Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

ILMU KEBUNTINGAN DAN KEMAJIRAN


Anatomi Fisiologis Kebuntingan

Nama

: Mukh. Yusuf Kadir Pole

NIM

: O111 13 307

Kelompok

: Tujuh (07)

Asisten

: Muh. Danawir Alwi

LABORATORIUM REPRODUKSI
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

I.

Judul Praktikum
Anatomi Fisiologi Kebuntingan

II.

Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui anatomis dan fisiologi hewan saat terjadi
kebuntingan.

III.

Tinjauan Pustaka

3.1 Anatomis Kebuntingan


3.1.1 Perubahan Organ Saat Kebuntingan

Dan sesungguhnya, pada hewan-hewan ternak terdapat suatu


pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari (air susu) yang ada dalam
perutnya dan padanya juga terdapat banyak menfaat untukmu, dan sebagian
darinya kamu makan. (TQS. al-Muminun [23]:21)
Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa, hewan ternak yang salah
satunya adalah sapi merupakan hewan yang sangat bermanfaat bagi manusia.
Karena pentingnya sapi tersebut, dalam Al-Quran Allah menamakan salah satu
suratnya dengan surat Al-Baqarah.
Oleh karena itu, binatang ternak khususnya sapi harus dikembangkan
sebagaimana mestinya. Menurut Ash-Shabury (2001), Allah menundukkan
binatang-binatang ternak sebagai bukti tentang kekuasaan Allah dan pengaturanNya terhadap urusan hamba.
Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum
oleh spermatozoa dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu: periode ovum,
periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya
fertilisasi sampai terjadinya implantasi,sedang periode embrio dimulai dari
implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat alat tubuh bagian dalam.

Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk
tiap spesies berbeda-beda perbedaan tersebut disebabkan faktor genetic
(Frandson, 1993).
Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi
sampai terjadinya kelahiran normal, menurut Frandson (1993) menyatakan
kebuntingan berarti keadaan anak sedang berkembang didalam uterus seekor
hewan. Dalam penghidupan peternak,periode kebuntingan pada umumnya
dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak
secara normal (Frandson, 1992).
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan
kelahiran anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali
reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang
mengalami peristwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus selama
hidup individu tersebut (Salisbury, 1985).
Tetapi berbeda dalam keadaan dan derajatnya sewaktu hewan itu
menjadi dewasa dan menjadi tua. Setelah pembuahan, yang mengembalikan
jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitotik
sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai kromosom yang sama
dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan menghasilkan sel
kelamin (Salisbury, 1985).
Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa kebuntingan
akan menunjukan perubahan bagian-bagian tertentu sebagai berikut:
1. Vulva dan vagina
Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bualan pada sapi dara akan
terlihat adanya edema pada vulvanya. Semakin tua buntingnya semakin jelas
edema vulva ini. Pada sapi yang telah beranak, edema vulva baru akan terlihat
setelah kebuntingan mencapai 8,5 sampai 9 bulan.
2. Serviks
Segera setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar
serviks. Kripta-kripta menghasilkan lendir yang kental semalin tua umur
kebuntingan maka semakin kental lendir tersebut.
3. Uterus

