Anda di halaman 1dari 13

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

JAKARTA, KOMPAS - Hari Pendidikan Nasional kita peringati dengan belasungkawa


yang mendalam atas kejatuhan secara kolosal mutu keterdidikan bangsa. Ukuran yang
paling memilukan dari keterpurukan ini bukanlah rendahnya peringkat Indonesia dalam
kemampuan baca, matematika, dan sains menurut standar Programme for International
Student Assessment, melainkan pada kemerosotan mutu kecerdasan para politisi dan
penyelenggara negara sebagai produk pendidikan.
Demokrasi tanpa kecerdasan adalah kegaduhan dalam kebutaan. Situasi ini melen- ceng
jauh dari imperatif konstitusi kita. Dalam Pembukaan UUD 1945 terkandung "empat
pokok pikiran" haluan negara sebagai transformasi nilai-nilai Pancasila.
Pertama, negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Kedua, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan. Keempat, negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mewajibkan pemerintah dan
lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur
dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Untuk mewujudkan empat pokok pikiran tersebut, Pembukaan UUD 1945 juga
menggariskan empat fungsi negara (sistem pemerintahan negara), seperti tertuang dalam
alinea keempat. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; kedua, memajukan kesejahteraan umum; ketiga, mencerdaskan
kehidupan bangsa; keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Jika kita perhatikan secara saksama, para pendiri bangsa secara konsisten mengupayakan
korespondensi antara empat pokok pikiran itu dan empat fungsi negara. Urutan pokok
pikiran berpasangan dengan urutan fungsi negara. Maka, tampaklah bahwa pokok pikiran
ketiga, "negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan" berpasangan dengan fungsi negara ketiga, "mencerdaskan
kehidupan bangsa". Dengan kata lain, demokrasi berdasarkan cita kerakyatan dan
permusyawaratan memerlukan kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan yang meniscayakan
kecerdasan bangsa.
Pengertian kecerdasan di sini lebih dari sekadar kecerdasan kognitif, melainkan
kecerdasan multidimensional berbasis kesadaran eksistensial: ke dalam dan ke luar. Ke
dalam, manusia cerdas mengenali siapa dirinya sebagai "perwujudan khusus" dari alam,
yang harus menemu-kenali kekhasan potensi dirinya sebagai dasar pembentuk karakter
personal.
Ke luar, manusia cerdas mampu mengenali dan mengembangkan kebudayaan sebagai
sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem perilaku bersama, melalui olah pikir, olah

rasa, olah karsa, dan olah raga. Kebudayaan sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
sistem perilaku ini secara keseluruhan membentuk lingkungan sosial yang dapat
menentukan apakah disposisi karakter personal berkembang menjadi warga negara yang
berkarakter baik atau buruk.
Kebudayaan sebagai lingkungan sosial bisa juga disebut sebagai wahana pembentukan
karakter kolektif. Pengertian "bangsa" (nation) yang terkenal dari Otto Bauer
menyatakan, "Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang
persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman."
Dengan kata lain, perilaku manusia adalah fungsi dari karakter personal dan karakter
kolektif. Ditinjau dari sudut ini, proses pendidikan harus mampu melahirkan pribadipribadi berkarakter sekaligus menjadi warga negara (pribadi yang membangsa) yang
berkarakter. Keterpurukan dunia pendidikan kita tampak dari defisit manusia berkarakter
dan warga negara yang berkarakter. Di atas kemarau karakter seperti itu tumbuh para
politisi dan para penyelenggara negara yang kerdil.
Demokrasi dirayakan dengan mediokrasi dan korupsi. Di republik korup dan jahil,
keadaban publik hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negeri dan sesamanya;
rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan
institusi lumpuh tak mampu meredam penyalahgunaan. Ketamakan dan hasrat meraih
kehormatan rendah merajalela. Kehidupan mengalami kematian: kebaikan dimusuhi,
kejahatan diagungkan.
Dalam puing-puing keruntuhan kecerdasan dan keadaban, yang diambil dari warisan
luhur para pendiri bangsa hanyalah abunya, bukan apinya. Peringatan Konferensi Asia
Afrika (KAA) masih digemakan, tetapi karakter dasarnya luput dari penghayatan.
KAA, 60 tahun yang lalu, adalah cermin kebesaran karakter kita sebagai bangsa,
pembawa obor harapan bagi dunia. Menjelang konferensi, para pemenang nobel, sarjana
humanis, dan penulis kenamaan dunia mengirimkan surat kepada PM Ali Sastroamidjojo.
"Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat
nafsu penjajah pelbagai negara atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan.... Cara
Caesar, yang menggunakan kekuasaan perjuangan hidup, telah kandas di Moskwa dan
Washington juga di Roma. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk
menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu
dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat
berkembang menuju kesempurnaan."
Perkembangan demokrasi Indonesia seperti mengenakan baju terbalik, momentum datang
memberi peluang meneruskan obor kebesaran bangsa, tetapi yang memainkan peran
hanyalah manusia-manusia kerdil.

