Anda di halaman 1dari 35

BAB III

TUGAS KHUSUS

3.1 Latar Belakang


PT. INALUM (Persero) menargetkan mulai tahun 2016 akan melakukan
diversifikasi produk dengan memproduksi produk hilir aluminium berupa alloy
dan billet. Produksi alloy ditargetkan 90.000 ton hingga tahun 2019 dari total
produksi produk aluminium. Tipe alloy yang akan diproduksi yaitu alloy A356.
Upaya diversifikasi produk ini harus didukung proses produksi alloy A356 yang
tepat sehingga dapat dihasilkan produk dengan kualitas yang baik.Oleh karena itu,
pada tugas khusus ini kami mengkaji mengenai proses produksi alloy A356
beserta mass balance proses alloying.
3.2 Tujuan
Tujuan dari tugas khusus ini yaitu untuk mengetahui proses produksi alloy
A356 beserta mass balance proses alloying.
3.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada tugas khusus ini yaitu berapa UC standar untuk
menghasilkan satu ton ingot alloy A356.
3.4

Metode Pengambilan Data


Metode pengambilan data yang dilakukan adalah dengan studi literatur,

mempelajari teori yang mendasari dilakukannya berbagai proses dalam proses


produksi alloy A356, proses produksi yang telah dilakukan dalam skala industri
beserta mass balance proses alloying.
3.5 Teori Dasar
3.5.1 Alloy A356
Aplikasi paduan aluminium A356 (Al-7%Si-0,3Mg) digunakan
untuk komponen yang memerlukan kekuatan tinggi seperti komponen pada
otomotif, aerospace dan aplikasi di bidang militer karena paduan A356

17

menawarkan kekuatan yang tinggi dan ketahanan korosi yang baik. Sifat
fisik, sifat mekanik, thermal properties, processing properties, komposisi
kimia dan electrical properties A356 ditunjukkan pada Tabel III.1.
Tabel III.1. Sifat Fisik, Sifat Mekanik, Thermal Properties, Processing
Properties, Komposisi Kimia dan Electrical Properties
(Sumber: The Aluminum Association, Inc)
Sifat Fisik
Densitas
2,67 g/cc
Sifat Mekanik
Brinell hardness
70-105
Ultimate tensile strength
234 Mpa
Yield tensile strength
165 Mpa
Elongation at break
3,5%
Modulus elastisitas
72,4 Gpa
Poissons ratio
0,33
Machinability
50%
Shear modulus
27,2 Gpa
Shear strength
143 Mpa
Thermal Properties
Heat of fusion
389 J/g
Spesific heat capacity
0,963 J/g-0C
Thermal conductivity
151 W/m-K
Solidus
5570C
Liquidus
6130C
Processing Properties
Melt temperature
677-8160C
Solution temperature
535-540,60C(ditahan selama 412 jam, kemudian didinginkan
dengan menggunakan air pada
Aging temperature
Casting temperature
Komposisi Elemen
Al
Cu
Fe
Mg
Mn
Si
Ti
Zn

150-2120F)
152-1570C (ditahan selama 2-5)
677-7880C
91,1 - 93,3%
0,20 %max
0,20 %max
0,25-0,40%
0,10 %max
6,50-7,50%
0,20 %max
0,10 %max

18

Elemen lainnya
Electrical Properties
Electrical resustivity

0,15 %max
0,00000440 ohm

Unsur paduan utama pada A356 adalah Si, Mg dan Cu. Silikon merupakan
unsur paduan yang dapat meningkatkan kemampuan alir dan menghasilkan
produk coran low shrinkage dengan castability dan weldability yang baik.
Silikon memiliki kekerasan yang tinggi sehingga akan meningkatkan
ketahanan aus paduan. Magnesium adalah elemen penguatan, dengan
adanya silikon, maka akan terbentuk magnesium silikat. Tiga elemen
pengotor utama, yaitu Fe, Ca dan P dengan minor impurities antara lain Ni,
Mn, Cr dan Sb. Penambahan unsur paduan Ti, Ti-B yang merupakan unsur
penghalus butir dan modifying agents seperti Na atau Sr.
3.5.2 Proses Produksi Ingot A356
Proses Produksi ingot paduan aluminum A356 berbeda dengan
proses produksi dari ingot pure aluminium karena banyak terdapat
perlakuan khusus untuk mendapatkan paduan alumnium yang optimal
(Gambar III.5)

Gambar III.1 Alur Proses Produksi Ingot A356

19

1. Charge Material
Aluminium dan unsur alloying yang dibutuhkan dalam
pembuatan alloy diumpankan ke dalam furnace. Charge material
terdiri dari tiga komponen, yaitu ingot aluminium dengan kadar
tinggi, elemen paduan dan master alloy. Molten aluminum dari
pot reduksi atau ingot aluminium dengan kadar tinggi yang
dilelehkan kembali adalah yang umumnya digunakan (Saha,
2000).
Elemen paduan dengan titik leleh rendah, seperti magnesium dan
zinc biasanya ditambahkan ke dalam molten aluminum sebagai
logam murni dalam bentuk batangan. Elemen paduan dengan titik
leleh yang tinggi seperti silikon, mangan, nikel, tembaga dan
kromium ditambahkan dalam bentuk master alloy atau hardeners.
Hardeners pada umumnya dibuat secara terpisah dengan
melelehkan elemen dengan titik leleh tinggi dengan aluminium
dalam bentuk small ingot arau bars. Ketika hardeners
ditambahkan selama proses charging, elemen paduan diaduk
dengan molten aluminum tanpa menyebabkan overheating pada
molten aluminum. Komposisi kimia hardeners dikontrol secara
ketat. Master alloy yang dapat digunakan pada paduan A356 yaitu
Al-50Si dan Al-75Mg. Pada proses charging, master alloy Al-Si
diinputkan terlebih dahulu sebelum master alloy Al-Mg
dikarenakan Mg mudah menguap, hal ini dilakukan untuk
meminimalisisr loss pada Mg (Saha, 2000). Penambahan master
alloy Al-75Mg dilakukan setelah proses degassing dan skimming
off, karena Mg merupakan elemen paduan yang reaktif dan dapat
meningkatkan laju oksidasi lelehan logam, sehingga pada proses
penambahannya dibutuhkan keadaan atmosfer yang inert, selain
itu juga, waktu larutnya Mg dalam aluminium hanya berkisar 5
menit meskipun ditambahkan dalam jumlah yang besar (>10%).
Master alloy yang biasanya digunakan dapat dalam bentuk waffle
ingot atau aluminum notch-bar ingot (Gambar III.2).

20

Gambar III.2 (a) Waffle Ingot (b) Aluminum Notch Bar Ingot
2. Melting dan Holding
Pemilihan furnace yang digunakan untuk melting dan pembuatan
alloy tergantung dari tipe dan ukuran dari proses casting. Saat ini,
penggunaan titling furnace lebih sering dignakan daripada
stationary holding furnace. Titling furnace dilengkapi dengan satu
pintu yang terbuka penuh untuk memudahkan proses stirring,
skimming dan cleaning pada bagian heart furnace (Saha, 2000).
Aluminium dan elemen paduan yang telah dilelehkan di dalam
furnace, ditransfer ke holding furnace. Lelehan diaduk dari arah
bawah ke atas untuk menghindari agitasi yang berlebihan dan
memerusak lapisan oksida, kemudian dilakukan proses skimming
off.
3. Fluxing dan Degassing
Fluxing merupakan salah satu chemical treatment yang dilakukan
pada molten aluminum. Komposisi kimia dari flux adalah
campuran garam anorganik. Proses fluxing juga termasuk
treatment yang dilakukan pada lelehan aluminium dengan
menginputkan gas inert untuk menghilangkan impurities dalam
bentuk padat maupun gas. Pembentukan oksida dan nonmetallic
impurities terjadi pada proses melting. Impurities dapat muncul
dalam bentuk liquid dan inklusi padat. Proses fluxing yang
dilakukan akan menyebabkan akumulasi dan pemisahan
konstituen yang tidak diinginkan dari lelehan. Temperatur molten

21

aluminum harus dijaga agar lebih tinggi sebelum penambahan


flux pada lelehan. Pada temperatur yang tinggi, fluiditas lelehan
aluminium dan fluxing agent bisa menjadi sangat tinggi, sehingga
akan menghasilkan kontak yang baik antara lelehan dengan flux,
dengan demikian, reaksi akan terjadi semakin optimum. Cover
flux, cleaning flux, drossing flux dan refining flux merupakan
empat tipe utama flux yang digunakan pada proses pembuatan
paduan aluminium. Lamanya proses holding time 10 menit untuk
setiap 12 ton molten aluminium sebelum dilakukan degassing.
Flux yang digunakan adalah drossing flux. Kadar drossing flux
yang digunakan yaitu 1 sekop (2-5 kg) untuk tiap 12 ton molten
aluminium. Drossing flux yang digunakan mengandung KNO3,
fluoride dan chloride.
a. Cover flux
Aluminium sangat reaktif secara kimia. Lapisan tipis atau
lapisan aluminium oksida terbentuk secara cepat pada
permukaan lelehan aluminium yang kontak langsung dengan
atmosfir. Penambahan scrap atau ingot yang pada lelehan dan
stirring dapat menyebabkan oksida aluminium terjebak dalam
lelehan.
b. Cleaning flux
Cleaning flux digunakan untuk menghilangkan oksida dalam
lelehan, sementara cover flux bertindak sebagai barrier pada
permukaan lelehan untuk melindungi lelehan terhadap oksidasi
lebih lanjut. Cleaning flux didesain untuk menghilangkan
inklusi non metalik dari lelehan dengan menangkap partikel
oksida sehingga partikel tersebut akan mengapung dan akan
dipisahkan dari molten aluminum melalui proses skimming off.
c. Drossing flux
Drossing flux digunakan menghasilkan dross kering dengan
kadar molten aluiminium yang rendah.

22

Hidrogen merupakan satu-satunya gas yang kelarutannya yang


cukup baik dalam aluminium cair maupun padat. Pada alumium
padat hidrogen menyebabkan porositas dan kemungkinan
terjadinya blistering. Hidrogen dapat muncul dari flux, atmosfer
dapur (bahan bakar), reaksi logam/cetakan, ataupun dari
komponen eksternal. Hidrogen terlarut dapat diminimalisir dan
dihilangkan dengan proses degassing yang tepat. Proses
degassing dapat berupa gas purging, tablet-type flux degassing,
dan mechanical mixer degassing.
a. Gas purging
Metode degassing paling sederhana untuk lelehan aluminium
yaitu dengan menginjekasikan purging gas atau campuran gas
melalui pipa, flux tube, lances ataupun wand yang terbuat dari
besi tuang, grafit atau pipa baja yang dilapisi oleh keramik.
Purge gas dapat juga berupa gas inert (argon dan nitrogen) atau
gas reaktif (klorin dan freon). Gas reaktif digunakan dalam
konsentrasi kecil di bawah 10% yang dicampur dengan gas
inert. Gas reaktif akan bereaksi dengan lelehan aluminium,
klorin akan bereaksi dengan lelehan aluminium membentuk
gas AlCl3 yang kemudian bertindak sebagai purging gas. Pada
freon, florin akan bereaksi dengan lelehan aluminium dan
membentuk padatan AlF3. Secara umum, proses degassing
menggunakan gas klorin atau campuran gas klorin lebih efisien
dibandingkan degassing menggunakan gas inert atau gas freon
saja. Perbandingan efisiensi berbagai jenis purge gas dalam
proses degassing ditunjukkan pada Gambar III.3 yang
menunjukkan bahwa degassing dengan menggunakan gas
klorin merupakan proses degassing yang paling efisien.
0.
5

23

Nitrogen-5 freon
Nitrogen
Chlorine

0.
4
0.

Hidrogen Conten
mL/100g
3
0.

Nitrogen

2
0.1
1

Nitrogen-5 freon

Chlorine

0
0

10

12

14

16

Time(s)

Gambar III.3 Perbandingan Efisiensi Berbagai Jenis Purge Gas


b. Rotary Degassing
Prinsip kerja rotary degassing adalah dengan meningkatkan
luas permukaan gas inert yang akan dikenakan pada lelehan
aluminium (Gambar 3.22). Semakin besar luas permukaan gas
inert yang akan dikenakan pada lelehan aluminium, maka
semakin meningkat juga laju perpindahan gas dari lelehan

24

aluminium ke gas inert. Semakin kecil ukuran gelembung gas


inert, maka semakin besar luas permukaannya.
Rotary impeller degassing merupakan teknik yang diadopsi
dari industri proses kimia dengan memperbaiki mixing
capabilty yang mulai diperkenalkan pada industri aluminium
pada pertengahan tahun 1980. Pada teknik ini, gas inert
diinjeksikan ke lelehan aluminium melalui rotating shaft dan
impeller atau rotor yang akan meningkatkan kietika
pencampuran lelehan aluminium dengan gas inert. Pergerakan
dari rotor akan menghasilkan gelembung kecil pada area yang
luas,yang akan meningkatkan perbandingan luas permuakaan
terhadap volume gelembung. Gelembung halus ini memiliki
waktu tinggal yang lebih lama dalam lelehan, sehingga akan
meningkatkan kemampuan untuk mengikat atom hidrogen
yang ada pada lelehan aluminium. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan untuk menentukan proses degassing yang
tepat menggunkan rotor. Parameter yang harus diperhatikan
yaitu kandungan awal hidrogen dan kandungan hidrogen akhir
yang diinginkan, waktu yang tersedia untuk melakukan melt
treatment, volume vessel dan hubungan antara konfigurasi
rotor dan rpm, volume gas, pengaruh permukaan (vortexing,
splash) dan waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil
degassing yang diinginkan.
Variabel-variabel yang saling mempengaruhi ini ditentukan
melalui percobaan yang dilakukan untuk memperoleh
kombinasi parameter proses dan peralatan yang akan
menghasilkan perolehan yang optimum, waktu degassing
sesingkat mungkin dan biaya yang murah (Japan Institue of
Metal, 2005).
Kandungan hidrogen setelah proses rotary degassing kurang
dari 0,15mL/100g. Kombinasi optium volume purge gas,
perbandingan diameter impeller dengan diameter crucible

25

putaran poros per menit untuk menghasilkan efisiensi


degassing yang tinggi yaitu perbandingan diameter impeller
dengan diameter crucible 20-25%, putaran poros 350-450rpm
dan laju aliran gas 18-20ft3/jam. Perbandingan hasil proses
degassing dengan menggunakan rotary degassing dan lances
ditunjukkan pada Gambar III.4 yang diilustrasikan dari proses
degassing untuk 180 kg lelehan aluminium.

26

Gambar III.4 Perbandingan Hasil Proses Degassing dengan Rotary


Degassing dan Lances

Gambar III.5 SNIF Degassing (Saha, 2000)


Pada Gambar III.5 menunjukan skematik sistem SNIF
degassing yang pada umumnya digunakan dalam industri
aluminium. Gas yang digunakan yaitu gas inert seperti argon
atau campuran argon dan klorin (Saha, 2000). Dalam proses

27

degassing, dibutuhkan 200L gas inert untuk menghilangkan 1L


hidrogen.
c. Porous plug Degassing
Porous plug berupa grafit atau keramik dengan porositas halus
yang saling terhubung dan berfungsi untuk menyalurkan gas ke
lelehan aluminium. Porous plug degassing lebih ekonomis
dibandingkan dengan rotary degassing karena pada rotary
degassing diperlukan penggantian rotor dan juga shaft karena
tergerus ataupun teroksidasi. Mekanisme porous plug
ditunjukkan pada Gambar III.6. perbandingan efisiensi
degassing dengan metode porous plug, rotary degassing dan
lances ditunjukkan pada Gambar III.7 yang menunjukkan
bahwa efisiensi porous plug lebih rendah daripada rotary
degassing tetapi lebih tinggi daripada lances.

Gambar

III.6

Mekanisme

Porous

plug

28

Gambar III.7 Perbandingan Efisiensi Degassing dengan


Metode Porous plug, Rotary Degassing dan Lances
Kombinasi in-line sistem degassing/filtrasi menggunakan
porous plug dapat menghasilkan lelehan aluminium dengan
kandungan hidrogen 0,06 mL/100g pada laju aliran lelehan
aluminium 40 kg/menit dan kandungan hidrogen 0,14
mL/100g pada laju aliran lelehan aluminium 330 kg/menit.
Skematik kombinasi sistem in-line degassing/filtrasi
ditunjukkan pada Gambar III.8.

Gambar III.8 Skematik Kombinasi Sistem In-Line Degassing/filtrasi


Degassing treatment umumnya dilakukan pada proses produksi
paduan aluminium tuang. Efek dari teknik degassing tergantung

29

dari hubungan antara kandungan hidrogen dan waktu proses


degassing. Berkurangnya kandungan hidrogen dalam paduan
akan meningkatkan sifat mekanik paduan aluminium. Efek
proses degassing terhadap kualitas paduan aluminium tidak
hanya menyangkut kandungan hidrogen, tetapi juga kualitas
yang dihasilkan dari lelehan dan kebersihannya.
Kesetimbangan gas dalam lelehan ditunjukkan oleh persamaan 6
berikut:

P=

H
S.C

............................................................(6)

Dimana P adalah tekanan uap hidrogen dalam atmosfer dan H


adalah jumlah hidrogen terlarut dalam lelehan (cc/100g).
Kelarutan (S) adalah kandungan gas dalam aluminium murni
ketika tekanan hidrogen pada 1 atm, kelarutan akan berlipat
ganda dengan meningkatnya temperatur sebesar 110oC. Hal
inilah yang menyebabkan permasalahan yang disebabkan oleh
gas menjadi lebih buruk pada temperatur furnace yang tinggi. C
adalah correction factor yang digunakan untuk menghitung
perubahan kelarutan gas pada jenis alloy tertentu dibandingkan
dengan kelarutan gas pada aluminium murni. Pada persamaan
7, T adalah temperatur termodinamika pada 1000 K, sehingga
kelarutan hidrogen adalah 1,081 cc/100g (Wiley, 2013).
log S=2629 T +2,726

................................(7)

Selama proses, dengan berkurangnya kandungan gas, maka


tekanan hidrogen dalam gelembung juga akan berkurang. Hal ini
berarti bahwa dibutuhkan purge gas yang lebih banyak untuk
menghilangkan hidrogen dari lelehan aluminium. Hal ini dapat
diketahui dengan menentukan gas removal ratio, R yang
merupakan volume gas inert yang dibutuhkan untuk

30

menghilangkan 1L hidrogen. Persamaan gas removal ratio pada


1 atm ditunjukkan pada persamaan 8 (Wiley, 2013).
2

R=

1P S . C
=
1 .........................................(8)
P
H

( )

Hubungan antara ukuran gelembung terhadap efisiensi


degassing ditunjukkan pada Gambar III.9. efisiensi degassing
yang tinggi (>80%) diperoleh ketika ukuran gelembung <5 mm.

Gambar III.9 Hubungan antara Ukuran Gelembung dengan


Efisiensi Degassing (Wiley, 2013)
Waktu yang dibutuhkan untuk proses degassing dijelaskan oleh
persamaan 9. H adalah jumlah hidrogen terlarut dalam lelehan
(cc/100g), Ho adalah jumlah hidrogen yang diinginkan pada
lelehan (cc/100g). V adalah debit gas inert (cc/sec), M adalah
massa molten aluminium dalam furnace, S adalah kelarutan
hidrogen (cc/100g) dan t adalah waktu yang dibutuhkan untuk
degassing (sec).
1
1
V

=
t
H H O 10 M ( CS )2

........................................(9)

Diameter gelembung maksimum yang mungkin mucul selama


proses degassing dapat ditentukan menggunakan persamaan 10.

31

Dimana adalah tegangan permukaan lelehan aluminium,


adalah densitas lelehan aluminium, M adalah massa molten
aluminium dalam furnace dan E adalah energi stirring
(watts/m3).
d=

0,6

M
E

0,4

()( )

.............................................(10)

Meningkatkan energi rotasi akan meningkatkan intensitas


stirring. Peningkatan intensitas stirring berakibat menghasilkan
percikan, vortexing, dan emulsi dari gas/logam. Untuk
menghindari hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara
tertentu seperti (Wiley, 2013):
a. Penggunaan Baffle plate (Gambar III.10).

Gambar III.10 Baffle Plate


b. Menempatkan rotor di tengah.
c. Memutarbalikan arah putaran rotor.
d. Mengatur arah putaran yang berbeda setiap rotor jika
menggunakan 2 rotor.
Kandungan hidrogen setelah proses degassing diharapkan di
bawah 0.15mL/100g. Setelah proses degassing, dilakukan
skimming off, lalu penambahan master alloy Al-75Mg. Lalu
dilakukan stirring dapat dilakukan dengan menggunakan EMS
(Electromagnetic Stirrer) yang ditunjukkan pada Gambar

32

III.11 ataupun impeller (yang juga digunakan untuk proses


degassing) dan kemudian diambil sample untuk pengujian
kadar tiap unsur dalam molten aluminium. Pada EMS, kawat
induksi ditempatkan di bawah (untuk titling furnace) atau di
sisi (untuk stationary furnace) furnace dan medan magnet
dihasilkan ketika arus listrik dialirkan ke kumparan.
Pergerakan pada molten metal disebabkan adanya interaksi
antara medan magnet dengan lelehan logam yanng konduktif.

Gambar III.11 EMS (Electromagnetic Stirrer)


Fungsi pengadukan ini dilakukan antara lain untuk:
a. Menghomogenkan elemen alloying dalam molten
aluminium.
b. Menghomogenkan temperatur molten metal perbedaan
temperatur pada bagian atas dan bawah molten aluminium
yang tidak dilakukan proses stirring berkisar antara 5080oC. Dengan adanya pengadukan oleh EMS, perbedaan
temperatur tersebut menurun menjadi <5oC setelah diaduk
selama 2-5 menit. Pada saat yang sama, laju kelarutan
alloy akan meningkat.
c. Hemat energi, perpindahan panas menuju molten
aluminium meningkat dengan perbedaan temperatur pada
bagian atas dan bawah molten aluminium menurun.
penggunaan EMS akan menghemat energi sebesar 15%
dengan meningkatnya perpindahan panas menuju molten
aluminium.

33

d. Berkurangnya pembentukan dross, oksidasi terhadap


aluminium meningkat dengan tajam pada temperatur
775oC. Dengan pengadukan menggunakan EMS,
penurunan gradien temperatur akan menghasilkan
temperatur permukaan yang lebih rendah shingga
mengurangi oksidasi pada permukaan.
4. Grain Refining
Penghalusan butir adalah proses penghalusan ukuran butir primer
aluminium selama pembekuan. Jenis penghalus butir yang umum
digunakan adalah yang mengandung unsur Ti dan B dalam bentuk
senyawa logam seperti TiAl3 atau TiB2. Penambahan kadar Ti
antara 0.02-0.15% atau campuran Ti-B dengan kadar
0.01-0.03%Ti dan 0.01%B sering digunakan dalam praktiknya.
Penambahan penghalus butir ini dapat berupa master alloy
batangan (rod) ataupun serbuk (flux). Penghalus butir bentuk
master alloy rod ditunjukkan pada Gambar III.12.

Gambar III.12 Penghalus Butir Bentuk Rod (Kurniawan, 2008)


Penghalusan ukuran butir pertama kali dilakukan dengan
penambahkan lelehan titanium untuk meningkatkan castability.
Perubahan sturuktur casting terlihat jelas dengan tanpa
penambahan refinement. Pada Gambar III.13 menunjukan contoh
perubahan struktur yang didapatkan dari penghalusan butir. Coran
tanpa refinement pada daerah dekat chill memiliki butir yang
sama, tetapi semakin jauh dari daerah chill butir semakin
memanjang (feathery grains). Grain refinement cenderung

34

mengurangi jumlah porositas dan ukurannya. Hal ini


meningkatkan feeding dan sifat mekaniknya terutama fatigue
strength.

Gambar III.13 Atas : Tanpa Refinement, Bawah : Penambahan Refinement


(Sigworth dan Kuhn, 2007)
Faktor yang harus dipertimbangkan dalam grain refinement yaitu
kelarutan dari titanium dalam aluminium cair. Normalnya
penambahan titanium sekitar 100ppm (0.01%Ti) dimana titanium
akan larut pada temperatur casting. (Sigworth dan Kuhn, 2007).
Batas kelarutan titanium dalam aluminium cair adalah 0.015%Ti
pada temperatur 665oC. Penambahan titanium diatas kelarutannya
menghasilkan penghalusan butir yang lebih konsisten. Sehingga
didapatakan proses refinement terbaik yaitu dengan penambahan
Titanium lebih dari 0.015%Ti (Cole, 1972).
Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan struktur butir yang
halus dari proses casting. Pada Gambar III.14 menunjukan jenis
dan ukuran butir yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor seperti unsur paduan, laju solidifikasi, dan
penambahan grain refiner. Grain refiner akan meningkatkan
kualitasi produk dari proses casting dengan mendistribusikan
mikroporositas hidrogen secara merata sehingga. Grain refiner

35

yang digunakan yaitu master alloy titanium, boron, atau


kombinasi titanium dan boron. Untuk paduan A356, proses grain
refinement dilakukan dengan mengumpankan master alloy
Al-1.2Ti-0.5B (hydloy) dengan diameter rod 0.8cm ketika molten
aluminium melewati launder menuju proses casting dengan laju
pengumpanan 1cm/menit. Pemilihan hydloy sebaga grain
refinement pada A356 karena hydloy secara konsisten
menghasilkan ukuran butir terendah pada tingkat penambahan
yang sama (Saha, 2000).

Gambar III.14 Jenis dan Ukuran Butir (Saha, 2000)


5. Filtrasi
Paduan aluminium memiliki kecenderungan terhadap oksidasi
dan kandungan inklusi non logam yang tinggi. Inklusi berdampak
pada kerusakan sifat fisik, mekanik, dan elektrik dari paduan.
Pada proses filtrasi, logam cair yang akan masuk kedalam cetakan
sebelumnya mengalir melalui penyaring berpori. Inklusi yang
terkandung dalam molten metal akan terperangkap dalam proses
filtrasi. Material filter harus memenuhi kriterianya dalam hal
kekuatan, refractoriness, ketahanan terhadap thermal shock, dan
ketahanan korosi. Jenis filter yang digunakan yaitu logam, fibers
glass screen, catridge filters, rotary degassing, bed filters,
bonded particle filters, cartridge filters, dan ceramic foam filters.

36

Ceramic foam filters untuk saat ini banyak digunakan dalam


filtrasi paduan aluminium di dunia. Setelah lelehan aluminium
melewati filter, maka temperaturnya akan turun 6-28oC karena
filter menyerap panas dari lelehan aluminium. Ceramic foam
filters berupa lembaran ceramic foam dengan tebal 5cm dan fraksi
volume pori 85%, rata-rata ukuran pori 1mm. Pada Gambar III.15
dan Gambar III.16 menunjukan mekanisme filtrasi pada ceramic
foam filters dimana inklusi akan masuk ke pori-pori awal filter
kemudian akan tertahan dan terperangkap pada bagian terdalam
filter. Beberapa jenis inklusi pada aluminium cair yang di filtrasi
yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Oksida ( Al2O3, MgO)


Spinels (Mg2AlO4)
Borida (TiB2, VB2, ZrB2)
Karbida (Al3C4, TiC)
Intermetalik (MnAl3, FeAl3)
Nitrida (AlN)
Inklusi refraktori

Gambar III.15 Mekanisme Filtrasi Ceramic Foam Filters (Saha, 2000)

37

Gambar III.16 Filtrasi dengan Ceramic Foam Filter


6. Casting
Metode casting yang digunakan adalah metode open mould ingot.
Inovasi terbaru pada metode open mould ingot adalah sistem
pendingin ingot yang merupakan air cooled open mould. Inovasi
ini dikembangkan oleh Hertwich R & D dengan kapasitas
produksi 1,250 ingot perjam dengan massa masing-masing ingot
6-10 kg dan laju proses casting yaitu 12ton/jam, sedangkan untuk
ingot dengan massa 10-16kg, laju proses casting dapat mencapai
20ton/jam (Hertwich SMS Group, 2012). Sesaat sebelum
dilakukan casting, dilakukan sampling kembali untuk kembali
mengecek kadar tiap unsur dalam molten aluminium. Keseluruhan
proses casting open mould ingot ditunjukkan pada Gambar III.17.

38

Gambar III.17 Layout Proses Casting(Hertwich SMS Group, 2012)


Lelehan aluminium disalurkan dari tiltable launder
yangdilengkapi dengan plug untuk mengontrol laju aliran lelehan
menuju ke pouring. Diatur sedemikian rupa dengan ketinggian
dan kemiringan tertentu yang sesuai untuk aliran dan distribusi
lelehan yang merata. Geometri kemiringan launder telah
ditentukan untuk meminimalisir terjadinya turbulensi selama
proses casting (tanpa terbentuknya oksida). Pada inovasi
Hertwich R & D ini tidak diperlukan lagi dedrossing. Kelebihan
dari casting wheel yaitu generasi dross menjadi kurang dan
ketinggian ingot yang seragam. Pouring system dan casting
launder ditunjukkan pada Gambar III.18.

39

Gambar
III.18 Pouring system dan casting launder
(Hertwich SMS Group, 2012)
Sistem pendingin ingot pada teknologi terbaru Hertwich R & D
yaitu air cooled open mould caster. Sistem pendingin ini
memiliki beberapa keuntungan, ingot didinginkan secara perlahan
untuk menghindari terjadinya temperature shock dan permukaan
ingot yang bergelombang, selain itu dengan pendinginan ingot
secara perlahan akan menghasilkan ingot yang bebas dari retak
karena akan terjadi penyusutan yang seragam pada ingot (Gambar
III.19). Ketika bagian terluar dari ingot telah membeku dilakukan
pendinginin udara. Kipas pendingin dipasang pada bagian atas
dan bawah dari casting conveyor. Temperatur mould ditetapkan
100-250oC. Kelebihan lain dari air cooling antara lain:
a. Aman, tidak adanya bahaya ledakan yang disebabkan oleh
adanya air.
b. Penuangan yang optimal, penyusutan yang seragam pada
ingot selama pembekuan.
c. Temperatur mould disesuaikan sebelum dilakukan
penuangan.
d. Peningkatan pendinginan udara selama proses solidifikasi
dan pendinginann. Pendinginan udara mengurangi efek dari
pendinginan air setelah ingot menyusut. Terutama pada
paduan yang memiliki solidifikasi rendah ( paduan eutektik)
e. Tidak adanya temperature shock pada pendinginan udara.

40

f. Lifetime mould yang lebih lama karna tidak terkena paparan


air.
g. Maintenence yang tidak terlalu sering karna tidak ada air
dan uap pada conveyor
h. Tidak membutuhkan perlengkapan dan infrastruktur
pendinginan air seperti water cooling tower dan yang
lainnya.
Temperatur ingot setelah dilepaskan dari mould sekitar 350400oC. Untuk proses handling selanjutnya (ink jet marking,
strapping dan labelling), ingot harus didinginkan hingga
mendekati temperatur lingkungan. Terdapat dua metode yang
dapat dilakukan, yaitu water cooling secondary atau air cooling.

Gambar III.19 Ingot yang Didinginkan dengan Sistem Air Cooled


Open Mould Caster (Hertwich SMS Group, 2012)
Water cooling (Gambar III.20) cocok untuk digunakan pada
berbagai kondisi iklim. Ingot dilewatkan pada cooling tunnel
yang dilengkapi dengan nozzle yang akan menyemprotkan air
pada permukaan ingot. Kemudian permukaan ingot akan
ditiupkan udara pada bagian keluaran dari water cooling tunnel
untuk memastikan bahwa ingot sudah kering ketika sampai pada
bagian proses marking dan packing. Air cooling cocok untuk
digunakan pada iklim dingin ingot akan diangkat oleh rantai yang
lengkapi dengan ingot support dan digerakkan ke atas dan ke
bawah melalui cooling tower (Gambar III.21). kipas pada bagian
depan dan belakang pendingin memperbaharui aliran udara untuk
mendinginkan ingot sampai 60oC.

41

Gambar III.20 Secondary Cooling Metode Water Cooling (Hertwich SMS


Group, 2012)

Gambar III.21 Cooling Tower (Hertwich SMS Group, 2012)


Setelah itu, dilakukan proses stacking, ingot disusun secara
menyilang, dapat dibentuk menjadi satu atau dua stack.
Selanjutnya adalah proses marking, pada proses marking akan
diberikan tanda pada bagian terluar ingot yang mencakup
informai tentang kode paduan, nomor lot. Ingot yang sudah
melalui proses marking ditunjukkan pada Gambar III.22. Setelah
marking, dilakukan weighing untuk tiap bundle. Data dari
weighing akan dicetak dan kemudian dikirimkan ke sistem
pengaturan produksi customer. Kemudian dilakukan labelling
secara manual. Selanjutnya dilakukan proses strapping yang
dilakukan secara otomatis, dengan menggunakan tali PET.
Adanya lintasan strapping memberikan stablitas stack dan dapat

42

digunakan menggabungan dua stack menjadi double stack.


Macam-macam pola dalam stacking ditunjukkan pada Gambar
III.23.

Gambar III.22 Ingot Marking (Hertwich SMS Group, 2012)

Gambar III.23 Jenis Pola Stacking (Hertwich SMS Group,


2012)
Variabel yang mempengaruhi dalam proses casting antara lain:
a. Pouring temperature
Temperatur lelehan aluminium di dalam furnace harus
dijaga serendah mungkin untuk mencegah terjadinya gas
pick up dan pembentukan oksida. Temperatur lelehan ketika

43

proses casting harus setidaknya 28oC di atas temperatur


liquidus paduan aluminium.
b. Jenis cetakan
Material yang digunakan sebagi mould pada proses casting
paduan aluminium harus ringan, memiliki machinability
yang baik dan memiliki konduktivitas panas yang baik.
c. Laju aliran air
Selama proses casting, 432btu/lb (1MJ/kg) panas
ditransferkan dari ingot. Temperatur dan laju aliran air harus
disesuaikan, sehingga air akan membasahi keseluruhan
permukaan ingot (Hertwich SMS Group, 2012).
3.5.3 Cacat pada Proses Pembekuan selama Proses Casting
1. Gas Porosity
Gas yang biasanya berpotensi menyebabkan gas precipitation
dalam aluminum adalah gas hidrogen yang bersumber dari uap air
di atmosfir maupun bahan bakar yang digunakan, refraktori,
kelembaban pada flux, scrap yang kotor. Air akan terdekomposisi
ketika kontak dengan aluminum seperti reaksi di bawah ini:
3H2O + 2Al H2 + Al2O3
Gas dalam molten metal hadir dalam bentuk atom yang dapat
berdifusi pada permukaan dan atom-atom tersebut akan
bergabung membentuk molekul gas. Lingkungan pada sekitar
furnace sangat komplek, lapisan atas molten metal dapat
berinteraksi dengan udara dan menyebabkan H berdifusi ke
molten metal. Pada beberapa kasus, lapisan oksida muncul pada
permukaan molten metal, lapisan slag/dross ataupun lapisan flux.
Lapisan tambahan ini akan menghalangi kontak langsung molten
metal dengan udara. Keadaan atmosfir dapat berubah dengan
cepat dengan adanya gas buang hasil pembakaran yang
mengandung uap air, sehingga kemungkinan terjadinya difusi
atom hidrogen akan semakin besar (Campbell dan Harding,
1994).

44

Lingkungan sekitar molten metal pada mould akan lebih mudah


untuk dikontrol. Jika cetakan yang digunakan pada proses casting
adalah logam, maka lingkungannya akan relatif kering dan
demikian relatif terbebas dari produk dekomposisi uap air.
Gas precipitation dalam molten metal akan membentuk
gelembung kecil dan biasanya ukurannya berkisar 0.05-0.5mm
sebagai hasil dari tekanan internal yang tinggi dari gas karena
mikrosegregasi antara lengan dendrit. Gelembung tersebut
terdistribusi secara merata pada coran, dengan kedalaman
gelembung dari permukaan coran adalah 1-2mm. Untuk
mengurangi potensi difusi gas hidrogen, maka pelu dilakukan
preheating pada flux maupun alat-alat yang digunakan pada
proses produksi. Mekanisme gas precipitation ditunjukkan pada
Gambar III.24.

Gambar III.24 Mekanisme Gas Precipitation (Campbell dan


Harding, 1994)
2. Inklusi oksida
Molten alumunium yang kontak langsung dengan udara dapat
teroksidasi dan membentuk oksida yang akan menjadi inklusi.
Jenis-jenis inklusi dan sumber masuknya inklusi pada paduan
aluminium tuang dijabarkan pada Tabel III.2.

45

Tabel III.2. Jenis inklusi


Jenis inklusi
Non-metalic

Rumus kimia
Beberapa macam partikel

Sumber masuk
Degradasi refraktori,

exogenous

refraktori seperti Al3C4

remelt ingot, reaksi


antara refraktori
dengan logam cair
Peleburan, pemaduan,

Non-metalic in-

MgO, Al2O3 films, clusters,

situ

dipersoid
MgAl2O4 films dan clusters

Garam halida

turbulensi ketika
terjadinya transfer
aliran logam
Proses fluxing yang

MgCl2-NaCl-CaCl2-dll
MgCl2-NaCl-CaCl2/MgO-dll

tidak optimal

3.5.4 Mass Balance dalam Alloying


Standar komposisi kimia alloy A356 ditunjukkan pada Tabel.III.3
dengan komposisi kimia ingot G1 dan S1-B ditunjukkan pada Tabel III.4.
Berdasarkan komposisi kimia alloy A356, komposisi kimia ingot G1 dan
S1-B, akan ditentukan banyaknya alloying, flux dan gas inert yang
dibutuhkan untuk memproduksi alloy A356 serta jumlah dross yang
dihasilkan. Sehingga dapat ditentukan nilai UC Standard yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 1 ton ingot alloy A356.
Tabel III.3. Standar komposisi kimia A356
Cu

Fe

(%)
(%)
0.2 max 0.2 max

Mg

Mn

Si

Ti

(%)
0.2-0.4

(%)
0.1 max

(%)
6.5-7.5

(%)
0.2 max

Zn (%)

Elemen

0.1

lain (%)
0.15 max

Tabel III.4. Komposisi kimia G1 dan S1-B


Grade
Al
Si
Fe
Cu
Ti
Mn

G1
99.76
0.0491
0.1942
0.0004
0.0048
0.0017

S1-B
99.76
0.0395
0.0546
0.0003
0.0039
0.0006

46

V
Ga
Mg
Na
Ni
Zn
Cr
B
Pb

0.0048
0.0058
0.0005
0.0022
0.0033
0.0018
0.0005
0.0002
0.0011

0.0032
0.0039
0.0005
0.0016
0.0026
0.0016
0.0004
0.0002
0.0007

Sehingga, banyaknya master alloy yang ditambahkan pada molten


aluminium dengan grade G1 yaitu:
Al-50Si : 0.0491 (30,000) + 50x = 7.5 (30,000 + x)
1,473 + 50x = 225,000 + 7.5x
50x- 7.5x = 225,000 1,473
42.5 x = 223,527
x = 5,259.458824 kg 5,259.5 kg
Al-75Mg :0.0005 (30,000) + 75x = 0.4 (35,259.5 + x)
15 + 75x = 14,103.8 + 0.4x
75x 0.4x = 14,103.8 15
74.6x = 14,088.8
x = 188.858 kg
Total komposisi kimia dalam alloy A356 dari molten grade G1 ditunjukkan
pada Tabel III.5.
Tabel III.5. Total komposisi kimia dalam alloy A356 dari molten grade G1
Elemen
Al
Si
Fe
Cu
Ti
Mn
V
Ga
Mg
Na
Ni

%
91.8792
7.5
0.1942
0.0004
0.0048
0.0017
0.0048
0.0058
0.4
0.0022
0.0033

47

Zn
Cr
B
Pb

0.0018
0.0005
0.0002
0.0011

Pembuktian :
Kadar Si : 0.0491 (30,000) + 50 (5,259.5) = x (35,448.358)
1,473 + 262,975 = 35,448.358x
264,448 = 35,448.358x
x = 7.46%
Pembuktian :
Kadar Mg : 0.0005 (30,000) + 75 (188.858) = x (35,448.358)
15 + 14,164.35 = 35,448.358x
14,179.35 = 35,448.358x
x = 0.4%
Sehingga, banyaknya master alloy yang ditambahkan pada molten
aluminium dengan grade S1-B yaitu:
Al-50Si : 0.0395 (30,000) + 50x = 7.5 (30,000 + x)
1,185 + 50x = 225,000 + 7.5x
50x- 7.5x = 225,000 1,185
42.5 x = 223,815
x = 5,266.3553 kg 5,266.4 kg
Al-75Mg :0.0005 (30,000) + 75x = 0.4 (35,266.4 + x)
15 + 75x = 14,106.56 + 0.4x
75x 0.4x = 14,106.56 15
74.6x = 14,091.56
x = 188.895 kg
Total komposisi kimia dalam alloy A356 dari molten grade G1 ditunjukkan
pada Tabel III.6.
Tabel III.6. Total komposisi kimia dalam alloy A356 dari molten grade S1B

48

Elemen
Al
Si
Fe
Cu
Ti
Mn
V
Ga
Mg
Na
Ni
Zn
Cr, Pb, B

%
91.8792
7.5
0.1942
0.0004
0.0048
0.0017
0.0048
0.0058
0.4
0.0022
0.0033
0.0018
0.0018

Pembuktian :
Kadar Si : 0.0395 (30,000) + 50 (5,266.4) = x (35,455.295)
1,185 + 263,320 = 35,455.295x
264,505 = 35,455.295x
x = 7.46%
Pembuktian :
Kadar Mg : 0.0005 (30,000) + 75 (188.895) = x (35,455.295)
15 + 14,167.125 = 35,455.295x
14,182.125 = 35,455.295x
x = 0.4%
Penentuan UC Standard (Berdasarkan Molten Grade G1)
1. Perhitungan flux yang dibutuhkan
Untuk setiap 12 ton molten aluminium, dibutuhkan 2-5 kg flux, dengan
mengambil nilai median, maka digunakan 4 kg flux per 12 ton molten
aluminium, sehingga flux yang dibutuhkan 0.33 kg per ton molten
aluminium . Dengan molten aluminium sebanyak 30,000 kg, master alloy
Al-50Si sebanyak 188.858 kg dan master alloy Al-75Si sebanyak 5,259.5
kg, maka total molten aluminium dalam furnace yaitu:
= 30,000 + 188.858 + 5,259.5 = 35,448.358 kg
Maka flux yang dibutuhkan untuk 35,448.358 kg molten aluminium yaitu
(35.448358) (0.33) = 11.7 kg

49

2. Perhitungan massa master alloy Al-1.2Ti-0.5B yang dibutuhkan


Diameter rod yang digunakan yaitu 0.8 cm dengan laju pengumpanan
1 cm/menit yang diumpankan pada launder. Massa jenis aluminium yaitu
2.7 g/cm3. Standar speed casting 13 ton/jam. Massa rod yang diumpankan
per menit yaitu:
Vrod = Lalas x t
= r2 x t
= (22/7)(0.4)2 (1)
= 0.5 cm3

= m/V
2.7 = (m)/(0.5)
m
= 1.36 gram
Sehingga, laju pengumpanan rod sebesar 1.36 gram/menit.
dengan speed casting 13 ton/jam, maka untuk menyelesaikan proses
casting untuk 37,448.358 kg molten aluminium yaitu :
= (35,448.358)/(13,000) = 2.73 jam = 164 menit
Maka massa rod yang diumpankan selama proses casting yaitu:
= 1,36 gram/menit x 173 menit = 223 gram = 0,223 kg
3. Perhitungan banyaknya gas argon yang diinjeksikan selama proses
degassing
Dibutuhkan 200L gas argon untuk menghilangkan sebanyak 1L hidrogen.
Jika diasumsikan terdapat 1L gas hidrogen dalam molten aluminium, maka
banyaknya gas argon yang dibutuhkan yaitu:
24.4 x mol = V(L)
24.4 x mol = 200
Mol
= (200)/(24.4) = 8.2 mol
m
= mol x Ar
m
= 8.2 x 40
m
= 328 gram = 0.328 kg
Massa 1L hidrogen:
24.4 x mol = V(L)
24.4 x mol = 1
Mol
= (1)/(24.4) = 0.04 mol
m
= mol x Ar
m
= 0.04 x 1
m
= 0.04 gram = 4 x 10-5 kg
4. Perhitungan dross yang dihasilkan
Asumsi dross yang akan dihasilkan adalah 1% dari molten aluminium,
maka banyaknya dross yang dihasilkan:
= 35,448.358 kg x 0.01 = 354.48358 kg
RM 65%, maka dross yang dihasilkan yitu:
= (354.4835)x(0.35) =124.07 kg

50

RM yang dihasilkan = 354.4835 124.07 = 230.4135 kg


Tabel III.7. Neraca Massa
Input (kg)
Molten aluminium
Al-50Si
Flux
Al-75Mg
Al-1,2Ti-0,5B
Gas argon
Total

30,000
5,259.5
11.7
188.858
0.223
0.328
35,460.61

Output (kg)
Dross
124.07
RM
230.4135
Gas hidrogen
4 x 10-5
Ingot
35,105.797
Gas argon
0.328
Total

35,460.61

5. Perhitungan UC Standard
= [(massa molten aluminium + Al-50Si + Al-75Mg + Al-1,2Ti-0,5B)/
(massa ingot)] x 1000
= (30,000 + 5,259.5 + 188.858 + 0.223)/( 37,086.61)
= [(35,448.581)/( 35,105.797)] x 1,000
= 1,009.8/ton ingot

Anda mungkin juga menyukai