Shalat jama’ah adalah suatu kewajiban (fardhu ‘ain) –bagi kaum pria[1]-
sebagaimana pendapat ‘Atho’ bin Abi Robbah, Al Hasan Al Bashri, Abu ‘Amr Al
Awza’i, Abu Tsaur, Al Imam Ahmad (yang nampak dari pendapatnya) dan
pendapat Imam Asy Syafi’i dalamMukhtashor Al Muzanniy. Imam Asy Syafi’i
mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi
seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” [2]
Di antara dalil wajibnya shalat jama’ah bagi setiap pria, yaitu sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
، اسَ َّ ثُ َّم آ ُم َر َر ُجالً فَيَ ُؤ َّم الن، صالَ ِة فَيُ َؤ َّذنَ لَهَا ٍ َت أَ ْن آ ُم َر بِ َحط
َّ ثُ َّم آ ُم َر بِال، ُب يُحْ تَطَب ُ َوالَّ ِذى نَ ْف ِسى بِيَ ِد ِه لَقَ ْد هَ َم ْم
ق َعلَ ْي ِه ْم بُيُوتَهُ ْم ُ ٍ ثُ َّم أ َخالِفَ إِلَى ِر َج
َ ال فَأ َح ِّر ُ
”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan
orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan
mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku
memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang
yang tidak mengikuti sholat jama'ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.
[3] Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam memperingatkan keras pria yang
meninggalkan shalat jama’ah yaitu ingin membakar rumah mereka. Hal ini tentu
menunjukkan bahwa shalat jama’ah adalahwajib.
[Hadits pertama]
[Hadits kedua]
صلُّوا فِى َ َيح َو َمطَ ٍر فَقَا َل فِى آ ِخ ِر نِدَائِ ِه أَال َّ َح َّدثَنِى نَافِ ٌع َع ِن ا ْب ِن ُع َم َر أَنَّهُ نَادَى بِال
ِ صالَ ِة فِى لَ ْيلَ ٍة َذا
ٍ ت بَرْ ٍد َو ِر
ٌَت لَ ْيلَة ْ
ْ َكانَ يَأ ُم ُر ْال ُم َؤ ِّذنَ إِ َذا َكان-صلى هللا عليه وسلم- ِ ثُ َّم قَا َل إِ َّن َرسُو َل هَّللا.صلُّوا فِى الرِّ َحا ِل َ َِر َحالِ ُك ْم أَال
ُصلُّوا فِى ِر َحالِك ْم َ ُ َ َ َ ُ َ
َ َار َدة أوْ ذات َمط ٍر فِى ال َّسف ِر أ ْن يَقو َل أال َ ٌ ِ َب.
Dari Nafi’, dari Ibnu Umar bahwasanya dia pernah beradzan untuk shalat di
malam yang dingin, berangin kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di
akhir adzan, “Alaa shollu fi rihaalikum, alaa shollu fir rihaal” [Hendaklah shalat
di rumah kalian, hendaklah shalat di rumah kalian]’. Kemudian beliau
mengatakan, ”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallambiasa
menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau
bersafar (perjalanan jauh) agar mengumandangkan, “Alaa shollu fi rihaalikum”
[Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-masing]’.[7]
[Hadits ketiga]
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar bahwasanya beliau pernah mengumandangkan adzan di
Dhojnan[8], -kemudian perawi menyebutkan redaksi hadits sebagaimana di atas
hanya bedanya dalam riwayat ini disebutkan bahwa Ibnu Umar mengatakan,
“Alaa shollu fii rihaalikum [Hendaklah shalat di kendaraan kalian masing-
masing]” hanya sekali-’.[9]
[Hadits keempat]
ص ِّل َم ْن َشا َء ِم ْن ُك ْم فِى َ َ فِى َسفَ ٍر فَ ُم ِطرْ نَا فَق-صلى هللا عليه وسلم- ِ ُول هَّللا
َ ُال « لِي ِ ع َْن َجابِ ٍر قَا َل خَ َرجْ نَا َم َع َرس
» َرحْ لِ ِه.
[Hadits kelima]
ِ ير ِإ َذا قُ ْلتَ أَ ْشهَ ُد أَ ْن الَ إِلَهَ إِالَّ هَّللا ُ أَ ْشهَ ُد أَ َّن ُم َح َّمدًا َرسُو ُل هَّللاٍ س أَنَّهُ قَا َل لِ ُم َؤ ِّذنِ ِه فِى يَوْ ٍم َم ِط
ٍ ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َعبَّا
اس ا ْستَ ْن َكرُوا َذاكَ فَقَا َل أَتَ ْع َجبُونَ ِم ْن َذا قَ ْد فَ َع َل َ َّ فَ َكأ َ َّن الن- قَا َل- صلُّوا فِى بُيُوتِ ُك ْم َ ْصالَ ِة قُل َّ ى َعلَى ال َّ فَالَ تَقُلْ َح
ِّ ُ َ ٌ ْ ْ
ِ ْت أ ْن أحْ ِر َج ُك ْم فَتَ ْم ُشوا فِى الطي ِن َوالدَّح
ض ُ َذا َم ْن هُ َو َخ ْي ٌر ِمنِّى إِ َّن ال ُج ُم َعةَ عَز َمة َوإِنِّى َك ِر ْه.
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan,
”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna
Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash
sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian].
Lalu perawi mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu
Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran
dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini.
Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika
kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.”
