Anda di halaman 1dari 52

BAB 12

MULTISTAGE KARSINOGENESIS
Karsinogenesis adalah proses bertingkat yang akhirnya menuju pada perkembangan
neoplasia. Neoplasia (neo, baru; pertumbuhan plasia), karena kerumitannya yang sudah melekat,
sifat dasarnya yang berkembang, dan berbagai sel yang meluas serta susunan perilaku
biologisnya, sulit untuk menjelaskan dan meringkas istilahnya secara tepat. Dua patologis
terkenal di abad ini, Sir Rupert A. Willis dan James Ewing, masing- masing telah memberikan
definisi yang jelas mengenai neoplasia yang masih sering disebut- sebut, dan bersama-sama
menyampaikan pandangan klasik mengenai sebutan neoplastik. Willy menerangkan sebuah
neoplasma ke dalam sebuah massa jaringan yang tidak normal, pertumbuhan yang berleihan dan
tidak terkoordinasi dengan jaringan normal tersebut bertahan dengan cara yang berlebihan
setelah penghentian stimulan yang menimbulkan perubahan. Sedangkan sebuah versi yang
sedikit diubah dalam penjelasan Ewing menyatakan bahwa sebuah neoplasma adalah
pertumbuhan otonomi jaringan baru. Istilah tumor merupakan sebuah pembengkakkan yang
sekarang umumnya digunakan sebagai sinonim dari neoplasma, sementara kanker adalah istilah
umum untuk semua neoplasma ganas.
Michael Sporn dari National Cancer Institute meragukan istilah klasik sebagai pengabaian
dimensi waktu yang penting dalam perkembangan penyakit neoplastik yang berbahaya. Dalam
konteks ini, dia sudah membuktikan secara nyata, kanker seharusnya dianggap sebagai sebuah
proses penyakit (karsinogenesis) daripada sebutan penyakit.
Proses ini, sebaliknya, menggambarkan pengaturan yang salah pada fungsi gen yang
membawa sebagian besar kasus perluasan klonal dalam perubahan sel secara spesifik dan
heterogenitas klonal keturunan mereka merupakan bukti akan tampilan populasi sel baru yang
menunjukkan perbedaan kadar sel aberrupt dan pengaturan pertumbuhan. Pandangan ini menjadi
pertimbangkan dalam kenyataan bahwa penjelasan klasik yang berarti sebuah massa jaringan
yang tidak normal terlalu terbatas untuk kebutuhan klinis modern pada deteksi awal populasi sel
neoplastik. Selain itu, ini merupakan proses evolusioner dengan gangguan genetik dan epigenetik
yang menghasilkan subpopulasi klonal baru yang sudah memiliki daya tahan dalam penyerbuan
jaringan lokal dan akhirnya menyebar atau bermetastasi ke wilayah yang lebih jauh.

Karsinogenesis bertingkat pada multiselular organisme dapat melibatkan genotoksis


maupun mekanisme non genotoksis yang berhubungan dengan faktor-faktor beragam etiologis
yang ditetapkan, termasuk bahan kimia, fisik, alat-alat biologis, dan juga sebab-sebab yang tidak
dijelaskan yang mendasari perkembangan langsung neoplastik. Selanjutnya, konsep neoplasia
ganas yang dimulai oleh sebuah proses yang melibatkan lebih dari satu tingkatan yang berlainan
bukanlah sebuah hal baru. Pada kenyataannya, sudah lebih dari 50 tahun sejak Peyton Rous
menggunakan istilah initiation dan promotion yang mengacu pada tingkatan karsinogenesis
epidermal yang spesifik pada kelinci, dan beberapa waktu yang sama telah berlalu sejak Issac
Berenblum yang diikuti J.C. Motram, kemudian Berenblum dan Phillipe Shubik mempelopori
contoh 2 tingkatan karsinogenesis kulit pada kulit tikus. Sebagai tambahan, sudah hampir 50
tahun sejak Leslie Foulds menyamaratakan konsep perkembangan tumornya dan menerangkan
asas-asas yang pentingnya. Armitage dan Doll pada tahun 1954 juga lebih dulu mengemukakan
teori tingkatan yang sering disebutkan mengenai karsinogenesis bertingkat pada manusia
berdasarkan ilmu epidemiologis mereka dalam pembagian usia untuk angka timbulnya penyakit
kanker umum manusia di usia tertentu. Selain itu, konsep molukar modern dari karsinogenesis
bertingkat, yang menunjukkan bahwa perkembangan dari banyak neoplasma ganas merupakan
hasil pengumpulan perubahan genetik yang banyak yang mengakibatkan pergerakkan protoontogenis dan/ atau tidak bergeraknya gen pembunuh tumor dengan kerusakan pengendalian
pertumbuhan sel dan perbedaan sambungan, dapat ditemukan dalam prediksi yang dibuat oleh
Theodore Boveri pada tahun 1914.
Dalam bab ini, kita akan membahas ciri-ciri yang menonjol pada karsinogenesis bertingkat,
dengan memperhatikan tingkatan khusus yang jelas dalam istilah sifat umum dan sel yang
berhubungan serta ciri-ciri molekul mereka. Juga akan ada titik tertentu pada karsinogenesis
bertingkat kulit tikus dan hati tikus, karena mereka mewakili contoh percobaan ilmu yang paling
tua dan paling luas dalam perkembangan neoplasia ganas bertingkat dan memberikan kerangka
konsep yang penting untuk meneliti proses ini.
Bangimanapun juga, sebelum memulai pembahasan kita mengenai aspek fungsional dan
operasional pada karsinogenesis bertingkat, akan sangat berguna untuk lebih dulu memberikan
beberapa dasar umum patologi pada neoplasma dan pendahuluan jelas yang berkaitan.

12.1

CIRI-CIRI PATOBIOLOGIS DAN PENGELOMPOKKAN NEOPLASMA


Ketika mempertimbangkan pengelompokkan neoplasma, harus diingat bahwa
dalam organisme multiselular hampir semua jenis sel normal dalam tubuh memiliki
bagian berlawanan pada sel neoplastiknya dan bahwa neoplasma dapat muncul di seluruh
baguan tubuh. Di samping itu, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, neoplasma
dapat dibagi ke dalam bentuk jinak dan ganas. Neoplasma yang jinak adalah yang
menunjukkan pertumbuhan lambat dan terbatas yang biasanya tetap membatasi dan
jarang mengakibatkan kematian organisme. Sebaliknya, neoplasma ganas adalah yang
akan menyerang sekeliling jaringan dan pembuluh normal dan biasanya dapat
bermetastasi. Jika lambat ditangani, neoplasma yang berbahaya umumnya memiliki
kemungkinan besar membunuh organisme.
12.1.1

Pengantar Nomenklatur pada Neoplasia


Beberapa aturan dan penjelasan sederhana serta pengelompokkan neoplasma
adalah sebagai berikut :
1. Akhiran oma ketika mengikuti awalan yang menunjuk jaringan khusus
umumnya merupakan neoplasma yang tidak berbahaya pada jaringan
tertentu. Contohnya, neoplasma tidak berbahaya pada jaringan fibrin dewasa
dikenal dengan fibroma; jaringan adiposa, lipoma, kerangka otot,
rhabdomyoma; otot halus, leiomyoma; pada tulang rawan, chondroma; pada
tulang, osteoma; pada pembuluh darah, hemangioma; dst. Papilloma adalah
sel neoplasma epithelial jinak yang terlihat seperti kutil, tumbuh keluar dari
permukaan, dan tersusun dari sel neoplastik epithelial bertingkat yang
melapisi tonjolan seperti jari pada jaringan penghubung stroma. Papilloma
pada kulit, laring dan esophagus contohnya, terdiri dari bagian tengah
jaringan penghubung yang diselimuti neoplastik squamous epithelium
bertingkat yang tidak berbahaya, sedangkan papilloma pada kantung kemih
diliputi neoplastik transisional epithelium jinak yang ditutupi bagian tengah
fibrovaskuler. Polip adalah pertumbuhan radang yang menonjol, hiperplastik,
hamartomatus, atau jaringan neoplastik dari membran selaput lendir yang
hanya bisa dilihat secara makroskopik, dimana di dalam organ seperti usus

besar dapat diteliti sebagai proyeksi ke dalam satuan cahaya. Dalam usus
besar manusia, beberapa jenis polip, seperti polip adenomatus, merupakan
neoplasma

yang memiliki resiko tinggi menjadi kanker. Jenis lainnya,

seperti polip hiperplastik kecil, radang polip dan polip hamartomatus,


bukanlah neoplasma bukan pula halnya tanda jelas pada pertumbuhan kanker
dalam usus besar. Dengan menghormati neoplasia, istilah polip dipakai untuk
tumor jinak.
2. Untuk menunjukkan sel neoplasma epithelial yang berbahaya, asal kata
carcino- (dari bahasa yunani karkinos, yang berarti kepiting) digabungkan
dengan akhiran oma hingga menjadi carcinoma. Untuk neoplasma ganas
pada jaringan mesenchymal, asal kata sarc (dari bahasa yunani sarkos yang
berarti daging) digabungkan dengan akhiran oma menjadi sarcoma. Untuk
kasus neoplasma yang jinak, komponen sel parensimal dari neoplasma ganas
menentukan kelompoknya. Dengan demikian, neoplasma epithelial ganas
pada epidermis merupakan karsinoma sel squamus, atau karsinoma
epidermal; pada mukosal epithelium kantung kemih, karsinoma sel
transisional; pada hepatosit, karsinoma hepatoseluler, dst., sedangkan
neoplasma ganas pada jaringan penghubung benang dewasa adalah
fibrosarcoma; pada otot halus,leimyosarcoma; pada pembuluh darah, dan
angiosarcoma.
3. Awalan adeno- menunjukkan hubungan kelenjar atau adanya pola kelenjar.
Awalan ini digunakan sendiri oleh neoplasma pada sumber epithelial, bentuk
tumor jinak menjadi adenoma dan bagian neoplastik ganas menjadi
adenocarcinoma. Sumber utama lagi-lagi menggambarkan tata nama tumortumor ini (misal, thyroid adenoma, pituitary adenoma, colonic adenoma dan
adenocarcinoma, hepatocellular adenoma).
4. Berbagai gambaran istilah, seperti kista, papillary (menyerupai papilla),
selaput lendir, medullary (lunak), scirrhous (keras), follicular, exophytic
(tumbuh ke luar), dan polypoid (menyerupai polip), telah digunakan ketika
mengacu pada jenis-jenis histologis dari neoplasma epithelial. Beberapa
contoh termasuk cystadenomas dan adenocarcinomas pada indung telur dan
pankreas; tiroid papilary, medullary, dan karsinoma follicular; dan

karsinomas mucinous dan scirrhous pada payudara. Istilah polypoid biasa


digunakan dalam konteks neoplasma ganas menjadi teratocarcinoma.
Perbedaan dalam teratomas dan teratocarcinomas muncul sepanjang saluran
kuman ectodermal, endodermal, dan mesodermal, sehingga teratokarsinoma,
contohnya, ditemukan untuk menahan berbagai jaringan somatik yang
tersusun sembarangan (misal, tulang, tulang rawan, gigi, jenis jaringan
epithelial, otot, dan/ atau jaringan neuronal) yang dicampur dengan sel
embryonal carcinoma. Menariknya, perbedaan jaringan dewasa yang
terbentuk dalam teratokarsinoma telah ditunjukkan menjadi jinak, dengan sel
embryonal carcinoma yang menggambarkan komponen sel ganas pada tumor
ini. Neoplasma campuran, seperti tumor kelenjar ludah mengacu pada halhal yang terdiri atas dua atau lebih jaringan neoplatik yang berbeda,
sedangkan carcinosarcoma merupakan neoplasma yang sangat ganas yang
memiliki tampilan antar carcinoma dan sarcoma. Tumor carcinoid, di lain
sisi, adalah yang tersusun dari sel neuroendocrine dengan wilayah sumber,
lebar, penyerangan lokal dan luasnya tumor.
5. mmmmm
6. Terdapat sejumlah perkecualian pada aturan umum nomenklatur yang
dideskripsikan di atas untuk membedakan antara neoplasma benigna dan
maligna, termasuk penggunaan umum dari istilah melanoma, hepatoma
(karsinoma hepatoseluler), limfoma, seminoma, dam myeloma multipel,
yang semuanya bersifat ganas. Mesotelioma dapat berbentuk jinak atau
ganas, dan baiknya diistilahkan sebagai maligna saat memperlihatkan fiturfitur kanker.Glioma otak mungkin berdiferensiasi baik dan memiliki fitur
histologis neoplasma jinak atau malignan (glioblastoma multiforme).
Pengecualian lain dengan akhiran -oma, namun bukan neoplasma adalah
choristoma yang merupakan sisa jaringan anomali, hamartoma yang
merupakan pertumbuhan berlebihan fokal ireguler di suatu organ, dan
granuloma yang merupakan lesi non-neoplastik yang umumnya terdiri dari
sel raksasa dan terjadi pada beberapa bentuk inflamasi sepeeti tuberkulosis,
silikosis, atau sarkoidosis.

7. Leukemia adalah neoplasma malignan sistem limfoid dan hematopoietik,


terkarakterisadi oleh infiltrasi progresif dan penggantian sistem organ
tersebut oleh sel myelogenus dan limfositik yang bersirkulasi bebas dalam
jumlah besar di darah tepi.
8. Sejumlah neoplasma dinamakan dengan nama penemunya seperti Sarkoma
Ewing,
12.1.2

Benigna dan Maligna


Tabel 1 membandingkan neoplasma benigna dan maligna berdasarkan
karakteristik khas. Istilah anaplasia biasanya teraplikasikan kepada neoplasma
malignan dan digunakan untuk mendeskripsikan dua tingkat disorganisasi:
sitologis (tampilan nukleus dan sitoplasma pada keganasan seperti ukuran inti,
rasio n/c, nuklei hiperkromatik, basofilia sitoplasmik, mitosis, mitosis atipikal,
pleomorfisme seluler, atau sel raksasa) dan posisional (arsitektural antar sel
teralterasi seperti gambaran trabekula tebal multisel terpisahkan oleh ruang
vaskuler ireguler pada hepatosit neoplastik, berlawanan dengan gambaran
lempeng tebal dibatasi ruang darah sinusoidal pada hepatosit normal).
Tabel 1. Perbandingan Karakter Patologik dari Neoplasma Benigna dan Maligna
Neoplasma Benigna

Neoplasma Maligna

Umumnya berkapsul jaringan ikat fibrosa


Berdiferensiasi baik
Pertumbuhan lambat
Figur mitotik sedikit
Tak invasif

Umumnya tak berkapsul


Anaplasia: derajat hilangnya diferensiasi
Umumnya tumbuh cepat
Figur mitotik banyak, ada bentuk abnormal
Secara karakteristik invasif ke jaringan dan

Tak bermetastasis
Umumnya daya rusak kecil, jarang membunuh

vaskulatur
Umumnya bermetastasis
Daya rusak besar, daya bunuh tinggi

inang

Istilah diferensiasi dalam neoplasma merujuk pada derajat kemiripan sel


neoplasma dengan sel normal daricsegi morfologi dan fungsi. Neoplasma dapat
menunjukkan derajat diferensiasi dari baik pada benigna hingga maligna yang
umumnya tak terdiferensiadi. Anaplasia adalah kurangnya diferensiasi yang

merupakan ciri neoplasma malignan, dan derajatnya umumnya sesuai dengan


progresivitas.
Neoplasma benigna tidak fatal dan umumnya berespon baik terhadap
prosedur kuratif karena sifatnya yang terlokalisir. Beberapa perkecualian
misalnya

adenoma

subkapsuler

yang

dapat

menyebabkan

perdarahan

intraperitoneal, dan myxoma (tumor mesenkim jinak) jantung yang fatal karena
lokasinya.
Salah satu ciri malignansi yang sangat berbeda dari neoplasma jinak
adalah kemampuan metastasis, mengeksklusi beberapa jenis kanker yang sangat
destruktif dan invasif namun jarang bermetastasis semisal karsinoma sel basal
dan glioma malignan otak. Karsinoma sel basal juga termasuk dapat dieradikasi
sementara glioma otak umumnya memiliki prognosis buruk karena lokasinya.
Dua neoplasma trofoblastik jinak derivat plasenta, mola invasif dan
tumor trofoblastik situs plasental, keduanya memperlihatkan gambaran invasi
lokal dinding uteri. Vili hidropik mola hidatidiform mungkin dapat terembolisasi
hingga jauh (paru, otak) namun tak menimbulkan metastasis. Tumor situs
plasental jarang bermetastasis. Metastasis adalah aspek kanker yang paling
mengancam nyawa.
12.1.3

Lesi preneoplastik dan prekanker


Lesi preneoplastik adalah prekursor neoplasma secara umum, sedangkan
prekursor malignansi dapat disebut prekanker atau premalignan. Secara tipikal,
lesi ini mengalami alterasi fenotip sel yang jika diabaikan akan memiliki
probabilitas yang lebih tinggi untuk berkembang menjadi neoplasma jinak atau
kanker.
Lesi preneoplastik dan prekanker telah didefinisikan paling sering terkait
dengan perkembangan bertahap neoplasma epitelial. Namun sejumlah lesi juga
terklasifikasikan sebagai prekursor neoplasma non-epitelial. Contohnya adalah
keadaan preleukemik terkait perkembangan leukemia myelogenus, dan nevi
displastik yang merupakan prekursor preneoplastik melanoma maligna.

Namun lesi prekursor untuk sarkoma jaringan lunak lebih sulit dikenali,
dan sarkoma umumnya menunjukkan karakteristik malignansi untuk tampak
tanpa bukti progresi histologis dari benigna ke malignan.
Tabel 2. Contoh Lesi Epitel Premaligna dari penelitian terhadap hewan dan manusia
Spesies

Jaringan/Organ

Lesi Premalignan

Neoplasma maligna terkait

Mencit
Tikus
Tikus
Mencit
Tikus

Kulit
Hepar
Colon
Kelenjar Mammae
Epitel

Papiloma Skuamosa Persisten


Nodul Hepatosit Persisten
Displasia mukosa, CA in situ
Nodul Alveolar Hiperplastik
Metaplasia Sel Skuamosa

Karsinoma Sel Skuamosa


Karsinoma hepatoseluler
Adenokarsinoma
Adenokarsinoma
Karsinoma Sel Skuamosa

Mencit
Tikus
Manusia
Manusia

Trakeobronkial
Pulmo
Vesica
Kulit
Epitel

Adenoma
Papiloma Urotelial
Keratosis Senilis
Displasia mukosa, CA in situ

Adenokarsinoma
Karsinoma Sel Transisional
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma, Adenokarsinoma

Manusia
Manusia
Manusia
Manusia
Manusia

Hepar
Colon/Rectum
Mukosa Oral
Epitel Bronkial
Esofagus

Hiperplasia adenomatus
Polip Adenomatus
Leukoplakia dgn displasia
Ca in situ
Mukosa Barrett dgn

Karsinoma hepatoseluler
Adenokarsinoma
Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma Sel Skuamosa
Adenokarisnoma

displasia

Tabel 2 mendaftarkan sejumlah lesi prekursor untuk kanker epitelial


beragam yang dibentuk pada model eksperimental karsinogenesis bertahap. Pola
umum perubahan seluler terkait perkembanfan variasi kanker epitelial diwakili
olrh displasia/karsinoma in situ.
Displasia adalah proliferasi seluler atipikal bercirikan alterasi ukuran,
bentuk, urutan arsitektural sel. Sel displastik mungkin mengalami regrest dengan
disingkirannya stimulus pemicu. Namun displasia juga dapat menjadi lesi
prekursor untuk karsinoma in situ, yaitu lesi fokal berfitur neoplasma secara

histologis, namun terlokalisir pada epitelium tanpa berinvasi melalui membran


basal.
Sejumlah neoplasma jinak seperti adenoma sessil bervili (satu buah
bentuk polip adenomatus pada colon manusia), menunjukkan resiko tinggi untuk
berprogreai menjadi adenokarsinoma, sementara tipe-tipe neoplasma jinak lain
seperti fibroadenoma mammae, jarang menjadi ganas.
Pada

model

eksperimental

karsinogenesis

bertahap,

telah

didemonstrasikan bahwa mayoritas lesi preneoplastik multipel atau neoplasma


jinak yang diinduksi oleh regimen karsinogenik spesifik, tidak menunjukkan
neoplasia malignan selama masa hidup hewan coba tersebut, meskipun lesi
premalignan persisten memiliki probanilitas lebih tinggi untuk bertransformasi
menjadi neoplasia malignan. Selain itu, resiko berkembangnya neoplasia
malignan terkait fenotip lesi premalignan spesifik mengalami amplifikasicsaat
lesi prekursor berjumlah banyak.
Berdasarkan penelitian yang dibuat pada penelitian hewan dan manusia,
beberapa keadaan umum dapat diperoleh dengan alat-alat yang membedakan
luka yang agak berbahaya dengan yang benar-benar ganas. Seperti tanda luka
yang biasa muncul lebih dulu pada proses karsinogenesis. Kemudian, seperti
yang disinggung di atas, mereka biasanya bertingkat, sedangkan neoplasma yang
sangat ganas biasanya ditemukan sebagai luka terpencil. Neoplasma ganas
biasanya luas, sementara luka yang agak berbahaya umumnya berukuran lebih
kecil. Luka agak berbahaya kemungkinan monoklonal atau poliklonal, sementara
mayoritas kebanyakan neoplasma ganas adalah monoklonal. Selain itu, luka
agak berbahaya biasanya digolongkan oleh karyotip yang tidak stabil, sementara
neoplasma ganas biasanya menunjukkan peningkatan ketidakstabilan karyotip
yang digambarkan dengan populasi sel aneuploid. Lesi premalignan sering
memiliki potensi yang lebih besar untuk regresi,yang khusunya ditunjukkan
dalam contoh penelitian karsinogenesis bertingkat pada hewan, namun biasanya
tidak ..?.. untuk kebanyakan luka awal yang dialami manusia. Dan juga, tidak
seperti halnya neoplasma ganas, luka agak berbahaya biasanya menunjukkan
pertumbuhan yang lebih lambat dan tidak..?.. . Batasan yang penting,

bagaimanapun juga, yang dapat dengan tegas menjelaskan luka awal dengan
resiko pertumbuhan yang paling besar ke dalam neoplasma ganas adalah
kurangnya ?... yang spesifik yang dapat dengan jelas membedakan
luka ..?..yang mungkin berkembang secara paralel, tapi ...?.. itu menjadi titik
akhir luka atau memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berkurang atau
hilang yang diikuti penghentian karsinogenesis atau rangsangan perkembangan
tumor.
12.1.4

Perkembangan Latensi dalam pengembangan Neoplastik


Periode latency yang berkaitan dengan perkembangan neoplasia ganas
adalah ciri proses karsinogenesis yang tersusun baik yang mengacu pada periode
waktu antara peristiwa karsinogenis awal dan penampilan kanker yang
sesungguhnya. Fenomena ini sudah ditunjukkan dalam contoh penelitian
karsinogenesis bertingkat pada hewan, dan biasanya dapat dikatakan bahwa
perkembangan kanker pada hewan dan manusia adalah sebuah proses yang
panjang. Bagaimana pun juga, waktu sebenarnya untuk perkembangan tumor
yang diikuti pembukaan awal pada perantara karsinogenesis akan mengubah
sifat perantara itu sendiri, dengan dosis waktu dan ciri khusus target sel itu
sendiri. Pengecualian yang memungkinkan untuk proses panjang yang biasanya
ini adalah kekurangan nyata latensi yang berhubungan dengan perubahan
neoplastik ganas dari sel perkembangan kuman oleh retrovirus yang
mengandung perubahan onkogen yang kuat dan juga waktu yang lumayan
pendek untuk perkembangan tumor yang diikuti oleh infeksi in vivo dengan
retrovirus yang mengandung onkogen. Meskipun demikian, perkembangan
kanker pada jaringan epithelial manusia dan hewan, terutama, telah digolongkan
oleh tampilan pertama luka awal dalam membedakan kemungkinan yang
berbahaya, beberapa mungkin saja perlahan berkembang menjadi neoplasia
ganas.

Perkembangan

karsinoma

yang

menyerang

serviks

mencontohkan ciri-ciri dan penjelasan jelas seperti di bawah ini.


12.1.4.1 Latensi Pada Kanker Serviks Manusia

manusia

Bagian luar dari serviks manusia normal, ectoserviks, yang


bersebelahan dengan vagina, dilapisi dengan squamous epithelium non
keratinasi bertingkat (sel berlapis) (gambar 1A), sementara bagian dalam,
endoserviks, yang bersebelahan dengan uterus dilapisi columnar epithelium
sederhana (sel satu lapis). Dalam neonatus, bagian dimana squamous epithelium
bawaan berlapis pada exoservix bertemu dengan columnar epithelium sederhana
pada endoservix, disebut original squamocolumnar junction. Bagaimanapun
juga, selama periode pubertas awal dan reproduksi, ada sebuah eversi atau
pergerakan ke luar pada columnar epithelium ke dalam bagian permukaan
serviks dan selama waktu ini, epithelium menjalani perubahan metaplastik
menjadi squamous epithelium bertingkat.
Squamous metaplasia ini, sebaliknya, membawa pada bentuk
persimpangan squamocolumnar baru, yang biasa diistilahkan squamocolumnar
junction funsional atau baru. Wilayah di antara squamocolumnar junction baru
pada neonatus dan squamocolumnar junction baru pubertas awal diistilahkan
menjadi zona transformasi. Pada zona transformasi inilah, dan pada wilayah
tertentu squamocolumnar junction baru, bahwa kebanyakan sel squamous
carcinoma pada serviks dan luka awalnya bermula. Selanjutnya, ada sebuah
bukti kuat biologis, molekular, dan epidemiologis berlebihan yang mendorong
jenis papillomavirus manusia yang beresiko tinggi yang menjadi penyebab
penting pada perkembangan kanker tipe ini (lihat bab 14).
Perkembangan penyerangan squamous carcinoma pada serviks
menunjukkan rangkaian kesatuan ketidaknormalan sitologis, yang diawali
dengan tampilan yang sangat ringan ke dalam perubahan displatik ringan
(gambar 1B), yang kemudian dapat berkembang menjadi dysplasia berat dan
sesudah itu menjadi carcinoma in situ (gambar 1C), yang kemudian diikuti oleh
tampilan jelas penyerangan karsinoma (gambar 1D). Displasia ringan pada
serviks juga mengacu pada tahap 1 cervical intraepithelial neoplasia (CIN 1)
yang berhubungan dengan sel atypia (misal, reaktor dan sel pleomorfisme
kenaikan perbandingan reaktor- ke- sitoplasmik, reaktor hiperkromasia,
kehilangan polaritas, kenaikan jumlah mitosis) ketika dibatasi pada lapisan sel

squamous epithelial tingkat tiga yang lebih rendah. Pengurangan dapat muncul
pada CIN1 atau mungkin juga dapat berkembang pada bentuk dysplasia yang
lebih berat. Dysplasia sedang (CIN2) pada serviks melibatkan sepertiga atau dua
pertiga ketebalan lapisan epithelial, sedangkan dysplasia berat dan carcinoma in
situ (keduanya dikelompokkan sebagai CIN3) melibatkan lebih dari dua pertiga
hingga penuh ketebalan lapisan sel epithelial bertingkat, begitupun selanjutnya.
Semakin tinggi tahap CIN semakin berkurang kemungkinan regresi, semakin
pendek waktu perkembangan carcinoma in situ yang memungkinkan, dan
semakin besar resiko perkembangan penyerangan kanker dengan adanya
carcinoma in situ yang menjadi penjelasan tanda kanker awal. Bagaimanapun
juga, harus diingat bahwa kecepatan perkembangan luka displastik tidaklah
sama, dengan semakin tingginya tahap dysplasia biasanya membutuhkan waktu
yang lebih sedikit untuk mengembangkan carcinoma in situ. CIN 1 dan 2 paling
sering menyerang wanita di usia 20-an, carcinoma in situ pada wanita di usia
pertengahan 30-an, dan penyerangan carcinoma biasanya setelah usia 40.
Dengan demikian, rata-rata, membutuhkan 10 tahun sebelum dysplasia
berkembang menjadi carcinoma in situ dan 10 tahun berikutnya

untuk

penyerangan carcinoma. Akan tetapi, harus disadari bahwa penilaian ini dapat
berubah karena berbagai faktor yang rumit sehingga tidak bijak untuk menunda
pengobatan awal.

12.2

KARSINOGENESIS SEBAGAI SEBUAH PROSES BERTINGKAT


Latency pada neoplasia dan pengakuan penjelasan tahap neoplastik awal dan
kanker awal dalam perkembangan neoplasma ganas di antara penelitian hewan dan
manusia berkaitan dengan kenytaan bahwa karsinogenesis merupakan proses bertingkat
yang dapat dibagi lagi baik secara operasional maupun mekanis ke dalam tingkatan yang
berlainan. Banyak pemahaman kita sekarang mengenai sifat karsinogenesis bertingkat
yang sudah diperoleh dari contoh penelitian karsinogenesis sel epithelial pada hewan

pengerat, yang mana perbedaan tingkatnya sudah dijelaskan. Contoh tikus pada
karsinogenesis epidermal bertingkat telah bertahun-tahun dijalani sebagai percobaan
bentuk dasar untuk menunjukkan tingkatan berbeda permulaan, kenaikan dan
perkembangan dalam pathogenesis kanker epithelial secara operasional, dan contoh ini
menyediakan rangka konsep untuk menjelaskan ciri-ciri penting proses karsinogenis
bertingkat secara umum. Di sini juga ditunjukkan bahwa ketika contoh tikus untuk
karsinogenesis epidermal bertingkat pertama kali dikembangkan pada tahun 1940an,
konsep karsinogenesis bertingkat sebagai fenomena umum tidak begitu dipahami.
Bagaimanapun juga, sejak awal tahun 1970an, karsinogenesis bertingkat sudah
ditunjukkan dalam berbagai contoh penelitian jaringan dan organ berbeda pada hewan
pengerat, termasuk liver, paru-paru, trakea; kelenjar susu, kantung kemih, prostat, tiroid,
forestomach, pankreas, dan usus besar.
12.2.1

