Anda di halaman 1dari 53

daftar artikel

Menuju PLTU Ramah Lingkungan


Mukhlis Akhadi (Badan Tenaga Nuklir Nasional)
Meski batubara termasuk sumber energi tak terbarukan, namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa cadangan batubara di dunia saat ini masih sangat
melimpah. Terhitung pada tahun 1990, jumlah cadangan batubara dunia
diperkirakan mencapai 1.079 milyar ton dan masih dapat diandalkan sebagai
sumber energi dunia hingga lebih dari 230 tahun, bahkan diperkirakan dapat
mencapai hingga 300 tahun mendatang. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data
pada P.T. Tambang Batubara Bukit Asam, hingga tahun 1991 jumlah batubara
yang ditambang baru sebesar 14.478 ribu ton, dari total cadangan yang
diperkirakan sebesar 34 milyar ton.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara memiliki dua
reputasi yang saling bertolak belakang. Di satu pihak PLTU batubara
mempunyai reputasi baik karena mampu memproduksi listrik dengan biaya
paling murah dibandingkan sistim pembangkit listrik lainnya. Biaya operasi
PLTU batubara kurang lebih 30 ebih rendah dibandingkan sistim pembangkit
listrik yang lain. Namun di lain fihak, PLTU batubara juga mempunyai reputasi
buruk karena merupakan sumber pencemar utama terhadap atmosfer kita.

Selama ini reputasi bahan bakar fosil, terutama batubara, memang sangat buruk
apabila dikaitkan dengan masalah pencemaran lingkungan. Walaupun stasiun
pembangkit listrik batubara saat ini telah menggunakan alat pembersih endapan
(presipitator) untuk membersihkan partikel-partikel kecil dari asap pembakaran
batubara, namun senyawa-senyawa seperti SOx dan NOx yang berbentuk gas
dengan bebasnya naik melewati cerobong dan terlepas ke udara bebas. Kedua
gas tersebut dapat bereaksi dengan uap air yang ada di udara sehingga
membentuk H2SO4 (asam sulfat) dan HNO3 (asam nitrat). Keduanya dapat
jatuh bersama-sama air hujan sehingga mengakibatkan terjadinya hujan asam.
Berbagai kerusakan lingkungan serta gangguan terhadap kesehatan dapat
muncul karena terjadinya hujan asam tersebut.

Fenomena hujan asam sebetulnya sudah dikenali oleh para pemerhati


lingkungan sejak tahun 1950-an. Namun masalahnya menjadi bertambah parah
seiring dengan semakin meningkatnya permintaan energi listrik yang disuplai
melalui PLTU batubara. Masalah hujan asam mungkin akan merupakan masalah
lingkungan jangka panjang yang teramat serius.

Hujan asam bisa juga menjadi isu politik besar terutama karena sumber asal dan
para korbannya sering berada di tempat yang berbeda. Bahan pencemar NOx
dan SOx dapat bergerak terbawa udara hingga ratusan bahkan ribuan kilometer,
mencapai lintas batas antar negara. Di samping itu, sangat sulit untuk
menunjukkan secara pasti sumber-sumber polutan yang menyebabkan
terjadinya hujan asam di suatu kawasan/negara tertentu. Emisi gas asam dari
negara-negara bagian di Lembah Sungai Ohio di Amerika Serikat yang padat
industri, termasuk Missouri dan Tennessee, terbang ke timur dan utara keluar
dari wilayah AS menuju ke New England dan Kanada.

Keasaman Air

Dalam keadaan udara bersih, air hujan bersifat agak asam dengan derajad
keasaman (pH) 5,6. Penyebab keasaman ini adalah adanya senyawa carbon
dioksida (CO2), suatu senyawa alamiah penyusun udara yang dalam air hujan
membentuk asam lemah. Senyawa ini dikeluarkan baik oleh manusia, hewan
maupun tanaman melalui sistim pernafasan. Air hujan dikatagorikan sebagai
asam apabila nilai pH-nya di bawah 5,6.

Air untuk konsumsi manusia harus memiliki nilai pH antara 6-9. Asam dalam
air hujan menambah kemampuan air itu untuk melarutkan dan membawa lebih
banyak logam-logam berat keluar dari tanah, seperti merkuri (Hg) dan
aluminium (Al). Air asam ini juga dapat melarutkan tembaga (Cu) dan timbal
(Pb) dari pipa-pipa logam untuk menyalurkan air. Peristiwa ini tentu saja akan
menggganggu persediaan air untuk konsumsi manusia. Air dengan pH 5

menyebabkan ikan salem dan farel tidak mampu berkembang biak. Pada pH
sekitar 4,5, ikan lenyap dari danau. Sedang pada pH 4, danau menjadi tanpa
kehidupan. Pada pH mendekati 3, daun tanaman menjadi rusak.

Di berbagai belahan dunia, manusia mulai semakin menyadari perlunya


menyelamatkan lingkungan hidup. Tindakan-tindakan protektif kini sedang
digiatkan untuk melindungi sumber-sumber alam yang tak ternilai harganya ini
dari kehancuran total. Salah satu upaya protektif untuk melindungi kekayaan
hayati ekosistim alam ini adalah dengan memperkenalkan berbagai jenis
teknologi yang dapat dipakai untuk memperkecil emisi gas-gas asam yang
keluar pada saat pembakaran batubara.

Dewasa ini manusia di berbagai belahan dunia mulai sadar akan perlunya
menyelamatkan lingkungan dengan cara mereduksi maupun menjinakkan
polutan-polutan yang terlepas ke lingkungan. Beberapa negara maju telah
mengeluarkan peraturan sangat ketat dan menanamkan investasi cukup besar
dalam rangka mengurangi polusi udara dari gas buang. Untuk penyelesaian
jangka panjang, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghindari
terjadinya hujan asam adalah dengan menghentikan sumber hujan asam
tersebut.

Teknologi FBC

Dewasa ini telah dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang


mampu mengurangi emisi polutan dalam gas buang yang dikeluarkan cerobong,
baik dari pusat pembangkit listrik maupun industri lainnya yang membakar
batubara. Berbagai upaya untuk memperbaiki reputasi batubara terus dilakukan
dengan mewujudkan clean coal technology, salah satunya adalah dengan
teknologi fluidised bed combustion (FBC). Teknologi ini di samping
mempunyai efisiensi pembakaran batubara yang tinggi, juga mampu meredam
secara drastis emisi gas-gas polutan seperti SOx dan NOx.

Emisi gas buang pada pembakaran batubara dengan teknik FBC bisa ditekan
menjadi lebih rendah karena suhu operasi pembakaran batubaranya relatif
rendah. Pada teknologi FBC, suhu operasinya sekitar 750-950 _C, sehingga
batubara dapat terbakar secara efisien, tidak meleburkan abu serta sisa
pembakaran lainnya. Pada suhu pembakaran 800 _C, emisi NOx dapat
dikurangi hingga 33 Karena prestasinya itu, teknologi FBC mampu menggeser
teknologi pembakaran batubara cara kuno yang telah berumur lebih dari satu
abad, yang dikenal dengan pulverised coal combustion (PCC). Pada teknologi
PCC, karena suhu pembakarannya lebih tinggi, maka emisi gas NOx juga
tinggi.

Dari Polutan ke Gipsum

Selain memperbaiki efisiensi dan sistim pembakaran batubara, sebagai upaya


untuk mencegah berlanjutnya krisis ekologi dewasa ini juga telah
dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang mampu memisahkan
gas-gas polutan seperti SOx dan NOx dalam gas buang dari pembakaran
batubara. Salah satu metode untuk memisahkan polutan SOx dalam gas buang
adalah dengan teknik flue-gas desulfurization (FGD).

Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau


Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke
dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang
teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan"
dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat
(H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga
diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari
sistim FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD
disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan
gipsum alam.

Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang
dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena

dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan.


Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk papan gipsum (gypsum
boards) yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-langit rumah (ceiling
boards), dinding penyekat atau pemisah ruangan (partition boards) dan pelapis
dinding (wall boards).

Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis


ini. Pabrik wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh
Standard Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya
berdekatan dengan stasiun pembangkit listrik Tennessee Valley Authority (TVA)
di Cumberland yang berkapasitas 2600 Mega Watt.

Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah


bahan buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang
bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi
secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum
yang diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses FGD ini memiliki
ukuran butiran yang seragam. Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak
mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batubara akan dilengkapi dengan pabrik
gipsum sintetis.

Mengubah Polutan Menjadi Pupuk

Peralatan berteknologi tinggi lain yang kini mulai dipakai untuk menjinakkan
polutan penyebab hujan asam adalah electron beam machine atau mesin berkas
elektron (MBE). Prinsip kerja alat ini adalah menghasilkan berkas elektron dari
filamen logam tungsten yang dipanaskan. Berkas elektron selanjutnya
difokuskan dan dipercepat dalam tabung akselerator vakum bertegangan tinggi
2 juta Volt. Jika gas buang yang mengandung polutan sulfur dan nitrogen
diirradiasi dengan berkas elektron dalam suatu tempat yang mengandung gas
ammonia, sulfur dan nitrogen itu dapat berubah menjadi ammonium sulfat dan
ammonium nitrat. Teknik irradiasi elektron untuk menjinakkan polutan dalam
gas buang ini telah dipelajari di Jepang sejak tahun 1970-an.

Proses pembersihan gas buang dilakukan pertama-tama dengan mendinginkan


SOx dan NOx dengan semburan air (H2O). Ke dalam campuran senyawa ini
selanjutnya ditambahkan gas ammonia dan dialirkan ke dalam tabung pereaksi
(vessel). Campuran senyawa yang mengalir dalam tabung pereaksi ini
selanjutnya diirradiasi dengan berkas elektron. Karena mendapatkan tambahan
energi dari elektron itu, maka gas-gas polutan akan berubah, SOx menjadi SO3
dan NOx menjadi NO3.

Masih dalam pengaruh irradiasi elektron, kedua senyawa tersebut bereaksi


dengan air sehingga dihasilkan produk antara (intermediate product) berupa
asam sulfat dan asam nitrat. Setelah 0,1 detik dari proses irradiasi, produk
antara (asam sulfat dan asam nitrat) bereaksi dengan ammonia sehingga
dihasilkan produk akhir berupa ammonium sulfat dan ammonium nitrat. Kedua
senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk sulfat dan pupuk
nitrogen. Wujud fisiknya pun berubah, yaitu dari gas menjadi kristal/partikel.

Penelitian skala laboratorium yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tenaga


Atom Jepang (JAERI) bekerjasama dengan perusahaan Ebara menunjukkan
bahwa dosis radiasi berkas elektron sebesar 15 kilo Gray (kGy) mampu
mengubah 95 Ox dan 85 Ox menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Sementara
itu, penelitian pembersihan gas buang sisa penyinteran bijih besi yang dilakukan
oleh Nippon Steel Corporation menunjukkan bahwa MBE ini dapat mereduksi
85 Ox dan 95 Ox yang terlarut dalam gas buang. Penelitian yang telah
dilakukan di AS dan Jerman bahkan mencatat bahwa irradiasi dengan MBE ini
mampu mereduksi polutan hingga 99

Pemakaian berkas elektron untuk menjinakkan gas-gas polutan seperti SOx dan
NOx ini mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : proses penjinakan dapat
dilakukan secara serentak dalam waktu yang sangat singkat, merupakan proses
kering dan langsung satu tingkat, serta hasil akhirnya berupa bahan baku untuk
pembuatan pupuk yang bernilai ekonomi dan dapat digunakan dalam sektor
pertanian.

Daftar Pustaka

ANONIM, Desulfurization System : Technology that Prevents Air Pollution,


Kenshu-In, No. 74, JICA, Japan (1994) pp. 6-8.
ANONIM, Persistent Quest, Research Activity 1997, JAERI, Chiyoda-ku,
Tokyo 100-0011, Japan (1997) pp. 22.
GORE, A., Bumi Dalam Keseimbangan (terjemahan oleh Hira Jhamtani),
Yayasan Obor Indonesia (1994).
LANSFORD, H., Pencemaran Lingkungan, Ilmu Pengetahuan Populer, Vol. 4,
Grolier International Inc./P.T. Widyadara, Jakarta (1997) Hal. 52-68.
LARASATI, T.R.D., Penggunaan Teknologi Radiasi Dalam Pengendalian Polusi
Gas Buang, Warta, No. 9, tahun IV, BPPT, Jakarta 10340 (1992), hal. 18-21.
NISBET, I., Hujan Asam, Ilmu Pengetahuan Populer, Vol. 4, Grolier
International Inc./P.T. Widyadara, Jakarta (1997) Hal. 73-76.
RIDWAN, M., Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dan Lingkungan Hidup,
Prosiding dialog PLTN dalam kerangka kebijaksanaan energi jangka menengah
dan panjang, Pusat Studi Energi UGM, Yogyakarta (9-10 September 1998), hal.
88-91.
SLAMET, J.S., Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta (1996).
SOEDOMO, M., Pencemaran Udara (kumpulan karya ilmiah), Penerbit ITB,
Bandung (1999). 1
WEST, B., SANDMAN, P.M. dan GREENBERG, M.R., Panduan Pemberitaan
Lingkungan Hidup (terjemahan oleh Sudiro), Yayasan Obor Indonesia (1998). q
Sumber : Elektro Indonesia (Nove,ber 2000)
http://energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1065979078&10
umat, 16 Juli 2010

MEREDUKSI POLUTAN GAS BUANG PROSES PEMBAKARAN


BATUBARA DENGAN DAUR KOMBINASI GASIFIKASI BATUBARA
TERINTEGRASI

I. PENDAHULUAN
Batubara sebenarnya telah digunakan oleh manusia sebagai sumber energi
semenjak ratusan tahun yang lalu. Tetapi pada revolusi industri pada abad ke-19
hingga tahun 1960-an penggunaan batubara menjadi sumber energiutama
dunia., sampai pada akhirnya digantikan oleh minyak bumi. Namun dengan
keterbatasan persediaan minyak bumi dibanding batubara yang lebih besar
maka pada pertengahan abad ke-21 batubara kembali menjadi sumber energi
utama. Selain itu harga batubara juga relatif murah.
Sekitar 50 negara penghasil batubara dengan tingkat produksi sekitar 3,8 milyar
ton per tahun. Menurut para ilmuwan cadangan batubara ini cukup hingga 200
tahun mendatang, sehingga dapat menyokong kebutuhan energi dunia paling
lama. Di Indonesia sendiri ketersediaan sumber daya batubara mencapai 36,5
milyar ton yang tersebar di Sumatera sebesar 68 %, 31 % di Kalimantan dan 1
% sisanya terdapat di Jawa Barat, Sulawesi dan Irian Jaya.
Konsumen terbesar batubara adalah pembangkit listrik. Saat ini sekitar 30 %
dari total pembangkitan listrik menggunakan bahan bakar batubara. Memang
menghasilkan tenaga listrik dengan biaya yang relative murah, namun dampak
pencemaran yang ditimbulkan oleh pembakaran batubara perlu kiranya
mendapat perhatian yang seksama. Batubara akan mendominasi pada
penggunaan energi yang secara langsung akan meningkatkan polutan gas buang
dan partikel. Baru baru ini ditemukan teknologi pembakaran yang dapat
menaikkan efisiensi dan mengurangi polutan dari gas buang serta menghasilkan
limbah yang minimum yaitu teknologi pembakaran fluidized bed dan teknologi
gasifikasi batubara yang digunakan untuk menyatakan daur kombinasi
gasifikasi batubara terintegrasi
( Integrated Coal Gasification Combined Cycle ).

II. POTENSI LIMBAH POLUTAN GAS PROSES PEMBAKARAN


Batubara identik sebagai bahan bakar yang kotor dan tidak ramah lingkungan
karena komposisinya yang terdiri dari C, H, O, N, S dan abu. Sehingga gas
buang hasil pembakaran menghasilkan polutan gas SOx dan NOx menyebabkan
terjadinya hujan asam yang dapat merusak hutan dan lahan pertanian, CO2 yang
berperan dalam proses pemanasan global yaitu kenaikan suhu dipermukaan
bumi, dan merkuri ( Hg ) yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Berdasarkan definisi limbah B3 BAPEDAL (1995) adalah setiap bahan sisa
(limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya
dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity) serta
konsentrasi atau jumlah yang baik secara langsung mauoun tak langsung dapat
merusak, mencemarkan lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia.
Serta mengacu pada PP No. 85 tahun 1999 tentang pengelolaan limbah B3 maka
polutan gas buangan proses pembakaran merupakan limbah B3.

III. PENGGUNAAN TEKNOLOGI DAUR KOMBINASI GASIFIKASI


BATUBARA TERINTEGRASI ( Integrated Coal Gasification Combined
Cycle )
Teknologi IGCC merupakan merupakan salah satu teknologi batubara bersih
yang sekarang dalam tahap pengembangan. Istilah IGCC merupakan istilah
yang paling banyak digunakan untuk menyatakan daur kombinasi gasifikasi
batubara terintegrasi. Meskipun demikian masih ada beberapa istilah yang
digunakan yaitu ICGCC (Integrated Coal Gasification Combined Cycle) dan
CGCC (Coal Gasification Combined Cycle) yang sama artinya.
Komponen utama dalam IGCC adalah pengembangan teknik gasifikasi
batubara. Gasifikasi batubara pada prinsipnya adalah suatu proses perubahan
batubara menjadi gas yang mudah terbakar. Proses ini melalui beberapa proses
kimia dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara yang sudah
diproses secara fisis diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses
pemanasan sampai temperatur reaksi serta mengalami proses pirolisa (menjadi
bara api). Kecuali bahan pengotor, batubara bersama-sama dengan oksigen
dikonversikan menjadi hidrogen, karbon monoksida dan methana. Proses

gasifikasi batubara berdasarkan sistem reaksinya dapat dibagi menjadi empat


macam yaitu : fixed bed, fluidized bed, entrained flow dan molten iron bath.
Dalam fixed bed, serbuk batubara yang berukuran antara 3 - 30 mm
diumpankan dari atas reaktor dan akan menumpuk karena gaya beratnya. Uap
dan udara (O2) dihembuskan dari bawah berlawanan dengan masukan serbuk
batubara akan bereaksi membentuk gas. Sedangkan dalam fluidized bed gaya
dorong dari uap dan O2 akan setimbang dengan gaya gravitasi sehingga serbuk
batubara dalam keadaan mengambang pada saat terjadi proses gasifikasi.
Serbuk batubara yang digunakan lebih halus dan berukuran antara 1 - 5 mm.
Dalam entrained flow serbuk batubara yang berukuran 0.1 mm dicampur
dengan uap dan O2 sebelum diumpankan ke dalam reaktor. Proses ini telah
digunakan untuk memproduksi gas sintetis dengan nama proses KoppersTotzek. Proses molten iron bath merupakan pengembangan dalam proses
industri baja. Serbuk batubara diumpankan ke dalam reaktor bersama-sama
dengan kapur dan O2. Kecuali proses molten iron bath semua proses telah
digunakan untuk keperluan pembangkit listrik.
Saat ini teknologi IGCC sedang dikembangkan di seluruh dunia, seperti :
Jepang, Belanda, Amerika Serikat dan Spanyol. Di samping proses gasifikasi
yang terus mengalami perbaikan, gas turbin jenis baru juga terus dikembangkan.
Temperatur masukan gas turbin yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan
ini dapat dicapai dengan penggunaan material baru dan perbaikan sistem
pendinginnya

Prinsip kerja dari IGCC ditunjukkan pada gambar di atas. IGCC merupakan
perpaduan teknologi gasifikasi batubara dan proses pembangkitan uap. Gas
hasil gasifikasi batubara mengalami proses pembersihan sulfur dan nitrogen.
Sulfur yang masih dalam bentuk H2S dan nitrogen dalam bentuk NH3 lebih
mudah dibersihkan sebelum dibakar dari pada sudah dalam bentuk oksida dalam
gas buang. Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor gasifikasi. Gas yang sudah
bersih ini dibakar di ruang bakar dan kemudian gas hasil pembakaran disalurkan
ke dalam turbin gas untuk menggerakkan generator. Gas buang dari turbin gas
dimanfaatkan dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery Steam Generator)
untuk membangkitkan uap. Uap dari HRSG (setelah turbin gas) digabungkan
dengan uap dari HRSG (setelah reaktor gasifikasi) digunakan untuk
menggerakkan turbin uap yang akan menggerakkan generator.
Penggunaan teknologi PLTU batubara konvensional saat ini mempunyai
kekurangan yaitu efisiensinya rendah yang berkisar antara 33 - 36 %. Efisiensi
ini dapat ditingkatkan dengan membangun unit pembangkit yang lebih besar
atau dengan menaikkan suhu dan tekanan dalam siklus panasnya. Cara ini
mempunyai keterbatasan dan menambah tingkat kerumitan dalam pemilihan
materialnya. Disamping itu tuntutan dalam memelihara lingkungan hidup
(seperti telah disebutkan di atas) akan menambah biaya pembangkitan karena
adanya penambahan peralatan seperti : de-SOX (desulfurisasi), de-NOX
(denitrifikasi), baghouse filter (menyisihkan merkuri) dan penyaring debu

(electrostatic precipitator). Pemasangan peralatan ini juga akan mengurangi


efisiensi total pembangkit listrik.
Teknologi IGCC ini mempunyai kelebihan yaitu dalam hal bahan bakar : tidak
ada pembatas untuk tipe, ukuran dan kandungan abu dari batubara yang
digunakan. Dalam hal lingkungan : emisi SO2, NOX, CO2, merkuri(Hg) serta
debu dapat dikurangi tanpa penambahan peralatan tambahan seperti de-SOX
dan de-NOX dan juga limbah cair serta luas tanah yang dibutuhkan juga
berkurang. Disamping itu pembangkit listrik IGCC mempunyai produk
sampingan yang merupakan komoditi yang mempunyai nilai jual seperti :
sulfur, asam sulfat dan gypsum.
Efisiensi pembangkit listrik ICGG berkisar antara 38 - 45 % yang lebih tinggi 5
- 10 % dibandingkan PLTU batubara konvensional. Hal ini dimungkinkan
dengan adanya proses gasifikasi sehingga energi yang terkandung dalam
batubara dapat digunakan secara efektif dan digunakannya HRSG untuk
membentuk suatu daur kombinasi antara turbin gas dan turbin uap.

700 MW; 73 % C; 1.2 % S; 10 % ash; Hu = 25000 kJ/kg; IGCC : 98 %


desulphurization; conventional power plant : 200 mg/m3 SO2 in flue gas; dry)

Dalam sistem IGCC, sekitar 95 - 99 % dari kandungan sulfur dalam batubara


dapat dihilangkan sebelum pembakaran. NOx dapat dikurangi sebesar 70 - 93 %
dan CO2 dapat dikurangi sebesar 20 - 35 % (emisinya berkisar antara 0.75 0.85 kg CO2/kWh) dibandingkan dengan PLTU batubara konvensional. Dengan
tingkat emisi yang rendah maka dapat untuk mencegah terjadi hujan asam
karena emisi polutan SOx dan NOx serta mencegah terjadinya pemanasan
global karena emisi CO2.
Salah satu hal yang menarik dalam sistem IGCC adalah pembangunannya dapat
dilakukan secara bertahap, yaitu:
- tahap pertama : pembangunan turbin gas dan perlengkapan pembangkit listrik
- tahap kedua : pembangunan sistem daur kombinasi
- tahap ketiga : pembangunan unit gasifikasi.
Pembangunan dua tahap yang pertama memerlukan biaya investasi yang relatif
kecil dan sudah dapat menghasilkan tenaga listrik. Investasi yang besar hanya
dibutuhkan pada saat pembangunan tahap ketiga dan dilaksanakan bila sudah
dinilai ekonomis untuk mengganti bahan bakar dari gas alam dengan batubara.
Disamping itu sistem IGCC didesain secara modular sehingga mudah untuk
dikembangkan menjadi unit yang lebih besar kapasitasnya pada saat kebutuhan
tenaga listrik sudah meningkat.

IV. KESIMPULAN
Pemakaian tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini mengalami
peningkatan yang cukup pesat Sehingga pangsa penggunaan batubara untuk
pembangkit listrik terus meningkat. Pemakaian batubara dalam jumlah besar ini
harus menerapkan teknologi batubara bersih, salah satunya yaitu IGCC, supaya
dampak lingkungannya minimum. IGCC saat ini sedang dalam taraf

pengembangan dan diharapkan sudah beroperasi secara komersial dalam waktu


dekat ini. Pembangkit listrik IGCC mempunyai keunggulan bila dibandingkan
dengan PLTU konvensional dengan tambahan de-SOX dan de-NOX dalam hal
dampak lingkungan. Bagi Indonesia pembangkit listrik IGCC merupakan
teknologi alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menggantikan PLTU
batubara konvensional yang sudah habis masa gunanya dan untuk pembangunan
pembangkit listrik yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

Aris, Eko, Dampak


www.indoskripsi.com

Penggunaan

Energi

Batubara

(PLTU)

2008,

Astari, Putu Merati, Utilization of fly ash from power plant for removal of
dyes, 2007, majari.magazine.com

Basu, P, Combustion and Gasification in Fluidized Beds 2006; 21 23: 59


67: 74 82, majari.magazine.com
Higman C, MVD Burgt, Gasification 2003; 98 109, majari.magazine.com
Indonesia Power, PLTU Suralaya, 2002 , majari.magazine.com
Liu, Hao, et all, Comparison of pulverized coal combustion in air and in
mixture of O2/CO2, Fuel 84 (2005) 833 840, majari.magazine.com
Mohan, D, et al,
majari.magazine.com

Ind.

Eng.

Chem.

Res.

41,

3688-3695,

2002,

Pratama, Yoga, Heri T. Putranto, Coal fly ash conversion to zeolite for removal
of chromium and nickel from wastewaters, 2007 , majari.magazine.com
S, Wang, H. Wu ,
majari.magazine.com

H,

Journal

of

Hazardous

Materials,

2006,

Sugiyono, Agus, Integrated Coal Gasification Combined Cycle, peneliti BPP


Teknologi, majari.magazine.com
sandhieb@yahoo.com Pendekatan Biaya Pada Teknologi Lahan Urug Saniter
Sampah & Teknologi Insinerasi Sampah mahasiswa pascasarjana Master of
Environmental Engineering Science student, UNSW, Australia
www.europeanenergyforum.eu
Diposkan oleh venus puspitaw di 21.47 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter

Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

Sistem Penyediaan Air bersih


Seperti yang telah kita ketahui, Air bersih (sanitation water) adalah air yang
dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan pada sektor rumah tangga,
pertanian, industri dan pemukiman perkotaan. Pemerintah Indonesiamelalui
DEPKES RI mensyaratkan kebutuhan air bersih bagi masyarakatnya sebesar 60
liter per orang per hari. Air bersih tersebut harus memenuhi persyaratan yang
tertuang di dalam KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI No.
907/MENKES/SK/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002, sebagai berikut : jernih, tidak
bewarna, tidak berasa, tidak berbau, tidak beracun, pH netral dan bebas
mikroorganisme. Beberapa sumber air baku yang lazim digunakan/diolah
masyarakat menjadi air bersih antara lain : air permukaan seperti air sumur
dangkal, air sungai, air danau, air rawa dan lain-lain; air tanah seperti air mata
air, air sumur dalam dan lain-lain; air hujan dan air laut. Sementara beberapa
jenis kualitas air yang sering diproduksi antara lain air sanitasi/air bersih ; air
demin (air bebas mineral) digunakan untuk air proses dan air pendingin); air
umpan boiler.
Disebutkan dari berbagai sumber bahwa sebagian besar air di Bumi merupakan
air asin dan hanya sekitar 2,5% saja yang berupa air tawar. Dengan keterbatasan
ini sungguh keliru kalau orang mengeksploitasi air secara berlebih. Seolah-olah
pemanfaatan air merupakan barang bebas. Menurut data yang diterbitkan
oleh suara pembaruan tanggal 23 maret 2007 dan berbagai sumber, di Indonesia
dengan jumlah penduduk mencapai lebih 200 juta, kebutuhan air bersih menjadi
semakin mendesak. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus naik hingga
15-35 % per kapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih cenderung
melambat (berkurang) akibat kerusakan alam dan pencemaran. Sekitar 119 juta
rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih. Penduduk Indonesia
yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20
% dari total penduduk Indonesia. Artinya masih ada 82 % rakyat Indonesia
terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan. Dan menurut
LIPI, kebutuhan air untuk industri akan melonjak sebesar 700% pada 2025,
Untuk perumahan naik rata-rata 65% dan untuk produksi pangan naik 100%.

Isu dunia yang demikian beredar yaitu krisis air bersih membuat kebutuhan air
masyarakat tak terpenuhi merata. Hal ini dikarenakan meningkatnya populasi
dan pencemaran sehingga kualitas air menurun. Semakin meningkatnya
populasi, semakin besar pula kebutuhan akan air minum sehingga ketersediaan
air bersih pun semakin berkurang. Faktanya, Seperti yang disampaikan Jacques
Diouf, Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) laju
konsumsi air bersih di dunia meningkat dua kali lipat setiap 20 tahun, melebihi
dua kali laju pertumbuhan manusia. Beberapa pihak memperhitungkan bahwa
pada tahun 2025, permintaan air bersih akan melebihi persediaan hingga
mencapai 56%. Maka berlakulah hukum ekonomi bahwa air merupakan benda
ekonomis. Buktinya, kini orang rela bersusah-susah dan berani membayar
mahal untuk membeli air ketika terjadi krisis air bersih. Di DKI Jakarta, tarif air
minum PDAM saat ini sebesar Rp5.430 per meter kubik dinilai terlalu mahal
dengan kulaitas yangcukup tak layak. Sedangkan negara tetangga Singapura
yang hanya menjual air bagi industrinya seharga Rp 2.300 per meter kubik
dengan kualitas yang layak minum.
Untuk mengolah air baku menjadi air bersih diperlukan pengendalian terhadap
pencemaran air dengan menetapkan standar baku mutu air pada sumber air yang
mengacu pada kualitas air. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup No 02/MENKLH/1988, Baku mutu air
pada sumber air adalah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat di dalam air, tetapi air tersebut tetap dapat digunakan sesuai
dengan kriterianya. Standar baku kualitas air bersih menurut Keputusan Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No 02/MENKLH/1988
merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas air yang
harus memenuhi kualitas secara fisik, kimia dan biologi.
Parameter secara fisika, warna (harus jernih dan tidak berwarna) kadar
maksimum yang diperbolehkan 15 TCU dengan perolehan uji spekrofotometrik.
Tidak berasa dan tidak berbau dengan uji organoleptik. Untuk tingkat kekeruhan
kadar maksimum yang diperbolehkan 5 NTU dengan metode uji
turbidimetrik.Total padatan terlarut (TDS) batas kadar maksimum yang
diperbolehkan adalah 1000 mg/l dengan metode gravimetrik.
Parameter secara kimia, pH dengan metode pHmeter kadar maksimum yang
diperbolehkan 6,5-8,5(netral). Kesadahan (mg/l CaCO3) kadar maksimum yang
diperbolehkan 1000 dengan metode spektrofotometrik serapan atom. Untuk
senyawa-senyawa organik yang terlarut seperti ammonia, nitrat dan nitrit

sebagai N dengan metode uji spektorfotometrik batas kadar maksimum


berturut-turut 1,5 mg/l; 10 mg/l dan 3 mg/l. Dan senyawa-senyawa anorganik
yaitu logam-logam, mineral dan gas-gas terlarut dalam air seperti Fluorida, besi,
khlorida, sulfat, arsenic, cadmium, tembaga, sianida, timah, aluminium dan seng
dengan metode uji spektrofotometrik serapan atom kecuali untuk uji khloridan
menggunakan metode titrimetrik memiliki batas maksimum berturut-turut yaitu
1,5 mg/l; 0,3 mg/l; 250 mg/l; 250 mg/l; 0,01 mg/l; 0,003 mg/l; 2 mg/l; 0,07
mg/l; 0,01 mg/l; 0,2 mg/l dan 3 mg/l.
Sedangkan untuk parameter biologi, mikroorganisme patogen (Bakteri
Salmonella typhi, Sighelladysentia, Salmonella paratyphi, dan Leptospira;
Golongan protozoa seperti Entonisebahistolyca dan Amebic dysentery; .Virus
Infectus hepatitis) dalam 100cc maksimal terdapat 4 bakteri patogen dan tidak
mengandung bakteri non patogen seperti beberapa jenis bakteri, (antara lain
Actinomycetes (Moldlikose bacteria), Bakteri coli (Coliform bacteria),
Fecalstreptococci, dan Bakteri Besi (IronBacteria)) ganggang atau algae dan
cacing.
Pengolahan air untuk menjadi air bersih dan digunakan sesuai kriteria
kualitasnya sementara ini dilakukan oleh PDAM. Aktifitas PDAM mulai dari
mengumpulkan, mengolah dan menjernihkan, sampai ke mendistribusikan ke
pelanggan. Dalam pengolahannya untuk menjadi air bersih memerlukan biaya
operasi yang melonjak, terutama dikarenakan harga suku cadang, bahan kimia,
dan tariff listrik. Fakta PDAM Bekasi terancam disita Bank Dunia karena dililit
utang Rp.56,971 miliar. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan mempengaruhi
pelayanan kepada masyrakat. Sedangkan kualitas dan kuantitas air tanah (air
sumur) makin merosot, penyediaan air bersih amat bergantung kepada air
permukaan (surface water). Sekarang untuk mengharapkan swastanisasi
terhadap pengolahan air sangat sulit. Maka bagaimana cara mempertahankan
kulaitas dan kuantitas air bersih dengan harga yang terjangkau adalah di tangan
kita masyarakat itu sendiri. Melalui gerakan hemat air salah satunya dapat
merubah paradigm bahwa eksploitasi air tidak bisa seenaknya lagi. Masyarakat
menjaga menjaga sumber daya air dengan mempertahankan daerah hulu sebagai
daerah resapan air, tidak mengubah fungsi lahan, dan menjaga kebersihan
sungai. Upaya ini dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih
di Negara kita tercinta ini.
Seperti yang diketahui umum, pengolahan air melalui PDAM untuk masyrakat
memenuhi kebutuhan air sanitasi/air bersih dan untuk pertanian. Pada umumnya

proses pengolahan air PDAM terdapat beberapa unit untuk bangunan Instalasi
Pengolahan Air Minum (IPAM), antara lain : pertama tahap intake (Bak
Pengumpul Air) merupakan bangunan pengumpul air yang akan diolah,
letaknya pada atau dekat dengan sumber air; Bak Penyaringan Kasar (Screen)
merupakan proses penyaringan menggunakan saringan (screen) berbentuk
batang batang (bar) berjajar secara vertikal yang berfungsi sebagai filter dari
pengotor yang berukuran besar (sampah, daun-daun, batang pohon, dll); Tahap
ketiga yaitu Bak Prasedimentasi (Optional) merupakan bangunan berupa bak
sederhana sebagai pengendapan alami (efek gravitasi) dengan mendiamkannya
pada selang waktu jika sumber bahan baku air memiliki tingkat kekeruhan
(turbidity) tinggi yang berfungsi untuk pengendapan partikel partikel diskrit
dan berat seperti pasir; tahap berikutnya Bak Koagulasi merupakan bangunan
berbentuk bak terjadinya proses kimiawi yaitu penambahan bahan kimia
tertentu berupa zat kogulan (aluminium sulfat atau PAC) pada air baku yang
merupakan tahap penetralan muatan atau penyediaan jembatan dari padatan
terdispersi. Pada unit ini terjadi pengadukan yang cepat (rapid mixing) supaya
koagulan dapat terlarut merata (kontak maksimal antara padatan terdispersi
dengan zat kimia yang ditambahkan) dalam waktu yang singkat. Tahap
selanjutnya yaitu bak Flokulasi merupakan bangunan berbentuk bak disertai
blade blade pengaduk yang lebih lambat atau dengan kompartemenkompartemen yang berbentuk seperti labirin. Pada unit ini terjadi proses
kelanjutan koagulasi yaitu pengotor yang awalnya larut akan terpisah dan akan
mengumpul dan menumpuk (pengotor yang terendapkan disebut flok). Pada
proses ini membutuhkan kondisi aliran tenang namun tetap ada pengadukan
(slow mixing). Untuk meningkatkan efisiensi, biasanya ditambah dengan
senyawa kimia yang mampu mengikat flok-flok tersebut. Kemudian bak
Sedimentasi merupakan bangunan berbentuk bak dengan bentuk prisma
terpancung (rumah terbalik) untuk memisahkan air dengan flok flok yang
terbentuk. Setelah itu tahap filtrasi merupakan proses penyaringan
menggunakan media filter (pasir silika, zeolit,dll) yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas air dengan menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak.
Biasanya proses ini menggunakan sand filter. Tahap terakhir yaitu desinfeksi
merupakan proses sterilisasi dengan pembunuhan bakteri atau
mikrooraganisme, menggunakan penambahan zat desinfektan yaitu gas klor
atau kaporit. Kemudian Bak Penampungan Air Bersih (Reservoir) merupakan
bak penampungan air bersih yang bertujuan sebagai tolak ukur dari debit air
bersih yang dibutuhkan. Ukuran bak penampungan disesuaikan dengan

kebutuhan (debit air) dimana ukuran bak 2 kali dari kebutuhan.kemudian untuk
menyalurkan air bersih kepada pelanggan menggunakan pompa distribusi.
Menurut http://jakarta.usembassy.gov/php/air-bersih, Sistem pengolahan air
dengan pemasangan dan pengopersian yang tidak rumit, yaitu teknologi
sederhana dan tahan lama. Sebagai contoh adalah filter "laju menurun"
(declining rate). Dalam filter itu air yang masuk dibagi merata di antara filterfilter dan tiap filter dicuci pada saat air di dalamnya mulai menggenang yang
menandakan adanya sumbatan karena pasir atau bahan-bahan filter lainnya.
Cara sederhana lainnya ialah dengan menggunakan `pasir lambat' (slow sand)
yang awalnya diperkenalkan satu abad yang lalu di Eropa. Filter ini memiliki
tingkat penyaringan yang rendah, tapi hampir tanpa bagian-bagian yang
bergerak. Penjernihan biologisnya terjadi pada lapisan material yang
terperangkap pada permukaan pasir. Dan ini dibersihkan kalau material itu
mulai menyumbat filter.
Pengolahan air bersih untuk kebutuhan industri, menurut Tim redaksi. 2008.
Newater Impian Singapura 38 Tahun Lalu Melepas Haus Dengan Air Limbah.
Posmetro Batam. Sabtu,19 Juli 200, Pengolahan air laut menjadi air kebutuhan
proses pabrik, adalah sebagai berikut:Tahap pre-treatment untuk memisahkan
padatan-padatan yang terbawa oleh umpan yaitu padatan-padatan tersebut jika
terakumulasi pada permukaan membran dapat menimbulkan fouling. Pada tahap
ini pH dijaga antara 5,5-5,8. Tahap selanjutnya High pressure pump digunakan
untuk memberi tekanan kepada umpan. Tekanan ini berfungsi sebagai driving
force untuk melawan gradien konsentrasi. Umpan dipompa untuk melewati
membran. Keluaran dari membran masih sangat korosif sehingga perlu
diremineralisasi dengan cara ditambahkan kapur atau CO2. Penambahan kapur
ini juga bertujuan menjaga pH pada kisaran 6,8-8,1 untuk memenuhi spesifikasi
air minum.Terakhir tahap Disinfection dilakukan dengan menggunakan radiasi
sinar UV ataupun dengan cara klorinasi. Sebenarnya, penggunaan RO untuk
desalinasi sudah cukup jitu untuk memisahkan virus dan bakteri yang terdapat
dalam air. Namun, untuk memastikan air benar-benar aman (bebas virus dan
bakteri), disinfection tetap dilakukan.
Menurut
http://translate.googleusercontent.com/destilasi+flash/php
proses
pengolahan air bersih untuk kebutuhan industri (air proses, air umpan boiler,
dan air pendingin), dengan metode flash evaporation merupakan penguapan air
laut secara cepat dalam tabung evaporasi memalui proses throttling atau yang
sering disebut juga equilibrium distillation adalah teknik pemisahan dengan

stage tunggal. Flashing terjadi ketika kondisi cairan sekeliling berubah secara
tiba-tiba menjadi lebih rendah daripada kondisi jenuhnya akibat perubahan
tekanan dan temperature (El-Fiqi, dkk, 2007). Umpan berupa campuran cairan
dipompa ke heater untuk menaikan suhu dan enthalpy campuran. Kemudian
dialirkan melalui valve dan diturunkan tekanannya, sehingga cairan kan
menguap. Campuran kemudian memasuki flash drum yang bervolume besar,
kemudian cairan dan uap dipisahkan. Cairan dan uapnya akan tetap kontak
hingga mencapai keseimbangan. Metode flashing ini akan menghasilkan uap
jauh lebih banyak daripada proses penguapan sederhana lainnya. Fenomena
flashing ini mengakibatkan turbulensi pada aliran fluida sehingga terbentuk laju
perpindahan massa yang tinggi yang kemudian mengalami pendinginan cairan.
Proses penguapan memerlukan suatu sumber panas yang cukup untuk
mengubah fase cair air laut menjadi uap jenuh di dalam suatu medium. Sumber
panas tersebut dapat diperoleh dari panas matahari melalui suatu kolektor
(Dinata, 2001) atau melalui pembakaran bahan bakar. Dengan pertimbangan
ekonomis maka dapat digunakan bahan bakar yang cukup murah dan mudah
didapatkan seperti bahan bakar dari biomassa diantarnya adalah sekam padi,
arang kayu, serbuk gergajian kayu dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut dapat
dimanfaatkan dengan baik untuk proses destilasi air laut.
Menurut F.G Winarno dan Srikandi Fardiaz, Proses kapur soda melibatkan suatu
proses dimana kapur Ca(OH)2 mengubah kalsium dan magnesium bikarbonat
yang larut dalam air menjadi kalsium karbonat dan magnesium yang tidak larut
dan mengendap. Kalsium dan magnesium sulfat yang larut dalam air dapat
diubah menjadi kalsium karbonat yang tidak larut oleh soda abu (Na2CO3).
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Ca(HCO3)2 + Ca(OH)2 2CaCO3 + 2H2O
Mg(HCO3)2 + Ca(OH)2 CaCO3 + MgCO3 + 2H2O
MgSO4 + Ca (OH)2 Mg (OH) 2 + CaSO4
CaSO4 + Na2CO3 CaCO3 + Na2SO4
CO2 + Ca(OH)2 CaCO3 + H2O
Dalam proses ini biasanya ditambahkan senyawa koagulan, yaitu senyawa yang
dapat membantu bahan yang terbentuk (kalsium karbonat dan magnesium
hidroksida) cepat menggumpal dan mengendap. Senyawa koagulan yang

ditambahkan tersebut biasanya terdiri dari alumunium sulfat (filter alum), fero
sulfat (copperas), feri sulfat atau natrium aluminat. Prinsip alat tersebut, yaitu
terdiri dari satu atau lebih bak yang terbuat dari kayu, baja yang telah terlapis
dengan baik, atau beton. Air dimasukkan ke dalam bak, dan kemudian bahan
pelunak ditambahkan sambil diaduk dan dibiarkan, sehingga gumpalan
mengendap. Air bersih ditapis dan dialirkan dari permukaan sedangkan
endapannya dikeluarkan dari bawah.
DAFTAR PUSTAKA

Anita, Hendranugraha, 2004, Tarif Air Minum di Jakarta dinilai Mahal,


http://detik-detik.com Jakarta Sabtu, 28 Agustus 2004
Anonim, 2004, Sistem Pengolahan Air Bersih, Padang : Hand Out PT. Semen
Padang.
Betz, 1976, Hand Book Of Industrial Water Conditioning Edisi VII,
Pennsylvania : Trevose.
Effendi,H , 2003, Telaah Kualitas Air , Penerbit Kanisisus , Yogyakarta
Montgomery, 1985, Water Treatment : Principle and Disai, John Willey Inc.
Priyanto, S dan C. Sri Budiati, 2009, Buku Ajar Utilitas Bagian I, Teknik
Kimia Departemen Teknik Universitas Diponegoro, Semarang
Reynolds, Tom D, 1982, Unit Operations and Process in Environmental
Engineering,Texas A&M University, Brooks/Cole Engineering Division,
Monterey, California, USA
Steel, Ernest W, 1960, Water Supply and Sewerage, Fourth Edition. Mc Graw
Hill Book Company, Inc : New York.
Sutrisno, dkk, 1987, Teknologi Penyediaan Air Bersih, Jakarta : Rineka Cipta.
Tambunan, Binsar, 2008, Cukupkah Stok Sumber Air Bersih Kita? Selasa, 3
Juni 2008, Otoria Batam
Tim redaksi, 2008, Newater Impian Singapura 38 Tahun Lalu Melepas Haus
Dengan Air Limbah, Posmetro Batam. Sabtu,19 Juli 2008

Tim Redaksi, 2005, Salinitas Air Laut. OSEANOGRAFI Awal Kehidupan


Berawal Dari Laut, Tuesday, 19 July 2005
Untung, dkk, 1995, Menjernihkan Air Kotor, Bogor : Puspa Swara.
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002
tanggal 29 Juli 2002
Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No
02/MENKLH/1988
http://www.digilib-ampl.net/detail/list.php
http://smallscrab.com/penyediaan-air-bersih-dan-sehat
http://jakarta.usembassy.gov/php/air-bersih
http://translate.googleusercontent.com/destilasi+flash/php

Diposkan oleh venus puspitaw di 21.43 Tidak ada komentar:


Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest

Studi Kasus Banjir,, Permasalahan Dan Solusinya....

Berdasarkan kliping yang saya baca : Sejumlah warga Baleendah dan


Dayeuhkolot Kabupaten Bandung terjebak banjir (Kompas-20 Maret 2010) dan
Banjir Bandung dipicu oleh parahnya lingkungan (Kompas-22 Februari 2010)
Studi kasus : Badan dan anak-anak sungai Citarum di Kota Bandung tertutup
sampah (Kondisi rusak berat)/ Sungai Citarum dipenuhi sampah dan lumpur.

Lumpur merupakan hasil sedimentasi atau hasil dan pengendapan material yang
diangkut oleh air sungai.

Penyelesaian :
Perlunya penyuluhan akan kesadaran masyarakat setempat dan peraturan
pemerintah daerah (berdasarkan UU pengelolaan sampah 9 April 2008 dan pasal
28H ayat (1) UUD 1945) untuk tidak membuang sampah dibantaran sungai
Citarum. Sehingga penindakan tegas dapat dilakukan.
Tersedianya sarana dan prasarana berkaitan dengan sampah yaitu tong sampah
dan tempat pembuangan akhir disetiap lingkungan.
Pemilahan jenis sampah pada tempat pembuangan sampah yaitu sampah
organik, anorganik, dan plastik. Sehingga untuk pengelolaan menjadi lebih
mudah.
Pelatihan sumber daya manusia (SDM) dari tim ahli kepada wakil-wakil
masyarakat untuk mengolah sampah organik menjadi kompos secara aplikatif.
Membuat lubang biopori sebagai peresap air untuk mengatasi banjir dan
sampah, yaitu dengan cara :
Membuat lubang silindris ke dalam tanah dengan diameter sepuluh sentimeter,
kedalaman sekitar seratus sentimeter atau tidak melampaui kedalam air tanah.
Jarak antar lubang 50-100 cm
Mulut lubang diperkuat dengan adukan semen selebar 2-3 cm, setebal 2 cm
disekeliling mulut lubang.
Mengisi lubang biopori dengan sampah organik yang berasal dari sisa tanaman
dari dedaunan pohon, pangkasan rumput halaman atau sampah dapur. Dan
sampah perlu ditambah jika isinya sudah berkurang atau menyusut karena
proses pelapukan.
Kompos yang terbentuk dapat diambil setiap musim kemarau bersamaan
dengan pemeliharaan lubang.
Dengan cara diatas selain mengubah sampah organik menjadi kompos juga
mengurangi masalah pembuangan sampah yang mengakibatkan pencemaran air
dan udara, dan tentunya mengurangi banjir, longsor dan kekeringan.

Pengelolaan sampah untuk pencegahan adalah berusaha untuk tidak


menyebabkan terjadinya pencemaran, yaitu:
Penguburan sampah dilakukan secara berlapis-lapis dengan tanah
Penguraian atau pembusukan sampah organik didalam bak terbuka atau
tertutup oleh mikroorganisme kemudian dapat diolah sebagai kompos.
Pengolahan sampah anorganik seperti diplasti dengan membakar sampah
tersebut secara terorganisir atau dikumpulkan pada daerah yang jauh dari
pemukiman. Dan bisa juga dengan menggiling atau dipotong-potong menjadi
partikel-partikel kecil kemudian dikubur.
Dengan langkah penanggulangan yaitu berprinsip mengolah atau mendaur ulang
menjadi bahan yang bermanfaat, yaitu :
Pengolahan sampah anorganik menjadi barang-barang bermanfaat seperti:
plastik didaur ulang menjadi ember, kaca menjadi vas bunga, plastik dan serat
dijadikan mainan anak-anak, keset dan bahan bangunan.
Pengolahan bekas bahan bangunan (seperti keramik, batu, pasir, kerikil,
batubata) dikubur dala sumur secara berlapis-lapis yang dapat berfungsi sebagai
resapan air dan penyaringan air. Resapan air tersebut dapat masuk kesumur dan
dapat digunakan kembali sebagai air bersih.
Pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dari
hulu ke hilir, dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah.
Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan, penggunaan kembali dan
pendauran ulang. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Untuk menanggulangi pencemaran akibat penumpukan sampah dapat
dilakukan melalui program:
Reduce artinya mengurangi atau mereduksi sampah yang akan terbentuk.
Dapat dilakukan dengan membawa keranjang belanja ke pasar sehingga
mengurangi kantong plastik yang dibawa kerumah, dan menggunakan
saputangan daripada tisu.
Reuse artinya pemakaian kembali sampah yang sudah terbentuk seperti
penggunaan bahan-bahan plastik atau kertas bekas untuk benda-benda souvenir,

bekas ban untuk kursi taman dan botol minuman kaca dapat digunakan untuk air
minum.
Pendaurulangan sampah yaitu sampah organik menjdai kompos (pupuk),
sampah menjadi energi panas menggunakan insenerator. Hasil pengolahan
kemudian dikeringkan dan dijadikan sebagai bahan bakar sebelum dibuang ke
tanah.
Kesadaran dari pelaku produsen bahan-bahan atau barang dari plastik untuk
mencantumkan kode yang menyatakan jenis plastik. Kemudian di tempat umum
disediakan tempat sampah dengan berbagai kode, sehingga masyrakat dapat
membuang sampah menurut jenisnya.
Mengurangi penggunaan sampah anorganik seperti plastik

Daftar Pustaka

http://www.kompas.com/bencanaalam/banjirbandungdipicuparahnyalingkungan
/20-03-2010/

http://www.kompas.com/regional/sejumlahwargabandungterjebakbanjir/20-032010/

http://www.wikipedia.co.id/sedimentasi/20-03-2010/

http://www.biopori.com/20-03-2010/

http://community.um.ac.id/20-03-2010/

http://www.republika.com/anak2sungaicitarumdikotaBandungsudahdalamkondi
siberat/20-03-2010/

http://hosting2.koran-jakarta.com/berita/20-03-2010/

http://www.ipb.ac.id

http://www.chem-is-try.org/kategori/sampah/20-03-2010/

http://www.chem-is-try.org/kategori/pencemaranlingkungan/20-03-2010/

http://www.dml.or.id/newsarchieve/20-03-2010/

Diposkan oleh venus puspitaw di 21.40


http://sciencetechnowisdom.blogspot.co.id/

Minggu, 20 Maret 2011

Integrated Coal Gasification Combined Cycle : Teknologi Gasifikasi Batubara

Sumber energi di Indonesia ditandai dengan keterbatasan cadangan minyak


bumi, cadangan gas alam yang mencukupi serta cadangan batubara yang
melimpah. Sumber daya energi batubara diperkirakan sebesar 36.5 milyar ton,
dengan sekitar 5.1 milyar ton dikategorikan sebagai cadangan terukur. Sumber
daya ini sebagian besar berada di Kalimantan yaitu sebesar 61 %, di Sumatera
sebesar 38 % dan sisanya tersebar di wilayah lain. Menurut jenisnya dapat
dibagi menjadi lignite sebesar 58.6 %, sub-bituminous sebesar 26.6 %,

bituminous sebesar 14.4 % dan sisanya sebesar 0.4 % adalah anthracite.


Produksi batubara pada tahun 1995 mencapai sebesar 44 juta ton. Sekitar 33
juta ton dieksport dan sisanya sebesar 11 juta ton untuk konsumsi dalam negeri.
Dari jumlah 11 juta ton tersebut 60 % atau sekitar 6.5 juta ton digunakan untuk
pembangkit listrik, 30 % untuk industri semen dan sisanya digunakan untuk
rumah tangga dan industri kecil.

Selama sepuluh tahun terakhir ini penggunaan batubara dalam negeri terus
mengalami pertumbuhan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian dan
industrialisasi. Sektor tenaga listrik merupakan sektor yang mengkonsumsi
batubara paling besar. Saat ini sekitar 30 % dari total
pembangkitan menggunaan bahan bakar batubara. Diperkirakan konsumsi
batubara untuk pembangkit listrik akan mencapai dua kali lipat pada awal abat
21.

Permasalahan utama dalam pemanfaatan batubara adalah wujud batubara yang


berupa zat padat sehingga kurang luwes dalam transportasinya. Disamping itu
batubara mengandung sulfur, nitrogen dan abu dalam jumlah besar sehingga gas
buang hasil pembakaran menghasilkan polutan seperti SO2 dan NO2 serta abu
terbang. Pembakaran batubara juga menghasilkan CO2 yang berperan dalam
proses pemanasan global. Permasalahan tersebut terus dicari pemecahannya
melalui riset-riset yang telah dan sedang dikembangkan saat ini.

Aktivitas riset dalam PLTU batubara saat ini telah melahirkan konsep baru yang
menjanjikan dapat menaikkan efisiensi, mengurangi emisi polutan dari gas
buang serta menghasilkan limbah yang minimum. Konsep baru tersebut adalah
teknologi pembakaran fluidized bed dan teknologi gasifikasi batubara.

Integrated Coal Gasification Combined Cycle

Teknologi IGCC merupakan merupakan salah satu teknologi batubara bersih


yang sekarang dalam tahap pengembangan. Istilah IGCC ini merupakan istilah
yang paling banyak digunakan untuk menyatakan daur kombinasi gasifikasi
batubara terintegrasi. Meskipun demikian masih ada beberapa istilah yang
digunakan yaitu ICGCC (Integrated Coal Gasification Combined Cycle) dan
CGCC (Coal Gasification Combined Cycle) yang sama artinya.

Komponen utama dalam riset IGCC adalah pengembangan teknik gasifikasi


batubara. Gasifikasi batubara pada prinsipnya adalah suatu proses perubahan
batubara menjadi gas yang mudah terbakar. Proses ini melalui beberapa proses
kimia dalam reaktor gasifikasi (gasifier). Mula-mula batubara yang sudah
diproses secara fisis diumpankan ke dalam reaktor dan akan mengalami proses
pemanasan sampai temperatur reaksi serta mengalami proses pirolisa (menjadi
bara api). Kecuali bahan pengotor, batubara bersama-sama dengan oksigen
dikonversikan menjadi hidrogen, karbon monoksida dan methana. Proses
gasifikasi batubara berdasarkan sistem reaksinya dapat dibagi menjadi empat
macam yaitu : fixed bed, fluidized bed, entrained flow dan molten iron bath.

Dalam fixed bed, serbuk batubara yang berukuran antara 3 30 mm


diumpankan dari atas reaktor dan akan menumpuk karena gaya beratnya. Uap
dan udara (O2) dihembuskan dari bawah berlawanan dengan masukan serbuk
batubara akan bereaksi membentuk gas. Reaktor tipe ini dalam prakteknya
mempunyai beberapa modifikasi diantaranya adalah proses Lurgi, British Gas
dan KILnGas. Sedangkan proses yang menggunakan prinsip fluidized bed
adalah High-Temperature Winkler, Kellog Rust Westinghouse, dan U-gas.
Dalam fluidized bed gaya dorong dari uap dan O2 akan setimbang dengan gaya
gravitasi sehingga serbuk batubara dalam keadaan mengambang pada saat
terjadi proses gasifikasi. Serbuk batubara yang digunakan lebih halus dan
berukuran antara 1 5 mm. Dalam entrained flow serbuk batubara yang
berukuran 0.1 mm dicampur dengan uap dan O2 sebelum diumpankan ke dalam
reaktor. Proses ini telah digunakan untuk memproduksi gas sintetis dengan
nama proses Koppers-Totzek. Proses yang sejenis kemudian muncul seperti

proses PRENFLO, Shell, Texaco , dan DOW. Proses molten iron bath
merupakan pengembangan dalam proses industri baja. Serbuk batubara
diumpankan ke dalam reaktor bersama-sama dengan kapur dan O2. Kecuali
proses molten iron bath semua proses telah digunakan untuk keperluan
pembangkit listrik.

Saat ini teknologi IGCC sedang dikembangkan di seluruh dunia, seperti :


Jepang, Belanda, Amerika Serikat dan Spanyol. Di samping proses gasifikasi
yang terus mengalami perbaikan, gas turbin jenis baru juga terus dikembangkan.
Temperatur masukan gas turbin yang tinggi akan dapat menaikkan efisiensi dan
ini dapat dicapai dengan penggunaan material baru dan perbaikan sistem
pendinginnya.

Prinsip kerja dari IGCC ditunjukkan pada gambar di atas. IGCC merupakan
perpaduan teknologi gasifikasi batubara dan proses pembangkitan uap. Gas
hasil gasifikasi batubara mengalami proses pembersihan sulfur dan nitrogen.
Sulfur yang masih dalam bentuk H2S dan nitrogen dalam bentuk NH3 lebih
mudah dibersihkan sebelum dibakar dari pada sudah dalam bentuk oksida dalam
gas buang. Sedangkan abu dibersihkan dalam reaktor gasifikasi. Gas yang sudah
bersih ini dibakar di ruang bakar dan kemudian gas hasil pembakaran disalurkan
ke dalam turbin gas untuk menggerakkan generator. Gas buang dari turbin gas
dimanfaatkan dengan menggunakan HRSG (Heat Recovery Steam Generator)
untuk membangkitkan uap. Uap dari HRSG (setelah turbin gas) digabungkan
dengan uap dari HRSG (setelah reaktor gasifikasi) digunakan untuk
menggerakkan turbin uap yang akan menggerakkan generator.
Kelebihan-kelebihan IGCC

Penggunaan teknologi PLTU batubara konvensional saat ini mempunyai


kekurangan yaitu efisiensinya rendah yang berkisar antara 33 36 %. Efisiensi
ini dapat ditingkatkan dengan membangun unit pembangkit yang lebih besar

atau dengan menaikkan suhu dan tekanan dalam siklus panasnya. Cara ini
mempunyai keterbatasan dan menambah tingkat kerumitan dalam pemilihan
materialnya. Disamping itu tuntutan dalam memelihara lingkungan hidup
(seperti telah disebutkan di atas) akan menambah biaya pembangkitan karena
adanya penambahan peralatan seperti : de-SOX (desulfurisasi), de-NOX
(denitrifikasi) dan penyaring debu (electrostatic precipitator). Pemasangan
peralatan ini juga akan mengurangi efisiensi total pembangkit listrik.

Teknologi IGCC ini mempunyai kelebihan yaitu dalam hal bahan bakar : tidak
ada pembatas untuk tipe, ukuran dan kandungan abu dari batubara yang
digunakan. Dalam hal lingkungan : emisi SO2, NOX, CO2 serta debu dapat
dikurangi tanpa penambahan peralatan tambahan seperti de-SOX dan de-NOX
dan juga limbah cair serta luas tanah yang dibutuhkan juga berkurang.
Disamping itu pembangkit listrik IGCC mempunyai produk sampingan yang
merupakan komoditi yang mempunyai nilai jual seperti : sulfur, asam sulfat dan
gypsum.

Efisiensi pembangkit listrik ICGG berkisar antara 38 45 % yang lebih tinggi 5


10 % dibandingkan PLTU batubara konvensional. Hal ini dimungkinkan
dengan adanya proses gasifikasi sehingga energi yang terkandung dalam
batubara dapat digunakan secara efektif dan digunakannya HRSG untuk
membentuk suatu daur kombinasi antara turbin gas dan turbin uap.

Dalam sistem IGCC, sekitar 95 99 % dari kandungan sulfur dalam batubara


dapat dihilangkan sebelum pembakaran. NOX dapat dikurangi sebesar 70 93
% dan CO2 dapat dikurangi sebesar 20 35 % (emisinya berkisar antara 0.75
0.85 kg CO2/kWh) dibandingkan dengan PLTU batubara konvensional. Dengan
tingkat emisi yang rendah maka dapat untuk mencegah terjadi hujan asam
karena emisi polutan SO2 dan NOX serta mencegah terjadinya pemanasan
global karena emisi CO2.

Salah satu hal yang menarik dalam sistem IGCC adalah pembangunannya dapat
dilakukan secara bertahap yaitu:
- tahap pertama : pembangunan turbin gas dan perlengkapan pembangkit listrik
- tahap kedua : pembangunan sistem daur kombinasi, dan
- tahap ketiga : pembangunan unit gasifikasi.

Pembangunan dua tahap yang pertama memerlukan biaya investasi yang relatif
kecil dan sudah dapat menghasilkan tenaga listrik. Investasi yang besar hanya
dibutuhkan pada saat pembangunan tahap ketiga dan dilaksanakan bila sudah
dinilai ekonomis untuk mengganti bahan bakar dari gas alam dengan batubara.
Disamping itu sistem IGCC didesain secara modular sehingga mudah untuk
dikembangkan menjadi unit yang lebih besar kapasitasnya pada saat kebutuhan
tenaga listrik sudah meningkat.

Kesimpulan

Pemakaian tenaga listrik di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini mengalami


peningkatan yang cukup pesat yaitu 14.5 % per tahun dan dalam 25 tahun
mendatang diperkirakan akan terus mengalami peningkatan dengan
pertumbuhan sebesar 7.8 % per tahun. Pada tahun 1996 kebutuhan tenaga listrik
diperkirakan sebesar 140.7 TWh dan pada tahun 2021 kebutuhan mencapai
617.9 TWh. Sedangkan pangsa penggunaan batubara untuk pembangkit listrik
terus meningkat pesat dari 21 % pada tahun 1996 menjadi 78 % pada tahun
2021. Pemakaian batubara dalam jumlah besar ini harus menerapkan teknologi
batubara bersih, salah satunya yaitu IGCC, supaya dampak lingkungannya
minimum. IGCC saat ini sedang dalam taraf pengembangan dan diharapkan
sudah beroperasi secara komersial dalam waktu dekat ini. Pembangkit listrik
IGCC mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan PLTU konvensional
dengan tambahan de-SOX dan de-NOX dalam hal dampak lingkungan. Bagi
Indonesia pembangkit listrik IGCC merupakan teknologi alternatif yang patut

dipertimbangkan untuk menggantikan PLTU batubara konvensional yang sudah


habis masa gunanya dan untuk pembangunan pembangkit listrik yang baru.

*Artikel di atas ialah rangkuman sebuah makalah yang ditulis oleh Agus
Sugiyono, seorang peneliti di BPP Teknologi.

Sumber: Majari Magazine


Diposkan oleh Abu Affan di 15.35
Label: Teknologi Batubara
http://allaboutchemeng.blogspot.co.id/2011/03/integrated-coal-gasificationcombined.html

Fluidized Bed Combustion


Prinsip kerja Fluidized Bed Combustion :

Sistem Fluidized bed Combustion ini menggunakan bahan bakar yang mudah
terbakar seperti batubara, kertas, sekam padi, serpihan kayu (saw dust),
cangkang sawit. Memerlukan pasir silica sebagai media untuk menyimpan
panas. Hembusan angin dari FDF Force Draft Fan akan melewati furnace nozzle
akan menggerakkan pasir silica yang bercampur dengan batubara yang terbakar
sehingga menimbulkan panas yang menyerupa lava dan bergerak naik turun
sesuai dengan tekanan angin yang telah di atur sedemikian rupa.
Dengan menggunakan metode bubling makan panas di dalam dapur hingga
sampai temperature 700 - 950 derajat celcius. Panas di dalam furnace di kontrol
oleh FBC tube sehingga temperatur didalam furnace maksimal 900-1000 derajat
celcius. Sehingga terhindar dari terbentuknya NOx yang berbahaya bagi
lingkungan.
Dengan terjaganya suhu dalam temperatur rendah sehingga pasir silca dan abu
pembakaran tidak akan meleleh. Apabila sampai meleleh hal ini menyebabkan
pengerasan atau membatu sehingga operasi boiler berhenti. Pada sistem ini di

lengkapi Silica Sand Vibrator yang berfungsi untuk menyaring kotoran di dalam
dapur dengan pasir silica dan di masukkan kembali dengan otomatis tanpa
boiler berhenti.

Keunggulan Boiler dengan system Fluidized Bed Combustion :

1. Pembakaran sempurna ( Perfect Combustion ).


System FBC adalah system pembakaran yang tertutup, sehingga seluruh
batubara yang masuk ke dalam dapur api akan terbakar sempurna ( 100 % ),
sebelum habis terbakar batubara akan terperangkap di dalam pasir silica yang
bergerak, dengan demikian efficiency boiler menjadi tinggi.
2. Batu bara yang digunakan dalam system FBC sangat flexible dapat
Menggunakan batubara rendah kalori, dengan ukuran 0 ~ 15 mm. Spesifikasi
Batu bara tersebut adalah yang paling murah dan paling banyak tersedia di
indonesia.
3. Tidak ada mechanical yang bergerak
Dalam system FBC tidak ada mechanical yang bergerak dalam dapur api
yang sangat panas.
4. Temperature pembakaran yang rendah.
Design temperature System FBC kami adalah maksimum 950 C,
karakteristik Batu bara Indonesia, abu dari batubara akan mulai berubah bentuk
atau meleleh pada suhu 1050 C sehingga dengan design yang kami tawarkan
tidak akan terjadi Melting Ash atau kandungan abu batubara yang meleleh.
Dan juga pembakaran suhu rendah dapat menghindari terbentuknya NOx, NOx
baru akan terbentuk pada suhu 1000C.
5. Pemasukan Batubara

Dalam system FBC, Batubara dimasukan kedalam ruang bakar sedikit demi
sedikit menggunakan screw conveyor komposisi batubara adalah 5 % dan 95 %
lainnya adalah pasir silica, sehingga sangat mudah untuk melakukan control bila
terjadi Fluktuasi pada pemakaian uap di pabrik dengan mengatur kecepatan
pada screw conveyor.
6. Investasi Cepat Kembali
Dengan menggunakan Boiler sistem Fluidized Bad Combustion (FBC)
efisiensi pemakaian batu bara sangat tinggi, sehingga biaya produksi industri
akan lebih rendah dibandingkan dengan Boiler dengan bahan bakar minyak
(BBM)
http://www.mekarjayatechnic.com/modifikasi-boiler/fluidized-bed-combustion
http://intranet.tekmira.esdm.go.id/litbang/filesmenteri/KAJIAN%20EMISI
%20CO2%20DARI%20PEMBAKARAN%20BATUBARA%20DI
%20INDONESIA.pdf

Teknologi Fluidized Bed Combustion (FBC) Pada PLTU

Teknologi Fluidized Bed Combustion (FBC) Pada PLTU


Penulis: Paula
Fluidized Bed Combustion merupakan salah satu teknologi yang banyak
digunakan pada pembangkit listrik tenaga uap. Pada pembakaran batubara
dengan metode Fluidized Bed Combustion atau FBC, batubara akan
dihancurkan terlebih dahulu dengan mesin penghancur atau crusher untuk
menghasilkan batubara yang ukuran maksimalnya tidak lebih dari 2,5
sentimeter. Metode FBC berbeda dengan pembakaran batubara yang
menggunakan stoker dimana batubara ditempatkan pada kisis api seama proses
pembakaran. Metode ini juga berbeda dengan metode PCC yang
menyemprotkan batubara dan udara ketika pembakaran karena pada metode
FBC batubara diusahakan berada dalam posisi mengambang. Untuk
mendapatkan posisi ini, dilewatkan angin dengan kecepatan tertentu yang

dilewatkan dari sisi bawah boiler. Keseimbangan antara angin, gaya dorong ke
atas, dan gaya gravitasi akan membantu menjaga butiran batubara berada dalam
posisi mengambang sehingga akan membantu kapisan seperti cairan yang selalu
bergerak.
Keadaan ini akan membuat pembakaran batubara menjadi lebih sempurna
karena batubara yang posisina selalu berubah sehingga memungkinkan sirkulasi
udara berjalan dengan lancar dan memenuhi kebutuhan udara selama proses
pembakaran.
Dengan sifat pembakaran yang demikian, spesifikasi batubara yang digunakan
untuk metode ini tidak begitu ketat seperti pada metode pembakaran batubara
yang lain. Biasanya tidak ada pembatasan khusus untuk kadar volatile matter
atau zat terbang, kadar abu, dan rasio bahan bakar. Semua jenis batubara bisa
digunakan dalam metode ini sekalipun batubara tersebut termasuk kategori
rendah. Semua batubara bisa dibakar dengan sempurna dengan metode FBC ini.
Namun, saat batubara akan dimasukkan ke dalam boiler, kandungan air yang
ada di permukaannya tidak lebih dari 4 persen. Salah satu keunggulan dari
metode FBC adalah penggunaan alat peremuk batubara yang tidak terlalu rumit.
Selain itu ukuran boilernya juga dapat diperkecil sesuai dengan kebutuhan.
Pada metode FBC, suhu pembakarannya mencapai 900 sehingga kadar
thermal NOx bisa ditekan. Untuk mengurangi kadar NOx, metode ini juga dapat
menggunakan mekanisme pembakaran dua tingkay seperti pada metode PCC.
Selain itu pada teknologi FBC, desulfurisasi bisa dilakukan bersamaan dengan
proses pembakaran yang berlangsung di boiler.

Posted by Nunu Hamdani at 8:43 AM


http://jumro.blogspot.co.id/search/label/Teknologi%20Fluidized%20Bed
%20Combustion%20(FBC)%20Pada%20PLTU

Prospek Energi dari Sekam Padi dengan Teknologi Fluidized Bed Combustion

Oleh : I Nyoman Suprapta Winaya

Izin
Cetak
Disamping untuk mendapatkan sumber energi baru, usaha yang terus menerus
dilakukan dalam rangka mengurangi emisi CO2 guna mencegah terjadinya
pemanasan global telah mendorong penggunaan energi biomasa sebagai
pengganti energi bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Bahan
bakar biomasa merupakan energi paling awal yang dimanfaatkan manusia dan
dewasa ini menempati urutan keempat sebagai sumber energi yang
menyediakan sekitar 14% kebutuhan energi dunia.

Seperti halnya sekam padi, biomasa mengkonsumsi CO2 selama proses


pertumbuhan dan dalam jumlah yang sama akan dilepas selama proses konversi
energi, sehingga biomasa dikenal sebagai energi bebas CO2. Energi
terbaharukan yang bersumber dari sekam padi telah lama dilirik penggunaannya
dan bahkan telah dikonversi menjadi listrik di beberapa negara seperti China
dan India. Salah satu alasan kenapa bahan bakar sekam padi masih jarang
dipakai sebagai sumber energi yaitu karena kekurang-cukupan informasi
tentang karakteristik dan emisi yang dihasilkannya. Artikel pendek ini berisikan
bahasan singkat tentang prospek sekam padi dijadikan energi dengan memakai
teknologi fluidized bed combustion (FBC).

1. Energi potensial pada sekam padi

Sekam padi adalah salah satu sumber energi biomasa yang dipandang penting
untuk menanggulangi krisis energi belakangan ini khususnya di daerah
pedesaan. Ketersediaan sekam padi di hampir 75 negara di dunia diperkirakan
sekitar 100 juta ton dengan energi potensial berkisar 1,2 x 109 GJ/tahun dan
mempunyai nilai kalor rata-rata 15 MJ/kg 1]. Indonesia sebagai negara agraris
mempunyai sekitar 60.000 mesin penggiling padi yang tersebar di seluruh
daerah dengan kisaran produksi sekam padi 15 juta ton per tahun. Untuk

kapasitas besar, beberapa mesin penggiling padi mampu memproduksi 10-20


ton sekam padi per hari.

Tidak seperti sumber bahan bakar fosil, ketersedian energi sekam padi tidak
hanya jumlahnya berlimpah tetapi juga merupakan energi terbaharukan.
Beberapa sumber energi biomasa mempunyai kendala akan besarnya biaya
investasi untuk pengumpulan, transportasi dan penyimpanan. Akan tetapi untuk
energi sekam padi, biaya-biaya diatas relatif lebih kecil karena lokasinya sudah
terkonsentrasi pada pabrik-pabrik penggilingan padi. Jika suatu teknologi
tersedia, bahan bakar sekam padi ini akan bisa dikonversi menjadi energi
thermal untuk kebutuhan tenaga listrik di daerah pedesaan.

2. Sifat dan karakteristik sekam padi

Dibandingkan bahan bakar fosil, sifat dan karakteristik bahan bakar biomasa
lebih kompleks serta memerlukan persiapan dan pemrosesan yang lebih khusus.
Sifat dan karakteristik meliputi berat jenis yang kecil sekitar 122 kg/m3, jumlah
abu hasil pembakaran yang tinggi dengan temperatur titik lebur abu yang
rendah. Abu hasil pembakaran berkisar antara 16-23% dengan kandungan silika
senbesar 95%2]. Titik lebur yang rendah disebabkan oleh kandungan alkali dan
alkalin yang relatif tinggi. Kandungan uap air (moisture) pada biomasa
umumnya lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil, akan tetapi kandungan
uap air pada sekam padi relatif sedikit karena sekam padi merupakan kulit padi
yang kering sisa proses penggilingan. Sekam padi mempunyai panjang sekitar
8-10 mm dengan lebar 2-3 mm dan tebal 0,2 mm.

Karakteristik lain yang dimiliki bahan bakar sekam padi adalah kandungan zat
volatil yang tinggi (high-volatile matter) yaitu zat yang mudah menguap.
Kandungan zat volatilnya berkisar antara 60-80% dimana bahan bakar fosil
hanya mempunyai 20-30% untuk jenis batu bara medium. Energi konversi yang
dihasilkan lebih banyak berasal dari zat volatil ini dibandingkan dengan bara api
(solid residue) biomasa 3].

Uap air adalah komponen zat volatil pertama yang muncul sesaat setelah
temperatur mencapai 100oC untuk rentang temperatur operasi sampai 900oC.
Selanjutnya, komponen H2, CO, dan CO2 akan terbentuk bersamaan dengan
formasi hidrokarbon dalam jumlah yang banyak seperti CH4 sampai tar.
Biasanya, jelaga (soot) akan terbentuk selama proses divolitisasi dimana elemen
N dan S akan muncul dalam bentuk NH3, HCn, CH3CN, H2S, COS dan CS2.
Kalau terjadi ketidaksempurnaan pembakaran sebagai akibat cepatnya evolusi
zat volatile akan mengakibatkan deposisi tar, formasi dioxin di backpass dan
atmosfir seperti NOx, CO, SO2 dan N2O 4].

3. Teknologi Fluidized Bed Combustion

Teknologi fluidized bed combustion (FBC) adalah salah satu teknologi terbaik
untuk menkonversi sekam padi menjadi listrik karena mempunyai keunggulan
mengkonversi berbagai jenis bahan bakar baik sampah, limbah, biomasa
ataupun bahan bakar fosil berkalori rendah. FBC mempunyai temperatur
pengoperasian antara 800-900oC sehingga merupakan teknologi yang ramah
lingkungan. Teknologi ini telah diperkenalkan sejak abad keduapuluhan dan
telah diaplikasikan dalam banyak sektor industri dan pada tahun-tahun
belakangan ini telah diaplikasikan untuk mengkonversi biomasa menjadi energi.
Efisiensi pembakaran yang lebih tinggi bisa diperoleh dari teknologi FBC
dibandingkan dengan sistem pembakaran konvensional karena perpindahan
panas yang sangat bagus di dalam sistem.

Pada proses pengkoversian energi dengan teknologi FBC, awalnya ruang bakar
dipanasi secara eksternal sampai mendekati temperatur operasi. Material
hamparan (bed material) fluidisasi yang lumrah dipakai untuk mengabsorbi
panas adalah pasir silika. Pasir silika dan bara api bahan bakar bercampur dan
mengalami turbulensi di dalam ruang bakar sehingga keseragaman temperatur
sistem menjadi terjaga. Pada temperatur yang tinggi dengan media transfer
panas pasir silika akan mampu memberi garansi konversi energi yang cepat
dengan kondisi temperatur isothermal. Selanjutnya, dengan bidang kontak panas
yang luas disertai turbulensi partikel fluidisasi yang cepat menyebabkan FBC

teknologi bisa diaplikasikan untuk mengkonversi segala jenis bahan bakar


bahkan dengan ukuran yang tidak seragam seperti bahan bakar sekam padi.
Gambar skematik FBC bisa dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Skematik diagram FBC untuk bahan bakar sekam padi

Kwalitas fluidisasi adalah faktor paling utama yang mempengaruhi efisiensi


sistem FBC. Umumnya, sekam padi sangat sulit difuidisasi mengingat
bentuknya yang silindris, berupa butiran dan berlapis. Beberapa penelitian
untuk mengkontrol kwalitas fluidisasi telah dilakukan dengan merubah
kecepatan masuk fluidisasi pada limit tertentu sesuai dengan besarnya ukuran
partikel pentransfer panas yang digunakan.

4. Peningkatan performansi FBC sekam padi

Bila bahan bakar sekam padi dimasukkan pada ruang pembakaran FBC, evolusi
zat volatil akan terjadi sangat cepat. Ini dikarenakan oleh tingginya laju
perpindahan panas oleh material hamparan di dalam ruang bakar sehingga zat
volatil hanya berevolusi di sekitar tempat pemasukan bahan bakar (fuel feed
point). Karena ketidakcukupan oksigen di bagian atas ruang bakar (freeboard)
maka pembakaran sempurna sering tidak terwujud. Formasi hidrokarbon sering
terjadi dan diantisipasi akan memunculkan dioksin pada gas buang. Evolusi
volatil secara lokal juga menyebabkan temperatur sangat tinggi di sembarang
tempat pada ruang bakar dan kondisi ini akan menyebabkan formasi NOx.

Keseragaman temperatur pada sistem pembakaran adalah hal yang


penting untuk menjaga kestabilan pembakaran disamping berguna
mengurangi emisi dari polutan seperti hidrokarbon dan NOx sebagai
hasil pembakaran yang tidak sempurna. Untuk mecapai hal tersebut,

sangat
untuk
akibat
usaha-

usaha telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti seperti: menurunkan


temperatur operasi dan mengurangi kecepatan gas fluidisasi untuk memperkecil
laju pemanasan selama pembakaran 4]; mengontrol volume pemasukan bahan
bakar supaya fluktuasi evolusi zat volatil menjadi menurun 5]; memasang
penyekat (baffle) di ruang atas reaktor agar pencampuran udara dengan zat
volatil meningkat 6].

Cara lain untuk menghindari hal tersebut yaitu dengan menggunakan partikel
yang berpori seperti pasir alumina sebagai pengganti pasir silika yang biasa
digunakan sebagai media partikel yang difluidisasi7,8,9]. Dengan menggunakan
media berpori maka hidrokarbon akan tertangkap pada pori-pori partikel seperti
terlihat pada gambar 2.

Gambar 2. Hidrokarbon (HC) terperangkap di dalam pori sebagai karbon


deposit

Karbon yang tertangkap akan terfluidisasi bersama material hamparan ke


seluruh ruang reaktor sehingga terjadi pencampuran yang baik yang
menyebabkan formasi stoikimetrik dan temperatur pengoperasian pada reaktor
menjadi seragam. Hal ini akan mengakibatkan dioksin dan emisi menjadi
berkurang dan juga mampu meningkatkan konversi karbon menjadi energi
sehinga efisiensi sistem meningkat. Konversi karbon lebih banyak terjadi ketika
pasir alumina MS yang berpori dipakai sebagai material hamparan
dibandingkan pasir silika QS seperti ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 3. Perbandingan konversi karbon pada MS dengan QS

Keutamaan lain dari penggunaan partikel berpori adalah untuk menghindari


penggumpalan/aglomerasi antara abu hasil pembakaran dengan partikel pasir
silika yang biasa digunakan sebagai media pentransfer panas. Aglomerasi terjadi
karena bahan bakar biomasa mengandung alkalin yang bisa bersenyawa dengan
silika membentuk ikatan yang kalium silikat. Aglomerasi harus dihindari karena
akan mengganggu fluidisasi dan bahkan pada kejadian paling buruk akan
menyebabkan sistem berhenti secara mendadak. Tabel 1 menunjukkan
aglomerasi tidak terjadi dan jumlah karbon yang terbakar lebih banyak bila
menggunakan pasir alumina yang berpori MS dibandingkan dengan pasir silika
QS8].

Table 1. Total jumlah karbon yang terbakar dan aglomerasi yang terjadi

5. Kesimpulan

Karakteristik yang melemahkan bahan bakar sekam padi untuk dijadikan energi
antara lain tingginya kandungan zat yang mudah menguap dengan titik lebur
abu hasil pembakaran yang rendah. Hal ini akan berdampak pada performasi
sistem seperti; tidak meratanya temperatur pada ruang bakar dan terjadinya
penggumpalan abu hasil pembakaran yang menyebabkan kegagalan mesin yang
sedang beroperasi. Teknologi FBC telah banyak diaplikasikan dan terbukti
sangat efektif untuk menkonversi biomasa, limbah dan sampah menjadi energi
yang bersih dan ramah lingkungan. FBC berbahan bakar sekam padi bisa
ditingkatkan performansinya salah satunya dengan menggunakan pasir alumina
berpori yang berfungsi untuk meningkatkan jumlah karbon yang terbakar
sehingga efisiensi meningkat dan juga untuk menghindari aglomerasi. Artikel
ini diharapkan dapat memberikan tambahan masukan yang berharga akan
kelayakan sekam padi bila digunakan sebagai energi listrik.

Daftar Pustaka

M. Fang, L. Yang, G. Chen, Z. Shi, Z. Luo, K. Cen, Experimental study on rice


husk combustion in a CFB. Fuel Processing Technology 85;2004:1273-82.
E. Natarajan, A. Nordin, A.N. Rao, Overview of combustion and gasification of
rice husk in fluidized bed reactors. Biomass and Bioenergy 1998;14( 5-6):533546.
T. Ogada, J .Werther, Combustion characteristics of wet sludge in a fluidized
bed: release and combustion of the volatiles. Fuel 1996;75:617626.
N. Fujiwara, M. Yamamoto, T. Oku, K. Fujiwara, S. Ishii, CO reduction by mild
fluidization for municipal waste incinerator. In: Proc. of 1st SCEJ Symposium
on Fluidization. Tokyo, Japan: SCEJ; 1995.p.51-5.
K. Koyama, M. Suyari, F. Suzuki, M. Nakajima, Combustion technology of
municipal fluidized bed technology. In: Proc. of 1st SCEJ Symposium on
Fluidization. Tokyo, Japan: SCEJ; 1995.p.56-63.
T. Izumiya, K. Baba, J. Uetani, H. Hiura, M. Furuta, Experimental study of
combustion and gas flow at freeboard of fluidized combustion chamber for
municipal waste. In: Proc. of 3rd SCEJ Symposium on Fluidization. Nagoya,
Japan: SCEJ; 1997.p.210-5.
H.J. Franke, T. Shimizu, A. Nishio, H. Nishikawa, M. Inagaki, W. Ibashi,
Improvement of carbon burn-up during fluidized bed incineration of plastic by
using porous bed materials. Energy & Fuels 1999;13:773-7.
T. Shimizu, T. Nemoto, H. Tsuboi, T. Shimoda and S. Ueno, Rice husk
combustin in A FBC using porous bed material, In: Proc of 18thInternational
Conference of FBC, Canada 2005.
I. N. S. Winaya, T. Shimizu, Y. Nonaka, K. Yamagiwa, Model of combustion
and dispersion of carbon-loaded solids prepared by capacitance effect during
bubbling fluidized bed combustion. Fuel 2007;article in press.

http://io.ppijepang.org/old/article.php?id=262

http://io.ppijepang.org/old/article.php?id=262

Meski batubara termasuk sumber energi tak terbarukan, namun hasil penelitian
menunjukkan bahwa cadangan batubara di dunia saat ini masih sangat
melimpah. Terhitung pada tahun 1990, jumlah cadangan batubara dunia
diperkirakan mencapai 1.079 milyar ton dan masih dapat diandalkan sebagai
sumber energi dunia hingga lebih dari 230 tahun, bahkan diperkirakan dapat
mencapai hingga 300 tahun mendatang. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data
pada P.T. Tambang Batubara Bukit Asam, hingga tahun 1991 jumlah batubara
yang ditambang baru sebesar 14.478 ribu ton, dari total cadangan yang
diperkirakan sebesar 34 milyar ton.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara memiliki dua
reputasi yang saling bertolak belakang. Di satu fihak PLTU betubara
mempunyai reputasi baik karena mampu memproduksi listrik dengan biaya
paling murah dibandingkan sistim pembangkit listrik lainnya. Biaya operasi
PLTU batubara kurang lebih 30 % lebih rendah dibandingkan sistim
pembangkit listrik yang lain. Namun di lain fihak, PLTU batubara juga
mempunyai reputasi buruk karena merupakan sumber pencemar utama terhadap
atmosfer kita.
Selama ini reputasi bahan bakar fosil, terutama batubara, memang sangat buruk
apabila dikaitkan dengan masalah pencemaran lingkungan. Walaupun stasiun
pembangkit listrik batubara saat ini telah menggunakan alat pembersih endapan
(presipitator) untuk membersihkan partikel-partikel kecil dari asap pembakaran
batubara, namun senyawa-senyawa seperti SOx dan NOx yang berbentuk gas
dengan bebasnya naik melewati cerobong dan terlepas ke udara bebas. Kedua
gas tersebut dapat bereaksi dengan uap air yang ada di udara sehingga
membentuk H2SO4 (asam sulfat) dan HNO3 (asam nitrat). Keduanya dapat
jatuh bersama-sama air hujan sehingga mengakibatkan terjadinya hujan asam.
Berbagai kerusakan lingkungan serta gangguan terhadap kesehatan dapat
muncul karena terjadinya hujan asam tersebut.
Fenomena hujan asam sebetulnya sudah dikenali oleh para pemerhati
lingkungan sejak tahun 1950-an. Namun masalahnya menjadi bertambah parah
seiring dengan semakin meningkatnya permintaan energi listrik yang disuplai
melalui PLTU batubara. Masalah hujan asam mungkin akan merupakan masalah
lingkungan jangka panjang yang teramat serius.

Hujan asam bisa juga menjadi isu politik besar terutama karena sumber asal dan
para korbannya sering berada di tempat yang berbeda. Bahan pencemar NOx
dan SOx dapat bergerak terbawa udara hingga ratusan bahkan ribuan kilometer,
mencapai lintas batas antar negara. Di samping itu, sangat sulit untuk
menunjukkan secara pasti sumber-sumber polutan yang menyebabkan
terjadinya hujan asam di suatu kawasan/negara tertentu. Emisi gas asam dari
negara-negara bagian di Lembah Sungai Ohio di Amerika Serikat yang padat
industri, termasuk Missouri dan Tennessee, terbang ke timur dan utara keluar
dari wilayah AS menuju ke New England dan Kanada.
Keasaman Air

Dalam keadaan udara bersih, air hujan bersifat agak asam dengan derajad
keasaman (pH) 5,6. Penyebab keasaman ini adalah adanya senyawa carbon
dioksida (CO2), suatu senyawa alamiah penyusun udara yang dalam air hujan
membentuk asam lemah. Senyawa ini dikeluarkan baik oleh manusia, hewan
maupun tanaman melalui sistim pernafasan. Air hujan dikatagorikan sebagai
asam apabila nilai pH-nya di bawah 5,6.
Air untuk konsumsi manusia harus memiliki nilai pH antara 6-9. Asam dalam
air hujan menambah kemampuan air itu untuk melarutkan dan membawa lebih
banyak logam-logam berat keluar dari tanah, seperti merkuri (Hg) dan
aluminium (Al). Air asam ini juga dapat melarutkan tembaga (Cu) dan timbal
(Pb) dari pipa-pipa logam untuk menyalurkan air. Peristiwa ini tentu saja akan
menggganggu persediaan air untuk konsumsi manusia. Air dengan pH 5
menyebabkan ikan salem dan farel tidak mampu berkembang biak. Pada pH
sekitar 4,5, ikan lenyap dari danau. Sedang pada pH 4, danau menjadi tanpa
kehidupan. Pada pH mendekati 3, daun tanaman menjadi rusak.
Di berbagai belahan dunia, manusia mulai semakin menyadari perlunya
menyelamatkan lingkungan hidup. Tindakan-tindakan protektif kini sedang
digiatkan untuk melindungi sumber-sumber alam yang tak ternilai harganya ini
dari kehancuran total. Salah satu upaya protektif untuk melindungi kekayaan
hayati ekosistim alam ini adalah dengan memperkenalkan berbagai jenis
teknologi yang dapat dipakai untuk memperkecil emisi gas-gas asam yang
keluar pada saat pembakaran batubara.

