethasone sama efektifnya jika diberikan per oral atau
parenteral. Dexamethasone dosis 0,6 mg/kg BB merupakan dosis yang umumnya
digunakan. Pemberiannya dapat diulang dalam 6 sampai 24 jam. Terdapat
beberapa bukti juga yang mengatakan dexamethasone dosis rendah 0,15 mg/kg
BB juga sama efektifnya. Di sisi lain, penelitian meta-analisis dengan kontrol,
yang memberikan kortikosteroid dosis lebih tinggi, memberikan respon klinis
yang baik pada sebagian besar pasien
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Alloanamnesis dari orang tua/ pengasuh anak, biasanya mengeluhkan gangguan
pernapasan seperti sesak napas.
b. Pemeriksaan Fisik
Kunci utama fokus pemeriksaan yaitu:
1) Terdengarnya suara batuk seperti anjing laut
2) Suara sering kali parau
3) Variasi derajat dari stridor, terutama saat inspirasi
4) Variasi derajat retraksi dinding dada
5) Anak sering menjadi gelisah (agitasi)
6) Tidak adanya air liur
7) Gambaran non-toksik
Temuan lain yang diperoleh dari pemeriksaan fisik berupa:
1) Demam (sampai 400C)
2) Takikardia (dengan gejala obstruksi yang lebih berat)
3) Takipnea yang sedang (biasanya <>
4) Jika daerah supraglotis dapat dilihat, tampak gambaran yang normal
c. Riwayat Kesehatan

1) Riwayat penyakit sekarang


2) Riwayat penyakit dahulu
3) Riwayat penyakit keluarga
4) Riwayat kehamilan ibu
5) Riwayat persalinan
6) Riwayat imunisasi
7) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
8) Riwayat lingkungan dan perumahan
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial, saluran
b.
c.
d.
e.
f.

pernapasan
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi oksigen.
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan sesak napas, penurunan inspirasi.
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi-inflamasi.
Kecemasan berhubungan dengan proses penyakit.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pajanan informasi.

3. Intervensi
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi bronchial, saluran

1)
2)
3)
4)
5)
6)

pernapasan.
Tujuan: Dalam perawatan 3 x 24 jam jalan napas bersih dan efektif.
Kriteria evaluasi:
Bunyi napas bersih, tidak ada bunyi napas tambahan.
Tanda vital dalam batas normal terutama frekuensi napas < 60x/menit.
Batuk efektif.
Sianosis tidak ada.
Tidak ada retraksi sternum dan intercostal space.
Nafas cuping hidung tidak ada.
Intervensi
Rasional
1) Kaji frekuensi, kedalaman
1) Takipnea,
pernapasan dan pergerakan
dada.
2) Auskultasi area paru, catat
penurunan atau tak ada aliran
udara dan bunyi napas.
3) Penghisapan sesuai indikasi.

pernafasan

dangkal

sering

terjadi karena ketidaknyamanan.


2) Penurunan aliran darah terjadi pada area
konsolidasi
terdengar

dengan
sebagai

cairan,
respon

krakels
terhadap

pengumpulan cairan/secret.
3) Merangsang batuk atau pembersihan
jalan nafas secara mekanik pada pasien
yang tidak mampu melakukan batuk

4) Evaluasi status mental, catat

efektif karena adanya penurunan tingkat


kesadaran.

adanya

kebingungan,

disorientasi.
5) Kolaborasi dalam pemberian
obat mukolitik, bronkodilator

4) Menurunnya

perfusi

otak

dapat

menyebabkan perubahan sensorium


5) Obat

mukolitik

mengencerkan

membantu

sekret,

untuk

bronkodilator

mengurangi edema dan sebagai vaso


b.
1)
2)
3)

dilatasi bronkus
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan transportasi O2.
Tujuan: Dalam perawatan 3 x 24 jam pertukaran gas efektif.
Kriteria evaluasi:
Hasil AGD dalam batas normal. .
Sianosis tidak ada.
Pasien tidak pucat.
Rasional
Intervensi
1) Kaji frekuensi dan kedalaman 1) Kecepatan dan upaya mungkin meningkat
pernapasan.
upaya

Catat

adanya

karena nyeri, penurunan volume sirkulasi.

pernapasan

seperti

Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi

dispnea,

penggunaan

bantu pernapasan
2) Pertahankan
oksigen

Head

otot

pemberian
box

indikasi.
3) Kolaborasi

sesuai

abnormal dapat mencegah komplikasi.


2) Meningkatkan pengiriman oksigen ke otak
untuk kebutuhan sirkulasi.
3) Untuk

dalam

pemeriksaan

laboratorium

memantau

pernapasan

dan

kefektifan
mencatat

terapi

terjadinya

komplikasi.

(AGD ).
d. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan sesak napas, penurunan inspirasi..
Tujuan : Dalam perawatan 3 x 24 jam, perfusi jaringan tidak terganggu.
Kriteria hasil:
1) Suara nafas bersih, wheezing tidak ada, ronkhi tidak ada.
2) Tanda vital dalam batas normal, denyut nadi teraba jelas.
3) Tidak sianosis, kulit tidak pucat, CRT<3 detik.
4) Akral hangat.
5) Tidak terjadi penurunan kesadaran.
Intervensi
1) Kaji frekuensi,

kedalaman

bernapas dan suara nafas.


2) Tempatkan

pasien

dalam

Rasional
1) Takipnea, pernapasan yang dangkal sering
terjadi karena ketidaknyamanan gerakan
dinding dada dan atau cairan paru.

incubator.

2) Mempertahankan
mencegah

3) Pantau tanda vital


.
4) Pantau tingkat kesadaran .

suhu

hipotermia,

tubuh

pasien,

memperbaiki

metabolisme jaringan.
3) Abnormalitas tanda vital terus menerus
memerlukan evaluasi lebih lanjut dan
mengetahuai perubahan sesegera mungkin.
4) Kekurangan aliran oksigen ke otak dapat

5) Pantau tanda-tanda sianosis,


warna kulit, akral perifer.

menyebabkan

hipoksia

sel-sel

otak,

kematian jaringan otak dan terjadinya

pertahankan

penurunan tingkat kesadaran


5) Sianosis, kulit pucat, akral dingin adalah

pemberian O2 sesuai indikasi

salah satu tanda hipoksia jaringan yang

6) Kolaborasi:

(Head box 5-10 lt/mnt).


7) Kolaborasi pemeriksaan darah

berat akibat perfusi yang tidak adekuat.


6) PaO2 di atas 90 mmHg.

lengkap.
7) Hb

yang

rendah

(<10

gr/dl)

mempengaruhi suplay oksigen ke jaringan.


4. Evaluasi
Sesuai dengan kriteria hasil yaitu bersihan jalan nafas efektif, tidak terjadi
kerusakan pertukaran gas, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi hipertermi, kecemasan
teratasi, dan pengetahuan bertambah.

DAFTAR PUSTAKA
Dominic, A. dan Fitzgerald, Henry A.. (2003). Croup: Assesment and Evidence-Based
Management. Medical, Journal The Australia. MJA 2003; 179 (7) : 372-377
IDAI. (2008). Croup (Laringotrakeobronkitis akut), Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Junqeira, L.C. & Jose, Carneiro. (2008). Basic Histology. California: Lange Medical
Publications.
Roosevelt, G. E. (2007). Inflamasi akut obstruksi jalan napas atas (batuk, epiglottitis, laringitis,
dan trakeitis bakteri). dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, BF Stanton. Nelson
Textbook of Pediatrics.18 ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.
Sindroma Croup, Penyakit Respirologi, Pedoman Diagnosis dan Terapi. Edisi III, Buku satu,
RSUD dr. Soetomo Surabaya: 2008. p 57-61
Van De Graaff, K.M. (2006). Concepts of Human Anatomy and Physiology. 5th-ed. USA: MC
Graw Hill Companies, Inc.

Anda mungkin juga menyukai