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas mengatakan, ”Orang yang lebih baik dariku telah
melakukan hal ini yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam.”[11]
”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat
jama’ah ketika turun hujan dan ini termasukudzur (halangan) untuk meninggalkan
shalat jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama
Syafi’iyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak
ada udzur[12]. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini
adalah suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan
sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau,
silahkan mengerjakan shalat di rihal [kendaraannya masing-masing.”[13]
Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan
salah satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca
yang dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol yang
menyatakan bahwa ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama).[14]
ُمبَا ٌح،َْح َو َما أَ ْشبَهَ َذلِك ُّ أَجْ َم َع ال ُعلَ َما ُء َعلَى أَ َّن التَّ َخلُّفَ َع ِن ال َج َما َع ِة فِي ِش َّد ِة ال َمطَ ِر َو.
ِ الظلُ َم ِة َوال ِّري
”Para ulama bersepakat (ijma’) bahwa meninggalkan shalat berjama’ah ketika
hujan deras, malam yang gelap dan berangin kencang dan udzur (halangan)
lainnya adalah boleh.”[15]
Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim di atas dapat kita
simpulkan, ada beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan, dingin,
berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar
:
1. ال
ِ الر َح َ َ( أَالAlaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah
ِّ صلُّوا فِى
(kalian))
”Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau mengucapkan “Alaa shollu
fii rihalikum” di tengah adzan. Dan dalam hadits Ibnu Umar, beliau mengucapkan
lafadz ini di akhir adzannya. Dan dua cara seperti ini dibolehkan, sebagaimana
perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah- dalam kitab Al Umm pada Bab Adzan,
begitu juga pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama Syafi’iyyah. Lafadz ini
boleh diucapkan setelah adzan maupun di tengah-tengah adzan karena terdapat
dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi, sesudah adzan lebih baik agar
lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada. Di antara ulama syafi’iyyah yang
mengatakan bahwa lafadz ini tidak boleh diucapkan kecuali setelah adzan.
Pendapat seperti ini lemah karena bertentangan dengan hadits Ibnu ’Abbas yang
jelas-jelas tegas. Dan tidak ada pertentangan antara hadits Ibnu ’Abbas dan hadits
Ibnu ’Umar. Karena hadits yang satu dilakukan pada satu waktu dan hadits lain
pada waktu lainnya. Kesimpulannya kedua cara ini benar.”[16]
Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas yang telah disebutkan dalam hadits
kelima di atas. Beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan, ”Apabila
engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar
Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi
ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi
mengatakan, ”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”.
Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu.
Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini.Sesungguhnya
(shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa
susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.”[17]
Dari hadits Ibnu Abbas ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat
Jum’at ketika hujan. An Nawawi menjelaskan,
َوع َْن َمالِك، َ َوهُ َو َم ْذهَبنَا َو َم ْذهَب آ َخ ِرين، َوفِي هَ َذا ْال َح ِديث َدلِيل َعلَى ُسقُوط ْال ُج ُم َعة بِع ُْذ ِر ْال َمطَر َونَحْ وه
ِ َوهَّللا ُ تَ َعالَى أَ ْعلَ ُم بِالص ََّوا. َر ِح َمهُ هَّللا تَ َعالَى ِخاَل فه
ب
”Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai gugurnya kewajiban shalat Jum’at
karena udzur (halangan) hujan dan semacamnya. Dan inilah pendapat madzhab
kami (Syafi’iyyah) dan madzhab lainnya. Dan yang menyelisihi pendapat ini
adalah Imam Malikrahimahullah. Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.[18]
Akan Tetapi, Jika Pergi Ke Masjid untuk Berjama’ah itu Lebih Afdhol
Syaikh Abu Malik –penulis Shahih Fiqh Sunnah-[19] mengatakan, ”Akan tetapi
yang lebih afdhol (lebih utama) adalah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Hal ini
berdasarkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri. Beliau berkata,
- ِ ُول هَّللا
َ ْت َرس ُ فَ َرأَي، ُصالَةَّ ت الِ فَأُقِي َم، َو َكانَ ِم ْن َج ِري ِد النَّ ْخ ِل، ُت َحتَّى َسا َل ال َّس ْقف
ْ ت َس َحابَةٌ فَ َمطَ َر
ْ َجا َء
ْت أَثَ َر الطِّي ِن فِى َج ْبهَتِ ِه
ُ َحتَّى َرأَي، يَ ْس ُج ُد فِى ْال َما ِء َوالطِّي ِن- صلى هللا عليه وسلم
Maka dari hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam masih tetap
melaksanakan shalat berjama’ah di masjid meskipun harus bersujud di atas
lumpur dan air.
Insya Allah, pada posting selanjutnya kami akan membahas bentuk keringanan
lainnya di musim penghujan. Semoga Allah mudahkan.
Artikel http://rumaysho.com
[1] Shalat jama’ah tidaklah wajib bagi wanita dan ini berdasarkan kesepatakan
para ulama kaum muslimin. Akan tetapi, shalat jama’ah tetap disyari’atkan bagi
wanita -secara global- menurut mayoritas para ulama. Lihat Shahih Fiqh Sunnah,
Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/508, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] Lihat Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 107,
Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1426 H.
[8] Ibnu Hazm mengatakan bahwa Dhojnan adalah suatu daerah di antara Mekah
dan Madinah. (Muhalla, 3/162, Mawqi’ Ya’sub)