MULTISTAGE KARSINOGENESIS
Karsinogenesis adalah proses bertingkat yang akhirnya menuju pada perkembangan
neoplasia. Neoplasia (neo, baru; pertumbuhan plasia), karena kerumitannya yang sudah melekat,
sifat dasarnya yang berkembang, dan berbagai sel yang meluas serta susunan perilaku
biologisnya, sulit untuk menjelaskan dan meringkas istilahnya secara tepat. Dua patologis
terkenal di abad ini, Sir Rupert A. Willis dan James Ewing, masing- masing telah memberikan
definisi yang jelas mengenai neoplasia yang masih sering disebut- sebut, dan bersama-sama
menyampaikan pandangan klasik mengenai sebutan neoplastik. Willy menerangkan sebuah
neoplasma ke dalam sebuah massa jaringan yang tidak normal, pertumbuhan yang berleihan dan
tidak terkoordinasi dengan jaringan normal tersebut bertahan dengan cara yang berlebihan
setelah penghentian stimulan yang menimbulkan perubahan. Sedangkan sebuah versi yang
sedikit diubah dalam penjelasan Ewing menyatakan bahwa sebuah neoplasma adalah
pertumbuhan otonomi jaringan baru. Istilah tumor merupakan sebuah pembengkakkan yang
sekarang umumnya digunakan sebagai sinonim dari neoplasma, sementara kanker adalah istilah
umum untuk semua neoplasma ganas.
Michael Sporn dari National Cancer Institute meragukan istilah klasik sebagai pengabaian
dimensi waktu yang penting dalam perkembangan penyakit neoplastik yang berbahaya. Dalam
konteks ini, dia sudah membuktikan secara nyata, kanker seharusnya dianggap sebagai sebuah
proses penyakit (karsinogenesis) daripada sebutan penyakit.
Proses ini, sebaliknya, menggambarkan pengaturan yang salah pada fungsi gen yang
membawa sebagian besar kasus perluasan klonal dalam perubahan sel secara spesifik dan
heterogenitas klonal keturunan mereka merupakan bukti akan tampilan populasi sel baru yang
menunjukkan perbedaan kadar sel aberrupt dan pengaturan pertumbuhan. Pandangan ini menjadi
pertimbangkan dalam kenyataan bahwa penjelasan klasik yang berarti sebuah massa jaringan
yang tidak normal terlalu terbatas untuk kebutuhan klinis modern pada deteksi awal populasi sel
neoplastik. Selain itu, ini merupakan proses evolusioner dengan gangguan genetik dan epigenetik
yang menghasilkan subpopulasi klonal baru yang sudah memiliki daya tahan dalam penyerbuan
jaringan lokal dan akhirnya menyebar atau bermetastasi ke wilayah yang lebih jauh.
12.1
besar dapat diteliti sebagai proyeksi ke dalam satuan cahaya. Dalam usus
besar manusia, beberapa jenis polip, seperti polip adenomatus, merupakan
neoplasma
Neoplasma Maligna
Tak bermetastasis
Umumnya daya rusak kecil, jarang membunuh
vaskulatur
Umumnya bermetastasis
Daya rusak besar, daya bunuh tinggi
inang
adenoma
subkapsuler
yang
dapat
menyebabkan
perdarahan
intraperitoneal, dan myxoma (tumor mesenkim jinak) jantung yang fatal karena
lokasinya.
Salah satu ciri malignansi yang sangat berbeda dari neoplasma jinak
adalah kemampuan metastasis, mengeksklusi beberapa jenis kanker yang sangat
destruktif dan invasif namun jarang bermetastasis semisal karsinoma sel basal
dan glioma malignan otak. Karsinoma sel basal juga termasuk dapat dieradikasi
sementara glioma otak umumnya memiliki prognosis buruk karena lokasinya.
Dua neoplasma trofoblastik jinak derivat plasenta, mola invasif dan
tumor trofoblastik situs plasental, keduanya memperlihatkan gambaran invasi
lokal dinding uteri. Vili hidropik mola hidatidiform mungkin dapat terembolisasi
hingga jauh (paru, otak) namun tak menimbulkan metastasis. Tumor situs
plasental jarang bermetastasis. Metastasis adalah aspek kanker yang paling
mengancam nyawa.
12.1.3
Namun lesi prekursor untuk sarkoma jaringan lunak lebih sulit dikenali,
dan sarkoma umumnya menunjukkan karakteristik malignansi untuk tampak
tanpa bukti progresi histologis dari benigna ke malignan.
Tabel 2. Contoh Lesi Epitel Premaligna dari penelitian terhadap hewan dan manusia
Spesies
Jaringan/Organ
Lesi Premalignan
Mencit
Tikus
Tikus
Mencit
Tikus
Kulit
Hepar
Colon
Kelenjar Mammae
Epitel
Mencit
Tikus
Manusia
Manusia
Trakeobronkial
Pulmo
Vesica
Kulit
Epitel
Adenoma
Papiloma Urotelial
Keratosis Senilis
Displasia mukosa, CA in situ
Adenokarsinoma
Karsinoma Sel Transisional
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma, Adenokarsinoma
Manusia
Manusia
Manusia
Manusia
Manusia
Hepar
Colon/Rectum
Mukosa Oral
Epitel Bronkial
Esofagus
Hiperplasia adenomatus
Polip Adenomatus
Leukoplakia dgn displasia
Ca in situ
Mukosa Barrett dgn
Karsinoma hepatoseluler
Adenokarsinoma
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma Sel Skuamosa
Adenokarisnoma
displasia
model
eksperimental
karsinogenesis
bertahap,
telah
bagaimanapun juga, yang dapat dengan tegas menjelaskan luka awal dengan
resiko pertumbuhan yang paling besar ke dalam neoplasma ganas adalah
kurangnya ?... yang spesifik yang dapat dengan jelas membedakan
luka ..?..yang mungkin berkembang secara paralel, tapi ...?.. itu menjadi titik
akhir luka atau memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berkurang atau
hilang yang diikuti penghentian karsinogenesis atau rangsangan perkembangan
tumor.
