Anda di halaman 1dari 9

Surga, Neraka dan Api Penyucian

oleh: Paus Yohanes Paulus II

Dalam tiga audiensinya yang kontroversial, Bapa Suci Yohanes Paulus II


menjelaskan bahwa karakteristik utama dari surga, neraka ataupun api penyucian
adalah bahwa ketiganya lebih merupakan keadaan makhluk rohani (malaikat /
iblis) atau jiwa manusia, daripada tempat, seperti yang pada umumnya dimengerti
dan digambarkan dalam bahasa manusia. Istilah `tempat', menurut Paus, kurang
sesuai untuk menggambarkan realitas sebenarnya, karena tempat terikat
pada keadaan duniawi di mana dunia ini dan kita berada. Dalam hal ini beliau
mempergunakan kategori-kategori filsafat yang dipergunakan Gereja dalam
teologinya dan mengatakan apa yang dikatakan St Thomas
Aquinas jauh sebelumnya.
Makhluk-makhluk rohani tidak berada di suatu tempat seperti yang kita ketahui
atau kita kenal, sebagaimana kita dapat mengatakan bahwa tubuh manusia ada di
sini atau di sana; tetapi keberadaan mereka sesuai bagi kodrat rohani, yang tak
dapat sepenuhnya diungkapkan kepada kita. [St Thomas Aquinas, Summa
Theologiae, Supplement, Q69, a1, reply 1]

Surga adalah Persekutuan Penuh dengan Tuhan


Surga sebagai persekutuan penuh dengan Tuhan adalah tema katekese Bapa
Suci pada Audiensi Umum tanggal 21 Juli 1999. Surga bukanlah suatu tempat
abstrak ataupun fisik di awan-awan, melainkan suatu hubungan pribadi yang
hidup dengan Tritunggal Mahakudus. Surga adalah perjumpaan kita dengan Bapa

yang terjadi dalam Kristus yang bangkit melalui persekutuan Roh Kudus,
demikian kata Paus.
1. Ketika tubuh duniawi ini berakhir, mereka yang menyambut Tuhan dalam hidup
mereka dan dengan tulus hati membuka diri terhadap kasih-Nya, setidak-tidaknya
pada saat ajal, akan menikmati persekutuan penuh dengan Tuhan yang adalah
tujuan hidup manusia.
Seperti diajarkan dalam Katekismus Gereja Katolik, Kehidupan yang sempurna
bersama Tritunggal Mahakudus ini, persekutuan kehidupan dan cinta bersama
Allah, bersama Perawan Maria, bersama para malaikat dan orang kudus,
dinamakan `surga'. Surga adalah tujuan terakhir dan pemenuhan kerinduan
terdalam manusia, keadaan bahagia tertinggi dan definitif. (no. 1024)
Pada hari ini kita akan berusaha memahami arti biblis dari surga, guna
mendapatkan pemahaman yang lebih baik akan realitas yang dimaksudkan di
dalamnya.
2. Dalam bahasa biblis surga atau terkadang disebut langit, apabila dipadukan
dengan bumi, menyatakan bagian dari alam semesta. Kitab Suci mencatat
tentang penciptaan,Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1).
Surga adalah Tempat Kediaman Allah yang Hidup
Dalam bahasa kiasan, surga / langit dimengerti sebagai tempat kediaman Allah,
yang dengan demikian berbeda dari manusia (bdk. Mzm 104:2dst; 115:16; Yes
66:1). Allah melihat dan mengadili dari ketinggian langit (bdk. Mzm 113:4-9) dan
turun apabila orang berseru kepada-Nya (bdk. Mzm 18:10, 11; 144:5). Namun
demikian, kiasan biblis menjadikan jelas bahwa Tuhan tidak mengidentifikasikan
Diri-Nya sebagai surga / langit, ataupun Ia termuat di dalamnya (bdk. 1Raj 8:27);
dan memang benarlah demikian, meskipun dalam beberapa ayat dalam Kitab
Pertama Makabe surga merupakan salah satu nama bagi Tuhan (1Mak 3:18, 19,
50, 60; 4:24,55).
Gambaran surga sebagai tempat kediaman mengagumkan dari Allah yang hidup
dihubungkan dengan tempat di mana umat beriman, melalui rahmat Tuhan, dapat
juga naik, seperti kita lihat dalam Perjanjian Lama tentang kisah Henokh (bdk. Kej
5:24) dan kisah Elia (bdk 2Raj 2:11). Dengan demikian, surga menjadi suatu
gambaran akan hidup dalam Tuhan. Mengenai hal ini, Yesus berbicara
tentang upah di sorga (Mat 5:12) dan mendorong kita untuk mengumpulkan
harta di surga (Mat 6:20; 19:21).
3. Perjanjian Baru mempertegas gagasan akan surga dalam hubungannya dengan
misteri Kristus. Guna menunjukkan bahwa kurban Sang Penebus memiliki nilai
yang sempurna dan definitif, Surat kepada Jemaat di Ibrani mengatakan bahwa
Yesus telah melintasi semua langit (Ibr 4:14), dan bukan masuk ke dalam