Pendidikan yang Mencerdaskan


Kehidupan Bangsa
Pendidikan menjadi satu hal yang sangat krusial dan penting ketika kita ingin memajukan
suatu bangsa. Sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia membutuhkan kualitas
pendidikan yang baik dan merata untuk dapat setara dan bersaing dengan negara maju.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya bibit yang ada di Indonesia adalah bibit unggul.
Hal ini dibuktikan dengan prestasi Indonesia yang sangat membanggakan di dalam
Olimpiade di tingkat Internasional beberapa tahun belakangan ini. Ini menunjukkan
bahwa sebenarnya bangsa Iindonesia mampu untuk bersaing dengan negara maju, dengan
syarat adanya pendidikan yang juga mumpuni.

Sesuai Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah
Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Dalam hal ini mencerdaskan kehidupan bangsa harus
diartikan secara mendalam dan menyeluruh. Artinya bahwa pendidikan seharusnya tidak
hanya dijadikan sebuah alat untuk menaikkan derajat sosial ekonomi saja, namun harus
dapat menjadikan manusia sebagai manusia. Menjadikan manusia sebagai manusia
seutuhnya. Namun, Sisdiknas yang menjadi acuan penyelenggaraan pendidikan formal
dirasa kurang untuk dapat mewujudkan tujuan diatas. Pendidikan formal justru terasa
meng-counter tujuan awal pendidikan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Hal
ini dikarenakan pendidikan formal justru lebih banyak (walaupun tidak semua)
mengarahkan dan mengajarkan peserta didiknya untuk menjadi pekerja, mengajarkan
bahwa pendidikan adalah sekolah dan kuliah. Bahkan secara ekstrim, pendidikan formal
cenderung mengajarkan peserta didik menjadi robot, mesin, mengajarkan untuk
memperlakukan manusia lainya juga sebagai robot, tidak menjadi manusia seutuhnya.

Pendidikan sebenarnya berlingkup sangat luas. Namun pendidikan formal justru


membatasi ruang lingkup pendidikan itu sendiri. Padahal sesuai Pembukaan UUD
tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, mencerdaskan dalam berbagai bidang
kehidupan, baik itu secara Ekonomi, Politik, Hukum, Budaya, serta Pertahanan dan
Keamanan. Maka dari itu, sangat perlu untuk merevisi Sisdiknas, agar kedepan
pendidikan formal dapat dijadikan suatu wadah pembentukan karakter bangsa. Sehingga
generasi muda kita kelak dapat menjadi generasi penerus yang berkarakter kebangsaan.

Selain itu, ada beberapa usulan solusi yang sekiranya dapat diterapkan untuk dapat
memajukan pendidikan di Indonesia. Pertama, penyesuaian materi keilmuan. Hal ini
perlu karena selama ini ilmu kita bersumber dari barat yang sebenarnya tidak sepenuhnya
cocok dengan keadaan Indonesia. Pendidikan, ilmu pengetahuan selalu berkaitan dengan

budaya, maka dari itu kita perlu untuk menyesuaikan ilmu itu dengan budaya kita sendiri.
Sehingga kita tidak menjadi bangsa yang lupa akan budaya kita sendiri.