Pola Umum Karsinogenesis Bertingkat pada Hewan Penelitian


Gambar 2 memberikan pola penelitian umum untuk menunjukkan
tingkatan

operasional

permulaan,

kenaikan,

dan

perkembangan

dalam

karsinogenesis epidermal bertingkat pada kulit tikus. Sebuah protokol penelitian


yang sama telah dilakukan pada hati tikus, yang akan dibahas kemudian. Selain
itu, sifat dasar dari pola penelitian sudah benar-benar dipakai untuk
menunjukkan tingkatan permulaan dan kenaikan in vivo dalam berbagai contoh
penelitian karsinogenesis bertingkat pada hewan. Sejumlah contoh in vitro pada
perubahan neoplastik bertingkat pun sudah dijelaskan.
Pada protokol kasik yang digambarkan pada gambar 2, pemulai biasanya
dirangsang oleh pembukaan tunggal pada sasaran jaringan, dalam hal ini
epidermis tikus, kepada karsinogen lengkap yang tepat, seperti 7,12 DMBA,
yang diatur dosis subkarsinogeis. Karsinogen lengkap adalah yang, ketika
diberikan dosis yang lebih tinggi secara langsung ataupun bertahap, memiliki
kapasitas untuk merangsang perubahan sel ganas dan kemudian biasanya
memiliki aktifitas inisiator, promoter dan progesor. Bagaimanapun juga,
kebanyakan karsinogen lengkap ketika digunakan pada dosis subkarsinogenis
hanya akan memasuki sel dan per se tidak akan mengembangkan neoplasma

dalam masa hidup hewan penelitian. Beberapa organ tubuh, seperti urethane,
telah dianjurkan agar mampu hanya memasuki sel epidermis tikus dan tidak
menguasai alat-alat karsinogen kulit yang lengkap, meskipun urethane
karsinogen lengkap ditunjukkan pada paru-paru dan hati tikus. Organ seperti itu
telah diistilahkan sebagai karsinogen tidak lengkap atau perantara pemulai murni
untuk epidermis tikus. Di samping itu, keberadaan perantara pemulai murni
membutuhkan bukti lebih jauh. Dan untuk seluruh tujuan penggunaan,
karsinogen lengkap yang digunakan pada dosis subkarsinogenis merupakan
tindakan tepat sebagai karsinogen tidak lengkap. Lebih lanjut lagi, pemulai
biasanya dihasilkan dari eksperimen dengan memilih organ-organ yang
mutagenik atau seperti halnya kebanyakan karsinogen kimiawi lengkap yang
digunakan untuk menghasilkan initiation, membutuhkan aktivasi metabolis pada
mutanik lanjutan.
Promotion umumnya dikerjakan oleh aplikasi yang diciptakan organ
khusus yang pada mereka sendiri bukanlah karsinogenis yang melekat dan juga
dalam beberapa kasus tidak mutagenik, namu itu juga dapat digunakan setelah
pengobatan awal yang mengakibatkan penyebaran terbalik rangsangan sel klon.
Pada kasus epidermis tikus, penelitian tumor yang paling sering dilakukan
hingga saat ini adalah 12-o-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA), yang juga
dikenal dengan phorbol 12-..?..-13-acetate, yang terpisah dari minyak kroton
(lihat bab 15). Pemakaian berulang TPA, yang bukan mutagenik, pada kulit tikus
yang diawali dengan dosis subkarsinogenik tunggal DBMA menghasilkan
perkembangan papilloma jinak bertingkat dan pada perkembangan squamous
dalam frekuensi yang lebih rendah sebagai sel karsinoma. Jika TPA diberikan
sebelum pemulai bersama DBMA, tidak ada tumor yang berkembang (e pada
gambar 2). Demikian juga, jika interval waktu di antara masing-masing aplikasi
pada organ pengembang tidak cukup meluas (f pada gambar 2), tidak ada
neoplasma yang akan berkembang,yang menggambarkan kenyataan bahwa
perkembangan tidak bertambah, namun dapat ditunjukkan menjadi berubah
secara operasional. Sebaliknya, initiation adalah langkah yang tidak dapat
berubah yang bisa bertahan?... sehingga jika stimulus pengembang TPA

terlambat bahkan hingga satu tahun atau lebih pada ketegangan tikus, seperti
yang digambarkan dalam (d gambar 2), papilloma bertingkat dan beberapa sel
squamous carcinoma tetap akan memberikan hasil.
Pada tahun 1981, Suresh Moolgavkar dan Alfred ..?.. mengajukan sebuah
protokol percobaan untuk karsinogenesis kulit bertingkat pada tikus tahun 1981,
Suresh Moolgavkar dan Alfred ..?.. mengajukan sebuah protokol percobaan
untuk karsinogenesis kulit bertingkat pada tikus dimana aplikasi perantara
pemulainya diikuti aplikasi berulang perantara pengembang ..?.. papilloma
dibentuk, dan oleh aplikasi lainnya sebagai inisiator. Hal ini diperkirakan bahwa
pembukaan kedua pada genotoksis inisiator ini harus menghasilkan lebih
banyak sel squamous carcinoma dibandingkan yang terihat pada tikus yang
mendapatkan pengobatan pemulai pertama yang diikuti oleh aplikasi dari satusatunya perantara perkembangan. Di tahun yang sama, Van Potter mengajukan
sendiri protokol percobaan yang sama pada hati tikus,dan juga menyatakan jika
luka hepatoselular kanker awal diubah ke dalam kanker dengan frekuensi tinggi,
peristiwa genetik irreversible kedua yang mengakibatkan pembukaan pada
perantara genotoksis yang tepat yang diatur dengan mengikuti pengobatan
perkembangan akan dibutuhkan. Prediksi protokol initiator-promotor-initiator
yang baru saja dijelaskan kemudian dibuktikan dengan percobaan pada
epidermis tikus, seperti yang digambarkan dalam gambar 2, dan pada hati tikus,
yang mana akan dijelaskan lebih detil lagi setelah bab ini. Dalam kasus
epidermis tikus, peningkatan yang signifikan dari perubahan papilloma menjadi
sel squamous carcinoma terlihat dalam DMBA-initiated, TPA menganjurkan
tikus ketika tikus yang mengandung papilloma kemudian diobati dengan
berbagai perantara mutagenik, seperti N-methyl N-nitro-N-nitrosoguanidin
(MNNG), 4-nitroquinoline-N-oxide, atau ethylnitrosourea (ENU). Alat-alat
seperti ini, ketika bertindak pada perubahan sel kanker lanjutan menjadi sel
neoplastik ganas, telah diistilahkan sebagai progressor agents (juga mengacu
pada converting agents). Perantara lainnya yang bekerja sebagai progresor dalam
penelitian karsinogenesis epidermal bertingkat pada tikus sudah mencakup
radiasi ionisasi, dan juga campuran radikal bebas penghasil hydrogen peroxide

dan benzoyl peroxide. Contohnya perantara progresor prototip untuk hati tikus
yang akan diberikan nanti.
12.2.2

Ciri-Ciri Tahapan Initiation, Promotion, Progression pada Perkembangan


Neoplasia Malignan
Beberapa ciri-ciri biologis initiation, promotion dan progression pada
karsinogenesis telah dituliskan pada tabel 3 dan dijelaskan secara skematis
dalam gambar 3. Seperti yang telah disinggung di atas, tahapan insiasi,
disamping dapat menjadi peristiwa spontan, juga sering berhubungan dengan
pembukaan alat-alat kimiawi, fisik ataupun biologis (misal, viral) yang
menyebabkan perubahan permanen, irresible dan turun temurun di dalam target
sel sehingga memberikan sel tersebut keuntungan yang selektif pada
pertumbuhan klonal saat digunakan untuk lingkungan pengembangan, dan juga
meningkatkan potensi sel atau keturunannya untuk melewati perubahan
neoplastik ganas. Hal ini umumnya dianggap bahwa satu atau beberapa siklus
pembagian sel di dalam keberadaan perantara pemulai diperlukan untuk
memperbaiki peristiwa genetik yang berhubungan dengan initiation. Pada
umumnya juga disimpulkan bahwa initiation menunjukkan tidak adanya
permulaan yang menyakitkan atau tahap no effect dalam hubungan respon
dosis, yang menyatakan bahwa hanya perubahan ..?.. dalam susunan gen kritis
(misal, mutasi yang dihasilkan transisi dasar, transverse, penghilangan kecil, dll.)
yang dirangsang oleh tahap paling bawah (misal, level sitotoksis yang tidak
jelas) pada perantara pemulai diperlukan untuk menghasilkan initiation pada
target sel.
Pada umumnya, tidak mungkin mengenali sel inisiasi di dalam organ dan
jaringan

berbeda

yang

telah

diuji

hingga

kini.

Pengecualian

yang

memungkinkan, yang akan dibahas nanti, bisa jadi adalah hati tikus. Pada
peristiwa lain,kini biasa dianggap bahwa sel pemulai pada akhirnya tidak
dibedakan, tetapi memiliki sel batang potensial. Pada kasus teratocarcinoma, hal
ini berupa sel batang multipoten. Untuk kebanyakan jaringan somatik, seperti
epidermis, gastrointestinal mucosa, urinary bladder mucosa, bronchial mucosa,

dan system hemopoietic, jaringan sel batang yang ditentukan atau pembagian sel
keturunan yang dilakukan merupakan calon pemulai. Bahkan dalam organ
seperti hati, dimana ada kontroversi mengenai adanya sel batang yang
ditentukan, adalah sel hepatis yang menguasai kemampuan berkembang biak
mereka dalam merespon rangsangan mitogenik, seperti sebagian hepatektomi
atau perbedaan karsinogenis kimiawi atau luka hati berbentuk rangsangan viral,
yang paling rentan pada mutasi pemulai. Harus diingat juga bahwa ketika kedua
sel yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi menguasai beberapa jenis
mekanisme perbaikan kerusakan DNA (lihat bab 13), sel pemulai dan
keturunannya belum memperbaiki kerusakan DNA yang berhubungan dengan
initiation. Lebih lanjut lagi, kerusakan mekanisme perbaikan DNA telah lama
dikenal berhubungan dengan kenaikan resiko pengembangan kanker.
Aktifitas inisiasi pada kebanyakan karsinogenis kimiawi bergantung pada
metabolisme mereka terhadap reactive electrophiles, yang kemudian membentuk
DNA adduct menjadi DNA perusak dan mutasi. Bagaimanapun juga, ada
sejumlah kenaikan pada perantara genotoksis kimiawi yang sudah ditunjukkan
dalam merangsang neoplasma ganas dalam percobaan binatang pengerat.
Beberapa mekanisme dengan bantuan nongenotoksis kimiawi yang disarankan
kemungkinan akan bertindak merangsang karsinogenesis bertingkat termasuk (1)
kemampuan mereka merangsang sel proliferasi yang, secara bergiliran,
meningkatkan kemungkinan spontanitas dan endogen DNA perusak dan mutasi;
(2) dalam beberapa hal, kemampuan mereka menaikkan sel pemulai tanpa
disengaja; (3) dalam beberapa kasus kemampuan mereka menghasilkan DNA
perusak oksidatif; dan (4) potensi mereka memfasilitasi ketidakseimbangan
genomik (lihat di bawah ini). Dalam penelitian karsinogenesis hewan pengerat,
karsinogen nongenotksis cenderung menunjukkan tingkat spesifisitas organ dan
spesies yang lebih besar daripada karsinogen genotoksis.
Tahap inisiasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor endogen dan
eksogen, terutama yang mempengaruhi aktifasi inisiator genotoksis metabolis
pada reaktif lanjutan, jalan detoksifikasi, mekanisme perbaikan DNA, sel
proliferasi, toksisitas sel lihat bab 11). Faktor-faktor itu termasuk usia, jenis

kelamin, spesies, pola makan dan faktor hormon, dan perbedaan genetik dalam
indusibilitas metabolism enzim dan perbaikan DNA. Sebagai tambahan, karena
banyaknya subpopulasi sel epithelial yang berbeda dalam organ atau jaringan
yang disampaikan yang mungkin memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan
kurangnya subpopulasi epithelial berbeda untuk memetabolisme berbagai
karsinogenis raktif atau alat initiating pada bentuk reaktifnya memungkinkan
bahwa paling tidak sebagai contohnya metabolit DNA perusak yang akan
dihasilkan dalam sel dengan banyak perberbedaan dan kemudian dikirimkan
pada sel dengan sedikit perbedaan ( misal, sel batang jaringan spesifik yang
primitif), yang kemudian dijalankan sebagai target sel initiation dan
pengembangan kanker selanjutnya.
Penelitian percobaan karsinogenesis epidermal dan hati telah lebih jauh
menunjukkan bahwa sel initiated dapat berbeda dari pasangan sel normalnya
dengan menjadi kurang responsif pada paksaan pengendalian pertumbuhan
negative dengan menunjukkan perubahan responsif pada sinyal perbedaan
sambungan, dan dengan menunjukkan efek resistansi terhadap sitotoksitas dan
efek mitoinhibitory pada karsinogen kimiawi. Ciri-ciri tersebut akan
memberikan keuntungan pertumbuhan yang selektif pada hal yang bukan
initiated ketika diberikan rangsangan promoting yang tepat.
Fase promotion pada karsinogenesis bertingkat berbeda dari initiation
pada sejumlah jalan penting (tabel 3). Promosi digolongkan ke dalam selektif
proliferasi pada sel initiated yang dihasilkan dalam penyebaran klonalnya
menjadi preneoplastik secara mikroskopik atau tampak jelas dan/ atau luka
kanker awal. Sebagai contohnya dalam kasus epidermis tikus, akibat promotion
adalah perkembangan papilloma, pada hati tikus adalah pengembangan foci dan
bengkak pada perubahan hiperplastik hepatosit fenotip (akan dibahas lebih lanjut
nanti),dan pada kasus usus besar tikus merupakan pengembangan foci displastik
dan adenoma kolonik.
Kedua perbedaan yang sangat berkaitan di antara initiation dan
promotion adalah promotion reversibilitas operasionalnya dan kenyataan bahwa
dalam sejumlah percobaan penelitian dosis respon, alat promoting telah

digunakan untuk menunjukkan permulaan yang dosisnya dimana tidak diperoleh


efek yang dapat diteliti. Dalam hal ini, kebanyakan papilloma terbentuk sebagai
hasil promotion pada contoh karsinogenesis bertingkat dalam epiderma tikus
yang membutuhkan pembukaan lanjutan pada alat promoting TPA untuk
mencegah regresi, dan beberapa papilloma telah diteliti agar berkurang bahkan
di dalam kemunculan TPA. Demikian juga kebanyakan foci hepatoselular dan
bengkak yang dihasilkan dalam contoh hepatokarsinogenesis bertingkat pada
tikus ditunjukkan untuk mengurangi pemindahan rangsangan promoting. Regresi
spontan di beberapa neoplastik atau luka kanker awal pada manusia, biasanya
terlihat setelah pemindahan rangsangan yang timbul (misal, reversibilitas pada
leukoplakia dalam rongga mulut yang diikuti penghentian penggunaan tembakau
dan, seperti yang telah disebutkan,regresi pada dysplasia ringan di dalam serviks
uterus), dapat dipertimbangkan sebagai analog reversibilitas pada kebanyakan
luka yang dihasilkan sepanjang tahapan promotion pada contoh percobaan
karsinogenesis epidermal dan hati binatang ketika pengobatan promoting
dihentikan. Dalam hepatokarsinogenesis bertingkat pada tikus, bukti telah
didapat untuk mendukung apoptosis sebagai salah satu mekanisme regresi foci
dan pembengkakkan hepatoselular. Lebih lanjut lagi, pembukaan promoter
tumor hepatis telah ditemukan untuk mencegah apoptosis foci preneoplastik
hepatoselular putatif pada hati tikus. Mekanisme lainnya yang memperbesar
regresi foci dan pembengkakkan hepatoselular adalah dengn mengubah bentuk,
yang juga telah ditemukan muncul atas pemindahan rangsangan promoting.
Pengubahan bentuk menggambarkan pengembalian foci dan pembengkakkan
menjadi hati yang terlihat normal, yang rupanya diselesaikan di bagian yang luas
melalui proses rumit diferensiasi dari populasi hepatosit preneoplastik putatif.
Menariknya, sudah ditunjukkan bahwa luka focal dan nodular yang berkurang
saat

pengobatan

promoting

dihentikan

dapat

memunculkan

kembali

pembukaannya, dengan tidak langsung sel initiated tersebut tidak hilang


sepanjang perubahan bentuk, tetapi menahan kapasitas mereka untuk pelebaran
klonal yang selektif dengan pemberian kembali rangsangan promoting.

Tumor promotion muncul menjadi epigenetik dan banyak alat promoting


kimiawi terkenal telah ditunjukkan dan juga telah dibuktikan untuk menengahi
efek-efeknya melalui interaksi dengan reseptor yang spesifik (lihat juga bab 15).
Dengan demikian tingkatan promotion lebih melibatkan perubahan rangsangan
pada tanda gen yang kritis dalam populasi sel initiated daripada mengakibatkan
kerusakan struktural pada kromosom DNA. Banyak alat promoting tumor telah
ditemukan untuk mencegah atau mengurangi jarak komunikasi interselular
berbeda di antara sel- sel, dan mengubah tanda yang spesifik pada jarak protein
yang bersimpangan untuk muncul di seluruh tingkat promotion pada organ-organ
seperti

hati

tikus.

Sebagai

tambahan,

kebanyakan

neoplasma

ganas

menunujukkan jarak persimpangan yang defektif. Di sisi lain, ditunjukkan


bahwa pengenalan gen koneksin ke dalam saluran sel ganas tanpa tanda
memperlambat pertumbuhan pembiakan mereka dan kemampuan mereka
membentuk tumor di dalam tikus gundul.
Tumor promotion diatur oleh berbagai faktor lingkungan (tabel 3), dan
kerentanan untuk melengkapi karsinogenesis dan tumor promotion diatur secara
genetic, seperti yang dicontohkan oleh kedua spesies dan perbedaan interstrain
rangsangan kanker dalam percobaan hewan pengerat. Sebagai contohnya, tikus
besar dan hamster, tidak seperti tikus, cukup melawan karsinogenesis epidermal
dua tingkat (initiation-promotion). Bagaimanapun juga, tikue SENCAR sangat
sensitive terhadap promotion tumor kulit TPA menengah, dimana tikus
C57BL/6J sulit disembuhkan dari promotion tumor kulit TPA. Alat-alat
promoting tumor kimiawi lebih selektif daripada karsinogen genotoksis di dalam
jaringan epithelial dan organ yang mereka kuasai, dan kebanyakan promoter
tumor hanya aktif hanya pada satu atau mungkin lebih dari satu jaringan atau
wilayah organ. Oleh karena itu, TPA diketahui menjadi promoter karsinogenesis
bertingkat yang efektif dalam epidermis tikus dan squamous epithelium lainnya
(misal, forestomach dan vagina tikus), namun kebanyakan bagian menunjukkan
aktifitas promoting sepele dalam karsinogenesis nonsquamous epithelium.
Phenobarbital adalah alat promoting yang efektif dalam hepatokarsinogenesis
bertingkat dan karsinogenesis tiroid folikuler epithelial tikus dan tikus besar,

namun umumnya tidak efektif dalam mengembangkan karsinogenesis di wilayah


lainnya. Dan juga tidak seperti tikus dan tikus besar, phenobartital ditunjukkan
menjadi promoter hepatokarsinogenesis yang tidak efektif pada golden hamster
Siria, namun Phenobarbital benar-benar mengembangkan hepatokarsinogenesis
yang dilakukan oleh dietilnitrosamin dalam Patas kera. Pada tiku dan tikus besar,
aktifitas pengembangan tumor sakarin, triptofan derifatif dan siklamat yang
muncul untuk membatasi urothelium kantung kemih. Sejumlah besar alat-alat
pengembangan tumor kimiawi untuk karsinogenesis bertingkat pada kedua
squamous dan berbagai jenis nonsquamous epithelium dalam hewat pengerat
sekarang diketahui, lagi-lagi, menunjukkan aktifitas pengembangannya pada
satu-satunya atau jumlah jaringan atau wilayah organ-organ yang terbatas.
Administrasi alat-alat pengembangan jangka panjang yang terus-menerus
pada hewan percobaan dengan perantara initiating yang sebelumnya tidak
diobati dapat menghasilkan perkembangan timbulnya neoplasma ganas yang
rendah, yang akhirnya ada di bagian pengembangan yang kebetulan sel pemulai.
Karena perantara pengembang bertindak, secara langsung atau tidak langsung,
untuk merangsang pembagian sel dalam sel pemulai dengan disusul kenaikan
angka pembagian sel,perubahan perkembangan spontan untuk memunculkan
petunjuk perkembangan kanker pun meningkat. Kemudian muncul bahwa
banyak karsinogen nongenotoksis yang berpengaruh dalam pengembangan, atau
pada beberapa kasus, menjadi perantara pengembangan (misalnya asam empedu
sekunder, hormron-hormon tertentu seperti estrogen, androgen dan prolaktin;
dan beberapa faktor pertumbuhan seperti faktor perubahan pertumbuhan ,
TGF-) mungkin terjadi. Lebih lanjut lagi, bagian sel pemulai dapat merespon
perantara pengembangan tumor secara berbeda, tergantung kecepatan balasan
dan potensinya dalam merubah neoplastik. Penting pula untuk menunjukkan
bahwa di bawah beberapa keadaan, tingkat pengembangan mungkin tidak jelas
terlihat pada tingkat membatasi. Hal ini terjadi secara eksperimen menyusul
pengantar perubahan onkogen ke dalam sel pada contoh karsinogenesis hewan
transgenik, dan pada saat dosis perantara pemulai (karsinogen genotoksis) cukup
tinggi untuk menjadi karsinogenis dalam penambahan kekurangan perantara

pengembangan.

Bagaimanapun

juga,

tingkat

pengembangan

sudah

diperkenalkan di dalam banyak kasuk percobaan perkembangan kanker. sebagai


tambahan, luka neoplastik awal dan kanker awal yang berhubungan dengan
pengembangan berbagai neoplasma ganas yang ditunjukkan di dalam manusia
memberikan sokongan terhadap tingkat pengembang karsinogenesis bertingkat
pada manusia.
Seperti yang sudah digambarkan lebih lanjut dalam gambar 3, tidak
semua luka neoplastik awal dan kanker awal yang muncul sepanjang tingkat
pengembangan dapat dibalik atas penghentian pengobatan pengembangan.
Dalam kasus karsinogenesis epidermal bertingkat pada tikus, beberapa
papilloma telah diteliti disusul dengan pemindahan perantara pengembangan
untuk bertahan melewati jangka hidup binatang tanpa menjalani konversi
berbahaya, dimana papilloma yang bertahan memiliki resiko tinggi terhadap
konversi bertingkat yang berbahaya. Dengan cara yang sama, dalam
hepatokarsinogenesis tikus besar, bengkak yang bertahan setelah pemindahan
perantara pengembangan dan beberapa luka yang bertahan ini akan menjalani
konversi spontan yan berbahaya. Pada kedua contoh,pengembang luka yang
beresiko tinggi dapat menimbulakan proses karsinogenesis denganmudah, dan
lebih sensitif pada tindakan perantara pengembang. Dan juga seperti yang
diharapkan, pembukaan perantara pengembang yang diikuti pengobatan
pengembangan secara signifikan meningkatkan jumlah papilloma pengembang
dan foci/bengkak hepatoselular, yang mendukung pandangan bahwa sel-sel di
dalam tingkat pengembangan umumnya beresiko lebih besar menjalani
perubahan berbahaya.
Tingkat dimana luka kanker awal, seperti dicontohkan oleh papilloma
kulit tikus tertentu, pembengkakan hati tikus besar, atau polip adenomatius pada
usus besar manusia, berkembang ke dalam neoplasma yang benar-benar ganas
dan juga yang meliputi perubahan lebih jauh yang dapat muncul dalam tingkatan
bahaya yang lebih besar, diistilahkan sebagai progression.
Tabel 3 dan gambar 3 juga menunjukkan beberapa ciri-ciri bertahan yang
membedakan tingkatan progresi dari pemulai dan pengembang tersebut. Dan

juga pada kebanyakan perbedaan yang jelas, yakni bahwa progresi adalah satusatunya tingkat yang mengandung tampilan yang sebenarnya dari neoplasma
ganas, dan juga ditetapkan bahwa progresi berhubungan dengan peningkatan
ketidakstabilan genetik dan karyotipik. Aneuploidi merupakan ciri umum
neoplasma ganas, dan sejumlah neoplasma ganas telah ditemukan untuk
menunjukkan non random dan ciri ketidaknormalan kromosom (liat bab 13 dan
18). Menariknya, meskipun daftarnya tidak banyak, perantara yang sudah
ditunjukan secara eksperimen bertindak sebagai perantara pengembang, dan juga
yang sudah didalilkan menjadi perantara pengembang putative dalam
karsinogenesis manusia juga telah diperlihatkan untuk menunjukkan aktifitas
klastogenik.
Leslie Foulds, yang telah memberikan pernyataan umum mengenai
konsep perkembangan tumor, yang mengemukakan beberapa prinsip dasar
progresi. Mungkin prinsip yang paling penting adalah perkembangan tumor
bebas dan perkembangan karakter bebas. Perkembangan tumor bebas
menyatakan bahwa perkemangan muncul secara bebas dalam tumor yang
berbeda pada jenis yang sama, bahkan ketika mereka muncul secara bertingkat
dalam percobaan manusia dan hewan. Dengan demikian banyak bagian
papilloma pada tikus yang mucul selama karsinogenesis bertingkat berkembang
pada tingkat dan kecepatan berbeda, dan tumor dengan jenis yang di tempat
terpencil yang muncul di individu berbeda juga berkembang secara bebas satu
sama lain. Prinsip perkembangan karakter bebas mengacu pada kenyataan bahwa
beberapa karakter berbeda ditunjukkan oleh jenis tumor yang diberikan
(misalnya, kecepatan pertumbuhan, penyerangan, kapasitas metastatic, tingkat
anaplasia, hormone dan pertumbuhan faktor responsif,dll.)merupakan variabel
bebas serta menjalani perkembangan secara bebas satu sama lain. Variabilitas
bebas

ini

sekarang

digambarkan

dalam

konteks

perkembangan

ketidakseimbangan genetik dan karyotipik dalam populasi sel neoplastik selama


berkembang. Foulds lebih lanjut mempertimbangkan perkembangan tumor agar
menjadi tidak dapat terbalik. Bagaimanapun juga, seharusnya lebih jauh
ditunjukkan bahwa sel neoplastik ganas pada percobaan kanker dan leukimia

manusia yang berbeda telah dilakukan di bawah kondisi tertentu agar cukup
dalam perbedaan sambungan. Kenyataan bahwa fenotip ganas setidaknya untuk
beberapa jenis sel kanker yang dapat dibalik melalui rangsangan perbedaan
sambungan telah memberikan asas terapi perbedaan dalam sejumlah neoplasma
ganas yang berbeda, terutama beberapa bentuk leukemia myelogenus pada
manusia. Kini terlihat juga

bahwa beberapa perantara yang berbeda pada

kenyataannya mengatur tingkatan apoptosis.


Perbedaan sel kanker

spontan dapat

muncul

juga (di

dalam

neuroblastoma manusia, contohnya), walaupun fenomena regresi spontan


neoplasma ganas oleh diferensiasi pada umumnya cukup jarang. Di sisi lain,
banyak neoplasma ganas menunjukkan perbedaan bukti, dengan tingkat
perbedaan yang muncul menjadi bergantung pada proposi tumor sel batang
berbahaya yang tidak berbeda, tingkat penahanan maturasi tertentu pada
mayoritas tumor sel parensimal, dan kemampuan setidaknya beberapa sel
neoplastik ganas pada tumor untuk membedakan dalam sel posmitotik jinak. Sel
batang ganas tersebut yang dapat menunjukkan kapasitas untuk meningkatkan
jaringan normal mungkin adalah contoh terbaik dari hasil percobaan sel
teratokarsinoma tikus saat dipindahkan pada blastosis tikus normal yang
diikutsertakan dalam perkembangan tikus normal yang menghasilkan keturunan
simerik yang mengandung jaringan normal sumber teratokarsinoma.
Yang berhubungan erat dengan perkembangan tumor adalah konsep
evolusi populasi sel tumor. Yang pertama dipopulerkan oleh Peter Nowell pada
tahun 1976, dengan adanya bukti yang mendukung pernyataan ini. Hal ini
umumnya dianggap bahwa kebanyakan mayoritas percobaan neoplasma ganas
pada hewan dan manusia memiliki sumber monoclonal yang diperoleh dari sel
pemulai tunggal. Bagaimanapun juga sudah ditetapkan bahwa neoplasma, dan
beberapa yang berbahaya, adalah fenotif yang berbeda di dalam sifat selnya.
Untuk menyesuaikan sumber monoclonal dalam neoplasma ganas dengan
perbedaan fenotipik neoplasma ganas yang diteliti sepanjang perkembangan,
tidak ada pendapat bahwa perkembangan tumor didasari oleh rangkaian tampilan
pada waktu peningkatan berbagai subpopulasi klonal di dalam klon sumber

neoplastik yang menggambarkan

perolehan ketidakseimbangan genetic dan

proses seleksi yang jelas dengan meningkatnya genetic yng tidak normal dan
karakter biologis, seperti karyotip yang berubah dan pengembangan sel subklon
metastatic. Proses evolusioner ini muncul untuk dikuasai oleh faktor-faktor
genetic dan epigenetic. Dari sudut pandang klinis, Judah Folkman telah
membagi perkembangan tumor ke dalam fase prevaskular dan fase vaskular.
Tumor utama prevaskular yang kuat dijelaskan dengan ukuran yang terbatas
tidak dapat merangsang angiogenesis dan jarang metastatic. Sebaliknya, tumor
vaskuler yang merangsang pembuluh kecil untuk mengalami angiogenesis
mampu

dengan

cepat

meningkatkan

pertumbuhannya

dan

memiliki

kecenderungan bermetastasi.
12.2.3

Mekanisme Molekul Pada Karsinogenesis Bertingkat


Theodore Boveri pertama kali berpendapat pada tahun 1914 bahwa
neoplasma ganas di dalam jaringan somatic berkembang dari sel tunggal yang
memperoleh ketidaknormalan nya di dalam keadaan kromosom mereka. Hal ini
menjadi dikenal dengan teori mutasi somatic pada kanker, yang dalam istilah
modern dinyatakan bahwa kanker berkembanga atas hasil akumulasi sejumlah
mutasi somatic bebas dalam gen kritis, dan bersama dengan peristiwa epigenetic
yang relevan dihasilkan dalam regulasi sel proliferasi dan diferensiasi yang tidak
normal, sebuah kenaikan ketidakseimbangan genetic, dan akuisisi karakter
berbahaya yang ditunjukkan oleh perubahan ke dalam invasive, metastatic dan
fenotip angiogenik. Teory somatic pada kanker cukup konsisten dengan pola
pengembangan neoplasma berbahaya monoclonal, karena tidak akan seperti
rangkaian mutasi identik dalam memunculkan sel bebas yang berdekatan.
Sebaliknya,

hyperplasia

yang

tidak

berhubungan

dengan

proses

karsinogenisyang digambarkan dengan beberapa pengecualian (contohnya klonal


B- atau populasi sel T- yang diteliti di beberapa proliferasi extranodal limpositik
reaktif) penyebaran sel poliklonal. Metode yang sering diteliti akhir-akhir ini
berdasarkan analisis DNA (misal, analisis pembatasan panjang fragmen
polimorfisme, RFLP; deteksi tanda mutasi yang spesifik; sidik jari DNA; dan

analisa integrasi viral) membuktikan alat baru yang berguna untuk menilai
klonalitas tumor dan luka kanker awal yang berkaitan.
Tabel 4 merupakan ringksan umum peristiwa molekul genetik yang
mendasari karsinogenesis bertingkat. Hal ini diungkapkan secara luas bahwa
alterasi genetic yang dihasilkan dalam aktifasi proto-onkogen dan onkogen
bersama dengan inaktifasi gen penekan tumor yang memainkan peranan jelas
dalam perkembangan segala jenis neoplasma ganas bertingkat. Karena subjek
proto-onkogen/onkogen dan gen penekan tumor diulas secara detil dalam bab
13, maka hanya akan dibahas secara ringkas di sini, dengan focus dan beberapa
contoh pilihan.
Proto-onkogen merupakan kelompok gen seluler yang normal yang
berfungsi mengontrol perkembangan, proliferasi sel, diferensiasi, dan/atau
apoptosis. Saat gen-gen tersebut digerakkan dengan tidak tepat sebagai onkogen
oleh mekanisme-mekanisme seperti mutasi titik, penghilangan, translokasi,
amplifikasi gen, dan mekanisme genetic lainnya (lihat bab 13), tandanya menjadi
dysregulated yang dihasilkan dalam pembuatan sejumlah kelebihan pada sandi
produk protein atau struktur produk yang berubah yang mungkin bertindak untuk
meningkatkan kemungkinan perubahan neoplastik ganas dengan meningkatkan
pembagian sel, merubah jalan sel normal yang berbeda, mengurangi jarak
persimpangan komunikasi interseluler, dan/atau menekan sel kematian
apoptopik.
Gen penekan tumor, di sisi lain, adalah gen normal seluler yang dalam
jenis bentuk sembarangnya menyandikan protein yang menghalangi proliferasi
sel. Sebagai tambahan, gen penekan tumor prototip seperti p53 telah ditunjukkan
pada jenis sel tertentu untuk berperan dalam merangsang diferensiasi
sambungan, memicu apoptosis, memudahkan jarak komunikasi interseluler
persimpangan, menghalangi angiogenesis, dan yang paling penting mengontrol
pemeriksaan siklus sel yang bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan
genetic. Dengan demikian, inaktifasi gen penekan tumor oleh mekanisme seperti
mutasi titik dan penghilangan alel (lihat bab 13) juga dapat meningkatkan
kemungkinan perubahan neoplastik yang menyebabkan disregulasi jalan normal

pertumbuhan dan diferensiasi sel dan kemungkinan meningkatkan frekuensi


pengaturan ulang genomic, menahan apoptosis, dan/atau merangsang pergantian
ke dalam fenotip angiogenik.
Pada contoh inaktifasi gen penekan tumor klasik, baik gen alel maupun
tiruan harus dikeluarkan atau dimatikan fungsinya (lihat bab 13, Knudson TwoHit Hypothesis). Seringkali seseorang menemukan bahwa salah satu alel hilang
dibuang, sementara yang lainnya dimutasi. Loci kromosom untuk gen penekan
tumor dapat ditemukan sebagai penghilang heterozigositas(LOH), dimana
mutasi yang tidak tertutup pada alel mutan yang bertahan saat alel normal
lainnya hilang oleh pembuangan kromosom. Hal ini biasanya dianggap bahwa
ketika neoplasma ganas sering menunjukkan LOH pada loci kromosom yang
spesifik, seperti yang ditemukan oleh RFLP, daerah yang dibuang mungkin saja
mengandung gen penekan tumor yang penting untuk pengembangan tumor
tersebut. LOH (pembuangan alel)sering ditunjukkan sebagai penemuan umum
dalam berbagai kanker manusia dan juga telah ditemukan dalam rangsangan
tumor kimiawi dan spontan pada hewan pengerat (misal, neoplasma epidermal
dan hepatoseluler tikus).
Ada bukti yang bertambah untuk mengusulkan bahwa metastatik dapat
diatur oleh gen yang spesifik, walaupun hingga saat ini belum ada gen
yangditemukan dapat mengontrol proses metastatic lengkap. Pada kenyataannya,
dapat dispekulasikan bahwa gen individu yang berbeda kemungkinan mengatur
proses metastasi dalm jenis sel kanker yang berbeda. Bagaimanapun juga, hal ini
tidak terlalu mengejutkan pada kenyataan bahwa metastasi sendiri merupakan
proses yang kompleks yang membutuhkan interaksi spesifik dengan matriks
ektraseluler (lihat bab 17) dan juga perubahan tanda atau respon terhadap faktor
pertumbuhan yang diberikan pada sel metastatic baik dalam tumor primer atau
pada wilayah bentuk tumor sekunder (metastatic). Akan tetapi, beberapa
onkogen, contoh penelitian terbaik akan ras, ketika ditransfeksikan ke dalam
berbagai saluran sel neoplastik, ditemukan merangsang maupun benar-benar
meningkatkan potensi metastatic mereka. Dan mungkin bahkan perhatian yang
lebih besar adalah yang ditunjukkan dalam gen penekan metastatic putative,

yang kini paling dikenal dengan nm23 (nonmetastatik 23) yang pertama kali
ditemukan oleh Patricia Steeg. Pengertian umum dari nm23 pada karsinogenesis
bertingkat manusia masih diperdebatkan. Biarpun demikian, tingkat tanda nm23
yang rendah telah diteliti agar berhubungan dengan pengembangan metastasi
dan prognosis lemah dalam kanker tertentu pada manusia, termasuk karsinoma
payudara, karsinoma hepatoseluler, melanoma ganas, dan karsinoma lambung,
namun tingkat tanda nm23 gagal membalikkan hubungan potensi metastatic
dalam beberapa jenis neoplasma ganas pada manusia. Menariknya, saat
tingkatan tanda nm23 ditemukan tidak berhubungan terbalik dengan potensi
metastatik dalam adenokarsinoma kolorektal dan neuroblastoma pada manusia,
bentuk metastatic pada tumor respektif ini dilaporkan mengandung mutasi dalam
gen nm23, yang rupanya mengubah fungsi normal. Transfeksi murin nm23
cDNA ke dalam saluran sel karsinoma payudara pada manusia menghasilkan
keadaan atas pengurangan potensi metastatic yang signifikan dan juga
berhubungan dengan pengurangan reaksi sitokin yang diteliti dalam pengujian
kadar kolonisasi dan mortilitas.
Faktor pertumbuhan berperan penting dalam perkembangan neoplasia
ganas bertingkat. Hal ini menyangkut sejumlah onkogen untuk faktor
pertumbuhan peptide yang spesifik atau reseptor faktor pertumbuhan (lihat bab
13). Dalam tanda faktor pertumbuhan otokrin positif yang bertindak sebagai
faktor pertumbuhan yang merangsang pembagian sel yang bersintesis dan
menyembunyikannya, telah dinyatakan sebagai mekanisme untuk mitogenesis
prefensial sejumlah jenis preneoplastik/ kankel awal yang berbeda selama
pengembangan berbagai populasi sel neoplastik ganas dalam tumor primer dan
metastatic sepanjang progresi, dan pada saluran sel perubahan neoplastik
turunan. Misalnya, pada tanda TGF- yang telah diusulkan untuk terlibat melalui
mekanisme otokrin dalam perkembangan tumor epidermis dan kelenjar susu
bertingkat pada tikus, serta pada kati manusia dan tikus besar. Mekanisme
lainnya dimana sel kanker awal atau neoplastik ganas dapat meningkatkan
keuntungan pertumbuhan selektif yang berhubungan dengan kehilangan reaksi
pada faktor pertumbuhan parakrin negatif, dimana faktor pertumbuhan

bersintesis dan disembunyikan oleh salah satu jenis sel (contojnya fibroblast) dn
kemudian bertindak untuk menghalangi pembagian sel dalam jenis sel lainnya
(misalnya sel epithelial). Hal ini muncul menjadi kasus, contohnya, untuk
berbagai percobaan jenis sel karsinoma pada hewan dan manusia yang diteliti
untuk menunjukkan hilangnya reaksi pada pengaruh mitoinhibitori epithelial
dalam faktor perubahan pertumbuhan-1 (TGF-1) yang dihasilkan oleh sel
stromal epithelial. Sebagai tambahan, beberapa jenis sel epithelial neoplastik
ganas telah ditunjukkan untuk menghasilkan TGF-1 aktif (dan juga isoform
TGF- lainnya). Selanjutnya, bukti yang sudah diberikan untuk mengusulkan
bahwa selama pengembangan jenis sel karsinoma tertentu pada manusia yang
dicontohkan

dalam

subpopulasi

adenokarsinoma

usus

besar

manusia,

kemungkinana mampu mengganti respon mereka menjadi otokrin atau parakrin


TGF-1, sehingga sel tumorigenik yang tinggi menjadi terangsang untuk tumbuh
dengan TGF-1 aktif sementara sel tumorigenik yang lemah dicegah untuk
tumbuh oleh TGF-1. Tanda pada faktor pertumbuhan yang spesifik oleh sel
neoplastik ganas juga dapat memiliki pengaruh parakrin dalam perkembangan
tumor, rangsangan angiogenesis dan, dalam kasus beberapa karsinoma,
menimbulkan stroma jaringan berserat yang menonjol dan saling berkaitan
(desmoplasia). Sebagai contohnya, telah diususlkan bahwa TGF-1 sembunyi
dari sel karsinoma lambung scirrhous dan faktor pertumbuhan dasar firoblast
seperti peptide yang sembunyi dari sel karsinoma kolangioseluler manusia yang
sedikitnya bertanggung jawab dalam karakter stroma jaringan berserat yang
berkaitan dengan kanker respektif.
Faktor prtumbuhan, sebagai tambahan untuk mengatur pembagian sel,
dapat bertindak sebagai morfogen yang mempengaruhi kedua morfologi sel
normal dan neoplastik. Penyerangan dan metastasi dapat diatur oleh tindakan
faktor pertumbuhan yang spesifik. Faktor pertumbuhan hepatosit (HGF) juga
dikenal sebagai faktor scater (SF), adalah contoh yang baik dalam faktor
pertumbuhan polipeptida multifungsi yang selain menjadi mitogen parakrin
untuk berbagai jenis sel epithelial juga merupakan morfogen, dan berdasarkan
kemampuannya untuk mengacaukan kelekataan sel dan rangsangan motilitas sel,

yang dapat bertindak lebih jauh sebagai motogen. HGF/SF telah ditunjukkan
untuk merangsang motilitas dan penyebaran berbagai jenis sel karsinoma in vitro
dan perangsang angiogenesis yang kuat, yang sudah dianggap penting untuk
pertumbuhan tumor dan metastasi. Reseptor membrane plasma tirosin kinase
untuk HGF/SF, ditandai dengan c-met proto-onkogen ,dan tanda c-met yang
memiliki potensi onkogenis telah diteliti dalam sejumlah jenis karsinoma
manusia termasuk yang ada dalam paru-paru tiroid, perut, usus besar, dan
pankreas.
Sejumlah mekanisme berbeda telah dikemukakan untuk melaporkan
kenaikan ketidakseimbangan genetic yang berhubungan dengan perkembangan
neoplasia ganas bertingkat. Hal ini termasuk penambahan pada aneuploid dan
perubahan kromosom lainnya, amplifikasi gen, hipometilasi gen, mutasi spontan
yang mugkin dihasilkan oleh spesies pembangkit reaksi oksigen secara endogen,
rekombinasi infidelitas dan stabititas telomere. Perkiraan hubungan antara
stabilitas telomere dan perkembangan tumor yang ditetapkan oleh Calvin Harley
dan rekan-rekannya merupakan hal yang menarik. Fungsi telomere untuk
menyeimbangkan penghentian kromosom alamiah dari faktor yang bergerak
pada termini DNA, sehingga melindunginya dari rekombinasi dan penurunan
illegal, karena telomere melawan gerakan DNA eksonukleasis dan ligasis.
Dalam sel somatic normal yang telah diungkapkan oleh Harley bahwa
kehilangan

telomere

pada

penghentian

kromosom

(yang

setiap

kali

memunculkan pembagian sel) dijalankan sebagai jam mitosis yang


menandakan sel pada titik saat ukuran telomerik kritis diraih untuk menukarkan
kemampuan membagi dan mengalami kemunduran dan kematian sel. Seperti
dalam kasus mereplikasikan sel normal, telomere juga diteliti untuk
menghilangkan fungsi pembagian sel dalam beberapa saluran sel immortal dan
pada sel karsinoma ovarium manusia dari pasien penyakit metastatic. Pada
kenyataanya, kehilangan telomerik telah ditemukan menjadi jenis sel neoplastik
ganas yang lebih besar dibandingkan sel normal yang ada pada jaringan sumber
tumor yang sama. Bagaimanapun juga, enzim telomerase, yang telah
dikemukakan oleh Harley dan rekan-rekannya untuk melawan kehilangan

telomere kritis dengan mengkatalisasi penambahan kedua rangkaian DNA


telomere (TTAGGG), yang kemudian mempertahankan panjang telomere yang
cocok dalam penghentian kromosom, menunjukkan dengan tim investigasinya
ini untuk digerakkan hanya pada sel immortal yang kemudian menjadi mitotis
aktif serta mengandung telomere yang sangat pendek di dalam sel karsinoma
ovarium metastatic. Penemuan ini menyatakan bahwa saat pemendekan panjang
rantai telomerik kritis, telomere menjadi bergerak secara spesifik di dalam
neoplasma ganas tapi tidak dalam sel somatic, dengan menjadi sangat aktif
dalam sel metastatic. Enzim ini, kebalikannya, yang berfungsi menstabilkan
panjang telomere di dalam sel ganas, kemudian diusulkan agar dapat
meneruskan proliferasi sel pada klon sel bertingkat yang berbahaya.
12.2.3.1 Contoh Mekanistis
Beberapa contoh yang telah dikembangkan menjadi pendukung data
percobaan yang menggambarkan pola perubahan genetic yang beragam dan
bertingkat yang berhubungan dengan pengembangan berbagai jenis percobaan
neoplasma ganas bertingkat pada manusia dan hewan yang merubah jesnis sel
neoplastik turun temurun. Salah satu contoh tersebut yang digambarkan oleh
Robert Weinberg dapat dianggap sebagai kolaborasi contoh onkogen pada
karsinogenesis bertingkat. Dalam contoh ini, sedikitnya dua onkogen dominan
dibutuhkan untuk benar-benar merubah sel normal menjadi sel ganas. Contohcontoh termasuk kolaborasi antara onkogen myc dan ras dalam merangsang
seluruh perubahan berbahaya pada fibroblast turunan embrio tikus besar dan
kerjasama antara onkogen myc dan bc1-2 dalam merangsang penyebaran
limpoma sel-B berbahaya pada perkembangan transgenic tikus untuk menandai
kedua onkogen.
Contoh kedua yang digolongkan oleh dua genetic hits adalah contoh
retinoblastoma pada manusia yang pertama kali dinyatakan oleh Alfred Knudson
dan juga telah dibahas dalam bab 13. Contoh ini menyatakan bahwa kehilangan
kedua alel pada gen retinoblastoma, gen penekan tumor prototip (tabel 4),

dengan kejadian dua mutagenic terpisah mungkin cukup untuk perubahan


neoplastik ganas pada sel retina manusia.
Contoh mekanistik ketiga pada karsinogenesis bertingkat mengusulkan
bahwa sedikitnya empat hingga enam dan mungkin lebih dari genetic bebas yang
dibutuhkan untuk mengembangkan jenis tertentu percobaan kanker manusia dan
hewan. Contoh ini cukup sesuai mengingat perubahan genetik bertingkat yang
telah diketahui berhubungan dengan perkembangan jenis kanker epithelial
berbeda, dan merupakan contoh yang paling baik dalam contoh tumorigenesis
kolorektal genetik bertingkat pada manusia yang pertama kali dinyatakan oleh
Eric Fearon dan Bert Vogelstein yang lebih detilnya di dalam bab 13.
Walaupun perubahan genetic bebas telah ditunjukkan dalam berbagai
kanker hewan dan manusia, perbedaannya jelas ditunjukkan dengan mematuhi
gen spesifik atau tanda gen yang ditemukan berubah dalam kanker tertentu dan
dalam beberapa luka neoplastik terkait. Perbedaan perubahan genetic ini
bergantung pada bagian organ dari sumber neoplasma ganas, jenis histologis dan
tingkat perkembangannya, spesies dimana kanker muncul, dan apakah muncul
secara spontan atau dirangsang oleh karsinogen genotoksis dan nongenotoksis.
Contohnya mutasi pada codon 12 dari gen ras c-K yang umumnya ditemukan
dalam adenokarsinoma duktal pada pancreas manusia, dan juga pada tahap awal
dan akhir adenokarsinoma duktal yang rangsang secara kimiawi di dalam
pancreas golden hamster Siria. Sebaliknya, peristiwa mutasi ras c-K pada
karsinoma asinar pankreas manusia telah ditemukan lebih rendah dan ras c-K
tidak mengandung mutasi codon 12 di dalam sel karsinoma pankreas asinar yang
meningkat pada pengobatan azaserin tikus besar dan juga pada contoh
tumorigenesis pankreas transgenic tikus besar. Gen ras c-K dan c-H yang
bermutasi jarang ditemukan dalam karsinoma payudara manusia, namun aktifasi
ras c-H (dan bukan ras c-K) yang muncul menjadi peristiwa pemulai yang
efektik dalam karsinogenesis kelenjar susu yang dirangsang dalam nitrosurea Nmetyl-N (NMU) tikus besar yang tidak terlindungi. Di sisi lain, c-erbB-2 belum
ditemukan dalam rangsangan kimiawi tumor dada pada tikus besar. Perbedaan
pola mutasi ras c-H juga telah ditemukan secara spontan dibandingkan dengan

rangsangan kimiawi adenoma hepatis dan karsinoma hepatoseluler yang muncul


dalam tikus B6C3F1. Mutasi pada gen penekan tumor p53 hingga kini
merupakan perubahan genetic yang paling banyak ditemukan dalam kanker
manusia, meskipun tidak semua tumor manusia mengandung mutasi p53, dan
juga p53 tidak mengaktifasi seluruh proses berbahaya. Keragaman jenis kanker
manusia yang berbeda juga telah diteliti dengan mematuhi frekuensi inaktifasi
gen penekan tumor RB, dan pada beberapa kanker manusia seperti karsinoma
kecil pada paru-paru, baik p53 dan juga RB telah dinyatakan non aktif secara
simultan. Pada kasus karsinoma payudara manusia, frekuensi mutasi p53 cukup
tinggi, sedangkan mutasi p53 tidak ditemukan dalam karsinoma primer dada
yang dirangsang oleh NMU pada tikus besar, namun ditandai dalam persantase
kecil kebanyakan tumor dada berbahaya pada tikus besar diperoleh dari
transplantasi. Dalam konteks ini, pe-nonaktifan gen p53 telah dinyatakan
berperan penting dalam perkembangan sejumlah kanker berbeda pada manusia
dan juga dalam perkembangan percobaan jenis tumor pada hewan pengerat.
Sesuai dengan pernyataan tersebut bahwa mutasi p53 kenyatannya biasa
ditemukan dalam proses karsinogenis bertingkat yang terakhir.
Walaupun kenyataannya bahwa riwayat perubahan genetik berbeda
menggambarkan perkembangan jenis spesifik neoplasma ganas yang muncul
dalam percobaan karsinogenesis bertingkat tertentu pada hewan kemungkinan
tidak dapat ditemukan didalam kanker manusia yang saling berhubungan, namun
tetaplah penting untuk menekankan bahwa contoh hewan tersebut memiliki nilai
berarti dengan mentaati kesahan potensi perubahan onkogenis genetic, dan juga
menjelaskan dengan tepat bagaimana peristiwa molekul bebas dapat berkaitan
dengan tingkat yang spesifik pada proses karsinogenis bertingkat. Hal ini
digambarkan dalam gambar 4 yang menunjukkan hubungan fungsional antara
sejumlah susunan biokimia dan perubahan genetic serta tingkat operasional
tersendiri pada pemulai, kenaikan dan perkembangan dalam karsinogenesis
epidermal bertingkat pada tikus.
Teknologi transgenic hewan, dimana gen asing dimasukkan secara
seimbang ke dalam saluran kuman primer tikus (dan kemudian ke dalam saluran

kuman spesies hewan pengerat lainnya, seperti tikus besar) telah terbukti bernilai
dalam menillai potensi onkogenis dalam pengaktifan onkogen dan pe-nonaktifan
gen penekan tumor. Gen-gen tersebut kemudian ditargetkan pada jaringan
tertentu dengan memasangkan mereka dengan peningkat/pengembang (unsurunsur pengaturan) yang memelihara spesifitas jaringan. Sebagai contohnya
penggabungan peningkat/pengembang gen albumin ke dalam onkogen c-myc
akan menargetkan tandanya pada liver. Gen endogen juga dapat di nonaktifkan
dengan memasukkan mutasi pembatal ke dalam gen yang direkombinasikan
dengan sesuai dalam sel batang embrio tikus yang kemudian dimasukan kembali
ke dalam blastosoel embrio. Hasil simerik tikus merupakan heterozigot dengan
alel

pembatal,

namun

keturunan

setelahnya

dapat

dikawinkan

untuk

menghasilkan homozigot tikus transgenik dengan alel pembatal. Selanjutnya,


tikus transgenic ganda dapat dikembangkan dengan meng-kawinsilang-kan tikus
transgenic yang melahirkan transgen tunggal. Beberapa contoh spesifik yang
menunjukkan manfaat hewan transgenic dalam penelitian tumorigenesis
bertingkat ditunjukkan dengan jelas sebagai berikut; (1) kerjasama antara
onkogen myc dan ras dalam pengembangan kanker dada murin telah ditunjukkan
menggunakan tikus transgenic ganda; (2) tikus transgenic ganda telah digunakan
untuk menunjukkan pengaruh sinergis pada tanda c-myc dan TGF- dalam
meningkatkan pengembangan hepatoseluler dan neoplasma sel asinar pankreas;
(3)tikus transgenic yang mempunyai spesifik onkogen atau gen viral onkogen
yang ditemukan menjadi lebih sensitive terhadap tindakan rangsangan tumor
pada karsinogen kimiawi; (4)homozigot tikus transgenic alel pematal p53 (tikus
p53 yang tidak sempurna) ditunjukkan untuk memudahkan perkembangan
berbagai neoplasma ganas secara spontan (limpoma berbahaya yang paling
sering muncul) pada umur 6 bulan,dan menekankan pentingnya p53 sebagai gen
penekan tumor.
12.3

HEPATOKARSINOGENESIS

SEBAGAI

SEBUAH

PARADIGMA

UNTUK

PROSES PENGEMBANGAN SEL KANKER EPITHELIAL BERTINGKAT

Pada awal tahun 1970an, Carl Peraino dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa
hepatokarsinogenesis pada tikus merupakan proses bertingkat yang digolongkan oleh
tingkat operasional pemulai dan pengembang, dalam cara yang dapat disamakan dengan
yang pertama kali digambarkan untuk karsinogenesis bertingkat dalam kulit tikus.
Penemuan ini sangat penting karena memberikan bukti langsung percobaan yang
menunjukkan bahwa gangguan pengembangan kanker dalam tingkat tertentu bukanlah
hal yang aneh pada epidermis tikus. Sebagai hasilnya, sebuah dasar telah diberikan untuk
pengembangan sejumlah contoh hepatokarsinogenesis bertingkat baru pada hewan
pengerat, dan bersama dengan contoh pengembangan percobaan karsinogenesis sel
epithelial bertingkat pada hewan di berbagai organ fan jaringan, pada akhirnya membawa
pada banyak pengetahuan umum mengenai pengembangan kanker in vivo bertingkat
yang alamiah.
Gambar 5 mengulas sejumlah faktor penting yang akan dibahas karena berkaitn
dengan pengembangan karsinoma hepatoseluler bertingkat pada kedua percobaan hewan
dan manusia. Tujuannya di sini bukan untuk memberikan tinjauan yang komprihensif
pada hepatokarsinogenesis bertingkat, namun lebih kepada meringkas ciri-ciri yang
membuat paradigma bermanfaat baik memperkuat maupun memperluas konsep umum
pengembangan tumor bertingkat yang meliputi bagian terdahulu bab ini.
12.4

PENINJAUAN HEPATOKARSINOGENESIS PADA MANUSIA


Karsinoma hepatoseluler adakah salah satu kanker yang paling banyak
berkembang pada manusia di seluruh dunia, dengan adanya kejadian yang paling tinggi di
sub-Sahara di Afrika dan di beberapa wilayah di Far East,namun tidak terlalu sering
muncul di dunia barat. Periode latensi pada karsinoma hepatoselular beragam dari
beberapa tahun hingga beberapa decade dan ramalannya cukup lemah.
Penelitian epidemiologi telah melibatkan virus, bahan kimia, hormone, penyakit
metabolis liver, dan sirosis sebagai faktor yang beresiko untuk karsinoma hepatoselular
pada manusia.hubungan yang paling kuat telah ditetapkan antara infeksi virus hepatitis B
kronis (HBV)(lihat bab 14) dan perkembangan hepatokarsinoma, terutama pada wilayah
geografis dimana tingkat pembawa HBV cukup tinggi (misal, sub-Sahara di Afrika, Cina,
Jepang, dan Asia Tenggara). Banyak penelitian kini telah menemukan infeksi virus

hepatitis C kronis di dalam karsinoma pathogenesis hepatoseluler, terutama individu


HBV negatif dengan penyakit liver kronis. Sebagai tambahan untuk mendapatkan etiologi
viral, perkembangan karsinoma hepatoseluler pada manusia telah ditunjukkan memiliki
hubungan erat dengan jumlah makanan yang terkontaminasi aflatoksin yang masuk.
Aflatoksin B1 adalah hepatoksin/ hepatokarsinogen kimiawi yang kuat yang dihasilkan
oleh turunan jamur aspergillus flavus dan fungi terkait dan yang paling dilibatkan sebagai
faktor etiologis pada hepatokarsinogenesis manusia di wilayah tertentu di sub-Sahara di
Afrika, dan di bagian-bagian Cina Tenggara. Seperti yang akan dibahas nanti, kini ada
bukti molekul yang meyakinkan untuk mengusulkan kerjasama antara HBV dan
aflatoksin B1 pada sejumlah kasus karsinoma hepatoseluler yang signifikan di dalam
pathogenesis yang terlihat di wilayah ini. Faktor lingkungan lainnya yang berkaitan
dengan resiko pengembangan karsinoma hepatoseluler yang meningkat pada manusia
termasuk konsumsi alkohol parah, pembukaan Thorotrast, bahan radioaktif yang
sebelumnya digunakan sebagai radiologi medium,
306-310
12.2.1

Gambaran Umum Hepatokarsinogenesis pada Manusia


Karsinoma hepatoseluler adalah salah satu kanker yang paling umum
berkembang pada manusia di seluruh dunia, dengan insidensi tertinggi di Afrika
Sub-Sahara dan wilayah tertentu, dan lebih jarang dalam Dunia Barat. Periode
laten untuk karsinoma hepatoseluler mungkin bervariasi dari beberapa tahun
hingga hitungan dekade dan prognosisnya relatif buruk.
Studi epidemiologis telah mengimplikasikan virus, bahan kimia, hormon,
penyakit hepar metabolik, dan sirosis sebagai faktor resiko untuk karsinoma
hepatoseluler pada manusia. Asosiasi yang kuat telah tergambarkan antara
infeksi virus hepatitis B kronis (HBV) dan perkembangan hepatokarsinoma,
terutama region geografis dengan jumlah karier HBV yang tinggi. Sejumlah
studi baru telah mengimplikasikan infeksi hepatitis C kronis dalam pathogenesis
karsinoma hepatoseluler, terutama dalam individu HBV-negatif dengan penyakit
heparkronis.

Selain

memiliki

etiologi

vital,

perkembangan

karsinoma

hepatoseluler pada manusia telah terbukti terkait dengan tingginya asupan

makanan terkontaminasi aflatoksin. Aflatoksin B1 adalah hepatotoksin


kimiawipoten yang diproduksi oleh strain aspergillus flavusdan fungi terkait dan
telah terimplikasi sebagai faktor etiologis hepatokarsinogenesis pada manusia di
wilayah tertentu Afrika/sahara dan beberapa beberapa bagian Cina dan
asiatenggara.
Bukti molekuler yang mensugestikan kerjasama dan alfatoksin b1
dalam pathogenesis sejumlah besar kasus karinoma hepatoseluler pada wilayah
ini. Faktor environmental lain yang telah terkait terhadap peningkatan resiko
perkembangan karsinoma hepatoseluler pada manusia termasuk konsumsi
alcohol dalam jumlah besar, paparan terahadap thorotrast, material radioaktif
yang sebelumnya digunakan pada medium kontrasradiologi, paparin kimia
tertentu dilingkungan kerja, dan mungkin aktivitas rokok dan tembakau.
Kontrasepsi oral berdosis tinggi secara kronis, juga steroid anabolik
eksogendosis t5 tinggi juga disinyalir memainkan peranan kausatif dalam
perkembangan sejumlah karsinoma hepatoseluler. Asosiasi antara perkembangan
adenoma hepatic pada perempuan dengan penggunaan kontrasepsi oral telah
terdokumentasi baik, dan merupakan contoh penting dari neoplasma liver jinak
yang jarang , yang mana peningkatan insidensinya telah jelas terhubung dengan
paparan dosis terhadap hormone sex steroid. Meskipun adenoma hepatik sangat
jarang berprogresi menjadi karsinoma hepatoseluler.
Sejumlah gangguan hepar, metabolic genetic juga menjadi predisposisi
perkembangan

karsinoma

hepato

seluler

pada

manusia,

contohya

hemokromatosis, defisiensialfa 1 antitripsin dan tirosinemia.


Selain faktor-faktor tersebut, karsinoma hepatoseluler berkembang dari
cedera heparkronis dan sirosis, yaitu kehancuran arsitektur hepar normal sebagai
hasil fibrosis dan respon regenerative yang terganggu oleh hepatosit sehingga
gambaran hepar yang terhasilkan adalah berupa sejumlah nodul hepatoseluler
regenerative diselimuti oleh septa jaringani katfibrosa 80-90 % individu
karsinoma hepatoseluler memilikisirosis sebagai dasar penyakit meskisirosis
bukan sebagai faktor yang harus ada dalam pathogenesis kanker tersebut,
mengingat karsinoma hepato seluler juga telah diobservasi dan telah dilihat pada

hepar manusia tanpa sirosis. Sifat perkembanagn karsinoma hepatoseluler


didukung oleh identifikasilesi precursor yang specific, terutama pada hepar yang
mengalami sirosis sebagai presdiposisi. Salah satu lesi prekursor karsinoma
hepatoseluler pada manusia adalah nodul hepatoseluler yang regenerative yang
dapat berkembang dalam hepar dengan cidera hepar kronis dan regenerasi
terganggu atau nekrosis hepatik.
Istilah hyperplasia adenomatous dan nodul makro regeneratif adalah
sinonim dari hepatoseluler tersebut, yang mungkin mewakili pertumbuhan
noduler hiperplastik eksesif yang dapat timbul terutama pada hepar dengan
sirosis sebagai preisposisi. Nodul tersebut, adalah lesi prekanker, terlihat dari
temuan focus-fokus perkembangan karsinoma hepatoseluler yang teridentifikasi
secara histologis. Adanya focus karsinoma hepatoseluler dalam nodul makro
regeneratif juga dirujuk sebagai nodul didalam nodul terlebih, telah ada laporan
terlihatnya nodul makro regenerative mengandung fokus multiple V dalam hepar
manusia tanpa sirosis.
Displasia sel hepar adalah lesi lainnya yang diusulkan sebagai precursor
karsinoma hepatoseluler pada manusia dysplasia sel hepar dengan bentuk besar
dan kecil telah ditemukan sebagai gambaran.
Bagaimanapun, belum ada data secara jelas membuktikan displasia
dalam hepar yang mengalami sirosis sebagai lesi preneoplastik atau prekanker,
dan kehadirannya mungkin hanya merefleksikan proses reaktif. Pada sisi lain,
telah ada bukti yang mensugestikan bahwa displasia hepar sel kecil sebagai
kandidat lesi prekursor terutama pada nodul hepatoseluler.
Masih ada kontroversi terkait klonalitas karsinoma hepatoseluler pada
hepar manusia. Sebagian studi mendukung asal monoklonal untuk tumor
unifokal atau multifokal, termasuk sejumlah kasus karsinoma hepatoseluler
setelah prosedur bedah untuk mengangkat tumor inisial pada pasien.
Analisis pola integrasi unik DNA HBV kedalam genom seluler
karsinoma hepatoseluler unifokal dan multifokal menunjukkan data yang
konsisten pada tiap kasus dengan ekspansi monoklonal populasi hepatosit
neoplastik. Sebagai contoh, pola-pola integrasi DNA HBV yang identik dalam

nodul-nodul karsinoma hepatoseluler dalam hepar yang sama telah dditafsirkan


sebagai penyebaran intrahepatik dari tumor hepar primer soliter. Disisi lain,
sejumlah kasus karsinoma hepatoseluler menunjukkan beberapa pola integrasi
DNA yang mengindikasikan asal tumor yang foliklonal, juga klonalitas multipel
yang berbeda-beda pada hepar manusia yang sama. Telah dilaporkan bahwa
status DNA HBV pada karsinoma hepatoseluler dapat berubah selama progresi
dan metastasis.
Telah banyak bukti bahwa karsinoma hepatoseluler berkembang lebih
sering pada pasien sirosis laki-laki daripada perempuan, faktor-faktor yang
terkait dengan hal ini mungkin adalah kerentanan genetik, perbedaan hormonal
dan paparan terhadap agen karsinogenik environmental. Laki-laki juga memiliki
Aktivitas sintesis DNA yang lebih tinggi ketika dilakukan pengukuran pada
jaringan hepar sirosis.

12.2.2

Model Hepatogenesis Bertahap Pada Tikus


Hepatokarsinogenesis bertahap telah diteliti pada tikus secara ekstensif,
dengan

variasi

protokol

eksperimental

untuk

menginvestigasi

tahapan

perkembangan kanker hepar.


Gambar 6 menunjukkan sejumlah protokol untuk mendemonstrasikan
tahapan perkembangan hepatokarsinoma pada tikus, juga untuk menganalisis
perubahan molekuler, seluler dan biokimiawi spesifik pada setiap tahapan.
Peraino dkk adalah orang pertama mendemonstrasikan tahapan
operasional inisiasi dan promosi perkembangan tumor hepatik pada tumor
dewasa dan menemukan bahwa pemberian fenobarbital dalam diet secara kronis
pada tikus dewasa muda yang sebelumnya terpapar dosis rendah hepatotoksik

dari agen hepatokarsinogen 2-asetil aminofluorene, meningkatkan insidensi


tumor hepatoseluler secara bermakna dibandingkan tikus yang hanya menerima
salah satu dari dua substansi tersebut.
Scherer dan Emmelot mendemonstrasikan bahwa administrasi oral dosis
tunggal dari hepatokarsinogen dietilnitrosamin (DEN) dengan dosis dari 0,3-30
mg/kg kepada tikus dewasa dalam 24 jam setelah hepatektomi parsial (PH)
menginduksi peningkatan linier fokus hiperplastik dari hepatosit yang berubah
secara fenotip tapi tanpa karsinoma hepatoseluler.
Sejumlah peneliti tersebut menemukan bahwa saat DEN diberikan pada
dosis 50 mg/kg atau lebih, linearitas pada kurva dosis-respon menghilang dan
karsinoma hepatoseluler terjadi.
Hasil ini mengindikasikan bahwa : (1) pemberian DEN dibawah 30
mg/kg dosis tunggal kepada tikus terhepatektomi parsial cukup untuk
menginduksi inisiasi pada hepar namun tidak cukup untuk menginduksi
hepatokarsinogenesis lengkap; (2) puncak sintesis DNA pada hepatosit
menyediakan kondisi ideal untuk inisisasi dan mengfiksasi pelengkapan syarat
siklus pembelahan sel; (3) fokus hepatoseluler proliferatif dengan perubahan
fenotip yang diproduksi oleh perlakuan tersebut mungkin merepresentasikan lesi
hepatoseluler preneoplastik yang menjadi inisiasi yang dipicu oleh faktor
endogen; (4) pemberian DEN dosis tunggal sebanyak 50 mg/kg atau lebih dapat
memicu hepatokarsinogenesis yang lengkap.
Kedua studi tersebut adalah ondasi model karsinogenesis pada tikus yang
dikembangkan oleh Hendri Pitot dkk, menggunakan pemberian DEN secara oral
dosis tunggal 24 jam setelah PH sebagai inisiasi, diikuti dengan pemberian
fenobarbital krosis sebagai promosi. Hasil dari studi model ini menunjukkan
gambaran peningkatan lesi hepatoseluler preneoplastik yang bermakna, juga
memiliki gambaran karsinoma hepatoseluler pada tikus, dibandingkan
pemberian salah satu perlakuan tanpa dikombinasikan.
Penggunaan tikus neonatal juga dapat dilakukan secara efektif untuk
memfasilitasi inisiasi pada hepatokarsinogenesis yang terinduksi secara kimiawi,
karena hepar neonatal memiliki fraksi sel proliferatif yang jauh lebih besar. Agen

promosi tumor lainnya termasuk steroid estrogenik, asam empedu tertentu (asam
deoksikolik), diklorodifeniltrikloroetan (DDT), bifenil terpoliklorinasi (PCB),
alfa saklorosikloheksan, hidroksitoluen terbutilasi (BHT), sejumlah proliferator
peroksisom (WY-14, 643; klofibrat), asam orotik, diet rendah kolin, klordekon
(kepone), atau 2,3,7,8-tetraklorodibenzo-p-dioksin (TCDD).
Laboratorium Pitot telah melaporkan perkembangan eksperimental model
inisiasi-promosi-progesi hepatokarsinogenesis pada tikus dimana inisiatornya
adalah DEN dengan dosis subkarsinogenik, promoternya adalah fenobarbital
secara kronis, dan progesornya adalah hidroksiurea atau ENU dosis tunggal.
Pola karakteristik inisisasi, promosi dan progresi pada tabel 3 telah divalidasi
dalam model hepatokarsinogenesis bertahap pada tikus yang dikembangkan oleh
protokol eksperimental pada gambar 6. Observasi Pitot dkk pada model ini
menunjukkan kemungkinan bahwa agen progresor dalam hepar tikus
meningkatkan instabilitas kariotipik pada hepatosit preneoplastik, menghasilkan
jumlah fokus hepatoseluler proliferatif dengan perubahan fenotip yang lebih
besar dan bersifat independen dari promoter, meningkatkan karsinoma
hepatoseluler secara signifikan saat diikuti oleh administrasi kronis agen
promoter dibandingkan tikus yang hanya menerima salah satu dari perlakuan
inisiasi atau promosi.
Terdapat gambaran perkembangan lesi proliferatip fokal dan noduler dari
hepatosit dengan perubahan fenotip, yang bersifat sekuensial, dimana gambaran
ini terlihat mendahului gambaran karsinoma hepatoseluler dengan hitungan
bulan. Lesi fokal yang muncul pada tahap awal proses hepatokarsinogenik telah
diklasifikasikan kedalam beberapa tipe berdasarkan karakteristik pewarnaan
sitoplasmik unik dalam segmen histologis yang diwarnai oleh hematoksilin dan
eosin. Gambar 7a menunjukkan fokul sel jernih yang terdiri dari hepatosit
hiperplastik dengan sitoplasma jernih karena pencucian likogen yang berjumlah
besar selama pemrosesan histologis. Sejumlah tipe fokus hepatoseluler
preneoplastik yang terlihat adalah termasuk fokus hepatosit dengan perubahan
fenotip serta kandungan glikogen yang banyak, dengan sitoplasma terwarnai
oleh eosin secara intensif dan memiliki ground-glass-appearance yang jernih

karena adanya retikuloendoplasma halus (fokus asidofilik/eosinofilik), contoh


lesi hepatoseluler diduga preneoplastic dan ganas neoplastik. Fokus sel yang
jelas hiperplastik hepatosit atipikal muncul di hati tikus di awal proses induksi
kimia hepatocarcinogenesis

multistage. fokus hepatoseluler hiperplastik

memamerkan pewarnaan histokimia sangat positif untuk kegiatan y ggt


diinduksi di hati tikus oleh hepatocarcinogenic inisiasi dan promosi rejimen.
karsinoma microhepatocellular (HCC) muncul dalam nodul hepatoseluler gigih
yang dibentuk dalam model tikus hepatocarcinogenesis multistage. area kecil
dari nodul hepatoseluler asli belum digantikan oleh populasi sel ganas
berkembang ditunjukkan oleh n. (H & E, X26.) D: Panah menggambarkan
karsinoma hepatoseluler cholangiocellular. (kanker hati terdiri dari kedua
hepatosit neoplastik ganas dan sel epitel bilier) dalam nodul hepatoseluler besar
dalam hati manusia sirosis. (Mallory trichrome, X26.)
Sel fokus yang berisi sitoplasma yang tidak menodai homogen dengan
hematoxylin atau noda dasar lainnya, tapi yang mengandung "rumpun" dari
retikulum endoplasma basophilic serta beberapa glikogen terukur (tigroid fokus
sel basofilik), dan fokus sel campuran terdiri dari campuran hepatosit diubah
yang mungkin termasuk sel yang jelas, sel eosinofilik, vakuolisasi terutama selsel lemak yang mengandung netral, dan sel-sel basofilik. fokus terdiri dari
hepatosit diubah yang sitoplasma noda difus dengan hematoxylin atau noda
dasar lainnya (homogen basophilic fokus) kekurangan glikogen, tetapi kaya akan
ribosom bebas. fokus ini juga mencirikan oleh indeks proliferasi lebih tinggi dari
yang jenis lain fokus dijelaskan di atas dan dianggap oleh beberapa orang untuk
menjadi lebih mungkin prekursor lesi untuk hepatocellular carcinoma pada tikus.
lesi hepatocellular fokus diinduksi di hati tikus baik dengan rejimen
hepatocarcinogenesis multistage atau setelah pengobatan hepatocarcinogenic
lengkap dapat jauh lebih mudah diidentifikasi dan jelas digambarkan dari
sekitarnya jaringan hati yang normal dengan menggunakan pilih histokimia dan
prosedur imunohistokimia untuk menunjukkan perubahan fenotipe tertentu. ini
telah termasuk kekurangan enzim tertentu (dalam, kehilangan 6-fosfatase
glukosa-dan / atau empedu canalicular ATPase), berlebih dari enzim atau enzim

kegiatan yang terdeteksi atau hadir pada tingkat yang sangat rendah di biasa
hepatosit tikus addult (yaitu, positif ekspresi dari y-glutamil transpeptidase, ggt,
dan bolus isozymic dari glutathione s-transferase, gst-p), ekspresi dari novel anti
gens, serta berbagai lain mengubah karakteristik fungsional (yaitu, glikogen
berubah penyimpanan, refrakter terhadap akumulasi stainable besi, perubahan
dalam ekspresi hepatik kesenjangan junction protein), di sini, itu juga harus
menekankan bahwa fokus hepatocellular preneoplastic diduga muncul dalam
hati tikus selama hepatocarcinogenesis multistage telah ditemukan ditandai
dengan derajat yang berbeda. heterogenitas fenotip sehubungan dengan salah
satu atau lebih dari enzimatik spesifik, antigenik, dan perubahan fungsional yang
dapat dipamerkan. Sebagai contoh, sementara aktivitas GGT kuat selektif
ditunjukkan oleh histokimia di banyak fokus hepatocellular diinduksi di hati
tikus berbagai rejimen hepatocarcinogenic multistage, tidak terdeteksi di
basophilic tikus hepatoseluler fokus disebabkan oleh proliferators Peroksisom
hepatocarcinogenic. Selain itu, meskipun GTT telah ditemukan untuk menjadi
penanda histokimia sangat berguna untuk menentukan mayoritas fokus
hepatocellular muncul di hati tikus di sebagian kondisi heptocarcinogenesis
multistage, itu adalah penanda kurang efektif untuk menggambarkan lesi
preneoplastic diduga dalam hati mouse dan juga belum ditentukan untuk
memiliki

nilai

diagnostik

praktis

dalam

menilai

lesi

seperti

di

hepatocarcinogenesis manusia . pada tikus, mayoritas fokus hepatoseluler juga


telah ditunjukkan dalam kebanyakan model hepatocarcinogenesis multistage
untuk memberikan pewarnaan imunohistokimia reaksi positif untuk GST-P,
sedangkan parenkim sekitarnya hati yang normal adalah negatif untuk kehadiran
isozim yang unik ini. Seperti halnya untuk GGT, proliferasi fokus hepatocellular
diinduksi di hati tikus oleh proliferators Peroksisom hepatocarcinogenic juga
telah ditemukan untuk tidak mengungkapkan GST-P. Menariknya, hepatosit
tunggal dan doublet hepatosit imunohistokimia positif untuk GST-P yang
diamati pada bagian histologis hati tikus yang disiapkan pada 2 sampai 4 hari
setelah mereka diberikan dosis tunggal dari hepatocarcinogen genotoksik (yaitu,
DEN). Deteksi GST-P seperti hepatosit-positif tunggal atau doublet telah

disarankan telah disarankan untuk mencerminkan langkah seluler pertama tikus


hepatocarcinogenesis, yaitu, penampilan individu (atau putri) diduga sel dimulai.
Sebaliknya, diduga sel diprakarsai tunggal belum diidentifikasi dalam salah satu
model organ eksperimental lain dari multistage karsinogenesis sel epitel yang
telah dijelaskan sampai saat ini. Namun, itu juga harus dicatat bahwa, dalam
kasus tikus hepatocarcinogenesis, sementara itu adalah wajar untuk berhipotesis
berdasarkan data yang tersedia yang dimulai hepatosit berasal dari hepatosit
carcinogenaltered, ada juga meningkatnya bukti yang menunjukkan bahwa
setidaknya insome model hepatocarcinogenesis, sel target awal mungkin sel hati
stemlike fakultatif (biasa disebut dengan sel sebagai oval) yang memiliki potensi
ketika diaktifkan untuk membedakan bersama baik hepatosit atau empedu
keturunan sel epitel. Namun, sejauh mana batang seperti seperti sel kontribusi
untuk pengembangan karsinoma hepatoseluler atau cholangiocellular (empedu)
karsinoma masih tetap menjadi isu kontrovelsial. Ekspresi protein oncofetal @
-fetoprotein adalah fitur fenotipik penting dari karsinoma hepatoseluler manusia,
yang disekresi oleh 40 sampai 70 persen dari tumor ini. @ -Fetoprotein Juga
terdeteksi dalam persentase yang signifikan dari karsinoma hepatoseluler tikus,
serta di sel oval berkembang biak diinduksi awal hati tikus oleh berbagai rejimen
hepatocarcinogenic. Namun, @ -fetoprotein telah sangat jarang terdeteksi di
diduga fokus hepatoseluler preneoplastic dan modul dari tikus.
Sekarang mapan bahwa fokus hepatocellular fenotip diubah diamati
dalam hati pada berbagai model tikus multistage dari hepatocarcinogenesis yang
monoklonal dalam asal, meningkat baik jumlah dan ukuran selama fase promosi
hepatocarcinogenesis, dan dalam tahap awal terutama diploid. Tambahan lagi,
itu secara umum telah mendalilkan bahwa fokus hepatocellular tersebut terdiri
dari keturunan klonal diperluas dari sel dimulai. Telah lanjut ditunjukkan dalam
hati tikus bahwa beberapa lesi focal mikroskopis dapat berkembang menjadi lesi
nodular terlalu terlihat fenotip diubah hepatosit hiperplastik. Istilah yang
digunakan untuk menggambarkan lesi nodular telah memasukkan nodul
hiperplastik, hepatoseluler nodul nodul neoplastik, dan bahkan adenoma
hepatoseluler.

Di sisi lain, tampaknya tidak pantas untuk menggunakan istilah-istilah


seperti nodul neoplastik dan adenoma hepatoseluler ketika mengacu secara
umum ke nodul tersebut, karena banyak dari mereka, serta banyak fokus
hepatoseluler, telah terbukti mundur atau merombak berikut penghentian
pengobatan yg dipromosikan. Namun, beberapa fokus hepatoseluler dan
beberapa nodul akan bertahan setelah stimulus promosi dihapus, dan inilah
terutama setelah dalam waktu lama, yang memiliki risiko terbesar terhadap
pengembangan karsinoma hepatoseluler. Ada, namun, tidak ada cara saat ini
untuk memprediksi dari awal muncul fokus hepatoseluler dan nodul akan
mundur atau merombak dan yang akan bertahan.
Potensi prakanker dari nodul hepatocellular gigih dalam hati tikus serta
bahwa dari fokus hepatoseluler gigih didasarkan pada deteksi karsinoma
hepatoseluler mikroskopis yang timbul dalam lesi ini (gbr. 7c). Dengan
demikian, nodul proliferatif persisten hepatosit fenotip diubah terlihat pada hati
tikus dapat dianggap sebagai analog dengan nodul macroregenerative hati
manusia bahwa kedua jenis lesi hati kotor prakanker telah dikaitkan dengan
perkembangan "nodul-in-nodul" lesi yang meramalkan munculnya terang
karsinoma (gbr. 7d). yang fokus promotor-independen hepatosit diubah dan,
khususnya, mereka menunjukkan "fokus-in-fokus" yang keduanya secara
signifikan meningkat pada hati tikus mengalami perlakuan inisiasi-promosikemajuan yang ditunjukkan pada Gambar. 6, juga mencerminkan perkembangan
klonal progresif sel diprakarsai terhadap karsinoma hepatoseluler. Selanjutnya,
hepatosit diisolasi dari fokus hepatoselular berubah tikus terkena hati memulai
agen diikuti oleh promotor tumor hati dan kemudian diobati dengan agen
progresif yang ditunjukkan untuk menunjukkan kerusakan kromosom dan
aneuploidi dibandingkan dengan mereka yang berasal dari tikus yang menerima
hanya inisiasi dan perawatan promosi.
12.5

KETAHANAN HEPATOSIT FENOTIPE


Pada tahun 1938, Alexander HAddow menyarankan bahwa dalam kondisi
dimana karsinogen menghambat proliferasi sel-sel normal, lingkungan dibuat yang dapat

memungkinkan untuk perkembangan sel-sel resisten yang akan diharapkan memiliki


keunggulan pertumbuhan selektif serta pameran kecenderungan yang lebih besar untuk
menjalani transformasi neoplastik. berdasarkan pandangan ini, Emmanuel Farber dan
rekan-rekannya mengembangkan apa yang sering disebut sebagai model Solt-Farber atau
model tikus hepatosit tahan dari hepatocarcinogenesis. Protokol prototypic untuk model
ini ditunjukkan pada Gambar. 6. Dalam protokol ini, tikus yang pertama terkena dosis
hepatonecrogenic tunggal DEN. Setelah periode 2 minggu pemulihan, hewan
ditempatkan pada diet basal yang mengandung dosis rendah 2-AAF untuk jangka waktu
total 2 minggu. Pada titik tengah dari pengobatan 2-AAF, tikus dikenakan PH, dan pada
akhir periode pengobatan 2-AAF, mereka ditempatkan pada diet basal karsinogen bebas.
Ketahanan hepatosit model tikus hepatocarcinogenesis ditandai dengan awal
perkembangan sejumlah besar lesi proliferatif fokal dan nodular kecil proliferasi dari
hepatosit dengan perubahan fenotip, yang sebagian besarnya mengalami perubahan
bentuk atau regresi setelah penghentian perlakuan 2-AAF. Namun sejumlah kecil nodul
hepatoseluler berkembang dan secara histologis tak dapat dibedakan dari yang diproduksi
pada model hepatokarsinogenesis kimiawi lainnya. Beberapa karsinoma hepatoseluler
dapat terlihat sekian bulan setelah lengkapnya regimen DEN/2-AAF/PH.
Analisis langkah-langkah komponen model hepatosit resisten tersebut memiliki
kesimpulan: (1) DEN diberikan dengan dosis karsinogenik yang cukup efektif dalam
induksi inisiasi: (2) 2-AAF mencukupi untuk mensupresi setidaknya 95% hepatosit
normal saat menjalani PH sebagai stimulus mitogen.(3) Hepatosit yang berubah akibat
DEN memiliki resistensi terhadap efek antimitogeik perlakuan 2-AAF, dan berproliferasi
secara selektif sebagai respon terhadap PH. (4) Minoritas sel teralterasi DEN sanggup
berevolusi secara klonn menjadi nodul hepatoseluler persisten yang terkadang berprogresi
menjadi karsinoma hepatoseluler yang jelas. Terdapat pula ketertarikan pada agen
promoter tumor seperti fenobarbital dan asam orotik yang menunjukkan efek
mikroinhibisi pada hepatosit normal, mensugestikanbahwa agen-agen tersebut mungkin
beraksi dalam proliferasi selektif juga resistensi terhadal lingkungan.
Data telah menunjukkan sejumlah mekanisme resistensi yang ditunjukkan oleh
progeni hepatosit terinisiasi oleh efek sitotoksik dan antimitogenik dari berbagai
hepatotoksin dan hepatokarsinogen. Hepatosit dengan fokus dan nodul preneoplastik

nyatanya memiliki defisiensi sitokrom P450 dan aktivitas oksidase lainnya. (Fase I
fungsi metabolisasi), namun menunjukkan kadar bentuk isozimik glutation-S-transferase.
Sejumlah besar hepatokarsinogen membutuhkan fase I, sehingga penurunan kadar
aktivitas fase I pada hepatosit preneoplastik sesuai dengan fenotip resisten. Aktivitas
tinggi GGT yang terlihat pada fokus dan nodul hepatoseluler terinduksi oleh berbagai
hepatokarsinogen, diasumsikan mampu melindungi sel-sel tersebut dari elektrofil reaktif
dengan cara meningkatkan kadar glutation intraseluler yang telah diukur dalam lesi-lesi
neoplastik. Hipotesis mekanisme lain untuk fenotip hepatosit teralterasi terkait fenotip
serta hepatokarsinogenesis terkait dengan perubahan permeabilitas membran plasma yang
menginhibisi pengambilan hepatokarsinogen kimiawi oleh hepatosit seperti 2-AAF oleh
hepatosit preneoplastik. Overekspresi P-glikoprotein (P-gp) yang terkode oleh famili gen
resisten multiobat, telah ditunjukkan dalam nodul hepatoseluler terinduksi karsinogen
pada karsinoma hepatoseluler hewan pengerat dan manusia. P-gp berfungsi sebagai
transporter membran plasma untuk mengeluarkan agen antineoplastik dari sitoplasma sel
kanker sehingga membuat sel-sel tersebut resisten terhadap kemoterapi kimiawi, terdapat
kemungkinan bahwa overekspresi P-gp pada nodul hepatoseluler an TGF-overekspresi
P-gp lebih relevan terhadap karsinoma hepatoseluler dibandingkan lesi prekursor awal.
12.6

FAKTOR PERTUMBUHAN
Faktor Pertumbuhan Transformasi- ditunjukkan memiliki faktor pertumbuhan
autokrin positif untuk hepatosit berproliferasi. Keterlibatan TGF- dalam perkembangan
karsinoma hepatoseluler didukung oleh beberapa observasi: (1) overekspresi TGF- pada
hewan coba maupun urin pasien dengan karsinoma hepatoseluler: (2) tingginya insidensi
perkembangan karsinoma hepatoseluler pada mencit transgenik dengan overekspresi
TGF-, (3) Perkembangan cepat neoplasma hepatoseluler pada mencit transgenik ganda
yang meng-overekspresikan c-myc dan TGF-: dan (5) kolaborasi hepatokarsinogen
genotoksik seperti DEN dan agen promoter tumor hepatik non-genotoksik seperti PB
dengan TGF- dalam mempercepat perkembangan tumor liver dan meningkatkan
insidensi karsinoma hepatoseluler dalam mencit jantan transgenik TGF-
IGF-II adalah polipeptida mitogenik yang dikembangkan secara reguler dan
diekspresikan pada hepar fetus dan nyaris tak terdeteksi dalam hepar pasien dewasa.

Namun ekspresi IGF-II yang sering tereaktivasi selama hepatokargenesis tikus, mencit
transgenik, pembawa virus hepatitis WoodChuck. Dalam model hepatokarsinogenesis
Woodchuck, IGF-II berkolaborasi untuk teroverekspresi secara bersamaan dengan gen Nmyc-2 dalam genom Woodchuck pada segmen histologis hepar dengan prekanker hewan
coba tersebut.
TGF-1 adalah inhibitor polipeptida poten dari proliferasi hepatosit dan pada
hepar yang beregenerasi mungkin berfungsi dominan sebagai faktor pertumbuhan hepar
parakrin negatif. Transkrip mRNA TGF-1 dan kadar polipeptidanya telah dilaporkan
mengalami kenaikan pada sejumlah karsinoma hepatoseluler manusia, dan TGF-1 dapat
terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimiawi. Pasien dengan karsinoma hepatoseluler
ditemukan mengalami kenaikan kadar TGF-1 plasma. Batas sel epitelial hepar tikus
yang tertransformasikan secara neoplastik telah menunjukkan overekspresi TGF-1.
Bagaimanapun juga, telah ada sejumlah bukti yang meningkat tentang hipotesis bahwa
akuisisi properti tumorigenik oleh hepatosit, juga batasan sel epitelial hepar tikus
tertransformasi, umumnya disertai resistensi terhadap efek antiproliferatif TGF-1.
Faktor Pertumbuhan Hepatosit/Faktor Sebar adalah stimulator polipeptida poten
dari proliferasi hepatosit dan telah dicanangkan bersamaan dengan TGF- untuk menjadi
efektor parakrin positif mitogenesis hepatosit in vivo menunjukkan pH atau selama
sejumlah variasi cidera hepatik dengan kehilangan sel parenkim. Secara berlawanan,
HGF/SF menginhibisi pertumbuhan batasan sel karsinoma. Overekspresi C-met (Reeptor
HGF/SF) telah dideteksi dalam sejumlah karsinoma hepatoseluler pada manusia, meski
fungsi biologisnya belum diketahui secara pasti.
Faktor pertumbuhan berperan penting dalam kemampuan mempengaruhi
proliferasi hepatosit prekankerl maupun malignansi, dan juga berperan dalam tahapantahapan yang berbeda dalam proses hepatokarsinogenesis dengan aksi untuk mengubah
diferensiasi hepatoseluler, stimulasi dan modulasi vaskularisasi tumor primer, dan
mungkin meregulasi sifat invasif dan metastasis.
12.6.1

Protoonkogen
Terdapat variasi spesies dengan pola spesifik protoonkogen seluler yang
bermutasi atau teroverekspresi selama hepatokarsinogenesis dalam studi

eksperimen. Contoh : aktivasi mutasional gen famili ras, terutama c-H-ras, telah
terdeteksi secara dominan dalam lesi hepatoseluler prekanker dan kanker. Mutasi
titik pada awal hepatokarsinogenesis umumnya tak adekuat untuk menginduksi
fenotip malignan, menunjukkan pola yang berbeda antara mencit terinduksi
kronis dengan tikus yang mengalami tumor hepar secara spontan, namun tak
selalu bahkan jarang terdeteksi pada setiap kasus karsinoma hepatoseluler.
Peningkatan ekspresi gen famili myc menunjukkan frekuensi bervariasi
dalam hepatokarsinogenesis tahap awal maupun lanjut pada hewan coba
eksperimental. Amplifikasi c-myc ditemukan pada sejumlah kecil karsinoma
hepatoseluler pada manusia. Ko-ekspresi c-myc dan TGF- meningkatkan
perkembangan karsinoma hepatoseluler dalam model mencit transgenik ganda
dan overekspresi c-myc dan TGF- pada sel epitelial hepar tikus yang
ditransformasi secara kimiawi telah terbukti berkorelasi dengan tingginya kadar
tumorigenisitas. Salah satu temuan menarik dalam studi tersebut adalah aktivasi
gen N-myc-2 pada lesi hepatoseluler preneoplastik dan neoplastik dari
woodchuck yang diinfeksi secara eksperimental dengan virus hepatitis
woodchuck. Namun aktivitas N-myc belum diobservasi dalam karsinoma
hepatoseluler pada manusia terkait dengan HBV kronis.
Variabilitas spesies dalam frekuensi inaktivasi mutasional gen supresor
tumor spesifik selama hepatokarsinogenesis bertahap juga telah ditemukan
antara hewan coba eksperimental dan manusia. LOH pada lokus di kromosom
1p, 4q, 5q, 8p, 8q, 10q, 11p, 13q (Situs gen Rb), 16q, 17p (Situs gen p53), dan
22q

telah

dilaporkan

untuk

karsinoma

hepatoseluler

pada

manusia,

mensugestikan bahwa kehilangan beberapa gen dalam regio-regio kromosom


tersebut adalah terkait dengan transformasi malignan hepatosit pada manusia.
Salah satu temuan yang perlu dicatat adalah alterasi p53 (mutasi dan atau
kehilangan alel) pada karsinoma hepatoseluler manusia. Sebagai contoh, sekitar
50% karsinoma hepatoseluler manusia berkembang pada pasien dari propinsi
Cina dan Afrika Selatan, di mana HBV adalah endemik dan paparan diet
terhafap Aflatoksin B1 sangat tinggi, ditemukan memiliki mutasi titik selektif G
ke T pada kodon 259 dari gen p53. Deteksi mutasi G ke T tersebut telah telah

terbukti konsisten dengan tipe kerusakan DNA yang diproduksi oleh paparan
aflatoksin dosis tinggi. Namun, karsinoma hepatoseluler dari regio dengan kadar
B1 yang rendah, menunjukkan frekuensi mutasi p53 G ke T kodon 249 yang
lebih rendah. Sejumlah besar pasien karsinoma hepatiseluler yang menampilkan
mutasi p53 G ke T pada kodon 249 secara selektif, memiliki riwayat infeksi
HBV. Mutasi kodon p53 dalam karsinoma hepatoseluler dalam area terpapar
aflatoksin dosis rendah telah dilaporkan memiliki prevalensi lebih tinggi pada
tumor yang berdiferensiasi rendah, mensugestikan bahwa progresi tumor dalam
karsinoma hepatoseluler mungkin terkait dengan inaktivasi p53.
Meski ada data yang tak bersesuaian, secara umum mutasi titik p53 tak
terdeteksi dalam karsinoma hepatoseluler mencit terinduksi sejumlah agen
hepatokarsinogen kimiawi, baik pada tikus, tupai, atau marmut tanah. Sejumlah
penelitian lain menemukan bahwa mutasi p53 atau RB bukan merupakan
karakteristik hepatokarsinogenesis.

14.6.2

Peran Cidera Hepar Kronis


Pada manusia, karsinoma hepatoseluler sering berkembang terkait
penyakit hepar kronis dikarakterisasikan oleh cidera hepar kronis dan kehilangan
sel parenkim, hepatitis jangka panjang, dan respons proliferatif berkala, berlanjut
pada nodul hepatoseluler makroregeneratif pada kondisi sirosis. Francis Chisari
dkk menyatakan bahwa terlepas dari etiologi, resultan berupa cidera hepar
kronis, inflamasi, dan regenerasi yan terdistorsi dengam pembentukan agen
mutagenik dalam hepar yang mungkin berkontribusi penting dalam transformasi
neoplastik hepatosit.
Sel inflamatori memicu pembentukan ROS yang mampu merusak DNA
dan membentukcDNA teroksidasi uang bersifat mutagenik. Sel inflamatori juga
memediasi formasi dimetilnitrosamin (DMN) endogen, zat hepatokarsinogen
poten.
Sejumlah

hewan

pengerat

model

hepatokarsinogenesis

telah

dikembangkan untuk investigasi peran cidera hepar, inflamasi, kematian jangka

panjang serta proliferasi hepatosit terkait patogenesis karsinoma hepatoseluler,


semisal model mencit transgenik alfa-antitripsin mutan Z dan HBV Bg/II-A,
juga tikus LEC (Long Evans) yang memiliki kadar tembaga tinggi, dan
akumulasi tembaga memiliki keterkaitan genetik yang tinggi dengan
perkembangan hepatitis. Hipometilasi DNA telah diamati pada hepar tikus LEC
yang mengalami perkembangan tumor, dan hipometiladi terjadi pada awal
hepatokarsinogenesis terinduksi kimiawi pada tikus dengan kemampuan normal
untuk memetabolisme tembaga. Hipometilasi DNA mungkin memegang peranan
pada

hepatokarsinogenesis,

salah

satunya

terlihat

dari

perkembangan

hepatokarsinoma pada tikus dengan diet tinggi zat tembaga.


14.6.3

Ringkasan dan Perspektif


Konsep karsinogenesis sebagai proses bertahap telah diterima dan
didukung oleh studi hewan eksperimental. Studi epidemiologis serta molekuler
telah menyediakan dukungan kuat untuk perkembangan kanker bertahap pada
manusia.
Menggunakan

model

hewan

coba,

terdapat

akses

untuk

mengklasifikasikan agen-agen kimia menurut perannya sebagai inisiator,


promoter atau karsinogen langkap. Potensi reversibilitas promosi bahkan
progresi tumor, gambaran ambang batas, hubungan epidemiologis hingga
molekuler antar para prekursor prekanker merupakan target relevan untuk
pendekatan prevensi kanker yang efektif.
Mendefinisikan

alterasi

genetik

dan

epigenetik

terkait

tahap

karsinogenesis pada hewan coba dan juga manusia, sangat penting bukan hanya
dari determinasi mekanisme potensial transformasi neoplastik bertahap, namun
juga sasaran untuk pengembangan strategi terapeutik dan prognostik yang
rasional seperti blokade kaskade faktor pertumbuhan, inhibisi angiogenesis,
restorasi fungsi gen supresor tumor, mempengaruhi diferensiasi terminal pada
tahap spesifik perkembangan malignansi.
Lebih jauh lagi, identifikasi titik-titik kunci mutasi spesifik dalam
protoonkogen atau gen supresor tumor tertentu terkait cidera karsinogenik

semisal transversi G ke T p53 pada kodon 249 individu yang terinfeksi HBV
pada wilayah dengan paparan aflatoksin B1 dosis tinggi, mendukung nilai
praktis epidemiologi molekuler dalam memprediksi resiko kanker.

Anda mungkin juga menyukai