Anda di halaman 1dari 13

CONTOH DELEGASI DAN PENGATURANNYA

Kewenangan delegasi adalah bentuk kewenangan yang dilimpahkan untuk membuat peraturan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah, baik dinyatakan secara tegas maupun tidak. Bentuk kewenangan ini tidak
diberikan sebagaimana pada atribusi, melainkan diwakilkan. Delegasi adalah penyerahan
wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain. Kata
penyerahan berarti ada perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans)
kepada yang menerima delegasi (delegataris). Terdapat 3 ciri mendasar dalam delegasi :

Adanya penyerahan kewenangan membuat peraturan perundang-undangan, dimana


delegataris (penerima) bertanggung jawab penuh atas kewenangannya itu.
Penyerahan kewenangan dilakukan oleh pemegang atribusi (delegans) kepada
delegataris.
Hubungan antara delegans dengan delegataris tidak dalam hubungan atasan dan bawahan.

Hiererki dan pendelegasian peraturan perundang-undangan diperlukan karena ketentuan yang


lebih tinggi hanya mengatur ketentuan yang bersifat umum, sedangkan ketentuan yang bersifat
teknis didelegasikan ke peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Pendelegasian tersebut diatur dalam lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 angka
198 sampai dengan 216.
Seperti contoh pendelegasian kewenangan UU No. 10 Tahun 2009 Tentang Keperiwisataan.
Beberapa pasalnya diantaranya:
Pasal 9
1. Rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi.
3. Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.

Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 dan sertifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, mekanisme, dan hubungan koordinasi
strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 60
Pendanaan oleh pengusaha dan/atau masyarakat dalam pembangunan pariwisata di pulau
kecil diberikan insentif yang diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 31
Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan, bentuk penghargaan,
dan pelaksanaan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 23 Ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan pengendalian
kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Presiden.
Pasal 38 Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, persyaratan, serta tata cara
pengangkatan dan pemberhentian unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 14 Ayat (2) Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15 ayat (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Dari beberapa pasal tersebut terlihat bahwa UU No.10 Tahun 2009 ini mendelegasikan
kewenangannya kepada Peraturan lain diantaranya PP,Perpres,dan juga Peraturan Menteri.
Sebagai peraturan yang mendapatkan delegasi dari UU, PP mempunyai fungsi :
a) Menjalankan pengaturan lebih lanjut ketentuan UU yang tegas-tegas menyebutnya.
Fungsi ini sesuai dengan ketentuan pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang menentukan :
presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan UU
Dalam hal ini PP harus melaksanakan semua ketentuan dari suatu UU yang secara tegas meminta
untuk diatur lebih lanjut dengan PP.
b) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam UU yang mengatur
meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya
apabila ketentuan dalam UU memerlukan pengeturan lebih lanjut, sedangkan dalam ketentuan

tersebut tidak menyebutkan secara tegas untuk diatur dalam peraturan pemerintah, maka presiden
dapat membentuk PP sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari UU tersebut.
Pelaksanaan ketentuan dalam UU yang tidak tegas-tegas memerintahkan ini dilandasi suatu
keyataan bahwa ketentuan pasal 5 ayat (2) UUD 1945 telah merupakan delegasi kepada setiap
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-undang.
Kemudian dalam UU ini juga menyebutkan tentang Peraturan Presiden. Fungsi dari peraturan
presiden ini antara lain:
1) Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan.
Keputusan presiden dalam melaksanakan fungsi yang pertama ini merupakan keputusan presiden
yang merupakan sisa dari peraturan perundang-undangan yang tertentu batas lingkupnya yaitu
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden yang merupakan pengaturan yang
delegasian.
2) Menyelenggarakan pengaturan lebih lebi lanjut ketentuan dalam peraturan pemerintah yang
tegas-tegas menyebutnya.
3) Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam peraturan pemerintah,
meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.
Kedua fungsi dari huruf 1 dan 2 merupakan fungsi delegasian dari Peraturan pemerintah dan
sekaligus UU yang dilaksanakannya. Fungsi Peraturan Presiden ini merupakan fungsi yang
berdasarkan pada Stufentheory dimana suatu peraturan yg dibawah itu selalu berlaku, bersumber
dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi di atasnya.
Peraturan presiden disini adalah merupakan peraturan yang bersifat delegasian/limpahan yang
kewenangannya terletak/bersumber pada UU dan PP, sehingga peraturan presiden hanya bisa
mengatur lebih lanjut saj, tidak membentuk suatu kebijakan baru.
Contoh Pasal lain yang terkait dengan delegasi, sebagai berikut:
a. Pasal 77 ayat 5 UU No.24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan yang
menyebutkan:
Ketentuan mengenai jumlah direktur, persyaratan dan tata cara pengangkatan direktur,
serta pembagian tugas direktur ditetapkan dengan Keputusan Dewan Komisioner.
b. Pasal 16 ayat 4 UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang menyebutkan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi
Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

c. Pasal 27 UU No.10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


yang menyebutkan:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah
yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
d. Pasal 3 ayat 2 UU No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyebutkan :
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Bank Indonesia.

DELEGASI WEWENANG DALAM PENGELOLAAN PNS DAERAH

Executive Summary
Kebijakan yang dijadikan pedoman dalam pengelolaan kepegawaian (PNS) secara nasional saat
ini adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974. Ada dua tujuan utama diterbitkannya UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 ini, pertama, untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi,
yaitu dengan lebih menonjolkan prestasi kerja yang didasarkan atas penilaian obyektif terhadap
prestasi, kompetensi dan pelatihan dalam pengangkatan jabatan serta adanya pemisahan yang
tegas antara jabatan politis dan jabatan karier; dan kedua, untuk mendukung pelaksanaan
otonomi daerah, yaitu dengan adanya pendelegasian kewenangan dalam pengelolaan
kepegawaian kepada Pemerintah Daerah. Pendelegasian kewenangan dilakukan dengan sistem
berjenjang dari pejabat pembina kepegawaian pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Sementara
yang terkait dengan pengelolaan kepegawaian di daerah, Pemerintah mengeluarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam salah satu pasalnya, Undang-Undang ini mengatur
mengenai pengelolaan kepegawaian daerah. Setelah satu dasa warsamaka perlu untuk melihat
kembali bagaimana implementasi kebijakan tersebut, khususnya dalam pendelegasian
wewenang dalam pengelolaan kepegawaian.
Dalam rangka melihat implementasi kebijakan tersebut, pada tahun 2009, Pusat Kajian Kinerja
Sumber Daya Aparatur, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta melakukan kajian dengan judul :
Pendelegasian Wewenang dalam Sistem Manajemen PNS di Indonesia. Kajian yang dilakukan
pada akhirnya berhasil mengidentifikasi beberapa permasalahan terkait pendelegasian
wewenang pengelolaan kepegawaian didaerah. Ada beberapa kebijakan yang terkait dengan
masalah delegasi kewenangan dalam pengelolaan kepegawaian dan terindikasi terjadi
overlapping. Kebijakan yang terkait, yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 mengatur mengenai pengelolaan kepegawaian


(PNS) secara umum sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih spesifik mengatur
mengenai PNS Daerah. Kedua undang-undang ini dengan berbagai turunan peraturan
pelaksanaannya seringkali membingungkan daerah, mana yang harus dijadikan dasar kebijakan
dalam pengelolaan kepegawaian. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 identik dengan BKN
sementara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 identik dengan Departemen Dalam Negeri.
Dari kajian yang dilakukan terhadap substansi pengelolaan kepegawaian yang didelegasikan
(dibagi dalam tujuh tahap), Tim memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut : (1) Tahap
perencanaan formasi kebutuhan pegawai, belum mencerminkan kebutuhan nyata didaerah karena
tidak didukung dengan pelaksanaan anjab dan ABK. Delegasi kewenangan yang diberikan
kepada daerah belum dirasakan manfaatnya karena penetapan tetap ditangan Pemerintah Pusat.
Delegasi kewenangan dalam tahap perencanaan formasi nampaknya harus didukung
dengan asistensi Pemerintah Pusat. (2) Tahap pengadaan pegawai, delegasi kewenangan yang
diberikan belum dibarengi dengan pedoman yang lengkap terkait dengan standar tes, standar
lulus dan standar lolos. Kondisi ini membuka peluang adanya praktik KKN. Delegasi
kewenangan dalam tahap pengadaan memberi peluang untuk akomodasi putera daerah menjadi
PNS tetapi dilain pihak menutup pintu terhadap upaya penjaringan calon pegawai yang
profesional apabila tidak diikuti dengan adanya kejelasan standar tes, standar lulus dan standar
lolos. (3) Tahap pengangkatan pegawai, tidak teridentifikasi adanya permasalahan. Hal ini
didukung dengan dibentuknya Kantor Regional BKN di beberapa Provinsi yang sangat
membantu daerah dalam pengangkatan pegawai, khususnya pengangkatan CPNS maupun CPNS
menjadi PNS. Permasalahan yang muncul pada kelengkapan berkas saja. Artinya pembentukan
Kantor Regional BKN mampu memberikan dampak signifikan dalam upaya perbaikan
efektivitas pengelolaan kepegawaian. (4) Tahap pendidikan dan pelatihan pegawai, tidak
teridentifikasi adanya permasalahan. Masalah yang muncul terkait dengan keterbatasan anggaran
sehingga prioritas penyelenggaraan diklat lebih pada diklat penjenjangan/diklat struktural,
sementara diklat teknis/fungsional belum menjadi prioritas. Selain penyelenggaraan diklat lebih
banyak di pusat dan Provinsi karena adanya keterbatasan sarana prasarana diklat. Delegasi
kewenangan dalam tahap diklat nampaknya perlu disertai dukungan lainnya, seperti sarana
prasarana penyelenggaraan diklat. (5) Tahap kenaikan pangkat dan jabatan, permasalahan yang
teridentifikasi adalah untuk pegawai dengan pangkat golongan tinggi (IV c keatas) yang
pengurusannya harus ke tingkat pusat. Pengurusan ini ternyata membutuhkan waktu, biaya dan
tenaga yang lumayan besar yang seringkali membuat tidak efektif dan efisien. Dasar penetapan
oleh pemerintah pusat yang awalnya adalah sebagai bentuk apresiasi/penghargaan atas
pengabdian pegawai, tetapi ternyata justeru membuat frustasi pegawai. (6) Tahap perpindahan
pegawai, dalam tahapan ini isu mengenai putera daerah masih kental. Perpindahan pegawai antar
Kabupaten/Kota atau ke Provinsi dan Pusat atau sebaliknya sangat jarang atau sulit dilakukan.
Ada daerah yang menutup diri terhadap masuknya pegawai dari daerah lain karena
mengutamakan pegawai dari daerahnya. Kesulitan akan semakin meningkat apabila pegawai
mempunyai pangkat golongan tinggi karena akan mengganggu DUK pegawai. Juga bagi
pegawai yang pernah menduduki jabatan struktural tertentu karena kalau pindah pegawai tidak

boleh menuntut jabatan. Permasalahan lain adalah jabatan Sekda yang merupakan jabatan karier
tertinggi di daerah, apabila sudah tidak menjabat sementara BUP masih lama maka tidak ada lagi
pos yang sesuai. (7) Tahap pemberhentian pegawai atau pensiun, sebagaimana halnya dalam
kenaikan pangkat dan jabatan, pensiun bagi pegawai dengan pangkat golongan IV c keatas
diurus di tingkat pusat. Kondisi ini ternyata justeru tidak efektif dan efisien karena makan waktu,
biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Masalah lebih parah apabila waktu kenaikan pangkat
berdekatan dengan BUP pegawai (kenaikan pangkat pengabdian). Dampaknya banyak pegawai
yang mengajukan pensiun dini (APS = atas permintaan sendiri) karena tidak mau urusan yang
bertele-tele. Hal ini tentu saja merugikan pegawai karena mereka terpaksa pensiun dengan
pangkat dan golongan yang lebih rendah dari yang seharusnya.
NORMA HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pengertian Norma
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya
dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau
kaidah dalam bahasa arab, sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan
pedoman, Patokan atau aturan. Norma mula-mula diartikan denga siku-siku, yaitu garis tegak
lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang
dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan
bagi

seseorang

dalam

bertindak

atau

bertingkah

laku

dalam

masyarakat.

.
Sampai saat ini, baik pengertian kaidah maupun norma dipakai secara bersamaan oleh para
sarjana Indonesia. Dalam bukunya prihal kaidah hukum, Soerjono Soekanto dan Punardi
Purbacaraka mengemukakan bahwa, kaedah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman
untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka
kaedah merupakan perumusan suatu pandangan (oordeel) mengenai perikelakuan atau pun
sikap tindak.
Norma baru bisa dilakukan apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma mengatur
tata cara berhubungan dengan orang lain, atau terhadap lingkungannya, atau juga dengan kata
lain norma dijumpai dalam suatu pergaulan hidup manusia.
Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembagalembaga yang berwanang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama, dan
lainnya terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang

ada dalam masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa
keadilan dalam masyarakat tersebut, yang berulangkali terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa
kadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum Negara yang kadangkadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan/ pendapat masyarakat.
Hukum Sebagai Sistim Norma yang Dinamik
Menurut Hans Kalsen hukum adalah termasuk dalam system norma yang dinamik
(nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau
otoritas-otoritas yang berwenang membentuk dan menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak
dilihat dari segi berlakunya atau pembentuknya.
Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang
membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal
ini norma yang lebih rendah (inferior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
membentuk suatu hierarkhi.
Dinamika Norma Hukum Vertikal dan Horizontal
Dinamika norma hokum yang vertical adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke
bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertical ini suatu norma hukum itu
berlaku, bersumber dan berdasar pada hukum norma hukum diatasnya, norma hukum yang
berada diatasnya berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum di atasnya, demikian
seterusnya samapai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum
dibawahnya. Begitu pula dinamika norma hukum dari atas ke bawah.
Dinamika yang vertical ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum yang ada di
Negara Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Pancasila sebagai Norma Dasar Negara
yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma dalam Batang Tubuh UUD
1945; demikian juga norma-norma hukum yang berada dalam Batang Tubuh UUD 1945 menjadi
sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) , dan norma-norma yang berada dalam Ketetapan
MPR ini menjadi Sumber dan dasar bagi pembentukan Norma-Norma dalam Undang-Undang,
demikian seterusnya kebawah.
Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergerak kesamping.
Dikatakan kesamping dikarenakan adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu norma hukum
untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa. Contohnya, dalam kasus tentang

perkosaan, seorang hakim telah mengadakan suatu penarikan secara analogi dari ketentuan
tentang perusakan Barang sehingga terhadapa suatu perkosaan, selain dikenakan sanksi
pidana dapat juga diberikan pembayaran ganti rugi.
Perbedaan Norma Hukum dan Norma Lainnya
Perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lainnya adalah sebagai berikut:
1)

Suatu norma hukum bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar
diri seseorang. Norma-norma lainnya bersifat otonom, dalam arti norma itu datangnya dati
dalam diri seseorang.

2)

Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik,
sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara
fisik.

3)

Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat Negara,
sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.
Norma Hukum Umum dan Norma Hukum Individual
Apabila suatu norma hukum itu dilihat dari segi alamat yang dituju, atau siapa norma
hukum itu ditunjukan atau diperuntukan, dapat dibedakan antara norma hukum umum dan norma
hukum individual, yang biasa disebut dengan subyek hukum
Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk orang banyak,
umum, dan tidak tertentu. Umum di sini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditunjukan
untuk semua orang atau semua warganegara. Norma hukum umum ini sering dirumuskan dengan
rumusan sebagai berikut:
-

Barangsiapa... dst

Setiap orang dst

Setiap warganegaradst
Norma huukm individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada
seseorang, beberapa orang atau banyak orang tertentu, sehingga norma hukum yang individual
ini biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:

Syafei bin Muhammad Syukri yang bertempat tinggal di Jl. Flamboyan No. 10 Jakartadst

Para pengemudi bis kota Mayasari Bakti jurusan Blok M Rawamangun yang beroperasi
antara jam 7.00 sampai jam 8.00 pagi pada tanggal 1 Oktober 2006 dst
Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkrit
Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan
seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti konkrit. Sedangkan norma hukum konkrit adalah
suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkrit)
Dari sifat-sifat norma hukum yan umum-individul dan norma hukum abstrak-konkrit,
terdapat empat paduan kombinasi dari norma-norma tersebut, yaitu:

1) Norma hukum umum-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan
perbuatannya masih bersifat abstrak.
2) Norma hukum umum-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan
perbuatannya sudah tertentu.
3) Norma hukum individual-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk
seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak
4) Norma hukum individual-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk
seseorang atau seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkrit.
Norma Hukum yang Terus-Menerus dan Norma Hukum yang Sekali-Selesai
Norma hukum yang berlaku terus-menerus adalah norma hukum yang berlakunya tidak
dibatasi oleh waktu, hingga peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru.
Norma hukum yang berlaku sekali-selesai adalah norma hukum yang berlakunya hanya
satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan
adanya penetapan itu norma hukum selesai.
Norma Hukum Tunggal dan Norma hukum Berpasangan
Yang dimaksud dengan norma hukum norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti
dengan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum ini hanya merupakan suatu suruhan
tentang bagaimana seseorang bertindak atau bertingkah laku sebagaimana mestinya. Adapun
norma hukum berpasangan itu terbagi 2, yaitu :
1)

Norma hukum primer, berisi tentang aturan atau patokan bagaimana cara seseorang berperilaku
di dalam masyarakat. Sedang

2)

Norma hukum sekunder, berisi tentang cara penanggulangannya apabila norma hukum primer
tidak terpenuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman untuk para penegak hukum
dalam bertidak apabila norma hukum primer tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini juga
mengandung sanksi.
Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Menurut D.W.P Ruiter, dalam keputusan di Eropa Kontinental, yang dimaksud peraturan
perundang-undangan atau wet in matereielezin mengandung tiga unsur, yaitu:
a) Norma Hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa (1) perintah, (2)
larangan, (3) pengizinan, (4) pembebasan.
b) Norma berlaku ke luar
Riuter berpendapat bahwa, di dalam peraturan perundangan-undangan terdapat tradisi yang
hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk, dalam organisasi
pemerintah. Norma hanya ditunjukan kepada rakyat dan pemerintah, hubungan antar sesamanya,
maupun antar rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur bagian-bagian organisasi
pemerintah dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh
karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut berlaku ke luar.
c) Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual
(individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, yaitu ditunjukan kepada setiap
orang atau kepada orang tertentu, serta antara norma yang abstrak dan yang konkrit jika
dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu atau mengatur
peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu.
Menurut Ruiter, sebuah norma mengandung beberapa unsur, diantaranya : cara keharusan
berperilaku (operator norma), seseorang atau sekolompok orang adresat (subyek norma),
perilaku yang dirumuskan (obyek norma), dan syarat-syaratnya (kondisi norma). Contoh :
Setiap orang wajib membayar pajak pada akhir tahun
Setiap orang

= obyek norma.;

Wajib

= operator norma.

Membayar pajak

= obyek norma.;

Pada akhir tahun

= kondisi norma.

Hubungan Pertanggungjawaban Perbuatan

Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum penjara paling
lama 15 tahun.
Contoh di atas terlihat antara norma hukum primer dengan norma hukum sekunder seperti
hubungan sebab-akibat (kausalitat). Padahal pendapat seperti itu adalah salah. Hubungan sebabakibat hanya diperlukan dalam ilmu alam. Dalam ilmu alam sesuatu kondisi/keadaan tertentu
akan selalu menimbulkan gejala dan akibat yang tertentu juga. Sedangkan norma hukum primer
dan norma hukum sekunder, sesuatu perbautan tertentu tidak selalu akan mengakibatkan
kondisi/keadaan yang tertentu, atau dengan kata lain suatu perbuatan tertentu dapat
mengakibatkan keadaan/kondisi yang berbeda, tergantung pada hal-hal yang mempengaruhi
seseorang atau perbuatan tersebut.
Daya Laku dan Daya Guna
Suatu norma itu berlaku karena ia mempunya daya laku (validitas) atau karena ia
mempunyai keabsahan. Daya laku ini ada apabila dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau
lembaga yang berwenang membentuknya, misalnya suatu peraturan pemerintah adalah sah
apabila dibentuk oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang dan bedasarkan Pasal 5 ayat
2 Undang-Undang Dasar 1945, atau suatu keputusan Presiden yang dibentuk oleh Presiden
bedasarkan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang dasar 1945.
Dalam pelaksanaanya, berlakunya suatu norma karena adanya daya laku, dihadapkan pula
pada daya guna (efficaci) dari norma tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat apakah suatu norma
yang ada dan berdaya laku itu berdaya guna secara effektif atau tidak, atau dipatuhi atau tidak.
Dalam hal ini dapat pula terjadi bahwa suatu ketentuan dalam sebuah perundang-undangan tidak
berdaya guna lagi walaupun peraturan itu tersebut masih berdaya laku (belum dicabut).
LANDASAN HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG.
Dalam dasar hukum mengingat Undang-Undang No. Th. 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, hanya dimuat Pasal 20, Pasal 20A ayat 1, Pasal 21, Pasal 22A
UUD 1945. Pasal-Pasal tersebut merupakan peraturan yang memberikan kewenangan
pembentukan suatu undang-undang, yang secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
1. Pasal 20 UUD 1945 merumuskan:
1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.
3) Jika rancangan undang-undang itu tidak dapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang
itu tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan rakyat masa itu.
4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang.
5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
2. Pasal 20A ayat 1 merumuskan bahwa:
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
3. Pasal 21 merumuskan bahwa:
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undangundang.
4. Pasal 22A merumuskan bahwa:
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang.
Walaupun dalam dasar hukum Mengingat Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut hanya merumuskan pasal-pasal dalam
UUD 1945 yang memberikan kewenangan pembentukan suatu undang-undang, namun demikian
sebenarnya terdapat beberapa ketentuan yang merupakan landasan hukum yang tegas bagi
pembentukan undang-undang tersebut.
Landasan hukum tersebut adalah sebagai berikut:
1.

Pasal 22A Perubahan UUD 1945 yang merumuskan bahwa Ketentuan lebih lanjut tentang tata
cara pembentukan undang-undang diatur dengan undan-undang

2.

Pasal 6 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan, yang merumuskan bahwa: Tata cara pembuatan undang-undang,
peraturan pemerintah, peraturan daerah dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh
Mahkamah Agung serta pengaturan ruang lingkup keputusan presiden diatur lebih lanjut dengan
undang-undang

3. Aturan Tambahan Pasal I Perubahan (keempat) UUD 1945, yang menetapkan Majlis
Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadapa materi dan status
hukum ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majlis
Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majlis Permusyawaratan Rakyat
tahun 2000
4. Pasal 4 angka 4 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majlis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan tahun 2002, yang
menyatakan bahwa ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tetang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan tetap berlaku sampai
terbentuknya undang-undang.
Berdasarkan beberapa ketentuan di atas, maka diajukanlah rancangan undang-undang
Usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (RUUTCP3), yang akhirnya menjadi Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Anda mungkin juga menyukai