Referat Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Pada Anak
Referat Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Pada Anak
Oleh
Eva Yunita, S. Ked
NIM : I11106034
Pembimbing
dr. Dina Frida, Sp.A
LEMBAR PERSETUJUAN
Disusun oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh belahan
dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada anak-anak
baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan tersebut
diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan
terutama polusi baik indoor maupun outdoor . 1Prevalensi asma pada anak berkisar
antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia
sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada
berkembang menjadi proses inflamasi kronis,
70-an
pasien. Sehingga
serta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas
dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak
nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala
tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas
jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk
kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA)
menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk
persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung
pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya
aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara
pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.
Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran
mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari
mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel
goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet
dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambutrambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan, partikel yang halus akan
terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk
kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara
inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah,
sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu
tubuh dan kelembapannya mencapai 100%.
antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua adalah difusi yaitu
masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran alveoli-kapiler. Proses
ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi tekanan parsialnya ketempat
yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli mempunyai tekanan
parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah. Karbondioksida
darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari pada karbondioksida di alveoli. Proses
ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan
melalui transpor aliran darah.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di
Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia
13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics
(NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000
anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih
banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan
pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir.
Peningkatan ini
populasi
diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan
dewasa.
Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya
menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE
melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan
berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma
reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti
histamin, leukotrien C 4 (LTC 4), prostaglandin D2 (PGD ),2 tromboksan A
tryptase.
Mediator-mediator
tersebut
menimbulkan
spasme
otot
dan
bronkus,
basalis mukosa
kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan
semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan
lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis.
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada
mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang
merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas
sejumlah pemicu dapat memulai gejala
meliputi respon
hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari
yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus,
dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan
obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali
secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung
obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi
mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume
penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma
yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik
anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap
peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang
lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos
saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran
ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus.
10
Pencetus
(alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara
dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga)
Bronkokonstriksi
Edema
Hipersekresi
Gejala/Serangan
Gambar 4. Patofisiologi Asma
2.6 Manifestasi klinis dan Diagnosis
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada
anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada terasa
berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi
pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik
seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan
atopi pada pasien atau keluaeganya dapat menunjang penegakan diagnosis.
GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma
didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi
yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan
11
adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau
tanda yang patut diduga suatu asma.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis
asma pada
anak kecil.,
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator
dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma
menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter,
atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin,
metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis,
sangat menunjang diagnosis.
12
Berikan bronkodilator
Tak berhasil
Pertimbngkan pemeriksaan:
Foto roentgen toraks dn sinus
Uji faal paru
Respons terhadap bonkodilator
Uji provokasi bronkus
Uji keringat
Uji imunologis
Pemeriksaan motilitas silia
Pemeriksaan refluks GE
Berhasil
Tidak mendukung
diagnosis lain
Mungkin asma
Pemeriksaan
Tentukan
faal paru derajat&pencetusnya
ini
Diagnosis&pengobatan alternatif
berguna untuk
Berikan
obat anti asma:
mendukung
Tidak berhasil, nilai ulang
diagnosis
pengobatanasma
dan ketaatan berobat
anak melalui 3
cara
dengan
didapatkannya
Pertimbangkan asma
sebagai penyakit penyerta
Bukan asma
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap
1. Variabilitas
pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka
tidak perlu pemeriksaan
pada PFR atau
FEVI > 15 %
Variablitas
harian adalah
perbedaan
nilai
13
diagnostik lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum
memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang
perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan,
apakah dosis obat sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta
ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan
benar. Maka perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.
Gejala/malan
Derajat 1
Intermiten
Asimtomatik
nilai
PEF
dan
80%
< 20%
normal
diantara serangan
Derajat 2
Persisten
ringan
Serangan
80%
20-30%
dapat
mengganggu aktifitas
14
Derajat 3
Sehari sekali
Persisten
Serangan
sedang
mengganggu aktivitas
Derajat 4
Terus
Persisten berat
sepanjang hari
60%-80%
> 30%
menerus Sering
< 60%
> 30%
15
16
Diagnosis banding
Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.
Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputi
rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silent-disease
pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala
yang khas seperti dewasa dengn adanya nyeri tekan local pada daerah sinus yang
terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid yang sering
pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak diberikan dengan
tepat.
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi
pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan
napas
congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan,
mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan
jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan
oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak
yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain
itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah
dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak
-
Rinosinusitis
Refluks gastroesofageal
bronkiolitis
Displasia bronkopulmoner
Tuberkulosis
Intratorakal
17
2.8 Penatalaksanaan
1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien
dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan
penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan
dan pemantauan, dan yang paling utama adalah menguasai cara penggunaan obat
hirup dengan benar. Edukasi sebaiknya diberikan secara individual secaa
bertahap. Pada awal konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan informasi
sederhana tentang macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara menghindari
pencetus bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu diperagakan
penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi kesempatan mencoba
sampai dapat menggunakan dengan teknik yang benar.
Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat
diberikan pada pasien dan keluarganya:
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi
paparan terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna
mencegah asma menjadi
lebih
juga
18
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan
keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh keterampilan pengelolaan
mandiri (self management) untuk berperan-serta aktif. Penelitian yang dilakukan
Guevara menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan
perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi
sekolah, mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada
malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai salah satu
penatalaksanaan asma pada anak
2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma
Kriteria asma terkontrol
- Tidak ada gejala asma atau minimal
- Tidak ada gejala asma malam
- Tidak ada keterbatasan aktivitas
- Nilai APE/VEP 1normal
- Penggunaan obat pelega napas minimal
- Tidak ada kunjungan ke UGD
Klasifikasi
- Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi
- Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol
-
Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah
terjadinya
rangsangan
terhadap
salur
19
dicapai adalah :
digunakan
dalam
bentuk
inhalasi.
Namun,
pemakaian
obat
inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit
untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak
yang sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik
3
penggunaan yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat
hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka -agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam
tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di
Indonesia obat -agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin
9
20
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma
9
episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan
obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma
Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan
dosis rendah, atau kromoglikat hirupan.
1,3
sebagai
episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid
hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga
digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan
100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang
dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk
anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid
dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah
dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
1,3,9
21
yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk
dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit
asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka
derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
ringan
(step-down).
penggunaannya.
Bila
memungkinkan
steroid
hirupan
dihentikan
1,3,9
12
Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan
menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang
dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan
menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting
-2 Agonist) atau
ditambahkan Theophylline
budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan
>600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
4
tahun. atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau
ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan
1,3,4
22
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap
tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi
penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan
terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya
8
efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan
selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati
karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
14
16
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal
atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat
dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan
asmanya. Sementara itu penggunaan -agonis sebagai
diteruskan.
obat pereda
tetap
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat
hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan
usia.
23
Alat inhalasi
< 2 tahun
2-4 tahun
5-8 tahun
> 8 tahun
Nebuliser MDI
(metered dose
inhaler) Alat
hirupan bubuk
Autohaler
24
dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat dinilai
berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi
perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat
serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat
mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma ringan
(episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan
ancaman henti nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan
bergantung pada beratnya derajat serangan asma.
Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan
penyempitan
jalan
nafas
secepat
mungkin,
mengurangi
hipoksemia,
derajat
25
asma ringan
26
ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi
kemungkinan pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pada ancaman
henti napas hipoksemia tetp terjadi wlupun sudah diberi oksigen (kadar
PaO2<60 mmHg dan atau PaCO >45
mmHg). Pada ancaman henti napas
2
diperlukan ventilsi mekanik.
Nebulisasi dengan - agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan
tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis
jarak pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam.
Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per
bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan
sebagai berikut:
Jika pasien belum mendapat minofilin sebelumnya, diberikan aminofilin
dosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dlam dekstros 5% atau gram
fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit.
Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam),
dosis yng diberikan adalah setengah dari dosis inisial.
Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar
10-20/ml.
Selanjutnya,
aminofilin
dosis
rumatan
diberikan
sebesar
0,5-1
mg/kgBB/jam.
Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam
dan pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24
jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali 2-agonis (hirupan
atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid
oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari
untuk evalasi ulang tatalaksana.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for
and
Serangan Asma
28