rasa, olah karsa, dan olah raga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat
menentukan apakah disposisi karakter personal berkembang menjadi warga negara yang
berkarakter baik atau buruk.
Kebudayaan sebagai lingkungan sosial bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan
karakter kolektif. Pengertian "bangsa" (nation) yang terkenal dari Otto Bauer
menyatakan, "Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang
persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman."
Dengan kata lain, perilaku manusia adalah fungsi dari karakter personal dan karakter
kolektif. Ditinjau dari sudut ini, proses pendidikan harus mampu melahirkan pribadipribadi berkarakter sekaligus menjadi warga negara (pribadi yang membangsa) yang
berkarakter. Keterpurukan dunia pendidikan kita tampak dari defisit manusia berkarakter
dan warga negara yang berkarakter. Di atas kemarau karakter seperti itu tumbuh para
politisi dan para penyelenggara negara yang kerdil.
Demokrasi dirayakan dengan mediokrasi dan korupsi. Di republik korup dan jahil,
keadaban publik hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negeri dan sesamanya;
rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan
institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan. Ketamakan dan hasrat meraih
kehormatan rendah merajalela. Kehidupan mengalami kematian: kebaikan dimusuhi,
kejahatan diagungkan.
Dalam puing-puing keruntuhan kecerdasan dan keadaban, yang diambil dari warisan
luhur para pendiri bangsa hanyalah abunya, bukan apinya. Peringatan Konferensi Asia
Afrika (KAA) masih digemakan, tetapi karakter dasarnya luput dari penghayatan.
KAA, 60 tahun yang lalu, adalah cermin kebesaran karakter kita sebagai bangsa,
pembawa obor harapan bagi dunia. Menjelang konferensi, para pemenang nobel, sarjana
humanis, dan penulis kenamaan dunia mengirimkan surat kepada PM Ali Sastroamidjojo.
"Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat
nafsu penjajah pelbagai negara atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan.... Cara
Caesar, yang menggunakan kekuasaan perjuangan hidup, telah kandas di Moskwa dan
Washington juga di Roma. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk
menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu
dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat
berkembang menuju kesempurnaan."
Perkembangan demokrasi Indonesia seperti mengenakan baju terbalik, momentum datang
memberi peluang meneruskan obor kebesaran bangsa, tetapi yang memainkan peran
hanyalah manusia-manusia kerdil.
Sesuai Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Dalam hal ini mencerdaskan kehidupan bangsa harus
diartikan secara mendalam dan menyeluruh. Artinya bahwa pendidikan seharusnya tidak
hanya dijadikan sebuah alat untuk menaikkan derajat sosial ekonomi saja, namun harus
dapat menjadikan manusia sebagai manusia. Menjadikan manusia sebagai manusia
seutuhnya. Namun, Sisdiknas yang menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan formal
dirasa kurang untuk dapat mewujudkan tujuan diatas. Pendidikan formal justru terasa
meng-counter tujuan awal pendidikan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Hal
ini dikarenakan pendidikan formal justru lebih banyak (walaupun tidak semua)
mengarahkan dan mengajarkan peserta didiknya untuk menjadi pekerja, mengajarkan
bahwa pendidikan adalah sekolah dan kuliah. Bahkan secara ekstrim, pendidikan formal
cenderung mengajarkan peserta didik menjadi robot, mesin, mengajarkan untuk
memperlakukan manusia lainya juga sebagai robot, tidak menjadi manusia seutuhnya.
Selain itu, ada beberapa usulan solusi yang sekiranya dapat diterapkan untuk dapat
memajukan pendidikan di Indonesia. Pertama, penyesuaian materi keilmuan. Hal ini
perlu karena selama ini ilmu kita bersumber dari barat yang sebenarnya tidak sepenuhnya
cocok dengan keadaan Indonesia. Pendidikan, ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan
budaya, maka dari itu kita perlu untuk menyesuaikan ilmu itu dengan budaya kita sendiri.
Sehingga kita tidak menjadi bangsa yang lupa akan budaya kita sendiri.
Ketiga, Sisdiknas harus memberi ruang dan mendorong sepenuhnya kegiatan yang
membangun kepemimpinan dan karakter peserta didik. Kegiatan yang dimaksud adalah
kegiatan kegiatan di luar kegiatan akademik dimana kegiatan itu memberi nilai tambah
bagi peserta didik dalam hal kepemimpinan dan character building.
mewujudkannya. Sekitar 9 juta rakyat Indonesia masih buta huruf. Di daerah pedalaman,
seperti diakui Kementerian Pembangunan Daerah tertinggal (PDT), angka melek huruf
masih rata-rata 26%.
