Anda di halaman 1dari 3

Penggunaan kloramfenikol sebagai obat pilhan pengobatan demam tifoid.

Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat terpilih untuk pengobatan demam


tifoid. Antibiotik lain seperti kotrimoksazol, siprofloksasin, ofloksasin, amoksisilin, dan
sefalosporin generasi ketiga menjadi alternatif obat tifoid bila kloramfenikol sudah tidak lagi
efektif. Tetapi, di negara seperti India, kloramfenikol telah digantikan dengan antibiotik
golongan kuinolon. http://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/mkb/article/viewFile/248/pdf_105
Aktivitas antibakteri dari kloramfenikol bersifat stereospesifik, karena hanya D(-) stereoisomer yang mempunyai aktivitas menghambat biosintesis protein pada siklus pemanjangan
rantai asam amino. Antibiotika ini mengikat sub-unti ribosom 50-S sel mikroba target sehingga
terjadi hambatan pembentukan ikatan peptide dan biosintesis protein. Kloramfenikol bersifat
bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi dapat bersifat bakterisid terhadap bakteri tertentu.
jurnal validasi metode bioautografi untuk determinasi kloramfenikol, meliana
susanti, isnaeni, sri poedjiarti, jurnal kedokteran indonesia vol 1/no. 1/january/2009.

Kloramfenikol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam
tifoid, namun kekurangannya adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya
carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Nelwan RHH. Pilihan Antimikroba dalam Tatalaksana Demam Tifoid. Dalam: Mansjoer A,
Setiati S, Syam AF, Laksmi PW. editor. Naskah lengkap pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit
dalam 2008. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2008. h. 118-23
Dua tahun setelah kloramfenikol dipakai sebagai obat pilihan utama demam tifoid, telah
dilaporkan adanya resistensi di Inggris. Namun pada tahun 1972 resistensi ini menjadi masalah
global. Strain S. typhi ini juga resisten terhadap sufonamid, tetrasiklin, dan streptomisin. Pada
tahun 1980an dan 1990an, S. typhi ini mulai resisten terhadap seluruh antibitika lini pertama
seperti kloramfenikol, trimetoprim, sulfametoksazol, dan ampisilin.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201

1. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on efficacy and safety of
levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med
Public Health 2006;37(1):126-30.

Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med
Dalam kajian tingkat molekuler dikemukakan bahwa bakteri S. typhi menjadi resisten
terhadap kloramfenikol akibat adanya plasmid yang memproduksi enzim chloramphenicol
acetyltransferase (CAT) yang menginaktivasi kloramfenikol. Penelitian yang dilakukan oleh
Nurtjahyani, 2007 membuktikan bahwa S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol jika
diambil plasmidnya, kemudian dimasukkan ke dalam kultur S. typhi yang sensitif kloramfenikol,
maka S. typhi yang sensitive ini akan berubah menjadi resisten terhadap kloramfenikol. Terdapat
juga bukti dimana plasmid IncHI mempunyai peran dalam resistensi S. typhi terhadap
kloramfenikol.
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/2499/Vol_3_No_1_F_Sensitivitas
%20Salmonella%20typhi%20terhadap%20Kloramfenikol%20dan%20Seftriakson.pdf?
sequence=1
Suswati I, Juniarti A. Sensitivitas salmonella typhi terhadap kloramfenikol dan seftriakson di
rsud dr. soetomo Surabaya dan di rsud dr. saiful anwar malang tahun 2008-2009.
Phan M, Wain J. IncHI plasmids, a dynamic link between resistance and pathogenicity. The
Journal of Infection in Developing Countries. 2008 August; 2(04): 272-8
Farmakokinetik
Kloramfenikol diserap secara cepat dalam saluran pencernaan. Kloramfenikol suksinat,
digunakan secara intravena dan intramuscular, merupakan sebuah prodrug yang dihidrolisis oleh
esterase menjadi kloramfenikol in vivo. Kloramfenikol suksinat secara cepat dibersihkan dari
plasma oleh ginjal.

Kloramfenikol secara luas didistribusikan dalam cairan tubuh dan mencapai konsentrasi
terapeutik dalam CSS. Kloramfenikol terdistribusi pula dalam empedu, ASI, dan cairan plasenta.
Dapat pula ditemukan pada humor aqueous setelah injeksi subkonjungtiva.
Rute eliminasi utama dari kloramfenikol adalah metabolism hepatic. Metabolit tersebut
dan kloramfenikol dieksresikan melalui urin. Pasien dengan gangguan fungsi hati mempunyai
penurunan bersihan metabolic, dan dosis harus dikurangi.
Indikasi dari penggunaan kloramfenikol antara lain demam tifoid, meningitis bacterial,
penyakit akibat riketsia, dan bruselosis.
Efek yang tidak diinginkan
Kloramfenikol menghambat sintesis protein membrane dalam mitokondria, kemungkinan dengan
menghambat peptidiltransferase ribosom. Hampir semua efek buruk yang terjadi pada obat
tersebut dapat dihubungkan dengan reaksi-reaksi seperti reaksi hipersensitivitas, gangguan
hematologi, dan efek toksik dan iritatif lain.
Kloramfenikol menghambatCYP hati, oleh karena itu memperpanjang waktu-paruh
substrat CYP, termasuk koumadin, fenitoin, klorpropamid, inhibitor protease HIV, rifabutin, dan
tolbutamid. Keracunan parah dan kematian terjadi karena interaksi obat-obat tersebut.
Penggunaan bersama dengan fenobarbital atau rifampin, dimana menginduksi CYP secara poten,
memperpendek waktu-paruh kloramfenikol.
Protein Synthesis Inhibitors and Msicellaneous Antibacterial Agents. In: Brunton L, Parker K,
Blumenthal D, Buxton I. editors. Goodman & gilmans manual of pharmacology and
therapeutics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008. p. 766-9.

Anda mungkin juga menyukai