Anda di halaman 1dari 6

J Kedokter Trisakti

September-Desember 2002, Vol.21 No.3

Sindrom ovarium polikistik:


permasalahan dan penatalaksanaannya
Laksmi Maharani, Raditya Wratsangka
Bagian Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

ABSTRACT
Polycystic ovary syndrome is one of the most common endocrine disorder in women of reproductive age
that is associated with hormonal disturbance and influencing general health. Clinical and biochemical features
or other examination have varied results. The reason that cause a patients to see the physician were menstrual
cycle disturbance, infertility, obese, hirsute, and other complication such as hypertension, hypercholesterolemia
and diabetes. The polycystic ovary syndrome is not only caused of gynaecological problems, but is also related
to other metabolic disturbance, such as insulin resistance with for long term health implications. Women with
this syndrome have an increased risk of diabetes mellitus, coronary disease and endometrial carcinoma. Insulin
sensitizing agent can help the patients to improve hormonal disturbance as basis of problems in this syndrome.
Key words : Polycystic ovary syndrome, hyperandrogenism, women, reproductive

ABSTRAK
Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu masalah endokrinologi pada wanita masa reproduksi yang
berhubungan dengan kelainan hormonal dan dapat mempengaruhi kesehatan wanita tersebut secara umum. Pada
kenyataannya, baik gejala klinik, pemeriksaan biokimiawi maupun pemeriksaan penunjangnya dapat memberikan
hasil yang bervariasi. Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindrom ini datang ke dokter
ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi dan infertilitas, masalah obesitas dan pertumbuhan rambut yang
berlebihan serta kelainan lainnya seperti hipertensi, kadar lemak darah dan gula darah yang meningkat. Saat ini
sudah terbukti bahwa sindrom ovarium polikistik tidak hanya menyebabkan kelainan pada bidang ginekologi saja
tetapi juga berkaitan dengan kelainan metabolisme lain, yaitu adanya resistensi insulin yang berimplikasi pada
kesehatan jangka panjang pasien. Wanita dengan kelainan ini mempunyai risiko lebih besar untuk mendapat
penyakit diabetes melitus, penyakit jantung koroner dan karsinoma endometrium. Adanya terapi berupa senyawa
sensitisasi insulin diharapkan dapat membantu pasien memperbaiki kelainan hormonal yang mendasari kelainan
pada sindrom ini.
Kata kunci : Sindrom ovarium polikistik, hiperandrogenisme, wanita, reproduksi

PENDAHULUAN
Definisi klinis dari sindrom ovarium polikistik
yang diterima secara luas adalah suatu kelainan
pada wanita yang ditandai dengan adanya
hiperandrogenisme dengan anovulasi kronik yang
saling berhubungan dan tidak disertai dengan
kelainan pada kelenjar adrenal maupun kelenjar
hipofisis.(1-3) Hiperandrogenisme merupakan suatu
keadaan di mana secara klinis didapatkan adanya
hirsutisme, jerawat dan kebotakan dengan disertai
peningkatan konsentrasi androgen terutama
98

testosteron dan androstenedion. Obesitas juga


dijumpai pada 50-60% penderita sindrom ini.
Pengukuran obesitas dengan menggunakan indeks
massa tubuh (IMT), yaitu berat badan/(tinggi
badan)2 >25 kg/m2. (4) Ciri-ciri ini berhubungan
dengan hipersekresi dari luteinizing hormone (LH)
dan androgen dengan konsentrasi serum follicle
stimulating hormone (FSH) yang rendah atau
normal.(2) Penyebab sindrom ini tidak jelas, akan
tetapi terdapat bukti adanya kelainan genetik yang

J Kedokter Trisakti

kemungkinan diwariskan oleh ibu atau ayah, atau


mungkin keduanya. Gen tersebut bertanggung
jawab atas terjadinya resistensi insulin dan
hiperandrogenisme pada wanita dengan sindrom
ovarium polikistik.(1,5-7)
Gambaran klinis sindrom ovarium polikistik
sangat bervariasi, tetapi secara umum dapat
dijumpai gangguan menstruasi dan gejala
hiperandrogenisme. Akantosis nigrikans juga
merupakan keadaan klinis pada kulit yang
menandakan adanya hiperinsulinemia.(2,6,8)
Secara makroskopis, ovarium pasien dengan
sindrom ini 2-5 kali lebih besar dari ukuran normal.
Permukaan ovarium tampak putih, korteksnya
menebal dengan kista multipel yang diameternya
kurang dari 1 cm. Secara mikroskopis, bagian
superfisial dari korteks fibrotik dan hiposeluler,
mengandung pembuluh darah yang jelas.(9)
Diagnosis sindrom ovarium polikistik dilakukan
dengan 3 cara yang merupakan kombinasi dari
kelainan klinis, keadaan hormonal dan gambaran
ultrasonografi.(1,2,7-10) Keadaan klinis yang dijumpai
adalah gangguan menstruasi di mana siklus
menstruasi tidak teratur atau tidak menstruasi sama
sekali, terkadang dengan disertai terjadinya
perdarahan uterus disfungsional. Sedangkan gejala
hiperandrogenisme berupa hirsutisme, kelainan
seboroik pada kulit dan rambut serta kebotakan
dengan pola seperti yang ditemukan pada pria. Tes
laboratorium yang dilakukan berupa tes hormonal,
tidak saja penting untuk diagnosis tetapi juga sangat
penting untuk melihat kelainan secara keseluruhan.
Kelainan endokrin yang ditemukan adalah
peningkatan konsentrasi LH dan peningkatan
aktivitas androgen yaitu testosteron dan
androstenedion. (10) Hiperinsulinemia juga
ditemukan akibat adanya resistensi insulin.
Resistensi insulin dapat ditentukan dengan
mengetahui nisbah gula darah puasa/insulin puasa.
Bila kadar insulin puasa >10 U/ml dan kadar
akumulasi insulin (area di bawah kurva pada uji
toleransi glukosa oral (UTGO)) >8000 U menit/ml
[luas area kurva dihitung berdasarkan (kadar insulin
puasa + kadar insulin UTGO) x 0,5 x 120 menit]
dengan kadar gula darah UTGO >140 mg/dl dan
<200 mg/dl.(4) Dari pemeriksaan ultrasonografi
transvaginal didapatkan gambaran lebih dari 10 kista
pada salah satu ovarium dengan besar kurang dari

Vol.21 No.3

1 cm, disertai besar ovarium 1,5 - 3 kali dari ukuran


normal.(8) Hasil pemeriksaan ini dapat memberikan
gambaran pasti jika secara klinis terdapat dugaan
sindrom ovarium polikistik. National Institute of
Health - National Institute of Child Health and
Human Development (NIH-NICHD) menyatakan
diagnosis sindrom ovarium polikistik ditegakkan bila
paling sedikit ditemukan 1 kriteria mayor dan 2
kriteria minor. Kriteria mayor terdiri dari anovulasi
dan hiperandrogenisme, sedangkan kriteria minor
berupa resistensi insulin, hirsutisme, obesitas, LH/
FSH >2,5 dan pada USG terdapat gambaran
ovarium polikistik.(11) Gejala klasik yang ada pada
sindrom ini adalah gangguan siklus menstruasi,
hirsutisme dan obesitas. Biasanya pasien mencari
bantuan karena adanya siklus menstruasi yang tidak
teratur, infertilitas dan masalah penampilan akibat
obesitas dan hirsutisme.(7,8)
Sindrom ovarium polikistik sangat mungkin
menjadi faktor risiko untuk menderita hipertensi dan
penyakit
jantung
koroner
karena
hiperkolesterolemia, diabetes serta kanker
endometrial. Karena itu diagnosis yang tepat disertai
pemilihan penatalaksanaan yang efektif sangat
penting untuk mencegah komplikasi di masa
mendatang.
PATOFISIOLOGI
Sindrom ovarium polikistik adalah suatu
anovulasi kronik yang menyebabkan infertilitas dan
bersifat hiperandrogenik, di mana terjadi gangguan
hubungan umpan balik antara pusat (hipotalamushipofisis) dan ovarium sehingga kadar estrogen
selalu tinggi yang mengakibatkan tidak pernah terjadi
kenaikan kadar FSH yang cukup adekuat.(1,3,8,9,12)
Fisiologi ovulasi harus dimengerti lebih dahulu untuk
dapat mengetahui mengapa sindrom ovarium
polikistik ini dapat menyebabkan infertilitas. Secara
normal, kadar estrogen mencapai titik terendah
pada saat seorang wanita dalam keadaan
menstruasi. Pada waktu yang bersamaan, kadar
LH dan FSH mulai meningkat dan merangsang
pembentukan folikel ovarium yang mengandung
ovum. Folikel yang matang memproduksi hormon
androgen seperti testosteron dan androstenedion
yang akan dilepaskan ke sirkulasi darah. Beberapa
dari hormon androgen tersebut akan berikatan
99

Maharani, Wratsangka

dengan sex hormone binding globulin (SHBG)


di dalam darah. Androgen yang berikatan ini
tidak aktif dan tidak memberikan efek pada
tubuh. Sedangkan androgen bebas menjadi aktif
dan berubah menjadi hormon estrogen di jaringan
lunak tubuh. Perubahan ini menyebabkan kadar
estrogen meningkat, yang mengakibatkan kadar LH
dan FSH menurun. Selain itu kadar estrogen yang
terus meningkat akhirnya menyebabkan lonjakan
LH yang merangsang ovum lepas dari folikel
sehingga terjadi ovulasi. Setelah ovulasi terjadi
luteinisasi sempurna dan peningkatan tajam kadar
progesteron yang diikuti penurunan kadar estrogen,
LH dan FSH. Progesteron akan mencapai puncak
pada hari ke tujuh sesudah ovulasi dan perlahan
turun sampai terjadi menstruasi berikutnya. (3)
Pada sindrom ovarium polikistik siklus ini terganggu.
Karena adanya peningkatan aktivitas sitokrom
p-450c17 (enzim yang diperlukan untuk
pembentukan androgen ovarium) dan terjadi juga
peningkatan kadar LH yang tinggi akibat sekresi
gonadotropine releasing hormone(GnRH) yang
meningkat. Hal ini sehingga menyebabkan sekresi
androgen dari ovarium bertambah karena ovarium
pada penderita sindrom ini lebih sensitif terhadap
stimulasi gonadotropin. Peningkatan produksi
androgen
menyebabkan
terganggunya
perkembangan folikel sehingga tidak dapat
memproduksi folikel yang matang. Hal ini
mengakibatkan berkurangnya estrogen yang
dihasilkan oleh ovarium dan tidak adanya lonjakan
LH yang memicu terjadinya ovulasi.(8) Selain itu
adanya resistensi insulin menyebabkan keadaan
hiperinsulinemia yang mengarah pada keadaan
hiperandrogen, karena insulin merangsang sekresi
androgen dan menghambat sekresi SHBG hati
sehingga androgen bebas meningkat. Pada sebagian
kasus diikuti dengan tanda klinis akantosis nigrikans
dan obesitas tipe android.

Sindrom ovarium polikistik

dan jaringan lemak tidak dapat menggunakan insulin


sehingga banyak dijumpai pada sirkulasi darah.
Makin tinggi kadar insulin seorang wanita, makin
jarang wanita tersebut mengalami menstruasi.(3)
Penyebab yang kedua adalah adanya kadar LH
yang tinggi sehingga merangsang sintesa androgen.
Testosteron menekan sekresi SHBG oleh hati
sehingga kadar testosteron dan estradiol bebas
meningkat. Kenaikan kadar estradiol memberi
umpan balik positif terhadap LH sehingga kadar
LH makin meningkat lagi sedangkan kadar FSH
tetap rendah. Hal ini menyebabkan pertumbuhan
folikel terhambat, tidak pernah menjadi matang
apalagi terjadi ovulasi.(9)
Hipertensi dan penyakit jantung koroner
Diketahui bahwa obesitas sering diderita oleh
pasien sindrom ovarium polikistik. Lemak tubuh
yang berlebihan ini memberi konsekuensi terjadinya
resistensi insulin. Obesitas dan resistensi insulin
mengarah pada perubahan respons sel-sel lemak
terhadap insulin, di mana terjadi gangguan supresi
pengeluaran lemak bebas dari jaringan lemak.
Peningkatan lemak bebas yang masuk ke dalam
sirkulasi portal meningkatkan produksi trigliserida,
selain itu juga terdapat peningkatan aktivitas enzim
lipase yang bertugas mengubah partikel lipoprotein
yang besar menjadi lebih kecil. Akibatnya ditemukan
penurunan konsentrasi kolesterol high density
lipoprotein (HDL) dan peningkatan kadar
kolesterol low density lipoprotein (LDL) yang
bersifat aterogenik sehingga mempercepat proses
aterosklerosis pembuluh darah dengan akibat
berkurangnya kelenturan yang berhubungan dengan
terjadinya hipertensi. Kombinasi trigliserida yang
tinggi dan kolesterol HDL yang rendah berkaitan
erat dengan penyakit kardiovaskuler, yang pada
pasien sindrom ovarium polikistik muncul di usia
yang relatif lebih muda.

DAMPAK KLINIS
Infertilitas
Infertilitas pada sindrom ovarium polikistik
berkaitan dengan dua hal. Pertama karena adanya
oligoovulasi/anovulasi. Keadaan ini berkaitan
dengan hiperinsulinemia di mana terdapat resistensi
insulin karena sel-sel jaringan perifer khususnya otot
100

Diabetes melitus
Sindrom ovarium polikistik berkaitan erat
dengan masalah insulin. Adanya resistensi sel-sel
tubuh terhadap insulin menyebabkan organ tubuh
tidak dapat menyimpan glukosa dalam bentuk
glikogen sehingga kadarnya meningkat di dalam
darah.

J Kedokter Trisakti

Masalah kulit dan hirsutisme


Keadaan
ini
berkaitan
dengan
hiperandrogenisme. Kadar androgen yang tinggi
menyebabkan pengeluaran sebum yang berlebihan
sehingga menyebabkan masalah pada kulit dan
rambut. Pasien mengeluhkan seringnya terjadi
peradangan pada kulit akibat penyumbatan pori
serta pertumbuhan rambut pada tubuh yang
berlebihan. Kelainan yang biasanya timbul adalah
dermatitis seboroik, hidradenitis supuratif, akantosis
nigrikans dan kebotakan. Akantosis nigrikans selain
berhubungan dengan keadaan hiperandrogen juga
terkait dengan adanya hiperinsulinemia.(2,7,9)
Obesitas
Obesitas pada sindrom ovarium polikistik
dideskripsikan sebagai obesitas sentripetal, di mana
distribusi lemak ada di bagian sentral tubuh terutama
di punggung dan paha. Wanita dengan sindrom ini
sangat mudah bertambah berat tubuhnya. Obesitas
tipe ini berkaitan dengan peningkatan risiko
menderita hipertensi dan diabetes.
Kanker endometrium
Risiko lain yang dihadapi wanita dengan
sindrom ini adalah meningkatnya insiden kejadian
kanker endometrium. Hal ini berhubungan dengan
kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga
endometrium selalu terpapar oleh estrogen
ditambah adanya defisiensi progesteron. Kanker ini
biasanya berdiferensiasi baik, angka kesembuhan
lesi tingkat I mencapai angka >90%. Kadar
estrogen yang tinggi kemungkinan juga
meningkatkan terjadinya kanker payudara.(9)
PENATALAKSANAAN
Pada sindrom ovarium polikistik,
perkembangan folikel dan ovulasi terganggu
sehingga terjadi infertilitas. Antiestrogen - dalam
hal ini klomifen sitrat paling banyak dipakai merupakan pilihan pertama untuk mengindukasi
ovulasi.(1-3,10,12,13) Strukturnya yang mirip dengan
estrogen menyebabkan klomifen sitrat mampu
berikatan dengan reseptor estrogen dan
mempengaruhi aktivitas hipotalamus, sehingga
meskipun kadar estrogen dalam darah meningkat,
tetapi karena kapasitas reseptor estrogen menurun

Vol.21 No.3

maka sekresi GnRH meningkat. Rangsangan


GnRH dalam lingkungan estrogen yang tinggi
menyebabkan kelenjar hipofise lebih peka terurama
dalam mensekresi FSH. Kebanyakan wanita infertil
dengan sindrom ini (63%-95%) mengalami ovulasi
dengan klomifen sitrat. Persentase yang tinggi ini
tergantung pada penggunaan dosis progresif sampai
terjadinya ovulasi.(13) Jangka waktu pemberiannya
tidak boleh lebih dari 6 bulan karena berpotensi
meningkatkan risiko kanker ovarium. Walaupun
pemberian klomifen sitrat dapat menyebabkan
ovulasi tetapi tidak memperbesar kemungkinan
terjadinya konsepsi. Sehingga apabila pasien gagal
hamil dengan terapi ini maka dicoba terapi dengan
menggunakan
human
menopausal
gonadotropine (hMG) atau human follicle
stimulating hormone (hFSH) yang telah
dimurnikan. Hormon-hormon ini merangsang
ovarium untuk menghasilkan ovum. Tetapi
pemberiannya membutuhkan monitoring yang
intensif untuk mengurangi angka kejadian kehamilan
multipel dan sindrom hiperstimulasi ovarium.
Kecenderungan tersebut menyebabkan preparat ini
diberikan dalam dosis rendah dengan akibat
pencapaian angka kehamilan juga lebih rendah yaitu
hanya 36% setiap siklus.(2,13)
Penatalaksanaan infertilitas untuk dapat
mengembalikan fungsi reproduksi pada wanita ini
juga dapat dilakukan secara operatif. Prosedur
reseksi baji pada ovarium efektif menurunkan
produksi LH dan androgen. Menstruasi yang teratur
didapatkan pada 75% pasien dengan angka
kehamilan mencapai 60%. Tetapi prosedur ini
menyebabkan komplikasi berupa perlekatan di
sekitar daerah pelvis pada sekitar 30% pasien,(7,8)
sehingga sekarang dilakukan dengan teknik
elektrokauter secara laparoskopik yang tidak terlalu
invasif. Meskipun dapat membantu regulasi
menstruasi dan terjadinya ovulasi, komplikasi
perlekatan harus dipertimbangkan karena
kemungkinan untuk menjadi hamil berkurang di
samping efek dari prosedur ini hanya jangka
pendek.(1,13)
Untuk pasien yang tidak ingin hamil dapat
menggunakan pil kontrasepsi kombinasi untuk
mengatur siklus menstruasi. Keuntungan dari terapi
ini adalah adanya komponen progesteron yang dapat
menyebabkan supresi sekresi LH sehingga
101

Maharani, Wratsangka

berkurangnya produksi androgen dari ovarium dan


komponen estrogen yang meningkatkan produksi
SHBG sehingga konsentrasi testosteron bebas dapat
menurun dan akhirnya dapat juga memperbaiki
hirsutisme dan masalah kulit yang disebabkan oleh
hiperandrogenisme. Selain itu dapat mengurangi
keluhan dismenorea, perdarahan uterus
disfungsional dan angka kejadian penyakit radang
panggul serta menurunkan kemungkinan terkena
kanker endometrium dan kanker ovarium. (9)
Meskipun demikian pil kontrasepsi kombinasi dapat
menyebabkan eksaserbasi resistensi insulin dan
meningkatkan kadar trigliserida sehingga dapat
memperbesar risiko penyakit kardiovaskuler dan
diabetes.(12)
Pada keadaan hiperandrogenisme, hirsutisme
merupakan masalah yang sering dikeluhkan oleh
pasien. Jika tidak terlalu banyak dan terlokalisasi,
maka dapat lebih mudah dihilangkan secara
mekanik. Tetapi jika cara tersebut tidak efektif,
dapat diberikan terapi antiandrogen. Yang banyak
dipakai adalah siprosteron asetat, yang merupakan
progestin sintetik. Jika dikombinasikan dengan
etinilestradiol dapat dipakai sebagai kontrasepsi dan
memperbaiki siklus mestruasi. Alternatif lain adalah
spironolakton dengan mekanisme kerja
meningkatkan katabolisme androgen di mana
testosteron diubah menjadi estradiol. Tetapi
spironolakton sering menyebabkan siklus menstruasi
yang tidak teratur sehingga harus dikombinasi
dengan kontrasepsi oral dosis rendah. Semua terapi
untuk hirsutisme membutuhkan waktu 8-18 bulan
sebelum responnya dapat terlihat, yaitu
pertumbuhan rambut menjadi labih lambat.(10) Saat
ini dengan elektrolisis, rambut yang tumbuh
berlebihan dapat dihilangkan secara permanen.
Untuk kelainan kulit seperti dermatitis seboroik,
hidradenitis supuratif dan peradangan kulit lain dapat
diobati dengan antibiotika spektrum luas atau
dengan kombinasi antiandrogen dan derivat asam
retinoid.
Penurunan berat badan juga perlu dilakukan
oleh pasien sindrom ovarium polikistik yang sebagian
besar memang mengalami obesitas. Faktor obesitas
ini menjadi penyebab kegagalan pemicuan ovulasi
dengan klomifen sitrat. Makin tinggi berat badan
102

Sindrom ovarium polikistik

penderita maka diperlukan dosis klomifen sitrat


yang lebih tinggi. Dengan penurunan berat badan
maka siklus menstruasi menjadi teratur, ovulasi
dapat terjadi secara spontan dan dapat mengurangi
kejadian resistensi insulin.(6) Cara yang dipakai
biasanya kombinasi diet, olahraga dan pemberian
obat-obat yang memperbaiki sensitifitas jaringan
terhadap insulin seperti metformin dan troglitazon.
Jadi sebaiknya usaha ini dilakukan bersamaan
dengan terapi yang lain karena dapat memperbaiki
kelainan metabolik pada sindrom ini.
Pada saat ini terapi alternatif yang lebih sering
digunakan untuk sindrom ovarium polikistik adalah
dengan senyawa sensitisasi insulin yaitu metformin
dan troglitazon. Dengan terapi ini diharapkan
sensitifitas tubuh terhadap insulin meningkat,
sehingga dapat memperbaiki kelainan hormonal
yang berhubungan dengan sindrom ini. Selain itu
juga dapat menurunkan berat badan dengan cara
memperbaiki metabolisme gula di perifer,
meningkatkan penggunaan glukosa oleh usus dan
menekan oksidasi asam lemak.(11) Pada percobaan,
diberikan metformin dan plasebo selama 4 sampai
8 minggu pada pasien sindrom ovarium polikistik
dengan obesitas dan hiperinsulinemia. Pada 2 bulan
pertama pemakaian metformin, pemulihan sudah
terlihat jelas. Didapatkan penurunan sekresi insulin
pada pasien yang menggunakan metformin.
Konsentrasi testosteron bebas menurun sebagai
akibat berkurangnya produksi testosteron dan
meningkatnya SHBG.(14) Metformin paling sering
digunakan pada pasien non insulin dependent
diabetes mellitus (NIDDM) karena tidak
menyebabkan hipoglikemi. Beberapa pasien dapat
menurunkan berat badan dan perbaikan tekanan
darah serta kadar lemak darahnya. Selain itu pasien
dapat menstruasi dan menjadi hamil pada saat
menggunakannya. Efek samping yang paling sering
adalah keluhan gastrointestinal.(5,8,12,14,15) Obat lain
yang dapat dipakai adalah troglitazon, tetapi
pemakaiannya harus diikuti dengan tes fungsi hati
secara berkala karena berpotensi menyebabkan
kerusakan hati. Keunggulan dari terapi ini adalah
dapat mencegah perkembangan penyakit yang
dapat menyerang penderita seperti diabetes melitus,
hipertensi dan penyakit jantung koroner.

J Kedokter Trisakti

Vol.21 No.3

KESIMPULAN
Penampakan klinis yang menonjol pada pasien
sindrom ovarium polikistik dengan gangguan siklus
haid dan anovulasi kronik adalah infertilitas di
samping gambaran klinis lainnya seperti
hiperandrogenisme dan obesitas. Adanya resistensi
insulin yang mendasari kelainan hormonal pada
sindrom ini menyebabkan pemeriksaan nisbah gula
puasa dan insulin puasa dapat mendukung
diagnosisnya. Pemakaian klomifen sitrat merupakan
pilihan utama untuk mengatasi infertilitas, dengan
pemantauan selama waktu pemberian lebih kurang
6 bulan untuk mencegah meningkatnya risiko
kanker ovarium. Pemberian hormon yang
merangsang ovarium untuk menghasilkan ovum dan
penatalaksanaan secara operatif kurang disukai
karena efek dari prosedur ini tidak sebanding
dengan hasil yang diinginkan. Pemberian senyawa
sensitisasi insulin pada kasus gangguan infertilitas
yang terbukti mempunyai gambaran ovarium
polikistik pada ultrasonografi juga dapat dianjurkan
untuk meningkatkan sensitifitas tubuh terhadap
insulin. Selain dapat memperbaiki kelainan hormonal
yang berhubungan dengan sindrom ini, juga dapat
membantu menurunkan berat badan dengan cara
memperbaiki metabolisme gula di perifer, menekan
oksidasi asam lemak dan meningkatkan penggunaan
glukosa oleh usus.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.
11.

12.

Daftar Pustaka
13.
1.

2.
3.

Hopkinson ZEC, Sattar N, Fleming R, Greer IA.


Polycystic ovarian syndrome: the metabolic
syndrome comes to gynaecology. BMJ
1998;317:329-32.
Franks S. Medical progress: polycystic ovary
syndrome. N Engl J Med 1995; 333: 853-61.
Samsulhadi.
Ovarium
polikistik
dan

14.
15.

permasalahannya. Maj Obstet Ginekol 1999; 8:913.


Jacoeb TZ, Muharam R, Kadarusman Y, Benarto J.
Pemakaian metformin pada penyakit ovarium
polikistik resisten insulin. Simposium penanganan
SOPK terkini. KOGI XI; 4 Juli 2000; Denpasar,
Bali.1-17.
Dunaif A, Thomas A. Current concepts in the
polycystic ovary syndrome. Annu Rev Med 2001;
52: 401-19.
Barbieri RL. Induction of ovulation in infertile
women with hyperandrogenism and insulin
resistance. Am J Obstet Gynecol 2000; 183: 1412-8.
Thatcher SS. What is polycystic ovarian
syndrome?. The Center For Applied Reproductive
Science. Available from: URL: http://www.ivfet.com/pcosstate.html.
Peris A. General information about PCOS 2000 May.
Available from: URL: http://pcos.freeservers.com/
general.html.
Hershlag A, Peterson CM. Endocrine disorders.
In: Berek JS, Adashi EY, Hillard PA, editors. Novaks
gynecology. 12th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;
1996. p 837-45.
Nestler JE. Polycystic ovary syndrome: a disorder
for the generalist. Fertil Steril 1998; 70: 811-12.
Muharam R, Benarto J, Kadarusman Y, Hestiantoro
A, Jacoeb TZ. Sindrom ovarium polikistik:
diagnosis dan penatalaksanaannya. Maj Obstet
Ginekol Indones 2000; 24: 219-23.
Guzick D. Polycystic ovary syndrome:
symptomatology, pathophysiology, and
epidemiology. Am J Obstet Gynecol 1998; 179: S89S93.
Gibson M. Reproductive health and polycystic
ovarian syndrome. Am J Med 1995; 98: 67S-75S.
Utiger RD. Insulin and the polycystic ovarian
syndrome. N Engl J Med 1996; 335: 657-8.
European Society of Human Reproduction and
Embryology. Should patients with polycystic
ovarian syndrome be treated with metformin?.
Human Reproduction 2002; 17: 853-56.

103

Anda mungkin juga menyukai