Anda di halaman 1dari 21

GOOD PRACTICES PADA PENYELENGGARAAN

SMK BERTARAF INTERNASIONAL


(Studi Kasus di SMK Negeri 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo)
Oleh:
*)
Tri Rijanto , Dwi Winanto Hadi**), dan Relisa**)

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mencari praktik-praktik yang baik (good practices) melalui
paradigma input, proses, output, dan outcome pendidikan. Penelitian dilakukan pada 2007
dengan latar penelitian SMK Negeri 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo. Metode yang digunakan
adalah kualitatif bersifat exploratory dan explanatory yang memfokuskan pada good practices
yang dilakukan sekolah. Sebagai informan kunci adalah kepala sekolah dan informan lain adalah
guru mata pelajaran normatif, adaptif, produktif, siswa, dan ketua komite sekolah. Analisis
dilakukan melalui langkah-langkah reduksi data, display data, simpulan dan ferifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan, dari sisi input penerimaan siswa baru di kedua sekolah
menghasilkan keketatan persaingan 1:3. Dari sisi proses, SMK Negeri 5 Surabaya menerapkan
lama belajar empat tahun, proses belajar mengajar tiga tahun dilakukan di sekolah dan satu tahun
kegiatan magang di industri. Sekolah menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri.
Kerjasama tersebut diikat melalui nota kesepahaman. Layanan siswa dilakukan melalui
bimbingan konseling, career path, dan bursa kerja. SMK Mikael Solo menerapkan lama belajar
tiga tahun. Pembelajaran mata pelajaran produktif dilakukan terintegrasi dengan unit produksi di
sekolah. Di kedua sekolah manajemen pengelolaan menggunakan standar internasional ISO
9001:2000. Output lulusan di kedua sekolah mempunyai persentase tinggi dan tingkat drop out
(DO) rendah, nilai rerata UN di kedua sekolah di atas 7,0 dan rerata keterserapan lulusan tiga
tahun terakhir di SMKN 5 Surabaya 90,8% dan di SMK Mikael Solo sebesar 91,25%.
Penelitian ini menyimpulkan praktik-praktik yang baik (good practices) yang dilakukan
sekolah adalah: (1) penerapan proses belajar selama empat tahun dengan satu tahun terakhir
magang di industri, (2) penerapan proses belajar tiga tahun dengan pembelajaran mata pelajaran
produktif dilakukan terintegrasi dengan unit produksi, (3) manajemen mutu penyelenggaraan
sekolah standar internasional ISO 9001-2000, (4) kerja sama dengan dunia usaha dan industri,
dan (5) layanan terhadap siswa berupa bimbingan konseling, career path, dan bursa kerja.
Kata Kunci: good practices, career path, SBI, dan SMK.
_____________
*)

Dosen Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya (UNESA).

**) Staf pada Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov) Balitbang Depdiknas.

A. Pendahuluan
1 1. Latar Belakang
Keinginan melakukan penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI)
dilatarbelakangi oleh tiga alasan yaitu (1) kebutuhan sumber daya manusia (SDM) di era global,
(2) adanya dasar hukum yang kuat, dan (3) landasan filosofi eksistensialisme dan esensialisme
(fungsionalisme) (Depdiknas, 2006:1-2). Era globalisasi menuntut kemam-puan daya saing yang
kuat dalam teknologi, manajemen dan sumberdaya manusia. Keunggulan teknologi akan
menurunkan biaya produksi, meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman

produk, dan meningkatkan mutu produk. Keunggulan manajemen akan meningkatkan efektivitas
dan efisiensi. Keunggulan SDM merupakan kunci daya saing karena SDM yang akan
menentukan siapa yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan, dan kemenangan
dalam persaingan.
Penyelenggaraan SBI merupakan amanat undang-undang. Amanat tersebut tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 50 Ayat (3)
undang-undang tersebut menyatakan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Selain undang-undang,
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan juga
menegaskan kembali perlunya sekolah bertaraf internasional. Pasal 61 Ayat (1) peraturan
pemerintah tersebut menyatakan, pemerintah bersama-sama pemerintah daerah
menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Dengan demikian penyelenggaraan
sekolah bertaraf internasional dijamin oleh undang-undang.
Di samping itu penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan
esensialisme (fungsionalisme). Filosofi eksistensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus
menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitasi
yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, kreatif, inovatif, bermakna,
serta menumbuhkembangkan bakat, minat, dan kemamampuan peserta didik. Filosofi
esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan,
baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor, baik lokal, nasional,
maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan
sumberdaya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.
Keberadaan sekolah bertaraf internasional yang dimaksud oleh undang-undang dan
peraturan pemerintah, di samping untuk memicu peningkatan mutu pendidikan, bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan setingkat atau memiliki level yang sama dengan sekolah-sekolah
sejenis di negara-negara maju. Oleh karena itu mutu pendidikan tidak hanya mempunyai
keunggulan lokal tetapi juga keunggulan internasional atau global.
Saat ini penyelenggaraan SBI dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah. Beberapa
sekolah menggunakan label sekolah internasional maupun kelas internasional dengan pola
penyelenggaraan yang berbeda. Ada pula sekolah penyelenggara SBI yang memperlakukan
siswa secara keseluruhan sebagai siswa internasional, bukan kelas internasional, sedangkan
dilihat dari segi ketenagaan, SBI juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada juga SBI
yang menggunakan tenaga asing (expatriate) sebagai tenaga pendidik dan ada pula yang
menggunakan guru lokal secara keseluruhan.
Sementara itu, masing-masing SBI memiliki keunggulan kompetitif sendiri-sendiri.
Lulusan SMA diproyeksikan untuk mengembangkan kemampuan akademiknya di perguruan
tinggi, sedangkan lulusan SMK diproyeksikan untuk dapat memasuki dunia kerja. Hal tersebut
menuntut SBI dapat menghasilkan lulusan dengan keunggulan kompetitif. Oleh karena itu
penyelenggaraan SBI harus memiliki praktik-praktik yang baik (good practices) untuk
menghasilkan lulusan sesuai tuntutan dalam rangka peningkatan mutu dan daya saing.
Gambaran di atas memperlihatkan bahwa good practices sangat penting bagi masingmasing SBI khususnya SMK. Good practices menunjukkan ciri-ciri penting karakteristik SBI
yang dapat diadopsi atau diadaptasi oleh sekolah lainnya. Namun demikian sebelum good
practices dapat diadopsi dan diadaptasi di sekolah lain diperlukan pengkajian secara empiris
melalui penelitian. Salah satu sekolah yang menyelenggarakan SBI adalah SMKN 5 Surabaya
dan SMK Mikael Solo. Penyerapan lulusan oleh dunia kerja di kedua sekolah tersebut
menunjukkan kecenderungan meningkat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengapa
lulusannya banyak terserap di dunia kerja. Untuk mendapatkan informasi tersebut perlu
dilakukan penelitian secara komprehensif.

2. Masalah dan Arti Penting Hasil Penelitian


Seiring dengan tuntutan peraturan perundangan dan era global, penyelenggaraan SBI harus
memiliki keunggulan kompetitif. Penyelenggaraan SBI pada SMK diproyek-sikan agar
lulusannya dapat segera terserap di dunia kerja, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Penyelenggaraan SBI perlu memiliki strategi-strategi good practice untuk menghasilkan lulusan
sesuai tuntutan dunia kerja dalam rangka peningkatan mutu dan daya saing. Artinya, good
practices merupakan karakteris-tik atau ciri penting penyelenggaraan SBI yang dapat diadopsi
atau diadaptasi oleh sekolah lainnya. Dengan demikian sebelum good practices dapat diterapkan
di sekolah lain diperlukan pengkajian secara empirik.
Penelitian ini mempunyai arti penting karena dapat memberikan informasi tentang berbagai
good practices penyelenggaraan SMK bertaraf internasional. Di samping itu hasilnya akan
digunakan sebagai bahan masukan kebijakan penyelenggaraan SMK melalui pihak terkait dalam
rangka pembinaan SMK di Indonesia.
1

3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi good practices yang dilakukan sekolah
bertaraf internasional dalam rangka memberikan usulan saran kebijakan. Secara lebih khusus
studi ini bertujuan untuk memperoleh informasi good practices dilihat dari sisi input, proses,
output dan outcome pendidikan.
4. Lingkup
Ruang lingkup penelitian adalah sebagai berikut: (1) sekolah yang menjadi fokus penelitian
adalah SMK Negeri 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo sebagai penyelenggara sekolah bertaraf
internasional, dan (2) good practices yang dilakukan sekolah bertaraf internasional dilihat dari
input, proses, output dan outcome pendidikan. Input meliputi siswa, pendidik, tenaga
kependidikan, kurikulum, sarana dan prasarana, kerjasama, budaya sekolah, pengelolaan, dan
pembiayaan. Proses meliputi persiapan, pelaksanaan, dan penilaian. Output meliputi prestasi
akademik dan non akademik, tingkat drop out (DO), dan persentase kelulusan. Outcome
meliputi masa tunggu untuk mendapatkan pekerjaan awal dan keterserapan lulusan di dunia
kerja.
5. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat exploratory dan explanatory.
Cara ini digunakan untuk mengungkap gejala yang ada secara menyeluruh namun kontektual
dengan fokus penelitian, yaitu untuk mengetahui praktik-praktik yang baik (good practices)
yang dijadikan ciri keberhasilan sekolah melalui paradigma input, proses, output dan outcome
pendidikan. Latar penelitian adalah SMK Negeri 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo dan
penelitian ini dilakukan pada 2007.
Informan kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah kepala sekolah. Pemilihan
informan (tenaga pendidik, siswa, tenaga kependidikan, dan orangtua siswa dan informan lain)
ditunjuk oleh informan kunci yang dipandang relevan untuk memberikan informasi. Seluruh data
dan informasi, selain dikumpulkan melalui kegiatan pengamatan pada latar, daftar isian, juga
melalui wawancara sehingga memungkinkan dapat berinteraksi secara alamiah.
Teknik pengumpulan data dilakukan menggunakan pengamatan (observation), wawancara,
daftar isian, dan analisis dokumen. Teknik analisis data dilakukan dengan langkah-langlah: (1)
reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan atau
menyingkat data dalam bentuk uraian secara rinci dan sistematis, yakni menonjolkan hal-hal
pokok yang penting agar lebih mudah dikendalikan, (2) display data, yaitu upaya menyajikan
data dengan melihat gambaran keseluruhan atau bagian tertentu dari penelitian, (3) kesimpulkan
dan verifikasi, yaitu upaya untuk mencari makna terhadap data yang dikumpulkan dengan
mencari pola, hubungan, persamaan yang sering timbul dan sebagainya.
Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui ketekunan pengamatan dan triangulasi.
Ketekunan pengamatan merupakan pemusatan diri pada hal-hal tertentu secara teliti, rinci, dan
berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol sehubungan dengan fokus penelitian.

Dengan demikian dapat ditemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang relevan dengan
masalah. Triangulasi merupakan upaya untuk mencari kebenaran data dengan jalan
membandingkan antara satu data dan data lainnya. Triangulasi bukan untuk mencari pemahaman
tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa
yang ditemukan (Sugiono, 2006:270).