tempat kudus buatan tangan manusia yang hanya merupakan gambaran saja dari
yang sebenarnya, tetapi ke dalam sorga sendiri (Ibr 9:24). Karena umat beriman
dikasihi secara istimewa oleh Bapa, mereka diangkat bersama Kristus dan
dijadikan warga surgawi. Pantaslah kita mendengarkan apa yang dikatakan Rasul
Paulus kepada kita tentang hal ini dalam suatu ayat yang sangat mantap, Allah
yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar, yang dilimpahkanNya kepada kita, telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus,
sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita --oleh kasih karunia kamu
diselamatkan-- dan di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan
memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga, supaya pada masa yang
akan datang Ia menunjukkan kepada kita kekayaan kasih karunia-Nya yang
melimpah-limpah sesuai dengan kebaikan-Nya terhadap kita dalam Kristus
Yesus (Ef 2:4-7). Kebapaan Allah, yang kaya dengan belas kasih, dialami
makhluk ciptaan melalui kasih Putra Allah yang disalibkan dan bangkit, yang
duduk di surga di sebelah kanan Bapa sebagai Raja.
4. Setelah masa hidup kita di dunia, partisipasi dalam persekutuan penuh dengan
Bapa menjadi nyata melalui keikutsertaan kita dalam misteri paskah Kristus. St.
Paulus menekankan perjumpaan kita dengan Kristus di surga pada akhir jaman
dengan suatu gambaran tempat yang jelas, sesudah itu, kita yang hidup, yang
masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan
menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya
bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain
dengan perkataan-perkataan ini (1Tes 4:17-18).
Kehidupan Sakramental Merupakan Antisipasi Surga
Dalam konteks Wahyu, kita tahu bahwa surga atau kebahagiaan yang akan
menjadi milik kita bukan merupakan suatu tempat abstrak ataupun fisik di awanawan, melainkan suatu hubungan pribadi yang hidup dengan Tritunggal
Mahakudus. Surga adalah perjumpaan kita dengan Bapa yang terjadi dalam
Kristus yang bangkit melalui persekutuan Roh Kudus.
Senantiasa penting untuk menjaga batasan tertentu dalam menjabarkan realitasrealitas pokok ini sebab gambaran tentangnya senantiasa tak memuaskan.
Sekarang, ahli bahasa dengan lebih tepat menggambarkan keadaan bahagia dan
damai yang akan kita nikmati dalam persekutuan definitif kita dengan Tuhan.
Katekismus Gereja Katolik meringkas ajaran Gereja akan kebenaran ini, Oleh
kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus Kristus telah `membuka' surga bagi kita.
Kehidupan orang bahagia berarti memiliki secara penuh buah penebusan oleh
Kristus. Ia mengundang mereka, yang selalu percaya kepada-Nya dan tetap setia
kepada kehendak-Nya, mengambil bagian dalam kemuliaan surgawi-Nya. Surga
adalah persekutuan bahagia dari semua mereka yang bergabung sepenuhnya
dengan Dia (no. 1026).

5. Akan tetapi, keadaan akhir ini dapat diantisipasi dengan suatu cara sekarang ini
melalui kehidupan sakramental, yang pusatnya adalah Ekaristi, dan melalui
rahmat pribadi lewat belas kasih persaudaraan. Jika kita dapat menikmati secara
pantas hal-hal baik yang Tuhan limpahkan kepada kita setiap hari, kita telah
memulai pengalaman akan sukacita dan damai itu yang suatu hari kelak akan
sepenuhnya menjadi milik kita. Kita tahu bahwa di dunia ini segala sesuatu ada
batasnya, tetapi pemikiran akan realitas-realitas yang pokok akan membantu
kita untuk menghayati dengan lebih baik realitas-realitas sebelum keadaan akhir
tersebut. Kita tahu bahwa sementara kita melewatkan hidup di dunia ini, kita
dipanggil untuk mencari perkara yang di atas, di mana Kristus ada, duduk di
sebelah kanan Allah (Kol 3:1), agar dapat bersama-Nya dalam kepenuhan
akhirat, ketika Roh Kudus akan mendamaikan sepenuhnya dengan Bapa segala
sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga (Kol
1:20).

Neraka adalah Keadaan Mereka yang Menolak Tuhan


Dalam Audiensi Umum pada hari Rabu, 28 Juli 1999, Bapa Suci merefleksikan
neraka sebagai penolakan definitif terhadap Tuhan. Dalam katekesenya, Paus
mengatakan bahwa kita harus berhati-hati dalam menafsirkan secara tepat
gambaran-gambaran akan neraka dalam Kitab Suci. Selanjutnya, beliau
menjeaskan bahwa neraka merupakan konsekuensi pokok dari dosa itu
sendiri. Daripada tempat, neraka lebih menyatakan keadaan mereka yang
secara bebas dan definitif memisahkan diri dari Tuhan, sumber dari segala
kehidupan dan kebahagiaan.
1. Tuhan adalah Bapa yang mahabaik dan belas kasihan-Nya tak terbatas. Tetapi
manusia, yang dipanggil untuk menanggapi kasih-Nya secara bebas, sayangnya
dapat memilih untuk menolak kasih dan pengampunan-Nya sekali untuk selamalamanya, dengan demikian memisahkan diri selamanya dari persekutuan bahagia
dengan-Nya. Situasi tragis inilah yang dijelaskan ajaran kristiani ketika Gereja
berbicara mengenai siksa abadi atau neraka. Neraka bukanlah suatu
penghukuman yang ditetapkan secara sepihak oleh Tuhan, melainkan kelanjutan
dari penolakan yang dilakukan manusia semasa hidupnya. Dahsyatnya
ketidakbahagiaan yang terjadi akibat kondisi yang tak kita pahami ini, dengan
suatu cara dapat dimengerti dalam terang pengalaman-pengalaman buruk yang
kita alami, yang biasa disebut sebagai hidup dalam neraka.
Namun demikian, dalam arti teologis, neraka merupakan sesuatu yang lain: yaitu
konsekuensi pokok dari dosa itu sendiri, yang berbalik melawan orang yang
melakukannya. Neraka adalah keadaan mereka yang secara definitif menolak
belas kasih Bapa, bahkan pada saat akhir hidup mereka.
Neraka adalah Keadaan Siksa Abadi

2. Guna menggambarkan realitas ini, Kitab Suci mempergunakan bahasa simbolik


yang secara perlahan-lahan akan dijelaskan kemudian. Dalam Perjanjian Lama,
kondisi mereka yang meninggal belum sepenuhnya diungkapkan dengan Wahyu.
Lagipula, dianggap bahwa mereka yang meninggal dihimpun dalam Sheol, suatu
daerah kegelapan (bdk Yeh 28:8; 31:14; Ayb 10:21-22; 38:17; Mzm 30:10; 88:7,13),
suatu jurang di mana tak seorang pun dapat naik (bdk. Ayb 7:9), suatu tempat di
mana tak mungkin memuliakan Allah (bdk. Yes 38:18; Mzm 6:6).
Perjanjian Baru memberi terang baru pada kondisi mereka yang meninggal,
mewartakan di atas segalanya bahwa Kristus dengan kebangkitan-Nya telah
mengalahkan maut dan meluaskan kuasa-Nya hingga ke kerajaan maut.
Namun demikian, Penebusan tetap merupakan suatu tawaran keselamatan yang
adalah merupakan pilihan bebas manusia untuk menerimanya. Itulah sebabnya
mengapa mereka semua akan dihakimi menurut perbuatannya (Why 20:13).
Dengan menggunakan gambaran-gambaran, Perjanjian Baru menghadirkan
tempat yang ditetapkan bagi mereka yang jahat sebagai api yang bernyala-nyala,
di mana akan terdapat ratapan dan kertakan gigi (Mat 13:42; bdk. 25:30, 41),
atau seperti Gehenna dengan api yang tak terpadamkan (Mrk 9:43). Semuanya
ini dikisahkan dalam perumpamaan tentang orang kaya, di mana dijelaskan
bahwa neraka merupakan suatu tempat siksa abadi, tanpa kemungkinan untuk
kembali, ataupun mendapatkan keringanan atas sengsara mereka (Luk 16:19-31).
Kitab Wahyu juga secara simbolik menggambarkan suatu lautan api di mana
mereka yang memisahkan diri dari kitab kehidupan akan menemui kematian
yang kedua (Why 20:13 dst). Oleh sebab itu, mereka yang terus menutup diri
terhadap Injil mempersiapkan bagi dirinya sendiri kebinasaan selama-lamanya,
dijauhkan dari hadirat Tuhan dan dari kemuliaan kekuatan-Nya (2Tes 1:9).
3. Gambaran akan neraka yang dihadirkan Kitab Suci bagi kita haruslah ditafsirkan
secara benar. Gambaran-gambaran tersebut menunjukkan keputusasaan yang
ngeri dan kehampaan hidup tanpa Tuhan. Daripada* tempat, neraka lebih
menyatakan keadaan mereka yang secara bebas dan definitif memisahkan diri
dari Tuhan, sumber segala kehidupan dan kebahagiaan. Katekismus Gereja
Katolik meringkas kebenaran iman ini, Mati dalam dosa berat, tanpa
menyesalkannya dan tanpa menerima cinta Allah yang berbelaskasihan, berarti
tinggal terpisah dari-Nya untuk selama-lamanya oleh keputusan sendiri secara
bebas. Keadaan pengucilan diri secara definitif dari persekutuan dengan Allah
dan dengan para kudus ini, dinamakan `neraka' (no. 1033).
Karenanya, siksa abadi tidak berasal dari kehendak Allah, sebab dalam cintaNya yang berbelas kasihan, Ia hanya menghendaki keselamatan dari makhlukmakhuk yang diciptakan-Nya. Dalam kenyataannya, makhluk ciptaan itu
sendirilah yang menutup diri terhadap kasih-Nya. Kutuk secara tepat merupakan
perpisahan definitif dari Tuhan, yang dipilih manusia secara bebas dan dipertegas

dengan kematiannya yang memeteraikan pilihannya untuk selamanya.


Pengadilan Tuhan mengesahkan keadaan ini.
Kita diselamatkan dari neraka oleh Yesus yang mengalahkan Setan
4. Iman Kristiani mengajarkan bahwa dalam mengambil resiko mengatakan ya
atau tidak, yang menandai kebebasan makhluk ciptaan, sebagian ciptaan telah
mengatakan tidak. Mereka adalah makhluk-makhluk rohani yang berontak
melawan kasih Allah dan disebut setan (bdk. Konsili Lateran IV, DS 800-801). Apa
yang terjadi terhadap mereka merupakan peringatan bagi kita: suatu panggilan
terus-menerus untuk menghindari tragedi yang menghantar kepada dosa dan
menyesuaikan hidup kita dengan hidup Yesus yang menghayati hidup-Nya
dengan suatu jawaban ya terhadap Tuhan.
Siksa abadi tetap merupakan suatu kemungkinan yang nyata, namun demikian
kita tidak dianugerahi, tanpa wahyu Ilahi khusus, pengetahuan apakah seseorang
atau orang manakah yang terlibat secara efektif di dalamnya. Pemikiran tentang
neraka - dan bahkan tanpa penggunaan gambar-gambar biblis yang kurang
sesuai - janganlah sampai menimbulkan kecemasan ataupun keputusasaan,
melainkan sebagai suatu pengingat yang penting dan sehat akan kebebasan,
dalam mewartakan bahwa Kristus yang bangkit telah mengalahkan setan dan
menganugerahkan kepada kita Roh Allah yang memungkinkan kita berseru, ya
Abba, ya Bapa! (Rm 8:15; Gal 4:6).
Gagasan ini, yang kaya akan pengharapan, berlaku dalam pewartaan kristiani dan
secara efektif direfleksikan dalam tradisi liturgi Gereja seperti ditegaskan dalam
kata-kata Kanon Romawi ini, Terimalah dengan rela persembahan umat-Mu.
Bimbinglah jalan hidup kami, dan selamatkanlah kami dari hukuman abadi agar
tetap menjadi umat kesayangan-Mu.
* [Catatan: dalam bahasa aslinya, Italia, disebutkan (Pi che) Daripada tempat,
neraka lebih menyatakan Pernyataan ini mengemukakan dengan tepat bahwa
meskipun neraka pada dasarnya bukanlah suatu tempat, melainkan lebih
merupakan kehilangan Allah secara definitif, tercakup juga di dalamnya kurungan
/ penjara. Dengan demikian, setelah kebangkitan umum tubuh para terkutuk,
dalam rupa tubuh dan bukan roh, mereka tentunya berada di suatu tempat di
mana mereka akan menerima siksa api.

Api Penyucian adalah Pemurnian yang Diperlukan


Sebelum kita masuk dalam persekutuan penuh dengan Tuhan, setiap noda dosa
dalam diri kita harus dihapuskan dan setiap ketidaksempurnaan jiwa harus
disempurnakan.

Dalam Audiensi Umum pada hari Rabu, 4 Agustus 1999, sebagai kelanjutan dari
katekese beliau mengenai surga dan neraka, Bapa Suci merefleksikan api
penyucian. Beliau menjelaskan bahwa integritas fisik diperlukan untuk masuk
dalam persekutuan sempurna dengan Tuhan. Oleh sebab itu, istilah api
penyucian tidak menyatakan suatu tempat, melainkan suatu kondisi keadaan, di
mana Kristus menghapus sisa-sisa ketidaksempurnaan.
1. Seperti telah kita lihat dalam kedua katekese terdahulu, atas dasar pilihan definitif
menerima atau menolak Tuhan, manusia mendapati dirinya menghadapi salah
satu dari alternatif berikut: hidup bersama Tuhan dalam kebahagiaan kekal, atau
tetap jauh dari hadirat-Nya.
Bagi mereka yang mendapati diri dalam kondisi terbuka terhadap Tuhan, namun
masih belum sempurna, ziarah menuju kebahagiaan penuh menuntut suatu
pemurnian, yang dijelaskan iman Gereja dalam doktrin Purgatorium (bdk.
Katekismus Gereja Katolik no. 1030-1032).
Agar dapat ikut serta dalam kehidupan Ilahi, kita harus sepenuhnya dimurnikan
2. Dalam Kitab Suci, kita dapat menangkap bagian-bagian tertentu yang membantu
kita memahami arti ajaran ini, meskipun tidak digambarkan secara formal.
Bagian-bagian tersebut mengungkapkan keyakinan bahwa kita tak dapat datang
kepada Tuhan tanpa melewati semacam pemurnian.
Menurut hukum agama Perjanjian Lama, apa yang diperuntukkan bagi Tuhan
haruslah sempurna. Sebab itu, integritas fisik juga dituntut secara khusus dari
hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan pada tingkat persembahan seperti,
misalnya, binatang-binatang kurban (bdk. Im 22:22) atau pada tingkat
kelembagaan, seperti pada kasus para imam ataupun pelayan mezbah (bdk. Im
21:17-23). Pengabdian total terhadap Allah Perjanjian, senantiasa diajarkan
seperti didapati dalam Kitab Ulangan (bdk. Ul 6:5), dan yang harus sesuai dengan
integritas fisik ini, dituntut dari masing-masing individu dan masyarakat sebagai
suatu komunitas (bdk 1Raj 8:61), yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan
dengan segenap jiwa dan dengan berpegang pada perintah dan ketetapan TUHAN
(bdk. Ul 10;12 dst).
Perlunya integritas tak pelak lagi menjadi sangat penting sesudah kematian, agar
dapat masuk ke dalam persekutuan sempurna dan sepenuhnya dengan Tuhan.
Mereka yang tidak memiliki integritas ini harus menjalani pemurnian. Hal ini
dijelaskan dalam tulisan St Paulus. Rasul Paulus berbicara mengenai nilai
pekerjaan tiap-tiap orang yang akan dinyatakan pada hari pengadilan dan
mengatakan, Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan
mendapat upah. Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia
sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api (1Kor 3:14-15).

3. Adakalanya, guna mencapai keadaan integritas yang sempurna, dibutuhkan


perantaraan seseorang. Sebagai contoh, Musa memperolehkan pengampunan
bagi bangsanya dengan doa di mana ia mengingatkan kembali karya
penyelamatan yang dilakukan Tuhan di masa lampau, dan berdoa mohon
kesetiaan Tuhan atas sumpah-Nya kepada nenek-moyangnya (bdk. Kel 32:30, 1113). Sosok Hamba Tuhan, seperti dilukiskan dalam Kitab Yesaya, juga
digambarkan bahwa dengan peran pengantaraannya dan penebusannya bagi
banyak orang, pada akhir sengsaranya ia akan melihat terang dan akan
membenarkan banyak orang, kejahatan mereka dia pikul (bdk. Yes 52:13-53:12,
khususnya ay 53:11).
Mazmur 51 dapat dianggap, menurut sudut pandang Perjanjian Lama, sebagai
suatu perpaduan dari proses menuju kesempurnaan: pendosa mengakui dan
sadar akan kesalahannya (ay 5), mohon dengan sangat agar dimurnikan atau
dibersihkan (ay 4, 9, 11-12, 19) agar dapat mewartakan puji-pujian kepada Allah
(ay 17).
Purgatorium bukan suatu tempat, melainkan suatu kondisi keadaan.
4. Dalam Perjanjian Baru, Kristus ditampilkan sebagai Pengantara yang menjabat
peran Imam Agung pada hari pengadilan (Ibr 5:6; 7:25). Tetapi, dalam Dia, imamat
dihadirkan dalam bentuk yang baru dan definitif. Ia masuk ke dalam sorga sekali
saja untuk selamanya, untuk menjadi pengantara kita kepada Allah (bdk. Ibr 9:2326, khususnya ay 24). Ia sekaligus Imam Agung dan korban silih bagi dosadosa seluruh dunia (1Yoh 2:2).
Yesus, sebagai pengantara agung yang menebus kita, akan sepenuhnya
menyatakan diri pada akhir hidup kita ketika Ia akan mengungkapkan Diri-Nya
dengan tawaran belas kasihan, tetapi juga dengan pengadilan yang tak terelakkan
bagi mereka yang menolak kasih dan pengampunan Bapa.
Tawaran belas kasihan ini tidak meniadakan kewajiban kita untuk menghadirkan
diri di hadirat Allah dengan murni dan seutuhnya, penuh dengan kasih yang
disebut Paulus sebagaipengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan
(Kol 3:14).
5. Dalam mengikuti dorongan Injil untuk menjadi sempurna seperti Bapa Surgawi
(bdk. Mat 5;48) semasa kita hidup di dunia, kita dipanggil untuk bertumbuh dalam
kasih, untuk tak bercacat dan kudus di hadapan Allah Bapa pada waktu
kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya. (1Tes 3:12 dst).
Lagipula, kita diundang untuk menyucikan diri kita dari semua pencemaran
jasmani dan rohani (2Kor 2:1; bdk. 1Yoh 3:3), sebab perjumpaan dengan Allah
menuntut kesucian sepenuhnya.
Setiap kelekatan terhadap kejahatan harus dihapuskan, setiap
ketidaksempurnaan jiwa harus disempurnakan. Pemurnian harus dilaksanakan

sepenuhnya, dan sungguh, inilah yang dimaksudkan dengan ajaran Gereja


mengenai api penyucian. Istilah api penyucian tidak menyatakan suatu tempat,
melainkan suatu kondisi keadaan. Mereka yang, setelah kematian, berada dalam
keadaan pemurnian, telah berada dalam kasih Kristus yang menghapuskan dari
diri mereka segala sisa-sisa ketidaksempurnaan (bdk. Konsili Ekumenis Firense,
Decretum pro Graecis: DS 1304; Konsili Ekumenis Trente, Decretum de
iustificatione: DS 1580; Decretum de purgatorio: DS 1820).
Penting dijelaskan bahwa keadaan pemurnian bukanlah suatu perpanjangan dari
kondisi duniawi, hampir seakan-akan setelah kematian orang diberi kesempatan
lain untuk mengubah nasibnya. Ajaran Gereja dalam hal ini tegas, dipertegas lagi
oleh Konsili Vatikan II yang mengajarkan, Tetapi karena kita tidak mengetahui
hari maupun jamnya, atas anjuran Tuhan kita wajib berjaga terus-menerus, agar
setelah mengakhiri perjalanan hidup kita di dunia hanya satu kali saja (bdk. Ibr
9:27), kita bersama dengan-Nya memasuki pesta pernikahan, dan pantas
digolongkan pada mereka yang diberkati, dan supaya janganlah kita seperti
hamba yang jahat dan malas diperintahkan enyah ke dalam api yang kekal, ke
dalam kegelapan di luar, di tempat `ratapan dan kertakan gigi' (Mat 22:13 dan
25:30) (Lumen Gentium no. 48)
6. Satu aspek penting terakhir yang senantiasa ditunjukkan oleh tradisi Gereja
hendaknya kini digiatkan kembali: dimensi communio. Sesungguhnya, mereka
yang mendapati diri berada dalam keadaan pemurnian, dipersatukan baik dengan
para kudus yang telah menikmati kepenuhan kehidupan kekal, dan dengan kita di
bumi yang sedang dalam perjalanan menuju rumah Bapa (bdk. CCC, no. 1032).
Sama seperti dalam kehidupan mereka di dunia umat beriman dipersatukan
dalam satu Tubuh Mistik, demikian pula setelah kematian, mereka yang berada
dalam keadaan pemurnian menikmati kesetiakawanan gerejani yang sama, yang
bekerja melalui doa, doa-doa silih dan kasih bagi sesama saudara dan saudari
dalam iman. Pemurnian berada dalam ikatan pokok yang tercipta antara mereka
yang hidup di dunia ini dan mereka yang telah menikmati kebahagiaan kekal.
sumber : Heaven, Hell and Purgatory by Pope John Paul II; L'Osservatore Romano, Weekly
Edition in English
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan
mencantumkan: diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya

Anda mungkin juga menyukai