Anda di halaman 1dari 15

PEMFIGUS PENDAHULUAN Istilah pemfigus, berasal dari kata pemphix (Yunani) yang berarti lepuh atau gelembung, merupakan

sekelompok penyakit berlepuh kronik dimana autoantibodi secara langsung menyerang permukaan keratinosit yang mengakibatkan hilangnya adhesi antar keratinosit melalui proses yang disebut akantolisis.1 Pemfigus merupakan kasus yang jarang ditemukan, parah, dan berpotensial mengancam kehidupan.2 Secara umum, insiden pemfigus berkisar antara 0,76-5 kasus baru per 1 juta penduduk per tahun.1 Pemfigus dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering menyerang usia pertengahan.3 Pemfigus dapat ditemukan di seluruh dunia, namun insiden lebih tinggi di kalangan Yahudi. Secara garis besar, pemfigus dibagi menjadi tiga, yaitu pemfigus vulgaris, foliaseus, dan paraneoplastik.1 Di sebagian besar negara, pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang paling sering ditemukan.1 Pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang paling serius dan berbahaya karena terjadi pada pasien yang telah mengalami keganasan.4 Gambaran klinis ditandai oleh adanya lepuh pada kulit maupun mukosa, tetapi pada umumnya bervariasi tergantung dari masing-masing tipe.5 Pengobatan pada pemfigus ditujukan untuk mengurangi pembentukan autoantibodi.1 Penggunaan kortikosteroid dan imunosupresan telah menjadi pilihan terapi, akan tetapi morbiditas dan mortalitas akibat efek samping obat tetap harus diwaspadai.1 Bila diagnosis dapat ditegakkan secara dini dengan pengetahuan yang cukup mengenai pemfigus, maka dapat dilakukan terapi dengan cepat sehingga prognosis penyakit ini akan lebih baik.

DEFINISI Pemfigus merupakan sekelompok penyakit berlepuh autoimun pada kulit dan membran mukosa yang ditandai oleh: 1

secara histologi, lepuh intraepidermal karena hilangnya hubungan antar keratinosit secara imunopatologi, ditemukannya IgG autoantibodi terikat dan bersirkulasi yang secara langsung menyerang permukaan keratinosit.1

Gambar 1. Bula intraepidermal

KLASIFIKASI Pemfigus terbagi menjadi 3 bentuk utama:1 1. Pemfigus vulgaris 2. Pemfigus foliaseus 3. Pemfigus paraneoplastik Dari ketiga bentuk tersebut, pemfigus paraneoplastik adalah bentuk yang paling berbahaya karena sering ditemukan pada pasien yang telah didiagnosis mengalami keganasan (kanker). Namun, pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang paling jarang ditemukan.4 PATOGENESIS1,3 Semua bentuk pemfigus mempunyai sifat khas, antara lain: Hilangnya kohesi sel-sel epidermis (akantolisis) Adanya antibodi IgG terhadap antigen determinan yang ada pada permukaan keratinosit yang sedang berdiferensiasi. Pada pemfigus vulgaris lepuh terjadi akibat adanya reaksi autoimun terhadap antigen pemfigus vulgaris. Antigen ini merupakan glikoprotein transmembran dengan berat molekul 130 kD untuk pemfigus vulgaris dan 160 kD untuk pemfigus foliaseus yang terdapat di permukaan keratinosit.

Antigen target pada pemfigus vulgaris yang hanya dengan lesi oral ialah desmoglein 3, sedangkan yang dengan lesi oral dan kulit ialah desmoglein 1 dan 3. Pada pemfigus foliaseus antigen targetnya adalah desmoglein 1. Desmoglein merupakan salah satu komponen desmosom. Desmosom berfungsi untuk meningkatkan kekuatan mekanik epitel gepeng berlapis yang terdapat pada kulit dan mukosa. Penderita dengan penyakit yang aktif mempunyai antibodi subklas IgG1 dan IgG4, tetapi yang patogenetik adalah IgG4. Pada pemfigus juga terdapat faktor genetik, umumnya berkaitan dengan HLADR4.