Kedua, memasukan materi kebangsaan dan sejarah perjuangan bangsa secara


berkelanjutan. Hal ini diperlukan agar peserta didik mengerti dan benar benar insyaf
dengan perjuangan para pendahulunya, sehingga mereka menjadi generasi dan tidak lupa
sejarah. Juga agar peserta didik mampu memahami kemajemukan dan budaya Indonesia
serta menjadi generasi yang berkarakter kebangsaan. Sangat menyedihkan ketika kita
mengetahui bahwa ada generasi muda Indonesia yang tidak mengenal pahlawan dan para
pendahulunya yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini.

Ketiga, Sisdiknas harus memberi ruang dan mendorong sepenuhnya kegiatan yang
membangun kepemimpinan dan karakter peserta didik. Kegiatan yang dimaksud adalah
kegiatan kegiatan di luar kegiatan akademik dimana kegiatan itu memberi nilai tambah
bagi peserta didik dalam hal kepemimpinan dan character building.

Keempat, penguatan pendidikan informal sebagai alternatif penanaman nilai. Pendidikan


mempunyai lingkup yang sangat luas. Bahkan pendidikan pertama yang didapat adalah
pendidikan informal. Maka dari itu, penguatan pendidikan informal bisa menjadi
alternatif solusi untuk dapat mendukung atau mengimbangi pendidikan formal di sekolah
maupun di kampus.

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa


Inilah salah
satu tugas
nasional kita:
mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Sampai
sekarang,
negara kita
belum
sanggup

mewujudkannya. Sekitar 9 juta rakyat Indonesia masih buta huruf. Di daerah pedalaman,
seperti diakui Kementerian Pembangunan Daerah tertinggal (PDT), angka melek huruf
masih rata-rata 26%.
Lihat pula kemampuan rakyat Indonesia mengakses pendidikan. Kita tahu, angka
partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70%. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru
berkisar 60%. Mengacu ke data Kemendiknas saja, dari 3,7 juta lulusan SMP, yang
melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta. Artinya, ada 1,5 juta lulusan SMP yang
terlempar di jalan.
Jangan tanyakan tingkat partisipasi rakyat mengakses Perguruan Tinggi. APK Pendidikan
Tinggi, seperti diklaim Menteri Pendidikan Nasional, baru berkisar 26 persen. Tetapi
versi lain menyebutkan bahwa APK pendidikan tinggi di Indonesia baru berkisar 18,7
persen.
Dengan mengacu pada fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa negara masih gagal
menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, negara gagal bukan
karena keterbatasan sumber daya, melainkan karena negara sendiri mengadopsi berbagai
kebijakan yang merugikan pendidikan nasional.
Pertama, cara pandanga negara, dalam hal ini pemerintahan berkuasa, dalam soal
pendidikan sudah bergeser dari cita-cita proklamasi: pendidikan tidak lagi dipandang
sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sebagai mediun untuk
akumulasi keuntungan (profit).
Ini sudah menjadi realitas dalam pendidikan nasional kita saat ini. Para pengusaha
berlomba-lomba menanamkan modalnya dalam bisnis pendidikan. Biaya pendidikan

pun melambung tinggi, khususnya di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak rakyat


Indonesia tidak bisa mengakses pendidikan itu.
Kedua, lahirnya berbagai regulasi yang mengarahkan pendidikan tak ubahnya komoditi
yang siap diperjual-belikan. Sebelumnya, sudah pernah disahkan UU Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP). Beruntung, berkat tekanan gerakan massa rakyat, UU tersebut
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Akan tetapi, keinginan pemerintah memprivatisasi pendidikan tinggi tidak berhenti di
situ. Sekarang, misalnya, pemerintah sedang menyiapkan pengesahan RUU perguruan
tinggiterakhir dinamai RUU Pendidikan Tinggi. Semangat RUU PT ini tidak berbeda
jauh dengan semangat UU BHP.
Ketiga, negara mulai lepas tangan dalam urusan pendidikan. Penguasa di negara kita
percaya betul dengan agama kaum neoliberal bahwa pasar akan mengatur dan
mengefisienkan segalanya. Pasar, yang disemangati oleh nafsu mencari keuntungan,
tidak akan bisa menjamin hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan.
Akhir-akhir ini, kita melihat bagaimana tingkah-laku negara menelantarkan pendidikan:
gedung sekolah yang ambruk, bangunan sekolah yang tak ubahnya kandang ayam,
peserta didik yang diusir dari sekolah karena soal biaya, fasilitas belajar-mengajar yang
tak memadai, tawuran antar sekolah, dan lain sebagainya.
Keempat, anggaran untuk mendanai pendidikan nasional belum memadai dan mengcover
seluruh rakyat. Ini bisa dilihat pada anggaran pendidikan yang sangat rendah: anggaran
pendidikan kita masih berkisar 3,41% dari PDB. Sedangkan negara-negara tetangga
seperti Malaysia dan Thailand masing-masing 7,9% dan 5,0% dari PDB-nya. UNESCO
sendiri menyerukan anggaran ideal untuk pendidikan adalah 6% dari PDB.
Kelima, orientasi atau tujuan pendidikan nasional makin berorientasi kepada bisnis dan
pasar tenaga kerja. Penanaman nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, patriotisme, budaya
nasional dan kecintaan terhadap bangsa makin berkurang. Kurikulum kita banyak
diwarnai oleh nilai-nilai individualisme, konsumtifisme, pragmatisme, dan penghambaan
terhadap uang.
Dengan demikian, bertepatan dengan momentum Hari Pendidikan Nasional hari ini, kami
mengajak semua pembaca dan seluruh rakyat Indonesia untuk merenungkan nasib
pendidikan nasional kedepan. Apakah kita menyerah dan membiarkan pendidikan
nasional ditaklukkan oleh logika profit ataukah kita ingin mengembalikan pendidikan
nasional sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kalau kita konsisten dengan cita-cita nasional kita, sebagaimana dikehendaki oleh para
pendiri bangsa, maka pilihan kita sudah pasti: akhiri model pendidikan yang berbau profit
itu caranya mencerdaskan kehidupan bangsa

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan


Memajukan Kebudayaan Nasional
Enam puluh delapan tahun setelah bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, perkembangan hampir di semua sektor kehidupan negara bangsa di era
globalisasi ini jauh tertinggal dari negara tetangga yang kemerdekaannya diperoleh
beberapa tahun setelah Indonesia. Sebagai contoh, Malaysia baru merdeka tahun 1957,
Singapura tahun 1965, Korea Selatan baru setelah perang besar tahun 1950-an, dan
Taiwan tahun 1949. Negara-negara ini kini perlahan-lahan namun pasti menjadi kekuatan
besar.
Sebelum China menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, kita masih bisa berkilah
bahwa Indonesia tertinggal dari negara tetangga karena wilayah kita demikian luas dan
penduduk Indonesia berlipat dari negara-negara tetangga. Namun, setelah China dengan
jumlah penduduk enam kali penduduk Indonesia dan wilayah yang jauh lebih luas dari
Indonesia mampu mendominasi perekonomian dunia, kita patut bertanya, Apa yang
salah dengan strategi pembangunan nasional Indonesia sehingga setelah 68 tahun
merdeka belum juga menjadi bangsa yang cerdas kehidupannya, maju kebudayaannya,
dan sejahtera kehidupan rakyatnya?
Secara sederhana, kehidupan bangsa Indonesia hingga saat ini dapat dikatakan belum
cerdas di antaranya dilihat dari indikator berikut: 1) musim kering kekurangan air bersih,
2) musim hujan terjadi banjir dan tanah longsor, 3) jika ada bencana alam tidak dapat
mengatasi sendiri dan sangat bergantung kepada bantuan bantuan asing, baik dalam
modal maupun teknologi, 4) wabah penyakit yang berulang kali muncul dan mematikan
namun tidak diupayakan secara strategis bagaimana mengatasinya, 5) masih rendahnya
atau belum terbangunnya infrastruktur teknologi, 6) rendahnya daya saing dalam segala
bidang, termasuk olah raga, dan 7) tingginya ketergantungan kita kepada teknologi impor.
Selain itu, cita-cita memajukan kebudayaan nasional pun masih jauh dari tercapai karena
setelah 68 tahun merdeka belum juga terbangun budaya demokratis, berpotensi terjadinya
disintegrasi bangsa, rendahnya produktivitas bangsa dalam IPTEK maupun ekonomi
serta, masih rendahnya semangat bersatu.
Kemudian, bahwa tingkat kesejahteraan rakyat masih jauh dari terwujudnya cita-cita
terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, antara lain dapat dilihat dari tingginya
pengangguran, rendahnya tingkat kebugaran dan kesehatan rakyat, dan rendahnya tingkat
pendidikan warga negara. Berangkat dari pertanyaan pokok, Apa yang salah dengan
strategi pembangunan nasional sehingga cita-cita para pendiri republik ini, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kebudayaan nasional, serta mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, belum juga nampak akan terwujud?
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari atau mengidentifikasikan kesalahan tersebut,
melainkan akan mencoba melakukan renungan analitik terhadap makna amanat
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional dalam
membangun negara bangsa Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan.

Sepanjang pengetahuan penulis, hampir tidak ada bangsa di dunia yang UUD-nya
memberikan fungsi kepada penyelenggara negara (pemerintah) untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tampaknya, setelah para pendiri republik meninggalkan gelanggang
penyelenggaraan negara, amanat UUD 1945 ini kurang diperhatikan dan dipahami makna
hakikinya. Akibatnya, sebagian pihak menganggap bahwa mencerdaskan kehidupan
bangsa sama dengan memperluas kesempatan warga negara mengikuti pendidikan.
Pandangan ini benar, tetapi tidak sepenuhnya karena perluasan kesempatan memperoleh
pendidikan yang tidak bermutu dalam analisis UNESCO (International Commission on
Education for the 21st Century) tidak berdampak positif kepada pembangunan nasional
tetapi bahkan menimbulkan masalah.
Penulis berpandangan bahwa tanpa mengetahui dan memahami konteks perkembangan
masyarakat Indonesia dan dunia pada saat pergerakan nasional sampai saat proklamasi
kemerdekaan, kita tidak akan dapat memahami mengapa para pendiri republik
menuliskan kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu fungsi yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia di samping melindungi segenap bangsa
dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, serta ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Para pendiri republik yang cendekiawan dan pelajar sejarah peradaban dunia itu
tampaknya sadar bahwa pada saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya dunia
telah memasuki era peradaban modern yang mengglobal, baik ekonomi, politik, dan
IPTEK. Suatu peradaban yang akarnya adalah budaya Helenik dari empat abad SM yang
pasca Renaissance pada abad ke-17 telah menggerakkan Eropa memasuki industri oleh
gerakan negara kebangsaan yang modern. Pada saat Eropa bangkit melalui Renaissance
dan industrialisasi serta munculnya negara-negara kebangsaan modern, Indonesia
sebaliknya memasuki abad kegelapan, yaitu periode di bawah kekuasaan penjajah.
Pendiri republik sadar bahwa mudahnya kerajaan-kerajaan Nusantara satu per satu
dikuasai dan dijajah oleh pendatang dari Eropa yang jumlahnya kecil (Portugis, Inggris,
dan Belanda) karena setelah Imperium Sriwijaya dan kemudian Majapahit runtuh dari
dalam seperti runtuhnya Romawi, Nusantara terpecah menjadi puluhan kerajaan kecil.
Akibatnya, selama hampir tiga ratus lima puluh tahun penghuni Nusantara secara kultural
dalam kondisi status quo, sebagian besar rakyat tidak tersentuh oleh budaya peradaban
modern yang rasional maupun berorientasi IPTEK. Oleh karena itu, untuk mengejar
ketertinggalan dari negara lain ini berarti seluruh rakyat Indonesia harus menjadi warga
negara dari bangsa yang modern, yang maknanya adalah warga negara yang rasional,
demokratis, dan berorientasi IPTEK dalam mengatasi masalah kehidupan sosial,
ekonomi, dan politiknya. Untuk itulah pendiri republik menyusun UUD yang lebih dari
UUD negara lain yaitu menetapkan ketentuan tentang kewajiban pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional dan memajukan
kebudayaan nasional bangsa Indonesia.
UUD 1945 pasal 31 ayat (2) menggariskan diusahakan dan diselenggarakannya satu
sistem pengajaran nasional, bukan pendidikan, karena pendidikan bermakna lebih luas
dari pengajaran. Tidak lain karena para pendiri republik telah menjadi cerdas dan
tinggi rasa kebangsaan serta secara rasional mampu membawa bangsanya kepada

gerbang kemerdekaan, bekal pendidikan sekolah yang telah ditempuh. Dan peradaban
modern yang berkembang setelah industrialisasi tidak lain karena dilembagakannya
sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai sikap kemampuan, nilai, dan sikap.
Melalui sistem persekolahan yang modern dan bermutu seperti bermutunya sekolahsekolah yang ditempuh pada saat para pendiri republik mengikuti pendidikan akan lahir
generasi baru dalam Indonesia merdeka yang cerdas dan berkarakter. Generasi baru
ini yang akan mendorong majunya kebudayaan nasional Indonesia. Karena itu pula dalam
UUD 1945 Bab XIII tentang pendidikan sudah meliputi Pasal 31 tentang pendidikan, dan
Pasal 32 tentang kebudayaan. Selain itu, Pendidikan dan Kebudayaan berada dalam
lingkup perhatian satu departemen. Untuk kepentingan inilah pemerintah pada era
kepemimpinan para pendiri republik menyediakan ikatan dinas dan asrama bagi calon
guru, memberikan asrama mahasiswa serta perumahan dosen pada Universitas Negeri,
merencanakan pelaksanaan wajib belajar, dan mendirikan sekurang-kurangnya satu
Universitas Negeri untuk setiap provinsi.
Sangat disayangkan bahwa setelah para pendiri republik ini meninggalkan gelanggang
penyelenggaraan negara, berbagai kebijakan unggul yang ditempuh oleh para pendiri
republik ditinggalkan. Kebijakan memberi ikatan dinas dan asrama kepada mahasiswa
calon guru ditiadakan, penyediaan perumahan dosen ditiadakan, asrama mahasisiwa pada
setiap Universitas tidak difasilitasi lagi. Perluasan pendidikan yang ditempuh tidak
dibarengi dengan mutu. Di sini penulis berpandangan penulis bahwa kondisi belum
cerdasnya kehidupan bangsa dan belum majunya kebudayaan nasional, salah satu akarnya
adalah diabaikannya penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, yang bermakna juga
kurang dipahaminya makna fungsi mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan
kebudayaan nasional.

Mencerdaskan Anak Bangsa yang tidak


sekolah

Pendidikan adalah salah satu bentuk upaya menuju pendewasaan dalam kehidupan.
Pendidikan adalah usaha membentuk insan insan akademis yang berpikir mandiri dan
dapat bertanggung jawab atas tindakan yang diperbuatnya. Melalui pendidikan
diharapkan dapat tercipta kehidupan yang lebih baik bagi diri insan tersebut, juga
keluarga, masyarakat, bangsa, dan peradaban manusia.
Peran penting pendidikan ini dapat ditinjau dari sejarah masa lampau. Paska Perang
Dunia II, Jepang sebagai salah satu negara yang menderita kekalahan, mengalami
kehancuran yang luar biasa. Tentara dan penduduknya tercerai berai dan dua kota
besarnya hancur karena bom atom. Di tengah upaya memulai lagi pembangunan Jepang
yang hancur lebur, Kaisar Jepang saat itu meminta agar pemerintah mendata tenaga
pendidik (guru) Jepang yang masih hidup. Kaisar memandang bahwa membangun Jepang
dari kehancuran tidak dapat terwujud tanpa membangun pendidikannya terlebih dahulu.

Pembangunan nasional hanya dapat terwujud jika karakter dan pengetahuan masyarakat
dikembangkan melalui pendidikan.
Dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, para pendiri bangsa telah
mencantumkan tujuan negara, salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal
ini diperkuat dalam UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga negara Indonesia
berhak memperoleh pendidikan dan negara memiliki kewajiban untuk memenuhi
pendidikan setiap warga negara guna mewujudkan tujuan nasional, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Untuk menjalankan tanggung jawabnya, pemerintah telah mengaturnya ke dalam undang
undang. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional memberikan definisi tentang pendidikan. Menurut UU ini,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Dalam upaya meningkatkan pendidikan nasional, pemerintah telah menetapkan Standar
Nasional Pendidikan (SNP). Standar Nasional Pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal
tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Standar Nasional Pendidikan terdiri dari standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Tujuan Standar Nasional Pendidikan ini adalah untuk menjamin pendidikan nasional
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat. Pemerintah mewajibkan setiap satuan pendidikan, baik formal
maupun nonformal untuk melakukan penjaminan mutu pendidikan yang dilakukan secara
bertahap, sistematis dan terencana serta memiliki target dan kerangka waktu yang jelas
agar dapat memenuhi atau bahkan melampaui standar nasional pendidikan.

Dalam keberjalanannya, usaha mencerdaskan bangsa masih mendapatkan banyak


kendala. Masih banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas lengkap seperti buku diktat,
perpustakaan dan laboratorium. Sekolah seperti ini kebanyakan terdapat di daerah
tertinggal. Namun, di kota-kota besar juga masih banyak terdapat sekolah yang tidak
memiliki fasilitas yang baik. Dampak dari fasilitas belajar yang kurang baik, para siswa
menjadi kesulitan untuk mengikuti proses belajar di sekolah.
Mutu para pendidik juga belum terlalu memadai. Hal ini dapat dilihat dari adanya sekolah
unggulan dan non unggulan di setiap daerah. Kualitas dan kuantitas pendidik juga tidak
seimbang antara di kota-kota besar dan di daerah. Bahkan di beberapa daerah terpencil,
sekolah hanya didatangi oleh pengajar satu kali per bulan. Para pengajar yang
ditempatkan di daerah pedalaman lebih memilih untuk tinggal di kota ketimbang
mengajar ke daerah karena faktor infrastruktur dan fasilitas mengajar.
Pengelola sekolah terkadang juga tidak berupaya optimal untuk meningkatkan kualitas
guru dan fasilitas sekolah. Pemerintah sebagai pengawas dan pelaksana tanggung jawab
pendidikan terkadang kurang memberikan intervensi terhadap pengelola sekolah.
Akibatnya terdapat banyak sekolah yang tidak memenuhi standar nasional pendidikan.
Bahkan di beberapa daerah terdapat perguruan tinggi swasta yang tidak memiliki izin
operasi dari KOPERTIS. Hal ini sangat merisaukan masyarakat karena sudah banyak
korban dari masyarakat. Masyarakat yang tidak tahu justru mendaftar dan berkuliah di
perguruan tinggi ilegal ini dan membayar biaya perkuliahan namun ijazahnya tidak dapat
dipakai untuk melamar pekerjaan.
Menyikapi hal ini, pemerintah perlu meningkatkan mutu sarana dan prasarana sekolah,
mutu dan kuantitas serta penyebaran guru, dan metodologi pendidikan yang mendukung
dan bukannya menekan siswa. Anggaran pendidikan yang besar (20 persen dari APBN)
seharusnya sudah memadai untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Sayangnya, dalam pelaksanaannya, anggaran ini tidak sepenuhnya digunakan untuk
pendidikan. Selain pengalokasian yang tidak sesuai kebutuhan, sebagian anggaran ini
juga dikorupsi oleh oknum-oknum pendidikan, baik di internal pemerintah, maupun
pengelola sekolah. Pemerintah harus tegas mengawasi penggunaan anggaran pendidikan

karena lambannya peningkatan pendidikan akan menyebabkan kualitas warga negara


Indonesia akan kalah bersaing dengan warga negara-negara lain.
Anak-anak bangsa tidak hanya membutuhkan ijazah dan surat kelulusan dari sekolah.
Lebih dari itu, anak-anak bangsa harus mendapatkan pencerdasan pola pikir dan karakter.
Dengan ini, mereka dapat mandiri dan bertanggung jawab bagi diri, keluarga,
masyarakat, bangsa, dan negaranya. Oleh sebab itu, pemerintah harus tegas
memperhatikan standar pendidikan dan izin sekolah serta perguruan tinggi. Pihak
pengelola pendidikan harus menjadikan anak didik sebagai subjek utama yang harus
dikembangkan. Karena itu, infrastruktur pendidikan harus berkualitas untuk membentuk
anak-anak bangsa yang cerdas dalam pola pikir, mental, dan karakter.

Anda mungkin juga menyukai