Anda di halaman 1dari 13

1

I.

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Senyawa nitrogen merupakan senyawa organik yang memiliki peran penting dalam kehidupan. Kita ambil contoh asam amino, selain berperan dalam pembangunan sel sel tubuh yang sudah rusak, asam amino juga merupakan salah satu nutrien yang diperlukan dalam metabolismenya. Senyawa nitrogen (asam amino) yang sudah diproses didalam tubuh, akan dikeluarkan dalam bentuk amonia dan urea. Begitulah skema sederhana tentang pentingnya peran senyawa organik di dalam tubuh kita. Seyawa nitrogen bisa dijumpai dalam bentuk protein (asam amino) dan senyawa non protein nitrogen. Yang masing-masngnya memiliki komponen ekstraktif yang berbeda. Begitu pula faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya. Ikan dan shellfish adalah makhluk hidup yang memiliki nilai gizi protein yang tinggi, dengan demikian hal ini menunjukkan bahwa ikan mengandung senyawa nitrogen yang banyak. Disamping itu ikan dan shellfish yang memiliki kandungan air yang cukup tinggi sehingga serat-serat dagingnya tidak terlalu padat. Lumrahnya, semakin banyaknya kandungan protein dan air didalam tubuh akan menyebabkan cepatnya proses pembusukan beberapa saat setelah mati. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dari senyawa nitrogen dan adanya distribusi komponen nitrogen tersebut. Dan pada makalah ini, penulis bermaksud membahas beberapa hal tentang senyawa nitrogen tersebut.

1.2.Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memnuhi tugas kelompok mata kuliah Biokimia Hasil Perikanan. Dan adapun mengenai manfaatnya adalah agar mahasiswa mengerti dan memahami materi tentang karakteristik ekstraktif komponen nitrogen ikan dan shell fish nonprotein nitrogen.

I. ISI DAN PEMBAHASAN Komponen eksraktif pada ikan dan shellfish menurut Konusu dan Yamaguchi (1982) dan dibagi menjadi 2 yaitu : senyawa nitrogen, asam amino bebas, dan senyawa non nitrogen,asam amino bebas, asam amino bebas, peptida dengan berat molekul rendah, nukleotida, basa organik, dan senyawa nitrogen, asam organik, gula, dan kontituen anorganik. Pada beberapa kasus anorganik komponen tidak termasuk komponen ekstraktif nitrogen tetapi termasuk ekstraktif nonnitrogen. Senyawa nitrogen adalah senyawa organik yang terdapat dalam asam amino dan beberapa senyawa turunan dari asam amino tersebut, misalnya seperti amonia. Mutu produk perikanan dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik dan ekstrinsik. Seperti spesies, ukuran, jenis kelamin, komposisi, penanganan telur, keberadaan parasit, racun, kontaminasi polutan, dan kondisi pembudidayaan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mutu intrinsik. Sifat-sifat biokimia daging ikan, seperti rendahnya kadar kolagen, relatif tingginya kadar lemak tak jenuh serta komposisi nitrogen terurai yang mempengaruhi otolisis, perkembangbiakan mikroba yang sangat cepat, dan pembusukan. Ikan berlemak seperti sarden dan haring membusuk lebih cepat dibandingkan ikan yang tidak berlemak. Ikan-ikan kecil yang diberi pakan terlalu banyak sebelum penangkapan dapat mengalami pelunakan jaringan daging dan dapat menjadi mudah rusak setelah ikan mati akibat otolisis. Ikan-ikan berukuran lebih besar memiliki daya jual dan nilai yang lebih tinggi karena memiliki lebih banyak bagian yang dapat dimakan dan tahan lebih lama. Faktor-faktor ekstrinsik yang mempengaruhi mutu ikan tangkapan antara lain, lokasi tangkapan, musim, metode penangkapan (jaring insang, tali tangan (handline), tali panjang (longline)), atau perangkap, dan lain sebagainya. Penanganan ikan di atas kapal, kondisi kebersihan kapal penangkap ikan, pemrosesan, dan kondisi penyimpanan. Pengembangan produk perikanan bermutu tinggi dimulai dengan pertimbangan kondisi hewan tersebut di dalam air, dampak stres lingkungan, kekurangan nutrisi, atau perubahan-perubahan iklim pada mutu intrinsik dan pengaruh metode penangkapan dalam keadaan yang alamiah.

Nurjanah et al (2004) dalam jurnalnya yang berjudul KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG menyatakan bahwa Pada ikan mati, ATP akan cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATP-ase, kemudian berubah menjadi AMP oleh enzim miokinase. Perubahan AMP menjadi IMP dipengaruhi oleh enzim deaminase dan dari IMP menjadi inosin dipengaruhi oleh enzim fosfatase. IMP (asam inosinat) dikenal sebagai penyambung rasa manis pada daging ikan. Cita rasa yang ditimbulkan oleh asam inosinat (IMP) merupakan pengaruh kombinasi dengan asam glutamat. Menurut Rizal (2011), setelah ikan mati, ATP akan terdegradasi oleh enzim endogenous yang menyebabkan pembentukan berturut-turut adenosin-5'-difosfat (ADP), adenosin-5'-monophosphate (AMP), inosin-5'-monophosphate (IMP), inosin (Ino atau HxR) dan hipoksantin (Hx) yang degradasi ke xanthine (X) dan uric acid (U). Degradasi ATP sampai IMP sangat cepat, tetapi degradasi IMP relatif lambat, Menurut Suwetja (2011), ATP setelah ikan tersebut mati yaitu sampai tingkat IMP berlangsung dalam reaksi yang cepat, sedangkan penguraian IMP menjadi inosin dan inosin menjadi hipoksantin kecepatan reaksinya berbeda-beda menurut jenis iklas. Berdasarkan kecepatan reaksinya tersebut, telah dibedakan ikan ke dalam tiga tipe, yaitu : 1. Golongan ikan dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat inosin. 2. Golongan ikan dengan hasil penguraian ATP yang terakumulasi pada tingkat hipoksantin. 3. Golongan ikan antara tipe 1 dan tipe 2. Tipe ini diberi istilah lain oleh peneliti jepang, Uchiyama pada tahun 1978. Ia mengatakan bahwa jenis ikan pembentuk inosin, jenis ikan pembentuk hipoksantin. Jenis ikan pembentuk inosin artinya penguraian ATP pada ikan tersebut hampir seluruhnya terhenti pada tingkat inosin dalam jangka waktu yang relatif lama. Jenis ikan pembentuk hipoksantin artinya penguraian ATP pada jenis ikan ini hampir seleruhnya berlangsung sampai pada tingkat hipoksantin. Sedangkan jenis-jenis ikan pembentuk inosin dan hipoksantin adalah jenis ikan di mana penguraian ATPnya sebagian terhenti pada inosin dan sebagian lagi reaksinya berjalan terus sampai ke tingkat hipoksantin. Selanjutnya

mengatakan bahwa jenis ikan yang termasuk tipe pembentuk inosin, antara lain tuna, cakalang, marlin, kembung, selar, ekor kuning, dan lain-lain. Kemudian jenis ikan yang termasuk pembentuk hipoksantin antara lain salmon, halibut, buntek, dan lain-lain. Menurut Eskin (1990), reaksi perubahan ATP menjadi inosin untuk anaerob adalah sebagai berikut : Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP, juga berperan dalam penambahan jumlah amonia pada volatil amin setelah kematian ikan. Nukleotida ATP adalah senyawa utama pembawa energi kimia dalam sel. Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP akan terurai dengan melepaskan energi (Jiang, 2000). Nukleotida ATP cepat berubah menjadi ADP oleh enzim ATPase, kemudian diubah menjadi AMP oleh miokinase. Selanjutnya AMP diubah oleh enzim deaminase menjadi IMP dan dari IMP diubah menjadi inosin oleh enzim fosfatase. Kemudian inosin dengan cepat berubah menjadi hipoksantin. Deaminasi AMP menjadi IMP telah melepaskan molekul amonia (NH3) dari gugusan basa purin adenine. Addenosintrifosfat (ATP) diketahui memegang peranan penting pada

pembentukan komponen-komponen citarasa daging ikan segar. Di samping ATP dapat menghasilkan tenaga, diketahui pula senyawa ini dapat menghasilkan inosin monofosfat (IMP, asam inosinat) yang dapat memberikan citarasa enak pada daging ikan. Dalam daging ikan, ATP biasanya berbentuk molekul kompleks dengan kation-kation divalent misalnya MG2+. Pembongkaran ATPmenjadi IMP berlangsung dalam dua tahapan proses, yaitu defosforilasi dan deaminasi. Tetapi pembongkaran ini berlangsung lama. Setelah daging ikan rusak, masih juga terdapat sedikit ATP. Hal ini disebabkan karena selain terjadi pembongkaran ATP juga terjadi pembentukan kembali (resintesa) ATP dari ADP dan fosfat hasil pemecahan keratin- fosfat. Dari berbagai penelitian diketahui terbpngkarnya ATP akan diikuti pula dengan timbulnya ammonia (NH3), karbohidrat (ribose dan ribosefosfat), dan hipoksantin. Pemeriksaan dengan kromatografi menunjukkan bahwa disamping asam inosinat yang terbentuk, menghilangnya ATP juga diikuti dengan timbulnya puncak-puncak inosin trifosfat (ITP) dan inosin difosfat (IDP) dalam waktu yang agak lama seteah ikan mati. Timbulnya asam inosinat dapat memberikan citarasa ikan, yang oleh beberapa ahli dianggap sebagai citaras yang paling baik. Tetapi asam inosinat akan segera terbongkar menjadi inosin yang menyebabkan

daging ikan menjadi hambar. Hipoksantin adalah hasil pembongkaran terakhir dari ATP. Demikian pula ribose dan ribosafosfat adalah hasil akhir pembongkaran ATP. Menurut Hadiwiyoto (1993), pembongkaran inosin menjadi hipoksantin dapat melalui 2 jalan, yaitu oleh enzim nukleosida hidrolase atau oleh enzim nukleosida fosforilase tetapi pembongkaran inosin oleh nukleosida fosforilase jarang terjadi pada daging ikan. Member rasa pahit pada daging ikan dan sering digunakan sebagai indeks kesegaran ikan. Pembonkaran ini dipengaruhi oleh berbagai factor, antara lain factor suhu sangat berperan. Semakin suhu tinggi, pembongkaran ATP lebih cepat daripada suhu rendah. Sementara itu jenis ikan juga memegang peranan pada kecepatan pembongkaran ATP, dan ini mungkin ada kaitannya dengan banyak sedikitnya kandungan glikogeen dalam daging ikan.

Suhu Degradasi ATP

Suhu dapat mempunyai dua pengaruh yang saling berlawanan terhadap aktivitas enzim dan juga sebaliknya mendenaturasi protein enzim. Denaturasi protein enzim dapat menyebabkan hilangnya aktivitas katalik dalam enzim. Hamper semua enzim mempunyai aktivitas optimum pada suhu 30-400 C dan mulai terjadi denaturasi pada suhu 50C. Sedangkan pada suhu antara 5-650C merupakan suhu kritis bagi enzim (Suwetja, 2011).

Organoleptik

Menurut Suptijah et al (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Daya Hambat Khitosan Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada Penyimpanan Suhu Ruang menyatakan bahwa, Pengujian organoleptik merupakan metode pengujian yang menggunakan panca indera sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Pengujian ini mempunyai peranan yang penting sebagai pendeteksian awal dalam menilai mutu untuk mengetahui penyimpangan dan perubahan pada produk. Penilaian secara organoleptik terhadap fillet ikan patin ini meliputi parameter penampakan daging, tekstur, bau dan lendir di permukaan kulit fillet.

Nurjanah et al (2004) dalam jurnalnya yang berjudul KEMUNDURAN MUTU IKAN NILA MERAH (Oreochromis sp.) SELAMA PENYIMPANAN PADA SUHU RUANG menyatakan bahwa, Rigor mortis pada ikan nila merah mengalami tahapan yaitu pre rigor, rigor, dan post rigor. Uraian mengenai waktu dan lamanya masa dari masingmasing fase hasil penelitian ini adalah pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Pada ikan yang telah mati terdapat lima fase perubahan biokimiawi dalam tubuhnya yaitu fase pre-rigor, rigor mortis, post-rigor, autolisis dan kerusakan. Dua fase pertama dipengaruhi lamanya dan suhu penanganan ikan, sementara tiga fase terakhir dipengaruhi terutama aktivitas enzim proteolitik yang menyebabkan kerusakan. Kombinasi perubahan mekanis, autolisis, kimia dan bakteriologis menyebabkan perubahan permanen menuju perubahan kualitas ikan yang tidak diinginkan. Kualitas ikan merupakan konsep kompleks yang melibatkan berbagai macam faktor bagi konsumen misalnya keamanan, kualitas gizi, ketersediaan, kenyamanan dan keutuhan serta kesegaran. Teknik penanganan, pengolahan dan penyimpanan, termasuk waktu dan suhu dapat mempengaruhi kesegaran dan kualitas produk. Selain itu, musim, kondisi dan metode penangkapan juga mempengaruhi kualitas secara keseluruhan. Ini

merupakan karakteristik unik ikan sebagai komoditi yang sangat mudah rusak. Kesegaran dan kualitas produk akhir, tergantung pada faktor-faktor biologis dan pengolahan yang berbeda yang mempengaruhi berbagai tingkatan fisik, biokimia, mikrobiologi, kimia dan perubahan post mortem pada ikan. Secara umum metode untuk menilai pembusukan ikan diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama: metode sensori dan metode instrumentasi (mikrobiologi, biokimia dan fisik). Namun pada praktiknya metode pengujian kesegaran dibagi menjadi metode sensori, metode kimiawi dan metode mikrobiologi. Kesegaran menjadi parameter kualitas yang paling sering ditemukan di pasaran. Kesegaran ikan ini dapat dinilai dengan berbagai metode tetapi umumnya berbiaya mahal, memakan waktu dan tidak mudah digunakan. Temuan banyak peneliti mengungkapkan bahwa ada hubungan luar biasa antara pH dan kesegaran ikan. Ini menunjukkan bahwa karakteristik fisik ini dapat digunakan sebagai alat yang cocok untuk analisis dan evaluasi kesegaran ikan daripada metode evaluasi sensori dengan ketidakpastian pengukurannya.

Keadaan segar dapat digambarkan dengan berbagai sifat melalui berbagai indikator. Dengan demikian kesegaran dan kualitas produk akhir, tergantung pada faktor-faktor biologis dan pengolahan yang berbeda mempengaruhi berbagai tingkatan fisik, biokimia, mikrobiologi, kimia dan perubahan post mortem pada ikan. Pembusukan Ikan dan Indikatornya Komposisi biokimia makanan (faktor intrinsik) dan hubungannya dengan faktor ekstrinsik selama penyimpanan, memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap kesegaran dan sebagian kualitas karena kedua faktor tersebut menentukan dan meningkatkan pertumbuhan awal mikroba. Berkaitan dengan ikan, karakteristik yang melekat pada keberadaan komponen nitrogen non-protein, seperti trimetilaminaoksida (TMAO), kreatin, metionin, asam amino bebas, cystine, histamin, carnosine, basa nitrogen yang mudah menguap seperti urea terutama dalam tulang rawan ikan mendukung pertumbuhan mikroba dan menghasilkan metabolit yang bertanggung jawab untuk pembusukan ikan selama penyimpanan. Pembusukan ikan merupakan fenomena berurutan yang dimulai segera setelah ikan ditangkap dandimatikan. Kombinasi perubahan mekanis, autolisis, kimia dan bakteriologis menyebabkan

perubahan permanen, perubahan kualitas ikan yang tidak diinginkan. Bremner (2002) mendefi- nisikan pembusukan ikan sebagai perubahan yang memburuk dalam karakteristik sensor produk seperti penampilan, bau, aroma dan tekstur, yang juga dapat digunakan untuk menunjukkan nilai gizi dan keamanan. Ketika ikan dimatikan terhenti sirkulasi darah dan akibatnya pasokan oksigen untuk memfasilitasi energi molekul ATP diperlukan untuk mengaktifkan kontraksi otot dan relaksasi dihambat. Dengan cara ini glikogen dipecah untuk memungkinkan produksi energi dalam otot ikan dan

sebagaimana tingkat glikogen menurun jumlah ATP yang dihasilkan juga menurun. Karena interaksi antara aktin dan myosin dipicu oleh myosin ATPase dan ion kalsium selama kontraksi otot membutuhkan ATP untuk bahan bakar reaksi yang jumlahnya sudah terhambat setelah pemotongan ikan, ion kalsium bocor ke otot-otot yang mengakibatkan kontraksi (kaku), sebuah proses yang disebut sebagai rigor mortis. Kaku terus selama beberapa jam sebelum lemas karena tidak ada ATP yang memungkinkan otot-otot untuk rileks lagi dan beroperasi sebagai diperlukan. Permulaan dan akhir rigor mortis ditentukan oleh suhu selama penanganan (mechanical stress), ukuran dan spesies ikan. Jenis ikan berukuran kecil, misalnya sarden dan mackerel mengalami rigor mortis

lebih awal dan lebih cepat daripada jenis ikan besar (Huss 1995). Proses rigor mortis dapat mengakibatkan cacat mutu dalam daging ikan seperti kerusakan otot/ menganga, noda darah, kehilangan kandungan air dan pelunakan daging ikan (Bremner 2002). Pencapaian akhir dari rigor mortis bertepatan dengan autolisis dan perubahan pembusukan berikutnya yang termasuk perubahan pembusukan bakteri dan kimia yang akhirnya merontokkan mutu ikan, memberikan rasa tidak enak atau tidak aman untuk dikonsumsi. Pembusukan autolisis Pada saat ikan dipotong, enzim di usus dan daging, sebelumnya terlibat dalam metabolisme menjadi katalisator autolisis (self digestion). Perubahan autolisis menyebabkan dekomposisi protein dan senyawa penting lainnya yang pada akhirnya mengakibatkan pelunakan daging ikan dan melumerkan substansi dalam rongga usus. Bakteri pembusuk ikan Aktivitas bakteri merupakan penyebab utama kerusakan ikan terutama bakteri pembusuk spesifik specific spoilage bacteria (SSB). Dalam ikan yang masih hidup dan sehat, bakteri terdapat pada insang dan usus tetapi tidak dapat menyebabkan pembusukan karena adanya mekanisme pertahanan alami pada ikan. Pada perubahan autolisis bakteri mudah masuk ke daging dimana nutrisi didapatkan untuk pertumbuhan dengan menguraikan berbagai komponen ikan seperti trimetilamina oksida (TMAO) dan molekul protein non-nitrogen lainnya,lipid, asam amino dan sebagainya menghasilkan bau yang tidak diinginkan. Pembusukan kimiawi Hidrolisis dan oksidasi lipid merupakan faktor utama penurunan mutu tergantung pada komposisi kimiawi ikan. Menurut Huss et al. (1992), tahap utama dari oksidasi lipid menyebabkan produksi hydro peroksida dihubungkan dengan rasa hambar dan kecoklatan, perubahan warna kekuningan pada jaringan ikan; degradasi lebih lanjut hasil hydro peroksida menghasilkan senyawa volatil; aldehid, keton dan alkohol menghasilkan aroma tengik yang kuat. Aroma tengik berhubungan dengan penyimpanan ikan dalam keadaan beku atau kering yang biasanya agak lambat dalam proses pembusukan. Bagaimanapun, perubahan post mortem pada ikan adalah permanen. Ringkasan perubahan ini ditunjukkan pada Tabel 1. Daya simpan ikan segar pasca panen tergantung pada pertumbuhan bakteri, suhu penyimpanan, penanganan dan kondisi fisiologis ikan. Kualitas ikan dapat diperkirakan dengan tes sensorik, metode mikrobiologi, pengukuran senyawa volatil dan oksidasi lipid, perubahan otot, pemecahanATP dan perubahan fisik (termasuk sifat-sifat listrik dari kulit) pada ikan. Parameter kualitas fisik seperti

konsistensi, kadar air atau warna, atau perubahan biokimia seperti perubahan lipid, protein atau enzim. Kesegaran membuat kontribusi besar terhadap kualitas produk ikan dan perikanan. Untuk semua jenis produk, kesegaran sangat penting untuk kualitas produk akhir. Gambar 1 menggambarkan hubungan antara kualitas dan kesegaran, dengan fokus pada berbagai karakteristikkesegaran. Kesegaran dapat dijelaskan sampai batas tertentu oleh beberapa parameter sensori, kimia, biokimia, mikrobiologi dan parameter fisik dan karena itu dapat didefinisikan sebagai atribut objektif yang harus menunjukkan bau normal, rasa, penampilan dan karakteristik tekstur dari spesies yang akan digunakanuntuk sampel. Indra manusia memainkan peranan penting dalam penilaian ini yang disebut evaluasi sensori. Panggabean

10

DAFTAR PUSTAKA

Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. San Diego : Academic Press, Inc. Hadiwiyoto, Suseno. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta : Liberty Yogyakarta hal : 76-77, 80 Novalia et al. 2007. Pembentukan Formaldehid pada Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguftatus)Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Vol.2. No.2. Hal 140-141 Nurjanah et al. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis Sp.) Selama Penyimpanan Pada Suhu Ruang. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Suptijah et al. 2008. Kajian Efek Daya Hambat Khitosan Terhadap Kemunduran Mutu Fillet Ikan Patin (Pangsius hypopthalmus) Pada Penyimpanan Suhu Ruang. Bogor : Institut Pertanian Bogor Suwetja. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Jakarta : Media Prima Aksara hal Rizal, Ahmad. 2011. Analisis dan Desain Sistem Informasi Untuk Penerapan Dokumentasi Program Treaceability Pada Rantai Distribusi Produk Tuna Loin Beku. Bogor: Institut Pertanian Bogor

11

Tugas Kelompok Biokimia Hasil Perikanan

Formatted: Centered

KARAKTERISTIK EKSTRAKTIF KOMPONEN NITROGEN IKAN DAN SHELLFISH NON PROTEIN NITROGEN

OLEH M.ZAID ABRAR (1004114305) VIKI BUANA SATRIA (1004114342) MAYA ERVIN PUTRI (1004114371) RAFIKA APRIANY (1004114390) SEPTIA MURNI (1004114477) TONGAM SIMATUPANG (1004114431) ALFIAN ARBY (1004114497)

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS RIAU PEKANBARU 2012

12

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis senantiasa ucapkan kehadirat Allah SWT, karena dengan berkat rahmat dan hidayah yang berikan-Nya penulis dapat menyelesaikan artikel artikel ini dengan baik dan tepat waktunya. Adapun judul dari artikel ini

Karakteristik Ekstraktif Komponen Nitrogen Ikan dan Shellfish Non Protein Nitrogen Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam mengoreksi sehingga penulis dapat menyelesaikan artikel ini. Untuk kesalahan dan kekurangan pada laporan ini penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pengoreksi demi kesempurnaan dalam penulisan untuk masa akan datang. Semoga laporan ini bermanfaat dan berguna.

Pekanbaru, Mei 2012

Penulis

13

DAFTAR ISI

Isi

Halaman i ii iii 1 1 1 2 i

KATA PENGANTAR ................................................. .............................................. DAFTAR ISI............................................................ ............................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... I. PENDAHULUAN .................................................................................. ...... 1.1. Latar Belakang ........................................................................... ............ 1.2. Tujuan dan Manfaat ................................................................................. ISI DAN PEMBAHASAN .............................................................. ................

II.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai