Oleh:
Fitriyani Rofiqoh
(135060601111019)
(135060600111045)
Mery Anggrina
(135060600111026)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Di zaman sekarang penggunaan lahan semakin minim. Hal tersebut dapat diihat dari
banyaknyan konflik penggunaan lahan atau perubahan lahan yang memang sudah memiliki guna
lahan yang tak dapat diubah dari awal, harus mengalami alih fungsi lahan menjadi guna lahan
lainnya. Hal tersebut menghasilkan konflik yang terjadi diantara pemilik lahan yang dimiliki
oleh perorangan maupun pihak yang akan melakukan alih fungsi lahan tersebut. Salah satu
contoh nyata yang diangkat oleh penulis adalah konflik sosial antara masyarakat dengan PT
Harapan Sawit Lestari yang terjadi di Desa Terusan Kecamatan Manis Mata Kabupaten
Ketapang Kalimantan Barat.
Terjadinya konflik sosial antara masyarakat dengan PT Harapan Sawit Lestari yang
terjadi di Desa Terusan Kecamatan Manis Mata Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat berawal
dari alih fungsi lahan tanah adat milik masyarakat setempat yang diubah oleh perusahaan
perkebunan sait tersebut untuk dijadikan lahan perkebunan sawit. Masyarakat memprotes aksi
tersebut. Karena secara sosial masyarakat akan mengalami dampak kerugian akibat alih fungsli
lahan tanah adat tersebut, diantaranya perubahan pola bertani (tidak bisa berladang lagi karena
tidak memiliki tanah dan air mengalami kekeringan), perubahan pola kerja (mengaret yang
seharusnya dilakukan pagi hari bisa dikerjakan siang atau sore jika terjadi hujan), merosotnya
budaya, pengetahuan dan kearifan lokal, pontensi terciptanya konflik horizontal.
Selain dampak secara sosial adanya alih fungsi tanah adat menjadi lahan perkebunan
kelapa sawit juga menyebabkan dampak lingkungan diantaranya Keanekaragaman hayati dan
nabati akan musnah, lahan kritis, pencemaran dan degradasi unsur hara tanah serta air karena
limbah kelapa sawit dan pupuk buatan yang beracun, erosi karena konversi dan deforestasi, serta
hama akan berkembang pesat. Tak hanya dampak sosial lingkungan, hal ini juga berdampak
kepada sisi ekonomi masyarakat seperti meningkatnya persoalan kemiskinan dengan hilangnya
akses rakyat terhadap sumber-sumber penghidupannya. Sumber ekonomi seperti karet, rotan,
damar, durian, dan tanaman lainnya telah hilang karena sudah diganti dengan tanaman sejenis
(monokultur) yaitu perkebunan kelapa sawit. Tergantung pada perusahaan. Bekerja dari jam
06.00 pagi sampai jam 06 sore menjadi buruh, kuli dan hanya diberi gaji dengan kisaran Rp.
25.000 30.000 per hari, dan terjadinya konglomerasi atau tuan tanah. Kepemilikan tanah atau
lahan oleh segelintir orang kaya dan biasanya bukan penduduk asli melainkan orang luar yang
datang dari Jakarta dan bahkan dari luar negeri. Itulah sebabnya mereka (pengusaha) ini tidak
peduli atas nasib masyarakat lokal (orang Dayak)
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat diawali dengan perusahaan
milik Inggris tersebut mulai membebaskan tanah adat penduduk desa Terusan. Harapan Sawit
Lestari merupakan sebuah perusahaan yang memiliki beberapa kelompok usaha yang terdiri dari
lima perusahaan kecil: PT ASL Timur, PT ASL Barat, PT HSL Selatan, PT HSL Utara, HKM B.
Investasi Inggris berhasil menjadikan HSL salah satu dari perusahaan perkebunan yang paling
berhasil di Kalimantan Barat. Akan tetapi masyarakat sekitar HSL terutama masyarakat Desa
Terusan telah berulang kali menyatakan penolakan mereka secara bersungguh-sungguh terhadap
kelapa sawit. Sengketa tanah ini berlanjut menjadi perkara terhadap hak atas tanah adat.
Konflik antara masyarakat dengan PT HSL semakin memuncak ketika penduduk Desa
Terusan mengetahui bahwa buldozer kontraktor telah menghancurkan sekitar 100 hektar hutan
dan ladang masyarakat serta mengganggu daerah pemakaman, masyarakat Desa Terusan telah
memberikan peringatan kepada PT HSL serta pemerintah setempat bahwa mereka tidak akan
menyerahkan tanah adat mereka sedikitpun untuk perkebunan kelapa sawit. Masyarakat Desa
Terusan mengadakan forum atau rapat desa pada tanggal 18 Juli, keputusan hasil rapat adalah
masyarakat mengambil alih bulldozer serta masyarakat Desa Terusan mengadakan persidangan
hukum adat. Adapun tuntutan yang diajukan oleh masyarakat cukup serius yaitu:
1. Bagi penduduk Dayak Jelai Sekayu, mengotori daerah pemakaman adalah sama
dengan pembunuhan, keputusan tersebut sudah dengan sesuai hukum adat setempat.
2. HSL harus membayar denda simbolik atas pengerusakan terhadap hutan dan daerah
pemakaman. Bentuknya berupa penyerahan rumah-rumah tradisional, alat-alat musik
dan jambangan antik selain makanan dan minuman - senilai Rp 150 juta dalam
bentuk uang.
Pihak HSL tidak membayar denda dan tidak menyelesaikan konflik tersebut secara langsung
dengan masyarakat, HSL melibatkan pemerintah daerah Ketapang. Bupati kemudian
mengadakan pertemuan pada tanggal 10 Agustus yang dihadiri oleh DPR, HSL dan LSM
setempat yang terpilih diantaranya adalah Institut Dayakologi dan Program Pemberdayaan
Sistem Hutan Kerakyatan (PPSHK) Kalimantan Barat . Dewan Adat yang dibentuk pemerintah
juga hadir dalam pertemuan tersebut, akan tetapi tidak ada wakil dari Desa Terusan karena
masyarakat tidak setuju dengan adanya campur tangan pihak ketiga. Pertemuan tersebut tidak
dapat menyelesaikan masalah, tetapi semakin mempersulit keadaan. LSM setempat dituduh
sebagai anti-pembangunan dan dianggap menghasut masyarakat setempat serta tidak mengakui
wewenang negara.
Pengakuan hak atas tanah adat merupakan inti permasalahan dari konflik antara
masyarakat dengan PT HLS di daerah Manis Mata. Lembaga Swadaya Masyarakat Kalimantan
Barat, termasuk Institut Dayakologi (ID) dan PPSDAK salah satu tugas yang telah dikerjakan
adalah meminta kerjasama serta keterlibatan masyarakat dalam pembuatan peta sebagai alat
untuk memberi kekuatan bagi masyarakat adat
masyarakat untuk
mengetahui luas dan nilai tanah adat dan sumber daya masyarakat sehingga dapat memberikan
keputusan yang jelas mengenai penggunaannya di masa yang akan datang.
Pihak HSL tetap menyatakan bahwa telah mendapat ijin penggunaan tanah desa untuk
perkebunannya, dan pihak HSL menyatakan bahwa kemungkinan besar tidak benar mengenai
peta yang telah dibuat, karena proses pembuatan peta masyarakat dilakukan melalui negosiasi
atas batas tanah adat dengan desa-desa tetangga. Pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang
bersikukuh bahwa hanya pemerintah yang mempunyai wewenang untuk membuat peta dan
kegiatan pembuatan peta oleh para LSM dianggap tidak sah, tidak sesuai hukum dan bersifat
menghasut.
Para penduduk Desa Terusan berkeyakinan bahwa bukan suatu kebetulan bahwa
penduduk desa yang melawan HSL dan menuntut hak mereka kemudian ditangkap dengan
tuduhan menghasut dan tuduhan lain yang tidak ada hubungannya. Masyarakat HSL meminta
perlindungan kepada Komisi Hak Asasi Manusia dan menyampaikan keterangan pada Komisi
mengenai latar belakang konflik wilayah garapan HSL di Manis Mata, serta tuntutan masyarakat
Desa Terusan. Komisi HAM memberikan titik terang dan berjanji untuk segera membawa kasus
itu secara tertulis ke berbagai pihak yang terlibat, termasuk pemerintah setempat, perusahaan
bersangkutan dan Lembaga Pertanahan Nasional.
Konfrontasi antara masyarakat dan HSL, maupun antara LSM setempat dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Ketapang belum teratasi. Masyarakat Desa Terusan masih menyita bulldozer
milik kontraktor sampai denda adat dibayar. Beberapa kejadian dalam konflik tersebut adalah
penduduk desa memblokade jalan untuk menghalangi truk-truk perkebunan hilir mudik antara
perkebunan dan pabrik pengolahan. Sejumlah surat, petisi dan demonstrasi ditujukan ke DPR
dan kantor Pemerintah Daerah di Kabupaten Ketapang. Para anggota masyarakat menyampaikan
keluhan mereka kepada Menteri Inggris untuk Kerjasama Luar Negeri pada bulan Oktober tahun
2000, keluhan tersebut adalah karena tidak ada warga Dayak di tingkat manajemen PT HSL
akan tetapi para pemegang kekuasaan pada PT HSL adalah semua keturunan Suku Melayu yang
tidak memiliki hak atas tanah adat dan mempunyai tradisi yang berbeda.
Pada akhirnya permasalahan CDC angkat bicara dan mengambil alih secara keseluruhan PT HSL
dan pihak manajemen CDC memberikan janji kepada masayrakat bahwa aka nada pendekatan
baru yang didasarkan pada mendengarkan, bukan konfrontasi. Namun banyak masyarakat Desa
Terusan tidak mempercayai hal tersebut, karena merasa bahwa telah terlalu banyak janji yang
tidak dipenuhi oleh perusahaan sebelumnya.
2.2
PT HSL diantaranya:
1. Masyarakat Desa Terusan
Masyarakat Desa Terusan sebagai pihak yang terlibat karena mereka memiliki has atas
tanah-tanah mereka yang digunakan oleh PT HSL tanpa adanya feedback yang baik dare
PT HSL pada masyarakat Desa Terusan.
2. Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang
Pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang merupakan pihak yang seharusnya menjadi
fasilitator antara masyarakat dengan PT HSL, akan tetapi dalam konflik ini Pemda
Kabupaten Ketapang terlihat hanya membela satu pihak saja yeti PT HSL.
3. Lembaga Swadaya Masyarakat yang terdiri dari Institus Dayakologi dan Program
Pemberdayaan Sistem Hutan Kerakyatan (PPSHK) Kalimantan Barat
Institut Dayakologi (ID)
LSM Institut Dayakologi adalah organisasi yang mendukung pergerakan
masyarakat adat di Indonesia dan merupakan bagian dari kelompok PPSHK
Pancur Kasih dari Pontianak, yang mempunyai reputasi baik selama 20 tahun
dalam usaha pengembangan masyarakat setempat. Kedua organisasi tersebut
menentang keyakinan kuat pihak pemerintah bahwa perkebunan kelapa sawit
berskala besar akan membawa kesejahteraan bagi para petani hutan khusunya
pada wilayah Kalimantan Barat.
BAB III
KESIMPULAN
Pihak yang terlibat dalam konflik sosial masyarakat ini yaitu masyarakat Desa Terusan,
pemerintah Daerah Kabupaten Ketapang, LSM (dari Institus Dayakologi dan Program
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2002. Konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan Inggris di Kalimantan.
http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story (diakses pada tanggal 27 April 2016)
Anonim, 2008. Program Pemberdayaan SIstem Hutan Kerakyatan-Kalbar. http://ppshkkalbar.blogspot.co.id/2008/11/profile-ppshk-kalbar.html (diakses pada tanggal 27 April
2016)