B. Kajian Teori
1. Pengertian Sekolah Bertaraf Internasional
Terminologi sekolah bertaraf internasional dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, dan Renstra Depdiknas Tahun 20052010. Ayat (3) Pasal 50 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa, pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada
semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi suatu satuan pendidikan yang bertaraf
internasional. Kata bertaraf internasional di sini memiliki arti bahwa sekolah setingkat atau
memiliki level yang sama dengan sekolah-sekolah sejenis di negara-negara lain, khususnya
negara maju. Kata setingkat atau level yang sama ini dapat merujuk pada input, proses, dan
output-nya dengan sekolah sejenis di negara maju.
Demikian pula halnya, Ayat (1) Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 19 mengamanatkan
bahwa, pemerintah bersama-sama pemerintah daerah menyelengga-rakan sekurang-kurangnya
satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi suatu satuan
pendidikan yang bertaraf internasional. Pengertian sekolah bertaraf internasional ini kurang
lebih memiliki arti yang sama dengan pengertian pada Ayat (3) Pasal 50 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 di atas.
Menurut Depdiknas (2006:3) SBI adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta
didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional,
sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Dengan pengertian ini, SBI
dapat dirumuskan sebagai berikut:
SBI = SNP + X
di mana SNP adalah standar nasional pendidikan (SNP) yang meliputi: kompetensi lulusan, isi,
proses, pendidik, dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, dana pengelolaan, dan
penilaian. X merupakan penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui
adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan, baik dari dalam maupun luar negeri yang
diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional.
Meskipun secara formal belum dinamakan SBI, sebenarnya di Indonesia telah ada sejumlah
sekolah yang merintis ke arah sekolah bertaraf internasional, mulai dari sekolah dasar hingga
sekolah menengah atas baik umum maupun kejuruan. Sekolah-sekolah tersebut selain siswanya
berasal dari dalam negeri, ada juga yang memiliki sejumlah siswa yang berasal dari negaranegara lain. Pada umumnya lulusan dari sekolah-sekolah tersebut dengan mudah diterima jika
melanjutkan pendidikan atau bekerja di negara-negara maju.
Lulusan SBI diharapkan, selain menguasai SNP Indonesia, juga menguasai kemampuankemampuan kunci global agar setara dengan rekannya dari negara-negara maju. Untuk itu
pengakraban peserta didik terhadap nilai-nilai progresif yang diunggulkan dalam era global perlu
digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan SBI. Nilai-nilai progresif tersebut akan dapat
mempersempit kesenjangan antara Indonesia dan negara-negara maju khususnya dalam bidang
ekonomi dan teknologi.
Perkembangan ekonomi dan teknologi sangat tergantung pada penguasaan disiplin ilmu keras
(hard science) dan disiplin ilmu lunak (soft science). Disiplin ilmu keras meliputi matematika,
fisika, kimia, biologi, astronomi, dan terapannya yaitu teknologi yang meliputi teknologi
komunikasi, transportasi, manufaktur, konstruksi, bio, energi, dan bahan. Disiplin ilmu lunak
(soft science) meliputi, misalnya sosiologi, ekonomi, bahasa asing (terutama bahasa Inggris) dan

etika global.
Ekonomi dan teknologi keduanya memiliki hubungan yang saling menghidupi (simbiosis). Jika
ingin memajukan ekonomi, maka teknologi merupakan alat utamanya. Sebaliknya untuk
memajukan teknologi, ekonomi yang dapat menghidupinya. Oleh karena itu, pengembangan SBI
perlu bekerjasama dengan satuan-satuan pendidikan, pelatihan, industri, lembaga sertifikasi,
lembaga tes, dan sebagainya dari negara-negara tertentu yang memiliki nilai-nilai ekonomi dan
teknologi lebih maju dan mereka juga telah teruji dalam menyiapkan sumberdaya manusianya
untuk mendukung pengem-bangan ekonomi dan teknologi.
Di samping itu mengacu pada visi pendidikan nasional dan visi Depdiknas, maka visi SBI
adalah terwujudnya insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara internasional. Visi
tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upayaupaya yang dilakukan secara intensif, terarah, terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan
bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati, dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain.
Berdasarkan visi tersebut, maka misi SBI adalah mewujudkan manusia Indonesia cerdas dan
kompetitif secara internasional, yang mampu bersaing dan berkolaborasi secara global. Misi ini
direalisasikan melalui kebijakan, rencana, program, dan kegiatan SBI yang disusun secara
cermat, tepat, futuristik, dan berbasis demand-driven.
Penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan
internasional sekaligus. Lulusan yang berkelas nasional secara jelas telah dirumuskan dalam UU
No. 20/2003 dan dijabarkan dalam PP 19/2005 dan lenbih rinci lagi dalam Permendiknas No.
23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Tujuan pendidikan menengah umum
bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta
keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Pendidikan menengah
kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia,
serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya.
Perlu dicatat bahwa sebagai upaya untuk mengembangkan pendidikan bertaraf internasional,
SBI harus tetap memegang teguh untuk mengembangkan jati diri, nilai-nilai bangsa Indonesia, di
samping mengembangkan daya progresif global yang diupayakan secara eklektif inkorporatif
melalui pengenalan, penghayatan dan penerapan nilai-nilai yang diperlukan dalam era
kesejagatan, yaitu religi, ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, seni, solidaritas, kuasa, dan
etika global. Untuk memperlancar komunikasi global, SBI menggunakan bahasa komunikasi
global, terutama Bahasa Inggris dan menggunakan teknologi komunikasi informasi (information
communication technology, ICT).
2. Standar SBI
Mengingat SBI merupakan upaya sadar, intens, terarah, dan terencana untuk mewujudkan citra
manusia ideal yang memiliki kemampuan dan kesanggupan hidup secara lokal, regional,
nasional, dan global, maka perlu dirumuskan standard SBI yang meliputi input, proses, dan
output. Input adalah segala hal yang diperlukan untuk berlangsungnya proses dan harus memiliki
tingkat kesiapan yang memadai. Input penyelenggaraan SBI yang ideal untuk menyelenggarakan
proses pendidikan yang bertaraf internasional meliputi siswa baru (intake) yang diseleksi secara
ketat dan masukan instrumental yaitu kurikulum, pendidik, kepala sekolah, tenaga pendukung,
sarana dan prasarana, dana, dan lingkungan sekolah. Intake (siswa baru) diseleksi secara ketat
melalui saringan rapor SMP, hasil ujian nasional (UN), scholastic aptitude test (SAT), kesehatan
fisik, dan tes wawancara. Siswa baru SBI memiliki potensi kecerdasan unggul, yang ditunjukkan
oleh kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, dan potensi untuk bekembang.
Kurikulum diperkaya (diperkuat, diperluas, dan diperdalam) agar memenuhi standard isi SNP
plus kurikulum bertaraf internasional yang digali dari berbagai sekolah dari dalam dan dari luar
negeri yang jelas-jelas memiliki reputasi internasional. Di samping itu guru harus memiliki
kompetensi professional (penguasaan matapelajaran), pedagogik, kepribadian, dan sosial bertaraf
internasional, serta kemampuan berkomu-nikasi secara internasional yang ditunjukkan oleh
penguasaan salah satu bahasa asing, misalnya bahasa Inggris. Selain itu guru memiliki

kemampuan menggunakan ICT mutakhir dan canggih. Kepala sekolah harus memiliki
kemampuan profesional dalam manajemen, kepemimpinan, organisasi, adminsitrasi, dan
kewirausahaan yang diperlu-kan untuk menyelenggarakan SBI, termasuk kemampuan
komunikasi dalam bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris.
Tenaga pendukung, baik jumlah, kualifikasi maupun kompetensinya memadai untuk
mendukung penyelenggaraan SBI. Tenaga pendukung yang dimaksud meliputi, laboran, teknisi
komputer, kepala TU, tenaga administrasi (keuangan, akuntansi, kepegawaian, akademik, sarana
dan prasarana, dan kesekretariatan). Sarana dan prasarana harus lengkap dan mutakhir untuk
mendukung penyelenggaraan SBI, terutama yang terkait dlangsung dengan penyelenggaraan
proses pembelajaran, baik buku teks, referensi, modul, media pembelajaran, peralatan dan
sebagainya. Organisasi, manajemen, dan administrasi SBI memadai untuk penyelenggaraan SBI,
yang ditunjukkan oleh: (1) organisasi, kejelasan pembagian tugas dan fungsi dan koordinasi
yang baik antar tugas dan fungsi, (2) manajemen tangguh, mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, koordinasi dan evaluasi, dan (3) administrasi rapi, yang
ditunjukkan oleh pengaturan dan pendayagunaan sumberdaya pendidikan secara efektif dan
efisien. Lingkungan sekolah, baik fisik maupun nir-fisik (kultur), sangat kondusif bagi
penyelenggaraan SBI. Lingkungan nir-fisik sekolah mampu menggalang konfir-misme perilaku
warganya untuk menjadikan sekolahnya sebagai pusat gravitasi keunggulan pendidikan yang
bertaraf internasional.
Proses penyelenggaraan SBI mampu mengakrabkan, menghayatkan dan menerap-kan nilai-nilai
(religi, ekonomi, seni, solidaritas, dan teknologi mutakhir dan canggih), norma-norma untuk
mewujudkan nilai-nilai tersebut, standar-standar, dan etika global yang menuntut kemampuan
bekerjasama lintas budaya dan bangsa. Selain itu proses pembelajaran dalam SBI harus properubahan yaitu mampu menumbuhkem-bangkan daya kreasi, inovasi, nalar dan eksperimentasi
untuk menemukan kemungkinan baru (a joy of discovery) yang tidak tertambat pada tradisi dan
kebiasaan proses pembelajaran di sekolah yang lebih mementingkan memorisasi dan recall
dibandingkan daya kreasi, nalar, dan eksperimentasi peserta didik untuk menemukan
kemungkinan baru.
Proses pembelajaran SBI harus dikembangkan melalui berbagai gaya dan selera agar mampu
mengaktualisasikan potensi peserta didik, baik intelektual, emosional maupun spiritualnya
sekaligus. Penting diharisbawahi bahwa proses pembelajaran yang bermatra individu-sosialkultural perlu dikembangkan sekaligus agar sikap dan perilaku peserta didik sebagai mahkluk
individu tidak terlepas dari kaitannya dengan kehidupan masyarakat lokal, regional, dan
nasional. Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah Bahasa
Indonesia dan bahasa asing (khususnya Bahasa Inggris) dan menggunakan media pendidikan
yang bervariasi serta berteknologi mutakhir dan canggih, misalnya laptop, LCD, dan VCD.
Oleh karena itu tafsir ulang terhadap praksis-praksis penyelenggaraan proses pembelajaran yang
berlangsung selama ini sangat diperlukan. Proses pembelajaran di sekolah saat ini lebih
mementingkan jawaban baku yang dianggap benar oleh guru, tidak ada keterbukaan dan
demokrasi, tidak ada toleransi pada kekeliruan akibat kreativitas berpikir karena yang benar
adalah apa yang dipersepsikan benar oleh guru. Itulah yang disebut memorisasi dan recall. SBI
harus mengembangkan proses pembelajaran yang: (1) mendorong keingintahuan (a sense of
curiosity and wonder), (2) keterbukaan pada kemungkinan-kemungkinan baru, (3) prioritas pada
fasilitas kemerdekaan dan kreativitas dalam mencari jawaban atau pengetahuan baru (meskipun
jawaban itu salah atau pengetahuan baru dimaksud belum dapat digunakan), dan (4) pendekatan
yang diwarnai oleh eksperimentasi untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru
(Depdiknas, 2006:8).
Output SBI memiliki kemampuan-kemampuan bertaraf nasional plus internasional sekaligus,
yang ditunjukkan oleh penguasaan SNP Indonesia dan penguasaan kemampuan-kemampuan
kunci yang harus dimiliki dalam era global. SNP merupakan standar minimal yang harus diikuti
oleh semua satuan pendidikan yang berakar Indonesia, namun tidak berarti bahwa output satuan
pendidikan tidak boleh melampaui SNP. SNP boleh dilampaui asal memberikan nilai tambah
yang positif bagi pengaktualan potensi peserta didik, baik intelektual, emosional, maupun