Dewasa ini manusia di berbagai belahan dunia mulai sadar akan perlunya
menyelamatkan lingkungan dengan cara mereduksi maupun menjinakkan
polutan-polutan yang terlepas ke lingkungan. Beberapa negara maju telah
mengeluarkan peraturan sangat ketat dan menanamkan investasi cukup besar
dalam rangka mengurangi polusi udara dari gas buang. Untuk penyelesaian
jangka panjang, salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menghindari
terjadinya hujan asam adalah dengan menghentikan sumber hujan asam
tersebut.
Teknologi FBC

Dewasa ini telah dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang


mampu mengurangi emisi polutan dalam gas buang yang dikeluarkan cerobong,
baik dari pusat pembangkit listrik maupun industri lainnya yang membakar
batubara. Berbagai upaya untuk memperbaiki reputasi batubara terus dilakukan
dengan mewujudkan clean coal technology, salah satunya adalah dengan
teknologi fluidised bed combustion (FBC). Teknologi ini di samping
mempunyai efisiensi pembakaran batubara yang tinggi, juga mampu meredam
secara drastis emisi gas-gas polutan seperti SOx dan NOx.
Emisi gas buang pada pembakaran batubara dengan teknik FBC bisa ditekan
menjadi lebih rendah karena suhu operasi pembakaran batubaranya relatif
rendah. Pada teknologi FBC, suhu operasinya sekitar 750-950 _C, sehingga
batubara dapat terbakar secara efisien, tidak meleburkan abu serta sisa
pembakaran lainnya. Pada suhu pembakaran 800 _C, emisi NOx dapat
dikurangi hingga 33 %. Karena prestasinya itu, teknologi FBC mampu
menggeser teknologi pembakaran batubara cara kuno yang telah berumur lebih
dari satu abad, yang dikenal dengan pulverised coal combustion (PCC). Pada
teknologi PCC, karena suhu pembakarannya lebih tinggi, maka emisi gas NOx
juga tinggi.
Dari Polutan ke Gipsum

Selain memperbaiki efisiensi dan sistim pembakaran batubara, sebagai upaya


untuk mencegah berlanjutnya krisis ekologi dewasa ini juga telah
dikembangkan sistim peralatan berteknologi tinggi yang mampu memisahkan
gas-gas polutan seperti SOx dan NOx dalam gas buang dari pembakaran

batubara. Salah satu metode untuk memisahkan polutan SOx dalam gas buang
adalah dengan teknik flue-gas desulfurization (FGD).
Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau
Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke
dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang
teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan"
dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat
(H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga
diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari
sistim FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD
disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan
gipsum alam.
Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang
dihasilkan melalui proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena
dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misal untuk bahan bangunan.
Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk papan gipsum (gypsum
boards) yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-langit rumah (ceiling
boards), dinding penyekat atau pemisah ruangan (partition boards) dan pelapis
dinding (wall boards).
Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis
ini. Pabrik wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh
Standard Gypsum LLC mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya
berdekatan dengan stasiun pembangkit listrik Tennessee Valley Authority (TVA)
di Cumberland yang berkapasitas 2600 Mega Watt.
Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah
bahan buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang
bernilai ekonomi. Sebagai bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi
secara benar ternyata memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan gipsum
yang diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses FGD ini memiliki
ukuran butiran yang seragam. Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak
mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batubara akan dilengkapi dengan pabrik
gipsum sintetis.
Mengubah Polutan Menjadi Pupuk

Peralatan berteknologi tinggi lain yang kini mulai dipakai untuk menjinakkan
polutan penyebab hujan asam adalah electron beam machine atau mesin berkas
elektron (MBE). Prinsip kerja alat ini adalah menghasilkan berkas elektron dari
filamen logam tungsten yang dipanaskan. Berkas elektron selanjutnya
difokuskan dan dipercepat dalam tabung akselerator vakum bertegangan tinggi
2 juta Volt. Jika gas buang yang mengandung polutan sulfur dan nitrogen
diirradiasi dengan berkas elektron dalam suatu tempat yang mengandung gas
ammonia, sulfur dan nitrogen itu dapat berubah menjadi ammonium sulfat dan
ammonium nitrat. Teknik irradiasi elektron untuk menjinakkan polutan dalam
gas buang ini telah dipelajari di Jepang sejak tahun 1970-an.
Proses pembersihan gas buang dilakukan pertama-tama dengan mendinginkan
SOx dan NOx dengan semburan air (H2O). Ke dalam campuran senyawa ini
selanjutnya ditambahkan gas ammonia dan dialirkan ke dalam tabung pereaksi
(vessel). Campuran senyawa yang mengalir dalam tabung pereaksi ini
selanjutnya diirradiasi dengan berkas elektron. Karena mendapatkan tambahan
energi dari elektron itu, maka gas-gas polutan akan berubah, SOx menjadi SO3
dan NOx menjadi NO3.
Masih dalam pengaruh irradiasi elektron, kedua senyawa tersebut bereaksi
dengan air sehingga dihasilkan produk antara (intermediate product) berupa
asam sulfat dan asam nitrat. Setelah 0,1 detik dari proses irradiasi, produk
antara (asam sulfat dan asam nitrat) bereaksi dengan ammonia sehingga
dihasilkan produk akhir berupa ammonium sulfat dan ammonium nitrat. Kedua
senyawa ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk sulfat dan pupuk
nitrogen. Wujud fisiknya pun berubah, yaitu dari gas menjadi kristal/partikel.
Penelitian skala laboratorium yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tenaga
Atom Jepang (JAERI) bekerjasama dengan perusahaan Ebara menunjukkan
bahwa dosis radiasi berkas elektron sebesar 15 kilo Gray (kGy) mampu
mengubah 95 % SOx dan 85 % NOx menjadi senyawa yang tidak berbahaya.
Sementara itu, penelitian pembersihan gas buang sisa penyinteran bijih besi
yang dilakukan oleh Nippon Steel Corporation menunjukkan bahwa MBE ini
dapat mereduksi 85 % SOx dan 95 % NOx yang terlarut dalam gas buang.
Penelitian yang telah dilakukan di AS dan Jerman bahkan mencatat bahwa
irradiasi dengan MBE ini mampu mereduksi polutan hingga 99 %.
Pemakaian berkas elektron untuk menjinakkan gas-gas polutan seperti SOx dan
NOx ini mempunyai beberapa keuntungan, antara lain : proses penjinakan dapat

dilakukan secara serentak dalam waktu yang sangat singkat, merupakan proses
kering dan langsung satu tingkat, serta hasil akhirnya berupa bahan baku untuk
pembuatan pupuk yang bernilai ekonomi dan dapat digunakan dalam sektor
pertanian.
Daftar Pustaka

ANONIM, Desulfurization System : Technology that Prevents Air Pollution,


Kenshu-In, No. 74, JICA, Japan (1994) pp. 6-8.
ANONIM, Persistent Quest, Research Activity 1997, JAERI, Chiyoda-ku,
Tokyo 100-0011, Japan (1997) pp. 22.
GORE, A., Bumi Dalam Keseimbangan (terjemahan oleh Hira Jhamtani),
Yayasan Obor Indonesia (1994).
LANSFORD, H., Pencemaran Lingkungan, Ilmu Pengetahuan Populer, Vol. 4,
Grolier International Inc./P.T. Widyadara, Jakarta (1997) Hal. 52-68.
LARASATI, T.R.D., Penggunaan Teknologi Radiasi Dalam Pengendalian Polusi
Gas Buang, Warta, No. 9, tahun IV, BPPT, Jakarta 10340 (1992), hal. 18-21.
NISBET, I., Hujan Asam, Ilmu Pengetahuan Populer, Vol. 4, Grolier
International Inc./P.T. Widyadara, Jakarta (1997) Hal. 73-76.
RIDWAN, M., Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dan Lingkungan Hidup,
Prosiding dialog PLTN dalam kerangka kebijaksanaan energi jangka menengah
dan panjang, Pusat Studi Energi UGM, Yogyakarta (9-10 September 1998), hal.
88-91.
SLAMET, J.S., Kesehatan Lingkungan, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta (1996).
SOEDOMO, M., Pencemaran Udara (kumpulan karya ilmiah), Penerbit ITB,
Bandung (1999).
WEST, B., SANDMAN, P.M. dan GREENBERG, M.R., Panduan Pemberitaan
Lingkungan Hidup (terjemahan oleh Sudiro), Yayasan Obor Indonesia (1998). q
Mukhlis Akhadi, Alhi Peneliti Muda di Badan Tenaga Nuklir Nasional
http://www.elektroindonesia.com/elektro/ener34a.html

RABU, 06 JULI 2011

Teknologi Batubara Besih (fluidized bed combustion)

A.

Pembahasan

Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan
menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti
pembakaran menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api
selama pembakaran atau metode PCC (pulverized coal combustion) yang
menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat pembakaran, butiran
batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara melewatkan angin
berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan antara gaya
dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara
tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida
yang selalu bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar
yang lebih sempurna karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi
udara dapat berjalan dengan baik dan mencukupi untuk proses pembakaran.

Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan


bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode
pembakaran yang lain. Secara umum, tidak ada pembatasan yang khusus untuk
kadar zat terbang (volatile matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan kadar abu.
Bahkan semua jenis batubara termasuk peringkat rendah sekalipun dapat
dibakar dengan baik menggunakan metode FBC ini. Hanya saja ketika batubara
akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang menempel di permukaannya (free
moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain kelebihan di atas, nilai tambah
dari metode FBC adalah alat peremuk batubara yang dipakai tidak terlalu rumit,
serta ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.

Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 1500, maka pada
FBC, suhu pembakaran berkisar antara 850 900 saja sehingga kadar
thermal NOx yang timbul dapat ditekan. Selain itu, dengan mekanisme
pembakaran 2 tingkat seperti pada PCC, kadar NOx total dapat lebih dikurangi
lagi. Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx
pada metode pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat
terjadi bersamaan dengan proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan
dengan cara mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara
kemudian secara bersamaan dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama
proses pembakaran, akan bereaksi dengan kapur membentuk gipsum (kalsium
sulfat). Selain untuk proses desulfurisasi, batu kapur juga berfungsi sebagai
media untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak sehingga pipa pemanas
(heat exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak mudah aus.

Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2 yaitu


Bubbling FBC dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar
7 di atas. Dapat dikatakan bahwa Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC,
sedangkan CFBC merupakan pengembangannya.

Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu
tinggi. Partikel media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang
belum terbakar yang ikut terbang bersama aliran gas buang akan dipisahkan di
cyclone ini untuk kemudian dialirkan kembali ke boiler. Melalui proses sirkulasi
ini, ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung
lebih optimal, dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh
karena itu, selain batubara berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge,
plastik bekas, dan ban bekas dapat pula digunakan sebagai bahan bakar pada
CFBC. Adapun abu sisa pembakaran hampir semuanya berupa fly ash yang
mengalir bersama gas buang, dan akan ditangkap lebih dulu dengan
menggunakan Electric Precipitator sebelum gas buang keluar ke cerobong asap
(stack).

Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut
dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari
pada tekanan udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC
(PFBC).

Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap


perkembangan teknologi FBC ini. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC
menjadi Advanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk CFBC selanjutnya
berkembang menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized
ICFBC (PICFBC).

tidak memakan tempat banyak

B.

Metodelogi

Penulisan literature ini berdasarkan studi pustaka yang berkaitan dengan


Pembakaran dengan fluidized bed combustion (FBC). Adapaun study pustaka
ini didapat dari berbagai sumber referensi dari media elektronik maupun
textbook yang berkaitan dengan teknologi pembakaran batubara yang mana
kegunaannya berkaitan dengan bahan bakare PLTU.

C.

Kesimpulan

a.
Fluidized bed combustion Sebuah metode pembakaran bahan bakar di
mana bahan bakar terus dimasukkan ke bahan reaktif atau inert sementara
aliran udara digunakan untuk melewati atas melalui tempat bed.

b.
Tiga bidang dari aplikasi pembakaran fluidized-bed yaitu insinerasi,
gasifikasi, dan generasi uap.

c.
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap
perkembangan teknologi FBC ini.

d.
Operasi CFBC terjadi dalam 2 tahap yaitu : reduksi pembakaran pada
bagian fluidized-bed dan oksidasi pembakaran pada bagian freebroad.

D.

Daftar Pustaka

1.
Muchjidin.(2006).Pengembalian Mutu dalam Industri Batubara, Jilid 1
Edisi Pertama, ITB: Bandung,

2.

http//www.google.com. BOILER Nunulasa's Blog.htm

DIPOSKAN OLEH ANGGA JUNER DI 17.26


http://angghajuner.blogspot.co.id/2011/07/teknologi-batubara-besih-fluidizedbed.html

Anda mungkin juga menyukai