Anda di halaman 1dari 17

ETIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL

Oleh :
Ni Luh Gita Meidinasari 015/G/13

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR

ETIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL

I.

PENGERTIAN PENYAKIT PERIODONTAL


Penyakit

periodontal

merupakan

penyakit

yang

disebabkan

infeksi pada

adanya
jaringan

periodontal. Bakteri plak merupakan penyebab utama terjadinya penyakit


periodontal berupa inflamasi seperti periodontitis kronis. Beberapa faktor lain
turut berperan secara tidak langsung dengan cara memfasilitsasi penumpukan dan
perkembangbiakan

bakteri

plak

seperti

Streptococcus

mutans, Phorphyromonas gingivalis, Actinobacillus actinomycetemcomitans


dan Bacteriodes melaninogenicus.Sebagai contoh adalah kalkulus, gigi yang
berjejal(crowded ) , karies gigi yang berada dekat tepi gingiva, tambalan yang
over hanging, dan tepi restorasi yang tidak baik. Di samping itu, berperan pula
faktor-faktor lain sebagai faktor resiko, seperti faktor lingkungan, tingkah
laku,dan biologis, yang keberadaannya dapat meningkatkan kemungkinan
sesorang menderita suatu penyakit.
Penyakit

periodontal

dimulai

dari

gingivitis,

bila

tidak

dapat berkembang

terawat
menjadi

periodontitis dimana terjadi kerusakan jaringan perio- dontal berupa kerusakan


fiber,

ligament

periodontal

dan

tulang

kronispada periodontitis dapat berkembang

alveolar.

Lesi

menjadi suatu

abses yang sering disebut abses periodontal.Abses periodontal merupakanlesi infl


amatori yang bersifat akut dan dekstruktif pada jaringan periodontal yang
menimbulkan akumulasi pus di dinding gingiva pada poket periodontal
(Topazian,et al., 2002)
Gingivitis merupakan proses peradangan didalam jaringan periodonsium yang
terbatas pada gingiva, yang disebabkan oleh mikroorganisme yaang membentuk
suatu koloni serta membentuk plak gigi yang melekat pada tepi gingival.
Gingivitis

adalah

peradangan

gingiva.

Pada

kondisi

ini

tidak

terjadikehilangan perlekatan. Pada pemeriksaan klinis terdapat gambaran


kemerahan dimargin gingiva, pembengkakan dengan tingkat yang bervariasi,
perdarahan saat probing dengan tekanan ringan dan perubahan bentuk gingival

Peradangan gingiva disebabkan oleh faktor plak maupun non-plak. Namun pe


radangan

gingiva

tidak selalu disebabkan oleh akumulasi plak pada permukaan gigi,


dan peradangan
memperlihatkan

gingiva yangtidak disebabkan oleh plak serin


gambaran

klinis

yang

khas.

Keadaan

yang
ini

dapat

disebabkan beberapa penyebab, seperti infeksi bakteri spesifik, infeksi virus atau
jamur yang tidak berhubungan dengan peradangan gingiva yang berhubungan
dengan plak dan peradangan gingiva karena faktor genetik.
Peradangan gingival yang berasal dari faktor genetik terlihat pada
Hereditary gingival

fibromatosis,

dan

yang bermanifestasi sebagai peradangan

beberapa

kelainan

mukokutaneus

gingiva. Contoh lesi adalah

lichen

planus, pemphigoid, pemphigus vulgaris dan erythema multiforme. Alergi dan


trauma merupakan contoh lain dari peradangan gingiva yang tidak disebabkan
oleh faktor non-plak

II.

ETIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL


A. BERDASARKAN PERANANNYA
1. FAKTOR ETIOLOGI PRIMER
Penyebab primer dari penyakit periodontal adalah iritasi bakteri. Meskipun
demikian, sejumlah kecil plak biasanya tidak mengganggu kesehatan
gingiva dan periodontal (Lang dkk., 1937) dan beberapa pasien bahkan
mempunyai jumlah plak yang cukup besar yang sudah berlangsung lama
tanpa mengalami periodontitis yang merusak walaupun mereka mengalami
gingiviti.
Ada beberapa faktor lain baik lokal maupun sistemis yang merupakan
predisposisi dari akumulasi plak atau perubahan respons gingiva terhadap
plak. Faktor faktor ini dapat dianggap sebagai faktor etiologi sekunder.
Teori Plak
Hubungan antara kebersihan mulut dan penyakit gingiva sudah ditemukan
sejak zaman purba. Dewasa ini sudah cukup banyak bukti yang mendukung
hubungan tersebut. Bukti bukti berasal dari penelitian klinis, penelitian
epidemiologis, percobaan klinis dan mikrobiologi dan mikrobiologi, dan
akhir akhir ini, dari penelitian imunologi. Bukti bukti tersebut dapat
diringkas sebagai berikut :

1. Jumlah bakteri yang ada pada leher gingiva yang diianflamasi atau poket periodontal
lebih besar daripada leher gingiva yang sehat.
2. Bila ada inflamasi gingiva atau pket periodontal jumlah organisme di dalam mulut akan
meningkat
3. Injeksi bakteri mulut manusia pada babi dapat menimbulkan pembentukan abses, kalau
bakteri ini bersifat patogen.
4. Penelitian epidemiologis terhadap berbagai kelompok populasi di berbagai belahan
dunia menunjukkan hubungan langsung antara jumlah deposit bakteri yang diukur
melalui indeks kebersihan mulut dan keparahan inflamasi gingivanya.
5. Data epidemiologi menunjukkan hubungan langsung antara status kebersihan mulut dan
derajat kerusakan periodontal seperti terlihat dari gambaran radiografi tentang
kerusakan tulang alveolar.
6. Produksi inflamasi gingiva dalam percobaan, dengan cara penarikan semua bentuk
pembersih mulut. Loe dkk. (1965) menunjukkan bahwa bila 12 pelajar berhenti
membersihkan gigi geliginya, sehingga plak leluasa berkumpul disekitar tepi gingiva,
inflamasi gingiva selalu timbul. Bila pembersihan gigi dilakukan kembali, dan plak
dihilangkan, inflamasi akan reda (gambar 4.1)
7. Percobaan diatas biala diulangi pada anjing Beagle juga memberikan hasil serupa.
Selain itu pemberian diet yang lunak dan lengket pada hewan juga dapat menimbulkan
penyakit periodontal.
8. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kontol kebersihan mulut dapat
mengurangi terjadinya gingivitis.
9. Inflamasi gingiva karena dihentikannya pembersihan mulut dapat dicegah dengan
menggunakan larutan kumur antiseptik tertentu misalnya klorheksidin glukonat, baik
pada manusia atau hewan percobaan.
10. Antibiotik maupun topikal juga dapat mengurangi inflamasi gingiva.
11. Iritasi mekanis seperti tepi tumpatan yang berlebihan atau tumpatan yang kasar, tidak
menimbulkan inflamasi gingiva kecuali tumpatan tertutup plak bakteri
12. Pada hewan bebas organisme, kerusakan mekanis dari gingiva akibat pemakaian benang
sutera antara gigi geligi kelihatanntya tidak menimbulkan inflamasi gingiva atau
kerusakan tulang alveolar. Bila bakteri ditambahkan maka akan terjadi inflamasi
gingiva dan kerusakan tulang.
13. Kultur bakteri dari poket periodontal manusia dapat menghasilkan enzim yang dapat
meregradasi jaringan ikat gingiva .
14. Pada penyakit periodontal terlihat kenaikan titer antibodi terhadap plak bakteri.
Antibodi ini dapat dideteksi pada darah dan cairan krevikular.
15. Limfosit dan sel plasma pembentuk imunoglobulin yang terdapat pada jaringan ikat
gingiva dan cairan gingiva akan bertambah jumlahnya bila ada inflamasi gingiva.

16. Pada penelitian in vitro, limfosit diaktifkan oleh deposit plak dan terlihat hubungan
langsung antara keparahan penyakit periodontal dengan transformasi limfosit.
17. Bila individu dewasa muda yang sehat tidak membersihkan mulutnya selama 28 hari,
akumulasi plak bakteri dan inflamasi gingiva yang terbentuk akan berhubungan dengan
bertambahnya transformasi limfosit dan pengeluaran faktor penghambat migrasi.
Respons selular ini akan kembali normal 28 hari setelah plak dibersihkan.
Walaupun setiap bukti yang ada dapat dipertanyakan, agregat merupakan
bukti yang kuat yang menyokong teori plak. Kesimpulan lain yang dapat
ditarik dari bukti bukti yang ada adalah bahwa diperlukan waktu yang
singkat bagi produk bakteri untuk membentuk inflamasi menunjukan bahwa
gigi geligi dibersihkan dengan interval 48 jam, tidak akan terjadi gingivitis
tetapi bila pembersihan ditunda sampai 72 ja, akan terbentuk inflamasi
gingiva.
Teori bakteri spesifik dan non spesifik dari etiologi penyakit
periodontal
Akhir akhir ini pembicaraan tentang penyakit periodontal dan penyebabnya
menjadi makin populer. Meskipun demikian, hanya tiga penyakit inflamasi
periodontal periodontitis kronis, juvenile periodontitis dan gingivitis
ulseratif akut yang dapat dikenali dengan jelas. Penyakit periodontal kronis
mencakup kondisi dari gingivitis sampai periodontitis tahap lanjut dengan
berbagai tingkatan perkembangan dan berbagai gambaran klinis. Kondisi ini
dapat berkembang atau tidak berkembang, dan bila berkembang akan
mengalami periode perkembangan, ketidakaktifan dan regresi. Kontroversi
tentang teori mikrobial spesifik dan non spesifik sebagai etiolgi penyakit
inflamasi periodontal terus berlanjut sejak hampir 100 tahun yang lalu.
Teori spesifik
Menurut teori spesifik murni, bakteri patogen spesifik tunggal merupakan
penyebab penyakit inflamasi periodontal, seperti pada kasus infeksi bakteri
eksogen pada manusia yang sangat terkenal, yaitu pneumonia pneumokokal,
tifoid, tuberkulosis dan sifilis. Pada keadaan ini perawatan harus diarahkan
untuk menghilangkan bakteri pathogen spesifik dari dalam mulut dengan
pemberian antibiotik spektrum sempit yang tepat. Selanjutnya, kontrol plak
tidak perlu lagi dilakukan karena plak tanpa bakteri patogen spesifik akan

menjadi non patogenik. Meskipun demikian, tidak pernah hanya disebabkan


oleh bakteri patogen tunggal, sebagian besar disebabkan beberapa bakteri
patogen tunggal, sebagian besar disebabkan beberapa bakteri patogen
periodontal termasuk aktinomises, spirocheata, dan berbagai batang anaerob
gram negatif umumnya ditemukan. Cukup banyak penelitian yang diarahkan
pada tiga bakteri bakterioides gingivalis, B. Intermedius, dan Actinobacillus
actinomycetencomitans. Meskipun demikian, tidak satupun bakteri tersebut
yang merupakan bakteri asing karena semuanya merupakan anggota dari
flora normal rongga mulut. Walaupun bakteri seringkali terdapat dalam
proporsi yang besar dari flora subgingiva di daerah berpenyakit yang
menunjukan tanda progresi, bakteri ini juga dapat diatemukan dalam jumlah
yang lebih kecil pada poket yang non progresif dan pada keadaan tidak ada
penyakit. Beberapa organisme ini memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh
Socransky (1979) untuk menunjukkan patogenesis, termasuk hubungan
kuantitatif dengan penyakit, perubahan respons imun, patogenitas hewan dan
faktor virulensi. Meskipun demikian, belum satupun yang dapat memenuhi
kriteria socransky bahwa penyakit dapat disembuhkan dengan menghilangkan
spesies yang diduga tanpa merubah plak kondisi plak. Perawatan spesifik ini
tidak efektif dan bahkan pendukung terkuat dari teori spesifik juga
memperkenalkan kontrol plak non spesifik juga memperkenalkan kontrol
plak non spesifik dengan disertai skalling subgingiva dan antibiotik
spektrum luas, misalnya tetrasiklin.
Penelitian tentang bakteri yang berhubungan dengan tahap aktif periodontitis
kronis umumnya terhambat oleh kendala bahwa penyakit merupakan kondisi
dinamik dan mempunyai periode perkembangan aktif yang berlangsung
singkat dan periode ketidakaktifan yang lama. Kemungkinan untuk
mengambil contoh bakteri dari daerah yang tepat pada waktu yang tepat,
bersamaan dengan tahap aktif penyakit, adalah kecil dan bahkan hampir tidak
pernah diperoleh.
Teori non spesifik
Menurut teori non spesifik murni bakteri mulut terkolonisasi pada leher
gingiva untuk membentuk plak pada keadaan tidak ada kebersihan mulut
yang efektif. Penyakit inflamasi periodontal terbentuk bila proliferasi bakteri
melebihi ambang batas resistensi hospes dan disebabkan karena efek flora

plak total. Semua bakteri plak dianggap mempunyai beberapa faktor virulensi
yang menyebabkan inflamasi gingiva dan kerusakan periodontal. Keadaan ini
menunjukkan bahwa plak akan menimbulkan penyakit tanpa tergantung pada
komposisinya. Oleh karena itu kontrol plak yang menyeluruh dianggap
dianggap perlu untuk mencegah dan merawat penyakit inflamasi periodontal.
Upaya tradisional ini, bila perlu dapat dikombinasikan dengan skaling
subgingiva yang mungkin berdampak pada potensi patogenitasnya. Selain itu,
juga tidak menjelaskan mengapa beberapa pasien atau daerah gigi tertentu
terserang gingivitis jangka panjang, sedangkan lainnya terserang periodontitis
progresif secara cepat atau lambat. Meskipun demikian, hal ini lebih banyak
disebabkan oleh perbedaan resistensi hospes lokal atau sistemis bukan karena
perubahan flora bakteri.
Oleh karena itu, kelihatannya teori modern dari etiologi mikrobial dari
penyakit periodontal merupakan kompromi antara versi exstrem dari teori
spesifik dan non spesifik.
Teori bakteri sebagai etiologi periodontitis kronis
Versi modern dari teori spesifik (socranzy, 1979) tidak lagi mengikuti ide
bakteri patogen periodontal tunggal dan menyatakan bahwa penyakit
periodontal dapat disebabkan oleh beberapa patogen yang berbeda. Disini
dinyatakan bahwa 6 12 spesies bakteri dapat ikut menyebabkan terjadinya
sebagian besar kasus periodontitis yang merusak dan ada spesies tambahan
lainnya yang menyebabkan sejumlah kecil kasus yang berbeda. Sebaliknya
penganut teori non spesifik menyetujui bahwa beberapa flora bakteri lebih
sering menyebabkan penyakit daripada bakteri lain dan mempunyai faktor
virulensi yang penting. Oleh karena itu, versi modern dari kedua teori ini
kelihatannya lebih rasional dan lebih memungkinkan.
Semua plak bakteri ikut berperan membentuk potensi patogenitas dari flora
subgingiva baik memperbesar maupun memperkecil melalui kemampuannya
untuk berkolonisasi dan menyerang pertahanan hospes dan merangsang
inflamasi serta kerusakan jaringan. Setiap komposisi plak dalam jumlah
cukup besar di dalam leher gingiva dapat menimbulkan gingivitis tetapi
hanya pada beberapa kasus keadaan ini dapat menimbulkan periodontitis
desktruktif.

Berbagai kombinasi bakteri dapat ditemukan pada lesi individual dan yang
secara bersama sama akan membentuk faktor virulensi yang diperlukan.
Karena lebih dari 200 spesies bakteri membentuk flora mulut, tidak
mengherankan bahwa berbagai bakteri indigenus yang berbeda mendominasi
berbagai tahapan penyakit pada berbagai individu dan pada berbagai daerah
rongga mulut. Kenaikan virulensi flora subgingiva kelihatannya disebabkan
karena terbentuknya ekologi plak yang tidak menguntungkan bagi hospes
tetapi menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri yang mempunyai potensi
patogenik.
Setelah membicarakan berbagai teori peran serta bakteri, sekarang akan kami
tegaskan kembali bahwa penyakit terbentuk melalui interaksi flora bakteri
dengan pertahanan jaringan misalnya faktor faktor hospes.

2. FAKTOR ETIOLOGI SEKUNDER


Faktor etiologi sekunder dapat lokal atau sistemik. Beberapa
faktor lokal pada lingkungan gingiva merupakan predisposisi dari akumulasi
deposit plak dan menghalangi pembersihan plak. Faktor faktor ini disebut
sebagai faktor retensi plak. Faktor sistemik dan hospes dapat memodifikasi
respon gingiva terhadap iritasi lokal.
B. BERDASARKAN KEBERADAANNYA
1. FAKTOR ETIOLOGI LOKAL
Faktor etiologi lokal itu adalah faktor yang berasal dari rongga mulut itu
sendiri. Faktor etiologi lokal dibagi lagi penjadi 2 faktor yaitu
A. Faktor utama (primer)
adalah bakteri pada dental plak seperti yang dijelaskan pada etiologi
penyakit periodontal berdasarkan perannannya pada faktor primer di
atas.
B. Faktor Predisposisi
a. Restorasi yang keliru mungkin merupakan faktor yang paling menguntungkan
bagi retensi plak. Tepi tumpatan yang berlebihan sangat sering ditemukan dan
berasal dari penggunaan matriks yang ceroboh dan kegagalan untuk memoles
bagian tepi (gambar 4.2). Dahulu pernah ada anggapan bahwa tepi tumpatan
yang kasar di dekat daerah tepi gingiva akan mengiritasi jaringan namun
anggapan ini masih belum terbukti sampai sekarang. Walaupun tidak ada
akumulasi plak pada tepi restorasi, inflamasi tetap saja bisa terjadi. Restorasi

dengan kontur yang buruk, terutama yang konturnya terlalu besar dan mahkota
atau tumpatan yang terlalu cembung, dapat menghalangi aksi penyikatan gigi
yang efektif.
b. Kavitas karies terutama di dekat tepi gingiva, dapat merangsang terbentukya
daerah timbunan plakSisa makanan adalah baji yang kuat dari makanan sisa
gingiva diantara gigi geligi. Bila gigi geligi bergerak saling menjauhi dapat
berbentuk baji makanan, khususnya bila ada plunger cusp. Disini dipertanyakan
apakah memang terjadi trauma fisik, karena daerah timbunan makanan biasanya
merupakan daerah stagnasi plak.
c. Geligi tiruan sebagian lepasan dengan desain yang buruk, geligi tiruan
adalah benda asing yang dapat menimbulkan iritasi jaringan melalui berbagai
cara. Geligi tiruan yang longgar atau geligi tiruan yang tidak terpoles dengan
baik cenderung berfungsi sebagai fokus timbunan plak. Geligi tiruan tisue borne
seringkali terbenam ke dalam mukosa dan menekan tepi gingiva, menyebabkan
inflamasi dan kerusakan jaringan. Efek ini makin bertambah buruk bila geligi
tiruan tidak diabersihkan dengan baik dan tetap dipakai selama pasien tidur.
Akibat lanjut dari geligi tiruan sebagian dengan desain yang buruk adalah stres
oklusal yang berlebihan pada gigi gigi penyangga, dan faktor ini bersama
dengan inflamasi gingiva karena plak adalah penyebab paling umum dari
tanggalnya suatu gigi.
d. Pesawat ortodonti yang dipakai siang dan malam, kecuali bila pasien sudah
diajarkan cara membersihkan plak yang bertumpuk pada pesawat. Karena
sebagian besar pasien ortodonti masih muda, inflamasi yang parah disertai
dengan pembengkakan gingiva dapat terjadi disini.
e. Susunan gigi yang tidak beraturan yang merupakan predisposisi dari retensi
plak dan mempersulit cara menghilangkan plak (gambar 4.3). Susunan gigi
yang tidak teratur seringkali disertai dengan inflamasi gingiva dan merupakan
kasus yang perawatan ortodonti, kecuali bila teknik pembersihan mulut pasien
sangat baik meskipun demikian, perlu dipastikan dilakukan gerak ortodonti
yang benar. Bila kebersihan mulut pasien buruk kebersihan diperkirakan akan
sama buruknya walaupun gigi gigi sudah diperbaiki posisinya. Sebaliknya,
bila kebersihan mulut pasien dapat menghilangkan masalah yang disebabkan
karena susunan gigi yang tidak teratur, maka tidak harus dilakukan perawatan
ortodonti, kalau dilihat dari aspek periodontal. Perawatan ortodonti merupakan
indikasi bila kebersihan mulut pasien cukup baik pada semua daerah kecuali

pada daerah ketidakteraturan. Jadi disini membuat susunan gigi yang baik juga
akan diikuti dengan perbaikan kesehatan gingiva.
f. Penyimpangan lain pada hubungan gigi dan rahang juga dapat
menimbulkan inflamasi gingiva. Pada overbite yang sangat dalam insisivus
atas dapat berkontak dengan gingiva labialbawah atau insisivus bawah
berkontak dengan gingiva palatal atas, menyebabkan inflamasi dan kerusakan
jaringan bila ada plak.Kegagalan mengganti gigi yang tanggal akan
menyebabkan terjadinya timbunan plak dan kalkulus pada gigi gigi non
fungsional antagonisnya
g. Kurangnya seal bibir. Pengaruh postur bibir terhadap kesehatan gingiva masih
dipertanyakan namun suatu fenomena klinis yang sering ditemukan adalah
gingivitis hiperplasia pada segmen anterior, biasanya pada regio insisivus atas,
dimana seal bibir kurang sempurna. Selain it, pada sebagian besar kasus daerah
hiperplasia jelas dibatasi oleh bibir (gambar 4.4). Walaupun kurangnya seal
bibir sering dihubungkan dengan kebiasaan bernapas melalui mulut, seal bibir
yang kurang memadai juga dapat terjadi walaupun pasien bernapas melalui
hidung. Bila bibir terbuka

gingiva di bagian depan mulut tentunya tidak

terlumasi saliva. Keadaan ini kelihatannya mempunyai dua defek :


1. Aksi pembersihan normal dan saliva berkurang sehingga timbunan
plak bertambah.
2. Dehidrasi dari jaringann yang akan mengganggu resistensinya.
h. Merokok tembakau. Walaupun stain tembakau dapat memperkasar permukaan
gigi, stain bukanlah faktor retensi plak satu satunya. Fakta yng sbnnarnya
terjadi adalah bahwa perokok sering tidak membersihkan gigi geliginya
sebaik mereka yang tidak merokok. Efek yang paling jelas dari kebiasaan
merokok adalah perubahan warna gigi geligi dan bertambahnya keratinisasi
epithelium mulut disertai dengan produksi bercak putih pada perokok beat di
daerah pipi dan palatum, dan kadang kadang dapat juga ditemukan pada
jaringan periodontal. Insidens gingivitis kronis dan gingivitis ulseratif akut
kelihatannya lebih besar pada perokok yang juga menunjukkan adanya
kerusakan periodontal pada wanita perokok berusia 20 39 tahun dan pria
perokok berusia 30 59 tahun menunjukkan tingkatan penyakit yang dua kali
lebih besar daripada mereka yang tidak merokok. Keratinisasi gingiva akibat
merokok kelihatannya menyamarkan inflamasi gingiva dan mengurangi
insidens pendarahan gingiva. Oleh karena itu, kenaikan prevalensi penyakit

periodontal pada perokok tentunya disebabkan karena kebersihan mulut yang


buruk dan diagnosis yang terlambat.
i. Groove perkembangan. Groove pada permukaan akar atau daerah servikal
mahkota dapat merangsang akumulasi bakteri dan tidak mungkin dibersihkan.
Keadaan ini dapat daerah daerah gingivitis lokal dan pembentukan poket,
yang paling sering terlihat disebelah palatal insisivus atas. Fosa kaninus pada
permukaan mesial gigi premolar pertama atas juga dapat berfungsi sebagai
groove perkembangan.

2.FAKTOR SISTEMIK
a. PERANAN PENYAKIT KELAINAN ENDOKRIN SEBAGAI FAKTOR
ETIOLOGI SISTEMIK
Manifestasi jaringan periodontal dari penyakit sistemik bervarisi
tergantung penyakit spesifik, respon individual dan faktor lokal yang ada. Faktor
sistemik terlibat dalam penyakit periodontal dengan saling berhubungan dengan
faktor lokal. Faktor sistemik saja tidak bisa menyebabkan respon keradangan pada
penyakit periodontal,tetapi harus ada faktor lokal yang mendukung. Pada pasien
kencing manis, bila faktor lokal pada riongga mulutnya buruk, akan bisa
menyebabkan gangguan yang lebih lanjut lagi, oleh karena seorang dengan kencing
manis mempunyai kelainan pada sistemiknya.Ada beberapa hipotesa mengenai
keterlibatan diabetes melitus sebagai faktor etiologi penyakit gingiva dan
periodontal, antara lain:
1. Terjadinya penebalan membran basal
Pada penderita DM membran basal kapiler gingiva mengalami
penebalan sehingga lumen kapiler menyempit. Menyempitnya lumen
kapiler akibat penebalan tersebut menyebabkan terganggunya difusi
oksigen,

pembuangan

limbah

metabolisme,

migrasi

lekosit

polimorfonukleus, dan difusi faktor- faktor serum termasuk antibody


2. Perubahan biokimia
Level cAMP, yang efeknya mengurangi inflamasi, pada penderita
DM menurun, hal mana diduga sebagai salah satu sebab lebih parahnya
inflamasi gingiva pada penderita DM.
3. Perubahan mikrobiologis

Peningkatan level glukosa dalam cairan sulkular dapat


mempengaruhi lingkungan subgingiva, yang dapat menginduksi perubahan
kualitatif pada bakteri yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan
periodontal.
4.

Perubahan imunologis
Meningkatnya kerentanan penderita diabetes melitus terhadap
inflamasi diduga disebabkan oleh terjadinya defisiensi fungsi lekosit
polimorfonukleus (LPN) berupa terganggunya khemotaksis, kelemahan
daya fagositosis, atau terganggunya kemampuannya untuk melekat ke

5.

bakteri
Perubahan berkaitan dengan kolagen
Peningkatan level glukosa bisa pula menyebabkan berkurangnya
produksi kolagen. Di samping itu, terjadi pula peningkatan aktivitas
kolagenase pada gingiva. Inflamed, papulonodular hyperplasia of the
gingiva in a diabetic patient.
a. Kehamilan
Kehamilan secara sendirian tidak dapat menyebabkan
gingivitis. Gingivitis pada kehamilan adalah disebabkan oleh plak
bakteri, sebagaimana pada orang yang tidak hamil. Kehamilan akan
memperparah respon gingival tehadap plak dan memodifikasi
gambaran klinis yang menyertainya. Tanpa adanya iritan lokal tidak
terlihat perubahan secara klinis pada gingival wanita yang sedang
mengalami

kehamilan.

Ada

beberapa

mekanisme

bagaimana

kehamilan berperan sebagai faktor etiologi penyakit gingival dan

periodontal, yaitu:
Peningkatan level estradiol dan progesteron yang menyebabkan

peningkatan bakteri Prevotella intermedia.


Tertekannya respon limfosit-T maternal

mempengaruhi respon periodonsium terhadap plak.


Peningkatan level estradiol dan progesterone juga menyebabkan dilatasi

selama

kehamilan

dan simpang siurnya mikrovaskulator gingival, stasis sirkulasi, dan


peningkatan kerentanan terhadap iritasi mekanis. Perubahan tersebut
memudahkan masuknya cairan ke perivaskular.
b. Kontrasepsi Hormonal

Perubahan yang diakibatkan oleh kehamilan yang dikemukakan di atas bias


pula terjadi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (bentuk
pil, implant, atau suntikan) untuk jangka waktu lebih dari satu setengah
tahun.
b. PERANAN KELAINAN DARAH SEBAGAI ETIOLOGI PENYAKIT
SISTEMIK

1. Leukimia
Leukemia adalah neoplasma maligna pada precursor sel
darah putih. Berdasarkan evolusinya, leukemia dibedakan atas
bentuk:
(1) akut, yang bersifat fatal;
(2) subakut;
(3) kronis.
Pada leukemia akut sel-sel leukemia menginfiltrasi gingival,
dan jarang sekali bisa infiltrasi ke tulang alveolar. Keadaan ini bisa
menyebab terjadinya pembesaran gingival (leukemic gingival
enlargement). Infiltrasi yang banyak dari sel-sel leukemik yang tidak
matang disamping sel-sel inflamasi yang biasa menyebabkan respon
gingival terhadap iritasi adalah berbeda dibandingkan dengan yang
bukan penderita leukemia.
2. Anemia
Anemia adalah defisiensi dalam defisiensi dalam kuantitas
maupun kualitas darah yang dimanifestasikan dengan berkurangnya
jumlah eritrosit dan hemoglobin. Ada empat tipe anemia berdasarkan
(1)
(2)
(3)
(4)

morfologi selulernya dan kandungan hemoglobinnya, yaitu:


anemia makrositik hiperkromik (pernicious anemia);
anemia mikrositik hipokromik (iron deficiency anemia);
sickle cell anemia; dan
anemia normositik-normokromik (hemolytic anemia/aplastic anemia).
Diantara keempat tipe anemia tersebut, tampaknya anemia
aplastik yang turut berperan dalam etiologi penyakit gingival dan
periodontal. Pada tipe anemia ini kerentanan gingival terhadap
inflamasi meningkat karena terjadinya neutropenia.

c. DEBILITATING

DISESASE

SEBAGAI

FAKTOR

ETIOLOGI

SISTEMIK :
Penyakit yang melemahkan (debilitating diseases) seperti sifilis, nefritis
kronis, dan tuberkulosa bisa menjadi factor pendorong bagi terjadinya
penyakit gingival dan periodontal, dengan jalan melemahkan pertahanan
periodonsium terhadap iritan local, dan menimbulkan kecenderungan
terjadinya gingivitis dan kehilangan tulang alveolar.
d. GANGGUAN

PSIKOSOMATIK

SEBAGAI

FAKTOR

ETIOLOGI

SISTEMIK :
Dengan gangguan psikosomatik dimaksudkan efek merusak sebagai
akibat pengaruh psikis terhadap control organic jaringan. Ada dua cara
gangguan psikosomatik mempengaruhi periodonsium dan jaringan di rongga
mulut lainnya:
(1) melalui timbulnya kebiasaan buruk yang dapat mencederai
periodonsium;
(2) dengan efek langsung system saraf otonom terhadap keseimbangan
jaringan yang fisiologis. Dibawah tekanan mental atau emosional, mulut akan
menjadi sasaran pemuasan bagi orang dewasa. Hal ini menimbulkan kebiasaan
buruk seperti: klensing; menggigit pensil, ballpoint, atau kuku; merokok
secara berlebihan; yang kesemuanya berpotensi mencederai periodonsium.
Meningkatnya aktivitas system saraf otonom oleh pengaruh psikis antara lain
bisa

menyebabkan

perubahan

respon

pada

kapiler

gingival.

e. PERANAN OBAT-OBATAN YANG BERPERAN SEBAGAI FAKTOR


ETIOLOGI SISTEMIK
a. Jenis obat
Beberapa jenis obat dengan efek kerja yang berbeda dapat
menginduksi hyperplasia gingival non-inflamasi dengan gambaran
klinis yang tidak dapat dibedakan. Obat-obatan yang dimaksud adalah :
Fenitoin atau dilantin, suatu antikonvulsan yang digunakan dalam perawatan
epilepsy

Siklosporin, suatu imunosupresif yang biasa digunakan untuk mencegah reaksi tubuh
dalam pencangkokan anggota tubuh.
Nifedipin, diltiazem, dan verapamil, yaitu penghambat kalsium (calcium blocker)
yang digunakan dalam perawatan hipertensi.
b. Mekanisme
Mekanisme penginduksian hyperplasia gingival oleh obatobatan tersebut diatas atau oleh metabolitnya belumlah jelas betul,
namun terlepas darimana yang paling berperan ada beberapa hipotesa
yang dikemukakan :
Pengaruh obat atau metabolit secara tidak langsung
Obat atau metabolit menstimulasi diproduksinya
IL-2 oleh sel-T, atau diproduksinya metabolit testosterone
oleh fibroblast gingiva, yang pada akhirnya akan
menstimulasi proliferasi dan atau sintesa kolagen oleh
fibroblast gingival
Pengaruh obat atau metabolit secara langsung
Obat/metabolit

secara

langsung

menstimulasi

proliferasi fibroblast gingival, sintesa protein, dan


produksi kolagen
Penghambatan aktivitas kolagenase
Obat/metabolit

dapat

menghambat

aktivitas

kolagenase hingga penghancuran matriks akan terhambat


Penghambatan degradasi kolagenase
Obat/metabolit
menstimulasi
terbentuknya
kolagenase fibroblastic inaktif, dengan akibat degradasi

kolagen akan terhambat


Faktor estetis
Akhir-akhir ini dihipotesakan adanya faktor
genetis yang menentukan kecenderungan bisa terjadi
hyperplasia

yang

diinduksikan

obat-obatan

pada

seseorang.
f.

AIDS/ Infeksi HIV Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)


SEBAGAI FAKTOR ETIOLOGI SISTEMIK :
Ditandai dengan penurunan system imunitas yang menyolok. Kondisi

yang pertama kali dilaporkan tahun 1981 adalah disebabkan oleh virus yang
dinamakan human immunodeficiency virus (HIV). Infeksi HIV menyebabkan

gangguan terutama terhadap sel-TH, disamping terhadap monosit, makrofag, dan


beberapa sel lainnya. Meskipun limfosit B tidak terpengaruh, namun akibat
terganggunya fungsi limfosit T akan menyebabkan deregulasi pada sel-B.
Penurunan system imunitas pada penderita yang terinfeksi HIV menyebabkan
peningkatan kerentanannya terhadap penyakit gingival dan periodontal.

DAFTAR PUSTAKA

J.D. Manson, B.M. Eley.1993.Buku Ajar Periodonti edisi 2. Jakarta 2013 :


Penerbit Buku Kedokteran EGC
Anonim.2012.Tinjau Pustaka Penyakit Periodontal : respiratory.unhas.ac.id
Goodson,J.M., Haffaje, A.D. and Socransky, S.S.(1979) Periodontal
therapy by local delivery of tetracycline. Journal of clinical Periodontology
H. Ahmad Syaify, drg Sp. Perio. Bahan Ajar Faktor Predisposisi Penyakit
PeriodontalI.2004.http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789
/838/AB%20II%20T.INJAUAN%20PUSTAKA.pdf?sequence=2. Diakses
pada tanggal 15 November 2015.

Anda mungkin juga menyukai