Nama
NIM
: O111 13 307
Kelompok
: Tujuh (07)
Asisten
LABORATORIUM REPRODUKSI
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
I.
Judul Praktikum
Anatomi Fisiologi Kebuntingan
II.
Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui anatomis dan fisiologi hewan saat terjadi
kebuntingan.
III.
Tinjauan Pustaka
Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk
tiap spesies berbeda-beda perbedaan tersebut disebabkan faktor genetic
(Frandson, 1993).
Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi
sampai terjadinya kelahiran normal, menurut Frandson (1993) menyatakan
kebuntingan berarti keadaan anak sedang berkembang didalam uterus seekor
hewan. Dalam penghidupan peternak,periode kebuntingan pada umumnya
dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak
secara normal (Frandson, 1992).
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan
kelahiran anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali
reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang
mengalami peristwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus selama
hidup individu tersebut (Salisbury, 1985).
Tetapi berbeda dalam keadaan dan derajatnya sewaktu hewan itu
menjadi dewasa dan menjadi tua. Setelah pembuahan, yang mengembalikan
jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitotik
sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai kromosom yang sama
dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan menghasilkan sel
kelamin (Salisbury, 1985).
Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa kebuntingan
akan menunjukan perubahan bagian-bagian tertentu sebagai berikut:
1. Vulva dan vagina
Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bualan pada sapi dara akan
terlihat adanya edema pada vulvanya. Semakin tua buntingnya semakin jelas
edema vulva ini. Pada sapi yang telah beranak, edema vulva baru akan terlihat
setelah kebuntingan mencapai 8,5 sampai 9 bulan.
2. Serviks
Segera setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar
serviks. Kripta-kripta menghasilkan lendir yang kental semalin tua umur
kebuntingan maka semakin kental lendir tersebut.
3. Uterus
Fertilisasi
Fertilisasi adalah suatu peristiwa penyatuan antara sel sperma dengan
sel telur di tuba falopi. Pada saat kopulasi antara jantan dan betina dengan
ejakulasi sperma dari saluran reproduksi jantan di dalam vagina betina, akan
dilepaskan cairan sperma yang berisi selsel sperma ke dalam saluran
reproduksi betina. Jika kopulasi terjadi dalam sekitar masa ovulasi, maka
ada kemungkinan sel sperma dalam saluran reproduksi betina akan bertemu
dengan sel telur betina yang baru dikeluarkan pada saat ovulasi. Dalam
keadaan normal in vivo, pembuahan terjadi di daerah tuba falopi, umumnya
di daerah ampula atau infundibulum (Toelihere, 1985).
Tahapan-tahapan yang terjadi pada fertilisasi adalah sebagai berikut
(Prawirohadjo, 1999):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
3.2.2
dibuat pada hari ke 10-12 dan membentuk kantung amnion. Kantung amnion
berisi cairan jernih (cairan amnion) dan akan mengembang untuk
membungkus embrio yang sedang tumbuh, yang mengapung di dalamnya.
Tonjolan kecil (vili) dari plasenta yang sedang tumbuh, memanjang ke dalam
dinding rahim dan membentuk percabangan seperti susunan pohon
(Prawirohadjo, 1999).
Susunan ini menyebabkan penambahan luas daerah kontak antara
induk dan plasenta, sehingga zat gizi dari induk lebih banyak yang sampai ke
fetus dan limbah lebih banyak dibuang dari fetus ke induk. Pembentukan
plasenta yang sempurna biasanya selesai pada minggu ke 18-20, tetapi
plasenta akan terus tumbuh selama kebuntingan (Prawirohadjo, 1999).
Implantasi pada mamalia biasanya uterus membentuk suatu reaksi
decidua sebagai respon. Di dalam kejadian ini stroma endometrium, sel
fibroblastic ditransformasikan ke dalam bentuk sel decidua khusus. Sel ini
ditandai dengan penonjolan epithelloid, kehadiran imti poliploid, akumulasi
glikogen dan lipid di dalam sitoplasma, pembentukan banyak lisosom dan
terjadi kontak antara sel dengan suatu hubungan yang kompleks. Stroma
endometrium ini akan menjadi edemtus sebab terjadi vasodilatasi dan
penambahan permiabilitas pembuluh kapiler, peningkatan mitosis dan
kegiatan metabolisme (Prawirohadjo, 1999).
