Anda di halaman 1dari 20

Evan Saktiendi 2009810022

2011

Pengembangan E-learning: Antara formal dan informal Pendahuluan


Akhir-akhir ini, e-learning menarik perhatian banyak kalangan, dan dipersepsikan sebagai salah satu bentuk sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ) yang paling modern, canggih, dan feasible untuk dilaksanakan, jika suatu institusi memiliki infrastruktur dan konektivitas terhadap jaringan internet. E-learning merupakan generasi kelima dari sistem PTJJ yang memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi secara sangat intensif. Namun demikian, e-learning tidak harus selalu diasosiasikan dengan keterpisahan antara siswa dengan tenaga pengajar secara fisik lintas geografis. Karena pemanfaatan e-learning dapat mengembangkan pembelajaran tatap muka dalam perguruan tinggi konvensional untuk menjadi sistem pembelajaran yang fleksibel (Light & Cox, 2001). Dirancang dengan sistematik, maka e-learning akan memperkaya pembelajaran konvensional dengan menyajikan fleksibilitas bagi siswa. Elearning yang dilaksanakan dalam kampus tertutup dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas, yaitu meningkatkan daya tampung dengan membuka akses perkuliahan melalui pembelajaran e-learning di samping pembelajaran tatap muka. Di samping itu, e-learning dapat juga menjadi perwujudan sistem PTJJ untuk menjadi sistem pembelajaran fleksibel yang dapat menyediakan pemerataan akses terhadap pendidikan berkualitas. Bagi pengelola pendidikan, e-learning dipersepsikan akan dapat memberikan alternatif yang dapat mengatasi masalah kekurangan tempat (space) dan sumberdaya manusia (dosen dan karyawan). Selanjutnya pengelola berharap, dengan e-learning, tentunya akses terhadap pendidikan yang ditawarkan menjadi semakin terbuka, dan peningkatan pendaftaran siswa akan terjadi. Bagi dosen, e-learning dipersepsikan dapat membantu dosen untuk mendistribusikan materi perkuliahan, sehingga dapat menghemat waktu dosen dengan cara mentransfer materi perkuliahan ke dalam bentuk digital. Selain itu, dosen juga sangat menyadari bahwa internet, sebagai bagian dari e-learning, merupakan sumber yang potensial untuk memperoleh beragam sumber belajar otentik sehingga memungkinkan terjadi interaksi ilmiah yang lebih intensif dan kaya. Bagi siswa, e-learning dipersepsikan memiliki fleksibilitas yang mempermudah mereka untuk terlibat dalam proses belajar melintasi garis ruang dan waktu.

Evan Saktiendi 2009810022

2011

Sekalipun dipersepsikan cukup banyak manfaat dari e-learning, prakondisi institusional dan perubahan tradisi pembelajaran perlu menjadi perhatian agar dapat diselenggarakan e-learning yang efektif dan efisien. Tidak dapat disangkal, e-learning merupakan salah satu pilihan pembelajaran masa depan yang sangat menjanjikan dan pada saat ini seakan menjadi indikator upaya pembaharuan di perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang tidak ikut serta dalam memanfaatkan e-learning dipersepsikan akan segera tertinggal dan kehilangan kredibilitasnya. Dalam upaya untuk memperkenalkan elearning kepada kalangan perguruan tinggi, terutama dosen pasca sarjana di perguruan tinggi di Indonesia, pada tahun 2005 SEAMOLEC bekerja sama dengan Ditjen Dikti telah menyelenggarakan pelatihan Pengembangan Mata Kuliah Berbasis Web.

E-learning Sejarah E-Learning


E-learning atau pembelajaran elektronik pertama kali diperkenalkan oleh universitas Illionis di Urbana-Champaign dengan menggunakan sistem instruksi berbasis komputer (computer-assisted instruktion) dan komputer bernama PLATO. Sejak saat itu, perkembangan e-learning berkembang sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi. Berikut perkembangan e-learning dari masa ke masa : Tahun 1990 : Era CBT (Computer-Based Training) di mana mulai bermunculan aplikasi e-learning yang berjalan dalam PC standlone ataupun berbentuk kemasan CD-ROM. Isi materi dalam bentuk tulisan maupun multimedia (Video dan Audio) DALAM FORMAT mov, mpeg-1, atau avi. Tahun 1994 : Seiring dengan diterimanya CBT oleh masyarakat sejak tahun 1994 CBT muncul dalam bentuk paket-paket yang lebih menarik dan diproduksi secara masal. Tahun 1997 : LMS (Learning Management System). Seiring dengan perkembangan teknologi internet, masyarakat di dunia mulai terkoneksi dengan internet. Kebutuhan akan informasi yang dapat diperoleh dengan cepat mulai dirasakan sebagai kebutuhan mutlak dan jarak serta lokasi bukanlah halangan lagi. Dari sinilah muncul LMS. Perkembangan LMS yang makin pesat membuat pemikiran baru untuk mengatasi masalah interoperability antar LMS yang satu dengan lainnya secara standar. Bentuk standar yang muncul misalnya

Evan Saktiendi 2009810022

2011

standar yang dikeluarkan oleh AICC (Airline Industry CBT Commettee), IMS, IEEE LOM, ARIADNE, dsb. Tahun 1999 sebagai tahun Aplikasi E-learning berbasis Web. Perkembangan LMS menuju aplikasi e-learning berbasis Web berkembang secara total, baik untuk pembelajar (learner) maupun administrasi belajar mengajarnya. LMS mulai digabungkan dengan situs-situs informasi, majalah dan surat kabar. Isinya juga semakin kaya dengan perpaduan multimedia, video streaming serta penampilan interaktif dalam berbagai pilihan format data yang lebih standar dan berukuran kecil.

Untuk menyampaikan pembelajaran nya, e-learning tidak harus selalu menggunakan internet. Banyak media -media lain yang dapat digunakan selain internet. Seperti intranet, cd, dvd, mp3, PDA dan lain-lain.. Penggunaan teknologi internet pada e-learning umumnya dengan pertimbangan memiliki jangkauan yang luas. Ada juga beberapa lembaga pendidikan dan perusahaan yang menggunakan jaringan intranet sebagai media e-learning sehingga biaya yang disiapkan relatif lebih murah. Keuntungan lain belajar dengan metode e-learning seperti menghemat waktu , mengenhemat biaya perjalanan, menghemat biaya pendidikan, menjangkau wilayah geograis yang luas dan melatih kemandirian para pelajar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.semoga metode pembelajaran ini menjadi solusi pendidikan di indonesia.

Pengertian E-Learning
Sekilas perlu kita pahami ulang apa e-Learning itu sebenarnya. ELearning adalah pembelajaran jarak jauh (distance Learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer dan/atau Internet. ELearning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas. E-Learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-Learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola eLearning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada.

Evan Saktiendi 2009810022 Pembelajaran formal vs. informal

2011

E-Learning bisa mencakup pembelajaran secara formal maupun informal. E-Learning secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola eLearning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya, atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaanperusahaan (biasanya perusahan konsultan) yang memang bergerak di bidang penyediaan jasa e-Learning untuk umum. E-Learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi, organisasi dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas (biasanya tanpa memungut biaya). Pembelajaran yang ditunjang oleh para ahli di bidang masing-masing. Walaupun sepertinya e-Learning diberikan hanya melalui perangkat komputer, e-Learning ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola oleh tim yang terdiri dari para ahli di bidang masing-masing, yaitu: Subject Matter Expert (SME) atau nara sumber dari pelatihan yang disampaikan Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME menjadi materi e-Learning dengan memasukkan unsur metode pengajaran agar materi menjadi lebih interaktif, lebih mudah dan lebih menarik untuk dipelajari Graphic Designer (GD), mengubah materi text menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif dan menarik untuk dipelajari Ahli bidang Learning Management System (LMS). Mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya. Di sini, pembelajar bisa melihat modul-modul yang ditawarkan, bisa mengambil tugas-tugas dan test-test yang harus dikerjakan, serta melihat jadwal diskusi secara maya dengan instruktur, nara sumber lain, dan

Evan Saktiendi 2009810022

2011

pembelajar lain. Melalui LMS ini, siswa juga bisa melihat nilai tugas dan test serta peringkatnya berdasarkan nilai (tugas ataupun test) yang diperoleh. E-Learning tidak diberikan semata-mata oleh mesin, tetapi seperti juga pembelajaran secara konvensional di kelas, e-Learning ditunjang oleh para ahli di berbagai bidang terkait. Pengembangan mata kuliah berbasis web merupakan langkah awal dalam persiapan menuju penerapan e-learning. E-learning didefinisikan sebagai seperangkat paket-paket informasi untuk pembelajaran (dalam satu mata kuliah) yang tersedia di mana saja setiap saat melalui sistem penyampaian elektronik, dalam bentuk web-based learning, computer-based learning, virtual classroom, atau digital collaboration. Paket informasi tersebut terdiri dari berbagai objek dan unit, termasuk tes dan alat uji yang memungkinkan seseorang melakukan ujian atas kemampuannya setiap saat. Paket informasi tersebut dapat berbentuk beragam media - tekstual (teks), visual (video, satellite broadcast), audio, gambar/ilustrasi, dan lainlain. E-learning berfokus pada satu atau beberapa mata kuliah dengan sistem penyampaian berbasis jaringan. Proses pembelajaran dalam e-learning berintikan sistem belajar terbuka, yaitu akses yang terbuka dan kebebasan memilih ragam sumber belajar serta alur proses belajar oleh siswa. Pembelajaran e-learning yang secara intensif memanfaatkan the world wide web (WWW) pada prinsipnya memberikan apa yang diinginkan setiap orang (dalam beragam bentuk), di tempat yang diinginkannya, pada saat yang diinginkannya ( to give what people want, where they want it, and when they want it -www). Dengan demikian, siswa dapat memperoleh bahan ajar yang sudah dirancang dalam paket-paket pembelajaran yang tersedia dalam beragam situs. Biasanya bahan ajar disediakan dalam bentuk multimedia terpadu. Siswa dapat mempelajari bahan ajar tersebut sendiri, tanpa bantuan belajar apapun atau dari siapapun. Jika diperlukan, siswa dapat memperoleh bantuan belajar dalam bentuk interaksi yang difasilitasikan secara elektronik, yaitu belajar berbantuan komputer (computer assisted learning, atau interactive web pages), belajar berbantuan teanga pengajar secara synchronous (dalam titik waktu yang sama), maupun asynchronous (dalam titik waktu yang berbeda), dan atau belajar berbantuan sumber belajar lain seperti teman dan pakar melalui surat elektronik (e-mail), diskusi (chat-room), perpustakaan (melalui kunjungan ke situs-situs basis informasi

Evan Saktiendi 2009810022

2011

yang ada dalam jaringan internet). Di samping itu, siswa juga memiliki catatan-catatan pribadi dalam note-book. Penilaian hasil belajar mahasiswa (web-based evaluation) juga dapat dilakukan secara terbuka melalui komputer kapan saja mahasiswa merasa siap untuk dinilai (atau embedded/terintegrasi dalam virtual course). Secara umum, proses pembelajaran dalam e-learning dapat menjadi sistem pembelajaran yang tidak tergantung pada tenaga pengajar (instructor independent), atau dapat juga digabungkan dengan proses pembelajaran tatap muka di kelas yang mengandalkan kehadiran tenaga pengajar (instructor dependent). Apapun bentuknya, e-learning membawa perubahan tradisi atau budaya pembelajaran. Dalam e-learning, peran tenaga pengajar sebagai the sole authority of knowledge berubah menjadi fasilitator bagi siswa untuk berinteraksi dengan berbagai sumber belajar dan bersama siswa menemukan berbagai sumber belajar dan informasi terkini dalam bidang ilmunya. Dalam hal ini, tenaga pengajar dan siswa tidak mungkin lagi untuk bergantung hanya pada satu sumber belajar saja. Sumber belajar dalam elearning tidak hanya terbatas pada ruang kelas, satu orang tenaga pengajar, satu buku teks, atau sumber yang terdapat di lingkungan institusi pendidikan itu sendiri, melainkan terbuka lintas institusi, lintas negara, dan lintas waktu. Sementara itu, adanya tuntutan untuk berinteraksi dengan beragam sumber belajar mengakibatkan siswa perlu menguasai keterampilan navigasi informasi (knowledge navigation), keterampilan berkomunikasi dengan beragam sumber belajar, dan keterampilan belajar mandiri. Keterampilan tersebut merupakan rangkaian kompetensi yang harus dikuasai siswa dan menjadi indikator kualitas siswa dalam e-learning. Siswa diasumsikan mampu untuk belajar secara mandiri melalui interaksinya dengan beragam sumber belajar. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, proses pembelajaran dalam e-learning sangat terfokus pada siswa dan kompetensi, atau pengalaman belajar. Secara umum, e-learning mampu menyajikan pengalaman belajar yang bermakna melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang intensif. Secara khusus, e-learning mampu untuk:
1. memfasilitasi komunikasi dan interaksi antara siswa dengan tenaga

pengajar dan nara sumber ahliKomunikasi antara tenaga pengajar dan nara sumber ahli dengan siswa merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran. Komunikasi tersebut mencerminkan proses

Evan Saktiendi 2009810022

2011

interaksi dan negosiasi makna bagi siswa untuk mencapai makna dalam pembelajaran. 2. meningkatkan kolaborasi antar siswa untuk membentuk komunitas belajar Kolaborasi antar siswa dapat membantu siswa untuk memperoleh pembelajaran yang bermakna, daripada jika siswa belajar sendirian. Kolaborasi juga menciptakan keterhubungan antar siswa untuk saling berbagi dan saling membantu dalam memecahkan masalah.
3. mendorong siswa untuk secara mandiri mencari sumber belajar dan

mencapai makna Siswa akan termotivasi untuk secara mandiri mencari berbagai sumber belajar dan mencapai kebermaknaan dari proses pencariannya. Siswa tidak tergantung lagi pada instruksi dan atau keberadaan tenaga pengajar. 4. memberikan umpan balik lintas ruang dan waktu. Dalam sistem elearning, siswa dapat setiap saat menguji dirinya sendiri untuk mengetahui kemajuannya, kesalahannya, dan perbaikan yang perlu dilakukannya. 5. memberikan akses kepada beragam sumber belajar E-learning memungkinkan siswa dan tenaga pengajar untuk mengakses beragam sumber belajar yang tersedia di internet, berupa situs, artikel ilmiah, gambar/foto, video, audio, paket-paket pembelajaran, nara sumber ahli, dan lain-lain. Sebagai sistem pembelajaran, tersedia berbagai platform untuk e-learning, yang dikenal dengan nama learning management system (LMS) atau content management system (CMS), misalnya Manhattan Virtual Classroom, Claroline, Moodle, A-tutor, WebCT, Blackboard, dan lain-lain. Aplikasi tersebut memungkinkan diintegrasikannya berbagai objek belajar dalam satu paket mata kuliah berbasis web (web-based course) yang utuh. Di samping itu, untuk mendukung sistem e-learning, juga tersedia ujian online yang sangat adaptive pada jenjang kompetensi siswa dan kebutuhan siswa secara individual, misalnya e-Sembler, PARscore, TOEFL, dan lain-lain. Ujian online dapat digunakan untuk menguji penguasaan kompetensi siswa dalam mata kuliah tertentu, atau untuk kebutuhan sertifikasi kompetensi tertentu, atau untuk menguji diri sendiri. Mitos

Evan Saktiendi 2009810022

2011

Agar penerapan e-learning dapat terlaksana, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya tersedianya perangkat keras, perangkat lunak, dan jaringan, serta tingkat melek komputer serta budaya ICT di antara pemakainya. Namun demikian, dari sekian banyak situasi, upaya pemenuhan prakondisi institusional maupun perubahan budaya pembelajaran yang dipersyarakatkan seringkali dipengaruhi oleh berbagai persepsi yang dapat menghambat penerapan ICT atau sebaliknya terlalu menggampangkan situasi. Berikut ini adalah beberapa mitos yang muncul sekitar e-learning. 1. Perkuliahan konvensional dapat langsung dijadikan e-learning melalui proses digitalisasi. Proses perkuliahan konvensional (tatap muka) harus menjadi landasan dalam pengembangan e-learning. Namun, perkuliahan konvensional tidak serta merta menjadi e-learning setelah proses digitalisasi. Sesungguhnya perkuliahan konvensional merupakan proses yang kaya dengan detil interaksi yang seringkali terlewatkan dalam catatan dosen, karena dianggap sudah berjalan dengan sendirinya. Sementara itu, e-learning merupakan proses yang relatif miskin dan mekanistis, yang memerlukan perancangan dan pengembangan yang kreatif untuk menjadikannya sebuah proses belajar yang kaya. Proses digitalisasi materi dan penyediaan beragam materi perkuliahan dalam bentuk digital di internet ataupun melalui LMS tidak menjamin terjadinya proses belajar. Lebih jauh lagi, penyediaan materi perkuliahan dan strategi perkuliahan yang berhasil dalam perkuliahan konvensional tidak menjamin keberhasilan yang sama dalam proses pembelajaran e-learning. Dalam hal ini, diperlukan adaptasi selektif dari materi perkuliahan konvensional menjadi materi dalam e-learning, serta perancangan interaksi dan keterkaitan antar materi perkuliahan dengan siswa dan dosen berdasarkan prinsip-prinsip e-pedagogy. Seorang dosen, misalnya, meminta siswa untuk membentuk kelompok dan berdiskusi tentang tugas yang diberikan. Dalam situasi konvensional, sangat mudah dan cepat siswa untuk membentuk kelompok, karena mereka telah mengenal satu sama lain dan mengetahui minat masing-masing. Sementara itu, dalam e-learning, karena siswa tidak pernah bertemu, proses pembentukan kelompok diskusi menjadi lebih lama dan tidak terlalu mudah. Topik diskusi yang disiapkan dosen dalam bentuk e-text ternyata dipersepsikan membosankan oleh siswa, kemudian siswa menjadi malas log-in, atau mencari sumber informasi lain daripada membaca e-text yang disediakan. Padahal dalam perkuliahan

Evan Saktiendi 2009810022

2011

konvensional, siswa tidak dapat berbuat banyak jika dihadapkan pada dosen yang berceramah atau membaca buku teks sepanjang proses perkuliahan berjalan. 2. Pembelajaran dalam e-learning sangat tergantung pada materi yang disajikan. Proses belajar dalam e-learning merupakan proses belajar yang berkesinambungan. Siswa seyogyanya memperoleh lebih banyak dalam situasi e-learning, daripada sekedar membaca e-text. Dalam hal pengembangan komunitas belajar, dosen dan nara sumber pun termasuk dalam kategori siswa. Interaksi yang terjadi antara dosen, nara sumber, siswa, materi menjadikan proses belajar e-learning bukan sekedar browsing the net atau membaca e-text. Dalam e-learning, siswa memiliki kesempatan interaksi yang luas dengan berbagai nara sumber di luar perguruan tingginya, dan dengan berbagai sumber belajar yang tidak ada dalam koleksi perpustakaan perguruan tingginya. Hal ini biasanya sukar dicapai dalam proses perkuliahan konvensional. Proses telekolaborasi dapat memfasilitasi terjadinya pertukaran informasi dan pengetahuan antar siswa dari berbagai perguruan tinggi ataupun berbagai negara dalam memecahkan suatu masalah. Melalui proses ini, siswa memiliki kesempatan untuk menambah wawasan, bukan sekedar di ruang kelas saja, tetapi juga menjangkau sampai tingkat internasional. Dengan membuka kemungkinan siswa dari perguruan tinggi lain dan atau berbagai negara untuk menjadi anggota proses telekolaborasi, konsep, topik, dan diskusi yang terjadi tidak hanya berfokus pada e-text yang telah disediakan dosen, tetapi diperkaya dengan berbagai contoh dan pengalaman dari konteks yang berbeda-beda. Siswa dapat ditugaskan untuk menjadi moderator secara bergilir dalam diskusi. Hal ini dapat membuka kesempatan bagi siswa untuk tidak hanya belajar tentang konsep dan topik yang didiskusikan dari berbagai perspektif, tetapi juga belajar untuk menjadi pemimpin ataupun dosen yang dituntut objektif, berpikiran terbuka, dan dapat memandu teman-temannya. Lebih jauh lagi, karena isu dan pertanyaan tentang topik yang didiskusikan muncul atau berasal dari siswa sendiri, proses belajar menjadi bermakna bagi siswa, dan lebih otentik. Dalam hal ini, baik siswa maupun dosen yang terlibat dalam e-learning dengan sendirinya akan belajar e-learning strategy dan e-pedagogy, bukan sekedar membaca atau menghafalkan e-text. 3. Pembelajaran e-learning akan menjadikan siswa terisolasi

Evan Saktiendi 2009810022

2011

Banyak pertanyaan yang diajukan bahwa jika siswa terlibat dalam pembelajaran e-learning, belajar dan bekerja menggunakan komputernya sendiri, di rumah atau di manapun siswa itu berada, apakah siswa akan belajar sendirian?. Siswa tidak akan bertemu banyak teman, tidak akan berdiskusi dengan teman lain, dll. Jika pembelajaran e-learning dirancang sebagai penyajian serangkaian e-text, tanpa memperhitungkan faktor interaksi sosial, maka pembelajaran e-learning dapat menjadi sangat membosankan dan sunyi. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Naisbitt (1999) bahwa semakin tinggi pemanfaatan teknologi mutakhir, semakin tinggi interaksi sosial yang terjadi. Untuk dapat mencapai sebagaimana yang dinyatakan oleh Naisbitt, diperlukan perancangan proses pembelajaran e-learning yang kreatif, yang mengakomodasikan interaksi sosial secara virtual. Salah satu strategi yang dilakukan oleh dosen adalah merancang interaksi sosial sebagai salah satu komponen wajib dalam perolehan nilai akhir. Hal ini mengharuskan semua siswa terlibat dalam interaksi sosial. Walaupun terpaksa, dengan kewajiban interaksi sosial ini, siswa tidak terisolasi, dan komunitas belajar dapat terbentuk. Jika siswa sudah merasakan manfaat dari aktivitas yang awalnya menjadi keharusan, siswa akan dengan sendirinya terlibat dalam interaksi sosial, tanpa keharusan lagi. Interaksi sosial ini juga memberikan wawasan kepada siswa tentang persepsi mereka yang mungkin salah, yang didukung dan dihargai siswa atau nara sumber lain, atau yang dibantu diperbaiki oleh siswa lain. Dengan demikian, siswa memperoleh motivasi untuk berani mengemukakan pendapat. Mengingat manfaat yang luar biasa dari interaksi sosial, perancangan interaksi sosial dan diskusi kelompok menjadi komponen penting dalam pengembangan e-learning. 4. E-learning mempersyaratkan keterampilan ICT dari dosen dan siswa Keterampilan ICT - atau melek ICT - dari dosen dan siswa memang merupakan persyaratan dalam e-learning. Jika dosen atau siswa tidak memiliki keterampilan ICT, mereka tidak akan mampu memanfaatkan potensi ICT sepenuhnya, misalnya sampai pada kemampuan untuk melakukan online forum, multimedia conferencing, dll. Banyak dosen menyatakan bahwa: saya hanya mengetahui komputer untuk mengetik dan email, bagaimana mungkin saya mengajar melalui komputer atau e-learning ini?. Seringkali dosen juga menyatakan saya sibuk, saya tidak kenal teknologi tersebut, dan saya tidak punya waktu belajar teknologi tersebut.

Evan Saktiendi 2009810022

2011

Persepsi ini seolah-olah menyatakan bahwa dalam e-learning, keterampilan ICT adalah segalanya, karena e-learning berfokus hanya pada ICT. Padahal, ada hal lain yang lebih penting yang menjadi fokus e-learning, yaitu terjadinya proses belajar pada siswa. Teknologi, dalam hal ini ICT, memang mempunyai peran penting dalam e-learning, namun e-learning bukan semata-mata belajar teknologi, tetapi belajar melalui teknologi. ICT dalam elearning merupakan alat bantu yang menterjadikan proses belajar elearning. Keterampilan ICT yang dipersyaratkan oleh e-learning merupakan keterampilan ICT dasar, seperti menggunakan keyboard dan berselancar di internet. Selain itu, seringkali juga e-learning mempersyaratkan keterampilan log-in, melihat posting, membuat posting dan merespon ke posting dari siswa lain, serta ber-email. Keterampilan-keterampilan tersebut dapat disediakan (dilatihkan) oleh perguruan tinggi kepada siswanya, atau juga dilatihkan oleh teman-teman siswa tersebut. Yang menjadi penting adalah keterampilan ICT bagi dosen, terutama dalam melakukan adaptasi selektif, merancang proses pembelajaran secara kreatif, dan mengevaluasi hasil belajar siswa. Menjadikan e- learning secara utuh sebagai suatu proses pembelajaran, bukan sekedar tempat despositori etext ataupun e-material merupakan tantangan tersendiri bagi dosen. 5. Dosen adalah ahli Dosen merupakan ahli bidang ilmu. Hal ini menjadi penting dalam elearning untuk menghindari kesalahan konsep atau prinsip jika materi pembelajaran disajikan secara digital dan dapat diakses publik melalui elearning. Artinya, dosen menjamin validitas materi yang disajikan dalam pembelajaran e-learning yang dapat diakses oleh banyak pihak. Di samping itu, dosen juga berkewajiban untuk belajar dan menerapkan e-pedagogy, prinsip-prinsip pendidikan - termasuk perancangan pembelajaran - dalam elearning. Namun demikian, tidak dipungkiri bahwa dosen belum tentu ahli dalam teknologi. Teknologi yang berkembang dengan sangat cepat menyebabkan dosen yang berupaya menjadi ahli teknologi menjadi selalu tertinggal. Belum lagi kenyataannya bahwa e-learning merupakan kecenderungan yang baru saja muncul dalam dunia pendidikan akhir-akhir ini, sehingga prinsip-prinsip epedagogy pun belum terlalu mantap seperti prinsip pendidikan pada umumnya (yang berlaku dalam perkuliahan konvensional). Namun demikian, seorang ahli teknologi secara sendirian pun tidak memadai untuk

Evan Saktiendi 2009810022

2011

mengembangkan e-learning, tanpa ada ahli bidang ilmu dan ahli epedagogy, bahkan siswa sebagai pengguna e-learning. Dalam situasi seperti ini, pengembangan e-learning harus merupakan pengembangan bersama antara beberapa tenaga ahli berdasarkan pendekatan kelompok (team approach). 6. E-learning adalah bagi semua siswa Pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ), e-learning menjanjikan kekayaan pengalaman belajar bagi siswa, dan juga memperluas akses pendidikan bagi siswa yang memerlukan fleksibilitas jadwal waktu untuk kuliah, menginginkan keluasan dan kekayaan sumber belajar (melalui internet), menginginkan belajar sambil tetap bekerja dan atau mengurus keluarga, dan juga memperoleh pengalaman belajar yang lain dari yang biasanya. Namun demikian, untuk mampu mengikuti proses belajar dalam e-learning, siswa harus memiliki motivasi dan disiplin diri yang tinggi, kemandirian, kesungguhan dan komitmen terhadap proses belajar yang dijalankan. Dalam e-learning yang memberikan fleksibilitas kepada siswa untuk belajar kapan saja dan di mana saja, siswa dapat cenderung menjadi malas, atau menunda proses belajar, tanpa ada yang mengontrol dan mengawasinya. Dengan demikian, mekanisme untuk memelihara motivasi siswa, mengendalikan kecepatan belajar (pace) sehingga siswa tidak menundanunda, dan mengevaluasi hasil belajar (serta memberikan umpan balik) sangat diperlukan. Perancangan e-learning haruslah mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, dan mengakomodasikannya sebagai komponen yang terpadu dalam sistem e-learning.

7. Dalam e-learning, dosen tidak diperlukan lagi Dari beberapa dasawarsa yang lalu, pengenalan inovasi dalam pendidikan selalu menimbulkan kekhawatiran bagi dosen bahwa fungsi dan perannya akan tergantikan. Dahulu dosen merasa fungsi dan perannya akan tergantikan oleh televisi, radio, komputer, dll. Yang perlu disadari, pada kenyataannya - manusia (dosen dan siswa) merupakan faktor utama dalam pendidikan, betapapun canggihnya teknologi yang berkembang. Pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran - dalam bentuk e-learning merupakan bentuk pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran, dan bukan merupakan faktor utama dalam pendidikan, serta tidak dapat menggantikan manusia. Dosen tetap diperlukan sebagai perancang

Evan Saktiendi 2009810022

2011

pembelajaran, fasilitator dan moderator proses pembelajaran, sebagai tempat bertanya dan mengadu bagi mahasiswa yang memiliki beragam kebutuhan dan permasalahan, yang pada akhirnya dapat mentransform (membentuk baru) siswa. Dengan demikian, ada perspektif baru untuk fungsi dan peran dosen dalam e-learning, yaitu dosen bukan lagi satu-satunya otoritas keilmuan yang semata-mata mentransfer ilmunya kepada mahasiswa. 8. E-learning memerlukan peralatan canggih dan mahal Komputer dan konektivitas jaringan internet merupakan peralatan yang sangat diperlukan dalam proses e-learning. Namun demikian, bukan berarti siswa/dosen/institusi harus memiliki sendiri peralatan tersebut. Perlunya modal yang besar serta kecepatan perkembangan teknologi menyebabkan investasi yang dilakukan dalam hal tersebut tidak akan terlalu bermanfaat dalam jangka waktu panjang. Yang sangat penting dalam elearning adalah siswa dan dosen memiliki akses terhadap peralatan tersebut. Artinya, siswa dan dosen dapat menyewa komputer di warnet untuk memperoleh akses dan berpartisipasi dalam e-learning. Bagi berbagai pihak, strategi ini akan jauh lebih efisien daripada investasi modal yang tinggi dalam periode waktu yang singkat. Kerjasama antara penyedia (provider) dan institusi perguruan tinggi dapat saling menguntungkan, sebagaimana dilakukan, misalnya di Universitas Pelita Harapan. 9. E-learning itu mudah dan cepat Bagi mereka yang tidak pernah memberikan perkuliahan online, atau belajar online, maka e-learning dipersepsikan mudah dan cepat, sama dengan mudahnya dan cepatnya proses cut and paste and copy dalam mengetik menggunakan program Microsoft Word jika dibandingkan dengan menggunakan mesin ketik manual. Siswa misalnya merasa tidak perlu pergi ke kampus, tapi tetap dapat mengikuti perkuliahan dan nantinya ujian, kemudian lulus. Dosen seringkali juga berpikir bahwa mereka tidak perlu susah payah memberi kuliah, cukup menyediakan materi dalam bentuk digital di web, kemudian biarkan siswa belajar, sementara mereka dapat melakukan pekerjaan lain. Pada kenyataannya, walaupun e-learning menjanjikan fleksibilitas pembelajaran, proses pembelajaran dalam e-learning memerlukan waktu yang lebih banyak dari siswa maupun dosen, dan beban kerja yang harus dilakukan relatif lebih banyak daripada pembelajaran tradisional. Proses persiapan dan pengembangan e-learning sangat sarat dengan upaya-upaya

Evan Saktiendi 2009810022

2011

yang harus dilakukan dosen untuk menseleksi secara adaptif, tanpa dapat ditunda, secara cermat dan komprehensif (rigorous planning), berdasarkan prinsip-prinsip e-pedagogy. Sementara itu, dalam pelaksanaannya, proses menjawab pertanyaan siswa dan monitoring kemajuan belajar siswa memerlukan waktu minimal 4 jam konektivitas dengan internet per hari, menurut seorang dosen. Untuk siswa, berselancar di dunia maya untuk mencari sumber informasi dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan, walaupun dapat juga menjadi aktivitas yang memerlukan waktu yang sangat banyak. Selanjutnya, pengembangan bank soal untuk evaluasi hasil belajar merupakan tantangan tersendiri yang memerlukan dukungan sumber daya yang cukup tinggi. Hal-hal ini menunjukkan bahwa beban kerja maupun waktu yang diperlukan dalam e-learning, bagi siswa maupun dosen, paling tidak adalah sama dengan beban kerja dan waktu perkuliahan konvensional. 10. Dalam e-learning, tidak diperlukan pengelolaan kelas Dalam e-learning, tidak ada siswa yang saling bersenda gurau membuat kelas riuh; dosen juga tidak akan terganggu oleh siswa yang mengantuk, atau malas, atau tidak memperhatikan. Seolah-olah, dalam e-learning tidak tampak perlunya pengelolaan kelas sebagaimana dalam kelas perkuliahan konvensional. Pada kenyataannya, pengelolaan kelas dalam e-learning tetap diperlukan, namun memiliki format dan prosedur yang berbeda. Isu pertama dalam pengelolaan kelas e-learning adalah bukti kehadiran, yang tidak mungkin menggunakan indikator yang sama seperti kelas konvensional. Bukti kehadiran dalam e-learning lebih ditekankan dalam bentuk bukti partisipasi, misalnya frekuensi log in dan frekuensi siswa memberikan kontribusi dalam diskusi. Jika dimungkinkan, dosen juga dapat menjadwalkan pertemuan synchronous atau teleconference untuk memonitor keberadaan dan partisipasi siswa. Kadangkala, dosen juga menelpon siswa yang dipersepsikan tidak aktif dalam waktu cukup lama. Selain itu, dosen juga perlu menjadi moderator yang bijak dan objektif. Ada saatnya di mana diskusi antar siswa (threaded discussion) menjadi memanas - walaupun secara tertulis. Dalam situasi ini, dosen diharapkan dapat melakukan intervensi yang meredam merebaknya konflik antar siswa, atau mendinginkan situasi. Peran dosen dalam hal ini menjadi sangat penting untuk menghindari debat yang berkepanjangan, tidak sopan, dan vulgar.

Evan Saktiendi 2009810022


11. Adalah mudah untuk menyontek dalam e-learning

2011

Banyak dosen mengatakan, dengan kemudahan cut and paste and copy, maka plagiarisme dalam dunia e-learning menjadi sangat mudah dan tidak terkendali. Begitu juga dengan menyontek, karena tidak ada yang mengontrol siapa di ujung sana yang mengerjakan soal-soal ujian, apakah siswa itu sendiri, siswa lain (joki), atau beberapa siswa bekerjasama? Teknologi ICT relatif sudah berkembang cukup canggih dan menawarkan, misalnya, mekanisme penggunaan password - angka, huruf, ataupun identifikasi fisik (web-cam, sidik jari, dll.) untuk mengatasi masalah menyontek atau plagiarisme dalam e-learning. Yang berikutnya, seorang dosen yang benar-benar mengikuti perkembangan siswa dan memonitor kemajuan siswanya akan dengan sendirinya hafal akan gaya siswanya. Dengan demikian, jika siswa tampil dengan gaya yang berbeda (termasuk gaya bahasa, gaya komunikasi, gaya tulisan), dosen akan dengan mudah untuk mendeteksinya. Isu menyontek dan plagiarisme seyogyanya juga perlu dibahas secara mendetil dengan siswa - misalnya sebagai salah satu topik forum diskusi sebelum perkuliahan dimulai, sampai dicapai kesepakatan bersama tentang sanksi untuk menyontek dan plagiarisme. Pembahasan perlu disajikan dengan mengintegrasikan nilai-nilai etika dan moral secara inovatif dan kreatif - tanpa terkesan menggurui, tapi jawaban dan aktivitas setiap siswa dapat mencerminkan posisinya dalam tatanan nilai yang disodorkan. Selanjutnya, untuk menghindari menyontek dan plagiarisme, dosen perlu untuk merancang tugas dan latihan yang menarik dan taktis yang tidak akan memungkinkan siswa untuk menyontek atau melakukan plagiat. Misalnya, sebelum mengikuti proses pembelajaran, siswa sudah diharuskan untuk mengajukan usulan pertanyaan/tugas/proyek/penelitian yang akan dikerjakan, dan usulan tersebut dikumpulkan dalam basis data yang dapat diakses oleh siswa lain, sehingga dapat segera diketahui originalitas usulan siswa. Selain itu, pada saat ini sudah juga tersedia perangkat lunak document source analysis yang dapat digunakan untuk mengetahui asalusul dokumen yang terdepositori di internet, sehingga plagiarisme dapat dihindari.

Teknologi Pendukung E-Learning


Dalam prakteknya e-learning memerlukan bantuan teknologi. Karena itu dikenal istilah: computer based learning (CBL) yaitu pembelajaran yang

Evan Saktiendi 2009810022

2011

sepenuhnya menggunakan komputer; dan computer assisted learning (CAL) yaitu pembelajaran yang menggunakan alat bantu utama komputer. Teknologi pembelajaran terus berkembang. Namun pada prinsipnya teknologi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Technology based learning dan Technology based web-learning. Technology based learning ini pada prinsipnya terdiri dari Audio Information Technologies (radio, audio tape, voice mail telephone) dan Video Information Technologies (video tape, video text, video messaging). Sedangkan technology based web-learning pada dasarnya adalah Data Information Technologies (bulletin board, Internet, e-mail, tele-collaboration). Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari, yang sering dijumpai adalah kombinasi dari teknologi yang dituliskan di atas (audio/data, video/data, audio/video). Teknologi ini juga sering di pakai pada pendidikan jarak jauh (distance education), dimasudkan agar komunikasi antara murid dan guru bisa terjadi dengan keunggulan teknologi e-learning ini. Di antara banyak fasilitas internet, menurut Onno W. Purbo (1997), ada lima aplikasi standar internet yang dapat digunakan untuk keperluan pendidikan, yaitu email, Mailing List (milis), News group, File Transfer Protocol (FTC), dan World Wide Web (WWW). Sedangkan Rosenberg (2001) mengkatagorikan tiga kriteria dasar yang ada dalam e-learning. Pertama, e-learning bersifat jaringan, yang membuatnya mampu memperbaiki secara cepat, menyimpan atau memunculkan kembali, mendistribusikan, dan sharing pembelajaran dan informasi. Kedua, e-learning dikirimkan kepada pengguna melalui komputer dengan menggunakan standar teknologi internet. Ketiga, elearning terfokus pada pandangan pembelajaran yang paling luas, solusi pembelajaran yang menggungguli paradikma tradisional dalam pelatihan. Ada beberapa alternatif paradigma pendidikan melalui internet ini yang salah satunya adalah system dot.com educational system (Kardiawarman, 2000). Paradigma ini dapat mengitegrasikan beberapa system seperti, Pertama, paradigm virtual teacher resources, yang dapat mengatasi terbatasnya jumlah guru yang berkualitas, sehingga siswa tidak haus secara intensif memerlukan dukungan guru, karena peranan guru maya (virtual teacher) dan sebagian besar diambil alih oleh system belajar tersebut. Kedua, virtual school system, yang dapat membuka peluang menyelenggarakan pendidikan dasar, menengah dan tinggi yang tidak memerlukan ruang dan waktu. Keunggulan paradigma ini daya tampung siswa tak terbatas. Siswa dapat melakukan kegiatan belajar kapan saja, dimana saja, dan darimana saja. Ketiga, paradigma cyber educational

Evan Saktiendi 2009810022

2011

resources system, atau dot com leraning resources system. Merupakan pedukung kedua paradigma di atas, dalam membantu akses terhadap artikel atau jurnal elektronik yang tersedia secara bebas dan gratis dalam internet. Penggunaan e-learning tidak bisa dilepaskan dengan peran Internet. Menurut Williams (1999). Internet adalah a large collection of computers in networks that are tied together so that many users can share their vast resources.

Pengembangan Model
Pendapat Haughey (1998) tentang pengembangan e-learning. Menurutnya ada tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet, yaitu web course, web centric course, dan web enhanced course. Web course adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, yang mana peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka. Seluruh bahan ajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan, ujian, dankegiatan pembelajaran lainnya sepenuhnya disampaikan melalui internet. Dengan kata lain model ini menggunakan sistem jarak jauh. Web centric course adalah penggunaan internet yang memadukan antara belajar jarak jauh dan tatap muka (konvensional). Sebagian materi disampikan melalui internet, dan sebagian lagi melalui tatap muka. Fungsinya saling melengkapi. Dalam model ini pengajar bisa memberikan petunjuk pada siswa untuk mempelajari materi pelajaran melalui web yang telah dibuatnya. Siswa juga diberikan arahan untuk mencari sumber lain dari situs-situs yang relevan. Dalam tatap muka, peserta didik dan pengajar lebih banyak diskusi tentang temuan materi yang telah dipelajari melalui internet tersebut. Web enhanced course adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Fungsi internet adalah untuk memberikan pengayaan dan komunikasi antara peserta didik dengan pengajar, sesama peserta didik, anggota kelompok, atau peserta didik dengan nara sumber lain. Oleh karena itu peran pengajar dalam hal ini dituntut untuk menguasai teknik mencari informasi di internet, membimbing mahasiswa mencari dan menemukan situs-situs yang relevan dengan bahan pembelajaran, menyajikan materi melalui web yang menarik dan diminati, melayani bimbingan dan komunikasi melalui internet, dan kecakapan lain yang diperlukan.

Evan Saktiendi 2009810022


Kelebihan dan Kekurangan E-Learning

2011

Petunjuk tentang manfaat penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh (Elangoan, 1999; Soekartawi, 2002; Mulvihil, 1997; Utarini, 1997), antara lain. Pertama, Tersedianya fasilitas e-moderating di mana guru dan siswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan dengan tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu. Kedua, Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadual melalui internet, sehingga keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari. Ketiga, Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di mana saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di komputer. Keempat, Bila siswa memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet secara lebih mudah. Kelima, Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Keenam, Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif. Ketujuh, Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi atau sekolah konvensional. Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk pembelajaran atau elearning juga tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Berbagai kritik (Bullen, 2001, Beam, 1997), antara lain. Pertama, Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar. Kedua, Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial. Ketiga, Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan.

Evan Saktiendi 2009810022

2011

Keempat, Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT. Kelima, Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal. Keenam, Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet. Ketujuh, Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki ketrampilan internet. Kedelapan, Kurangnya penguasaan bahasa komputer.

Catatan akhir E-learning menjanjikan peluang untuk menjawab tantangan berkenaan dengan akses, pemerataan, dan kualitas pendidikan. Hal ini mendorong popularitas e-learning di kalangan pendidikan tinggi. Namun demikian, berdasarkan asumsi-asumsi yang melekat di dalam e-learning dan paradigma yang melandasinya, pengembangan e-learning mempersyaratkan kesiapan institusional, sistem pengelolaan, dan asumsi pedagogis yang relatif berbeda dengan praktek penyelenggaraan pendidikan konvensional sekarang ini. Hasil diskusi tentang berbagai mitos dalam pengembangan e-learning menunjukkan bahwa faktor utama dalam pengembangan e-learning adalah kejelasan tujuan penerapan e-learning, perancangan pembelajaran yang kreatif berdasarkan prinsip-prinsip e-pedagogy, siswa dan dosen yang memiliki dedikasi dan komitmen terhadap proses belajar, serta dukungan dari pihak pengelola untuk melakukan eksplorasi pengetahuan, keterampilan, dan praktek yang inovatif. Dalam situasi dan kondisi tersebut, adopsi e-learning bukan berarti sekedar proses digitalisasi perkuliahan konvensional menjadi perkuliahan elektronik berbasis web, dan juga bukan sekedar upaya perluasan dari tradisi dan budaya pembelajaran yang sekarang ini berlangsung dengan jumlah siswa yang lebih banyak secara kuantitatif. E-learning ditujukan untuk memberikan layanan pendidikan yang lebih luas, pengalaman belajar yang lebih kaya, dengan segala implikasinya bagi institusi, sistem pengelolaan, dan proses pembelajaran yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu oleh dosen. Jika e-learning memiliki berbagai mitos, perlu dicermati kenyataan dari berbagai mitos tersebut, tidak semata-

Evan Saktiendi 2009810022

2011

mata diterima apa adanya. Seandainya mitos-mitos tersebut mengandung nilai kebenaran, hal yang perlu dilakukan adalah mencari strategi untuk mengatasi keterbatasan tersebut, sehingga potensi e-learning sebagai bentuk pembelajaran masa depan dapat terus berkembang.

Anda mungkin juga menyukai