Anda di halaman 1dari 4

Informasi Objektif Undang-Undang Perfilman

Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, terdiri dari 12 (dua belas) Bab dan
47 (empat puluh tujuh) Pasal.
Bab I mengatur tentang Ketentuan Umum, Bab II mengatur tentang Dasar, Arah, dan Tujuan.
Bab III mengatur tentang Fungsi dan Lingkup. Bab IV mengatur tentang Usaha Perfilman yang
terdiri dari 7 bagian. Bab V mengatur tentang Sensor Film. Bab VI mengatur tentang Peran Serta
Masyarakat. Bab VII mengatur tentang Pembinaan Perfilman. Bab VIII mengatur tentang
Penyerahan Urusan dalam perfilman. Bab IX mengatur tentang Penyidikan. Bab X mengatur
tentang Ketentuan Pidana. Bab XI mengatur tentang Ketentuan Peralihan. Bab XII mengatur
tentang Ketentuan Penutup.
Relasi antara Media dan Negara dalam Undang-Undang Perfilman
Relasi antara media dan negara dalam UU No. 8/1992 tentang Perfilman tercantum dalam
beberapa pasalnya, yaitu Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 16, Pasal 21, Pasal 31,
Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39.
Dengan ringkasan sebagai berikut:

penyelenggaraan perfilman di Indonesia harus selalu dilandasi dasar negara dan


konstitusi negara.

memberikan wawasan agar perfilman Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal sesuai dengan fungsinya.

menunjang pembangunan nasional.

melindungi aset negara.

jaminan negara terhadap insan perfilman.

Relasi antara Media dan Pasar dalam Undang-Undang Perfilman


Film sebagai media komunikasi berkaitan erat dengan pasar. Pasar dalam hal ini dapat diartikan
sebagai tempat riil atau imajiner bertemunya penjual dan pembeli. Dalam industri perfilman,
ragam pasar dapat dibedakan berdasarkan jenis dan konten media yang ditawarkan, serta
seberapa luasnya jangkauan distribusi dari media tersebut. Jika pasar sudah dikotak-kotakkan
berdasarkan jenis, konten, dan jangkauan medianya, maka akan tercipta persaingan antar produk
film yang berada dalam satu segmen, sehingga pasar beralih fungsi sebagai institusi kompetisi
ekonomi.

Dalam relasi pasar dengan media, terdapat hubungan timbal balik yaitu pasar mempengaruhi
media dan media mempengaruhi pasar. Dalam konteks perfilman, pasar dapat mempengaruhi
konten film yang hendak diproduksi. Para produser mengatasnamakan pasar dalam memilih tema
film atau membuat cerita[1]. Maka, film pun disebut sebagai instrumen komodifikasi yang
membawa pengaruh-pengaruh korporatisme perfilman. Ketika mayoritas masyarakat mulai
kehilangan pegangan di tengah arus global yang tak menentu dan serba cepat misalnya, maka
film-film bermuatan horor yang mengandung mistifikasi mulai bermunculan. Film kini tampak
menjadi sekedar jawaban impulsif yang bersifat reaktif terhadap kebutuhan masyarakat. Dunia
perfilman pun terjebak dalam pragmatisme, di mana penciptaan karya film lahir dari campur
tangan bisnis[2]. Sebaliknya, film juga dapat mempengaruhi pasar, khususnya dalam konteks
iklim persaingan pasar.
Relasi antara Media dan Masyarakat dalam Undang-Undang Perfilman
Film merupakan media massa yang sifatnya sangat kompleks. Dikatakan demikian karena film
mempunyai berbagai macam fungsi antara lain sebagai alat informasi, alat penghibur, alat
propaganda, bahkan alat berpolitik. Di sinilah peran UU sangat dibutuhkan: supaya perfilman
Indonesia tetap berjalan dalam koridornya.
Sanksi dalam Undang-Undang Perfilman
Kritik terhadap sanksi-sanksi yang ditetapkan dalam UU No. 8/1992 tentang Perfilman lebih
merujuk pada kelemahan sanksi-sanksi tersebut dalam mengikat dan membuat jera para
pelakunya. Hukuman kurungan dan denda kami rasa kurang seimbang. Kurungan satu hingga
lima tahun misalnya, tidak seimbang jika digantikan dengan hukuman denda yang kisarannya
hanya sekian puluh juta. Pada masa UU ini disahkan, mungkin nominal tersebut sudah cukup
banyak. Namun pada masa ini, kurungan satu hingga lima tahun baru layak digantikan dengan
denda yang kisarannya sekian ratus juta hingga sekian milyar. Pembaruan ini selain membuat
masyarakat mawas diri dan menimbulkan efek jera pada pelaku pelanggaran, juga dapat
meningkatkan pendapatan negara, yang dapat dipergunakan untuk memperbaiki/merevisi
hukum-hukum yang dirasa sudah basi.
Wacana di Seputar Undang-Undang Perfilman
UU Perfilman yang kita dapati sekarang ini mungkin sudah tidak cocok lagi dengan realita dan
keadaan perfilman kita dewasa ini. Seperti yang kita ketahui, UU Perfilman lahir pada masa
Orde Lama. Perubahan mendasar pada perfilman Indonesia sangat terlihat pada masa
pemerintahan Orde Baru, di mana kepengurusan perfilman dilakukan oleh pemerintah dan
dilaksanakan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) di bawah koordinasi
Departemen Penerangan. Departemen Penerangan pada masa itu merupakan sebuah departemen
teknis di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Dilihat dari
rantai koordinasi kerja ini, maka negara (pada saat itu) mendefinisikan film sebagai alat
informasi yang berhubungan erat dengan fungsi politik dan keamanan negara.

Contoh nyata bahwa UU Perfilman tidak lagi cocok dengan keadaan dunia perfilman kita pada
saat ini adalah mencuatnya wacana seputar pembubaran Lembaga Sensor Film (LSF). Adalah
sekelompok insan film yang tergabung dalam Masyarakat Film Indonesia (MFI) yang
menggelindingkan wacana tersebut. Alasan mereka, LSF memasung kreativitas dan membatasi
ruang gerak kebebasan berekspresi. Atas dasar itu, mereka mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materiil (judicial review) terhadap UU Perfilman,
yang mereka anggap bertentangan dengan UUD 1945.
Persoalannya, apakah kebebasan berekspresi dan berkreativitas itu tetap menjunjung tinggi nilainilai moral, ataukah kreativitas yang lahir hanya didasarkan pada kebebasan berekspresi semata,
tanpa memedulikan nilai-nilai moral? Pertanyaan ini penting, karena kreativitas serta ekspresi
yang mereka (dalam hal ini para insan film lahirkan), pada gilirannya akan bersentuhan langsung
dengan masyarakat dari berbagai latar belakang sosial dan tingkat pendidikan yang berbeda.
Harus diakui bahwa tingkat pendidikan masyarakat kita secara umum masih tergolong rendah,
sehingga jika tayangan film yang biasa dipenuhi dengan adegan seks, nuansa kekerasan serta
aroma mistik yang hadir ke tengah-tengah masyarakat tanpa sensor, maka moralitas bangsa ini
menjadi taruhannya.
Jawaban No. 2
Pasal mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik (defamation, tort) bukan hanya ada di
UU ITE, melainkan ada dalam hampir semua undang-undang hukum positif di banyak negara.
Meski begitu kebanyakan dari pasal-pasal tersebut masuk ranah hukum perdata.
Istilah tentang penghinaan dan pencemaran nama baik memang merupakan isu lama yang
kebetulan memang menyeruak kembali akhir-akhir ini. Sebut saja kasus Prita Mulyasari versus
RS Omni Internasional. Dimana Omni menggugat Prita dengan tuduhan Penghinaan dan
Pencemarah Nama Baik. Dijerat dengan KUHP dan UU ITE akhirnya Prita pun mendekam di
penjara. Sebenarnya sejauh itu masih bisa diendapkan suaranya. Hingga pengajuan banding
itulah yang membuat kasus ini menjadi menggema kemana-mana.
Mengapa kontroversial? Dalam kasus ini, menjadi kontroversial karena adanya kejanggalan bagi
beberapa elemen masyarakat bahwa seharusnya Prita tidak bersalah, bahkan menjadi
dipersalahkan. Sedangkan UU ITE yang menjeratnya pun menjadi tumbal bahwa UU tersebut
memang belum matang.
Seperti yang dilansir oleh okezone.com pada Rabu (3/9) lalu bahwa DEPKOMINFO pun merasa
prihatin bahwa mereka tidak diikutsertakan dalam pembahasan masalah ini. Gatot S. Dewabroto
pun mengatakan bahwa UU ITE tak seharusnya di terjemahan secara kaku seperti itu. UU ini
bukan monster yang menakutkan melainkan kepastian hukum yang melindungi.
Kemunculan kasus ini secara tidak langsung akan menjadi justifikasi bagi para pengaju judicial
review UU ITE untuk memperkuat alasan mereka mempertanyakan kembali pasal 27 ayat 3 jo

Pasal 45 ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE tersebut. Salah satu pasal dalam UU ITE
yang menjerat Prita. Dengan alasan ini berarti memang masih perlu banyak penggodokan pada
pasal-pasal yang ada di UU ITE. Setidaknya agar tidak terjadi kasus serupa.

Anda mungkin juga menyukai