Lihat pula kemampuan rakyat Indonesia mengakses pendidikan. Kita tahu, angka
partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70%. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru
berkisar 60%. Mengacu ke data Kemendiknas saja, dari 3,7 juta lulusan SMP, yang
melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta. Artinya, ada 1,5 juta lulusan SMP yang
terlempar di jalan.
Jangan tanyakan tingkat partisipasi rakyat mengakses Perguruan Tinggi. APK Pendidikan
Tinggi, seperti diklaim Menteri Pendidikan Nasional, baru berkisar 26 persen. Tetapi
versi lain menyebutkan bahwa APK pendidikan tinggi di Indonesia baru berkisar 18,7
persen.
Dengan mengacu pada fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa negara masih gagal
menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, negara gagal bukan
karena keterbatasan sumber daya, melainkan karena negara sendiri mengadopsi berbagai
kebijakan yang merugikan pendidikan nasional.
Pertama, cara pandanga negara, dalam hal ini pemerintahan berkuasa, dalam soal
pendidikan sudah bergeser dari cita-cita proklamasi: pendidikan tidak lagi dipandang
sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sebagai mediun untuk
akumulasi keuntungan (profit).
Ini sudah menjadi realitas dalam pendidikan nasional kita saat ini. Para pengusaha
berlomba-lomba menanamkan modalnya dalam bisnis pendidikan. Biaya pendidikan
Sepanjang pengetahuan penulis, hampir tidak ada bangsa di dunia yang UUD-nya
memberikan fungsi kepada penyelenggara negara (pemerintah) untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tampaknya, setelah para pendiri republik meninggalkan gelanggang
penyelenggaraan negara, amanat UUD 1945 ini kurang diperhatikan dan dipahami makna
hakikinya. Akibatnya, sebagian pihak menganggap bahwa mencerdaskan kehidupan
bangsa sama dengan memperluas kesempatan warga negara mengikuti pendidikan.
Pandangan ini benar, tetapi tidak sepenuhnya karena perluasan kesempatan memperoleh
pendidikan yang tidak bermutu dalam analisis UNESCO (International Commission on
Education for the 21st Century) tidak berdampak positif kepada pembangunan nasional
tetapi bahkan menimbulkan masalah.
Penulis berpandangan bahwa tanpa mengetahui dan memahami konteks perkembangan
masyarakat Indonesia dan dunia pada saat pergerakan nasional sampai saat proklamasi
kemerdekaan, kita tidak akan dapat memahami mengapa para pendiri republik
menuliskan kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu fungsi yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia di samping melindungi segenap bangsa
dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Para pendiri republik yang cendekiawan dan pelajar sejarah peradaban dunia itu
tampaknya sadar bahwa pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dunia
telah memasuki era peradaban modern yang mengglobal, baik ekonomi, politik, dan
IPTEK. Suatu peradaban yang akarnya adalah budaya Helenik dari empat abad SM yang
pasca Renaissance pada abad ke-17 telah menggerakkan Eropa memasuki industri oleh
gerakan negara kebangsaan yang modern. Pada saat Eropa bangkit melalui Renaissance
dan industrialisasi serta munculnya negara-negara kebangsaan modern, Indonesia
sebaliknya memasuki abad kegelapan, yaitu periode di bawah kekuasaan penjajah.
Pendiri republik sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara satu per satu
dikuasai dan dijajah oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris,
dan Belanda) karena setelah Imperium Sriwijaya dan kemudian Majapahit runtuh dari
dalam seperti runtuhnya Romawi, Nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil.
Akibatnya, selama hampir tiga ratus lima puluh tahun penghuni Nusantara secara kultural
dalam kondisi status quo, sebagian besar rakyat tidak tersentuh oleh budaya peradaban
modern yang rasional maupun berorientasi IPTEK. Oleh karena itu, untuk mengejar
ketertinggalan dari negara lain ini berarti seluruh rakyat Indonesia harus menjadi warga
negara dari bangsa yang modern, yang maknanya adalah warga negara yang rasional,
demokratis, dan berorientasi IPTEK dalam mengatasi masalah kehidupan sosial,
ekonomi, dan politiknya. Untuk itulah pendiri republik menyusun UUD yang lebih dari
UUD negara lain yaitu menetapkan ketentuan tentang kewajiban pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional dan memajukan
kebudayaan nasional bangsa Indonesia.
UUD 1945 pasal 31 ayat (2) menggariskan diusahakan dan diselenggarakannya satu
sistem pengajaran nasional, bukan pendidikan, karena pendidikan bermakna lebih luas
dari pengajaran. Tidak lain karena para pendiri republik telah menjadi cerdas dan
tinggi rasa kebangsaan serta secara rasional mampu membawa bangsanya kepada
gerbang kemerdekaan, bekal pendidikan sekolah yang telah ditempuh. Dan peradaban
modern yang berkembang setelah industrialisasi tidak lain karena dilembagakannya
sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai sikap kemampuan, nilai, dan sikap.
Melalui sistem persekolahan yang modern dan bermutu seperti bermutunya sekolahsekolah yang ditempuh pada saat para pendiri republik mengikuti pendidikan akan lahir
generasi baru dalam Indonesia merdeka yang cerdas dan berkarakter. Generasi baru
ini yang akan mendorong majunya kebudayaan nasional Indonesia. Karena itu pula dalam
UUD 1945 Bab XIII tentang pendidikan sudah meliputi Pasal 31 tentang pendidikan, dan
Pasal 32 tentang kebudayaan. Selain itu, Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam
lingkup perhatian satu departemen. Untuk kepentingan inilah pemerintah pada era
kepemimpinan para pendiri republik menyediakan ikatan dinas dan asrama bagi calon
guru, memberikan asrama mahasiswa serta perumahan dosen pada Universitas Negeri,
merencanakan pelaksanaan wajib belajar, dan mendirikan sekurang-kurangnya satu
Universitas Negeri untuk setiap provinsi.
Sangat disayangkan bahwa setelah para pendiri republik ini meninggalkan gelanggang
penyelenggaraan negara, berbagai kebijakan unggul yang ditempuh oleh para pendiri
republik ditinggalkan. Kebijakan memberi ikatan dinas dan asrama kepada mahasiswa
calon guru ditiadakan, penyediaan perumahan dosen ditiadakan, asrama mahasisiwa pada
setiap Universitas tidak difasilitasi lagi. Perluasan pendidikan yang ditempuh tidak
dibarengi dengan mutu. Di sini penulis berpandangan penulis bahwa kondisi belum
cerdasnya kehidupan bangsa dan belum majunya kebudayaan nasional, salah satu akarnya
adalah diabaikannya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, yang bermakna juga
kurang dipahaminya makna fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kebudayaan nasional.
Pendidikan adalah salah satu bentuk upaya menuju pendewasaan dalam kehidupan.
Pendidikan adalah usaha membentuk insan insan akademis yang berpikir mandiri dan
dapat bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuatnya. Melalui pendidikan
diharapkan dapat tercipta kehidupan yang lebih baik bagi diri insan tersebut, juga
keluarga, masyarakat, bangsa, dan peradaban manusia.
Peran penting pendidikan ini dapat ditinjau dari sejarah masa lampau. Paska Perang
Dunia II, Jepang sebagai salah satu negara yang menderita kekalahan, mengalami
kehancuran yang luar biasa. Tentara dan penduduknya tercerai berai dan dua kota
besarnya hancur karena bom atom. Di tengah upaya memulai lagi pembangunan Jepang
yang hancur lebur, Kaisar Jepang saat itu meminta agar pemerintah mendata tenaga
pendidik (guru) Jepang yang masih hidup. Kaisar memandang bahwa membangun Jepang
dari kehancuran tidak dapat terwujud tanpa membangun pendidikannya terlebih dahulu.
Pembangunan nasional hanya dapat terwujud jika karakter dan pengetahuan masyarakat
dikembangkan melalui pendidikan.
Dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, para pendiri bangsa telah
mencantumkan tujuan negara, salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal
ini diperkuat dalam UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia
berhak memperoleh pendidikan dan negara memiliki kewajiban untuk memenuhi
pendidikan setiap warga negara guna mewujudkan tujuan nasional, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Untuk menjalankan tanggung jawabnya, pemerintah telah mengaturnya ke dalam undang
undang. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional memberikan definisi tentang pendidikan. Menurut UU ini,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Dalam upaya meningkatkan pendidikan nasional, pemerintah telah menetapkan Standar
Nasional Pendidikan (SNP). Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal
tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Tujuan Standar Nasional Pendidikan ini adalah untuk menjamin pendidikan nasional
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat. Pemerintah mewajibkan setiap satuan pendidikan, baik formal
maupun nonformal untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilakukan secara
bertahap, sistematis dan terencana serta memiliki target dan kerangka waktu yang jelas
agar dapat memenuhi atau bahkan melampaui standar nasional pendidikan.