buletin
BKTRN
BADAN KOORDINASI TATA RUANG NASIONAL
dari redaksi.
Dalam edisi kelima penerbitan Buletin Tata Ruang, semangat
kami tetap menyala untuk menyampaikan ide-ide atau tulisantulisan yang membahas penataan ruang dengan berbagai
aspeknya. Kali ini yang ingin kami angkat adalah tema yang
berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi wilayahwilayah dan kota-kota (baik metro, besar maupun sedang) di
seantero Indonesia, yaitu permasahan transportasi.
Kami ingin mengangkat isue yang kami nilai aktual menjadi
tema penerbitan edisi ini, yaitu : Penataan Ruang sebagai
Dasar dalam Pengembangan Manajemen Transportasi.
Tentunya tema ini didasari pemikiran, bahwa penataan ruang
dan manajemen transportasi adalah dua hal yang saling
memiliki keterkaitan. Kaidah yang berlaku dalam penataan
ruang adalah optimalisasi pemanfaatan ruang melalui antara
lain penggunaan lahan yang optimal dan tertata sedemikian
rupa. Pada sisi lain, tentunya manajemen transportasi tidaklah
bisa dirumuskan dengan meminimalkan permasalahan yang
mungkin timbul pada tataran implementasi di lapangan apabila
tanpa memperhatikan rencana pemanfaatan ruang yang ada.
Pembaca yang budiman,
Kami menyadari tidaklah mudah merancang manajemen
transportasi dengan memperhatikan sebesar-besarnya
kaidah dan rencana tata ruang yang ada. Salah satu kendala
tentunya adalah kekuatan pasar yang kadang-kadang menjadi
pertimbangan utama, katakanlah misalnya dalam penentuan
trayek atau jalur angkutan massal perkotaan. Oleh karena
itu, harus ada pemahaman yang benar mengenai penataan
ruang yang harus dibarengi dengan kerja keras, dan upayaupaya yang tiada henti, termasuk upaya menyebarluaskan
tulisan-tulisan yang merupakan buah pemikiran para pakar
dan praktisi bidang penataan ruang, dan bidang transportasi
tentunya. Semua yang kami sampaikan dimaksudkan juga
untuk membuka kesadaran kita semua mengenai betapa
pentingnya penataan ruang di dalam mendukung manajemen
transportasi.
Tulisan-tulisan yang kami angkat untuk dipublikasikan dalam
edisi ini adalah buah karya para akademisi, praktisi, dan pemerhati
transportasi. Semuanya kita arahkan untuk mendukung tema
yang kami pilih. Tokoh yang kami pilih adalah figur tokoh yang
memiliki komitmen tinggi terhadap masalah sosial-ekonomi,
termasuk pertanahan, yaitu DR.Ir. Hetifah, MPP. Profil wilayah,
kami sengaja mengedepankan Kawasan Aglomerasi Perkotaan
Yogyakarta dan dukungan sistem transportasi masal perkotaan
Trans Jogja. Di sana kita bisa melihat saling keterkaitan antara
penataan ruang dengan manajemen transportasi yang saling
mengisi dan saling terpadu.
Untuk itulah, pada kesempatan yang baik ini, Dewan Redaksi
Buletin Tata Ruang mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang memiliki
kontribusi nyata dalam penyiapan Buletin Tata Ruang edisi ini.
Pada akhirnya, kami berharap tulisan-tulisan yang kami sajikan
dapat memperluas horison pemikiran kita semua.
Terimakasih dan selamat membaca.
sekapur sirih.
Rasa syukur yang mendalam mengiringi penerbitan Buletin Tata Ruang
edisi September-Oktober 2008 ini, karena hanya atas izin-Nya, kami masih diberi kesempatan melanjutkan penerbitan Buletin Tata Ruang ini. Untuk itu, selayaknya kita panjatkan rasa terima kasih yang tidak terhingga
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kesempatan yang selalu diberikan
kepada kita untuk terus berkarya.
Dalam khasanah penataan ruang, kata kunci yang sangat penting dalam
pengembangan sebuah pusat pertumbuhan, adalah aksesibilitas. Tingkat
aksesibilitas sebuah pusat pertumbuhan sangat menentukan efektivitas
fungsi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pada dasarnya,
pusat pertumbuhan memainkan peranan penting karena adanya daya
pengungkit (leverage) dalam mendorong kegiatan ekonomi di daerahdaerah yang berada didalam radius pengaruh dari pusat pertumbuhan
tersebut.
Pada sisi lainnya, tingkat aksesibilitas yang tinggi yang antara lain dicirikan adanya kelengkapan jaringan infrastruktur yang memadai dan
handal, menjadi daya tarik untuk berinvestasi bagi investor domestik
dan asing. Namun harus pula diperhatikan bahwa pembangunan jaringan infrastruktur seyogyanya memperhatikan rencana tata ruang di
wilayah yang bersangkutan. Bahkan pada tataran yang lebih teknis, penataan ruang semestinya telah dijadikan sebagai dasar di dalam upaya
pengembangan manajemen transportasi. Penentuan trayek, jenis alat
transportasi dan prasarana idealnya didasarkan atas keberadaan pusatpusat pertumbuhan/pusat kegiatan ekonomi, pusat-pusat permukiman,
kawasan penghasil bahan baku, pusat-pusat produksi/pemasaran, yang
semuanya seharusnya tergambar dalam rencana tata ruang wilayah yang
bersangkutan, termasuk pula memperhatikan kecenderungan-kecenderungan perkembangan suatu kawasan.
Oleh karena itu, pemilihan tema pada edisi kelima ini, yaitu Penataan Ruang sebagai Dasar dalam Pengembangan Manajemen Transportasi memiliki relevansi yang kuat dengan upaya pembenahan sistem transportasi
dan upaya untuk mengembangkan wilayah yang tengah dilaksanakan.
Beberapa contoh, antara lain : upaya pembenahan sistem transportasi
DKI Jakarta melalui pembangunan jaringan busway, Yogyakarta, Depok,
dan kota-kota lainnya, serta pembangunan Jembatan Suramadu yang
menghubungan Surabaya dengan Pulau Madura, Jalur Jalan Lintas Selatan yang melintasi kawasan pantai selatan Pulau Jawa sebagai upaya
menyeimbangkan pertumbuhan utara-selatan. Dalam contoh-contoh
tersebut, rencana tata ruang sekurang-kurangnya harus mampu memberikan gambaran kawasan yang akan dilewati jaringan transportasi
menyangkut kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan fisik-lingkungan, serta
kecenderungan pertumbuhannya berdasar potensi dan kendala yang dimiliki masing-masing kawasan, sehingga penyelenggaraan penataan ruang dan pesan-pesan yang akan disampaikan melalui rencana tata ruang
dapat terwujud.
Harapan kami, ketika rencana tata ruang telah menjadi dasar pengembangan manajemen transportasi, rencana tata ruang telah memenuhi
standar untuk diacu sekaligus telah mampu memberikan gambaran kondisi-kondisi ke depan dengan dikembangkannya sistem transportasi di
suatu wilayah.
Direktur Jenderal Penataan Ruang-Departemen Pekerjaan Umum
Selaku Sekretaris Tim Teknis BKTRN
Imam S. Ernawi
profil tokoh.
02
profil wilayah.
Kawasan Aglomerasi Perkotaan
YOGYAKARTA dan Trans Jogja
06
pengembangan profesi.
September-Oktober 2008
34
topik utama.
13
15
21
26
topik lain.
32
41
daftar isi.
35
37
39
Menunggu Jalur
Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan
profil tokoh.
Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD
Planner yang Aktifis Politik
Pengantar Redaksi:
Ir. Hetifah Sj. Siswanda, MPP, PhD, biasa dipanggil Hetifah saja, menyelesaikan pendidikan keahlian pada bidang
Perencanaan Kota dan Wilayah di Institut Teknologi Bandung, kemudian melanjutkan studi Master in Public Policy
pada National University of Singapore, dan meraih gelar PhD dari School of Politics and International Relations, Flinders
University Adelaide Australia atas dukungan beasiswa dari Ford Foundation.
Bersuamikan Ir. Siswanda Harso Sumarto, MPM dan telah dikaruniai empat orang Puteri, Amirah Kaca (Mahasiswa),
Amanda Kistilensa (SMA), Asanilta Fahda (SMP), dan Nahla Tetrimulya (SD).
Hetifah adalah seorang aktivis. Semasa kuliah, pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Planologi ITB (19851986). Sekarang Ketua Alumni Planologi ITB dan sehari-hari bergelut mengadvokasikan reformasi tata pemerintahan
dalam jabatannya sebagai Direktur Eksekutif Bandung Trust Advisory Group (B-Trust). Hetifah menjalankan karirnya
di LSM sejak tahun 1992, dengan mendirikan AKATIGA, Partnership on Local Governance Initiative (IPGI) atau saat ini
disebut Inisiatif, kemudian jaringan organisasi masyarakat sipil Sarasehan Warga Bandung (Sawarung).
Hetifah banyak terlibat dalam proses advokasi dan legal drafting berbagai peraturan daerah maupun peraturan di
tingkat pusat seperti Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah, maupun Undang-Undang, antara lain revisi UndangUndang No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berbagai lembaga internasional, antara lain CIDA, GTZ, TAF,
USAID, Ford, AusAID, dll., pernah mempercayakan Hetifah sebagai konsultan, peneliti dan fasilitator mereka untuk
mendorong reformasi tata pemerintahan di daerah.
Hetifah menulis beberapa buku, antara lain, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan
Partisipatif di Indonesia (Penerbit Obor). Tahun 2008 lalu mencoba mencalonkan diri sebagai Walikota Bandung
dengan 100 Program-nya (lihat: hetifah.com).
Berikut wawancara eksklusif Bulletin Tata Ruang (BUTARU) dengan Hetifah Siswanda (HS).
BUTARU: Sebagai seorang planner, Anda memfokuskan perhatian pada participatory planning, mengapa?
HS:
Realitas saat ini menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang terkait dengan sumber daya publik
umumnya tidak melibatkan komunitas secara langsung. Keputusan biasanya dibuat oleh sekelompok
kecil orang yang tidak jarang memiliki kepentingan yang sempit. Tidak mengherankan jika pengambil
keputusan tentang sumber daya publik seperti ruang kota seringkali justru adalah para pelaku bisnis.
Saya berkeyakinan kewajiban planner-lah untuk memberi kesempatan kepada komunitas yang berbasis
lokalitas maupun kelompok sektoral, untuk bisa membaca permasalahan yang mereka hadapi,
memutuskan secara demokratis apa yang mereka perlukan, dan memberikan kepastian bahwa apa yang
mereka putuskan bisa dilakukan. Proses perencanaan yang bersifat partisipatoris, saya percaya, akan
menghindari bias-bias para planner dan elit politik dalam proses perencanaan. Proses partisipatoris juga
akan menciptakan kontrol publik, sehingga kota atau daerah bisa menjelma menjadi milik warga.
Pengertian yang saya pahami tentang participatory planning adalah suatu kesepakatan tentang masa
depan yang diinginkan, yang dirumuskan melalui suatu proses deliberatif dan konsensus bersama,
bukan semata atas pertimbangan teknokratis dan akademis. Karena kita semua memahami, inti dari
perencanaan adalah mengelola perbedaan dan konflik tentang bagaimana sumber daya ruang maupun
uang yang terbatas bisa dimanfaatkan secara adil dan berkelanjutan. Maka dari itu suara berbagai
kelompok selayaknya diberi tempat.
profil tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik
BUTARU: Ada pendapat, di era demokratis, planner yang sebenarnya adalah para pemangku kepentingan
dan masyarakat menjadi pemeran utama, bukan sekedar pelengkap. Sementara profesional
seperti Anda adalah fasilitator atau mediator. Apa pendapat Anda?
HS:
Posisi sebagai fasilitator atau mediator justru adalah untuk membuka ruang bagi warga, khususnya
mereka yang selama ini tidak bisa bersuara dan terpinggirkan, untuk bisa aktif dan menjadi pemeran
utama dalam proses perencanaan. Sementara saya melihat profesi para planner saat ini cenderung
menjadi fungsionaris pemerintah dan tidak jarang para planner terjebak ke dalam sistem birokrasi
sehingga tidak mampu menjalankan perannya untuk menjembatani adanya partisipasi yang sehat.
BUTARU: Benarkah participatory planning belum menjadi perhatian di negara berkembang seperti
Indonesia? Bagaimana kondisi participatory planning di Indonesia dan prospeknya di masa
depan?
HS:
Sesungguhnya participatory Planning sudah lama memperoleh perhatian di Indonesia, dan sudah cukup
banyak kerangka hukum yang mengaturnya, utamanya pasca desentralisasi. Hanya saja, pada praktiknya
participatory planning di Indonesia kurang efektif, dan cenderung tidak berkelanjutan. Namun dengan
perkembangan politik yang lebih kondusif belakangan ini, saya yakin prospek participatory planning di
Indonesia akan cerah, tentu dengan banyak upaya untuk mengawalnya.
BUTARU: Apakah lembaga pemerintah memberikan respon positif terhadap participatory planning process?
Jika dipandang tidak memadai, di mana letak persoalannya?
HS:
Partisipasi akan lebih berfungsi tidak semata ketika ada kebijakan yang mengaturnya, tapi manakala
informasi maupun dukungan lain tersedia. Partisipasi juga akan lebih efektif ketika komunitas dan
kelompok-kelompok warga mampu mengorganisir diri dan terus meningkatkan kompetensi maupun
keterampilannya. Saat ini ketersediaan dan keterbukaan informasi masih menjadi masalah, demikian
pula proses pembinaan dan peningkatan kapasitas warga masih sangat minimal. Yang diharapkan ke
depan, partisipasi dalam perencanaan menjadi budaya yang terinternalisasi, lepas dari pendekatan
proyek semata.
BUTARU: Participatory planning sangat fokus pada proses, tentu membutuhkan waktu dan biaya yang tidak
sedikit. Sementara Anda menyebut birokrasi masih cenderung melihat perencanaan tata ruang
sebagai proyek yang harus selesai sesuai tahun anggaran. Bagaimana mempertemukan dua
cara pandang ini?
HS:
Aspek manajemen dan administrasi program pemerintah yang berbasis proyek harus diakui menjadi salah
satu hambatan besar dalam mendorong proses partisipatoris dalam perencanaan. Namun bukan tidak
mungkin program-program partisipatoris dibuat menjadi program multi-years. Masalahnya, hambatan
tidak hanya muncul dari sisi birokrasi, tetapi bisa juga dari anggota legislatif . Mereka perlu diyakinkan
dan mendapatkan penjelasan yang cukup tentang pentingnya mendukung dan menyediakan anggaran
yang memadai untuk program-program partisipatoris yang bersifat multi-years serupa ini.
profil tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik
BUTARU: Sebagai profesional, menurut Anda apakah UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang sudah
cukup mengakomodasi participatory planning approach? Apa yang menjadi tantangan dalam
implementasinya?
HS:
Sebetulnya Undang-undang Penataan Ruang yang baru ini cukup radikal dalam mengakomodir
pendekatan partisipatif dalam perencanaan. Istilah peran masyarakat yang digunakan dalam Undangundang telah menggantikan istilan peran serta masyarakat dalam aturan yang lama. Ini mencerminkan
adanya filosofi yang menekankan pentingnya keaktifan dan inisiatif masyarakat. Apalagi dalam Undangundang ini peran masyarakat terbuka di keseluruhan proses dari mulai pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan, serta pengawasan penyelenggaraan penataan ruang. Tantangan terdekat adalah menyusun
Peraturan Pemerintah yang dapat menjadi acuan bagi pelaksanaannya. Selain itu sosialisasi, deseminasi,
dan penguatan kapasitas yang lebih intensif dan ekstensif kepada pemerintah daerah maupun organisasi
civil society serta kelompok-kelompok peduli tata ruang sangat diperlukan, karena merekalah yang
nantinya akan menjadi ujung tombak pelaksanaannya.
BUTARU: Umumnya masyarakat Indonesia masih dihadapkan pada persoalan pemenuhan kebutuhan dasar
pangan, sandang, papan. Tentu tidak mudah untuk mengajak mereka masuk ke dalam arus
participatory planning. Ada kiat khusus?
HS:
Memang tidak mungkin mengajak semua orang masuk dalam arus participatory planning, yang penting
adalah memberikan kesempatan kepada sebanyak mungkin orang untuk memiliki pengalaman terlibat,
karena pengalaman adalah cara yang paling baik untuk meyakinkan masyarakat akan kegunaan
berpartisipasi untuk menolong dan memperbaiki nasibnya sendiri. Kiat lain terletak pada aspek
penguasaan metodologi dan teknik partisipasi. Berbagai teknik selayaknya dikembangkan sehingga
partisipasi tetap bisa berlangsung tanpa harus mengorbankan terlalu banyak waktu dan tenaga.
BUTARU: Pernah merasa lelah atau bahkan putus asa dalam mendorong participatory planning di
Indonesia?
HS:
Mendorong participatory planning masih terus saya lakukan dengan perbaikan dan inovasi sehingga
pendekatan ini menjadi lebih bisa diimplementasikan. Untuk menghindari kelelahan dan putus asa,
hargai saja setiap small victory yang telah kita raih.
BUTARU: Untuk mendorong participatory planning di Indonesia, apa agenda besar Anda dalam waktu dekat
ini?
HS:
Agenda terdekat adalah mendorong Peraturan Pelaksanaan di tingkat nasional sebagai penjabaran
proses partisipatoris dalam perencanaan di daerah, memberikan asistensi kepada beberapa daerah
yang tertarik menerapkan dengan serius proses partisipatoris dalam perencanaan, menjadikannya best
practice dan menyebarluaskan pengalaman tersebut ke daerah lainnya.
BUTARU:
Siapa yang sangat diharapkan untuk mendukung agenda itu? Dalam bentuk apa?
HS:
Dukungan utama yang diharapkan adalah adanya kemauan politik dari para pengambil keputusan di
tingkat nasional, maupun di daerah (provinsi dan kabupaten kota). Beberapa organisasi civil society,
asosiasi profesi bahkan para alumni dari jurusan planologi diharapkan dapat menginisiasi beberapa
pilot program, dan pengalaman ini hendaknya didokumentasi dengan baik untuk menjadi bahan
pembelajaran dalam rangka replikasi dan penyempurnaan aturan yang sudah ada.
BUTARU:
Di
tengah
keterbatasan
kapasitas
pemerintah, upaya peningkatan kesadaran
dan pemberdayaan masyarakat tentu
memerlukan dukungan dari organisasi
non pemerintah. Menurut Anda, apakah
dukungan ornop sudah memadai?
HS:
profil tokoh. Ir. Hetifah Sj.Siswanda, MPP, PhD . Planner yang Aktifis Politik
dan bahkan dalam beberapa kasus memperkuat aparat pemerintah sendiri. Efektif tidaknya dukungan
ornop sangat tergantung pula pada keterbukaan pemerintah. Banyak aparat pemerintah yang masih
menyepelekan kemampuan ornop atau bahkan alergi terhadap mereka.
BUTARU:
Bagaimana cara terbaik untuk mengembangkan jejaring ornop yang concern terhadap upaya
peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya ruang?
HS:
Ada beberapa jaringan civil society yang sudah eksis dan memiliki kepedulian dalam isu partisipasi
seperti partisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran, hanya belum banyak yang
bekerja spesifik dalam isu pengelolaan sumber daya ruang. Mereka sudah memiliki pangalaman hanya
perlu mendapatkan tambahan pengetahuan dan kapasitas dalam memahami seluk beluk pengelolaan
sumber daya ruang.
BUTARU:
Kesadaran akan pengelolaan sumber daya ruang yang baik, seharusnya ditanamkan sejak anakanak usia dini. Menurut
Anda?
HS:
Saya sepakat, karena generasi muda adalah komponen warga yang penting, dan adalah satu tanggung
jawab planner untuk memberi landasan pengetahuan, kesadaran, dan ketrampilan kepada anak-anak
usia dini. Planner bisa berbicara pada mereka, tentang apa itu komunitas, apa peran mereka sebagai
warga, bagaimana mereka bisa terlibat dalam mempengaruhi lingkungan dimana mereka tinggal. Anakanak pun perlu diberi kesempatan untuk ikut bertanggung jawab sebagai warga yang aktif dan perhatian
terhadap lingkungan sekitarnya. Selain menerbitkan manual-manual sederhana (kids guide), kesadaran
ini bisa dibangun dengan menyisipkan materi dalam kurikulum studi sosial, bahasa, kesenian, ilmu alam,
dll.
Sebagai ibu dari empat anak, saya sering mengajak mereka untuk menelusuri dan mengenal lingkungan
sekitar, juga membuka saluran komunikasi seluas-luasnya dengan anak-anak tentang berbagai hal
yang terkait dengan tema-tema perkotaan sehari-hari seperti masalah sampah, pedagang kaki lima,
transportasi, dll. Selain itu beri mereka dorongan untuk suka membaca, dan membandingkan kondisi
kota dimana mereka tinggal dengan kota-kota lainnya dan mendiskusikan bersama mengapa kota lain
bisa lebih baik atau lebih buruk dari kota di mana kami tinggal.
BUTARU: Setiap orang pasti punya mimpi terkait profesinya. Apa mimpi Anda?
HS:
Menghapus konsep tradisional perencanaan tata ruang dan peran planner. Saya bermimpi setiap planner
memulai kerja mereka dengan bertanya terlebih dahulu kepada warga. Tentu konsekuensinya warga pun
perlu meningkatkan sensitivitas dan perhatiannya pada apa yang dirasakan orang lain tidak hanya pada
kepentingan dirinya sendiri. Saya mendambakan para planner ke depan bukan lagi kelompok eksklusif
yang tugasnya membuat aturan-aturan dan konsensus terbatas di ruang tertutup. Planner perlu memiliki
pengaruh politik yang lebih besar sehingga apa yang dicita-citakan masyarakat akan terealisasikan
melalui kerja dan pemikiran mereka. Tidak saja mereka menjadi lebih aktif berbicara melalui media yang
bisa menjadi saluran edukasi yang efektif bagi publik. Terlebih lagi, para planner bisa menjadi pembela
masyarakat apabila ditemui adanya praktik pelanggaran tata ruang yang merugikan publik. Dengan
demikian melalui tangan para planner diharapkan ruang kota akan memberikan kebahagiaan pada dan
dinikmati oleh semua warga, dari berbagai kelompok sosial, dari generasi sekarang maupun generasi
berikutnya.
BUTARU:
Anda juga terjun dalam dunia politik praktis, mengapa?
HS:
Sesungguhnya dalam mimpi saya tadi, seorang planner adalah advokat dan politisi sekaligus. Saya
bukan saja punya keinginan, tetapi merasa berkewajiban terjun dalam dunia politik.
BUTARU:
Seandainya Anda terpilih menjadi seorang pengambil keputusan kunci dalam pengembangan
wilayah atau kota, sebagai walikota misalnya, perubahan apa yang akan Anda buat dalam proses
perencanaan dan pembangunan?
HS:
Jika saja saya berkesempatan menjadi walikota, saya akan mengubah praktik-praktik pemerintahan yang
rigid, birokratis dan tidak responsif, dan akan menciptakan atmosfir kreatif di daerah. Karena saya yakin
warga kota yang cerdas, memiliki motivasi, imajinasi, dan kreativitas adalah sumberdaya utama yang
menentukan masa depan dan kemampuan kota atau daerah untuk beradaptasi dan membangun
profil wilayah.
oleh: Redaksi Butaru
Kawasan
Aglomerasi Perkotaan
YOGYAKARTA
dan Trans Jogja
I. LATAR BELAKANG
Kota
Yogyakarta
telah
tumbuh dan berkembang
ke wilayah sekitar yang
kemudian
beraglomerasi
membentuk
apa
yang
disebut sebagai Kawasan
Aglomerasi
Perkotaan
Yogyakarta (APY) ataupun
Greater Yogya. Bersama
dengan
pembangunan
infrastruktur berupa koridor
yang
menghubungkan
pusat-pusat
kegiatan,
Kawasan APY menjadi core
dan point
development
dalam konsep tata ruang
wilayah Provinsi DIY.
Perkembangan fisik Kawasan
Aglomerasi Perkotaan Yogyakarta (APY) ditandai
dengan semakin luas wilayah terbangunnya. Salah satu
indikatornya adalah populasi penduduk telah mendekati
angka 1.000.000 jiwa. Selain itu, mobilitas manusia
serta aktivitas ekonomi masuk dan keluar dari pusat
Kota Yogyakarta telah bertambah dengan terjadinya
perubahan struktur pemanfaatan ruang desa-desa di
sebagian wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten
Bantul menjadi wilayah yang berciri kekotaan.
Perencanaan tata ruang Kota Yogyakarta telah dimulai
sejak masa pemerintahan Kolonial Belanda ketika
Ir. Thomas Karsten (1941) membuat perencanaan
perluasan kota. Namun, perencanaan tata ruang kota
tahun 1941 tersebut tidak dapat digunakan sebagai
arahan pembangunan kota Yogyakarta yang saat ini
telah merkembang menjadi wilayah aglomerasi karena
perencanaan kala itu belum menyertakan muatan
kebutuhan skala metropolitan.
II. Lingkup Spasial
Kawasan APY meliputi tiga kawasan yang secara
administratif berada di wilayah yang berbeda. Mengacu
pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DI Yogyakarta No.
10 Tahun 2005, pada Pasal 41c, Kawasan APY mempunyai
fungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang
mencakup wilayah kota Yogyakarta dan sebagian wilayah
kecamatan Kasihan, Sewon, Banguntapan di wilayah
Kabupaten Bantul serta Kecamatan Depok, Ngemplak,
Ngaglik, Mlati dan Gamping di wilayah Kabupaten
Sleman. Wilayah ini merupakan wilayah pengembangan
sistem pelayanan Kota Yogyakarta yang melayani kotakota Berbah, Kalasan, Prambanan, Pakem, Cangkringan,
Sedayu serta Sentolo.
dominan
ditentukan dari amatan terhadap kegiatan eksisting yang
dominan dalam kerangka yang telah ditentukan di atas.
Fungsi tersebut merupakan fungsi yang ingin dilindungi
serta didorong dari unit lahan tersebut.
Dalam pemahaman tersebut, pola ruang Kawasan APY
dibagi-bagi menjadi blok-blok yang fungsional dengan
memperhatikan:
1. Sejarah pembentukan suatu kawasan untuk tetap
mempertahankan citra secara keseluruhan;
Suasana di jalur pejalan kaki sisi timur Malioboro. Sejuk dan santai
Tahap I
Jalan
Malioboro
Kraton
Yogyakarta
Kota Gede
Tahap II
Tugu Yogyakarta
Tahap II
Adishakti (1995) telah melihat pertumbuhan Kota
Yogyakarta secara fisik dengan menggunakan metode
morfologi perkotaan. Dalam studinya, Kota Yogyakarta
tumbuh dalam periode-periode yang berbeda-beda
yaitu kasultanan, kolonial dan kemerdekaan. Periodeperiode yang berbeda tersebut menghasilkan bentukan
fisik kota serta arsitektural yang sesuai dengan konteks
masanya.
- Pola masih memusat dengan Kraton sebagai inti
- Struktur kawasan inti semakin kuat dengan
keberadaan stasiun yang dibangun oleh Belanda
- Berdirinya Pakualaman
- Luas wilayah semakin luas dengan sebaran
perumahan kolonial di Kotabaru dan Bintaran
Tahap
-
UGM
St. Tugu
Kota Baru
St.
Lempuyangan
Pakualaman
Kota Gede
Tahap I:
IV
- Tahap
Pola masih
memusat
dengan Kraton
inti akhir-akhir dapat dilihat
Pertumbuhan
Kotasebagai
Yogyakarta
Tahap
IV
- sebagai
Struktur
kawasan
inti
akibat
dari munculnya
investasi-investasi yang
semakin kuat
dilakukan
oleh dengan
masyarakat.
Sebagai
contoh
adalah akhir-a
Pertumbuhan Kota
Yogyakarta
munculnya
perumahan-perumahan
yang
diadakan
keberadaan stasiun yang
akibat
munculnya
investasi-investasi
oleh
pengembang
serta
pasar-pasar
modern yang yang
dibangun
oleh dari
Belanda
kini
tampak
bersaing
dengan
pasar
tradisional.
Secara
- Berdirinya
Pakualaman
Sebagai
contoh adalah munculnya
perumahanfisik,
banyak
perumahan
tersebut
berada
di
wilayah
- Luas wilayah semakin luas
Kabupaten
Sleman
dan Kabupaten Bantul, meski
pengembang
denganoleh
sebaran
perumahanserta pasar-pasar modern y
demikian keterkaitan secara pelayanan dengan wilayah
kolonial
di Kotabaru
dan
dengan
pasar
tradisional.
Secara
banyak pe
kota
mengakibatkan
terjadinya
mobilitas
yangfisik,
tinggi
Bintaran
antara kedua
wilayah.
wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten
VII. TRANSketerkaitan
JOGJA, ALTERNATIF
ANGKUTAN
MASSAL
secara pelayanan
dengan
wilayah kot
PERKOTAAN YANG NYAMAN
berubah
menjadi
kawasan
perkotaan.
- tersebut
Keberadaan
UGM diikuti
dengan
kampus-kampus
lain seperti UNY (dulu IKIP)
- Jalan Solo mulai berkembang sebagai pusat
perdagangan
11
topik utama.
Oleh : Danang Parikesit
Guru Besar Transportasi Universitas Gadjah Mada
(dparikesit.staff.ugm.ac.id), Sekjen Masyarakat Transportasi
Indonesia (MTI) dan Chairman The International Forum for
Rural Transport and Development (www.ifrtd.org)
13
dan Curitiba,
keduanya dipimpin oleh walikota yang perencana (urban
planner). Seoul dan Taipei, dikomandoi oleh walikota visioner
yang melihat sistem angkutan kota tidak dapat dilepaskan
dari konsep pembangunan ruang kota yang efisien (STREAM
Study, 2007).
Tidak berhasilnya pengurangan penggunaan lahan kota
untuk kendaraan pribadi, karena lambatnya pembentukan
jaringan angkutan umum yang solid. Keterlambatan dan
keraguan pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebabkan
respon swasta dan para pengembang property menjadi
sulit mengembangkan rencana usaha mereka. Patut diingat
bahwa KA Tokyo sebagai salah satu di antara sangat sedikit
sistem KA di dunia yang memperoleh surplus operasi,
sekitar 50% pendapatannya diperoleh dari konsesi property
(STREAM Study, 2007). Pengembang properti, sebenarnya
melihat nilai tambah keberadaan busway TransJakarta,
namun rencana pemerintah yang kurang terkendali dan
jadual waktu yang tidak jelas, menyebabkan tingginya
risk premium bagi investasi properti di sepanjang koridor
busway.
Suksesnya koridor I dalam meningkatkan daya tarik
perkantoran sepanjang Jalan Sudirman Thamrin tidak
diikuti oleh koridor perkantoran lain. Terbatasnya akses
busway terhadap permukiman menyebabkan dampak
terhadap penyebaran kompleks perumahan, tidak cukup
berarti.
Kompetisi anggaran publik untuk subsidi
Kalau tahun ini besarnya subsidi operasi busway adalah
1% dari besarnya APBD DKI Jakarta, berapakah nilainya
untuk 5 tahun mendatang? Sebagai
ini misalnya,
Pemprov DKI Jakarta menilai tarif Rp 12.855 per kilometer
yang diberikan kepada operator bus transjakarta koridor
VIII-X terlalu besar. Pemprov
topik utama.
Dari berbagai
15
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
b. Aturan 3 in 1
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Deskripsi
Road toll
(fixed rates)
Untuk
meningkatkan
pendapatan
dan investasi.
Congestion
pricing (timevariable)
Pengenaan biaya
didasarkan atas kepadatan
lalu lintas, jika lalu lintas
padat maka biaya yang
dikenakan akan tinggi,
namun sebaliknya jika lalu
tidak padat maka biaya
yang dikenakan akan
rendah
Untuk
meningkatkan
pendapatan
dan
mengurangi
kemacetan.
Cordon fees
Mengurangi
kemacetan di
pusat-pusat
kota.
Untuk
mendorong
peralihan
penggunaan
kendaraan
pribadi kepada
penggunaan
kendaraan
yang memilik
daya tampung
yang banyak,
sehingga
jumlah
kendaraan di
jalanraya dapat
dikurangi.
Distancebased fees
Untuk
meningkatkan
pendapatan
dan
mengurangi
berbagai
masalah lalu
lintas.
Pay-AsYou-Drive
insurance
Membagi rata
pembayaran berdasarkan
jarak sehingga asuransi
kendaraan menjadi biaya
yang tidak tetap.
Mengurangi
berbagi
masalah lalu
lintas khususnya
kecelakaan lalu
lintas.
Road space
rationing
Penggunaan batasan
tertentu di jam-jam padat
lalu lintas (misalnya
berdasarkan nomor
kendaraan)
Untuk
mengurangi
kemacetan
di Jalan-jalan
utama atau di
pusat-pusat
kota.
HOV lanes
Tujuan
17
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya
disebut urban road user charging.
Tujuannya
adalah
untuk membatasi lalu lintas yang masuk CBD pada saat
jam puncak untuk mengurangi kemacetan.
Sebelum ERP,
Singapore
menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS),
pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road
Pricing (ERP).
Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi
berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan.
Harga
yang
bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan
kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan
20-30 km/jam pada jalan arteri.
Dampak diterapkannya congestion pricing atau ERP di
Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan
carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan
volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya
congestion pricing menurun sampai dengan 44%.
b. London
c. Stockholm
Mengapa ERP?
Permasalahan transportasi perkotaan di Jakarta mempunyai
kecenderungan semakin bertambah parah. Indikasi ini bisa
dilihat dari berbagai studi yang dipaparkan di awal tulisan
ini. Apabila
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Singapore
London
Stockholm
Gambar 2 Aplikasi ERP di Beberapa Kota
19
topik utama . ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Gambar 3
Konsumsi Bahan Bakar Tiap
Jenis Kendaraan Per Kilometer
(SITRAMP, 2004)
yang efisien,
transparan, dan akuntable sangat menunjang keberhasilan
aplikasi ERP.
ERP harus diterapkan dalam kondisi seluruh ruas jalan
di dalam satu kota telah mengikuti standar design jalan
perkotaan yang telah ditetapkan dan perilaku pengemudi
mengikuti peraturan tata cara berlalu lintas yang berlaku.
Hal ini untuk menghindari tuduhan bahwa kemacetan
topik utama.
Oleh : Darmaningtyas
(Tim Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia)
Di sepanjang Jl.
Gatot Subroto, Jl. S.Parman, Jl.
Suprapto,
Jl. Harsono RM, Jl. Ahmad Yani, Jl. Casablanca, Kawasan
Kuningan, dan seterusnya, juga tumbuh bangunan baru
pencakar langit, yang sudah pasti mengundang bangkitan
lalu lintas cukup tinggi. Bahkan di tepi-tepi jalan di luar
jalan protokol pun tumbuh bangunan baru yang berfungsi
komersial, seperti usaha perdagangan, rumah sakit,
perkantoran, atau sekolah.
Kota-kota besar lain seperti Surabaya, Makasar, Bandung,
Palembang, dan Medan pun mengikuti pola tersebut.
Bahkan Yogyakarta, sebagai kota kecil, pun mengikuti arus
yang berkembang di Jakarta. Munculnya tempat komersial
seperti Ambarukmo Plaza (Amplaz) misalnya, belum genap
lima tahun (dioperasikan awal 2006).
Pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta
atau tempat-tempat komersial di kota-kota lain itu, di satu
sisi menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi, bukti
bahwa sektor riil terus bergerak, tapi pada sisi lain dapat
menimbulkan persoalan baru dalam transportasi, apalagi
bila tidak disertai dengan percepatan pembangunan
angkutan umum massal.
Menggugat Konsep Kota Mandiri
Newman dan Kenworthy (1989) menegaskan, ada kaitan
yang kuat antara transportasi dan tata guna lahan. Menurut
* buletin tata ruang
21
di
Jakarta
di
Jakarta
ini
mencakup pembangunan 60.000 unit rusunawa, 25.000
unit rusunami, dan 1,26 juta unit rumah tinggal. Pemda DKI
Jakarta, termasuk salah satu Pemda yang harus menjalankan
kebijakan Pemerintah, sehingga mau tidak mau harus
membangun unit gedung baru yang bersifat vertikal,
mengingat pembangunan horizontal tampaknya tidak
memungkinkan lagi. Sedangkan para developer swasta
juga melakukan investasi secara besar-besaran di tengah
Kota Jakarta, seperti misalnya St.Moritz (Rp. 11 triliun),
Kemang Village (Rp. 12 triliun), Ciputra Mall (Rp. 14 triliun),
Kuningan City (Rp. 6 triliun), Kota Casablanca (Rp. 7 triliun),
dan Gandaria City (Rp. 6,5 triliun).
Tabel 1
Pasokan Jumlah Berbelanjaan menurut Wilayah
Wilayah
CBD
Jakarta Barat
Jakarta Timur
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Selatan
Prosentase
23,8 %
14,7%
11,2%
13,3%
20,4%
16,6%
Wilayah
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Jakarta Timur
Jakarta Barat
Jakarta Selatan
Jumlah
13
11
6
10
17
Wacana TOD
Di dunia transportasi dikenal istilah yang namanya
Transit Oriented Development (TOD), yaitu suatu konsep
pembangunan transportasi yang bersinergi dengan tata
ruang guna mengakomodasi pertumbuhan baru dengan
memperkuat lingkungan tempat tinggal dan perluasan
pilihan maupun manfaat, melalui optimalisasi jaringan
* buletin tata ruang
23
di
Jakarta
di
Jakarta
memfasilitasi kendaraan pribadi. Di lain pihak, Kementrian Perumahan Rakyat mempunyai program membangun 1.000 rumah
susun sewa yang kelak menimbulkan masalah besar dalam transportasi. Itu adalah contoh betapa kita selama ini telah samasama kerja, namun belum bekerja sama.
Seharusnya dalam setiap proses perencanaan pembangunan kawasan, aspek transportasi selalu diikutsertakan. Kebijakan tata
ruang tidak dapat mengabaikan aspek transportasi, dan pembenahan transportasi tidak terlepas dari kebijakan tata ruang.
Keduanya ibarat dua sisi mata uang. Tapi orang sering melupakan hal ini, sehingga sampai saat ini Departemen Pekerjaan
Umum terpisah dengan Departemen Perhubungan. Di tingkat daerah, Dinas PU selalu terpisah dengan Dishub. Ini jelas pola
berpikir lama yang saatnya untuk dikoreksi
Tabel 3
Data Kendaraan Bermotor di DKI Tahun 2007
(ribu unit)
Tahun
Jenis
Motor
Penumpang
Beban
Bus
2002
2.816,44
1.434,80
441,09
315,14
2003
3.310,31
1,530,23
464,93
315,65
2004
3.940,70
1.645,31
488,52
316,39
2005
4,647,44
1.766,80
499,58
316,50
2006
5.310,07
1.835,65
504,73
317,05
2007 (Nov)
5.917,74
1.909,83
517,64
318,31
Tabel 5
(Ribu Unit)
(2003-2009)
Wilayah
Jakarta Timur
Jakarta Selatan
Jakarta Barat
Jakarta Pusat
Jakarta Utara
Depok
Tangerang
Bekasi
Jumlah
Tahun
773,16
1.602,37
1.652,39
1.112,75
625,45
402,44
1.421,02
1.076,19
2003
354.331
2004
483.170
2005
533.922
2006
318.904
2007
434.449
2008*
570.000
2009**
600.000
Tabel 6
Penjualan Mobil di 6 negara Asean pada 2008
Negara
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Total
Thailand
45.715
49.565
66.456
54.721
54.910
50.108
321.475
Indonesia
41.112
47.117
46.293
51.039
50.373
53.989
290.253
Malaysia
45.811
38.527
46.436
50.279
47.391
48.990
277.974
Vietnam
12.084
8.920
13.091
13.271
11.494
9.749
68.609
Filipina
8.808
9.472
10.624
11.078
10.900
10.772
61.654
10.626
7.776
9.153
9.950
9.556
10.049
57.110
Singapura
25
topik utama.
oleh: Dr. Ir. I.F. Poernomosidhi Poerwo, M.Sc, MCIT, MIHT
Tenaga Ahli Fungsional Ditjen Penataan Ruang Departemen PU
Bangun Jembatan
Selat Sunda
27
Bangun Jembatan
Selat Sunda
Bangun Jembatan
Selat Sunda
sistem
transportasi yang
efisien
Pantai Barat
Pulau Sumatera lebih tertinggal dibandingkan dengan
Pantai Timur Pulau Sumatera. Kemudian, pertumbuhan
penduduk Sumatera rata-rata tahun 1995 1999 sebesar
1,90% per tahun relatif lebih tinggi dari laju tertumbuhan
nasional pada periode waktu yang sama yang hanya sebesar
1,66%, namun pertumbuhan penduduk ini secara spasial
tidak tersebar merata, hanya pada bagian Tengah dan Pantai
Timur Sumatera saja.
Selain itu, adanya gejala primacy kota dan lemahnya
keterkaitan antar kota pada setiap propinsi di Pulau
Sumatera, terutama yang berstatus sebagai ibukota propinsi.
Kota-kota metropolitan Medan dan Palembang merupakan
konsentrasi penduduk dan ekonomi di Sumatera, serta kotakota cepat bertumbuh berada di Pantai Timur dan Pantai
Tengah. Di Pantai Barat hanya terdapat kota Padang dan
Bengkulu yang minim keterkaitannya satu dengan yang lain.
29
Bangun Jembatan
Selat Sunda
Penduduk
Luas Lahan Kebut Lahan Total Kebuthn
(juta
(Ha)
(Ha/orng)
Lahan (Ha)
orang)
No
Provinsi
DKI
9.16
66,100
4.18
Jabar
Banten
38.34
4,630,000
Jateng
29.69
DIY
Kondisi (Ha)
Daya Dukung
38,288,800
-38,222,700
dilampaui
4.18
160,261,200
-155,631,200
dilampaui
3,420,600
4.18
124,104,200
-120,683,600
dilampaui
2.90
318,800
4.18
12,122,000
-11,803,200
dilampaui
Jatim
33.80
4,792,200
4.18
141,284,000
-136,491,800
dilampaui
Total
P.Jawa
113.89
13,227,700
476,060,200
-462,832,500
dilampaui
Bangun Jembatan
Selat Sunda
31
topik lain.
oleh:
Sekretaris Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP)
Jabodetabek
Wilayah
33
RTRW
&
RPJM
Kawasan
agenda kerja
BKTRN.
topik lain.
Oleh: Ir. Bambang Suwarmintarta
Ka. Bid. Pengembangan Kepariwisataan Baparda DIY
Tidak ada
35
dan Kesahajaan
topik lain.
Menunggu Jalur
Lintas Selatan Pulau Jawa
Menjadi Kenyataan
Secara umum
Pulau Jawa
dianggap sebagai kawasan yang telah
berkembang, di banding kawasan
lain di Indonesia. Perkembangan
perekonomian sangat pesat, dengan
potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang besar.
Namun kenyataannya, tidak seluruh
daerah di Pulau Jawa menunjukkan
perkembangan yang sama. Secara
fisik kawasan utara Pulau Jawa lebih
berkembang dibanding kawasan
selatan. Kondisi infrastruktur jalan
di kawasan Utara Jawa seperti Jalur
Pantura telah mampu mengangkat
roda perekonomian, aktivitas sosial,
dan mobilitas warga. Sementara
keterbatasan infrastruktur jalan di
kawasan selatan Jawa, mengakibatkan
perkembangan wilayah dan tingkat kesejahteraan
masyarakat masih rendah bahkan banyak ditemui daerahdaerah terisolir. Persentase nilai PDRB per kapita wilayah Jawa
bagian utara jauh lebih tinggi dibandingkan bagian selatan.
Rata-rata semua sektor ekonomi di wilayah Jawa bagian selatan
mempunyai kontribusi yang sangat kecil, dengan prosentase
antara 0-13%.
Sebenarnya, wilayah Jawa bagian selatan mempunyai
potensi sumberdaya alam yang besar, selain memiliki tanah
yang subur, sumber-sumber tambang, pariwisata, juga kaya
akan sumberdaya laut. Berbagai potensi tersebut sangat
memungkinkan untuk dilakukan pengembangan yang lebih
optimal. Potensi utama ini juga dapat dilihat secara nyata
pada persentase nilai PDRB perkapita wilayah Jawa bagian
selatan. Sektor pertanian memberikan kontibusi cukup
besar pada nilai PDRB per kapita provinsi yang mencapai
35-50%. Selain itu, terdapat potensi di bidang pariwisata
terutama wisata alam, dengan kontribusi terhadap nilai
PDRB per kapita provinsi sebesar 18-22%. Kekayaan dan
potensi tersebut tentu merupakan suatu faktor strategis
yang mampu mendorong kemajuan wilayah Jawa bagian
selatan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
wilayah tersebut jika dikembangkan secara optimal dengan
dukungan infrastruktur ekonomi dan sosial yang memadai.
Sebagai upaya menyeimbangkan pertumbuhan kawasan
pantai utara Pulau Jawa dan pantai selatan Pulau Jawa
serta untuk menghadapi tantangan kepadatan jalur
pantura Jawa salah satunya adalah dengan pembangunan
infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang harus dibangun
adalah berupa jalan dan jembatan. Mengapa? Karena jalan
dan jembatan adalah prasarana yang dapat menjadi urat
nadi dalam mengembangkan suatu wilayah sekaligus
sebagai pembentuk struktur ruang wilayah. Terkait dengan
37
Menjadi Kenyataan
topik lain.
oleh: Sekretariat Tim Teknis BKTRN
2.
3.
39
B. Rekomendasi
1. Dalam penyelesaian konflik tata ruang antar
sektor dan wilayah perlu mengefektifkan tugas
dan fungsi BKPRD.
2. Pejabat pengawas tata ruang dan PPNS berperan
dalam pengawalan pengendalian pemanfaatan
ruang yang diatur dalam peraturan perundangundangan, yang kedudukannya dibawah instansi
anggota BKPRD.
3. BKPRD mendorong penegakan hukum dilakukan
secara konsisten dan konsekuen.
4. Perlu adanya mekanisme pelibatan masyarakat
dalam rangka pengawasan pelanggaran penataan
ruang, yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
5. Untuk menjamin sinkronisasi pemanfaatan ruang
Provinsi dan Kabupaten/Kota, perlu kesiapan
perangkat hukum.
6. Dalam rangka penegakan hukum, masyarakat
perlu mendapatkan informasi tentang peraturan
perundang-undangan terkait penataan ruang
melalui sosialisasi secara intensif dan berjenjang
dengan memanfaatkan media cetak lokal, media
elektronik lokal, teknologi informasi dan kearifan
lokal.
7. Untuk optimalisasi pengendalian pemanfaatan
ruang lintas wilayah diperlukan keterpaduan dan
kerjasama antar daerah melalui penguatan badanbadan kerjasama yang sudah ada, dan masingmasing daerah perlu menjabarkan kesepakatan
tersebut dalam RPJMD, Renstra, RKPD dan Renja
masing-masing instansi anggota BKPRD.
pengembangan profesi.
Tanggung Jawab
Perencanaan dalam
Pembangunan
Berbasis Penataan
Ruang
Oleh: Agus Sutanto, ST., M.Sc.
Anggota Bidang Pengembangan Profesi Ikatan Ahli Perencanaan IAP
Bencana
41