Gambar 2. Kompensasi desmoglein (Dsg). Gambar segitiga menunjukkan distribusi dari Dsg 1 dan 3 pada kulit dan membran mukosa. Antibodi anti-Dsg 1 pada pemfigus foliaseus menyebabkan akantolisis hanya di permukaan epidermis dari kulit. Pada epidermis dan membran mukosa bagian dalam, Dsg 3 mengadakan kompensasi terhadap adanya antibodi yang mengurangi fungsi Dsg 1. Pada pemfigus vulgaris dini, terdapat antibodi yang hanya menyerang Dsg 3, yang menyebabkan timbulnya lepuh hanya pada bagian dalam membran mukosa dimana Dsg 3 berlokasi tanpa adanya kompensasi dari Dsg 1. Namun, pada pemfigus mukokutan terdapat antibodi yang menyerang Dsg 1 dan Dsg 3, dan lepuh terbentuk baik pada kulit maupun membran mukosa. Lepuh terletak di dalam karena antibodi berdifusi dari dermis dan mengganggu fungsi desmosom pada bagian basal epidermis.

EPIDEMIOLOGI

Penelitian retrospektif sebelumnya terhadap pasien pemfigus vulgaris, pemfigus foliaseus atau keduanya telah menunjukkan secara jelas bahwa epidemiologi dari pemfigus tergantung pada wilayah di dunia yang diteliti dan juga populasi etnis pada wilayah tersebut.3 Prevalensi pemfigus pada pria dan wanita untuk kedua tipe ini hampir sama di semua wilayah.1,3 Pengecualian khusus yaitu seringnya wanita menjadi fokus penyebaran pemfigus vulgaris di Tunisia dan seringnya pria menjadi fokus penyebaran pemfigus vulgaris di Kolombia. 3 Usia rata-rata timbulnya penyakit ini berkisar antara 40-60 tahun.3 Namun, batas usia ini dapat melebar dimana pernah ditemukan beberapa kasus pada anak maupun pada usia lanjut. 1 Walaupun semua etnik dapat terkena, namun pemfigus lebih sering dijumpai pada orang Timur Tengah atau keturunan Yahudi.6 Di sebagian besar negara, pemfigus vulgaris lebih sering ditemukan daripada pemfigus foliaseus, kecuali di Finlandia, Tunisia, dan Brazil.1 FAKTOR RISIKO DAN PENYEBAB6 Para peneliti belum mengetahui secara pasti penyebab terjadinya pemfigus, namun diduga kuat bahwa penyakit ini merupakan penyakit autoimun. Pada keadaan normal, sistem imun tubuh menyerang virus, bakteri, dan substansi berbahaya lainnya. Namun pada pasien pemfigus, sistem imun menyerang protein normal yang disebut desmoglein pada kulit dan membran mukosa. Protein ini mengikat sel bersama-sama, dan ketika protein ini rusak, epidermis akan terpisah sehingga terbentuk lepuh. Pasien dengan kanker sering mengalami pemfigus, terutama pada non-Hodgkin limfoma dan leukemia limfositik kronik. Adanya kelainan autoimun lainnya juga meningkatkan risiko terjadinya pemfigus, antara lain: Miastenia gravis. Penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh adanya kelemahan otot. Timoma Pada beberapa kasus yang jarang terjadi, pemfigus dapat timbul akibat mengkonsumsi obat-obatan seperti ACE inhibitor.

GAMBARAN KLINIS 4

Pemfigus ditandai oleh adanya lepuh-lepuh pada kulit dan membran mukosa. Gambaran klinis dari ketiga bentuk pemfigus bervariasi tergantung dari tipenya masing-masing. Pemfigus Vulgaris Pemfigus vulgaris ditandai oleh adanya bula berdinding tipis, relatif flaksid, dan mudah pecah yang timbul baik pada kulit atau membran mukosa normal maupun di atas dasar eritematous.1 Cairan bula pada awalnya jernih tetapi kemudian dapat menjadi hemoragik bahkan seropurulen. Bula-bula ini mudah pecah, dan secara cepat akan ruptur sehingga terbentuk erosi. Erosi ini sering berukuran besar dan dapat menjadi generalisata. Kemudian erosi akan tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk sembuh. Tetapi bila lesi ini sembuh sering berupa hiperpigmentasi tanpa pembentukan jaringan parut.1,7 Pemfigus vulgaris biasanya timbul pertama kali di mulut kemudian di sela paha, kulit kepala, wajah, leher, aksila, dan genital. Pada awalnya hanya dijumpai sedikit bula, tetapi kemudian akan meluas dalam beberapa minggu, atau dapat juga terbatas pada satu atau beberapa lokasi selama beberapa bulan.7 Tanda Nikolsky positif, karena hilangnya kohesi antar sel di epidermis sehingga lapisan atas dapat dengan mudah digeser ke lateral dengan tekanan ringan.7 Lesi di mulut muncul pertama kali dalam 60% kasus. Bula akan dengan mudah pecah dan mengakibatkan erosi mukosa yang terasa nyeri. Lesi ini akan meluas ke bibir dan membentuk krusta. Keterlibatan tenggorokan akan mengakibatkan timbulnya suara serak dan kesulitan menelan. Esofagus dapat terlibat, dan telah dilaporkan suatu esophagitis dissecans superficialis sebagai akibatnya. Konjungtiva, mukosa nasal, vagina, penis, dan anus dapat juga terlibat.7

Gambar 3. Pemfigus vulgaris. A. Bula flaksid B. Lesi oral

Gambar 4. Pemfigus vulgaris. Erosi luas akibat lepuh pada kulit

Pemfigus Foliaseus Karakteristik lesi pemfigus foliaseus secara klinis antara lain berskuama, erosi berkrusta, dan sering pada dasar eritematous. Pada stadium lokal dini, lesi ini biasanya berbatas tegas dan tersebar pada daerah seboroik, termasuk wajah, kulit kepala, dan trunkus bagian atas. Lesi primer berupa lepuh kecil yang flaksid sering sulit ditemukan. Penyakit ini dapat menetap secara lokal untuk beberapa tahun, atau dapat secara cepat menjadi generalisata sehingga terjadi eritroderma eksfoliatif.3 Paparan sinar matahari, panas, atau keduanya dapat menyebabkan eksaserbasi dari penyakit ini. Pasien dengan pemfigus foliaseus sering mengeluh nyeri dan rasa seperti terbakar pada lesi di kulitnya. Berbeda dengan pemfigus vulgaris, pemfigus foliaseus jarang melibatkan membran mukosa.3

Gambar 5. Pemfigus foliaseus. A. Lesi berkrusta dan berskuama pada punggung atas. B. Eritroderma eksfoliatif akibat lesi yang konfluen

Pemfigus Paraneoplastik1 Bentuk ini sering dikaitkan dengan adanya neoplasma, baik jinak maupun ganas. Neoplasma yang paling sering dihubungkan dengan penyakit ini antara lain limfoma non-Hodgkin (40%), leukemia limfositik kronik (30%), Castlemans disease (10%), timoma jinak dan ganas (6%), sarkoma (6%), dan Waldenstorms macroglobulinemia (6%).

Gambar 6. Tumor yang sering dikaitkan dengan pemfigus paraneoplastik

Gambaran klinis yang paling sering dijumpai adalah adanya stomatitis yang sukar semubuh. Stomatitis berat biasanya merupakan tanda yang paling awal, dan setelah mendapat pengobatan, stomatitis ini tetap ada dan resisten terhadap pengobatan. Stomatitis ini terdiri dari erosi dan ulserasi yang menyerang seluruh permukaan orofaring dan mengadakan penyebaran pada bibir. Sebagian besar pasien juga mengalami konjungtivitis pseudomembran yang berat, yang dapat berkembang menjadi parut dan terjadi obliterasi pada forniks konjungtiva. Lesi mukosa pada esofagus, nasofaring, vagina, labia, dan penis dapat juga ditemukan. Lesi di kulit bentuknya bervariasi, antara lain dapat berupa makula eritematous, lepuh flaksid dan erosi yang menyerupai pemfigoid bulosa, lesi seperti eritema multiforme, dan liken. Adanya lepuh dan lesi seperti eritema multiforme pada telapak tangan dan kaki sering digunakan sebagai ciri untuk membedakan pemfigus paraneoplastik dari pemfigus vulgaris.

Gambar 7. A. Erosi luas pada bibir pasien dengan pemfigus paraneoplastik dan limfoma. Stomatitis berat yang khas disertai dengan lesi kutan polimorfik. B. Ulserasi yang nyeri pada bagian lateral lidah. C. Lesi di trunkus pada pasien yang sama dalam gambar A. Makula dan papula eritematous yang menjadi erosi pada bagian atas dada. D. Lesi di lengan bawah pada pasien yang sama.

DIAGNOSIS BANDING1 Pemfigus vulgaris. Diagnosis banding pemfigus vulgaris dengan lesi pada mukosa antara lain stomatitis herpetika, stomatitis aftosa, eritema multiforme atau sindrom Stevens Johnson, liken planus, lupus eritematosus sistemik, dan pemfigoid sikatrisial. Pada lesi kulit diagnosis bandingnya antara lain bentuk lain pemfigus, pemfigoid bulosa, dermatosis bulosa IgA linear, eritema multiforme, penyakit Hailey-Hailey dan dermatosis akantolisis transien. Pemfigus foliaseus. Diagnosis banding dari pemfigus foliaseus antara lain bentuk lain pemfigus, impetigo bulosa, dermatosis pustular subkorneal, dermatosis bulosa IgA linear, dan dermatitis seboroik. Pemfigus paraneoplastik. Diagnosis banding bentuk ini adalah pemfigus vulgaris, pemfigoid sikatrisial, eritema multiforme atau sindrom Stevens Johnson, liken planus, infeksi HSV persisten, dan infeksi virus lain.

DIAGNOSIS Untuk dapat mendiagnosis suatu pemfigus diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Lepuh dapat dijumpai pada berbagai penyakit sehingga dapat mempersulit dalam penegakkan diagnosis. Perlu dilakukan pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan adanya Nikolskys sign yang menunjukkan adanya pemfigus.5 Beberapa pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain: Biopsi kulit dan patologi anatomi. Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan diperiksa di bawah mikroskop.6 Gambaran histopatologi utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit satu dengan yang lain.7 Pada pemfigus vulgaris dapat dijumpai adanya akantolisis suprabasiler, sedangkan pada pemfigus foliaseus akantolisis terjadi di bawah stratum korneum dan pada stratum granulosum.3

C Gambar 8. Gambaran hitopatologi pemfigus. A. Pemfigus vulgaris. B. Pemfigus foliaseus. C.Pemfigus paraneoplastik

Imunofluoresensi. Pemeriksaan ini terdiri dari: Imunofluoresensi langsung. Sampel yang diambil dari biopsi diwarnai dengan cairan fluoresens. Pemeriksaan ini dinamakan direct immunofluorescence (DIF). Pemeriksaan DIF memerlukan mikroskop khusus untuk dapat melihat antibodi pada sampel yang telah diwarnai dengan cairan fluoresens.6 Imunofluoresensi tidak langsung. Antibodi terhadap keratinosit dideteksi melalui serum pasien.3

Gambar 9. Imunofluoresensi pada pemfigus. A. Imunofluoresensi langsung. B. Imunofluoresensi tidak langsung.

Tes darah. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya antibodi terhadap protein yang disebut desmoglein. Adanya antibodi tersebut mengindikasikan terjadinya pemfigus.6

KOMPLIKASI5 Komplikasi yang mungkin terjadi adalah infeksi kulit dan penyebaran infeksi melalui aliran darah (sepsis). Infeksi sistemik dapat menyebabkan kematian. Komplikasi dari pemfigus paraneoplastik meliputi masalah pernapasan. Angka kematian dari tipe ini diperkirakan 90%. Komplikasi lainnya adalah kemungkinan efek samping dari pengobatan yang digunakan terutama kortikosteroid. PENGOBATAN Pendekatan terapi pemfigus sangat bervariasi. Secara umum, para ahli sepakat bahwa pemfigus vulgaris walaupun pada awalnya terbatas tetapi perlu diatasi segera

10

saat onset penyakit karena penyakit ini dapat dengan cepat meluas dan prognosis akan menjadi buruk bila tidak diobati.3 Walaupun lesi pada pemfigus foliaseus biasanya tetap terbatas selama beberapa tahun, prognosis tanpa terapi sistemik mungkin baik, pasien dengan pemfigus tipe ini secara umum tidak memerlukan terapi sistemik. Tetapi ketika penyakit ini aktif dan meluas, terapi pada pemfigus foliaseus sama dengan terapi pada pemfigus vulgaris.3 Karena pemfigus disebabkan oleh autoantibodi yang patogen, terapi harus ditujukan untuk mengurangi pembentukan autoantibodi, tidak hanya menekan peradangan lokal. Penggunaan kortikosteroid sistemik dan imunosupresif telah meningkatkan prognosis pemfigus, akan tetapi morbiditas dan mortalitas tetap signifikan karena kematian kadang-kadang terjadi akibat komplikasi terapi.1 Kortikosteroid sistemik merupakan terapi utama pada pemfigus sedangkan agen imunosupresif digunakan karena efek corticosteroid-sparing yang berguna untuk mengurangi efek samping kortikosteroid. Tujuan terapi adalah untuk mengontrol penyakit dengan dosis kortikosteroid seminimal mungkin.1 Pemfigus Vulgaris Terapi kortikosteroid sistemik, biasanya berupa prednison oral, merupakan terapi standar. Prednison dengan dosis 1 mg/kgBB/hari (biasanya 60 mg/hari) merupakan dosis inisial. Efek terapetik diperkirakan dari jumlah lepuh baru dan ratarata penyembuhan dari lesi baru, lalu dosis prednison dapat diturunkan secara bertahap. Jika remisi tercapai, perubahan kadar autoantibodi bersirkulasi, yang dapat ditentukan melalui pemeriksaan imunofluoresens tidak langsung atau ELISA, sangat membantu dalam memperkirakan dosis prednison. Jika tidak ada respon dalam 3-7 hari, pilihan terapi lainnya dapat dipertimbangkan. Terapi denyut intravena dengan menggunakan metilprednisolon 1 g/hari (dalam 2-3 jam dengan pemantauan berkala fungsi jantung) selama 3-5 hari dapat menjadi terapi alternatif pada kasus berat.1 Agen imunosupresif seperti azatioprin dan siklofosfamid, bila dikombinasi dengan kortikosteroid dapat meningkatkan angka kesembuhan. Azatioprin digunakan dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari (biasanya 100-300 mg/hari) dan efek samping utama obat ini berupa nausea dan supresi sumsum tulang. Siklofosfamid diberikan dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari (biasanya 50-200 mg/hari) dan efek samping utama berupa sistitis hemoragik, sterilitas, dan leukopenia. Jika remisi sempurna tercapai dengan terapi kombinasi tersebut, maka dosis obat imunosupresif dipertahankan sambil 11

menurunkan dosis kortikosteroid. Bila telah mencapai kortikosteroid dosis 5-10 mg/hari, dapat dilakukan penurunan dosis obat imunosupresif secara perlahan. Pada pasien usia lanjut dengan penyakit terbatas atau pada pasien dimana penggunaan kortikosteroid kontraindikasi, dapat diberikan agen imunosupresif saja.1 Mikofenolat mofetil merupakan obat yang aman dan efektif untuk digunakan dalam kombinasi dengan kortikosteroid. Mikofenolat mofetil diberikan dengan dosis 2-3 g/hari. Mekanisme kerja sama dengan azatioprin, dengan efek supresi sumsum tulang lebih sedikit tetapi lebih banyak toksisitas pada saluran cerna.1 Mikofenolat mofetil memiliki efek yang cepat dalam menurunkan titer antibodi pemfigus dan mengurangi aktivitas penyakit, walaupun pada pasien yang tidak memberikan respon terhadap azatioprin. Karena efek sampingnya juga lebih sedikit dibandingkan azatioprin, obat ini kemudian menggantikan azatioprin sebagai agen lini pertama yang digunakan dalam mengobati pasien pemfigus.3 Siklosporin (5 mg/hari) juga telah digunakan pada pasien pemfigus vulgaris.1 Plasmaferesis bermanfaat dalam menurunkan titer autoantibodi bersirkulasi secara cepat dan dapat dipertimbangkan untuk digunakan pada pemfigus berat jika tidak ada respon terhadap pengobatan kombinasi kortikosteroid dan agen imunosupresif.1 Dosis tinggi IVIg merupakan pilihan terapi lainnya pada kasus resisten. IVIg adalah produk darah yang disiapkan dari plasma yang memiliki efek imunomodulasi bila digunakan dalam dosis tinggi, walaupun mekanisme pastinya belum diketahui. Rutuximab, antibodi monoklonal anti-CD20 dengan target pada sel B, dapat sangat efektif pada pasien yang refrakter terhadap terapi imunosupresif standar.1 Pemfigus Foliaseus Bila pemfigus foliaseus aktif dan luas, pengobatan secara umum sama seperti pemfigus vulgaris. Pada beberapa pasien, pemfigus foliaseus dapat menetap secara lokal selama bertahun-tahun sehingga tidak memerlukan terapi sistemik, dan penggunaan kortikosteroid topikal superpoten dapat bermanfaat untuk mengontrol penyakit ini.1 Dapson seringkali berguna baik sebagai terapi tunggal pada kasus ringan ataupun untuk mengurangi dosis steroid. Dapson terutama dapat digunakan bila neutrofil dominan secara histologik.1,3

12

Pemfigus Paraneoplastik Pasien dengan tumor jinak seperti timoma atau Castleman tumor, sebaiknya dilakukan pembedahan pada tumor tersebut. Sebagian besar pasien akan mengalami perbaikan setelah dilakukan bedah eksisi pada tumor-tumor yang mendasari terjadinya pemfigus paraneoplastik, bahkan sebagian mencapai remisi lengkap. 1 Remisi dari penyakit autoimun dapat berlangsung selama 1-2 tahun setelah pembedahan sehingga penggunaan imunosupresan selama periode tersebut sangat dianjurkan. Pengobatan umum pada bentuk ini biasanya adalah kombinasi prednison dan rituximab. Pada kasus anak dengan penyakit saluran nafas, autoimun yang menetap setelah pembedahan dapat menyebabkan kerusakan paru sehingga diperlukan transplantasi paru untuk keselamatan jangka panjang.3 Pada pasien dengan tumor ganas, belum ada terapi standar yang efektif. Penambahan kemoterapi spesifik tumor dapat menghasilkan resolusi lengkap dari keganasan dan resolusi perlahan untuk lesi di kulit. 1 Walaupun lesi kulit memiliki respon yang lebih baik terhadap terapi, stomatitis biasanya tidak berespon terhadap berbagai bentuk terapi. Selain kortikosteroid, para peneliti telah mencoba memberikan obat-obat lain pada kasus-kasus tersendiri, namun tidak terbukti efektif. Metode yang telah dilakukan dan seringkali tidak berhasil antara lain pemberian imunosupresan seperti siklofosfamid, mikofenolat mofetil atau azatioprin, emas, dapson, plasmaferesis, dan fotoferesis. Hanya sedikit pasien yang memberikan respon terhadap kombinasi pengobatan yang ditujukan pada autoimunitas humoral dan yang dimediasi sel. Pasien-pasien ini menerima prednison oral, rituximab, dan daclizumab, yang merupakan monoklonal antibodi terhadap CD25 dengan afinitas tinggi terhadap reseptor IL-2. Metode ini merupakan metode yang kurang toksik dalam meregulasi baik autoimunitas humoral maupun yang dimediasi sel, dengan hasil segera yang menjanjikan.3 PROGNOSIS3 Sebelum adanya terapi glukokortikoid, pemfigus vulgaris hampir selalu berakibat fatal, dan pemfigus foliaseus berakibat fatal pada 60% pasien. Pemfigus foliaseus hampir selalu berakibat fatal pada pasien usia lanjut dengan sejumlah permasalahan dalam pengobatan. Namun, pada pasien lainnya prognosis lebih baik dibandingkan dengan pemfigus vulgaris. 13

Penambahan glukokortikoid sistemik dan penggunaan terapi imunosupresif telah meningkatkan prognosis pasien dengan pemfigus. Namun demikian, pemfigus tetap merupakan penyakit yang dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Infeksi sering menjadi penyebab kematian, dan dengan meningkatnya kebutuhan akan imunosupresan pada penyakit yang aktif, terapi seringkali menjadi faktor yang berperan dalam menyebabkan kematian. Dengan terapi glukokortikoid dan imunosupresan, mortalitas (baik dari penyakit maupun terapi) pasien dengan pemfigus vulgaris yang diikuti dalam 4 sampai 10 tahun adalah 10% atau kurang, dimana pada pemfigus foliaseus angka ini cenderung lebih kecil. KESIMPULAN Pemfigus merupakan sekelompok penyakit berlepuh autoimun pada kulit dan membran mukosa yang ditandai oleh lepuh intraepidermal karena hilangnya hubungan antar keratinosit secara histologi dan ditemukannya IgG autoantibodi terikat dan bersirkulasi secara imunologis yang menyerang permukaan keratinosit. Pemfigus terdiri dari 3 bentuk utama, yaitu pemfigus vulgaris, foliaseus, dan paraneoplastik. Pemfigus vulgaris merupakan bentuk yang paling sering ditemukan sedangkan pemfigus paraneoplastik merupakan bentuk yang paling berbahaya. Gambaran klinis berupa adanya lepuh pada kulit dan membran mukosa. Gambaran klinis dari ketiga bentuk pemfigus bervariasi tergantung dari tipenya masing-masing. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan histopatologi, imunologi (imunofluoresens), dan tes darah. Pemfigus dapat berakibat fatal karena dapat menimbulkan berbagai komplikasi, namun komplikasi ini juga dapat timbul sebagai akibat dari terapi. Prinsip terapi adalah untuk mengurangi pembentukan autoantibodi, tidak hanya menekan peradangan lokal sehingga digunakan kortikosteroid sistemik dan obat-obat imunosupresif. Namun, efek samping dari obat tersebut harus diwaspadai karena dapat mengakibatkan kematian. Secara umum prognosis pemfigus foliaseus lebih baik dari pemfigus vulgaris, sedangkan prognosis pada pemfigus paraneoplastik selalu buruk.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Amagai M. Pemfigus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP (eds). Dermatology. Spain: Elsevier. 2008; 5: 417-29. 2. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. 3 rd ed. Victoria: Blackwell Publishing. 2002; 9: 108-9. 3. Stanley JR. Pemfigus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ (eds). Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two vol. set). 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008: 459-74. 4. American Osteopathic College of Dermatology. Pemfigus. 2009. Available from: URL: HYPERLINK http: http://www.aocd.org/skin/dermatologic_diseases/ pemfigus.html. 5. Mayo Clinic Staff. Pemfigus. May 2008. Available from: URL: HYPERLINK http: http://www.mayoclinic.com/health/pemfigus/DS00749. 6. Luchetti ME. Pemfigus. April 2007. Available from: URL: HYPERLINK http://yourtotalhealth.ivillage.com/pemfigus.html. 7. Berger TG, Odom RB, James WD. Andrews disease of the skin. 9 th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 2000; 21: 574-84.

15

Anda mungkin juga menyukai