Hâsyim bin 'Abd al-Manâf (Bahasa Arab: ( )هاشم بن عبد منافmeninggal 497) adalah pendiri dari
Bani Hasyim, dan kakek dari Nabi Muhammad dan Ali bin Abu Thalib. Nama sesungguhnya
adalah Amar dan bergelar Ala. Ia merupakan saudara kembar dari 'Abd asy-Syams.[1]
Saudara Kembar
Hâsyim dan 'Abd asy-Syams merupakan saudara kembar. Diriwayatkan oleh para sejarawan
bahwa pada saat kelahiran Hâsyim dan 'Abd asy-Syams, sebuah jari Hâsyim tertusuk ke dahi
'Abd asy-Syams. Darah mengalir deras ketika mereka dipisahkan, dan orang-orang menganggap
kejadian ini sebagai pertanda buruk.[1]
Hal ini dapat dilihat dari kenyataan sejarah, dimana Bani Hâsyim, yang menurunkan Ali dan
Bani 'Abd asy-Syams yang menurunkan Bani Umayyah, melalui Muawiyah dimana kemudian
terjadi Pertempuran Shiffin. Syahidnya Husain di Karbala atas perintah Yazid yang merupakan
keturunan dari Bani Umayyah. Selain itu perang yang terus menerus antara Bani Abbasiyah—
keturunan Bani Hâsyim— dan Bani Umayyah.
Terjadi peristiwa di Mekkah, dimana kaum wanita dari Bani 'Abd al-Manâf membawa secawan
minyak wangi wangi dan meletakkannya di sebelah Ka'bah. Hâsyim dan saudara-saudaranya
serta seluruh pengikutnya mencelupkan tangan mereka ke dalam cawan dan mengangkat sumpah
bersama untuk tidak saling mengganggu satu sama lain, kemudian menggosokkan tangannya
yang harum di atas batu Ka'bah sebagai tanda tercapainya kesepakatan. Kelompok ini dikenal
dengan sebagai kelompok Harum (al-Muththayyibun). Para pengikut dari Bani 'Abd al-Dâr juga
mengangkat sumpah membentuk suatu kelompok yang dikenal dengan Kelompok Sekutu (al-
Ahlaf).[3]
Hampir terjadi peperangan di antara dua kelompok tersebut yang akibatnya dapat memusnahkan
Quraisy, kalau tidak cepat dilakukan perdamaian, selain itu untuk menegakkan peraturan
pelarangan perang di wilayah Ka'bah dan kawasan Mekkah. Akhirnya disepakati bahwa Bani
'Abd al-Dâr berhak memegang kunci Ka'bah, panji dan pimpinan rapat serta tempat tinggal
mereka harus diteruskan fungsinya sebagai Dar an-Nadwah atau Rumah Majelis. Sedangkan
Bani 'Abd al-Manâf berhak menetapkan pajak serta menyediakan makanan dan minuman bagi
para jamaah haji. [3] [4]
Sebagai contoh dari kepemimpinan Hâsyim, bilamana tiba bulan Djulhijjah, ia datang ke Ka'bah,
bersandar di dindingnya dan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
"Wahai kaum Quraisy, kamu adalah yang paling bijaksana dan paling mulia di kalangan
orang Arab. Ras kamu adalah yang terbaik di antara semua ras. Allah Yang Mahakuasa
memberikan kepadamu tempat di sisi rumah-Nya sendiri dan telah menganugerahkan
kepada kamu kelebihan dalam hal ini di atas seluruh keturunan Ismail."
"Wahai kaumku, berhati-hatilah! Para pengunjung Rumah Allah datang kepada kamu
bulan ini dengan kenikmatan luar biasa. Mereka adalah para tamu Allah, dan kewajiban
kamu adalah menerima mereka. Ada banyak orang fakir miskin di antara mereka, yang
datang dari tempat-tempat jauh. Saya bersumpah demi Tuhan Rumah ini, apabila saya
cukup kaya untuk menjamu semua tamu Allah maka saya tidak akan mendesak kamu
untuk memberikan bantuan. Namun, sekarang saya menafkahkan semua yang dapat saya
nafkahkan, dan apa yang telah saya peroleh dengan jalan halal."
"Saya bersumpah kepada kamu demi kehormatan Rumah ini bahwa kamu tidak boleh
menafkahkan, untuk tujuan ini, apa yang telah kamu serobot, atau memberikan atau
menafkahkan apa pun secara munafik atau karena terpaksa. Apabila seseorang tak ingin
membantu, ia bebas untuk tidak menafkahkan apapun."[1]
Hâsyim membangun dua rute perjalanan kafilah besar dari Mekkah; pada musim dingin, kafilah
berangkat ke Yaman dan pada saat musim panas kafilah ke barat laut Arab, dan di antara dua
musim itu ke Palestina dan Syria, dimana Syria dan Palestina masa itu merupakan bagian dari
kekuasaan Byzantium (masih di bawah Romawi).[3]
Hâsyim mengadakan pula perjanjian dengan penguasa Bani Ghassan di Syria, setelah itu
diadakan pula perjanjian oleh saudaranya 'Abd asy-Syams dengan raja Ethiopia, berturut-turut
kemudian Muththalib dengan Yaman dan Naufal dengan raja Iran (Sasaniyyah). Menurut
perjanjian-perjanjian tersebut barang-barang dapat diperdagangkan secara bebas dengan berbagai
negara. Hal ini menyelesaikan banyak kesulitan dan memunculkan banyak usaha dagang di
Mekkah, yang terus berlangsung hingga datangnya Islam.[1]
Umayyah, putra dari 'Abd asy-Syams, merasa cemburu atas kebesaran dan martabat pamannya,
Hâsyim. Ia berusaha menarik simpati rakyat kepada dirinya dengan memberikan banyak hadiah,
namun meskipun begitu ia tidak dapat mendongkel Hâsyim dari kedudukannya. Sebaliknya
usahanya untuk memfitnah dan mencemari pamannya tersebut menambah kehormatan Hâsyim di
hati penduduk.[1]
Akhirnya ia mendesak pamannya agar mereka mendatangi salah seorang ahli nujum di tanah
Arab, dan hanya orang yang dikukuhkan oleh ahli nujum itulah yang berhak memegang kendali
pemerintahan. Hâsyim menyetujui hal tersebut dengan dua syarat. Pertama, pihak yang kalah
harus mengurbankan seratus ekor unta bermata hitam dalam musim haji. Kedua, ia juga harus
meninggalkan Mekkah selama sepuluh tahun. Ternyata ahli nujum, Asfan melihat Hâsyim. Ia
pun memujinya dan memberikan keputusan yang menguntungkannya. Karena itu Umayyah
terpaksa meninggalkan Mekkah dan tinggal selama sepuluh tahun di Syria.[1]
Efek dari permusuhan ini berlangsung turun menurun hingga 130 tahun setelah kedatangan
Islam. Riwayat di atas, di samping menyoroti asal-usul permusuhan antara kedua keluarga, juga
menjelaskan penyebab pengaruh Bani Umayyah di Syria. Hubungan yang terjalin lama dengan
Syria menyiapkan tempat bagi pemerintahan mereka di sana, khususnya Damaskus sebagai pusat
pemerintahan Bani Umayyah.[1]
[sunting] Pernikahan
Kedua rute perjalanan kafilah yang dibangun Hâsyim mengikuti rute minyak wangi kuno;
dimana salah satu pemberhentian utama dari kafilah musim panas adalah oasis di Yatsrib,
sebelas hari perjalanan unta ke utara Mekkah. Dulu oasis ini dikuasai oleh kaum Yahudi, tetapi
sekarang dikuasai oleh suku bangsa Arab dari Arabia Selatan. Dalam masyarakat Arab Yatsrib
dikenal tradisi matriakal-dimana pihak perempuan sebagai pewaris utama-, secara kolektif
mereka dikenal sebagai Bani Qaylah, merujuk nama leluhur mereka, kemudian mereka terbagi
dalam dua suku yang disebut Bani 'Aus dan Bani Khazraj, merujuk kedua putra Qaylah.[3]
Salah seorang wanita Bani Khazraj yang sangat berpengaruh adalah Salmâ binti 'Amr, dari suku
Najjâr. Hâsyim melamar untuk menikahinya. Salmâ mau asal ia tetap diperbolehkan memimpin
masyarakatnya. Ketika melahirkan seorang putra, ia mengasuhnya di Yatsrib hingga berumur
kira-kira empat belas tahun. Hâsyim tidak melarangnya agar si anak tahan terhadap berbagai
penyakit padang pasir yang lebih berbahaya bagi pendatang baru ketimbang bagi penduduk asli.
Sebab penduduk daerah tropis lebih kuat dibandingkan penduduk Mekkah. Selain itu, ia sering
bolak-balik ke Syria sehingga dapat bertemu dan tinggal bersama Salmâ dan putranya yang
diberi nama Syaibah yang kemudian dikenal dengan nama 'Abd al-Muththalib.[3]
[sunting] Keturunan
Menurut Ibnu Hisham, putra-putranya adalah: