Anda di halaman 1dari 14

Ekstraksi Minyak Alga dari Spirulina Sp

Sebagai Bahan Baku Alternatif pada Proses Pembuatan Biodiesel

Disusun oleh:

M. Firdaus (061092xxxx)
Rosita Ardhyasari (0610923058)

JURUSAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2009
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banyak hal yang mengakibatkan semakin mahalnya harga minyak bumi.


Namun satu fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa minyak bumi akan habis pada
suatu saat. Minyak bumi adalah sumber energi yang tidak bisa diperbarui, minyak bumi dapat
diambil dan dipergunakan selama persediaan di dalam perut bumi masih ada (Baharta, 2007).
Motor diesel yang ada saat ini sebagian besar menggunakan bahan bakar dari minyak
bumi, yaitu solar atau diesel. Beberapa tahun lalu harga solar di Indonesia terpaut sangat jauh
lebih murah dibanding harga bensin, namun dengan perubahan kebijakan pemerintah yang
berusaha melepaskan diri dari jerat subsidi, maka harga solarpun melambung tinggi. Oleh
sebab itu sewajarnya jika kita mencari bahan bakar alternatif yang dapat digunakan oleh
motor diesel. Salah satunya adalah bahan bakar yang dihasilkan dari tanaman atau hewan
yang dikenal dengan biodiesel (Baharta, 2007).
Biodiesel adalah semua bahan bakar yang terbuat dari minyak nabati atau
lemak hewan yang merupakan transformasi energi dari matahari menjadi energi kinetik yang
paling mudah, bersih dan efisien, dan dapat diperbarui serta memiliki kesetimbangan energi
yang tinggi (Blair, 2004). Biodiesel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa ester
alkil/alkil asam-asam lemak (biasanya ester metil) yang dibuat dari minyak nabati melalui
proses trans atau esterifikasi. Istilah biodiesel identik dengan bahan bakar murni. Minyak
nabati sebagai sumber utama biodiesel dapat dipenuhi oleh berbagai macam jenis tumbuhan
tergantung pada sumberdaya utama yang banyak terdapat di suatu tempat / negara. Indonesia
mempunyai banyak sumber daya untuk bahan baku biodiesel. Salah satu sumber minyak
nabati yang potensial sebagai bahan baku biodiesel yang terdapat di Indonesia yaitu alga
(Anonima, 2008).
Di dalam alga terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin,
mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan alga sebagai komoditi
perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang terdapat
dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-
lain (www.energi.lipi.go.id). Keuntungan lain yang dimiliki oleh alga adalah tidak
diperlukannya peralatan pertanian, seperti didarat, didalam budidaya alga, tanpa penyemaian
benih, gas CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan adanya
pengambilan hasil panen yang kontinyu mengingat singkatnya waktu tanam alga yaitu satu
minggu (Soerawidjaja, 2005). Keunggulan alga dibandingkan bahan nabati lain adalah proses
pengambilan minyak dilakukan tanpa penggilingan dan langsung diekstrak dengan bantuan
zat pelarut (ekstraksi CO2, ekstraksi ultrasonik, dan osmotik). Prediksi Schultz (2006) akan
dihasilkan minyak alga sebesar 7660 liter untuk setiap hektar alga yang ditanam. Angka
tersebut lebih besar dibandingkan dengan minyak nabati yang diperoleh dari tumbuhan-
tumbuhan untuk luas lahan yang sama.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan antara lain:

1. Bagaimanakah proses pembuatan biodiesel dari alga spirulina?


2. Bagaimanakah efektifitas dan prospek jangka panjang biodiesel dari alga spirulina?

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka dalam makalah ini
dibatasi pada pembuatan biodiesel dari minyak yang terkandung dalam alga spirulina dan
efektifitas serta prospek jangka panjang biodiesel dari alga spirulina.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari makalah ini adalah untuk:


1. Mengetahui proses pembuatan biodiesel dari alga spirulina.
2. Mengetahui efektifitas dan prospek jangka panjang biodiesel dari alga spirulina.

1.5 Manfaat Penulisan

Melalui penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah


tentang efektifitas biodiesel yang diperoleh dari minyak yang terkandung dalam alga
spirulina sehingga diharapkan dapat mejadi suatu alternatif penggunaan biodiesel dari alga
spirulina sebagai pengganti bahan bakar solar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Alga Spirulina Sp

Alga merupakan tumbuhan autrotrof dan fotosintesis. Alga mempunyai bentuk yang
bermacam-macam, ada yang menyerupai benang dan ada yang berbentuk tumbuhan tinggi.
Ciri utamanya adalah tidak mempunyai alat berupa akar, batang, dan daun sesungguhnya
seperti yang dimiliki oleh tumbuhan besar lainya (www.ristek.go.id).

Dalam artikelnya Michael Briggs mengatakan bahwa alga adalah tumbuhan yang
paling efektif proses fotosintesisnya.Hal ini karena alga mampu mengoptimalkan sinar
matahari dalam proses fotosintesis, walaupun sinar matahari terhalang oleh permukaan air
(Briggs, 2004). Alga sangat besar perananya dalam biogeochemistry, yaitu sebagai bagian
penting dari siklus N (nitrogen), O (oksigen), S (Belerang), P (phosphate), dan C (karbon)
(Graham dan Wilcox, 2000).

Alga dibagi menjadi 9 Phylum yaitu Cyanobacteria, Glaucophyta, Euglenophyta,


Cryptophyta, Haptophyta, Dinophyta, Ochrophyta (salah satu jenisnya adalah Alga coklat),
Rhodophyta (Alga hijau), dan Chlorophyta (Alga merah). Menurut ukuranya alga dibedakan
menjadi dua jenis yaitu macroalgae, yang berukuran besar dan microalgae, yang berukuran
mikrometer (Graham dan Wilcox, 2000). Macroalga dibagi menjadi 3 jenis, yaitu (1) Alga
coklat, yang dapat mencapai ukuran paling besar, biasa disebut dengan seaweed (rumput
laut), (2) Alga hijau, dan (3) Alga merah (en.wikipedia.org).

Microalgae (Alga mikro) merupakan jenis ganggang yang paling banyak


dikembangkan untuk keperluan riset dan teknologi. Hal ini karena microalgae mempunyai
beberapa keuntungan, yaitu pertumbuhanya lebih cepat dan kandungan fatty acid lebih besar
(Cohen, 1999; Sheehan dkk, 1998).

Dua faktor terpenting yang dibutuhkan bagi pertumbuhan alga adalah sinar matahari
yang cukup dan karbondioksida. Selain itu alga juga membutuhkan beberapa nutrisi
tambahan seperti nitrogen, phosphate, dan zat besi agar pertumbuhanya cepat dan optimal.
Beberapa jenis alga juga membutuhkan silikon (Graham dan Wilcox, 2000).

Alga dapat berkembang pada air laut dan air tawar, bahkan pada daerah yang basah
dan lembab seperti pegunungan dan derah salju. Alga mempunyai ukuran yang bervariasi,
dari yang panjangnya satu mikrometer sampai raksasa laut yang tingginya lebih dari 50 meter
(Graham dan Wilcox, 2000). Alga sejenis rumput laut (seaweed) tingginya dapat mencapai
70 meter. Alga dalam bentuk mikro biasa disebut dengan phytoplankton yang merupakan
sumber rantai makanan dilaut (en.wikipedia.org).
Jenis alga yang sudah dikenal dan dibudidayakan di Indonesia adalah rumput laut
(seaweed). Rumput laut berbentuk koloni dan berkembang pada perairan yang dangkal, pesut
jernih, berpasir, dan berlumpur. Rumput laut biasanya menempel pada karang mati, potongan
kerang, dan substrat yang keras lainya, baik yang terbentuk secara alami atau buatan
(artificial) (www.ristek.go.id).

2.2 Kandungan Alga

Menurut Sheehan dkk (1998) dari departemen energi Amerika Serikat, ada 3
komponen zat utama yang terkandung dalam alga, yaitu (1) Karbohidrat, (2) protein, dan (3)
Triacyglycerols. Karbohidrat dapat difermentasikan menjadi alkohol, protein dapat diolah
menjadi produk makanan dan kecantikan, dan Triacyglycerols dapat diubah fatty acid.
Kombinasi dari pemanfaatan 3 komponen diatas dapat menghasilkan makanan ternak.

Komposisi Kimia Protein Karbohidrat Lemak Nucleic Acid

Scenedesmus obliquus 50-56 10-17 12-14 3-6

Scenedesmus quadricauda 47 - 1.9 -

Scenedesmus dimorphus 8-18 21-52 16-40 -

Chlamydomonas rheinhardii 48 17 21 -

Chlorella vulgaris 51-58 12-17 14-22 4-5

Chlorella pyrenoidosa 57 26 2 -

Spirogyra sp. 6-20 33-64 11-21 -

Dunaliella bioculata 49 4 8 -

Dunaliella salina 57 32 6 -

Euglena gracilis 39-61 14-18 14-20 -

Prymnesium parvum 28-45 25-33 22-38 1-2

Tetraselmis maculata 52 15 3 -

Porphyridium cruentum 28-39 40-57 9-14 -

Spirulina platensis 46-63 8-14 4–9 2-5

Spirulina maxima 60-71 13-16 6-7 3-4.5

Synechoccus sp. 63 15 11 5

Anabaena cylindrica 43-56 25-30 4-7 -

Tabel 1 Komposisi Kimia Alga Ditunjukkan dalam Zat Kering (%)(Sumber: Becker, (1994))
2.3 Biodiesel dan Mekanisme Pembuatannya

Biodiesel memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar diesel petroleum.


Kelebihan tersebut antara lain (Haryanto, 2002) :
1. Merupakan bahan bakar yang tidak beracun dan dapat dibiodegradasi
2. Mempunyai bilangan setana yang tinggi.
3. Mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon dan NOx.
4. Terdapat dalam fase cair.
Biodiesel diproses berdasarkan reaksi kimia yang disebut dengan transesterifikasi.
Proses ini pada dasarnya adalah mereaksikan minyak nabati dengan metanol atau etanol,
yang dibantu dengan katalisator soda api (NaOH) atau KOH (Anonim b, 2008).
Molekul dari minyak dikenal terdiri dari triester yang ditempeli oleh molekul gliserol
dan juga dikenal sebagai trigliserida. Sekitar 20 % molekul minyak adalah gliserol. Ester
dalam minyak adalah bahan dasar dari minyak biodiesel. Gliserol menjadikan minyak sayur
menebal dan lengket. Oleh karena itu, selama proses pembuatan biodiesel ester dipisahkan
dari gliserol (Anonim b, 2008).
Untuk memecah trigliserida, perlu ditambahkan katalis. Katalis akan memecah
trigliserida dan melepaskan ester. Pada saat ester terpisah, mereka akan dikombinasikan
dengan alkohol. Katalis akan menggabungkannya dengan gliserol, dan kemudian jatuh ke
dasar container reactor biodiesel atau tangki yang memproduksi alkil ester dan sabun gliserol.
Katalis yang biasa digunakan adalah NaOH (Sodium Hidroksida/Soda Kostik) dan KOH
(Kalium Hidroksida). Namun bila menggunakan KOH sebagai katalis, maka membutuhkan
jumlah bahan yang lebih banyak (Anonim b, 2008).
Pada reaksi transesterifikasi minyak tanaman, trigliserida direaksikan dengan alkohol
dengan adanya asam atau basa kuat menghasilkan campuran asam lemak alkil ester dan
gliserol. Proses keseluruhan adalah urutan dari tiga reaksi reversibel, dimana monogliserida
terbentuk sebagai intermediet. Reaksi stoikiometri membutuhkan 1 mol trigliserida dan 3 mol
alkohol. Alkohol ditambahkan berlebih untuk meningkatkan hasil alkil ester yang terbentuk
dan agar tejadi pemisahan dari gliserol. Beberapa faktor seperti jenis katalis (basa atau asam),
perbandingan molar alkohol/minyak tanaman, temperatur, kemurnian reaktan, dan kandungan
asam lemak bebas berpengaruh terhadap jalannya reaksi transesterifikasi (Schuchardt, 1997).
Penghilangan asam lemak bebas dapat dilakukan melalui reaksi esterifikasi. Pada
reaksi ini asam lemak bebas direaksikan dengan metanol menjadi sabun sehingga tidak
mengurangi perolehan biodiesel. Proses transesterifikasi menggunakan alkohol, proses ini
akan mengubah trigliserida menjadi alkil ester. Tujuannya adalah untuk menurunkan
viskositas minyak dan meningkatkan daya pembakaran sehingga dapat digunakan sesuai
standar biodiesel (Anonimb, 2008).
Mekanisme reaksi transesterifikasi dari minyak tanaman menggunakan katalis basa
ditunjukkan pada Gambar 4:

Gambar 2. Reaksi transesterifikasi minyak tanaman menggunakan katalis basa


Reaksi antara basa dengan alkohol, menghasilkan sebuah alkoksida dan katalis yang
terprotonasi (tahap 1). Alkoksida berperan sebagai nukleofil yang menyerang gugus karbonil
dari turunan trigliserida (tahap 2), sehingga terbentuk alkil ester dan anion dari digliserida
(tahap 3). Pada tahap terakhir yaitu deprotonasi katalis, terbentuk katalis seperti semula
(tahap 4), yang dapat digunakan kembali untuk bereaksi dengan molekul alkohol berikutnya,
memulai siklus katalitik lainnya. Digliserida dan monogliserida akan diubah dengan
mekanisme yang sama untuk menghasilkan campuran alkil ester dan gliserol (Schuchardt,
1997).
Metil ester asam lemak memiliki rumus molekul Cn-1H2(n-r)-1CO–OCH3 dengan nilai n
yang umum adalah angka genap antara 8 sampai dengan 24 dan nilai r yang umum 0, 1, 2,
atau 3. Beberapa metil ester asam lemak yang dikenal adalah (Haryanto, 2002) :
1. Metil stearat, C17H35COOCH3 [n = 18 ; r = 0]
2. Metil palmitat, C15H31COOCH3 [n = 16 ; r = 0]
3. Metil laurat, C11H23COOCH3 [n = 12 ; r = 0]
4. Metil oleat, C17H33COOCH3 [n = 18 ; r = 1]
5. Metil linoleat, C17H31COOCH3 [n = 18 ; r = 2]
6. Metil linolenat, C17H29COOCH3 [n = 18 ; r = 3]
Kelebihan metil ester asam lemak dibanding asam-asam lemak lainnya :
1. Ester dapat diproduksi pada suhu reaksi yang lebih rendah.
2. Gliserol yang dihasilkan dari metanolisis adalah bebas air.
3. Pemurnian metil ester lebih mudah dibanding dengan lemak lainnya karena titik didihnya
lebih rendah.
4. Metil ester dapat diproses dalam peralatan karbon steel dengan biaya lebih rendah daripada
asam lemak yang memerlukan peralatan stainless steel.
Metil ester asam lemak tak jenuh memiliki bilangan setana yang lebih kecil dibanding metil
ester asam lemak jenuh (r = 0). Meningkatnya jumlah ikatan rangkap suatu metil ester asam
lemak akan menyebabkan penurunan bilangan setana.
BAB III

METODOLOGI

Pembuatan biodisel tidak hanya memerlukan bahan baku saja, tetapi juga memerlukan
alkohol (methanol atau ethanol), yang jumlahnya sekitar 10 % dari campuran (Briggs, 2004). Alkohol
berguna untuk menurunkan viskositas minyak nabati dengan proses esterifikasi, sehingga biodiesel
mempunyai sifat-sifat yang mirip dengan minyak diesel (Rahman, 1995). Alkohol dapat diperoleh
dengan cara fermentasi karbohidrat yang terkandung dalam alga. Karbohidrat merupakan produk sisa
dari alga setelah diambil minyak nabatinya (Sheehan, 1998).

Dalam artikelnya Briggs (2004) mengatakan bahwa sebelum diproses menjadi biodiesel alga harus
diekstraksi terlebih dahulu menjadi minyak nabati. Menurut Sheehan dkk (1998) ada beberapa
tahapan untuk mendapatkan biodiesel dari alga , yaitu :

1. Pengeringan.

2. Ekstraksi Alga menjadi minyak nabati.

3. Esterifikasi minyak nabati menjadi Methyl ester.

Bahan penelitian utama, Spirulina Sp. kering merupakan produk komersial

dan reagen yang digunakan adalah pure analit, meliputi: etanol, HCl dan n-heksan.

Ekstraksi dilakukan skala laboratorium menggunakan labu alas bulat berleher tiga

dilengkapi pendingin balik, termometer dan pengaduk magnetik. Suhu reaksi dijaga

pada 300C menggunakan penangas air dan tekanan atmosferik. Estraksi dilakukan

dengan dua metode yang berbeda yaitu: osmotik (pelarut HCl) dan perkolasi (pelarut

etanol). Adapun variabel penelitian yang diteliti sebagai berikut: untuk metode

osmotik, dipelajari pengaruh volume pelarut (75, 150, dan 200 mL), konsentrasi

larutan (0,5; 1,5; 3; 5 M) dan waktu ekstraksi (60, 90, 120, 150, 180 dan 360 menit).

Sedangkan untuk metode perkolasi, dipelajari pengaruh volume pelarut (75, 150,

dan 200 mL) dan waktu ekstraksi (60, 90, 120, 150, 180 dan 360 menit). Selain itu,

dilakukan ekstraksi menggunakan soxhlet dengan pelarut n-heksan yang digunakan


sebagai metode pembanding dan dasar perhitungan yield minyak alga yang didapat.

Diagram alir penelitian untuk kedua metode secara lengkap di tampilkan pada

Gambar 1 dan Gambar 2.


BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Proses Pembuatan Biodiesel dari Alga

Pengambilan minyak dari alga masih merupakan proses yang mahal sehingga masih harus
dipertimbangkan untuk menggunakan alga sebagai sumber biodiesel. Terdapat beberapa
metode terkenal untuk mengambil minyak dari alga, antara lain:

1. Pengepresan(Expeller/Press)
Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk menghilangkan
air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga dipres dengan alat pengepres
untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam alga. Dengan menggunakan alat
pengepres ini, dapat diekstrasi sekitar 70 – 75% minyak yang terkandung dalam alga.
2. Hexane solvent oil extraction
Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya dengan
menggunakan benzena dan eter. Namum begitu, penggunaan larutan kimia heksana
lebih banyak digunakan sebab harganya yang tidak terlalu mahal.
Larutan heksana dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari alga atau
dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai berikut: setelah minyak
berhasil dikeluarkan dari alga dengan menggunakan alat pengepres, kemudian ampas
(pulp) alga dicampur dengan larutan cyclo-hexane untuk mengambil sisa minyak alga.
Proses selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi minyak dan cyclo-
hexane. Untuk memisahkan minyak dan cyclo-hexane dapat dilakukan proses
distilasi. Kombinasi metode pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi lebih
dari 95% minyak yang terkandung dalam alga.
Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk mengekstraksi minyak dari
tumbuhan sangat beresiko. Misalnya larutan benzena dapat menyebabkan penyakit
kanker, dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak.
3. Supercritical Fluid Extraction
Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan
sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida inilah
yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari alga.
Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung dalam alga.
Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan tekanan.

Beberapa metode yang kurang terkenal:

1. Osmotic Shock
Dengan menggunakan osmotic shock maka tekanan osmotik dalam sel akan berkurang
sehingga akan membuat sel pecah dan komponen di dalam sel akan keluar. Metode
osmotic shock memang banyak digunakan untuk mengeluarkan komponen-komponen
dalam sel, seperti minyak alga ini.
2. Ultrasonic Extraction
Pada reaktor ultrasonik, gelombang ultrasonik digunakan untuk membuat gelembung
kavitasi (cavitation bubbles) pada material larutan. Ketika gelembung pecah dekat
dengan dinding sel maka akan terbentuk gelombang kejut dan pancaran cairan (liquid
jets) yang akan membuat dinding sel pecah. Pecahnya dinding sel akan membuat
komponen di dalam sel keluar bercampur dengan larutan

4.2 Pemurnian Produk Biodiesel yang Dihasilkan

4.3 Karakterisasi Biodiesel yang Dihasilkan

4.4 Pengujian Biodiesel

4.4.1 Pengujian di Laboratorium

4.4.2 Pengujian Lapang

4.5 Prospek Biodiesel


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai