Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS INDIVIDU

EPILEPSI

Pembimbing :
dr. Taufiqur Rahman, SpA

Disusun Oleh :
Lustyafa Inassani Alifia
201420401011115

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus anak yang mengambil topik Epilepsi
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Kesehatan Anak di RS Muhammadiyah Lamongan. Tidak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan responsi
kasus ini, terutama kepada dr.Taufiqur Rahman, Sp.A selaku dokter pendamping yang
telah memberikan bimbingan kepada saya dalam penyusunan dan penyempurnaan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang kedokteran
khususnya Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Lamongan, 15 Oktober 2015

Penyusun
2

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar.................................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................... 4
BAB 2. LAPORAN KASUS............................................................................ 6
BAB 3. PEMBAHASAN.................................................................................. 11
BAB 4. KESIMPULAN................................................................................... 18
Daftar Pustaka................................................................................................... 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyebab terbanyak morbiditas di bidang


neurologi anak,yang menimbulkan berbagai permasalahan antara lain kesulitan
belajar, gangguan tumbuh-kembang, dan menentukan kualitas hidup anak. Insidens
epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan variasi yang luas, sekitar
4-6 per 1000 anak, tergantung pada desain penelitian dan kelompok umur populasi.
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan
pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50%
terjadi pada anakanak. Sebagian besar epilepsi bersifat idiopatik, tetapi sering juga
disertai gangguan neurologi seperti retardasi mental, palsi serebral, dan sebagainya
yang disebabkankelainan pada susunan saraf pusat1.
Epilepsi
pemeriksaan

merupakan

neurofisiologi

diagnosis
yang

klinis,

diperlukan

pemeriksaan
untuk

EEG

melihat

merupakan

adanya

fokus

epileptogenik, menentukan sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan


menentukan prognosis. Pemeriksaan pencitraan (neuroimaging) yang paling terpilih
adalah magnetic resonance imaging (MRI) untuk melihat adanya fokus epilepsi dan
kelainan struktural otak lainnya yang mungkin menjadi penyebab epilepsi. Ketika
anak sudah didiagnosis epilepsi, anak harus menjalani terapi dengan Obat Anti
Epilepsi (OAE) selama 2 tahun, dan pengobatan harus dilakukan rutin, hingga anak
tahun bebas kejang sejak kejang yang terakhir1.

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk membahas mengenai epilepsi pada
anak, diagnosis epilepsi, terapi epilepsi pada anak dan prognosis epilepsi pada anak
yang diterapi dengan obat anti epilepsi.

BAB 2
LAPORAN KASUS

An. A usia 7 bulan dibawa ke IGD Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan


dengan keluhan kejang. Anak kejang 30 menit sebelum dibawa ke UGD. Sebelumnya
di rumah pasien kejang sebanyak 3 kali, sekali kejang 1 menit. Saat kejang seluruh
tubuh kaku, tangan mengepal, mata melirik ke atas dan mulut tidak mengeluarkan
busa. Ibu pasien mengatakan kejang seperti orang terkejut. Ketika kejang anak tidak
panas. Di antara kejang anak sadar dan menangis. Riwayat pernah kejang dengan
demam sebelunya disangkal. Panas sumer-sumer sebelumnya disangkal, batuk pilek
disangkal, diare (-), muntah (-). Riwayat trauma (-). BAK banyak, terakhir ganti
popok sore sebelum dibawa ke IGD. Satu minggu ini anak belum BAB.
Satu bulan sebelum pasien kejang, pasien berobat ke poli anak dengan
keluhan yang sama yaitu kejang, di mana saat itu merupakan kejang pertama yang
dialami pasien. Pasien juga sudah melakukan pemeriksaan EEG dengan hasil
abnormal dan kesimpulan epilepsi. Pasien kemudian diterapi epilesi dengan obat
lepsio sirup 2x1.2 cc, neurotam sirup 2x1.2 cc,dan maltofer 2x7 tetes. Pasien sudah
menjalani terapi ini selama 2 minggu, ibu mengatakan selalu meminumkan obatnya
secara rutin, namun kali ini kejang muncul kembali.
Di keluarga pasien ada yang pernah mengalami kejang yaitu kakak pasien,
yang saat ini berusia 7 tahun. Namun setelah terakhir kejang usia 1 tahun, kakak
pasien sudah tidak pernah kejang lagi. Riwayat persalinan pasien dulu anak lahir
secara normal dengan BBL 3000 gram, bayi lahir langsung menangis. Riwayat
6

imunisasi pasien lengkap sampai usia 6 bulan. Riwayat tumbuh kembang anak saat
ini anak bisa tengkurap, namun belum bisa membalikkan tubuhnya sendiri. Anak juga
sudah mengoceh, namun belum membentuk kata-kata.
Hasil dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak lemah
kesadaran kompos mentis, GCS 456 dan kesan gizi cukup. Berat badan pada saat
periksa 7.8 kg. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan: nadi 116x/menit (regular,
kuat), respiratory rate 30x/menit, suhu tubuh 37,10C, dan SpO2 100% tanpa oksigen
support. Pada pemeriksaan kepala dan leher, didapatkan anemis (-), sclera mata
ikterik (-), sianosis (-), dyspneu (-), mukosa bibir kering (-), pernapasan cuping
hidung (-). pembesaran kelenjar KGB (-). Pada pemeriksaan paru, didapatkan suara
nafas yang vesikuler pada kedua lapang paru. Tidak didapatkan rhonki ataupun
wheezing pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan jantung didapatkan S1 dan S2
tunggal tidak didapatkan murmur dan gallop. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan
abdomen flat, soepel, turgor kembali cepat, liver teraba normal, lien, dan renal tidak
teraba, meteorismus (-), dan bising usus (+) dalam batas normal. Pada pemeriksaan
akral teraba hangat, kering, merah. Status neurologis pada pasien ini kaku kuduk (-),
burdzinski I-IV (-), hipotonus, Reflek fisiologis BPR +2|+2, TPR +2|+2, KPR +2|+2,
APR +2|+2, Reflek patologis Babinski (-|-), chaddok (-|-) reflek cahaya +/+ pupil
bulat isokor 3mm/3mm.
Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini: Eritrosit 5.24, Hb 10.3, Limfosit
43.6, Basofil 3.5, Eosinofil 1.0, Hematokrit 31.4, Leukosit 6.7, MCH 19.70, MCHC
30.10, MCV 65.30, Monosit 12.4, MPV 5, Neutrofil 39.5, RDW 15, Trombosit 200,
GD 97.
7

Berdasarkan data di atas, didapatkan clue and cue sebagai berikut: Anak A,
laki-laki, usia 7 bulan, BB actual 7.8 kg, kejang 3x, lama kejang 1 menit, saat kejang
anak tidak panas, di antara kejang anak sadar, riwayat trauma (-), riwayat keluarga
kejang (+), riwayat kejang dengan demam (-), hasil EEG epilepsi, sudah terapi lepsio
dan neurotam selama 2 minggu. Problem list pada pasien ini adalah: (1) Kejang
berulang tanpa demam (2) Kejang tanpa provokasi (3) Kejang tanpa penurunan
kesadaran (4) Riwayat terapi epilepsi 2 minggu (5) Hasil EEG epilepsi (6) Defisit
neurologis (-).
Berdasarkan clue and cue dan problem list, maka pasien dapat didiagnosis
sebagai epilepsi. Adapun planning theraphy pada pasien ini akan dilakukan yaitu
IVFD KaEn 1B 850cc/24 jam, injeksi phenytoin loading 130 mg kemudian lanjut
phenytoin 3x50 mg, Injeksi diazepam 2.5 mg hanya jika kejang. Planning monitoring
yang dilakukan adalah keadaan umum pasien, tanda-tanda vital (nadi, respiratory
rate, suhu tubuh), serta observasi kejang berulang pada anak. Adapun prognosis
pasien pada kasus ini dalah quo ad vitam dubia ad bonam. Edukasi yang diberikan
pada keluarga pasien adalah menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit,
etiologi, pengobatan, serta prognosis.

