Anda di halaman 1dari 44

september - oktober 2008

buletin

Penataan Ruang sebagai Dasar dalam


Pengembangan Manajemen Transportasi
Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD
Proses perencanaan yang bersifat partisipatoris, saya percaya, akan
menghindari bias-bias para planner dan elit politik dalam proses
perencanaan. Proses partisipatoris juga akan menciptakan kontrol publik,
sehingga kota atau daerah bisa menjelma menjadi milik warga
Kawasan Aglomerasi
Perkotaan YOGYAKARTA dan
Trans Jogja

ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi


Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Teknologi Wireles/Wifi

TRANS JAKARTA DAN


PERANNYA BAGI PERBAIKAN
URBAN GOVERNANCE:
Sebuah Kajian Kritis

Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di Jakarta


SEGERA BANGUN JEMBATAN SELAT SUNDA
Kerjasama antar Daerah dalam Penataan Ruang
Kawasan Jabodetabekpunjur

BKTRN
BADAN KOORDINASI TATA RUANG NASIONAL

Becak dan Kesahajaan Promosi


Pariwisata Yogyakarta
Menunggu Jalur Lintas Selatan Pulau
Jawa Menjadi Kenyataan
Penataan Ruang untuk Mengatasi Masalah
Pemukiman Liar di Sekitar Instalasi Militer
Tanggung Jawab Perencanaan dalam
Pembangunan Berbasis Penataan Ruang
* buletin tata ruang

dari redaksi.
Dalam edisi kelima penerbitan Buletin Tata Ruang, semangat
kami tetap menyala untuk menyampaikan ide-ide atau tulisantulisan yang membahas penataan ruang dengan berbagai
aspeknya. Kali ini yang ingin kami angkat adalah tema yang
berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi wilayahwilayah dan kota-kota (baik metro, besar maupun sedang) di
seantero Indonesia, yaitu permasahan transportasi.
Kami ingin mengangkat isue yang kami nilai aktual menjadi
tema penerbitan edisi ini, yaitu : Penataan Ruang sebagai
Dasar dalam Pengembangan Manajemen Transportasi.
Tentunya tema ini didasari pemikiran, bahwa penataan ruang
dan manajemen transportasi adalah dua hal yang saling
memiliki keterkaitan. Kaidah yang berlaku dalam penataan
ruang adalah optimalisasi pemanfaatan ruang melalui antara
lain penggunaan lahan yang optimal dan tertata sedemikian
rupa. Pada sisi lain, tentunya manajemen transportasi tidaklah
bisa dirumuskan dengan meminimalkan permasalahan yang
mungkin timbul pada tataran implementasi di lapangan apabila
tanpa memperhatikan rencana pemanfaatan ruang yang ada.
Pembaca yang budiman,
Kami menyadari tidaklah mudah merancang manajemen
transportasi dengan memperhatikan sebesar-besarnya
kaidah dan rencana tata ruang yang ada. Salah satu kendala
tentunya adalah kekuatan pasar yang kadang-kadang menjadi
pertimbangan utama, katakanlah misalnya dalam penentuan
trayek atau jalur angkutan massal perkotaan. Oleh karena
itu, harus ada pemahaman yang benar mengenai penataan
ruang yang harus dibarengi dengan kerja keras, dan upayaupaya yang tiada henti, termasuk upaya menyebarluaskan
tulisan-tulisan yang merupakan buah pemikiran para pakar
dan praktisi bidang penataan ruang, dan bidang transportasi
tentunya. Semua yang kami sampaikan dimaksudkan juga
untuk membuka kesadaran kita semua mengenai betapa
pentingnya penataan ruang di dalam mendukung manajemen
transportasi.
Tulisan-tulisan yang kami angkat untuk dipublikasikan dalam
edisi ini adalah buah karya para akademisi, praktisi, dan pemerhati
transportasi. Semuanya kita arahkan untuk mendukung tema
yang kami pilih. Tokoh yang kami pilih adalah figur tokoh yang
memiliki komitmen tinggi terhadap masalah sosial-ekonomi,
termasuk pertanahan, yaitu DR.Ir. Hetifah, MPP. Profil wilayah,
kami sengaja mengedepankan Kawasan Aglomerasi Perkotaan
Yogyakarta dan dukungan sistem transportasi masal perkotaan
Trans Jogja. Di sana kita bisa melihat saling keterkaitan antara
penataan ruang dengan manajemen transportasi yang saling
mengisi dan saling terpadu.
Untuk itulah, pada kesempatan yang baik ini, Dewan Redaksi
Buletin Tata Ruang mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang memiliki
kontribusi nyata dalam penyiapan Buletin Tata Ruang edisi ini.
Pada akhirnya, kami berharap tulisan-tulisan yang kami sajikan
dapat memperluas horison pemikiran kita semua.
Terimakasih dan selamat membaca.

sekapur sirih.
Rasa syukur yang mendalam mengiringi penerbitan Buletin Tata Ruang
edisi September-Oktober 2008 ini, karena hanya atas izin-Nya, kami masih diberi kesempatan melanjutkan penerbitan Buletin Tata Ruang ini. Untuk itu, selayaknya kita panjatkan rasa terima kasih yang tidak terhingga
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan yang selalu diberikan
kepada kita untuk terus berkarya.
Dalam khasanah penataan ruang, kata kunci yang sangat penting dalam
pengembangan sebuah pusat pertumbuhan, adalah aksesibilitas. Tingkat
aksesibilitas sebuah pusat pertumbuhan sangat menentukan efektivitas
fungsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pada dasarnya,
pusat pertumbuhan memainkan peranan penting karena adanya daya
pengungkit (leverage) dalam mendorong kegiatan ekonomi di daerahdaerah yang berada didalam radius pengaruh dari pusat pertumbuhan
tersebut.
Pada sisi lainnya, tingkat aksesibilitas yang tinggi yang antara lain dicirikan adanya kelengkapan jaringan infrastruktur yang memadai dan
handal, menjadi daya tarik untuk berinvestasi bagi investor domestik
dan asing. Namun harus pula diperhatikan bahwa pembangunan jaringan infrastruktur seyogyanya memperhatikan rencana tata ruang di
wilayah yang bersangkutan. Bahkan pada tataran yang lebih teknis, penataan ruang semestinya telah dijadikan sebagai dasar di dalam upaya
pengembangan manajemen transportasi. Penentuan trayek, jenis alat
transportasi dan prasarana idealnya didasarkan atas keberadaan pusatpusat pertumbuhan/pusat kegiatan ekonomi, pusat-pusat permukiman,
kawasan penghasil bahan baku, pusat-pusat produksi/pemasaran, yang
semuanya seharusnya tergambar dalam rencana tata ruang wilayah yang
bersangkutan, termasuk pula memperhatikan kecenderungan-kecenderungan perkembangan suatu kawasan.
Oleh karena itu, pemilihan tema pada edisi kelima ini, yaitu Penataan Ruang sebagai Dasar dalam Pengembangan Manajemen Transportasi memiliki relevansi yang kuat dengan upaya pembenahan sistem transportasi
dan upaya untuk mengembangkan wilayah yang tengah dilaksanakan.
Beberapa contoh, antara lain : upaya pembenahan sistem transportasi
DKI Jakarta melalui pembangunan jaringan busway, Yogyakarta, Depok,
dan kota-kota lainnya, serta pembangunan Jembatan Suramadu yang
menghubungan Surabaya dengan Pulau Madura, Jalur Jalan Lintas Selatan yang melintasi kawasan pantai selatan Pulau Jawa sebagai upaya
menyeimbangkan pertumbuhan utara-selatan. Dalam contoh-contoh
tersebut, rencana tata ruang sekurang-kurangnya harus mampu memberikan gambaran kawasan yang akan dilewati jaringan transportasi
menyangkut kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan fisik-lingkungan, serta
kecenderungan pertumbuhannya berdasar potensi dan kendala yang dimiliki masing-masing kawasan, sehingga penyelenggaraan penataan ruang dan pesan-pesan yang akan disampaikan melalui rencana tata ruang
dapat terwujud.
Harapan kami, ketika rencana tata ruang telah menjadi dasar pengembangan manajemen transportasi, rencana tata ruang telah memenuhi
standar untuk diacu sekaligus telah mampu memberikan gambaran kondisi-kondisi ke depan dengan dikembangkannya sistem transportasi di
suatu wilayah.
Direktur Jenderal Penataan Ruang-Departemen Pekerjaan Umum
Selaku Sekretaris Tim Teknis BKTRN

Imam S. Ernawi

 buletin tata ruang *

profil tokoh.

Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD

02

Proses perencanaan yang bersifat partisipatoris, saya


percaya, akan menghindari bias-bias para planner dan elit
politik dalam proses perencanaan. Proses partisipatoris juga
akan menciptakan kontrol publik, sehingga kota atau daerah
bisa menjelma menjadi milik warga

profil wilayah.
Kawasan Aglomerasi Perkotaan
YOGYAKARTA dan Trans Jogja

06

Pelindung: Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.,


DR. Ir. Bambang Susantono, MCP, MSCE.,
Ir. Max A. Pohan., Ir. Hermian Roosita., Drs.
Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM. l Penanggung
Jawab: Ir. Iman Soedradjat, MPM., Ir. Deddy
Koespramoedyo, M.Sc., Ir. Bambang Setiabudi, MURP., Drs. Sofjan Bakar, M.Sc., Ir. Budi
Santoso, Dipl. HE. l Penasehat Redaksi: DR.
Ir. Ruchyat Deni Dj, M.Eng., Ir. Iwan Taruna
Isa, MURP., Ir. Ferryanto Djais, MMA., Ir. Harry
Djauhari, CES. l Pemimpin Redaksi: Ir. Maman Djumantri, M. Si., l Wakil Pemimpin Redaksi: Ir. Soerono, MT l Redaktur Pelaksana:
Agus Sutanto, ST, M.Sc l Sekretaris Redaksi:
Rahma Julianti, ST, M.Sc l Staf Redaksi: Ir.
Nana Apriatna, MT., Ir. Salusra Widya, MA.,
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM., Ir. Gunawan,
MA., Ir. Laksmi Wijayanti, MCP., Endra Saleh
Atmawidjaya, ST, MSc, DEA., Hetty Debbie R.,
ST., Tessie Krisnaningtyas, SP., Dian Zuchraeni Ekasari H., ST l Koordinasi Produksi: Aron
Nugraha, SH l Staf Produksi: Endang Artati,
S.Sos l Koordinasi Sirkulasi: Supriyono, S.Sos
l Staf Sirkulasi: Dhyan Purwati, S.Kom., Alwirdan, BE l Desainer Grafis: Achmad Fadillah,
S.Sn l Penerbit: Sekretariat Tim Teknis BKTRN
l Alamat Redaksi: Gedung G II, Jalan Pattimura No. 20 Kebayoran Baru, Jakarta 12110
l Telp. (021) 7226577 l Fax: (021) 7226577
l website BKTRN: http://www.bktrn.org l
Email: timteknis_bktrn@yahoo.com dan
redaksi_butaru@pu.go.id

pengembangan profesi.

Oleh: Agus Sutanto, ST., M.Sc.


Anggota Bidang Pengembangan Profesi Ikatan Ahli Perencanaan IAP

September-Oktober 2008

34

topik utama.

13

TRANS JAKARTA DAN PERANNYA BAGI PERBAIKAN


URBAN GOVERNANCE: Sebuah Kajian Kritis

Oleh : Danang Parikesit


Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada (dparikesit.staff.ugm.ac.id),
Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) dan
Chairman The International Forum for Rural Transport and Development (www.ifrtd.org)

15
21

ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP)


Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Oleh: DR. Bambang Susantono
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia

Bangunan Baru dan Ancaman Kemacetan di Jakarta


Oleh : Darmaningtyas
(Tim Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia)

26

SEGERA BANGUN JEMBATAN SELAT SUNDA

oleh: Dr. Ir. I.F. Poernomosidhi Poerwo, M.Sc, MCIT, MIHT

Tenaga Ahli Fungsional Ditjen Penataan Ruang Departemen PU

topik lain.

32
41

Tanggung Jawab Perencanaan dalam Pembangunan


Berbasis Penataan Ruang

agenda kerja BKTRN.

daftar isi.

35

Kerjasama antar Daerah dalam Penataan Ruang


Kawasan Jabodetabekpunjur

oleh: Sekretaris Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jabodetabek

Becak dan Kesahajaan Promosi Pariwisata Yogyakarta

Oleh : Ir. Bambang Suwarmintarta


Ka. Bid. Pengembangan Kepariwisataan Baparda DIY

37
39

Menunggu Jalur
Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan

Laporan dari Mataram Nusa Tenggara Barat


RAPAT KERJA BKPRD SE INDONESIA
oleh: Sekretariat Tim Teknis BKTRN

* buletin tata ruang

profil tokoh.
Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD
Planner yang Aktifis Politik

Pengantar Redaksi:
Ir. Hetifah Sj. Siswanda, MPP, PhD, biasa dipanggil Hetifah saja, menyelesaikan pendidikan keahlian pada bidang
Perencanaan Kota dan Wilayah di Institut Teknologi Bandung, kemudian melanjutkan studi Master in Public Policy
pada National University of Singapore, dan meraih gelar PhD dari School of Politics and International Relations, Flinders
University Adelaide Australia atas dukungan beasiswa dari Ford Foundation.
Bersuamikan Ir. Siswanda Harso Sumarto, MPM dan telah dikaruniai empat orang Puteri, Amirah Kaca (Mahasiswa),
Amanda Kistilensa (SMA), Asanilta Fahda (SMP), dan Nahla Tetrimulya (SD).
Hetifah adalah seorang aktivis. Semasa kuliah, pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Planologi ITB (19851986). Sekarang Ketua Alumni Planologi ITB dan sehari-hari bergelut mengadvokasikan reformasi tata pemerintahan
dalam jabatannya sebagai Direktur Eksekutif Bandung Trust Advisory Group (B-Trust). Hetifah menjalankan karirnya
di LSM sejak tahun 1992, dengan mendirikan AKATIGA, Partnership on Local Governance Initiative (IPGI) atau saat ini
disebut Inisiatif, kemudian jaringan organisasi masyarakat sipil Sarasehan Warga Bandung (Sawarung).
Hetifah banyak terlibat dalam proses advokasi dan legal drafting berbagai peraturan daerah maupun peraturan di
tingkat pusat seperti Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, maupun Undang-Undang, antara lain revisi UndangUndang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berbagai lembaga internasional, antara lain CIDA, GTZ, TAF,
USAID, Ford, AusAID, dll., pernah mempercayakan Hetifah sebagai konsultan, peneliti dan fasilitator mereka untuk
mendorong reformasi tata pemerintahan di daerah.
Hetifah menulis beberapa buku, antara lain, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan
Partisipatif di Indonesia (Penerbit Obor). Tahun 2008 lalu mencoba mencalonkan diri sebagai Walikota Bandung
dengan 100 Program-nya (lihat: hetifah.com).
Berikut wawancara eksklusif Bulletin Tata Ruang (BUTARU) dengan Hetifah Siswanda (HS).
BUTARU: Sebagai seorang planner, Anda memfokuskan perhatian pada participatory planning, mengapa?
HS:

Realitas saat ini menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang terkait dengan sumber daya publik
umumnya tidak melibatkan komunitas secara langsung. Keputusan biasanya dibuat oleh sekelompok
kecil orang yang tidak jarang memiliki kepentingan yang sempit. Tidak mengherankan jika pengambil
keputusan tentang sumber daya publik seperti ruang kota seringkali justru adalah para pelaku bisnis.
Saya berkeyakinan kewajiban planner-lah untuk memberi kesempatan kepada komunitas yang berbasis
lokalitas maupun kelompok sektoral, untuk bisa membaca permasalahan yang mereka hadapi,
memutuskan secara demokratis apa yang mereka perlukan, dan memberikan kepastian bahwa apa yang
mereka putuskan bisa dilakukan. Proses perencanaan yang bersifat partisipatoris, saya percaya, akan
menghindari bias-bias para planner dan elit politik dalam proses perencanaan. Proses partisipatoris juga
akan menciptakan kontrol publik, sehingga kota atau daerah bisa menjelma menjadi milik warga.

BUTARU: Apa pengertian participatory planning menurut Anda?


HS:

 buletin tata ruang *

Pengertian yang saya pahami tentang participatory planning adalah suatu kesepakatan tentang masa
depan yang diinginkan, yang dirumuskan melalui suatu proses deliberatif dan konsensus bersama,
bukan semata atas pertimbangan teknokratis dan akademis. Karena kita semua memahami, inti dari
perencanaan adalah mengelola perbedaan dan konflik tentang bagaimana sumber daya ruang maupun
uang yang terbatas bisa dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Maka dari itu suara berbagai
kelompok selayaknya diberi tempat.

profil tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik

BUTARU: Ada pendapat, di era demokratis, planner yang sebenarnya adalah para pemangku kepentingan
dan masyarakat menjadi pemeran utama, bukan sekedar pelengkap. Sementara profesional
seperti Anda adalah fasilitator atau mediator. Apa pendapat Anda?
HS:

Posisi sebagai fasilitator atau mediator justru adalah untuk membuka ruang bagi warga, khususnya
mereka yang selama ini tidak bisa bersuara dan terpinggirkan, untuk bisa aktif dan menjadi pemeran
utama dalam proses perencanaan. Sementara saya melihat profesi para planner saat ini cenderung
menjadi fungsionaris pemerintah dan tidak jarang para planner terjebak ke dalam sistem birokrasi
sehingga tidak mampu menjalankan perannya untuk menjembatani adanya partisipasi yang sehat.

BUTARU: Benarkah participatory planning belum menjadi perhatian di negara berkembang seperti
Indonesia? Bagaimana kondisi participatory planning di Indonesia dan prospeknya di masa
depan?
HS:

Sesungguhnya participatory Planning sudah lama memperoleh perhatian di Indonesia, dan sudah cukup
banyak kerangka hukum yang mengaturnya, utamanya pasca desentralisasi. Hanya saja, pada praktiknya
participatory planning di Indonesia kurang efektif, dan cenderung tidak berkelanjutan. Namun dengan
perkembangan politik yang lebih kondusif belakangan ini, saya yakin prospek participatory planning di
Indonesia akan cerah, tentu dengan banyak upaya untuk mengawalnya.

BUTARU: Apakah lembaga pemerintah memberikan respon positif terhadap participatory planning process?
Jika dipandang tidak memadai, di mana letak persoalannya?
HS:

Partisipasi akan lebih berfungsi tidak semata ketika ada kebijakan yang mengaturnya, tapi manakala
informasi maupun dukungan lain tersedia. Partisipasi juga akan lebih efektif ketika komunitas dan
kelompok-kelompok warga mampu mengorganisir diri dan terus meningkatkan kompetensi maupun
keterampilannya. Saat ini ketersediaan dan keterbukaan informasi masih menjadi masalah, demikian
pula proses pembinaan dan peningkatan kapasitas warga masih sangat minimal. Yang diharapkan ke
depan, partisipasi dalam perencanaan menjadi budaya yang terinternalisasi, lepas dari pendekatan
proyek semata.

BUTARU: Participatory planning sangat fokus pada proses, tentu membutuhkan waktu dan biaya yang tidak
sedikit. Sementara Anda menyebut birokrasi masih cenderung melihat perencanaan tata ruang
sebagai proyek yang harus selesai sesuai tahun anggaran. Bagaimana mempertemukan dua
cara pandang ini?
HS:

Aspek manajemen dan administrasi program pemerintah yang berbasis proyek harus diakui menjadi salah
satu hambatan besar dalam mendorong proses partisipatoris dalam perencanaan. Namun bukan tidak
mungkin program-program partisipatoris dibuat menjadi program multi-years. Masalahnya, hambatan
tidak hanya muncul dari sisi birokrasi, tetapi bisa juga dari anggota legislatif . Mereka perlu diyakinkan
dan mendapatkan penjelasan yang cukup tentang pentingnya mendukung dan menyediakan anggaran
yang memadai untuk program-program partisipatoris yang bersifat multi-years serupa ini.

Talkshow di salah satu stasiun Televisi

Dok: Suara Bumi Etam.Com


* buletin tata ruang

profil tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik

BUTARU: Sebagai profesional, menurut Anda apakah UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang sudah
cukup mengakomodasi participatory planning approach? Apa yang menjadi tantangan dalam
implementasinya?
HS:

Sebetulnya Undang-undang Penataan Ruang yang baru ini cukup radikal dalam mengakomodir
pendekatan partisipatif dalam perencanaan. Istilah peran masyarakat yang digunakan dalam Undangundang telah menggantikan istilan peran serta masyarakat dalam aturan yang lama. Ini mencerminkan
adanya filosofi yang menekankan pentingnya keaktifan dan inisiatif masyarakat. Apalagi dalam Undangundang ini peran masyarakat terbuka di keseluruhan proses dari mulai pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, serta pengawasan penyelenggaraan penataan ruang. Tantangan terdekat adalah menyusun
Peraturan Pemerintah yang dapat menjadi acuan bagi pelaksanaannya. Selain itu sosialisasi, deseminasi,
dan penguatan kapasitas yang lebih intensif dan ekstensif kepada pemerintah daerah maupun organisasi
civil society serta kelompok-kelompok peduli tata ruang sangat diperlukan, karena merekalah yang
nantinya akan menjadi ujung tombak pelaksanaannya.

BUTARU: Umumnya masyarakat Indonesia masih dihadapkan pada persoalan pemenuhan kebutuhan dasar
pangan, sandang, papan. Tentu tidak mudah untuk mengajak mereka masuk ke dalam arus
participatory planning. Ada kiat khusus?
HS:

Memang tidak mungkin mengajak semua orang masuk dalam arus participatory planning, yang penting
adalah memberikan kesempatan kepada sebanyak mungkin orang untuk memiliki pengalaman terlibat,
karena pengalaman adalah cara yang paling baik untuk meyakinkan masyarakat akan kegunaan
berpartisipasi untuk menolong dan memperbaiki nasibnya sendiri. Kiat lain terletak pada aspek
penguasaan metodologi dan teknik partisipasi. Berbagai teknik selayaknya dikembangkan sehingga
partisipasi tetap bisa berlangsung tanpa harus mengorbankan terlalu banyak waktu dan tenaga.

BUTARU: Pernah merasa lelah atau bahkan putus asa dalam mendorong participatory planning di
Indonesia?
HS:

Mendorong participatory planning masih terus saya lakukan dengan perbaikan dan inovasi sehingga
pendekatan ini menjadi lebih bisa diimplementasikan. Untuk menghindari kelelahan dan putus asa,
hargai saja setiap small victory yang telah kita raih.

BUTARU: Untuk mendorong participatory planning di Indonesia, apa agenda besar Anda dalam waktu dekat
ini?
HS:

Agenda terdekat adalah mendorong Peraturan Pelaksanaan di tingkat nasional sebagai penjabaran
proses partisipatoris dalam perencanaan di daerah, memberikan asistensi kepada beberapa daerah
yang tertarik menerapkan dengan serius proses partisipatoris dalam perencanaan, menjadikannya best
practice dan menyebarluaskan pengalaman tersebut ke daerah lainnya.

BUTARU:
Siapa yang sangat diharapkan untuk mendukung agenda itu? Dalam bentuk apa?
HS:

Dukungan utama yang diharapkan adalah adanya kemauan politik dari para pengambil keputusan di
tingkat nasional, maupun di daerah (provinsi dan kabupaten kota). Beberapa organisasi civil society,
asosiasi profesi bahkan para alumni dari jurusan planologi diharapkan dapat menginisiasi beberapa
pilot program, dan pengalaman ini hendaknya didokumentasi dengan baik untuk menjadi bahan
pembelajaran dalam rangka replikasi dan penyempurnaan aturan yang sudah ada.

BUTARU:
Di
tengah
keterbatasan
kapasitas
pemerintah, upaya peningkatan kesadaran
dan pemberdayaan masyarakat tentu
memerlukan dukungan dari organisasi
non pemerintah. Menurut Anda, apakah
dukungan ornop sudah memadai?
HS:

 buletin tata ruang *

Selama ini ada kepercayaan yang kuat bahwa


peran pembinaan hanya menjadi tugas
pemerintah bagi warganya. Padahal organisasi
non-pemerintah juga bisa menjalankan peran
ini. Artinya ornop bisa membantu pemerintah
untuk memperkuat kapasitas masyarakat

profil tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik

dan bahkan dalam beberapa kasus memperkuat aparat pemerintah sendiri. Efektif tidaknya dukungan
ornop sangat tergantung pula pada keterbukaan pemerintah. Banyak aparat pemerintah yang masih
menyepelekan kemampuan ornop atau bahkan alergi terhadap mereka.
BUTARU:
Bagaimana cara terbaik untuk mengembangkan jejaring ornop yang concern terhadap upaya
peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya ruang?
HS:

Ada beberapa jaringan civil society yang sudah eksis dan memiliki kepedulian dalam isu partisipasi
seperti partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran, hanya belum banyak yang
bekerja spesifik dalam isu pengelolaan sumber daya ruang. Mereka sudah memiliki pangalaman hanya
perlu mendapatkan tambahan pengetahuan dan kapasitas dalam memahami seluk beluk pengelolaan
sumber daya ruang.

BUTARU:
Kesadaran akan pengelolaan sumber daya ruang yang baik, seharusnya ditanamkan sejak anakanak usia dini. Menurut

Anda?
HS:

Saya sepakat, karena generasi muda adalah komponen warga yang penting, dan adalah satu tanggung
jawab planner untuk memberi landasan pengetahuan, kesadaran, dan ketrampilan kepada anak-anak
usia dini. Planner bisa berbicara pada mereka, tentang apa itu komunitas, apa peran mereka sebagai
warga, bagaimana mereka bisa terlibat dalam mempengaruhi lingkungan dimana mereka tinggal. Anakanak pun perlu diberi kesempatan untuk ikut bertanggung jawab sebagai warga yang aktif dan perhatian
terhadap lingkungan sekitarnya. Selain menerbitkan manual-manual sederhana (kids guide), kesadaran
ini bisa dibangun dengan menyisipkan materi dalam kurikulum studi sosial, bahasa, kesenian, ilmu alam,
dll.

BUTARU: Bagaimana Anda mengembangkan kesadaran tersebut di keluarga Anda?


HS:

Sebagai ibu dari empat anak, saya sering mengajak mereka untuk menelusuri dan mengenal lingkungan
sekitar, juga membuka saluran komunikasi seluas-luasnya dengan anak-anak tentang berbagai hal
yang terkait dengan tema-tema perkotaan sehari-hari seperti masalah sampah, pedagang kaki lima,
transportasi, dll. Selain itu beri mereka dorongan untuk suka membaca, dan membandingkan kondisi
kota dimana mereka tinggal dengan kota-kota lainnya dan mendiskusikan bersama mengapa kota lain
bisa lebih baik atau lebih buruk dari kota di mana kami tinggal.

BUTARU: Setiap orang pasti punya mimpi terkait profesinya. Apa mimpi Anda?
HS:

Menghapus konsep tradisional perencanaan tata ruang dan peran planner. Saya bermimpi setiap planner
memulai kerja mereka dengan bertanya terlebih dahulu kepada warga. Tentu konsekuensinya warga pun
perlu meningkatkan sensitivitas dan perhatiannya pada apa yang dirasakan orang lain tidak hanya pada
kepentingan dirinya sendiri. Saya mendambakan para planner ke depan bukan lagi kelompok eksklusif
yang tugasnya membuat aturan-aturan dan konsensus terbatas di ruang tertutup. Planner perlu memiliki
pengaruh politik yang lebih besar sehingga apa yang dicita-citakan masyarakat akan terealisasikan
melalui kerja dan pemikiran mereka. Tidak saja mereka menjadi lebih aktif berbicara melalui media yang
bisa menjadi saluran edukasi yang efektif bagi publik. Terlebih lagi, para planner bisa menjadi pembela
masyarakat apabila ditemui adanya praktik pelanggaran tata ruang yang merugikan publik. Dengan
demikian melalui tangan para planner diharapkan ruang kota akan memberikan kebahagiaan pada dan
dinikmati oleh semua warga, dari berbagai kelompok sosial, dari generasi sekarang maupun generasi
berikutnya.

BUTARU:
Anda juga terjun dalam dunia politik praktis, mengapa?
HS:

Sesungguhnya dalam mimpi saya tadi, seorang planner adalah advokat dan politisi sekaligus. Saya
bukan saja punya keinginan, tetapi merasa berkewajiban terjun dalam dunia politik.

BUTARU:
Seandainya Anda terpilih menjadi seorang pengambil keputusan kunci dalam pengembangan
wilayah atau kota, sebagai walikota misalnya, perubahan apa yang akan Anda buat dalam proses
perencanaan dan pembangunan?
HS:

Jika saja saya berkesempatan menjadi walikota, saya akan mengubah praktik-praktik pemerintahan yang
rigid, birokratis dan tidak responsif, dan akan menciptakan atmosfir kreatif di daerah. Karena saya yakin
warga kota yang cerdas, memiliki motivasi, imajinasi, dan kreativitas adalah sumberdaya utama yang
menentukan masa depan dan kemampuan kota atau daerah untuk beradaptasi dan membangun

* buletin tata ruang

profil wilayah.
oleh: Redaksi Butaru

Kawasan
Aglomerasi Perkotaan

YOGYAKARTA
dan Trans Jogja

I. LATAR BELAKANG
Kota
Yogyakarta
telah
tumbuh dan berkembang
ke wilayah sekitar yang
kemudian
beraglomerasi
membentuk
apa
yang
disebut sebagai Kawasan
Aglomerasi
Perkotaan
Yogyakarta (APY) ataupun
Greater Yogya. Bersama
dengan
pembangunan
infrastruktur berupa koridor
yang
menghubungkan
pusat-pusat
kegiatan,
Kawasan APY menjadi core
dan point
development
dalam konsep tata ruang
wilayah Provinsi DIY.
Perkembangan fisik Kawasan
Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) ditandai
dengan semakin luas wilayah terbangunnya. Salah satu
indikatornya adalah populasi penduduk telah mendekati
angka 1.000.000 jiwa. Selain itu, mobilitas manusia
serta aktivitas ekonomi masuk dan keluar dari pusat
Kota Yogyakarta telah bertambah dengan terjadinya
perubahan struktur pemanfaatan ruang desa-desa di
sebagian wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Bantul menjadi wilayah yang berciri kekotaan.
Perencanaan tata ruang Kota Yogyakarta telah dimulai
sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda ketika
Ir. Thomas Karsten (1941) membuat perencanaan
perluasan kota. Namun, perencanaan tata ruang kota
tahun 1941 tersebut tidak dapat digunakan sebagai
arahan pembangunan kota Yogyakarta yang saat ini
telah merkembang menjadi wilayah aglomerasi karena
perencanaan kala itu belum menyertakan muatan
kebutuhan skala metropolitan.
II. Lingkup Spasial
Kawasan APY meliputi tiga kawasan yang secara
administratif berada di wilayah yang berbeda. Mengacu
pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DI Yogyakarta No.
10 Tahun 2005, pada Pasal 41c, Kawasan APY mempunyai
fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang
mencakup wilayah kota Yogyakarta dan sebagian wilayah
kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan di wilayah
Kabupaten Bantul serta Kecamatan Depok, Ngemplak,
Ngaglik, Mlati dan Gamping di wilayah Kabupaten
Sleman. Wilayah ini merupakan wilayah pengembangan
sistem pelayanan Kota Yogyakarta yang melayani kotakota Berbah, Kalasan, Prambanan, Pakem, Cangkringan,
Sedayu serta Sentolo.

 buletin tata ruang *

III. STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN APY


Strategi pengembangan tata ruang Kawasan APY
dilakukan dengan pengendalian pemanfaatan ruang
dan pengendalian perkembangan permukiman. Dalam
hal ini, strategi yang akan diterapkan adalah sebagai
berikut:
1) mengembangkan pemanfaatan ruang secara terpadu
dengan pola pemanfaatan campuran di mana tema
kawasan ditetapkan dengan kesesuaian pemanfaatan
ruang di bawahnya;
2) mengembangkan Pusat Pelayanan Primer yang Baru
di sepanjang arteri primer terutama di bagian selatan
Kawasan APY;
3) mengembangkan sistem angkutan umum massal
sebagai moda angkutan utama antar pusat-pusat
kegiatan dan antar bagian-bagian kota;
4) mempertahankan dan mengembangkan RTH di
setiap wilayah baik sebagai sarana kota maupun
untuk keseimbangan ekologi kota;
5) mengembangkan dan mengoptimalkan penataan
ruang berdasarkan blok kawasan.
Dalam perspektif ekonomi, pembangunan tidak lain
berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
terutama masyarakat lokal (indigenous people). Oleh
karena itu, pengembangan Kawasan APY ini dapat
diorientasikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi
yang berbasis pada kapasitas atau keunggulan ekonomi
lokal. Meski demikian, yang penting dalam menentukan
tema-tema program pengelolaan, tidak hanya kegiatan
ekonomi, melainkan juga potensi kemampuan lahan,
kegiatan budidaya serta kecenderungan perkembangan

profil wilayah. Kawasan

Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans


Jogja

permukiman dan perkotaan.


Tema pengembangan kawasan dapat ditetapkan sebagai
berikut:
a) Kawasan Permukiman;
b) Kawasan Lindung Budaya, meliputi Kawasan Njeron
Beteng, Kawasan Kota Baru, Kawasan Pakualaman
serta Kawasan Kota Gede;
c) Kawasan Pendidikan Tinggi, meliputi Kawasan UGM,
UNY dan Kawasan pendidikan tinggi di Kecamatan
Depok serta di Kecamatan Gamping yang meliputi
Kampus UMY;
d) Zona Industri dan Pergudangan;
e) Bandara, yaitu Bandara Adisucipto;
f ) Kawasan Perdagangan
g) Kawasan Lindung Alam
IV. ARAHAN PENYEBARAN PENDUDUK
Perkembangan wilayah di Kawasan Aglomerasi Perkotaan
Yogyakarta (APY) sudah pada tahap memerlukan
arahan dan pengendalian terkait dengan pertumbuhan
fisik lahan terbangun yang terlihat pesat di lapangan.
Penyebaran penduduk yang tertinggi diarahkan pada
pusat kota dan secara gradatif makin menurun ke bagian
pinggiran kota.
Arahan penyebaran penduduk di wilayah perencanaan
dipilahkan atas penduduk yang berada di kawasan yang
sudah berkembang, yaitu pada kawasan di pusat kota
dan daerah pinggiran kota. Dalam hal ini, strategi yang

akan diterapkan adalah sebagai berikut:


1) Arah penyebaran meliputi area pusat kota dan area
perkembangan baru di tepi kota. Pertumbuhan
dan perkembangan penduduk akan dialokasikan
pada daerah-daerah kantong yang masih kosong di
kawasan kota dan daerah pinggiran kota. Distribusi
ini menimbang pula konservasi sistem air serta lahan
produktif pertanian.
2) Prioritas penyebaran diutamakan di pusat kota,
artinya diusahakan untuk meningkatkan kepadatan
penduduk sampai batas yang layak, serta pengisian
daerah kantong. Kepadatan sedang diterapkan
pada daerah yang akan dikembangkan sebagai
daerah pinggiran kota sebagai areal penopang
kehidupan kota. Sedangkan kepadatan rendah
pada daerah yang akan dikembangkan sebagai
lahan pertanian.
Pola pemanfaatan ruang wilayah Kawasan APY tidak
diarahkan pada pola guna tunggal, melainkan pola
guna campur dengan dominasi fungsi. Fungsi

dominan
ditentukan dari amatan terhadap kegiatan eksisting yang
dominan dalam kerangka yang telah ditentukan di atas.
Fungsi tersebut merupakan fungsi yang ingin dilindungi
serta didorong dari unit lahan tersebut.
Dalam pemahaman tersebut, pola ruang Kawasan APY
dibagi-bagi menjadi blok-blok yang fungsional dengan
memperhatikan:
1. Sejarah pembentukan suatu kawasan untuk tetap
mempertahankan citra secara keseluruhan;

Suasana di jalur pejalan kaki sisi timur Malioboro. Sejuk dan santai

* buletin tata ruang

profil wilayah. Kawasan

Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans


Jogja

2. Pelayanan eksisting dengan memberikan arahan


apakah akan didorong ataupun dikendalikan;
3. Ketetapan dalam kawasan lindung seperti resapan
air atau rawan bencana.
V. SISTEM JARINGAN TRANSPORTASI
Perkembangan kegiatan dan permukiman baru di
beberapa lokasi telah meningkatkan beban lalu lintas
yang relatif tinggi, terutama di sekitar Kawasan APY
seperti di penggal jalan Kaliurang, jalan Monjali,
jalan Godean, hingga mendekati kelebihan kapasitas
(overcapacity). Sementara itu, terjadi juga peningkatan
potensial di jalur yang menghubungkan jalan Magelang
(sekitar simpul Tempel) yang menembus Kota Sleman
bagian barat hingga ke jalan Wates (Moyudan). Prasarana

transportasi yang dikembangkan meliputi sistem


transportasi jalan raya (darat), kereta api dan udara.
a) Jaringan Transportasi Jalan
Berdasarkan arahan pembangunan jaringan jalan di
Pulau Jawa-Bali, wilayah DIY akan dilewati oleh jalan
Gelang Jawa Lintas Selatan dan Koridor Utara Selatan
Jawa. Sebagai konsekuensi, beberapa jaringan jalan
yang direncanakan akan berperan sebagai jalan
arteri primer di masa mendatang yaitu YogyakartaWonosari, Yogyakarta-Wates-Bandung, YogyakartaSecang-Semarang dan Yogyakarta-Klaten-Surakarta.
Jalan Arteri Primer : meliputi ruas jalan yang
menghubungkan kota-kota:
- Yogyakarta dengan Semarang, melalui Mlati,
Sleman dan Tempel.
- Yogyakarta dengan Surabaya, melalui Kalasan
dan Prambanan
- Yogyakarta dengan Bandung/Jakarta, melalui
Gamping
- Ringroad Kawasan APY di Depok, Mlati dan
Gamping.
Jalan Kolektor Primer: meliputi ruas jalan yang
menghubungkan kota-kota:
- Yogyakarta dengan Wonosari, melewati wilayah
Berbah
- Yogyakarta dengan Wates melalui Godean
- Yogyakarta dengan Kaliurang, melalui Ngaglik
dan Pakem.

VI. ARAHAN STRUKTUR RUANG WILAYAH


Struktur Ruang dimaksudkan untuk menentukan sistem
jenjang pelayanan yang dikaitkan dengan pusat-pusat
pelayanan yang ada. Rencana struktur ruang di Kawasan
APY pada dasarnya disusun berdasarkan pertimbangan
yaitu
1) Aktivitas, berarti kegiatan penduduk dalam
melakukan proses kegiatan termasuk didalamnya
kondisi kependudukan (heterogenitas kegiatan
usaha dan etnis, laju pertumbuhan penduduk, dan
sebagainya)
2) Tahapan Pengembangan, menyangkut seberapa
kebutuhan dari penduduk dan para pelaku
pembangunan lainnya dalam mengembangkan
Kawasan APY)
3) Kondisi Lingkungan, guna mengetahui kendalakendala alami dan buatan (preservasi dan konservasi)
yang harus diperhitungkan.
4) Sehingga rencana pengembangan yang dilakukan
tetap memperhatikan keserasian dan keselarasan
lingkungan.

4) Sehingga rencana pengembangan yang dilak

Beberapa prinsip dasar pertimbangan penyusunan


keserasian
danKawasan
keselaran
Rencana
struktur ruang
APY,lingkungan.
diantaranya :
1) Membatasi daerah perkotaan untuk tidak meluas dan
Beberapa prinsip dasar pertimbangan pe
tidak beraturan
2)
Menjaga
keberadaan
kawasan
lindung :
ruang
Kawasan
APY,
di antaranya
3)
Mengintegrasikan fungsi dan sistem kota-kota
1)
Membatasi daerah
perkotaan
untukditidak
4)
Mengantisipasi
perkembangan
kegiatan
masameluas
mendatang
2) Menjaga keberadaan kawasan lindung
5)
Mengurangi kepesatan perkembangan Kota
Yogyakarta
3)
Mengintegrasikan fungsi dan sistem kota-kota
Secara
skematik, prosesperkembangan
pembentukan Kawasan
4) Mengantisipasi
kegiatanAPY
di masa
dapat digambarkan sebagai beriku:

5) Mengurangi kepesatan perkembangan Kota Yogy

Tahap I

Secara skematik, proses pembentukan Kawa

beriku: dibangun tidak jauh dari Pusat


- sebagai
Kraton Yogyakarta
Kerajaan Mataram Kotagede
Tahap I
- Pola memusat dengan Kraton sebagai inti

Jalan
Malioboro

b) Jaringan Transportasi Kereta Api


Berdasarkan arahan pembangunan jaringan
transportasi rel kereta api di Pulau Jawa, wilayah DIY
dilewati oleh jaringan jalan rel Gelang Jawa Lintas
Selatan.
c) Jaringan Transportasi Udara
Pelabuhan udara yang ada di wilayah DIY berdasarkan
arahan hirarki pelabuhan udara di Pulau Jawa-Bali
diarahkan sebagai pusat penyebaran primer pada
tahun 2010.

Kraton
Yogyakarta
Kota Gede
Tahap II

buletin tata ruang *

Adishakti (1995) telah melihat pertumb

profil wilayah. Kawasan

Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans


Jogja

Tugu Yogyakarta

Becak melaju dengan tenang di Malioboro

* buletin tata ruang

profil wilayah. Kawasan

Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans


Jogja

PETA TRAYEK BUS TRANS JOGJA

Sumber :Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi D.I. Yogyakarta

10 buletin tata ruang *

profil wilayah. Kawasan

Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans


Jogja

Tahap II
Adishakti (1995) telah melihat pertumbuhan Kota
Yogyakarta secara fisik dengan menggunakan metode
morfologi perkotaan. Dalam studinya, Kota Yogyakarta
tumbuh dalam periode-periode yang berbeda-beda
yaitu kasultanan, kolonial dan kemerdekaan. Periodeperiode yang berbeda tersebut menghasilkan bentukan
fisik kota serta arsitektural yang sesuai dengan konteks
masanya.
- Pola masih memusat dengan Kraton sebagai inti
- Struktur kawasan inti semakin kuat dengan
keberadaan stasiun yang dibangun oleh Belanda
- Berdirinya Pakualaman
- Luas wilayah semakin luas dengan sebaran
perumahan kolonial di Kotabaru dan Bintaran

Tahap
-

UGM

St. Tugu
Kota Baru
St.
Lempuyangan
Pakualaman

Kota Gede

Tahap I:
IV
- Tahap
Pola masih
memusat
dengan Kraton
inti akhir-akhir dapat dilihat
Pertumbuhan
Kotasebagai
Yogyakarta
Tahap
IV
- sebagai
Struktur
kawasan
inti
akibat
dari munculnya
investasi-investasi yang
semakin kuat
dilakukan
oleh dengan
masyarakat.
Sebagai
contoh
adalah akhir-a
Pertumbuhan Kota
Yogyakarta
munculnya
perumahan-perumahan
yang
diadakan
keberadaan stasiun yang
akibat
munculnya
investasi-investasi
oleh
pengembang
serta
pasar-pasar
modern yang yang
dibangun
oleh dari
Belanda
kini
tampak
bersaing
dengan
pasar
tradisional.
Secara
- Berdirinya
Pakualaman
Sebagai
contoh adalah munculnya
perumahanfisik,
banyak
perumahan
tersebut
berada
di
wilayah
- Luas wilayah semakin luas
Kabupaten
Sleman
dan Kabupaten Bantul, meski
pengembang
denganoleh
sebaran
perumahanserta pasar-pasar modern y
demikian keterkaitan secara pelayanan dengan wilayah
kolonial
di Kotabaru
dan
dengan
pasar
tradisional.
Secara
banyak pe
kota
mengakibatkan
terjadinya
mobilitas
yangfisik,
tinggi
Bintaran
antara kedua
wilayah.
wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten

VII. TRANSketerkaitan
JOGJA, ALTERNATIF
ANGKUTAN
MASSAL
secara pelayanan
dengan
wilayah kot
PERKOTAAN YANG NYAMAN

mobilitas yang tinggi antara kedua wilayah.

Menyusul dioperasikannya Trans Jakarta (lebih populer


disebut sebagai Bus Way), Kawasan seputar Kota
Tahap III
Yogyakarta pun kini telah memiliki Bus Trans Jogja,
Adishakti (1995) melihat bahwa permukiman serta
sebagai alternatif angkutan massal perkotaan yang
Tahap
III telah menjadi agen yang mendorong
pendidikan
nyaman. Kemunculan Bus Trans Jogja dilatarbelakangi
perluasan Kota Yogyakarta sampai batas administrasinya.
adanyapendidikan
permasalahan
Adishakti (1995) melihat bahwa permukiman serta
telahangkutan umum di Provinsi
Meskipun demikian, adanya arahan untuk melindungi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mendesak untuk
kawasan
pertanian
sebelah
timur serta utara
menahanKota Yogyakarta
segera ditangani
menjadi
agendiyang
mendorong
perluasan
sampai secara
batassistemik, karena menyangkut
perkembangan Kota Yogyakarta ke arah-arah tersebut.
berbagai permasalahan, seperti : Kemacetan lalu lintas,
administrasinya.
Meskipun
demikian,
adanya arahan
untuk angkutan
melindungi
Meskipun
demikian, pada
tahun 1970-an,
pembangunan
pelayanan
umum yang buruk, perilaku buruk
kawasan pemerintahan di bagian timur kota telah
para
pengemudi
dalam
berlalu-lintas, hingga tingginya
kawasan pertanian di sebelah timur serta utara menahan perkembangan
mendorong terjadi perubahan pada penggunaan lahan
social cost yang harus ditanggung masyarakat akibat
secara
permasalahan
transportasi.
Kotadrastis.
Yogyakarta ke arah-arah tersebut. Meskipun demikian,
pada
tahun Salah satu formulasi untuk
menanggulangi
permasalahan
tersebut adalah dengan
Keterbatasan
telah mendorong
perguruan
tinggi
1970-an, lahan
pembangunan
kawasan
pemerintahan
di bagian
timur kota
telah publik.
cara
optimalisasi
angkutan
untuk mendirikan kampusnya di luar kota. Bangunan
kampus-kampus
besar ataupun
barupada
telahpenggunaan
berdiri di
mendorong terjadi
perubahan
lahan secara
drastis.
Skema yang
dikembangkan dalam rangka optimalisasi
daerah Mrican dan Babarsari sebagai bagian dari strategi
angkutan publik tersebut adalah sistem buy the service
lahanPerlahan,
telah wilayahmendorong perguruan tinggi untuk
ekspansinya Keterbatasan
di masa mendatang.
yang merupakan wujud komitmen dari Pemerintah
wilayah
tersebut
berubah
menjadi
kawasan
perkotaan.
Provinsi DIY dalambesar
mereformasi, merefungsionalisasi,
mendirikan kampusnya di luar kota. Bangunan kampus-kampus
dan
merestrukturisasi
sistem angkutan publik
- Berkembangnya inti baru yaitu kampus UGM di
ataupun baru telah berdiri di daerah Mrican dan Babarsari
sebagai
bagian
perkotaan.
Sistem
diharapkan
dapat mengembalikan
sebelah utara
fungsi
utama
angkutan
publik,
yaitu memberikan
- dari
Pergerakan
menjadi
dua arah antara
pusat mendatang.
baru dan
strategi
ekspansinya
di masa
Perlahan, wilayah-wilayah
pelayanan
kepada
seluruh
lapisan
masyarakat.
sekitarnya

berubah
menjadi
kawasan
perkotaan.
- tersebut
Keberadaan
UGM diikuti
dengan
kampus-kampus
lain seperti UNY (dulu IKIP)
- Jalan Solo mulai berkembang sebagai pusat
perdagangan

Sistem buy the service adalah sistem pembelian pelayanan


dari Pemerintah kepada Swasta (operator) untuk
mengoperasikan angkutan umum dengan standar* buletin tata ruang

11

profil wilayah. Kawasan

Aglomerasi Perkotaan YOGYAKARTA dan Trans


Jogja

standar tertentu, khususnya untuk mengutamakan pelayanan kepada masyarakat pengguna.


Sistem buy the service pada angkutan publik ini meskipun mereformasi sistem angkutan umum yang ada pada dasarnya tetap
mempertahankan moda bus umum, tetapi memiliki kelebihan, antara lain : menghilangkan sistem setoran, kemudahan
mengatur jumlah armada dan trayek, dan kemudahan dalam pemberian subsidi pemerintah kepada masyarakat pengguna
angkutan publik melalui subsidi tarif.
Di Yogyakarta dan sekitarnya dilayani (secara bertahap) oleh 54 unit Bus Trans Jogja, terbagi dalam pelayanan 3 (tiga)
trayek, yaitu :
1. Trayek 1 :
A. Trayek : Terminal Prambanan Bandara Adisucipto Stasiun Tugu Malioboro- JEC
B. Trayek : Terminal Prambanan Bandara Adisucipto JEC Kantor Pos Besar Pingit - UGM
2. Trayek 2 :
A. Trayek : Terminal Jombor Malioboro Basen Kridosono UGM Terminal Co0ndong Catur
B. Trayek : Terminal Jombor Terminal Condong Catur UGM Kridosono Basen Kantor Pos Besar Wirobrajan
- Pingit
3. Trayek 3 :
A. Trayek : Terminal Giwangan Kota Gede Bandara Adisucipto Ringroad Utara MM UGM Pingit Malioboro
Jokteng Kulon
B. Trayek : Terminal Giwangan Jokteng Kulon- Pingit MM UGM Ringroad Utara Bandara Adisucipto Kota Gede

Stasiun Kereta Api Tugu, Yogyakarta

Gerbang masuk Terminal Giwangan, Yogyakarta

Halte Trans Jogja di Bandara Adisucipto

Halte Trans Jogja di Malioboro

12 buletin tata ruang *

topik utama.
Oleh : Danang Parikesit
Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada
(dparikesit.staff.ugm.ac.id), Sekjen Masyarakat Transportasi
Indonesia (MTI) dan Chairman The International Forum for
Rural Transport and Development (www.ifrtd.org)

Busway TransJakarta mulai beroperasi 15 Januari 2004

dengan koridor I melayani ruas antara Blok M Kota dengan


panjang rute 12,9 km. Sistem yang diilhami oleh kesuksesan
sistem BRT di Curitiba (Brazil) dan Bogota (Kolumbia)
tersebut, seolah membuka era baru dalam penataan sistem
angkutan umum perkotaan di ibukota DKI Jakarta.
Setelah gagalnya sistem lajur khusus bis dan pilot project
RMB (Rute Metode Baru) yang diperkenalkan akhir 1990-an,
praktis tidak ada inisiatif yang berarti dalam pengembangan
sistem angkutan umum di DKI Jakarta setelah itu. Sementara
sistem 3-in-1 diberlakukan dan bahkan ditingkatkan
lingkup waktunya, pada sisi lain, peningkatan harga BBM
menyebabkan pertumbuhan sepeda motor dalam 3 5
tahun terakhir, menjadi yang tertinggi selama 30 tahun.
Dari berbagai riset yang dilakukan Bank Dunia 1994, JICA
2001, Swisscontact 2001, JICA/SITRAMP 2001, ADB/IVERS
2003, ADB/UAQI 2006, terungkap, biaya kesehatan dan
kemacetan meningkat signifikan. Meski bisa saja, pihak yang
skeptis menyebut ini bukan karena lalulintas yang semakin
padat, melainkan karena metode riset yang lebih baik dan
kompleks, dibanding sebelumnya.
Kesuksesan koridor I TransJakarta membawa era baru bagi
sistem bis modern di Indonesia, dan menjadi inspirasi bagi
kota-kota lain di Indonesia, seperti BPP Batam, TransPakuan
Bogor dan TransJogja. Juga memberi keyakinan bagi
Gubernur DKI Sutiyoso untuk membangun koridor-koridor
busway selanjutnya hingga koridor X.
Sementara koridor I berhasil baik dan mendapat dukungan
publik, pelaksanaan koridor-koridor setelah itu mendapat
tantangan yang besar berkaitan dengan tata kelola
pemerintahan (di Dinas Perhubungan) dan tata kelola usaha
(BP TransJakarta). Persiapan pengelolaan organisasi dan
keuangan yang belum tuntas menyebabkan proses tender
operator terkendala. Pelaksanaan pembangunan fisik busway
juga mendapat hambatan, terutama pada saat konstruksi
dilakukan melalui Pondok Indah dan jalan-jalan nasional. Di
sisi lain, subsidi busway yang saat ini mencapai sekitar 1%
dari APBD DKI Jakarta, dipastikan akan meningkat apabila
seluruh koridor (sejumlah 14 koridor) selesai dibangun.

TRANSJAKARTA DAN PERANNYA BAGI


PERBAIKAN URBAN GOVERNANCE:
Sebuah Kajian Kritis

umum menggunakan sumber daya yang lebih sedikit,


baik sumber daya energi dan ruang, juga diharapkan
lebih cepat sehingga waktu juga bisa dihemat. Efisien
karena memberikan resiko kecelakaan yang lebih rendah
dibandingkan kendaraan pribadi. Angkutan umum juga
dipandang sebagai angkutan yang mampu menjangkau
masyarakat miskin perkotaan. Dalam kasus Busway
TransJakarta, apakah argumen ini benar? Meski kasus serupa
terjadi di sistem bis lain yang melibatkan subsidi sebagai
bentuk dukungan pemerintah.
Teori ekonomi mikro menunjukkan bahwa dengan tingkat
permintaan yang elastik, maka besarnya subsidi pemerintah
selalu akan lebih besar daripada perubahan surplus
konsumen yang dinikmati pengguna. Justifikasi subsidi
hanyalah apabila terdapat perubahan surplus konsumen
bagi pemakai kendaraan pribadi yang lebih besar dibanding
welfare loss yang diterima sistem angkutan umum
(Sirait dan Parikesit, 2003). Sayangnya konsep ini belum
sepenuhnya terbukti di busway. Tidak saja karena terdapat
pengurangan kapasitas jalan yang menyebabkan biaya
pengguna kendaraan pribadi yang meningkat, melainkan
juga belum terdapat perpindahan yang signifikan antar
moda. Kajian yang dilakukan SITRAMP tahun 2005
menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna busway
koridor I adalah pengguna bus patas dan patas AC. Kondisi
ini juga sama bagi lebih dari 200.000 penumpang busway
Jakarta. Permintaan kendaraan pribadi yang in-elastik
menyebabkan sedikitnya perpindahan antara kendaraan
pribadi ke kendaraan umum.

Pertanyaan penting dalam program implementasi busway


ini adalah, bagaimana pemerintah menggunakan busway
ini, tidak hanya sebagai media untuk memenuhi kebutuhan
angkutan bagi warga kota, tetapi juga dipakai sebagai
instrumen perbaikan tata kelola pembangunan wilayah DKI
Jakarta.
Dari teori ke implementasi sistem angkutan umum:
sesuaikah?
Upaya mendorong angkutan umum selalu dimulai dengan
argumen efisiensi dan keadilan. Efisien karena angkutan

Bus Trans Jakarta melintas di jalur khusus, tidak kenal macet


* buletin tata ruang

13

topik utama . TRANSJAKARTA

DAN PERANNYA BAGI PERBAIKAN URBAN

GOVERNANCE: Sebuah Kajian


Kritis

Argumen keadilan atau equity juga mungkin sulit diterima


karena pengguna kendaraan umum ekonomi tidak
sepenuhnya dapat menikmati busway karena interkoneksi
yang belum penuh. Disamping itu, jaringan busway belum
seluruhnya terintegrasi dengan sistem angkutan umum
lain.
Busway dan pembentukan high density corridor
Di Negara-negara yang sistem transportasi umum massalnya
maju, koridor angkutan umum merupakan komponen
penting pembentuk ruang kota. Bogota

dan Curitiba,
keduanya dipimpin oleh walikota yang perencana (urban
planner). Seoul dan Taipei, dikomandoi oleh walikota visioner
yang melihat sistem angkutan kota tidak dapat dilepaskan
dari konsep pembangunan ruang kota yang efisien (STREAM
Study, 2007).
Tidak berhasilnya pengurangan penggunaan lahan kota
untuk kendaraan pribadi, karena lambatnya pembentukan
jaringan angkutan umum yang solid. Keterlambatan dan
keraguan pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebabkan
respon swasta dan para pengembang property menjadi
sulit mengembangkan rencana usaha mereka. Patut diingat
bahwa KA Tokyo sebagai salah satu di antara sangat sedikit
sistem KA di dunia yang memperoleh surplus operasi,
sekitar 50% pendapatannya diperoleh dari konsesi property
(STREAM Study, 2007). Pengembang properti, sebenarnya
melihat nilai tambah keberadaan busway TransJakarta,
namun rencana pemerintah yang kurang terkendali dan
jadual waktu yang tidak jelas, menyebabkan tingginya
risk premium bagi investasi properti di sepanjang koridor
busway.
Suksesnya koridor I dalam meningkatkan daya tarik
perkantoran sepanjang Jalan Sudirman Thamrin tidak
diikuti oleh koridor perkantoran lain. Terbatasnya akses
busway terhadap permukiman menyebabkan dampak
terhadap penyebaran kompleks perumahan, tidak cukup
berarti.
Kompetisi anggaran publik untuk subsidi
Kalau tahun ini besarnya subsidi operasi busway adalah
1% dari besarnya APBD DKI Jakarta, berapakah nilainya
untuk 5 tahun mendatang? Sebagai

sebuah sistem yang


lengkap, barangkali angka 3-4% dari APBD merupakan
estimasi yang realistis, mungkin bahkan cenderung
konservatif. Tahun 2008 saja, DPRD DKI Jakarta menyetujui
kenaikan subsidi operasi kepada BLU TransJakarta sebesar
Rp.31 Milyar, dari nilai tahun 2007 yang mencapai Rp. 203
Milyar. Trans Batavia, Jakarta Trans Metropolitan and Jakarta
Mega Trans sebagai operator busway Jakarta mendapat
alokasi ini sesuai dengan produktifitas layanan. Semakin
panjang kilometer yang dijalani, maka semakin besar pula
pendapatan yang diperoleh operator. Sistem ini tentu saja
masih belum sempurna karena mengandung beberapa
loophole dan kemungkinan adanya moral hazard bagi
tata kelola usaha busway, terutama pada penetapan harga
jual layanan dari operator ke pemerintah. Saat

ini misalnya,
Pemprov DKI Jakarta menilai tarif Rp 12.855 per kilometer
yang diberikan kepada operator bus transjakarta koridor
VIII-X terlalu besar. Pemprov

ingin tarif itu diturunkan agar


subsidi yang diberikan tidak membengkak jika pemprov
ingin menambah jumlah armada bus.

14 buletin tata ruang *

Tekanan subsidi ini akan semakin besar pada saat Monorail


diimplementasikan entah kapan, dan MRT sepanjang 14,3
km yang direncanakan selesai 2014 selesai dibangun.
Strategi subsidi angkutan umum ini perlu kiranya dirancang
dari sekarang karena tentu saja akan mendesak kepentingan
publik lain. Di antara kebutuhan anggaran yang mendesak
adalah untuk penciptaan RTH (ruang terbuka hijau), yang
barangkali dapat digunakan sebagai bagian dari mitigasi
perubahan iklim. Pada tahun 2002 saja, RTH DKI Jakarta
berada di bawah 10%, padahal Tata Ruang Provinsi DKI
Jakarta mensyaratkan tercapainya RTH 14% di tahun 2010,
yang pasti tidak akan terpenuhi. Di samping itu persaingan
anggaran dengan sektor lain seperti penanganan banjir,
pendidikan dan kesehatan, akan menjadi komoditas politik,
terutama menjelang Pilkada DKI Jakarta 4 tahun yang akan
datang.
Berebut ruang publik: polemik 6 ruas jalan tol
Tidak bisa dipungkiri, bahwa DKI Jakarta dengan tingkat
pertumbuhan yang tinggi, akumulasi penduduk dan kapital
yang besar, merupakan ramuan yang tepat untuk minat
investasi swasta membiayai berbagai proyek infrastruktur.
Namun, inisiatif pembangunan 6 ruas jalan tol di DKI Jakarta
menyulut kontroversi, tidak saja karena konsepsinya yang
masih perlu diuji, melainkan juga prosesnya yang dipandang
publik, samar-samar, termasuk oleh Kaukus Lingkungan
Hidup. Sementara inisiatif 6 ruas jalan tol tersebut masuk
ke ranah hukum dengan disiapkannya berbagai peraturan
pendukungnya, isu penting mengenai pemanfaatan ruang
publik menjadi masalah common sense yang mengemuka.
Selama 1 menit seorang pejalan kaki menggunakan hanya
30 m2 saja ruang untuk bergerak, sebuah sepeda motor
menggunakan 990 m2, sedangkan dengan kecepatan
yang setara dengan sepeda motor, sebuah bus akan
membutuhkan ruang 2.000 3000 m2 dan sebuah mobil
menggunakan ruang 5.400 m2 ruang untuk bergerak. Isu
ini penting untuk dikemukakan dan menjadi wacana publik
mengingat ruang kota menjadi sumber daya yang langka
dan menjadi barang ekonomi yang diperebutkan.
Busway dan Pemihakan Pada Rakyat Banyak
Lima tahun sudah busway TransJakarta beroperasi, dengan
banyak pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan.
Gagasan besar integrasi sistem angkutan umum masal dan
sistem penataan ruang, belum sepenuhnya terjadi karena
komitmen pemerintah yang melemah setelah suksesnya
implementasi koridor I. Jaringan yang belum terbentuk
sempurna, dukungan masyarakat dan media yang tidak terus
digalang, sistem tender yang masih mengandalkan pada
kuantitas produksi (km-jalan), permasalahan operasional
dengan pihak kepolisian serta instansi pusat, kebijakan dan
insentif usaha yang jelas mengenai koridor padat, serta
kebijakan pemanfaatan ruang dan subsidi, merupakan PR
besar yang perlu segera diselesaikan.
Dengan demikian, busway Transjakarta tidak saja memberi
inspirasi bagi kota-kota lain di Indonesia dan negara-negara
berkembang lain, tetapi yang lebih penting adalah memberi
pesan terbuka bagi masyarakat bahwa di negara kita tercinta
ini, ada kebijakan pemihakan ke masyarakat luas yang benarbenar bisa berjalan

topik utama.

ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP)


Salah Satu Solusi Masalah
Kemacetan di Kota Jakarta

Oleh: DR. Bambang Susantono


Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia

Dari berbagai

studi, dapat disimpulkan, kota


Jakarta menghadapi permasalahan transportasi perkotaan
yang sangat besar. Dalam keseharian, permasalahan yang
dapat dilihat adalah kemacetan di hampir seluruh jaringan
jalan di kota Jakarta dan sekitarnya.
Tingkat kemacetan di
kota Jakarta, apabila dibandingkan dengan kota-kota lain di
dunia, sudah termasuk dalam katagori yang membahayakan
baik dari segi ekonomi dan sosial.
Secara umum, permasalahan transportasi di kota Jakarta
dapat dikelompokan dalam beberapa hal berikut:
a. Sistem transportasi belum efisien sehingga menghambat
aktifitas ekonomi.
Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas
jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60%
merupakan waktu hambatan.
Kecepatan rata-rata
lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V Menko
Perekonomian, 2007).
Kerugian ekonomi per tahun pada tahun 2002 akibat
inefisensi sistem transportasi diperkirakan sebesar
Rp.5.5 trilyun, di mana Rp.3 trilyun untuk biaya
operasi kendaraan, dan Rp.2.5 trilyun untuk biaya
waktu perjalanan (SITRAMP, 2004).
b. Sistem transportasi belum menjamin pemerataan untuk
seluruh anggota masyarakat
Lalu lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan
pribadi, jumlah angkutan umum (bus) hanya 4%,
sepeda motor 67%, mobil pribadi 23% (Polda Metro
Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam lima
tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan
Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18 Desember
2007).
Proporsi volume lalu lintas pada beberapa koridor
utama adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%.
Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU,
bus sedang, dan bus besar) 5% (Kedeputian V Menko
Perekonomian, 2007).
Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih
besar dari permintaan angkutan pribadi. Pengguna

angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7%


menggunakan bus (bus besar, bus sedang, dan
mikrobus) dan 2% menggunakan kereta api (SITRAMP,
2004). Pengguna angkutan umum sebagian besar
adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%)
dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%)
(SITRAMP, 2004)
Fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna kendaraan
tidak bermotor sangat minim

c. Besarnya kontribusi sistem transportasi terhadap dampak


lingkungan
25 dari 33 stasiun pemantau kualitas udara
menunjukkan kadar PM10 telah melebihi ambang
batas, bahkan terdapat sepuluh stasiun yang
menunjukkan kadar PM10 mencapai lebih dari 2
kali lipat dari ambang batas yang telah ditetapkan.
Kerugian ekonomi akibat kualitas udara yang rendah
diperkirakan mencapai Rp.2.8 trilyun pada tahun
2002 (SITRAMP, 2004).
Apabila kualitas dan kuantitas angkutan umum
tidak diperbaiki, maka akan terjadi peningkatan
penggunaan kendaraan pribadi.
Dengan kondisi ini,
diperkirakan akan terjadi peningkatan greenhouse
gases (seperti CO2) dari tahun 2002 sampai dengan
2020 sebesar 2.35 kali (SITRAMP, 2004).
d. Sistem transportasi belum memenuhi tingkat
keselamatan dan keamanan
Angka kecelakaan baik transportasi jalan maupun
Kereta Api masih tinggi. Untuk

Kereta Api, dari tahun


2000-2002 terjadi 174 kecelakaan.
Angka ini jauh
lebih tinggi dibanding negara berkembang lain
(SITRAM, 2004).
Jumlah korban kecelakaan di jalan tol dalam kota
mangalami penurunan dari sekitar 380 pada tahun
1995 menjadi sekitar 200 pada tahun 2006. Akan
tetapi proporsi jumlah korban dengan luka berat dan
meninggal dunia relatif stabil (CMNP, http://www.
cmnp.co.id/).
Upaya Penanganan Belum Optimal
Berbagai solusi telah dilakukan Pemerintah DKI untuk
mengatasi permasalahan transportasi perkotaan di kota
Jakarta. Akan tetapi upaya-upaya tersebut belum mampu
untuk memberikan hasil yang diharapkan.
a. Area Traffic Control System (ATCS)

ATCS dimaksudkan untuk mengurangi waktu hambatan


di persimpangan dengan mengoptimalkan sistem
persimpangan dengan lampu lalu lintas, sehingga akan
diperoleh gelombang hijau (green wave) antara satu
persimpangan dengan persimpangan yang lain. Dengan
green wave maka apabila pengguna jalan mendapatkan
lampu hijau pada satu persimpangan dan pengguna jalan
tersebut mengikuti batas kecepatan yang ditentukan,
maka akan mendapat lampu hijau pada persimpangan
berikutnya.

Solusi ini belum memberikan hasil yang diharapkan


karena beban volume lalu lintas yang tinggi, banyaknya
hambatan samping pada ruas jalan dan persimpangan,
* buletin tata ruang

15

topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta

dan kondisi teknis infrastruktur ATCS yang kurang


mamadai.

b. Aturan 3 in 1

Aturan ini mewajibkan semua kendaraan pribadi


yang akan melewati jalan Sudirman dan Thamrin,
berpenumpang 3 orang atau lebih termasuk pengemudi.
Diterapkan hanya pada jam sibuk pagi dan sore.

Skema ini sedikit banyak telah mampu menekan


penggunaan kendaraan pribadi pada koridor utama
tersebut, akan tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak
terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan
di Jakarta. Terdapat beberapa kelemahan dari skema
ini antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau
aturan yang melarang pengunaan jalan-jalan lokal,
sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan
lokal (jalan tikus) yang ada untuk menghindari daerah
3 in 1. Ini memindahkan kemacetan ke daerah lain,
(2) beroperasinya penyedia jasa ilegal yang berperan
sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah
uang, untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi
3, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada satu
koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen
permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta
alternatif sistem angkutan umum yang baik.

c. Pengembangan Bus Rapid Transit (BRT)


Bus Rapid Transit (BRT) dikembangkan di Jakarta dengan


membangun Bus Only Lane (Busway) di beberapa
koridor utama di Jakarta. Busway dimaksudkan untuk
meningkatkan pelayanan angkutan umum dan
mampu menarik pengguna kendaraan pribadi untuk
menggunakan angkutan umum ini (Busway) sehingga
akan mengurangi kemacetan.

Solusi ini juga belum memberikan hasil yang optimal,


Busway belum bisa berbuat banyak untuk menarik minat
pengguna kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena opportunity cost dan standard kebutuhan
kenyamanan pengguna kendaraan pribadi relatif tinggi
dimana hal ini belum mampu dipenuhi oleh Busway, serta
daerah pelayanan yang terbatas dan belum menjangkau
daerah pinggiran Jakarta.

d. Penertiban Parkir dan Pedagang Kaki Lima


Penggunaan ruas jalan untuk parkir (on-street parking)


dan pedagang kaki lima (juga di trotoir) akan mengurangi
kapasitas jalan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah
DKI Jakarta telah melakukan upaya penertiban dengan
melarang dan merazia pedagang kaki lima serta
penggembokan terhadap kendaraan-kendaraan yang
parkir pada ruas jalan yang tidak disediakan untuk
parkir.

Upaya ini belum begitu efektif dan tidak terlihat


dampaknya terhadap perbaikan lalu lintas. Hal ini
dimungkinkan karena tidak adanya konsistensi kebijakan,
penegakan aturan yang kurang maksimal, dan masih
banyaknya area on-street parking yang diijinkan.

e. Pembangunan Ruas Jalan Tol Dalam Kota


Dalam beberapa tahun terakhir, telah dibangun


beberapa ruas jalan tol di kota Jakarta sebagai upaya
untuk menambah kapasitas jaringan jalan di Jakarta.

Pembangunan ruas jalan tol di Jakarta belum


mampu mengatasi kemacetan di Jakarta. Terdapat
kecenderungan, peningkatan kapasitas jalan justru
menjadi salah satu variabel yang mendorong
penggunaan kendaraan pribadi.

Bus angkutan kota di halte yang nampak rapi dan bersih

16 buletin tata ruang *

topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta

Electronic Road Pricing (ERP)


Salah satu strategi dalam kebijakan sistem transportasi
yang berkelanjutan (sustainable transport system policy)
adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand
management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel
demand management adalah untuk mendorong pengguna
jalan untuk mengurangi perjalanan yang relatif tidak perlu
(terutama pengguna kendaraan pribadi) dan mendorong
penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih
sehat, dan ramah lingkungan. Kebijakan travel demand
management dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu:
instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments),
persetujuan-persetujuan
kerjasama
(cooperative
agreements), dan instrument-instrument ekonomi (economic
instruments).
a. Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh
pemerintah dan berisi standar-standar, laranganlarangan dan prosedur administrasi untuk mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh
penetapan hari bebas kendaraan, melarang kendaraan
pribadi untuk wilayah tertentu, batasan jumlah
penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.

Tabel 1 Pengelompokan Road Pricing


Nama

Deskripsi

Road toll
(fixed rates)

Pengenaan biaya atas


penggunaan jalan-jalan
tertentu.

Untuk
meningkatkan
pendapatan
dan investasi.

Congestion
pricing (timevariable)

Pengenaan biaya
didasarkan atas kepadatan
lalu lintas, jika lalu lintas
padat maka biaya yang
dikenakan akan tinggi,
namun sebaliknya jika lalu
tidak padat maka biaya
yang dikenakan akan
rendah

Untuk
meningkatkan
pendapatan
dan
mengurangi
kemacetan.

Cordon fees

Pengenaan biaya atas


penggunaan jalan-jalan
tertentu

Mengurangi
kemacetan di
pusat-pusat
kota.

Bagi kendaraan yang tidak


bisa banyak menampung
jumlah penumpang, akan
dikenakan pungutan

Untuk
mendorong
peralihan
penggunaan
kendaraan
pribadi kepada
penggunaan
kendaraan
yang memilik
daya tampung
yang banyak,
sehingga
jumlah
kendaraan di
jalanraya dapat
dikurangi.

Distancebased fees

Biaya yang dikenakan


terhadap kendaraan
bergantung pada
seberapa jauh kendaraan
digunakan

Untuk
meningkatkan
pendapatan
dan
mengurangi
berbagai
masalah lalu
lintas.

Pay-AsYou-Drive
insurance

Membagi rata
pembayaran berdasarkan
jarak sehingga asuransi
kendaraan menjadi biaya
yang tidak tetap.

Mengurangi
berbagi
masalah lalu
lintas khususnya
kecelakaan lalu
lintas.

Road space
rationing

Penggunaan batasan
tertentu di jam-jam padat
lalu lintas (misalnya
berdasarkan nomor
kendaraan)

Untuk
mengurangi
kemacetan
di Jalan-jalan
utama atau di
pusat-pusat
kota.

b. Cooperative instruments adalah keterlibatan individu,


perusahaan swasta atau institusi pemerintah dalam
mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai contoh
carpooling.
c. Economic instruments menggunakan insentif dan/
atau disinsentif untuk mencapai tujuan transportasi
yang berkelanjutan (sustainable transport). Salah satu
economic instrument yang sering diaplikasikan adalah
road pricing.

HOV lanes

Road Pricing adalah pengenaan biaya secara langsung


terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan
tertentu. Pada dasarnya terdapat dua tujuan dari
pengenaan Road Pricing yaitu untuk menambah
pendapatan suatu daerah atau Negara, atau suatu
sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar
tidak terjadi kemacetan.
Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu
mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan
daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong
penggunaan angkutan umum masal.
Ada beberapa pengelompokan road pricing berdasarkan
tujuan (lihat tabel 1).
Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan
salah satu economic instruments yang bertujuan untuk
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road
Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk Congestion
Pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan
pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu
area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu.
Pengguna kendaraan pribadi, akhirnya, harus menentukan
apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area
atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang,
mencari rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah
waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan
perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang
diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut.

Tujuan

* buletin tata ruang

17

topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta

Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan


kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa
perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai
kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian
kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan
pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat
dan pengambil kebijakan. Congestion pricing telah sukses
diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Oslo,
Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul, bisa juga
dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk
mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih
efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit,
Mass Rapid Transit, dan lain-lain.
a. Singapore

Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya
disebut urban road user charging.
Tujuannya

adalah
untuk membatasi lalu lintas yang masuk CBD pada saat
jam puncak untuk mengurangi kemacetan.
Sebelum ERP,
Singapore
menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS),
pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road
Pricing (ERP).
Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi
berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan.
Harga

yang
bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan
kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan
20-30 km/jam pada jalan arteri.
Dampak diterapkannya congestion pricing atau ERP di
Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan
carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan
volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya
congestion pricing menurun sampai dengan 44%.

b. London

ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003.


Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk
m
engurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu
perjalanan, dan mengurangi polusi udara.

Aplikasi ERP di London memberikan beberapa hasil


positif antara lain:
Penurunan volume lalu lintas 15 %
Penurunan kemacetan 30%
Penurunan polusi 12% (NOx, PM10)
Perjalanan menjadi lebih reliable
Reliabilitas bus schedule meningkat signifikan
Kecelakaan lalu lintas menurun
Peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas
kecelakan
Tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah
diluar area congestion charging
Menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar
dipakai untuk perbaikan pelayanan angkutan umum

c. Stockholm

Diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007,


setelah diujicobakan sejak tahun 2006. Tujuannya

18 buletin tata ruang *

mengurangi kemacetan, meningkatkan aksesibilitas,


dan memperbaiki kualitas lingkungan.

Beberapa hasil positif yang bisa dicatat adalah:


Menurunnya prosentase lalu lintas ke/dari pusat kota
dari 20-25% menjadi 10-15%
Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan
penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah
dekat pusat kota sebesar 30-50%
Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara
10-14% di pusat kota, dan antara 2-3% untuk total
satu kota.

Mengapa ERP?
Permasalahan transportasi perkotaan di Jakarta mempunyai
kecenderungan semakin bertambah parah. Indikasi ini bisa
dilihat dari berbagai studi yang dipaparkan di awal tulisan
ini. Apabila

terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin


Jakarta akan mengalami kemacetan yang sangat parah atau
bahkan macet total pada jam-jam sibuk.
ERP diharapkan mampu mengurangi perjalanan dengan
kendaraan pribadi dan mengurangi perjalanan yang tidak
perlu, terutama pada jam-jam sibuk.
Peningkatan kapasitas jalan tanpa dibarengi disinsentif
terhadap pengguna kendaraan pribadi justru memungkinkan
untuk meningkatkan laju pertumbuhan lalu lintas, atau
biasa dikenal dengan fenomena induced demand. Banyak
studi telah mengungkapkan fenomena induced demand ini.
Induced demand adalah sebuah fenomena dimana ketika
supply ditambah maka konsumsi akan meningkat. Hal ini
karena konsumsi tinggi yang tidak terlayani.
Beberapa studi di negara maju menunjukkan bahwa
elastisitas permintaan perjalanan (traffic demand) terhadap
penambahan kapasitas jalan berkisar antara 0 sampai 1.
Artinya, jika kapasitas jalan meningkat sebesar 1% maka
permintaan perjalanan juga akan meningkat. Bahkan untuk
jangka panjang bisa melebihi 1% (http://en.wikipedia.org/
wiki/induced_demand).
Fenomena Induced Demand ini sangat potesial untuk terjadi
di Jakarta dengan indikasi bahwa jumlah pengguna jalan tol
inelastis terhadap tarif tol. Volume lalu lintas jalan tol dalam
kota terus meningkat dari 95 juta per tahun pada tahun
1995 menjadi 186 juta pertahun pada tahun 2005, atau
meningkat hampir 2 kali lipat. Pada sisi lain, tarif tol untuk
kelas kendaraan penumpang dan truk kecil meningkat 1.8
kali lipat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 (CMNP,
http://www.cmnp.co.id/).
Oleh sebab itu, pembangunan jalan baru hendaknya
dilakukan setelah semua upaya manajemen permintaan
(termasuk ERP) tidak berhasil meningkatkan kinerja lalu
lintas secara signifikan. Pembangunan jalan baru hendaknya
dilihat sebagai salah satu upaya dalam mendukung
manajemen permintaan lalu lintas.
Keuntungan ERP
Meskipun tujuan utama congestion pricing (ERP) adalah untuk
mengurangi kemacetan, akan tetapi uang hasil pungutan
biaya kemacetan dapat menjadi sumber dana pemerintah
daerah dalam meningkatkan pelayanan transportasi seperti

topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta

a. Penghematan Konsumsi BBM


Dengan melakukan simulasi sederhana berdasarkan


kurva hubungan antara kecepatan dan konsumsi BBM tiap
jenis kendaraan bermotor, serta dengan menggunakan
data jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, maka dapat
dihitung konsumsi BBM untuk tiap skenario kecepatan
dan proporsi penggunaan kendaraan pribadi.
Dari gambar 3 dapat dilihat bahwa secara rata-rata
kecepatan dimana konsumsi BBM minimal adalah 50
km/jam.
Apabila aplikasi Congestion Pricing mampu meningkatkan
kecepatan rata-rata lalu lintas dari 20 km/jam menjadi
30 km/jam (naik 10 km/jam), dan menurunkan volume
kendaraan pribadi sebesar 10%, dan dengan asumsi
panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka aplikasi
Congestion Pricing di Jakarta akan menghemat
penggunaan BBM dan subsidi sebesar 6.65 trilyun
rupiah/tahun.

Singapore

b. Penurunan Polusi Udara


Perhitungan penurunan polusi udara sebagai dampak


menurunnya kemacetan dan penggunaan kendaraan
pribadi dapat dilakukan dengan menggunakan formula
laju emisi. Formula laju emisi yang dipergunakan adalah
berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Marga No 60 Tahun
1999 tentang Pengesahan 13 pedoman teknik Dirjen
Bina Marga. Laju emisi adalah besarnya massa polutan
yang dilepaskan oleh satu kendaraan per kilometer jarak
tempuh.

Dengan menggunakan data yang sama seperti


perhitungan penghematan BBM, maka dengan asumsi
kecepatan rata-rata lalu lintas akan naik dari 20 km/jam
menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), volume kendaraan
pribadi menurun 10%, dan panjang perjalanan rata-rata
10 km, maka akan didapat penurunan CO sebesar 35%
per hari dan penurunan NOx sebesar 23% per hari.

London

Prasyarat Keberhasilan ERP

Stockholm
Gambar 2 Aplikasi ERP di Beberapa Kota

meningkatkan pelayanan angkutan umum, peningkatan


fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, dan lainlain.
Berdasarkan studi yang dilakukan PCI, PCKK, dan Sumitomo
Corporation, aplikasi ERP di Jakarta layak secara ekonomi
maupun finansial (periode evaluasi dari 2008 sampai dengan
2020).

Dukungan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap


berhasil tidaknya aplikasi road pricing (ERP). Pemerintah
harus melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan
dan harus mampu menjelaskan t
ujuan dan maksud ERP
secara mudah dan jelas; bagaimana ERP akan mengatasi
masalah-masalah kemacetan dan masalah transportasi lain;
keuntungan dan kerugian ERP untuk masyarakat; bagaimana
masalah equity dan privacy akan dilindungi; antisipasi
terhadap pihak-pihak atau bisnis yang akan terpengaruh,
terutama karena perubahan tata guna lahan; b
agaimana
pendapatan dari ERP akan dikelola dan dipergunakan.
Selain itu, karena ERP salah satu tujuannya adalah
mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, maka harus
disediakan angkutan umum yang nyaman, aman, reliable,
dan tarif terjangkau sehingga utilitas angkutan umum
ini tidak jauh berbeda dengan utilitas kendaraan pribadi.
ERP dan perbaikan angkutan umum juga harus didukung
dengan penyediaan fasilitas pejalan kaki dan pengguna
sepeda. Fasilitas-fasilitas tersebut bisa menjadi feeder bagi
angkutan umum dan sekaligus sebagai moda alternatif.
ERP tidak akan berhasil apabila diterapkan secara parsial,
* buletin tata ruang

19

topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta

Gambar 3
Konsumsi Bahan Bakar Tiap
Jenis Kendaraan Per Kilometer
(SITRAMP, 2004)

tidak terintegrasi dengan strategi lain. ERP akan berhasil


apabila merupakan salah satu bagian dari sebuah integrated
transport policy.
Beberapa teknik manajemen permintaan
lalu lintas yang akan bersinergi baik dengan ERP seperti
p
ajak bahan bakar; kontrol penggunaan dan pemilikan
kendaraan; pengawasan land-use development dan Transit
Oriented Development (TOD); Intelligent transport systems
(ITS); parking controls dan pricing, dll.
Sebelum ERP diaplikasikan, hendaknya telah dipersiapkan
landasan hukumnya, serta perangkat technology dan sumber
daya manusia yang akan berfungsi dalam penegakan
aturan (law enforcement). Landasan hukum yang akan
digunakan juga harus memuat tentang lembaga yang akan
mengoperasikan aspek teknis ERP, mengelola keuangan,
dan melakukan law enforcement. Lembaga

yang efisien,
transparan, dan akuntable sangat menunjang keberhasilan
aplikasi ERP.
ERP harus diterapkan dalam kondisi seluruh ruas jalan
di dalam satu kota telah mengikuti standar design jalan
perkotaan yang telah ditetapkan dan perilaku pengemudi
mengikuti peraturan tata cara berlalu lintas yang berlaku.
Hal ini untuk menghindari tuduhan bahwa kemacetan

sebenarnya karena standar design jalan yang tidak tepat


dan perilaku pengemudi yang tidak teratur.
Peningkatan standar design termasuk menghilangkan
penggunaan ruas jalan dan trotoar untuk hal-hal yang tidak
semestinya (contoh pedagang kaki lima), membatasi onstreet parking, pembatasan akses untuk jalan-jalan tertentu,
dan aplikasi manajemen lalu lintas yang tepat (seperti lampu
lalu lintas, marka, median, rambu, dan lain-lain).
Penegakkan peraturan lalu lintas meliputi larangan berhenti
pada tempat yang tidak semestinya, parkir pada tempat
yang tidak semestinya, pengawasan kecepatan, pengawasan
menyalip (merging, diverging), dan lain-lain. Perilaku yang
tidak benar dalam berlalu lintas merupakan salah satu
sumber kemacetan.
Elctronic Road Pricing (ERP) dapat menjadi salah satu
strategi yang efektif untuk mengatasi kemacetan, hanya jika
didukung kebijakan lain
REFERENSI
Pickford A.T.W, & Blythe P.T. 2006, Road User Charging and
Electronic Toll Collection.
Jaensirisak S. 2004, Urban Road Pricing: From Theory To
Practice.
FHWA. 2006, Issues and Options for Increasing the Use
of Tolling and Pricing to Finance Transportation
Improvements.
Blythe, P.T. 2004, Road User Charging in the UK. Where
Will We Be 10 Years from Now?
Crane, P. 2005 Congestion Charging in Central London:
Key Factors in Successful Delivery.
Paparan PCI, PCKK, dan Sumitimo Corporation, 2008. The
Study on Jakarta Road Pricing in the Republic of
Indonesia.
JICA and Bappenas (2004) The Study on Integrated
Transportation Master Plan for JabodetabekIndonesia (Phase II). Final Report Vol.2.
Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007, Survai
Kecepatan dan Hambatan di Beberapa Ruas Jalan
Utama Jakarta.

Lalulintas yang teratur, rapi, tidak macet (di Singapura)

20 buletin tata ruang *

topik utama.
Oleh : Darmaningtyas
(Tim Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia)

Bangunan Baru dan


Ancaman Kemacetan
di Jakarta

Ada fenomena menarik yang dapat disimak di

Jadi kebijakan pembangunan rumah susun sewa di Jakarta


maupun pembangunan tempat-tempat komersial lainnya
itu, bertolak belakang dengan kebijakan pembangunan
moda transportasi massal. Sebab yang satu mencoba
menawarkan alternatif untuk mengurangi kemacetan, yang
lain menghadirkan kemacetan baru melalui pergerakan
para penghuninya. Tidak ada argumen yang cukup untuk
menjelaskan bahwa bangunan-bangunan baru tersebut
tidak akan menimbulkan bangkitan baru pada lalu lintas
Jakarta, karena faktanya, bangunan baru itu butuh penghuni,
baik yang sifatnya menetap maupun ulang alih, keduanya
akan sama-sama memerlukan ruang dan waktu untuk
melakukan pergerakan. Rencananya, bangunan-bangunan
baru tersebut berada di bibir jalan yang selama ini menjadi
pusat kemacetan di Jakarta, seperti di Jl. MH Thamrin, Jl.
Sudirman, Jl. Gatot Subroto, Jl. S.Parman, dan sebagainya.

Usaha untuk mengoptimalkan penggunaan lahan-lahan


kosong bukan hanya didorong oleh kepentingan akumulasi
kapital saja, tapi juga tekanan politik dari Pusat. Kebijakan
Pemerintah untuk membangun seribu rumah susun
sewa misalnya, berdampak langsung terhadap kebijakan
pembangunan fisik di Kota Jakarta. Sebagai ibu kota, Jakarta
tidak dapat mengelak dari kewajiban untuk ikut mewujudkan
kebijakan Pemerintah tersebut. Dalam realitasnya di
lapangan, beberapa lokasi di Jakarta sudah dipatok akan
dibangun rumah susun sewa, hingga 25 tingkat, seperti
misalnya di Kemayoran, Cengkareng, Daan Mogot (dua unit),
Kota Modern, Kebun Jeruk, Ciledug, Bintaro, Kelapa Gading,
Penggilingan, Cawang, Kalimalang, Kalibata, Pulo Gebang,
Kebagusan, Cipayung, dan Cibubur.

Penulis mengambil patokan kurun waktu lima tahun terakhir


(2004 2008) karena selama kurun waktu 1998 (puncak
masa krisis) hingga tahun 2003 (masa pemulihan krisis)
dapat dikatakan tidak ada pembangunan gedung-gedung
baru. Tapi sejak tahun 2004 mulai bermunculan gedunggedung baru menjulang tinggi di pusat-pusat keramaian.
Plaza Semanggi, Grand Indonesia, Sampoerna Square,
Senayan City, CBIC, dan lain-lain, hanya di sepanjang jalur
utama Sudirman MH. Thamrin saja.

Jakarta saat ini, terutama lima tahun terakhir. Di satu pihak


Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang giat membangun
transportasi massal seperti Busway Transjakarta guna
mengurangi kemacetan kota, tapi pada pihak lain selama
lima tahun terakhir tumbuh beberapa bangunan komersial
yang menjulang tinggi di pusat kota atau di wilayah
yang sudah padat dengan aktivitas komersial. Kehadiran
bangunan-bangunan komersial baru itu secara otomatis
menimbulkan bangkitan lalu lintas yang cukup signifikan,
sehingga menjadi magnet terjadinya kemacetan baru di
pusat kota. Fenomena itu akan terus muncul karena masih
ada beberapa lahan kosong di Jakarta. Bagi pemilik kapital,
tanah itu adalah modal utama untuk melakukan akumulasi
kapital yang lebih banyak lagi. Maka di mana ada lahan
kosong, di sana akan dibangun pusat komersial baru.

Penetepan kebijakan pembangunan rumah susun sewa yang


akan dibangun di wilayah Kota Jakarta itu menunjukkan,
pembangunan Kota Jakarta tidak semata-mata ditentukan
berdasarkan pertimbangan teknis tata kota saja, tapi yang
lebih dominan adalah pertimbangan politik. Pertimbangan
tersebut mampu memaksa terjadinya perubahan tata kota,
meskipun secara teknis sebetulnya tidak rasional atau tidak
layak. Fenomena seperti itu, selama ini cukup dominan
mempengaruhi arah kebijakan pembangunan Kota Jakarta.
Sama halnya dengan kehadiran bangunan-bangunan komersial
yang menjamur selama lima tahun terakhir, kehadiran rumah
susun sewa tersebut akan berkontribusi pada terjadinya
bangkitan lalu lintas di Jakarta. Sebab para penghuni rumah
susun sewa yang terdiri dari banyak orang itu pasti akan
melakukan mobilitas geografis, entah sifatnya temporer atau
rutin pagi-sore. Meskipun ada teori yang mengatakan bahwa
bangkitan itu dapat diminimalisir dengan mengembangkan
delivery system, sehingga tidak seluruh kebutuhan harus dicapai
dengan harus pergi bersama-sama, tapi hadirnya ruang fisik
yang diikuti dengan kehadiran fisik penghuninya, tetap akan
melahirkan masalah baru dalam transportasi.

Di sepanjang Jl.
Gatot Subroto, Jl. S.Parman, Jl.
Suprapto,
Jl. Harsono RM, Jl. Ahmad Yani, Jl. Casablanca, Kawasan
Kuningan, dan seterusnya, juga tumbuh bangunan baru
pencakar langit, yang sudah pasti mengundang bangkitan
lalu lintas cukup tinggi. Bahkan di tepi-tepi jalan di luar
jalan protokol pun tumbuh bangunan baru yang berfungsi
komersial, seperti usaha perdagangan, rumah sakit,
perkantoran, atau sekolah.
Kota-kota besar lain seperti Surabaya, Makasar, Bandung,
Palembang, dan Medan pun mengikuti pola tersebut.
Bahkan Yogyakarta, sebagai kota kecil, pun mengikuti arus
yang berkembang di Jakarta. Munculnya tempat komersial
seperti Ambarukmo Plaza (Amplaz) misalnya, belum genap
lima tahun (dioperasikan awal 2006).
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta
atau tempat-tempat komersial di kota-kota lain itu, di satu
sisi menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi, bukti
bahwa sektor riil terus bergerak, tapi pada sisi lain dapat
menimbulkan persoalan baru dalam transportasi, apalagi
bila tidak disertai dengan percepatan pembangunan
angkutan umum massal.
Menggugat Konsep Kota Mandiri
Newman dan Kenworthy (1989) menegaskan, ada kaitan
yang kuat antara transportasi dan tata guna lahan. Menurut
* buletin tata ruang

21

topik utama . Bangunan

Baru dan Ancaman Kemacetan

di
Jakarta

Newman dan Kenworthy, ada hubungan antara konsumsi


gas dan tata kota fisik di beberapa negara. Hal itu tidak lain
karena masalah transportasi kota sebagian disebabkan
oleh pola penyebaran penduduk, seperti terjadi di Amerika
Serikat. Ada dua kemungkinan kebijakan tata guna
lahan yang berpengaruh terhadap masalah transportasi.
Pertama adalah penyebaran penduduk dari kota-kota besar
metropolitan tempat kebanyakan orang tinggal, ke kotakota berukuran kecil dan sedang. Cara ini akan mengurangi
jarak perjalanan dan memperbaiki aksesibilitas.
Kepadatan
penduduk di kota-kota besar akan berkurang dan kemacetan
juga teratasi. Orang mungkin akan bepergian lebih banyak
tapi perjalanan akan lebih singkat karena hanya berkisar di
kota-kota yang lebih kecil tersebut. Kedua, akan lebih baik
pula jika kota-kota terisolasi atau terpisah dengan baik,
seperti halnya kota mandiri sehingga orang tidak perlu
bepergian ke kota lain untuk mencukupi kebutuhan mereka
sehari-hari, karena kota tempat tinggal mereka sudah
mampu mencukupi kebutuhannya.
Konsep membangun kota mandiri sebetulnya sudah
dikembangkan oleh para developer di Indonesia sejak awal
dekade 1990an dengan membangun misalnya, kawasan
Kota BSD (Bumi Serpong Dama). Setelah itu disusul dengan
kompleks Karawaci, Cikarang, Sentul, dan lainnya. Promosi
yang ditawarkan kepada publik pada saat itu adalah sebagai
kota mandiri yang memberikan iming-iming kemudahan
untuk melakukan aktivitas tanpa terjebak kemacetan lalu
lintas seperti yang terjadi di Jakarta. Dengan bertempat
tinggal di kota-kota mandiri tersebut, asumsinya, warga
dapat melakukan aktivitas rutin (bekerja) di sana, belanja di
sana, bersekolah, periksa kesehatan, dan menonton hiburan
di lokasi yang sama. Oleh sebab itu, selain tersedia bangunan
komersial, kota-kota mandiri tersebut dilengkapi dengan
fasilitas pendidikan, kesehatan, dan hiburan yang memadai.

Tapi realitas empirisnya, ternyata kawasan baru yang diberi


julukan kota mandiri tersebut tidak mampu menunjukkan
kemandiriannya. Kawasan tersebut menjadi kawasan
hunian yang nyaman, tapi ketergantungan terhadap Kota
Jakarta tidak dapat dilepaskan. Pada pagi hari warga kota
mandiri itu berduyun-duyun menuju Jakarta, sedangkan
pada sore hingga malam hari mereka kembali berduyunduyun meninggalkan Kota Jakarta. Akibatnya, keberadaan
kawasan baru yang dimaksudkan sebagai Kota Mandiri itu
justru menambah deret kemacetan menuju Kota Jakarta.
Mengapa beberapa kawasan itu gagal menjadi kota
mandiri?. Tidak lain karena perpindahan fisik itu tidak
disertai dengan pembagian kekuasaan dan uang.
Kekuasaan dan uang tetap berada di Jakarta, sehingga
meskipun jarak Jakarta BSD itu kurang dari 50 km, orang
terpaksa harus ke Jakarta setiap harinya agar dapat turut
memperebutkan kekuasaan dan uang tersebut. Dengan
kata lain, perencanaan tata guna lahan (land use planning)
tidak dapat hanya didasarkan pada pertimbangan ekonomis
semata, tetapi harus didasarkan pada pertimbangan politik
dan budaya. Beberapa kawasan yang disebut sebagai
kota mandiri tersebut secara fisik (infrastruktur fisik) dan
ekonomis mungkin sudah mampu menjawab kebutuhan
warga yang tinggal di dalamnya. Tapi secara politik dan
budaya tidak cukup memadai, karena ternyata warga yang
tinggal di dalamnya tidak mampu berperan secara langsung
dalam proses pengambilan keputusan, kecuali bila harus
ke Jakarta. Sedangkan secara kultural, kawasan baru itu
tidak mampu membentuk budaya metropolitan, seperti
yang terjadi di Jakarta, tapi hanya melahirkan budaya
suburban. Atau bahkan tidak lahir budaya baru sama sekali
karena minimnya interaksi antara orang satu dan lainnya,
masing-masing sibuk dengan diri sendiri, sehingga interaksi
verbal maupun tulis antar warga itu tidak terjadi. Image

bangunan berjajar dan macet

22 buletin tata ruang *

topik utama . Bangunan

Baru dan Ancaman Kemacetan

di
Jakarta

yang muncul belakangan pun berubah, bahwa tinggal di


kawasan kota mandiri itu di satu sisi terkesan eksklusif,
tapi di sisi lain elitis yang termarginalisasi. Sebab elit yang
tidak termarginalisasi akan berada di Pluit, Pondok Indah,
Kebayoran Baru, Menteng, dan sebagainya.
Boleh jadi, pembangunan gedung-gedung baru pencakar
langit di Kota Jakarta itu sebagai bentuk respon kegagalan
pembangunan kota mandiri yang tidak betul-betul mandiri.
Fenomena pembangunan gedung-gedung baru di
Jakarta akan terus berlangsung seiring dengan kebijakan
pemerintah yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangkah Menengah (RPJM) 2004 2009. Rencana pemerintah
yang tertuang dalam RPJM tersebut menargetkan
pembangunan rumah mencapai 1,34 juta unit. Target

ini
mencakup pembangunan 60.000 unit rusunawa, 25.000
unit rusunami, dan 1,26 juta unit rumah tinggal. Pemda DKI
Jakarta, termasuk salah satu Pemda yang harus menjalankan
kebijakan Pemerintah, sehingga mau tidak mau harus
membangun unit gedung baru yang bersifat vertikal,
mengingat pembangunan horizontal tampaknya tidak
memungkinkan lagi. Sedangkan para developer swasta
juga melakukan investasi secara besar-besaran di tengah
Kota Jakarta, seperti misalnya St.Moritz (Rp. 11 triliun),
Kemang Village (Rp. 12 triliun), Ciputra Mall (Rp. 14 triliun),
Kuningan City (Rp. 6 triliun), Kota Casablanca (Rp. 7 triliun),
dan Gandaria City (Rp. 6,5 triliun).

Boleh jadi di antara bangunan-bangunan komersial atau


gedung-gedung baru pencakar langit tersebut tidak sesuai
dengan master plan Kota Jakarta. Kontroversi lapangan
sepakbola Persija di Menteng yang diubah menjadi lahan
parkir dan taman misalnya, dapat menjadi contoh bagaimana
master plan Kota Jakarta tidak selalu ditaati, termasuk oleh
Pemda DKI Jakarta sendiri.
Untuk membenarkan tindakannya
itu Pemda selalu melakukan revisi terhadap master plan yang
ada, sehingga kalau melihat master plan yang ada dikaitkan
dengan kondisi yang ada, seakan sesuai. Tapi bila kita lihat
master plan sepuluh tahun yang lalu, maka kondisi yang ada
sekarang banyak yang menyalahi master plan.
Perubahan-perubahan itu tidak otomatis disertai dengan
analisis dampak lalu lintas (Amdalalin), sehingga kemudian
melahirkan problem baru berupa kemacetan, seperti yang
tampak jelas terjadi di depan Plaza Semanggi. Arus lalu lintas
dari arah Jl. Suparman

dan Jl. Sudirman yang mengarah ke


Jl. Gatot Subroto terhambat oleh banyaknya kendaraan
yang masuk ke Plaza Semanggi. Pada saat yang sama,
karena plaza tersebut memiliki potensi penumpang yang
cukup signifikan, angkutan umum banyak yang ngetem
di sana. Beruntung, pihak managemen Plaza Semanggi
telah melakukan perbaikan pintu masuk melalui belakang,
sehingga tingkat kemacetan atau ketertundaan di depan
plaza dapat berkurang.

Kehadiran bangunan-bangunan baru pencakar langit itu


makin menambah padat Kota Jakarta, yang selama ini sudah
dipenuhi oleh tempat-tempat perbelanjaan. Berdasarkan
data Biro Perekonomian DKI Jakarta, di DKI Jakarta saat
ini ada sekitar 364 pusat perbelanjaan, baik yang berupa
mall, toserba, pertokoan, dan lainnya yang tersebar di lima
wilayah: Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta
Timur, dan Jakarta Utara. Pasokan Pusat Perbelanjaan di
Jakarta berdasarkan wilayah dan jumlah mall di Jakarta,
juga menurut wilayah lokasi dapat dilihat dalam dua tabel
di bawah ini:

Kondisi yang sama akan terjadi di depan Grand Indonesia


(dulu Hotel HI) bila seluruh bangunan di kawasan tersebut
sudah dioperasikan. Banyaknya mobil pribadi yang keluar
masuk kawasan tersebut (hotel dan perbelanjaan) secara
otomatis akan melahirkan bangkitan baru. Apalagi di
seberangnya juga terdapat bangunan komersial baru yang
akan melahirkan bangkitan lalu lintas pula. Keberadaan
kedua bangunan komersial tersebut akan membuat sesak
lalu lintas di sekitar bundaran HI yang akan berdampak
panjang. Dari selatan sampai Blok M, sedangkan dari arah
utara dampaknya sampai Kota Tua.

Tabel 1
Pasokan Jumlah Berbelanjaan menurut Wilayah

Seharusnya, gedung-gedung baru itu dilengkapi Analisis


Mengenai Dampak Lalulintas (Amdalalin), sebelum
pengembang yang bersangkutan memperoleh IMB dari
instansi pemerintah yang berwenang. Amdalalin ini
mencakup kapasitas gedung, potensi bangkitan perjalanan
yang ditimbulkan (baik jumlah dan klasifikasi kendaraan,
maupun jumlah dan karakteristik pengunjungnya), serta
solusi atas masalah yang timbul, misal, daya tampung
tempat parkir gedung harus mencukupi, sehingga parkir
tidak sampai luber ke tepi atau bahkan badan jalan. Selain
itu juga harus dipikirkan bagaimana agar para pejalan
kaki yang hendak mengakses ke dalam gedung bisa
memperoleh haknya tanpa ada konflik (bersimpangan atau
bahkan berlawanan arah) dengan arus kendaraan bermotor.
Jika melihat kenyataan saat ini, penulis sangsi, jika seluruh
bangunan itu disertai Amdalalin.

Wilayah
CBD
Jakarta Barat
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Selatan

Prosentase
23,8 %
14,7%
11,2%
13,3%
20,4%
16,6%

Sumber berita: Kompas, 23 Oktober 2008


Tabel 2
Jumlah Mall di Wilayah Jakarta

Wilayah
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Timur
Jakarta Barat
Jakarta Selatan

Jumlah
13
11
6
10
17

Sumber berita: Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas


Halaman ini terakhir diubah pada 12:52, 14 Oktober 2008.

Wacana TOD
Di dunia transportasi dikenal istilah yang namanya
Transit Oriented Development (TOD), yaitu suatu konsep
pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata
ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan
memperkuat lingkungan tempat tinggal dan perluasan
pilihan maupun manfaat, melalui optimalisasi jaringan
* buletin tata ruang

23

topik utama . Bangunan

Baru dan Ancaman Kemacetan

di
Jakarta

angkutan umum massal, seperti bus dan kereta api, sehingga


mempermudah warga kota untuk mengakses sumber daya
kota. Di sini ada banyak kepentingan yang dipertemukan:
di satu pihak keinginan pemilik gedung untuk dikunjungi
banyak orang terpenuhi, di pihak lain warga dapat
mengakses fasilitas kota dengan mudah, pemerintah kota
tidak terbebani resiko kemacetan baru, pengelola angkutan
umum massal juga gembira karena load factor moda
angkutannya meningkat.
Tujuan dari TOD adalah untuk memperpendek perjalanan
dan membuat perjalanan lebih efisien karena semua pusat
kegiatan diletakkan di sepanjang jalur angkutan massal
sehingga aksesibilitas warga makin tinggi. Hal itu karena
struktur bangunannya tidak terlalu lebar, penduduknya
cukup (untuk tidak dibilang padat), dan kawasan itu mix
use (tidak hanya satu zona): ada zona bisnis, perkantoran,
fasilitas umum, dan fasilitas sosial sehingga orang dapat
melakukan aktivitas dan mencukupi kebutuhannya dalam
kawasan tersebut. Setelah turun dari kereta api atau bus
mereka dapat berjalan dengan nyaman maksimal 10 menit
untuk mengakses sumber daya kota. Atau bila mereka
akan bepergian, cukup berjalan maksimal 10 menit dari
rumah menuju stasiun. Hal itu terjadi karena dalam TOD ada
ketersediaan aktivitas bisnis keseharian dalam jarak pejalan
kaki di sekitar stasiun, ketersediaan fasilitas pejalan kaki
sebagai fasilitas transfer dengan angkutan umum massal
dan perekat antar bangunan, serta disain bangunan yang
menyatu dengan fasilitas pejalan kaki dan angkutan umum.
Jepang adalah salah satu negara yang berhasil
mengembangkan konsep TOD sejak lebih dari tiga dekade
lalu. Konsep tersebut juga dikembangkan di Amerika Serikat.
Di Washington DC misalnya, pengetrapan TOD itu mampu
meningkatkan pendapatan pemerintah kota. Hal itu terjadi
karena warga kota dapat menghemat biaya transportasi
mereka dan kemudian membelanjakannya untuk
kebutuhan lain, sehingga berdampak pada peningkatan
penerimaan pajak pemerintah kota. Demikian pula Curitiba
(Brasil) merupakan contoh yang baik sebagai kota yang
memiliki TOD, karena di sepanjang jalur bus priority, terdapat
bangunan-bangunan tinggi yang diikuti dengan bangunan
yang lebih rendah untuk tempat tinggal, sehingga orang
begitu turun dari bus priority cukup berjalan kaki menuju ke
tempat perkantoran, kegiatan bisnis, atau tempat tinggal.
Di
Jakarta, kawasan sepanjang Jl. Sudirman Medan Merdeka
Barat dilalui oleh Busway Transjakarta, tapi bangunan
yang ada di sana hanya satu zona saja (perkantoran dan
bisnis saja). Lokasi tempat tinggal penduduk berada jauh
di belakang, yang seharusnya dapat diakses mengunakan
transportasi pengumpan yang ternyata tidak tersedia.
Beberapa elemen yang perlu diperhatikan dalam
perencanaan TOD adalah adanya tata guna lahan dengan
mengkonsentrasikan aktivitas yang terkait dengan angkutan
umum, membuat pencampuran tata guna lahan sehingga
dapat membuat pergerakan dengan menggunakan
angkutan umum dan mendukung angkutan dengan
adanya perdagangan, dan adanya kampanye berjalan kaki.
Kunci dalam perencanaan transportasi supaya membuat
angkutan umum lebih nyaman adalah adanya integrasi tata
guna lahan, kepadatan, konektivitas, urban design, akses
angkutan umum dan lahan parkir.
Di Distrik Colombia, TOD itu ditandai dengan tersedianya
24 buletin tata ruang *

halte pemberhentian angkutan umum pada setiap 800


m, selalu terintegrasi dengan akses pejalan kaki dan jalur
sepeda, terdiri dari banyak zona (tempat tinggal, pedagang,
dan tempat kerja), memiliki tempat parkir yang bagus, dan
perumahannya sendiri terdiri dari berbagai tipe (bukan
hanya menengah ke atas saja, tapi juga menengah ke
bawah).
Jalan menuju ke stasiun juga ada route bagi pengendara
sepeda dan pejalan kaki, tersedia informasi infrastruktur
yang baik, terhubung dengan median dan traffic calming
(pulau penghambat) seperti yang terlihat di Delft, Leiden,
Den Hague, Hannover, Copenhagen, Malmo, Bogota,
dan Curitiba. Di Jakarta, tidak ada satu pun kawasan yang
memenuhi persyaratan untuk dikembangkan menjadi
TOD. Akibatnya, kesemrawutan dan kemacetan tidak
terhindarkan, karena pada pagi hari mayoritas orang
melakukan perjalanan dari empat penjuru (utara, timur,
selatan, dan barat) menuju ke Jakarta, sebaliknya pada
sore hari mayoritas orang melakukan perjalanan menuju ke
empat penjuru tersebut. Di lain pihak, lokasi-lokasi di sekitar
stasiun kereta atau busway tidak ada aktivitas yang berarti.
Seandainya di Jakarta dikembangkan kawasan TOD,
mungkin dapat mengurangi kemacetan lalu lintas. Tapi
karena gedung-gedung tersebut sebagai bangunan
tunggal (perkantoran atau bisnis saja), bukan mix use, maka
secara otomatis kehadirannya melahirkan bangkitan lalu
lintas baru, apalagi letak bangunan tersebut bukan di jalur
angkutan umum massal yang dapat memudahkan orang
mengakses gedung itu dengan menggunakan angkutan
umum massal, sebaliknya dipaksa menggunakan kendaraan
pribadi. Akibatnya kehadiran gedung-gedung tersebut
dapat memacu pertumbuhan kendaraan pribadi yang sudah
amat tinggi. Jauh amat tinggi bila dibandingkan dengan
pertumbuhan angkutan umum yang dapat dikatakan justru
stagnan, seperti terlihat dalam tabel 3 5 di bawah ini:
Sedangkan tabel 6 di bawah ini memperlihatkan tingkat
pertumbuhan mobil di beberapa kota di ASEAN. Indonesia
ternyata mempunyai tingkat penjualan mobil cukup tinggi
bila dibandingkan Malaysia, Filipina, maupun Singapura.
Ini menunjukkan bahwa ketergantungan penggunaan
kendaraan pribadi di Indonesia cukup tinggi bila
dibandingkan dengan ketiga negara tersebut, terlebih bila
dibandingkan dengan Singapura.
Kerjasama Antar Instansi
Perkembangan kota yang semakin kompleks memerlukan
pendekatan yang multi disiplin dan strategi. Membiarkan
pembangunan kota secara sendiri-sendiri akan melahirkan
bencana di masa depan. Oleh sebab itu saatnya perlu
ada kerjasama yang baik antar departemen/dinas terkait
dalam pembangunan kota. Bukan hanya Departemen/
Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan Departemen/Dinas
Perhubungan (Dep/Dishub) saja yang perlu bersinergi, tapi
juga dengan Kementrian Perumahan Rakyat, Departemen
Perdagangan, dan departemen/dinas lainnya. Tanpa
ada sinergi antar departemen/dinas, terasa muskil dapat
membenahi transportasi kota (Jakarta).
Sebagai contoh, demi pertimbangan efisiensi angkutan,
Departemen Perhubungan memilih mengembangkan
kereta api. Tapi Departemen Pekerjaan Umum lebih suka
memfasilitasi pembangunan jalan tol yang lebih banyak

topik utama . Bangunan

Baru dan Ancaman Kemacetan

di
Jakarta

memfasilitasi kendaraan pribadi. Di lain pihak, Kementrian Perumahan Rakyat mempunyai program membangun 1.000 rumah
susun sewa yang kelak menimbulkan masalah besar dalam transportasi. Itu adalah contoh betapa kita selama ini telah samasama kerja, namun belum bekerja sama.
Seharusnya dalam setiap proses perencanaan pembangunan kawasan, aspek transportasi selalu diikutsertakan. Kebijakan tata
ruang tidak dapat mengabaikan aspek transportasi, dan pembenahan transportasi tidak terlepas dari kebijakan tata ruang.
Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Tapi orang sering melupakan hal ini, sehingga sampai saat ini Departemen Pekerjaan
Umum terpisah dengan Departemen Perhubungan. Di tingkat daerah, Dinas PU selalu terpisah dengan Dishub. Ini jelas pola
berpikir lama yang saatnya untuk dikoreksi
Tabel 3
Data Kendaraan Bermotor di DKI Tahun 2007
(ribu unit)
Tahun

Jenis
Motor
Penumpang
Beban
Bus

2002
2.816,44
1.434,80
441,09
315,14

2003
3.310,31
1,530,23
464,93
315,65

2004
3.940,70
1.645,31
488,52
316,39

2005
4,647,44
1.766,80
499,58
316,50

2006
5.310,07
1.835,65
504,73
317,05

2007 (Nov)
5.917,74
1.909,83
517,64
318,31

Sumber: Polda Metro Jaya


Tabel 4

Tabel 5

Data Kendaraan Perwilayah

Perkembangan Pasar Otomotif Nasional

(Ribu Unit)

(2003-2009)

Wilayah
Jakarta Timur
Jakarta Selatan
Jakarta Barat
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Depok
Tangerang
Bekasi

Jumlah

Tahun
773,16
1.602,37
1.652,39
1.112,75
625,45
402,44
1.421,02
1.076,19

Sumber: Polda Metro Jaya, 2008

Penjualan Mobil (unit)

2003

354.331

2004

483.170

2005

533.922

2006

318.904

2007

434.449

2008*

570.000

2009**

600.000

Sumber data: Gaikindo, Departemen Perindustrian, diolah


Investordaily
Keterangan: *angka proyeksi

** angka prediksi
Sumber berita: Investor Daily, 6 Oktober 2008

Tabel 6
Penjualan Mobil di 6 negara Asean pada 2008
Negara

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Juni

Total

Thailand

45.715

49.565

66.456

54.721

54.910

50.108

321.475

Indonesia

41.112

47.117

46.293

51.039

50.373

53.989

290.253

Malaysia

45.811

38.527

46.436

50.279

47.391

48.990

277.974

Vietnam

12.084

8.920

13.091

13.271

11.494

9.749

68.609

Filipina

8.808

9.472

10.624

11.078

10.900

10.772

61.654

10.626

7.776

9.153

9.950

9.556

10.049

57.110

Singapura

Sumber data: AAF & Fourin


Sumber berita: Bisnis Indonesia, 2 September 2008
* buletin tata ruang

25

topik utama.
oleh: Dr. Ir. I.F. Poernomosidhi Poerwo, M.Sc, MCIT, MIHT
Tenaga Ahli Fungsional Ditjen Penataan Ruang Departemen PU

Indonesia terletak di antara dua benua, dua samudra,

dan terdiri dari gugus pulau yang disebut Nusantara.


Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri
dari 17.508 pulau. Membentang 1.888 km dari 60080 Lintang
Utara sampai 110150 Lintang Selatan dan 940450 Bujur Timur
sampai 1410050 Bujur Barat. 81% wilayah Indonesia terdiri
atas lautan/perairan, termasuk zona ekonomi ekslusif.
Aglomerasi permukiman dan sebaran penduduk di Indonesia
menciptakan fenomena anthropocentris dari ribuan suku
dan ras di seluruh kepulauan Nusantara. Komposisi dan
ratio antara jumlah penduduk dan luas wilayah pulau
(besar) dan Gugus Kepulauan Laut menjadi tidak seimbang
dalam konteks daya dukung Pulau dan thresholdnya. Saat
ini diperkirakan penduduk Indonesia mencapai 225.6 juta
(2007, Bank Dunia).
Ini berarti Indonesia adalah negara
berpenduduk terbesar ke-4 di dunia. Namun kurang lebih
60% penduduk tinggal di Pulau Jawa yang luasnya sekitar
6% dari seluruh Nusantara. Ditambah dengan P.Sumatera,
maka dua pulau besar di bagian Barat Indonesia ini
membangkitkan tidak saja pergerakan barang dan manusia,
tetapi juga kegiatan ekonomi.
Perhubungan antar pulau, khususnya pulau-pulau besar
dilakukan dengan kapal laut dan pesawat terbang. Namun
kedua sarana angkutan tersebut tidak lepas dari pengaruh
cuaca, angin, kabut, arus laut serta kondisi siang dan
malam.

26 buletin tata ruang *

Segera Bangun Jembatan


Selat Sunda

Pulau Jawa dan Sumatera, dihubungkan oleh Selat Sunda


yang secara administratif masuk dalam wilayah dua propinsi.
Pulau Sangiang ke timur masuk wilayah Propinsi Banten,
sedangkan pulau-pulau sebelah barat Pulau Sangiang
masuk wilayah propinsi Lampung. Jarak Bakauheni ke Teluk
Betung adalah 90 km, sedangkan jarak Anyer ke Jakarta
adalah 120 km.
Dalam konstelasi ekonomi dunia
, posisi P.Sumatera (RA)
dan P.Jawa (JA) berperan sangat penting dalam konteks
regional. Berdasarkan laporan Bank Dunia 2007, rata-rata
pertumbuhan tenaga kerja 1.9% di atas pertumbuhan Asia
Timur & Pasifik yang 1.2%, dengan proporsi penduduk di
bawah garis kemiskinan 17%.
Gagasan Pembangunan Jembatan Selat Sunda
Dengan adanya akses Jembatan Selat Sunda, pengaruh
kedua pulau ini pada geoekonomi dunia akan sangat
signifikan. Terutama terhadap sektor industri jasa pariwisata
& transportasi lintas ASEAN bahkan ASIAAustralasia,
termasuk akses ekonomi dengan Semenanjung Asia
Tenggara (Thailand, Malaysia, Singapura). Peta geoekonomi
industri pariwisata akan berubah dengan dihubungkannya
Kawasan Telah Berkembang P.Sumatera dan Kawasan Sangat
Berkembang P.Jawa-Bali.
Gagasan untuk menghubungkan Pulau Jawa dan
Pulau Sumatera dengan prasarana jembatan maupun
terowongan melalui
Selat Sunda telah
sering
disampaikan,
dipublikasikan,
didiskusikan
dan
dipelajari. Pada saat itu
persoalan utama dalam
mewujudkan gagasan
tersebut
adalah
karena keterbatasan
p e n g e t a h u a n
mengenai kondisi selat
dan kekuatan alam
yang
mengaturnya,
ketersediaan
teknologi dan biaya,
dan
keterbatasan
sumber daya manusia,
sehingga
keraguan
yang tak terpecahkan
menyebabkan
perkembangan
gagasan tersebut tidak
berlanjut.

topik utama . Segera

Bangun Jembatan

Selat Sunda

Jawa dan pulau Sumatera


terutama pada kawasan yang
dipengaruhi (Propinsi Banten
dan Lampung)
Rencananya, jembatan di atas
Selat Sunda itu memanjang
27,4 km, namun lokasi titik
awal dan akhirnya belum
ditetapkan (masih dalam
tahap pre-FS). Pulau-pulau
yang dilalui adalah pulau
Kandang
Lumuk,
pulau
Prajurit, pulau Sangiang dan
pulau Ular dengan kedalaman
dasar laut antara + 25 m s/d +
200 m dibawah permukaan air
laut. Terdapat palung selebar
2 3 km dengan panjang
lebih dari 14 km yang terletak
antara pulau Sangiang dan
pulau Jawa.
Untuk menyeberangi Selat Sunda dibutuhkan jembatan
dengan bentang yang panjang. Namun demikian, teknologi
yang telah diterapkan pada beberapa negara dewasa ini telah
menggugah kembali untuk melihat kemungkinan tersebut
sebagai tantangan. Jembatan-jembatan dengan bentang
panjang melalui selat-selat yang ada telah dimungkinkan
dan telah diwujudkan dibeberapa negara seperti Jepang,
Denmark, Inggris, Amerika Serikat dan lain-lain.
Tujuan pembangunan infrastruktur penghubung Selat
Sunda dikaji dan rumuskan dari sisi:
a. Keseimbangan sumberdaya dan pemerataan penduduk
karena pada saat ini sumber daya manusia terkumpul di
Pulau Jawa sedangkan Pulau Sumatera memiliki potensi
sebagai sumberdaya alam.
b. Komunikasi lebih intensif sehingga akan berdampak
pada kestabilan politik, ekonomi dan sosial.
c. Jaringan jalan arteri primer. Untuk menutup kesenjangan
jaringan jalan arteri primer sepanjang 3.500 km di
Sumatera (Banda Aceh-Bangkauheni) dan 1.000 km di
Jawa (Anyer-Banyuwangi)
d. Pengembangan Pariwisata domestik akan lebih mudah
dipromosikan.
Jembatan Selat Sunda
perlu, karena:
a. Transportasi barang dan jasa antara Jawa dan Sumatera
melalui jalan darat dan penyeberangan kapal feri pada
Selat Sunda sudah sangat padat. Waktu tempuh selama
2 - 3 jam untuk menyeberang Selat Sunda dengan
menggunakan kapal feri dapat ditekan serta memberikan
alternatif prasarana angkutan lain (jembatan) yang tidak
tergantung pada pengaruh cuaca dan waktu. Jumlah
penumpang yang naik dari Bakauheni adalah 450.523
orang per tahun dan dari Merak 364.329 orang per tahun
dengan perkiraan pertumbuhan 6,29% per tahun.
b. Pengembangan kegiatan industri yang terkonsentrasi di
Pulau Jawa dapat didistribusikan ke Pulau Sumatera.
c. Pembangunan jembatan Selat Sunda akan mempengaruhi
pola pemanfaatan ruang dan struktur kegiatan di pulau

Sementara itu, meski aktifitas


gunung Anak Krakatau semenjak tahun 1927 telah terjadi 24
kali letusan (erupsi) namun merupakan letusan yang normal
dan tidak membahayakan jembatan yang akan dibangun.
Berdasarkan penelitian kemungkinan letusan dasyat akan
terjadi lagi pada tahun 2363.
Payung Hukum Jembatan Selat Sunda
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN
telah memberikan arahan: (1) pengembangan transportasi
nasional ditujukan untuk menunjang kegiatan sosial,
ekonomi, pertahanan keamanan negara, menggerakkan
dinamika pembangunan, dan memantapkan kesatuan
wilayah nasional dengan mendukung peruntukan ruang
di kawasan budidaya dan penyebaran pusat-pusat
permukiman serta sektor terkait lainnya; (2) pengembangan
jaringan transportasi nasional menghubungkan antar pulau,
pusat permukiman, kawasan produksi, pelabuhan laut dan
udara, sehingga terbentuk satu kesatuan sistem transportasi
darat, laut dan udara, dan (3) jaringan transportasi nasional
dikembangkan saling terkait meliputi wilayah nasional
dengan luar negeri, antar wilayah dan antar kota, dan dalam
keterkaitan intra dan intermoda transportasi. Sedangkan
jaringan transportasi jembatan dan terowongan antarpulau
dititikberatkan untuk melayani arus lalu lintas antar pulau
yaitu antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera, antara Pulau
Jawa dan Pulau Madura, antara Pulau Jawa dan Pulau Bali,
serta di kawasan yang mendukung kelancaran kerjasama
antara pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain.
Sementara visi pemanfaatan ruang yang terdapat dalam
RTRWN adalah :
a. perkembangan kegiatan ekonomi antar pulau
yang semakin seimbang dan semakin terkait untuk
mendorong terwujudnya pemerataan pembangunan
dan kesatuan wilayah nasional.
b. sektor industri yang semakin menyebar di luar P. Jawa
dan P. Sumatera sesuai dengan potensinya untuk
mempercepat perkembangan ekonomi wilayah.
* buletin tata ruang

27

topik utama . Segera

Bangun Jembatan

Selat Sunda

lain yang berdekatan, serta upaya


mengurangi semaksimal mungkin
dampak negatif terhadap kelestarian
lingkungan dan kehidupan sosialbudaya masyarakat di sekitarnya.
Kegiatan budi daya di darat,
laut dan udara dikembangkan
saling menguatkan, serasi dan
selaras dengan pengembangan
permukiman,
dengan
memperhatikan potensi sumber
daya alam, sumber daya buatan,
prasarana pendukung, kemampuan
investasi nasional dan kondisi
ekonomi global.

c. penyebaran kegiatan ekonomi yang sesuai dengan


potensi kawasan di wilayah nasional dan membentuk
keterkaitan yang mewujudkan penguatan struktur
ekonomi secara sektoral dan regional.
d. industri di P. Jawa tetap berkembang akan tetapi perlu
memberi perhatian khusus pada ketersediaan air dan
kelestarian lingkungan.
e. luas lahan pertanian secara nasional tetap dipertahankan
untuk menjaga kemandirian dibidang produksi pangan.
Dengan demikian perubahan fungsi lahan pertanian
yang ada di P. Jawa yang menjadi permukiman dan
kawasan industri harus diganti dengan pembukaan
sawah baru di luar P. Jawa.
f. penyebaran kegiatan ekonomi didorong ke KTI dengan
memperhatikan potensi sumber daya alam, saling
menguatkan dengan pengembangan pusat-pusat
permukiman dan dapat menciptakan kesempatan kerja
sehingga dapat menarik penduduk dari daerah padat.
Jika kembali melihat ke dalam PP 26 tahun 2008, ada beberapa
hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu kawasankawasan lindung diupayakan agar dapat membentuk suatu
kesatuan, dan di dalam kawasan lindung sejauh mungkin
dihindari kegiatan budi daya dan permukiman. Apabila
dalam kawasan lindung perlu dikembangkan kegiatan budi
daya yang sangat menguntungkan untuk pembangunan
nasional, kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan syarat
fungsi lindung tidak terganggu.
Apabila dibutuhkan, jaringan prasarana dasar seperti
jaringan transportasi, jaringan kelistrikan, jaringan
telekomunikasi, prasarana dan sarana distribusi air bersih
serta bangunan pengendali gempa dan bencana alam dapat
dibangun melalui atau dalam kawasan lindung dengan
tetap mempertahankan fungsi kawasan lindung dan tidak
mengganggu kelestariannya.
Sementara pemanfaatan ruang dan sumber daya untuk
kegiatan produksi dalam kawasan budi daya di darat, laut
dan udara diutamakan untuk kemakmuran masyarakat
melalui upaya peningkatan keterkaitan dengan kegiatan
28 buletin tata ruang *

Pada saat yang sama perlu


diupayakan untuk menyebarkan
perkembangan kawasan-kawasan
andalan dengan sektor unggulannya
di wilayah nasional untuk mendorong
pertumbuhan dan pemerataan
perkembangan
antar
wilayah.
Perkembangan tersebut dilakukan
dengan memperhatikan potensi daerah, permukiman
dan sumberdaya manusia, kemampuan investasi nasional,
sumber daya buatan dan kondisi ekonomi global.
Perlu juga diupayakan untuk meningkatkan keterkaitan yang
saling menguatkan antar kawasan andalan dalam wilayah
nasional untuk meningkatkan sinergi perkembangan
sebesar-besarnya.
Kawasan permukiman diupayakan dapat berfungsi sebagai
pusat pelayanan ekonomi yang berkembang secara selaras,
saling memperkuat dan serasi dalam ruang wilayah nasional.
Pusat-pusat permukiman tersebut membentuk suatu sistem
yang mencerminkan fungsi dan hirarki pusat sesuai dengan
wilayah pelayanannya dan pola keterkaitan pusat-pusat
permukiman serta antara permukiman perkotaan dan
perdesaan.
Pengembangan pusat-pusat kegiatan itu didukung perluasan
jaringan transportasi nasional untuk melayani kegiatan sosial
ekonomi masyarakat, termasuk permukiman transmigrasi,
kawasan-kawasan terpencil, daerah terbelakang, dan daerah
perbatasan. Jaringan transportasi itu ini juga berguna untuk
menghubungkan pintu-pintu ekspor-impor.
Pengembangan jaringan transportasi diselaraskan dan
dipadukan dengan pengembangan sistem permukiman
dengan menggunakan pertimbangan :
1. pusat-pusat permukiman sebagai simpul pelayanan
transportasi;
2. kebutuhan pelayanan dan jenis moda pada
masing-masing simpul didasarkan pada hirarki dan
fungsi permukiman serta tingkat perkembangan
kawasan.
3. untuk kota-kota metropolitan, diupayakan
mengembangkan jaringan transportasi yang
efisien melalui penggunaan moda angkutan
umum masal dipadukan dengan moda angkutan
umum lainnya dengan memperhatikan efisiensi
penggunaan ruang dan mempertimbangkan

topik utama . Segera

Bangun Jembatan

Selat Sunda

kemungkinan penggunaan terpadu (multi use)


dari suatu ruang. Untuk kota yang memungkinkan
pengembangannya diarahkan dengan pemanfaatan
ruang di bawah kota.

Keterkaitan kedua kota ini justru ke Pantai Timur dengan


kota Pekanbaru dan Palembang sebagai outlet utama. Juga
lemahnya koordinasi pengelolaan kawasan lindung lintas
propinsi dan Kabupaten/Kota.

Pengembangan lintas dilakukan melalui pembangunan


salah satu atau kombinasi dari prasarana jalan darat
(jalan raya, kereta api, sungai dan danau) dan angkutan
penyeberangan yang dapat mendorong peningkatan
perkembangan kawasan dan permukiman. Melalui

sistem
transportasi yang

efisien

dan efektif dengan keterpaduan


antar dan intramoda.

Dalam pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan juga


terdapat sejumlah masalah, seperti p
endayagunaan potensi
sumberdaya kelautan kurang optimal bahkan kurang
terkontrol.
Penguasaan teknologi prosesing perikanan laut
masih lemah sehingga sumberdaya kelautan masih terbatas
pada perikanan laut yang dalam kondisi mentah. Marineindustry belum berkembang dengan baik di Pulau Sumatera.
Ini karena kurangnya perhatian dalam pengembangan
pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil terutama di bagian barat
Pulau Sumatera menjadi kawasan yang relatif terisolir dan
kurang dapat berkembang, karena infrastruktur pendukung
kegiatan perikanan laut masih sangat terbatas.

Selanjutnya, berkaitan dengan arahan pengembangan


kawasan andalan di dalam PP 26 tahun 2008 perlu dikenali
beberapa kawasan andalan yang terpengaruh dengan
adanya Jembatan Selat Sunda ini, yaitu Kawasan Andalan
Bojonegara Merak Cilegon dsk.
Propinsi Banten dengan sektor unggulan industri, tanaman
pangan, pariwisata, perikanan dan pertambangan dan
Kawasan Andalan Bandar Lampung Metro dsk. di Propinsi
Lampung dengan sektor unggulan perkebunan, pariwisata,
tanaman pangan, industri, dan perikanan.
Beberapa Isu Strategis Pulau Sumatera
Ada beberapa pokok masalah yang ada di Pulau Sumatera,
di antaranya, kesenjangan perkembangan wilayah antara
Pantai Barat Pantai Timur Sumatera. Wilayah

Pantai Barat
Pulau Sumatera lebih tertinggal dibandingkan dengan
Pantai Timur Pulau Sumatera. Kemudian, pertumbuhan
penduduk Sumatera rata-rata tahun 1995 1999 sebesar
1,90% per tahun relatif lebih tinggi dari laju tertumbuhan
nasional pada periode waktu yang sama yang hanya sebesar
1,66%, namun pertumbuhan penduduk ini secara spasial
tidak tersebar merata, hanya pada bagian Tengah dan Pantai
Timur Sumatera saja.
Selain itu, adanya gejala primacy kota dan lemahnya
keterkaitan antar kota pada setiap propinsi di Pulau
Sumatera, terutama yang berstatus sebagai ibukota propinsi.
Kota-kota metropolitan Medan dan Palembang merupakan
konsentrasi penduduk dan ekonomi di Sumatera, serta kotakota cepat bertumbuh berada di Pantai Timur dan Pantai
Tengah. Di Pantai Barat hanya terdapat kota Padang dan
Bengkulu yang minim keterkaitannya satu dengan yang lain.

Dalam pengembangan ekonomi kawasan dan kerjasama


regional di Pulau Sumatera juga masih terjadi kompetisi
antar propinsi untuk komoditi yang sama. Seharusnya,
menyikapi kerjasama regional IMT-GT dan IMS-GT, masingmasing propinsi berupaya mengembangkan komoditi atau
sektor unggulan agar daya saingnya lebih tinggi. Keterkaitan
ekonomi antar propinsi se-Sumatera (inter-regional trade)
juga belum tercipta karena masing-masing propinsi
cenderung melakukan kebijakan berorientasi ekspor
komoditi mentah, dibanding industri processing seperti
agroindustri dan agrobisnis dengan nilai tambah tinggi.
Dalam pengembangan prasarana wilayah di Pulau Sumatera,
termasuk bidang transportasi masih lemah. Karena kurang
terpadunya pengembangan prasarana yang mendukung
sistem inter-moda transportasi, yang dapat dilihat dari
dominasi transportasi di Sumatera oleh transportasi jalan
raya sehingga akibat tingginya arus kendaraan, kerusakan
jalan merupakan tantangan yang sangat serius. Sementara
alternatif untuk mengatasi hal itu, yaitu pengembangan
sistem jaringan kereta api (Trans Sumatera Railway) yang
sinergis, masih terbatas pada pelayanan di daerah-daerah
di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Tengah
dan Lampung. Sedangkan moda lainnya seperti sistem
transportasi laut dan udara, kurang bisa optimal karena ada
prasyarat teknis yang harus dipenuhi.

Perahu nelayan tengah berlabuh di salah satu sudut Selat Sunda

* buletin tata ruang

29

topik utama . Segera

Bangun Jembatan

Selat Sunda

Keterisoliran pulau-pulau kecil di sekitar pantai barat


Sumatera yang diakibatkan kecilnya skala ekonomi yang
dihasilkan untuk langsung dijual ke kota besar. Orientasi
langsung ke kota besar kurang menguntungkan bagi daerah
ini. Saat sekarang wilayah ini hanya dilayani secara terbatas
baik frekuensi penyeberangan maupun jumlah dan kualitas
prasarana yang ada.

Berdasarkan Kriteria tersebut, maka Daya Dukung Pulau


Jawa rata-rata sudah dilampaui.

Sistem jaringan telekomunikasi yang terbentuk di


Sumatera telah melayani seluruh wilayah, hanya saja belum
membentuk sistem yang kompak dan sama terutama pada
pantai Barat dan Kepualuannya.
Untuk itu perlu dilakukan
integrasi sistem jaringan telekomunikasi dalam skala Pulau
Sumatera.

Pulau Jawa sendiri memiliki banyak sumber daya alam yang


dapat dikembangkan. Misal, Tropical terrestrial and marine
resources yang khas untuk bahan baku obat, kosmetika,
produk industri dan pangan. Namun Prinsip Eco Region
atau Bio-Region yang dipakai sebagai landasan UU 26/2007
Tentang Penataan Ruang perlu dijabarkan dalam konsep
One Island One Plan One Integrated Management.

Beberapa Isu Strategis Pulau Jawa

Apalagi saat ini air tawar menjadi bahan langka, karena


hutan dan Daerah Aliran Sungai dalam kondisi kritis.
Pada
tahun 1800an, terdapat 11.5 juta ha lahan hutan. Tahun

1989 tinggal 3 juta ha.

Sejumlah persoalan pada umumnya sama dengan Pulau


Sumatera, bahkan di Jawa dengan tingkat intensitas
persoalan yang dua kali lipat. Contoh, kesenjangan
Pertumbuhan Kawasan Koridor Pantura dan Pansela Jawa
maupun masalah kawasan rawan bencana gunung berapi,
gempa bumi, gerakan tanah longsor dsb.
Saat ini penduduk Pulau Jawa naik dari 128 juta (2005) ke
151 juta (2020) atau 58% dari 220 (2005) ke 55% dari 274 juta
(2020) seluruh penduduk RI. 65% penduduk Jawa adalah
kaum urban (2020). Lemahnya penyelenggaraan penataan
ruang nasional dan daerah terutama implementasi rencana
tata-ruang dan pengendalian, mengakibatkan hutan-tanahsungai Jawa rusak dan mengakibatkan bencana banjir serta
erosi yang memukul penduduk miskin. Padahal tingkat
Kesuburan tanah Jawa 4 x Sumatera, 6 x Kalimantan untuk
tanaman padi. Air tawar Jawa menciut langka. Daya dukung
ekologi dan PDB hijau membuktikan ambang batas pulau
dilampaui.
Kebutuhan Lahan Per Orang Per Tahun Berdasarkan Kriteria
Dunia:
1. untuk lahan energi = 2.34
ha/orang
2. lahan terdegradasi = 0.20
ha/orang
3. kebun
= 0.02
ha/orang
4. lahan pertanian
= 0.66
ha/orang
5. lahan peternakan = 0.46
ha/orang
6. hutan
= 0.50
ha/orang
Total Kebutuhan Lahan = 4.18
ha/orang

Lahan pertanian dalam periode 1880-1930an meningkat


tajam seiring laju pertumbuhan penduduk. Sampai dengan
Tahun 1990 lahan pertanian relatif konstan, sementara
pertumbuhan penduduk terus meningkat tajam. (Kajian
Daya Dukung P.Jawa, Tim Menko Perekonomian, 2007)
Dampak Pembangunan Jembatan Selat Sunda
a. Perubahan struktur dan pola pemanfaatan ruang pada
kawasan pengaruh (outlet-inlet, kabupaten dan pulaupulau yang dilalui oleh jembatan Selat Sunda).
b. Perubahan kegiatan ekonomi, sosial budaya regional
yang lebih intensif yang berdampak pada adanya
kecenderungan regionalisasi wilayah pengembangan
tanpa dibatasi oleh batas administrasi.
c. Kecenderungan perubahan fungsi kegiatan pelabuhan
baik di Bakauheni, Panjang maupun Merak.
d. Perubahan fungsi sistem jaringan jalan Sumatera Jawa
serta perubahan tata guna lahan sepanjang jaringan
jalan tersebut.
e. Lokasi pilar jembatan menyebabkan perubahan arus air
laut yang mempengaruhi jalur pelayaran regional dan
internasional dan berdampak pada ekosistem laut di
sekitarnya, pola tangkapan ikan serta abrasi pantai.

Penduduk
Luas Lahan Kebut Lahan Total Kebuthn
(juta
(Ha)
(Ha/orng)
Lahan (Ha)
orang)

No

Provinsi

DKI

9.16

66,100

4.18

Jabar
Banten

38.34

4,630,000

Jateng

29.69

DIY

30 buletin tata ruang *

Jadi, perlu dicermati lebih lanjut bagaimana perkiraan


dampak pembangunan Jembatan Selat Sunda terhadap
Daya Dukung dan Daya Tampung Pulau Jawa versus Pulau
Sumatera.

Kondisi (Ha)

Daya Dukung

38,288,800

-38,222,700

dilampaui

4.18

160,261,200

-155,631,200

dilampaui

3,420,600

4.18

124,104,200

-120,683,600

dilampaui

2.90

318,800

4.18

12,122,000

-11,803,200

dilampaui

Jatim

33.80

4,792,200

4.18

141,284,000

-136,491,800

dilampaui

Total
P.Jawa

113.89

13,227,700

476,060,200

-462,832,500

dilampaui

Tabel Jejak Ekologi


( Ecological Footprint )
untuk P. Jawa
(Sumber Tim Studi Daya
Dukung P.Jawa Ditjen Taru &
Menko Perekonomian 2007)

topik utama . Segera

Bangun Jembatan

Selat Sunda

f. Adanya perubahan fungsi kota (PKL, PKW) dan fungsi


kegiatan kota (pariwisata, industri, permukiman,
pertanian).
g. Timbulnya kegiatan ekonomi (perubahan pemanfaatan
ruang) di sepanjang akses yang dapat mengganggu
tingkat aksesibilitas.
h. Adanya kemungkinan terganggunya ekosistem laut
antara lain terumbu karang.
i. Adanya reklamasi pantai disebelah barat pulau Ular yang
memerlukan pengelolaan ruang.
j. Adanya peningkatan polusi (sampah, suara, estetika) pada
daerah pantai dan pulau Sangiang karena peningkatan
kegiatan.
k. Adanya gangguan lingkungan akibat galian material yang
membutuhkan pengelolaan terpadu antar wilayah.
l. Potensi KaliandaWay KambasTeluk SemangkaWaduk
Batutegi, Anak Krakatau, Tj. Lesung, P. Sangiang, Anyer dsb.
sebagai tempat pariwisata dapat lebih dikembangkan.
m. Lesson Learned dari Jembatan yang menghubungkan
P.Honshu dengan P. Shikoku di Jepang (Gambar :
Jembatan Seto-Chuo 37 km) maka waktu kajian
kelayakan, termasuk kajian pengembangan wilayahnya
sampai dengan Disain Rinci diperlukan paling tidak 20
tahun (19551975), untuk konstruksi sampai selesai 15
tahun (1975-1990). (Sumber:
Survey, R&D, Design and
Construction for Seto Ohashi Bridges Presentation, 2008).
CATATAN PENUTUP
1. Perlunya analisis Penataan Ruang yang mendalam
terhadap dampak Infrastruktur (Jembatan) Selat Sunda,
pada :

tata ruang akibat pembangunan Jembatan Selat Sunda


5. Perlunya kerjasama pihak perencana desain teknik
Jembatan Selat Sunda dengan pihak perencana tata
ruang untuk mengantisipasi dampak pemanfaatan
ruang
6. Perlunya revisi RTR propinsi/kabupaten/kota dengan
masukan dari analisis dampak pemanfaatan ruang pada
studi Amdal dan desain teknik
7. Perlunya dibentuk forum kerjasama pengembangan
wilayah melalui legalisasi untuk mendukung terjadinya
regionalisasi kegiatan yang merumuskan kesepakatan
serta jaminan kepastian hukum dalam pemanfaatan
ruang
8. Perlunya kerjasama Pemerintah Propinsi Banten,
Kabupaten Serang, Kota Cilegon, serta Pemerintah
Propinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan
untuk menyiapkan sistem jaringan jalan lokal dan
regional yang tidak hanya bertumpu pada / membebani
jalan nasional
9. Perlunya revitalisasi kawasan pelabuhan Merak yang
akan mengalami penurunan fungsi
10. Perlunya kajian terhadap integrasi moda transportasi
dan utilitas.
11. Akhirnya dari berbagai pengalaman dunia Internasional
Gagasan untuk mewujudkan Jembatan Selat Sunda
harus segera dirintis sebagaimana Gagasan Terowongan
Selat Inggris (Channel Tunnel/ Chunnel/Eurotunnel) sudah
dimulai sejak 1802 dan dibuka pada 1993

Perubahan pola dan struktur pemanfaatan ruang


Perubahan Orientasi Pelayanan Sebelum
Sesudah
(Before&After) (Lihat Gambar)
Perubahan sistem transportasi
Perubahan fungsi pelabuhan
Kajian sosial ekonomi dan action plan untuk
masyarakat terkena dampak
Pengembangan kegiatan pariwisata meliputi :
Kalianda Way Kambas Tl. Semangka Waduk
Batutegi, A. Krakatau, Tj. Lesung, P. Sangiang, Anyer
dsb.
2. Perlunya Kajian yang mendalam terhadap Pilihan Tipe
Infrastruktur Lintas Pulau yang dapat mengurangi
dampak negatif dan menjadi pengungkit (leverage)
untuk pengembangan wilayah di kedua Pulau dengan
padanan dunia International terhadap Infrastruktur
berbasis Jalan atau berbasis Jalan Rel atau Infrastruktur
Bangunan Layang (spt Jembatan) atau Infrastruktur
Bangunan Bawah Tanah / Bawah Laut (spt Terowongan).
Demikian pula pengaruh gandanya (Multiplier Effect)
terhadap perwujudan Ruang Nusantara.
3. Perlunya buffer zone di sepanjang jalan nasional untuk
menghindari tumbuhnya kegiatan-kegiatan di sepanjang
jalan tersebut
4. Perlunya sosialisasi rencana kegiatan pada stake holder
pada saat FS untuk mendapatkan masukan perubahan
* buletin tata ruang

31

Kerjasama antar Daerah dalam


Penataan Ruang Kawasan
Jabodetabekpunjur

topik lain.
oleh:
Sekretaris Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP)
Jabodetabek

Wilayah

Jabodetabekjur merupakan kawasan


perkotaan dengan dinamika dan muatan persoalan serta
kegiatan tertinggi di Indonesia. Sehingga sudah seharusnya
mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan yang belakangan ini nampak mengalami tekanan
lingkungan (environmental stress) yang sangat tinggi.
Terdiri dari 11 wilayah administrasi otonom, yang tediri
dari 3 Provinsi serta 8 Kabupaten/Kota. Dengan rentang
variabel fisik dari topografi rendah (pesisir) sampai dataran
tinggi (perbukitan) yang terhampar dalam satu region.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi di salah satu
wilayah jelas berpengaruh dan dipengaruhi oleh wilayah
lain, sebagai satu kesatuan ekosistem. Mengingat kondisi ini,
maka diperlukan pengelolaan yang integratif antar wilayah
tersebut. Sehingga, berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi,
Puncak, Cianjur (Jabodetabekpun-jur) ditetapkan sebagai
Kawasan Strategis Nasional yang memerlukan perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang secara terpadu.
Secara definisi, Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah
yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai
pengaruh sangat penting secara nasional terhadap
kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008,
disebutkan, kawasan Jabodetabekjur merupakan suatu
Kawasan Strategis Nasional, yang selanjutnya penataan
ruangnya secara spesifik diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2008 (Perpres nomor 54/2008) tentang
Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Puncak, Cianjur.
Pola Kerjasama Antardaerah
Kerjasama antardaerah menjadi salah satu pendekatan
utama dalam Penataan Ruang Wilayah/Kawasan serta
pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi lebih dari
satu wilayah administrasi, dan merupakan salah satu
alat untuk meningkatkan keseimbangan dan keserasian
perkembangan antarwilayah dan sektor, serta berperan
dalam mewujudkan efisiensi pemanfaatan ruang sebagai
tempat berlangsungnya kegiatan-kegiatan ekonomi dan
sosial budaya serta pelestarian lingkungan hidup.
Kerjasama antardaerah juga merupakan perangkat untuk
menjaga ekosistem antar wilayah guna kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.
Kerjasama antardaerah dapat dilakukan dalam upaya
32 buletin tata ruang *

menyelesaikan konflik yang bersifat lintas batas dan/atau


persoalan yang sulit untuk ditanggulangi sendiri, misalnya
dalam persoalan prasarana wilayah.
Beberapa peraturan perundang-undangan sudah mengatur
mengenai kerjasama antardaerah, yaitu :
1. UU NO 32/2004 tentang PEMERINTAHAN DAERAH,
Kerjasama Antar Daerah diatur lebih jelas & tegas dalam
BAB IX Pasal 195 197,
2. UU NO 26/2007 tentang PENATAAN RUANG, Kerjasama
Antar Daerah diamanatkan dalam Pasal 47 (ayat 1) dan
Pasal 54 (ayat 1)
3. PP 50/2007 tentang Tatacara Kerjasama daerah

Dalam rangka membantu kepala daerah melakukan


kerjasama dengan daerah lain yang dilaksanakan secara
terus menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5
(lima) tahun, kepala daerah dapat membentuk badan
kerjasama.
Badan kerjasama tersebut bukan perangkat daerah.
Dibentuk dengan keputusan bersama kepala daerah.

4. Permendagri No 69/2007 tentang Kerjasama Wilayah


Perkotaan

Sesuai dengan Permendagri Nomor 69Tahun 2007 tentang


Kerjasama Pembangunan Perkotaan, pelaksanaan
kerjasama pembangunan perkotaan bertetangga dapat
dibentuk dengan badan kerjasama sesuai kebutuhan.
Badan kerjasama dipimpin oleh Kepala Daerah secara
bergiliran dari masing-masing daerah yang melakukan
kerjasama dan ditetapkan dengan keputusan bersama
kepala daerah.

Bentuk dan mekanisme kerjasama antar Daerah, antara


lain:
Kerjasama Antar Daerah yang berdekatan, sifatnya
wajib dilaksanakan dalam rangka mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat;
Kerjasama Antar Daerah yang tidak berdekatan, dapat
dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan bersifat
situsional dilakukan dalam rangka pengembangan
potensi dan komoditi unggulan dari masing-masing
daerah yang bekerjasama;
Kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan pihak
ketiga,

5. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang


Penataan ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur.

topik lain . Kerjasama

antar Daerah dalam Penataan Ruang Kawasan


Jabodetabekpunjur

1. Bab I Bagian kedua pasal 1 ayat (1) huruf a


2. Bab I Bagian kedua pasal 2 ayat (2) huruf a dan b
3. Bab II Bagian kedua pasal 8 huruf a
4. Bab VII Bagian pertama pasal 64
5. Bab VII Bagian ketiga pasal 66 ayat (4)

Implementasi Kerjasama Antardaerah di Jabodetabekjur
Derasnya pembangunan Kota Jakarta sebagai Ibukota
Negara, menyebabkan terjadinya peluapan (spillover)
perkembangan kota ke wilayah di sekitarnya, sehingga
terjadilah berbagai alih fungsi peruntukan di kota-kota sekitar
Jakarta. Sementara itu, belum ada perencanaan terpadu
di kawasan sekitar Jakarta, yang didasarkan kepada satu
kesatuan ekosistem yang saling mempengaruhi. Sehingga,
diperlukan pemahaman untuk mengelola bersama dalam
kerangka kerjasama antardaerah yang telah ditetapkan
mekanisme dan sistemnya oleh peraturan yang berlaku.
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat dan Banten serta Kabupaten dan Kota di Bodetabekjur
harus duduk bersama dan menyamakan persepsi serta tujuan
bersama mengenai pentingnya Penataan Ruang Kawasan
Strategis Nasional ini. Ego dan kepentingan-kepentingan
kedaerahan yang berbenturan dengan Peraturan ini, harus
dikesampingkan demi kepentingan yang lebih besar. Perpres
nomor 54/2008 bukan untuk kepentingan satu wilayah
saja, melainkan kepentingan bersama daerah di Wilayah
Jabodetabekjur dan kepentingan nasional pada umumnya.
Perpres nomor 54/2008, secara jelas mengatur dan
mendorong keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang
antardaerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan.

Selanjutnya untuk mengkoordinasikan kebijakan kerjasama


antardaerah serta melaksanakan pembinaan yang terkait
dengan kepentingan lintas Provinsi/Kabupaten/Kota di
kawasan Jabodetabekpunjur dilakukan dan/atau difasilitasi
oleh badan kerjasama antardaerah.
Untuk menterpadukan pemanfaatan ruang yang optimal
di kawasan Jabodetabekjur yang terdiri dari 3 Pemerintah
Provinsi dan 8 Kabupaten/Kota, Pemerintah daerah perlu
melakukan kerjasama dimulai dari proses perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian pembangunan serta
pemanfaatan berbagai sumberdaya yang dimiliki. Ini
perlu, agar para pelaku pembangunan memiliki sudut
pandang yang sama terhadap permasalahan yang ada dan
menetapkan skala prioritas pembangunan yang setara.
Peran Badan Kerjasama Pembangunan
Manajemen tata ruang Jabodetabekjur yang terpadu harus
dapat diwujudkan, agar masalah-masalah pelik Kawasan
Jabodetabekpunjur, seperti banjir, penyediaan air bersih,
permukiman, penanganan sampah, penataan transportasi,
perekonomian, sosial budaya dan lain-lain, dapat diatasi
bersama. Apalagi kerjasama antardaerah di wilayah
Jabotabek sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1976.
Namun dengan semakin berkembangnya pembangunan,
kelembagaan kerjasama antardaerah yang ada, dirasakan
kurang optimal.
Pada saat ini kelembagaan yang sudah terbentuk adalah
Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Jabodetabekjur,
yang dibentuk berdasarkan Keputusan bersama Gubernur
Jawa Barat dan Gubernur DKI Jakarta nomor D.IV-3201/
d/11/1976/Pem-121/SK/1976) tanggal 14 mei 1976,
berpedoman Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor

Terbatasnya Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta menjadi


permasalahan lingkungan yang serius

* buletin tata ruang

33

topik lain . Kerjasama

antar Daerah dalam Penataan Ruang Kawasan


Jabodetabekpunjur

Pem.10/34/16-282 tanggal 26 Agustus 1976, yang


ditempatkan pada kedudukan ganda. Pada Pemerintah
daeeah yang bekerjasama, badan ini melakukan koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) masalah seluruh
aspek Jabotabek. Pada hubungan dengan Pemerintah Pusat,
badan ini menjadi representasi daerah yang bekerjasama
dalam melakukan konsultasi kepada Pemerintah Pusat
mengenai seluruh aspek pembangunan Jabodetabekjur.
Masalah yang dihadapi BKSP Jabodetabekjur sebagai
lembaga kerjasama selama ini, adalah sebagai berikut :
1. Belum siapnya pemerintah dalam merencanakan dan
membiayai program yang integral antar wilayah,
2. Belum terciptanya interkoneksitas yang kuat antar
daerah dalam hal pengelolaan kota,
3. Belum adanya kesamaan persepsi, kepentingan dan
prioritas bersama mengenai pentingnya penanganan
Wilayah Jabodetabekjur sebagai Kawasan Strategis
Nasional,
4. Kurangnya koordinasi yang terbina antara institusi
pemerintah, masyarakat loKal dan swasta di wilayah
Jabodetabekjur,
5. Belum siapnya kapasitas SDM dalam kelembagaan
pemerintah untuk koordinasi dan kerjasama antar
wilayah,
6. Belum tercapainya kesetaraan perangkat daerah dalam
kerjasama antar wilayah,
7. Perlunya optimalisasi peran BKSP Jabddetabekpunjur
dalam kerjasama antar wilayah,
8. Perlunya instrumen
Jabodetabekpunjur,

RTRW

&

RPJM

Solusi Yang DIharapkan


Lembaga yang menangani kawasan Jabodetabekpunjur
diharapkan dapat menjalankan fungsi Koordinasi, Integrasi,
Sinkronisasi dan simplifikasi secara optimal, dan menjadi
representasi daerah dalam melakukan konsultasi dengan
Pemerintah Pusat, mencakup seluruh aspek pembangunan
yang dikerjasamakan di Wilayah Jabodetabekpunjur. Pada
kedudukan yang horizontal, lembaga ini harus memiliki
otoritas yang mengikat pihak-pihak yang bekerjasama untuk
mematuhi kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat.
Para pemangku kepentingan di Wilayah Jabodetabekpunjur
harus dapat menyatukan persepsi, kepentingan dan prioritas
pembangunan bersama di Wilayah Jabodetabekpunjur,
dengan memberikan dukungan pikiran, dana dan sumber
daya manusia yang memadai demi kepentingan bersama.
Sebagai lembaga kerjasama antar daerah yang sudah ada,
BKSP Jabodetabekpunjur diharapkan dapat difungsikan
sebagaimana mestinya, agar dapat mengawal Implementasi
Perpres no.54/ 2008 sehingga maksud, tujuan dan sasarannya
tercapai.
SUMBER :
1.
Ringkasan eksekutif penyusunan Road Map for
capacity building BKSP Jabodetabekjur
2.
Prerentasi Direktorat Fasilitasi Dirjen Bina
Pembangunan Daerah Depdagri pada acara Rapat
Teknis Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekjur, di
Bogor tanggal 4 Desember 2008
3.
Naskah akademis revitalisasi kelembagaan BKSP
Jabodetabekjur.

Kawasan

9. Perlunya dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari


APBN untuk menopang kerjasama pembangunan
wilayah BODETABEKPUNJUR,

agenda kerja
BKTRN.

SEPTEMBER - OKTOBER 2008

Agenda kerja BKTRN bulan September-Oktober:


1. Sosialisasi Perpres No.54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur di Jakarta, Bandung, dan
Tangerang.
2. Revisi 7 (tujuh) Raperpres RTR Pulau; Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.
3. Pembahasan Raperpres RTR Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi.
4. Inventarisasi informasi daerah mengenai konflik pemanfaatan ruang, khususnya mengenai alih fungsi lahan hutan.
5. Penyelesaian konflik pemanfaatan ruang daerah, khususnya mengenai alih fungsi kawasan hutan.
6. Sinkronisasi Rencana Strategis dan Rencana Aksi Heart of Borneo (HoB) tingkat trilateral, nasional, dan daerah.
7. Konsultasi substansi teknis Rancangan Perda RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota.
8. Rapat Kerja BKPRD di Mataram
34 buletin tata ruang *

topik lain.
Oleh: Ir. Bambang Suwarmintarta
Ka. Bid. Pengembangan Kepariwisataan Baparda DIY

Saya mau tamasya


Berkliling kliling kota
Hendak melihat-lihat
Keramaian yang ada
Saya panggilkan becak
Kereta tak berkuda
Becak! Becak!
Coba bawa saya!
(Hai Becak, karya Ibu Sud)

Tidak ada

dearah lain yang menggunakan Becak


sebagai ikon pariwisata selain Yogayakarta. Tapi justru
itulah daya tarik bagi para wisatawan. Becak sebagai
alat transportasi tradisional, masih eksis sebagai alat
transportasi masyarakat, di tengah perkembangan kota
Yogyakarta menuju kota metropolitan. Becak bahkan ikut
mempengaruhi perkembangan peradaban masyarakat
Metopolitan Yogyakarta.
Keterkaitan antara becak dengan perkembangan peradaban
masyarakat metropolitan dapat dilihat dari berbagai
dimensi, yaitu becak sebagai alat transportasi, pengemudi
becak sebagai makhluk sosial (baik sebagai komunitas
maupun individu) dan becak sebagai penggerak kegiatan
perekonomian.
Becak sebagai alat transportasi
Saat ini, becak sebagai alat transportasi tradisional melayani
masyarakat khususnya wisatawan, di
seluruh Kota Yogyakarta yang luasnya
30,5 km persegi. Terutama karena 60%
wilayah Kota merupakan obyek wisata
budaya heritage unggulan (Kraton,
Kotagede, Pakualaman, Kota baru
dan Njeron Beteng). Becak sebagai
alat transportasi tradisional mampu
melayani para pengguna (masyarakat
dan wisatawan) dengan jangkauan 2 4
Km.

Becak dan Kesahajaan


Promosi Pariwisata
Yogyakarta

Yogyakarta mulai tahun 2006 telah dikembangkan, untuk


meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan, dengan
moda transportasi terpadu antara pesawat udara, kereta
api, bus Jogja Trans (busway ala Yogyakarta) dengan rute
bandara-stasiun kereta. Wisatawan kemudian dapat masuk
ke kawasan kota dengan kereta, dan selanjutnya untuk
perjalanan pendek di kota, dilayani becak atau delman
pada shelter tertentu (di obyek-objek wisata) dengan jarak
tempuh 2 4 Km.
Pengemudi becak sebagai makhluk sosial dan penggerak
perekonomian
Sebagai makhluk sosial, komunitas pengemudi becak
mampu berinteraksi dengan komunitas profesional lain
untuk menjalankan fungsinya mendukung kegiatan
kepariwisataan. Saat ini telah ada saling ketergantungan
antara komunitas pengemudi becak dengan hotel, travel
agent, toko-toko kerajinan dan makanan khas Jogja,
restoran dan pengelola obyek wisata. Sebagai contoh,
di kawasan Malioboro yang mempunyai panjang 2 Km,
terdapat 20 kelompok pengemudi becak, dengan anggota
masing-masing 30 orang, yang dibentuk oleh komunitas
hotel, restoran, toko-toko dan travel agent dengan aturan
main yang disepakati bersama.
Hubungan antara pengemudi becak dengan pegiat pariwisata
ini, menunjukkan peran becak sebagai pendukung kegiatan
perekonomian di Yogyakarta.
Meski becak merupakan

Kota Yogyakarta sendiri telah tumbuh


dan berkembang ke arah metropolitan
area yang menggabungkan wilayah
Yogyakarta, Sleman dan Bantul
(KARTAMANTUL) dengan wilayah 400
Km persegi. Dalam kota metropolitan
ini, pengelolaan sarana dan prasarana
perkotaan (sampah, air minum, sanitasi
dan transportasi) dilakukan secara
terpadu. Sebagai contoh, sistem
transportasi di wilayah perkotaan
* buletin tata ruang

35

topik lain . Becak

dan Kesahajaan

Promosi Pariwisata Yogyakarta

alat transportasi dengan jangkauan yang sangat terbatas,


namun sangat dibutuhkan industri pariwisata.

memberikan pelatihan sopan-santun, komunikasi bahasa


asing dan pemandu wisata.

Dukungan pemerintah daerah, baik propinsi dan kabupaten


kota, terhadap keberadaan becak sebagai alat transportasi
tradisional untuk menunjang pariwisata, sangat tinggi.
Bahkan pembinaan becak dimasukan dalam kegiatan
strategis pemerintah yang meliputi penataan ruang untuk
memberikan keleluasaan pergerakan becak, pemberdayaan
pengemudi becak untuk meningkatkan kualitas pelayanan,
serta peningkatan kegiatan ekonomi dan kelembagaan
untuk menjaga konsistensi hubungan antar komunitas
becak dan kalangan pariwisata.

Di sisi lain, melalui pendekatan aspek peningkatan kegiatan


ekonomi, pemerintah daerah berupaya agar arus urbanisasi
dapat ditekan sehingga jumlah pengemudi becak tetap
terjaga. Jika jumlah pengemudi becak tidak terkendali, maka
persaingan tidak sehat di antara pengemudi becak, akan
muncul. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan
pengalihan kegiatan usaha (alih profesi), bekerjasama
dengan pemerintah Kota dan Kabupaten daerah asal
pengemudi becak.

Melalui aspek penataan ruang, pemerintah Kota Yogyakarta


memberi jalur khusus sepanjang 2 Km di Malioboro untuk
becak dan andong. Begitu pula pemerintah Kabupaten
Bantul dan Sleman, memberikan ruang khusus di pasar,
hotel, shelter bus dan obyek wisata, melalui Peraturan Bupati.
Sedang Pemerintah Propinsi DIY melalui Dinas Perhubungan
tidak melarang becak beroperasi di daerah manapun (tidak
ada jalan bebas becak).
Kondisi demikian menjadikan transportasi di Yogyakarta
isimewa, sesuai filosofi jawa alon-alon waton kelakon, maka
bila melakukan perjalanan di Yogyakarta harus sabar karena
bercampur antara kendaraan bermotor dan tidak bermotor.
Tapi kondisi inilah yang membedakan Yogyakarta dengan
daerah lainnya.
Melalui aspek pemberdayaan masyarakat, pemerintah
daerah berupaya meningkatkan kualitas pelayanan
pengemudi becak terhadap masyarakat luas, khususnya
wisatawan. Seperti diketahui, pengemudi becak adalah hasil
dari proses urbanisasi, sehingga perbedaan budaya kota
dan desa sangat berpengaruh saat berinteraksi, baik antar
komunitas maupun indivdu, yang akhirnya berdampak pada
tingkat pelayanan. Pemerintah dengan melibatkan swasta,
masyarakat dan perguruan tinggi melakukan langkahlangkah pendataan komunitas, memberikan identititas,

Becak Jogja, mangkal di sisi barat Malioboro

36 buletin tata ruang *

Dari aspek kelembagaan, pemerintah daerah lebih


menekankan pada pendampingan pengemudi becak secara
berkelanjutan dengan didukung oleh swasta yang bergerak
di bidang industri pariwisata dan masyarakat (termasuk di
dalamnya pengemudi becak sendiri). Melalui pendekatan ini,
pengemudi becak didampingi dalam membuat perjanjianperjajian kerjasama serta menyusun rencana kegiatan
bersama pegiat pariwisata lain, sehingga para pengemudi
akan merasa aspirasinya didengar, sekaligus menyadari
pelayanannya juga berpengaruh pada Kota Yogyakarta
secara keseluruhan.
Bagi Yogyakarta, becak masih dibutuhkan masyarakat dan
wisatawan. Masyarakat masih membutuhkan becak untuk
perjalanan jarak pendek dan memasuki jalan-jalan sempit.
Bagi wisatawan, becak menjadi alat transportasi yang
sensasional dan unik. Untuk mempertahankan eksistensi
becak ini, peranan Pemerintah dalam memberikan
pembinaan bagi para pengemudi becak amat besar. Sejauh
ini, masih ada pengemudi becak yang belum memiliki
kesadaran untuk menaati peraturan lalu lintas, tidak jujur
dalam menerapkan tarif pada wisatawan, tidak jujur dalam
mengantar ke tujuan, dan bahkan berbuat kriminal pada
penumpangnya.
Hanya dengan meningkatkan kualitas pelayanan, keberadaan
becak sebagai ciri khas Kota Yogyakarta, Metropolitan yang
bersahaja, dapat dipertahankan.

topik lain.

Menunggu Jalur
Lintas Selatan Pulau Jawa
Menjadi Kenyataan

Secara umum

Pulau Jawa
dianggap sebagai kawasan yang telah
berkembang, di banding kawasan
lain di Indonesia. Perkembangan
perekonomian sangat pesat, dengan
potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang besar.
Namun kenyataannya, tidak seluruh
daerah di Pulau Jawa menunjukkan
perkembangan yang sama. Secara
fisik kawasan utara Pulau Jawa lebih
berkembang dibanding kawasan
selatan. Kondisi infrastruktur jalan
di kawasan Utara Jawa seperti Jalur
Pantura telah mampu mengangkat
roda perekonomian, aktivitas sosial,
dan mobilitas warga. Sementara
keterbatasan infrastruktur jalan di
kawasan selatan Jawa, mengakibatkan
perkembangan wilayah dan tingkat kesejahteraan
masyarakat masih rendah bahkan banyak ditemui daerahdaerah terisolir. Persentase nilai PDRB per kapita wilayah Jawa
bagian utara jauh lebih tinggi dibandingkan bagian selatan.
Rata-rata semua sektor ekonomi di wilayah Jawa bagian selatan
mempunyai kontribusi yang sangat kecil, dengan prosentase
antara 0-13%.
Sebenarnya, wilayah Jawa bagian selatan mempunyai
potensi sumberdaya alam yang besar, selain memiliki tanah
yang subur, sumber-sumber tambang, pariwisata, juga kaya
akan sumberdaya laut. Berbagai potensi tersebut sangat
memungkinkan untuk dilakukan pengembangan yang lebih
optimal. Potensi utama ini juga dapat dilihat secara nyata
pada persentase nilai PDRB perkapita wilayah Jawa bagian
selatan. Sektor pertanian memberikan kontibusi cukup
besar pada nilai PDRB per kapita provinsi yang mencapai
35-50%. Selain itu, terdapat potensi di bidang pariwisata
terutama wisata alam, dengan kontribusi terhadap nilai
PDRB per kapita provinsi sebesar 18-22%. Kekayaan dan
potensi tersebut tentu merupakan suatu faktor strategis
yang mampu mendorong kemajuan wilayah Jawa bagian
selatan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
wilayah tersebut jika dikembangkan secara optimal dengan
dukungan infrastruktur ekonomi dan sosial yang memadai.
Sebagai upaya menyeimbangkan pertumbuhan kawasan
pantai utara Pulau Jawa dan pantai selatan Pulau Jawa
serta untuk menghadapi tantangan kepadatan jalur
pantura Jawa salah satunya adalah dengan pembangunan
infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang harus dibangun
adalah berupa jalan dan jembatan. Mengapa? Karena jalan
dan jembatan adalah prasarana yang dapat menjadi urat
nadi dalam mengembangkan suatu wilayah sekaligus
sebagai pembentuk struktur ruang wilayah. Terkait dengan

hal ini, upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan


pembangunan dan peningkatan prasarana jalan lintas di
selatan Pulau Jawa. Sesuai dengan kebijakan pengembangan
infrastruktur, salah satu fungsi pembangunan jaringan jalan
lintas selatan Pulau Jawa adalah untuk menjamin kelancaran
pergerakan barang dari kawasan produksi menuju tujuan
pemasaran maupun pergerakan orang antar pusat-pusat
permukiman.
Rencana Jalan Lintas Pantai Selatan
Jalan lintas selatan Pulau Jawa direncanakan untuk
mengubungkan 5 provinsi di Pulau Jawa, yaitu Provinsi
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Jawa Timur, yang dimulai dari Labuan
(Banten) hingga Banyuwangi (Jawa Timur) sepanjang 1.556
km, dengan panjang pada masing-masing provinsi adalah
Banten 128 km, Jawa Barat 419 km, Jawa Tengah 190 km,
Daerah Istimewa Yogyakarta 157 km, dan Jawa Timur
sepanjang 662 km. Pada tahun 1997-1998 telah dilakukan
pra-feasibility study yang dilanjutkan dengan feasibility study
pada tahun 2000-2001, kemudian studi AMDAL tahun 2002,
desain dan pelaksanaan konstruksi tahun 2002-2007.
Penetapan rute berawal dari hasil Detail Engineering Design
dari perencana yang selanjutnya dilakukan peninjauan
lokasi bersama-sama antara pemerintah provinsi dengan
masing-masing pemerintah kabupaten dan dibahas
dalam beberapa kali pertemuan. Hasil pertemuan tersebut
diintegrasikan dengan studi jaringan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat, yaitu studi Java Arterial Road Network
(JARN). Selanjutnya dari hasil tersebut ditetapkan rute jalan
lintas selatan Pulau Jawa yang dari segi pendanaan melalui
sharing pemerintah pusat yang lebih proporsional.
Sebenarnya selama ini di wilayah selatan Jawa telah dibangun
jalan kabupaten dan propinsi, dengan investasi masing* buletin tata ruang

37

topik lain . Menunggu


Jalur

Lintas Selatan Pulau Jawa

Menjadi Kenyataan

masing daerah cukup besar, namun tetap belum cukup


memadai untuk membuka isolasi potensi yang seharusnya
dapat dimanfaatkan secara optimal oleh penduduknya.
Dengan jaringan jalan lintas selatan yang berkelas jalan
nasional dan berfungsi arteri primer selebar 24 meter,
tidak hanya masalah aksesibilitas yang terpecahkan, tetapi
yang terpenting adalah kesejahteraan jutaan penduduk di
kawasan Pulau Jawa bagian selatan meningkat.
Saat ini kondisi jalan lintas selatan Pulau Jawa belum
sepenuhnya berfungsi. Selain karena kondisi permukaan
jalan yang buruk, juga karena adanya beberapa jembatan
penghubung yang belum selesai dibuat di beberapa ruas
jalan. Contoh kasus di Provinsi Jawa Barat, jalan lintas
selatan di Provinsi Jawa Barat melewati 5 Kabupaten, yaitu
Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan
Ciamis. Kondisi eksisting jalan walau sebagian besar telah
diaspal, namun terdapat ruas jalan dalam keadaan masih
dalam tahap pengerasan maupun rusak di beberapa bagian.
Di wilayah Kabupaten Cianjur, masih terdapat jembatan
yang belum selesai dibangun sehingga menyebabkan jalan
lintas selatan terputus. Selain itu, kondisi wilayah selatan
Jawa yang relatif berbukit-bukit cukup menyulitkan untuk
pembangunan jalan dengan kontur datar.
Kendala Rencana
Jalur lintas selatan Pulau Jawa yang nantinya diharapkan
menjadi bagian dari jaringan jalan lintas Jawa dan menjadi
akses utama selain jalur lintas utara, tidak terlepas dari
kendala-kendala yang ada, antara lain kondisi fisik atau
kontur selatan Pulau Jawa yang berat, keterbatasan dana,
pengadaan lahan, dan juga masalah kontrak tahunan.
Kondisi fisik atau kontur daerah pantai selatan yg berat,
melalui gunung, tebing, maupun jurang membutuhkan
konstruksi yang kuat terhadap ancaman longsoran dan
landslide.
Contoh kasus di Provinsi Jawa Barat, masih banyaknya
jalan yang berbatu atau tidak layak untuk dilewati yakni
di sepanjang jalur lintas selatan. Jalur penghubung (link
junction) yang menghubungkan jalur utara dengan
selatan juga belum memadai, dengan kondisi wilayahnya
sebagian besar pegunungan yang berbukit-bukit. Kualitas
jalannya hanya setingkat jalan kabupaten dan desa,
dengan lebar kurang lebih 5 meter. Sementara kondisi di
samping-sampingnya bukit dan jurang. Kendala lain yang
berhubungan dengan kondisi fisik adalah contoh kasus
di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada link 7 di
Yogyakarta, pembangunan jembatan merupakan hal yang
penting dalam kesinambungan jaringan jalan atau koridor.
Link 7 membutuhkan jembatan penghubung yang dekat
dengan laut dengan panjang 600 meter

Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa di Kebumen Selatan

38 buletin tata ruang *

Kendala kedua setelah kondisi fisik wilayah, adalah kendala


anggaran yang dapat dibagi ke dalam dua masalah. Pertama
adalah masalah desain. Keterbatasan dana mengakibatkan
pembangunan jalan lintas selatan ini lebih memprioritaskan
kajian teknik dari aspek geologis, drainase, dan lain-lain.
Padahal kedua hal ini tidak bisa terpisahkan satu sama lain.
Masalah kedua adalah konstruksi. Dana konstruksi untuk
total jalan sepanjang 1.556 km yang melibatkan banyak
kabupaten dengan jumlah yang terbatas harus dialokasikan
ke semua kabupaten, sehingga dana menjadi kecil diterima
setiap kabupaten.
Kendala ketiga adalah pengadaan lahan. Pembebasan lahan
adalah salah satu masalah terumit dalam pembangunan
jalan, termasuk pembangunan jalan lintas selatan Pulau
Jawa ini, karena harus melalui negosiasi ganti rugi yang
cukup pelik antara pemerintah dengan masyarakat, serta
membangun pamahaman masyarakat bahwa pembangunan
jalan lintas selatan ini juga akan berpengaruh positif bagi
kesejahteraan warga sekitar. Selain milik perseorangan,
sebagian lahan yang akan digunakan sebagai jalan lintas
selatan adalah lahan hutan. Tidak kalah rumitnya, untuk
penggunaan lahan perhutani, terlebih dahulu harus
melewati mekanisme pinjam-pakai dengan kompensasi 1:1
sesuai Permen Kehutanan No: P.14/Menhut-II/2006, serta
memenuhi beberapa persyaratan antara lain desain, studi
AMDAL, kesanggupan kompensasi lahan, dan lain-lain.
Kendala terakhir adalah kontrak tahunan. Kontrak tahunan
memberikan dampak negatif dalam hal kehilangan waktu
dan ketidakefisienan akibat proses pengadaan, sehingga
perlu pemeliharaan jalan yang belum selesai.
Dengan demikian jelas, pembangunan jalan lintas selatan
Pulau Jawa, memerlukan proses yang panjang serta upaya
yang keras. Satu hal yang terpenting adalah pembangunan
jalan lintas selatan ini harus tetap berkiblat pada peraturan
tata ruang sehingga diharapkan akan menjadi jaringan
jalan yang benar-benar memperhatikan kaidah teknis dan
pembangunan berkelanjutan, sehingga benar-benar dapat
meningkatkan perekonomian wilayah selatan Pulau Jawa.
Seyogyanya, pembangunan jalan lintas selatan Pulau Jawa
difokuskan pada percepatan agar dapat segera dimanfaatkan
oleh masyarakat, walaupun untuk lalu lintas ringan. Selama
ini kita telah sabar menunggu jalur lintas selatan Pulau Jawa
menjadi kenyataan.
Catatan Redaksi:
Redaksi menerima artikel ini melalui e-mail tanpa disertai nama
penulisnya. Sesaat sebelum naik cetak, redaksi telah melakukan
konfirmasi ulang untuk mendapatkan nama penulis tetapi tidak diperoleh
informasi. Oleh karena redaksi menilai isi artikel ini penting, terutama
sebagai informasi kepada khalayak tentang progres dan kendala
pembangunan Jalur jalan Lintas Selatan Pulau Jawa, maka dengan
disertai permohonan maaf redaksi memutuskan tetap menyajikan artikel
ini untuk pembaca yang budiman. Terimakasih dan semoga bermanfaat

topik lain.
oleh: Sekretariat Tim Teknis BKTRN

Rapat Kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah

Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Indonesia dilaksanakan di


Mataram NTB, pada tanggal 29 30 Oktober 2008. Tema
yang diangkat dalam rapat kerja tersebut adalah : Melalui
Raker Kita Tingkatkan Peran dan Fungsi serta Kinerja
BKPRD dalam Penataan Ruang.
Sidang dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, masing-masing
adalah :
1.

Kelompok I Bidang Perencanaan Tata Ruang

2.

Kelompok II Bidang Pengendalian Pemanfaatan Ruang

3.

Kelompok III Bidang Kelembagaan Penataan Ruang

Hasil sidang masing-masing kelompok adalah :


1. Kelompok I Bidang Perencanaan Tata Ruang
A. Isu-isu Strategis
1. Mekanisme penyelarasan rencana tata ruang
wilayah
dengan
rencana
pembangunan
berkelanjutan
2. Rencana dan Program Kerja BKPRD dalam
perencanaan tata ruang
3. Pelibatan stakeholders dalam penyusunan rencana
tata ruang dengan memperkuat pendekatan
kesatuan ekosistem wilayah
B. Rekomendasi
1. Perlunya
mencermati
beberapa
aturan
perundangan yang masih kurang sinkron
dan mengenali kelemahan hukum/peraturan
perundangan yang berlaku, tidak hanya terbatas
pada Undang-undang Penataan Ruang saja
melainkan dengan peraturan perundangan
lainnya yang terkait, baik yang sifatnya horizontal
maupun vertikal
2. Penyusunan rencana tata ruang perlu dilakukan
secara realistis (mudah dilaksanakan dan
dikendalikan) dan aspiratif (tidak sekedar top
down tetapi juga bottom up ) sesuai potensi dan
kemampuan daerah
3. Perlunya memperjelas kembali mekanisme
koordinasi antara BKPRD Provinsi dan BKPRD
Kabupaten/Kota dalam penyusunan rencana tata
ruang
4. Dalam
perencanaan
tata
ruang
perlu
dipertimbangkan upaya mendukung ketahanan
pangan nasional dengan penetapan kawasan
budidaya pertanian yang berkelanjutan
5. Dalam penyusunan rencana tata ruang perlu
diperhatikan aspek pengendalian alih fungsi
kawasan peruntukan pertanian berkelanjutan dan

Laporan dari Mataram


Nusa Tenggara Barat

RAPAT KERJA BKPRD SE INDONESIA


peningkatan peran dan fungsi dinas pertanian
provinsi dan kabupaten/kota selaku anggota
BKPRD serta stakeholders lainnya
6. Perlunya penyamaan nomenklatur/istilah-istilah
dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi dan Kabupaten/Kota berdasarkan
dengan peraturan perundangan yang berlaku
7. Perlunya perencanaan tata ruang yang
komprehensif yang meliputi matra darat (dari hulu
sampai hilir), pesisir, laut dan pulau-pulau kecil
8. Untuk meningkatkan kualitas perencanaan
tata ruang, diperlukan peningkatan intensitas
koordinasi BKPRD secara vertikal maupun
horizontal
9. Perlunya meningkatkan koordinasi antar
stakeholders yang terkait dalam penyusunan
rencana tata ruang
10. Untuk mengatasi konflik kepentingan antar sektor
yang didasari oleh landasan hukum yang berbeda
dalam perencanaan tata ruang, diperlukan
terobosan instrumen peraturan perundangan
yang
dapat
mengakomodasi
perbedaan
kepentingan tersebut
11. Perlunya terobosan dan inovasi baru dari BKPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengatasi
ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dengan
pelaksanaan pemanfaatan ruang
12. Masing-masing BKPRD Provinsi dan Kabupaten/
Kota perlu segera menyusun Program Kerja dalam
bidang Perencanaan Tata Ruang Tahun 2009
2010.
2. Kelompok II Bidang pengendalian Pemanfaatan
Ruang
A. Isu-isu Strategis
1. Kewenangan BKPRD dalam pengendalian
pemanfaatan ruang untuk memperkuat peraturan
zonasi dalam rangka pelaksanaan pengendalian
pemanfaatan ruang dan peningkatan peran
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS);
2. Prosedur penegakan hukum di dalam
penyimpangan
pemanfaatan
ruang
dan
penguatan hak-hak masyarakat;
3. Keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas
provinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan
sinergi struktur pemanfaatan ruang;
4. Peran sistem informasi dan sosialisasi dalam
pengendalian penataan ruang oleh masyarakat;
5. Rencana dan Program Kerja BKPRD dalam
pengendalian dan pemanfaatan ruang.
* buletin tata ruang

39

topik lain . Laporan

dari Mataram Nusa Tenggara Barat RAPAT


KERJA BKPRD SE INDONESIA

B. Rekomendasi
1. Dalam penyelesaian konflik tata ruang antar
sektor dan wilayah perlu mengefektifkan tugas
dan fungsi BKPRD.
2. Pejabat pengawas tata ruang dan PPNS berperan
dalam pengawalan pengendalian pemanfaatan
ruang yang diatur dalam peraturan perundangundangan, yang kedudukannya dibawah instansi
anggota BKPRD.
3. BKPRD mendorong penegakan hukum dilakukan
secara konsisten dan konsekuen.
4. Perlu adanya mekanisme pelibatan masyarakat
dalam rangka pengawasan pelanggaran penataan
ruang, yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
5. Untuk menjamin sinkronisasi pemanfaatan ruang
Provinsi dan Kabupaten/Kota, perlu kesiapan
perangkat hukum.
6. Dalam rangka penegakan hukum, masyarakat
perlu mendapatkan informasi tentang peraturan
perundang-undangan terkait penataan ruang
melalui sosialisasi secara intensif dan berjenjang
dengan memanfaatkan media cetak lokal, media
elektronik lokal, teknologi informasi dan kearifan
lokal.
7. Untuk optimalisasi pengendalian pemanfaatan
ruang lintas wilayah diperlukan keterpaduan dan
kerjasama antar daerah melalui penguatan badanbadan kerjasama yang sudah ada, dan masingmasing daerah perlu menjabarkan kesepakatan
tersebut dalam RPJMD, Renstra, RKPD dan Renja
masing-masing instansi anggota BKPRD.

5. Belum jelasnya peran dan fungsi BKPRD dalam


penyusunan rencana tata ruang;
6. Belum optimalnya pembentukan BKPRD Provinsi
dan BKPRD Kabupaten/Kota di masing-masing
Provinsi dan Kabupaten/Kota;
7. Belum tersedianya petunjuk teknis dan pedoman
kerja tugas-tugas pokja dalam BKPRD;
8. Kurang berperannya unsur-unsur independen
dalam kelembagaan BKPRD;
9. Belum adanya program dan agenda kerja yang
jelas dari BKPRD, dan belum sinerginya program
kerja antara BKPRD dengan BKTRN.
B. Rekomendasi
1. Perlunya mengaktifkan peran BKPRD/TKPRD
Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan penataan ruang sebagai clearing house
dalam penetapan kebijakan Gubernur di bidang
penataan ruang dan sebagai wadah pembahasan
bidang penataan ruang termasuk sinkronisasi
dan sinergitas pembangunan nasional, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota, dengan cara:
- Menyusun agenda tahunan bersama
- Koordinasi dan sinkronisasi secara berkala
- Mewajibkan BKPRD/TKPRD Kabupaten/Kota
untuk memberikan laporan berkala
2. Perlunya membentuk Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) bidang penataan ruang.
3. Perlunya pengoptimalan kader (masyarakat)
dalam pemantauan pelaksanaan penataan
ruang.

8. Masing-masing daerah perlu membangun Sistem


Informasi dan Basis Data Tata Ruang dengan
menggunakan Standar Georeferensi Nasional
yang terkait dalam sistem Infrastruktur Data
Spasial Nasional/IDSN (Perpres Nomor 85 Tahun
2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional).

4. Masing-masing BKPRD perlu segera menyusun


program kerja 2009-2010.

9. BKPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu segera


menyusun program pengendalian pemanfaatan
ruang dalam 2 tahun ke depan, disesuaikan
dengan tupoksi masing-masing anggota BKPRD.

6. Diperlukan fasilitasi pendanaan untuk menunjang


peran dan fungsi BKPRD Provinsi dan Kabupaten/
Kota.

3. Kelompok III Bidang Kelembagaan Penataan Ruang


(BKTRN dan BKPRD)
A. Isu-isu strategis
1. Belum jelasnya mekanisme kerja antara BKPRD
Provinsi dengan Kabupaten/Kota, dan BKPRD
provinsi dengan BKTRN;
2. Struktur organisasi BKPRD sudah tidak sesuai
lagi dengan nomenklatur penamaan organisasi
perangkat di daerah;
3. Belum sinkronnya peran dan fungsi antara pokja
perencanaan tata ruang dan pokja pengendalian
pemanfaatan ruang;
4. Belum jelasnya aparatur yang berperan dalam
pengendalian dan pengawasan penataan ruang
di daerah;

40 buletin tata ruang *

5. Diperlukan penyelesaian konflik pemanfaatan


ruang di daerah secara hirarki tingkat
pemerintahan yang difasilitasi oleh BKPRD.

7. Diperlukan penyempurnaan/peninjauan kembali


terhadap Kepmendari Nomor 147/2004 tentang
pedoman koordinasi penataan ruang daerah
dikaitkan dengan karakteristik dan kondisi daerah
masing-masing.
8. Diperlukan peningkatan peran BKPRD dalam
penyusunan dan penetapan perda tentang
rencana tata ruang serta pemberian informasi
kepada masyarakat.
9. Diperlukan kejelasan mekanisme kerja antara
BKPRD Provinsi dengan Kabupaten/Kota, dan
BKPRD Provinsi dengan BKTRN.
10. Diperlukan peningkatan kapasitas SDM dari
BKPRD sehingga dapat menjangkau aspek
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian
pemanfaatan ruang

pengembangan profesi.

Tanggung Jawab
Perencanaan dalam
Pembangunan
Berbasis Penataan
Ruang
Oleh: Agus Sutanto, ST., M.Sc.
Anggota Bidang Pengembangan Profesi Ikatan Ahli Perencanaan IAP

Bencana

yang datang silih berganti di Indonesia


merupakan cerminan dari adanya kekacauan manajemen
ruang saat ini. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
yang tidak sesuai dengan kaidah keberlanjutan, bisa menjadi
sebab semua bencana itu.
Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (UU TARU) terdapat ketentuan setiap orang yang
tidak menaati rencana tata ruang diancam pidana penjara
selama-lamanya tiga tahun dan denda sebanyak-banyaknya
limaratus juta rupiah. Sementara dalam pasal yang lain juga
diatur bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang
yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata
ruang diancam pidana selama-lamanya lima tahun penjara
dan denda sebanyak-banyaknya limaratus juta rupiah.
Hukuman untuk pemberi izin yang nakal masih ditambah
embel-embel dapat dikenai pidana tambahan berupa
pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Adanya sanksi dalam UU TARU tesebut dapat dipandang
sebagai pintu gerbang baru bagi profesi perencanaan
dalam menunjukkan eksistensinya. Bayangkan, produk
profesional para perencana kini dapat menyebabkan
seseorang dipenjara sekian tahun atau didenda sekian ratus
juta rupiah. Selain itu, dapat juga menyebabkan seorang
amtenaar kehilangan jabatan, bahkan dipecat dengan tidak
hormat.
Ini menunjukkan betapa besar peran para perencana ruang
dalam pembangunan.
Namun perlu disadari bahwa peran
besar juga berarti tanggung jawab besar. Di sini, tanggung
jawab seorang perencana bisa dilihat dari dua dimensi yang
berbeda.
Dimensi pertama, para perencana ruang harus bertanggung
jawab atas kualitas rencana tata ruang yang dihasilkannya.
Rencana yang kemudian ditetapkan sebagai dasar
pelaksanaan pembangunan harus merupakan produk yang
akan memberikan kemaslahatan bagi seluruh pemangku
kepentingan.
Untuk itu, para perencana dituntut selalu meningkatkan
kompetensinya.
Tidak terbatas pada aspek akademis,
tetapi juga dalam memahami karakteristik masyarakat
yang merupakan pemangku kepentingan utama dalam
penataan ruang. Agar produk rencana betul-betul dapat
menyejahterakan masyarakat sesuai dengan karakteristik

sosial budayanya. Ini

memang mudah diucapkan, namun


membutuhkan standar kompetensi yang sangat tinggi.
Untuk urusan standar kompetensi, IAP, sebagai asosiasi
profesi perencana, perlu mengaktualisasikannya dalam
program sertifikasi keahlian, dengan hanya memberikan
sertifikat keahlian kepada para perencana yang memenuhi
standar tinggi tersebut.
Bisa dibayangkan, penerapan standar kompetensi yang
tinggi selanjutnya akan berimbas pada perguruan tinggi
di mana para calon perencana disiapkan. Perguruan tinggi
harus melengkapi dirinya dengan kurikulum pendidikan
yang memberikan jaminan bahwa alumninya tidak akan
mengalami kesulitan dalam memenuhi standar kompetensi
tersebut. Bila tidak, alumni perguruan tinggi tersebut akan
gagal memperoleh sertifikat keahlian sehingga tidak bisa
mendapatkan pekerjaan. Kalau sudah begini, perguruan
tinggi tersebut tidak ubahnya sebuah lembaga yang hanya
mampu menyiapkan barisan sarjana pengangguran.
Selanjutnya dimensi kedua, para perencana harus secara
cermat berhitung dengan hati nuraninya, berapa orang
yang potensial terpenjara atau terampas hartanya untuk
membayar denda. Juga berapa besar dana yang harus
disiapkan untuk mengimplementasikan rencana yang
dibuat. Untuk lebih mudah, berikut salah satu contoh
praktisnya.
Dalam sebuah kawasan yang memenuhi kriteria sebagai
kawasan lindung, telah dikuasai oleh sekelompok
masyarakat golongan ekonomi lemah yang tidak punya
pilihan selain tinggal dan berusaha di sana. Bila perencana
hanya berpatokan pada kriteria fisik kawasan, kawasan itu
akan ditetapkan sebagai kawasan lindung dan selanjutnya
orang-orang itu harus dipindahkan ke lokasi lain. Keputusan
ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi keputusan ini
merupakan vonis bagi pemerintah untuk menyediakan
biaya relokasi dan ganti kerugian. Di sisi lain merupakan
tekanan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah yang
kemungkinan akan tetap nekat untuk tinggal di situ karena
di lokasi yang baru tidak bisa memperoleh pendapatan yang
layak.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa rencana tata
ruang dapat berubah fungsi menjadi alat tirani untuk
memarjinalkan sekelompok pemangku kepentingan. Di sini
dituntut tanggung jawab moral seorang perencana sebelum
menggoreskan spidolnya di atas peta rencana. Dari sini
pula dapat kita pahami bahwa kompetensi perencana
harus mencakup pemahaman terhadap karakteristik sosial
ekonomi masyarakat yang tinggal di (atau yang terpengaruh
oleh) wilayah perencanaan.
UU TARU hendaknya tidak dipandang sebagai sebuah
kemenangan profesi perencana. Undang-undang
tersebut justru harus dipandang sebagai amanat maha
berat yang harus dijawab para perencana ruang. Bila para
perencana tidak bisa membuktikan mampu mengemban
amanat tersebut, bisa dipastikan, pencabutan amanat
hanya merupakan persoalan waktu. Setelah itu, profesi
perencanaan akan kembali pada situasi marjinal, dianggap
asing, tidak perlu diperhitungkan, dan tidak perlu dilibatkan
dalam proses pembangunan
* buletin tata ruang

41

We are what we repeatedly do. Excellence,


then, is not an act, but a habit.
- Aristotle -

42 buletin tata ruang *

Anda mungkin juga menyukai