Anda di halaman 1dari 25

1

analgesic

and

anesthetic

agents.

Calming

the

patient

Keywords : General Anesthesia, Anesthesia medication, Balanced anesthesia, analgesic,


anesthetic
ABSTRAK
Anestesi umum adalah keadaan tidak sadarkan diri dan hilangnya refleks pelindung yang
dihasilkan dari administrasi satu atau lebih agen anestesi umum. Berbagai obat anestesi dapat
diberikan, dengan tujuan memastikan keseluruhan hipnosis, amnesia, rasa sakit, relaksasi otot
rangka, dan hilangnya kontrol refleks sistem saraf otonom. Untuk mencapai trias anestesi kita
memerlukan anestesi yang seimbang dengan maksud memungkinkan kita untuk meminimalkan
risiko pasien dan memaksimalkan kenyamanan dan keselamatan pasien. Tujuan anestesi
seimbang adalah menenangkan pasien, meminimalkan rasa sakit, dan mengurangi potensi efek
buruk yang terkait dengan agen analgesik dan anestetik. Menenangkan pasien adalah hal penting
untuk memungkinkan kemudahan dalam menangani dan untuk mengurangi stres pada pasien.
Kata kunci : Anestesi Umum, Obat Anestesi, Anestesi imbang, analgesik, anestetik

*Coass FK Universitas Trisakti Periode 09 April s/d 12 Mei 2012


**Dokter Spesialis Anestesiologi BLU RSUD Semarang
PENDAHULUAN
Anesthesia berasal dari dua kata Yunani yaitu an dan aesthesia yang berarti tanpa rasa.
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel. Obat-obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui
inhalasi, parenteral, rektal. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu: hipnotik
(tidur), analgesia (bebas dari nyeri), relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot).
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi agar tidak
terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk melakukan
operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat. Guedel membagi
kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada
pupil, tonus otot, dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi eter.(1)

Balans anesthesia
Anestesi balans adalah salah satu metode pemberian anestetik yang paling sering
digunakan. Pada metode ini akan didapatkan trias anestesia, yaitu :

Sedasi (hipnosis)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot

Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan
mempermudah tindakan pembedahan. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi
modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan
menggabungkan berbagai macam obat. Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O dan analgetika narkotik. Sedangkan
relaksasi otot didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant).
Sejarah dari Ether (DIETHYL ETHER)
Eter adalah zat yang mula-mula disiapkan oleh Valerius cordus (1540) dengan nama
sweet oil of vitril. Unggas-unggas menjadi tertidur dan bangun kembali dengan selamat setelah
diberi zat tersebut oleh Paracelcus. Zat tersebut diberi nama aether oleh Frobenius dalam bahasa
Yunani berarti sinar atau membakar. Di dalam klinik pertama kali dipakai untuk ekstraksi gigi
oleh W.E. Clarke dari Rochester (1842) dan Crawford Long dari Georgia (1842), tetapi tidak
dipublikasikan. Demonstrasi pemakaian ether untuk operasi dilakukan oleh W.T.G. Morton dari
Boston (1842). Obat ini digunakan secara rutin di Amerika. Posisi ini kemudian digantikan
dengan cyclo propane (1930). (2)
Sejak pembedahan dilakukan terpusat di Instalasi Bedah Sentral (1984), RSUP Dr.
Kariadi tidak menggunakan ether karena mudah terbakar. Sedangkan pembedahan banyak
dilakukan menggunakan cauter yang menimbulkan percikan api. Sebelum itu sebagian besar
tindakan anestesi inhalasi di RSUP Dr. Kariadi menggunakan ether.(2)
Penggunaan Klinik
Eter bisa digunakan sebagai obat tunggal dalam anestesia, karena mempunyai khasiat yang
lengkap pada trias anestesia. Untuk mengurangi dosis yang diberikan, bisa dikombinasikan
dengan obat pelumpuh otot non depolarisasi sebagai komponen relaksasi otot, sehingga stadium
yang diperlukan cukup sampai stadium analgesia.Untuk mengubah cairan eter menjadi uap,

diperlukan alat penguap (vaporizer) khusus eter, seperti sungkup muka Schimmel busch (untuk
metode tetes terbuka), E.M.O inhaler dan lainnya. Pada saat ini, eter tidak digunakan lagi secara
luas di instalasi bedah sentral karena beberapa alasan antara lain, eter mudah meledak, bau yang
menyengat dan tersedianya banyak pilihan obat-obat anestesia. Eter hanya digunakan dibeberapa
pusat pendidikan sebagai pelengkap dalam proses belajar-mengajar.
Dosis
Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, konsentrasinya berkisar antara 10-15 vol
%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 2,0-4,0 vol% pada alat penguapE.M.O inhaler.
Kontra indikasi
Eter tidak dianjurkan pada pasien yang menderita gangguan fungsi respirasi, hati,
gangguan irama jantung dan kencing manis.
Keuntungan Dan Kelemahan
Keuntungannya

adalah

produksinya

didalam

negeri,

mudah

diperoleh,

m u r a h , memenuhi trias anestesia dan batas keamanannya luas. Kelemahannya adalah


mudah meledak sehingga tidak bisa digunakan dalam operasi yang menggunakan termokauter,
polusi kamar opersasi, menimbulkan hipersekresi, gangguan irama jantung dan hepatotoksik
serta menimbulkan mual muntah pasca anestesia.
STADIUM ANESTESI
Stadium I
Stadium I disebut juga stadium analgesia atau stadium disorientasi. Dimulai sejak diberikan
anestesi sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.
Stadium II
Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi. Dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini pasien biasanya meronta-ronta, pernafasan
irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+),
tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang
kencing atau defekasi. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata
dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus

segera diakhir. Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,
persiapan psikologi penderita dan induksi yang halus dan tepat.
Stadium III
Stadium III disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas.
Dibagi menjadi 4 plana:
Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur,
nafas torakal sama dengan abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks
cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun,dan frekwensi nafas meningkat, mulai
terjadi depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot semakin menurun.
Plana III : Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi paralisis otot
interkostal, pupil makin melebar, dan refleks cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, refleks
laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
Plana IV : Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma. Ditandai dengan
paralise otot interkostal, pernafasan lambat, irregular dan tidak adekwat, terjadi jerky karena
terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar,
refleks cahaya negatif, refleks sfingter ani negatif.
Stadium IV
Dimulai dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian.Juga disebut stadium overdosis atau
stadium paralisis. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory
failure dan diikuti dengan circulatory failure.(2)