spiritualnya. Selain itu, nilai tambah yang dimaksud harus mendukung penyiapan manusiamanusia Indonesia abad ke-21 yang kemampuannya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi,
beretika global, dan sekaligus berjiwa dan bermental kuat, integritas etik dan moralnya tinggi,
dan peka terhadap tuntutan keadilan sosial. Penguasaan kemampuan-kemampuan kunci yang
diperlukan dalam era global merupakan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk
bersaing dan berkolaborasi secara global dengan bangsa-bangsa lain, yang setidaknya meliputi
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir yang canggih serta kemampuan
berkomunikasi secara global.
3. Pendidikan Kejuruan
Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem
pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang pendidikan kejuruan
dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat
tentang peran yang harus dimainkannya (Samani, 1992:14). Evans & Edwin (1978:24)
mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang
mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Harris seperti yang
dikutip oleh Slamet (1990:2), menyatakan pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk suatu
pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan sosialnya.
Menurut House Committee on Education and Labour (HCEL) pendidikan kejuruan adalah suatu
bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang
mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan (Malik, 1990:94). Dari
definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang dinyatakan oleh
National Council for Research into Vocational Education Amereka Serikat (NCRVE, 1981:15),
yaitu bahwa pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus
membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja. Dari batasan yang
diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu
ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah
orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE, Finch &
Crunkilton (1984:161) menyebutkan pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang memberikan
bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang kehidupannya (education for earning
a living).
Dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris, HCEL, NCRVE maupun Finch &
Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan peserta didik untuk
dapat bekerjaa pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh
kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta
norma-norma yang berlaku.
Ciri pendidikan kejuruan sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja dapat dimengerti
karena secara historis pendidikan kejuruan merupakan perkembangan dari latihan dalam
pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship) (Evans & Edwin, 1978:36).
Pada pola latihan dalam pekerjaan peserta didik belajar sambil langsung bekerja sebagai
karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai instruktur, sehingga tidak
ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan. Walaupun demikian pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena
peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia
belajar secara inkuiri (Elliot, 1983:15).
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi sebagai
instruktur bagi keryawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur tersebut
bertanggungjawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang
sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang
relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh pengetahuan
dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan (Evans & Edwin,
1978:38).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih membawa pengaruh
terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan bekal pengetahuan
dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang
memadai karena tidak memberikan dasar teori dan keterampilan sebelum peserta didik
memasuki lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian berkembang bentuk
sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama dengan
kalangan industri dengan tujuan memberikan bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik
memasuki lapangan kerja.
Perlu diingat bahwa pembagian pendidikan kejuruan menjadi beberapa model tersebut bukanlah
suatu pembagian yang bersifat ekskusif dan tumpang tindih. Semua model tersebut tetap berjalan
bahkan sering digunakan secara saling melengkapi. Banyak sekolah atau latihan kejuruan yang
pada saat tertentu menerapkan latihan dalam pekerjaan atau magang di perusahaan yang sesuai
dengan programnya.
Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328) di sebagian besar negara Organization
for Economic cooperation and Development (OECD) pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (1)
memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di masyarakat, sehingga
peserta didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya, (2) membantu peserta didik
memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang
berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya, (3) mendorong produktivitas ekonomi secara
regional maupun nasional, (4) mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang
perkembangan ekonomi dan industri, (5) mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich & Wenrich
(1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (1) menghasilkan tenaga
kerja yang diperlukan oleh masyarakat, (2) meningkatkan pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh
oleh setiap peserta didik, dan (3) memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk
menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut dapat
disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum, pendidikan kejuruan
mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada peserta
didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga kerja terampil yang
dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut, Crunkilton
(1984:25) menyebutkan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan adalah
meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan
merupakan bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal kemampuan
mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat meningkat dan pada
gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel & Hasley, 1977:14). Penelitian yang
dilakukan Nurhadi (1988) dan Samani (1992) ternyata memperkuat pendapat Miner serta
Karabel dan Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan oleh Crunkilton
tersebut, sangat penting karena pada umumnya siswa sekolah kejuruan berasal dari masyarakat
dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Brotosiswoyo, 1991:8), sehingga apabila sekolah
kejuruan berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu menaikkan status sosiala
ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah kejuruan dapat membantu
meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyaarakat (Elliot, 1983:42).
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut struktur
programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas jenjang kecanggihan
keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir & Fazil,
1988:7). Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat sekolah
menengah (secondary) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan berbagai program
keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik
Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism,

dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknis
(IEES, 1986:124).
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana sekolah kejuruan
mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans seperti yang dikutip oleh Hadiwiratama
(1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi lima kategori, yaitu (1) program pengarahan
kerja (pre vocational guidance education), (2) program persiapan kerja (employability
preparation education), (3) program persiapan bidang pekerjaan secara umum (occupational
area preparation education), (4) program persiapan bidang kerja spesifik (occupational specific
education), dan (5) program pendidikan kejuruan khusus (job specific education).
Pada program pengarahan kerja, sekolah memberikan pengetahuan dasar dan umum tentang
berbagai jenis pekerjaan di masyarakat sekaligus menumbuhkan apresiasi terhadap berbagai
pekerjaan tersebut, sedangkan pada program persiapan kerja, sekolah memberikan dasar-dasar
sikap dan keterampilan kerja, meskipun masih bersifat umum. Dengan program ini diharapkan
peserta didik mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan, meskipun
tentunya masih harus melalui latihan di dalam pekerjaan.
Untuk program persiapan bidang pekerjaan secara umum, sekolah memberikan bekal guna
meningkatkan kemampuan bekerja untuk bidang pekerjaan yang memerlukan pengetahuan,
peralatan yang sejenis. Dengan program ini diharapkan peserta didik mempunyai pilihan
lapangan pekerjaan yang lebih jelas dan lebih cepat mengikuti latihan di dalam pekerjaan.
Program persiapan kerja yang spesifik memberikan bekal yang sudah mengarah kepada jenis
pekerjaan tertentu, meskipun belum pada suatu perusahaan tertentu. Lebih khusus lagi adalah
program pendidikan kejuruan khusus yang sudah terarah pada pekerjaan khusus, yaitu mendidik
siswa untuk memenuhi persyaratan yang diminta oleh suatu perusahaan tertentu.
Penjenjangan kedekatan pendidikan kejuruan yang disebutkan oleh Evans di atas berarti juga
kesiapan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Makin khusus jenis pendidikan kejuruan akan
makin siap lulusannya memasuki lapanan kerja, tetapi juga makin sempit bidang pekerjaan yang
dapat dimasuki. Walaupun demikian, kecuali untuk keperluan tertentu pendidikan kejuruan yang
khusus (job specific education) sangat sulit diterapkan di Indonesia, mengingat jenis industri di
Indonesia sangat bervariasi. Di sini mulai timbulnya dilema antara siap pakai atau siap latih
dalam pendidikan kejuruan. Dalam kaitan dengan hal tersebut, menurut Semiawan (1991:6),
yang penting adalah kesiapan mental untuk mengembangkan dirinya serta keterampilan dasar
untuk setiap kali dapat menyesuaikan diri kembali pada perubahan tertentu (retrainability).
Dengan bekal tersebut diharapkan lulusan sekolah kejuruan tidak hanya terpancang pada jenis
pekerjaan yang ada, tetapi juga terdorong untuk mewujudkan lapangan kerja baru dengan
mengembangkan prakarsa dan kreativitasnya secara optimal. Sejalan dengan itu Tilaar (1991:12)
menegaskan bahwa pendidikan formal (sekolah kejuruan) seharusnya menghasilkan lulusan
yang memiliki kualifikasi siap latih yang kemudian diteruskan dengan program pelatihan, baik di
dalam industri atau lembaga pelatihan tertentu.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Input
1.1 Siswa Baru (Raw Input)
Masukan atau input berupa siswa baru sangat penting agar dapat menghasilkan lulusan
dengan kompetensi yang diinginkan. Untuk mendapatkan masukan tersebut SMKN 5 Surabaya
melakukan penjaringan siswa baru melalui penerimaan siswa baru (PSB) secara on-line,
pelaksanaannya dilakukan satu kali dalam setahun, yaitu pada bulan Juli. Persyaratan
pendaftaran meliputi: (1) Nilai Ujian Nasional (UN), (2) sehat jasmani dan rohani, dan (3) tidak
buta warna. Penentuan nilai UN ditentukan berdasarkan rangking nilai UN sesuai dengan pagu
tiap-tiap program keahlian. Dari hasil seleksi tiga tahun terakhir diperoleh nilai UN tertinggi dan
terendah untuk tiga mata pelajaran (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika), yaitu
pada tahun 2005 nilai tersebut 29,25 dan 27,16 pada tahun 2006 29,17 dan 26,83 sedangkan
pada tahun 2007 nilai UN tertinggi adalah 29,00 dan terendah adalah 26,53. Dengan demikikan

rerata nilai UN yang diterima pada program keahlian Otomotif untuk tiga tahun terakhir di atas
8,00 dan keketatan persaingan 1:3. Artinya, satu bangku diperebutkan oleh tiga calon siswa baru.
Di samping persyaratan di atas SMK Mikael Solo menentukan persyaratan lain, yaitu: (1)
nilai raport SMP, (2) kerajinan, (3) latar belakang siswa, (4) tes kemampuan akademik, (5) tes
Bahasa Inggris, dan (6) wawancara. Nilai raport SMP digunakan untuk memperoleh data tentang
catatan prestasi akademik dan afektif siswa. Nilai raport memiliki rerata 7,00 tiap semester dan
mempunyai kecenderungan meningkat tiap semesternya. Latar belakang siswa untuk
memperoleh data tentang status sosial ekonomi orangtua. Tes kemampuan akademik dan bahasa
Inggris untuk memperoleh data tentang kemampuan akademik siswa dan kemampuan bahasa
Inggris siswa. Wawancara dilakukan untuk memperoleh data tentang motivasi siswa memasuki
SMK. Jumlah perdaftar tahun pelajaran 2004/2005 sebanyak 361 orang, tahun 2005/2006
sebanyak 392 orang, tahun 2006/2007 sebanyak 322 orang, dan tahun 2007/2008 sebanyak 350
orang, sedangkan pagu sekolah sebanyak 120 orang. Dengan demikian keketatan persaingan
masuk 1:3 atau satu bangku diperebutkan oleh tiga calon siswa baru dan siswa yang diterima
sebagian besar berasal dari SMP negeri dan swasta favorit. Dengan demikian diperoleh siswa
baru yang berkualitas dan data siswa yang lebih komprehensif.
Melalui PSB di kedua sekolah dapat dijaring input (siswa baru) dengan kualitas baik dan
keketatan persaingan 1:3. Keketatan persaingan tersebut menunjukkan bahwa sekolah
penyelenggara SBI sudah menjadi tujuan lulusan SMP untuk melanjutkan studinya. Di samping
itu dengan rerata nilai UN yang tinggi memudahkan sekolah untuk mengembangkan potensi
peserta didikya lebih lanjut sesuai dengan tujuan penyelenggaraan SMK SBI. Dengan demikian
rerata UN yang tinggi dan keketatan persaingan merupakan ciri penting keberhasilan
penyelenggaraan SMK SBI.
Persyaratan, pola menerimaan, dan ketetatan persaingan masuk di kedua sekolah tersebut dapat
disebut sebagai good practice SMK bertaraf internasional. Hal ini didukung data output dengan
kualitas yang tinggi, yaitu (rerata hasil UN yang tinggi, tingkat kelulusan yang tinggi, dan
tingkat DO yang rendah). Di samping itu didukung pula oleh data outcome berupa keterserapan
lulusan yang tinggi oleh dunia kerja. Dengan demikian penerimaan siswa baru tersebut
merupakan good practice dilihat dari sisi input pada sekolah kejuruan bertaraf internasional.
Dilihat dari pola pikir yang dimiliki, input siswa di SMK bertaraf internasional merupakan
input yang baik. Di kedua sekolah tersebut sebagian besar siswa telah mempunyai pola pikir
cukup tinggi yang ditunjukkan oleh sikap mereka terhadap kebutuhan sumber informasi, diskusi
kelompok, diskusi dengan guru dan bahkan berbeda pendapat, dan suka mendemonstrasikan
hasil karyanya. Di samping itu pereubahan pola pikir ditunjukkan oleh sikap siswa terhadap
perbedaan pendapat, memiliki akternatif untuk meningkatkan pengetahuannya, kesiapan
melanjutkan sekolah ke luar negeri, bahasa bukan menjadi faktor penghalang, siswa memiliki
akses sumber belajar internet sekolah, dan akses sumber belajar diperpustakaan sekolah. Ciri
perubahan pola pikir tersebut merupakan salah satu ciri penyelenggaraan SBI.
1.2 Pendidik
Dilihat dari latar belakang pendidikannya, data di SMKN 5 Surabaya menunjukkan bahwa
tingkat pendidikan guru adalah sarjana (S1), bahkan terdapat guru produktif dengan ijazah
magister (S2) yang diperoleh guru setelah mereka dalam jabatan. Di SMK Mikael Solo guru
yang mengampu mata pelajaran produktif mempunyai sertifikasi yang telah berstandar nasional
atau internasional.
Rekruitmen tenaga pendidik di SMKN 5 Surabaya dilakukan melalui Dinas Pendidikan,
dengan persyaratannya: (1) sarjana/S1 sesuai dengan kebutuhan, (2) tes dan wawancara. Tes
dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan sekolah menerima guru sesuai dengan penempatan yang
dilakukan oleh Dinas Pendidikan, sehingga sekolah tidak dapat merekrut guru sesuai dengan
kebutuhan program keahlian yang ada di sekolah. Ini merupakan salah satu kelemahan
rekruitmen yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan di mana sekolah tidak mempunyai posisi
tawar untuk menentukan kualitas guru yang diinginkan.
Di SMK Mikael Solo rekruitmen tenaga pendidik dilakukan melalui Human Resources and

Development (HRD). Persyaratannya adalah di samping persyaratan terdahulu terdapat


persyaratan lain, yaitu psikotes dan tes kemampuan mengajar. Dari psikotes dan tes kemampuan
mengajar diambil nilai tertinggi di antara peserta tes. Dengan persyaratan tersebut diperoleh
tenaga pendidik sesuai dengan kebutuhan sekolah. SMK Mikael Solo juga menerapkan syarat
lain, yaitu kemampuan berbahasa Inggris dengan indikator skor TOEFL minimal 450 dan
pengalaman industri yang untuk guru mata pelajaran produktif. Jadi, pendidik pada SBI
mempunyai standar pendidikan minimal S1 dan mempunyai sertifikat nasional atau internasional
untuk guru mata pelajaran produktif.
1.3 Tenaga Kependidikan
Tenaga kependidikan (laboran dan tata usaha) di kedua sekolah berijazah SMA dan
sederajat serta telah mempunyai kompetensi aplikasi perangkat lunak (soft ware) komputer dan
menguasai bahasa Inggris secara memadai. Untuk kepala tata usaha dan pustakawan
berpendidikan sarjana (S1) sesuai dengan bidang tugasnya. Seleksi penerimaan tenaga
kependidikan di SMKN 5 Surabaya dilakukan oleh dinas pendidikan dan seleksi melalui HRD
dilakukan oleh SMK Mikael Solo. Seleksi yang dilakukan melalui HRD lebih dapat menjamin
diperoleh tenaga kependidikan yang diinginkan dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan
oleh dinas pendidikan. Seleksi yang dilakukan oleh dinas pendidikan diikuti oleh banyak peserta
karena ada harapan diangkat menjadi pegawai negeri. Dengan demikian tenaga kependidikan
(laboran dan tata usaha) berijazah SMA dan mempunyai kompetensi aplikasi perangkat lunak
(soft ware) komputer, sedangkan kepala tata usaha dan kepala perpustakaan berijazah S1.
1.4 Kurikulum
Kedua sekolah menggunakan Kurikulum Nasional 2004 (KBK) dan KTSP (kurikulum
sekolah). Kurikulum sekolah (KTSP) untuk mata pelajaran normatif dan adaptif diambil dari
Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sedangkan untuk mata pelajaran
produktif menggunakan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) sesuai dengan
program studinya. Meskipun menggunakan SKKNI untuk mata pelajaran produktif, kurikulum
disusun dengan melibatkan pihak industri pasangan yang telah diakui secara nasional maupun
internasional, misalnya Astra Internasional untuk SMKN 5 Surabaya dan ATMI Solo untuk SMK
Mikael Solo. Model penyusunan kurikulum tersebut dilakukan agar lulusannya terserap di dunia
kerja. Hal ini didukung oleh data keterserapan lulusan empat tahun terakhir berturut-turut
89,94%, 86,58%, 94,48%, dan 92,14% untuk SMKN 5 Surabaya. Bahkan di SMK Mikael Solo
menunjukkan sekolah belum dapat memenuhi pesanan tenaga kerja dari dunia kerja. Model
penyusunan kurikulum yang melibatkan pihak industri pasangan merupakan salah satu good
practice dalam pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Penyusunan kurikulum disusun di kedua sekolah oleh tim khusus pengembang kurikulum
dan guru mata pelajaran serta melibatkan pihak industri pasangan. Penyusunan kurikulum ini
dilakukan terutama untuk mata pelajaran produktif. Evaluasi kurikulum dilakukan oleh guru
mata pelajaran. Aspek-aspek yang dinilai meliputi mencapaian standar kompetensi, sillabus,
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) serta alokasi waktunya. Evaluasi ini dilakukan tiap
tahun dan hasil evaluasi digunakan untuk perbaikan kurikulum berikutnya. Dengan demikian
kurikulum yang digunakan akan selalu mengikuti perkembangan jaman dan relevan dengan
kebutuhan dunia kerja.
Jumlah jam mata pelajaran sebanyak 4 jam untuk normatif, 7 jam untuk adaptif, dan 7 jam
pelajaran untuk produktif (satu jam pelajaran @ 45 menit). Jumlah alokasi waktu jam pelajaran
per minggu 48 sampai dengan 50 jam pelajaran. Batasan jumlah minimal jam mengajar guru
sebanyak 18 jam dan maksimal sebanyak 40 jam per minggu. SMKN 5 Surabaya menerapkan
lama belajar 4 (empat) tahun dan disebut SMK 4 tahun. Satu tahun terakhir (kelas empat) proses
belajar mengajar dilakukan di dunia kerja dalam bentuk magang. Model ini dilakukan untuk
mendekatkan siswa dengan dunia kerja sebenarnya, sehingga melalui magang dapat ditanamkan
nilai-nilai kerja, disiplin kerja, dan menumbuhkan etos kerja siswa. Dengan kata lain penerapan
kurikulum yang demikian merupakan salah satu good practice ciri penyelenggaraan SMK
bertaraf internasional.