Menurut Partodihardjo (1980), implantasi berlangsung secara bertahap.
Tahaptahap ini adalah tahap persentuhan embrio dengan endometrium,
terlepasnya zona pelusida, pergeseranatau pembagian tempat dan yang
terakhir ada1ah pertautan antara trofoblas dengan epitel endometrium. Tahap
pelepasan zona pelusida adalah penting karena zona pe1usida merupaluran
suatu penghalang untuk imp1antasi. Terlepasnya zona pelusida ada1ah sebagai
aktivitas dari enzim proteolitik dari airan uterus. Pelepasan zona pelusida
terjadi sebelum trofoblas melekat pada endometrium.
3.2.3 Plasentasi
Plasenta
merupakan
penggabungan
antara
plasenta
foetalis
3.2.3.2 Alantois
Terbentuk pada minggu kedua dan ketiga masa kebuntingan
Lapisan luar alantois kaya pembuluh darah yang berhubungan dengan
aorta fetus melalui a. umbilicalis dan dengan vena cava posterior oleh
vena umbilicallis
3.2.3.3 Konioallantois
Terbentuk karena fusi lapisan luar allantois dengan tropoblas (korion),
Sangat kaya pembuluh darah yang menghubungkan fetus dengan
endometrium, sehingga berperan dalam pengangkutan/ pertukaran
metabolit, zat-zat makanan, gas dan bahan sisa.
ada plasentasi)
2. Tipe kotiledonaria
Pada hewan ruminansia
3.2.4
Pengendalian Hormon
Progesteron mempunyai peran dominan selama kebuntingan terutama
pada tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari
ke 11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15 17 pada domba, maka
PGF2 akan dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola
sirkulasi ke ovarium yang dapat menyebabkan regresinya corpus luteum
(Bearden and Fuquay, 2000).
Apabila PGF2 diinjeksikan pada awal kebuntingan , maka
kebuntingan tersebut akan berakhir. Oleh sebab itu, embrio harus dapat
berkomunikasi tentang kehadirannya kepada sistem maternal sehingga dapat
mencegah PGF2 yang dapat menginduce luteolisis. Proses biokimia dimana
embrio memberi sinyal kehadirannya inilah yang disebut sebagai Maternal
recognition of pregnancy (Toelihere, 1985).
Pada sapi dan domba, unit embrionik memproduksi suatu protein, yang
disebut bovine interferon- dan ovine interferon- . Pada kedua spesies
tersebut, protein ini mempunyai perangkat antiluteolitik melalui pengubahan
biosintesa prostaglandin dan pengaturan reseptor uterin-oxytocin (Gambar 1).
Baik bovine interferon- pada sapi maupun ovine interferon- pada domba,
Penyebab:
2.
Gejala: Dengan per-rektal teraba fetus yang mengeras seperti batu, adanya
CLP, tidak ada perkembangan fetus dan anestrus, anoreksia, sulit defekasi
serta sering merejan. Ada 2 tipe mummifikasi yaitu hematic (pada sapi),
fetus nampak coklat kemerahan dan lengket dan papyraceous (berminyak,
kuda, anjing, kucing dan babi) fetus yang mati terbungkus oleh selubung
3.
periode kebuntingan.
Gejala: Dengan perrektal teraba adanya tulang belulang dalam uterus
4.
Hydramnion
Oedema allantokorion
Hydroallantois
Fetal anasarca
Oedema Fetalis
Hydrotorak
5. Prolaps Vagina Servik
Meliputi prolaps lantai dinding lateral dan sebagian vagina lewat vulva
dengan servik dan uterus tertarik ke belakang. Tidak jarang seluruh vagina dan
servik tertarik keluar melalui vulva. Kejadiannya tinggi pada sapi perah
terutama Hereford dan FH. Umumnya terjadi pada usia kebuntingan 2-3 bln
terakhir.
6.
fetus berlebihan.
Gejala: Tidak tenang, menendang-nendang perut, seperti gejala mau partus
(merejan), pulsus dan frekuensi nafas meningkat. Derajat torsi bisa 180,
IV.
praktikum
kali
ini,
yaitu Anatomi
Fisiologi
Kebuntingan
dilaksanakan pada hari Jumat, 7 April 2016, pukul 14.00 Wita, dan bertempat di
Laboratorium
Kedokteran
Hewan,
Fakultas
3.4 Pembahasan
Menurut Samsudewa dkk (2008), metode deteksi kebuntingan ternak
yang telah ada saat ini antara lain adalah (1) palpasi rektal atau abdomen, yang
membutuhkan tenaga ahli dalam pelaksanaannya dan memiliki kelemahan yang
lain yaitu dapat mengakibatkan kematian pada embrio jika pelaksanaannya tidak
tepat; (2) hormonal, antara lain dengan pengukuran kadar pregesteron dan
estrogen yang ada dalam darah (Hafez, 1993). Metode yang digunakan dalam
pengukuran kadar hormon di atas adalah dengan ELISA dan RIA, yang
memiliki akurasi tinggi tetapi memerlukan penanganan dalam laboratorium
yang cukup lama dan mahal. Selain itu metode deteksi kebuntingan ini
menggunakan semacam bahan radioaktif sehingga memiliki resiko yang tinggi
terhadap radiasinya (Hunter, 1981).
Lama periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda; perbedaan itu
jelas disebabkan oleh faktor genetik. Jika ada perbedaan panjang antara suatu
kebuntingan individu dalam satu spesies, maka perbedaan itu minor (sedikit)
dan faktor-faktor penyebabnya belum diketahui. Ada yang menafsirkan
disebabkan oleh faktor genetik, ada pula yang menduga disebabkan oleh faktor
sosial atau lingkungan. Tetapi dugaan tersebut sangat sukar dibuktikan
(Partodihardjo, 1982).
Menurut Toelihere (1977), lama kebuntingan ditentukan secara genetik
walaupun dapat dimodifiser oleh faktor-faktor maternal, foetal dan lingkungan.
Keadaan Bunting
pada Setelah
kebuntingan
sampai
akan
terlihat
edema
pada
adanya
vulvanya.
jelas
edema
beranak,
edema
kebuntingan
bulan.
Os externa cerviks tidak tertutup Setelah terjadi fertilisasi
rapat begitu rapat serta kripta perubahan
terjadi
pada
dan
tidak Kelenjar
ini
akan
maka
kental
lendir
pada
uterus
semakin
tersebut.
Tidak mengalami pembesaran Perubahan
Uterus
uterine,
mengalami
serta
penebalan
miometriumnya.
tidak vaskularisasi
pada
pada endomertium,
lebih
terbentuk
banyak
kelenjar
endometrium, sedangkan
kelenjar yang telah ada
tumbuh lebih panjang dan
berkelok-kelok
Cairan
spiral.
Amnion Belum terdapat dalam uterus Volume
dan Allantois
seperti
pada
kebuntingan.
saat
terjadi dan
seperti
cairan
amnion
allantois
selama
kebuntingan
mengalami
juga
perubahan.
perbandingannya.
amnion
menjadi
pada
kebuntinan
allantois
menjadi
akhir
cairan
lebih
Ovarium
banyak.
Terbentuknya Corpus albikans Setelah ovulasi, terjadilah
kerena, tidak terjadi fertilisasi kawah
bekas
folikel.
ini
segera
disebut
corpus
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quram
Ash-Shabury, M. Ali. 2001. Cahaya Al-Quran 4. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
Bearden, H.J. and Fuquay. 2000. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing
Company Inc. Reston. Virginia
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th ed. Lea and Febiger.
Philadelphia.
Hunter, R.F. 1981. Fisiologi dan Anatomi Organ Reproduksi. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Partodihardjo, S. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta
. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Sumber Daya.
Prawirohadjo, S, 1999, Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Balai Pustaka. hal 57
60.
Salisbury, G. W. Dan N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Samsudewa, dkk. 2008. Uji Konsistensi, Akurasi dan Sensitivitas Deteksi
Kebuntingan Ternak DEEA GestDect pada Sapi. Animal Production Vol.
10 No. 1. Hlm: 12-15. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang.
Toelihere, M. R. 1985. Ilmu Kebidanan pada ternak Sapi dan Kerbau. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
. 1977. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung