Anda di halaman 1dari 14

ASKEP ATRESIA ANI PADA ANAK

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya
anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001). Beberapa kelainan kongenital dapat
ditemukan bersamaan dengan penyakit atresia ani, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka
yang cukup signifikan yakni down syndrome (5-10%) dan kelainan urologi (3%). Hanya saja
dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti refluks vesikoureter,
hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai 1/3 kasus) (Swenson dkk, 1990).
Insiden penyakit atresia ani adalah 1 dalam 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir
1400 bayi dengan penyakit atresia ani. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit atresia ani yang
dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta dengan rasio laki-laki:
perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh group etnik, untuk Afrika dan Amerika
adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran, Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam
10.000 kelahiran (Holschneider dan Ure, 2005; Kartono,1993). Menurut catatan Swenson, 81,1
% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan
tendensi faktor keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Atresia ani dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremia, infeksi saluran kemih yang bisa
berkepanjangan, kerusakan uretra (akibat prosedur bedah), komplikasi jangka panjang yaitu
eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis), masalah atau k
elambatan yang berhubungan dengan toilet training, inkontinensia (akibat stenosis awal atau
impaksi), prolaps mukosa anorektal dan fistula (karena ketegangan diare pembedahan dan
infeksi). Masalah tersebut dapat diatasi dengan peran aktif petugas kesehatan baik berupa
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Hal ini dilakukan dengan pendidikan kesehatan,

pencegahan, pengobatan sesuai program dan memotivasi klien agar cepat pulih sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan secara optimal.
B.

Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Penyusun membuat makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Atresia
Ani bertujuan sebagai bahan pembelajaran ANAK pada tingkat II Keperawatan, serta
memenuhi syarat penyelesaian tugas dari mata kuliah ANAK.
2. Tujuan khusus
Selesainya tugas makalah Asuhan Keparawatan pada Atresia Ani, penyusun di harapkan mampu:
a.

Memahami isi materi mengenai Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Atresia Ani.

b.

Dapat membagi ilmu kepada pembaca mengenai Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Atresia
Ani.
C.

Ruang Lingkup
Penulis hanya membahas tentang Asuhan keperawatan pada Anak dengan Atresia Ani

D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penyusun dalam penyusunan makalah ini adalah metode
deskripsi untuk mendapatkan gambaran mengenai Asuhan Keperawatan pada Anak dengan
Atresia Ani itu sendiri.
E.

Sistematika Penulisan
Penyusunan makalah Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Atresia Ani dari tiga Bab, pada
Bab I yaitu pendahuluan yang berisikan latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
ruang lingkup, dan sistematika penulisan. Bab II yaitu pembahasan mengenai materi Asuhan
keperawatan pada Anak dengan Atresia Ani. Bab III yaitu penutup yang berisikan kesimpulan
dan saran.

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Wong, D. L, 2003).
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus,
rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden, L. A, 2002).
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya
anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001).
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
dimana tidak terdapatnya lubang atau saluran anus.
B. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan
bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan
1.

embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang

dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan.
4. Berkaitan dengan sindrom down.
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.
C. Patofisiologi
1. Proses perjalanan penyakit
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional.
Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang
berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan struktur anorektal. Terjadi
stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia ani karena tidak
ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam

perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan
abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan
distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir
melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia,
sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita
90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
biasanya letak tinggi, umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika).
Pada letak rendah fistula menuju ke uretra (rektourethralis).
2. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah
bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada
perineum (Suriadi & Yuliani, R, 2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak
dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen,
pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat menonjol. Bayi muntah-muntah pada usia 24-48
jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan
dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan
mekonium.
3. Komplilkasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi jaringan perut
e.
f.
g.
h.

dianastomosis).
Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).
Prolaps mukosa anorektal.
Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).

4. Klasifikasi
a. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.

b. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.


c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rektum dengan anus.
d. Rektal atresia adalah tidak memiliki rektum.

D. Penatalaksanaan Medis
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin
tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi
setelah beberapa hari kelahiran lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen
(prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini
dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar
dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Jenis tindakan pembedahan yang dapat
dilakukan adalah:
1. Aksisi membran anal (membuat anus buatan).
2. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi
sekaligus (pembuat anus permanen).
E. Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Todler (1-3 tahun)
Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh tubuh yang secara
kuantitatif dapat di ukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi
alat tubuh yang dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong, 2000).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur atau fungsi tubuh yang lebih
kompleks dalam pola yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses
diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2002).
Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu kematangan fungsi dari
masing-masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk memompa
darah, kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan,
bicara, memungut bendabenda disekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak. Tahap
perkembangan awal akan menentukan tahap perkembangan selanjutnya. Pada dasarnya, manusia
dalam kehidupannya mengalami berbagai tahapan tumbuh kembang dan setiap tahap mempunyai
ciri tertentu.

Pertumbuhan melambat selama masa todler. Rata-rata pertambahan berat badan adalah 1,8
sampai 2,7 kg/tahun. Berat rata-rata pada usia 2 tahun adalah 12 kg. Berat badan menjadi empat
kali berat badan lahir pada usia 2 tahun. Kecepatan pertambahan tinggi badan juga melambat.
Penambahan tinggi yang biasa adalah bertambah 7,5 cm/tahun dan terutama terjadi dalam
perpanjangan tungkai dan bukan batang tubuh. Tinggi badan rata-rata anak usia 2 tahun adalah
86,6 cm. Secara umum, tinggi badan orang dewasa sekitar dua kali tinggi badannya sewaktu
berusia 2 tahun.
Kecepatan pertambahan lingkar kepala melambat pada akhir masa bayi, dan lingkar kepala
biasanya sama dengan lingkar dada pada usia 1-2 tahun. Total pertambahan lingkar kepala
umumnya selama tahun kedua adalah 2,5 cm. Kemudian kecepatan pertambahan melambat
sampai usia 5 tahun, pertambahan tinggi badan menjadi kurang dari 1,25 cm/tahun. Fontanale
anterior menutup antara usia 12 sampai 18 bulan.
Keterampilan motorik kasar mayor selama masa todler adalah perkembangan lokomosi. Pada
usia 12 sampai 13 bulan todler sudah dapat berjalan sendiri dengan jarak kedua kaki melebar
untuk keseimbangan ekstra dan pada 18 bulan mereka berusaha lari tetapi mudah terjatuh.
Antara usia 2 dan 3 tahun, posisi tegak dengan dua kaki menunjukan peningkatan koordinasi dan
keseimbangan. Pada usia 2 tahun todler dapat berjalan menaiki dan menuruni tangga, dan pada
usia 2 tahun mereka dapat melompat, menggunakan kedua kaki, berdiri pada satu kaki selama
satu atau dua detik, dan melakukan beberapa langkah dengan berjinjit. Pada akhir tahun kedua
mereka dapat berdiri dengan satu kaki, berjalan jinjit, dan menaiki tangga dengan berganti-ganti
kaki.
Perkembangan motorik halus diperlihatkan dengan meningkatnya keterampilan deksteritas
manual. Misalnya, pada usia 12 bulan todler mampu menggenggam sebuah benda yang sangat
kecil tetapi tidak mampu melepaskan sesuai keinginannya.

Pada 15 bulan mereka dapat

menjatuhkan kelereng ke dalam botol berleher sempit. Menangkap atau melempar benda dan
menangkapnya kembali menjadi aktivitas yang hampir obsesif pada usia sekitar 15 bulan. Pada
usia 18 bulan todler dapat melempar bola dari tangan tanpa kehilangan keseimbangan.

Todler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas penting. Apabila kebutuhan untuk
membentuk dasar kepercayaan telah terpuaskan, mereka siap meninggalkan ketergantungannya
menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan otonomi. Tugas mayor periode todler adalah diferensiasi
diri dari orang lain, terutama ibu. Proses diferensiasi terdiri atas dua fase: perpisahan,
kemunculan anak dari kesatuan simbiosis dengan ibunya, dan individualisasi, pencapaian
tersebut menandai asumsi anak mengenai karakteristik individual mereka di dalam lingkungan.
Meskipun proses ini dimulai selama paruh waktu masa bayi, pencapaian terbesar terjadi selama
masa todler.
Karakteristik perkembangan bahasa yang paling mengejutkan selama masa kanak-kanak awal
adalah meningkatnya tingkat pemahaman. Meskipun jumlah kata yang dikuasai sekitar 4 pada
usia 1 tahun menjadi 300 pada usia 2 tahun-perlu dicatat, kemampuan untuk memahami dan
mengerti percakapan jauh lebih besar dibandingkan jumlah kata yang dapat diucapkan anak. Ini
terjadi terutama pada keluarga yang menggunakan dua bahasa, yang perbendaharaan katanya
bisa terlambat dikuasai tetapi kedua bahasa dapat dipahami dengan tepat (Chiocca, 1998 dikutip
dari Wong, D. L, et.al, 2009).
F. Konsep Hospitalisasi Anak Usia Todler (1-3 Tahun)
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat,
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai
pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Selama proses tersebut, anak dan orang tua
dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan
pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stress. Berbagai perasaan yang sering
muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000 dikutip dari
Supartini, 2004). Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan
belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan
sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan.
Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua menjadi stress pula, dan stress orang tua
akan membuat tingkat stress anak semakin meningkat (Supartini, 2004). Anak adalah bagian
dari kehidupan orang tuanya sehingga apabila ada pengalaman yang mengganggu kehidupannya
maka orang tua pun merasa sangat stress (Brewis, 1995 dikutip dari Supartini, 2004). Dengan

demikian, asuhan keperawatan tidak bisa hanya berfokus pada anak, tetapi juga pada orang
tuanya.
Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stressnya. Sumber stress
yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya,
yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku yang
ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang
diberikan orang lain.

Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis

berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih dan
apatis.

Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai

menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai
lingkungannya.
Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya
untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan
kembali mundur pada kemampuan sebelumnya atau regresi. Terhadap perlukaan yang dialami
atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasif, seperti injeksi, infus,
pengambilan darah, anak akan menangis, menggigit bibirnya, dan memukul.

Walaupun

demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya.
G. Asuhan keperawatan
1.
a.
b.
1)
2)
c.

Pengkajian
Biodata klien.
Riwayat keperawatan.
Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
Riwayat kesehatan masa lalu.
Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d. Riwayat tumbuh kembang anak.
1) BB lahir abnormal.
2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami
trauma saat sakit.
3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.
e. Riwayat sosial.

f. Pemeriksaan fisik.
g. Pemeriksaan penunjang
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1) Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2) Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3) Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari
4)
5)
6)
7)

adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.


CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus
urinarius.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.
Diagnosa postoperasi:
a. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi luka.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka
kolostomi.
d. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan kolostomi.
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
3. Perencanaan keperawatan
Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi:
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
Kriteria hasil:
1) Penurunan distensi abdomen.
2) Meningkatnya kenyamanan.
Intervensi:

1) Lakukan enema atau irigasi rektal.


2) Kaji bising usus dan abdomen.
3) Ukur lingkar abdomen.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
Kriteria hasil:
1) Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.
2) Capillary refill 3-5 detik.
3) Turgor kulit baik.
4) Membran mukosa lembab.
Intervensi:
1) Pantau TTV.
2) Monitor intake-output cairan.
3) Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan IV.
c.

Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur

perawatan.
Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.
Kriteria hasil:
1) Klien tidak lemas.
Intervensi:
1) Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh orang tua tentang anatomi dan fisiologi saluran
pencernaan normal.
2) Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.
3) Beri informasi pada orang tua tentang operasi kolostomi.
a.
1)
2)
1)
2)
3)
4)
5)

Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi:


Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi luka.
Tujuan: Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Kriteria hasil:
Klien tampak tenang dan merasa nyaman.
Klien tidak meringis kesakitan.
Intervensi:
Kaji skala nyeri.
Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.
Berikan lingkungan yang tenang.
Atur posisi klien.
Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat stoma sekunder dari kolostomi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Kriteria hasil:
1) Penyembuhan luka tepat waktu.
2) Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.

1)
2)
3)
4)
5)
c.
1)
2)
3)
1)
2)
3)
4)
5)

Intervensi:
Kaji area stoma.
Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi atau kantong.
Lakukan perawatan luka kolostomi.
Resiko infeksi berhubungan masuknya mikroorganisme sekunder terhadap luka kolostomi.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil:
Tidak ada tanda-tanda infeksi.
TTV normal.
Leukosit normal.
Intervensi:
Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
Pantau TTV.
Pantau hasil laboratorium.
Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

d. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.


Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.
Kriteria hasil:
1) BAB normal.
2) Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.
Intervensi:
1) Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.
2) Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.
3) Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum banyak dan mengandung tinggi serat jika
konstipasi.
4) Lakukan perawatan kolostomi.
e.

Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.


Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah.

Kriteria hasil:
1) Menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan kolostomi dirumah.
Intervensi:
1) Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan
perawatan.
2) Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
3) Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal secara
tepat.
4) Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5) Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.

6) Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).


4. Pelaksanaan keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan melaksanakann
berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana
tindakan keperrawatan. Dalam tahap ini, perawat harus mengetahui berbagai hal di antaranya
bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam
prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat
perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu
tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008: 122).
5. Evaluasi keperawatan
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang dibuat
pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap ini adalah
memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan kesimpulan
tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan
a.

pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan

respon segera.
b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien pada waktu
tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Di samping itu, evaluasi
juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah
tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
1) Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan kemajuan yang sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara keseluruhan sehingga
masih perlu dicari berbagai masalah atau penyebabnya, seperti klien dapat makan sendiri tetapi
masih merasa mual. Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3) Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan kearah kemajuan
sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-tiap diagnosa adalah:
a. Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
b. Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.

c.
d.
e.
f.
g.
h.

Kecemasan orang tua dapat berkurang.


Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
Tidak terjadi infeksi.
Gangguan pola eliminasi teratasi.
Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah

BAB III
KESIMPULAN
A.

Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus
(Wong, D. L, 2003).
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus,
rectum atau keduanya (Betz, C. L and Sowden, L. A, 2002).
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan
bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan

1.

embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang

dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan.
4. Berkaitan dengan sindrom down.
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
B.

Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat mampu mendiagnosis
secara dini mengenai penyakit hernia pada anak, sehingga kita mampu memberikan asuhan
keperawatan yang maksimal terhadap anak tersebut.
Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan sehingga kritik dan
saran dari semua pihak sangat kami harapkan.

Anda mungkin juga menyukai