SMK Mikael Solo dalam menyusun kurikulum relatif sama dengan SMKN 5 Surabaya,
jumlah jam pelajaran rata-rata 50 jam pelajaran per minggu. Sekolah ini mempunyai unit
produksi yang dapat memproduksi barang atau jasa yang laku dijual. Sistem pembelajaran
praktik dilakukan melalui sistem production base education and training (PBET), yaitu sistem
yang memadukan antara praktik dan produksi sebagai bentuk implementasi link and macth
sehingga dapat memberikan pengalaman produksi dan aplikasi bagi para siswa. Pelaksanaan
pembelajarannya menggunakan mesin standar internasional. Di samping itu diterapkan total
block system, capasity oriented dengan dua shift. Jadi ciri-ciri tersebut merupakan salah satu
good practice penyelenggaraan SMK bertaraf internasional.
SMKN 5 Surabaya menggunakan Kurikulum Nasional 2004 dan KTSP untuk normatif dan
adaptif sedangkan untuk produktif menggunakan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI). Program Keahlian Mekanik Otomotif menggunakan standar astra internasional dan
penyusunan kurikulum melibatkan industri pasangan. Hal ini dilakukan agar kompetensi
lulusannya sesuai dengan kompetensi yang dituntut oleh dunia kerja terutama industri pasangan.
Pemilihan isi kurikulum produktif berdasarkan standar internasional (Astra Internasional) sudah
tepat. Hanya saja yang perlu diingat adalah implementasi kurikulum harus sesuai dengan
standar astra pula, baik proses maupun evaluasi kinerja siswa. Jika semua proses dan
implementasi kurikulum sesuai dengan standar, lulusannya akan dapat bekerja di seluruh dunia
sepanjang terdapat pekerjaan yang berstandar astra.
Demikian juga di SMK Mikael Solo, kurikulum yang digunakan adalah Kurikulum
Nasional 2004 dan KTSP untuk normatif dan adaptif sedangkan untuk produktif menggunakan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Kurikulum disusun berdasarkan
kebutuhan pangsa pasar yang dilakukan sekolah bersama dengan perusahaan dan sekolah partner
(ATMI), sehingga sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Kurikulum yang digunakan di kedua sekolah di atas (khususnya untuk mata pelajaran
produktif) menggunakan pendekatan fungsional, yaitu penentuan isi kurikulum dilakukan
dengan cara yang lebih obyektif. Pendekatan ini didasari oleh asumsi bahwa peserta didik yang
belajar melalui SMK SBI harus mempelajari fungsi-fungi apa yang harus ada untuk menjamin
kelangsungan kerja suatu industri atau dunia usaha tertentu dan kemudian dijabarkan menjadi
penampilan-penampilan (performance) yang terkait dengan fungsi atau tugas tertentu untuk
dijadikan masukan bagi perencanaan kurikulum (Sukamto, 1988:98). Pendekatan kurikulum
secara fungsional akan meningkatkan relevansi kompetensi lulusan dengan fungsi pekerjaan di
dunia kerja dan merupakan good practice dalam pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Untuk meningkatkan hasil yang sudah dicapai SMKN 5 Surabaya dalam rencana 4 (empat)
tahunan menuangkan program-programnya ke dalam rencana kerja. Dalam rencana tersebut
terdapat 11 (sebelas) kegiatan penting, yaitu: (1) pengembangan sistem manajemen mutu ISO
9001:2000, (2) minimal 4 (empat) pelajaran produktif meng-gunakan bahasa Inggris, (3)
advanced training workshop, (4) teaching factory, (5) lingkungan, (6) adanya orang asing untuk
pembelajaran komunikasi bahasa Inggris, (7) mitra asing, (8) lulusan ke luar negeri, (9) skor
TOEC lebih besar 400, (10) program ICT, sistem administrasi sekolah atau SAS, (11) sertifikasi
internasional. Demikian dengan SMK Mikael Solo, terdapat 12 (dua belas) janji kinerja yang
juga merupakan program kegiatan penting, yaitu: (1) pengembangan SMM-ISO 9001-2000, (2)
minimal 4 pelajaran produktif menggunakan Bahasa Inggris, (3) standard training workshop, (4)
advance training workshop, (5) teaching factory, (6) lingkungan, (7) self access study dan
komunikasi dalam bahasa asing, (8) partner asing, (9) lulusan ke luar negeri, (10) score TOEIC
lebih besar 400, (11) program ICT, dan (12) sertifikasi internasional. Dengan demikian melalui
program kerja tersebut sekolah betul-betul merencanakan lulusannya tidak hanya dapat
memenuhi lapangan kerja nasional tetapi juga internasional atau global.
Program yang direncanakan cukup apresiatif untuk menuju sekolah berstandar
iternasional, misalnya minimal 4 (empat) pelajaran produktif menggunakan bahasa Inggris,
lulusan ke luar negeri, adanya orang asing untuk pembelajaran komunikasi bahasa Inggris, dan
lulusan ke luar negeri. Akan tetapi perlu dipikirkan untuk mencapai harapan tersebut belum
disebutkan masukan (input) siswa yang bagaimana agar dapat dicapai tujuan tersebut. Di

samping itu belum tampak adanya aspek keberlanjutannya (sustainability) dari program tersebut.
Dikhawatirkan program tersebut tidak akan tercapai jika tidak ada keberlanjutan dukungan dana,
baik dari pemerintah pusat, daerah, maupun orangtua dan masyarakat.
1.5 Biaya
Di SMKN 5 Surabaya sumber pembiayaan sekolah berasal dari sumbangan awal tahun untuk
siswa baru sebesar Rp 1.000.000,00 (Satu juta rupiah), SPP sebesar Rp 100.000,00 (Seratus ribu
rupiah) per bulan, dan kegiatan ekstra kurikuler sebesar Rp 50.000,00 (Lima puluh ribu rupiah)
per semester. Biaya masuk untuk siswa baru sebesar Rp 1.150.000,- sedangkan besarnya SPP
tetap sampai siswa tersebut lulus. Penetapan besarnya sumbangan awal, SPP, dan kegiatan ekstra
tersebut didasarkana pada petunjuk dari Dinas Pendidikan, sekolah tidak diperbolehkan
menentukan sendiri. Dengan demikian terkait dengan penyelenggaraan SBI sekolah tidak
mempunyai kewenangan menentukan besarnya dana dari masyarakat. Hal ini berakibat sekolah
tidak dapat merencanakan biaya penyelenggaraan proses pembelajaran dari sumber dana
masyarakat dan dikhawatirkan meyelenggaraan pembelajaran terganggu.
Di SMK Mikael Solo komponen pembiayaan terdiri dari sumbangan pembinaan pendidikan
(SPP) sebesar Rp 100.000,00 (Seratus ribu rupiah) per bulan untuk kelas dua dan tiga, sedangkan
untuk kelas satu sebesar Rp 150.000,00 (Seratus lima puluh ribu rupiah) tiap bulan. Sumbangan
awal masuk tiap siswa sebesar Rp 3.750.000,00 (Tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).
Dengan demikian besarnya biaya masuk untuk siswa baru sebesar Rp 3.900.000,- sedangkan
besarnya SPP tetap sampai siswa lulus. Jadi besarnya baiaya pada SBI sekolah swasta lebih
mahal daripada sekolah negeri.
Di samping itu SMK Mikael Solo mempunyai unit produksi dan telah menghasilkan
keuntungan (profit). Data menunjukkan bahwa pada tahun 2007 memiliki gross profit sebesar Rp
390.430.000,00 (Tiga ratus sembilan puluh juta empat ratus tiga puluh ribu rupiah). Sumber
keuntungan ini didapat dari unit produksi dan pendapatan GTC (training and production) dan
keuntungan tersebut masih terus dapat ditingkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa mengelolaan
unit produksi secara profesional dan menghasilkan keuntungan menjadi salah satu ciri penting
pengelolaan SBI.
1.6 Sarana Prasarana
Luas tanah 47.565 m2, di atas tanah tersebut berdiri ruang kelas 1.529 m2, ruang guru 280 m2,
ruang rapat 80 m2, ruang laboratorium/workshop 1.032 m2, perpustakaan 105 m2, lapangan
upacara 194 m2, taman sekolah 1.800 m2, lahan dan tempat parkir 450 m 2, lapangan dan tempat
olah raga 1.800 m2, dan kebun sekolah 200 m2. Luas bangunan SMKN 5 Surabaya 9.600 m 2,
terdiri dari ruang kelas sebanyak 41 ruang, laboratorium bahasa dua buah, laboratorium
komputer dua buah (dapat mengakses internet dengan 30 klien), dua buah kantin, dua buah
ruang TU, dua buah pos jaga, dua buah bangsal kendaraan siswa, dua unit rumah dinas penjaga,
tujuh taman sekolah, empat buah lapangan bermain, dan masing-masing satu buah yaitu ruang
perpustakaan, aula, lapangan upacara, lapangan sepak bola, ruang kepala sekolah, ruang guru,
ruang BK, ruang UKS, ruang pramuka, tempat ibadah, ruang olah raga, ruang OSIS, ruang
koperasi, ruang rapat, ruang tamu, gudang, ruang dapur, bangsal kendaraan guru, dan pagar
sekolah. Letak sekolah mudah dijangkau oleh kendaraan umum dari semua jurusan. Melalui
kelebihan luas lahan memungkinkan untuk penambahan gedung dan sarana pendidikan yang
lain.
Sarana penting bagi penyelenggaraan SMK adalah workshop. Workshop mekanik otomotif
terdiri dari dua unit, yaitu workshop sepeda motor dan mobil. Workshop sepeda motor berstandar
Ahass Astra, sedangkan workshop mobil berstandar Advance Astra Internasional di antaranya
terdiri dari Digital Scanner Tools, Digital Spooring Balancing, mesin pengukur kadar emisi, dan
berbagai tipe mesin toyota. Di samping itu untuk proses pembelajaran guru dapat menggunakan
laptop dan LCD projector. Jadi sarana prasarana tersebut merupakan aset dan salah satu ciri
sarana prasarana yang dimiliki sekolah dalam menyelenggarakan SBI.

SMK Makael Solo mempunyai luas bangunan 2.526 m 2, termasuk di dalamnya unit
produksi (ruang praktik mesin) dengan luas 832 m 2. Ruang teori sebanyak delapan buah (512
m2), kamar mandi/WC sebanyak tiga buah (144 m 2), masing-masing satu buah terdiri dari:
ruang administrasi (32 m2), ruang kepala sekolah (64 m2), ruang guru (32 m2), ruang TU (32
m2), ruang BP/BK (32 m2), ruang kurikulum (32 m2), ruang kesiswaan/pamong (32 m2), lab
fisika dan kimia (32 m2), lab komputer (90 m2), lab bahasa (64 m2), ruang perpustakaan (64
m2), ruang OSIS (32 m2), dan aula (300 m2). Lokasi sekolah terletak di Kelurahan Karangasem
Kecamatan Laweyan, termasuk daerah perkotaan atau dalam kota, jarak ke pusat kecamatan 2
km dan jarak ke pusat pemerintah kota 8 km, sehingga mudah dijangkau. Lokasi sekolah yang
mudah dijangkau merupakan sarana penting untuk pengembangan SBI.
Merupakan sarana penting di SMK Mikael Solo adalah ruang gambar dan ruang praktik
mesin. Ruang gambar seluas 200 m2 terdiri dari meja gambar manual dan gambar menggunakan
bantuan komputer. Workshop praktik mesin disebut juga unit produksi terdiri dari mesin bubut
dari manual hingga CNC dengan berbagai jenis peralatan pendukung lainnya. Melalui peralatan
tersebut dihasilkan produk sesuai dengan standard industri. Dengan demikian unit produksi yang
dapat menghasilkan produk sesuai dengan standard industri merupakan sarana prasarana (best
practice) dalam penyelenggaraan SBI.
2 Proses
2.1 Pengelolaan
Kedua sekolah memiliki visi, misi, dan tujuan yang disusun berdasarkan pada tujuan pendidikan
nasional, visi, misi, dan tujuan sekolah/yayasan, serta rencana pengembangan sekolah. Rencana
sekolah disusun untuk kurun waktu tahunan dan empat tahunan. Rencana sekolah tahunan
merupakan penjabaran rencana kerja sekolah empat tahunan. Untuk mencapai tujuan
penyelenggaraan sekolah unsur-unsur internal dan eksternal dikoordinasikan oleh kelompok
kerja (team work). Strategi dalam mengelola sumber daya manusia untuk mencapai tujuan
sekolah dilakukan dengan jalan memberikan kesejahteraan yang memadai, motivasi internal,
kesempatan berkembang, dan aktualisasi diri.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dikedua sekolah mensosialisasikan visi, misi,
tujuan, dan Standar Operasi Prosedur (SOP) sekolah kepada guru, siswa, karyawan, orangtua,
dan stakeholder. Di samping itu kepala sekolah juga mendorong budaya inkuiri, misalnya
mengajak guru-guru untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK), ikut membantu
membimbing peserta didik mengikuti lomba, misalnya Lomba Keterampilan Siswa (LKS) dan
lomba matapelajaran dan lain-lain. Model pengelolaan kepala sekolah yang demikian merupakan
ciri SBI.
Hubungan dengan warga sekolah dilakukan menggunakan komunikasi positif dan rapat-rapat
staf. Hubungan dengan pihak luar dilakukan dengan melakukan kunjungan ke dunia usaha dan
dunia industri, telepon, dan surat menyurat. Sekolah menjalin hubungan dengan dunia usaha dan
dunia industri, dinas pendidikan dan kebudayaan, perguruan tinggi, orangtua siswa, maupun
lulusan. Ciri pengelolaan manajemen komunikasi tersebut merupakan salah satu ciri komunikasi
dalam SBI.
Manajemen bidang akademik di kedua sekolah meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi,
pengawasan, pelaporan. Strategi yang dilakukan untuk mengorganisasikan pembelajaran dengan
melihat kesuaian perencanaan pembelajaran dengan aktivitas pembelajaran (ketuntasan materi).
Untuk kelas tiga materi harus selesai satu semester dan semester berikutnya dilakukan latihan
ujian nasional (drill). Sistem penilaian dilakukan tiap kali selesai satu kompetensi dan teknik
penilaiannya menggunakan tes tulis (paper and pencil test) dan lisan. Penilaian dilakukan oleh
guru tiap selesai satu kompetensi dan frekuensinya 2/3 kali semester. Dengan demikian hal
tersebut merupakan ciri manajemen bidang akademik dalam penyelenggaraan SBI. Manajemen
kesiswaaan berupa layanan terhadap siswa yang meliputi bimbingan konseling, career path, dan

bursa kerja. Layanan tersebut dilakukan sepanjang semester dan sepanjang tahun (tidak terbatas).
Di samping itu untuk membantu lulusan siswa mendapatkan pekerjaan, dibentuk tim untuk
menangani bursa kerja. Layanan bimbingan dan bursa kerja tersebut dapat dijadikan sebagai
salah satu indikator layanan kesiswaan pada SBI.
Manajemen bidang sarana prasarana di kedua sekolah, seperti perpustakaan menyediakan ruang
baca dan peminjaman buku atau sirkulasi. Di samping itu laboratorium/workshop menyediakan
layanan berupa peminjaman penggunaan alat dan fasilitasnya. Laboratorium komputer dengan
layanan internet meskipun dalam jumlah terbatas sudah dapat memotivasi siswa mengakses
internet jika guru memberikan tugas pelajaran tertentu. Perbandingan guru dan siswa untuk mata
pelajaran normatif dan adaptif adalah satu guru untuk satu kelas (35 orang). Untuk mata
pelajaran produktif rasionya satu guru untuk setengah kelas dan di bantu oleh toolman.
Penempatan guru sesuai dengan matapelajaran yang diampu.
2.2 Pembelajaran
Di SMKN 5 Surabaya guru matapelajaran produktif lulusan sarjana pendidikan yang sesuai
dengan program studinya, memiliki akta mengajar IV dan memperoleh kesempatan melanjutkan
studi pascasarjana (S2) ITB Bandung Jurusan Metalurgi. Di keedua sekolah guru pengajar mata
pelajaran adaptif lulusan sarjana pendidikan sesuai dengan mata pelajaran yang diampu. Di
samping mengajar mata pelajaran adaptif juga memiliki keterampilan yaitu komputer dan bahasa
Inggris. Di SMK Mikael Solo guru mata pelajaran produktif memiliki akta mengajar IV dan
mempunyai pengalaman industri.
Di kedua sekolah persiapan guru dalam proses pembelajaran dilakukan dengan menyusun
rencana pembelajaran pada awal tahun ajaran dengan melihat kalender akademik. Perumusan
tujuan pembelajaran telah dituliskan secara jelas mengandung perilaku hasil belajar sehingga dan
tidak menimbulkan penafsiran ganda. Materi ajar disesuaikan dengan karakteristik peserta didik
dan tujuan pembelajaran. Di samping itu materi ajar diorganisasikan dengan runtut, sistematis,
dan sesuai dengan alokasi waktu. Pemilihan sumber/media pembelajaran dengan tepat sesuai
dengan tujuan, materi, dan karakteristik peserta didik. Sumber materi ajar yang dikomunikasikan
kepada peserta didik berupa latihan soal dan terdapat kesesuaian metode pembelajaran dengan
tujuan pembelajaran. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 75%. Di samping itu evaluasi
direncanakan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Proses pembelajaran yang dikelola seperti di
atas merupakan salah satu indikator SBI.
Di kedua sekolah jumlah siswa dalam satu kelas maksimal sebanyak 32 orang.
Pembelajaran didukung oleh alat pembelajaran yang lengkap terutama untuk mata pelajaran
produktif dan memberikan perhatian pada siswa dalam bentuk memberian tugas presentasi
setelah ada penjelasan dari guru secara berkelompok, tiap kelompok terdiri dari dua sampai tiga
orang siswa. Guru memelihara disiplin dalam melaksanakan pembelajaran dengan cara memberi
hukuman kepada siswa yang tidak disiplin sesuai dengan tingkat pelanggarannya.
Di kedua sekolah strategi yang dilaksanakan dalam mengorganisasikan pembelajaran
dilakukan secara tatap muka, presentasi, dan tanya jawab. Guru merasa senang dalam mengajar.
Perilaku atau tujuan pembelajaran yang diharapkan disampaikan terlebih dahulu kepada siswa.
Siswa mengetahui di mana memperoleh bantuan akademik melalui penjelasan guru. Guru
mendorong sekolah untuk memberi pengakuan atas perilaku positif siswa, jika ada siswa yang
kurang baik perilakunya dibicarakan dengan ketua program studi. Di samping itu guru
mengembangkan kecakapan komunikasi siswa melalui presentasi di depan kelas. Pengembangan
kemampuan literasi media dan informasi dilakukan dengan cara penugasan di perpustakaan dan
mengunduh (download) informasi melalui internet. Setiap akhir pelajaran guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanya sebagai feedback terhadap pelaksanaan pembelajaran.
Guru mendapat informasi siswa mana yang perlu diberi bantuan dan bantuan apa yang akan
diberikan. Bimbingan lebih intensif diberikan oleh BP dan kesiswaan melalui kelompok
bimbingan belajar. Siswa dapat memberikan saran (ada Kotak Saran) dan terbuka kepada Wali
Kelas apabila menemukan hambatan. Strategi pegorganisasian yang demikian dapat dijadikan
indikator pengorganisasian pembelajaran dalam SBI.

Di SMKN 5 Surabaya untuk program keahlian otomotif, guru mengembangkan


kemampuan siswa melalui metode pembelajaran trouble shooting, baik untuk sepeda motor
maupun mobil. Metode tersebut meliputi langkah-langkah: mengidentifikasi, merumuskan
masalah, menganalisis, dan membuat alternatif penyelesaian masalah. Strategi pembelajaran
tersebut dilakukan pada pembelajaran mata pelajaran produktif, strategi tersebut dikenal dengan
keterampilan proses. Di samping itu guru memberikan kesempatan pada siswa dalam
mengembangkan keingintahuan intelektual dan kreatifitas dengan jalan memberi kesempatan
eksperimen kepada siswa. Karakteristik pengem-bangan kemampuan siswa yang demikian
dalam proses pembelajaran merupakan salah satu ciri pembelajaran SBI.
Di SMK Mikael Solo pembelajaran mata pelajaran produktif menggunakan pendekatan
production base education training (PBET). Pembelajaran ini dilakukan di unit produksi dan
merupakan satu-satunya SMK di Indonesia yang menerapkan sistem PBET. Sistem ini
memadukan antara praktik dan produksi sebagai bentuk implementasi link and match sehingga
dapat memberikan pengalaman produksi dan aplikasi serta nilai-nilai kerja bagi peserta didik.
Sistem ini didukung oleh unit produksi dengan menerapkan sistem blok secara penuh (total
block system) dengan dua shift praktik. Di samping itu unit produksi tersebut mulai dari
pengembangan materi praktik, penilaian, produksi, sampai pada pemasaran hasil bekerjasama
dengan unit produksi Akademi Teknik Mesin dan Industri (ATMI) Solo. Unit produksi ini telah
mendapatkan pengakuan baik nasional maupun internasional. Hal ini dibuktikan dengan telah
diterimanya produk yang dihasilkan oleh customer dari dalam dan luar negeri.
Di SMKN 5 Surabaya dan SMK Mikael Solo, guru ikut mengembangkan kemampuan
siswa tentang pilihan jurusannya. Di samping itu ia juga mengembangkan kemampuan adaptif
dan tanggungjawab dengan cara memberi pengarahan untuk bertanggungjawab terhadap
kewajiban sekolah. Tanggungjawab sosial dikembangkan dengan cara memberi pengarahan
toleransi terhadap sesama temannya. Pengembangkan kemampuan interpersonal pada diri siswa
dikembangkan guru dengan cara memberi penjelasan lisan dan demonstrasi. Guru juga
mengembangkan kemampuan interpersonal siswa dengan cara belajar berkomunikasi dengan
sesama. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kolaborasi melalui penggunaan teknologi
informasi dengan cara memberi kesempatan pada saat diskusi berkelompok. Guru menggunakan
aplikasi perangkat lunak untuk mengumpulkan, mengelola, dan menganalisis data. Proses
pembelajaran dilakukan guru dengan memberikan kesempatan pada siswa untuk membangun
pengetahuannya sendiri. Guru juga menggunakan model pembelajaran yang variatif, misalnya
pemecahan masalah (trouble shooting) dalam pembelajaran praktik. Pembelajaran didukung oleh
ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi dengan menggunakan warung internet
(warnet).
Di SMKN 5 Surabaya dalam proses pembelajaran guru memberikan kesempatan pada
siswa untuk mengungkapkan hasil temuannya, strateginya terletak pada pemberian masalah
(trouble) dan siswa mencari penyelesaiannya. Jumlah jam tatap muka pelajaran cukup
memberikan kesempatan siswa untuk memahami pelajaran produktif. Jumlah jam sebanyak 6
jam pelajaran dengan 4 hari per minggu dan jumlah jam tersebut mendukung peningkatan
keterampilan khusus siswa. Di samping itu guru memiliki strategi dalam meningkatkan
ketuntasan belajar siswa berupa studi kasus. Metode tersebut digunakan dengan alasan dalam
implementasinya di dunia kerja siswa dihadapkan pada penyelesaian masalah (trouble shooting).
Ciri proses pembelajaran tersebut merupakan salah satu ciri SBI.
Berkaitan dengan pembelajaran di kedua sekolah, guru memiliki karakteristik pola pikir
yang dapat menghasilkan pembelajaran yang baik. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan
pola pikir guru dalam pembelajaran adalah ia memberikan layanan pada siswa dengan
memberikan berbagai macam sumber informasi pada siswa dan siap memberikan layanan
akademik pada setiap saat di sekolah. Di samping itu ia menyediakan portofolio pembelajaran
untuk siswa yang mencakup seluruh materi ajar pada semester tersebut. Dan guru mengarahkan
siswa untuk menemukan masalah dan membimbing siswa untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
Untuk mengkaitkan informasi pembelajaran sebelumnya dilakukan dengan memberikan

penjelasan, demonstrasi, dan percobaan. Selanjutnya siswa diberi penugasan dan dilihat
hasilnya. Guru memberikan informasi tentang kegunaan materi pembelajaran setelah selesai
pelaksanaan pembelajaran. Untuk membangkitkan pertanyaan kritis siswa guru memberikan
permasalahan atau kasus dan siswa mencari pemecahannya. Tugas kelompok dan cara menilai
tingkat kolaborasi siswa pada kelompok dilakukan dengan membagi kelompok-kelompok kecil
pada saat praktik.
Guru memberikan ruang yang cukup pada siswa untuk mendemonstrasikan hasil karyanya.
Untuk menggali informasi yang dipelajari dari masyarakat dilakukan dengan cara memberi tugas
jika ada kendaraan dari luar milik orang rusak dan siswa yang mengerjakan sedangkan guru
memandu. Di samping itu guru memberikan pengarahan pada siswa bagaimana membaca efektif
(reading skill). Cara mencari kata kunci dalam membaca informasi dilakukan dengan cara
membuat ringkasan. Guru juga memberikan tugas pada siswa untuk mengembangkan wacana
dari sebuah artikel dan guru mempertimbangkan berbagai aspek dalam memberikan penilaian
hasil belajar siswa. Di samping memberikan penilaian kognitif guru juga menilai sikap, tingkah
laku, dan keterampilan siswa.
Guru membuat suasana kelas menyenangkan dilakukan dengan cara memberi kebebasan
berdemokrasi tetapi terarah, dan memberi pengertian bahwa guru bukan segala-galanya, guru
juga manusia terkadang salah, hanya saja guru sudah pernah belajar terlebih dahulu. Untuk
meminta masukan tentang proses pembelajaran kepada siswa agar dapat memberikan layanan
lebih baik dilakukan dengan meminta saran dan kesan kepada siswa setelah tatap muka. Guru
juga melakukan refleksi atas tindakan yang diberikan pada proses pembelajaran dengan
membuat perbaikan terhadap siswa yang melanggar tata tertib serta hak dan kewajiban siswa.
Upaya berbaikan berkelanjutan dilakukan dengan pendekatan terhadap siswa yang mempunyai
masalah. Perubahan pola pikir guru tersebut di atas dapat dijadikan ciri penting SBI dalam
mengelola proses pembelajaran.
2.3 Kerjasama dan Unit Produksi
SMKN 5 Surabaya menjalin kerjasama dengan dunia usaha dan industri (du/di) lebih dari 100
perusahaan besar dan menengah baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta.
Perusahaan tersebut tersebar di kota Surabaya, Gresik, Tuban, Sidoarjo, Pasuruan dan sekitarnya.
Hubungan kerjasama dengan dunia usaha dan industri tersebut dilakukan untuk mendekatkan
program sekolah dengan kebutuhan dunia kerja. Jalinan kerjasama tersebut diikat melalui nota
kesepahaman (Memorandum of Understanding, MoU). Manfaat kerja sama di antaranya adalah
siswa dapat melakukan Praktik Kerja Industri (PSG) secara berkelanjutan dan untuk
memasarkan lulusan.
Sejak tahun 2006 SMKN 5 Surabaya telah memperoleh sertifikat Sistem Manajemen Mutu
Standar Internasional ISO 9001-2000 sejak 2006. Terkait dengan manajemen layanan kesiswaan,
SMKN 5 Surabaya melakukan layanan bimbingan konseling, career path, dan bursa kerja.
Layanan tersebut dilakukan sepanjang semester dan sepanjang tahun (tidak terbatas). Melalui
bursa kerja dapat membantu lulusan mendapatkan pekerjaan tanpa menunggu waktu yang relatif
lama. Layanan bimbingan dan bursa kerja tersebut merupakan good practice dalam pengelolaan
SMK bertaraf internasional.
Manfaat kerjasama adalah siswa dapat melakukan Praktik Kerja Industri (PSG) secara
berkelanjutan dan sebagai sarana promosi lulusan. Hal ini sesuai dengan pendapat Glover
(1984:141) bahwa latihan yang didasarkan atas jenis kegiatan yang ada di industri, sesuai dengan
perjanjian antara peserta magang dan industri, siswa akan memperoleh latihan kerja baik teoretis
maupun praktis dalam lingkup yang luas dan terstuktur dalam jangka waktu tertentu. Praktik
kerja di industri sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja dapat dimengerti karena secara
historis pendidikan kejuruan merupakan perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job
training) dan pola magang (apprenticeship) (Evans & Edwin, 1978). Dengan pola seperti itu
peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia
belajar secara inkuiri (Elliot, 1983). Dengan demikian hubungan dengan dunia usaha dan
industri menjadi good practice penyelenggaraan SMK bertaraf internasional.

SMK Mikael Solo memiliki unit produksi yang terintegrasi dengan pembelajaran mata pelajaran
produktif di sekolah. Sejak 2002 sekolah memperoleh sertifikat Sistem Manajemen Mutu
Standar Internasional ISO 9001-2000. Sekolah juga dipercaya menjadi Sister dari Indonesian
German Institute (IGI) untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia di Indonesia melalui
Program Pendidikan SMK dan Social Grassroot Training Center (SGTC). Di samping itu
sekolah memiliki tim penjamin mutu, yaitu Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI). SMK yang
mempunyai kerjasama dengan dunia usaha dan industri, unit produksi, sistem manajemen mutu
standar internasional ISO 9001:2000, dan penjaminan mutu sekolah menjadi ciri penting dari
pengelolaan SBI dan merupakan salah satu good practice penyelenggaraan SMK bertaraf
internasional.
Kerjasama dan unit produksi di kedua sekolah tersebut sesuai dengan teori kejuruan yang
dikemukakan Prosser & Allen, tiga di antaranya adalah: (1) latihan kejuruan akan efektif, jika
latihan kerja dilakukan dengan cara pengoperasian alat dan mesin yang sama dengan di tempat
kerja itu sendiri, (2) penumbuhan kebiasaan kerja kepada siswa dapat efektif apabila latihan
dilaksanakan di tempat kerja sesungguhnya, bukan pada pekerjaan semu atau latihan, (3)
pendidikan kejuruan akan efektif, apabila guru telah mempunyai pengalaman yang berhasil
dalam menerapkan keterampilan dan pengalaman mengenai operasi dan proses (Champ &
Hillison, 1984:13-21). Teori kejuruan tersebut menekankan perlunya pengalaman bagi peserta
didik dan guru pada dunia kerja sesungguhnya. Jadi, kerjasama dan unit produksi yang dilakukan
oleh kedua sekolah merupakan good practice penyelenggaraan SMK bertaraf internasional.
3. Output
Output pendidikan dapat dilihat dari angka mengulang kelas, jumlah DO, nilai UN, dan
persentase lulusan. Di SMKN 5 Surabaya selama tiga tahun terakhir di program keahlian
otomotif terdapat seorang yang drop out (DO) yang terjadi pada tahun 2007. Penyebabnya
adalah faktor sikap (afektif) siswa yang tidak baik dan tidak terdapat angka mengulang kelas.
Nilai rerata UN untuk mata pelajaran Bahasa Inggris tiga tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006,
2006/2007) berturut-turut 7,03; 7,91; dan 8,88. Nilai rerata UN untuk mata pelajaran Matematika
tiga tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006, 2006/2007) berturut-turut 8,26; 9,17; dan 8,56.
Persentase lulusan tiga tahun terakhir 2004/2005, 2005/2006, dan 2006/2007 berturut-turut
adalah 97,31%, 99,70%, dan 97,62%.
Di SMK Mikael Solo tingkat angka mengulang kelas sebesar 0,8% dan terjadi pada tahun
pelajaran 2005/2006, sedangkan pada tahun pelajaran 2004/2005 dan 2006/2007 angka
mengulang kelas nol persen. Nilai rerata UN Bahasa Inggris tiga tahun terakhir (2004/2005,
2005/2006, dan 2006/2007) berturut-turut 6,82; 8,04; dan 8,29. Nilai rerata UN untuk mata
pelajaran Matematika tiga tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006, dan 2006/2007) berturut-turut
7,75; 7,68; dan 8,23. Persentase lulusan empat tahun terakhir (2004, 2005, 2006, dan 2007)
berturut-turut 95%; 97,5%; 100%; dan 100%. Dengan demikian angka pengulang kelas, jumlah
DO, nilai UN, dan jumlah lulusan yang demikian di kedua sekolah tersebut menjadi salah satu
good practice dan ciri keberhasilan pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Dari data tersebut kedua sekolah telah menghasilkan output yang sangat baik. Hal ini
merupakan salah satu ciri keberhasilan pengelolaan SMK bertaraf internasional. Keberhasilan ini
tidak terlepas dari mutu input yang baik dengan rerata nilai UN cukup tinggi di samping proses
pembelajaran yang dilakukan. Meskipun demikian menurut Sukamto (1988:54) keberhasilan
lembaga pendidikan kejuruan berlainan dengan pendidikan umum, kriteria untuk menentukan
keberhasilan suatu lembaga pendidikan kejuruan pada dasarnya menerapkan ukuran ganda, yaitu
keberhasilan siswa di sekolah (in-school success) dan keberhasilan di luar sekolah (out-of-school
success). Kriteria yang pertama meliputi aspek keberhasilan siswa dalam memenuhi persyaratan
kurikuler yang sudah diorientasikan ke persyaratan dunia kerja. Kriteria yang kedua
diindikasikan oleh keberhasilan atau penampilan lulusan setelah berada di dunia kerja yang
sebenarnya, seperti misalnya proporsi lulusan yang mendapat pekerjaan sesuai dengan bidang
studinya, jarak waktu antara kelulusan dan saat mendapatkan pekerjaan pertama, dan
keberhasilan lain dalam bentuk imbalan ekonomis, kriteria ini disebut juga outcome pendidikan

kejuruan.
4. Outcome
Salah satu indikator outcome adalah keterserapan lulusan di dunia kerja. Di SMKN 5
Surabaya menunjukkan bahwa selama empat tahun terakhir (2003/2004, 2004/2005, 2005/2006,
dan 2006/2007) keterserapan lulusan ke dunia kerja berturut-turut sebesar 89,94%; 86,58%;
94,48%, dan 92,14%. Lulusan tersebut bekerja sesuai dengan program keahliannya dan tingkat
keterserapan lulusan oleh dunia kerja tersebut tergolong tinggi. Di samping itu terdapat lulusan
yang melanjutkan training ke luar negeri selama tiga tahun terakhir (2004/2005, 2005/2006, dan
2006/2007) berturut-turut sebanyak 4 orang, 5 orang, dan 2 orang.
Di SMK Mikael Solo jumlah lulusan empat tahun terakhir (2004, 2005, 2006, dan 2007)
yang mengisi kesempatan kerja sesuai dengan program studinya berturut-turut sebanyak 43
orang, 57 orang, 59 orang, 60 orang. Sisanya lebih kurang 50% lulusan dari tahun 2004, 2005,
2006, dan 2007 melanjutkan ke perguruan tinggi. Mayoritas ke Akademik Teknik Mesin dan
Industri (ATMI) Solo, Universitas Sanata Dharma, Atmajaya Yogyakarta, dan sejumlah
perguruan tinggi negeri. Masa tunggu untuk mendapatkan pekerjaan pertama maksimal 1-3
bulan. Di samping itu permintaan tenaga kerja oleh industri selama empat tahun terakhir (2004,
2005, 2006, dan 2007) berturut-turut 42 orang, 50 orang, 43 orang, dan 50 orang. Dari
permintaan tersebut hanya dapat dipenuhi sebanyak 10 orang, 16 orang, 13 orang, dan 15 orang,
sehingga terdapat surplus permintaan sebesar 32 orang, 34 orang, 30 orang, dan 35 orang tenaga
kerja. Dengan demikian banyaknya lulusan yang terserap oleh dunia kerja, surplus permintaan
tenaga kerja, dan masa tunggu yang relatif pendek untuk mendapatkan pekerjaan pertama
merupakan good practice pengelolaan SMK bertaraf internasional.
Keterserapan lulusan SMKN 5 Surabaya di dunia kerja empat tahun terakhir rata-rata
90,8% dan tingkat keterserapan ini tergolong tinggi. Di samping itu terdapat lulusan yang
melanjutkan training ke luar negeri. Jumlah ini memang masih sedikit, akan tetapi lulusan yang
sudah mempunyai pengalaman pelatihan di luar negeri merupakan aset bagi sekolah. Pengertian
aset bermakna: (1) memotivasi siswa yang lain, (2) sebagai pembuka jalan bagi lulusan yang
lain, dan (3) dapat dimanfaatkan sebagai instruktur tamu. Demikian pula lulusan SMK Mikael
Solo, kurang lebih 50% lulusannya terserap di dunia kerja sesuai dengan program keahliannya
dan sisanya melanjutkan ke perguruan tinggi dan masa tunggu untuk mendapatkan pekerjaan
pertama maksimal 1-3 bulan. Di samping itu permintaan tenaga kerja oleh industri belum dapat
terpenuhi atau terdapat surplus permintaan tenaga kerja. Artinya, outcome yang demikian di
kedua sekolah tersebut merupakan kriteria keberhasilan sekolah kejuruan (out-of-school
success). Dengan demikian banyaknya lulusan yang terserap oleh dunia kerja, surplus
permintaan tenaga kerja, dan masa tunggu yang relatif pendek untuk mendapatkan pekerjaan
pertama merupakan good practice SMK bertaraf internasional.
Keterserapan lulusan SMKN 5 Surabaya banyak dipengaruhi oleh masa studi dari SMK
tiga tahun menjadi SMK empat tahun. Di mana selama tiga tahun pertama peserta didik belajar
di sekolah dan tahun ke empat siswa melakukan praktik kerja di industri selama satu tahun.
Dengan pola ini siswa menghadapi pekerjaan secara langsung sehingga tertanam pola pikir, pola
kerja, nilai-nilai kerja, tanggungjawab, kerjasama dalam tim, menghargai waktu, disiplin, kehatihatian, dan sikap-sikap positif lainnya yang tidak dapat diperoleh dalam situasi sekolah. Dengan
situasi yang sama, di SMK Mikael Solo, meskipun masa studi tiga tahun penanaman nilai-nilai
kerja tersebut dilakukan sejak kelas satu sasmpai kelas tiga melalui kegiatan praktik di unit
produksi yang dikelola seperti tempat kerja sesungguhnya. Sekolah dalam situasi apapun belum
mampu menanamkan nilai-nilai kerja yang diinginkan dunia kerja. Oleh karena itu hal ini sejalan
dengan teori Prosser & Allen yang telah dikemukakan terdahulu.
Di samping itu keterserapan lulusan SMKN 5 Surabaya empat tahun terakhir menjadi
fenomena menarik. Salah satunya hal ini disebabkan adanya bursa kerja sebagai jembatan antara
pencari kerja dan pemberi kerja. Bursa ini kerja ini tidak dapat berdiri sendiri membantu
menyalurkan lulusan, tetapi berkaitan dengan mutu lulusan. Pada tahun 2006 SMK Negeri 5
Surabaya memperoleh sertifikat managemen mutu ISO 9001-2000. Sertifikat tersebut bermakna

ada komitmen meningkatkan mutu pengelolaan pendidikan dari civitas akademika sekolah.
Mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, pustakawan, laboran, tenaga kebersihan,
keamanan, siswa, dan orangtua siswa bersama-sama untuk mewujudkan terselenggaranya
sekolah bermutu melalui managemen pengelolaan yang terstandar. Pilihan ISO 9001-2001
adalah tepat karena hal tersebut merupakan pengakuan internasional.
Wenrich & Wenrich (1974:63) berpendapat bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk:
(1) menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan masyarakat, (2) meningkatkan pilihan pekerjaan
yang dapat diperoleh oleh setiap peserta didik, dan (3) memberikan motivasi kerja kepada
peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya. Hal ini sejalan dengan
kondisi lulusan di kedua sekolah yaitu ada yang bekerja dan melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.
D. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Berdasarkan analisis kualitatif dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa
praktik-praktik yang baik (good practices) yang dilakukan di kedua sekolah adalah: (1)
penerapan proses belajar dari tiga tahun menjadi empat tahun, tiga tahun pertama di sekolah dan
tahun keempat magang di industri telah mendekatkan kompetensi lulusan ke dunia kerja secara
fungsional, (2) penerapan proses belajar tiga tahun dengan pembelajaran mata pelajaran
produktif dilakukan terintegrasi dengan unit produksi di sekolah dapat membentuk kompetensi
siswa sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, (3) di kedua sekolah telah menerapkan manajemen
mutu penyelenggaraan sekolah berstandar internasional ISO 9001-2000, ini menunjukkan
kesungguhan dari civitas sekolah untuk menjadikan sekolah unggul, (4) kerja sama dengan dunia
usaha dan industri yang dilakukan oleh kedua sekolah telah meningkatkan mutu pembelajaran
praktik dan mendekatkan kebutuhan dunia industri akan tenaga kerja terdidik dan terampil, dan
(5) layanan terhadap siswa berupa bimbingan konseling, career path, dan bursa kerja dapat
meningkatkan keterserapan lulusan ke dunia kerja.
2. Saran
Berdasarkan simpulan di atas dikemukakan saran sebagai berikut (1) SMK lain dapat
mengadopsi atau mengadaptasi lama belajar dari tiga tahun menjadi empat tahun dengan
mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif dengan melibatkan komiter sekolah dan
orangtua siswa. Perubahan lama belajar tersebut dilakukan untuk mendekatkan lulusannya
dengan dunia kerja baik regional, nasional, maupun internasional, (2) lama belajar tiga tahun
yang selama ini dilakukan oleh SMK lain harus ditunjang oleh ketersediaan sarana memadai,
terutama unit produksi yang dikelola seperti keadaan dunia kerja sebenarnya, (3) pengelolaan
SMK dengan manajemen standar ISO 9001-2000 harus sudah dimulai, dengan standar tersebut
pengelolaan sekolah terstandar secara internasional, (4) kerjasama dengan dunia usaha dan
industri bagi SMK lain menjadi keharusan, kerja sama tersebut mengikat kedua belah pihak dan
saling menguntungkan, dan (5) SMK lain dapat memberikan layanan berupa bimbingan
konseling, career path, dan bursa kerja untuk meningkatkan keterserapan lulusan ke dunia kerja.
Pustaka Pustaka
Brotosiswoyo, Suprapto. (1991, Agustus). Pendidikan menengah. Makalah Pengantar Diskusi
Kelompok Rapat Kerja Nasional. Jakarta: Depdikbud.
Camp, G. C. & Hillison, J. H. (1984). Prossers six-sixteen theorem: Time for reconsideration.
Journal of Vocational and Technical Education, 1, 13-21.
Clinton, R. E. (1984). A rationale for collaboration: The view from industry. Collaboration
vocational education and the privat sector (pp.43-53). Arlington, VA: The American
Vocational Association.
Depdiknas. (2005). Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
_____. (2006). Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) untuk Pendidikan

Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.


Elliot, Janet. (1983). The organization of productive work in secondary technical and vocational
education the united Kingdom. London: Unesco.
Evans, R. N. & Edwin, L. H. (1978). Foundation of vocational education. Columbus, OH:
Charles E. Merril Publishing Company.
Finch, Curtis R. & Crunkilton, John R. (1984). Curriculum Development in Vocational and
Technical Education: Planning, Content, and Implementation. Boston: Allyn and Bacon,
Inc.
Glover, R. W. (1984). Collaboration in apprentice program: Experience with in-school
apprenticeship. Collaboration vocational education and the private sector (pp.141-149).
Arlington, VA: The American Vocational Association.
IEES. (1986). Indonesia Education and Human Resources Sector Review. Chapter VIIVocational/Technical Education. Jakarta: Depdikbud and USAID.
Karabel, R. L. & Hasley, R. A. (1977). Vocational Education Outcomes: Perspective for
Evaluation. Columbus: NCRVE.
Malik, Oemar H. (1990). Pendidikan tenaga kerja nasional, kejuruan, kewiraswastaan, dan
manajemen. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti.
Miner, Jacob. (1974). Family Insvesment in Human Capital: Earning of Woman. Journal of
Political Economy 82 (2). Pp.48-56.
National Council for Research into Vocational Education (NCRVE). (1981). Towards a theory of
vocational educational. Columbus, Ohio: NCRVE Publication.
Nurhadi, Mulyani A. (1988). The effects of schooling factor on personal earning within the
context of internal labor market in PT. Petrokimia Gresik (Persero) Indonesia. Yogyakarta:
PPS IKIP Yogyakarta.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan
Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Samani, Muchlas. (1992). Keefektifan program pendidikan STM: Studi penelitian pelacakan
terhadap lulusan STM rumpun mesin tenaga dan teknologi pengerjaan logam di
Kotamadya Surabaya tahun 1986 dan 1987. Disertasi doktor IKIP Jakarta, 1992.
Semiawan, Cony R. (1991, Januari). Pengembangan kirikulum untuk SMKTA menyongsong era
tinggal landas. Makalah pada seminar pengembangan kurikulum PMK. Jakarta: Balitbang
Dikbud.
Slamet. (1990). Pondasi pendidikan kejuruan. Lembaran perkuliahan. Yogyakarta: Pascasarjana
IKIP Yogyakarta.
Sugiono. (2006). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Tilaar, H.A.R. (1991, September). Sistem pendidikan yang modern bagi pembangunan
masyarakat industri modern berdasarkan Pancasila. Makalah pada KIPNAS V, Jakarta.
Thorogood, Ray. (1982). Current themes in voational education and training policies, Part I.
Industrian and Commercial Training 9, pp. 328-331.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Wenrich, Ralph C. & Wenrich, William J. (1974). Leadership in administration of vocational
education. Columbus, Ohio: Charles E. Merril Publishing Co.
Zulbakir & Fazil. (1988, Juli). Program pendidikan menengah teknologi dan perkembangan
IPTEK di Indonesia. Makalah disampaikan pada KOnvensi Nasional Pendidikan 1988,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai