Anda di halaman 1dari 38

PEMILIHAN TEKNIK ANESTESI PADA ODC A.

Pendahuluan Pembedahan ODC terus mengalami peningkatan, dimana lebih dari 50% prosedur pembedahan dilakukan dengan rawat jalan di Canada. Perkembangan pembedahan ODC dan anestesi terjadi karena alasan evaluasi ekonomi yang dipengaruhi oleh pertimbangan sumber daya kesehatan yang terbatas (personel, waktu, fasilitas dan peralatan), efikasi dan keamanan obat baru serta teknik anestesi yang dipilih (Wong et al, 1998). Pertemuan The Federated Ambulatory Surgery Association pada tahun 1986 melaporkan secara statistik angka kematian sebanyak 17 kematian pada 1,1 juta pembedahan ODC. Hal ini menunjukkan meskipun pembedahan ODC merupakan prosedur minor, tetapi tidak ada anestesi minor. Kasus berulang terjadi pada 2 keadaan klinis yaitu laparoskopi dengan anestesi umum dan penggunaan teknik sedasi sadar untuk operasi wajah dan hidung. The Federated Ambulatory Surgery Association juga memiliki beberapa data tentang tingkat komplikasi tiap jenis anestesi pada ODC : teknik anestesi lokal dengan sedasi (1:106), anestesi umum (1:120), regional (1:277) atau anestesi lokal sendiri (1:268). Penting sekali bahwa ahli anestesi memberikan teknik anestesi terbaik untuk pasien ODC dalam mempermudah pemulihan ke aktivitas harian semula (Chung, 1991). Keuntungan ODC 1. Pasien lebih cepat kembali ke lingkungan rumah yang dikenal terutama pasien anak dan usia lanjut

2. Berkurangnya

infeksi

nosokomial

terutama

pasien

imunocompromised 3. Berkurangnya insiden medication errors 4. Penghematan biaya perawatan rumah sakit karena berkurangnya jumlah tes laboratorium dan konsultasi medis yang diminta 5. Kemudahan dalam menjadwalkan pembedahan 6. Menjaga privasi pasien 7. Berkurangnya gangguan jadwal pemberian makanan pada anak 8. Berkurangnya waktu terpisah dari orang tua B. Pemilihan pasien Pasien yang layak untuk ODC umumnya harus memiliki kondisi medis yang relative stabil. Tetapi akhir-akhir ini, banyak senter kesehatan yang menerima pasien status fisik ASA III atau IV untuk prosedur yang cenderung non invasif. Pasien yang dipertimbangkan untuk menjalani ODC yaitu : 1. Pasien status fisik ASA I dan II yang menjalani pembedahan invasif 2. Pasien status fisik ASA III dan IV yang menjalani pembedahan non invasif atau diagnostik Pasien yang tidak layak menjalani ODC adalah : Anak-anak 1. 2. age 3. Bayi dengan penyakit pernafasan (displasia bronkhopulmoner berat) Bayi eks-prematur kurang dari 55-60 minggu post Bayi matur kurang dari 44 minggu post conceptual conceptual age

4. 5. nyata

Bayi dengan kelainan kongenital jantung Anak dengan infeksi saluran pernafasan atas yang

Bayi prematur memiliki episode apneu dan bradikardi paska operasi 12-48 jam setelah mendapat anestesi umum sehingga membutuhkan monitoring pernafasan paska operasi setidaknya sampai 18 jam. Dewasa 1. Pembedahan dengan perdarahan banyak 2. Pasien ASA III dan IV yang membutuhkan monitoring kompleks 3. Morbid obese dengan penyakit respirasi yang bermakna 4. Membutuhkan penatalaksanaan nyeri kompleks 5. Pasien dengan gejala infeksi saluran pernafasan atas yang nyata C. Pemilihan pembedahan Prosedur pembedahan yang ideal dilakukan di ODC adalah pembedahan dengan durasi 1-1,5 jam, perdarahan sedikit dan mempunyai derajat nyeri paska operasi ringan hingga sedang. Prosedur pembedahan yang layak di ODC Ekstraksi katarak Bedah payudara minor Bedah plastik Dilatasi dan kuretase Histeroskopi Terminasi kehamilan Laparoskopi Artroskopi Herniorapi Tonsilektomi D. Persiapan pasien ODC

1.

Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada pasien dewasa sehat biasanya darah rutin, sedangkan pemeriksaan lainnya dilakukan atas indikasi penyakit pasien. Pemeriksaan darah lengkap rutin dilakukan pada pasien wanita usia > 50 tahun dan laki-laki usia > 65 tahun. Pemeriksaan EKG untuk pasien laki-laki usia > 40 tahun dan wanita usia > 50 tahun, sedangkan fungsi ginjal (BUN, creatinin) untuk pasien usia > 65 tahun.

2.

Puasa Pasien secara rutin dijadwalkan puasa mulai tengah malam pada hari menjelang operasi untuk mengurangi insidensi aspirasi. Studi klinis terbaru menyatakan bahwa puasa sepanjang malam kurang bijaksana untuk dewasa dan anak-anak. Puasa 8 jam sebelum operasi hanya diperuntukkan untuk makanan padat. Cairan jernih hanya diperbolehkan sampai 3 jam sebelum waktu operasi.

3.

Medikasi preanestesi Pasien yang memiliki riwayat tetap penyakit penyerta untuk (kardiovaskuler, hipertensi, asma) dianjurkan

melanjutkan pengobatannya sampai waktu operasi. Pasien DM yang rutin mendapat insulin diberikan setengah dari dosis pagi hari insulin jangka panjang sebelum operasi. Pasien yang mendapat terapi anti koagulan sebaiknya dihentikan sampai PT kembali normal. E. 1. Manajemen anestesi Premedikasi Profilaksis aspirasi Ong menyatakan bahwa risiko aspirasi pada pasien ODC mungkin meningkat karena volume residual cairan lambung yang tinggi. Meskipun insidens aspirasi pneumoni pada pembedahan ODC sangat rendah yaitu 1,7 dalam 10.000

dengan angka kematian yang rendah, profilaksis aspirasi pada pasien ODC masuk akal bila disarankan pada pasien yang mempunyai risiko untuk terjadinya aspirasi seperti hiatus hernia, morbid obese, gastroparesis diabetic, refluks esofagal dan kehamilan pertengahan trimester akhir. Ranitidine, metoclopramide atau sodium citrate dapat digunakan sebagai profilaksis aspirasi. Dilaporkan bahwa tidak ada keuntungan memberikan profilaksis tripel atau ganda dibandingkan pemberian H2 antagonis sendiri. Preoperative ansietas Pasien yang dijadwalkan menjalani pembedahan

cenderung merasa cemas. Kunjungan preoperative ahli anestesi

yang

menentramkan

hati

dapat

mengurangi

kecemasan

sehingga sebagian besar pasien tidak diberikan premedikasi. Jika kecemasan menetap setelah kunjungan preoperative, diazepam 5-10 mg dapat diberikan secara oral sebelum anestesi. 2. Teknik anestesi pada ODC Anestesi lokal, regional atau umum dapat diberikan secara aman pada pasien ODC. Pemilihan teknik anestesi seharusnya ditentukan berdasarkan kebutuhan pembedahan, pertimbangan anestesi, status fisik dan pilihan pasien. Tujuan anestesi pada ODC adalah meng-anestesi pasien untuk waktu yang sesingkat mungkin dengan konsentrasi anestesi yang terendah. a. Anestesi umum Induksi anestesi Propofol sebagai agen induksi intravena mulai digunakan secara luas untuk ODC. Dosis induksi propofol 1,5-2,5 mg/kgbb kehilangan kesadaran dalam one arm-brain circulation, tetapi berespon terhadap perintah dalam 3-5 menit. Keuntungan propofol yang penting yaitu kemudahan pasien mencapai pulih sadar, dimana pasien mencapai keadaan clear-headed lebih cepat dan memiliki insidens mual muntah yang rendah. Pasien yang menerima propofol yang siap dipulangkan lebih awal dibandingkan pasien menerima saat teknik anestesi dan

konvensional thiopental atau isofluran. Kerugiannya adalah nyeri penyuntikan kemungkinan depresi kardiovaskular. Menurut the Committee on Safety of Medicines perlu diwaspadai pemberian propofol pada pasien dengan riwayat epilepsi. Dilaporkan bahwa terdapat 37

insiden

kejang,

16

gerakan

involunter

dan

10

gerakan

opistotonus yang berhubungan dengan penggunaan propofol. Dibandingkan induksi dengan agen intravena, induksi inhalasi memiliki beberapa kelebihan. Menurut Phillip et al, 1999 sevoflurane memiliki sifat mempermudah induksi inhalasi yang cepat dan mulus karena kelarutan gas-darah rendah, relative tidak mengiritasi dan dapat menguap dengan tekanan tinggi.

Pemberian

8%

(4

minimum

alveolar

anesthetic

concentration [MAC]) sevoflurane menyediakan 4% (2 MAC) konsentrasi alveolar di alveoli saat itu juga. Waktu yang dibutuhkan untuk hilangnya respon terhadap perintah pada pasien yang mendapat 75% N2O dan 8% sevoflurane saat menahan nafas 1 kali adalah 39 3 detik. Hasil ini lebih baik bila dibandingkan waktu 41 16 detik yang dilaporkan Yurino dan Kimura menggunakan 7.5% sevoflurane dan 66% N2O.

Lima puluh sembilan persen penderita dapat menahan 1 kali nafas hingga hilang kesadaran, sehingga induksi pada pasien ini tergolong paling cepat. Pasien yang membutuhkan 2 atau lebih saat menahan nafas, maka waktu induksi yang dibutuhkan semakin lama. Data dari Yurino dan Kimura menunjukkan bahwa induksi vital capacity yang lebih cepat berhubungan dengan efek samping yang minimal. Pada penelitian ini, beberapa faktor teknik berpengaruh terhadap induksi inhalasi yang cepat : sirkuit pernafasan diisi terlebih dahulu sebelum induksi dimulai, sevofluran 8% sebagai konsentrasi bahwa awal dan penggunaan hilangnya teknik vital capacity 7.5% dibandingkan volume tidal. Yurino dan Kimura menemukan waktu untuk kesadaran dengan sevoflurane adalah 41 16 detik dengan pernafasan vital capacity dan 52 13 seconds dengan induksi pernafasan tidal. Pada awal penelitian, mereka menggunakan 4.5% sevoflurane dan mendapatkan waktu induksi 53.8 9.6 detik. Kombinasi penggunaan 8% sevoflurane, sirkuit yang diisi dan teknik induksi vital capacity dapat menjelaskan perbedaan waktu induksi dibandingkan penelitian sebelumnya yang mengevaluasi induksi inhalasi dengan sevofluran.

Masuknya

N2O

sebagai

campuran

induksi

dapat

menambah kecepatan induksi melalui efek gas kedua dan efek konsentrasi. MAC-Awake sevoflurane adalah 0.33 MAC. Ketika induksi disimulasi dan dianalisis, waktu untuk mencapai 0.33 MAC sevoflurane dalam otak adalah 30 detik dengan N2O dan 38 detik tanpa N2O. Kemampuan N2O untuk mempercepat waktu induksi dibuktikan Hall et al yang menemukan waktu untuk hilangnya reflek bulu mata 71 37 detik dengan 8% sevoflurane dalam O2 dan 61 24 detik dengan 8% sevoflurane dalam 2:1 N2O/O2. Selain kecepatan induksi yang diharapkan, kualitas induksi juga penting. Distribusi efek samping induksi antara 2 kelompok berbeda, dimana pada kelompok sevofluran lebih sering terjadi batuk dan hiccough dan pada kelompok propofol lebih sering terjadi gangguan hemodinamik dan motorik. Insidens mild laryngospasm karena meningkatnya tonus jalan nafas terjadi hampir sama pada 2 kelompok : 16% dengan

sevoflurane dan 33% dengan propofol. Penelitian sebelumnya melaporkan insidensi tinggi efek samping jalan nafas dengan induksi sevofluran ketika menggunakan konsentrasi awal yang rendah, teknik induksi lambat dan sirkuit pernafasan yang tidak diisi. Iritasi jalan nafas dari inhalasi singkat (15 detik) halotan, enfluran, isofluran dan sevofluran pada 1 dan 2 MAC pada sukarelawan minimal. dewasa menunjukkan bahwa sevofluran menghasilkan perubahan pola pernafasan dan batuk yang

Waktu untuk pemulihan awal dari fase 1 dan 2 PACU sama antara 2 kelompok. Penilaian obyektif pemulihan (sadar penuh dan skor VAS dan DSST) tidak berbeda antara 2 kelompok. Kualitas anestesi yang dinilai dengan perspektif pasien, panggilan telepon rumah pasien 24 jam paska operasi, nilai tengah skor kualitas untuk induksi pulih sadar juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda bermakna.

10

Pengisian sirkuit pernafasan dengan N2O/O2 6:2 dengan 8% sevoflurane menyebabkan penghantaran campuran gas hipoksik, dimana 53% pasien yang mendapat induksi dengan teknik vital capacity mempunyai konsentrasi inspirasi O2 28.2% 0.9%, konsentrasi inspirasi N2O 58.6% 1.1% (mean SE). Konsentrasi inspirasi dan ekspirasi sevoflurane berturut-turut 6.2% 0.2% dan 4.3% 0.2% selama 20 detik pertama setelah pemberian anestesi inhalasi. Priming sirkuit diawali dengan pengisian 3 liter reservoir bag sebanyak 3 kali dengan biaya $2.79. Tidak semua pasien hanya mengambil satu kali nafas untuk hilangnya kesadaran dan rata-rata biaya tambahan sevofluran yang digunakan dalam waktu induksi rata-rata 51 detik adalah $2.30. Penelitian ini tidak merekomendasikan dan menggunakan lagi 8 L/min untuk priming atau induksi, karena dengan priming 4 L/min (3:1) dapat mengurangi biaya hingga $1.15. Apalagi bila dibandingkan biaya induksi propofol $5.89 ditambah kemungkinan $3.75 yang terbuang tiap pasien, induksi dengan sevofluran jauh lebih murah. Disamping itu, induksi sevoflurane dengan teknik vital capacity lebih cepat (51 4 vs 81 12 detik) dan memberikan kepuasan kepada pasien yang sama dengan induksi propofol IV pada pasien ODC dewasa yang tidak mendapatkan premedikasi sebelumnya.

11

Hasil penelitian multisenter menyatakan bahwa pemulihan awal setelah sevofluran lebih cepat dibandingkan halotan pada anak-anak yang menjalani ODC, meskipun pemulihan lanjut dan waktu pemulangan pasien dari rumah sakit hampir sama antara 2 kelompok.

Tingkat emergence dari anestesi inhalasi tergantung pada kelarutan anestesi, lamanya paparan dan konsentrasi anestesi

12

selama

periode

pemeliharaan lebih

dan cepat

metabolisme dibandingkan

anestesi. dengan

Menurut Lermann et al, 1996 emergence dan early recovery sevoflurane 2550% halothane. Hal ini sesuai dengan kelarutan relative dalam darah. Rapid emergence sebanding dengan eliminasi anestesi yang cepat.

Kejadian agitasi dan excitement selama emergence dari sevoflurane hampir 3 kali lipat dibandingkan halotan. Hal ini disebabkan meningkatnya eksitabilitas membran sel susunan

13

saraf pusat selama sevoflurane melalui aktivitas seizure like pada gambaran EEG anak. Penyebab lainnya adalah agitasi dan excitement selama emergence merupakan manifestasi nyeri akut dan kecemasan ketika anestesi tereliminasi dengan cepat. Sevoflurane plasma inorganic mengalami fluoride degradasi melebihi 50 in vivo melalui cytochrome P450 2E1 melepaskan inorganic fluoride. Konsentrasi mM merupakan predisposisi nephrotoxicity. Konsentrasi plasma inorganic fluoride mencapai nilai maximum 28 mM kira-kira 1 jam setelah penghentian sevoflurane 2.5 MAC pada anak. Pada penelitian ini, rata-rata konsentrasi plasma inorganic fluoride yang dicatat 1 jam setelah 1.05 MAC sevoflurane 10.3 3.5 mM (nilai maximum 23.2 mM). Sevoflurane diserap dan didegradasi oleh soda lime (atau Baralyme) menjadi lima senyawa yaitu formaldehyde, hydrochloric acid, methanol, olefin dan yang paling umum adalah senyawa A. Senyawa A dalam konsentrasi tinggi pada tikus menyebabkan perubahan histologi pada ginjal. Karena proses ini merupakan proses hidrolitik yang tergantung waktu dan penggunaan fresh gas flow yang tinggi (minimal 3 lmin-1 selama maintenance) akan mendilusi konsentrasi senyawa A dalam circle circuit serta berkurangnya produksi senyawa A sebanding dengan area permukaan tubuh pada anak-anak, maka penggunaan sevofluran pada prosedur pembedahan yang singkat tidak akan menyebabkan gangguan fungsi ginjal.

14

Menurut Sloan et al, 1996 selain sevofluran, isofluran dapat digunakan untuk induksi inhalasi single breath pasien dewasa. Induksi single breath menghasilkan onset anestesi yang cepat dengan eksitasi minimal. Agar efektif, induksi inhalasi single tinggi. Hal ini Jika N2O breath membutuhkan pasien menahan nafas setelah menghirup konsentrasi anestesi inhalasi yang relative cenderung alveolar. menurunkan Selain itu 5 konsentrasi diharapkan N2O diperlukan karena uptake inisial anestesi inhalasi yang cepat alveolar. tidak pada digunakan, efek konsentrasi akan memperbaiki konsentrasi pasien % hiperventilasi penelitian ini sebelum induksi sehingga ventilatory drive terpelihara. Sevofluran dalam menghasilkan waktu induksi rata-rata 75 detik, hampir sama dengan yang dilaporkan Yurino dan Kimura. Komplikasi yang paling bermakna selama induksi sevofluran adalah memanjangnya episode stage II. Hal ini disebabkan karena rendahnya konsentrasi inspirasi sevofluran yang diharapkan untuk induksi single breath. Induksi single breath dengan sevofluran dan isofluran menyebabkan peningkatan denyut jantung yang bermakna. Hal ini berlawanan dengan yang ditemukan Eger bahwa konsentrasi sevofluran melebihi 1 MAC tidak akan meningkatkan denyut

15

jantung. Peningkatan denyut jantung lebih bermakna pada isofluran karena sifat isofluran melepaskan katekolamin. Eliminasi N2O berperan terhadap emergence yang cepat baik pada sevofluran maupun isofluran. Frink et al menemukan bahwa tanpa N2O, pasien yang mendapat sevofluran lebih cepat pulih sadar dibandingkan yang mendapat isofluran (7.5 vs 18.6 detik). Desflurane adalah fluorinated methyl-ethyl ether yang hampir sama dengan isoflurane kecuali substitusi fluorine untuk chlorine pada alpha ethyl carbon. Koefisien partisi gas:darah adalah 0.42, sehingga kurang soluble dibandingkan sevofluran. Induksi anestesi dengan desflurane lebih cepat dibanding enflurane atau isoflurane. Pemulihan dari anestesi dengan desflurane 3-5 kali lebih cepat dibanding isoflurane pada tikus. Taylor dan Lerman menyatakan induksi desfluran tergolong mildly irritant, dengan onset cepat dan periode excitement singkat. Manajemen jalan nafas Untuk prosedur pembedahan dengan durasi singkat lebih cocok digunakan teknik face mask. Jika operasi melibatkan daerah kepala dan leher, maka dipakai intubasi endotrakheal atau sungkup laring. Sungkup laring sebagai salah satu jalan nafas oral memiliki beberapa keuntungan dibandingkan intubasi endotrakheal yaitu minimalnya sore throat, tidak ada batuk, iritasi laring atau spasme setelah pelepasan sungkup laring. Mivacurium cholinesterase adalah pelumpuh Dosis otot non depolarisasai 0.25 mg/kg golongan benzylisoquinolinium, mengalami hidrolisis cepat oleh plasma. intubasi 0.2 membutuhkan waktu 2 menit untuk tercapainya blok maksimal.

16

Mivacurium memiliki durasi 2 kali dibanding dosis equipotent suksinil kolin dan kira-kira setengah kali durasi atracurium atau vecuronium, sehingga ideal digunakan sebagai pelumpuh otot untuk pembedahan ODC.

Menurut Whalley et al, 1998 onset dan masa kerja pelumpuh otot serta jenis pembedahan merupakan faktor penting dalam memilih obat yang tepat untuk keberhasilan intubasi endotrakheal. Atracurium dan rocuronium sering digunakan sebagai pelumpuh otot untuk prosedur pembedahan jangka pendek atau menengah. Rocuronium adalah pelumpuh otot non depolarisasi jangka menengah yang memiliki onset cepat. Pada dosis kira-kira 2 x ED 90 (0,6; 0,1 dan 0,33 mg/kgbb untuk rocuronium, vecuronium dan suksinil kolin berturut-turut), onset rocuronium suksinil lebih kolin. cepat dibanding vecuronium dan mendekati Stabilitas rocuronium ditunjukkan

dengan tidak adanya perubahan tekanan darah dan denyut jantung terhadap peningkatan dosis hingga 0,9 mg/kgbb.

17

Atracurium hidrolisis

memiliki

metabolisme

yang

unik

melalui

ester dan reaksi Hoffman, sehingga memudahkan

pasien pulih spontan dari efek pelumpuh otot, tetapi memiliki efek samping hipotensi dan takikardi yang tergantung dosis dan berhubungan dengan meningkatnya konsentrasi histamin dalam plasma. Rocuronium yang diberikan intravena setelah induksi anestesi pada pasien laparoskopi memiliki onset yang cepat (59.0 vs 98.6 detik) dan tingkat keberhasilan intubasi yang tinggi <90 detik (100% vs 70%) dibandingkan atracurium. Di samping itu, durasi kerja rocuronium lebih pendek (33.3 detik) dibandingkan dosis efektif yang sama dengan atracurium (44.7 detik). Pada penelitian ini, rocuronium memiliki masa kerja 11 menit lebih pendek dibandingkan dosis efektif yang sama dengan atracurium, sehingga ideal untuk pembedahan yang diperkirakan durasinya pendek. Dosis atracurium >0.4 mg/kg sering berhubungann dengan cutaneous erythema akibat meningkatnya konsentrasi histamin dalam plasma. Pelepasan histamine tidak bermakna pada pemberian rocuronium. Pemeliharaan tetapi tampaknya hampir sama dengan agen rocuronium hingga 1.2 mg/kg dan tidak ada cutaneous reaction yang dilaporkan pada pasien yang mendapat

dilaporkan,

Efek sevofluran terhadap otot polos uterus belum pernah anestesi halogenasi lainnya. Pemeliharaan anestesi dengan isofluran akan meningkatkan kehilangan darah 2 kali lipat dibandingkan propofol. Konsentrasi tinggi sevofluran dan kelarutannya yang rendah akan meningkatkan tekanan parsial

18

uterus yang berlebihan dan menyebabkan relaksasi otot polos. Sevofluran juga menghambat agregasi platelet yang juga berperan terhadap perdarahan (Nathan et al, 1998). Perbandingan waktu pemulihan setelah enflurane dan halothane pada pasien yang menjalani ODC menunjukkan bahwa pemulihan lebih cepat setelah enfluran. Sedangkan waktu pulih sadar dilaporkan tidak berbeda bermakna antara isofluran dan enfluran pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan singkat. Penggunaan enflurane lebih dari 90 berhubungan dengan pemulihan yang lebih cepat, tetapi pada isofluran lamanya pemulihan tidak tergantung dari lamanya anestesi (Chung, 1991). b. Anestesi regional Anestesi regional memiliki beberapa keuntungan dibandingkan anestesi umum untuk pasien yang dijadwalkan menjalani pembedahan ODC yaitu risiko PONV minimal, analgesi paska operasi yang maksimal, mengurangi risiko aspirasi dan pendeknya waktu pemulihan. Teknik anestesi regional yang ideal di ODC adalah penggunaan obat anestesi lokal dengan onset cepat dan durasi singkat untuk mempercepat pemulihan dan pemulangan pasien.

19

Anestesi spinal Teknik ini cocok untuk pembedahan daerah pelvis, inguinal, perineal, anorektal dan ekstremitas bawah. Lamanya pembedahan < 1 jam < 1 jam > 1 jam Ketinggian blok yang diharapkan < T10 T7 < T10 Anestesi lokal untuk spinal Lidokain isobaric (2%) atau hipobarik (0,5%) 30-40 mg + fentanyl 20 ug Lidokain hiperbarik (5%) 50 mg + fentanyl 20 ug Bupivakain isobaric (0,5%) 7 mg + fentanyl 20 ug

Menurut Beilin et al, 2003 bahwa bupivakain hiperbarik 5,25 mg dengan fentanyl 20 ug bisa digunakan sebagai alternative anestesi spinal praktis dosis ini dicapai untuk pembedahan ODC. Secara dengan menggunakan 0.7 mL

20

bupivacaine hyperbaric 0.75% dengan dekstrose 8,25% dan biasa digunakan di Amerika Serikat. Meningkatnya volume obat anestesi lokal yang diinjeksikan ke ruang subarakhnoid akan meningkatkan penyebaran anestesi dan selanjutnya mempermudah penggunaan dosis anestesi lokal yang lebih kecil.

Anestesi

spinal

dengan

lidokain

sering

berhubungan

dengan terjadinya transient neurologic symptoms (TNS). Selain lidokain 5% 25 mg dengan 25 ug fentanyl, ropivakain hiperbarik 4 mg dengan fentanyl 20 ug bisa menjadi pilihan anestesi spinal untuk pembedahan anorektal di ODC. Pemanjangan blok motorik dan sensorik yang berhubungan dengan anestesi lokal jangka panjang tidak dihasilkan ketika dosis kecil digunakan. Kondisi pembedahan yang adekuat untuk pembedahan anorektal dihasilkan dengan kombinasi opioid (Buckenmaier et al, 2002).

21

Arah bevel jarum spinal mempengaruhi ketinggian blok dan lamanya blockade motorik. Pasien pada kelompok bevel jarum spinal mengarah ke cephalad (kelompok 1) mempunyai level sensorik yang lebih tinggi (T 3.4 1.3 vs T 6.6 2.8, P < 0.001) dibandingkan bevel yang mengarah ke caudal (kelompok 2). Disamping itu durasi anestesi sensori lumbal (149.2 30.6 min vs 177.8 23.5 min, P < 0.01) dan blokade motorik (117.6 26.1 min vs 150.0 22.8 min, P < 0.001) yang lebih singkat dibanding kelompok 2. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk memulangkan pasien kira-kira 32 menit lebih singkat pada kelompok 1 (Urmey et al, 1997).

22

Flatten dan Raeder menemukan insidensi 37.2% postdural puncture headache pada 51 pasien laki-laki dewasa yang menjalani ODC dengan anestesi spinal menggunakan jarum 25. Insiden PDPH dapat dikurangi dengan jarum spinal conical Greene points yang memisahkan serabut duramater dibandingkan Quincke point yang memotong serabut duramater. Disamping itu, pendekatan paramedian dan hidrasi yang adekuat akan mengurangi insiden PDPH. Neal juga mengevaluasi 366 pasien ODC yang menjalani anestesi spinal untuk berbagai prosedur pembedahan melaporkan bahwa kejadian PDPH sebesar 6.6%.

23

Blok saraf tepi Blok saraf tepi menjadi popular karena memberikan analgesi pembedahan yang baik dan analgesi paska operasi yang memuaskan. Survey yang dilakukan oleh the Society for Ambulatory Anesthesia (SAMBA) pada tahun 2001 menunjukkan blok saraf aksiler (77%), interscalene (67%), and ankle blocks (68%) paling sering dilakukan di ODC, sedangkan untuk ekstremitas bawah seperti femoral blocks (40%) dan jenis lain (<23%) jarang dilakukan. Delapan puluh lima persen pasien dipulangkan dengan blok saraf jangka panjang, sedangkan 16% tidak pernah atau jarang memulangkan pasien dengan alasan patient injury (49%) dan ketidakmampuan untuk merawat diri sendiri (28%) (Klein and Pietrobon et al, 2002).

1)

Blok regional intravena Teknik ini digunakan untuk pembedahan lengan bawah dan tangan. Keuntungan teknik ini adalah sederhana, onset cepat,

24

reliabilitas tinggi dan pemulihan cepat. Anestesi lokal yang digunakan adalah lidokain 0,5% 50 ml, bisa juga ditambahkan klonidin 1 ug/kgbb untuk memperpanjang durasi analgesi paska operasi. Kerugian teknik ini adalah membutuhkan waktu maksimum 1,5 jam untuk menginflasi tornikuet dan risiko toksisitas anestesi lokal jika tornikuet gagal beberapa menit setelah injeksi. 2) Blok pleksus brakhialis Teknik ini digunakan untuk pembedahan lengan atas. Indikasinya terutama bila pasien lebih memilih anestesi regional atau bila kondisi medis meningkatkan risiko yang berhubungan dengan anestesi umum. Untuk operasi daerah bahu di atas midhumeral line, sebaiknya digunakan blok parascalene atau interscalene, sedangkan untuk operasi daerah siku, blok aksiler atau infraklavikuler dinilai paling efektif. 3) Anestesi ekstremitas bawah Teknik yang lebih sering digunakan di ODC adalah popliteal dan ankle block karena memberikan analgesi yang baik dan kebutuhan untuk pemulihan serta pemulangan yang cepat bila dibandingkan blok saraf femoral atau sciatic. Menurut Klein and Nielsen et al, 2002 bahwa efikasi blok saraf tepi ditunjukkan dengan kecilnya konversi teknik anestesi menjadi anestesi umum (1%6%) dan minimnya pasien yang membutuhkan opioid di PACU (89%92%). Blok saraf tepi jangka panjang menyebabkan hilangnya propriosepsi dan reflek proteksi terhadap nyeri. Pasien dengan blok saraf tepi ekstremitas bawah mempunyai risiko potensial utnuk jatuh, trauma dan tidak mampu untuk dirawat jalan, sehingga penggunaan anestesi

25

jangka panjang untuk pembedahan rawat jalan dibatasi bahkan dihindari pada operasi ekstremitas bawah.

Nyeri paska operasi ODC

Menurut penelitian Chung, 1997, 5,3% nyeri berat terjadi di PACU hingga 24 jam paska operasi. Salah satu faktor prediksi yang signifikan terhadap nyeri berat di PACU adalah indeks massa tubuh. Hal ini dimungkinkan karena pasien dengan indeks massa tubuh yang lebih tinggi memiliki insidens nyeri berat yang

26

lebih besar karena dosis opioid yang diberikan relatif tidak adekuat. Lamanya anestesi juga menjadi faktor prediksi nyeri berat dimana semakin lama durasi anestesi maka derajat nyeri yang dialami akan semakin berat. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya trauma jaringan akibat prosedur yang makin ekstensif sehingga terjadi pelepasan mediator nosiseptif yang berlebihan.

Waktu pemulangan di PACU dengan nyeri berat lebih lama karena waktu yang dibutuhkan untuk memberikan analgesi yang adekuat juga lebih lama. Di samping itu analgetik golongan opioid yang diberikan menimbulkan efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual, muntah atau somnolens. Pola nyeri pada berbagai jenis pembedahan juga penting, dimana bedah tulang memiliki kejadian nyeri paska operasi yang paling tinggi karena injury pada tulang lebih nyeri dibandingkan jaringan lunak. Hal ini berdasarkan kenyataan periosteum mempunyai ambang batas yang paling rendah dibanding periosteum struktur somatik yang lebih dalam. Reseptor nyeri

27

disuplai oleh pleksus yang mengandung serabut A-d dan C bermielin. Bedah urologi, bedah umum dan ortopedi mempunyai potensi 17 kali untuk menghasilkan nyeri dibandingkan bedah mata, sedangkan bedah saraf, ginekologi dan bedah plastik 9 kali lebih besar dibanding bedah mata. Berdasarkan faktor-faktor prediksi di atas maka metode yang baik untuk penatalaksanaan nyeri paska operasi adalah golongan NSAIDs, anestesi regional dan teknik analgesi multimodal. Kriteria pemulangan pasien ODC Pemulihan adalah proses yang kontinyu, fase awal sering mengalami overlaping dengan akhir intraoperative care. Pasien tidak dapat dikatakan pulih dengan sempurna sampai mereka kembali ke status fisiologis sebelum operasi. Pemulihan awal (fase I) berlangsung mulai dari akhir anestesi sampai pulihnya refleks proteksi dan fungsi motorik. Biasanya membutuhkan monitoring ketat dan pengawasan selama fase ini berlangsung di PACU dengan staf yang terlatih. Ketika pasien pulih dan mampu dipindah ke ambulatory surgical unit (ASU), atau pemulihan fase II, maka penilaian skor Aldrete dilakukan (Marshall, 1999).

28

Skor 9 menandakan pemulihan yang cukup bagi pasien untuk dipindah dari PACU ke ASU. Setelah pasien dipulangkan, mereka menjalani pemulihan penuh di rumah (pemulihan fase III).

29

Waktu pemulangan pasien menunjukkan lamanya waktu yang dimulai dari akhir pembedahan sampai pasien dipulangkan

30

ke rumah setelah menjalani ODC. Waktu ini sering digunakan sebagai pengukuran efikasi membandingkan teknik anestesi, tetapi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak berhubungan dengan anestesi. Hasil penelitian Pavlin et al, 1998 menunjukkan bahwa faktor-faktor mayor yang mempengaruhi waktu pemulangan pasien adalah teknik anestesi, perawatan fase 2 PACU, jenis dan lamanya pembedahan dan waktu operasi selesai. Ketika pasien mendapat anestesi umum murni, maka perawatan fase 2 PACU merupakan faktor tunggal yang berperan 13 % dari keseluruhan variabel waktu pemulangan. Pengamatan setelah anestesi umum didapatkan waktu pemulihan pada wanita lebih cepat 1,4 kali dibandingkan laki-laki setelah induksi atau pemeliharaan dengan propofol dan lebih lambat setelah induksi tiopental atau pemeliharaan isofluran. Hal ini disebabkan kecenderungan sedikitnya gejala muntah dan minimnya profilaksis anti emetik pada wanita yang mendapat propofol. Kejadian drowsiness memperlambat pemulihan fase 1 juga lebih besar pada wanita yang mendapat induksi thiopental dibandingkan propofol, sesuai dengan laporan MacKenzie dan Grant bahwa fungsi kognitif terdepresi lebih lama pada induksi thiopental dibandingkan propofol. Kenyataannya, 20-30% pasien dengan anestesi umum menjalani fase 1 dalam 50 menit dan fase 2 dalam 70 menit untuk pulih secara utuh. Sedikit berbeda dengan penelitian Chung yang melaporkan bahwa 82% pasien yang menjalani pembedahan vagina sederhana dipulangkan ke rumah 120 menit sejak pembedahan selesai. Faktor medis utama yang berperan terhadap keterlambatan pemulangan pasien adalah nyeri yang tidak

31

terkontrol, nausea/vomiting, drowsiness, blok regional yang tidak pulih dan ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih. Sebaliknya faktor sistim merupakan faktor yang paling sering menyebabkan keterlambatan pemulangan pada fase 2 , dimana 53% disebabkan karena minimnya kesediaan seseorang yang mengantar dan menemani pasien pulang, sesuai dengan kejadian 28-38% yang pernah dilaporkan Chung. Pada penelitian Chung, 1995 82% pasien diperbolehkan pulang 12 jam setelah pembedahan dan 95.6% diperbolehkan pulang dalam 3 jam paska pembedahan mereka. Panduan kriteria pemulangan pasien yang aman pada hari yang sama Tanda vital stabil setiap 15 menit sebanyak 4 kali Orientasi baik terhadap waktu, tempat dan orang (atau kembali ke status preoperative) Mampu berjalan dengan bantuan minimal Mual dan muntah yang dapat ditahan Nyeri dapat dikontrol secara adekuat Tidak ada perdarahan paska pembedahan Ada seseorang dewasa yang menemani sekaligus menjaganya Toleran terhadap cairan oral Bisa mengosongkan kandung kemih Pasien yang mendapat anestesi spinal atau epidural hanya dapat dipulangkan ketika fungsi motorik, sensorik dan simpatis kembali seperti sedia kala serta memiliki kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih, artinya blok telah hilang secara komplit. Berikut ini kriteria pemulangan pasien dengan teknik anestesi spinal atau epidural : 1) resolusi komplit terhadap anestesi sensori, 2) resolusi komplit terhadap blockade motorik, 3) tanda vital kembali ke status preanestesi, 4) status mental

pasien

pulang

32

kembali ke status preanestesi, 5) manajemen adekuat terhadap nyeri paska operasi, 6) tidak ada mual, 7) bisa buang air kecil, dan 8) bisa jalan tanpa bantuan asisten (Urmey et al, 1997). Rawat inap paska ODC Sebagian pasien ODC terpaksa menjalani rawat inap yang tidak diharapkan paska pembedahan antara 1-4% (Chung, 1995). Pemondokan ini biasanya berhubungan dengan jenis pembedahan, lamanya pembedahan, penggunaan teknik anestesi umum dan usia pasien. Diperkirakan seperempat pasien yang terpaksa menjalani rawat inap paska ODC berhubungan dengan teknik anestesi yang diberikan. Rawat inap yang tidak diharapkan ini cenderung lebih besar pada pasien yang mendapat anestesi umum dibandingkan dengan anestesi regional, tetapi juga tidak menutup kemungkinan sedasi yang diberikan pada pasien yang mendapat anestesi regional meningkatkan sejumlah komplikasi. Rasio kemungkinan pemondokan paska operasi di rumah sakit setelah anestesi regional lebih rendah (1,2%) dibandingkan setelah anestesi umum (2,9%). Patel membandingkan blok regional saraf femoral, cutaneous femoral lateral dan obturator dengan anestesi umum menggunakan N2O dan narkotik pada pasien yang menjalani knee arthroscopy. Waktu pemulihan pada kelompok anestesi regional lebih pendek dibandingkan kelompok anestesi umum 56 menit vs 95 menit dan kejadian nyeri paska operasi lebih rendah dengan anestesi regional.

33

Alasan pemondokan paska ODC (Hausman, 2005) Faktor pembedahan (63,2%) Pembedahan meluas diluar prosedur yang diantisipasi Komplikasi mengharuskan pembedahan ulang atau observasi lanjut Perdarahan banyak selama atau paska operasi Follow up pembedahan atau rencana prosedur diagnostik Faktor medis (19,9%) Kondisi medis yang tidak terkontrol Membutuhkan terapi antibiotik intravena Faktor anestesi (12,7%) Mual atau muntah terus-menerus Aspirasi pneumonia Lemah dan lesu Nyeri yang tidak terkontrol Faktor lain (4,7%) Pasien menolak pulang Ahli bedah membutuhkan observasi semalam atau pemeriksaan tambahan Tidak ada orang yang cocok untuk merawat pasien di rumah Kesimpulan Pembedahan ODC memberikan banyak keuntungan dan lebih ekonomis bagi pasien. Meskipun demikian tidak semua jenis pembedahan dan tidak semua pasien layak menjalani ODC. Pemilihan teknik dan obat-obat anestesi untuk pembedahan ODC tetap ditentukan berdasarkan kondisi medis penderita, jenis pembedahan dan lamanya pembedahan. Paska pembedahan ODC, pasien dengan anestesi umum atau regional dapat dipulangkan setelah memenuhi kriteria

34

pemulangan. Faktor pembedahan, medik dan anestesi tidak jarang menyebabkan pasien terpaksa di rawat di rumah sakit sampai kriteria pemulangan terpenuhi.

Daftar Pustaka Beilin Y, Zahn J, Abramovitz S, Bernstein H, Hossain S, Bodian C. 2003. Subarachnoid Small-Dose Bupivacaine Versus Lidocaine for Cervical Cerclage. Anesth Analg 97:56-61 Buckenmaier CC, Nielsen KC, Pietrobon R, Klein SM, Martin AH, Greengrass RA, Steele SM. 2002. Small-Dose Intrathecal Lidocaine Versus Ropivacaine for Anorectal Surgery in an Ambulatory Setting Anesthesia & Analgesia 95:1253-1257 Chung F. 1991. Outpatient anaesthesia: Which is the best anaesthetic technique? Canadian journal of anesthesia 39 (7). Chung F. 1995. Recovery Pattern and Home-Readiness After Ambulatory Surgery. Anesth Analg; 80:896902 Chung F, Ritchie E. 1997. Postoperative Pain in Ambulatory Surgery. Anesth Analg 85:80816

35

Hausman LM, Koppel JN. 2005. Ambulatory surgery in : Reed AP, Yudkowitz FS, editors. Clinical case in anesthesia. Elsevier : 45574 Klein SM, Nielsen KC, Greengrass RA, Warner DS, Martin A, Steele SM. 2002. Ambulatory Discharge After Long-Acting Peripheral Nerve Blockade: 2382 Blocks with Ropivacaine. Anesthesia & Analgesia; 94:65-70 Klein S, Pietrobon R, Nielsen KC, Warner DS, Greengrass RA, Steele SM. 2002. Peripheral Nerve Blockade with Long-Acting Lokal Anesthetics: A Survey of The Society for Ambulatory Anesthesia. Anesthesia & Analgesia 94:71-76 Lerman J, Davis PJ, Welborn LG, Orr RJ, Rabb M, Carpenter R, Motoyama E, Hannallah R, Haberkern CM. 1996. Induction, Recovery, and Safety Characteristics of Sevoflurane in Children Undergoing Ambulatory Surgery: A Comparison with Halothane Anesthesiology 84:1332-40 Marshall S, Chung F. 1999. Discharge Criteria and Complications After Ambulatory Surgery. Anesth Analg 88:50817 Nathan N, Peyclit A, Lahrimi A, Feiss P. 1998. Comparison of sevoflurane and propofol for ambulatory anaesthesia in gynaecological surgery. Can J Anaesth 45 / 1148-1150

36

Pavlin DJ, Rapp SE, Polissar NL, Malmgren JA, Koerschgen M, Keyes H. 1998. Factors Affecting Discharge Time in Adult Outpatients. Anesth Analg 87:81626 Philip BK, Lombard LL, Roaf ER, Drager LR, Calalang I, Philip JH. 1999. Comparison of Vital Capacity Induction with Sevoflurane to Intravenous Induction with Propofol for Adult Ambulatory Anesthesia. Anesth Analg 89:6237 Sloan MH, Conard PF, Karsunky PK, Gross JB. 1996. Sevoflurane Versus Isoflurane: Induction and Recovery Characteristics with Single-Breath Inhaled Inductions of Anesthesia. Anesth Analg 82:52832 Smith I, Nathanson M, White PF. 1996. Sevofluranea longawaited volatile anaesthetic. Br. J. Anaesth.; 76:435-45 Urmey WF, Stanton J, Bassin P, Sharrock NE. 1997. The Direction of the Whitacre Needle Aperture Affects the Extent and Duration of Isobaric Spinal Anesthesia. Anesth Analg; 84:33741 Whalley DG, Maurer WG, Knapik AL, Estafanous FG. 1998. Comparison of neuromuscular effects, efficacy and safety of rocuronium and atracurium in ambulatory anaesthesia. Can J Anaesth 45 / 954-959 Wong J, Chung F. 1998. Economic evaluation of sevoflurane vs propofol for ambulatory anaesthesia. Can J Anaesth 45 / 11411143

37

38

Anda mungkin juga menyukai