Tabel SOAP

4.
Neurotam 2x1.3 cc

10

3.
Lepsio 2x 1.3cc

2.
Kutoin stop

1.
-Inf. KaEn 1B 850cc/24 jam

Therapy

11

Obs. Convulsi e.c Epilepsi

Assesmen

traksi dinding dada -, trakea di tengah

12

pulmoThorax :Perbesaran KGB (-)Leher :


a(-) i(-) c(-) d(-)

Kepala :

LK: 45cmT 36.6CRR 23x/mntN 106x/mnt

Objective

GCS 456 KU lemah

Objective

13

2015Desemer 20 ASI (+) mau.

Tanggal
Sesak (-)

Kejang (-) Panas (-)

Subject

14

4.
Acc KRS

3.
Maltofer 2x7 tetes

2.
Neurotam 2x1.3 cc

1.
Lepsio 2x 1.3cc

Therapy

15

Epilepsi

Assesmen

t, simetris ,retraksi dinding dada -, trakea di tengah

16

pulmoThorax :Perbesaran KGB (-)Leher :


a(-) i(-) c(-) d(-)

Kepala :LT 37,3CRR 23x/mntN 100x/mnt

Objective

GCS 456 KU lemah

Objective

Kejang (-)
2015Desemer 21 ASI (+) mau

Panas (-)

Muntah (-)

Subject
Tanggal

BAB 3
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang An. A usia 7 bulan datang dengan keluhan kejang.
Kejang pada pasien ini perlu dipikirkan berbagai macam penyebabnya,

karena

kejang sendiri sebenarnya bukan suatu diagnosis, melainkan suatu manifestasi

17

lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron otak. Hal ini

penting karena

diagnosis etiologi dari kejang pada anak akan menentukan terapi, prognosis, serta
edukasi pada keluarga nantinya. Berdasarkan serangan kejang, kejang pada anak
dapat dibedakan serangan akut dan kronik berulang. Kondisi akut pada kejang ini
dapat melalui proses infeksi, gangguan metabolisme, maupun gangguan elektrolit.
Pada kondisi infeksi, kejang dapat dibagi dalam infeksi intrakrainal maupun
ekstrakrainal. Proses infeksi intrakranial yang menyebabkan kejang dapat berupa
meningitis, encephalitis, meningoencephalitis, dan abses otak. Sedangkan etiologi
non-infeksi dapat berupa adanya trauma, Space Occupying Process (SOP) seperti
perdarahan intrakranial. Kejang yang disebabkan oleh suatu proses intrakranial dapat
bermanifestasi berat pada anak, seperti panas tinggi, nyeri kepala, muntah,
penurunan kesadaran, serta didapatkan adanya defisit neurologis2. Pada pasien ini,
keluhan kejang tidak diikuti dengan penurunan kesadaran, panas tinggi maupun
muntah proyektil sehingga kemungkinan penyebab kejang berasal dari intracranial
dapat disingkirkan. Hal ini didukung pula dari hasil pemeriksaan fisik dimana
keadaan umum anak baik, GCS 456, suhu tubuh anak 37,1o C, meningeal sign (-),
tidak didapatkan defisit neurologis, serta dari hasil laboratorium tidak didapatkan
pertanda infeksi. Pada pasien ini juga tidak didapatan adanya riwayat trauma
sehingga penyebab kejang karena trauma dapat disingkirkan. Lingkar kepala pada
anak ini adalah 45cm, dimana menurut kurva Neilhauss, ukuran anak laki-laki usia 7
bulan 45 cm termasuk normocephali. Sehingga kemungkinan adanya hidocephalus,
ataupun kondisi mikrocephali yang dapat menjadi salah satu penyebab kejang karena
kelainan anatomi dapat disingkirkan.
18

Adanya gangguan keseimbangan elektrolit maupun gangguan metabolisme


juga dapat mencetuskan serangan kejang. Keadaan-keadaan seperti muntah profuse,
maupun diare, dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit yang dapat
mencetuskan terjadinya kejang. Keadaan gangguan keseimbangan elektrolit
menyebabkan perubahan konsentrasi ion di ekstraseluler. Sehingga keadaan ini akan
mencetuskan eksitasi dari sel neuron yang berlebihan sehingga akan menyebabkan
kejang. Dalam kasus ini, anak tidak mengalami pengeluaran cairan yang profuse yang
berpotensi membuat keseimbangan elektrolit pada anak terganggu, seperti muntah
ataupun diare. Pada pasien ini memang belum diperiksakan untuk serum
elektrolitnya, sehingga kemungkinan kejang karena gangguan keseimbangan
elektrolit atau gangguan keseimbanagn elektrolit sebagai faktor penyerta masih belum
dapat disingkirkan.
Selain penyebab intrakranial, penyebab kejang tersering pada anak <5 tahun
adalah proses ekstrakranial yaitu kejang demam. Pada kejang demam, kejang disertai
demam >38,5o C, kejang tanpa penurunan kesadaran, tanpa ada riwayat kejang tanpa
demam sebelumnya. Pada pasien ini secara umur dapat dipikirkan masuk ke dalam
kategori kejang demam, dan memang anak sadar di antara kejang. Namun pada
pasien ini kejang tidak disertai demam, karena suhu tubuh anak 37,1o C, dan setiap
anak kejang tidak disertai peningkatan suhu tubuh, serta tidak didapatkan riwayat
kejang dengan demam sebelumnya. Sehingga dalam hal ini kejang demam bukan
sebagai diagnosis banding.
Dalam kasus ini, serangan kejang tidak hanya terjadi satu kali, melainkan
terjadi berulang, dan kejang terjadi tanpa pencetus. Dalam hal ini perlu dipikirkan
19

suatu epilepsi pada anak, di mana kejang pada epilepsi terjadi kronik dan berulang.
Bangkitan epilepsi muncul tanpa diprovokasi, bersifat tiba-tiba dan transient, dan
klinis bangkitan serupa (stereotipik). Etiologi epilepsi secara garis besar adalah
idiopatik, dapat pula terjadi karena infeksi SSP, yang dapat menyebabkan kelainan
bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun
seluruh bagian otak. Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan
oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak.
Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan
inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol 1.
Dalam kasus ini seorang anak laki usia 7 bulan datang dengan keluhan kejang.
Menurut peneitian I Gusti (2011) mengenai Insiden dan Karakteristik Klinis Epilepsi
pada Anak, berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi
menderita epilepsi, tetapi tidak ditemukan perbedaan ras. Pada pasien ini kejang
terjadi tiga kali, di mana di antara kejang anak sadar. Kejang sebanyak 3 kali, sekali
kejang 1 menit. Saat kejang seluruh tubuh kaku, tangan mengepal, mata tidak melirik
ke atas. Ketika kejang anak tidak panas. Di antara kejang anak sadar dan menangis.
Pasien tidak memiliki riwayat kejang dengan demam sebeumnya. Menurut penelitian
I Gusti (2011), sebagian besar pasien epilepsi pada anak tidak mempunyai riwayat
kejang demam sebelumya. Selain itu pasien ini memiliki faktor resiko di keluarga
pasien ada yang pernah mengalami kejang yaitu kakak pasien, yang saat ini berusia 7
tahun. Sehingga pada pasien ini dapat didiagnosis sebagai suatu epilepsi.
Diagnosis

epilepsi didasarkan atas gejala dan tanda klinis yang khas,

sehingga membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil


20

pemeriksaan penunjang diagnostik

saja, justru informasi diperoleh

melakukan anamnesis yang lengkap dengan pasien maupun saksi

sesudah

mata

yang

mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan


pemeriksaan fisik & neurologi 3. Epilepsi merupakan diagnosis klinis, pemeriksaan
EEG merupakan pemeriksaan neurofisiologi yang diperlukan untuk melihat adanya
fokus epileptogenik, menentukan sindrom epilepsi tertentu, evaluasi pengobatan, dan
menentukan prognosis. Hasil rekaman EEG dipengaruhi oleh banyak faktor dan tidak
selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin pada rekaman EEG. Gambaran EEG
normal dapat dijumpai pada anak dengan epilepsi, sebaliknya gambaran EEG
abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15% populasi normal. Gambaran EEG
noral pada pasien dengan epilepsi dapat terjadi karena rekaman EEG dilakukan pada
saat anak sudah tidak kejang (inter-ictal). Di samping itu, hasil rekaman EEG yang
akan memberikan hasil yang positif memerlukan beberapa prosedur aktivasi,
misalnya

tidur, hiperventilasi, dan stimulasi fotik. Pasien ini sudah melakukan

pemeriksaan EEG dengan hasil abnormal III dan kesimpulan epilepsy, sehingga pada
pasien ini dapat ditegakkan diagnosis epilepsi.
Pasien kemudian diterapi epilesi dengan obat lepsio (asam valproat) sirup
dengan dosis 2x1.2 cc, neurotam (piracetam) sirup 2x1.2 cc, dan maltofer (zat besi)
2x7 tetes. Pemberian terapi epilepsi memang sebisa mungkin dengan obat tunggal
(monoterapi), dan dimulai dari dosis terkecil. Pemberian obat tunggal (monoterapi)
akan menurunkan risiko timbulnya efek samping, meningkatkan kepatuhan, dan
menghindari timbulnya interaksi obat. Pemberian obat tunggal juga lebih bernilai
ekonomis. Dengan terapi yang efektif, 80% kejang pasien epilepsi dapat dihentikan
21

dengan monoterapi. Dalam kasus ini, pasien sudah menjalani terapi ini selama 2
minggu, dan ibu mengatakan selalu meminumkan obatnya secara rutin, namun kali
ini kejang muncul kembali. Dalam penelitian Triono & Herini (2014) mengenai
Faktor Prognostik Kegagalan Terapi Epilepsi pada Anak dengan Monoterapi,
didapatkan kelompok prognosis sangat baik ditemukan pada 20%-30% dari semua
anak yang mengalami bangkitan kejang tanpa provokasi dan kemungkinan besar
remisi spontan. Kelompok prognosis baik ditemukan pada 30%-40% kasus, kejang
biasanya terkontrol dengan baik dengan OAE dan ketika remisi tercapai sifatnya
permanen dan OAE dapat dengan baik diturunkan atau dihentikan. Kelompok
tergantung OAE terdapat pada 10%-20% kasus, di mana kejang dapat ditekan dan
mengalami remisi, tetapi kemudian relaps jika OAE dihentikan.
Pada pasien ini, dosis asam valproat sirup yang diberikan adalah 2x 1.2cc.
Dosis asam valproat untuk anak adalah 15 mg/kgbb/hari. Berat badan anak 7.8kg.
Jika dibulatkan menjadi BB 8 kg, dosis asam valproat sirup yang dibutuhkan dalam
sehari adalah 120 mg, terbagi dalam 2 dosis. Kemasan asam valproat sirup adalah
250mg/5 mL, sehingga dosis yang dibutuhkan dalam satu kali minum 1.2 cc.
Pemberian dosis asam valproat pada pasien ini tepat, namun mempertimbangkan anak
masih mengalami kejang kembali, sebenarnya untuk dosis asam valproat sendiri
dapat dinaikkan 5-10mg/kgBB/hari dengan selang waktu 1 minggu, dengan dosis
maksimal 60mg/kgBB/hari. Sehingga pada pasien ini ditingkatkan dosisnya menjadi
2x 1.3 cc dengan harapan tidak terjadi serangan kejang berulang kembali.
Pasien ini mendapatkan terapi epilepsi monoterapi asam valproat. Asam
valproat merupakan antiepilepsi yang luas digunakan di Indonesia dan tergolong
22

dalam obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan pengawasan pada
level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah timbulnya efek
toksik. Dalam penelitian Lingga dkk (2013) tentang Evaluasi Dosis Asam Valproat
pada Pasen Epilepsi Anak, dua puluh satu pasien epilepsi anak pada kelompok umur
12 tahun dengan monoterapi asam valproat mengalami durasi bebas kejang < 6
bulan. Pasien epilepsi anak pada kelompok umur 12 tahun dengan monoterapi
asam valproat yang mengalami durasi bebas kejang 6 bulan sebanyak 33
pasien.
Kesesuaian kadar asam valproat dalam serum terhadap kisar terapi sangat
penting, agar memberikan efek terapi yang optimal. Karena secara klinik kadar
obat yang berada pada kisar terapi telah dibuktikan berkorelasi dengan efek
terapi obat. Dalam kisar terapi dikenal istilah Minimum Effective Concentration
(MEC) atau sering disebut nilai ambang efek, dan MTC (minimum toxic
concentration) atau bisa disebut nilai ambang toksik (Hakim, 2012). Apabila
berdasarkan hasil perhitungan, perkiraan kadar asam valproat memberikan nilai
berada di bawah nilai MEC (50 mg/L), maka asam valproat tidak menimbulkan
efek terapi. Selain itu juga adanya perbedaan tingkat keparahan epilepsi dan
kondisi masing-masing individu pasien dapat menyebabkan adanya perbedaan
outcome yang dicapai. Menurut Shargel dkk. (2005), outcome tidak tercapai juga
dapat disebabkan oleh adanya perubahan kepekaan pada reseptor dan kemungkinan
terjadi interaksi obat pada reseptor. Clinical outcome yang dilihat adalah durasi
bebas kejang yang ditetapkan selama 6 bulan. Outcome terapi dikatakan baik
apabila dalam jangka waktu 6 bulan berturut-turut setelah mendapat terapi asam
23

valproat pasien terbebas dari kejang, dan sebaliknya outcome terapi dikatakan tidak
baik apabila durasi bebas kejang kurang dari 6 bulan.
Selain dari sisi terapi epilepsi yang sedang dijalani pasien, kemungkinan
serangan kejang kembali yang dialami pasien adalah adanya fokus epileptogenik
yang baru. Serangan epilepsi diperkirakan dapat memicu terjadi serangan berikutnya
melalui

fenomena

fasilitasi.

Konsep

pembentukan

epileptogenik baru) akibat serangan epilepsi berulang

epileptogenesis

(fokus

disebut sebagai kindling

hypothesis. Bangkitan elektrik pada sebuah fokus primer akan dapat menginduksi
daerah sekitarnya sehingga mencetuskan bangkitan

paroksismal yang abnormal.

Status epileptikus adalah faktor prognostik kegagalan monoterapi. Kejang


berkepanjangan dan berulang dapat menyebabkan kerusakan otak akibat pacuan
asam amino eksitatorik yang toksik. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi
pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau
menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan, An. A didiagnosis sebagai epilepsi, sehingga


memerlukan terapi OAE selama 2 tahun dengan harapan selama 2 tahun anak dapat
bebas kejang sejak kejang yang terakhir. Faktor yang menyebabkan timbunya kejang
kembali pada anak ini bisa disebabkan karena diperlukannya tambahan dosis asam
24

valproat yang diberikan, dan dapat disebabkan pula karena munculnya fokus
epileptogenik baru pada anak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwarba, I Gusti Ngurah Made. 2011. Insiden dan Karakteristik Epilepsi pada
Anak. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Sari Pediatri, Vol. 13 No. 2, Agustus
2011.

25

2. Muzayyanah, Nur Laili, Sunartini Hapsara, Tunjung Wibowo, 2013. Kejang


Berulang dan Status Epileptikus pada Ensefalitis sebagai Faktor Resiko Epilepsi
Pascaensefalitis. Bagian

Ilmu

Kesehatan

Anak

Fakultas

Kedokteran

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta RSUP Dr. Sardjito, Sari Pediatri Vol. 15,
No. 3, Oktober 2013.
3. Sunaryo, Utoyo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Bagian Neurologi FK UWKS RSUD
Dr. Moh. Saleh Kota Probolinggo. Wijaya Kusuma, Volume 1, Nomor I, Januari
2007, 49-56.
4. Triono, Agung & Herini, Elisabeth. 2014. Faktor Kegagalan Monoterapi Epilepsi
pada Anak dengan Monoterapi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr.Sardjito, Yogyakarta. Sari Pediatri Vol. 16, No.
4. Desember 2014.
5. Lingga, Herningtyas, Lukman Hakim, I Dewa Putu Pramantara. 2013. Evaluasi
Dosis Asam Valproat pada Pasien Epiepsi Anak. Jurnal Manajemen dan Pelayanan
Farmasi Vol. 3 No.2/ Juni 2013.

26

Anda mungkin juga menyukai