Anda di halaman 1dari 14

Pengertiane Liberalisme: Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan

pada pemahaman bahwakebebasan adalah nilai politik yang utama.[1] Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. [2] Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.[2] Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan [3].

Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).[2] Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi: Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. [2] Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.[2] Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)[2] Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat. (Government by the Consent of The People or The Governed)[2] Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.[2] Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)[2]

Negara hanyalah alat (The State is Instrument). [2] Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. [2] Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.[2]

Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).[2] Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.[2] [sunting]Dua

Masa Liberalisme

Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. [2] Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. [2] Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. [2] Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. [2] Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. [2] Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalamversi yang baru. [2] Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.[2] Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. [2] Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). [2] Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. [2] Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.[4] [sunting]Pemikiran

Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik

Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik. Marthin Luther dalam Reformasi Agama Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaanimperium Katolik Roma. [5]. Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. [5] Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. [5] Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. [5] Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. [5] Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya terkekang.[5] John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah" atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. [6] Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak

belakang satu sama lainnya. [6] Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. [6] Hobbes (1588 1679) berpandangan bahwa dalam State of Nature, individu itu pada dasarnya jelek (egois) sesuai dengan fitrahnya. [6] Namun, manusia ingin hidup damai. [6] Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). [6] SedangkanJohn Locke (1632 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti membeli kucing dalam karung. [6]Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. [6] Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. [6] Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. [6]Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas hanya sebagai penjaga malam atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik. [6] Adam Smith Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik. [sunting]Relevansi

kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme

Telah dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai Demokrasi dan Kapitalisme. * Demokrasi dan Kebebasan Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis mestilah mempraktekkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negaratotalitarian yang menindas.

Jelaslah bahwa demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang melandasi demokrasi haruslah kebebasan yang positif yang bertanggungjawab, dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.[7] * Kapitalisme dan Kebebasan Tatanan ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan masyarakat yang bebas. Di satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas ; jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan. Di pihak lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara yang sangat yang diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan paksaan tekniknya tentara dan negara dan negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual secara sukarela tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.[8]

A. MASA DEMOKRASI LIBERAL


1. Kurun Waktu 6 September 1950 10 Juli 1959 Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebutDemokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Perlulah diketahui bahwa demokrasi ini yang dibahas oleh kelompok kami berbeda dengan demokrasi selama kurun waktu 1949 1950. Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal). Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950. 2. Pandangan Umum : Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Faktor Yang Menyebabkan Seringnya Terjadi Pergantian Kabinet Pada Masa Demokrasi Liberal: Pada tahun 1950, setelah unitary dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi. Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan. Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasinegosiasi yang rumit. Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik. Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen. Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai

masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950. 3. Seputar Dekrit Presiden Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun tidaklah serta merta bahwa setalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Demokrasi Terpimpin dilaksanakan karena telah disebutkan di atas bahwa Demokrasi Liberal berakhir pada tanggal 10 Juli 1959. Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden : # Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia. # Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap. Situasi politik yang kacau dan semakin buruk. # # Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme. # Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional # Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk # Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara. Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut. a. Pembubaran konstituante b. c. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945. Pembentukan MPRS dan DPAS

Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden: #Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal. Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden. # # KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden. DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945. #

Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut. Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan. # # Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara. # Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya. Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka. # # Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru. Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang. #

Pancasila: Mitos di Era Liberal?


Bung Karno dan Pak Harto, suka atau tidak, dua pemimpin itulah yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pengejawantahan Pancasila. Bung Karno berusaha memudahkan pemahaman rakyat dengan memeras Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila, yaitu Gotong Royong. Pak Harto melakukan indoktrinasi, pencetakan buku-buku, penataran dan penyuluhan kader P4. Pancasila dalam perjalanan sejarahnya merupakan entitas yang dinamis, pernah mengalami pasang surut pula. Adakalanya berkembang bahkan mengalami kemandekan karena tafsir tunggal penguasa. Setiap zaman dalam pergantian rezim, Pancasila selalu mendapat tafsiran dan makna yang berbeda. Lantas bagaimana tafsir dan makna Pancasila di era keterbukaan dan liberal saat ini?

Reformasi 1998 harus diakui mengubah banyak hal, terutama tatanan pemerintahan. Mengubah tatanan bernegara yang pada gilirannya juga mengubah tatanan kita dalam berbangsa. Celakanya perubahan demi perubahan tersebut bukan melulu mengarah pada hal positif, namun sering kali berdasar pada dorongan sesaat sehingga tidak jarang berdampak negatif. Hal itu karena tidak adanya alur yang jelas dan tegas bertolak dari reformasi yang dikehendaki segenap anak bangsa. Konstitusi mendasar kita UUD 1945 bisa menjadi contoh. Dalam waktu singkat, beberapa tahun sejak reformasi sudah mengalami empat kali amendemen. Secara sambil lalu juga membuang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berfungsi sebagai arah bagi negara dan pemerintah dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya. Seiring berjalannya waktu Pancasila pun mulai meredup terpinggirkan oleh hiruk pikuk semangat reformasi. Pengalaman Berpancasila Pada awal kelahirannya, Pancasila tidak lebih sebagai suatu kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka. Awal dekade 1950-an baru mulai muncul inisiatif yang menghendaki untuk melakukan interpetasi ulang terhadap Pancasila. Pancasila bukan lagi sekadar kompromi politik, melainkan sebuah pandangan hidup (weltanschauung) bangsa. Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 menjadi inspirasi utama untuk menafsirkan Pancasila dalam posisi sangat mendasar tersebut. Beberapa tokoh termasuk Muhammad Yamin berada dalam barisan ini. Masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno menafsirkan Pancasila sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa.Weltanschauung bangsa yang dapat menjadi resep ampuh untuk mengatasi beragam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Hal itu jelas menunjukkan keinginan Soekarno untuk meletakkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang konklusif. Sosialisasi seperti itu menjadi pembuka penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang tampil hegemonik.

Upaya Soekarno menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi ideologi negara yang bersifat resmi dan tunggal. Pancasila di dalam tafsir Manipol/USDEK bersifat resmi, tunggal, dan hegemonik. Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan hanya untuk mengenal dan mengamalkan pengertian resmi itu sambil menolak segala paham yang tidak bersesuaian dengannya. Kecenderungan untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara kembali terulang pada masa Orde Baru. Cikal bakalnya sudah tertanam sejak Demokrasi Terpimpin. Tokohtokoh antikomunis saat itu tidak menemukan konsep ideologi yang dapat mempersatukan seluruh kekuatan antikomunis kecuali Pancasila. Masalahnya, wacana Pancasila masa Demokrasi Terpimpin didominasi tafsir Soekarno, sedangkan mereka tidak menyetujuinya. Maka satu-satunya jalan yang paling mungkin dilakukan adalah mendelegitimasi seluruh tafsir Pancasila versi Soekarno dan PKI. Belakangan Orde Baru menjawab tafsir Pancasila dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diindoktrinasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Orde Baru kemudian bergerak lebih jauh dengan mewajibkan seluruh elemen masyarakat menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial politik kemasyarakatan. Di sini, Pancasila telah berubah menjadi ideologi negara yang komprehensif dan memonopoli kebenaran. Tidak memberi tempat bagi ideologi-ideologi lainnya. Tafsir semacam itu diyakini Orde Baru sebagai bentuk yang paling benar sesuai jargon, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Mitos Pancasila? Euforia reformasi sedikitnya ditandai oleh meledaknya syahwat politik yang tak terbendung lagi. Puluhan partai politik turut berkompetisi dalam pemilu pertama pascareformasi. Tumbangnya raja Jawa yang paling berkuasa nyatanya menghasilkan raja-raja kecil yang saling berebut kekuasaan. Ekonomi yang amburadul juga turut mempersubur tumbuhnya konglomerasi hasil dari korupsi dan penjarahan kekayaan negara. Tidak mengherankan jika hari ini masyarakat secara sinis menyebut negeri ini sebagai negeri kleptokrasi. Negeri yang dipimpin oleh para pencuri. Reformasi pun seakan jadi mitos dalam benak anak bangsa. Bedanya jika di masa Orde Baru tidak semua masyarakat bisa berkesempatan melakukan karena dominasi penguasa yang otoriter, kini kesempatan itu semakin terbuka lebar bagi siapa pun karena hilangnya si penguasa otoriter. Tidak heran jika banyak oknum dari berbagai partai politik secara beruntun terjerat kasus korupsi karena semuanya berlomba dan mempunyai kesempatan yang sama. Dilakukan secara massal maupun individual, kongkalikong dengan pengusaha, dengan berbagai bentuk dan di berbagai bidang tidak terkecuali pendidikan. Kini Indonesia dihadapkan pada era liberal yang begitu masif masuk di berbagai bidang. Hal itu jelas menjadi gedoran tersendiri bagi pilar-pilar bangsa dan negara. Sekali lagi Pancasila dan UUD 1945 kembali dipertanyakan. Sementara itu, pemerintahan SBY hingga dua periode ini masih menyisakan setumpuk persoalan yang belum terselesaikan. Bahkan masih saja berkutat pada pencitraan belaka. Bencana alam, pengangguran dan kemiskinan, jaminan kesehatan serta sederet persoalan lainnya menuntut penyelesaian dengan tepat dan cepat. Celakanya sebagian besar saham

pengelolaan kekayaan alam pun dimiliki orang asing. Akhirnya, merekalah yang berhak mengatur dan menikmati sebagian besar alam kita. Setidaknya timbul pertanyaan, apakah kembali munculnya Pancasila ramai dibicarakan bersama tiga pilar lainnya UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika untuk menjawab era liberal sekarang ini? Kiranya masih banyak pertanyaan yang harus dibuktikan oleh pemerintahan SBY. Iktikad baik MPR dalam mewacanakan kembali penguatan empat pilar bangsa tersebut sudah seharusnya direspons secara serius sebagai tugas besar bersama-sama pemerintah dan semua pihak. Pasalnya, dalam rentang sejarahnya Pancasila belum mampu berkembang menjadi ideologi ilmiah atau apa pun yang dapat dipertandingkan dengan ideologi-ideologi besar. Munculnya kembali semangat untuk membincangkan kembali Pancasila di era keterbukaan ini merupakan hal yang penting. Seakan menemukan momentumnya, di tengah ramainya membincangkan Pancasila secara bersamaan sandiwara para elite mulai terkuak. Korupsi, mafia hukum serta kebobrokan lainnya diam-diam juga dilakukan beramai-ramai oleh elite negeri ini. Celakanya partai penguasa beserta pemimpinnya yang sangat mengedepankan politik pencitraan nyatanya semakin kedodoran ketika kasus serupa di tubuhnya mulai terkuak. Akibatnya para elite pada dasarnya semakin disibukkan oleh saling sandera kepentingan serta kompromi untuk mengamankan kekuasaan masing-masing. Bukan mengada-ada, karena pada dasarnya mereka sedang mempersiapkan segala sesuatunya menuju pesta besar Pemilu 2014. Bagaimana nasib Pancasila? Apakah terhenti hanya sebatas slogan yang ikut meramaikan era pasar bebas, menjadi mitos sumber segala gagasan, mitos pemersatu bangsa, mitos sumber dari segala sumber hukum serta mitos penjamin kesentosaan dan kesejahteraan dengan metode penghayatan? Bukankah sedari dulu kehidupan bangsa ini dipenuhi dengan mitos?

Pancasila: Mitos di Era Liberal?


Bung Karno dan Pak Harto, suka atau tidak, dua pemimpin itulah yang mempunyai komitmen tinggi terhadap pengejawantahan Pancasila. Bung Karno berusaha memudahkan pemahaman rakyat dengan memeras Pancasila menjadi Trisila dan kemudian Ekasila, yaitu Gotong Royong. Pak Harto melakukan indoktrinasi, pencetakan buku-buku, penataran dan penyuluhan kader P4. Pancasila dalam perjalanan sejarahnya merupakan entitas yang dinamis, pernah mengalami pasang surut pula. Adakalanya berkembang bahkan mengalami kemandekan karena tafsir tunggal penguasa. Setiap zaman dalam pergantian rezim, Pancasila selalu mendapat tafsiran dan makna yang berbeda. Lantas bagaimana tafsir dan makna Pancasila di era keterbukaan dan liberal saat ini?

Reformasi 1998 harus diakui mengubah banyak hal, terutama tatanan pemerintahan. Mengubah tatanan bernegara yang pada gilirannya juga mengubah tatanan kita dalam berbangsa. Celakanya perubahan demi perubahan tersebut bukan melulu mengarah pada hal positif, namun sering kali berdasar pada dorongan sesaat sehingga tidak jarang

berdampak negatif. Hal itu karena tidak adanya alur yang jelas dan tegas bertolak dari reformasi yang dikehendaki segenap anak bangsa. Konstitusi mendasar kita UUD 1945 bisa menjadi contoh. Dalam waktu singkat, beberapa tahun sejak reformasi sudah mengalami empat kali amendemen. Secara sambil lalu juga membuang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berfungsi sebagai arah bagi negara dan pemerintah dalam membuat dan melaksanakan program kerjanya. Seiring berjalannya waktu Pancasila pun mulai meredup terpinggirkan oleh hiruk pikuk semangat reformasi. Pengalaman Berpancasila Pada awal kelahirannya, Pancasila tidak lebih sebagai suatu kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka. Awal dekade 1950-an baru mulai muncul inisiatif yang menghendaki untuk melakukan interpetasi ulang terhadap Pancasila. Pancasila bukan lagi sekadar kompromi politik, melainkan sebuah pandangan hidup (weltanschauung) bangsa. Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 menjadi inspirasi utama untuk menafsirkan Pancasila dalam posisi sangat mendasar tersebut. Beberapa tokoh termasuk Muhammad Yamin berada dalam barisan ini. Masa Demokrasi Terpimpin, Soekarno menafsirkan Pancasila sebagai satu-satunya alat pemersatu bangsa.Weltanschauung bangsa yang dapat menjadi resep ampuh untuk mengatasi beragam masalah kebangsaan dan kenegaraan. Hal itu jelas menunjukkan keinginan Soekarno untuk meletakkan Pancasila sebagai sebuah ideologi yang konklusif. Sosialisasi seperti itu menjadi pembuka penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang tampil hegemonik. Upaya Soekarno menjadikan Manipol/USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi ideologi negara yang bersifat resmi dan tunggal. Pancasila di dalam tafsir Manipol/USDEK bersifat resmi, tunggal, dan hegemonik. Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan hanya untuk mengenal dan mengamalkan pengertian resmi itu sambil menolak segala paham yang tidak bersesuaian dengannya. Kecenderungan untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara kembali terulang pada masa Orde Baru. Cikal bakalnya sudah tertanam sejak Demokrasi Terpimpin. Tokohtokoh antikomunis saat itu tidak menemukan konsep ideologi yang dapat mempersatukan seluruh kekuatan antikomunis kecuali Pancasila. Masalahnya, wacana Pancasila masa Demokrasi Terpimpin didominasi tafsir Soekarno, sedangkan mereka tidak menyetujuinya. Maka satu-satunya jalan yang paling mungkin dilakukan adalah mendelegitimasi seluruh tafsir Pancasila versi Soekarno dan PKI. Belakangan Orde Baru menjawab tafsir Pancasila dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diindoktrinasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Orde Baru kemudian bergerak lebih jauh dengan mewajibkan seluruh elemen masyarakat menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan sosial politik kemasyarakatan. Di sini, Pancasila telah berubah menjadi ideologi negara yang komprehensif dan memonopoli kebenaran. Tidak memberi tempat bagi ideologi-ideologi lainnya. Tafsir semacam itu diyakini Orde Baru sebagai bentuk yang paling benar sesuai jargon, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Mitos Pancasila? Euforia reformasi sedikitnya ditandai oleh meledaknya syahwat politik yang tak terbendung lagi. Puluhan partai politik turut berkompetisi dalam pemilu pertama pascareformasi. Tumbangnya raja Jawa yang paling berkuasa nyatanya menghasilkan raja-raja kecil yang saling berebut kekuasaan. Ekonomi yang amburadul juga turut mempersubur tumbuhnya konglomerasi hasil dari korupsi dan penjarahan kekayaan negara. Tidak mengherankan jika hari ini masyarakat secara sinis menyebut negeri ini sebagai negeri kleptokrasi. Negeri yang dipimpin oleh para pencuri. Reformasi pun seakan jadi mitos dalam benak anak bangsa. Bedanya jika di masa Orde Baru tidak semua masyarakat bisa berkesempatan melakukan karena dominasi penguasa yang otoriter, kini kesempatan itu semakin terbuka lebar bagi siapa pun karena hilangnya si penguasa otoriter. Tidak heran jika banyak oknum dari berbagai partai politik secara beruntun terjerat kasus korupsi karena semuanya berlomba dan mempunyai kesempatan yang sama. Dilakukan secara massal maupun individual, kongkalikong dengan pengusaha, dengan berbagai bentuk dan di berbagai bidang tidak terkecuali pendidikan. Kini Indonesia dihadapkan pada era liberal yang begitu masif masuk di berbagai bidang. Hal itu jelas menjadi gedoran tersendiri bagi pilar-pilar bangsa dan negara. Sekali lagi Pancasila dan UUD 1945 kembali dipertanyakan. Sementara itu, pemerintahan SBY hingga dua periode ini masih menyisakan setumpuk persoalan yang belum terselesaikan. Bahkan masih saja berkutat pada pencitraan belaka. Bencana alam, pengangguran dan kemiskinan, jaminan kesehatan serta sederet persoalan lainnya menuntut penyelesaian dengan tepat dan cepat. Celakanya sebagian besar saham pengelolaan kekayaan alam pun dimiliki orang asing. Akhirnya, merekalah yang berhak mengatur dan menikmati sebagian besar alam kita. Setidaknya timbul pertanyaan, apakah kembali munculnya Pancasila ramai dibicarakan bersama tiga pilar lainnya UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika untuk menjawab era liberal sekarang ini? Kiranya masih banyak pertanyaan yang harus dibuktikan oleh pemerintahan SBY. Iktikad baik MPR dalam mewacanakan kembali penguatan empat pilar bangsa tersebut sudah seharusnya direspons secara serius sebagai tugas besar bersama-sama pemerintah dan semua pihak. Pasalnya, dalam rentang sejarahnya Pancasila belum mampu berkembang menjadi ideologi ilmiah atau apa pun yang dapat dipertandingkan dengan ideologi-ideologi besar. Munculnya kembali semangat untuk membincangkan kembali Pancasila di era keterbukaan ini merupakan hal yang penting. Seakan menemukan momentumnya, di tengah ramainya membincangkan Pancasila secara bersamaan sandiwara para elite mulai terkuak. Korupsi, mafia hukum serta kebobrokan lainnya diam-diam juga dilakukan beramai-ramai oleh elite negeri ini. Celakanya partai penguasa beserta pemimpinnya yang sangat mengedepankan politik pencitraan nyatanya semakin kedodoran ketika kasus serupa di tubuhnya mulai terkuak. Akibatnya para elite pada dasarnya semakin disibukkan oleh saling sandera kepentingan

serta kompromi untuk mengamankan kekuasaan masing-masing. Bukan mengada-ada, karena pada dasarnya mereka sedang mempersiapkan segala sesuatunya menuju pesta besar Pemilu 2014. Bagaimana nasib Pancasila? Apakah terhenti hanya sebatas slogan yang ikut meramaikan era pasar bebas, menjadi mitos sumber segala gagasan, mitos pemersatu bangsa, mitos sumber dari segala sumber hukum serta mitos penjamin kesentosaan dan kesejahteraan dengan metode penghayatan? Bukankah sedari dulu kehidupan bangsa ini dipenuhi dengan mitos?

Pancasila Sebagai Ideologi Negara


Filed Under : Juni 2010 by admin Jun.21,2010

Ideologi secara praktis diartikan sebagai system dasar seseorang tentang nilai-nilai dan tujuan-tujuan serta sarana-sarana pokok untuk mencapainya. Jika diterapkan oleh Negara maka ideology diartikan sebagai kesatuan gagasan-gagasan dasar yang disusun secara sistematis dan dianggap menyeluruh tentang manusia dan kehidupannya, baik sebagai individu, social, maupun dalam kehidupan bernegara. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka, Pancasila jika dilihat dari nilai-nilai dasarnya, dapat dikatakan sebagai ideologi terbuka. Dalam ideology terbuka terdapat cita-cita dan nilainilai yang mendasar, bersifat tetap dan tidak berubah. Oleh kareanya ideology tersebut tidak langsung bersifat operasional, masih harus dieksplisitkan, dijabarkan melalui penafsiran yang sesuai dengan konteks jaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka memiliki ideologi-ideologi idealitas, normative dan realities. Perbandingan antara Ideologi Liberalisme, Komunisme dan Pancasila a. Liberalisme Jika dibandingkan dengan ideologi Pancasila yang secara khusus normanormanya terdapat di dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka dapat dikatakan bahwa hal-hal yang terdapat di dalam liberalisme terdapat di dalam pasal-pasal UUD 1945, tetapi Pancasila menolak liberalisme sebagai ideology yang bersifat absolutisasi dan determinisme. b. Ideologi Komunis Ideologi komunisme bersifat absolutisasi dan determinisme, karena memberi perhatian yang sangat besar kepada kolektivitas atau masyarakat, kebebasan individu, hak milik pribadi tidak diberi tempat dalam Negara komunis. Manusia dianggap sebagai sekrup dalam sebuah kolektivitas. c. Ideologi Pancasila Pancasila sebagai Ideologi memberi kedudukan yang seimbang kepada manusia sebagai makhluk individu dan makhluk social. Pancasila bertitik tolak

dari pandangan bahwa secara kodrati bersifat monopluralis, yaitu manusia yang satu tetapi dapat dilihat dari berbagai dimensi dalam aktualisasinya.

Anda mungkin juga menyukai