Perubahan pada uterus yang pertama terjadinya vaskularisasi pada


endomertium, terbentuk lebih banyak kelenjar endometrium, sedangkan kelenjar
yang telah ada tumbuh lebih panjang dan berkelok-kelok seperti spiral.
4. Cairan Amnion dan Allantois
Volume cairan amnion dan allantois selama kebuntingan juga mengalami
perubahan. Perubahan yang pertama adalah volumenya, dari sedikit menjadi
banyak; kedua dari perbandingannya. Hampir semua spesies, cairan amnion
menjadi lebih banyak dari pada volume cairan allantois, tetapi pada akhir
kebuntinan cairan allantois menjadi lebih banyak.
5. Perubahan pada ovarium
Setelah ovulasi, terjadilah kawah bekas folikel. Kawah ini segera
dipenuhi oleh darah yang dengan cepat membeku yang disebut corpus
hemorrhagicum. Pada hari ke 5 sampai ke-6 korpus luteum telah terbentuk.
3.2 Fisiologis Kebuntingan
Periode ovum adalah periode awal kebuntingan atau periode blastula yaitu
dimulai dari fertilisaasi sampai terjadi implantasi. Segera setelah terjadi fertilisasi,
ovum yang dibuahi akan mengalami pembelahan di ampullaryisthnic junction
menjadi morula. Pada sapi, masuknya morula ke dalam uterus terjadi pada hari ke
3-4 setelah fertilisasi (Toelihere, 1985).
Setelah hari ke 8, blastosit mengalami pembesaran secara pesat. Lama
periode ini pada sapi sampai 12 hari. Pada periode ini, embrio yang defektif akan
mati dan diserap oleh uterus. Periode ovum berlangsung 10 sampai 12 hari sejak
fertilisasi yang biasanya terjadi beberapa jam sesudah ovulasi sampai
pembentukan membran zigot didalam uterus (Toelihere, 1985).
3.2.1

Fertilisasi
Fertilisasi adalah suatu peristiwa penyatuan antara sel sperma dengan

sel telur di tuba falopi. Pada saat kopulasi antara jantan dan betina dengan
ejakulasi sperma dari saluran reproduksi jantan di dalam vagina betina, akan
dilepaskan cairan sperma yang berisi selsel sperma ke dalam saluran
reproduksi betina. Jika kopulasi terjadi dalam sekitar masa ovulasi, maka
ada kemungkinan sel sperma dalam saluran reproduksi betina akan bertemu

dengan sel telur betina yang baru dikeluarkan pada saat ovulasi. Dalam
keadaan normal in vivo, pembuahan terjadi di daerah tuba falopi, umumnya
di daerah ampula atau infundibulum (Toelihere, 1985).
Tahapan-tahapan yang terjadi pada fertilisasi adalah sebagai berikut
(Prawirohadjo, 1999):
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
3.2.2

Kapasitasi spermatozoa dan pematangan spermatozoa


Perlekatan spermatozoa dengan zona pelucida
Reaksi akrosom
Penetrasi zona pelucida
Bertemunya sperma dan oosit
Aktivasi ovum sebelum sperma bertemu oosit
Reaksi Zona untuk Menghadapi Sperma yang Masuk Setelah Penetrasi
Proses fertilisasi
Implatasi
Implantasi adalah suatu proses melekatnya blastosis ke endometrium

uterus diawali dengan menempelnya embrio pada permukaan epitel


endometrium, menembus lapisan epitelium selanjutnya membuat hubungan
dengan sistem sirukulasi induk. Fetus akan mendapatkan nutrisi melalui
plasenta. Embrio dilindungi oleh selaput-selaput yaitu (Toelihere, 1985):
1. Amnion yaitu selaput yang berhubungan langsung dengan embrio dan
menghasilkan cairan ketuban. Berfungsi untuk melindungi embrio dari
guncangan.
2. Korion yaitu selaput yang terdapat diluar amnion dan membentuk jonjot
yang menghubungkan dengan dinding utama uterus. Bagian dalamnya
terdapat pembuluh darah.
3. Alantois yaitu selaput terdapat di tali pusat dengan jaringan epithel
menghilang dan pembuluh darah tetap. Berfungsi sebagai pengatur
sirkulasi embrio dengan plasenta, mengangkut sari makanan dan O2,
termasuk zat sisa dan CO2.
4. Sacus vitelinus yaitu selaput yang terletak diantara plasenta dan amnion.
Merupakan tempat munculnya pembuluhdarah yang pertama.
Implantasi mulai terjadi pada hari ke 5-8 setelah pembuahan dan
selesai pada hari ke 9-10. Dinding blastosis merupakan lapisan luar dari
selaput yang membungkus embrio (korion). Lapisan dalam (amnion) mulai

dibuat pada hari ke 10-12 dan membentuk kantung amnion. Kantung amnion
berisi cairan jernih (cairan amnion) dan akan mengembang untuk
membungkus embrio yang sedang tumbuh, yang mengapung di dalamnya.
Tonjolan kecil (vili) dari plasenta yang sedang tumbuh, memanjang ke dalam
dinding rahim dan membentuk percabangan seperti susunan pohon
(Prawirohadjo, 1999).
Susunan ini menyebabkan penambahan luas daerah kontak antara
induk dan plasenta, sehingga zat gizi dari induk lebih banyak yang sampai ke
fetus dan limbah lebih banyak dibuang dari fetus ke induk. Pembentukan
plasenta yang sempurna biasanya selesai pada minggu ke 18-20, tetapi
plasenta akan terus tumbuh selama kebuntingan (Prawirohadjo, 1999).
Implantasi pada mamalia biasanya uterus membentuk suatu reaksi
decidua sebagai respon. Di dalam kejadian ini stroma endometrium, sel
fibroblastic ditransformasikan ke dalam bentuk sel decidua khusus. Sel ini
ditandai dengan penonjolan epithelloid, kehadiran imti poliploid, akumulasi
glikogen dan lipid di dalam sitoplasma, pembentukan banyak lisosom dan
terjadi kontak antara sel dengan suatu hubungan yang kompleks. Stroma
endometrium ini akan menjadi edemtus sebab terjadi vasodilatasi dan
penambahan permiabilitas pembuluh kapiler, peningkatan mitosis dan
kegiatan metabolisme (Prawirohadjo, 1999).
Menurut Partodihardjo (1980), implantasi berlangsung secara bertahap.
Tahaptahap ini adalah tahap persentuhan embrio dengan endometrium,
terlepasnya zona pelusida, pergeseranatau pembagian tempat dan yang
terakhir ada1ah pertautan antara trofoblas dengan epitel endometrium. Tahap
pelepasan zona pelusida adalah penting karena zona pe1usida merupaluran
suatu penghalang untuk imp1antasi. Terlepasnya zona pelusida ada1ah sebagai
aktivitas dari enzim proteolitik dari airan uterus. Pelepasan zona pelusida
terjadi sebelum trofoblas melekat pada endometrium.
3.2.3 Plasentasi
Plasenta

merupakan

penggabungan

antara

plasenta

foetalis

(allantochorion) dan plasenta maternalis (endometrium) yang memiliki fungsi


fisiologis selama kebuntingan berlangsung. Pembentukan plasenta pada awal
kebuntingan merupakan membran fetus atau ekstra embrionik yang

berdiferensiasi ke dalam yolk sac, amnion, allantois dan chorion (Hafez,


2000).
Ternak sapi memiliki tipe plasenta multiplek atau kotiledoner yaitu
sebagian plasenta maternal (karunkula) dan sebagian allantochorion
(kotiledon) yang terletak berhimpitan satu sama lain untuk membentuk
plasentoma (Partodihardjo, 1987; dan Hafez, 2000).
Hubungan antara kotiledon plasenta dengan karunkula endometrium
memiliki beberapa peran penting di antaranya (Bearden dan Fuquay, 1992):
1. Melakukan pertukaran gas
2. Menyalurkan zat-zat makanan dari induk ke fetus
3. Menyalurkan sisa-sisa metabolisme dari fetus ke sistem peredaran
darah induk
4. Biosintesis sterol dengan Ca2+ sebagai second messenger dan protein
kinase C sehingga dihasilkan progesteron saat akhir kebuntingan
melalui fetal kotiledon
3.2.3.1 Amnion
Kantong amnion terbentuk pada han ke 13 - 16 setelah konsepsi pada

kambing, sapi dan mungkin pada kuda.


Kantong amnion ini berisi cairan amnion sehingga berfungsi sebagai

pelindung mekanik fetus dan mencegab adhesi.


Cairan amnion bersifat jemth, tidak berwarna dan mukoid dan

mengandung pepsin,protein, fruktosa, lemak dan garam.


Volume cairan amnion
Sapi : 2000-8000 ml Kuda: 3000-7000 ml
Kambing : 350-700 ml Domba: 400-1200 ml
Babi : 40-200 ml Anjing dan kucing: 8-30 ml
Sumber cairan amnion : epitel amnion dan urine fetus (awalnya), air

ludah dan sekresi nasopharynk.


Cairan ini membantu kelahiran karena licin seperti lender

3.2.3.2 Alantois
Terbentuk pada minggu kedua dan ketiga masa kebuntingan
Lapisan luar alantois kaya pembuluh darah yang berhubungan dengan
aorta fetus melalui a. umbilicalis dan dengan vena cava posterior oleh
vena umbilicallis

Kantong allantois berisi cairan allantois yang jernih seperti air,


kekuningan dan mengandung albumin, fruktosa dan urea
Kantong allantoi : menyimpan zat buangan dan ginjal fetus
Volume cairan allantois akhir masa kebuntingan pada:
Sapi : 4000-15000 ml kuda: 8000-18000 ml
Kambing dan domba: 500-1500 ml babi: 100-200 ml
Kucing:3-15m1 anjing: 10-50 ml
Cairan allantois berasal dan epitel allantois.

3.2.3.3 Konioallantois
Terbentuk karena fusi lapisan luar allantois dengan tropoblas (korion),
Sangat kaya pembuluh darah yang menghubungkan fetus dengan
endometrium, sehingga berperan dalam pengangkutan/ pertukaran
metabolit, zat-zat makanan, gas dan bahan sisa.

Gambar 1. Plasenta Sapi


Menurut bentuknya, secara anatomik plasenta digolongkan 4 tipe:
1. Tipe Difusa
Pada hewan kuda dan babi
Seluruh permukaan korio-allantois dipenuhi baik mikro kotiledon, villi,
dan mikro villi masuk ke dalam kripta endometrium (plasentasi) kecuali

muara kelenjar uterin


Struktur ini komplek dan terbentuk setelah 150 hari usia kebuntingan
Pada babi tipe plasentanya difusa inkomplete (karena dibagian kutub tidak

ada plasentasi)
2. Tipe kotiledonaria
Pada hewan ruminansia

Hanya sebagian karunkula dan kotiledon yang membentuk plasentom


Lebih komplek dibanding tipe difusa
Plasentom tersusu empat bans, dua ventral dan dua dorsal sepanjang komu
Pada sapi, mempunyai 75-120 plasentom sedang kambing 80-90
Bentuk plasentom sapi cembung, kambing cekung
Diantara karunkula, disebut interkarunkula Diantara kotiledon, disebut

interkotiledonaria Keduanya tidak mengalami plasentasi.


3. Tipe Zonaria
Pada hewan anjing dan kucing (karnivora)
Bentuknya melingkar seperti sabuk dengan lebar 2,5-7,5 cm
4. Tipe diskoidalis
Pada primata dan rodensia - Pertautannya paling erat
Bentuknya melingkar seperti cakram

3.2.4

Pengendalian Hormon
Progesteron mempunyai peran dominan selama kebuntingan terutama

pada tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari
ke 11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15 17 pada domba, maka
PGF2 akan dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola
sirkulasi ke ovarium yang dapat menyebabkan regresinya corpus luteum
(Bearden and Fuquay, 2000).
Apabila PGF2 diinjeksikan pada awal kebuntingan , maka
kebuntingan tersebut akan berakhir. Oleh sebab itu, embrio harus dapat
berkomunikasi tentang kehadirannya kepada sistem maternal sehingga dapat
mencegah PGF2 yang dapat menginduce luteolisis. Proses biokimia dimana
embrio memberi sinyal kehadirannya inilah yang disebut sebagai Maternal
recognition of pregnancy (Toelihere, 1985).
Pada sapi dan domba, unit embrionik memproduksi suatu protein, yang
disebut bovine interferon- dan ovine interferon- . Pada kedua spesies
tersebut, protein ini mempunyai perangkat antiluteolitik melalui pengubahan
biosintesa prostaglandin dan pengaturan reseptor uterin-oxytocin (Gambar 1).
Baik bovine interferon- pada sapi maupun ovine interferon- pada domba,

telah dilaporkan dapat menghambat sintesa PGF2 dari endometrium


(Toelihere, 1985).
Pada domba, ovine interferon- telah terbukti dapat meningkatkan
konsentrasi PGE2 (sebuah hormon antiluteolitik) dalam plasma darah pada
kebuntingan hari ke 13. Sehubungan dengan hal itu, apakah melalui
peningkatan sintesa PGE2 atau penghambatan sintesis PGF2, rasio
perbandingan yang tinggi antara PGE2 dan PGF2 adalah kondisi yang
mendukung pemeliharaan corpus luteum (Toelihere, 1985).
Konsentrasi tinggi progesteron, menurunkan tonus myometrium dan
menghambat kontraksi uterus. Efeknya pada myometrium tersebut, membuat
konsentrasi tinggi progesteron akan menghentikan siklus estrus dengan
mencegah dikeluarkannya gonadotropin (Bearden and Fuquay, 2000).
Progesteron diproduksi oleh corpus luteum dan placenta. Pada sapi,
lutectomy (pengambilan corpus luteum atau injeksi PGF2) pada kebuntingan
tahap akhir, setelah 6 8 bulan kebuntingan, tidak akan menyebabkan aborsi
karena cukupnya steroid yang diproduksi placenta (Bearden and Fuquay,
2000).
Pada domba, pengambilalihan fungsi placenta ini terjadi pada 50 hari
usia kebuntingan, sedang pada kuda sekitar 70 hari usia kebuntingan. Pada
beberapa spesies, ketika placenta mulai mengambil alih fungsi sebagai sumber
progesteron pada tahap dini kebuntingan, corpus luteum terus mensekresi
progesteron dan memelihara kebuntingan tersebut. Pregnancy-spesific protein,
protein B mungkin saja membantu corpus luteum kebuntingan pada sapi dan
domba (Bearden and Fuquay, 2000).
Polipeptida relaxin dan relaxin-like factors yang diproduksi oleh
corpus luteum (pada babi dan sapi) dan plasenta (pada kuda) adalah penting
selama terjadinya kebuntingan. Peran utamanya melunakkan jaringan, yang
menyebabkan otot-otot uterus dapat mengakomodir perkembangan fetus.

Relaxin menyebabkan saluran pelvis melebar, terutama pada tahap akhir


kebuntingan (Bearden and Fuquay, 2000).
Konsentrasi estrogen rendah selama awal kebuntingan dan meningkat
pada pertengahan dan akhir kebuntingan. Pada kuda, level estrogen cukup
tinggi selama pertengahan kebuntingan. Sumber utama estrogen ini adalah
palsenta. Estrogen mengalami kenaikan yang progresif dalam aliran darah
uterus selagi proses kebuntingan terjadi (Bearden and Fuquay, 2000).
Estrogen bekerja sama secara sinergis dengan progesteron pada
perkembangan dan persiapan kelenjar mammae untuk sintesa susu setelah
kelahiran. Laktogen plasenta juga sepertinya mempunyai peran dalam
perkembangan kelenjar mammae sebagaimana perannya dalam mengatur
pertumbuhan fetus (Bearden and Fuquay, 2000).
3.2.5 Kelainan pada Kebuntingan
1. Abortus
Adalah pengeluaran fetus sebelum akhir kebuntingan dimana fetus
belum sanggup hidup.

Penyebab:

a. infeksi: (bakterial, viral, protozoa, jamur)


b. non-infeksi: kimia, obat, keracunan, hormonal, nutrisi

2.

Faktor penyebab abortus dapat menentukan derajat kerusakan plasenta,


endometrium, frekuensi retensi plasenta dan sterilitas post abortus.
Mummitikasi Fetus
Mummitikasi Fetus adalah suatu kondisi hewan bunting yang mengalami

gangguan sehingga fetusnya mati tanpa pencemaran mikroorganisme, tidak


diabortuskan, fetus mengalami autolisis, terjadi penyerapan oleh uterus dan
akhirnya mengeras seperti batu. Biasanya terjadi pada umur kebuntingan 3 - 8
bulan, yang paling sering umur 4, 5, 6 bulan.

Penyebab: Kematian fetus karena non infeksi, misal karena; Genetic,


pelilitan atau penyempitan tali pusat dan torsi uteri.

Gejala: Dengan per-rektal teraba fetus yang mengeras seperti batu, adanya
CLP, tidak ada perkembangan fetus dan anestrus, anoreksia, sulit defekasi
serta sering merejan. Ada 2 tipe mummifikasi yaitu hematic (pada sapi),
fetus nampak coklat kemerahan dan lengket dan papyraceous (berminyak,
kuda, anjing, kucing dan babi) fetus yang mati terbungkus oleh selubung

yang mengkilat seperti minyak.


Terapi: Pada sapi dan kuda: injeksi 50 - 80 mg stilbestrol atau PGF2 alfa.
Fetus akan keluar dalam waktu 32 - 72 jam kemudian.
Macerasi Fetus

3.

Macerasi Fetus Adalah suatu kondisi hewan bunting yang mengalami


gangguan/ infeksi sehingga fetusnya mati, hancur, cairannya diserap, yang
tinggal hanya tulang belulang.

Penyebab: Trichomonas fetus (sapi), bakteri dan jamur. Kejadiannya setiap

periode kebuntingan.
Gejala: Dengan perrektal teraba adanya tulang belulang dalam uterus

Sering merejan, keluar exudat busuk, produksi susu turun


Terapi: Untuk mengeluarkan tulang-tulang fetus sangat sulit dan biayanya
mahal.
Hidrops Membran Fetus dan Fetus

4.

Hidrop selaput fetus adalah suatu keadaan rongga selaput yang


mengandung cairan berlebihan. Yang paling sering disebabkan karena patologis,
misalnya:

Hydramnion
Oedema allantokorion
Hydroallantois
Fetal anasarca
Oedema Fetalis
Hydrotorak
5. Prolaps Vagina Servik
Meliputi prolaps lantai dinding lateral dan sebagian vagina lewat vulva
dengan servik dan uterus tertarik ke belakang. Tidak jarang seluruh vagina dan
servik tertarik keluar melalui vulva. Kejadiannya tinggi pada sapi perah

terutama Hereford dan FH. Umumnya terjadi pada usia kebuntingan 2-3 bln
terakhir.

Penyebab: Umumnya pada hewan yang selalu dikandangkan, E tinggi atau

karena tekanan intra-abdominal saat berbaring.


Gejala: Terlihat adanya prolaps. Pada kasus ringan, yang prolaps masuk
kembali setelah berdiri. Pada kasus parah, vagina dan servik mengalami

nekrosis, oedem dan emfisema.


Terapi: Kembalikan organ yang prolap. Pada kasus ringan, tempatkan pada
kandang dengan kemiringan 5-15 cm lebih tinggi dibagian belakang. Pada
kasus berat, yang mengalami prolap dikembalikan ke posisi semula

6.

dibawah anastesi epidural 5 -10 ml procain 2 %.


Torsi Uterus
Adalah perputaran uterus pada porosnya (sumbu memanjang).

Kejadiannya pada sapperah lebih sering dibanding sapi potong.

Penyebab: Struktur anatomic (predisposisi), akibat gerakan sapi saat


berbaring/ berdiri secarmendadak, karena kekurangan cairan fetus,
terjatuh, selalu dikandangkan, karena tonusuterus yang lemah dan gerakan

fetus berlebihan.
Gejala: Tidak tenang, menendang-nendang perut, seperti gejala mau partus
(merejan), pulsus dan frekuensi nafas meningkat. Derajat torsi bisa 180,

180 - 240, 360 derajat.


7. Hernia Uterina
Hernia atau histerocole adalah keadaan induk hewan bunting, uterus dan
atau fetus masuk ke dalam rongga hernia.

Penyebab: Akibat robeknya lapisan pentonium dan m.abdomen karena

trauma, fetus besar atau kembar.


Gejala: Pembengkaan di bawah perut semakin membesar. Bila dipalpasi
teraba ada fetus, ada gerakan, sakit dan panas.

IV.

Materi dan Metode


Pada

praktikum

kali

ini,

yaitu Anatomi

Fisiologi

Kebuntingan

dilaksanakan pada hari Jumat, 7 April 2016, pukul 14.00 Wita, dan bertempat di

Laboratorium

Reproduksi, Program Studi

Kedokteran

Hewan,

Fakultas

Kedokteran, Universitas Hasanuddin.


Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Alat:
1. Wadah preparat
2. Alat beda (Scalpel, blade dan gunting tajam-tajam)
Bahan:
1. Organ reproduksi sapi betina bunting
Praktikum yang dilakukan menggunakan metode deskriptif. Hal ini
didukung dengan preparat yang tersedia. Sehingga penjelasan yang didapatkan
lebih tepat dengan adanya organ langsung sebagai bahan praktikum.
V.
Hasil dan Pembahasan
3.3 Hasil
a. Organ Reproduksi Normal Sapi

b. Organ Reoroduksi Sapi Bungting

3.4 Pembahasan
Menurut Samsudewa dkk (2008), metode deteksi kebuntingan ternak
yang telah ada saat ini antara lain adalah (1) palpasi rektal atau abdomen, yang
membutuhkan tenaga ahli dalam pelaksanaannya dan memiliki kelemahan yang
lain yaitu dapat mengakibatkan kematian pada embrio jika pelaksanaannya tidak
tepat; (2) hormonal, antara lain dengan pengukuran kadar pregesteron dan
estrogen yang ada dalam darah (Hafez, 1993). Metode yang digunakan dalam
pengukuran kadar hormon di atas adalah dengan ELISA dan RIA, yang
memiliki akurasi tinggi tetapi memerlukan penanganan dalam laboratorium
yang cukup lama dan mahal. Selain itu metode deteksi kebuntingan ini
menggunakan semacam bahan radioaktif sehingga memiliki resiko yang tinggi
terhadap radiasinya (Hunter, 1981).
Lama periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda; perbedaan itu
jelas disebabkan oleh faktor genetik. Jika ada perbedaan panjang antara suatu
kebuntingan individu dalam satu spesies, maka perbedaan itu minor (sedikit)
dan faktor-faktor penyebabnya belum diketahui. Ada yang menafsirkan
disebabkan oleh faktor genetik, ada pula yang menduga disebabkan oleh faktor
sosial atau lingkungan. Tetapi dugaan tersebut sangat sukar dibuktikan
(Partodihardjo, 1982).
Menurut Toelihere (1977), lama kebuntingan ditentukan secara genetik
walaupun dapat dimodifiser oleh faktor-faktor maternal, foetal dan lingkungan.

Faktor-faktor maternal. Umur induk mempengaruhi lama kebuntingan pada


berbagai jenis hewan. Suatu perpanjangan selama 2 hari dari lama kebuntingan
normal terjadi pada domba berumur 8 tahun. Sapi-sapi dara yang bunting pada
umur relarif muda akan mempunyai masa kebuntingan yang lebih pendek
daripada induk sapi yang lebih tua.
Faktor-faktor foetal adalah suatu hubungan terbalik antara lama
kebuntingan dan besar litter banyak dilaporkan pada beberapa spesies kecuali
pada babi. Fetus yang banyak pada jenis hewan monotokus juga mempunyai
masa kebuntingan yang lebih singkat. Anak sapi kembar berada dalam
kandungan 3-6 hari kurang dari anak sapi tunggal. Faktor lingkungan,
perpanjangan masa kebuntingan

pada kuda sesudah perkawinan di musim

dingin dinyatakan disebabkan oleh penundaan implantasi. (Toelihere, 1977).


Selama masa kebuntingan, alat kelamin betina mengalami beberapa
perubahan. Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa
kebuntingan akan menunjukan perubahan bagian-bagian tertentu sebagai
berikut:
Organ
Keadaan Normal
Vulva
dan Tidak terdapat edema
vagina

Keadaan Bunting
pada Setelah
kebuntingan

vulva, dengan warna putih pucat. berumur

sampai

Pada vagina, tidak terlihat pucat bualan pada sapi dara


seperti pada saat bunting.

akan

terlihat

edema

pada

adanya
vulvanya.

Semakin tua buntingnya


semakin

jelas

edema

vulva ini. Pada sapi yang


telah

beranak,

edema

vulva baru akan terlihat


setelah

kebuntingan

mencapai 8,5 sampai 9


Serviks

bulan.
Os externa cerviks tidak tertutup Setelah terjadi fertilisasi
rapat begitu rapat serta kripta perubahan

terjadi

pada

endoservikal tidak bertambah kelenjar-kelenjar serviks.


jumlahnya

dan

tidak Kelenjar

ini

akan

menghasilkan lendir atau mucus menghasilkan lendir yang


yang sangat kental yang akan kental semakin tua umur
menyumbat analis sevicis seperti kebuntingan

maka

pada saat kebuntingan.

kental

lendir

pada

uterus

semakin

tersebut.
Tidak mengalami pembesaran Perubahan

Uterus

baik pada bagian cornu dan yang pertama terjadinya


corpus

uterine,

mengalami

serta

penebalan

miometriumnya.

tidak vaskularisasi

pada

pada endomertium,
lebih

terbentuk

banyak

kelenjar

endometrium, sedangkan
kelenjar yang telah ada
tumbuh lebih panjang dan
berkelok-kelok
Cairan

spiral.
Amnion Belum terdapat dalam uterus Volume

dan Allantois

seperti

pada

kebuntingan.

saat

terjadi dan

seperti

cairan

amnion

allantois

selama

kebuntingan
mengalami

juga
perubahan.

Perubahan yang pertama


adalah volumenya, dari
sedikit menjadi banyak,
perubahan kedua adalah
dari

perbandingannya.

Hampir semua spesies,


cairan

amnion

menjadi

lebih banyak dari pada


volume cairan allantois,
tetapi

pada

kebuntinan
allantois

menjadi

akhir
cairan
lebih

Ovarium

banyak.
Terbentuknya Corpus albikans Setelah ovulasi, terjadilah
kerena, tidak terjadi fertilisasi kawah

bekas

folikel.

saat ovulasi sel telur, dan masih Kawah

ini

segera

terjadi aktifitas folikuler dengan dipenuhi oleh darah yang


normal.

dengan cepat membeku


yang

disebut

corpus

hemorrhagicum. Pada hari


ke 5 sampai ke-6 korpus
luteum telah terbentuk

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quram
Ash-Shabury, M. Ali. 2001. Cahaya Al-Quran 4. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta
Bearden, H.J. and Fuquay. 2000. Applied Animal Reproduction. Reston Publishing
Company Inc. Reston. Virginia
Frandson, R.D. 1993. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta

Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th ed. Lea and Febiger.
Philadelphia.
Hunter, R.F. 1981. Fisiologi dan Anatomi Organ Reproduksi. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Partodihardjo, S. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara. Jakarta
. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta: Mutiara Sumber Daya.
Prawirohadjo, S, 1999, Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Balai Pustaka. hal 57
60.
Salisbury, G. W. Dan N. L. VanDemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Samsudewa, dkk. 2008. Uji Konsistensi, Akurasi dan Sensitivitas Deteksi
Kebuntingan Ternak DEEA GestDect pada Sapi. Animal Production Vol.
10 No. 1. Hlm: 12-15. Fakultas Peternakan UNDIP. Semarang.
Toelihere, M. R. 1985. Ilmu Kebidanan pada ternak Sapi dan Kerbau. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
. 1977. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Angkasa. Bandung

Anda mungkin juga menyukai