Anda di halaman 1dari 186

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pesawat merupakan salah satu bentuk sarana transportasi yang banyak diminati dan digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai metode bepergian baik menghubungkan pulau (domestik) maupun menghubungkan negara (internasional). Pesawat tidak hanya dapat mengangkut manusia tetapi dapat juga mengangkut barang atau produk berkapasitas tertentu (kargo). Faktor yang membuat masyarakat lebih menyukai pesawat sebagai sarana bepergian dan transportasi jarak jauh adalah sebagai berikut: 1. Faktor harga dan biaya, berbagai jenis maskapai penerbangan menawarkan harga tiket yang yang dapat dijangkau dan dapat dipesan jauh sebelum hari keberangkatan (booking online). 2. Faktor durasi perjalanan, pesawat merupakan sarana transportasi paling cepat diantara sarana lainnya dan dapat terbang dari satu pulau/negara ke pulau/negara lainnya dalam hitungan jam. 3. Faktor keselamatan, jumlah kecelakaan terkecil jika dibandingkan dengan sarana transportasi lainnya. Berdasarkan rekapitulasi data kecelakaan oleh Kementerian Perhubungan tahun 2003-2006 angkutan udara hanya memakan korban kecelakaan 100 kecelakaan dibandingkan dengan angkutan darat (86334 kecelakaan) dan angkutan laut (340 kecelakaan). 4. Faktor kenyamanan, memiliki tingkat kenyamanan tinggi

dibandingkan dengan sarana angkutan darat dan laut serta tidak adanya kemacetan dikarenakan jalur transportasi pesawat

menggunakan udara. Secara umum pesawat dapat diartikan sebagai media yang dapat terbang diudara dengan menggunakan media transportasi udara. Istilahistilah mengenai pesawat yang kita dengar dan baca sehari-hari antara lain (KNKT, 2005):

Pesawat udara adalah setiap alat yang dapat terbang di atmosfir karena daya angkat dari reaksi udara kecuali reaksi udara terhadap permukaan bumi.

Penerbangan adalah segala sesuatu

yang berkaitan dengan

penggunaan wilayah udara, pesawat udara, bandara udara, angkutan udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain yang terkait. Seperti yang kita ketahui pesawat terbang menggunakan udara sebagai sarana transportasinya. Proses terbangnya pesawat dapat dijelaskan secara singkat yaitu sebelum lepas landas, pesawat harus mencapai kecepatan tertentu dan sebelum tekanan dipermukaan bawah sayap pesawat lebih besar dari tekanan dipermukaan atas sayapnya. Jika perbedaan tekanan makin besar, gaya angkat yang ditimbulkan mampu mengangkat bobot pesawat (Obert, 2009). Pada saat pesawat terbang diudara terdapat 4 gaya utama yang terjadi yaitu: gaya dorong, gaya hambat, gaya angkat, dan gaya berat pesawat. Pada saat pesawat menjelajah dengan kecepatan dan ketinggian konstan ke-4 gaya berada pada kesetimbangan, sedangkan pada saat pesawat lepas landas dan mendarat terjadi proses akselerasi dan deselerasi dalam arah horisontal dan vertikal (Anderson dan Eberhardt, 1999). Kecelakaan penerbangan di Indonesia berdasarkan data dari Kementrian Perhubungan sejak tahun 1980 sampai tahun 2009 (Kementrian Perhubungan, 2010) adalah sebanyak 143 kecelakaan dengan korban jiwa lebih kurang 2117 orang dengan perincian sebagai berikut: 1. Tahun 1980 1989 mencatat 44 kecelakaan dengan perincian 23 kecelakaan membawa korban jiwa sebanyak 253 orang, kecelakaan paling parah dialami Bouraq berpesawat Vickers Viscount dengan nomor penerbangan PK-IVS yang jatuh di Kerawang pada tanggal 26 Agustus 1980. Kecelakaan ini membawa korban jiwa sebanyak 37 orang.

2. Tahun 1990 1999 mencatat 55 kecelakaan dengan perincian 36 kecelakaan dengan korban jiwa sebanyak 888 orang, kecelakaan terbesar dialami Garuda Indonesia dengan armada Airbus A300-200 dengan kode penerbangan PK-GAI yang jatuh di Medan pada 26 September 1997. Jumlah korban jiwa 234 jiwa. 3. Dari data statistik, kecelakaan pesawat disebabkan oleh kesalahan pilot (37 persen), tak tentu atau hilang (33 persen), kegagalan mekanik (13 persen), cuaca (7 persen), sabotase (5 persen), kesalahan manusia lainnya (4 persen) dan sebab lain (1 persen). Kecelakaan pesawat biasanya terjadi selama cruise (terbang jelajah) dan pada saat take off (lepas landas) atau landing (mendarat). 4. Tahun 2000 Mei 2009 mencatat 44 kecelakaan. Sebanyak 26 kecelakaan membawa korban jiwa sebanyak 555 orang, dengan kecelakaan terbesar dialami Mandala Airlines dengan armada Boeing 737-200 dengan kode penerbangan PK-RIM yang jatuh di Medan pada 5 September 2005. Kecelakaan ini disebabkan oleh ekor pesawat yang menabrak pagar pembatas karena kehabisan landasan take off, yang kemungkinan besar disebabkan oleh over weight beban pesawat. Jumlah korban jiwa adalah 150 orang. Berdasarkan rekap data yang dilakukan oleh KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) dari tahun 2006 sampai 2010, kecelakaan penerbangan berjumlah 238 dengan perincian 66 kecelakaan bertipe accident (menurut ICAO Annex 13, accident berhubungan dengan pengoperasian pesawat dimulai dari invidividu naik kedalam pesawat dengan tujuan mengoperasikannya sampai orang tersebut keluar dari pesawat), 73 kecelakaan bertipe serious incident (menurut ICAO Annex 13, serious incident berhubungan dengan kondisi bahwa accident hampir terjadi), dan 99 kecelakaan bertipe incident (menurut ICAO Annex 13, incident berhubungan dengan pengoperasian pesawat yang mempengaruhi atau dapat mempengaruhi keselamatan pengoperasian). Kesalahan yang dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan penerbangan tidak hanya semata dikarenakan kurangnya perawatan,

kegagalan komponen, kegagalan struktur material namun dapat diakibatkan oleh tindakan yang tidak aman oleh operator/kru pesawat, kurangnya pengawasan dan lemahnya organisasi sebagai penentu dan pelaksana kebijakan. Kecelakaan pesawat udara pada saat sekarang lebih disebabkan oleh kesalahan manusia daripada kegagalan mekanis dan kegagalan struktur material. Menurut hasil dari penelitian sekitar 60% - 80% kecelakaan penerbangan disebabkan oleh kesalahan manusia (human error) (Shappell dan Wiegmann, 1996). Penelitian-penelitian sebelumnya berfokus kepada faktor lingkungan, kesalahan pilot dan tidak kepada faktor human error yang berpengaruh kepada faktor-faktor lainnya. Penyelidikan kecelakaan dilakukan oleh KNKT berpedomankan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara Sipil di Indonesia (KNKT, 2005). Proses penyelidikan terhadap kesalahan yang diakibatkan oleh kesalahan manusia yang terdapat pada Juklak KNKT sangatlah sedikit dan tidak memberikan informasi mengenai proses penyelidikan. Penyelidikan terhadap faktor manusia dan faktor medis yang terdapat pada Bab VI (Proses Investigasi) pada juklak KNKT berisikan (KNKT, 2005): a. Kontribusi human factor terhadap proses investigasi. b. Kondisi/data patologi. c. Tugas dilokasi kecelakaan. d. Tugas dikamar mayat dan rumah sakit tempat korban kecelakaan. e. Data berdasarkan proses patologi. f. Penyerahan jenazah atau bagiannya, barang-barang awak pesawat dan penumpang. g. Faktor penyelamatan terhadap korban kecelakaan (survival aspect). h. Human factor lain, seperti: crew resource management, crew coordination, cockpit crew, dan cabin crew. Seperti terlihat pada prosedur investigasi juklak KNKT faktor manusia hanya dianalisis pada poin (a) dan poin (h) sedangkan lainnya

merupakan investigasi terhadap faktor medis. Poin (a) dan poin (h) juga tidak memberikan penjelasan terperinci dan terstruktur bagaimana melakukan proses penyelidikan. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk merancang panduan Juklak yang lebih rinci mengenai penyelidikan faktor manusia terhadap kecelakaan pesawat udara di Indonesia. Prosedur penyelidikan faktor manusia yang berada pada Bab VI terdapat di halaman 28 pada juklak KNKT yang berjumlah 57 halaman. Penyebab yang terbanyak pada kecelakaan pesawat udara hanya dibahas oleh KNKT pada satu halaman tentu sama sekali tidak memberikan informasi kepada pembaca juklak. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, yaitu petunjuk pelaksanaan penyelidikan kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia yang tidak memberikan informasi secara rinci dan menyeluruh mengenai penyelidikan kecelakaan berdasarkan faktor manusia.

Penyelidikan faktor manusia di penerbangan oleh KNKT hanya dilakukan oleh 1 penyelidik saja dan penyelidikan hanya menggunakan kemampuan dan pengalaman penyelidik (tidak terdapat adanya metode-metode yang dapat membantu penyelidikan pada juklak). Hal ini sangat berbeda dengan penyelidik negara lain (sebagai contoh NTSB Amerika) yang melakukan penyelidikan secara kerja tim. Oleh karena itu pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan Apakah dapat dirancang suatu petunjuk pelaksanaan penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan pesawat udara di Indonesia dengan menggunakan alat bantu berupa metode-metode penyelidikan sehingga mendapatkan suatu rancangan yang terstruktur, mudah dimengerti, dan memberikan informasi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendapatkan hasil rancangan petunjuk pelaksanaan penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan pesawat udara di Indonesia dengan menggunakan metode HFACS. 2. Mendapatkan hasil pengujian rancangan petunjuk pelaksanaan penyelidikan kecelakaan yang membuktikan usulan rancangan dapat digunakan dan diaplikasikan. Hasil rancangan juklak penyelidikan faktor manusia dapat

dimanfaatkan oleh KNKT selaku pihak yang berhak melakukan proses penyelidikan jika terjadinya kecelakaan untuk menemukan penyebab dan memberikan rekomendasi pencegahan terhadap kecelakaan tersebut. Rekomendasi ini kemudian diikuti oleh maskapai-maskapai penerbangan di Indonesia sebagai perbaikan sehingga kecelakaan yang serupa dapat dicegah. Manfaat lain dari hasil penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai dasar penelitian pada penelitian bidang keselamatan transportasi udara. 1.4 Pembatasan Masalah Penelitian yang dilakukan memiliki batasan permasalahan sebagai berikut: 1. Data kecelakaan penerbangan yang dibutuhkan sebagai bagian dan perancangan dan pengujian diperoleh dari laporan final kecelakaan hasil investigasi KNKT dan wawancara terhadap pihak-pihak yang mengerti masalah penerbangan (dosen, penyelidik KNKT, ahli penerbangan, dan lainnya). 2. Kecelakaan yang klasifikasikan dan dianalisis hanyalah disebabkan oleh faktor dan kesalahan manusia. Kesalahan akibat kegagalan mekanik dan struktur material tidak dilakukan analisis. 3. Kecelakan penerbangan yang dianalisis merupakan kecelakaan yang terjadi pada maskapai penerbangan komersil Indonesia. 4. Pengujian yang dilakukan terhadap hasil usulan rancangan juklak hanya mengklasifikasikan penyebab kecelakaan pada laporan final

KNKT dengan menggunakan metode HFACS dan membandingkan dengan penyebab kecelakaan hasil analisis KNKT. 5. Manusia pada faktor manusia ditujukan kepada kru yang terkait pada proses keselamatan penerbangan (pilot, kopilot, pramugari, kru ATC, kru bandara, teknisi) dan penumpang. 1.5 Posisi Penelitian Penelitian mengenai faktor manusia dan kesalahan manusia sebagai penyebab terjadinya kecelakaan penerbangan di Indonesia belum pernah dilakukan. Penelitian yang sudah pernah dilakukan di negara lain misalnya China (Routes to failure: Analisis of 41 civil aviation accidents from the Republic of China using the human factors analysis and classification system) tahun 2007 dengan menggunakan metode HFACS (Human Factors Analysis and Classification System), Jerman (Analysis of 2004 German General Aviation Aircraft Accidents According to the HFACS Model) dan lainnya. Peneliti tertarik untuk meneliti dan merancang petunjuk pelaksanaan prosedur penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan

penerbangan di Indonesia diharapkan dapat membantu KNKT untuk mengklasifikasikan penyebab kecelakaan penerbangan dan mencegah penyebab kecelakaan yang sama yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. State of The Art dari penelitian yang akan diteliti dan perancangan juklak penyelidikan kecelakaan penerbangan beserta posisinya terhadap penelitian yang sudah dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.1 dibawah ini: Tabel 1.1 State of The Art Penelitian Peneliti Fokus penelitian Metode Partisipan Material penelitian Nikki S. Olsen dan Steven T. Menguji komprehensifitas, fleksibilitas, manfaat, efisiensi, HFACS 18 petugas ATC Royal Australian 2 laporan kecelakaan Klasifikasi kesalahan manusia Pengukuran

Shorrock (2009)

dan kegunaan HFACS

Air Force (RAAF) 1 petugas ATC dengan pengalama n Aviation Safety 5 laporan 4 petugas ATC kecelakaan untuk tiap partisipan (total 20 laporan) Klasifikasi kesalahan manusia 63 laporan kecelakaan Klasifikasi kesalahan manusia

Wiegmann dan Shappell (2007)

Penerapan klasifikasi kesalahan manusia pada transportasi udara

HFACS

Pegawai Federal Air Regulation (FAR) 119 laporan kecelakaan

Klasifikasi kesalahan manusia

Paul OConnor

Evaluasi Department of Defenses HFACS (DOD-HFACS)

HFACS

123 siswa US Navy and Marine Corps Aviation 2 skenario kecelakaan

Klasifikasi kesalahan manusia

Wen-Chin Li, Don Harris, dan Chung-San Yu (2008)

Analisa kecelakaan pesawat terbang di Republik Cina

HFACS

2 ahli faktor manusia di bidang transportas

41 kecelakaan di Republik Cina tahun 1999-2006

Klasifikasi kesalahan manusia

i udara

Susannah B. F. Paletz

Mengidentifikasi tipe-tipe fenomena psikososial sebagai tekanan dalam pengambilan keputusan yang berakibat pada kecelakaan

HFACS

28 pilot pesawat udara

Wawancara terhadap pilot

Klasifikasi kesalahan manusia

Posisi peneliti (2010)

Perancangan petunjuk pelaksanaan penyelidikan investigasi human factors pada kecelakaan penerbangan di Indonesia dengan menggunakan metode HFACS

HFACS

Laporan Final kecelakaan pesawat terbang bersumberkan data dari N/A KNKT

Klasifikasi kesalahan manusia

1.6 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan

Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, batasan permasalahan, posisi penelitian, serta sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian.

Bab II

Studi Pustaka

Bab ini akan menjelaskan secara ringkas mengenai teori kesalahan manusia, teori mengenai alat dan metode identifikasi kesalahan manusia, teori Human Factors Analysis and Classification System (HFACS), teori mengenai penerbangan, dan teori penyelidikan kecelakaan pesawat udara oleh NTSB. Bab III Proses Penyelidikan KNKT Bab ini akan menjelaskan secara ringkas mengenai proses penyelidikan kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia oleh KNKT. Bab IV Metodologi Penelitian

Bab ini akan menjelaskan pendekatan dan tahapan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan perumusan masalah, tujuan, batasan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bab V Perancangan Panduan Petunjuk Pelaksanaan

Bab ini akan menjelaskan mengenai apa-apa saja yang akan dirancang pada juklak yang akhirnya akan dijadikan satu panduan petunjuk pelaksanaan penyelidikan faktor manusia dan pengujian juklak tersebut. Bab VI Pengumpulan Data dan Pengujian Panduan Juklak

Bab ini akan menjelaskan mengenai data yang diperlukan untuk melakukan pengujian petunjuk pelaksanaan penyelidikan kecelakaan dan tahapan pengujian juklak tersebut. Bab VII Analisis Bab ini berisi analisis dari hasil perancangan dan pengujian juklak penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan penerbangan di Indonesia menggunakan metode HFACS. Bab VIII Kesimpulan dan Saran Pada bab terakhir akan menjelaskan kesimpulan dan saran dari penelitian yang dilakukan. Kesimpulan ini akan menjawab tujuan dari penelitian ini. Sedangkan saran yang diberikan adalah untuk melakukan penelitian lanjutan atau pengujian lanjutan pada penelitian ini.

10

BAB II STUDI PUSTAKA

2.1 Teori Kesalahan Manusia Sejak pesawat pertama dibuat oleh Wright bersaudara pada tahun 1903, industri penerbangan menjadi industri yang menghasilkan uang dalam jumlah besar diseluruh dunia. Berdasarkan fakta dari Asosiasi Internasional Transportasi Udara (IATA) 1.6 miliar penumpang menggunakan

transportasi udara untuk kegiatan bisnis, dan kegiatan bersenang-senang setiap tahunnya, dan lebih dari 40 % perdagangan dunia menggunakan transportasi udara (IATA, 2006). Dari segi lapangan pekerjaan, transportasi udara memberikan 28 juta pekerjaan, baik secara langsung maupun tidak langsung diseluruh dunia. Saat ini, tingkat kecelakaan penerbangan yang disebabkan oleh kesalahan manusia masih terbesar dibandingkan dengan kecelakaan yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun kesalahan akibat mekanikal (Nagel, 1998 dan Wiegmaan & Shappell, 2003). Kenyataannya manusia memegang kesalahan terpenting dalam kecelakaan penerbangan baik penerbangan sipil maupun militer seiring dengan perlengkapan mekanik yang semakin canggih dan semakin andal (Wiegmann & Shappell, 2003).

11

Pada saat ini komponen terbesar penyebab kecelakaan penerbangan baik langsung maupun tidak langsung berasal dari kesalahan manusia. Beberapa fakta, kejadian, dan contoh baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan kesalahan manusia, sebagai berikut: Setiap tahun lebih dari 1.6 milyar penumpang menggunakan transpotasi udara (IATA, 2006). Berdasarkan studi NASA, 70% kecelakaan penerbangan pada tahun 1950 sejak diperkenalkan pesawat turbojet banyak kecelakaan yang berhubungan dengan kesalahan manusia (Helmreich, 1997). Berdasarkan studi Boeing, kegagalan yang disebabkan oleh kru kokpit berkontribusi diatas 73% dari kecelakaan global pesawat (Mjos, 2001). Pada tahun 1982, Boeing 737 Air Florida jatuh di sungai Potomac dekat Washington, D.C. dikarenakan pilot mengacuhkan peringatan ko-pilot bahwa pesawat terbang sangat lambat pada saat lepas landas (Helmreich, 1997). Pada tahun 2007, Boeing 737-497 Garuda Indonesia ketika hendak mendarat di bandara Adi Sucipto Yogyakarta, pilot tidak mengikuti prosedur untuk terbang dengan pendekatan yang stabil, tidak membatalkan pendaratan dan berputar kembali jika kestabilan itu tidak terpenuhi sehingga pesawat keluar jalur dan menabrak pagar pembatas serta terbakar (KNKT, 2007). Pada tahun 1997, kecelakaan pesawat yang disebabkan oleh kesalahan manusia sebanyak 42,11% lebih banyak daripada komponen penyebab kecelakaan lainnya (Kementrian Perhubungan, 2010). Oleh karena itu sebaiknya harus dipahami secara baik dan benar apa sebenarnya makna kesalahan manusia, penyebab dan kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan manusia. Kesalahan manusia didefinisikan sebagai kegiatan atau tindakan manusia yang kurang atau tidak sesuai dan yang tidak diinginkan sehingga

12

menyebabkan turunnya efektivitas, keselamatan kerja, dan performa dari sistem (Sanders dan McCormick, 1992). Ada dua hal utama pada definisi kesalahan manusia yaitu kesalahan merupakan sesuatu yang berpotensi menyebabkan hasil yang tidak diinginkan terhadap sistem dan kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan yang tidak diinginkan dan merugikan sistem. Menurut Dhillon kesalahan manusia merupakan salah satu faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis keandalan dari suatu sistem. Pengaruhnya sangat penting daripada yang kita bayangkan selama ini. Dhillon juga menyebutkan ada 2 definisi terpenting mengenai kesalahan manusia ini (Dhillon, 1988): i. Kesalahan manusia: merupakan kegagalan dalam melaksanakan tugas tertentu (melakukan kegiatan yang dilarang) yang dapat mengganggu rencana dari kegiatan yang menghasilkan kerusakan pada peralatan dan perlengkapan. ii. Keandalan manusia: merupakan kemungkinan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik oleh manusia pada tingkatan tertentu dan batas waktu minimum jika diperlukan pada suatu sistem. Kesalahan manusia biasanya merupakan suatu kejadian atau kegiatan yang tidak diinginkan yang berefek kepada kecelakaan. Oleh karena itu perlu adanya penyelidikan atau analisis mengenai kesalahan manusia. Penyelidikan mengenai penyebab kesalahan manusia bergantung kepada stopping rule (Rasmussen, 1982) maksudnya jika performansi suatu sistem berada dibawah ambang batas standar yang diperbolehkan maka perlu melihat adanya penyebab, mulai dari faktor terluar sampai faktor yang paling dasar yang secara tidak langsung menyebabkan kesalahan itu terjadi. Terdapat banyak faktor penyebab kesalahan manusia seperti kegagalan dalam pengambilan keputusan, kegagalan akibat kemampuan mendasar, tingkat pengawasan yang rendah ataupun kesalahan dalam menjalankan kebijakan organisasi sebagai komponen yang paling atas.

13

Pengembangan taksonomi kesalahan manusia juga dilakukan oleh Rasmussen pada tahun 1982 yang dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu (Rasmussen, 1982): 1. Skill-based behaviour, kesalahan ini disebabkan oleh kemampuan dasar operator yang tidak mencukupi. 2. Rule-based behaviour, kesalahan terjadi karena seorang individu atau operator tidak melakukan tindakan yang sesuai dengan prosedur. 3. Knowledge-based behaviour, tindakan yang harus dilakukan pada saat menghadapi situasi yang tidak biasa terjadi. Kesalahan yang terjadi dapat berupa kesalahan dalam pengambilan keputusan. Reason pada tahun 1997 mengembangkan metode yang sama dengan Rasmussen. Metode ini dikenal dengan sebutan Swiss Cheese Model (Reason, 1997) yang kedepannya akan dikembangkan oleh Shappell dan Wiegmann dan dikenal dengan HFACS (Shappel dan Wiegmann, 2001). Reason mengklasifikasikan kesalahan manusia (human error) menjadi 2 faktor yaitu intended action dan unintended action. Taksonomi kesalahan manusia akan diperlihatkan pada gambar 2.1 dibawah.

14

Basic Errors

Slip

Intentional Failures

Unintended Action Memory Failures

Lapse

Unsafe Acts Rule-based or Knowledge-based Mistakes

Mistake

Intended Action Routines Violations Exceptional Violations Sabotage

Violation

Gambar 2.1 Taksonomi Kesalahan Manusia (Reason, 1997)

Secara umum ada beberapa penyebab terjadinya kesalahan manusia, enam diantaranya adalah kemampuan dasar dibawah standar dikarenakan kurangnya pelatihan, desain peralatan yang tidak sesuai dengan standar, lingkungan pekerjaan yang tidak memadai, motivasi yang menurun, peralatan yang tidak sesuai, dan prosedur standar pekerjaan yang tidak terstruktur dengan baik (Dhillon, 1989). Faktor organisasi sebagai komponen tidak langsung yang dapat mempengaruhi terjadinya kesalahan manusia mendapatkan perhatian utama sebagai penyebab kecelakaan tersebut. Sebagai contoh kecelakaan nuklir di Chernobyl, ledakan platform minyak lepas pantai di Laut Utara, dan bencana pesawat ruang angkasa Challenger. Kesalahan aktif yang disebakan oleh operator secara langsung maupun kesalahan pasif seperti organisasi, pengawasan, dan lingkungan operasi sangat mempengaruhi tingkat keamanan dan keselamatan pengoperasian. Dari tabel 2.1 dapat dilihat tipetipe kecelakaan serta faktor-faktor penyebabnya baik dari kesalahan
15

manusia (kesalahan aktif), organisasi (kesalahan pasif), dan faktor lokal pada air traffic control (ATC). Tabel 2.1 Factors for Controller-Caused Airspace Incidents Grouped Under Three Categories (Hopkin, 1999) No. Type of incidents Category I: Active 1. Near collision Diagnosis, procedural, and actions inconsistent with specified procedures 2. Loss of separation Actions incompatible with specified procedures (i.e., execution errors) 3. Air traffic service (ATS) flight information deficiency 4. ATS coordination deficiency Actions incompatible with specified procedures (i.e., Inaccurate system diagnosis errors Poor control and monitoring, poor specifications or requirements Inadequate procedures and poor control and monitoring Deficiencies in system design and poor specifications or Inadequate checking and inadequate concentration/lack of attention Poor concentration, instructions, and procedures High controller workload factors in additions to poor concentration/lack of attention Factors Category II: Organization Poor defences and indaquate resource management Various physicological factors Category III: Local

16

execution errors) 5. ATS clearance deficiency Actions incompatible with specified procedures

requirements

Poor control and monitoring and poor resource management instructions

Poor checking and concentration and lack of attention

Oleh karena itu banyak penelitian mengenai kesalahan manusia dan metode untuk mengklasifikasi, menganalisis serta meminimasi dan mencegah kesalahan manusia tersebut agar kecelakaan yang diakibatkan oleh kesalahan yang sama tidak terjadi dan terulang kembali. Menurut peneliti sendiri pengertian kesalahan manusia adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh manusia (kesalahan aktif) yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pasif seperti organisasi, pengawasan, lingkungan sehingga menyebabkan terganggu dan menurunnya performansi kerja dan menyebabkan kerusakan di sekelilingnya. 2.2 Metode Identifikasi Kesalahan Manusia Metode yang dipakai untuk mengidentifikasi kesalahan manusia (HEI) adalah metode-metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesalahan manusia dengan sistem manusia-mesin mulai dari yang sangat sederhana sampai dengan menggunakan menganalisa perangkat lunak untuk

memecahkan

persoalan

dan

performansi

manusia.

Mengidentifikasi, memprediksi, dan menganalisis kegiatan dan perilaku manusia bukanlah tindakan yang gampang sehingga perlu adanya metodemetode HEI. Terdapat beberapa metode identifikasi kesalahan manusia yang dipakai dan dikembangkan untuk menganalisis human reliability assessment (HRA), antara lain:
17

1. Fault Tree Analysis (FTA) FTA adalah suatu alat untuk menganalisis, dengan tampilan visual (gambar) dan mengevaluasi jalur dari suatu kegagalan pada sistem serta menyediakan suatu mekanisme untuk mengevaluasi tingkatan bahaya pada sistem (Ericson, 1999). Konsep mendasar dari Fault Tree Analysis adalah menterjemahkan dan menganalisis suatu kegagalan atau kesalahan dari sistem kedalam bentuk diagram visual dan model logika (Ericson, 1999). Diagram visual memberikan suatu bentuk model visual yang dengan mudah

menggambarkan hubungan-hubungan yang ada pada sistem dan akar permasalahan yang terjadi (Ericson, 1999). Sementara model logika

memberikan mekanisma evaluasi secara kualitatif dan kuantitif (Ericson, 1999). Suatu aturan dan symbol yang sederhana membantu menganalisis suatu sistem dan hubungan yang kompleks antara perangkat keras, perangkat lunak dan manusia (Ericson, 1999). Sejarah penggunaan FTA sebagai suatu alat dan metode yang andal untuk membantu mengevaluasi kesalahan pada sistem adalah sebagai berikut (Ericson, 1999): A. Kondisi Permulaan (1961-1970) a. H. Watson dari Laboratorium Bell bersama A. Mearns, mengembangkan suatu teknik untuk angkatan udara yang digunakan mengevaluasi Sistem Kendali Peluncuran

Minuteman, Circa 1961. b. Diakui dan disahkan oleh Dave Haasl dari Boeing sebagai alat yang dapat menganalisis sistem keselamatan (1963). c. Pertama kali digunakan oleh Boeing pada pengevaluasian sistem Minuteman (1964-1967, 1968-1999). d. Jurnal teknik pertama mengenai FTA dipresentasikan pada Konferensi Sistem Keselamatan, Seattle, 1965. e. Boeing mulai menggunakan FTA pada proses desain dan evaluasi pesawat penumpang komersil, Circa 1961.

18

f. Boeing mengembangkan 12 fase simulasi dan program plot FTA pada Calcomp roll plotter. B. Kondisi Awal (1971-1980) a. Diadopsi untuk digunakan pada industri pembangkit tenaga nuklir. b. Pengembangan algoritma evaluasi. c. Pengembangan perangkat lunak FTA seperti Prepp/Kitt, SETS, FTAP, Importance and COMCAN. C. Kondisi Pertengahan (1981-1990) a. Penggunaan FTA menjadi global dan internasional terutama pemanfaatannya pada pembangkit tenaga nuklir. b. Pengembangan algoritma evaluasi dan kode. c. Banyak beredarnya jurnal dan paper internasional mengenai subjek tersebut. d. Penggunaan FTA pada perangkat lunak semakin banyak. D. Kondisi Saat Ini (1991-Sekarang) a. Digunakan pada banyak sistem dan berbagai Negara. b. Pengembangan perangkat lunak FTA dengan kualitas evaluasi yang tinggi pada platform PC. c. Penggunaan FTA diadopsi pada industri Robotika. Aplikasi FTA banyak digunakan pada berbagai sistem dan projek yang berbeda. Industri-industri besar yang menggunakan FTA antara lain: A. Penerbangan komersil, pesawat tempur, pesawat pengebom, tank, pesawat tanpa awak (UAV), AWACS (Airborne Warning and Control Systems), helicopter. B. Sistem daya nuklir, solar, listrik. C. Sistem transportasi kereta api, MPRT (Morgantown Personal Rapid Transit), BART. D. Ruang angkasa Apollo, pesawat ruang angkasa, satelit, stasiun ruang angkasa. E. Sistem robotika. F. Sistem otomatik.

19

G. Sistem kendali roket Minuteman, SRAM, ALCM, Tomahawk. H. Torpedo. I. Hydrofoil. J. Oil Platforms. Fault Tree Analysis menggunakan simbol sebagai alat untuk mempermudah merepresentasikan penyebab dan akibat diantara kejadiankejadian. Simbol yang digunakan pada Fault Tree Analysis adalah sebagai berikut (Nemeth, 2004) dapat dilihat pada gambar 2.2-2.7 dibawah: AND Gate, suatu logika hubungan DAN. Hasil atau keluaran A ada jika dan hanya jika semua D1Dn ada secara bersamaan.

Gambar 2.2 Simbol AND Gate OR Gate, suatu logika hubungan inklusif ATAU. Hasil atau keluaran B ada jika salah satu C1Cn atau salah satu kombinasi tersebut ada.

Gambar 2.3 Simbol OR Gate Inhibit Gate, suatu keadaan yang menerapkan kondisi atau pembatasan dengan urutan yang harus dipenuhi sehingga keluaran dapat dihasilkan.

20

Gambar 2.4 Inhibit Gate Identifikasi terhadap peristiwa tertentu. Biasanya menjelaskan hasil atau masukan dari AND Gate atau OR Gate.

Gambar 2.5 Simbol Identifikasi Kejadian (biasanya merupakan kegagalan) yang dapat dijelaskan dengan komponen atau sirkuit tertentu.

Gambar 2.6 Simbol Kejadian (Kegagalan) Kejadian yang biasanya diharapkan terjadi kecuali kegagalan terjadi maka kejadian tersebut tidak akan terjadi.

Gambar 2.7 Simbol Kejadian Dari 6 simbol yang diciptakan untuk membantu proses presentasi penyebab dan akibat, 2 simbol AND dan OR adalah yang paling sering digunakan. Keterbatasan dari FTA adalah sebagai berikut: a. Setiap kejadian hanya dapat dijabarkan kedalam 2 kondisi yaitu kondisi sukses atau gagal. b. Kemungkinan data-data aktivitas manusia terbatas dan terbatas untuk memprediksi kesalahan yang disebabkan oleh manusia.
21

Sebagai contoh kasus penggunaan FTA pada kecelakaan akibat kesalahan penggunaan bor pada proses manufaktur. Diagram Fault Tree dapat dilihat pada gambar 2.8 dibawah ini (Nemeth, 2004). Analisis Fault Tree mencari kemungkinan dari penyebab-penyebab yang mengakibatkan sesuatu kejadian yang tidak aman terjadi. Penyebab tersebut dibagi dan dipecah menjadi penyebab-penyebab yang lebih masuk akal yang menyebabkan kecelakaan terjadi. Hanya ahli yang mengerti Fault Tree dapat menentukan penyebab sebenarnya dari kecelakaan sehingga analisis dapat dihentikan.

Gambar 2.8 Contoh FTA pada Kesalahan Pengeboran (Nemeth, 2004) Analisis Fault Tree diatas adalah sebagai berikut:

22

Idetifikasi kejadian yang terjadi adalah pecahan pahat bor berdampak pada mata. Kejadian ini dapat terjadi jikadan hanya jika salah satu kejadian dibawah ini terjadi atau adanya kombinasi dari kejadian tersebut yaitu: pahat bor pecah dan mata terekspos. Pecahnya pahat bor terjadi karena tekanan yang dioperasikan oleh mata bor terhadap material benda kerja kekuatannya lebih kecil dari kekuatan benda kerja.

Pecahnya pahat bor dapat dibagi menjadi dua penyebab yaitu pahat bor membentur objek atau kesalahan bor. Setelah diselidiki penyebab 1 bukan penyebab dari terjadi kecelakaan dan penyebab 2 merupakan penyebab kecelakaan. Penyebab 2 dapat dibreakdown menjadi kontrol kualitas yang tidak memadai atau sama sekali tidak adanya control kualitas.

Mata terekspos dikarenakan posisi operator yang tidak sesuai dengan prosedur proses pengeboran dan tidak adanya proteksi pada mata. Mata tidak dilindungi dikarenakan pelindung yang ada pada mesin dilepaskan atau operator sendiri tidak menggunakan goggle (kaca mata pelindung).

Proses pembuatan Fault Tree ini dinyatakan selesai jika penyebab akhir tidak dapat dibreakdown lagi. Proses pemberhentian (stop) hanya dilakukan oleh ahli yang mengerti kejadian dan kecelakaan yang terjadi. Prosedur dan pendekatan untuk menggunakan Fault Tree Analysis

(FTA) sebagai alat untuk menganalisis dan mengevaluasi jalur kesalahan adalaha sebagai berikut: Langkah 1 Identifikasikan kejadian-kejadian utama yang mungkin akan ditentukan untuk dianalisis dan dicari penyebabnya. Hasil dari pengawasan manajemen dan analisis pohon resiko juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kejadian yang tidak diinginkan. Langkah 2 Tambahkan kondisi atau kejadian yang dapat berkontribusi atau mengakibatkan kejadian diatas.

23

Langkah 3 Tetapkan logic gate (gerbang logika) sesuai dengan gabungan peristiwa yang menunjukkan apakah kedua peristiwa terjadi pada waktu dan tempat yang sama (AND) atau kejadian yang mungkin terjadi (OR). Pergerakan ke cabang pada fault tree menunjukkan efek. Langkah 4 lanjutkan dengan mengidentifikasi peristiwa-peristiwa yang berkontribusi dan menetapkan simbol-simbol logika untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa yang mungkin menjadi penyebab. Ketika beberapa kondisi terjadi pada serangkaian peristiwa, sejumlah peristiwa-peristiwa penting yang dapat menyebabkan kecelakaan dapat ditempatkan pada pohon. Langkah 5 Tentukan probabilitas kemungkinan bahwa setiap peristiwa yang terjadi dengan memikirkan kemungkinan berdasarkan probabilitas dari setiap pasangan peristiwa yang berkontribusi. Persamaan dibawah dapat menentukan gerbang logika AND dan OR. Bahkan jika probabilitas kejadian tidak dapat ditetapkan, FTA masih dapat berfungsi sebagai metode evaluasi. Persamaan tersebut adalah: Gerbang AND kedua B dan C yang terjadi secara simultan OR PB = 1-(1-pD)(1-pE) Dimana B adalah hasil dari persamaan PA = PBPC situasi Dimana A adalah hasil dari

salah satu D atau E yang terjadi Langkah 6 Periksa kejadian dan kondisi untuk menentukan apakah kerusakan diakibatkan karena: kesalahan utama (kegagalan komponen), efek sekunder (kegagalan komponen lainnya, atau kegagalan kondisi lainnya), masukan atau perintah (sinyal error, kekeliruan, atau kesalahan pada masukan). Langkah 7 Kembangkan suatu strategi untuk memperbaiki kombinasi kejadian untuk mencegah kejadian dibagian atas kejadian terjadi.

24

Secara umum langkah-langkah prosedur penggunaan Fault Tree dapat disederhanakan seperti berikut: a. Identifikasi sumber bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan (membahayakan kehidupan atau property). b. Identifikasi awal muasal peristiwa yang dapat mengakibatkan terjadinya bahaya kecelakaan. c. Tetepakan urutan kejadian yang mungkin terjadi setelah terjadinya kejadian awal menggunakan pohon kejadian (event trees). d. Kuantifikasi setiap rentetan kejadian. e. Tentukan resiko secara keseluruhan. 2. Evidence Event Fault Tree Analysis (EEFTA) Seperti yang telah dijelaskan diatas FTA adalah suatu alat yang salah satu tujuannya untuk memprediksi kejadian yang tidak diinginkan ketika merancang suatu sistem baru. FTA juga bertujuan untuk menggali akar dari penyebab terjadinya permasalahan yang dapat mengakibatkan terjadinya kejadian yang tidak diinginkan, anomali, dan insiden. Tujuan dari metode EEFTA adalah merekonstruksi ulang kejadian atau kondisi sebenarnya yang menyebabkan terjadinya kecelakaan (Ericson II, 2000). EEFTA memfasilitasi penyelidikan untuk menemukan penyebab terjadinya kecelakaan tanpa membuang waktu menganalisis area yang dianggap tidak produktif (Ericson II, 2000). Evidence Gate pada EEFTA berbentuk seperti katup dengan kondisi tertutup atau terbuka tergantung dari masukan (Ericson II, 2000). Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa bukti dan fakta-fakta dapat bersumberkan dari instrumentasi data, saksi mata, FDR, kamera video, hasil pensimulasian, dan lainnya. Tidak semua cabang pada pohon EEFTA diselidiki hanya cabang dengan bukti-bukti pendukung yang dapat dilanjutkan dan dianalisis (Ericson II, 2000). Sebagai tambahan, cabang dengan bukti yang tidak cukup, dilanjutkan sampai bukti ditemukan apakah bukti tersebut positif atau negatif atau akar dari penyebab teridentifikasi (Ericson II, 2000).

25

Salah satu keunggulan atau kekuatan EEFTA adalah menyediakan pendekatan grafis terstruktur untuk menganalisis penyebab kecelakaan. Pendekatan grafis berupa simbol akan dibahas pada bagian selanjutnya. Pada penyelidikan kecelakaan terdapat 2 tujuan dasar, yaitu (EricsonII, 2000): 1. Dengan cepat menemukan akar dari penyebab terjadinya kecelakaan 2. Memanfaatkan dengan efektif data-data faktual untuk membantu menidentifikasi akar penyebab kecelakaan. EEFTA merupakan metode yang dapat memberikan kepuasan dalam memenuhi dua tujuan diatas. Terdapat beberapa macam persepsi kecelakaan dan perbedaan pandangan terhadap akar penyebab terjadinya kecelakaan (Ericson II, 1998): 1) Single Event Perception Perlakukan kecelakaan sebagai single event perception (umumnya sebagai kambing hitam) 2) Chain of Events Perception Perlakukan kecelakaan sebagai rentetan rantai kejadian seperti efek domino (suatu kejadian yang berdampak pada hal lain atau mengakibatkan kejadian lain). Penyelidik mencari informasi yang dapat membolehkan terjadi rekonstruksi rentetan kejadian. Fokus pencarian kearah tindakan tidak aman, kondisi dan penyebab kecelakaan. 3) Determinant Variable Perception Perlakukan kecelakaan sebagai variabel dependent pada satu variabel independent. Pencarian terfokus pada satu variabel independent. Tujuan dari kegiatan ini adalah mengumpulkan data dengan cara yang memungkinkan seperti dengan metode

perbandingan statistik sehingga menghasilkan estimasi yang baik pada variabel independent dan probabilitas dari hal tersebut yang mengakibatkan kecelakaan dengan faktor dan kondisi yang ada. 4) Logic Tree Perception

26

Perlakukan

kecelakaan

sebagai

mata

rantai

kejadian

yang

menyebabkan kecelakaan. Kejadian atau kecelakaan dapat terjadi pada berbagai jalur sekuensial dan/atau paralel. Persepsi ini berada disepanjang garis metode FTA dan EEFTA. 5) Multilinear Events Sequence Perception Perlakukan kecelakaan sebagai segmen rangkaian kesatuan aktivitas. Proses terjadinya kecelakaan dapat dijabarkan menjadi pelaku utama yang berinteraksi secara spesifik, masing-masing bertindak dalam urutan hubungan yang logis seperti jadwal, dan lainnya. EEFTA menggunakan simbol untuk mempermudah mengidentifikasi dan memodelkan kejadian kondisi yang menyebabkan terjadinya

kecelakaan. Faktor-faktor penyebab meliputi kegagalan perangkat keras, kegagalan perangkat lunak, kesalahan manusia, permasalahan prosedur, faktor lingkungan, dan kondisi-kondisi tidak normal. Simbol dan pengkodean EEFTA dapat dilihat pada gambar 2.9 dibawah ini (Ericson II, 2000).

Gambar 2.9 Struktur Evidence Gate (Ericson II, 2000) Gambar 2.9 (Ericson II, 2000) menunjukkan struktur Evidence Gate dan bukti/fakta berada disebelah kanan gerbang (Gate). Kotak bukti berisikan bukti empiris temuan penyelidik (Autopilot Uncoupled). Kotak yang berada disebelah Evidence Gate adalah kotak yang membenarkan atau

27

menyalahkan bukti empiris temuan penyelidik. Jika kotak yang berada disebelah Evidence Gate adalah benar maka analisis dilanjutkan, jika salah analisis dihentikan. Metodologi Evidence Gate beserta gambar penjelasannya dapat dilihat pada gambar 2.10 dibawah ini (Ericson II, 2000).

Gambar 2.10 Metodologi Evidence Gate (Ericson II, 2000) Gambar 2.10 (Ericson II, 2000) memperlihatkan Evidence Gate yang menjelaskan untuk kasus 1, cabang pada pohon dihentikan (stop) dikarenakan tidak adanya bukti atau kejadian tidak terjadi dan mendukung hipotesis ini. Pada kasus 2, pencabangan diteruskan karena terdapat adanya bukti yang mendukung kejadian tersebut. Pada kasus 3, pencabangan diteruskan karena tidak adanya bukti yang dapat mendukung atau membantah kejadian, oleh karena itu pencabangan diteruskan sampai ditemukannya bukti atau ditemukannya akar permasalahan. Perbandingan antara metode FTA dan EEFTA dalam bentuk gambar dan penjelasannya adalah sebagai berikut (Ericson II, 2000):

28

Gambar 2.11 Perbandingan FTA dan EEFTA (Ericson II, 2000) Gambar 2.11 (Ericson II, 2000) menjelaskan perbedaan antara FTA dan EEFTA, pada FTA seluruh kemungkinan bukti kejadian dianalisis walaupun terdapat bukti yang belum tentu mendukung kejadian tersebut, sementara pada EEFTA jika terdapat bukti yang tidak mendukung maka pencabangan tidak diteruskan. Pencabangan hanya diteruskan untuk bukti yang mendukung kejadian sampai akar permasalahan yang menyebabkan kecelakaan ditemukan. Metodologi (prosedur) pengembangan penyelidikan kecelakaan menggunakan EEFTA sama dengan menggunakan FTA. Secara umum ada 2 bagian utama, yaitu (Ericson II, 2000): 1) Pass Tree I Analisis sistem dan kecelakaan menggunakan peraturan pada FTA dan logika sistem. Identifikasi dan susun suatu keadaan sistem kegagalan yang mungkin menyebabkan terjadinya kecelakaan. 2) Pass Tree II periksa kembali First Tree dan pastikan dimana bukti yang diketahui diaplikasikan atau dimana bukti tambahan

diperlukan. Letakkan kondisi ini pada FT dengan menggunakan Evidence Gate. Lanjutkan cabang dengan bukti positif dan hentikan cabang dengan bukti negative. Sebagai contoh kasus penggunaan EEFTA pada kecelakaan pesawat terbang menabrak pembatas dan keluar landasan terbang. Diagram Fault Tree dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini (Ericson II, 2000).

29

Gambar 2.12 Contoh Penggunaan EEFTA pada Kecelakaan Penerbangan


30

Gambar 11 menjelaskan proses EEFTA dengan hasil temuan akhir penyebab adalah kecepatan pendaratan yang melebihi kondisi normal

menyebabkan pesawat mendarat dengan kecepatan melebihi batas yang mungkin disebabkan oleh pilot yang mengaplikasikannya tidak sesuai dengan prosedur sehingga keluar dari landasan pendaratan. Proses analisis pada EEFTA dapat diteruskan sampai ke penyebab dibelakang yang mempengaruhi (organisasi, pengawasan, dan lainnya) kenapa pilot salah melakukan prosedur pendaratan. 3. Technique Human Error Rate Prediction (THERP) THERP merupakan teknik memperkirakan nilai kesalahan manusia yang dikembangkan oleh Swain (1964). Metode ini dibuat untuk melakukan kontrol kualitas dengan memperkirakan kesalahan perakitan pada perusahaan nuklir. Metode ini menjadi efektif ketika tugas dapat dibagi menjadi beberapa subtugas. Apabila kesalahan pada setiap subtugas dapat diprediksi, maka hasil tersebut dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan keseluruhan tugas. Langkah identifikasi kesalahan manusia dengan metode THERP meliputi: 1. Taksonomi kesalahan (error taxonomy) 2. Taksnomi perilaku (behavioral taxonomy) 3. Perspektif dasar perekayasaan kesalahan manusia 4. Penentuan faktor pembentukan performansi 5. Pembuatan tabel kesalahan manusia Berikut ini adalah contoh THERP yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada sistem kebakaran. Gambar 2.13 menjelaskan urutan kejadian setelah terjadinya kebakaran yaitu sistem pemadaman darurat dikondisikan menjadi 2 keadaan yaitu menyala dan tidak menyala. Jika sistem pemadaman darurat menyala dan sukses memanggil pemadam kebakaran maka kebakaran dapat dipadamkan dan kerusakan dapat diminimalisasi bahkan tidak terjadi. Sebaliknya jika sistem pemadam kebakaran darurat tidak menyala dan pemanggilan terhadap pemadam kebakaran tidak berhasil maka akan

menyebabkan kerusakan parah pada bangunan yang terbakar.

31

Gambar 2.13 Contoh THERP pada Sistem Kebakaran (Swain, 1964) Keuntungan dan kerugian penggunaan metode THERP akan ditunjukkan pada tabel 2.2 dibawah ini. Tabel 2.2 Keuntungan dan Kerugian Metode THERP Keuntungan THERP dapat digunakan pada semua tingkatan desain. Kerugian Analisis menggunakan metode ini memerlukan sumber daya yang besar dan mungkin memerlukan usaha yang besar untuk hasilkan nilai HEP (Human Error Probabilities) yang handal . THERP kompatibel dengan metode Probabilistic Risk Assessment (PRA). Proses penggunaan THERP transparan, terstruktur, dan menyediakan tinjauan faktorfaktor manusia pada risk assessment. Metode dapat digunakan dalam berbagai domain keandalan Adanya variasi yang cukup besar dalam pengidentifikasian kesalahan dan error recovery. Gagal untuk mempertimbangkan secara ekplisit mengapa error itu terjadi.

32

manusia yang berbeda dan memiliki validitas yang tinggi Merupakan metode yang unik dalam cara menyoroti kesalahan manusia.

4. Systematic (SHERPA)

Human

Error

Reduction

and Prediction

Approach

Metode ini dikembangkan oleh Embrey pada tahun 1986 digunakan tidak hanya sebagai teknik memprediksi kesalahan manusia juga dapat menganalisis kegiatan mengidentifikasi solusi potential dalam menyelesaikan masalah. Metode ini berdasarkan taksonomi kesalahan manusia dan berdasarkan mekanisme psikologi manusia. Terdapat 8 langkah dalam analisis menggunakan SHERPA, yaitu: a. Hierarchical task analysis (HTA) b. Pengklasifikasian tugas c. Human error identification (HEI) d. Analisis konsekuensi e. Analisis pemulihan f. Analisis probabilitas ordinal g. Analisis kritikal h. Analisis remedial Diagram alir metode Systematic Human Error Reduction and Prediction Approach (SHERPA) yang digunakan sebagai metode yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.14 dibawah ini.

33

Gambar 2.14 SHERPA Hierarchical Task Analysis (Embrey, 1986) 5. Generic Error Modeling System (GEMS) Metode yang dikembangkan oleh James Reason pada tahun 1987 bertujuan untuk membantu menganalisis dan memahami kesalahan yang

mungkin akan terjadi. GEMS terbagi menjadi 3 bagian yaitu skill-based, rule based, dan knowledge-based. Diagram alir GEMS dapat dilihat pada gambar 2.15.

34

Gambar 2.15 Model Dinamik GEMS (Reason, 1987) Adapun metode yang terkenal saat ini adalah metode Human Factors Analysis and Classification System (HFACS) merupakan metode yang dapat menganalisis kesalahan manusia dengan penyebab kecelakaan beserta penyebab lainnya baik secara langsung (aktif) maupun tidak langsung (pasif). Peneliti tertarik mempelajari dan mengembangkan HFACS sebagai salah satu metode identifikasi kesalahan manusia untuk kondisi penerbangan di Indonesia dikarenakan hal sebagai berikut (Ruishan, Lei & Ling, 2007): 1. HFACS dikembangkan sebagai metode identifikasi kesalahan manusia untuk mengkategorikan kesalahan baik penyebab aktif (secara langsung) maupun penyebab laten/pasif (secara tidak langsung namun

mempengaruhi) yang teridentifikasi pada kecelakaan penerbangan.

35

2. Tujuan HFACS memberikan suatu kerangka atau susunan (yang dijelaskan pada sub bab dibawah) untuk mengidentifikasi suatu kecelakaan dan sebagai alat untuk mencari dan meneliti tren atau pola dari kecelakaan. 3. Merupakan metode yang diaplikasikan secara langsung yang dapat membantu menemukan holes in the cheese yang dijelaskan pada Swiss Cheese Model James Reason dan kemudian menetapkan langkah-langkah pencegahan dan meminimasi terjadinya kecelakaan. 2.3 Human Factors Analysis and Classification System (HFACS) 2.3.1 Latar Belakang HFACS Kemajuan teknologi yang sangat pesat belakangan ini menyebabkan keselamatan di penerbangan semakin meningkat, tetapi hal tersebut menimbulkan pertanyaan kepada keselamatan penerbangan: Mengapa pesawat mengalami kecelakaan?. Jawabannya tidak semudah yang dibayangkan. Pada awal masa penerbangan digunakan, kecelakaan dikarenakan oleh pesawat itu sendiri baik dari desainnya yang salah maupun kesalahan dari manufaktur (pembuatan). Masa sekarang kecelakaan lebih banyak disebabkan oleh manusia yaitu pada kru penerbangan baik pilot, kru pemeliharaan, menara pengawas (air traffic control) (Mason. 1993; dikutip dari Murray, 1997). Bahkan menurut penelitian oleh Shappell & Wiegmann (1996) menghasilkan analisis bahwa 70 sampai 80 persen kecelakaan penerbangan dapat disebabkan oleh kesalahan manusia. Kecelakaan penerbangan tidak hanya disebabkan oleh satu penyebab saja atau bahkan oleh satu orang saja (Heinrich, Peterson, dan Roos, 1980). Kecelakaan ini merupakan hasil akhir dari banyak penyebab, dengan penyebab akhirnya adalah tindakan yang tidak aman oleh kru penerbangan (Reason, 1990; Shappell & Wiegmann, 1997a; Heinrich, Peterson, & Roos, 1980; Bird, 1974). Untuk itu perlu adanya suatu metode yang membantu penyelidik melakukan penyelidikan kecelakaan sehingga penyebab yang sama tidak terulang di kemudian harinya dan dapat menjadi pembelajaran bagi penyelidik kecelakaan pesawat udara. Pada saat menggunakan model faktor manusia, penyelidik harus mengaplikasikan model kepada 3 area utama yaitu: lingkungan, individu, dan

36

kejadian atau kecelakaan. Kru yang mengalami kecelakaan (pilot, kru penerbangan, teknisi, dan lainnya) bereaksi terhadap lingkungan dimana mereka terekspos. Faktor lingkungan tidak hanya melingkupi lingkungan fisik dimana anggota kru terekspos dan juga lingkungan organisasi dan pengawasan serta lingkungan fisik dan teknologi yang menyebabkan tindakan yang tidak aman terjadi. Faktor-faktor individu melingkupi tindakan tidak aman, tindakan-tindakan yang dilakukan sebelumnya sehingga tindakan tidak aman terjadi, serta faktor pengawasan. Kecelakaan dapat disebabkan karena kesalahan aktif dan kesalahan pasif yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kesalahan aktif terjadi. Ketika menggunakan model yang akan dibahas secara rinci dibawah, penyelidik harus mengasumsikan bahwa kesalahan dapat berarti beberapa hal (DOD US, 2005): Kesalahan sebagai kegagalan itu sendiri. Sebagai contoh: pengambilan keputusan yang salah oleh teknisi (keputusan, persepsi atau kesalahan akibat kemampuan/keterampilan dasar). Kesalahan sebagai penyebab terjadi kegagalan. Kejadian ini diakibatkan karena kesalahan manusia (misal, kegagalan dalam memberikan bimbingan, petunjuk, pedoman). Kesalahan sebagai suatu proses, lebih spesifik kepada kesalahan tidak menjalankan prosedur (prosedur rutin, prosedur istimewa, disengaja maupun tidak disengaja). Bagian ini membahas mengenai teori Swiss Cheese Model James Reason yang dikembangkan oleh Shappell dan Wiegmann menjadi HFACS, pembahasan HFACS secara terperinci (tingkatan dan sub tingkatan pada HFACS beserta contoh-contohnya) dan perancangan kode sebagai panduan penggunaan HFACS. Metode yang sangat populer yang dikembangkan oleh Shappell dan Wiegmann (2001) dengan mengambil Swiss Cheese Method James Reason (1997). Model ini merupakan suatu alat untuk membantu menginvestigasi human error yang diusulkan dan diajukan oleh James Reason pada tahun 1990 dengan nama Swiss Cheese. Model ini diklasifikasikan menjadi 4 kategori yang dapat dilihat pada gambar 2.16 dibawah ini.
37

Gambar 2.16 Swiss Cheese Model of Human Error Caustion (Reason, 1997) Kategori pertama dari model ini adalah Unsafe Acts of Operators (tindakan tidak aman oleh operator) yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Lebih sering disebut kesalahan oleh pilot, kru penerbangan, teknisi dan lainnya. Pada tingkatan ini penyelidik memfokuskan investigasi dan banyak penyebab kecelakaan terbesar dan muncul ke permukaan serta tindakan kru penerbangan secara langsung berhubungan dengan kecelakaan. Sebagai contoh kegagalan dalam melakukan pemeriksaan terhadap Instrument Meteorological Conditions (IMC), checklist, dan lainnya. Merepresentasikan sebagai salah satu dari lubang kesalahan, kegagalan aktif ini merupakan tindakan tidak aman yang dilakukan oleh kru penerbangan. Alasan mengapa Swiss Cheese Model merupakan model yang berguna dalam membantu menginvestigasi kecelakaan karena model ini memaksa penyelidik untuk memeriksa dan menginvestigasi kegagalan pasif yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Kegagalan pasif berkebalikan dari kegagalan aktif yang mungkin tidak terdeteksi selama berhari-hari, minggu bahkan tahunan sampai akhirnya kegagalan ini mempengaruhi terjadinya kegagalan aktif yang dilakukan oleh kru penerbangan. Berdasarkan konsep kegagalan pasif, Reason menjelaskan 3 tingkatan dari kesalahan manusia. Seperti yang terlihat pada Gambar 1 kegagalan pasif yang
38

dapat menyebabkan kecelakaan adalah Preconditions for Unsafe Acts (kondisi tertentu yang mengakibatkan kegiatan yang tidak aman), contohnya meliputi kondisi kelelahan mental (mental fatique), komunikasi dan kerjasama yang buruk yang masuk kedalam manajemen sumber daya manusia (Crew Resource Management/CRM). Kelelahan dapat menyebabkan kru membuat kesalahan dalam berkomunikasi dan bekerjasama untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan orang lain baik didalam kokpit maupun pihak luar seperti petugas menara pengawas, kru pemeliharaan, dan lainnya sehingga menghasilkan keputusan yang buruk dan mengakibatkan terjadinya kesalahan sebagai hasilnya. Praktek CRM yang buruk dapat ditemukan pada tingkatan Unsafe

Supervision (pengawasan yang buruk), merupakan tingkat ke-3 dari kesalahan manusia. Sebagai contoh, 2 pilot yang tidak berpengalaman dan mungkin dibawah rata-rata dipasangkan pada penerbangan dengan kondisi cuaca buruk pada malam hari, kemungkinan kecelakaan terjadi akibat proses ini sangat tinggi. Jika hal ini dipasangkan dengan buruknya kualitas pelatihan CRM, maka kemungkinan kesalahan komunikasi dan kesalahan kru penerbangan akan semakin tinggi dan memburuk. Model Reason juga membahas organisasi pada tingkatan kesalahannya. Kesalahan pada tingkatan ini juga dapat mengakibatkan dampak performansi pada setiap tingkatan dibawahnya. Sebagai contoh pada saat perusahaan mengalami kesulitan keuangan, pendanaan terhadap pelatihan penerbangan akan dibatasi. Pengawas mau tidak mau menugaskan pilot dan kru dengan tugas yang kompleks. Dengan ketidakadaan CRM membuat kegagalan komunikasi dan kerjasama sebagai akibat yang mempengaruhi kepada kondisi tertentu yang akhirnya menyebabkan tindakan tidak aman serta mempengaruhi performansi kru dan persentase kesalahan menjadi tinggi. Oleh karena itu penyelidik harus mengetahui apa saja yang dapat mengkibatkan terjadinya kesalahan atau lubang pada Swiss Cheese sehingga hal tersebut dapat diidentifikasi selama penyelidikan bahkan dapat dideteksi dan dikoreksi sebelum kecelakaan tersebut terjadi. 2.3.2 Teori Human Factors Analysis and Classification System (HFACS)

39

Berdasarkan model James Reason (1990) mengenai konsep kegagalan aktif dan kegagalan pasif, HFACS membagi menjadi 4 faktor yaitu: Unsafe Acts (tindakan tidak aman), Preconditions for Unsafe Acts (kondisi tertentu yang menyebabkan tindakan tidak aman), Unsafe Supervision (pengawasan yang buruk), Organizational Influences (pengaruh organisasi). Model HFACS membahas tidak hanya kesalahan aktif sebagai kesalahan yang langsung menyebabkan terjadinya kecelakaan, tetapi HFACS juga membahas kesalahan pasif atau laten yang dapat mempengaruhi kesalahan aktif terjadi. HFACS dikatakan lengkap karena membahas secara makro mengenai kesalahan manusia dari tingkatan manusia itu sendiri sampai kepada tingkatan organisasi sebagai pengambil kebijakan yang mempengaruhi tindakan manusia. Ketika menggunakan HFACS, penyelidik harus mengasumsikan bahwa kesalahan dapat berarti beberapa hal: Kesalahan sebagai kegagalan itu sendiri. Sebagai contoh: Keputusan operator yang salah (keputusan, persepsi, kemampuan dasar). Kesalahan sebagai penyebab kegagalan. Sebagai contoh: Kejadian ini adalah sebagai akibat dari kesalahan manusia. Kesalahan sebagai proses atau secara spesifik berasal dari kesalahan dari penggunaan suatu standar. Model HFACS yang didalamnya terdapat tingkatan dan sub-tingkatan dapat dilihat pada gambar 2.17 dibawah beserta penjelasan secara terperinci mengenai masing-masing tingkatan dan contohnya tindakan pada masing-masing sub tingkatan HFACS.

40

Latent Failures
Organizational Influences

Resource Management

Organizational Climate

Organizational Process

Latent Failures
Unsafe Supervision

Inadequate Supervision

Planned Inappropriate Operations

Failed to Correct Problem

Supervisory Violations

Latent Failures
Preconditions for Unsafe Acts

Environmental Factors Physical Environment Technological Environment Adverse Mental States

Condition of Operators

Personnel Factors

Adverse Physiological States

Physical/Mental Limitations

Crew Resource Management

Personal Readiness

Active Failures
Unsafe Acts

Errors

Violations

Decision Errors

Skill-Based Errors

Perceptual Errors

Routine

Exceptional

Gambar 2.17 Kerangka & Susunan HFACS (Wiegmann and Shappel, 2001) 1. Unsafe Acts Tindakan tidak aman merupakan faktor yang biasanya menyebabkan terjadinya kecelakaan, dapat didefinisikan sebagai tindakan atau kesalahan aktif yang dilakukan oleh teknisi (operator) yang mengakibatkan situasi atau kejadian yang tidak aman. Kesalahan dan kegagalan akibat tindakan tidak aman terbagi atas 2 tingkatan yaitu Errors (Kesalahan) dan

41

Violations (Pelanggaran). Unsafe Acts dapat dilihat pada gambar 2.18 dibawah.
Active Failures
Unsafe Acts

Errors

Violations

Decision Errors

Skill-Based Errors

Perceptual Errors

Routine

Exceptional

Gambar 2.18 Categories of Unsafe Acts (Wiegmann and Shappel, 2001) Tindakan tidak aman (Unsafe Acts) oleh operator/teknisi dibagi menjadi 2 sub tingkatan yaitu Kesalahan (Errors) dan Pelanggaran (Violations). Masingmasing kesalahan dan pelanggaran dibagi menjadi sub tingkatan yang lebih kecil. Kesalahan merupakan faktor penyebab terjadinya kecelakaan ketika kegiatan fisik atau mental dari operator gagal dalam memperoleh hasil yang diinginkan dikarenakan kesalahan pada tindakan pengambilan keputusan, kemampuan mendasar, kesalahan persepsi yang menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman. Kesalahan adalah suatu tindakan yang tidak disengaja. Kesalahan diklasifikasikan kedalam 3 tipe yaitu: Decision Errors (Kesalahan pada Pengambilan Keputusan), Skill-Based Errors (Kesalahan Diakibatkan oleh Kemampuan Mendasar), Perceptual Errors (Kesalahan Persepsi). Menggunakan metode ini, hal pertama yang dilakukan oleh penyelidik adalah apakah yang melakukan kesalahan adalah individu atau tim. Penyelidik kemudian memutuskan apakah kesalahan atau pelanggaran yang terjadi. a. Decision Errors (Kesalahan pada Pengambilan Keputusan) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika perilaku dan tindakan dari satu individu bertindak sebagaimana yang diinginkan namun memilih rencana (mengambil keputusan yang salah) untuk mencapai tujuan yang berakhir pada tindakan yang tidak aman.

42

b. Skill-Based Errors (Kesalahan Diakibatkan oleh Kemampuan Mendasar) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika kesalahan terjadi dikarenakan tindakan rutin operator, tugas yang sesuai prosedur membutuhkan keahlian tinggi, pelatihan atau kecakapan dan keahlian yang berujung pada tindakan yang tidak aman. Kesalahan ini merupakan perilaku yang tidak disengaja. c. Perceptual Errors (Kesalahan Persepsi) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika persepsi terhadap suatu objek, ancaman atau situasi (visual, pendengaran, ilusi visual, disorientasi spasial) yang berakhir dengan terjadinya kesalahan manusia. Pelanggaran merupakan faktor penyebab terjadinya kecelakaan ketika tindakan operator melanggar aturan (regulasi) dan instruksi yang berujung pada tindakan yang tidak aman. Tidak seperti kesalahan, pelanggaran merupakan perilaku atau tindakan yang disengaja. a. Routine (Pelanggaran Bersifat Rutin) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan ketika dilakukan cenderung merupakan kebiasaan dan biasanya pelanggaran ini oleh pihak yang berwenang selalu ditolerir. b. Exceptional (Pelanggaran Bersifat Tidak Biasa) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan ketika diakibatkan terisolasinya dari otoritas namun pelanggaran ini tidak selalu terjadi dan jika ketahuan tidak akan ditolerir oleh pihak manajemen. Ketika seseorang individu dihadapkan oleh bukti pelanggaran yang dilakukan dan diminta untuk menjelaskannya, biasanya individu tersebut memberikan penjelasan tidak secara menyeluruh untuk menutupi pelanggaran yang dilakukannya. Jika pelanggaran yang dilakukan terbongkar maka konsekuensi dari hal tersebut akan ditanggung tidak hanya oleh pelaku namun akan dirasakan dampak oleh sekitarnya. Contoh tindakan tidak aman yang dilakukan oleh operator dapat dilihat pada tabel 2.3 dan 2.4 dibawah ini.

43

Tabel 2.3 Tindakan Tidak Aman oleh Operator/Pilot (Wiegmann and Shappel, 2001)
Unsafe Acts Errors Decision Errors Skill-Based Errors Risk Assessment - During Operations Inadvertant Operation Task Misprioritization Checklist Error Necessary Action - Rushed Procedural Error Necessary Action - Delayed Overcontrol/Undercontrol Caution/Warning - Ignored Breakdown in Visual Scan Decision - Making During Operations Poor Technique

Perceptual Errors Error due to Misperception Visual Illusion Misread Instrument Expectancy Auditory Cues Temporal Distortion Spatial Disoriented 1 Unrecognized Spatial Disoriented 2 Recognized Spatial Disoriented 1 Incapacitating Misperception of Operational Conditions

Tabel 2.4 Tindakan Tidak Aman oleh Operator/Pilot (Wiegmann and Shappel, 2001)
Unsafe Acts Violations Routine Exceptional Routine/Widespread Lack of Discipline Based on Risk Assessment

2. Preconditions for Unsafe Acts Kondisi tertentu yang menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman merupakan penyebab terjadinya kecelakaan jika kondisi tertentu baik aktif maupun pasif seperti kondisi operator, lingkungan, faktor-faktor personel yang berpengaruh pada pelatihan, kondisi atau tindakan individu yang berakhir pada kesalahan manusia dan tindakan tidak aman. Kondisi tertentu yang menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman dapat dilihat pada gambar 2.19 dibawah ini.

44

Latent Failures
Preconditions for Unsafe Acts

Environmental Factors Physical Environment Technological Environment Adverse Mental States

Condition of Operators

Personnel Factors

Adverse Physiological States

Physical/Mental Limitations

Crew Resource Management

Personal Readiness

Gambar 2.19 Categories of Preconditions for Unsafe Acts (Wiegmann and Shappel, 2001) Faktor lingkungan merupakan faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika faktorfaktor fisik dan teknologi mempengaruhi pelatihan, kondisi dan tindakan individu dan berefek pada kesalahan manusia atau situasi yang tidak aman. Faktor lingkungan meliputi: a. Physical Environment (Lingkungan Fisik) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika fenomena lingkungan seperti cuaca, iklim, getaran, kebisingan, dan lainnya mempengaruhi tindakan seseorang dan berefek pada kesalahan manusia atau tindakan yang tidak aman. b. Technological Environment (Lingkungan Teknologi) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan ketika kokpit/kendaraan/ruangan kerja atau otomasi mempengaruhi tindakan seseorang dan berefek pada kesalahan manusia atau tindakan yang tidak aman. Kondisi dari operator merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika situasi seperti: perilaku psikis, keadaan fisik yang tidak sehat, keterbatasan fisik atau mental, dan lainnya yang berefek pada kesalahan manusia atau situasi yang tidak aman. Kondisi-kondisi ini antara lain:

a. Adverse Mental States (Tingkat Keadaan Mental) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan yaitu sifat dari kepribadian seseorang dan sikap yang merusak seperti terlalu percaya diri, kepuasan terhadap diri sendiri, dan motivasi yang salah tempat. Jika
45

seseorang individu mengalami kelelahan mental niscaya kesalahan yang mungkin terjadi akan semakin besar serta terlalu percaya diri dan sikap negatf lainnya seperti kesombongan dan impulsif akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran. b. Adverse Physicological States (Tingkat Keadaan Fisik) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan ketika seorang individu mengalami suatu kejadian yang berhubungan dengan fisiknya (kelelahan fisik, kondisi tidak normal dan lainnya) sehingga berefek pada kesalahan manusia atau tindakan yang tidak aman. c. Physical/Mental Limitations (Keterbatasan Fisik atau Mental) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan ketika seseorang individu tidak dapat menyelesaikan misi karena

keterbatasannya. Hal ini sering terjadi, namun tidak selalu, keterbatasan ini membuat seseorang tidak kompatibel untuk mengoperasikan sesuatu objek. Seperti seseorang individu tidak memiliki kekuatan fisik untuk mengoperasikan pesawat pada lingkungan gravitasi yang tinggi atau karena keterbatasan fisik antropomentri tidak dapat menjangkau kendali pesawat dikarenakan kokpit tidak didesain untuk semua bentuk, ukuran, kemampuan fisikal semua individu. Faktor personal merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika kesiapan sesorang dan kerja sama tim (CRM) yang buruk berefek pada kesalahan manusia atau situasi yang tidak aman. Faktor personal terbagi menjadi 2 bagian: a. Crew Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika koordinasi/komunikasi/perencanaan adalah penyebab kecelakaan dimana interaksi antara individu, kru, dan tim pada saat proses penyiapan dan pelaksanaan sebuah misi mengakibatkan pada kesalahan manusia atau tindakan yang tidak aman. b. Personnel Readiness (Kesiapan Personal) Merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan jika operator tidak mematuhi peraturan dan instruksi yang menentukan bagaimana

46

kesiapan individu dalam bekerja atau gagal mempersiapkan diri baik secara mental maupun fisik untuk melaksanakan pekerjaan. Contoh kondisi tertentu yang menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman dapat dilihat pada tabel 2.5, 2.6 dan 2.7 berikut ini. Tabel 2.5 Contoh Kondisi Tertentu Penyebab Tindakan Tidak Aman oleh Operator/Pilot (Wiegmann and Shappel, 2001)
Environmental Factors Physical Environment Vision Restricted by Icing/Windows Fog, dll Vision Restricted by Meteorological Conditions Vibration Vision Restricted in Workspace by Dust, Smoke, dll Windblast Thermal Stress - Cold Thermal Stress - Heat Maneuvering Forces - In Flight Lighting of Other Aircraft/Vehicle Noise Interference Brownout/Whiteout Technological Environment Seating and Restraints Instrumentation and Sensory Feedback Systems Visibility Restrictions Controls and Switches Automation Workspace Incompatible with Human Personal Equipment Interference Communications - Equipment

Tabel 2.6 Contoh Kondisi Tertentu Penyebab Tindakan Tidak Aman oleh Operator/Pilot (Wiegmann and Shappel, 2001)
Adverse Mental States Pre-Existing Personality Disorder Pre-Existing Psycological Disorder Pre-Existing Psycological Problem Emotional States Personality Style Overconfidence Pressing Complacency Inaequate Motivation Misplaced Motivation Overagressive Excessive Motivation to Succeed Get-Home-Itis/Get-There-Itis Response Set Motivational Exhaustion (Burnout) Condition of Operators Adverse Physiological States Effects of G Forces Prescribed Drugs Operational Injury/Ilness Sudden Incapacitation/Unconciousness Pre-Existing Physical Ilness/Injury/Deficit Physical Fatigue (Overexertion) Fatigue - Physicological/Mental Circadia Rhythm Desynchrony Motion Sickness Trapped Gas Disorders Evolved Gas Disorders Hypoxia Hyperventilation Visual Adaption Dehydration Physical Task Oversaturation Physical/Mental Limitations Learning Ability/Rate Memory Ability/Lapses Anthropometric/Biomechanical Limitations Motor Skill/Coordination or Timing Deficiency Technical/Procedural Knowledge

Tabel 2.7 Contoh Kondisi Tertentu Penyebab Tindakan Tidak Aman oleh Operator/Pilot (Wiegmann and Shappel, 2001)

47

Personnel Factors Crew Resource Management Personal Readiness Crew/Team Leadership Physical Fitness Cross-Monitoring Performance Alcohol Task Delegation Drugs/Supplements/Self Medication Rank/Position Authority Gradient Nutrition Assertiveness Inadequate Rest Communicating Critical Infromation Unreported Disqualifying Medical Condition Standard/Proper Terminology Challenge and Reply Mission Planning Mission Briefing Task/Mission-In-Progress Re-Planning Miscommunication

3. Unsafe Supervision Kesalahan pada pengawasan yang menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman. Jika suatu kecelakaan terjadi dan penyelidik melakukan penyelidikan seringkali penyelidikan berujung kepada pengawasan buruk yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan. Kesalahan pada pengawasan terbagi menjadi 4 faktor yaitu: Inadequate Supervision (Pengawasan yang tidak memadai), Planned Inappropriate Operations (Pengoperasian yang Tidak Terencana dengan Baik), Failed to Correct Problem (Gagal Menyelesaikan Permasalahan yang Telah Diketahui), Supervisory Violation (Pelanggaran pada Proses Pengawasan). Untuk lebih memahami kesalahan pada pengawasan akan dijelaskan pada gambar 2.20 dibawah.
Latent Failures
Unsafe Supervision

Inadequate Supervision

Planned Inappropriate Operations

Failed to Correct Problem

Supervisory Violations

Gambar 2.20 Categories of Unsafe Supervision (Wiegmann and Shappel, 2001) Inadequate Supervision (Pengawasan yang tidak memadai) merupakan sesuatu yang bergantung kepada pengawas dalam menyediakan segala sesuatu sehingga tujuan dapat tercapai dengan baik. Untuk mencapai tujuan tersebut,

48

pengawas harus menyediakan proses seperti: bimbingan yang baik, kesempatan melakukan pelatihan, kepemimpinan, motivasi, dan berfungsi sebagai panutan yang baik bagi bawahan. Kondisi ini adalah kondisi idealnya namun seringkali kondisi ini tidak tercapai. Seperti tidak adanya pelatihan dan penerapan CRM yang baik dan membuat kemampuan koordinasi tim terganggu dan jika dihadapkan pada kondisi tertentu (emergensi) kemungkinan terjadinya kesalahan akan semakin tinggi. Contoh lainnya adalah gagal dalam menemukenali bahaya, mengenali dan mengendalikan resiko jika terjadi, gagal dalam memberikan bimbingan, pelatihan yang berefek pada kesalahan manusia atau situasi yang tidak aman. Planned Inappropriate Operations (Pengoperasian yang tidak terencana dengan baik) jika proses perencanaan yang tidak baik dilaksanakan akan menyebabkan terganggunya performansi suatu individu atau tim. Sebagai contoh lain adalah perencanaan yang buruk pada pemasangan kru kokpit. Pemasangan pilot senior dengan pilot junior (yang baru lulus proses pelatihan) mungkin akan mengalami permasalahan pada proses komunikasi dan kerjasama. Ketika menghadapi suatu permasalahan, kemungkinan usulan pendapat pilot junior dalam mengatasi permasalah itu sering diabaikan oleh pilot senior dikarenakan pilot senior menganggap pilot junior belum memiliki pengalaman dalam menghadapi kondisi tersebut. Kondisi ini nantinya akan menyebabkan terjadinya situasi yang berujung pada kesalahan manusia. Failed to Correct Problem (Gagal menyelesaikan permasalahan yang telah diketahui) adalah suatu permasalahan pada individu, peralatan, pelatihan dan halhal yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan yang sudah diketahui namun diabaikan oleh pengawas. Sebagai contoh adalah supervisor mengetahui bahwa pilot berada dalam kondisi tidak layak terbang dan masih tetap mengizinkan untuk terbang, pengawas jelas-jelas bertindak dan tidak memikirkan keselamatan pilot. Supervisory Violations (Pelanggaran pada proses pengawasan) merupakan pelanggaran ketika pengawas dengan sengaja mengabaikan peraturan dan regulasi. Sebagai contoh pengawas menugaskan seseorang yang tidak memiliki

49

kredibilitas dan kualifikasi dalam menjalankan tugas tersebut. Hal ini kemungkinan besar akan menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman. Contoh kesalahan pada pengawasan yang menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman dapat dilihat pada Tabel 2.8 dan 2.9 berikut ini. Tabel 2.8 Contoh Pengawasan Buruk (Wiegmann and Shappel, 2001)
Unsafe Supervision Inadequate Supervision Planned Inappropriate Operations Leadership/Supervision/Oversight Inadequate Ordered/Led on Mission Beyond Capability Supervision - Modeling Crew/Team/Flight Makeup/Composition Local Training Issues/Programs Limited Recent Experience Supervision - Policy Limited Total Experience Supervision - Personality Conflict Proficiency Supervision - Lack of Feedback Risk Assessment - Formal Authorized Unnecessary Hazard

Tabel 2.9 Contoh Pengawasan Buruk (Wiegmann and Shappel, 2001)


Unsafe Supervision Failed to Correct Problem Supervisory Violations Personnel Management Supervision - Discipline Enforcement Operations Management Supervision - De Facto Policy Directed Violation Currency

4. Organizational Influences Keputusan yang salah dari pihak manajemen tingkat atas akan

mempengaruhi secara langsung pada praktek pengawasan juga kepada kondisi dan tindakan operator/teknisi. Kesalahan pasif namun berpengaruh secara langsung ke tindakan dan perilaku operator sebagai penyebab kesalahan aktif terbagi menjadi 3 sub tingkatan yaitu Resource Management (Manajemen Sumber Daya), Organizational Climate ( Iklim dan Budaya Organisasi), Organizational Process (Proses Operational Organisasi). Pengaruh organisasi merupakan faktor yang dapat

menyebabkan kecelakaan jika komunikasi, tindakan, kelalaian, kebijakan managemen tingkat atas baik secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada praktek pengawasan, kondisi dan tindakan operator yang berefek pada kegagalan sistem, tindakan yang tidak aman dan

50

kesalahan manusia. Untuk lebih memahami kesalahan pada pengaruh organisasi akan dijelaskan pada gambar 2.21 dibawah.
Latent Failures
Organizational Influences

Resource Management

Organizational Climate

Organizational Process

Gambar 2.21 Categories of Organizational Influences (Wiegmann and Shappel, 2001) Resource Management (Manajemen sumber daya) merupakan kategori yang mengacu pada manajemen, dan alokasi dan pemeliharaan sumber daya perusahaan baik manusia, keuangan, peralatan dan fasilitas. Pada saat perusahaan mengalami keuntungan, target perusahaan dan target keselamatan dapat diseimbangkan tetapi ketika perusahaan mengalami kesulitan keuangan umumnya yang dikorbankan adalah keselamatan dan keamanan. Jika pemotongan ini terlalu signifikan maka akan member ancaman pada penerbangan dan pilot dengan pemotongan biaya pada pelatihan, peralatan-peralatan yang digunakan,

pemeliharaan pesawat, dan lainnya. Pemotongan biaya juga akan mengurangi pendanaan untuk pembelian peralatan baru bahkan membeli peralatan murah yang tidak sesuai dengan pesawat yang dioperasikan. Kesalahan pada pengurusan manajemen sumber daya baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi terjadi tindakan tidak aman. Organizational Climate (Iklim dan budaya organisasi) mengacu pada variabel-variabel organisasi yang mempengaruhi kinerja pekerja. Secara umum, didefinisikan sebagai situasi yang menentukan perlakuan organisasi terhadap seseorang individu. Iklim organisasi dapat dilihat sebagai atmosfer pekerjaan pada suatu organisasi. Contohnya adalah tingkat komando perusahaan, wewenang dan tanggung jawab, saluran komunikasi, dan akuntabilitas formal dalam bertindak. Jika pihak managemen dan staf dalam suatu organisasi tidak saling berkomunikasi, atau tidak mengetahui siapa yang memegang pimpinan, keamanan

51

dari organisasi akan terancam dan kecelakaan akan terjadi. Salah satu cara untuk mengukur iklim organisasi adalah kebijakan dan budaya organisasi. Kebijakan berkenaan dengan mempekerjakan dan memecat pekerja, promosi, menaikkan gaji, cuti, karir, obat-obatan dan alcohol, lembur, dan penggunaan perlengkapan dan peralatan keamanan. Budaya disatu sisi mengacu kepada peraturan yang tidak tertulis, penilaian, perilaku, kepercayaan, dan kebiasaan yang berlaku pada organisasi. Organizational Process (Proses operational organisasi) merepresentasikan keputusan dan peraturan perusahaan yang menentukan kegiatan sehari-hari dari sebuah organisasi. Meliputi penetapan dan penggunaan stardar prosedur pengoperasian dan metode formal untuk mempertahankan pemeriksaan dan keseimbangan antara pekerja dan manajemen. Sebagai contoh, beberapa faktor seperti kecepatan pengoperasian, jadwal pekerjaan dan lainnya yang

mempengaruhi keamanan. Contoh kesalahan yang diakibatkan oleh pengaruh organisasi yang menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman dapat dilihat pada Tabel 2.10 dan 2.11 berikut ini. Tabel 2.10 Contoh Pengaruh Organisasi (Wiegmann and Shappel, 2001)
Organizational Influences Resource Management Organizational Process Air Traffic Controller Resource Ops Tempo/Workload Airfield Resource Program and Policy Risk Assessment Operator Support Procedural Guidance/Publications Acquisition Policies/Design Processes Organizational Training Issues/Program Attrition Policies Doctrine Accession/Selection Policies Program Oversight/Program Management Personnel Resource Informational Resources/Support Financial Resources/Support

Tabel 2.11 Contoh Pengaruh Organisasi (Wiegmann and Shappel, 2001)

52

Organizational Influences Organizational Climate Unit/Organizational Values/Culture Evaluation/Promotion/Upgrade Perceptions of Equipment Unit Mission/Aircraft/Vehicle/Equipment Changeor Unit Deactivation Organizational Structure

2.4 Prosedur Penyelidikan Kecelakaan Pesawat Udara NTSB NTSB (National Transportation Safety Board) adalah badan

pemerintah Amerika independen didirikan pada tahun 1976 yang bertanggung jawab terhadap penyelidikan kecelakaan transportasi baik

transportasi darat, laut dan udara. NTSB bukan merupakan bagian dari Departemen Perhubungan atau organisasi-organisasi lainnya yang terkait dengan Departemen Perhubungan. Untuk memastikan tugas NTSB hanya menyelidiki dan meningkatkan keselamatan transportasi, analisis terhadap informasi aktual dan penyebab yang dilakukan oleh NTSB tidak dapat dimasukkan sebagai bukti pengadilan (NTSB, 2004). Tim penyelidik KNKT disebut dengan Go Team dengan tujuan sederhana dan efektif yaitu: mulai penyelidikan kecelakaan dengan menyelidiki secara langsung di tempat kejadian, secepat dan sesegera mungkin, dengan ahli-ahli teknis yang berpengalaman dibidangnya untuk menyelesaikan permasalahan kecelakaan yang kompleks. Tim ini

beranggotakan tiga sampai empat orang dengan berbagai keahlian yang ditugaskan secara rotasi dari markas NTSB di Washington D.C. Tim ini sudah berpengalaman menyelidiki kecelakaan pesawat udara selama 35 tahun dan juga berpengalaman pada penyelidikan kecelakaan kereta, jalan raya, laut, dan kecelakaan jalur pada pipa/pipeline (NTSB, 2004). Tim penyelidik harus dapat dihubungi 24 jam sehari dengan menggunakan telepon baik dikantor maupun dirumah atau dengan menggunakan pager. Tim ini memiliki perlengkapan penyelidikan yang

53

lengkap seperti: kunci inggris, obeng, senter, perekam, kamera, handy cam, dan perlengkapan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan. Penyelidik yang bertanggung jawab dan bertindak sebagai ketua adalah penyelidik senior dengan pengalaman yang sudah teruji dan dengan pengalaman terhadap dunia industri. Setiap penyelidik memiliki keahliannya masing-masing, antara lain (NTSB, 20004): Bagian Operasi: Sejarah dan riwayat kecelakaan penerbangan dan pekerjaan anggota kru sebelumnya sampai terjadi dan yang berhubungan atau mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Bagian Struktur: Mendokumetasikan reruntuhan pesawat dan suasana kecelakaan, termasuk kalkulasi (perhitungan) sudut atau derajat tabrakan (impak) untuk membantu ketinggian dan arah pesawat sebelum terjadinya kecelakaan. Bagian Powerplants: Menyelidiki dan memeriksa mesin termasuk propeler dan perlengkapan mesin. Bagian Sistem: Mempelajari komponen-komponen pesawat berupa hidrolik, elektrik, pneumatic, dan sistem pendukung lainnya termasuk instrumentasi dan elemen sistem kontrol pesawat. Bagian ATC: Merekonstruksi air traffic services pada pesawat, termasuk data radar ATC dan transkrip transmisi kontroler dan pilot. Bagian Cuaca: Mengumpulkan seluruh informasi yang berasal dari badan meteorologi dan geofisika, stasiun tv lokal, dan area disekitar terjadinya kecelakaan. Bagian Performansi Manusia: mempelajari faktor dan performansi manusia sebelum terjadinya kecelakaan yang berhubungan dengan kesalahan manusia, meliputi faktor lelah, pengobatan, alkohol, obat-obatan terlarang, riwayat pengobatan, pelatihan, beban kerja, desain peralatan dan perlengkapan serta lingkungan kerja. Bagian Korban Kecelakaan (Survival): Mendokumentasikan dampak dari tabrakan (impak) dan luka akibat kecelakaan, proses evakuasi korban, dan operasi penyelamatan korban kecelakaan.

54

Bagian-bagian ini disebut dengan istilah working group yang memiliki masing-masing keahlian pada bidangnya. Pada prakteknya working group ini beranggotakan orang yang jumlahnya sedikit tetapi dengan kemampuan diatas rata-rata. Untuk penyelidikan faktor manusia sendiri seringkali NTSB memperbantukan jasa specialis HF untuk membantu menyelesaikan penyelidikan kecelakaan (NTSB, 2004). Aktivitas penyelidikan human performance pada NTSB terbagi menjadi 6 bagian besar yang masing-masing elemennya terbagi lagi menjadi kelompok kecil. Untuk lebih memahami mengenai elemen-elemen yang ada pada model dapat dilihat pada gambar 2.22 dibawah ini (NTSB, 2002).

55

Perilaku

- 24-72 Jam Sebelum Kejadian - Kebiasaan/Tindakan Operator - Kebiasaan dan Pola Hidup - Perihal Kehidupan

Kesehatan

- Kesehatan Secara Umum - Ketajaman Sensor (Penglihatan, Pendengaran) - Konsumsi Obat/Alkohol - Kelelahan

Operasional

- Pelatihan - Pola Pengalaman/Kebiasaan - Prosedur Pengoperasian - Kebijakan Maskapai

Faktor dan Kesalahan Manusia

Tugas (Task)

- Informasi Tugas - Komponen Tugas - Hubungan Tugas-Waktu - Beban Kerja

Desain Peralatan dan Perlengkapan

- Interface Tempat Kerja - Desain Tampilan Panel Instrumen - Desain Kontrol/Kendali - Konfigurasi/Desain Kursi

Lingkungan

- Kondisi Eksternal - Kondisi Internal - Pencahayaan - Getaran/Kebisingan/Gerakan

Gambar 2.22 Informasi yang Dibutuhkan Pada Penyelidikan Performansi Manusia NTSB (NTSB, 2002)
56

Penyelidikan human performance oleh NTSB juga memasukkan daftar pertanyaan yang berhubungan dengan faktor manusia pada manual penyelidikannya. Informasi yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis serta dibuatkan kedalam laporan tersendiri terpisah dari laporan utama NTSB (NTSB, 2000) yang menyelidiki kecelakaan penerbangan Alaska Airlines, Inc. yang terjadi di Samudera Pasifik dekat Pelabuhan Hueneme, California. 2.5 Teori Pesawat Udara Pesawat terbang yang lebih berat dari udara pertama kali di terbangkan oleh Wright bersaudara pada tahun 1903 yang merupakan rancangan sendiri dinamakan Flyer. Pesawat yang merupakan sarana transportasi udara baik bersifat komersil maupun carter merupakan pesawat terbang yang lebih berat dari udara, menggunakan sayap tetap (fixed wing) dengan mesin pembakaran dalam yang berupa mesin propeler (baling-baling) atau menggunakan mesin turbin (jet, turboprop, dll) untuk menghasilkan dorongan yang menggerakkan pesawat, lalu pergerakan udara di sayap menghasilkan gaya dorong ke atas yang membuat pesawat dapat terbang (NASA, 2010). Pesawat merupakan salah satu jenis transportasi yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia saat ini dikarenakan pesawat merupakan transportasi yang aman, cepat dan biayanya terjangkau. Selain itu pesawat tidak hanya mengangkut manusia melainkan barang-barang yang disebut dengan kargo dengan kapasitas tertentu. Faktor-faktor yang membuat masyarakat Indonesia memilih pesawat sebagai sarana transportasi jarak jauh dan antar pulau adalah sebagai berikut: Pengklasifikasian jenis pesawat terbang dapat berdasarkan gaya angkat aerodinamik, berdasarkan propulsi, berdasarkan lebar pesawat dan lainnya. Untuk lebih memahami hal ini maka akan dijelaskan secara terperinci mengenai pengklasifikasian pesawat, yaitu: 1. Berdasarkan Gaya Angkat Aerodinamika (NASA, 2010 & Slater, 1987) Fixed wing (sayap tetap) secara tipikal dikenal dengan pesawat yang mampu terbang dengan menggunakan gerak maju yang

57

menghasilkan gaya angkat ketika sayap bergerak atau terbang di udara. Contoh dari pesawat fixed wing adalah pesawat baik menggunakan propeler (baling-baling) maupun menggunakan mesin jet. Rotary Wing (sayap berputar) merupakan pesawat dengan sayap yang dapat berputar menghasilkan gaya angkat yang dihasilkan oleh sayap yang disebut dengan baling-baling rotor yang berputar dengan poros sebagai tumpuannya. Beberapa baling-baling dipasang ke poros tersebut yang disebut dengan rotor (bagian yang bergerak atau berputar). Contoh dari Rotary wing adalah helikopter, autogyro, dan gyrodyne. 2. Berdasarkan Propulsi (Buckingham, 2010) Mesin jet merupakan mesin pembakaran dalam (internal combustion) yang mempercepat massa (udara dan hasil

pembakaran) ke satu arah dan dari Hukum Newton 3 mesin akan mengalami dorongan ke arah yang berlawanan. Yang termasuk kedalam mesin ini adalah turbojet, turbofan, roket, ramjet, dan pump-jet. Baling-Baling atau propeler merupakan suatu mesin yang memindahkan tenaga dengan mengkonversi gerakan rotasi menjadi daya dorong untuk menggerakan kendaraan seperti pesawat terbang, kapal, atau kapal selam dengan media fluida seperti air dan udara dengan memutar dua atau lebih bilah kembar dari sebuah poros utama. 3. Berdasarkan Kapasitas Angkut (Widebody Aircraft, 2010) Pesawat berbadan lebar adalah pesawat yang mempunyai lorong ganda (twin aisle) dengan fuselage (badan pesawat) berdiameter 56 m. Penumpang biasanya duduk 7 sampai 10 sederet. Pesawat berbadan lebar umumnya dapat memuat antara 200 sampai 600 penumpang. Contoh pesawat yang masuk kedalam kategori ini adalah: Boeing 747, Boeing 767, Boeing 777, Airbus A300/A310, Airbus A330, Airbus A340, Airbus A380, Lockheed L-1011 TriStar,

58

McDonnell Douglas DC-10, McDonnell Douglas MD-11, Ilyushin Il-86 dan Ilyushin Il-96. Untuk pengembangan kedepannya berupa model Boeing 787 dan Airbus A350. Pesawat berbadan kecil adalah pesawat yang mempunyai satu lorong (single aisle) dengan fuselage (badan pesawat) berdiameter 3-4 m. Penumpang biasanya duduk 4 sampai 6 sederet.Pesawat berbadan lebar umumnya dapat memuat antara 280 penumpang. Contoh pesawat yang masuk kedalam kategori ini adalah: Boeing 717, Boeing 737, Boeing 757, McDonnell Douglas DC-9 and MD80/MD-90 series, Airbus A320 family, Tupolev Tu-204, Tu-214, Embraer E-Jets 190&195 dan Tu-334. Older airliners like the Boeing 707, 727, McDonnell Douglas DC-8, Fokker F70/F100, VC10, Tupolev, and Yakovlev jets. 4. Berdasarkan Jadwal Penerbangan dan Rute (Cento, 2008) Penerbangan komersial merupakan bagian dari penerbangan sipil dan penerbangan terjadwal dengan membawa penumpang dan kargo (barang). Dengan persyaratan: i. Pilot harus memiliki lisensi terbang yang valid. ii. Pesawat harus memiliki registrasi terbang yang valid. iii. Operator harus memiliki lisensi atau sertifikasi untuk penerbangan komersial Penerbangan carter juga sering disebut dengan air taxi adalah penerbangan yang dioperasikan berdasarkan carteran atau

penyewaan dengan rute atau tempat diluar jadwal normal yang disewa oleh konsumen yang berbeda. Penerbangan ini biayanya lebih mahal daripada penerbangan terjadwal sehingga membolehkan konsumen milih waktu untuk terbang. 5. Berdasarkan Karakteristik Desain Geometri (Trani, 2003)

Tabel 2.12 ICAO Aerodrome Reference Code Used in Airport Geometric Design

59

6. Berdasarkan Kapasitas Beban Pesawat (Trani, 2003) Tabel 2.13 Final Approach Aircraft Wake Vortex Classification

7. Berdasarkan Jumlah Penumpang (Trani, 2003) Tabel 2.14 IATA Aircraft Size Classification Scheme

60

8. Berdasarkan Penggunaan (Trani, 2003) Penerbangan umum (general aviation): tipe pesawat dapat berupa pesawat dengan mesin tunggal atau mesin ganda. Biasanya memiliki daya angkut beban dibawah 7.000 kg (14.000 pon). Pesawat perusahaan (corporate aircraft): tipikal dari pesawat dengan mesin jet dan satu atau dua turbo propeller. Biasanya memiliki daya angkut beban sampai 40.910 kg (90.000 pon). Commuter aircraft: biasanya menggunakan mesin kembar, namun untuk pesawat dengan seri DeHavilland DHC-7 menggunakan 4 mesin. Biasanya memiliki daya angkut beban dibawah 31.818 kg (70.000 pon). Transportasi jarak dekat (short-range transports): Biasanya memiliki daya angkut beban dibawah 68.182 kg (150,000 pon). Transportasi jarak menengah (medium-range transports): Biasanya memiliki daya angkut beban dibawah 159.090 kg (350,000 pon). Transportasi jarak jauh (long-range transports): Biasanya memiliki daya angkut beban dibawah 159,090 kg (350,000 pon). BAB III PROSES PENYELIDIKAN KNKT

Proses penyelidikan kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia pada Bab III adalah bersumberkan dari panduan petunjuk pelaksanaan (juklak) KNKT (KNKT, 2005).

61

3.1 Proses Penyelidikan Kecelakaan Pesawat Udara oleh KNKT Kecelakaan pesawat udara yang diselidiki oleh KNKT sebagai komite penyelidikan kecelakaan dapat berupa: a. Kecelakaan Pesawat udara yang hilang yaitu pesawat udara dinyatakan hilang apabila tidak sampai di tujuan sesuai dengan rencana penerbangannya dalam kurun waktu tertentu dan hilangnya komunikasi. b. Nearmiss yaitu suatu kejadian hampir terjadinya tabrakan antara dua atau lebih pesawat udara di udara. c. Insiden serius yaitu peristiwa dimana pesawat udara mengalami kejadian yang membahayakan, terkait dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Kegagalan fungsi atau kerusakan pada flight control system. 2. Ketidakmampuan dari anggota kru pesawat udara untuk menjalankan tugas secara normal yang diakibatkan oleh adanya luka atau sakit. 3. Kerusakan komponen struktur turbin mesin kecuali

kompresor, daun turbin, dan baling-baling. 4. Kebakaran. 5. Barang berbahaya. 6. Kerusakan pada property. 7. Kehilangan terus-menerus tenaga atau daya dorong yang dihasilkan oleh dua mesin atau lebih. 8. Nyaris mengalami tabrakan antara pesawat udara sehingga diperlukan manuver menghindar untuk mencegah tabrakan atau situasi tidak aman atau dimana tindakan penghindaran memang diperlukan. 9. Batal tinggal landas dari landasan yang ditutup atau sedang digunakan. 10. Pendaratan atau percobaan pendaratan pada landasan yang ditutup atau sedang digunakan.
62

11. Kegagalan mencapai kinerja yang semestinya pada saat tinggal landas. 12. Api atau asap diruang penumpang atau ruang kargo, atau mesin terbakar, meskipun api tersebut dapat dipadamkan dengan bahan pemadam api. 13. Kerusakan pada struktur pesawat udara, atau terlepasnya bagian dari mesin yang tidak dikategorikan sebagai

kecelakaan. 14. Banyak kegagalan fungsi pada satu atau lebih sistem pesawat udara yang secara serius mempengaruhi pengoperasian pesawat udara. 15. Jumlah bahan bakar yang membuat pilot harus menyatakan kondisi darurat. 16. Insiden saat tinggal landas atau mendarat. 17. Kegagalan sistem, kondisi cuaca, pengoperasian di luar batas kemampuan pesawat terbang yang diijinkan atau kejadian lain yang dapat menimbulkan kesulitan mengendalikan pesawat udara. 18. Kegagalan lebih dari satu sistem pada sistem cadangan yang diwajibkan untuk petunjuk arah penerbangan dan navigasi.

3.1.1 Proses Penyelidikan Kecelakaan Secara Umum Tujuan utama investigasi kecelakaan pesawat udara sipil adalah melaksanakan pemeriksaan, penelitian, analisis, membuat kesimpulan mengenai kemungkinan penyebab kecelakaan pesawat udara dan membuat rekomendasi keselamatan penerbangan. Hasil tersebut digunakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pesawat udara sipil dengan penyebab yang sama, serta tidak bermaksud untuk mencari kesalahan atau pertanggungjawaban perorangan atau suatu lembaga tertentu.

63

Apabila pelaksanaan operasi SAR yang terdiri dari penyelamatan dan evakuasi korban dan jenasah, pengamanan dan penjagaan lokasi kecelakaan telah selesai dilakukan, maka proses investigasi dapat segera dimulai. Proses investigasi terdiri dari: a. Proses investigasi awal. b. Proses investigasi dari aspek operasional. c. Proses investigasi terhadap struktur pesawat udara. d. Proses investigasi terhadap mesin/propulsi pesawat udara. e. Proses investigasi seluruh sistem pesawat udara. f. Proses investigasi terhadap pemeliharan pesawat udara. g. Proses investigasi human factor. h. Evaluasi, pencarian dan penyelamatan (SAR), pemadam kebakaran. i. Sabotase, peledakkan dan tindakan melanggar hukum lain.

3.1.2 Proses Penyelidikan Awal Setelah KNKT menerima laporan terjadi kecelakaan pesawat udara, langkah awal pelaksanaan investigasi adalah menentukan lokasi kecelakaan pesawat termasuk koordinat-nya. Umumnya tim investigator segera ke lokasi kecelakaan pesawat untuk melakukan proses awal secara umum dan menyeluruh. Pelaksanaan investigasi awal adalah melakukan pemetaan/plotting reruntuhan pesawat disertai dengan dokumentasi dan data yang ditemukan pada reruntuhan pesawat udara. Tim investigasi perlu mengadakan pemeriksaan di lingkungan sekitar reruntuhan pesawat untuk melihat adanya bekas-bekas terjadinya benturan awal (first impact) dan benturan-benturan lain dari pesawat udara.

3.1.3 Proses Penyelidikan Aspek Operasional Proses investigasi aspek operasional terhadap penerbang dan awak kabin, meliputi persyaratan-persyaratan keselamatan penerbangan.

64

Investigasi ini dilakukan dan dilengkapi dengan melihat kelengkapan data seluruh awak pesawat, merekam wawancara dan catatan-catatan lainnya. Informasi/data operasional penerbangan meliputi: 1. Data a. Keterangan dari awak pesawat (penerbang, awak kabin dan teknisi pesawat udara). b. Riwayat awak pesawat udara (Lisensi). c. Rencana penerbangan (flight plan). d. Weight and Balance. e. Cuaca. f. Air Traffic Services. g. Rekaman komunikasi. h. Navigasi. i. Fasilitas Bandar Udara. j. Performa pesawat udara (aircraft performance), perlu adanya simulasi dengan menggunakan Flight Simulator dengan tipe pesawat yang sama, terutama simulasi pada saat akhir penerbangan (final flight plan) sebelum pesawat udara tersebut mengalami kecelakaan. k. Pelaksanaan Check list (Compliance with instructions). l. Pernyataan saksi (witness statement). m. Peta jalur penerbangan terakhir (Final Flight Path Determination). n. Riwayat/tahapan penerbangan (Sequence of flight). 2. Rekaman Penerbangan (Flight Recorder/black boxes) Rekaman penerbangan yang terdiri dari CVR dan FDR harus segera dicari, diamankan dan diselamatkan dari lokasi kecelakaan.

3.1.4 Proses Penyelidikan Terhadap Struktur Pesawat Udara Proses investigasi terhadap struktur pesawat udara mencakup investigasi struktur primer dan sekunder, daya angkat (lift surface) dan kemudi (control surfaces). Proses investigasi ini terdiri dari:
65

a. Rekonstruksi reruntuhan pesawat udara. b. Karakteristik dari beberapa macam kegagalan material (material failure). c. Pemeriksaan badan pesawat udara termasuk sistem roda pendaratan, flight control dan sistem-sistem lain. d. Penemuan kegagalan yang disebabkan kelelahan material (material fatigue). e. Penemuan kegagalan statik (static failure). Seluruh pemeriksaan dilakukan oleh tim ahli (specialist) dan investigator KNKT dengan dilengkapi foto-foto/dokumentasi dan data pendukung.

3.1.5 Proses Penyelidikan Terhadap Mesin/Propulsi Pesawat Udara Proses investigasi terhadap mesin/propulsi pesawat udara dilakukan dengan melengkapi data mesin/propulsi pesawat udara tersebut, antara lain: a. Pemeriksaan/pengujian/penelitian mesin dan/atau propeler. b. Keadaan operasional pada saat terjadinya impact. c. Pemeriksaan kerusakan seluruh komponen mesin dan/atau propeler, meliputi compressor blades, turbine blades, dan komponen mesin lainnya. d. Sistem pemadam kebakaran. e. Pengambilan sampel untuk dilakukan pemeriksaan dan pengetesan lebih lanjut, antara lain: bahan bakar, oli mesin, oli hidrolik, dan lain-lain.

3.1.6 Proses Penyelidikan Terhadap Sistem Pesawat Udara Proses investigasi terhadap sistem pesawat udara yang dilakukan dengan melengkapi data dari sistem tersebut. Sistem pesawat udara meliputi: a. Sistem hidrolik. b. Sistem elektrik. c. Sistem mekanis (Mechanical system). d. Sistem tekanan kabin (Cabin Presuration System) dan pendingin udara (Air Conditioning System). e. Sistem perlindungan terhadap es dan air hujan (Anti Icing System).

66

f. Instrumen lainnya. g. Peralatan radio komunikasi dan radio navigasi. h. Sistem kemudi penerbangan (Flight control). i. Sistem deteksi kebakaran dan sistem pengamanan kebakaran. j. Sistem oksigen.

3.1.7 Proses Penyelidikan Terhadap Pemeliharaan Pesawat Udara Proses investigasi terhadap pemeliharaan pesawat udara dilakukan berdasarkan jenis pesawat udara yang meliputi: a. Pesawat udara angkut besar. b. Pesawat udara angkut kecil. Perlu dilakukan koordinasi proses investigasi terhadap pemeliharaan pesawat udara dengan operator pesawat udara dan institusi-institusi terkait lainnya.

3.1.8 Proses Penyelidikan Terhadap Human Factors Dan Faktor Medis Proses investigasi terhadap human factor dan faktor medis, meliputi: a. Kontribusi human factor terhadap proses investigasi. b. Kondisi/data patologi. c. Tugas di lokasi kecelakaan. d. Tugas di kamar mayat dan rumah sakit tempat korban kecelakaan. e. Data berdasarkan proses patologi. f. Penyerahan jenasah atau bagiannya, barang-barang awak pesawat dan penumpang. g. Faktor penyelamatan terhadap korban kecelakaan (survival aspect). h. Human factor lain, seperti: crew resource management, crew

coordination, cockpit crew dan cabin crew.

3.1.9 Evakuasi, Pencarian, Penyelamatan, Dan Pemadam Kebakaran

67

Evakuasi,

pencarian,

penyelamatan

dan

pemadaman

kebakaran

dilaksanakan bersama-sama dengan tim SAR dan tim pemadam kebakaran.

3.1.10 Sabotase Dan Bahan Peledak Apabila diketahui terbukti adanya tindakan sabotase dan kemungkinan adanya bahan peledak di pesawat udara, maka tim investigasi akan menyerahkan tugas selanjutnya kepada institusi yang berwenang (Polisi). Tim investigasi dapat membantu pihak berwenang tersebut.

3.2 Analisis Kelemahan Petunjuk Pelaksanaan Penyelidikan Kecelakaan KNKT Kekurangan-kekurangan yang terdapat pada panduan petunjuk

pelaksanaan penyelidikan kecelakaan pesawat udara oleh KNKT adalah sebagai berikut: 1. Tidak terdapat proses atau teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan untuk diolah menjadi data faktual dan akhirnya menjadi penyebab dari suatu kecelakaan pesawat udara. 2. Bagian proses penyelidikan kecelakaan faktor manusia yang merupakan penyebab terbanyak dari kecelakaan pesawat udara hanya diwadahi oleh KNKT sebanyak satu halaman pada juklak. 3. Tidak terdapat prosedur wawancara, pertanyaan-pertanyaan yang

ditanyakan pada saat wawancara, bagaimana memperlakukan penumpang dan saksi mata pada wawacara setelah terjadi kecelakaan. 4. Masing-masing bagian pada proses penyelidikan tidak dijelaskan secara terstruktur dan rinci sehingga dalam membacanya hanya mendapatkan informasi kulit luar panduan juklak dan tidak kepada teknik atau metoda penyelidikan masing-masing bagian proses penyelidikan. Hal ini dikarenakan dalam melakukan penyelidikan hasil penyelidikan hanya bergantung kepada pengalaman dan kemampuan penyelidik serta penyelidik tidak memiliki hasrat untuk menuliskan ilmu yang ia pergunakan untuk penyelidikan kedalam panduan juklak KNKT.
68

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Tujuan penelitian adalah mendapatkan hasil rancangan petunjuk pelaksanaan penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan pesawat terbang di Indonesia dengan menggunakan metode HFACS. Penelitian ini dilakukan dengan metodologi sebagai berikut: 4.1 Tahapan Proses Penelitian Secara umum tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar 3.1 dibawah ini dengan tujuan untuk memudahkan penelitian selanjutnya dalam memahami, memperbaiki, dan mengembangkan isi yang disajikan pada penelitian ini.

69

Non Kegiatan Pendahuluan

Perumusan Masalah Pembatasan Permasalahan

Tujuan Penelitian

Gambar 4.1 Tahapan Umum Penelitian

70

Kegiatan Studi Literatur

Perancangan Petunjuk Pelaksanaan Penyelidikan Kecelakaan Penerbangan

Pengumpulan Data dan Pengujian Petunjuk Pelaksanaan Penyelidikan Kecelakaan Penerbangan

Analisis

Kesimpulan dan Saran

Gambar 4.1 Tahapan Umum Penelitian (Lanjutan) Bagian non-kegiatan tidak lagi dijelaskan pada bab ini dikarenakan sudah dijelaskan secara rinci pada Bab 1 Pendahuluan. 4.2 Pendahuluan Pendahuluan merupakan tahapan awal dalam penelitian dengan tujuan menceritakan dan membentuk landasan, memperjelas permasalahan dan kerangka pemikiran dari topik penelitian yang akan diteliti dan dikembangkan. Pendahuluan akan dimulai dari latar belakang mengapa masyarakat Indonesia lebih memilih pesawat sebagai sarana transportasi jarak menengah dan jauh, kecelakaan yang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia dan penjabaran mengenai petunjuk

71

pelaksanaan penyelidikan kecelakaan penerbangan KNKT yang sama sekali tidak memberikan informasi mengenai proses penyelidikan faktor manusia (merupakan hal utama yang ingin diteliti dan dikembangkan oleh peneliti). Studi pendahuluan bermanfaat dalam membantu peneliti untuk

merumuskan permasalahan dan tujuan penelitian yang akan diteliti dan dikembangkan. Informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian bersumber dari studi literatur berupa jurnal, buku, wawancara, manual investigasi kecelakaan NTSB, panduan inversitas KNKT, diskusi dengan dosen pembimbing serta data faktual laporan final kecelakaan penerbangan Indonesia yang disusun oleh KNKT (Komite Nasional Keselamatan Tranportasi). Berdasarkan sumber-sumber informasi yang didapat dan dipelajari, diharapkan pemahaman terhadap permasalahan yang ingin diteliti akan lebih mudah, tepat dan jelas. Untuk lebih memahami tahapan-tahapan pada studi pendahuluan, akan dijelaskan pada gambar 3.2 dibawah ini.

Studi Literatur Tahap Awal Jurnal Buku Manual investigasi internet

Pengumpulan Data Tahap Awal Laporan Final Kecelakaan Pesawat Terbang tahun 1998-2010 oleh KNKT Juklak KNKT

Analisis Pengklasifikasian Penyebab Kecelakaan Menggunakan Metode HFACS

Gambar 4.2 Tahapan Studi Pendahuluan Studi Pustaka Tahap Awal Studi pustaka tahap awal merupakan tahapan yang menentukan topik yang ingin diteliti oleh peneliti. Peneliti melakukan pembelajaran mengenai kesalahan manusia bersumberkan dari jurnal, buku yang berfokus kepada model swiss cheese dan model HFACS (Human Factors Analysis and Classification System). Peneliti juga membaca Petunjuk Pelaksanaan (JukLak) Penyelidikan Kecelakaan Pesawat Udara Sipil oleh KNKT, setelah membaca juklak ini peneliti merasa ingin merancang suatu juklak yang digunakan untuk menyelidiki kecelakaan pada

72

penerbangan Indonesia dari penyebab faktor manusia yang dapat menyebabkan terjadinya situasi dan tindakan yang tidak aman. Pengumpulan Data Tahap Awal Pengumpulan data tahap awal merupakan tahapan pengumpulan informasi untuk memahami permasalahan yang akan diteliti. Data awal yang dikumpulkan oleh peneliti berupa laporan final kecelakaan pesawat udara dari tahun 1998 sampai tahun 2010 yang dikeluarkan oleh KNKT untuk lebih memahami cara penyelidikan kecelakaan dan penulisan laporan kecelakaan itu sendiri dan juklak penyelidikan kecelakaan pesawat udara oleh KNKT. Analisis Data yang berasal dari laporan final kecelakaan pesawat udara dari tahun 1998 samapai tahun 2010 dilakukan pengklasifikasian penyebab kecelakaan menggunakan metode HFACS untuk melihat pola kecelakaan pesawat udara di Indonesia. Laporan final ini juga sangat sedikit menganalisis penyebab kecelakaan dari sisi faktor manusia dan Juklak penyelidikan kecelakaan pesawat udara oleh KNKT hanya membahas penyebab dari sisi faktor manusia sebanyak 1 halaman dari seluruh halaman pada juklak. Oleh karena permasalahan yang ada baik pada juklak dan laporan final, peneliti merumuskan permasalahan yang akan diteliti menjadi pertanyaan penelitian. 4.3 Studi Pustaka Studi pustaka merupakan tahapan yang dilakukan dengan mempelajari literatur-literatur, laporan, penelitian yang telah dilakukan diberbagai negara lain untuk topik penelitian yang hampir mirip. Penelitian berfokus kepada faktor manusia pada transportasi penerbangan Indonesia. Untuk itu peneliti harus mengetahui teori-teori yang berkenaan dengan kesalahan manusia, metode yang berkenaan dengan identifikasi kesalahan manusia, teori Human Factors Analysis and Classification System (HFACS), teori pesawat udara, dan teori penyelidikan kecelakaan pesawat udara oleh NTSB (National Transportation Safety Board) Amerika Serikat. 4.4 Proses Penyelidikan KNKT

73

Proses penyelidikan kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia oleh KNKT berisikan tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh penyelidik KNKT untuk menemukan penyebab dari suatu kecelakaan yang terjadi dan memberikan rekomendasi yang tepat agar kecelakaan dengan penyebab yang sama tidak terjadi kembali. 4.5 Perancangan Panduan Petunjuk Pelaksanaan Perancangan petunjuk pelaksanaan penyelidikan faktor manusia pada

kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia merupakan tahapan yang dilakukan dengan merancang poin-poin penting pada tahapan penyelidikan kecelakaan pada saat kecelakaan terjadi dan hal-hal apa saja yang dilakukan oleh penyelidik, informasi apa saja yang dibutuhkan untuk mengetahui penyebab dari suatu kecelakaan pesawat udara, bagaimana cara mewawancarai saksi mata, pertanyaanpertanyaan yang ditanyakan untuk memperoleh informasi, formulir pernyataan saksi mata, perancangan checklist faktor manusia dan diakhir dengan perancangan panduan petunjuk pelaksanaan penyelidikan faktor manusia. 4.6 Pengumpulan Data Penelitian dan Pengujian Juklak Data yang dikumpulkan adalah data faktual yang ada pada 24 laporan final kecelakaan penerbangan komersil Indonesia dan dipilih sebanyak 3 kecelakaan penerbangan dengan jumlah korban yang tergolong besar yang dilakukan pengklasifikasian dan analisis menggunakan metode HAFCS. Pengujian juklak dilakukan dengan membandingkan hasil dari pengklasifikasian dan analisis data faktual pada laporan final kecelakaan KNKT dengan menggunakan metode HFACS sehingga mendapatkan analisis, penyebab dan rekomendasi perbaikan dengan hasil analisis, penyebab dan rekomendasi oleh KNKT. Kedua laporan ini dianalisis dan dibandingkan diantara keduanya mana yang memberikan hasil terbaik dan lebih kaya akan informasi. Pengujian juga dilakukan dengan menguji kemudahpakaian juklak (user friendly) yaitu responden membaca juklak yang dirancang dan memberikan ulasan atau masukan dibagian mana pada juklak yang tidak dimengerti oleh responden. 4.7 Analisis

74

Analisis merupakan tahapan penilaian terhadap petunjuk pelaksanaan yang telah dirancang serta analisis terhadap pengujian petunjuk pelaksanaan yang telah dilakukan sebelumnya. 4.8 Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dan saran merupakan tahapan pada penelitian yang menjawab tujuan penelitian pada Bab 1. Diberikan juga saran sebagai tindak lanjut pada penelitian selajutnya.

BAB V PERANCANGAN PANDUAN PETUNJUK PELAKSANAAN

5.1 Perancangan Tahapan Penyelidikan Kecelakaan Pesawat Udara

75

5.1.1

Tahapan Penyelidikan Kecelakaan Pesawat Udara Secara Umum


Proses Penyelidikan
Mulai

Evidence Event Fault Tree Analysis

Penyelidikan kecelakaan penerbangan dan pengambilan data oleh penyelidik faktor manusia: - Data dan informasi rekaman penerbangan (CVR, FDR) - Data dan informasi reruntuhan akibat kecelakaan pesawat udara - Wawancara terhadap pilot dan kru pesawat, saksi mata, ATC, kru pemeliharaan, dan penumpang - Data dan informasi lainnya (checklist, simulasi pesawat, riwayat penerbangan) - Data dan informasi rekaman Air Traffic Services

Data mentah kecelakaan teknikal

Data mentah kecelakaan struktur

Data mentah kecelakaan material

Data mentah kecelakaan kesalahan manusia

Pengolahan Data dan Analisis

Pengklasifikasian dan Analisis data kecelakaan

Penyebab dan Rekomendasi

Selesai

Gambar 5.1 Diagram Alir Tahapan Umum Penyelidikan Kecelakaan Pesawat Udara 5.1.2 Tahapan Penyelidikan Faktor Manusia Pada Kecelakaan Pesawat Udara

76

Tahap 1
Mulai

Evidence Event Fault Tree Analysis

Penyelidikan kecelakaan penerbangan dan pengambilan data oleh penyelidik faktor manusia: - Data dan informasi rekaman penerbangan (CVR, FDR) - Data dan informasi reruntuhan akibat kecelakaan pesawat udara - Wawancara terhadap pilot dan kru pesawat, saksi mata, ATC, kru pemeliharaan, dan penumpang - Data dan informasi lainnya (checklist, simulasi pesawat, riwayat penerbangan) - Data dan informasi rekaman Air Traffic Services

Data mentah kecelakaan kesalahan manusia

Tahap 3

Tahap 4

Tahap 2

Pengklasifikasian dan Analisis data kecelakaan diakibatkan oleh kesalahan manusia menggunakan HFACS

Penyebab dan Rekomendasi

Selesai

Gambar 5.2 Diagram Alir Tahapan Umum Penyelidikan Human Factors Pada Kecelakaan Pesawat Udara Tahapan penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia dijelaskan sebagai berikut: 1. Tahap 1: Penyelidikan kecelakaan penerbangan dilakukan oleh penyelidik sesaat setelah kecelakaan terjadi dengan cara melakukan investigasi dan wawancara yaitu: Menganalisa rekaman air traffic services yang berisikan rekaman percakapan antara kru yang bertugas pada menara pengawas (baik tower maupun aerodrome) dan pilot. Menganalisa sumber lainnya seperti proses penggunaan checklist, melakukan simulasi kecelakaan
77

pesawat

misalnya

dengan

menggunakan flight simulator

untuk memberikan informasi

dengan lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi, menganalisis riwayat dan sejarah pesawat yang mengalami kecelakaan. Wawancara terhadap pilot dan kru pesawat yang selamat dari kecelakaan, saksi-saksi yang melihat proses terjadinya kecelakaan, kru yang bertugas pada menara pengawas, kru pemeliharaan yang melakukan proses perawatan sebelum pesawat mengalami

kecelakaan, dan lainnya (maskapai, pengawas, dan penumpang). Analisa terhadap reruntuhan pesawat maupun sekitarnya akibat kecelakaan untuk melihat kegagalan akibat material dan struktur serta komponen teknik lainnya. Analisa terhadap kotak hitam yang berisikan FDR (Flight Data Recorder) yang merekam kondisi penerbangan: ketinggian, kecepatan, gaya gravitasi, dan lainnya serta CVR (Cockpit Voice Recorder) yang merekam pembicaraan antara pilot dan kopilot pada saat proses terbang Pada saat melakukan penyelidikan, juklak KNKT tidak terdapat metode yang pasti untuk membantu penyelidik dalam melakukan investigasi. Berdasarkan hasil dari obrolan dengan salah satu pegawai KNKT mereka menyebutkan dalam mengumpulkan dan menganalisa data hanya bergantung kepada keahlian dan pengalaman penyelidik. Peneliti mengusulkan adanya suatu metode pengambilan data untuk mengetahui penyebab kecelakaan yaitu Evidence Event Fault Tree Analysis (EEFTA). Alasan pemilihan Evidence Event Fault Tree Analysis adalah sebagai berikut: Metode ini cukup sederhana yaitu merupakan metode analisis deduktif (penyelesaian dari hal yang umum ke hal yang khusus) terhadap kejadian-kejadian yang terjadi pada kecelakaan beserta bukti yang mendukungnya. Evidence Event Fault Tree Analysis menganalisis hanya kejadian yang menyebabkan terjadinya kecelakaan yang didukung oleh

78

bukti. Kejadian yang tidak didukung oleh bukti tidak diteruskan analisisnya sehingga menghemat waktu dan energi penyelidik. Evidence Event Fault Tree Analysis tidak hanya mencari satu penyebab saja namun penyebab yang menyebabkan penyebab dari kesalahan tersebut terjadi. Misalkan seorang pilot melakukan kesalahan yang disebabkan oleh: kecerobohan, kesalahan

komunikasi dengan menara pengawas (ATC), atau kesalahan informasi dari kopilot. Kesalahan komunikasi dapat disebabkan dengan ATC dapat disebabkan karena komunikasi yang buruk atau masalah bahasa. Kesalahan informasi dari kopilot dapat

disebabkan karena buruknya hubungan antara pilot dan kopilot, dominasi pilot terhadap kopilot dan lainnya. 2. Tahap 2: Pengumpulan seluruh data dari hasil penyelidikan kecelakaan pesawat udara dan dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu data mentah pertama yang bersumberkan dari kesalahan akibat kegagalan teknis, material dan struktur. Data mentah kedua adalah data mentah yang bersumberkan dari kesalahan akibat faktor manusia baik dari kesalahan pilot/kru maupun kesalahan organisasi yang mempengaruhi kesalahan pilot/kru tersebut. 3. Tahap 3: Data mentah akibat kesalahan manusia tersebut diklasifikasikan dan dianalisis menggunakan HFACS (Human Factors Analysis and Classification System) sehingga muncul penyebab dari kecelakaan penerbangan. 4. Tahap 4: Setelah dilakukan pengklasifikasian dan analisis menggunakan HFACS, penyebab dapat dirangkumkan dan rekomendasi dapat dihasilkan untuk mencegah dan meminimalisasi kesalahan yang sama agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. 5.2 Aktivitas dan Prosedur Penyelidikan Faktor Manusia Aktivitas penyelidikan faktor manusia terbagi menjadi 6 bagian besar yang masing-masing elemennya terbagi lagi menjadi kelompok kecil. Peneliti mengadopsi model ini berdasarkan sistem penyelidikan faktor manusia oleh NTSB (National Transportation Safety Board) dikarenakan alasan berikut:

79

1. Belum adanya sistem terstruktur dan terperinci yang dipakai oleh KNKT pada proses penyelidikan kesalahan yang diakibatkan oleh manusia. Penyelidikan hanya dilakukan berdasarkan pengalaman dan kemampuan penyelidik (berdasarkan hasil wawancara dengan penyelidik KNKT). 2. Model NTSB yang bertujuan mencari informasi mengenai penyebab terjadinya kecelakaan memiliki tingkatan yang hampir sama dengan tingkatan dan sub tingkatan HFACS seperti kesehatan baik fisik maupun mental, kebijakan organisasi, budaya organisasi, pengawasan, dan lainnya. Untuk lebih memahami mengenai elemen-elemen yang ada pada model dapat dilihat pada gambar 4.3 dibawah ini. Penyelidik faktor manusia berfokuskan kepada peyelidikan untuk mendapatkan informasi-informasi yang mungkin tidak bertahan lama (perishable) seperti informasi yang berkaitan dengan toksikologi (bahan berbahaya dan beracun) serta wawancara dengan saksi mata terkait dengan 24-72 jam sebelum kejadian (kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan).

80

Perilaku

- 24-72 Jam Sebelum Kejadian - Kebiasaan/Tindakan Operator - Kebiasaan dan Pola Hidup - Perihal Kehidupan

Kesehatan

- Kesehatan Secara Umum - Ketajaman Sensor (Penglihatan, Pendengaran) - Konsumsi Obat/Alkohol - Kelelahan

Operasional

- Pelatihan - Pola Pengalaman/Kebiasaan - Prosedur Pengoperasian - Kebijakan Maskapai

Faktor dan Kesalahan Manusia

Tugas (Task)

- Informasi Tugas - Komponen Tugas - Hubungan Tugas-Waktu - Beban Kerja

Desain Peralatan dan Perlengkapan

- Interface Tempat Kerja - Desain Tampilan Panel Instrumen - Desain Kontrol/Kendali - Konfigurasi/Desain Kursi

Lingkungan

- Kondisi Eksternal - Kondisi Internal - Pencahayaan - Getaran/Kebisingan/Gerakan

Gambar 5.3 Informasi yang Dibutuhkan Pada Penyelidikan Human Factors Berdasarkan Manual Penyelidikan NTSB
81

Gambar 4.3 yaitu informasi yang dibutuhkan pada penyelidikan faktor manusia jika dihubungkan dengan tingkatan dan sub tingkatan pada HFACS adalah sebagai berikut: Perilaku mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Conditions of Individuals/Operators pada bagian Adverse Physiological States dan sub tingkatan Substandard Practice of Operators pada bagian Personal Readiness pada HFACS. Kesehatan mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Conditions of Individuals/Operators pada bagian Adverse Physiological States dan sub tingkatan Substandard Practice of Operators pada bagian Personal Readiness pada HFACS. Operasional mempunyai kesamaan dengan tingkatan Unsafe Supervision pada sub tingkatan Inadequate Supervision dan sub tingkatan Substandard Practice of Operators pada bagian Crew Resource Management dan tingkatan Organizational Influences pada bagian Resource Management dan Organizational Process pada HFACS. Tugas mempunyai kesamaan dengan tingkatan Unsafe Acts of Operator pada HFACS. Desain Peralatan dan Perlengkapan mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Environmental Factors dan tingkatan Organizational Influences pada bagian Resource Management dan Organizational Climate pada HFACS. Lingkungan mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Environmental Factors pada HFACS. Ketika proses penyelidikan berjalan, penyelidik faktor manusia dapat berfokus menyelidiki informasi yang dapat bertahan lama seperti peryataan latar belakang secara umum dan informasi bersumber dari dokumen publik. Kegiatan yang berhubungan dengan penyelidikan faktor manusia untuk mendapatkan informasi adalah sebagai berikut: 1. Merencanakan analisis sampel toksikologi. Sampel biasanya berupa darah atau air seni yang harus segera diperoleh setelah kecelakaan terjadi untuk

82

dianalisis. Sampel diambil oleh individu yang berasal dari rumah sakit (untuk yang hidup) dan ahli patologi (untuk yang meninggal) sebelum penyelidik tiba di tempat kejadian. Tanggung jawab dari penyelidik untuk memastikan bahwa sampel tersebut diambil dan dilakukan analisis dengan baik. Setelah kejadian terjadi penyelidik harus memastikan melalui jalur yang benar agar semua personel dari ATC dan kru pesawat yang selamat diambil sampelnya. Kegiatan penyelidik meliputi: Menempatkan dan mendokumentasi sampel yang ada dan yang tersedia. Membantu jika dibutuhkan untuk mengatur proses pengujian di laboratorium. Memberikan masukan kepada laboratorium mengenai tes dan pengujian yang diperlukan. Mendapatkan dan menganalisis hasil dari pengujian toksikologi.

Tanggung jawab dari penyelidik faktor manusia untuk mengawasi dan memastikan tes toksikologi dengan benar agar informasi yang tidak bertahan lama (perishable) ini dikumpulkan tepat waktu dan dengan tidak adanya kesalahan. 2. Permohonan untuk mendapatkan rekaman pembicaraan lalu lintas udara. Berdasarkan permintaan dari penyelidik biasanya rekaman ini dapat diperoleh yang berisikan informasi langsung mengenai pembicaraan sebelum dan sewaktu terjadi kecelakaan. Penyelidik faktor manusia juga dapat meminta rekaman penerbangan pilot untuk menganalisa performansi awal pilot atau kebiasaan pilot pada saat kondisi rutin. Hal diatas merupakan tanggung jawab dari penyelidik untuk meminta dan memperoleh rekaman tersebut secara cepat dan tepat waktu. 3. Mendapatkan informasi 72 jam sebelum terjadinya kecelakaan. Penyelidik berkewajiban untuk mendapatkan informasi ini dengan tujuan mengusut kejadian yang berhubungan dengan pilot, controller, atau individu yang terkait dengan kejadian. Kegiatan penyelidikan juga bertujuan untuk mengetahui riwayat mengenai aktivitas tidur dan makan, tujuan dan persiapan yang dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan, aktivitas atau kejadian yang tidak biasanya terjadi, suasana hati kru, bagaimana kru
83

berinteraksi, dan informasi penting lainnya yang dapat mengungkapkan penyebab terjadinya kecelakaan. Informasi 72 jam sebelum terjadinya kecelakaan penting dikarenakan data tersebut merupakan data yang mudah hilang dan tidak bertahan lama karena ingatan (memori) cenderung menjadi berkurang ketelitian dan rinciannya (manusia bersifat pelupa). Adapun saksi mata yang harus diwawancara adalah: Orang terakhir yang beraktivitas atau berbicara dengan korban. Individu yang berinteraksi secara keprofesian (teman kerja, bawahan, atasan, dan lainnya) dalam waktu 72 jam sebelum terjadinya kecelakaan. Individu yang hidup dan tinggal dengan korban untuk mengetahui kebiasaan dan apa saja yang dikerjakan sebelum terjadinya kecelakaan. Individu yang memiliki hubungan romantik dengan korban. Keluarga kandung korban. Individu yang berinteraksi dengan korban (supir taksi, staf hotel, tetangga, dan lainnya). Individu-individu diatas adalah sangat penting untuk diwawancarai, meskipun dalam pengamatan mereka korban berlaku biasa atau menunjukkan aktivitas rutin keseharian dengan normal. Hanya mengetahui segala sesuatu yang tampaknya rutin tersebut dapat menjadi hal yang signifikan bagi proses penyelidikan. 4. Memeriksa seluruh material yang bersumber dari reruntuhan kecelakaan yang berkaitan dengan faktor manusia. Penyelidik faktor manusia wajib memeriksa seluruh material yang ditemukan terutama yang berkaitan dengan dokumen, barang pribadi korban, obat-obatan (menghitung jumlah pil dalam wadah). 5. Mendapatkan informasi umum mengenai latar belakang korban. Sangatlah mungkin untuk menemukan penyebab kecelakaan berdasarkan informasi umum mengenai latar belakang korban. Penyelidik yang cermat selalu mengembangkan informasi yang berkaitan dengan isu-isu seperti:

84

Kecelakaan sebelumnya yang mungkin terjadi pada korban dan kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan profesionalisme korban. Persiapan sebelum terbang. Karakteristik personal. Kejadian dalam kehidupan sehari-hari, seperti: kesehatan, finansial (keuangan), perubahan emosi dan lainnya. Kondisi psikologis dan mental operator (kru, pilot, teknisi pemeliharaan, dan lainnya).

Sumber dari informasi ini adalah melakukan wawancara dengan pihakpihak terdekat yang familiar dengan korban. Proses wawancara dapat dilakukan langsung ditempat kejadian atau tempat lainnya selambat-selambatnya seminggu setelah terjadi kecelakaan. Saksi mata yang pantas diwawancarai adalah: Keluarga kandung terdekat. Supervisor atau pengawas. Rekanan professional atau teman sekantor korban bekerja dan berhubungan. Dokter pribadi. Atasan dan teman dekat.

Selain wawancara ditempat kejadian, wawancara juga dapat dilakukan dengan media telekomunikasi (telepon). 6. Arsip dan dokumen latar belakang kecelakaan. Penyelidik harus mempelajari dan memeriksa kembali seluruh dokumen terdahulu yang berkaitan dengan: dokumen kecelakaan penerbangan terdahulu, arsip kinerja pilot dan personel/kru, pelatihan, dan arsip kesehatan. Tujuannya adalah untuk menyusun informasi mengenai riwayat pekerjaan terdahulu, catatan kedisiplinan, kekuatan dan kelemahan pada proses pelatihan, dan isu kesehatan. Penyelidikan juga dapat bersumberkan dari catatan kejahatan atau kriminal dari kepolisian. Untuk informasi yang bersumber dari catatan medis dan kriminal tidak dapat diberitakan ke masyarakat tetapi merupakan sumber yang berharga untuk pengembangan

penyelidikan selanjutnya.

85

7. Budaya perusahaan (budaya korporasi). Kesalahan yang disebabkan oleh budaya perusahaan ini tidak langsung berdampak pada kecelakaan. Kebijakan perusahaan sangat memberikan pengaruh pada aman atau tidaknya pengoperasian pesawat, dan individu-individu yang terlibat langsung pada kecelakaan dapat dipengaruhi oleh tindakan serta keputusan manager dan managemen tingkatan atas perusahaan. 8. Kedisiplinan. Kesalahan yang disebabkan oleh ketidakdisiplinan, tradisitradisi yang melanggar aturan, kebiasaan buruk akan langsung berdampak kepada situasi dan kondisi yang tidak aman. Ketidakdisplinan juga disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap aturan yang telah ditetapkan dan budaya bangsa Indonesia yang cenderung malas. Pengawasan yang lemah serta tidak adanya tindakan hukum yang membuat jera bagi pelaku yang melakukan tindakan yang tidak disiplin. Kedisiplinan juga berkaitan dengan kemauan untuk menjalankan semua aturan dan prosedur yang berlaku. Untuk menyelidiki hal yang berhubungan dengan budaya perusahaan, penyelidik harus berbicara dengan individu yang mengerti dan paham serta memiliki pengetahuan mengenai perusahaan yang diselidiki. Penyelidik harus mewawancarai karyawan, pengawas, dan manager, sampai kepada tingkatan atas termasuk chief executive officer. Wawancara tersebut berfokuskan kepada riwayat dan kebijakan seperti:

Gaji dan pembayaran. Moral pekerja. Jadwal kerja dan penerbangan. Beban kerja. Cacatan cuti sakit. Jumlah tenaga kerja. Jumlah pergantian tenaga kerja dan manager. Pelatihan Peralatan dan perlengkapan kerja.

86

Proses perawatan dan pemeliharaan. Jenjang karir dan promosi. Kondisi keungan perusahaan. Program keamanan dan keselamatan, serta lainnya.

Memeriksa kecukupan pelaksanaan prosedur pengoperasian dan sejauh mana prosedur tersebut ditaati dan dijalankan. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah Apakah perusahaan mengatakan suatu hal namun menjalankan hal yang lain?, dengan berbicara kepada pekerja, mengamati karyawan yang sedang bekerja, memeriksa cacatan riwayat, mendapatkan suatu cara pandang terhadap komitmen karyawan untuk bekerja dengan baik, dan komitmen perusahaan untuk memastikan bahwa karyawan mengerjakan pekerjaan dengan prosedur dan tingkat keamanan setinggi yang dapat dilakukan. 5.3 Perancangan Prosedur Wawancara 5.3.1 Prosedur Wawancara Saksi Mata Wawancara terhadap saksi mata (penumpang, masyarakat umum, kru kabin, kru kokpit, teknisi/operator, kru ATC, dan lainnya) harus dilakukan dengan segera dan secepat mungkin, dikarenakan jika dilakukan penundaan kemungkian terjadinya peningkatan pada ketidakakurasian dan ketelitian terhadap pernyataan saksi. Hal-hal yang sepertinya dianggap tidak penting pada wawancara seperti informasi yang tidak signifikan mungkin akan menjadi penting ketika digabungkan dengan fakta yang ditemukan selama proses penyelidikan. Proses pencarian saksi sangat beragam dan bemacam-macam, mulai dari saksi secara sukarela memberikan pernyataannya sampai harus melakukan pencaharian saksi dari pintu ke pintu. Otoritas lokal, harian surat kabar, personel media elektronik khususnya berita, penduduk setempat dimana terjadinya kecelakaan, personel bandara udara, kru/operator/teknisi dan penumpang dapat menjadi saksi penting bagi penyelidikan kecelakaan atau dapat membantu dalam menemukan saksi penyelidikan kecelakaan tersebut. Dengan tidak mengabaikan pentingnya proses wawancara dalam penyelidikan, mewawancarai saksi mata tidak boleh disamakan dengan proses interogasi. Wawancara harus dilakukan berdasarkan kesopanan, rasa hormat,
87

penuh kerjasama, dan netral. Saksi harus disemangati dan dianjurkan untuk mengingat serta memberikan seluruh informasi yang mereka lihat dan mereka dengar untuk membantu penyelidikan. Saksi mata hanya berfokuskan pada pengamatan mereka sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pernyataan saksi lainnya. Sebelum melakukan wawancara, penyelidik harus sudah memastikan dan memberikan penjelasan kepada saksi bahwa wawancara bertujuan untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya informasi yang terkait dengan

kecelakaan/insiden yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang sama di masa yang akan datang. Wawancara terhadap saksi mata sewajibnya sesuai dengan aturan yang berlaku dan saksi mempunyai hak untuk didampingi oleh pengacara atau perwakilan sah yang memenuhi syarat. Wawancara terhadap anggota kru pesawat udara yang mengalami kecelakaan (pilot, kopilot, pramugari) dan kru ATC tidak dapat mengalami keterlambatan dan penundaan. Untuk mempercepat penyelidikan, penyelidikan harus mengkomunikasikan hak-hak kru pesawat udara pada saat proses wawancara. Pada saat wawancara kru pesawat udara atau pramugari tidak didampingi oleh pengacara atau ahli hukum mereka, maka individu yang diwawancarai harus diberitahukan bahwa didampingi oleh pengacara atau ahli hukum adalah hak mereka. Pedoman dan langkah untuk membantu tercapainya proses wawancara yang berhasil sesuai dengan yang diinginkan untuk mencari informasi dari penyebab kecelakaan pesawat udara: Kunjungi area terjadinya kecelakaan sebelum melakukan wawancara. Hal ini akan membantu penyelidik untuk mengembangkan daftar area (tempat maupun pertanyaa) yang akan dibahas selama wawancara. Penyelidik sebaiknya menetapkan bersama saksi mengenai waktu dan jadwal wawancara jika hal ini mungkin untuk dilakukan. Sebelum melakukan wawancara, susun informasi dan ide umum apa saja yang ingin diperoleh selama wawancara.

88

Lakukan pengembangan hubungan baik dengan saksi dan selalu berlaku sopan santun serta hormat. Perlakukan saksi berdasarkan tingkat pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan dunia penerbangan pada saat wawancara. Jika saksi tidak mengetahui pertanyaan wawancara atau istilah-istilah dalam penerbangan, penyelidik wajib menjelaskan kepada saksi agar jawaban yang diperoleh tidak salah.

Saat wawancara berlangsung yang bertujuan untuk memperoleh informasi, pada saat saksi menceritakan kronologi kejadian, saksi harus menjelaskan posisinya berada dimana saat terjadinya kecelakaan.

Jika saksi diwawancarai oleh grup (tidak perorangan), ketua grup harus bertindak sebagai pewawancara utama (juru bicara) dan menjadi kendali utama pada sesi wawancara. Juru bicara harus memberikan penjelasan singkat kepada anggota grup bagaimana wawancara sebaiknya dilakukan. Hanya 1 pewawancara/penyelidik yang berhak bertanya pada satu waktu, dan yang lainnya mengikuti secara berurutan.

Batasi jumlah orang yang berpartisipasi pada wawancara. Alat-alat bantu seperti model pesawat, kompas, jam, peta, grafik dan alatalat bantu yang berguna dapat digunakan selama wawancara berlangsung. Anjurkan dan beri semangat saksi untuk menjelaskan kejadian yang dialami oleh saksi tanpa mengalami gangguan. Sesaat setelah bertanya, pewawancara diam sejenak akan membantu saksi berkonsentrasi untuk menjelaskan kejadian lebih lengkap tanpa adanya kelalaian, kesalahan, dan ketidakjelasan pengungkapan jawaban. Kemampuan dari penyelidik sebagai pewawancara dan sebagai pendengar yang baik sangat membantu pada saat saksi menjelaskan. Pewawancara sebisa mungkin tidak menyela atau memotong penjelasan saksi.

Ajukan pertanyaan spesifik ketika saksi menjelaskan kronologis kejadian. Ajukan pertanyaan yang sederhana dan singkat. Hindari istilah-istilah teknis dan istilah penerbangan dalam mewawancarai saksi yang tidak familiar terhadap istilah tersebut.

89

Berhati-hatilah dalam mempertanyakan pertanyaan yang tidak dibuat secara benar dan terperinci. Hindari anggukan setuju dan mengucapkan persetujuan atau pertidaksetujuan terhadap pernyataan yang dikeluarkan oleh saksi yang diwawancarai.

Mencatat informasi

wawancara (dokumentasi)

selama wawancara

dianjurkan, namun hal tersebut dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari saksi dan kegiatan tersebut dijalankan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu proses wawancara. Alat perekam merupakan alat bantu yang penting, tetapi penggunaannya harus mendapat persetujuan dari saksi yang diwawancarai. Ketika mewawancarai saksi mata yang sedang berada dalam proses pengobatan atau penyembuhan, penyelidik harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada dokter yang merawat sebelum melakukan wawancara. Pada kasus ini, batasi jumlah pertanyaan dan jumlah pewawancara yang mewawancarai. Setelah semua pertanyaan selesai ditanyakan, sediakan waktu untuk saksi sehingga saksi dapat mengajukan pertanyaan kepada pewawancara. Setelah wawancara, tanyakan kepada saksi untuk mempersiapkan atau mengizinkan pewawancara untuk mempersiapkan pernyataan tertulis yang meliputi seluruh informasi terkait yang diberikan selama proses wawancara. Berikan saksi yang diwawancara dengan lembaran Pernyataan Saksi oleh lembaga pewawancara (KNKT Komite Nasional Keselamatan Tranportasi), diisi dan dimasukkan kedalam amplop. Anjurkan kepada saksi untuk menambahkan sebisa mungkin sketsa, gambar, foto dan peta untuk melengkapi pernyataan. Jika saksi menolak untuk menandatangani surat pernyataan, jangan memaksakannya. Jelaskan dan tunjukkan pada kolom keterangan pada lembar pernyataan yang dibuat bahwa saksi menolak untuk menandatanganinya. Sediakan nomor telepon dan alamat pewawancara atau penyelidik yang dapat dihubungi, jika saksi suatu saat ingin memberikan informasi tambahan.

90

Ketika seluruh informasi yang diinginkan diperoleh dari saksi, lakukan peninjauan ulang terhadap catatan/informasi dari wawancara dengan anggota yang berpartisipasi pada wawancara. 5.3.2 Prosedur Wawancara Kru Kokpit Jelaskan secara rinci tujuan dari wawancara dan perkenalkan diri anda serta anggota grup (jika wawancara dilakukan secara grup). Informasi yang diperlukan dari wawancara terhadap kru penerbangan antara lain adalah sebagai berikut: a. Penggunaan sabuk pengaman (baik pada posisi di perut dan bahu) sebelum dan sesudah impak. b. Kesulitan pada saat proses evakuasi (membebaskan diri). c. Pertolongan kepada penumpang oleh pramugari. d. Deskripsi dan penjelasan luka dan bagaimana mereka selamat dan bertahan. e. Bagaimana proses evakuasi keluar dari pesawat oleh kru penerbangan. f. Deskripsi pelatihan pada kondisi darurat, kapan terakhir pelatihan diberikan, dan sejauh mana proses latihan diaplikasikan seperti menggunakan pintu darurat, luncuran evakuasi darurat, dan lainnya. g. Penggunaan peralatan yang membantu proses evakuasi pada kondisi darurat. 5.3.3 Prosedur Wawancara Kru Kabin Jelaskan secara rinci tujuan dari wawancara dan perkenalkan diri anda serta anggota grup (jika wawancara dilakukan secara grup). Ajukan permohonan melakukan wawancara menggunakan alat perekam. Jika alat perekam digunakan, pewawancara dan saksi yang diwawancara wajib mengidentifikasikan yang berkenaan dengan wawancara seperti tanggal, waktu, dan lokasi wawancara dan yang terlibat didalamnya. Cara paling efektif untuk mengetahui dan mendapatkan informasi adalah langsung menanyakan kepada saksi untuk menjabarkan informasi tersebut. Jika pertanyaan-pertanyaan dibawah ini tidak terjawab pada saat saksi menjelaskan

91

kronologi kejadian, setelah penjelasan kronologi kejadian selesai maka ajukan pertanyaan berikut: a. Nama, tanggal dipekerjakan, pelatihan terakhir yang diikuti, penerbangan yang dikuti dalam waktu 24-72 jam sebelumnya dan 30 hari sebelumnya. b. Posisi yang diduduki pada organisasi (jabatan). c. Deskripsi dan jelaskan tugas-tugas yang dikerjakan sebelum melakukan penerbangan. Sebutkan dan jelaskan lokasi penumpang (anak-anak, bayi, orang cacat, orang jompo, dan lainnya). d. Tindakan pencegahan terhadap dampak impak yang diaplikasikan oleh pramugari kepada penumpang. e. Jelaskan proses impak kecelakaan. f. Jelaskan kondisi kabin, lorong, bagasi, overhead kompartemen, tempat duduk, dan lampu darurat. g. Jelaskan dan deskripsikan kondisi/kelakuan/tindakan penumpang setelah kecelakaan. h. Jelaskan keadaan/tindakan petugas, aparat penanggulangan kecelakaan (polisi, pemadam kebakaran, pihak rumah sakit, dan lainnya) paska terjadinya kecelakaan. i. Deskripsikan dan jelaskan tindakan anda untuk membantu proses penanggulangan keadaan darurat. j. Apakah anda melihat penumpang yang terangkap reruntuhan atau yang sulit mengevakuasikan diri. k. Deskripsikan dan jelaskan tindakan pemadam kebakaran dan regu penyelamat di tempat kejadian. l. Deskripsikan dan jelaskan luka yang anda derita dan bagaimana anda bertahan. m. Apakah bayi menggunakan pembatas pada tempat duduknya? n. Jelaskan dan deskripsikan apakah ada permasalahan dengan penumpang selama penerbangan. Pewawancara harus mendapatkan dokumen pelatihan pramugari pada masa awal pelatihan, pertengahan, dan pelatihan terbaru yang berlangsung dan

92

informasi penggunaan perangkat latihan pada kondisi sesungguhnya (saat berada di pesawat). 5.3.4 Prosedur Wawancara Penumpang Langkah awalan yang harus dilakukan adalah membuat list atau catatan dan mengkelompokkannya berdasarkan jenis kelamin (pria, wanita), usia (bayi, anak-anak, dewasa, dan orang tua atau jompo), dan kesehatan (sehat, cacat). Peroleh nama, alamat, nomor telepon penumpang dari maskapai penerbangan. Setelah langkah awalan ini dilaksanakan maka wawancara dapat dilakukan. Informasi yang akan diperoleh dari proses wawancara dengan penumpang, yaitu: a. Peroleh izin dari rumah sakit atau dokter tempat saksi/penumpang yang selamat berada untuk diwawancarai. b. Kemungkinan tidak semua proses wawancara dapat dihadiri oleh ketua grup (jika wawancara dilakukan dengan grup). Oleh karena itu anggota grup mewawancarai penumpang dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disetujui oleh ketua grup. c. Tujuan mewawancarai penumpang adalah untuk mendapatkan informasi mengenai bagaimana terjadinya kecelakaan. d. Sebelum melakukan wawancara, pilih anggota yang hendak

mewawancarai. Pertanyaan yang ditanyakan harus disetujui oleh ketua grup dan anggota pewawancara yang sedang tidak mewawancarai saksi mata harus mencatat dan mendokumentasikan proses dan hasil wawancara. e. Perkenalkan masing-masing anggota dalam grup dan tugasnya serta jelaskan tujuan dari wawancara. f. Wawancara menggunakan alat perekam hanya diperlukan pada saat peninjauan ulang dan menyimpulkan hasil wawancara atau

membandingkan dengan hasil penyelidikan di lokasi. g. Cara terbaik untuk mendapatkan informasi adalah bertanya kepada saksi atau penumpang untuk menjelaskan hal yang terjadi. Kondisikan sehingga saksi yang diwawancara menjelaskan kronologi dan informasi yang ia tahu tanpa adanya gangguan. Jika pertanyaan-pertanyaan dibawah ini tidak

93

terjawab pada saat saksi menjelaskan kronologi kejadian, setelah penjelasan dari saksi selesai maka ajukan pertanyaan berikut: 1. Nama, umur, berat, tinggi, cacat, ketidakmampuan, dan lainnya. 2. Nomor tempat duduk, jika penumpang duduk dekat pintu keluar darurat, informasi apakah yang diberikan/dijelaskan mengenai pintu keluar darurat? Bagaimana cara mereka diberikan penjelasan oleh kru kabin? 3. Apakah penumpang membaca kartu/selebaran yang berisikan tata cara bertindak pada saat kondisi darurat, dan melihat video keselamatan? 4. Apakah penumpang tahu semua pintu keluar dari pesawat? 5. Pengamatan sepanajang perjalanan. Kapan penumpang menyadari adanya ketidaksesuaian atau permasalahan? 6. Seaman apakah penggunaan sabuk pengaman dalam

menyelamatkan penumpang pada saat terjadi kecelakaan? 7. Penjelasan bagaimana kondisi penumpang lain pada saat kecelakaan terjadi dan pada saat keluar dari pesawat? Dapatkan pernyataan penumpang secukupnya dan dapat menyebarkan kuesioner yang berisikan pertanyaan. Jika ada penumpang yang sudah meninggalkan area kejadian, haruslah dikirimkan lewat pos. Cara yang lain dapat melakukan wawancara melalui telepon. 5.3.5 Prosedur Wawancara Kelelahan Operator Merupakan hal yang penting untuk membuktikan dua hal terlebih dahulu sebelum menetapkan bahwa kelelehan merupakan salah satu penyebab yang berkontribusi terhadap kecelakaan. Pertama, tentukan apakah kondisi operator peka atau rentan terhadap kelelahan didasarkan pada lamanya atau durasi istirahat (tidur), gangguan yang mengganggu proses istirahat, sistem biologis tubuh manusia yang mengatur aktivitas, waktu bangun (waktu terjaga), isu kesehatan. Kedua, jika poin pertama telah ditentukan bahwa operator mengalami kelelahan yang berlebihan, evaluasi informasi yang berhubungan dengan performansi, perilaku, dan penampilan operator pada saat terjadinya kecelakaan untuk

94

menentukan apakah hal tersebut konsisten ada yang diakibatkan oleh efek kelelahan. Jika terdapat temuan bahwa operator rentan terhadap tingkat kelelahan tertentu sehingga performansi menjadi tdk baik atau kebiasaan konsisten terhadap kelelahan yang seharusnya, maka hal ini tidak dapat dimasukkan sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, namun hal ini tetap menjadi hal yang penting yang harus dimasukkan kedalam laporan kecelakaan. Bagian 1: Tentukan apakah operator rentan terhadap kelelahan 1. Lama atau Durasi Istirahat (Tidur) Tentukan apakah operator mengalami sindrom atau gejala kehilangan durasi tidur yang akut (chronic sleep loss) dengan mendokumentasikan pola tidur dan bangun minimal selama 72 jam sebelum kecelakaan terjadi dan mempelajari kebiasaan-kebiasaan tidur normal operator. a. Lakukan wawancara dengan pertanyaan yang harus ditanyakan kepada operator sebagai berikut: Jelaskan pola tipikal tidur anda kapan anda tidur, kapan anda bangun, dan berapa lama (jam) tidur yang anda lakukan ketika anda libur. Jam berapa anda tidur pada malam sebelum terjadinya kecelakaan? Jam berapa anda bangun pada saat sebelum terjadinya kecelakaan? Bagaimana kualitas tidur yang anda alami? (ulangi pertanyaan ini untuk 2 malam sebelum kecelakaan terjadi dan 3 malam sebelum kecelakaan terjadi). Apakah anda suka tidur siang? Kapan, dimana, seberapa lama (durasi), dan kenapa? b. Lakukan wawancara dengan anggota keluarga, staf hotel, atau saksi mata yang dapat membantu memberikan informasi mengenai aktivitas dan jadwal tidur operator sebelum terjadinya kecelakaan. c. Pergunakan tanda terima, arsip atau dokumen telepon, jadwal pekerjaan, log books, pengaturan alarm pada jam, atau dokumen

95

lainnya yang dapat memberikan informasi mengenai aktivitas dan jadwal tidur operator sebelum terjadinya kecelakaan. 2. Gangguan yang Mengakibatkan Terganggunya Tidur/Fragmented Tentukan apakah operator mengalami proses fragmented (tidur berkali-kali dalam waktu 24 jam) atau terganggunya proses tidur (terbangun pada saat tidur yang diakibatkan oleh faktor internal atau faktor lingkungan) beberapa hari sebelum terjadinya kecelakaan. a. Pergunakan informasi yang berasal dari poin 1 (durasi istirahat) untuk memeriksa durasi dan pola banyaknya tidur yang berkali-kali atau tidur siang) b. Lakukan wawancara terhadap operator (anggota keluarga): Apakah faktor-faktor berikut yang terdapat pada lingkungan anda (kebisingan, pencahayaan, dering telepon, dan lainnya)

mengganggu pola tidur anda? Apakah pola anda berbeda dibanding keadaan normal atau terganggu pada beberapa hari sebelum terjadinya kecelakaan? 3. Sistem Biologis Tubuh yang Mengatur Aktivitas Tentukan apakah kecelakaan terjadi pada saat sistem biologis tubuh pada poin terendah. Sistem biologis tubuh dimana manusia mengantuk adalah pada tengah malam sampai pukul 06.00 terutama diantara pukul 03.00 sampai 05.00, untuk yang kedua adalah pada siang hari terjadi diantara pukul 15.00 sampai 17.00. Tentukan apakah operator mengalami terganggunya proses ini diakibatkan oleh perbedaan zona waktu, rotasi perpindahan jadwal kerja, berpindahnya (terbaliknya) antara jadwal kerja dan jadwal tidur. 4. Gangguan Tidur (Disorders), Gangguan Kesehatan, Isu Obat-Obatan Tentukan apakah terdapat gangguan pada tidur (disorders) atau faktor medis (penyakit atau penggunaan obat-obatan) pada riwayat kesehatan operator. a. Lakukan wawancara dengan pertanyaan yang harus ditanyakan kepada operator sebagai berikut: Apakah anda mempunyai kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur?

96

Apakah anda pernah membicarakan kepada dokter bagaimana anda tertidur atau mengalami kesusahan tidur? Jika hal ini pernah dilakukan, kenapa, kapan, dan apakah hasilnya?

Obat-obatan apakah yang sering anda gunakan untuk mengatasi masalah gangguan tidur, dan apakah anda menggunakannya beberapa hari sebelum kecelakaan terjadi?

Apakah anda mempunyai gejala-gejala yang dapat mempengaruhi kualitas tidur (sakit kronis, gangguan pencernaan, dan gangguan lainnya yang mempengaruhi tidur)?

b. Periksa ulang hasil laporan toksikologi operator untuk melihat zat-zat atau bahan-bahan yang mungkin mempengaruhi kualitas tidur atau kewaspadaan. c. Jika mendapatkan persetujuan dari operator, lakukan evaluasi kepada operator oleh dokter yang memiliki spesialisasi pada obat-obatan yang membantu tidur. d. Bukti-bukti lainnya meliputi riwayat kesehatan dan penggunaan obatobatan oleh operator, atau obat-obatan yang ditemukan pada rerentuhan. 5. Waktu Bangun (Terjaga) Tentukan berapa lama operator terbangun atau terjaga pada saat kecelakaan terjadi, gunakan wawancara atau catatan untuk mengestimasi waktu bangun dari tidur yang paling baru (akhir) sebelum kecelakaan terjadi. 6. Saran Tambahan Periksa catatan kerja dan catatan kecelakaan atau insiden terdahulu (termasuk catatan kepolisian dan asuransi) sebagai bukti operator tidur pada saat mengoperasikan kendaraan. Tentukan pelatihan apakah yang diberikan kepada operator yang berhubungan dengan manajemen kelelahan. Periksa ulang lingkungan kerja operator dan tugas yang dikerjakan tidak sesuai dengan kondisi pada hari terjadinya kecelakaan seperti pencahayaan yang kurang, penundaan pengoperasian, dan kebosanan.

97

Tentukan apakah perwakilan pihak manajemen atau serikat pekerja telah memberikan penyelesaian masalah terhadap keluhan operator mengenai kelelahan?

Bagian 2: Tentukan apakah performansi, perilaku atau penampilan operator konsisten terhadap pengaruh kelelahan yang berlebihan, dan apakah performansi atau perilaku operator berkontribusi menyebabkan kecelakaan 1. Performa Operator Tentukan apakah performa operator secara konsisten dipengaruhi oleh kelelahan dengan cara: a. Pergunakan bukti yang tersedia untuk menentukan apakah performansi operator menurun sebelum terjadinya kecelakaan dengan melakukan wawancara: Apakah operator mengabaikan atau melewatkan tugas yang diberikan kepadanya atau pembagian tugas? Apakah terdapat perbedaan yang bervariasi pada saat mengemudi atau menjalankan kendaraan? Apakah fokus operator terpaku pada satu tugas dengan

mengesampingkan informasi yang lebih penting? Apakah terdapat bukti gangguan pada penarikan/pembuatan keputusan atau perilaku ketidakmampuan beradaptasi untuk mengakomodasi informasi-informasi yang baru? 2. Perilaku dan Penampilan Operator Tentukan apakah penampilan seseorang atau perilaku seseorang sebelum terjadinya kecelakaan memperlihatkan kelelahan atau mengantuk, berdasarkan dari wawancara saksi mata, laporan bahwa operator mengalami kelelahan, catatan dan riwayat perilaku operator baik audio maupun video. 5.4 Perancangan Formulir Pernyataan Saksi Mata Perancangan formulir tanya jawab dan checklist yang berhubungan dengan proses wawancara terhadap saksi mata yang dilakukan oleh peneliti dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

98

1. Perancangan Formulir Pernyataan Saksi Mata Bagian ini berisikan pertanyaan yang telah disusun sebagai Daftar Pertanyaan Penyelidikan Faktor Manusia. Pertanyaan dan Jawaban dikelompokkan berdasarkan bagian-bagian pada Daftar Pertanyaan Penyelidikan Faktor Manusia dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang berhubungan dengan proses terjadinya kecelakaan dan penyebab kecelakaan itu sendiri. Informasi yang diperoleh dianalisis dan dilakukan pengklasifikasian dengan menggunakan HFACS. Penyebab-penyebab yang menyebabkan terjadinya kecelakaan dan diberikan rekomendasi usulan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa dimasa yang akan datang. 2. Perancangan Checklist Pertanyaan yang Berhubungan dengan HFACS Bagian ini berisikan Daftar Pertanyaan Penyelidikan Faktor Manusia yang telah dikelompokkan dan diklasifikasikan berdasarkan tingkatan dan subtingkatan yang ada pada HFACS. Tujuan dirancangnya checklist

antara lain untuk mempermudah penyelidik dalam pengumpulan data, informasi, mencari pola kemungkinan penyebab kecelakaan berdasarkan tingkatan dan sub tingkatan pada HFACS dan bagian mana pada tingkatan HFACS menghasilkan penyebab paling dominan sehingga penyelidik dapat menyelidiki secara lebih tepat dan terperinci pada tingkatan tersebut. 5.4.1 Perancangan Pernyataan Penumpang & Saksi Mata

Kami (saya) selaku penyelidik sangat menghargai bantuan dan pertolongan anda untuk memberikan informasi berupa pengamatan dan komentar terhadap kecelakaan ini sehingga kami (saya) selaku penyelidik mendapatkan fakta, kondisi, kejadian seputar terjadinya kecelakaan. Pengamatan anda membantu kami dalam mengevaluasi cedera akibat kecelakaan dan penggunaan

perlengkapan serta prosedur yang membantu proses penyelamatan dan kelangsungan hidup anda. Disamping menyelesaikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan kami (saya) utarakan untuk memperoleh informasi, silahkan anda berkomentar mengenai aspek-aspek apapun baik sebelum, pada saat, atau setelah kecelakaan

99

yang anda percayai bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan.

PERNYATAAN PENUMPANG Nama: ______________________ Berat: ___kg Alamat:


_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

Umur: ___thn

Tinggi: ___cm

Pekerjaan: _________________________ Cedera:

Telpon/HP: ________________

_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

Jika anda menderita luka/cedera dan diobati, dapatkah anda memberitahu nama dan alamat dokter atau rumah sakit tempat anda mendapat pengobatan:
_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

Jika anda tidak dapat mengingat nomor tempat duduk anda, dapatkah secara spesifik menyebutkan dimana posisi anda berada: apakah berada dikiri atau dikanan, berada dekat lorong atau dekat jendela, jumlah baris ke berapa dari depan atau belakang, dekat pintu keluar tertentu atau hal-hal lain yang dapat membantu anda mengingat posisi duduk anda.
_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

PENGAMATAN SEBELUM TERJADI KECELAKAAN Jelaskan pengamatan anda sebelum terjadinya kecelakaan seperti kondisi cuaca, kondisi pencahayaan, kondisi apakah terpasang atau tidak terpasang sabuk pengaman pada tempat duduk, atau pengamatan lainnya.
_______________________________________________________________________________

100

_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

PENGAMATAN SELAMA TERJADI KECELAKAAN Jelaskan keadaan pada saat terjadinya kecelakaan seperti kondisi-kondisi tidak biasa yang terjadi selama kecelakaan berlangsung, adanya api dan asap (kebakaran), ke arah mana anda terlempar, kerasnya proses benturan, dan lainnya.
_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

PENGAMATAN SETELAH TERJADI KECELAKAAN Jelaskan metode apakah yang anda lakukan untuk menyelamatkan diri dan kesulitan apakah yang dihadapi pada saat menyelamatkan diri (kondisi sabuk pengaman, tempat duduk, reruntuhan, dan lainnya. Perilaku dan reaksi penumpang lainnya, proses penyelamatan yang dilakukan oleh pihak yang berada di luar, keadaan-keadaan yang menurut anda tidak biasanya dan keadaan lainnya.
_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

PENGAMATAN UMUM LAINNYA Anda dapat menggunakan ruang (spasi) untuk memberikan komentar terhadap aspek-aspek kecelakaan atau anda dapat mensketsakan kejadian-kejadian yang terjadi pada kecelakaan sesuai dengan pengamatan, cara anda menyelamatkan diri, lokasi terjadinya kebakaran, dan lainnya.
_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

101

_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

_______________________________________________________________________________

______________________________

(Tanda Tangan)

PERNYATAAN SAKSI MATA Tujuan dari pernyataan ini dimaksudkan hanya untuk digunakan dalam menentukan fakta-fakta, kondisi, keadaan, dan kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan. Disamping menyelesaikan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan kami (saya) utarakan untuk memperoleh informasi, silahkan anda berkomentar mengenai aspek-aspek apapun baik sebelum, pada saat, atau setelah kecelakaan yang anda percayai bahwa hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Tanggal: __________________________

102

1. Lokasi kecelakaan: ________________________ Jam: _____

Tanggal: _____________

2.Tipe kendaraan: ___________________________________________________________ 3. Identifikasi kendaraan: ____________________________________________________ 4. Nama anda: __________________________________________ Usia: ___thn

5. Alamat: ____________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

6. Pekerjaan/Jabatan: ________________

Instansi/Kantor: __________________

7. Dimana anda berada pada saat kecelakaan:


_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

8. Ceritakan dengan menggunakan bahasa anda sendiri apa yang anda lihat sebelum dan pada saat terjadi kecelakaan
_______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________

___________________________

(Tanda Tangan) 5.5 Perancangan Daftar Pertanyaan Wawancara Saksi Mata Daftar pertanyaan umum (pertanyaan standar) yang digunakan oleh penyelidik faktor manusia untuk mewawancarai individu (saksi mata, korban, dan

103

lainnya). Pertanyaan tambahan biasanya disarankan untuk ditanyakan tergantung dari jenis kecelakaan yang spesifik dan dapat memasukkan unsur pelatihan dan managemen. Dengan mendengarkan secara spesifik wawancara dengan saksi mata, dan dengan mempertanyakan pertanyaan yang umum sehingga akan lebih mengerti mengenai penyebab dari suatu kecelakaan. Oleh karena itu, penyelidik dapat menambahkan pertanyaan lain yang sesuai untuk memahami kinerja, kebiasaan, dan kelakuan manusia. Pertanyaan-pertanyaan penyelidikan faktor manusia biasanya dimulai dari yang umum sehingga membolehkan saksi mata menjelaskan apa yang mereka tahu, tanpa adanya campur tangan/pengaruh dari pewawancara. Setelah beberapa lama wawancara berlangsung, penyelidik dapat memfokuskan saksi mata kepada topik yang lebih menjurus dan spesifik. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penyelidik faktor manusia dapat ditambahkan sesuai dengan kemampuan dan pengalaman penyelidik serta sesuai dengan kasus yang dihadapi. Beberapa dari pertanyaan ini diadapatasi dari pertanyaan grup penyelidik faktor manusia NTSB dengan beberapa alasan, antara lain: 1. Pertanyaan merupakan pertanyaan yang bersifat umum dan sesuai dengan aspek-aspek faktor manusia. 2. Juklak KNKT tidak memuat pertanyaan-pertanyaan yang digunakan pada wawancara dengan saksi mata dikarenakan pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh penyelidik faktor manusia KNKT berdasarkan

pengalaman dan kemampuannya. 3. NTSB sebagai lembaga penyelidik kecelakaan di Amerika Serikat yang sudah mempunyai kredibilitas yang baik. Pertanyaan ini berkaitan dengan metode HFACS yang dipakai oleh peneliti sebagai metode

pengklasifikasian dan analisis kecelakaan penerbangan pada usulan juklak KNKT. Pertanyaan-pertanyaan standar (umum) yang sering ditanyakan pada wawancara antara lain: A. Kegiatan dalam 72 Jam Terakhir

104

1. Kapan terakhir kali anda (pilot, kru kontrol, teknisi, dan lainnya) bekerja sebelum kecelakaan? 2. Sebutkan jadwal kegiatan anda pada 3 hari sebelum terjadi

kecelakaan? Aktivitas lain apakah yang anda lakukan selama periode ini? 3. Kapan anda tidur/istirahat malam sebelumnya (3 malam

sebelumnya)? Kapan anda bangun? Apakah anda merasa tidur anda cukup? 4. Jelaskan jadwal kerja normal anda? Kapan anda libur? Kapan liburan terakhir anda? 5. Jelaskan kegiatan anda pada hari kecelakaan sampai kecelakaan tersebut terjadi? Kapan dan apakah yang anda makan sebelum terjadinya kecelakaan? Apakah anda menggunakan istirahat dengan efektif? 6. Apakah hal ini merupakan jadwal kerja anda yang tidak biasanya (normal)? B. Riwayat/Sejarah Kecelakaan 1. Apakah sebelumnya anda pernah terlibat dalam kecelakaan? Apakah anda pernah mendapatkan teguran (peringatan)

sebelumnya terhadap kinerja anda? Apakah anda pernah menerima penghargaan (pujian) untuk kinerja anda? C. Perubahan Gaya Hidup 1. Kondisi kehidupan dalam satu tahun terakhir: a. Apakah ada perubahan besar pada kesehatan anda (baik atau buruk)? b. Apakah ada perubahan besar pada financial anda (baik atau buruk)? c. Apakah ada perubahan besar pada kehidupan pribadi anda (perpisahan, perceraian, kelahiran, meninggal, perubahan pada kesehatan keluarga/teman terdekat)? D. Medis/Obat-Obatan 1. Jelaskan kondisi kesehatan anda sebelum terjadinya kecelakaan?

105

2. Sebutkan nama dan alamat dokter pribadi anda? 3. Bagaimanakah kondisi penglihatan anda? Apakah anda memakai kacamata (lensa kontak)? Siapa nama dokter mata anda? Resep (rekomendasi) apakah yang anda gunakan? 4. Bagaimanakah kondisi pendengaran anda? Apakah anda memakai alat bantu pendengaran? Siapa nama dokter THT anda? 5. Apakah anda memakai (memakan) obat dari resep dokter? Nama dari obat tersebut? Seberapa sering anda memakannya? Kapan terakhir kali anda memakannya sebelum terjadi kecelakaan? 6. Apakah anda minum minuman beralkohol? Kapan dan apakah yang anda minum sebelum terjadinya kecelakaan? 7. Apakah anda merokok? Kapan terakhir kali anda merokok sebelum terjadinya kecelakaan? 8. Apakah anda memakai obat-obatan terlarang? 9. Pada rentang waktu 72 jam sebelum terjadi kecelakaan, apakah anda menggunakan (memakan) obat-obatan baik dengan resep atau tanpa resep dokter sehingga mempengaruhi performansi kerja anda? E. Beban Kerja Operator 1. Bagaimanakah beban kerja anda di hari terjadinya kecelakaan? 2. Apakah beban kerja anda dipengaruhi oleh cuaca? Jika dipengaruhi, bagaimana pengaruhnya? F. Lingkungan 1. Apakah terdapat masalah dengan pesawat? 2. Apakah terdapat masalah dengan kebisingan, getaran, dan temperatur pada pesawat dan lingkungan kerja anda? 3. Apakah ada masalah dengan perlengkapan dan peralatan yang menggunakan lainnya)? G. Suasana/Keadaan Hati 1. Bagaimana suasana hati (mood) kru lainnya sebelum kecelakaan terjadi? Selama terjadinya kecelakaan? Setelah terjadi kecelakaan? penglihatan (instrumen/alat-alat, sinyal, dan

106

2. Apakah seluruh kru pernah terbang bersama sebelumnya? 3. Apakah hubungan masing-masing personal kru baik? Apakah mereka saling berinteraksi secara sosial? 4. Apakah yang mereka bicarakan ketika berinteraksi? 5. Bagaimana pilot berinteraksi dengan penumpang dan pramugari? H. Latar belakang 1. Bagaimana pendapat anda pribadi terhadap pilot? 2. Apakah dia (pilot) telah menikah? mempunyai anak? Bagaimana kondisi tempat tinggalnya? 3. Bagaimana tingkat pendidikan yang telah diselesaikan oleh pilot? 4. Bagaimana proses pilot sampai tertarik dan mau mengabdikan diri pada dunia penerbangan? Dimana (tempat) pilot mendapatkan pelatihan? Apakah anda mengetahui pekerjaan (jabatan) terdahulu pilot? 5. Apa yang disukai oleh pilot dari proses terbang ini? Mengenai pekerjaan ini? Mengenai pesawat? 6. Seberapa mengetahui pilot akan rute kecelakaan ini? Dengan bandara tempat terjadinya kecelakaan (jika kecelakaan terjadi di bandara)? 7. Bagaimana perjalanan? 8. Apakah kekuatan terbesar yang dimiliki oleh pilot? Apakah ada area kemampuan yang seharusnya di tingkatkan oleh pilot? 9. Apakah ada individu yang komplen (mengeluh) pada saat terbang bersama pilot? 10. Apakah pilot pernah komplen kepada perusahaan atau peralatan yang digunakan? 11. Apakah pilot pernah mengalami insiden emergensi atau masalah pada penerbangan sebelumnya? Apakah yang terjadi, jelaskan? 12. Apakah pilot memperoleh pelatihan cockpit resource management dan crew resource management? I. Budaya Perusahaan dengan tenggat waktu untuk menyelesaikan

107

1. Bandingkan dengan standar yang ada di industri mengenai: a. Gaji b. Moral c. Jadwal terbang dan tugas d. Lembur e. Cuti sakit f. Program asisten pekerja (employee assistant program) g. Jumlah tenaga kerja dan ukuran beban untuk mengerjakan tugas (pekerjaan) h. Jumlah pergantian pekerja i. Jumlah pergantian manager j. Alasan mengapa terjadi pergantian tersebut k. Kualitas pekerja yang baru dipekerjakan l. Pelatihan m. Peralatan dan perlengkapan n. Pemeliharaan/perawatan o. Kesempatan untuk promosi (naik jabatan) p. Kondisi keuangan perusahaan q. Hubungan antara perusahaan dan serikat pekerja r. Jumlah tindakan disipliner dan jumlah keluhan 2. Dalam beberapa tahun terakhir, apakah perusahaan mengalami proses reduksi atau ekspansi yang signifikan dalam

pengoperasiannya? 3. Seberapa banyak lembur yang dilakukan oleh perusahaan? Apakah lembur merupakan kewajiban atau kerja sukarela? Apakah pekerja dibayar untuk bekerja lembur? 4. Seleksi latar belakang apa yang dilakukan pada kandidat baru sebelum dipekerjakan? 5. Keluhan apa sajakah yang anda dengar dari para pekerja? Keluhan apa sajakah yang anda dengar dari para manajer?

108

6. Bagaimana

anda

mendiskripsikan

hubungan

antara

pihak

manajemen dan pekerja? Bagaimana hubungan dengan komite keselamatan serikat pekerja? 7. Apakah perusahaan membuat perlindungan (kebijakan) jika terjadi kebangkrutan? Apakah baru-baru ini ada penggabungan antara 2 perusahaan (merger)? Jelaskan apakah yang terjadi? 8. Apakah perusahaan memiliki pengalaman terhadap kecelakaan atau insiden yang terjadi sebelumnya? Apakah ada pelanggaran? Bagaimana sistem penghargaan? Bagaimana reaksi perusahaan terhadap perubahan pada kebijakan/prosedur/personel yang

berkaitan dengan kecelakaan (insiden)? 9. Apa yang menjadi kekuatan terbesar dari pilot kepala (sebagai manajer)? Wakil kepala teknisi pemeliharaan? Chief executive officer (CEO)? 10. Apakah pilot kepala, Wakil kepala teknisi pemeliharaan, Chief executive officer (CEO) pernah terlibat insiden atau pelanggaran baik personal maupun berhubungan dengan perusahaan pada saat mereka bekerja pada posisi manajer? 11. Apakah ada hubungan antara CEO dan karyawan? 12. Apakah anda memiliki bagian keamanan dan keselamatan di perusahaan? Aktivitas apa saja yang mereka kerjakan? Apakah bagian ini langsung memberikan laporan kepada CEO? Wakil kepala eksekutif bagian operasi? Apakah cocok atau sesuai dengan kebijakan dewan direksi? Seberapa sering laporan tersebut diberikan atau dipresentasikan? 13. Bagaimana sistem informasi keselamatan dan komunikasi

perusahaan terkait dengan pekerja (dengan laporan berkala, video, dan media lainnya)? 14. Apakah ada suatu cara atau sistem untuk pekerja mengangkat permasalahan yang terkait dengan isu-isu keselamatan tanpa adanya rasa takut terhadap mengemukakan pendapatnya?

109

15. Jika tidak terdapat bagian keselamatan, kepada siapakah pekerja melaporkan permasalahan terkait dengan keselamatan? Masalah yang berkaitan dengan keselamatan apakah yang baru-baru ini diangkat oleh karyawan, dan bagaimana respon terkait masalah tersebut? 16. Apakah ada laporan terhadap insiden dan investigasi? Bagaimana dan kepada siapa laporan tersebut dilaporkan? Berikan contoh perubahan yang dihasilkan dari penyelidikan insiden internal perusahaan baru-baru ini? 17. Bagaimana perusahaan mempelajari dan membagikan informasi yang berhubungan dengan keselamatan di dunia industri? Apakah perusahaan berpartisipasi pada pertemuan yang membahas masalah keselamatan? 18. Bagaimana cara perusahaan menguji dan menentukan

kecendrungan baik atau buruknya pada proses pengoperasian dan pemeliharaan? 19. Apakah perusahaan menyimpan data base keselamatan atau employ risk assessment? Apakah perusahaan mempekerjakan penyelidik keselamatan? Internal atau eksternal? 20. Apakah perusahaan menerapkan pelatihan pada bidang crew resource management (CRM)? Apakah yang diajarkan pada pelatihan ini? Berapa lama (jam) digunakan untuk melakukan pelatihan ini? 21. Bagaimana hubungan perusahaan dengan lembaga penyelidik kecelakaan penerbangan? Jika ada perbedaan, dimana area manakah perbedaan tersebut ada? 22. Seberapa sering anda melihat penyelidik dari lembaga penyelidik kecelakaan penerbangan ada di perusahaan? J. Kerjasama Tim (Team Work) 1. Karakteristik Tim a. Berapa lama tim ini bekerja sama?

110

b. Pernahkah tim ini terlibat didalam suatu kecelakaan (insiden)? c. Apakah mereka (tim) bertindak, berfikir, dan berkelakuan seperti tim yang sebenarnya? d. Apakah mereka (tim) menyalahkan salah satu anggota ketika terjadinya kecelakaan? e. Mungkinkah hal yang sama (kecelakaan) terjadi pada tim yang berbeda? f. Apakah masing-masing tim memiliki karakteristik yang sama? g. Bagaimanakah tingkat keseimbangan antara resiko,

keselamatan, dan kepuasan pekerjaan? h. Sebutkan kondisi-kondisi yang dapat mengakibatkan keseimbangan tim terganggu? i. Kenapa hal tersebut terjadi? 2. Pengorganisasian dan Peran Tim a. Apakah tugas, peran dan tanggung jawab setiap anggota tim sudah ditetapkan (didefiniskan)? b. Apakah setiap anggota tim sadar akan perannya masingmasing? c. Apakah posisi ketua ada dalam tim? d. Apakah dia (pria) atau dia (wanita) berperan secara formal atau informal sebagai ketua tim? e. Apakah peran dia/saksi/korban (pria) atau dia (wanita) di dalam organisasi? f. Apakah seluruh informasi tersedia dan mudah didapatkan oleh pengawas? g. Dimanakah terjadinya kesalahan (pelanggaran)? h. Siapakah yang memperhatikan dan memperbaiki jika terjadi kesalahan? i. Bagaimana kondisi yang tepat untuk bertindak jika terjadi kesalahan?

111

j. Apakah ukuran (jumlah anggota) sesuai untuk mengerjakan tugas (pekerjaan)? k. Jelaskan beban kerja dan tugas yang dikerjakan sebelum terjadinya kecelakaan? l. Apakah ada anggota yang mendapatkan pekerjaan dengan beban yang berlebih dibandingkan dengan anggota lain dalam tim? 3. Hubungan dan Kerjasama Tim a. Apakah terdapat pertentangan antar personal pada tim? b. Apakah ketua tim pernah bertanya dari anggota tim sebagai masukan? c. Apakah ada kesempatan anggota tim untuk mengajukan keberatan terhadap keputusan yang dibuat? d. Jelaskan tingkat hubungan diantara berbagai tim yang terlibat pada pengoperasian pesawat udara? 4. Tingkat Pelatihan Tim dan Anggota Tim a. Apakah setiap anggota tim memiliki kemampuan sesuai dengan standar perusahaan dan pengalaman yang cukup? b. Apakah anggota tim memiliki kualifikasi yang sesuai dengan standar perusahaan? c. Apakah pelatihan kerjasama tim (team resource

management) disediakan dan dilaksanakan oleh anggota tim? d. Apakah masing-masing anggota tim memiliki pengetahuan yang baik dan mengerti prosedur? 5. Komunikasi a. Bagaimana tingkat komunikasi dan koordinasi diantara masing-masing anggota tim? b. Apakah ada kesempatan untuk membicarakan setiap terjadinya konflik dan pertentangan? c. Apakah terdapat gangguan pada pemahaman setiap anggota yang sudah mengetahui terhadap jawaban suatu masalah?

112

d. Apakah ada pemahaman yang baik antara kontroler dan pilot dalam berkomunikasi? K. Kebijakan dan Lingkungan Kerja Operator Pemeliharaan 1. Bagaimanakah sistem pelatihan yang diterapkan untuk

meningkatkan kemampuan teknisi? Tingkat kualifikasi instruktur pelatih? Bagaimana pendapat anda mengenai proses pelatihan yang terdahulu dan sekarang? Apakah ada peningkatan kemampuan?

2. Kondisi Lingkungan dan Faktor Manusia Bagaimanakah hubungan antara teknisi dengan supervisor? Dengan pihak managemen? Dengan pihak perusahaan? Dengan pihak serikat pekerja? Bagaimana pendapat anda mengenai kejelasan prosedur pada manual dan instruksi perintah (dengan mulut)? Apakah efektif? 3. Bagaimanakah anda mengetahui proses pemeliharaan mana yang belum selesai pada saat pergantian giliran pekerja? Jika terdapat sistem yang mengatur proses tersebut, apakah sistem pergantian itu dijalankan dengan baik? 4. Apakah program inspeksi terhadap bagian baik yang rusak ataupun bagian yang dirawat berjalan dengan baik? L. Informasi Kru Penerbangan (Flight Crew) 1. Bagaimanakah pelatihan yang diterapkan dan diterima oleh kru? Apakah CRM sudah diberikan pelatihannya dan sudah diterapkan? 2. Apakah setiap terbang, kru selalu melaksanakan prosedur pengoperasian? 3. Sebutkan makanan yang anda makan 24 jam sebelumnya? Apakah terdapat makanan yang dapat membuat anda sakit sehingga kinerja anda terganggu? 4. Sebutkan aktivitas yang anda lakukan ketika tidak bertugas pada 24 jam sebelumnya? 5. Apakah anda pernah mengalami luka (berat atau ringan)? Jelaskan proses didapatnya luka tersebut?

113

6. Jelaskan mengenai pelatihan ketika menghadapi situasi emergensi (darurat) dan bagaimana bertindak untuk mengatasi keadaan krisis tersebut? 7. Bagaimanakah pelatihan yang diterapkan dan diterima oleh kru? Apakah CRM sudah diberikan pelatihannya dan sudah diterapkan? M. Informasi Kelelahan Operator Jika pertanyaan dibawah ini memberikan jawaban yang benar, maka proses wawancara dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Pertanyaan yang berhubungan dengan kelelahan operator adalah: 1. Apakah riwayat operator selama 72 jam sebelum terjadi kecelakaan mengindikasikan istirahat atau tidur yang sedikit atau durasi istirahat yang lebih pendek dari biasanya? 2. Apakah kecelakaan terjadi pada saat tingkat kewaspadaan berkurang (misalkan diantara jam 03.00 sampai 05.00)? 3. Pada saat terjadinya kecelakaan, apakah operator sudah terjaga untuk waktu yang lama (operator belum istirahat sedikit pun)? 4. Apakah bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa

kecelakaan disebabkan oleh kelambanan atau kurangnya perhatian operator? Tahapan selanjutnya dapat dilihat pada wawancara kelelahan operator sub bab 4.3.5 di atas. Format Formulir Daftar Pertanyaan Saksi Mata dapat dilihat pada Lampiran PANDUAN PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELIDIKAN HUMAN FACTORS PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA SIPIL DI INDONESIA. 5.6 Perancangan Formulir Checklist Faktor Manusia Checklist atau daftar periksa yang akan dirancang memuat pertanyaanpertanyaan yang telah dirancang sebelumnya (Daftar Pertanyaan Penyelidikan Faktor Manusia). Dengan menggunakan wawancara terhadap saksi mata (penumpang, pilot, kopilot, kru kabin, kru yang bertugas pada menara pengawas,

114

teknisi, dan lainnya) yang berisikan formulir pernyataan dan pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan faktor manusia, penyelidik mendapatkan informasi-informasi yang berkenaan dengan penyebab terjadinya kecelakaan. Tujuan dari perancangan checklist faktor manusia antara lain: 1. Memudahkan proses pengambilan data dan analisis. 2. Memudahkan proses pengklasifikasian jawaban yang telah diperoleh melalui wawancara terhadap saksi mata oleh penyelidik kedalam checklist untuk melihat pola pada kecelakaan paling banyak pada tingkatan keberapa HFACS sehingga penyelidik bisa berkonsentrasi dan fokus menyelidiki tingkatan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang ada pada Daftar Pertanyaan Penyelidikan Faktor Manusia dimodifikasi dan disesuikan sehingga dapat dikelompokkan sesuai dengan tingkatan-tingkatan pada HFACS. Satu pertanyaan dapat masuk kedalam beberapa tingkatan pada HFACS sesuai dengan jawaban yang diberikan oleh saksi mata dan ketelitian serta keakuratan penyelidik faktor manusia. 5.6.1 Pertanyaan-Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan HFACS Pertanyaan-pertanyaan yang sudah dirancang dan dibuat pada halaman sebelumnya yang berhubungan dan diklasifikasikan dengan tingkatan-tingkatan dan sub tingkatan pada metode HFACS. Pertanyaan ini dapat mengindikasikan tidak hanya satu pertanyaan berhubungan dengan 1 sub tingkatan tetapi satu pertanyaan dapat berhubungan dengan beberapa sub tingkatan dikarenakan jawaban tersebut kemungkinan memberikan informasi yang dapat diklasifikasikan tidak hanya pada satu sub tingkatan tetapi pada beberapa sub tingkatan. Pertanyaan ini mengacu pada pertanyaan umum NTSB dan pertanyaan yang dirancang oleh peneliti yang mungkin sesuai faktor manusia serta pertanyaan dapat dikembangkan oleh penyelidik sesuai dengan kemampuaan dan

pengalamannya. Pertanyaan ini juga dirancang untuk membantu penyelidik junior sebagai bahan pembelajaran sebelum turun ke lapangan untuk proses penyelidikan. Daftar pertanyaan yang berkaitan dengan Human Factors Analysis and Classification System dapat dilihat pada 3 tabel dibawah ini, yaitu:

115

HFACS

Unsafe Acts Errors Violations Environmental Factors

Preconditions for Unsafe Acts Conditions of Operators Personal Factors

Unsafe Supervision

Organizational Influences

Physical Adverse Adverse Physical/ Crew Planned Failed to Decision Skill-Based Perceptual Environ Technological Mental Physicological Mental Resource Personal Inadequate Inappropriate Correct Supervisory Resource Organizational Organizational Errors Errors Environement States States Limitations Management Readiness Supervision Operations Problem Violations Management Climate Process Pertanyaan Errors Routine Exceptional ment

A-3 A-4 A-5 A-6 B-1 C-1-a C-1-b C-1-c D-1 D-3 D-4 D-5 D-6 D-7 D-8 D-9 E-1 E-2 F-1 F-2 F-3 G-1 G-2 G-3 G-4 G-5

Tabel 5.1 Tabel Pertanyaan-Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan HFACS Bagian 1

116

HFACS

Unsafe Acts Errors Violations Environmental Factors

Preconditions for Unsafe Acts Conditions of Operators Personal Factors

Unsafe Supervision

Organizational Influences

Physical Adverse Adverse Physical/ Crew Planned Failed to Decision Skill-Based Perceptual Environm Technological Mental Physicological Mental Resource Personal Inadequate Inappropriate Correct Supervisory Resource Organizational Organizational Errors Errors Environement States States Limitations Management Readiness Supervision Operations Problem Violations Management Climate Process Pertanyaan Errors Routine Exceptional ent

H-3 H-4 H-6 H-7 H-8 H-9 H-10 H-11 H-12 I-10 I-11 I-12 I-13 I-14 I-15 I-16 I-17 I-18 I-19 I-20 I-21 I-22 J-1-a J-1-b J-1-c J-1-d J-1-e J-1-f J-1-g J-1-h J-1-i

Tabel 5.2 Tabel Pertanyaan-Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan HFACS Bagian 2

117

HFACS

Unsafe Acts Errors Violations Environmental Factors

Preconditions for Unsafe Acts Conditions of Operators Personal Factors

Unsafe Supervision

Organizational Influences

Adverse Adverse Physical/ Crew Planned Failed to Decision Skill-Based Perceptual Physical Technological Mental Physicological Mental Resource Personal Inadequate Inappropriate Correct Supervisory Resource Organizational Organizational Errors Errors Limitations Management Readiness Supervision Operations Problem Violations Management Climate Process Pertanyaan Errors Routine Exceptional Environment Environement States States

J-2-a J-2-b J-2-c J-2-d J-2-e J-2-f J-2-g J-2-J J-2-k J-2-l J-5-b J-5-c J-5-d K-1 K-2 K-3 K-4 L-1 L-2 L-3 L-4 L-5 L-6

Tabel 5.3 Tabel Pertanyaan-Pertanyaan Yang Berhubungan Dengan HFACS Bagian 2

118

CHECKLIST HUMAN FACTORS Errors (Kesalahan) Decision Errors (Kesalahan dalam Pengambilan Keputusan) Menerima teguran/peringatan untuk performansi kerja Menerima penghargaan untuk performansi kerja Suasana hati/mood kru yang buruk sebelum, pada saat, dan setelah terjadi kecelakaan Ketidaktahuan pilot akan rute dan bandara tempat terjadinya kecelakaan Tenggat waktu penyelesaian pekerjaan yang terlalu sedikit Ukuran atau jumlah anggota yang tidak sesuai untuk menyelesaikan pekerjaan Skill-Based Errors (Kesalahan Diakibatkan oleh Kemampuan Dasar) Istirahat dan tidur yang tidak memadai Menerima teguran/peringatan untuk performansi kerja Menerima penghargaan untuk performansi kerja Kondisi penglihatan yang buruk Kemampuan pilot yang buruk dan tidak sesuai dengan standar pengoperasian Beban kerja dan tugas yang diberikan melebihi kapasitas Kemampuan dan pengalaman dibawah standar yang diinginkan perusahaan Kualifikasi dalam pengoperasian dibawah standar Tingkat pengetahuan dan prosedur pengoperasian dibawah standar pengoperasian Tidak ada pelatihan yang baik untuk meningkatkan kemampuan individu

119

Prosedur tidak dilaksanakan oleh kru sebelum dan sesudah terbang Tidak ada pelatihan bagaimana menghadapi situasi darurat Perceptual Errors (Kesalahan pada Persepsi) Istirahat dan tidur yang tidak memadai Menerima teguran/peringatan untuk performansi kerja Menerima penghargaan untuk performansi kerja Kondisi penglihatan dibawah kondisi normal Mengalami masalah dengan instrumen dan peralatan yang menggunakan penglihatan dalam mengaksesnya Beban kerja dan tugas yang diberikan melebihi kapasitas normal tubuh Violations (Pelanggaran) Routine (Pelanggaran Bersifat Rutin) Penggunaan jadwal kerja yang menyimpang (tidak biasanya) Menerima teguran/peringatan untuk performansi kerja Menerima penghargaan untuk performansi kerja Ketidaktahuan pilot akan rute dan bandara tempat terjadinya kecelakaan Tenggat waktu penyelesaian pekerjaan yang terlalu sedikit Komunikasi dan koordinasi yang buruk diantara masing-masing anggota pada tim Tidak ada pelatihan bagaimana menghadapi situasi darurat Exceptional (Pelanggaran Bersifat Tidak Biasa) Menerima teguran/peringatan untuk performansi kerja Menerima penghargaan untuk performansi kerja Buruknya interaksi antara pilot dengan penumpang dan antara pilot dengan pramugari

120

Tidak memiliki kemampuan yang memadai dan pengalaman yang cukup Tidak memiliki kualifikasi yang cukup dalam pengoperasian Tidak memiliki pengetahuan yang baik dan mengerti prosedur Tidak ada pelatihan bagaimana menghadapi situasi darurat Komunikasi dan koordinasi diantara masing-masing anggota pada tim yang tidak harmonis Environmental Factors (Faktor Lingkungan) Physical Environment (Lingkungan Fisik) Permasalahan dengan faktor kebisingan, getaran, temperatur pada pesawat dan lingkungan kerja. Technological Environment (Lingkungan Teknologi) Terdapat permasalahan dengan instrumen dan peralatan yang menggunakan penglihatan dalam mengaksesnya Adanya kesalahan pada pengoperasian peralatan dan ketidaktahuan penggunaan teknologi pada pesawat Conditions of Operator (Kondisi dari Operator) Adverse Mental States (Tingkat Keadaan Mental) Perubahan pada finansial (keuangan) operator Perubahan pada kehidupan pribadi (perpisahan, perceraian, kelahiran, meninggal, perubahan pada kesehatan keluarga, teman) Suasana hati/mood kru yang buruk sebelum, pada saat, dan setelah terjadi kecelakaan Pilot mengalami insiden yang mempengaruhi keadaan mental Kru penerbangan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka baik ringan maupun berat

Adverse Physicological States (Tingkat Keadaan Fisik)


121

Istirahat dan tidur yang tidak cukup Liburan yang diberikan tidak mencukupi kru untuk beristirahat Tidak ada penggunaan waktu makan dan istirahat secara efektif Kondisi kesehatan yang semakin memburuk Kondisi penglihatan yang buruk Kondisi pendengaran yang buruk Penggunaan obat tidak sesuai dengan instruksi dokter (berlebihan) Minum minuman beralkohol Merokok secara berlebihan Memakai obat-obatan terlarang baik pada saat bertugas maupun tidak bertugas Penggunaan obat-obatan baik dengan resep maupun tidak yang mempengaruhi performansi kinerja Beban kerja yang dikerjakan oleh operator melebihi kapasitas tubuh Pengaruh cuaca terhadap beban kerja Pengkonsumsian makanan yang mempengaruhi kinerja Akitivitas yang dilakukan ketika tidak bekerja mempengaruhi performansi kinerja Kru penerbangan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka baik ringan maupun berat Physical/Mental Limitations (Keterbatasan Fisik atau Mental) Kondisi penglihatan dibawah kondisi normal Kondisi pendengaran dibawah kondisi normal Kru penerbangan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka baik ringan maupun berat

Personnel Factors (Faktor Personal)

122

Crew Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia) Suasana hati/mood kru yang buruk sebelum, pada saat, dan setelah terjadi kecelakaan Tingkat kebersamaan kru yang tidak harmonis pada saat mengoperasikan pesawat udara Hubungan dan interaksi sosial yang buruk diantara kru Buruknya interaksi antara pilot dengan penumpang dan antara pilot dengan pramugari Tingkat pendidikan pilot dibawah standar pengoperasian pesawat Keluhan dan komplen individu terhadap pilot Pilot mengalami insiden darurat yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan Pilot tidak mendapat pelatihan mengenai crew resource management (CRM) dan cockpit resource management Keterlibatan tim dalam suatu kecelakaan Ketidakharmonisan pada tindakan, cara berfikir, perilaku tim seperti tim sesungguhnya Tim menyalahkan salah satu anggotanya sebagai penyebab terjadinya kecelakaan Tingkat keseimbangan antara resiko, keselamatan, dan kepuasan pekerjaan yang tidak seimbang Adanya kondisi dan keadaan yang dapat merusak keseimbangan dan kerja sama tim Tidak ada pendefinisian dan penetapan tugas, peran, dan tanggung jawab masing-masing anggota pada tim Tidak ada kesadaran pada perannya masing-masing Tidak ada individu yang berperan sebagai ketua atau pimpinan suatu tim

123

Terdapat individu yang memiliki pekerjaan dengan beban melebihi beban kerja anggota lainnya pada suatu tim Terdapat pertentangan antara anggota tim Ketua tim tidak pernah bertanya kepada anggota sebagai masukan Tidak ada kesempatan mengajukan keberatan oleh anggota tim Rendahnya tingkat komunikasi dan koordinasi antara masing-masing anggota tim Tidak ada kesempatan untuk berbicara dan berdiskusi jika terjadi konflik dan pertentangan Adanya pemahaman yang berbeda terhadap suatu permasalahan yang telah diketahui jawabannya pada masing-masing anggota tim Ketidakcocokan pada pemahaman antara ATC dan pilot Hubungan yang tidak harmonis antara teknisi dan supervisor Hubungan yang tidak harmonis antara teknisi dan pihak manajemen Hubungan yang tidak harmonis antara teknisi dan pemilik perusahaan Hubungan yang tidak harmonis antara teknisi dan serikat pekerja Tidak ada kejelasan prosedur manual dan dan instruksi perintah secara oral Tidak ada pelatihan CRM yang diberikan kepada individu atau kru Personnel Readiness (Tingkat Kesiapan Personal) Istirahat dan tidur yang tidak memadai Liburan yang tidak memadai (tidak cukup) Tidak ada penggunaan waktu makan dan istirahat secara efektif Kondisi kesehatan yang semakin memburuk Perubahan pada finansial (keuangan) operator Penggunaan obat tidak sesuai dengan instruksi dokter (berlebihan) Minum minuman beralkohol

124

Merokok secara berlebihan Penggunaan obat-obatan terlarang Penggunaan obat-obatan baik dengan resep maupun tidak yang mempengaruhi performansi kinerja Hubungan dan interaksi sosial yang buruk diantara kru Tingkat pendidikan pilot dibawah standar pengoperasian pesawat Tidak memiliki kemampuan yang memadai dan pengalaman yang cukup Tidak memiliki kualifikasi yang cukup dalam pengoperasian Tidak ada pelatihan yang baik untuk meningkatkan kemampuan individu Pengkonsumsian makanan yang mempengaruhi kinerja Akitivitas yang dilakukan ketika tidak bekerja mempengaruhi performansi kinerja Kru penerbangan mengalami kecelakaan yang mengakibatkan luka baik ringan maupun berat

Unsafe Supervision (Pengawasan yang Tidak Aman) Inadequate Supervision (Pengawasan yang Tidak Memadai) Buruknya interaksi antara pilot dengan penumpang dan antara pilot dengan pramugari Kemampuan pilot yang buruk dan tidak sesuai dengan standar pengoperasian Keluhan dan komplen individu terhadap pilot Pilot tidak mendapat pelatihan mengenai crew resource management (CRM) dan cockpit resource management

125

Pilot kepala, Wakil kepala teknisi pemeliharaan, Chief executive officer (CEO) melakukan pelanggaran ketika menjabat sebagai manajer Tidak tersedianya informasi yang dibutuhkan Terdapat individu yang memiliki pekerjaan dengan beban melebihi beban kerja anggota lainnya pada suatu tim Kemampuan dan pengalaman dibawah standar yang diinginkan perusahaan Kualifikasi dalam pengoperasian dibawah standar Tidak ada pelatihan yang baik untuk meningkatkan kemampuan individu Tidak terdapat program inspeksi dan perawatan yang benar Prosedur tidak dilaksanakan oleh kru sebelum dan sesudah terbang Tidak ada pelatihan bagaimana menghadapi situasi darurat Planned Inappropriate Operations (Proses Pengoperasian yang Tidak Terencana dengan Baik) Ketidaktahuan pilot akan rute dan bandara tempat terjadinya kecelakaan Beban kerja dan tugas melebihi kapasitas Terdapat individu yang memiliki pekerjaan dengan beban melebihi beban kerja anggota lainnya pada suatu tim Tidak ada sistem yang sistematis mengatur proses pergantian pekerja pada perawatan Tidak terdapat program inspeksi dan perawatan yang benar Failed to Correct Problem (Gagal Menyelesaikan Permasalahan yang Diketahui) Keluhan dan komplen individu terhadap pilot Penggunaan obat-obatan terlarang

126

Adanya kesalahan pada pengoperasian peralatan dan ketidaktahuan penggunaan teknologi pada pesawat Supervisory Violation (Pelanggaran pada Pengawasan) Hubungan dan interaksi sosial yang tidak harmonis diantara kru Pilot kepala, Wakil kepala teknisi pemeliharaan, Chief executive officer (CEO) melakukan pelanggaran ketika menjabat sebagai manajer Terdapat pertentangan antara anggota tim Organizational Influences (Pengaruh Organisasi) Resource Management (Manajemen Sumber Daya) Perubahan pada finansial (keuangan) operator Permasalahan dengan faktor kebisingan, getaran, temperatur pada pesawat dan lingkungan kerja Adanya kesalahan pada pengoperasian peralatan dan ketidaktahuan penggunaan teknologi pada pesawat Tingkat Suasana hati kru yang berbeda sebelum, pada saat, dan setelah terjadi kecelakaan Tingkat kebersamaan kru yang rendah pada saat terbang Hubungan dan interaksi sosial yang buruk diantara kru Interaksi antara pilot dengan penumpang dan antara pilot dengan pramugari yang tidak baik Tingkat pendidikan pilot dibawah standar pengoperasian pesawat Kemampuan pilot yang buruk dan tidak sesuai dengan standar pengoperasian Pilot melakukan komplen terhadap peralatan yang digunakan pada pengoperasian pesawat Adanya ekspansi dan reduksi pada pengoperasian perusahaan yang mempengaruhi perfomansi

127

Tidak ada kompensasi pelaksanaan lembur dari perusahaan Proses seleksi yang tidak baik dilakukan pada proses penerimaan karyawan Tidak terdapat data base proses keselamatan dan employ risk assessment Perusahaan tidak melakukan pelatihan CRM Keterlibatan tim dalam suatu kecelakaan Ketidakselarasan pada tindakan, cara berfikir, dan perilaku tim yang bekerja seperti tim sesungguhnya Tim menyalahkan salah satu anggotanya sebagai penyebab terjadinya kecelakaan Tingkat keseimbangan antara resiko, keselamatan, dan kepuasan pekerjaan yang tidak seimbang Terdapat hal-hal yang dapat merusak keseimbangan dan kerja sama tim Beban kerja dan tugas melebihi kapasitas Tidak memiliki kemampuan yang memadai dan pengalaman yang cukup Tidak memiliki kualifikasi yang cukup dalam pengoperasian Tidak ada pelatihan yang baik untuk meningkatkan kemampuan individu Tidak ada pelatihan CRM yang diberikan kepada individu atau kru Tidak ada pelatihan bagaimana menghadapi situasi darurat Organizational Climate (Iklim dan Budaya Organisasi) Menerima teguran/peringatan untuk performansi kerja Menerima penghargaan untuk performansi kerja Perubahan pada finansial (keuangan) operator Penggunaan obat tidak sesuai dengan instruksi dokter (berlebihan)
128

Minum minuman beralkohol Penggunaan obat-obatan terlarang Penggunaan obat-obatan baik dengan resep maupun tidak yang mempengaruhi performansi kinerja Tingkat kebersamaan kru yang rendah pada saat terbang Hubungan dan interaksi sosial yang buruk diantara kru Keluhan dan komplen individu terhadap pilot Pilot tidak mendapat pelatihan mengenai crew resource management (CRM) dan cockpit resource management Proses seleksi yang tidak baik dilakukan pada proses penerimaan karyawan Tidak ada penanggapan secara serius terhadap keluhan karyawan dan manajer oleh perusahaan Hubungan buruk antara pihak manajemen dan pekerja Tidak ada perlindungan terhadap karyawan oleh perusahaan mengenai kebangkrutan Tidak terdapat kebijakan, prosedur yang baik terhadap penanganan kecelakaan Sistem pemberian penghargaan yang buruk oleh perusahaan kepada karyawan Hubungan buruk antara karyawan dan CEO perusahaan Buruknya kinerja bagian keamanan dan keselamatan perusahaan (SHE) Tidak ada laporan yang memuat penyelidikan jika terjadinya kecelakaan atau insiden Tidak ada sistem pada perusahaan yang memberikan informasi yang berhubungan dengan keselamatan di dunia industri

129

Tidak terdapat data base proses keselamatan dan employ risk assessment Keterlibatan tim dalam suatu kecelakaan Ketidakharmonisan pada tindakan, cara berfikir, perilaku tim seperti tim sesungguhnya Tim menyalahkan salah satu anggotanya sebagai penyebab terjadinya kecelakaan Tidak ada keseimbangan antara resiko, keselamatan dan kepuasan kerja Terdapat hal-hal yang dapat merusak keseimbangan dan kerja sama tim Tidak ada individu yang berperan sebagai ketua atau pimpinan suatu tim Terdapat pertentangan antara anggota tim Ketua tim tidak pernah bertanya kepada anggota sebagai masukan Tidak ada kesempatan mengajukan keberatan oleh anggota tim Rendahnya tingkat komunikasi dan koordinasi antara masing-masing anggota tim Tidak ada kesempatan untuk berbicara dan berdiskusi jika terjadi konflik dan pertentangan Adanya gangguan pemahaman terhadap suatu permasalahan yang telah diketahui jawabannya pada masing-masing anggota tim Tidak terdapat pemahaman yang baik antara ATC dan pilot Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan supervisor Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan pihak manajemen Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan pemilik perusahaan Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan serikat pekerja Organizational Process (Proses Operational pada Organisasi)

130

Liburan yang tidak memadai (tidak cukup) Penggunaan jadwal kerja yang menyimpang (tidak biasanya) Menerima teguran/peringatan untuk performansi kerja Menerima penghargaan untuk performansi kerja Beban kerja dan tugas melebihi kapasitas Permasalahan dengan faktor kebisingan, getaran, temperatur pada pesawat dan lingkungan kerja Adanya kesalahan pada pengoperasian peralatan dan ketidaktahuan penggunaan teknologi pada pesawat Tingkat kebersamaan kru yang rendah pada saat terbang Tingkat pendidikan pilot dibawah standar pengoperasian pesawat Ketidaktahuan pilot akan rute dan bandara tempat terjadinya kecelakaan Tenggat waktu penyelesaian pekerjaan yang terlalu sedikit Pilot melakukan komplen terhadap peralatan yang digunakan pada pengoperasian pesawat Pilot mengalami insiden darurat yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan Pilot tidak mendapat pelatihan mengenai crew resource management (CRM) dan cockpit resource management Tidak ada kompensasi pelaksanaan lembur dari perusahaan Tidak ada penanggapan secara serius terhadap keluhan karyawan dan manajer oleh perusahaan Tidak terdapat kebijakan, prosedur yang baik terhadap penanganan kecelakaan Buruknya kinerja bagian keamanan dan keselamatan perusahaan (SHE) Tidak ada sistem informasi keselamatan

131

Tidak ada sistem untuk pekerja yang terkait dengan isu keselamatan tanpa adanya rasa takut untuk mengemukakan pendapat Tidak ada laporan yang memuat penyelidikan jika terjadinya kecelakaan atau insiden Perusahaan tidak ikut dalam pertemuan yang membahas masalah keselamatan Tidak terdapat suatu sistem yang dapat menguji dan menentukan baik atau buruknya pengoperasian dan proses perawatan Tidak terdapat data base proses keselamatan dan employ risk assessment Tidak ada pendefinisian dan penetapan tugas, peran, dan tanggung jawab masing-masing anggota pada tim Tidak ada kesadaran pada perannya masing-masing Tidak ada sistem pada perusahaan yang memberikan informasi yang berhubungan dengan keselamatan di dunia industri Beban kerja dan tugas yang diberikan melebihi kapasitas Terdapat individu yang memiliki pekerjaan dengan beban melebihi beban kerja anggota lainnya pada suatu tim Tidak memiliki pengetahuan yang baik dan mengerti prosedur Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan supervisor Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan pihak manajemen Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan pemilik perusahaan Terdapat hubungan yang buruk antara teknisi dan serikat pekerja Tidak ada sistem yang sistematis mengatur proses pergantian pekerja pada perawatan Tidak terdapat program inspeksi dan perawatan yang benar Prosedur tidak dilaksanakan oleh kru sebelum dan sesudah terbang 5.7 Perancangan Pengkodean HFACS

132

Setiap penyelidik faktor manusia harus mengumpulkan bukti-bukti yang berhubungan dengan faktor manusia yang menyebabkan terjadinya kecelakaan penerbangan. Salah satu caranya adalah penyelidik harus mendokumentasikan pihak-pihak mana yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Setelah informasi dikumpulkan, penyelidik harus menggali penyebab lebih dalam lagi untuk mengetahui kemungkinan penyebab-penyebab lain yang mempengaruhi kesalahan aktif (kesalahan operator). Langkah selanjutnya adalah penyelidik mengevaluasi kejadian-kejadian tertentu yang mungkin menyebabkan tindakan tidak aman terjadi. Metode untuk membantu mengevaluasi kejadian ini adalah dengan meninjau kembali setiap tingkatan dan sub tingkatan pada HFACS dan memasukkan atau mengeliminasi kejadian-kejadian yang menyebabkan terjadinya tindakan tidak aman. Setelah langkah ini selesai dikerjakan, penyelidik menggali lebih dalam pada tingkatan pengawasan dan organisasi yang mungkin menyebabkan kejadian-kejadian tertentu yang akan mengakibatkan tindakan yang tidak aman terjadi. Perlu adanya perancangan suatu kode yang digunakan oleh penyelidik dengan tujuan sebagai berikut: 1. Perancangan kode ditujukan untuk mempersingkat penulisan tingkatan dan sub tingkatan HFACS pada saat mengevaluasi penyebab kecelakaan. 2. Pengkodean ini akan membantu penyelidik memberikan gambaran mengenai kejadian-kejadian yang berhubungan dengan faktor manusia yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan. 3. Perancangan kode disertakan dengan penjelasan dan maksud dari kejadian-kejadian dan tindakan pada tingkatan dan sub tingkatan HFACS. 4. Perancangan pengkodean HFACS juga memberikan pemahaman kepada penyelidik mengenai tingkatan, sub tingkatan dan contoh tindakan yang tidak aman sehingga tidak adaya pemahaman yang bermakna ganda terhadap tindakan tersebut oleh penyelidik yang berbeda (adanya standarisasi makna pada tindakan yang tidak aman). Pada perancangan ini hanya akan dipaparkan mengenai tingkatan, sub tingkatan beserta contoh tindakan pada masing-masing sub tingkatan.

133

Penjelasan terhadap tindakan tersebut dapat dilihat pada lampiran PANDUAN PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELIDIKAN FAKTOR MANUSIA PADA KECELAKAAN PESAWAT UDARA SIPIL DI INDONESIA.

PENGKODEAN HFACS

Unsafe Acts (Tindakan yang Tidak Aman) (UA) Errors (Kesalahan) (UAE) Decision Errors (Kesalahan dalam Pengambilan Keputusan) (UAE1xx) UAE101 Risk Assessment During Operation (Kesalahan

Pengevaluasian/Penilaian Resiko Selama Proses Pengoperasian) UAE102 Task Misprioritization (Kesalahan Memprioritaskan Tugas) UAE103 Necessary Action Rushed (Kesalahan dalam Bertindak Tergesa-gesa) UAE104 Necessary Action Delayed (Kesalahan dalam Bertindak - Terlambat) UAE105 Caution/Warning Ignored (Kesalahan dalam

Mengabaikan Peringatan/Kewaspadaan) UAE106 Decision Making During Operation (Kesalahan Pengambilan Keputusan Selama Proses Pengoperasian) Skill-Based Errors (Kesalahan yang Diakibatkan oleh Kemampuan Dasar) (UAE2xx) UAE201 Inadvertent Operation (Kesalahan Akibat

Ketidaksengajaan pada Proses Pengoperasian) UAE202 Checklist Error (Kesalahan Menggunakan Daftar Periksa) UAE203 Procedural Error (Kesalahan pada Prosedur) UAE204 Pesawat)
134

Overcontrol/Undercontrol

(Kesalahan

Pengendalian

UAE205 Breakdown in Visual Scan (Kesalahan Akibat Kerusakan pada Alat Visual) UAE206 Poor Technique (Kesalahan Akibat Teknik yang Buruk)

Perceptual Errors (Kesalahan yang Diakibatkan oleh Persepsi) (UAE3xx) UAE301 Error due to Misperception (Kesalahan Akibat Adanya Kesalahpahaman) UAE302 Visual Illusion (Kesalahan Akibat Ilusi

Penglihatan/Visual) UAE303 Vestibular Illusion (Kesalahan Akibat Ilusi

Keseimbangan) UAE304 Misread Instrument (Kesalahan pada Pembacaan Peralatan) UAE305 Expectancy (Kesalahan Akibat Pengharapan/Harapan) UAE306 Auditory Cues (Kesalahan Akibat Isyarat Pendengaran) UAE307 Sementara) UAE308 Spatial Disorientation 1 Unrecognized (Disorientasi Spasial Tipe 1 Yang Tidak Dikenali) UAE309 Spatial Disorientation 2 Unrecognized (Disorientasi Spasial Tipe 2 Yang Tidak Dikenali) UAE310 Spatial Disorientation 3 Incapacitating (Disorientasi Spasial Tipe 3) UAE311 Misperception of Operational Conditions (Kesalahan Akibat Kesalahpahaman pada Kondisi Operasional) Violations (Pelanggaran) (UAV) Routine Violations (Pelanggaran Rutin) (UAV1xx) UAV101 Routine/Widespread (Pelanggaran yang Bersifat Temporal Distortion (Kesalahan Akibat Distorsi

Rutin/Menyeluruh) UAV102 Based on Risk Assassment (Pelanggaran Berdasarkan Penilaian akan Resiko)

135

Exceptional Violations (Pelanggaran yang Bersifat Tidak Biasa) (UAV2xx) UAV201 Lack of Kedisiplinan) Discipline (Pelanggaran Akibat Kurangnya

Preconditions for Unsafe Acts (Kondisi Tertentu yang Menyebabkan Terjadinya Tindakan Tidak Aman) (P) Environmental Factors (Faktor Lingkungan) (PEF) Physical Environment (Lingkungan Fisik) (PEF1xx) PEF101 Vision Restricted by Icing/Windows Fogged/Etc

(Keterbatasan Pandangan Diakibatkan oleh Lapisan Es, Jendela Kokpit yang Berkabut, dan lainnya) PEF102 Vision Restricted by Meteorological Conditions

(Keterbatasan Pandangan Diakibatkan oleh Kondisi Meteorologi) PEF103 Vibration (Getaran) PEF104 Vision Restricted in Workspace by Dust/Smoke/Etc (Keterbatasan Pandangan pada Ruang Kerja Diakibatkan oleh Debu, Asap, dan lainnya) PEF105 Windblast (Ledakan Udara/Angin) PEF106 Thermal Stress - Cold (Tekanan yang Diakibatkan oleh Temperatur Dingin) PEF107 Thermal Stress - Heat (Tekanan yang Diakibatkan oleh Temperatur Panas) PEF108 Maneuvering Forces In Flight (Gaya Manuver pada Saat Terbang) PEF109 Lighting of Other Aircraft/Vehicle (Pencahayaan oleh Pesawat dan Kendaraan Lainnya) PEF110 Noise Interferece (Gangguan Suara/Kebisingan) PEF111 Brownout/Whiteout (Keterbatasan Pandangan Diakibatkan oleh Debu, Pasir atau Salju) Technological Environment (Lingkungan Teknologi) (PEF2xx)

136

PEF201 Seating and Restraints (Susunan Tempat Duduk dan Pembatas) PEF202 Instrumentation and Sensory Feedback Systems (Sistem Umpan Balik Sensor dan Umpan Balik Instrumentasi/Peralatan) PEF203 Visibility Restrictions (Keterbatasan Tingkat Pandangan) PEF204 Controls and Switches (Kendali dan Switch/Tombol) PEF205 Automation (Otomasi) PEF206 Workspace Incompatible with Human (Stasiun/Ruangan Kerja yang Tidak Kompatibel dengan Manusia) PEF207 Personal Equipment Interference (Gangguan oleh Perlengkapan Pribadi) PEF208 Communications Equipment (Peralatan dan

Perlengkapan Komunikasi) Condition of Operators (Kondisi Operator) (PCO) Adverse Mental States (Tingkat Keadaan Mental ) (PCO1xx) PCO101 Inattention (Kurang/Tidak adanya Perhatian) PCO102 Channelized Attention (Perhatian yang Terfokus pada Satu Hal) PCO103 Cognitive Task Oversaturation (Tugas yang Dikerjakan Melebihi Kemampuan) PCO104 Confusion (Kebingungan/Kekeliruan) PCO105 Distraction (Kebingungan/Kekeliruan) PCO106 Pre-Existing Personality Disorder (Gangguan

Kepribadian) PCO107 Kejiwaan) PCO108 Pre-Existing Psychosocial Disorder (Gangguan Pre-Existing Psychological Disorder (Gangguan

Psikososial) PCO109 Emotional State (Keadaan Emosional/Tingkat Emosi) PCO110 Personality Style (Sifat atau Watak Kepribadian Individu) PCO111 Overconfidence (Terlalu Percaya Diri) PCO112 Pressing (Bekerja Melampaui Batas)

137

PCO113 Complacency (Kepuasan) PCO114 Inadequate Motivation (Kurang Motivasi) PCO115 Misplaced Motivation (Motivasi yang Tidak pada Tempatnya) PCO116 Overaggressive (Terlalu Agresif) PCO117 Evcessive Motivation to Succeed (Motivasi Berlebih untuk Sukses) PCO118 Get-Home-It is/Get-There-Itis (Keinginan untuk Cepat Pulang atau Sampai Ke Tujuan) PCO119 Mativational Exhaustion - Burnout (Hilang/Berkurangnya Motivasi Akibat Kelelahan)

Adverse Physiological States (Tingkat Keadaan Fisik ) (PCO2xx) PCO201 Effects of G Forces (Pengaruh Gaya Gravitasi) PCO202 Prescribed Drugs (Obat-Obatan Dengan Resep) PCO203 Operational Injury/illness (Luka Akibat

Operasi/Penyakit) PCO204 Sudden Incapacitation/Unconsciousness (Ketidaksadaran dan Kecacatan/Kelumpuhan) PCO205 Pre-Existing Physical Illness/Injury/Deficit

(Sakit/Luka/Kekurangan) PCO206 Physical Fatigue (Kelelahan Fisik) PCO207 Fatigue Physiological/Mental (Kelelahan Mental) PCO208 Circadian Rhythm Desynchrony (Ketidakselarasan pada Sistem Biologis Tubuh) PCO209 Motion Sickness (Kinetosis) PCO210 Trapped Gas Disorders (Gangguan yang Diakibatkan oleh Gas Yang Terperangkap) PCO211 Evolved Gas Disorders (Gangguan yang Diakibatkan oleh Gas Yang Berevolusi) PCO212 Hypoxia (Kekurangan Oksigen) PCO213 Hyperventilation (Bernafas Melebihi Keadaan Normal) PCO214 Visual Adaptation (Adaptasi Visual)

138

PCO215 Dehydration (Dehidrasi) PCO216 Physical Task Oversaturation (Tugas Fisik yang Berlebihan)

Physical/Mental Limitations (Keterbatasan Fisik dan Mental ) (PCO3xx) PCO301 Learning Ability/Rate (Tingkat Kemampuan

Pembelajaran) PCO302 Memory Ability/Lapses (Kemampuan Ingatan/Memori) PCO303 Anthropometric/Biomechanical Limitations (Keterbatasan pada Struktur dan Fungsi Sistem Biologis/Antropometri) PCO304 Motor Skill/Coordination or Timing Deficiency

(Kemampuan Pergerakan/Koordinasi atau Ketepatan Pemilihan Waktu) PCO305 Technical/Procedural Knowledge (Pengetahuan akan Prosedur dan Teknis) Personnel Factors (Faktor Personel) (PPF) Crew Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia ) (PPF1xx) PPF101 Crew/Team Leadership (Kepemimpinan) PPF102 Cross-Monitoring Performance (Mengawasi dan

Memantau Performansi Kinerja) PPF103 Task Delegation (Pengaturan Tugas) PPF104 Rank/Position Authority Gradient (Pangkat/Posisi pada Tim) PPF105 Assertiveness (Ketegasan) PPF106 Communicating Critical Information

(Mengkomunikasikan Informasi-Informasi Penting) PPF107 Standard/Proper Terminology (Istilah yang Tepat dan Standar) PPF108 Challenge and Reply (Tantangan dan Jawaban/Balasan) PPF109 Mission Planning (Merencanakan Suatu Misi) PPF110 Mission Briefing (Memberikan Penerangan Singkat Mengenai Tugas)
139

PPF111

Task/Mission-In-Progress

Re-Planning

(Perencanaan

Ulang Misi atau Tugas yang Sedang Dilakukan) PPF112 Miscommunication (Miskomunikasi) Personal Readiness (Kesiapan Diri dalam Melaksanakan Tugas ) (PPF2xx) PPF201 Physical Fitness (Kebugaran Fisik) PPF202 Alcohol (Alkohol/Minuman Keras) PPF203 Drugs, Supplements, Self Medication (Obat-Obatan, Suplemen, Pengobatan Sendiri) PPF204 Nutrition (Nutrisi/Makanan Bergizi) PPF205 Inadequate Rest (Istirahat atau Tidur yang Tidak Cukup) PPF206 Unreported Disqualifying Medical Condition (Kondisi Kesehatan Buruk yang Tidak Dilaporkan) Unsafe Supervision (Pengawasan yang Tidak Aman) (US) Inadequate Supervision (Pengawasan yang Tidak Memadai) (USIxxx) USI101 Leadership/Supervison/Oversight Inadequate (Kondisi

Kepemimpinan, Pengawasan yang Tidak Memadai) USI102 Supervision - Modelling (Pengawasan - Panutan) USI103 Local Training Issues/Programs (Isu-Isu Program Pelatihan) USI104 Supervision - Policy (Kebijakan pada Pengawasan) USI105 Supervision Personality Conflict (Pertentangan Antara Pengawas dan Invidividu) USI106 Supervision Lack of Feedback (Tidak adanya Proses Timbal Balik pada Pengawasan) Planned Inappropriate Operations (Pengoperasian yang Tidak Terencana Dengan Baik dan Benar) (USPxxx) USP101 Ordered/Led on Mission Beyond Capability (Penugasan Misi Melebihi Kemampuan/Terlalu Sulit ) USP102 Crew/Team/Flight Makeup/Composition (Komposisi atau

Susunan Kru/Tim/Pramugari) USP103 Limited Recent Experience (Keterbatasan Pengalaman Saat Ini)
140

USP104 Limited Total Experience (Keterbatasan Pengalaman Total) USP105 Proficiency (Keahlian/Kecakapan) USP106 Risk Assessment Formal (Penilaian Faktor Resiko Secara Formal) USP107 Authorized Unnecessary Hazard (Mengizinkan Pelaksanaan Misi yang Berbahaya Dilakukan)

Failed to Correct Known Problem (Gagal Menyelesaikan Permasalah yang Telah Diketahui) (USFxxx) USF101 Personal Management (Manajemen Personel) USF102 Operations Management (Manajemen Operasi)

Supervisory Violations (Pelanggaran dalam Hal Pengawasan) (USSxxx) USS101 Supervision Discipline Enforcement/Supervisory Act of Omission (Tidak Adanya Penegakan Disiplin) USS102 Supervision Defacto Policy (Kebijakan Tidak Tertulis) USS103 Directed Violation (Pelanggaran Langsung Dari Atas ke Bawahan) USS104 Currency (Hal yang Masih Berlaku)

Organizational Influences (Pengaruh Organisasi) (OI) Resource Management (Manajemen Sumber Daya) (OIRxxx) OIR101 Air Traffic Control Resources (Sumber Daya pada Menara Pengawas) OIR102 Airfield Resources (Sumber Daya Bandara) OIR103 Operator Support (Bantuan dan Dukungan Terhadap Operator) OIR104 Acquisition Policies/Design Process (Kebijakan Pengambil Alihan/Proses Desain) OIR105 Attrition Policies (Kebijakan Pengurangan) OIR106 Accession/Selection Policies (Kebijakan Pemilihan/Tambahan) OIR107 Personnel Resources (Sumber Daya Personel) OIR108 Information Resources/Support (Sumber Daya Informasi) OIR109 Financial Resources/Support (Sumber Daya Finansial/Keuangan)

141

Organizational Climate (Iklim dan Budaya Organisasi) (OICxxx) OIC101 Unit/Organizational Values/Culture (Unit/Nilai

Organisasi/Budaya) OIC102 Evaluation/Promotion/Upgrade (Proses

Evaluasi/Promosi/Upgrade) OIC103 Perceptions of Equipment (Pandangan akan Kondisi Peralatan) OIC104 Unit Mission/Aircraft/Vehicle/Equipment Change or Unit Deactivation (Penonaktifan Unit, Pesawat, Kendaraan atau

Perlengkapan dan Peralatan) OIC105 Organizational Structure (Struktur Organisasi)

Organizational Process (Proses Operational Operasi) (OIPxxx) OIP101 Ops Tempo/Workload (Tempo dan Ritme Operasi) OIP102 Program and Policy Risk Assessment (Program dan Kebijakan Penilaian Bahaya/Resiko) OIP103 Prosedur) OIP104 Organizational Training Issues/Program (Program dan Isu-Isu Pelatihan pada Organisasi) OIP105 Doctrine (Doktrin) OIP106 Program Oversight/Program Management (Program Procedural Guidance/Publications (Publikasi/Panduan

Manajemen dan Pengawasan) 5.8 Perancangan Format Penulisan Laporan Akhir Penyelidikan Faktor Manusia Laporan akhir merupakan seluruh hasil akhir dari penyelidikan kecelakaan penerbangan yang dibuat oleh penyelidik atau tim penyelidik penyelidikan faktor manusia dan dengan tujuan mengetahui, menganalisis penyebab dan memberikan rekomendasi mengenai keselamatan penerbangan agar kejadian yang serupa tidak terjadi dan meminimalisasi kecelakaan penerbangan.

142

Laporan akhir kecelakaan penerbangan berupa laporan keseluruhan mengenai kejadian dan kecelakaan yang isinya berupa: apa, bagaimana, dan mengapa kecelakaan tersebut dapat terjadi. Format laporan akhir penyelidikan faktor manusia dan yang diusulkan dapat dilihat pada gambar 4.4 dibawah ini:

Ringkasan dan Sinopsis Kecelakaan

Pendahuluan

Rincian Penyelidikan

Informasi dan Data Faktual

Analisis dan Temuan

Pengklasifikasian Penyebab dan Analisis Berdasarkan HFACS

Kesimpulan

Rekomendasi Keselamatan Penerbangan

Gambar 5.4 Format Penulisan Laporan Akhir Penyelidikan Faktor Manusia Susunan atau usulan format laporan akhir penyelidikan faktor manusia adalah sebagai berikut: a. Pendahuluan

143

Tahapan ini berisikan 2 bagian penting yaitu ringkasan dan sinopsis kecelakaan mengenai kondisi secara umum kecelakaan terjadi dan rincian penyelidikan mengenai proses penyelidikan yang dilakukan penyelidik faktor manusia dan kegiatan yang dilakukannya selama penyelidikan (seperti penyelidikan pelatihan CRM, hubungan antara pilot dan kru, pelaksanaan program keselamatan, dan lainnya).

b. Informasi dan data faktual Informasi terperinci sesuai dengan fakta, kondisi dan keadaan yang sedang berlangsung, serta menggambarkan penyelidikan. Memperoleh informasi ini dapat menggunakan wawancara, memeriksa kembali dokumen dan data yang sudah ada atau kecelakaan yang sama. Contoh: Laporan faktual penyelidik faktor manusia, antara lain: Informasi personel (kru yaitu pilot, kopilot, aktivitas sebelum terjadinya kecelakaan, pengamatan dan laporan mengenai istirahat dan tidur) Informasi medis, kesehatan, dan patologi. Informasi pelatihan Crew Resource Management. Informasi pelatihan manajemen kepemimpinan. Informasi program keselamatan (managemen dan organisasi keselamatan, komunikasi, metode pelaporan keselamatan dan keamanan, program tindakan/kegiatan keselamatan penerbangan, budaya keselamatan, dan lainnya). Prosedur dan pengamatan mengenai kokpit yang bersih atau steril. Kebijakan mengenai faktor kelelahan dan kebijakan cuti sakit Informasi lainnya yang berkaitan dengan faktor manusia hasil dari penyelidikan. c. Analisis dan temuan Analisis hendaknya disampaikan secara terperinci, logis, mudah dimengerti sebagai petunjuk dan pendukung informasi dan data temuan. d. Pengklasifikasian penyebab dan analisis berdasarkan HFACS

144

Menggunakan metode Human Factors Analysis and Classification System (HFACS) untuk mengklasifikasikan dan menganalisis data faktual dan penyebab yang ditemukan mulai dari kesalahan aktif yaitu tindakan tidak aman yang diakibatkan oleh operator sampai ke faktor kesalahan pasif yang mempengaruhi terjadinya kesalahan aktif yaitu kesalahan akibat tindakan yang dapat mengakibatkan situasi yang tidak aman, kesalahan akan pengawasan, dan kesalahan pada organisasi. e. Kesimpulan Merupakan penyebab yang telah diklasifikasikan dan dianalisis

menggunakan HFACS serta bahan acuan untuk menghasilkan suatu perbaikan. f. Rekomendasi Keselamatan Penerbangan Merupakan hasil dari investigasi yang merupakan hal-hal yang harus dilaksanakan sebagai tindakan perbaikan (continuous improvement) dan untuk menghindari terjadinya kecelakaan pesawat udara dengan penyebab yang sama dimasa yang akan datang.

145

BAB VI PENGUMPULAN DATA DAN PENGUJIAN PERANCANGAN JUKLAK

6.1 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dan digunakan sebagai pengujian pada penelitian adalah data faktual pada laporan final kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia baik hasil penyelidikan oleh KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) maupun hasil penyelidikan oleh ATSB (Australian Transportation Safety Board) berupa data faktual, analisis, temuan, penyebab dan rekomendasi. Sementara datadata yang mencakup data hasil penyelidikan oleh KNKT tidak dapat dikeluarkan kecuali atas perintah lembaga peradilan dikarenakan bertentangan dengan: a. Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. b. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. c. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. d. Keputusan Presiden No. 105 Tahun 1999 tentang Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Tanggal 1 September 1999. e. Keputusan Menteri Perhubungan No KM. 1 Tahun 2004 tentang Pemberitahuan dan Pelaporan Kecelakaan, Kejadian atau Keterlambatan Kedatangan Pesawat Udara dan Prosedur Investigasi Kecelakaan/Kejadian pada Pesawat Udara tanggal 13 Januari 2004; dengan Lampiran Civil Aviation Safety Regulation (C.A.S.R 800, 821, 830,831, 837, 845). Data hasil penyelidikan yang tidak diperbolehkan untuk diberikan kepada pihak lain, meliputi: a. Semua pernyataan hasil wawancara dalam proses investigasi kecelakaan pesawat udara sipil.

146

b. Semua komunikasi antara orang-orang yang terlibat dalam pengoperasian pesawat udara. c. Data medis dan data pribadi mengenai orang-orang yang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian serius. d. Rekaman dan transkrip Cockpit Voice Recorder (CVR). e. Pendapat yang diutarakan dalam analisis informasi, termasuk informasi alat perekam penerbangan 6.1.1 Evaluasi Kasus Kecelakaan Untuk membantu menguji hasil perancangan panduan petunjuk

pelaksanaan penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia maka diperlukan evaluasi terhadap contoh kasus kecelakaan. Berdasarkan 24 laporan final hasil penyelidikan kecelakaan pesawat udara komersil di Indonesia dipilih tiga kecelakaan terbesar dengan kriteria: Ukuran pesawat dengan penumpang antara 180 sampai 249 penumpang. Pesawat berada dalam keadaan hancur dan jumlah korban meninggal lebih dari 20 orang. Pemilihan ketiga kecelakaan pesawat udara yang pernah terjadi di Indonesia dengan alasan data faktual yang terdapat pada kejadian banyak dan mudah diperoleh serta didukung oleh hasil analisis KNKT yang telah dipublikasikan. Ketiga laporan kecelakaan pesawat udara adalah sebagai berikut: 1. Final Report PK-GZC Kecelakaan pesawat Boeing 737-497 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang terjadi pada tanggal 7 Maret 2007 dengan tujuan Yogyakarta dari Jakarta.

147

Data Kejadian Kecelakaan Maskapai Penerbangan: Garuda Indonesia

Kerugian

Jenis Pesawat: Boeing 737-497 Nomer Penerbangan: PK-GZC Rute Penerbangan: Jakarta-Yogyakarta Waktu Kecelakaan: 7 Maret 2007 Kecelakaan: Kecelakaan terjadi karena kesalahan pendaratan oleh pilot

Korban: 21 Meninggal, 12 luka berat, 100 luka ringan, dan 7 orang selamat Pesawat hancur karena impak dan kebakaran serta jalur penerbangan, pembatas lapangan, jalan dan Ketika mendarat di landasan pesawat keluar jalur sawah rusak dan menabrak pembatas Pesawat berada dalam kondisi hancur akibat impak terhadap tanah dan terbakar

Rangkaian Kejadian Pada saat lepas landas pilot menyadari lampu instrumen kokpit menyala dan memanggil kru pemeliharaan memperbaikinya

Tabel 5.1 Kecelakaan Pesawat PK-GZC 2. Final Report PK-RIM Kecelakaan pesawat Boeing B737-200 milik maskapai penerbangan PT. Mandala Airlines yang terjadi pada tanggal 5 September 2005 dengan tujuan Jakarta dari Medan.
Kerugian Rangkaian Kejadian Korban: 149 Meninggal, 41 luka berat, dan Pesawat dengan tujuan Jakarta dari Medan Maskapai Penerbangan: PT. Mandala Airlines 2 orang selamat mengalami masalah dengan proses lepas Pesawat tidak dapat mencapai kecepatan standar Jenis Pesawat: Boeing B737-200 Kondisi pesawat rusak berat dan terbakar pada lepas landas sehingga menabrak pembatas Terdapat banyak korban pada kecelakaan dan Nomer Penerbangan: PK-RIM kondisi pesawat rusak dan terbakar Rute Penerbangan: Medan-Jakarta Waktu Kecelakaan: 5 September 2005 Kecelakaan: Pesawat tidak dapat lepas landas karena kecepatan terlalu tinggi melebih batas normal kecepatan lepas landas Data Kejadian Kecelakaan

Tabel 5.2 Kecelakaan Pesawat PK-RIM

148

3. Final Report PK-KKW Kecelakaan pesawat Boeing 737-4Q8 milik maskapai penerbangan Adam SkyConnection Airlines yang terjadi pada tanggal 1 Januari 2007 dengan tujuan Surabaya Manado.
Data Kejadian Kecelakaan Maskapai Penerbangan: Adam SkyConnection Airlines Kerugian Rangkaian Kejadian

Korban: Semua penumpang dan awak Pilot menyadari adanya keanehan pada pesawat hilang berjumlah 102 orang pesawat yaitu pada sistem IRS Pilot mengidentifikasi bahwa sistem Inertial Reference System (IRS) mengalami kerusakan Pilot menekan tombol ketinggian, dan mematikan autopilot Kondisi cuaca yang buruk dan matinya indikator otomatis membuat pilot memutuskan untuk kembali menggunakan autopilot Autopilot tidak dapat dihidupkan kembali Pesawat tidak dapat dikendalikan dan meluncur ke laut dengan sudut tajam

Jenis Pesawat: Boeing 737-4Q8 Nomer Penerbangan: PK-KKW

Pesawat hancur

Rute Penerbangan: Surabaya-Manado Waktu Kecelakaan: 1 Januari 2007 Kecelakaan: Pesawat hilang dari radar, jatuh ke laut dalam dengan kecepatan tinggi dan sudt yang tajam

Tabel 5.3 Kecelakaan Pesawat PK-KKW Laporan final penyelidikan kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia dapat diakses dan di download pada halaman website KNKT

(http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_aviation/aaic.htm). 6.2 Pengujian Panduan Juklak Penyelidikan Faktor Manusia Setelah melakukan perancangan panduan juklak penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia maka dilakukan proses pengujian terhadap panduan juklak tersebut. Pengujian secara menyeluruh tidak dapat dilakukan dikarena data mentah (raw data) yang berasal dari penyelidikan kecelakaan pesawat udara yang bersumberkan dari wawancara terhadap saksi mata, penumpang, analisis rekaman penerbangan, checklist, data reruntuhan pesawat, dan lainnya tidak dapat dikeluarkan kepada publik karena bertentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia dan hanya boleh dikeluarkan atas perintah pengadilan Republik Indonesia. Pengujian dilakukan dengan membandingkan hasil pengklasifikasian dan analisis menggunakan HFACS dengan sumber data faktual tiga laporan final kecelakaan pesawat udara KNKT terhadap hasil temuan analisis dan penyebab

149

oleh KNKT pada laporan ketiga laporan final tersebut. Dari perbandingan itu dilihat hasil temuan penyebab versi mana yang lebih terstruktur dan lebih lengkap diantara keduanya. 6.2.1 Prosedur Pengujian Panduan Juklak Penyelidikan Faktor Manusia Partisipan Pengujian panduan juklak dilakukan oleh peneliti (Muhammad Ikhsan Jambak) dengan pengalaman sekitar lebih kurang selama setahun mendapat tugas memahami dan menggunakan metode HFACS seperti: memahami metode HFACS baik tingkatan maupun subtingkatan dan contoh-contoh tindakan pada sub tingkatan HFACS, mengklasifikasikan 24 kecelakaan pesawat udara sipil komersil di Indonesia dengan sumber 24 laporan final kecelakaan pesawat udara oleh KNKT. Pengujian kemudahpakaian dengan empat orang responden yang memiliki tingkat pengetahuan terhadap metode HFACS yang beragam yaitu responden dengan tingkat pengetahuan kategori pertama, responden dengan tingkat pengetahuan kategori kedua dan responden dengan tingkat pengetahuan kategori ketiga. Material (Data) Tiga laporan kecelakaan pesawat udara terbesar di Indonesia dipilih sebagai data yang akan dimasukkan pada proses pengujian. Ketiga laporan tersebut adalah: Laporan Final Kecelakaan Garuda PK-GZC, Laporan Final Kecelakaan Mandala PK-RIM, dan Laporan Kecelakaan Adam Air PK-KKW. Masing-masing laporan merupakan laporan final dengan jumlah diatas 80 halaman. Ketiga laporan dapat diakses pada situs web KNKT pada bagian arsip laporan kecelakaan (accident reports) KNKT yaitu:

http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_aviation/aaic.htm. Prosedur Peneliti membaca secara seksama data faktual temuan yang bersumberkan dari masing-masing laporan final kecelakaan pesawat udara. Data faktual kemudian diklasifikasikan dan dianalisis dengan menggunakan metode HFACS

150

sehingga penyebab-penyebab terjadinya kecelakaan dapat diketahui dan dikelompokkan pada masing-masing sub tingkatan HFACS. Nantinya diharapkan penyelidik mampu berfokus secara tepat memberikan rekomendasi pada bagian mana yang harus mendapatkan perbaikan. 6.2.2 Pengklasifikasian dan Analisis Laporan Kecelakaan Pesawat Udara

Sipil Menggunakan Metoda HFACS. 1. Laporan Final PK-GZC Data Kejadian a. Maskapai Penerbangan: Garuda Indonesia b. Jenis Pesawat: Boeing 737-497 c. Nomor Registrasi Penerbangan: PK-GZC d. Rute Penerbangan: Bandara Soekarno Hatta (Jakarta) Bandara Adi Sucipto (Yogyakarta) e. Waktu Kecelakaan: 7 Maret 2007 f. Ringkasan Kecelakaan: Pada saat melakukan pendaratan pada Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, pesawat mengalami kecelakaan keluar pembatas bandara menabrak sawah dan terbakar. Kerugian dan Korban Jiwa a. Korban pada kecelakaan: Meninggal: 1 kru dan 20 penumpang Luka serius: 1 kru dan 11 penumpang Luka ringan: 2 kru dan 98 penumpang 3 kru dan 4 penumpang selamat

b. Pesawat hancur akibat gaya impak dari kecepatan pesawat terhadap tanah dan terbakar. Pendaratan mengakibatkan rusaknya jalur pendaratan, pembatas lapangan terbang, jalan, dan sawah yang berada di sekitar bandara udara. Kondisi Cuaca dan Lingkungan a. Kondisi cuaca pada saat terjadi kecelakaan cerah dengan kondisi terdapat 2 angin topan yang berada 200 km selatan Jawa dan kondisi ini tidak mempengaruhi cuaca pada jalur penerbangan.

151

b. Kondisi ini bukan merupakan kondisi yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan. Rangkaian Kejadian a. Pada saat pesawat akan lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta Jakarta, pilot menyadari bahwa lampu instrumen kokpit pada mesin yang menghasilkan gaya dorong menyala tidak menyala dan meminta kru pemeliharaan untuk memperbaikinya. b. Selama proses terbang perhatian pilot terpaku pada proses pendaratan dan mengabaikan instruksi ko-pilot untuk berputar ketika keadaan pendaratan tidak terpenuhi dan tidak sesuai dengan manual pendaratan Garuda. c. Ketika mendarat pada landasan pendaratan Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, pesawat masih berada pada kecepatan diatas kecepatan pendaratan normal sehingga keluar jalur menabrak pagar pembatas dan akhirnya berhenti setelah merusak beberapa petak sawah milik penduduk. d. Pesawat berada dalam kondisi hancur karena gaya impak yang diakibatkan oleh kecepatan pendaratan terhadap tanah dan terbakar bahan bakar yang keluar dari tempat penyimpanan bahan bakar didalam pesawat. Temuan yang Mungkin Mengakibatkan Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara a. Kru penerbangan bertindak dengan prosedur tidak pada tingkatan pengoperasian pesawat dengan aman. b. Walapun kru mengetahui pendekatan visual dengan jelas, mereka terus melakukan pendaratan dengan pendekatan ILS (instrument landing system) namun tidak memberitahu petugas menara pengawas. c. Pilot menurunkan pesawat untuk mencapai posisi pendaratan dengan kecepatan yang meningkat tajam. d. Dikarenakan kecepatan pesawat pada saat akan mendarat meningkat dengan tajam, ko-pilot mengabaikan instruksi pilot dengan tidak

152

memperluas flaps untuk menambah gaya angkat pada saat pendaratan karena kondisi kecepatan untuk pendaratan tidak tercapai. e. Pilot mengabaikan peringatan dari sistem Ground Proximity Warning System (GPWS) yang berbunyi sebanyak 15 kali dan anjuran ko-pilot untuk berputar. f. Flaps lima derajat bukanlah setingan flaps untuk mendarat. Setingan flaps untuk pendaratan adalah 40 derajat dengan kecepatan 134 knots. g. Pesawat mendarat dengan tidak stabil dan pilot mengabaikan prosedur pendaratan Garuda. h. Tidak ada riwayat yang menyebutkan pilot mendapatkan pelatihan simulasi Boeing 737 bagaimana bertindak dan tanggap secara sigap terhadap peringatan sistem GPWS atau EGPWS seperti Too Low Terrain, Whoop, Whoop, Pull Up. i. Pilot penguji menyatakan bahwa pada saat pelatihan peningkatan keahlian tanggal 13 September 2005, pilot pada saat mendarat mempertahankan kecepatan yang tinggi pada saat pendaratan dengan mesin tunggal. j. Pilot penguji menyatakan bahwa pada saat pelatihan 18 Agustus 2006, pilot mengabaikan prosedur pembatasan kecepatan selama proses kedatangan. k. Pilot penguji yang mengawasi proses pelatihan tidak menuliskan temuan-temuan negatif pada proses pelatihan-pelatihan sebelumnya yang dilakukan oleh pilot pada checklist pelatihan. l. Pilot tidak memberikan informasi mengenai kegiatan yang ia lakukan 72 jam sebelum terjadinya kecelakaan pada penyelidik. m. Tidak ada riwayat yang menyebutkan ko-pilot mendapatkan pelatihan simulasi Boeing 737 bagaiman bertindak dan tanggap secara sigap terhadap peringatan sistem GPWS atau EGPWS seperti Too Low Terrain, Whoop, Whoop, Pull Up. n. Ko-pilot tidak memberikan informasi mengenai kegiatan yang ia lakukan 72 jam sebelum terjadinya kecelakaan pada penyelidik.

153

o. Area keselamatan pada jalur pendaratan Bandara Adi Sucipto tidak memenuhi standar ICAO Annex 14. p. Ketua pemadam kebakaran tidak dapat melaksanakan fungsinya sesuai dengan rencana penanganan bertindak pada situasi kritis dikarenakan banyaknya orang yang bertindak sebagai pengambil keputusan di tempat terjadinya kecelakaan. q. Operator bandara tidak mendirikan posko darurat penampungan korban kecelakaan seperti yang tertera pada manual penanganan kecelakaan bandara. r. Instrumen Teledyne DFDAU tidak sesuai dengan model pesawat Boeing 737. s. Pilot tidak memberitahukan maksudnya kepada ko-pilot bagaimana bertindak dan menjalankan proses pendaratan. t. Pilot pada saat bertugas bernyanyi kecil dan ngobrol yang tidak penting dan kegiatan ini tidak sesuai dengan manual Garuda pada proses pengoperasian pesawat yang steril dibawah 10 ribu kaki. u. Ko-pilot tidak memberitahu dan memberikan alasan kepada pilot ketika ia tidak mengikuti perintah pilot untuk mengembangkan flaps ke posisi 15. Komunikasi pilot kepada ko-pilot langsung berubah ketika ko-pilot tidak mematuhi perintah yang diberikan kepadanya. v. Sesaat akan mendarat, ko-pilot kembali menyarankan pilot untuk naik dan berputar tetapi pilot tidak merespon dan mengabaikannya. w. Pada saat terjadinya kecelakaan, Garuda tidak mengimplementasikan dan menjalankan program Jaminan Kualitas pada Pengoperasian Penerbangan. x. Berdasarkan pengamatan ditemukan fakta bahwa lemahnya

pengambilan keputusan dan kesiapan bertindak pada situasi, kemiringan yang sangat curam pada kokpit, tingkat koordinasi kru yang buruk, pilot selalu mengabaikan masukan ko-pilot. y. Wawancara terhadap pilot dan ko-pilot oleh penyelidik menemukan bahwa pilot dan ko-pilot tidak pelatihan menghadapi kondisi bagaimana bertindak dan tanggap secara sigap terhadap peringatan

154

sistem GPWS atau EGPWS seperti Too Low Terrain, Whoop, Whoop, Pull Up. z. Terdapat proses audit inspeksi keselamatan pada Februari 2003, tetapi hasilnya tidak diserahkan ke Garuda. aa. Berdasarkan wawancara, pilot mengatakan bahwa ia tidak sadar akan kecepatan sebenarnya pesawat, dan mengharapkan ko-pilot

memberitahukan keadaan tersebut. bb. Reaksi Garuda pada proses penyelamatan tidak efektif dikarenakan banyaknya pihak yang bertindak sebagai pemberi komando dan tidak adanya prosedur yang benar bagaimana bertindak di tempat kejadian. cc. Pemberitaan media menyebutkan bahwa Garuda memiliki kebijakan untuk menghemat bahan bakar yang mungkin mempengaruhi keputusan pilot. dd. Berdasarkan wawancara, pilot mengatakan keputusan yang buruk pada saat pendaratan tidak dipengaruhi oleh kebijakan penghematan bahan bakar Garuda. Pengklasifikasian Penyebab Kecelakaan PK-GZC Menggunakan HFACS Pengklasifikasian penyebab kecelakaan menggunakan pengkodean HFACS yang telah dirancangan pada Bab V sub-bab 5.7 Perancangan Pengkodean HFACS. a. Pesawat diterbangkan oleh pilot dengan kecepatan tinggi dan melakukan pendaratan dengan sudut yang curam sehingga menyebabkan pendekatan yang tidak stabil (UAE204 Kesalahan pada Pengendalian Pesawat). b. Pilot tidak mengikuti proses pendaratan sesuai dengan prosedur perusahaan yang memerlukan pendekatan yang stabil, dan pilot tidak membatalkan pendaratan dan berputar naik jika kondisi pendaratan tidak stabil (UAE203 Kesalahan pada Pelaksanaan Prosedur). c. Ko-pilot tidak mengikuti prosedur perusahaan untuk mengambil alih kendali pesawat dari pilot ketika pilot mengabaikan anjuran

155

dan peringatan untuk berputar kembali (UAE203 Kesalahan pada Pelaksanaan Prosedur). d. Pilot Simulator Garuda mencatat pada riwayat pemeriksaan kemampuan dan pelatihan bahwa pilot dan ko-pilot tidak menerima proses pelatihan bagaimana bereaksi terhadap kondisi penting atau bertindak pada situasi nyata yang mempengaruhi keselamatan penerbangan (OIP104 Program dan Isu Pelatihan pada Organisasi, USP105 Keahlian/Kecakapan). e. Koordinasi dan kerjasama antar kru efektif sesuai dengan prosedur sampai pada ketinggian 2.336 kaki dan pemilihan flaps 1 derajat, setelah ini kerjasama dan koordinasi menjadi tidak efektif dan membahayakan penerbangan (PPF111 Perencanaan Ulang Misi atau Tugas yang sedang Dilakukan). f. Perhatian pilot terlalu terfokus dan terpaku pada proses pendaratan sehingga mengabaikan peringatan dan anjuran dari ko-pilot (PCO102 Perhatian yang Terlalu Terfokus). g. Pilot tidak menanggapi 15 kali peringatan sistem GPWS dan 2 kali anjuran ko-pilot untuk berputar kembali (UAE105 Kesalahan Akibat Mengabaikan Peringatan). h. Kru Penerbangan tidak menyelesaikan dan melengkapi daftar periksa (checklist) pada proses pendaratan (UAE202 Kesalahan Penggunaan Daftar Periksa, UAE203 Kesalahan pada Pelaksanaan Prosedur). i. Pilot Simulator Garuda mencatat pada riwayat pemeriksaan kemampuan dan pelatihan bahwa kru penerbangan tidak menerima proses pelatihan bagaimana bereaksi terhadap kondisi penting atau bertindak pada situasi nyata yang mempengaruhi keselamatan penerbangan (OIP104 Program dan Isu Pelatihan pada Organisasi, USP105 Keahlian/Kecakapan). j. Direktoral Jenderal Penerbangan Sipil tidak memiliki mekanisme yang memastikan standar pengoperasian yang aman oleh Garuda

156

(OIP106 Program Manajemen dan Pengawasan, USI104 Kebijakan pada Pengawasan). k. Pilot penguji yang mengawasi proses pelatihan tidak menuliskan temuan-temuan negatif pada proses pelatihan-pelatihan

sebelumnya yang dilakukan oleh pilot pada checklist pelatihan (USI103 Isu Proses Pelatihan). l. Instrumen Teledyne DFDAU tidak sesuai dengan model pesawat Boeing 737 (OIR104 Kebijakan pada Desain Peralatan). m. Pilot pada saat bertugas bernyanyi kecil dan ngobrol yang tidak penting dan kegiatan ini tidak sesuai dengan manual Garuda pada proses pengoperasian pesawat yang steril dibawah 10 ribu kaki (UAE203 Kesalahan pada Pelaksanaan Prosedur). n. Pada saat terjadinya kecelakaan, Garuda tidak

mengimplementasikan dan menjalankan program Jaminan Kualitas pada Pengoperasian Penerbangan (OIP106 Program Manajemen dan Pengawasan). o. Terdapat proses audit inspeksi keselamatan pada Februari 2003, tetapi hasilnya tidak diserahkan ke Garuda (USI106 Tidak adanya Proses Timbal Balik Terhadap Pengawasan). Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara oleh KNKT a. Flight crew communication and coordination was less than effective after the aircraft passed 2,336 feet on descent after flap 1 was selected. Therefore the safety of the flight was compromized. b. The PIC flew the aircraft at an excessively high airspeed and steep descent during the approach. The crew did not abort the approach when stabilized approach criteria were not met. c. The pilot in command did not act on the 15 GPWS alerts and warnings, and the two calls from the copilot to go around. d. The copilot did not follow company instructions and take control of the aircraft from the pilot in command when he saw that the pilot in command repeatedly ignored warnings to go around.

157

e. Garuda did not provide simulator training for its Boeing 737 flight crews covering vital actions and required responses to GPWS and EGPWS alerts and warnings such as TOO LOW TERRAIN and WHOOP, WHOOP PULL UP.

2. Laporan Final PK-RIM Data Kejadian a. Maskapai Penerbangan: Mandala Airlines b. Jenis Pesawat: Boeing 737-200 c. Nomor Registrasi Penerbangan: PK-RIM d. Rute Penerbangan: Bandara Polonia (Medan) Bandara Soekarno Hatta (Jakarta) e. Waktu Kecelakaan: 5 September 2005 f. Ringkasan Kecelakaan: Pesawat tidak mampu lepas landas dikarenakan kecepatan yang terlalu tinggi melebihi batas normal kecepatan lepas landas dan konfigurasi yang tidak benar dari proses lepas landas. Kerugian dan Korban Jiwa a. Korban pada kecelakaan: Meninggal: 5 kru dan 95 penumpang Luka serius: 15 penumpang 2 penumpang selamat

b. Pesawat hancur akibat gaya impak dari kecepatan pesawat terhadap tanah dan terbakar. Pendaratan mengakibatkan kematian 49 orang yang berada di tempat terjadinya kecelakaan, 26 orang luka serius, 3 lampu bandara, dan bangunan pendukung hancur, 30 rumah hancur karena impak dari pesawat dan beberapa kendaraan (mobil, motor, sepeda) rusak dan hancur akibat impak dari pesawat. Kondisi Cuaca dan Lingkungan a. Cuaca pada saat terjadinya kecekalaan merupakan cuaca normal dan berada diatas batas normal untuk lepas landas serta bukan merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan.

158

Rangkaian Kejadian a. Fase kondisi awalan pada saat akan lepas landas dari jalur lepas landas 23 adalah normal. b. Pada saat lepas landas pesawat tidak mampu naik dan turun ke landasan menabrak pembatas dan lampu serta meluncur ke daerah rerumputan melewati sungai kecil. c. Pesawat menabrak daerah pemukiman dan beberapa kendaraan dalam kondisi terbakar dan akhirnya berhenti 540 m dari landasan 23. d. Pesawat mengalami kondisi diatas merupakan keadaan bahwa pesawat pada saat lepas landas tidak dalam kondisi yang tepat untuk lepas landas.

Temuan yang Mungkin Menyebabkan Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara a. Pesawat pada saat lepas landas dirasakan oleh penumpang memakan waktu lebih lama dari waktu normal dan bagian hidung pesawat mulai naik lepas landas beberapa meter dari akhir landasan. b. Pelatihan untuk menghadapi kondisi darurat oleh petugas bandara terakhir kali dilakukan pada Oktober 2002 (3 tahun sebelum terjadinya kecelakaan). c. Tidak ada orang yang bertindak sebagai pemimpin untuk

mengkoordinasikan tindakan penyelematan di tempat terjadinya kecelakaan. d. Suara peringatan konfigurasi lepas landas tidak terdengar pada saluran CVR CAM. e. Tidak terdapat silabus terstruktur dan tertulis mengenai pelatihan sehingga operator tidak melaksanakan standar prosedur pengoperasian dengan benar, koordinasi dan kerjasama kru (CRM). f. Operator tidak melakukan pelatihan kerjasama tim (CRM) kepada kru penerbangan. g. Kru penerbangan tidak mendapatkan pelatihan bagaimana bekerja sama yang baik (CRM).

159

h. Operator menggunakan manual B737-200 OM sebagai panduannya dan di setiap halaman terdapat tulisan do not use for flight. Dokumen tersebut tidak mendapat cap persetujuan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. i. Tidak adanya departemen atau unit spesifik yang bertanggung jawab terhadap checklist dan manual SOP. j. Pesawat pada saat akan lepas landas terbang tidak mendapatkan proses konfigurasi yang tepat. Proses yang tidak tepat ini harusnya mengaktifkan bel peringatan yang mengingatkan pilot bahwa konfigurasi tidak tepat. k. Jika prosedur dijalankan dengan baik dan benar, kru akan dapat mengidentifikasi posisi flaps 0 yang mengakibatkan kegagalan lepas landas. l. Pilot memiliki penafsiran yang berbeda bagaimana cara

mengaplikasikan checklist dengan benar. Pengklasifikasian Penyebab Kecelakaan PK-RIM Menggunakan HFACS Pengklasifikasian penyebab kecelakaan menggunakan pengkodean HFACS yang telah dirancangan pada Bab V sub-bab 5.7 Perancangan Pengkodean HFACS. a. Suara peringatan konfigurasi lepas landas tidak terdengar pada saluran CVR CAM (PEF110 Gangguan Suara/Kebisingan). b. Tidak terdapat silabus terstruktur dan tertulis mengenai pelatihan sehingga operator tidak melaksanakan standar prosedur

pengoperasian dengan benar, koordinasi dan kerjasama kru (CRM) (OIP103 Publikasi/Panduan Prosedur, OIR108 Sumber Daya Informasi). c. Operator tidak melakukan pelatihan kerjasama tim (CRM) kepada kru penerbangan (USI103 Isu Program Pelatihan). d. Kru penerbangan tidak mendapatkan pelatihan bagaimana bekerja sama yang baik (CRM) (OIP104 Program dan Isu Pelatihan oleh Organisasi).

160

e. Operator menggunakan manual B737-200 OM sebagai panduannya dan di setiap halaman terdapat tulisan do not use for flight. Dokumen tersebut tidak mendapat cap persetujuan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (UAE203 Kesalahan pada

Penggunaan Prosedur). f. Tidak adanya departemen atau unit spesifik yang bertanggung jawab terhadap checklist dan manual SOP (OIC105 Struktur Organisasi, OIP106 Program Manajemen dan Pengawasan). g. Pesawat pada saat akan lepas landas terbang tidak mendapatkan proses konfigurasi yang tepat. Proses yang tidak tepat ini harusnya mengaktifkan bel peringatan yang mengingatkan pilot bahwa konfigurasi tidak tepat (UAE311 Kesalahan Akibat

Kesalahpahaman pada Kondisi Operasional). h. Jika prosedur dijalankan dengan baik dan benar, kru akan dapat mengidentifikasi posisi flaps 0 yang mengakibatkan kegagalan lepas landas (UAE203 Kesalahan pada Penggunaan Prosedur). i. Pilot memiliki penafsiran yang berbeda bagaimana cara

mengaplikasikan checklist dengan benar (PCO305 Pengetahuan akan Prosedur dan Teknis). Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara oleh KNKT a. The aircraft took-off with improper take off configuration namely with retracted flaps and slats causing the aircraft failed to lift off. b. Improper checklist procedure execution had lead to failure to identify the flap in retract position. c. The aircrafts take off warning horn was not heard on the CAM channel of the CVR. It is possible that the take-off configuration warning horn was not sounding.

3. Laporan Final PK-KKW Data Kejadian a. Maskapai Penerbangan: Adam SkyConnection Airlines (AdamAir). b. Jenis Pesawat: Boeing 737-4Q8

161

c. Nomor Registrasi Penerbangan: PK-KKW d. Rute Penerbangan: Bandara Juanda (Surabaya) Bandara Samratulangi (Manado) e. Waktu Kecelakaan: 1 Januari 2007 f. Ringkasan Kecelakaan: Pesawat yang dioperasikan oleh AdamAir berangkat dari Surabaya dengan tujuan Manado hilang dari radar. Kerugian dan Korban Jiwa a. Korban pada Kecelakaan: Seluruh penumpang dikabarkan hilang (meninggal) dengan perincian: 6 kru pesawat dan 96 penumpang (85 dewasa, 7 anak-anak, dan 4 bayi) b. Pesawat hancur dan rusak dikarenakan gaya impak terhadap air oleh kecepatan yang cepat dan derajat kemiringan yang curam. Kondisi Cuaca dan Lingkungan a. Kondisi cuaca pada daerah dimana pesawat hilang adalah ber-es, kilat, hujan es, dan turbulensi hebat Rangkaian Kejadian a. Pilot menyadari adanya keanehan pada pesawat. b. Pilot mengidentifikasi bahwa Inertial Reference System (IRS) mengalami
kerusakan.

c. Pilot menekan tombol Attitude, yang berfungsi mematikan autopilot. d. Petujuk navigasi otomatis lainnya mati. e. Kondisi cuaca yang buruk dan matinya indikator otomatis membuat pilot
memutuskan untuk kembali menggunakan autopilot.

f. Autopilot tidak dapat dihidupkan kembali. g. Pesawat tidak dapat dikendalikan dan meluncur ke laut dengan sudut tajam. Temuan yang Mungkin Menyebabkan Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara a. AdamAir tidak memiliki formulir pemeriksaan performa kapten (pilot) sehingga menggunakan formulir pemeriksaan kualifikasi rute.

162

b. Pilot

tidak

menerima

pelatihan

IRS

(Sistem

Pembacaan

Inersial/Inertial Reading System) mengenai bagaimana menghadapi kegagalan pada instrumen IRS. c. AdamAir tidak memberikan pelatihan upset recovery kepada kru. d. Pilot tidak menyelesaikan pelatihan secara komplit atau pelatihan pada simulator yang berguna untuk upset recovery meliputi disorientasi spasial, perhatian yang terfokus pada satu hal, dan kurangnya kewaspadaan terhadap situasi yang berlangsung. e. Pilot tidak menyelesaikan pelatihan CRM sejak bergabung dengan AdamAir pada Juli 2006. f. Ko-pilot tidak menerima pelatihan IRS (Sistem Pembacaan

Inersial/Inertial Reading System) mengenai bagaimana menghadapi kegagalan pada instrumen IRS. g. Ko-pilot tidak menyelesaikan pelatihan secara komplit atau pelatihan pada simulator yang berguna untuk upset recovery meliputi disorientasi berlangsung. h. AdamAir tidak memasukkan program keandalan komponen pada program RCP (Reliability Control Program) untuk menjamin tingkat kelayakan komponen pesawat. i. Pihak manajemen pemeliharaan AdamAir tidak mampu spasial dan kewaspadaan terhadap situasi yang

mengendalikan cacat yang berulang pada pesawat yang mereka rawat. j. Perhatian pilot dan ko-pilot terlalu terpaku pada penyelesaian masalah pada sistem IRS sehingga mengabaikan peringatan sistem lainnya Bank Angle, Bank Angle, Bank Angle, Bank Angle dan tidak dapat mengembalikan kemudi kearah yang sesuai. k. Kru tidak mengikuti prosedur Boeing upset recovery untuk mengaplikasikan roling pada sayap sebelum mengaplikasikan nose-up elevator. l. Manajer yang bertugas menstandarisasi penerbangan tidak

bertanggung jawab pada manual pengoperasian pesawat.

163

m. AdamAir tidak mempunyai salinan Manual Pengoperasian Kru Penerbangan (FCOM) dan Quick Reference Handbook (QRH). n. Terdapat kekurangan terhadap pemahaman dan pengetahuan di organisasi (airline), walaupun AdamAir pernah mengalami kerusakan pada sistem IRS pada pesawat Boeing 737 yang berujung pada kecelakaan serius. o. Pihak manajemen AdamAir tidak mengetahui tingkat keseriusan cacat yang tidak juga diselesaikan masalahnya, meskipun pernah mengalami kecelakaan akibat cacat tersebut. p. Silabus pelatihan pilot AdamAir tidak mencakup pelatihan bagaimana bertindak jika sistem IRS gagal dan pelatihan jika sistem otomatisasi gagal. q. Peraturan Indonesia tidak memasukkan pelatihan upset recovery pada pelatihan pengoperasian penerbangan. r. Direktorat Jenderal Penerbangan Sipil tidak memastikan AdamAir memperbaiki permasalahan yang mencakup cacat pada sistem IRS pada pesawat yang dimiliki oleh AdamAir. s. Pilot tidak meminta kepada ATC untuk memberikan pengalihan jalur dari jalur asal ketika cuaca tidak mendukung untuk terbang dengan aman. t. Pilot tidak mendistribusikan tugas untuk dikerjakan oleh kru pada saat terjadi masalah pada sistem IRS sehingga kedua pilot menjadi teralihkan perhatiaanya pada permasalahan IRS dan tidak

mengendalikan atau memonitor jalur penerbangan pesawat. u. Pilot tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap sistem pesawat untuk bertindak dengan cepat dan tepat ketika menghadapi permasalahan dengan sistem IRS. v. Pilot dan ko-pilot tidak waspada dengan keadaan sekelilingnya dikarenakan permasalahan IRS sehingga melakukan kesalahan pada pengambilan keputusan. w. Pilot tidak mengantisipasi autopilot tidak berfungsi kembali setelah mereka mengubah mode IRS kepada mode ketinggian.

164

x. Pilot dan ko-pilot tidak mengisi instrumen pesawat pada checklist. Pengklasifikasian Penyebab Kecelakaan PK-KKW Menggunakan HFACS Pengklasifikasian penyebab kecelakaan menggunakan pengkodean HFACS yang telah dirancangan pada Bab V sub-bab 5.7 Perancangan Pengkodean HFACS. a. Pilot tidak menerima pelatihan IRS (Sistem Pembacaan

Inersial/Inertial Reading System) mengenai bagaimana menghadapi kegagalan pada instrumen IRS (OIP104 Program dan Isu Pelatihan oleh Organisasi). b. AdamAir tidak memberikan pelatihan upset recovery kepada kru (OIP104 Program dan Isu Pelatihan oleh Organisasi). c. Pilot tidak menyelesaikan pelatihan secara komplit atau pelatihan pada simulator yang berguna untuk upset recovery meliputi disorientasi spasial, perhatian yang terfokus pada satu hal, dan kurangnya kewaspadaan terhadap situasi yang berlangsung (UAE308 Disorientasi Spasial Tipe 2 yang Dikenali, PCO102 Perhatian yang Terfokus). d. Pilot tidak menyelesaikan pelatihan CRM sejak bergabung dengan AdamAir pada Juli 2006 (PPF109 Merencanakan Suatu Misi). e. Ko-pilot tidak menerima pelatihan IRS (Sistem Pembacaan Inersial/Inertial Reading System) mengenai bagaimana menghadapi kegagalan pada instrumen IRS (OIP104 Program dan Isu Pelatihan oleh Organisasi). f. Ko-pilot tidak menyelesaikan pelatihan secara komplit atau pelatihan pada simulator yang berguna untuk upset recovery meliputi disorientasi spasial dan kewaspadaan terhadap situasi yang berlangsung (UAE308 Disorientasi Spasial Tipe 2 yang Dikenali, PCO102 Perhatian yang Terfokus). g. AdamAir tidak memasukkan program keandalan komponen pada program RCP (Reliability Control Program) untuk menjamin

165

tingkat

kelayakan

komponen

pesawat

(OIR104

Kebijakan

Pengambilalihan/Proses Desain). h. Pihak manajemen pemeliharaan AdamAir tidak mampu

mengendalikan cacat yang berulang pada pesawat yang mereka rawat (USI101 Kondisi Kepemimpinan dan Pengawasan yang Tidak Memadai, USF102 Manajemen Operasi). i. Perhatian pilot dan ko-pilot terlalu terpaku pada penyelesaian masalah pada sistem IRS sehingga mengabaikan peringatan sistem lainnya Bank Angle, Bank Angle, Bank Angle, Bank Angle dan tidak dapat mengembalikan kemudi kearah yang sesuai (PCO102 Perhatian yang Terfokus). j. Kru tidak mengikuti prosedur Boeing upset recovery untuk mengaplikasikan roling pada sayap sebelum mengaplikasikan nose-up elevator (UAE203 Kesalahan pada Prosedur). k. Manajer yang bertugas menstandarisasi penerbangan tidak

bertanggung jawab pada manual pengoperasian pesawat (USI101 Kondisi Kepemimpinan dan Pengawasan yang Tidak Memadai, USF102 Manajemen Operasi). l. Terdapat kekurangan terhadap pemahaman dan pengetahuan di organisasi (airline), walaupun AdamAir pernah mengalami kerusakan pada sistem IRS pada pesawat Boeing 737 yang berujung pada kecelakaan serius (PCO305 Pengetahuan akan Prosedur dan Teknis). m. Pihak manajemen AdamAir tidak mengetahui tingkat keseriusan cacat yang tidak juga diselesaikan masalahnya, meskipun pernah mengalami kecelakaan akibat cacat tersebut (PCO305 Pengetahuan akan Prosedur dan Teknis). n. Silabus pelatihan pilot AdamAir tidak mencakup pelatihan bagaimana bertindak jika sistem IRS gagal dan pelatihan jika sistem otomatisasi gagal (OIP104 Program dan Isu Pelatihan pada Organisasi, OIP103 Panduan Prosedur).

166

o. Peraturan Indonesia tidak memasukkan pelatihan upset recovery pada pelatihan pengoperasian penerbangan (OIP103 Panduan Prosedur). p. Direktorat Jenderal Penerbangan Sipil tidak memastikan AdamAir memperbaiki permasalahan yang mencakup cacat pada sistem IRS pada pesawat yang dimiliki oleh AdamAir (USS101 Tidak Adanya Penegakan Disiplin, USI104 Kebijakan pada Pengawasan). q. Pilot tidak meminta kepada ATC untuk memberikan pengalihan jalur dari jalur asal ketika cuaca tidak mendukung untuk terbang dengan aman (UAE106 Kesalahan Pengambilan Keputusan Selama Proses Pengoperasian). r. Pilot tidak mendistribusikan tugas untuk dikerjakan oleh kru pada saat terjadi masalah pada sistem IRS sehingga kedua pilot menjadi teralihkan perhatiaanya pada permasalahan IRS dan tidak mengendalikan atau memonitor jalur penerbangan pesawat (PPF103 Pengaturan Tugas). s. Pilot tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap sistem pesawat untuk bertindak dengan cepat dan tepat ketika menghadapi permasalahan dengan sistem IRS (PCO305 Pengetahuan akan Prosedur dan Teknis). t. Pilot dan ko-pilot tidak waspada dengan keadaan sekelilingnya dikarenakan permasalahan IRS sehingga melakukan kesalahan pada pengambilan keputusan (UAE106 Kesalahan Pengambilan Keputusan Selama Proses Pengoperasian). u. Pilot tidak mengantisipasi autopilot tidak berfungsi kembali setelah mereka mengubah mode IRS kepada mode ketinggian (UAE204 Kesalahan pada Pengedalian Pesawat). v. Pilot dan ko-pilot tidak mengisi instrumen pesawat pada checklist (UAE202 Kesalahan pada Penggunaan Checklist). Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara oleh KNKT

167

a. Flight crew coordination was less than effective. The PIC did not manage the task sharing; crew resource management practices were not followed. b. The crew focused their attention on trouble shooting the Inertial Reference System (IRS) failure and neither pilot was flying the aircraft. c. After the autopilot disengaged and the aircraft exceeded 30 degrees right bank, the pilots appeared to have become spatially disoriented. d. The AdamAir syllabus of pilot training did not cover complete or partial IRS failure. e. The pilots had not received training in aircraft upset recovery, including spatial disorientation. f. At the time of the accident, AdamAir had not resolved the airworthiness problems with the IRS that had been reoccurring on their Boeing 737 fleet for more than 3 months. g. The AdamAir maintenance engineering supervision and oversight was not effective and did not ensure that repetitive defects were rectified.

6.3 Pengujian KemudahPakaian Juklak Penyelidikan Faktor Manusia Pengujian kemudahpakaian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat pemahaman responden terhadap juklak hasil rancangan baik dalam pembacaan maupun pengaplikasian juklak penyelidikan faktor manusia pada kecelakaan pesawat udara sipil di Indonesia. 6.3.1 Data yang Dibutuhkan Data yang dibutuhkan pada pengujian ini adalah ulasan responden setelah membaca juklak hasil rancangan peneliti dan mengisi kuesioner yang didalamnya berisi pertanyaan-pertanyaan seperti: 1. Nama, Jenis Kelamin, Tanggal Lahir, Tempat Tanggal Lahir, Pekerjaan. 2. Pernahkah anda mengetahui (mendengar) metode HFACS (Human Factors Analysis and Classification System)?

168

3. Jika anda mengetahui HFACS, sejauh manakah pengetahuan anda mengenai HFACS dan dari sumber mana anda mengetahui mengenai HFACS? 4. Bagaimana pendapat anda mengenai Panduan Petunjuk Pelaksanaan Penyelidikan Faktor Manusia Pada Kecelakaan Pesawat Udara Sipil di Indonesia dilihat dari kemudahan dalam membaca dan

menggunakan manual panduan juklak tersebut? Berikan penjelasan berupa saran dan masukan terhadap manual juklak penyelidikan kecelakaan yang and abaca. Hasil ulasan yang diberikan oleh responden akan dipakai oleh peneliti sebagai masukan untuk memperkaya isi dari panduan juklak penyelidikan kecelakaan. 6.3.2 Responden Responden dalam penelitian berjumlah 4 orang mahasiswa Indonesia, khususnya jurusan teknik yang berkuliah di Bandung dengan kriteria sebagai berikut: 1. Kategori 1 a. Telah mengambil mata kuliah Manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja (MK3) dan Ergonomi Makro sebagai dasar pengetahuan mengenai keselamatan kerja dan organisasi sebagai pengambil keputusan. b. Mempunyai pengetahuan mengenai petunjuk pelaksanaan penyelidikan kecelakaan pesawat udara dan prosedur pengoperasian standar. c. Melakukan pengklasifikasian penyebab kecelakaan transportasi baik udara maupun darat menggunakan metode HFACS. d. Mempunyai pengalaman menggunakan metode HFACS dalam penelitian selama lebih kurang 1 tahun. 2. Kategori 2 a. Sedang mengambil mata kuliah Manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja (MK3) sebagai dasar pengetahuan mengenai keselamatan kerja.

169

b. Mempunyai pengetahuan mengenai petunjuk pelaksanaan penyelidikan kecelakaan pesawat udara dan prosedur pengoperasian standar. c. Mempunyai pengalaman menggunakan metode HFACS dalam penelitian selama lebih kurang 1 sampai 6 bulan. 3. Kategori 3 a. Tidak mempunyai pengetahuan mengenai keselamatan kerja, prosedur pengoperasian standar, dan petunjuk pelaksanaan penyelidikan kecelakan pesawat udara Responden mahasiswa dipilih karena alasan kemudahan, yaitu responden mahasiswa mudah didapatkan dan mahasiswa memiliki rasa penasaran terhadap hal yang baru dan kemampuan belajar yang sangat tinggi. 6.3.3 Prosedur Pengujian Juklak Penyelidikan Kecelakaan Rancangan Panduan Juklak Penyelidikan Kecelakaan dikirim ke masingmasing responden dan diberikan waktu selama satu minggu untuk membaca dengan seksama. Responden diminta mengisi kuesioner yang berisikan data pribadi dan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan rancangan panduan juklak penyelidikan kecelakaan. Responden menyerahkan kembali kuesioner yang berisikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan kepada peneliti yang nantinya akan dipakai sebagai masukan perbaikan dan penambahkayaan informasi pada juklak sehingga dalam membaca lebih mudah dimengerti dan mengaplikasikan juklak lebih mudah dipakai pada penyelidikan. Hasil jawaban kuesioner dapat dilihat pada lampiran laporan penelitian.

170

BAB VII ANALISIS

7.1 Analisis Penggunaan Panduan Petunjuk Pelaksanaan Penyelidikan Faktor Manusia yang Diusulkan Setelah dilakukan pengujian dengan cara mengklasifikasikan penyebab yang berhubungan dengan kesalahan manusia dengan menggunakan metode HFACS, hasil dari pengklasifikasian akan dibandingkan dengan penyebab kecelakaan yang dianalisis oleh KNKT. Analisis dilakukan dengan menjabarkan keunggulan hasil pengujian dengan menggunakan metode HFACS dibandingkan terhadap penyebab kecelakaan yang dianalisis oleh KNKT. Rangkuman pengklasifikasian untuk setiap kecelakaan dan seluruh kecelakaan dapat dilihat pada tabel 7.1 sampai 7.4 dibawah ini. Tabel 7.1 Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Kecelakaan PK-GZC
Kategori HFACS Organizational climate Organizational process Resource management Inadequate supervision Planned inappropriate operations Failed to correct known problems Supervisory violations Environmental conditions Technological environment Physical Environment Conditions of the operator Adverse mental states Adverse physiological states Physical/mental limitations Personal factors Crew resource management Personal readiness Skill-based error Decision errors Perceptual errors Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Kecelakaan PK-GZC Menurut Tingkatan pada HFACS Organizational Influences 4 1 Unsafe supervision 1 2 2 Preconditions for unsafe acts

1 Unsafe acts of the operator 6 1

171

Tabel 7.1 memperlihatkan penyebab kecelakaan pesawat udara PK-GZC terbanyak berada pada kesalahan akibat tindakan yang tidak aman disebabkan oleh operator. Tindakan tidak aman (kesalahan aktif) ini berfokus pada kesalahan akibat kemampuan dasar kru yang tidak memadai dan kesalahan pada pengambilan keputusan untuk menjalankan proses pengoperasian. Pada tingkat kedua HFACS yaitu kondisi-kondisi tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya tindakan yang tidak aman (kesalahan laten) disebabkan oleh kesalahan pada keterbatasan fisik dan mental kru serta lingkungan fisik dimana pengoperasian berada. Kesalahan akibat pengawasan (kesalahan laten) yang tidak aman berfokus kepada dua kesalahan yaitu perencanaan pengoperasian yang buruk, dan pelanggaran terhadap pengawasan. Pada tingkatan organisasi sebagai pembuat kebijakan dan keputusan (kesalahan laten) berfokus pada kesalahan proses operational pada organisasi tersebut seperti program dan pelatihan yang diberikan kepada kru penerbangan. Secara keseluruhan penyebab kecelakaan PK-GZC disebabkan oleh kesalahan aktif dari kemampuan dasar kru yang sangat buruk yang dipengaruhi oleh kesalahan laten pada proses operational organisasi. Penyelidik dapat berfokus memberikan rekomendasi perbaikan untuk kedua tingkatan tersebut. Tabel 7.2 menjelaskan penyebab kecelakaan pesawat udara PK-RIM terbanyak berada pada kesalahan diakibatkan oleh pengoperasian pada organisasi. Kesalahan pada tindakan tidak aman oleh kru berfokus kepada kemampuan dasar kru yang tidak memadai. Kesalahan aktif ini dipengaruhi oleh kesalahan laten berupa dipengaruhi oleh keterbatasan fisik dan mental kru, tingkat pengawasan yang tidak memadai dan proses operasional pada organisasi seperti tidak adanya pelatihan dari organisasi bagaimana bekerja sama yang baik diantara kru, tidak adanya bagian yang bertanggung jawab terhadap checklist dan manual prosedur, dan lainnya.

172

Tabel 7.2 Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Kecelakaan PK-RIM


Kategori HFACS Organizational climate Organizational process Resource management Inadequate supervision Planned inappropriate operations Failed to correct known problems Supervisory violations Environmental conditions Technological environment Physical Environment Conditions of the operator Adverse mental states Adverse physiological states Physical/mental limitations Personal factors Crew resource management Personal readiness Skill-based error Decision errors Perceptual errors Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Kecelakaan PK-RIM Menurut Tingkatan pada HFACS Organizational Influences 1 3 1 Unsafe supervision 1

Preconditions for unsafe acts

Unsafe acts of the operator 2 1

Tabel 7.3 menjelaskan penyebab kecelakaan pesawat udara PK-KKW terbanyak berada pada kesalahan diakibatkan oleh tindakan tidak aman yang dilakukan oleh kru penerbangan. Kesalahan pada tingkatan 1 penyebab kesalahan aktif pada HFACS berfokus kepada kemampuan dasar dari pilot dan ko-pilot yang tidak memadai yang diikuti oleh kesalahan akibat pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan prosedur dan kesalahan pada persepsi. Kesalahan pada tingkatan kedua HFACS berfokus pada keadaan mental kru dan keterbatasan pada fisik dan mental dan juga dipengaruhi oleh buruknya kerjasama antara pilot dan ko-pilot dengan tidak adanya pembagian tugas dan komunikasi yang baik pada saat terjadinya masalah di kokpit. Pengawasan yang tidak memadai masih berfokus kepada permasalahan pengawasan pelatihan yang tidak sesuai dengan prosedur serta pihak manajemen

173

maskapai membiarkan permasalahan yang sama terhadap peralatan IRS yang berulang kali mengalami kerusakan. Pada tingkatan organisasi kesalahan masih berfokus kepada proses operasional perusahaan/maskapai dan juga menyangkut aturan yang diperbuat oleh kementrian perhubungan yang tidak memasukkan pelatihan upset recovery pada pelatihan pengoperasian penerbangan. Tabel 7.3 Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Kecelakaan PK-KKW
Kategori HFACS Organizational climate Organizational process Resource management Inadequate supervision Planned inappropriate operations Failed to correct known problems Supervisory violations Environmental conditions Technological environment Physical Environment Conditions of the operator Adverse mental states Adverse physiological states Physical/mental limitations Personal factors Crew resource management Personal readiness Skill-based error Decision errors Perceptual errors Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Kecelakaan PK-KKW Menurut Tingkatan pada HFACS Organizational Influences 5 1 Unsafe supervision 3 2 1 Preconditions for unsafe acts

3 3 2 Unsafe acts of the operator 3 2 2

Tabel 7.4 menjelaskan penyebab pada tiga kecelakaan yang diuji yaitu PkGZC, PK-RIM, PK-KKW secara keseluruhan berada pada kesalahan yang disebabkan oleh tindakan kru yang tidak aman yang dipengaruhi oleh pelatihanpelatihan yang seharusnya diberikan oleh organisasi yaitu maskapai pesawat dimana pilot bertugas dan pengawasan yang longgar bahkan cenderung mengabaikan kesalahan-kesalahan itu ada dan terjadi. Tindakan-tindakan tertentu yang dapat mempengaruhi terjadinya tindakan yang tidak aman lebih disebabkan oleh buruknya kerjasama antara para personel kru penerbangan.

174

Tabel 7.4 Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Tiga Kecelakaan Pesawat Udara
Banyaknya Kesalahan yang Dijumpai pada Kecelakaan Pesawat Udara Menurut Tingkatan pada HFACS (N=3) Organizational Influences Organizational climate 1 Organizational process 12 Resource management 3 Unsafe supervision Inadequate supervision 5 Planned inappropriate operations 2 Failed to correct known problems 2 Supervisory violations 3 Preconditions for unsafe acts Environmental conditions Technological environment Physical Environment 1 Conditions of the operator Adverse mental states 4 Adverse physiological states Physical/mental limitations 4 Personal factors Crew resource management 3 Personal readiness Unsafe acts of the operator Skill-based error 11 Decision errors 3 Perceptual errors 3 Kategori HFACS

7.2

Analisis

Kelebihan

Penggunaan

Metode

HFACS

dalam

Mengklasifikasikan dan Menganalisis Penyebab Kecelakaan Pesawat Udara Berdasarkan analisis penggunaan panduan petunjuk pelaksanaan

penyelidikan faktor manusia yang diusulkan pada sub bab 7.1, penyelidik yang mengerti dan menguasai HFACS memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan penyelidik yang tidak mengetahui mengenai HFACS, yaitu: 1. HFACS sebagai metode yang diusulkan dan dipakai pada perancangan panduan juklak tidak hanya mengklasifikasikan penyebab kecelakaan secara umum tetapi juga berfokus kepada tingkatan-tingkatan diatas tindakan tidak aman dari kru yang secara tidak langsung tetapi pengaruhnya sangat besar dalam menentukan tindakan kru bagaimana menghadapi kesalahan jika terjadi. Seperti contoh pada kecelakaan

175

pesawat PK-KKW dimana penyelidik KNKT hanya berfokus kepada kesalahan aktif (koordinasi kerjasama kru yang tidak efektif, pilot dan kopilot yang terlalu berfokus kepada sistem IRS, dan lainnya). Penyelidik yang telah mempelajari HFACS akan mampu menemukan penyebab pasif yang mempengaruhi kesalahan aktif terjadi seperti: pihak manajemen pemeliharaan Adam Air tidak mampu mengendalikan dan memperbaiki cacat yang berulang pada pesawat yang mereka rawat. Kesalahan ini merupakan kesalahan pasif yang dapat ditemukan pada tingkatan pengawasan yang tidak memadai (kondisi kepemimpinan dan pengawasan yang tidak memadai dan kesalahan pada manajemen pengoperasian pesawat). 2. HFACS juga dapat menentukan pola suatu kecelakaan atau beberapa kecelakaan dimana penyebab terbesar yang menyebabkan kecelakaan tersebut terjadi sehingga penyelidik dapat berfokus menyelesaikan permasalahan dan memberikan rekomendasi yang tepat sasaran dengan tujuan kecelakaan yang sama tidak terulang di masa yang akan datang. Sebagai contoh dari tiga kecelakaan yang terjadi di Indonesia (PK-KKW, PK-RIM, PK-GZC), penyebab kesalahan terbesar berada pada tingkatan tindakan yang tidak aman oleh kru yang dipengaruhi oleh kesalahan pasif terbesar yaitu pengaruh organisasi (dimana kebijakan dan budaya perusahaan tidak menjamin keselamatan pengoperasian pesawat udara). 3. HFACS tidak hanya berfokus kepada kesalahan aktif (tindakan tidak aman oleh operator) melainkan kesalahan laten (pasif) juga diidentifikasikan sehingga penyebab kecelakaan tidak dikambinghitamkan kepada kru pesawat udara. Penyebab kecelakaan pesawat udara yang dikeluarkan oleh KNKT lebih berfokus mencari penyebab kecelakaan yang diakibatkan oleh kesalahan aktif. 4. Dalam pemberian rekomendasi juga lebih tepat sasaran berdasarkan kesalahan pada tingkatan-tingkatan HFACS yang dibuat, seperti pada contoh kesalahan pengetahuan akan prosedur dan teknis Pilot tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap sistem pesawat untuk bertindak dengan cepat dan tepat ketika menghadapi permasalahan dengan

176

sistem IRS. Penyelidik dapat memberikan rekomendasi bahwa pilot harus mendapatkan pelatihan baik secara teori maupun prakteknya minimal mengetahui prinsip kerja sistem yang ada pada pesawat sehingga ketika menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan sistem IRS maupun sistem lainnya dikarenakan pilot sudah memiliki pengetahuan, pilot dapat bertindak secara lebih tenang dan lebih tepat sesuai dengan pengetahuan dan pelaksanaan prosedur yang ia telah ketahui.

7.2 Pengujian KemudahPakaian Juklak Penyelidikan Faktor Manusia dan Analisisnya Analisis pengujian kemudahpakaian juklak penyelidikan faktor manusia terhadap 4 responden dengan kategori awam, berpengalaman, dan ahli. Penentuan kategori sudah dibahas pada Bab 5 Pengujian panduan juklak penyelidikan kecelakaan. Hasil pengujian dan analisis adalah sebagai berikut: 1. Analisis Ulasan Kategori 3 Ulasan kategori awam dilakukan oleh mahasiswa Teknik Manajemen Industri ITB angkatan 2009 yang tidak mempunyai pengetahuan mengenai penyelidikan kecelakaan, pembacaan dan pengaplikasian juklak sebagai pandauan penyelidikan kecelakaan serta pengetahuan mengenai metode HFACS. Hasil ulasan adalah sebagai berikut: a. Kata pengantar: KNKT apa? Tiba-tiba ada singkatan tapi gak ada kepanjangannya. Sebaliknya menuliskan kepanjangannya dulu lalu dalam kurung singkatan. Dan selanjutnya yang digunakan hanya singkatannya saja. b. Buat daftar singkatan. c. Halaman 1: Tidak ada narasi tiba-tiba langsung gambar. Usahakan narasi dulu untuk memberikan maksud dari gambar dan istilah yang digunakan dalam gambar apa artinya. d. Halaman 3: Kata-kata yang menggunakan bahasa asing sebaiknya diberikan artinya. Kru yang banyak jenisnya diberikan contoh apa saja

177

tugasnya supaya lebih mudah dibedakan. Dijelaskan yang dimaksud dalam kategori kru siapa saja orangnya. e. Halaman 3: apa itu EEFTA?. f. Halaman 6: Gambar contoh penggunaan EEFTA tidak jelas. g. Halaman 7: NTSB yang dikata pengantar dijelaskan secara detail maksudnya. h. Halaman 8: ATC itu apa? i. Halaman 10: Ketidakakurasian disambung apa dipisah? j. Halaman 11: Kru air traffic controller sebelumnya disingkat ATC kok dijabarkan lagi?. k. Halaman 12: Impak itu apa?. l. Halaman 14: Seaman. Diganti dengan tingkat keamanan saja. m. Halaman 32: Alasan pengklasifikasian checklist faktor manusia? Arti dan maksud tiap pengklasifikasian apa?. n. Halaman 55: Penyambungan kata. Untuk poin a, b, e, g, h, k pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan membuat nomenklatur atau daftar istilah-istilah yang terdapat pada juklak beserta maksud dan arti istilah itu. Diharapkan orang awam yang tidak paham mengenai istilah penerbangan pada panduan juklak dapat memanfaatkan nomenklatur panduan juklak tersebut. Untuk poin c pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan memasukkan pengantar mengenai penjelasan tahapan penyelidikan kecelakaan pesawat udara dan disusul dengan diagram alir tahapan penyelidikan kecelakaan baik secara umum maupun yang disebabkan oleh kesalahan manusia beserta penjelasan tiap tahapan penyelidikan tersebut. Untuk poin d pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan mengganti semua kata-kata ejaan asing ke bahasa Indonesia kecuali kata-kata yang jika di Indonesiakan maknanya jadi tidak tersampaikan atau kata-kata yang memang belum ada artinya dalam bahasa Indonesia. Yang dimaksudkan dengan kru pada panduan juklak ini adalah kru pesawat udara baik kru kokpit (pilot dan ko-pilot) maupun kru kabin (pramugari), kru perawatan dan pemeliharaan, kru ATC, dan kru lainnya yang bertanggung jawab pada pengoperasian pesawat udara
178

dan mungkin sebagai penyebab terjadinya kecelakaan. Hal ini sudah ditambahkan oleh peneliti pada panduan juklak penyelidikan kecelakaan. Untuk poin f pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan mempertajam kualitas gambar contoh penggunaan metode EEFTA sebagai metode yang membantu penyelidikan menggunakan perangkat lunak yang mampun mempertajam kualitas gambar sehingga tulisan yang ada didalamnya dapat terbaca. Untuk poin i pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan memeriksa penyambungan ketidakakurasian pada kamus besar bahasa Indonesia dan kata ketidakakurasian dalam kamus besar bahasa Indonesia disambung dan tidak dipisah. Untuk poin j pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan memeriksa kembali seluruh singkatan pada panduan juklak terutama penulisan kru air traffic controller menjadi kru ATC. Sementara singkatan dan makna kru ATC sudah dijelaskan pada nomenklatur. Untuk poin l pada ulasan responden, seaman pada kalimat komitmen perusahaan untuk memastikan bahwa karyawan mengerjakan pekerjaan dengan prosedur dan tingkat keamanan seaman yang dapat dilakukan adalah sesuai artinya dan tidak perlu diubah menjadi tingkat keamanan. Untuk poin m pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan menambahkan pada panduan juklak penyelidikan kecelakaan tujuan dari checklist faktor manusia yaitu: Memudahkan proses pengambilan data dan analisis. Memudahkan proses pengklasifikasian jawaban yang telah diperoleh melalui wawancara terhadap saksi mata oleh penyelidik kedalam checklist untuk melihat pola pada kecelakaan paling banyak pada tingkatan keberapa HFACS sehingga penyelidik bisa berkonsentrasi dan fokus menyelidiki tingkatan tersebut. Arti dan maksud tiap pengklasifikasian adalah pengklasifikasian disesuai dengan daftar pertanyaan saksi mata yang telah dirancang, dan jawaban dari pertanyaan akan analisis menggunakan checklist faktor manusia sehingga terlihat
179

pola penyebab terbesar kecelakaan pesawat udara berada dimana pada tingkatan HFACS dimana nantinya penyelidik dapat lebih berfokus menyelidiki dan memberikan rekomendasi perbaikan sehingga penyebab yang sama tidak terulang kembali. Untuk poin n pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan memeriksa kembali seluruh penyambungan kata pada panduan juklak

penyelidikan kecelakaan. Jika terdapat penyambungan kata yang salah pada panduan juklak, peneliti dengan bersumberkan kamus besar bahasa Indonesia memperbaiki penyambungan kata tersebut. 2. Analisis Ulasan Kategori 2 Ulasan kategori berpengalaman dilakukan oleh mahasiswa Teknik Manajemen Industri ITB angkatan 2010 yang mempelajari dan mempunyai pengetahuan dengan jangka waktu 1-6 bulan mengenai penyelidikan kecelakaan, pembacaan dan pengaplikasian juklak sebagai pandauan penyelidikan kecelakaan serta pengetahuan mengenai metode HFACS. Hasil ulasan adalah sebagai berikut: a. Dalam penyampaian kata-kata pada beberapa bagian terdapat ungkapan yang dapat menimbulkan ambiguitas seperti: buruk, tidak memiliki kemampuan, melebih kapasitas, dan lainnya. Hal ini dikhawatirkan akan menyulitkan proses penyelidikan. b. Panduan yang dibuat berada dalam konteks dunia penerbangan. Praktisi dalam dunia penerbangan dapat memahami isi dengan relative mudah tetapi tetap memerlukan penyuluhan untuk memahami metode HFACS. c. Perlu adanya penjelasan lebih lanjut mengenai sistematika proses dari tahap checklist hingga dihasilkan klasifikasi HFACS. Proses ini sangat ditentukan oleh pemahaman pengguna dengan demikian alangkah lebih baik jika ada semacam penjelasan khusus untuk meminimalisasi dualisme persepsi dalam penggunaanya. Untuk poin a pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan melakukan pemeriksaan kembali terhadap panduan juklak penyelidikan kecelakaan dan mengganti kata-kata yang dianggap dapat menimbulkan

180

ambiguitas dan makna ganda seperti: tidak memiliki kemampuan menjadi kemampuan dibawah standar, buruk menjadi tidak baik. Untuk poin b pada ulasan responden, peneliti hanya bisa menyarankan kepada penyelidik yang ingin mengetahui dan mendalami pengaplikasian metode HFACS dengan membaca teori mengenai HFACS yang berasal dari jurnal, buku, presentasi dan lainnya. Metode ini mampu mengklasifikasikan dan menemukenali tidak hanya penyebab aktif kecelakaan tetapi penyebab pasif yang mempengaruhi kesalahan aktif terjadi. Untuk poin c pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan penambahan tujuan checklist faktor manusia, dan tujuan pengkodean HFACS serta contoh kasus nyata pengklasifikasian kecelakaan pesawat udara maskapai Adam Air yang hilang di perairan Indonesia sehingga dualisme pada penggunaan dan pengklasifikasian metode HFACS tidak terjadi. Peneliti juga menambahkan ringkasan tahapan penyelidikan kecelakaan pesawat udara dari awal sampai penyelidikan berakhir beserta alat dan metode yang dapat membantu proses penyelidikan tersebut. 3. Analisis Ulasan Kategori 1 Ulasan kategori ahli dilakukan oleh dua mahasiswa Teknik Manajemen Industri ITB angkatan 2009 yang mempelajari dengan jangka waktu satu tahun lebih dan mempunyai pengetahuan mengenai penyelidikan kecelakaan,

pembacaan dan pengaplikasian juklak sebagai pandauan penyelidikan kecelakaan serta pengetahuan mengenai metode HFACS. Hasil ulasan adalah sebagai berikut: Hasil Ulasan Responden 1 Kategori Ahli a. Cantumkan daftar nomenklatur pada bagian awal juklak karena banyak sekali istilah-istilah yang digunakan baik mengenai pesawat, teknik analisis dan lainnya. b. Contoh formulir untuk wawancara sebaiknya diletakkan di bagian lampiran agar tidak tercampur dengan teori dan langkah investigasi. Di bagian utama juklak dapat dituliskan formulir wawancara saksi terdapat pada lampiran C.

181

c. Bagian checklist faktor manusia perlu diberikan bagian checklist kondisi lain-lain untuk mengakomodir kejadian yang belum tercover oleh checklist yang ada (dengan asumsi investigator telah mengerti definisi setiap lapisan dalam HFACS). d. Beri contoh checklist penggunaan pengkodean HFACS seperti PCOxxx untuk mempermudah pemahaman mengenal faktor-faktor pada HFACS dan mempermudah pemahaman dalam penggunaan. e. Kalau bisa dipersingkat juklaknya atau dipisah bagian teori dengan bagian aplikasi. Untuk poin a pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan membuat daftar istilah beserta makna dan arti istilah tersebut (nomenklatur) sehingga orang awam yang membaca panduan juklak penyelidika dapat memahami mengenai istilah-istilah dunia penerbangan, keteknikan dan teknik analisis yang digunakan pada panduan juklak penyelidikan kecelakaan. Untuk poin b pada ulasan responden, peneliti mewadahinya dengan memisahkan antara teori beserta langkah-langkah penyelidikan dan formulir wawancara. Formulir daftar pertanyaan saksi mata, formulir pernyataan saksi mata, formulir pernyataan penumpang, contoh kasus pengklasifikasian kecelakaan pesawat udara Adam Air menggunakan metode HFACS, dan checklist faktor manusia berada pada lampiran. Sementara teori dan langkah penyelidikan kecelakaan pesawat udara berada pada isi panduan juklak. Untuk poin c pada ulasan responden, bagian checklist faktor manusia menyesuaikan dengan daftar pertanyaan wawancara saksi mata, dan pertanyaan ini dibuat menyesuaikan dengan kecelakaan yang terjadi kecuali pertanyaan: kegiatan dalam 72 jam terakhir, riwayat da sejarah kecelakaan, perubahan gaya hidup, medis dan obat-obatan, beban kerja operator, lingkungan, suasana dan keadaan hati, latar belakang kru, dan budaya perusahaan. Pertanyaan lainnya dapat dibuat bergantung tipe kecelakaan dan tingkat keseriusan kecelakaan (hal ini dapat dilakukan dengan asumsi bahwa penyelidik memahami penggunaan metode HFACS).

182

Untuk poin d ulasan responden, contoh penggunaan pengkodean HFACS sudah disertakan oleh peneliti pada Lampiran D yang berisikan contoh kasus pengklasifikasian kecelakaan pesawat udara adam air PK-KKW menggunakan metode HFACS. Seperti contoh salah satu penyebab terjadinya kecelakaan yaitu: Pilot tidak menerima pelatihan IRS (Sistem Pembacaan Inersial/Inertial Reading System) mengenai bagaimana menghadapi kegagalan pada instrumen IRS yang merupakan kesalahan pada tingkatan organisasi (OIP104 Program dan Isu Pelatihan oleh Organisasi). Untuk poin e ulasan responden, mengenai penyingkatan isi juklak tidak dapat dilakukan karena isi juklak merupakan satu bagian yang berkesinambungan dan tidak dapat dipisah atau dihilangkan salah satu bagian. Yang dapat dilakukan adalah memisahkan antara bagian teori dan langkah penyelidikan masuk pada bagian isi sementara bagian formulir daftar pertanyaan saksi mata, formulir pernyataan saksi mata, formulir pernyataan penumpang, contoh kasus pengklasifikasian kecelakaan pesawat udara Adam Air menggunakan metode HFACS, dan checklist faktor manusia berada pada lampiran. Hasil Ulasan Responden 2 Kategori Ahli a. Pada diagram alir tahapan penyelidikan kecelakaan pesawat udara baik secara umum maupun faktor manusia, setelah mulai kok langsung analisis yah, harusnya ketika terjadi kecelakaan data-data apa saja yang dikumpulkan terlebih dahulu, terus kemudian dianalisa, baru muncul data mentah apa saja yang akan dimanfaatkan dalam analisa menggunakan HFACS. b. Kurang dijelaskan arti simbol-simbol pada penggunaan metode EEFTA. c. Pada diagram alir informasi yang dibutuhkan pada penyelidikan faktor manusia, Informasi ini bermanfaat sebagai masukan dalam HFACS. Sebaiknya ini yang digunakan sebagi input dalam HFACS sehingga ketika pengambilan data dapat memudahkan investigator dalam melakukan analisa.

183

d. Pada pengkodean HFCAS, harusnya kebutuhan data juga dikodein biar mudah nanti kode ini mengarah kemana, klo begini ketika saya baca bingung manfaat kodenya belum terlalu muncul. e. Dari juklak yang sudah dibaca kesulitan ditemui pada saat menganalisa menggunakan HFACS adalah kebutuhan data apa yang harus dimasukan dalam HFACS. Saran yang diberikan adalah mengkodekan kebutuhan data sehingga ketika menghadapi framework HFACS sudah jelas kebutuhan dapat apa saja yang diperlukan sehingga

mempersingkat waktu dalam melakukan investigasi. Untuk poin a ulasan responden, tahapan penyelidikan kecelakaan pesawat udara baik secara umum maupun faktor manusia, penyelidik melakukan revisi terhadap beberapa poin pada tahapan penyelidikan kecelakaan pesawat udara yaitu: 1. Analisis rekaman penerbangan (CVR dan FDR) direvisi menjadi data dan informasi rekaman penerbangan (CVR dan FDR). 2. Analisis reruntuhan akibat kecelakaan pesawat udara direvisi menjadi data dan informasi reruntuhan akibat kecelakaan pesawat udara. 3. Analisis lainnya (checklist, simulasi pesawat, riwayat penerbangan) direvisi menjadi data dan informasi lainnya (checklist, simulasi pesawat, riwayat penerbangan). 4. Analisis rekaman air traffic services direvisi menjadi data dan informasi rekaman air traffic services. Untuk poin b ulasan responden, peneliti sudah menambahkan penjelasan mengenai simbol-simbol yang ada pada metode EEFTA sehingga penyelidik diharapkan dengan membaca keterangan ini dapat memahami penggunaan metode EEFTA. Untuk poin c ulasan responden, pada diagram alir informasi yang dibutuhkan pada penyelidikan faktor manusia peneliti menambahkan dengan menghubungkan informasi yang dibutuhkan kepada tingkatan HFACS yaitu: Perilaku mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Conditions of Individuals/Operators pada bagian

184

Adverse Physiological States dan sub tingkatan Substandard Practice of Operators pada bagian Personal Readiness pada HFACS. Kesehatan mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Conditions of Individuals/Operators pada bagian Adverse Physiological States dan sub tingkatan Substandard Practice of Operators pada bagian Personal Readiness pada HFACS. Operasional mempunyai kesamaan dengan tingkatan Unsafe Supervision pada sub tingkatan Inadequate Supervision dan sub tingkatan Substandard Practice of Operators pada bagian Crew Resource Management dan tingkatan Organizational Influences pada bagian Resource Management dan Organizational Process pada HFACS. Tugas mempunyai kesamaan dengan tingkatan Unsafe Acts of Operator pada HFACS. Desain Peralatan dan Perlengkapan mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Environmental Factors dan tingkatan Organizational Influences pada bagian Resource Management dan Organizational Climate pada HFACS. Lingkungan mempunyai kesamaan dengan tingkatan Preconditions for Unsafe Acts dan sub tingkatan Environmental Factors pada HFACS. Untuk poin d dan e ulasan responden, mengenai manfaat pengkodean pada contoh penggunaan pengkodean HFACS sudah disertakan oleh peneliti pada Lampiran D yang berisikan contoh kasus pengklasifikasian kecelakaan pesawat udara adam air PK-KKW menggunakan metode HFACS. Seperti contoh salah satu penyebab terjadinya kecelakaan yaitu: kesalahan pengetahuan akan prosedur dan teknis Pilot tidak memiliki pengetahuan yang cukup terhadap sistem pesawat untuk bertindak dengan cepat dan tepat ketika menghadapi permasalahan dengan sistem IRS. Penyelidik dapat memberikan rekomendasi bahwa pilot harus

mendapatkan pelatihan baik secara teori maupun prakteknya minimal mengetahui prinsip kerja sistem yang ada pada pesawat sehingga ketika menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan sistem IRS maupun sistem lainnya dikarenakan pilot sudah memiliki pengetahuan, pilot dapat

185

bertindak secara lebih tenang dan lebih tepat sesuai dengan pengetahuan dan pelaksanaan prosedur yang ia telah ketahui.

186

Anda mungkin juga menyukai