Disusun oleh :
Kelompok 2
Gilang Rara Amrullah
G1A011004
G1A011005
G1A011006
Asisten:
Dessriya Ambar R.
G1A010086
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT PATOLOGI ANATOMI
BLOK SISTEM KARDIOVASKULAR
INFARK MIOKARD KRONIK
Kelompok 2
Disusun
G1A011004
G1A011005
G1A011006
untuk
memenuhi
persyaratan
mengikuti
ujian
identifikasi
Dessriya Ambar R.
G1A010086
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
A. Definisi
Infark miokard kronik adalah nekrosis miokard yang berkembang oleh
karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung.
Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh
pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard infark
bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral dan berlangsung lama
(Davey, 2006).
B. Etiologi
Secara garis besar, terjadinya infark miokard kronis biasanya dikarenakan
aterosklerosis pembuluh darah koroner. Nekrosis miokard akut terjadi akibat
penyumbatan,total arteri koronaria oleh trombus yang terbentuk pada plak
aterosklerosis yang tidak stabil. Juga sering mengikuti ruptur plak pada arteri
koroner dengan stenosis ringan (Rilantono et al., 2004). Etiologi infark miokard
kronis hampir sama seperti infark miokard akut yaitu (Udjianti, 2010) :
1. Coronary artery disease antara lain atherosklerosis, arthritis, trauma pada
arteri koroner, penyempitan arteri koroner karena spasme atau dissecting
aorta dan arteri koroner (Udjianti, 2010).
2. Emboli arteri coroner yang bias disebabkan endokarditis infektif, cardiac
myxoma, cardiopulmonal bypass surgery, arteriografi koroner (Udjianti,
2010).
3. Kelainan kongenital seperti anomali arteri koronaria (Udjianti, 2010).
4. Ketidakseimbangan suplai oksigen dan kebutuhan miokard yang disebabkan
tirotoksikosis, hipotensi kronis, keracunan karbon monoksida, stenosis atau
insufisiensi aorta (Udjianti, 2010).
5. Gangguan hematologi seperti anemia, polisitemia vera, hiperkoagulabilitas,
trombosis, dan trombositosis (Udjianti, 2010).
C. Epidemiologi
Infark miokard kronis merupakan salah satu diagnosa yang paling umum
pada pasien yang dirawat di rumah sakit di negara- negara barat. Di Amerika
Serikat, kurang lebih 1,5 juta infark miokard kronis terjadi setiap tahunnya.
Mortalitas karena infark akut kurang lebih 30 persen, dengan lebih separuh dari
kematian terjadi sebelum pasien/penderita masuk rumah sakit. Meskipun harapan
hidup sesudah perawatan di rumah sakit telah meningkat selama dua dekade
terakhir, tambahan 5 10 persen pasien yang selamat meninggal pada tahun
pertama sesudah infark miokard kronis dan jumlah infark miokard kronis setiap
tahun di Amerika Serikat sebagian besar tetap tidak berubah sejak awal tahun
1970-an. Resiko mortalitas berlebihan dan infark miokard non-fatal rekuren
menetap pada pasien yang sembuh. Jika hal ini diterapkan di Indonesia, berarti
ada sekitar 270.000 kasus/tahun (asumsi penduduk 270 juta). Di jakarta sendiri
dengan estimasi penduduk 10 juta, diperkirakan ada sekitar 10.000 kasus/tahun.
Dari kasus tersebut diperkirakan 30% harus menemui ajalnya (Rilantono et al.,
2004).
D. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya infark miokard kronis
hampir sama dengan infark miokard akut, antara lain merokok, hipertensi,
obesitas, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus. Faktor resiko yang menjadi
pencetus terjadinya infark miokard adalah (Rilantono et al., 2004) :
1. Faktor resiko yang dapat diubah
a. Faktor mayor seperti merokok, hipertensi, obesitas, hiperlipidemia,
hiperkolesterolimia dan pola makan (diit tinggi lemak dan tinggi kalori).
b. Faktor minor seperti stress, kepribadian tipe A (emosional, agresif, dan
ambivalen) dan inaktifitas fisik.
2.
Pemeriksaan fisik
Hal yang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik pasien infark miokard
akut adalah (Chou, 2006) :
a. Pasien cemas, gelisah, ekstremitas pucat dan terdapat keringat dingin
b. Apabila infark terjadi di bagian anterior maka akan muncul peningkatan
simpatis sehingga terjadi hipereaktif saraf simpatis (takikardi dan
c.
hipertensi)
Apabila infark terjadi di bagian posterior maka akan muncul
lama terjadi.
Kenaikan penanda biokimia jantung yaitu CKMB, cTnI, myoglobin, dan
c.
LDH.
Perubahan delayed-contrast enchanced magnetic resonance imaging
(MRI) yaitu penurunan waktu relaksasi T1 dan T2.
hipoksia iskhemik infark, kemudian serat otot menggunakan sisa akhir oksigen
dalam darah, hemoglobin menjadi teroduksi secara total dan menjadi berwarna
biru gelap, dinding arteri menjadi permeable, terjadilah edematosa sel, sehingga
sel mati. Namun pada infark miokard kronis meskipun ada sumbatan di pembuluh
darah koroner, tapi darah masih bisa mengalir meskipun sedikit untuk
memperdarahi jantung itu sendiri (Price et al., 2006). Saat infark miokard akut
berhasil dilalui namun stenosis arteri tidak berhasil diperbaiki maka akan terjadi
kekurangan oksigen dan nutrisi yang terus menerus pada jaringan jantung seperti
miokardium. Hal ini menginduksi kolagen dan berbagai faktor lain untuk
memproduksi jaringan fibrotik dan menggantikan sel miokardium yang telah
mengalami infark. Jaringan fibrotik yang berkembang menggantikan miokardium
sehingga fungsi kontraktilitas otot jantung terganggu sehingga mengganggu
perfusi jaringan dan menyebabkan berbagai efek sistemik yang mengikutinya
(Davey, 2006).
10
G. Patofisiologi
Hipoksia yang terjadi pada jaringan otot jantung memaksa sel untuk
melakukan metabolisme CO2 (metabolisme anaerob), sehingga menghasilkan
asam laktat dan juga merangsang pengeluaran zat-zat iritatif lainnya seperti
histamine, kinin, atau enzim proteolitik seluler merangsang ujung-ujung syaraf
reseptor nyeri di otot jantung, impuls nyeri dihantarkan melalui serat saraf aferen
simpatis, kemudian dihantarkan ke hipothalamus, korteks serebri, serat saraf
aferen, dan dipersepsikan nyeri (Udjianti, 2010). Perangsangan syaraf simpatis
yang berlebihan akan menyebabkan (Udjianti, 2010) :
1. Meningkatkan kerja jantung dengan menstimulasi SA Node sehingga
11
arterosklerosis
nyeri
aktivitas
simpatik
cardiac work
cardiac efisiency
Iskemi Miokardial
disritmia
ATP
ion pump
Ca2+
Aktivasi protease
Kerusakan Membran
ICE-related protease
activation
Inaktivasi PARP
Fragmentasi DNA
nekrosis
apoptosis
nekrosis
12
tiba karena jantung masih mendapat pasokan nutrisi dan O2 (Brown, 2005).
H. Gambaran Makroskopis
13
1
3
2.
Medikamentosa
Setiap faktor yang menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dan permintaan dapat memicu iskemia. Kebutuhan oksigen
miokard meningkat dengan peningkatan denyut jantung, kontraksi, atau
ventrikel kiri stres dinding. Suplai oksigen miokard ditentukan oleh aliran
arteri koroner dan ekstraksi oksigen miokard (Nafrialdi et al., 2012). Obat
anti-angina pektoris merupakan andalan manajemen anti-iskemik dan
bertindak untuk memperbaiki keseimbangan antara pasokan dan permintaan
14
nitrat yang bertindak terutama oleh vasodilatasi vena, tapi mungkin juga
oleh pelebaran koroner.
b.
c.
d.
aspirin dan obat penurun lipid dan peran potensial untuk anti-oksidan
juga harus dipertimbangkan dalam terapi kombinas.
Pilihan terapi dan keefektifannya tergantung pada penyebab yang
menghilangkan
atau
menghindari
obstruksi
aterosklerotik
15
masa depan sebagai solusi mengatasi nekrosis miokard yang persisten dan telah
digantikan oleh jaringan fibrotic. Sel ini dapat ditumbuhkan dari mesenkim yang
bersifat pluripotent dan dapat berproliferasi dan berdiferensiasi sebagai jantung
yang baik dan sesuai dengan tubuh pasien tersebut, dibandingkan dengan
transplantasi jantung dari tubuh lainnnya. Walaupun sel punca tidak ditumbuhkan
sebagai organ yang baru, sel punca juga dapat meningkatkan efek reparasi sel-sel
jantung dengan lebih cepat (Gnecchi et al., 2005).
L. Komplikasi
1. Gagal ginjal kongestif
Merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium. Infark
miokardium
mengganggu
fungsi
miokardium
karena
menyebabkan
16
17
5. Ruptur jantung
Ruptur dinding ventrikel jantung yang bebas dapat terjadi pada awal
perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum
pembentukkan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah sehingga terjadi
perdarahan masif ke dalam kantong perikardium yang relatif tidak elastis tak
dapat berkembang. Kantong perikardium yang terisi oleh darah menekan
jantung ini akan menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini
akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung (Guyton, 2007).
6. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel menjadi
kasar yang merupakan predisposisi pembentukkan trombus. Pecahan trombus
mural intrakardia dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik. Daerah kedua
yang mempunyai potensi membentuk trombus adalah sistem vena sistenik.
Embolisasi vena akan menyebabkan embolisme pada paru-paru (Guyton,
2007).
7. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dengan perikardium menjadi besar sehingga merangsang
permukaan perikardium dan menimbulkan reaksi peradangan, kadang-kadang
terjadi efusi perikardial atau penimbunan cairan antara kedua lapisan (Guyton,
2007).
8. Sindrom Dressler
Sindrom pasca infark miokardium ini merupakan respon peradangan
jinak yang disertai nyeri pada pleuroperikardial. Diperkirakan sindrom ini
merupakan suatu reaksi hipersensitivitas terhadap miokardium yang
mengalami nekrosis (Guyton, 2007).
9. Aritmia
Aritmia timbul akibat perubahan elektrofisiologis sel-sel miokardium.
Perubahan elektrofiiologis ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk
potensial aksi yaitu rekaman grafik aktivitas listrik sel (Guyton, 2007).
18
M. Prognosis
Prognosis infark miokard didasarkan pada tiga indeks pengukuran:
1. Proses terjadinya aritmia yang gawat
2. Potensi serangan iskemia yang lebih jauh
3. Potensi memburuknya gangguan hemodinamik
Prognosis dapat menjadi lebih buruk dengan adanya pertambahan usia,
peningkatkan disfungsi ventrikel, disritmia ventrikel dan infark berulang, selain
itu keterlambatan dalam reperfusi, remodelling ventrikel kiri, infark anterior,
EKG menunjukkan elevasi ST, blok cabang berkas dan tekanan darah sistolik
kurang dari 100 mm dengan takikardia lebih besar dari 100 per menit (Guyton,
2007).
19
III. KESIMPULAN
1. Infark miokard kronik adalah nekrosis miokard yang berkembang oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung dan
berlangsung lama.
2. Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan melihat gejala yang muncul pada
pasien baik saat anamnesis maupun pemeriksaan fisik, tanda-tanda dari
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Tanda dan gejala tersebut antara
lain nyeri dada khas angina tidak stabil, memiliki berbagai faktor risiko, cemas,
gelisah, ekstremitas pucat dan terdapat keringat dingin, takikardi atau bradikardi
(tergantung lokasi infarknya), gallop, perubahan segmen ST, gelombang Q
patologis, peningkatan enzim biomarker jantung, dan perubahan delayed-contrast
enchanced magnetic resonance imaging (MRI) yaitu penurunan waktu relaksasi
T1 dan T2.
3. Penatalaksanaan konvensional dapat dilaksanakan secara non medikamentosa
yaitu perubahan (modifikasi) gaya hidup serta secara medikamentosa yaitu
melalui obat anti-angina pektoris antara lain nitrat, beta-blocker, dan calcium
channel blockers. Aspirin dan obat penurun lipid juga dapat dilaksanakan.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan antara lain bypass arteri koroner dan
angioplasti coroner.
4. Penatalaksanaan terkini yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan stem cell
atau sel punca.
20
DAFTAR PUSTAKA