12.1.4
Perkembangan
karsinoma
yang
menyerang
serviks
manusia
squamous epithelial tingkat tiga yang lebih rendah. Pengurangan dapat muncul
pada CIN1 atau mungkin juga dapat berkembang pada bentuk dysplasia yang
lebih berat. Dysplasia sedang (CIN2) pada serviks melibatkan sepertiga atau dua
pertiga ketebalan lapisan epithelial, sedangkan dysplasia berat dan carcinoma in
situ (keduanya dikelompokkan sebagai CIN3) melibatkan lebih dari dua pertiga
hingga penuh ketebalan lapisan sel epithelial bertingkat, begitupun selanjutnya.
Semakin tinggi tahap CIN semakin berkurang kemungkinan regresi, semakin
pendek waktu perkembangan carcinoma in situ yang memungkinkan, dan
semakin besar resiko perkembangan penyerangan kanker dengan adanya
carcinoma in situ yang menjadi penjelasan tanda kanker awal. Bagaimanapun
juga, harus diingat bahwa kecepatan perkembangan luka displastik tidaklah
sama, dengan semakin tingginya tahap dysplasia biasanya membutuhkan waktu
yang lebih sedikit untuk mengembangkan carcinoma in situ. CIN 1 dan 2 paling
sering menyerang wanita di usia 20-an, carcinoma in situ pada wanita di usia
pertengahan 30-an, dan penyerangan carcinoma biasanya setelah usia 40.
Dengan demikian, rata-rata, membutuhkan 10 tahun sebelum dysplasia
berkembang menjadi carcinoma in situ dan 10 tahun berikutnya
untuk
penyerangan carcinoma. Akan tetapi, harus disadari bahwa penilaian ini dapat
berubah karena berbagai faktor yang rumit sehingga tidak bijak untuk menunda
pengobatan awal.
12.2
pengerat, yang mana perbedaan tingkatnya sudah dijelaskan. Contoh tikus pada
karsinogenesis epidermal bertingkat telah bertahun-tahun dijalani sebagai percobaan
bentuk dasar untuk menunjukkan tingkatan berbeda permulaan, kenaikan dan
perkembangan dalam pathogenesis kanker epithelial secara operasional, dan contoh ini
menyediakan rangka konsep untuk menjelaskan ciri-ciri penting proses karsinogenis
bertingkat secara umum. Di sini juga ditunjukkan bahwa ketika contoh tikus untuk
karsinogenesis epidermal bertingkat pertama kali dikembangkan pada tahun 1940an,
konsep karsinogenesis bertingkat sebagai fenomena umum tidak begitu dipahami.
Bagaimanapun juga, sejak awal tahun 1970an, karsinogenesis bertingkat sudah
ditunjukkan dalam berbagai contoh penelitian jaringan dan organ berbeda pada hewan
pengerat, termasuk liver, paru-paru, trakea; kelenjar susu, kantung kemih, prostat, tiroid,
forestomach, pankreas, dan usus besar.
12.2.1
operasional
permulaan,
kenaikan,
dan
perkembangan
dalam
dalam masa hidup hewan penelitian. Beberapa organ tubuh, seperti urethane,
telah dianjurkan agar mampu hanya memasuki sel epidermis tikus dan tidak
menguasai alat-alat karsinogen kulit yang lengkap, meskipun urethane
karsinogen lengkap ditunjukkan pada paru-paru dan hati tikus. Organ seperti itu
telah diistilahkan sebagai karsinogen tidak lengkap atau perantara pemulai murni
untuk epidermis tikus. Di samping itu, keberadaan perantara pemulai murni
membutuhkan bukti lebih jauh. Dan untuk seluruh tujuan penggunaan,
karsinogen lengkap yang digunakan pada dosis subkarsinogenis merupakan
tindakan tepat sebagai karsinogen tidak lengkap. Lebih lanjut lagi, pemulai
biasanya dihasilkan dari eksperimen dengan memilih organ-organ yang
mutagenik atau seperti halnya kebanyakan karsinogen kimiawi lengkap yang
digunakan untuk menghasilkan initiation, membutuhkan aktivasi metabolis pada
mutanik lanjutan.
Promotion umumnya dikerjakan oleh aplikasi yang diciptakan organ
khusus yang pada mereka sendiri bukanlah karsinogenis yang melekat dan juga
dalam beberapa kasus tidak mutagenik, namu itu juga dapat digunakan setelah
pengobatan awal yang mengakibatkan penyebaran terbalik rangsangan sel klon.
Pada kasus epidermis tikus, penelitian tumor yang paling sering dilakukan
hingga saat ini adalah 12-o-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA), yang juga
dikenal dengan phorbol 12-..?..-13-acetate, yang terpisah dari minyak kroton
(lihat bab 15). Pemakaian berulang TPA, yang bukan mutagenik, pada kulit tikus
yang diawali dengan dosis subkarsinogenik tunggal DBMA menghasilkan
perkembangan papilloma jinak bertingkat dan pada perkembangan squamous
dalam frekuensi yang lebih rendah sebagai sel karsinoma. Jika TPA diberikan
sebelum pemulai bersama DBMA, tidak ada tumor yang berkembang (e pada
gambar 2). Demikian juga, jika interval waktu di antara masing-masing aplikasi
pada organ pengembang tidak cukup meluas (f pada gambar 2), tidak ada
neoplasma yang akan berkembang,yang menggambarkan kenyataan bahwa
perkembangan tidak bertambah, namun dapat ditunjukkan menjadi berubah
secara operasional. Sebaliknya, initiation adalah langkah yang tidak dapat
berubah yang bisa bertahan?... sehingga jika stimulus pengembang TPA
terlambat bahkan hingga satu tahun atau lebih pada ketegangan tikus, seperti
yang digambarkan dalam (d gambar 2), papilloma bertingkat dan beberapa sel
squamous carcinoma tetap akan memberikan hasil.
Pada tahun 1981, Suresh Moolgavkar dan Alfred ..?.. mengajukan sebuah
protokol percobaan untuk karsinogenesis kulit bertingkat pada tikus tahun 1981,
Suresh Moolgavkar dan Alfred ..?.. mengajukan sebuah protokol percobaan
untuk karsinogenesis kulit bertingkat pada tikus dimana aplikasi perantara
pemulainya diikuti aplikasi berulang perantara pengembang ..?.. papilloma
dibentuk, dan oleh aplikasi lainnya sebagai inisiator. Hal ini diperkirakan bahwa
pembukaan kedua pada genotoksis inisiator ini harus menghasilkan lebih
banyak sel squamous carcinoma dibandingkan yang terihat pada tikus yang
mendapatkan pengobatan pemulai pertama yang diikuti oleh aplikasi dari satusatunya perantara perkembangan. Di tahun yang sama, Van Potter mengajukan
sendiri protokol percobaan yang sama pada hati tikus,dan juga menyatakan jika
luka hepatoselular kanker awal diubah ke dalam kanker dengan frekuensi tinggi,
peristiwa genetik irreversible kedua yang mengakibatkan pembukaan pada
perantara genotoksis yang tepat yang diatur dengan mengikuti pengobatan
perkembangan akan dibutuhkan. Prediksi protokol initiator-promotor-initiator
yang baru saja dijelaskan kemudian dibuktikan dengan percobaan pada
epidermis tikus, seperti yang digambarkan dalam gambar 2, dan pada hati tikus,
yang mana akan dijelaskan lebih detil lagi setelah bab ini. Dalam kasus
epidermis tikus, peningkatan yang signifikan dari perubahan papilloma menjadi
sel squamous carcinoma terlihat dalam DMBA-initiated, TPA menganjurkan
tikus ketika tikus yang mengandung papilloma kemudian diobati dengan
berbagai perantara mutagenik, seperti N-methyl N-nitro-N-nitrosoguanidin
(MNNG), 4-nitroquinoline-N-oxide, atau ethylnitrosourea (ENU). Alat-alat
seperti ini, ketika bertindak pada perubahan sel kanker lanjutan menjadi sel
neoplastik ganas, telah diistilahkan sebagai progressor agents (juga mengacu
pada converting agents). Perantara lainnya yang bekerja sebagai progresor dalam
penelitian karsinogenesis epidermal bertingkat pada tikus sudah mencakup
radiasi ionisasi, dan juga campuran radikal bebas penghasil hydrogen peroxide
dan benzoyl peroxide. Contohnya perantara progresor prototip untuk hati tikus
yang akan diberikan nanti.
12.2.2
berbeda
yang
telah
diuji
hingga
kini.
Pengecualian
yang
memungkinkan, yang akan dibahas nanti, bisa jadi adalah hati tikus. Pada
peristiwa lain,kini biasa dianggap bahwa sel pemulai pada akhirnya tidak
dibedakan, tetapi memiliki sel batang potensial. Pada kasus teratocarcinoma, hal
ini berupa sel batang multipoten. Untuk kebanyakan jaringan somatik, seperti
epidermis, gastrointestinal mucosa, urinary bladder mucosa, bronchial mucosa,
dan system hemopoietic, jaringan sel batang yang ditentukan atau pembagian sel
keturunan yang dilakukan merupakan calon pemulai. Bahkan dalam organ
seperti hati, dimana ada kontroversi mengenai adanya sel batang yang
ditentukan, adalah sel hepatis yang menguasai kemampuan berkembang biak
mereka dalam merespon rangsangan mitogenik, seperti sebagian hepatektomi
atau perbedaan karsinogenis kimiawi atau luka hati berbentuk rangsangan viral,
yang paling rentan pada mutasi pemulai. Harus diingat juga bahwa ketika kedua
sel yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi menguasai beberapa jenis
mekanisme perbaikan kerusakan DNA (lihat bab 13), sel pemulai dan
keturunannya belum memperbaiki kerusakan DNA yang berhubungan dengan
initiation. Lebih lanjut lagi, kerusakan mekanisme perbaikan DNA telah lama
dikenal berhubungan dengan kenaikan resiko pengembangan kanker.
Aktifitas inisiasi pada kebanyakan karsinogenis kimiawi bergantung pada
metabolisme mereka terhadap reactive electrophiles, yang kemudian membentuk
DNA adduct menjadi DNA perusak dan mutasi. Bagaimanapun juga, ada
sejumlah kenaikan pada perantara genotoksis kimiawi yang sudah ditunjukkan
dalam merangsang neoplasma ganas dalam percobaan binatang pengerat.
Beberapa mekanisme dengan bantuan nongenotoksis kimiawi yang disarankan
kemungkinan akan bertindak merangsang karsinogenesis bertingkat termasuk (1)
kemampuan mereka merangsang sel proliferasi yang, secara bergiliran,
meningkatkan kemungkinan spontanitas dan endogen DNA perusak dan mutasi;
(2) dalam beberapa hal, kemampuan mereka menaikkan sel pemulai tanpa
disengaja; (3) dalam beberapa kasus kemampuan mereka menghasilkan DNA
perusak oksidatif; dan (4) potensi mereka memfasilitasi ketidakseimbangan
genomik (lihat di bawah ini). Dalam penelitian karsinogenesis hewan pengerat,
karsinogen nongenotksis cenderung menunjukkan tingkat spesifisitas organ dan
spesies yang lebih besar daripada karsinogen genotoksis.
Tahap inisiasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor endogen dan
eksogen, terutama yang mempengaruhi aktifasi inisiator genotoksis metabolis
pada reaktif lanjutan, jalan detoksifikasi, mekanisme perbaikan DNA, sel
proliferasi, toksisitas sel lihat bab 11). Faktor-faktor itu termasuk usia, jenis
kelamin, spesies, pola makan dan faktor hormon, dan perbedaan genetik dalam
indusibilitas metabolism enzim dan perbaikan DNA. Sebagai tambahan, karena
banyaknya subpopulasi sel epithelial yang berbeda dalam organ atau jaringan
yang disampaikan yang mungkin memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan
kurangnya subpopulasi epithelial berbeda untuk memetabolisme berbagai
karsinogenis raktif atau alat initiating pada bentuk reaktifnya memungkinkan
bahwa paling tidak sebagai contohnya metabolit DNA perusak yang akan
dihasilkan dalam sel dengan banyak perberbedaan dan kemudian dikirimkan
pada sel dengan sedikit perbedaan ( misal, sel batang jaringan spesifik yang
primitif), yang kemudian dijalankan sebagai target sel initiation dan
pengembangan kanker selanjutnya.