Teori terjadinya Anestesi Umum


5

1. Lipid solubility theory


Obat anestesi adalah lipid soluble sehingga efeknya berhubungan dengan daya larutnya di
dalam lemak.Makin besar daya larutnya, makin besar efek anestesinya.
2. Teori colloid
Efek anestesi disebabkan karena terjadinya agregasi colloid dalam sel yang menyebabkan
terjadinya gangguan fungsi pada sel.
3. Teori adsorbsi/ tegangan permukaan
Menghubungkan efek anestesi dengan daya adsorbsi atau menurunnya tegangan
permukaan membran sel. Dengan mengumpulnya obat anestesi pada membrane
selberakibat perubahan permeabilitas membran / daya adsorbsi dan menyebabkan
terjadinya hambatan fungsi neuron.
4. Teori Biokimiawi
Menerangkan efek obat anestesi dengan peningkatan reaksi enzimatik atau dalam sel.
Antara lain beberapa obat anastesi menyebabkan uncoupling dan fosforilasi oksidatif dan
menghambat konsumsi oksigen.
5. Teori Fisik
Menghubungkan daya anestesi dengan aktivitas termodinamik atau bentuk dasar
molekul.Menurut Mullins 1954 bekerjanya obat anestesi yang inert adalah dengan
pengisian ruang-ruangan non aqueous dari membran sel oleh obat anestesi sehingga
permeabilitas membran terganggu. Pauling 1964 mengemukakan bahwa zat anestesi
dapat membentuk mikro kristal dengan air dalam membrane sel neuron dan ini
menyebabkan stabilisasi membrane sel. Teori ini juga disebut hidrat mikro Kristal(3)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM
A. Faktor Respirasi
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin cepat
kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan parsial(4)
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar daripada darah
vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:

Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah vena.
Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian kembali
melalui vena.

Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah terhadap
konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.

Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.(4,5)

C. Faktor Jaringan

Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan

Koefisien partisi jaringan/darah

Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh


darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh
darah/JSPD)

D. Faktor Zat Anestetika


Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara alveolus
yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa sakit.
Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
E. Faktor Lain

Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi

Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia

Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman anestesia
semakin cepat.(4,5)
METODE ANESTESI UMUM
I.

Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi
anestesia.

II.

Perektal
7

Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun
tindakan singkat.
III.

Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile agent)
dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantunug dari
tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial yang
rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.(5)

TOTAL INTRA VENOUS ANESTHESIA


TIVA merupakan suatu teknik pembiusan dengan memasukkan obat langsung ke dalam
pembuluh darah secara parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti
diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga
digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat obat anestesi dan yang
digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton, Diazepam ,
Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.(6)

Kelebihan TIVA:
1. Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih
akurat sesuai yang dibutuhkan.
2. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan
nafas atau paru-paru.
3. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.(6,7)
Indikasi dilakukan TIVA:

1. Obat induksi anesthesia umum


2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)(7)
ANESTESI INHALASI
Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia umum.
Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen inspirasi dapat
menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang merupakan hal yang penting dari anestesia
umum. Bila ditambahkan obat intravena seperti opioid atau benzodiazepin, serta menggunakan
teknik yang baik, akan menghasilkan keadaan sedasi/hipnosis dan analgesi yang lebih dalam.
Kemudahan dalam pemberian (dengan inhalasi sebagai contoh) dan efek yang dapat dimonitor
membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktek anestesia umum. Tidak seperti anestetik
intravena, kita dapat menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada jaringan dengan melihat nilai
konsentrasi tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan, penggunaan gas volatil anestesi
lebih murah penggunaanya untuk anestesia umum. Hal yang harus sangat diperhatikan dari
anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis terapi dan dosis yang mematikan. Sebenarnya hal
ini mudah diatasi, dengan memantau konsentrasi jaringan dan dengan mentitrasi tanda-tanda
klinis dari pasien.(8)
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi umum, akan
tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien anak-anak. Gas anestesi inhalasi
yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua gas baru lainnya yaitu sevofluran dan
desfluran.sedangkan pada anak-anak, halotan dan sevofluran paling sering dipakai. Walaupun
dari obat-obat ini memiliki efek yang sama (sebagai contoh : penurunan tekanan darah
tergantung dosis), namun setiap gas ini memiliki efek yang unik, yang menjadi pertimbangan
bagi para klinisi untuk memilih obat mana yang akan dipakai. Perbedaan ini harus disesuaikan
dengan kesehatan pasien dan efek yang direncanakan sesuai dengan prosedur bedah.
9

Induksi
Induksi anesthesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Cara-cara induksi dapat
dikerjakan dengan cara:
1) Induksi intravena
a) Tiopental (pentotal, tiopental) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna
kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500mg atau 1000mg. Sebelum
digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). tiopental
hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan disuntikkan
perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 1011, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri
akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini terjadi
dianjurkan memberikan suntikan infiltrasi lidokain.9
b) Propofol adalah campuran 1% obat dalam air dan emulsi berisi 10% minyak kedelai,
2,25% gliserol dan lesitin telur. Propofol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan
oleh GABA. Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg dan mudah. Propofol
adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam waktu
30-60 detik.(10,11). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 22,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intesif 0,2 mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa
5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun dan pada wanita hamil tidak
dianjurkan. Sebaiknya menyuntikkan obat anestetik ini pada vena besar karena dapat
menimbulkan nyeri pada pemberian intravena2. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun
dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari dosis yang
diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara pemberian bisa secara
suntikan bolus intravena atau secara kontinu melalui infus, namun kecepatan pemberian
harus lebih lambat daripada cara pemberian pada orang dewasa di bawah umur 55 tahun.
Pada pasien dengan ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih
lambat.(10,11)

10

Pada ibu hamil propofol dapat menembus placenta dan dengan cepat masuk ke
dalam janin dan menyebabkan depresi janin. Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan
turunnya tekanan darah dan sedikit perubahan pada nadi. Obat ini tidak mempunyai efek
vagolitik, sehingga pernah dilaporkan terjadinya bradikardi sampai asistole pada
pemakaian propofol. Karena itu dianjurkan untuk memberikan anti kolinergik sebelum
pemakaian propofol, khususnya pada keadaan di mana tonus vagal lebih dominan atau
bila propofil dipakai bersama dengan obat-obat penyebab bradikardi. Kontraindikasi :
Penderita yang alergi pada propofol. Preparat : Tersedia dalam ampul yang berisi 20 cc,
tiap cc mengandung 10 mg propofol.(12)
c).

Ketamin adalah suatu rapid acting non barbiturate general anesthesia. Indikasi pemakain
ketamin adalah prosedur dengan pengendalian jalan nafas yang sulit, prosedur diagnosis,
tindakan ortopedi, pasien resiko tinggi, tindakan operasi sibuk dan asma. Ketamin
(ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering menimbulkan takikardi,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk.
Dosis :
-

Induksi IV : 0,5 - 2 mg/kgBB

IM

Analgesi : 0,2 - 0,8 mg/kgBB iv

: 4 - 6 mg/kgBB
2 4 mg/kgBB im

Preemptif analgesi: 0,15 0,25 mg/kgBB iv

Maintenance

: 15 45 g/kgBB/menit dengan 50 70%


30 90 g/kgBB/menit tanpa N2O

Onset :
-

IV : 10 60 detik

IM : 3 20 menit

Preparat :Biasanya dikemas dalam flacon berisi 10 cc larutan ada yang tiap cc mengandung 50
mg dan ada yang 100 mg.(12) Ketamin adalah derivate pencyclidin. Kontra indikasi : hipertensi
yang tak terkontrol, hipertiroid, eklampsi / pre ekampsi, gagal jantung, unstable angina, infark

11

miokard, aneurisma intracranial, toraks dan abdomen, tekanan intracranial tinggi dan perdarahan
serebral, tekanan intra okuler tinggi, trauma mata terbuka
d.)

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi. Opioid
tidak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50
mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit(9).

2) Induksi inhalasi
Obat anestetik inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu
pembedahan adalah N2O. Kemudian menyusul eter, kloroform, etil-klorida, etilen, divinileter, siklo-propan, trikloro-etilen, iso-vinil-eter, halotan, metoksi-fluran, enfluran, isofluran,
desfluran, dan savofluran. Obat-obat ini ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak
dikehendaki misalnya(9):
a) Eter
b) Kloroform

:kebakaran, peledakan, sekresi bronkus berlebihan, mual-muntah,

kerusakan hepar, baunya merangsang.


: aritmia, kerusakan hepar
c) Etil-klorida
: kebakaran, peledakan, depresi jantung, indeks terapi

sempit, dirusak kapur soda


d) Triklor-etilen : dirusak kapur soda, bradi-aritmia, mutagenik
e) Metoksifluran : toksis terhadap ginjal, kerusakan hepar dan kebakaran.

Analgesia
A. N2O
Nitrous oksida ditemukan oleh Priestley pada tahun 1772, kemudian pada tahun 1779,
oleh Humphrey Davy menyatakan bahwa N 2O mempunyai efek anestesia. Pada tahun 1844
Cotton dan Wells mempergunakannya dalam praktik klinik. Nitrous oksida lebih populer dengan
nama gas gelak. N2O adalah satu-satunya gas inorganik yang masih dipakai dalam praktek
anestesia.
N2O adalah anestesi lemah dan harus diberikan dengan konsentrasi besar (lebih dari
65%) agar efektif. Paling sedikit 20% atau 30% oksigen harus diberikan sebagai campuran,

12

karena konsentrasi N2O lebih besar dari 70-80% dapat menyebabkan hipoksia. N2O tidak dapat
menghasilkan anestesia yang adekuat kecuali dikombinasikan dengan zat anestesi yang lain,
meskipun demikian, karakteristik tertentu membuatnya menjadi zat anestesi yang menarik, yaitu
koefisien partisi darah / gas yang rendah, efek anagesi pada konsentrasi subanestetik, kecilnya
efek kardiovaskuler yang bermakna klinis, toksisitasnya minimal dan tidak mengiritasi jalan
napas sehingga ditoleransi baik untuk induksi dengan masker.
Efek anestesi N2O dan zat anestesi lain bersifat additif, sehingga pemberian N2O dapat
secara substansial mengurangi jumlah zat anestesi lain yang seharusnya digunakan. Pemberian
N2O akan menyebabkan peningkatan konsentrasi alveolar dari zat anestesi lain dengan cepat,
oleh karana sifat efek gas kedua dan efek konsentrasi dari N2O. Efek konsentrasi terjadi saat
gas diberikan dengan konsentrasi tinggi. Semakin tinggi konsentrasi gas diinhalasi, maka
semakin cepat peningkatan tekanan arterial gas tersebut. Seorang pasien menerima 70-75% N2O
akan menyerap sampai 1.000 ml/menit N2O saat fase awal induksi. Pemindahan volume N2O
dari paru ke darah, menyebabkan aliran gas segar seperti disedot masuk dari mesin anestesi ke
dalam paru-paru, sehingga meningkatkan laju gas lain. Pasien menerima hanya 10-25% N2O,
pengambilan N2O oleh darah hanya 150 ml/menit, hal ini tidak menghasilkan perubahan yang
signifikan pada laju penyerapan agen/gas lain. Efek gas kedua terjadi saat agen inhalasi kedua
diberikan bersama dengan N2O. efek ini berkaiatan dengan pengambilan N2O yang cepat,
sekitar 1.000 ml/menit saat induksi anestesi. Pengambilan cepat volume N2O yang besar,
menmbulkan suatu keadaan vakum di alveolus, sehingga memaksa lebih banyak gas segar (N2O
bersama dengan agen inhalasi lain) masuk ke dalam paru-paru.
MAC bangun N2O adalah 65% diatas konsentrasi tersebut pasien tidak sadar atau lupa
terhadap tindakan pembedahan. Analgesia yang dihasilakan oleh 50% N2O kira-kira sama
dengan 10 mg morfin.
Dalam praktik anestesia, N2O digunakan sebagai obat dasar dari anestesia umum inhalasi
dan selalu dikombinasikan dengan oksigen dengan perbandingan N2O : O2 = 70 : 30 (untuk
pasien normal), 60 : 40 (untuk pasien yang memerlukan tunjangan oksigen yang lebih banyak),
atau 50 : 50 (untuk pasien yan beresiko tinggi). Oleh karena N 2O hanya bersifat analgesia lemah,
maka dalam penggunaannya selalu dikombinasikan dengan obat lain yang berkhasiat sesuai
dengan target trias anestesia yang ingin dicapai(9).

13

B. Narkotik Analgetik
Morfin
Pemberian morfin sebelum timbul rasa nyeri lebih efektif dibandingkan sesudah terjadi
nyeri. Pemberian sebelum anestesi dapat menunda timbulnya nyeri post operatif. Jika dosis
melebihi 15 mg jangan diberikan sekaligus. Untuk anak-anak dosis harus dikurangi.
Dosis yang digunakan untuk pembedahan adalah:

Pria dewasa (70 kg)

: 10 mg

Wanita dewasa (60kg)

: 8 mg (kira-kira 75% pria)

Morfin dimetabolisir hampir sempurna di dalam hepar oleh enzim glucoronil transferase
menjadi bentuk glucoronid yang mudah larut dalam air. Sekitar 10% mengalami demetilasi
membentuk nor morfin yang inaktif. Pada SSP morfin meningkatkan ambang batas nyeri,
menyebabkan euphoria dan mengantuk.
Indikasi

Nyeri yang berat dan menetap biasanya diberikan analgetik opioid dengan aktivitas
intrinsik yang tinggi, sedangkan nyeri yang intermitten dan tajam tidak terlalu efektif
jika diberikan morfin.

Nyeri yang berhubungan dengan kanker atau penyakit terminal lainnya

Dapat digunakan pada saat persalinan, tetapi karena melewati barier plasenta, harus
hati-hati terhadap depresi neonatal. Jika terjadi, injeksi naloxone akan membalikkan
efek depresi tersebut.

Nyeri akut, berat dari kolik biliar dan ginjal

Efek samping

Hiperaktifias (pada reaksi yang disforik), depresi pernapasan, mual dan muntah,
peningkatan tekanan intrakranial, hipotensi postural yang dicetuskan oleh
hipovolemia, konstipasi, retensio urin, gatal disekitar hidung, urtikaria.

Toleransi dan ketergantungan

14

Dengan dosis 60 mg dapat menyebabkan henti napas pada pasien non-tolerant. Maksimal dosis
morfin adalah 2000 mg dengan periode 2-3 jam. Sedasi dan efek respiratory dari opioid muncul
setelah beberapa jam obat dihentikan.
Tanda dan gejala dari putus obat adalah rinorea, lakrimasi, menguap, kedinginan,
hiperventilasi, hipertermia, midriasis, nyeri pada otot, muntah, diare, cemas. Biasanya gejala
putus obat dimulai 6-10 jam setelah dosis terakhir. Efek puncak dapat dilihat pada 36-48jam.
Dalam 5 hari, beberapa efek tersebut akan hilang, tetapi beberapa ada yang menetap.(9)
Meperidin/Pethidin
Petidin bekerja pada reseptor opioid terletak di batang otak, amygdala, corpus striatum,
dan hipotalamus. Petidin menghambat impuls dari susunan syaraf dan menghambat transmisi
informasi nosiseptif dari perifer ke medulla spinalis.
Kekuatan analgesinya antara 1/7-1/10 morfin. Analgesi timbulnya 15-20 menit sesudah
pemberian intramuskuler, kadar puncak plasma tercapai dalam waktu 15-60 menit. Lama kerja
sekitar 2-4 jam. Kadar dalam plasma minimal untuk mencapai analgesi bervariasi antar individu,
dengan kadar 0,7 mcg/cc menghasilkan 95% analgesi paska bedah. Pemberian pada dosis
analgesi dapat menimbulkan efek sedasi.
Dosis pemberian pada orang dewasa 1mg/kgBB, pada orang tua dosis perlu dikurangi.
Pada anak kira-kira 0,5 mg/kgBB jika diberikan bersama barbiturate dosis perlu dikurangi
sampai sepertiganya.
Penggunaan yang dianjurkan adalah intramuskuler atau intravena. Jika diberikan secara
subkutan menimbulkan iritasi. Pada pemberian intravena petidin harus diberikan pelan-pelan,
dengan cara diencerkan menjadi larutan 0,02-0,04%.
Fentanil
Merupakan opioid agonis turunan fenil piperidin. Potensi analgesinya antara 75-125 kali
lebih kuat disbanding morfin. Pada balans anestesi, fentanil diberikan dengan loading dose 28g/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0,5-3 g/kgBB/jam. Sebagai obat tunggal unutk
menimbulkan syrgikal anesthesia diperlukan dosis 50-150 g/KgBB iv. Dengan dosis 2-10 g iv
dipakai untuk mencegah gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi intubasi.
Pada pemberian intravena, mula kerja 30 detik dan mencapai puncak dalam waktu 5
menit, kemudian menurun dengan cepat dalam waktu 5 menit pertama kadarnya berkurang
15

sampai 20%, selanjutnya relatif menurun dengan lambat selama 10 sampai 20 menit.
Kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga mudah melewati sawar otak.
Alfentanil, Sufentanil, dan Remifentanil
Kekuatan analgesi alfentanil

: 1/5-1/10 x fentanil

Kekuatan analgesi sulfentanil

: 5-10 x fentanil

Kekuatan analgesi remifentanil

: 15-20 x lebih kuat dari fentanil

Pada pemberian intravena, alfentanil mempunyai onset yang lebih cepat dibanding
fentanil maupun sufentanil. Remifentanil mempunyai onset secepat alfentanil dan pemulihan
pasien lebih cepat terjadi setelah pemberian dihentikan.
Nalokson
Nalokson adalah antagonis opiate semi sintetis derivate dari thebain. Obat ini tidak
menimbulkan adiksi dan tidak menimbulkan toleransi bila dipergunakan dalam jangka panjang.
Onset pada pemberian intravena antara 1-2 menit, pada pemberian intramuskuler atau subkutan
sekitar 2-5 menit. Masa kerja pada pemberian intravena antara 30-45 menit. Pada pemberian
intramuskuler lebih panjang. Pada pemberian oral dengan cepat akan mengalami inaktivasi
sehingga diperlukan dosis tinggi.
Dosis awal untuk terapi depresi pernafasan pasca operasi akibat agonis opiate untuk
dewasa adalah 0,1-0,2 mg intravena dan 0,005-0,1 mg intravena unutk anak. Seterusnya diulangi
dalam interval waktu antara 2-3 menit sampai didapatkan respon yang dikehendaki(9).
Relaksasi Otot
A. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Suksinil kolin
Satu-satunya obat pelumpuh otot depolarisasi yang dipakai adalah suksinilkolin.
Suksinilkolin memiliki 2 ciri unik dan penting, yaitu menyebabkan paralisis yang intens dengan
cepat dan efeknya akan berkurang sebelum pasien yang dipreoksigenasi menjadi hipoksia.
Suksinilkolin 0,5 1 mg/kgBB IV, memiliki onset kerja cepat (30 60 detik) dan durasi kerja
singkat (3 5 menit).

16

Ciri ini membuat suksinilkolin obat yang bermanfaat untuk relaksasi otot untuk
memfasilitasi intubasi trakea. Suksinilkolin memiliki beberapa efek samping yang dapat
membatasi bahkan kontraindikasi pada keadaan tertentu.
Dosis suksinilkolin untuk fasilitasi intubasi trakea adalah 1 mg/kgBB IV. Dosis tersebut
setara untuk 3,5 4 kali ED95. Secara konsep, pemberian dosis 1mg/kgBB pada pasien yang
terpreoksigenasi akan dihubungkan dengan nafas spontan sebelum hipoksemia arteri signifikan.
Pernafasan spontan terjadi dalam 5 menit setelah paralisis akibat pemberian suksinilkolin.
Durasi rata-rata sebelum mencapai 90% tingkat kedutan setelah pemberian 1 mg/kgBB adalah
lebih besar dari 10 menit. Dengan demikian, diperkirakan orang dewasa yang sudah
dipreoksigenasi dapat mengalami 8 menit apnea sebelum saturasi oksigen arteri menurun ke
90%.
Dosis dapat bervariasi antara 0,5 1,5 mg/kgBB, dosis kurang dari 1 mg/kgBB tidak
mempersingkat waktu terjadi pergerakan diafragma atau pernafasan spontan. Selain itu, pada
keadaan di mana blokade saraf-otot penuh sangat diperlukan, dosis 1,5 mg/kgBB masih tepat.
Durasi kerja suksinilkolin yang singkat (3 5 menit) disebabkan hidrolisis oleh
kolinesterase plasma (pseudokolinesterase). Kolinesterase plasma disintesis di hati dan
merupakan glikoprotein tetrametrik mengandung 4 subunit identik dengan masing-masing satu
tempat katalitik aktif. Metabolit suksinilkolin adalah suksinilmonokolin dengan potensi 1/20
1/80 suksinilkolin. Plasma kolinesterase mempengaruhi durasi kerja suksinilkolin karena
memiliki kapasitas yang besar untuk menghidrolisis suksinilkolin dalam waktu singkat sehingga
hanya sedikit fraksi dosis IV awal yang benar-benar mencapai NMJ.
Efek samping yang dapat timbul dengan pemberian suksinilkolin antara lain:
1. Aritmia jantung
2. Hiperkalemia
3. Mialgia
4. Mioglobinuria
5. Peningkatan tekanan intragastrik
6. Peningkatan tekanan intraokuler
7. Peningkatan tekanan intrakranial

17

8. Kontraksi otot terus menerus.


Efek samping ini dapat membatasi bahkan merupakan kontraindikasi pemberian
suksinilkolin.(13)
B. Pelumpuh Otot Non Depolarisasi
Obat pelumpuh otot secara klinis dibagi menjadi kelompok kerja lama, kerja sedang, dan
kerja singkat. Perbedaan onset, durasi kerja, waktu pulih, metabolisme, dan klirens dipengaruhi
oleh keputusan klinis untuk memilih satu obat dibanding obat yang lain. Berbagai variasi respons
yang dicetus oleh obat pelumpuh otot nondepolarisasi terjadi karena perbedaan farmakokinetik.
Respons otot skeletal saat terjadi blokade saraf-otot nondepolarisasi seperti yang
dicetuskan oleh stimulasi elektrik dari stimulator saraf perifer, antara lain: a) penurunan respons
kedutan terhadap stimulus tunggal, b) respons tidak bertahan (lemah) selama stimulasi
berkelanjutan, c) rasio TOF < 0,7, d) potensiasi post-tetanik, e) potensiasi obat pelumpuh otot
nondepolarisasi yang lain, f) antagonisme untuk obat antikolinesterase, g) tidak terjadi fasikulasi
saat onset blokade saraf-otot nondepolarisasi.
Kontraksi otot skeletal adalah fenomena all or none. Setiap serabut otot skeletal
berkontraksi dengan maksimal atau tidak berkontraksi sama sekali. Oleh karena itu, ketika
respons kedutan menurun beberapa serabut berkontraksi normal, sedangkan yang lain terblok
secara total. Kontraksi otot skeletal yang lemah terhadap stimulasi elektrik terus menerus
menerangkan bahwa beberapa serabut otot lebih suseptibel untuk diblok oleh obat pelumpuh otot
membutuhkan pelepasan asetilkolin lebih besar yang berkelanjutan untuk mencetus responsnya.
Kemunculan obat kerja singkat dan kerja sedang meningkatkan penggunaan dosis awal.
Secara teoritis pemberian 10 15% dari dosis intubasi sebelum induksi akan membantu
penempatan cukup banyak reseptor sehingga paralisis akan cepat terjadi saat relaksans yang
seimbang diberikan. Penggunaan dosis awal dapat memberikan kondisi yang sesuai untuk
intubasi dalam waktu 60 detik pemberian rocuronium atau 90 detik setelah pemberian obat
nondepolarisasi kerja sedang lain. Dosis awal biasanya tidak mencapai paralisis yang signifikan
secara klinis, yang membutuhkan sekitar 75 80% reseptor yang terblok (batas aman saraf
otot).
Untuk mencegah fasikulasi dapat diberikan 10-15% dosis intubasi obat pelumpuh otot
nondepolarisasi 5 menit sebelum pemberian suksinilkolin. Meskipun sebagian besar obat
18

nondepolarisasi dapat digunakan untuk tujuan ini, tubocurarine dan rocuronium adalah yang
paling baik efikasinya. Karena terdapat antagonisme antara sebagian besar obat nondepolarisasi
dengan fase I blok, dosis suksinilkolin yang berikutnya harus dinaikkan menjadi 1,5 mg/kgBB.
Agen-agen volatil menurunkan kebutuhan dosis obat nondepolarisasi sampai sekitar 15%.
Tingkat augmentasi postsinaptik bergantung pada anestesi inhalasi (desfluran > sevofluran >
isofluran dan enfluran > halotan > N2O/O2/narkotik) dan obat pelumpuh otot yang dipakai
(pancuronium > vecuronium dan atracurium).
Pelepasan histamin dari sel mast dapat berakibat bronkospasme, flushing kulit, dan
hipotensi akibat vasodilatasi perifer. Baik atracurium maupun mivacurium adalah dua agen yang
dapat mencetus pelepasan histamin, khususnya pada dosis yang lebih tinggi. Penyuntikan lambat
dan premedikasi antihistamin H1 dan H2 mengurangi efek samping ini.
Doxacurium, pancuronium, vecuronium, dan pipecuronium sebagian diekskresi oleh
ginjal dan kerjanya lebih panjang pada pasien dengan gagal ginjal. Eliminasi atracurium,
cisatracurium, mivacurium, dan rocuronium tidak bergantung pada fungsi ginjal.(13)
Atracurium
Atracurium adalah kelompok kuartener, struktur benzylisoquinoline membuat cara
degradasi senyawa ini menjadi unik. Obat ini merupakan gabungan dari 10 stereoisomer.
Atracurium dimetabolisme secara ekstensif sehingga farmakokinetiknya tidak bergantung
pada fungsi ginjal dan hati. Sekitar 10% dari obat ini diekskresi tanpa dimetabolisme melalui
ginjal dan empedu. Dua proses terpisah berperan dalam metabolisme. Pertama, hidrolisis ester
yang

dikatalisis

oleh

esterase

nonspesifik,

bukan

oleh

asetilkolinesterase

atau

pseudokolinesterase. Kedua, melalui eliminasi Hoffmann di mana penghancuran kimia


nonenzimatik spontan terjadi pada pH dan suhu fisiologis.
Dosis 0,5 mg/kgBB diberikan melalui intravena dalam 30 60 detik untuk intubasi.
Relaksasi intraoperatif dicapai dengan dosis awal 0,25 mg/kgBB, kemudian dosis inkremental
0,1 mg/kgBB setiap 10 20 menit. Infus 5 10 g/kg/menit dapat menggantikan bolus
intermiten secara efektif.
Atracurium tersedia dalam solutio 10 mg/mL, yag sebaiknya disimpan pada suhu 28C
karena potensinya akan berkurang 5 10% tiap bulan bila terekspos suhu ruangan. Pada suhu
ruangan obat ini harus digunakan dalam waktu 14 hari untuk menjaga potensi.Atracurium dapat
19

mencetuskan pelepasan histamin yang bergantung pada dosis terutama pada dosis di atas 0,5
mg/kgBB.
Efek samping kardiovaskuler jarang terjadi kecuali dosis melebihi 0,5 mg/kg diberikan.
Atracurium juga dapat menimbulkan penurunan transien resistensi vaskuler sistemik dan
peningkatan indeks kardiak yang tidak terpengaruh oleh pelepasan histamin. Injeksi lambat
meminimalkan efek ini. Kontraindikasi Atracurium harus dihindari pada pasien dengan asma
karena bronkospasme berat dapat terjadi bahkan pada pasien dengan riwayat asma.(14)
Mivacurium
Mivacurium adalah derivat benzylisoquinoline. Mivacurium, seperti suksinilkolin,
dimetabolisme oleh pseudokolinesterase dan hanya dimetabolisme secara minimal oleh
kolinesterase asli. Hal ini memungkinkan durasi kerja yang diperpanjang pada pasien dengan
kadar pseudokolinesterase rendah atau varian dari gen pseudokolinesterase. Kenyataannya,
pasien yang heterozigot untuk gen atipikal akan mengalami blok 2 kali lebih lama dari durasi
normal, di mana homozigot atipikal akan tetap terparalisis selama berjam-jam. Homozigot
atipikal tidak dapat memetabolisme mivacurium sehingga blokade saraf-otot dapat berlangsung
selama 3 4 jam. Antagonisme farmakologis dengan inhibitor kolinesterase akan mempercepat
pembalikan blokade mivacurium tepat saat respons terhadap stimulasi saraf menjadi nyata.
Edrophonium membalikkan blokade mivacurium lebih efektif dibanding neostigmine
karena neostigmine menghambat aktivitas kolinesterase plasma. Meskipun metabolisme dan
ekskresi mivacurium tidak bergantung pada ginjal atau hati, durasi kerja akan memanjang pada
pasien dengan gagal ginjal atau hati atau pada pasien yang hamil atau postpartum sebagai akibat
dari kadar kolinesterase plasma yang menurun. Dosis intubasi mivacurium adalah 0,15 0,2
mg/kg. Infus menetap untuk relaksasi intraoperatif bervariasi sesuai kadar pseudokolinesterase
tapi dapat diinisiasi 4 10 g/kg/min. Anak-anak membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari pada
orang dewasa jika dosis dihitung berdasarkan berat badan, namun tidak demikian bila
berdasarkan luas permukaan tubuh. Mivacurium dapat bertahan selama 18 bulan bila disimpan
pada suhu ruangan.
Mivacurium melepas histamin dalam jumlah yang sama banyak dengan atracurium. Efek
samping kardiovaskuler dapat diminimalkan dengan injeksi lambat selama 1 menit. Namun,
pasien dengan penyakit jantung dapat mengalami penurunan tekanan darah signifikan yang
20

meskipun jarang dapat terjadi setelah pemberian dosis lebih besar dari 0,15 mg/kg dengan
suntikan lambat. Waktu onset mivacurium sama dengan atracurium (2-3 menit). Keuntungan
utamanya adalah durasi kerjanya yang singkat (20 30 menit), yang masih 2 hingga 3 kali lebih
lama dibanding blok fase I suksinilkolin, namun setengah dari durasi atracurium, vecuronium,
atau rocuronium.
Pada anak-anak onset lebih cepat dan durasi kerja lebih singkat. Meskipun pemulihannya
cepat, dalam pemberian mivacurium semua pasien harus dimonitor untuk menentukan apakah
pembalikan farmakologis diperlukan. Durasi kerja mivacurium yang pendek cukup nyata
memanjang dengan pemberian pancuronium.(12)
Pancuronium
Pancuronium memiliki cincin steroid yang ditempati dua molekul asetilkolin yang
termodifikasi (pelumpuh otot biskuartener).
Pancuronium dimetabolisme (deasetilisasi) oleh hati dalam batas tertentu. Produk
metaboliknya memiliki aktivitas blokade saraf-otot. Ekskresi terutama melalui ginjal (40%),
meskipun sebagian dari obat dibersihkan oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium lambat dan
efek blokade saraf-otot diperpanjang oleh gagal ginjal. Pasien dengan sirosis butuh dosis inisial
yang lebih besar karena ada peningkatan volume distribusi tapi membutuhkan dosis rumatan
yang lebih rendah karena penurunan klirens plasma.
Dosis 0,08 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi yang adekuat untuk intubasi
dalam 2 3 menit. Relaksasi intraoperatif dicapai dengan memberikan 0,04 mg/kg dosis inisial
diikuti dengan dosis 0,01 mg/kg setiap 20 40 menit.
Anak anak perlu dosis pancuronium yang lebih tinggi. Pancuronium tersedia dalam
larutan 1 atau 2 mg/mL dan disimpan pada suhu 28C tapi stabil sampai 6 bulan pada suhu
ruangan.
Efek kardiovaskuler disebabkan oleh kombinasi blokade vagal dan stimulasi simpatis.
Stimulasi simpatis adalah kombinasi stimulasi ganglionik, pelepasan katekolamin dari ujung
saraf adrenergik, dan penurunan pengambilan kembali katekolamin. Pancuronium harus
diberikan dengan hati-hati pada pasien yang dengan peningkatan denyut jantung akan
menimbulkan gangguan (misal penyakit arteri koronari, stenosis hipertrofik subaortik idiopatik).

21

Peningkatan konduksi atrioventrikuler dan pelepasan katekolamin meningkatkan


disritmia ventrikuler pada individu yang rentan. Kombinasi pancuronium, antidepresan trisiklik,
dan halotan bersifat aritmogenik.
Pasien yang hipersensitif pada bromida mungkin mengalami reaksi alergi
pancuronium (pancuronium bromida).(14)
Vecuronium
Vecuronium adalah pancuronium yang kurang satu grup metil kuartener (pelumpuh otot
monokuartener). Sedikit perubahan struktur memberi efek samping menguntungkan tanpa
mempengaruhi potensi.
Vecuronium dimetabolisme dalam jumlah sedikit oleh hati. Hal ini sangat bergantung
pada ekskresi empedu dan sekitar 25% oleh ekskresi ginjal. Vecuronium adalah obat yang cukup
aman pada pasien dengan gagal ginjal, durasi kerjanya akan memanjang dengan sebab yang tidak
jelas. Durasi kerja vecuronium yang singkat disebabkan oleh waktu paruh eliminasinya yang
lebih pendek dan klirens yang lebih cepat dibandingkan pancuronium.
Vecuronium ekuipoten dengan pancuronium dan dosis intubasinya adalah 0,08 0,12
mg/kg. Dosis inisial 0,04 mg/kg diikuti dengan dosis tambahan 0,01 mg/kg setiap 15 20 menit
membantu relaksasi intraoperatif. Sebagai alternatif, infus 1 2 g/g/menit menghasilkan
rumatan relaksasi yang baik.
Umur tidak mempengaruhi kebutuhan dosis inisial, meskipun dosis tambahan jarang
dibutuhkan pada neonatus dan bayi. Sensitivitas terhadap vecuronium pada wanita 30% lebih
dibanding pria yang dibuktikan dengan tingkat blokade yang lebih besar dan durasi kerja yang
lebih panjang (ditemukan juga pada pancuronium dan rocuronium). Penyebab dari sensitivitas ini
mungkin berhubungan dengan perbedaan jumlah massa lemak dan otot, ikatan protein, volume
distribusi atau aktivitas metabolic. Durasi kerja vecuronium juga dapat memanjang pada pasien
postpartum karena perubahan dalam aliran darah atau uptake hati.
Vecuronium dikemas dalam bentuk bubuk 10 mg yang direkonstitusi dengan 5 atau 10
mL air bebas tanpa pengawet sesaat sebelum digunakan. Vecuronium dan tiopental dapat
membentuk presipitat yang dapat mengobstruksi aliran dalam kanul vena dan dapat
menyebabkan emboli paru.

22

Hingga dosis 0,28 mg//kg, vecuronium tidak memiliki efek kardiovaskuler. Potensiasi
bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati pada beberapa pasien.
Meskipun bergantung pada ekskresi bilier, durasi kerja vecuronium biasanya tidak
memanjang dengan signifikan pada pasien dengan sirosis, kecuali diberikan dengan dosis yang
lebih tinggi 0,15 mg/kg.(14)

KESIMPULAN
Anestesi balans adalah salah satu metode pemberian anestetik yang paling sering
digunakan. Pada metode ini akan didapatkan trias anestesia, yaitu sedasi, analgesia, relaksasi
otot. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan
obat-obat selain eter, maka trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam
obat. Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan, enfluran, isofluran, sevofluran).
Analgesia didapat dari N2O dan analgetika narkotik. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari
obat pelemas otot (muscle relaxant).
Induksi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anesthesia dan pembedahan. Berdasarkan caranya, induksi dibagi
secara intravena (thiopental, propofol, ketamin, opioid) dan secara inhalasi (N 2O). Masingmasing golongan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena berbedanya cara
kerja dan juga cara kerja dan juga cara perlakuannya oleh tubuh.
N2O merupakan analgesia lemah, maka dalam penggunaannya selalu dikombinasikan
dengan obat lain yang berkhasiat sesuai dengan target trias anestesia yang ingin dicapai.
Narkotik analgetik mempunyai sifat analgetik yang kuat sehingga dipakai untuk menghilangkan
nyeri. Narkotik analgetik dibedakan dalam 3 golongan yaitu narkotik alami, narkotik semi
sintetis, dan narkotik sintesis.
Berdasarkan mekanisme kerjanya obat pelumpuh otot sendiri dibagi menjadi dua
golongan besar yaitu golongan depolarisasi dan non-depolarisasi. Masing-masing golongan
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing karena berbedanya cara kerja dan juga
cara kerja dan juga cara perlakuannya oleh tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
23

1. Nissl,

Jan.

Intravenous

Medication

for

Anesthesia.

Available

at :http://health.yahoo.com/ency/healthwise/rt1586. Diakses 20 Februari 2012.


2. Budiono, Uripno. Anestesi Umum BAB VII. Semarang; Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr. kariadi; 2010 : 101-119.
3. Budiono, Uripno. Obat Anestesi Inhalasi. Semarang; Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr. kariadi; 2010 : 121-136.
4. Hurford, William E, et all. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General
Hospital. 6th ed. Massachusetts General Hospital Dept. Of Anesthesia and Critical
Care.New York :Lippincott Williams & Wilkins Publishers. Chapter 11 Intravenous and
Inhalation Anasthetic;2002. 32-35.
5. Tevor AJ, Miller RD. Obat Anestesi Umum. Dalam : Krtzung BG, Editors, Farmakologi
Dasar dan Klinik. Edisi VI. EGC; 1998. 409 - 412.
6. Latief SA dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UI. Jakarta; 2002. 46-478.
7. Morgan, GD. Et al, Clinical Anesthesiology. 4 thed. New York: McGraw-Hill Lange
Medical Books; 2006. 194-204.
8. Miller, Ronald D. Anesthesia. 5thed. New York: Churcill Livingstone; 2000. 228-376.
9. Rushman GB, Davies NJH, Cashman JN. Lees Synopsis of Anesthesia. 12 th ed.
Butterworth oxford;1999; 152:173.
10. Darmansjah. I, Setiawati. A. Pelumpuh Otot. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta;
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1995; 36-101
11. Agustina,

2010,

Farmakologi

Obat

Pelumpuh

Otot,

Dalam

http://www.scribd.com/doc/36956346/muscle-relaxant dikutip tanggal 19 Agustus 2011


12. Lunn JN. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah Anestesi Edisi 4.
Jakarta; Penerbit Buku KedokteranEGC; 2004; 4: 86-93
13. Morgan GE. Neuromuscular Blocking Agents. Clinical Anesthesiology. London; 2006;
206-226
14. Uripno B. Muscle Ralaxant. Anestesiologi. Semarang; Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RSUP Dr. kariadi; 2010 : 159-170
15. Boulton TB, Blogg EC. Anestesiologi edisi 10. Jakarta; penerbit buku Kedokteran EGC;
1994; 15; 260-64

24

25

Anda mungkin juga menyukai