Anda di halaman 1dari 20

REFERAT PATOLOGI ANATOMI

BLOK SISTEM KARDIOVASKULAR


INFARK MIOKARD KRONIK

Disusun oleh :
Kelompok 2
Gilang Rara Amrullah

G1A011004

Irma Nuraeni Hidayat

G1A011005

Raditya Bagas Wicaksono

G1A011006

Asisten:
Dessriya Ambar R.
G1A010086

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013

HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT PATOLOGI ANATOMI
BLOK SISTEM KARDIOVASKULAR
INFARK MIOKARD KRONIK

Kelompok 2

Disusun

Gilang Rara Amrullah

G1A011004

Irma Nuraeni Hidayat

G1A011005

Raditya Bagas Wicaksono

G1A011006

untuk

memenuhi

persyaratan

mengikuti

ujian

identifikasi

laboratorium Patologi Anatomi blok Sistem Kardiovaskular pada Jurusan Kedokteran


Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.

Diterima dan disahkan,


Purwokerto, 6 Mei 2013
Asisten,

Dessriya Ambar R.
G1A010086

I. PENDAHULUAN

Penyakit yang menyerang sistem kardiovaskular akhir-akhir ini meningkat


sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi baik lingkungan
maupun zat-zat yang ada di dalam makanan. Salah satunya adalah penyakit infark
miokard kronik. Infark miokard kronik merupakan kematian sel miokard yang
berkembang oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
otot-otot jantung. Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti
oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark
bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral dan berlangsung lama
(Davey, 2006). Faktor risiko seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia,
penyakit jantung coroner, aktivitas fisik, dan stress meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien. Sebanyak satu setengah juta pasien infark miokard kronis di
Amerika Serikat terdiagnosis setiap tahunnya dengan mortalitas 30% (Rilantono et
al., 2004).
Infark miokard kronis merupakan salah satu diagnosa yang paling umum pada
pasien yang dirawat di rumah sakit di negara- negara barat. Di Amerika Serikat,
kurang lebih 1,5 juta infark miokard kronis terjadi setiap tahunnya. Mortalitas karena
infark akut kurang lebih 30 persen, demikian pula di Indonesia (Rilantono et al.,
2004).

II. PEMBAHASAN

A. Definisi
Infark miokard kronik adalah nekrosis miokard yang berkembang oleh
karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung.
Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh
pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark
bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral dan berlangsung lama
(Davey, 2006).
B. Etiologi
Secara garis besar, terjadinya infark miokard kronis biasanya dikarenakan
aterosklerosis pembuluh darah koroner. Nekrosis miokard akut terjadi akibat
penyumbatan,total arteri koronaria oleh trombus yang terbentuk pada plak
aterosklerosis yang tidak stabil. Juga sering mengikuti ruptur plak pada arteri
koroner dengan stenosis ringan (Rilantono et al., 2004). Etiologi infark miokard
kronis hampir sama seperti infark miokard akut yaitu (Udjianti, 2010) :
1. Coronary artery disease antara lain atherosklerosis, arthritis, trauma pada
arteri koroner, penyempitan arteri koroner karena spasme atau dissecting
aorta dan arteri koroner (Udjianti, 2010).
2. Emboli arteri coroner yang bias disebabkan endokarditis infektif, cardiac
myxoma, cardiopulmonal bypass surgery, arteriografi koroner (Udjianti,
2010).
3. Kelainan kongenital seperti anomali arteri koronaria (Udjianti, 2010).
4. Ketidakseimbangan suplai oksigen dan kebutuhan miokard yang disebabkan
tirotoksikosis, hipotensi kronis, keracunan karbon monoksida, stenosis atau
insufisiensi aorta (Udjianti, 2010).
5. Gangguan hematologi seperti anemia, polisitemia vera, hiperkoagulabilitas,
trombosis, dan trombositosis (Udjianti, 2010).
C. Epidemiologi

Infark miokard kronis merupakan salah satu diagnosa yang paling umum
pada pasien yang dirawat di rumah sakit di negara- negara barat. Di Amerika
Serikat, kurang lebih 1,5 juta infark miokard kronis terjadi setiap tahunnya.
Mortalitas karena infark akut kurang lebih 30 persen, dengan lebih separuh dari
kematian terjadi sebelum pasien/penderita masuk rumah sakit. Meskipun harapan
hidup sesudah perawatan di rumah sakit telah meningkat selama dua dekade
terakhir, tambahan 5 10 persen pasien yang selamat meninggal pada tahun
pertama sesudah infark miokard kronis dan jumlah infark miokard kronis setiap
tahun di Amerika Serikat sebagian besar tetap tidak berubah sejak awal tahun
1970-an. Resiko mortalitas berlebihan dan infark miokard non-fatal rekuren
menetap pada pasien yang sembuh. Jika hal ini diterapkan di Indonesia, berarti
ada sekitar 270.000 kasus/tahun (asumsi penduduk 270 juta). Di jakarta sendiri
dengan estimasi penduduk 10 juta, diperkirakan ada sekitar 10.000 kasus/tahun.
Dari kasus tersebut diperkirakan 30% harus menemui ajalnya (Rilantono et al.,
2004).
D. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya infark miokard kronis
hampir sama dengan infark miokard akut, antara lain merokok, hipertensi,
obesitas, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus. Faktor resiko yang menjadi
pencetus terjadinya infark miokard adalah (Rilantono et al., 2004) :
1. Faktor resiko yang dapat diubah
a. Faktor mayor seperti merokok, hipertensi, obesitas, hiperlipidemia,
hiperkolesterolimia dan pola makan (diit tinggi lemak dan tinggi kalori).
b. Faktor minor seperti stress, kepribadian tipe A (emosional, agresif, dan
ambivalen) dan inaktifitas fisik.

2. Faktor resiko yang tidak dapat diubah


a. Hereditas/keturunan
b. Usia lebih dari 40 tahun
c. Ras, insidensi lebih tinggi orang berkulit hitam.
d. Jenis kelamin, insidensi pria lebih sering daripada wanita.
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala utama yang bisa dijumpai pada penderita infark miokard
(Ferri, 2011) adalah :
1. nyeri dada substernal, retrosternal, maupun prekordial yang menjalar ke
lengan kiri, leher kiri, punggung.
2. nyeri dada seperti ditekan atau ditindih
3. nyeri dada persisten lebih dari tiga puluh menit
4. nyeri dada tidak membaik saat istirahat maupun pemberian nitrogliserin
5. takikardi dan palpitasi (apabila infark terjadi di anterior)
6. memiliki riwayat infark miokard akut sebelumnya
7. memiliki berbagai faktor risiko seperti hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, penyakit jantung coroner, aktivitas fisik, dan stress.
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Nyeri dada substernal, retrosternal, maupun prekordial yang menjalar
ke lengan kiri, leher kiri, punggung dan memiliki kualitas seperti ditekan atau
ditindih. Nyeri dada persisten lebih dari tiga puluh menit dan tidak membaik
saat istirahat maupun pemberian nitrogliserin. Pasien mengeluhkan takikardi
dan palpitasi dan memiliki riwayat infark miokard akut sebelumnya. Pasien
memiliki berbagai faktor risiko seperti hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, penyakit jantung coroner, aktivitas fisik, dan stress (Ferri, 2011).

2.

Pemeriksaan fisik
Hal yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik pasien infark miokard
akut adalah (Chou, 2006) :
a. Pasien cemas, gelisah, ekstremitas pucat dan terdapat keringat dingin
b. Apabila infark terjadi di bagian anterior maka akan muncul peningkatan
simpatis sehingga terjadi hipereaktif saraf simpatis (takikardi dan
c.

hipertensi)
Apabila infark terjadi di bagian posterior maka akan muncul

hipereaktifitas saraf parasimpatis seperti bradikardi dan hipotensi


d. Terdapat gallop S3 dan S4
e. Penurunan intensitas S1
f. Murmur mid-late systolic
g. Peningkatan suhu hingga 380C pada minggu pertama serangan
6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk membantu
penegakan diagnosis pasien infark miokard akut adalah (Abdel-Aty et al.,
2004) :
a. Elektrokardiografi dimana akan didapatkan perubahan segmen ST disertai
gelombang Q patologis yang menandakan infark persisten dan sudah
b.

lama terjadi.
Kenaikan penanda biokimia jantung yaitu CKMB, cTnI, myoglobin, dan

c.

LDH.
Perubahan delayed-contrast enchanced magnetic resonance imaging
(MRI) yaitu penurunan waktu relaksasi T1 dan T2.

F. Patogenesis google translate!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!


Infark miokard kronis dikaitkan dengan perubahan ventrikel dan
membangkitkan adaptasi dalam sistem kontrol neurohumoral jantung (Davey,
2006). Terjadi proses iskemia yang akan menyebabkan kerusakan sel irreversibel
serta nekrosis atau kematian otot. Bagian miokardium yang mengalami infark
atau nekrosis akan berhenti berkontraksi secara permanen. Jaringan yang
mengalami infark dikeliingi oleh suatu daerah iskemik yang berpotensi dapat
hidup (Price et al., 2006).
Thrombus menyumbat aliran darah arteri koroner, sehingga suplai nutrisi
dan O2 ke bagian distal terhambat, sel otot jantung bagian distal mengalami

hipoksia iskhemik infark, kemudian serat otot menggunakan sisa akhir oksigen
dalam darah, hemoglobin menjadi teroduksi secara total dan menjadi berwarna
biru gelap, dinding arteri menjadi permeable, terjadilah edematosa sel, sehingga
sel mati. Namun pada infark miokard kronis meskipun ada sumbatan di pembuluh
darah koroner, tapi darah masih bisa mengalir meskipun sedikit untuk
memperdarahi jantung itu sendiri (Price et al., 2006). Saat infark miokard akut
berhasil dilalui namun stenosis arteri tidak berhasil diperbaiki maka akan terjadi
kekurangan oksigen dan nutrisi yang terus menerus pada jaringan jantung seperti
miokardium. Hal ini menginduksi kolagen dan berbagai faktor lain untuk
memproduksi jaringan fibrotik dan menggantikan sel miokardium yang telah
mengalami infark. Jaringan fibrotik yang berkembang menggantikan miokardium
sehingga fungsi kontraktilitas otot jantung terganggu sehingga mengganggu
perfusi jaringan dan menyebabkan berbagai efek sistemik yang mengikutinya
(Davey, 2006).

Gambar 2.1. Patogenesis Infark Miokardium Kronik (Davey, 2006)

10

G. Patofisiologi
Hipoksia yang terjadi pada jaringan otot jantung memaksa sel untuk
melakukan metabolisme CO2 (metabolisme anaerob), sehingga menghasilkan
asam laktat dan juga merangsang pengeluaran zat-zat iritatif lainnya seperti
histamine, kinin, atau enzim proteolitik seluler merangsang ujung-ujung syaraf
reseptor nyeri di otot jantung, impuls nyeri dihantarkan melalui serat saraf aferen
simpatis, kemudian dihantarkan ke hipothalamus, korteks serebri, serat saraf
aferen, dan dipersepsikan nyeri (Udjianti, 2010). Perangsangan syaraf simpatis
yang berlebihan akan menyebabkan (Udjianti, 2010) :
1. Meningkatkan kerja jantung dengan menstimulasi SA Node sehingga

menghasilkan frekuensi denyut jantung lebih dari normal (takikardi).


2. Merangsang kelenjar keringat sehingga ekresi keringat berlebihan.
3. Menekan kerja parasimpatis, sehingga gerakan peristaltik menurun, akumulai
cairan di saluran pencernaan, rasa penuh di lambung, sehingga merangsang
rasa mual/muntah.
4. Vasokonstriksi pembuluh darah perifer, sehinga alir balik darah vena ke
atrium kanan meningkat, dan akhirnya tekanan darah meningkat.

11

arterosklerosis

nyeri

aktivitas
simpatik

cardiac work
cardiac efisiency
Iskemi Miokardial

disritmia

ATP
ion pump
Ca2+
Aktivasi protease
Kerusakan Membran

Aktivasi reseptor TNF

ICE-related protease
activation
Inaktivasi PARP
Fragmentasi DNA

nekrosis

apoptosis

nekrosis

Gambar 2.2. Skema patofisiologi infark miokard kronis (Brown, 2005)


Pada patofisiologi infark miokard kronis hampir sama dengan infark
miokard akut. Namun yang perlu digaris bawahi adalah jika pada infark miokard
akut terjadi sumbatan total pada pembuluh darah, pada infark miokard kronis
terjadi sumbaran tapi tidak total dan darah masih bisa mengalir untuk
memperdarahi jantung. Sehingga memberikan dampak serangan nyeri tidak tiba-

12

tiba karena jantung masih mendapat pasokan nutrisi dan O2 (Brown, 2005).
H. Gambaran Makroskopis

Gambar 2.3. Makroskopis infark miokard kronis (FK UNDIP, 2013)


Perbedaan gambaran makroskopis infark miokard akut dan infark
miokard kronis adalah jika pada infark miokard akut gambaran sudah pucat putih
karena sudah tidak ada aliran darah lagi, namun pada infark miokard kronis masih
ada aliran darah meskipun terhambat tetapi tidak total (Horstick, 2009).

13

I. Gambaran Histopatologi dan Penjelasannya


Infark miokard kronik akan menunjukkan perubahan jaringan di
dalamnya dimana bisa didapatkan jaringan fibrotik akibat nekrosis miokard akibat
iskemia persisten (Kumar et al., 2007).

1
3

Gambar 2.4. Histopatologi Infark Miokard Kronik (Kumar et al., 2007)


Temuan penting yang dapat diamati dalam gambaran histopatologi di atas
antara lain (Kumar et al., 2007) :
1. Fibrosis miokardium
2. Miokardium yang atrofi dan terdesak
3. Sebukan sel radang kronik
J. Terapi Lama
1.

Nonmedikamentosa berupa modifikasi gaya hidup menuju ke pola hidup


sehat (Nafrialdi et al., 2012).

2.

Medikamentosa
Setiap faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dan permintaan dapat memicu iskemia. Kebutuhan oksigen
miokard meningkat dengan peningkatan denyut jantung, kontraksi, atau
ventrikel kiri stres dinding. Suplai oksigen miokard ditentukan oleh aliran
arteri koroner dan ekstraksi oksigen miokard (Nafrialdi et al., 2012). Obat
anti-angina pektoris merupakan andalan manajemen anti-iskemik dan
bertindak untuk memperbaiki keseimbangan antara pasokan dan permintaan

14

miokard dengan meningkatkan aliran darah koroner, mengurangi kebutuhan


oksigen miokard, atau keduanya. Obat-obat ini termasuk (Nafrialdi et al.,
2012) :
a.

nitrat yang bertindak terutama oleh vasodilatasi vena, tapi mungkin juga
oleh pelebaran koroner.

b.

beta-blocker yang bertindak terutama dengan mengurangi denyut


jantung dan kontraktilitas jantung

c.

calcium channel blockers yang bertindak terutama oleh arteri koroner


dan vasodilatasi.

d.

aspirin dan obat penurun lipid dan peran potensial untuk anti-oksidan
juga harus dipertimbangkan dalam terapi kombinas.
Pilihan terapi dan keefektifannya tergantung pada penyebab yang

mendasari iskemia. Mekanisme golongan obat menunjukkan bahwa


penggunaannya dalam kombinasi dapat menyebabkan penurunan lebih besar
pada kebutuhan oksigen miokard dari yang dicapai dengan monoterapi.
Selain itu, tindakan farmakologis dari beberapa obat ini dapat berfungsi
untuk mengimbangi efek samping yang tidak diinginkan terkait dengan
orang lain, misalnya, takikardia refleks diproduksi oleh beberapa calcium
channel blockers dapat diimbangi dengan terapi beta blocker (Nafrialdi et
al., 2012).
3. Teknik invasif untuk manajemen iskemik miokard, seperti bypass arteri
koroner dan angioplasti koroner, meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan

menghilangkan

atau

menghindari

obstruksi

aterosklerotik

bertanggung jawab untuk iskemia. Pembedahan merupakan teknik yang


lebih disukai pada pasien dengan kondisi medis tertentu, misalnya, mereka
dengan penyakit triple-kapal, tetapi tidak dianjurkan pada pasien dengan
angina ringan kecuali penyakit arteri kiri utama hadir (Nafrialdi et al., 2012).
K. Terapi Baru
Stem cell atau sel punca merupakan terapi yang dapat menjadi harapan baru di

15

masa depan sebagai solusi mengatasi nekrosis miokard yang persisten dan telah
digantikan oleh jaringan fibrotic. Sel ini dapat ditumbuhkan dari mesenkim yang
bersifat pluripotent dan dapat berproliferasi dan berdiferensiasi sebagai jantung
yang baik dan sesuai dengan tubuh pasien tersebut, dibandingkan dengan
transplantasi jantung dari tubuh lainnnya. Walaupun sel punca tidak ditumbuhkan
sebagai organ yang baru, sel punca juga dapat meningkatkan efek reparasi sel-sel
jantung dengan lebih cepat (Gnecchi et al., 2005).
L. Komplikasi
1. Gagal ginjal kongestif
Merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Infark
miokardium

mengganggu

fungsi

miokardium

karena

menyebabkan

pengurangan kontraktilitas, menimbulkan gerakan dinding yang abnormal dan


mengubah daya kembang ruang jantung tersebut. Dengan berkurangnya
kemampuan ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar curah
sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Akibatnya
tekanan jantung sebelah kiri meningkat. Kenaikkan tekanan ini disalurkan ke
belakang ke vena pulmonalis. Bila tekanan hidrostatik dalam kapiler paruparu melebihi tekanan onkotik vaskuler maka terjadi proses transudasi ke
dalam ruang interstitial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi udema
paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam alveolis sampai terjadi gagal
jantung kiri. Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung
kanan akibat meningkatnya tekanan vaskuler paru-paru sehingga membebani
ventrikel kanan (Guyton, 2007).
2. Syok kardiogenik
Diakibatkan karena disfungsi nyata ventrikel kiri sesudah mengalami
infark yang masif, biasanya mengenai lebif dari 40% ventrikel kiri.

16

Timbul lingkaran setan hemodinamik progresif hebat yang irreversibel,


yaitu (Guyton, 2007) :
a. Penurunan perfusi perifer
b. Penurunan perfusi koroner
c. Peningkatan kongesti paru-paru
3. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrosis otot papilaris akan mengganggu
fungsi katup mitralis, memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium
selama sistolik. Inkompentensi katup mengakibatkan aliran retrograd dari
ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat pengurangan aliran ke
aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis. Volume
aliran regugitasi tergantung dari derajat gangguan pada otot papilaris
bersangkutan (Guyton, 2007).
4. Defek septum ventrikel

Nekrosis septum interventrikularis dapat menyebabkan ruptur dinding


septum sehingga terjadi defek septum ventrikel. Karena septum mendapatkan
aliran darah ganda yaitu dari arteri yang berjalan turun pada permukaan
anterior dan posterior sulkus interventrikularis, maka ruptur septum
menunjukkan adanya penyakit arteri koronaria yang cukup berat yang
mengenai lebih dari satu arteri. Ruptur membentuk saluran keluar kedua dari
ventrikel kiri. Pada tiap kontraksi ventrikel maka aliran terpecah dua yaitu
melalui aorta dan melalui defek septum ventrikel. Karena tekanan jantung kiri
lebih besar dari jantung kanan, maka darah akan mengalami pirau melalui
defek dari kiri ke kanan, dari daerah yang lebih besar tekanannya menuju
daerah yang lebih kecil tekanannya. Darah yang dapat dipindahakan ke kanan
jantung cukup besar jumlahnya sehingga jumlah darah yang dikeluarkan aorta
menjadi berkurang. Akibatnya curah jantung sangat berkurang disertai
peningkatan kerja ventrikel kanan dan kongesti (Guyton, 2007).

17

5. Ruptur jantung

Ruptur dinding ventrikel jantung yang bebas dapat terjadi pada awal
perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum
pembentukkan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah sehingga terjadi
perdarahan masif ke dalam kantong perikardium yang relatif tidak elastis tak
dapat berkembang. Kantong perikardium yang terisi oleh darah menekan
jantung ini akan menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini
akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung (Guyton, 2007).
6. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi
kasar yang merupakan predisposisi pembentukkan trombus. Pecahan trombus
mural intrakardia dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. Daerah kedua
yang mempunyai potensi membentuk trombus adalah sistem vena sistenik.
Embolisasi vena akan menyebabkan embolisme pada paru-paru (Guyton,
2007).
7. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dengan perikardium menjadi besar sehingga merangsang
permukaan perikardium dan menimbulkan reaksi peradangan, kadang-kadang
terjadi efusi perikardial atau penimbunan cairan antara kedua lapisan (Guyton,
2007).
8. Sindrom Dressler
Sindrom pasca infark miokardium ini merupakan respon peradangan
jinak yang disertai nyeri pada pleuroperikardial. Diperkirakan sindrom ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas terhadap miokardium yang
mengalami nekrosis (Guyton, 2007).
9. Aritmia
Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologis sel-sel miokardium.
Perubahan elektrofiiologis ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk
potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel (Guyton, 2007).

18

M. Prognosis
Prognosis infark miokard didasarkan pada tiga indeks pengukuran:
1. Proses terjadinya aritmia yang gawat
2. Potensi serangan iskemia yang lebih jauh
3. Potensi memburuknya gangguan hemodinamik
Prognosis dapat menjadi lebih buruk dengan adanya pertambahan usia,
peningkatkan disfungsi ventrikel, disritmia ventrikel dan infark berulang, selain
itu keterlambatan dalam reperfusi, remodelling ventrikel kiri, infark anterior,
EKG menunjukkan elevasi ST, blok cabang berkas dan tekanan darah sistolik
kurang dari 100 mm dengan takikardia lebih besar dari 100 per menit (Guyton,
2007).

19

III. KESIMPULAN

1. Infark miokard kronik adalah nekrosis miokard yang berkembang oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung dan
berlangsung lama.
2. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan melihat gejala yang muncul pada
pasien baik saat anamnesis maupun pemeriksaan fisik, tanda-tanda dari
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Tanda dan gejala tersebut antara
lain nyeri dada khas angina tidak stabil, memiliki berbagai faktor risiko, cemas,
gelisah, ekstremitas pucat dan terdapat keringat dingin, takikardi atau bradikardi
(tergantung lokasi infarknya), gallop, perubahan segmen ST, gelombang Q
patologis, peningkatan enzim biomarker jantung, dan perubahan delayed-contrast
enchanced magnetic resonance imaging (MRI) yaitu penurunan waktu relaksasi
T1 dan T2.
3. Penatalaksanaan konvensional dapat dilaksanakan secara non medikamentosa
yaitu perubahan (modifikasi) gaya hidup serta secara medikamentosa yaitu
melalui obat anti-angina pektoris antara lain nitrat, beta-blocker, dan calcium
channel blockers. Aspirin dan obat penurun lipid juga dapat dilaksanakan.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan antara lain bypass arteri koroner dan
angioplasti coroner.
4. Penatalaksanaan terkini yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan stem cell
atau sel punca.

20

DAFTAR PUSTAKA

Abdel-Aty H, Zagrosek A, Schulz-Menger J et al. 2004. Differentiate Acute From


Chronic Myocardial Infarction Delayed Enhancement and T2-Weighted
Cardiovascular Magnetic Resonance Imaging. Circulation 109:2411-2416.
Brown CT. 2005. Penyakit Aterosklerotik Koroner. dalam Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta: EGC. Hal 589-599.
Choi BW. 2006. Differentiation of Acute Myocardial Infarction from Chronic
Myocardial Scar with MRI. Korean J Radiol 7(1).
Davey P. 2006. At A Glance Medicine. Jakarta. Erlangga Medical Series.
Departemen Patologi Anatomi FK UNDIP. 2013. Patologi Anatomi Kardiovaskular.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Ferri F. 2011. Practical Guide to The Care of The Medical Patient. Philadelphia:
Mosby Elsevier.
Gnecchi M, He H, Liang OD. 2005. Paracrine action accounts for marked protection
of ischemic heart by Akt-modified mesenchymal stem cells. Nature
Medicine 11, 367 - 368.
Guyton AC. 2007. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: EGC
Penerbit Buku Kedokteran
Horstick G, Bierbach B. et al. 2009. Critical Single Proximal Left Arterial
Descending Coronary Artery Stenosis to Mimic Chronic Myocardial
Ischemia: A New Model Induced by Minimal Invasive Technology. J Vasc
Res;vol46:290298
Kumar, Abbas, Fausto, dan Mitchell. 2007. Robbins: Basic Pathology. 8th ed.
Philadelphia: Saunders Elsevier.
Nafrialdi and Suyatna FD. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A. et al. 2006. Patofisiologi. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Rilantono, Lily, Ismudiati, et al. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. hal 173-181.
Udjianti WJ. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai