Anda di halaman 1dari 3

HUKUM TIDAK OTONOM

Salah satu prinsip yang dianut oleh kajian sosiologi hukum adalah
pandangannya bahwa hukum itu tidak otonom. Seperti yang di
kemukakan oleh pakar sosiologi hukum, Satjipto Raharjo, hukum itu tidak
begitu saja jatuh dari langit, melainkan tumbuh dan berkembang bersama
pertumbuhan masyarakatnya. Jadi, tampak perbedaannya dengan kaum
dogmatik-normatif yang senantiasa memandang hukum sebagai sesuatu
yang otonom, yang mandiri, dan karena itu seolah-olah hukum terlepas
dari lingkungan sosialnya.
(Achmad Ali, 1996:47), mengemukakan definisi hukum sebagai
berikut:hukum adalah seperangkat kaidah atau aturan baik tertulis atau
tidak tertulis, yang tersusun dalam sistem yang menentukan boleh atau
tidak boleh dilakukan manusia sebagai warga masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakatnya, yang bersumber baik dari masyrakat
sendiri maupun dari sumber lain, yang di akui berlakunya oleh otoritas
tertinggi (Negara) dalam masyarakat itu, serta benar-benar di berlakukan
oleh masyarakat (sebagai satu keseluruhan, meskipun mungkin di langgar
oleh warga tertentu secara intelektual) dalam kehidupannya, dan jika di
langgar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk
menjatuhkan sanksi yang bersifat eksternal bagi pelanggarnya.
Ketidakotonoman hukum tampak dalam teori Talcott Parsons yang
memandang sistem hukum (legal system) hanya dari satu subsistem yang
terdapat dalam setiap masyarakat. Selain sistem hukum, masih terdapat
subsistem lainyaitu keluarga, sistem pendidikan, pranata-prananta dan
organisasi-organisasi social serta ekonomi dan kondisi lingkungan. Antara
sub-subsistem tersebut, terdapat hubungan saling pengaruhmempengaruhi. Hal itu berarti system hukum memberi dan menerima
pengaruh pada dan dari berbagai subsistem lain. Dalam kaitannya dengan

tawuran, sebagai salah satu fenomena hukum maka harus di yakini bahwa
terjadinya tawuran di dorong oleh berbagai faktor yang bukan hanya
bersumber dari keadaan penanaman nilai awal dalam keluarga bagi
seorang anak, kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan pelaku
tawuran tersebut. Dalam kaitannya tentang peranan keluarga dan sistem
pendidikan dalam suatu masyarakat.
Oleh karena itu, bagi kajian sosiologis, ekstensi pengadilan tidak
mungkin netral dan otonom. Bagaimanapun setiap pengadilan yang
berada dalam satu Negara, teramat sangat wajar jika memiliki
keberpihakan pada ideologi dan political will negaranya. Oleh karena itu
pula, adalah tidak aneh bagi sosiologi hukum jika pengadilan menjadi alat
politik seperti yang di tuliskan oleh Curzon (1979:19).
Secara sosiologis, dikenal adanya dua jenisa kekerasan, yaitu
kekerasan stuktural dan kekerasan personal. Kekerasan struktural adalah
kekerasan secara tidak langsung, dimana Marsana Windhu (1992 : 64)
member contoh : penyalahgunaan sumber-sumber daya, wawasan dan
hasil kemajuan untuk tujuan lain atau di monopoli oleh segelintir orang
saja, maka ada kekerasan dalam sistem ini.
Kemampuan masyarakat pun berbeda-beda dalam mengendalikan
diri mengekang harapan-harapannya yang tak kunjung terwujud. Sebagai
contoh golongan yang lebih sering menggunakan otak dan rasionya,
kemungkinan memiliki kemampuan pengendalian diri yang cukup tinggi
untuk menghindarkan irinya dari tindak kekerasan; sebaliknya golongan
yang lebih sering menggunakan otot dan emosinya, kemungkinan akan
lebih terpancing menggunakan jalan kekerasan dalam meledakkan
frustasinya.
Bagaimanapun, suka atau tidak suka, hukuman di jatuhkan untuk
memeberi sanksi eksternal terhdap prilaku kriminal. Hal ini selaras
dengan apa yang dikemukakan oleh E. Adamson Hobel bahwa: hukum

merupakan suatu badan dari kewajiban-kewajiban yang mengikat, yang di


hormati sebagai hak dari satu pihak dan di akui sebagai kewajiban oleh
pihak lain, penggunaan kekuasaan melalui mekanisme yang spesifik yang
melekat didalam struktur masyarakat.
Dan oleh karena itu, E. Adamson Hobel menegaskan pula bahwa:
without physical force there can be no law (tanpa kekuasaan fisik maka
tidak ada hukum).

Anda mungkin juga menyukai