Penelitian percobaan karsinogenesis epidermal dan hati telah lebih jauh
menunjukkan bahwa sel initiated dapat berbeda dari pasangan sel normalnya
dengan menjadi kurang responsif pada paksaan pengendalian pertumbuhan
negative dengan menunjukkan perubahan responsif pada sinyal perbedaan
sambungan, dan dengan menunjukkan efek resistansi terhadap sitotoksitas dan
efek mitoinhibitory pada karsinogen kimiawi. Ciri-ciri tersebut akan
memberikan keuntungan pertumbuhan yang selektif pada hal yang bukan
initiated ketika diberikan rangsangan promoting yang tepat.
Fase promotion pada karsinogenesis bertingkat berbeda dari initiation
pada sejumlah jalan penting (tabel 3). Promosi digolongkan ke dalam selektif
proliferasi pada sel initiated yang dihasilkan dalam penyebaran klonalnya
menjadi preneoplastik secara mikroskopik atau tampak jelas dan/ atau luka
kanker awal. Sebagai contohnya dalam kasus epidermis tikus, akibat promotion
adalah perkembangan papilloma, pada hati tikus adalah pengembangan foci dan
bengkak pada perubahan hiperplastik hepatosit fenotip (akan dibahas lebih lanjut
nanti),dan pada kasus usus besar tikus merupakan pengembangan foci displastik
dan adenoma kolonik.
Kedua perbedaan yang sangat berkaitan di antara initiation dan
promotion adalah promotion reversibilitas operasionalnya dan kenyataan bahwa
dalam sejumlah percobaan penelitian dosis respon, alat promoting telah
pengobatan
promoting
dihentikan
dapat
memunculkan
kembali
hati
tikus.
Sebagai
tambahan,
kebanyakan
neoplasma
ganas
pengembangan.
Bagaimanapun
juga,
tingkat
pengembangan
sudah
juga pada kebanyakan perbedaan yang jelas, yakni bahwa progresi adalah satusatunya tingkat yang mengandung tampilan yang sebenarnya dari neoplasma
ganas, dan juga ditetapkan bahwa progresi berhubungan dengan peningkatan
ketidakstabilan genetik dan karyotipik. Aneuploidi merupakan ciri umum
neoplasma ganas, dan sejumlah neoplasma ganas telah ditemukan untuk
menunjukkan non random dan ciri ketidaknormalan kromosom (liat bab 13 dan
18). Menariknya, meskipun daftarnya tidak banyak, perantara yang sudah
ditunjukan secara eksperimen bertindak sebagai perantara pengembang, dan juga
yang sudah didalilkan menjadi perantara pengembang putative dalam
karsinogenesis manusia juga telah diperlihatkan untuk menunjukkan aktifitas
klastogenik.
Leslie Foulds, yang telah memberikan pernyataan umum mengenai
konsep perkembangan tumor, yang mengemukakan beberapa prinsip dasar
progresi. Mungkin prinsip yang paling penting adalah perkembangan tumor
bebas dan perkembangan karakter bebas. Perkembangan tumor bebas
menyatakan bahwa perkemangan muncul secara bebas dalam tumor yang
berbeda pada jenis yang sama, bahkan ketika mereka muncul secara bertingkat
dalam percobaan manusia dan hewan. Dengan demikian banyak bagian
papilloma pada tikus yang mucul selama karsinogenesis bertingkat berkembang
pada tingkat dan kecepatan berbeda, dan tumor dengan jenis yang di tempat
terpencil yang muncul di individu berbeda juga berkembang secara bebas satu
sama lain. Prinsip perkembangan karakter bebas mengacu pada kenyataan bahwa
beberapa karakter berbeda ditunjukkan oleh jenis tumor yang diberikan
(misalnya, kecepatan pertumbuhan, penyerangan, kapasitas metastatic, tingkat
anaplasia, hormone dan pertumbuhan faktor responsif,dll.)merupakan variabel
bebas serta menjalani perkembangan secara bebas satu sama lain. Variabilitas
bebas
ini
sekarang
digambarkan
dalam
konteks
perkembangan
manusia yang berbeda telah dilakukan di bawah kondisi tertentu agar cukup
dalam perbedaan sambungan. Kenyataan bahwa fenotip ganas setidaknya untuk
beberapa jenis sel kanker yang dapat dibalik melalui rangsangan perbedaan
sambungan telah memberikan asas terapi perbedaan dalam sejumlah neoplasma
ganas yang berbeda, terutama beberapa bentuk leukemia myelogenus pada
manusia. Kini terlihat juga
spontan dapat
muncul
juga (di
dalam
proses seleksi yang jelas dengan meningkatnya genetic yng tidak normal dan
karakter biologis, seperti karyotip yang berubah dan pengembangan sel subklon
metastatic. Proses evolusioner ini muncul untuk dikuasai oleh faktor-faktor
genetic dan epigenetic. Dari sudut pandang klinis, Judah Folkman telah
membagi perkembangan tumor ke dalam fase prevaskular dan fase vaskular.
Tumor utama prevaskular yang kuat dijelaskan dengan ukuran yang terbatas
tidak dapat merangsang angiogenesis dan jarang metastatic. Sebaliknya, tumor
vaskuler yang merangsang pembuluh kecil untuk mengalami angiogenesis
mampu
dengan
cepat
meningkatkan
pertumbuhannya
dan
memiliki
kecenderungan bermetastasi.
12.2.3
hyperplasia
yang
tidak
berhubungan
dengan
proses
analisa integrasi viral) membuktikan alat baru yang berguna untuk menilai
klonalitas tumor dan luka kanker awal yang berkaitan.
Tabel 4 merupakan ringksan umum peristiwa molekul genetik yang
mendasari karsinogenesis bertingkat. Hal ini diungkapkan secara luas bahwa
alterasi genetic yang dihasilkan dalam aktifasi proto-onkogen dan onkogen
bersama dengan inaktifasi gen penekan tumor yang memainkan peranan jelas
dalam perkembangan segala jenis neoplasma ganas bertingkat. Karena subjek
proto-onkogen/onkogen dan gen penekan tumor diulas secara detil dalam bab
13, maka hanya akan dibahas secara ringkas di sini, dengan focus dan beberapa
contoh pilihan.
Proto-onkogen merupakan kelompok gen seluler yang normal yang
berfungsi mengontrol perkembangan, proliferasi sel, diferensiasi, dan/atau
apoptosis. Saat gen-gen tersebut digerakkan dengan tidak tepat sebagai onkogen
oleh mekanisme-mekanisme seperti mutasi titik, penghilangan, translokasi,
amplifikasi gen, dan mekanisme genetic lainnya (lihat bab 13), tandanya menjadi
dysregulated yang dihasilkan dalam pembuatan sejumlah kelebihan pada sandi
produk protein atau struktur produk yang berubah yang mungkin bertindak untuk
meningkatkan kemungkinan perubahan neoplastik ganas dengan meningkatkan
pembagian sel, merubah jalan sel normal yang berbeda, mengurangi jarak
persimpangan komunikasi interseluler, dan/atau menekan sel kematian
apoptopik.
Gen penekan tumor, di sisi lain, adalah gen normal seluler yang dalam
jenis bentuk sembarangnya menyandikan protein yang menghalangi proliferasi
sel. Sebagai tambahan, gen penekan tumor prototip seperti p53 telah ditunjukkan
pada jenis sel tertentu untuk berperan dalam merangsang diferensiasi
sambungan, memicu apoptosis, memudahkan jarak komunikasi interseluler
persimpangan, menghalangi angiogenesis, dan yang paling penting mengontrol
pemeriksaan siklus sel yang bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan
genetic. Dengan demikian, inaktifasi gen penekan tumor oleh mekanisme seperti
mutasi titik dan penghilangan alel (lihat bab 13) juga dapat meningkatkan
kemungkinan perubahan neoplastik yang menyebabkan disregulasi jalan normal
yang kini paling dikenal dengan nm23 (nonmetastatik 23) yang pertama kali
ditemukan oleh Patricia Steeg. Pengertian umum dari nm23 pada karsinogenesis
bertingkat manusia masih diperdebatkan. Biarpun demikian, tingkat tanda nm23
yang rendah telah diteliti agar berhubungan dengan pengembangan metastasi
dan prognosis lemah dalam kanker tertentu pada manusia, termasuk karsinoma
payudara, karsinoma hepatoseluler, melanoma ganas, dan karsinoma lambung,
namun tingkat tanda nm23 gagal membalikkan hubungan potensi metastatic
dalam beberapa jenis neoplasma ganas pada manusia. Menariknya, saat
tingkatan tanda nm23 ditemukan tidak berhubungan terbalik dengan potensi
metastatik dalam adenokarsinoma kolorektal dan neuroblastoma pada manusia,
bentuk metastatic pada tumor respektif ini dilaporkan mengandung mutasi dalam
gen nm23, yang rupanya mengubah fungsi normal. Transfeksi murin nm23
cDNA ke dalam saluran sel karsinoma payudara pada manusia menghasilkan
keadaan atas pengurangan potensi metastatic yang signifikan dan juga
berhubungan dengan pengurangan reaksi sitokin yang diteliti dalam pengujian
kadar kolonisasi dan mortilitas.
Faktor pertumbuhan berperan penting dalam perkembangan neoplasia
ganas bertingkat. Hal ini menyangkut sejumlah onkogen untuk faktor
pertumbuhan peptide yang spesifik atau reseptor faktor pertumbuhan (lihat bab
13). Dalam tanda faktor pertumbuhan otokrin positif yang bertindak sebagai
faktor pertumbuhan yang merangsang pembagian sel yang bersintesis dan
menyembunyikannya, telah dinyatakan sebagai mekanisme untuk mitogenesis
prefensial sejumlah jenis preneoplastik/ kankel awal yang berbeda selama
pengembangan berbagai populasi sel neoplastik ganas dalam tumor primer dan
metastatic sepanjang progresi, dan pada saluran sel perubahan neoplastik
turunan. Misalnya, pada tanda TGF- yang telah diusulkan untuk terlibat melalui
mekanisme otokrin dalam perkembangan tumor epidermis dan kelenjar susu
bertingkat pada tikus, serta pada kati manusia dan tikus besar. Mekanisme
lainnya dimana sel kanker awal atau neoplastik ganas dapat meningkatkan
keuntungan pertumbuhan selektif yang berhubungan dengan kehilangan reaksi
pada faktor pertumbuhan parakrin negatif, dimana faktor pertumbuhan
bersintesis dan disembunyikan oleh salah satu jenis sel (contojnya fibroblast) dn
kemudian bertindak untuk menghalangi pembagian sel dalam jenis sel lainnya
(misalnya sel epithelial). Hal ini muncul menjadi kasus, contohnya, untuk
berbagai percobaan jenis sel karsinoma pada hewan dan manusia yang diteliti
untuk menunjukkan hilangnya reaksi pada pengaruh mitoinhibitori epithelial
dalam faktor perubahan pertumbuhan-1 (TGF-1) yang dihasilkan oleh sel
stromal epithelial. Sebagai tambahan, beberapa jenis sel epithelial neoplastik
ganas telah ditunjukkan untuk menghasilkan TGF-1 aktif (dan juga isoform
TGF- lainnya). Selanjutnya, bukti yang sudah diberikan untuk mengusulkan
bahwa selama pengembangan jenis sel karsinoma tertentu pada manusia yang
dicontohkan
dalam
subpopulasi
adenokarsinoma
usus
besar
manusia,
yang dapat bertindak lebih jauh sebagai motogen. HGF/SF telah ditunjukkan
untuk merangsang motilitas dan penyebaran berbagai jenis sel karsinoma in vitro
dan perangsang angiogenesis yang kuat, yang sudah dianggap penting untuk
pertumbuhan tumor dan metastasi. Reseptor membrane plasma tirosin kinase
untuk HGF/SF, ditandai dengan c-met proto-onkogen ,dan tanda c-met yang
memiliki potensi onkogenis telah diteliti dalam sejumlah jenis karsinoma
manusia termasuk yang ada dalam paru-paru tiroid, perut, usus besar, dan
pankreas.
Sejumlah mekanisme berbeda telah dikemukakan untuk melaporkan
kenaikan ketidakseimbangan genetic yang berhubungan dengan perkembangan
neoplasia ganas bertingkat. Hal ini termasuk penambahan pada aneuploid dan
perubahan kromosom lainnya, amplifikasi gen, hipometilasi gen, mutasi spontan
yang mugkin dihasilkan oleh spesies pembangkit reaksi oksigen secara endogen,
rekombinasi infidelitas dan stabititas telomere. Perkiraan hubungan antara
stabilitas telomere dan perkembangan tumor yang ditetapkan oleh Calvin Harley
dan rekan-rekannya merupakan hal yang menarik. Fungsi telomere untuk
menyeimbangkan penghentian kromosom alamiah dari faktor yang bergerak
pada termini DNA, sehingga melindunginya dari rekombinasi dan penurunan
illegal, karena telomere melawan gerakan DNA eksonukleasis dan ligasis.
Dalam sel somatic normal yang telah diungkapkan oleh Harley bahwa
kehilangan
telomere
pada
penghentian
kromosom
(yang
setiap
kali
kuman spesies hewan pengerat lainnya, seperti tikus besar) telah terbukti bernilai
dalam menillai potensi onkogenis dalam pengaktifan onkogen dan pe-nonaktifan
gen penekan tumor. Gen-gen tersebut kemudian ditargetkan pada jaringan
tertentu dengan memasangkan mereka dengan peningkat/pengembang (unsurunsur pengaturan) yang memelihara spesifitas jaringan. Sebagai contohnya
penggabungan peningkat/pengembang gen albumin ke dalam onkogen c-myc
akan menargetkan tandanya pada liver. Gen endogen juga dapat di nonaktifkan
dengan memasukkan mutasi pembatal ke dalam gen yang direkombinasikan
dengan sesuai dalam sel batang embrio tikus yang kemudian dimasukan kembali
ke dalam blastosoel embrio. Hasil simerik tikus merupakan heterozigot dengan
alel
pembatal,
namun
keturunan
setelahnya
dapat
dikawinkan
untuk
HEPATOKARSINOGENESIS
SEBAGAI
SEBUAH
PARADIGMA
UNTUK
Pada awal tahun 1970an, Carl Peraino dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa
hepatokarsinogenesis pada tikus merupakan proses bertingkat yang digolongkan oleh
tingkat operasional pemulai dan pengembang, dalam cara yang dapat disamakan dengan
yang pertama kali digambarkan untuk karsinogenesis bertingkat dalam kulit tikus.
Penemuan ini sangat penting karena memberikan bukti langsung percobaan yang
menunjukkan bahwa gangguan pengembangan kanker dalam tingkat tertentu bukanlah
hal yang aneh pada epidermis tikus. Sebagai hasilnya, sebuah dasar telah diberikan untuk
pengembangan sejumlah contoh hepatokarsinogenesis bertingkat baru pada hewan
pengerat, dan bersama dengan contoh pengembangan percobaan karsinogenesis sel
epithelial bertingkat pada hewan di berbagai organ fan jaringan, pada akhirnya membawa
pada banyak pengetahuan umum mengenai pengembangan kanker in vivo bertingkat
yang alamiah.
Gambar 5 mengulas sejumlah faktor penting yang akan dibahas karena berkaitn
dengan pengembangan karsinoma hepatoseluler bertingkat pada kedua percobaan hewan
dan manusia. Tujuannya di sini bukan untuk memberikan tinjauan yang komprihensif
pada hepatokarsinogenesis bertingkat, namun lebih kepada meringkas ciri-ciri yang
membuat paradigma bermanfaat baik memperkuat maupun memperluas konsep umum
pengembangan tumor bertingkat yang meliputi bagian terdahulu bab ini.
12.4
Selain
memiliki
etiologi
vital,
perkembangan
karsinoma
karsinoma
hepato
seluler
pada
manusia,
contohya
12.2.2
variasi
protokol
eksperimental
untuk
menginvestigasi
tahapan
promosi tumor lainnya termasuk steroid estrogenik, asam empedu tertentu (asam
deoksikolik), diklorodifeniltrikloroetan (DDT), bifenil terpoliklorinasi (PCB),
alfa saklorosikloheksan, hidroksitoluen terbutilasi (BHT), sejumlah proliferator
peroksisom (WY-14, 643; klofibrat), asam orotik, diet rendah kolin, klordekon
(kepone), atau 2,3,7,8-tetraklorodibenzo-p-dioksin (TCDD).
Laboratorium Pitot telah melaporkan perkembangan eksperimental model
inisiasi-promosi-progesi hepatokarsinogenesis pada tikus dimana inisiatornya
adalah DEN dengan dosis subkarsinogenik, promoternya adalah fenobarbital
secara kronis, dan progesornya adalah hidroksiurea atau ENU dosis tunggal.
Pola karakteristik inisisasi, promosi dan progresi pada tabel 3 telah divalidasi
dalam model hepatokarsinogenesis bertahap pada tikus yang dikembangkan oleh
protokol eksperimental pada gambar 6. Observasi Pitot dkk pada model ini
menunjukkan kemungkinan bahwa agen progresor dalam hepar tikus
meningkatkan instabilitas kariotipik pada hepatosit preneoplastik, menghasilkan
jumlah fokus hepatoseluler proliferatif dengan perubahan fenotip yang lebih
besar dan bersifat independen dari promoter, meningkatkan karsinoma
hepatoseluler secara signifikan saat diikuti oleh administrasi kronis agen
promoter dibandingkan tikus yang hanya menerima salah satu dari perlakuan
inisiasi atau promosi.
Terdapat gambaran perkembangan lesi proliferatip fokal dan noduler dari
hepatosit dengan perubahan fenotip, yang bersifat sekuensial, dimana gambaran
ini terlihat mendahului gambaran karsinoma hepatoseluler dengan hitungan
bulan. Lesi fokal yang muncul pada tahap awal proses hepatokarsinogenik telah
diklasifikasikan kedalam beberapa tipe berdasarkan karakteristik pewarnaan
sitoplasmik unik dalam segmen histologis yang diwarnai oleh hematoksilin dan
eosin. Gambar 7a menunjukkan fokul sel jernih yang terdiri dari hepatosit
hiperplastik dengan sitoplasma jernih karena pencucian likogen yang berjumlah
besar selama pemrosesan histologis. Sejumlah tipe fokus hepatoseluler
preneoplastik yang terlihat adalah termasuk fokus hepatosit dengan perubahan
fenotip serta kandungan glikogen yang banyak, dengan sitoplasma terwarnai
oleh eosin secara intensif dan memiliki ground-glass-appearance yang jernih
kegiatan yang terdeteksi atau hadir pada tingkat yang sangat rendah di biasa
hepatosit tikus addult (yaitu, positif ekspresi dari y-glutamil transpeptidase, ggt,
dan bolus isozymic dari glutathione s-transferase, gst-p), ekspresi dari novel anti
gens, serta berbagai lain mengubah karakteristik fungsional (yaitu, glikogen
berubah penyimpanan, refrakter terhadap akumulasi stainable besi, perubahan
dalam ekspresi hepatik kesenjangan junction protein), di sini, itu juga harus
menekankan bahwa fokus hepatocellular preneoplastic diduga muncul dalam
hati tikus selama hepatocarcinogenesis multistage telah ditemukan ditandai
dengan derajat yang berbeda. heterogenitas fenotip sehubungan dengan salah
satu atau lebih dari enzimatik spesifik, antigenik, dan perubahan fungsional yang
dapat dipamerkan. Sebagai contoh, sementara aktivitas GGT kuat selektif
ditunjukkan oleh histokimia di banyak fokus hepatocellular diinduksi di hati
tikus berbagai rejimen hepatocarcinogenic multistage, tidak terdeteksi di
basophilic tikus hepatoseluler fokus disebabkan oleh proliferators Peroksisom
hepatocarcinogenic. Selain itu, meskipun GTT telah ditemukan untuk menjadi
penanda histokimia sangat berguna untuk menentukan mayoritas fokus
hepatocellular muncul di hati tikus di sebagian kondisi heptocarcinogenesis
multistage, itu adalah penanda kurang efektif untuk menggambarkan lesi
preneoplastic diduga dalam hati mouse dan juga belum ditentukan untuk
memiliki
nilai
diagnostik
praktis
dalam
menilai
lesi
seperti
di
nyatanya memiliki defisiensi sitokrom P450 dan aktivitas oksidase lainnya. (Fase I
fungsi metabolisasi), namun menunjukkan kadar bentuk isozimik glutation-S-transferase.
Sejumlah besar hepatokarsinogen membutuhkan fase I, sehingga penurunan kadar
aktivitas fase I pada hepatosit preneoplastik sesuai dengan fenotip resisten. Aktivitas
tinggi GGT yang terlihat pada fokus dan nodul hepatoseluler terinduksi oleh berbagai
hepatokarsinogen, diasumsikan mampu melindungi sel-sel tersebut dari elektrofil reaktif
dengan cara meningkatkan kadar glutation intraseluler yang telah diukur dalam lesi-lesi
neoplastik. Hipotesis mekanisme lain untuk fenotip hepatosit teralterasi terkait fenotip
serta hepatokarsinogenesis terkait dengan perubahan permeabilitas membran plasma yang
menginhibisi pengambilan hepatokarsinogen kimiawi oleh hepatosit seperti 2-AAF oleh
hepatosit preneoplastik. Overekspresi P-glikoprotein (P-gp) yang terkode oleh famili gen
resisten multiobat, telah ditunjukkan dalam nodul hepatoseluler terinduksi karsinogen
pada karsinoma hepatoseluler hewan pengerat dan manusia. P-gp berfungsi sebagai
transporter membran plasma untuk mengeluarkan agen antineoplastik dari sitoplasma sel
kanker sehingga membuat sel-sel tersebut resisten terhadap kemoterapi kimiawi, terdapat
kemungkinan bahwa overekspresi P-gp pada nodul hepatoseluler an TGF-overekspresi
P-gp lebih relevan terhadap karsinoma hepatoseluler dibandingkan lesi prekursor awal.
12.6
FAKTOR PERTUMBUHAN
Faktor Pertumbuhan Transformasi- ditunjukkan memiliki faktor pertumbuhan
autokrin positif untuk hepatosit berproliferasi. Keterlibatan TGF- dalam perkembangan
karsinoma hepatoseluler didukung oleh beberapa observasi: (1) overekspresi TGF- pada
hewan coba maupun urin pasien dengan karsinoma hepatoseluler: (2) tingginya insidensi
perkembangan karsinoma hepatoseluler pada mencit transgenik dengan overekspresi
TGF-, (3) Perkembangan cepat neoplasma hepatoseluler pada mencit transgenik ganda
yang meng-overekspresikan c-myc dan TGF-: dan (5) kolaborasi hepatokarsinogen
genotoksik seperti DEN dan agen promoter tumor hepatik non-genotoksik seperti PB
dengan TGF- dalam mempercepat perkembangan tumor liver dan meningkatkan
insidensi karsinoma hepatoseluler dalam mencit jantan transgenik TGF-
IGF-II adalah polipeptida mitogenik yang dikembangkan secara reguler dan
diekspresikan pada hepar fetus dan nyaris tak terdeteksi dalam hepar pasien dewasa.
Namun ekspresi IGF-II yang sering tereaktivasi selama hepatokargenesis tikus, mencit
transgenik, pembawa virus hepatitis WoodChuck. Dalam model hepatokarsinogenesis
Woodchuck, IGF-II berkolaborasi untuk teroverekspresi secara bersamaan dengan gen Nmyc-2 dalam genom Woodchuck pada segmen histologis hepar dengan prekanker hewan
coba tersebut.
TGF-1 adalah inhibitor polipeptida poten dari proliferasi hepatosit dan pada
hepar yang beregenerasi mungkin berfungsi dominan sebagai faktor pertumbuhan hepar
parakrin negatif. Transkrip mRNA TGF-1 dan kadar polipeptidanya telah dilaporkan
mengalami kenaikan pada sejumlah karsinoma hepatoseluler manusia, dan TGF-1 dapat
terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimiawi. Pasien dengan karsinoma hepatoseluler
ditemukan mengalami kenaikan kadar TGF-1 plasma. Batas sel epitelial hepar tikus
yang tertransformasikan secara neoplastik telah menunjukkan overekspresi TGF-1.
Bagaimanapun juga, telah ada sejumlah bukti yang meningkat tentang hipotesis bahwa
akuisisi properti tumorigenik oleh hepatosit, juga batasan sel epitelial hepar tikus
tertransformasi, umumnya disertai resistensi terhadap efek antiproliferatif TGF-1.
Faktor Pertumbuhan Hepatosit/Faktor Sebar adalah stimulator polipeptida poten
dari proliferasi hepatosit dan telah dicanangkan bersamaan dengan TGF- untuk menjadi
efektor parakrin positif mitogenesis hepatosit in vivo menunjukkan pH atau selama
sejumlah variasi cidera hepatik dengan kehilangan sel parenkim. Secara berlawanan,
HGF/SF menginhibisi pertumbuhan batasan sel karsinoma. Overekspresi C-met (Reeptor
HGF/SF) telah dideteksi dalam sejumlah karsinoma hepatoseluler pada manusia, meski
fungsi biologisnya belum diketahui secara pasti.
Faktor pertumbuhan berperan penting dalam kemampuan mempengaruhi
proliferasi hepatosit prekankerl maupun malignansi, dan juga berperan dalam tahapantahapan yang berbeda dalam proses hepatokarsinogenesis dengan aksi untuk mengubah
diferensiasi hepatoseluler, stimulasi dan modulasi vaskularisasi tumor primer, dan
mungkin meregulasi sifat invasif dan metastasis.
12.6.1
Protoonkogen
Terdapat variasi spesies dengan pola spesifik protoonkogen seluler yang
bermutasi atau teroverekspresi selama hepatokarsinogenesis dalam studi
eksperimen. Contoh : aktivasi mutasional gen famili ras, terutama c-H-ras, telah
terdeteksi secara dominan dalam lesi hepatoseluler prekanker dan kanker. Mutasi
titik pada awal hepatokarsinogenesis umumnya tak adekuat untuk menginduksi
fenotip malignan, menunjukkan pola yang berbeda antara mencit terinduksi
kronis dengan tikus yang mengalami tumor hepar secara spontan, namun tak
selalu bahkan jarang terdeteksi pada setiap kasus karsinoma hepatoseluler.
Peningkatan ekspresi gen famili myc menunjukkan frekuensi bervariasi
dalam hepatokarsinogenesis tahap awal maupun lanjut pada hewan coba
eksperimental. Amplifikasi c-myc ditemukan pada sejumlah kecil karsinoma
hepatoseluler pada manusia. Ko-ekspresi c-myc dan TGF- meningkatkan
perkembangan karsinoma hepatoseluler dalam model mencit transgenik ganda
dan overekspresi c-myc dan TGF- pada sel epitelial hepar tikus yang
ditransformasi secara kimiawi telah terbukti berkorelasi dengan tingginya kadar
tumorigenisitas. Salah satu temuan menarik dalam studi tersebut adalah aktivasi
gen N-myc-2 pada lesi hepatoseluler preneoplastik dan neoplastik dari
woodchuck yang diinfeksi secara eksperimental dengan virus hepatitis
woodchuck. Namun aktivitas N-myc belum diobservasi dalam karsinoma
hepatoseluler pada manusia terkait dengan HBV kronis.
Variabilitas spesies dalam frekuensi inaktivasi mutasional gen supresor
tumor spesifik selama hepatokarsinogenesis bertahap juga telah ditemukan
antara hewan coba eksperimental dan manusia. LOH pada lokus di kromosom
1p, 4q, 5q, 8p, 8q, 10q, 11p, 13q (Situs gen Rb), 16q, 17p (Situs gen p53), dan
22q
telah
dilaporkan
untuk
karsinoma
hepatoseluler
pada
manusia,
terbukti konsisten dengan tipe kerusakan DNA yang diproduksi oleh paparan
aflatoksin dosis tinggi. Namun, karsinoma hepatoseluler dari regio dengan kadar
B1 yang rendah, menunjukkan frekuensi mutasi p53 G ke T kodon 249 yang
lebih rendah. Sejumlah besar pasien karsinoma hepatiseluler yang menampilkan
mutasi p53 G ke T pada kodon 249 secara selektif, memiliki riwayat infeksi
HBV. Mutasi kodon p53 dalam karsinoma hepatoseluler dalam area terpapar
aflatoksin dosis rendah telah dilaporkan memiliki prevalensi lebih tinggi pada
tumor yang berdiferensiasi rendah, mensugestikan bahwa progresi tumor dalam
karsinoma hepatoseluler mungkin terkait dengan inaktivasi p53.
Meski ada data yang tak bersesuaian, secara umum mutasi titik p53 tak
terdeteksi dalam karsinoma hepatoseluler mencit terinduksi sejumlah agen
hepatokarsinogen kimiawi, baik pada tikus, tupai, atau marmut tanah. Sejumlah
penelitian lain menemukan bahwa mutasi p53 atau RB bukan merupakan
karakteristik hepatokarsinogenesis.
14.6.2
hewan
pengerat
model
hepatokarsinogenesis
telah
hepatokarsinogenesis,
salah
satunya
terlihat
dari
perkembangan
model
hewan
coba,
terdapat
akses
untuk
alterasi
genetik
dan
epigenetik
terkait
tahap
karsinogenesis pada hewan coba dan juga manusia, sangat penting bukan hanya
dari determinasi mekanisme potensial transformasi neoplastik bertahap, namun
juga sasaran untuk pengembangan strategi terapeutik dan prognostik yang
rasional seperti blokade kaskade faktor pertumbuhan, inhibisi angiogenesis,
restorasi fungsi gen supresor tumor, mempengaruhi diferensiasi terminal pada
tahap spesifik perkembangan malignansi.
Lebih jauh lagi, identifikasi titik-titik kunci mutasi spesifik dalam
protoonkogen atau gen supresor tumor tertentu terkait cidera karsinogenik
semisal transversi G ke T p53 pada kodon 249 individu yang terinfeksi HBV
pada wilayah dengan paparan aflatoksin B1 dosis tinggi, mendukung nilai
praktis epidemiologi molekuler dalam memprediksi resiko kanker.